Professional Documents
Culture Documents
Kejayaan sebuah negara tidak ditentukan oleh luasnya wilayah, melimpahnya sumber
daya alam, tetapi ditentukan oleh mentalitas bangsanya. Apakah mentalitas bangsa sebagai
bangsa kaya atau bangsa miskin, bangsa buruh atau bangsa majikan, bangsa pintar atau bangsa
bodoh, mentalitas pekerja keras atau mentalitas pemalas. Indonesia dengan kekayaan alam
yang melimpah tetapi bangsa ini belum mampu mengelola dengan baik, arah kebijakan
pemerintah masih belum berfihak kepada kejayaan bangsa, masih didorong oleh kepentingan
pribadi, jabatan diperebutkan, karena hanya dengan jabatan, kesempatan untuk meraup
kekayaan akan terbuka lebar, sumber daya alam tidak dikelola sendiri, tetapi diserahkan kepada
fihak asing agar para pejabat mendapat royalti, korupsi tidak hanya dilakukan oleh para
penguasa tetapi juga oleh para pengusaha. Untuk menghindari fenomena seperti ini,
dibutuhkan pemimpin yang memiliki integritas dan visi yang jelas agar dapat menggerakkan
bangsanya menjadi bangsa yang superior. Bangsa superior adalah bangsa yang meskipun
memiliki sumber daya alam yang berlimpah, mereka tidak terlena, bangsa superior tetap akan
bekerja keras dan berjuang demi kejayaan bangsanya. Pemimpin yang diperlukan adalah
pemimpin yang mampu mengajak dan menggerakkan seluruh potensi bangsanya untuk meraih
kejayaan. Jangan sampai dipimpin oleh pemimpin yang mengagungkan jabatan hanya untuk
mengeruk kekayaan, semua yang dilakukan hanya atas desakan lingkungannya, tidak mampu
membuat keputusan yang strategis, hanya melakukan hal-hal kecil dan melupakan yang besar,
mengutamakan pertemanan daripada prestasi dan reputasi. Pemimpin harus mampu
menghadapi segala tantangan dan tekanan demi kemajuan dan kejayaan bangsanya, pemimpin
yang mampu memotivasi rakyatnya untuk mengolah segala kekayaan alam yang dimiliki demi
mencapai kesejahteraan. Mampu menggerakkan pemimpin bawahannya untuk berjuang demi
rakyatnya, bukan hanya untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya. 2 Melihat pentingnya
pemimpin dalam organisasi dan betapa kompleksnya permasalahan dalam kepemimpinan,
maka diperlukan langkah tindakan untuk menyiapkan pemimpin masa depan secara
berkesinambungan.
telah merata di seluruh lembaga negara, baik di legislatif, eksekutif, maupun yudikatif.
Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) menilai pejabat publik, yang seharusnya memberi
contoh kepada masyarakat untuk keluar dari krisis nasional, telah keluar dari nurani
kebangsaannya. Kepekaan terhadap pertanggungjawaban publik sudah hilang, para pejabat
tinggi pada instansi-instansi strategis bukannya memberi keteladanan, melainkan
mempertontonkan perilaku buruk dalam mengelola otoritas publik. Esensi kepemimpinan yang
seharusnya berada pada akseptabilitas dan kekuatan moral kini semakin bergeser pada upaya
mempertahankan kekuasaan dengan segala cara, termasuk memutarbalikkan interpretasi
tentang tindakan dan putusan hukum.
Presiden maupun lembaga tinggi negara yang semestinya mengambil tindakan untuk
menunjukkan keseriusan menangani masalah korupsi tidak menunjukkan sikap yang jelas.
Para pemimpin negeri ini sudah tidak mempan terhadap kritikan atau keresahan yang
disuarakan masyarakat melalui media massa. Bahkan, dalam banyak kasus, pemerintah
cenderung mereduksi keberadaan masyarakat, dengan seringnya pemerintah terdengar
mempertanyakan, "Masyarakat yang mana?" atau "Rakyat yang mana?"
