You are on page 1of 70

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

A. Acuan Teori Subtansi Mata Pelajaran

1. Pengertian Belajar

Pendidikan merupakan suatu proses kegiatan yang mengaitkan banyak

faktor. Dalam menyukseskan pendidikan tidak terlepas dari kegiatan belajar

mengajar, ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Hudoyo (1990 : 1) bahwa :

“Pendidikan sebenarnya merupakan suatu rangkaian peristiwa yang


kompleks, peristiwa tersebut merupakan rangkaian kegiatan komunikasi
antar manusia, sehingga manusia itu sebagai pribadi yang utuh. Manusia
yang tumbuh melalui belajar, karena itu kalau kita berbicara tentang
belajar tidak dapat melepaskan diri dari mengajar. Belajar merupakan
proses kegiatan yang tidak dapat dipisahkan”.

Belajar merupakan suatu proses yang ditandai dengan adanya perubahan pada diri

seseorang. Perubahan-perubahan itu sebagai hasil belajar yang dapat ditunjukkan

dengan berbagai bentuk perubahan pengetahuan, pemahaman, sikap dan tingkah

laku. Keterampilan, kecakapan, dan kemampuan serta perubahan-perubahan pada

aspek lain yang ada pada setiap individu yang belajar.

Menurut pengertian secara psikologis, belajar merupakan suatu proses

perubahan tingkah laku sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya dalam

memenuhi kebutuhan hidupnya. Sejalan dengan yang dikemukakan oleh (Slamet,

1991 : 12) bahwa :

“Belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk


memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan
sebagai hasil pengalaman itu sendiri dalam interkasi dengan
lingkungannya”.
Cronbach (Yusuf, 2003 : 22), menyatakan bahwa belajar adalah

perubahan perilaku sebagai hasil dari pengalaman. Sedangkan Geoch (Yusuf,


16

2003 : 22) juga mengemukakan bahwa belajar adalah perubahan dalam

perpormarsi sebagai hasil dari praktek-praktek.

Belajar metematika memerlukan kesiapan mental yang tinggi karena

matematika berkenaan dengan ide-ide abstrak yang diberi simbol-simbol itu

tersusun secara hirarkis dan penalarannya yang bersifat deduktif. Sebagaimana

yang dikemukakan Hudoyo (1990 : 4) bahwa:

“Matematika berkenaan dengan ide-ide/konsep-konsep abstrak yang

tersusun secara hirarkis dan penalarannya deduktif”.

Dari uraian di atas dapat diartikan bahwa belajar matematika adalah suatu proses

yang dilakukan individu secara bertahap dan berurutan serta berdasarkan

pengalaman belajar sebelumnya, yang memerlukan kesiapan mental yang tinggi

untuk memperoleh suatu percobaan tingkah laku.

2. Matematika Sekolah

Matematika sekolah adalah matematika yang diajarkan di sekolah, yaitu

matematika yang diajarkan pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah.

Sering juga dikatakan bahwa matematika sekolah adalah unsur-unsur atau bagian-

bagian dari matematika yang dipilih berdasarkan atau berorientasi pada

kepentingan kependidikan dan perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

(IPTEK). Hal ini berarti, bahwa yang dimaksud dengan kurikulum matematika

adalah kurikulum pelajaran matematika yang diberikan di jenjang pendidikan

pendidikan menengah ke bawah, bukan diberikan di jenjang pendidikn tinggi.

Dijelaskan, bahwa matematika sekolah tersebut terdiri atas bagian-bagian

matematika yang dipilih guna menumbuhkembangkan kemampuan-kemampuan


16

dan membentuk pribadi-pribadi serta mengarah pada perkembangan IPTEK. Hal

ini menunjukkan bahwa matematika sekolah tetap memiliki cirri-ciri yang dimiliki

matematika, yaitu memiliki objek kejadian yang abstrak serta bepola pikir

deduktif konsisten.

Menurut Suraharta. (2005:21) menyatakan bahwa matematika sekolah

tidaklah sepenuhnya sama dengan matematika sebagai ilmu. Dikatakan tidak

sepenuhnya sama karena memiliki perbedaan antara lain dalam hal:

a. Penyajian Matematika.

Penyajian dan pengungkapan matematika di sekolah disesuaikan dengan

perkiraan perkembangan intelektual peserta didik. Mungkin dengan mengaitkan

butir yang akan disampaikan dengan realitas di sekitar siswa atau disesuaikan

dengan pemakaiannya. Jadi penyajiannya tidak langsung berupa butir-butir

matematika.