Menjadi pejabat pada masa kini hanya menjadi sarana bagi mereka yang mencari
kekuasaan demi kepentingan pribadi dan golongan, praktek korupsi tanpa malu serta sikap
pribadi yang jauh dari sopan santun yang seharusnya jadi ciri kepribadian Indonesia. Sikap dan
suasana Harmoni yang terwujud hendaknya juga mengakhiri berbagai konflik dan kekerasan
antar umat agama yang memalukan bangsa Indonesia selama Reformasi. Sebagai wakil
rakyat, anggota DPR bukannya mewakili kepentingan Rakyat yang memilihnya, melainkan
mewakili kepentingan partainya.4
Jika kecenderungan seperti ini terus berlanjut, dikhawatirkan akan meruntuhkan seluruh sistem
penegakan hukum, tidak berfungsinya sistem ketatanegaraan dan hilangnya kepercayaan publik
kepada para pemimpinnya. Meskipun di permukaan, mayoritas masyarakat terlihat apatis,
sebenarnya keresahan masyarakat sudah mulai mendekati tingkat jenuh dan bila hal ini tidak
segera ada penyelesaian yang nyata dan memihak rakyat, kerusuhan sosial akan segera muncul,
karena kesenjangan yang makin lebar antara rakyat kebanyakan yang sangat menderita akibat
krisis ekonomi yang belum pulih, dengan perilaku kepemimpinan yang korup dan bermewah-
mewah secara tidak sah, dapat memicu munculnya keresahan dan anarki sosial.
terhadap konstitusi, norma agama, sosial budaya dan etika profesi, para pemimpin bawahan
diberi beban tugas untuk menyelamatkan dan melindungi pelanggaran dan penyimpangan
pemimpin atasnya. Mencarikan kursi untuk kroninya yang dikenal dekat meskipun mutunya
keropos, kursi jabatan yang seharusnya untuk orang yang tepat, karena dengan begitu dapat
melindungi dan menyelamatkan dirinya dari jerat hukum atas pelanggaran dan penyimpangan
yang dilakukannya. Sehingga disetiap saat terjadi pembohongan publik karena banyak pejabat
tidak pernah menyampaikan kejujuran.
Sebagian besar pemimpin tidak peka ( sensitive ) terhadap aspirasi masyarakat, yang
seharusnya menjadi prioritas tugasnya, rakyat berharap agar semua sistem berjalan sehingga
mereka memiliki harapan untuk mendapatkan sesuatu yang lebih baik dimasa depan. Pemimpin
hanya sibuk mengurus dirinya, kelompoknya, partainya, keluarganya, agar semua memperoleh
kedudukan dan jabatan dengan lancar. Pemimpin menempatkan diri sebagai “ndoro” sebagai
majikan, minta dilayani dimana-mana, sedikit kesalahan atas pelayanan, jabatan dicopot,
dianggap tidak menghargai, padahal mereka menjalankan tugas rakyat, kondisi yang sangat
bertentangan dengan kewajiban pemimpin sebagai pelayan, melayani kepentingan rakyat.
Sebagian besar pemimpin takut melakukan tugas atau tidak mengerti tugasnya sendiri,
hanya menunggu perintah, takut jabatannya dicopot, mengakibatkan banyak fungsi tidak berjalan
yang berujung pemerintah membentuk dewan dan komisi, dan semuanya membutuhkan dana.
Bila semua fungsi dapat berjalan sesuai tugas dan misi lembaganya, dana sebagai biaya segala
jenis komisi dan dewan dan masih banyak lagi itu dapat disalurkan untuk mengentaskan
kemiskinan dan mengurangi pengangguran.
Sebagai pejabat negara ternyata masih memposisikan diri sebagai utusan golongan,
parpol dan kelompoknya, lupa bahwa kedudukannya diperoleh dari rakyat dan bertugas mewakili
rakyat, melupakan tugasnya untuk membangun negara. Cenderung primodial, egosentris dan
tidak berusaha menjadi negarawan yang berjuang untuk pendukungnya/pemilihnya. Setiap kali
kunjungan kedaerah selalu mengagendakan bertemu dengan partainya dengan memanfaatkan
biaya negara.