Tentu dapat dipahami bahwa penyajian matematika pada Sekolah

Menengah Atas (SMA) berbeda dengan penyajian matematika pada Sekolah

Menengah Pertama (SMP) atau Sekolah Dasar (SD). Hal ini didasarkan pada

tahap perkembangan intelektual siswa SMA yang semestinya berada pada tahap

operasional formal. Jadi tidak banyak butir matematika sekolah disajikan secara

induktif, kecuali bagi siswa yang lemah.

b. Pola Pikir Matematika

Pola pikir matematika sebagai ilmu deduktif. Tidaklah demikian halnya

dengan matematika sekolah. Meskipun siswa pada umumnya diharapkan mampu

berpikir deduktif namun pada proses pembelajarannya dapat digunakan pola pikir
16

deduktif. Pola pikir deduktif yang digunakan dimaksukan untuk menyesuaikan

dengan tahap perkembangan intelektual siswa.

c. Keterbatasan Semesta

Sebagai akibat dipilihnya unsur atau elemen matematika sekolah dengan

memperhatikan aspek kependidikan, dapat terjadi penyederhanaan yang

kompleks. Pengertian semesta pembicaraan tetap diperlukan namun mungkin

sekali lebih dipersempit. Selanjutnya semakin meningkat usia siswa, yang berarti

meningkatnya juga tahap perkembangannya, maka semesta itu berangsur lebih

diperluas lagi.

d. Tingkat Keabstrakan

Sifat abstrak matematika tetap ada pada matematika sekolah. Hal ini

merupakan salah satu penyebab sulitnya seorang guru mengajarkan matematika

sekolah, karena itu guru matematika harus berusaha mengurangi sifat abstrak dari

objek matematika itu sehingga memudahkan siswa menangkap pelajaran

matematika sekolah.

Fungsi matapelajaran matematika sebagai: alat, pola pikir, dan ilmu atau

pengetahuan. Ketiga fungsi matematika tersebut hendaknya dijadikan sebagai

acuan dalam pembelajaran matematika sekolah. Belajar matematika bagi para

siswa, juga merupakan pembentukan pola pikir dalam pemahaman suatu

pengertian maupun dalam penalaran suatu hubungan di antara pengertian-

pengertian itu.

Dalam pembelajaran matematika, para siswa dibiasakan untuk

memperoleh pemahaman melalui pengalaman tentang sifat-sifat yang dimiliki dan


16

tidak dimiliki dari sekumpulan objek (abstraksi). Dengan pengalaman terhadap

contoh-contoh dan bukan contoh diharapkan siswa mampu menangkap pengertian

suatu konsep. Selanjutnya dengan abstraksi ini, siswa dilatih untuk membuat

perkiraan, terkaan, atau kecenderungan berdasarkan kepada pengalaman

pengetahuan yang dikembangkan pola pikir induktif dan pola pikir deduktif.

Namun tentu dari semua itu harus diselesaikan dengan perkembangan kemampuan

siswa, sehingga pada akhirnya akan sangat membantu kelancaran proses

pembelajaran matematika sekolah.

Sedangkan tujuan umum diberikannya matematika pada jenjang

pendidikan dasar dan menengah meliputi dua hal, yaitu sebagai berikut:

(1) Mempersiapkan siswa agar sanggup untuk menghadapi perubahan keadaan

di dalam kehidupan dunia dan di dunia yang selalu berkembang, melalui

latihan bertindak atas dasar pemikiran secara logis, rasional, kritis, cermat,

jujur, efektif dan efesien.

(2) Mempersiapkan siswa agar dapat menggunakan matematika dan pola pikir

matematika dalam kehidupan sehari, dan dalam mempelajari berbagai ilmu

pengetahuan.

Menurut Suraharta, (2003 : 27) adapun tujuan khusus pembelajaran

matematika pada jenjang pendidikan dasar ini terbagi menjadi dua bagian besar.

Pertama, tujuan pengajaram matematika di SD dan tujuan pengajaran matematika

di SMP, sedangkan tujuan khusus pembelajaran matematika di SMA secara

tersendiri dimuat dalam kurikulum pendidikan menegah.

1. Belajar dan Prestasi Belajar Matematika

a. Pengertian belajar matematika.


16

Gagne (Akib, 2001) yang mengemukan bahwa belajar adalah proses

perubahan tingkah laku seseorang yang disebabkan oleh adanya pengalaman.

Slameto (Akib, 2001) mengemukakan bahwa belajar adalah proses usaha yang

dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru

secara keseluruhan sebagai hasil pengalaman individu dalam interaksi dengan

lingkungannya. Sedangkan Abdullah (Ahmad, 2006) berpendapat bahwa belajar

adalah proses untuk mencapai perubahan tingkah laku dalam bentuk sikap,

pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya.