Tidak mampu menjadi teladan, tidak malu berbuat salah, kurang mampu berdiplomasi,
dan masih dikendalikan kekuatan asing. Dapat dilihat dari Undang-undang No 25 tahun 2007,
tentang penanamanmodal, untuk memberi prioritas UKM, negara bisa dituntut, karena negara
“tidak membedakan perlakuan kepada penanam modal asing dan domestik”. Pembelian saham
Bank umum di Indonesia oleh perorangan maupun fihak asing boleh mencapai 99 % . Satu
bukti lagi yaitu pada UU RI no 22 tahun 2001, tentang migas, pasal 22 ayat (1) “Badan Usaha
atau Bentuk Usaha Tetap wajib menyerahkan paling banyak 25% (dua puluh lima persen)
bagiannya dari hasil produksi Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi untuk memenuhi kebutuhan
6
dalam negeri”. Dengan kalimat seperti itu maka para pemimpin memang diberi peluang untuk
korupsi.5
dari pemerintahan, dunia usaha, maupun lembaga nirlaba, mulai pusat hingga daerah,
sejak jabatan puncak hingga pimpinan madya, karena pola rekruitmen yang padat kolusi
dan nepotisme. Kejatuhan Indonesia karena krisis kepemimpinan dan dilanjutkan
dengan kepemimpinan yang kurang tangguh untuk memimpin proses pemulihan.
Empat persoalan penting yang harus segera dituntaskan dan hingga sekarang
belum terselesaikan yaitu masalah yang berkembang didaerah baik yang meminta
kemerdekaan atau yang menuntut otonomi seluas-luasnya. Krisis ekonomi yang belum
teratasi, terbukti dengan masih merosotnya nilai rupiah, kerusuhan sosial diberbagai
tempat dan belum tegaknya kewibawaan hukum.7
Pemerintah pusat seharusnya tidak perlu terlalu banyak ikut campur urusan yang
seharusnya menjadi urusan daerah, hilangnya sentralisme dan pada saat yang bersamaan
berkembangnya kesempatan bagi setiap individue dan daerah untuk mengaktualisasikan
potensinya. Dalam masyarakat, komponennya adalah individu; dalam negara kesatuan
kita komponennya adalah daerah. Kalau secara perseorangan ada kebebasan individu
maka tujuan hilangnya sentralisme dalam konteks negara kesatuan adalah munculnya
kebebasan daerah yang lebih dikenal sebagai otonomi daerah, agar otonomi daerah
dapat berkembang lebih optimal.
7 Salim said, mencegah bangkitnya kembali kepemimpinan persorangan, dalam buku Reformasi dalam stagnasi, hal 33-38.
8 M Amien Rais, Menyelamatkan perjalanan reformasi, dalam buku Reformasi dalam stagnasi, hal.1-7
8
mengekpresikan diri akan menyebabkan kegagalan , karena tidak mengetahui kritik atau
dukungan yang berakibat keputusan yang diambil menyebabkan perpecahan dan konflik
antar kekuatan.
Kritik menunjukkan bahwa ada penolakan dari lingkungan dalam suatu negara
adalah ketidakpuasan rakyat atas pelayanan, keputusan, sikap arogansi pejabat dan
banyak hal lain. Dukungan yang baik berarti kebijakan yang ditetapkan telah
menumbuhkan bekerjanya sistem sehingga rakyat melakukan tugas karena tujuan yang
dimengerti dan sasaran yang diketahui dengan jelas, tidak ada keraguan dalam
melakukan aktifitas.
berbagai macam isue, masalah dan tuntutan yang mengharuskan semua pimpinan
organisasi mampu mengatasi segala sesuatu dengan pikiran jernih dan tidak terbawa
emosi, pendeknya setiap pemimpin organisasi harus mampu mengelola emosi, agar
semua tugas dapat terlaksana dengan baik.
atau wali kota mengeluarkan dana antara Rp. 7,5 –sampai Rp.25 miliar, untuk gubernur,
tiap calon diperkirakan membelanjakan dana antara Rp.25 sampai Rp.75 miliar. 9
Bila dilihat dari proses pencalonan Gubernur maupun Bupati / Wali kota, maka
siapapun yang cukup memiliki dana , mereka dapat mengajukan diri sebagai calon,
tidak peduli apakah calon ini memiliki visi yang positif untuk membangun dan
memajukan kesejahteraan rakyat atau hanya bila menjadi Gubernur atau bupati /wali
kota bersiap mengembalikan modal ditambah dengan perhitungan keuntungan yang
harus diperoleh. Dengan kondisi demikian, sempatkah pemimpin dipusat menyiapkan
para pemimpin didaerah ? Bahkan para Gubernur , bupati dan wali kota ini berasal
dari partai tertentu, yang dalam kesepakatannya, bila didukung dan menang harus tetap
loyal kepada partai, bagaimana bisa mereka mengutamakan kepentingan rakyat,
sementara konsentrasi para pemimpin daerah harus mengutamakan partai dan berarti
harus membagi rezeki, sehingga golongan diutamakan sementara rakyat dilupakan.
Para pemimpin ini menerima tugas agar melakukan tindakan yang menguntungkan
partainya, menjalankan tugasnya dengan memberi lisensi dengan perjanjian tertentu
untuk mengisi kas partainya, para rekanan, importir, eksportir yang diutamakan adalah
orang separtai.10 Kondisi pemimpin yang ada saat ini dapat dibayangkan dengan
melihat proses pemilihannya, asal calonnya, sementara calon independen yang mungkin
saja lebih bermutu ( meskipun niat calon independen bisa saja sama dengan yang lain )
sangat sulit prosedurnya.
Sama halnya dengan para menteri, Presiden memilih dari nama yang disodorkan
oleh partai, yang tentu saja partai tidak mematok untuk jabatan menteri Departemen
tertentu, hanya menyerahkan daftar nama, sehingga kompetensi para calon yang
disampaikan belum disetarakan dengan kebutuhan tugas yang akan diembannya.
Kenyataannya, para calon tersebut menjadi menteri juga, tetapi apakah kemampuan dan
ketrampilan serta keahliannya sudah setara dengan tugas dan tanggungjawabnya di
Departemen ? Nama-nama yang diajukan oleh partai juga tentu saja adalah orang yang
“dipilih” karena kesepakatan dengan partai. Sangat aneh dan meragukan bila partai
memberi yang terbaik bila tanpa embel-embel “kesetiaan” kepada partai. Apakah
negara dapat berharap kepada pemimpin yang “dipilih” oleh partai dan “kesetiaan”
kepada partai ?11 Lebih aneh lagi kenapa partai masih mempengaruhi presiden,
sementara presiden dipilih langsung oleh rakyat, tidak ada pengaruh partai dalam
pemilihan ini, presiden harus mewakili rakyat.
Seorang pemimpin masa depan harus visionary, perlu memiliki keahlian dalam
memimpin tim organisasi yang terdiri dari para pemimpin dan tenaga profesional melalui
pendekatan pribadi; memecahkan konflik yang timbul antar lembaga dalam organisasi;
mendengarkan segala keluhan-keluhan; memberikan umpan balik dan menekankan kejujuran.
Di samping keahlian berkomunikasi, kepemimpinan dalam era globalisasi menuntut lima jenis
ketrampilan khusus yang sifatnya sangat kritis, ketrampilan tersebut terdiri dari :
a. Difficult learning. Banyak pemimpin yang merasa dirinya sudah sangat pintar dan
mengetahui segala hal dalam menyelesaikan setiap permasalahan, pada kenyataannya
setiap permasalahan memiliki kekhususan dan memerlukan keahlian tertentu untuk
menyelesaikannya. Oleh sebab itu perlu disosialisasikan pola pembelajaran, karena
proses belajar merupakan kunci mengatasi kegagalan dalam berorganisasi. Proses belajar
selalu menuntut kreativitas, dan sangat sedikit para pesaing yang ingin terjun mengikuti
proses “difficult learning”. Dalam organisasi yang belajar, setiap anggota organisasi akan
didorong untuk dapat mengidentifikasikan apa yang belum mereka ketahui dan segala
sesuatu yang belum didapatkan cara pemecahnya. Sebuah pemerintahan yang
mengedepankan penyiapan SDM adalah organisasi pemerintahan yang berfikir untuk
masa kini dan masa depan. Jepang, Singapura dan Malaysia adalah contoh negara
negara yang berhasil karena yakin bahwa sukses akan dimulai dari membangun manusia,
baru kemudian membangun produk.12
11 Lebih lengkap dapat dibaca : Bung Hatta, Demokrasi kita (hal 13-17)
c. Resonant simplicity. Dalam era teknologi, informasi dan komunikasi yang efektif
dan jelas merupakan suatu tuntutan. Pemimpin masa depan harus mampu menganalisa
data dan informasi untuk menemukan jalan keluar sebagai antisipasi, terhadap sistuasi
yang senantiasa berkembang merupakan poin penting dalam mewujudkan peluang-
peluang yang bermanfaat bagi pencapaian sasaran kebijakan.
d. Multiple focus. Melatih untuk menentukan visi, tujuan, dan menentukan kegiatan
prioritas, banyak mendengar dan mengamati aktifitas organisasi, untuk menumbuhkan
kemampuan dalam mengelola hambatan menjadi tantangan dan ancaman sebagai
peluang, yang dalam ilmu motivasi menunjukkan bahwa tidak ada yang mustahil bila
ditunjang niat yang kuat. Sikap dan tindakan ini bermanfaat bagi pemimpin dalam
mempengaruhi pemimpin organisasi bawahan agar dapat berpikir dan bertindak secara
terfokus menurut agenda kegiatan masing-masing.
e. Mastering inner sense. Melatih diri untuk dapat menemukan kemampuan inner
sense yang dimiliki dalam membuat keputusan-keputusan strategis. Dalam kondisi yang
tidak menentu dan keputusan harus dikeluarkan dengan cepat, maka peran inner sense
semakin penting, mampu melihat kepentingan yang lebih besar menjadi prioritas. Dengan
kekuatan inner sense ini, seorang pemimpin harus berani mengambil resiko yang telah
diperhitungkan, berharap yang terbaik namun bersiap menghadapi yang terburuk.
itu, pemimpin kharismatik dijadikan suri tauladan, idola, dan model panutan oleh
bawahannya, yaitu idealized influence.
terhadap Pemimpinnya. Tumbuhkan rasa percaya kepada anak buah , bahwa kebutuhan,
kepentingan, bahkan mimpi mereka akan diperjuangkan oleh Pemimpinanya. Dengan
sikap demikian, akan mendorong terciptanya loyalitas dalam satuan. Pemimpin
melakukan tugasnya sebagai bentuk loyalitas demi kepentingan satuan dan juga termasuk
anggotanya, dan anggota akan melakukan tugasnya sebagai bentuk loyalitas dan
kepercayaan kepada pemimpinnya bahwa kebutuhan, kepentingan anak buah akan
diperjuangkan oleh pemimpinnya. Nilai nilai loyalitas ini harus dapat diwujudkan dalam
suatu organisasi untuk menciptakan kebersamaan dalam mencapai tujuan organisasi.
Setingkat apapun organisasi, bila loyalitas antar individu dapat terwujud, tujuan
organisasi diyakini dapat tercapai dengan baik.
Perkembangan kepemimpinan dari pengamatan dan situasi yang berkembang saat ini terdapat
kecenderungan telah terjadi degradasi kepemimpinan. Kondisi politik masih labiel,
perekonomian, belum tertata dengan baik, pengangguran sedemikian banyak dan bahkan angka
kemiskinan pada tingkat sedemikian parah, hal-hal ini menunjukkan bahwa kepemimpinan
belum mampu menggerakkan organisasi negara lebih efektif dan efisien. Masih banyak
permasalahan-permasalahan yang belum ditangani secara optimal bahkan terdapat
permasalahan yang seakan-akan sengaja ditinggalkan atau dilupakan. Demokrasi yang
dibanggakan sebagai peringkat ke 3 dunia yang paling maju, bukanlah sesuatu yang memberi
dampak positif bagi kemajuan negara bahkan cenderung bersifat pemborosan dan merugikan.
Otonomi daerah yang diharapkan dapat mempercepat proses kemajuan bangsa ternyata para
pelaku otonomi masih belum memahami arah yang sesungguhnya. Pemberdayaan masyarakat
yang diharapkan dapat dilakukan oleh pemerintah otonom, ternyata tidak dapat terlaksana,
kembali lagi karena pemahaman yang belum mendalam.
Proses penyiapan pemimpin tidak dapat dilakukan dengan baik, sehingga pimpinan
yang muncul dari hasil pemilihan langsung, ternyata tidak menghasilkan pemimpin yang
15
mengabdi kepada rakyat, namun lebih mengabdi bagi dirinya sendiri dan bagi partai yang
mengusungnya menjadi pimpinan. Korupsi masih merajalela, yang menimbulkan dampak
pada kesenjangan ekonomi yang sangat lebar. Para pemimpin yang digaji rakyat tanpa ada
tunjangan tambahan yang nyata dan resmi , namun dapat hidup bermewah-mewah,
menunjukkan bahwa ada korupsi. Para pemimpin departeman hanya disodorkan nama dari
partai, tanpa diketahui akan tepat mengurusi pekerjaan departemen tertentu, namun tetap dapat
duduk di posisinya. Prioritas pengabdian masih kepada kepentingan pribadi dan golongan,
nasionalisme masih rendah, karena belum menempatkan kepentingan negara diatas kepentingan
yang lain. Penempatan dan pemilihan pimpinan eselon dibawah sebagai pembantu pimpinan,
dipilih orang –orang dekat, sarat dengan nepotisme, dengan tujuan untuk membuka jalan
selebar-lebarnya bagi tindak manipulasi , karena antara pimpinan dan pimpinan bawahan sudah
bekerjasama untuk saling melindungi. Karena jabatan tidak diduduki oleh orang yang tepat
hanya diduduki oleh orang yang “dekat”, mengakibatkan kinerja organisasi tidak menunjukkan
peningkatan. Jabatan menjadi rebutan dan bahkan menghalalkan berbagai cara, dengan sasaran
setelah menjadi pejabat terbuka peluang untuk mengeruk harta dan kekayaan. Semua ini
merupakan lingkaran setan yang hanya dapat diselesaikan dengan keinginan pemimpin puncak.
Tanpa keinginan yang kuat dari pemimpin puncak, maka keadaan akan sulit berubah, kemajuan
dan kejayaan bangsa akan sangat sulit diraih.
Saran. Dengan melihat kondisi kepemimpinan dewasa ini, dimana menyiapkan pemimpin
yang sulit karena sistem politik yang menghendaki, maka disarankan kepada para pemimpin :
Pertama berani mengambil keputusan yang besar, meskipun mengeluarkan biaya yang besar,
tetapi akan mengangkat derajat bangsa dan memberikan kesejahteraan dan kemakmuran
bangsa. Sebagai pemimpin disarankan untuk mau mendengar dan memperhatikan kesulitan
yang dialami banyak orang, tidak perlu malu melakukan hal kecil bila pengaruhnya besar,
rakyat tidak terlalu pusing dengan proses yang kerjakan pemimpinnya yang penting adalah
kenyataan, apakah rakyat sudah memperoleh kemudahan disegala bidang.
Kedua, setiap janji sebaiknya ditepati, karena menyangkut kredibilitas pemimpin, janji
diberikan karena pemimpin sudah memiliki data dan fakta, sehingga pemimpin dapat mengolah
data dan fakta untuk mencapai sasaran. Dalam melakukan tugas, pemimpin sebaiknya dapat
menyelesaikan permasalahan rakyat, memanfaatkan data dan fakta sudah dimiliki. Keputusan
sebaiknya mengarah kepada kepentingan yang lebih luas bukan menguntungkan diri sendiri
atau kelompoknya.
16
Penulis :
JUANDA SYAIFUDDIN
Daftar kepustakaan.