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa belajar adalah suatu

kegiatan yang dapat membawa perubahan tingkah laku seseorang ke tingkat dan

arah yang lebih baik, terutama dari segi pengetahuan, keterampilan, dan sikap.

Secara khusus Bruner (Hudoyo, 1988) mengemukakan belajar

matematika adalah belajar tentang konsep-konsep dan struktur matematika yang

terdapat di dalam materi yang dipelajari serta mencari hubungan-hubungan antara

konsep-konsep dan struktur-struktur matematika itu.

b. Pengertian Prestasi Belajar Matematika

Winkel (Muhkal, 1998) mendefenisikan prestasi sebagai bukti

keberhasilan usaha yang dicapai. Jadi prestasi adalah bukti usaha yang digunakan

untuk memenjukkan tingkat keberhasilan yang dapat dicapai seseorang setelah

melakukan usaha tertentu dalam suatu penggalan waktu tertentu pula. Dengan

demikian, jika tujuan pembelajaran dipandang sebagai suatu harapan yang akan

diperoleh siswa setelah mengikuti kegiatan belajar mengajar, maka prestasi

belajar dapat disajikan sebagai ukuran sebarapa jauh tujuan pembelajaran tersebut
16

tercapai. Dalam kaitannya dengan belajar matematika maka prestasi belajar

matematika dapat diartikan sebagai hasil yang dicapai seseorang setelah melalui

proses pembelajaran matematika.

Untuk mengetahui seberapa jauh tingkat keberhasilan siswa dalam

menguasai bahan pelajaran matematika yang dipelajarinya, diperlukan suatu alat

ukur berupa tes. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Ratumanan

(Ahmad, 2006) bahwa tes merupakan bagian dari pengukuran yang dilanjutkan

dengan kegiatan penilaian. Tes merupakan pengukuran terencana yang digunakan

guru untuk memberikan kesempatan bagi siswa untuk memperlihatkan prestasi

mereka dalam kaitannya dengan tujuan yang telah ditetapkan.

Berdasarkan uraian tersebut maka yang dimaksud dengan prestasi belajar

dalam penelitian ini adalah tingkat keberhasilan siswa dalam menguasai bahan

pelajaran matematika setelah mengikuti kegiatan belajar matematika dalam kurun

waktu tertentu yang diukur dengan tes prestasi belajar. Tes tersebut hanya

mengukur aspek kognitif yang lebih diharapkan pada kemampuan ingatan dan

aplikasi atau penerapanya.

1. Hasil Belajar Matematika

Hasil belajar adalah istilah yang digunakan untuk mencapai tingkat

keberhasilan yang dicapai seseorang setelah melakukan usaha tertentu. Menurut

Sudjana (Ahmad, 2006:35) bahwa hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan

yang dimilki siswa setelah ia menerima pengalaman belajar. Sedangkan

Ratumanan (Muhkal, 1998 : 10) menyatakan bahwa belajar akan lebih berhasil
16

jika keseluruhan potensi siswa dilibatkan secara optimal, sehingga menghasilkan

kemampuan baru yang bersifat permanen pada siswa.

Matematika merupakan ilmu terstruktur yang pokok bahasannya

berkesinambungan, memiliki suatu keteraturan dan struktur yang terorganisir.

Berdasarkan pengertian hasil belajar di atas maka dapat dikatakan bahwa hasil

belajar matematika adalah hasil yang dicapai oleh siswa dalam waktu tertentu

dalam belajar matematika yang diukur dengan menggunakan tes hasil belajar

matematika.

2. Hakekat Pembelajaran Matematika

Pembelajaran merupakan suatu upaya untuk membuat siswa belajar yaitu

suatu usaha yang dilakukan guru dalam memilih, menetapkan, dan

mengembangkan metode untuk mencapai hasil yang diinginkan. Miarso (Akib,

2001) mengemukakan bahwa pembelajaran menaruh perhatian pada bagaimana

membelajarkan siswa bukan pada apa yang dipelajari oleh siswa. Hal ini berarti,

bahwa pembelajaran pada hakekatnya merupakan suatu rancangan membelajarkan

siswa.

Berkaitan dengan pembelajaran matematika, Soedjadi (Akib, 2001)

mengemukakan bahwa tujuan pembelajaran matematika di sekolah pada dasarnya

terdiri dari tujuan fomal dan tujuan material. Tujuan formal menekankan pada

penataan nalar dan pembentukan sikap, sedangkan tujuan material menekankan

pada kemampuan menerapkan matematika dan keterampilan matematika. Hal ini

menunjukkan bahwa pembelajaran matematika di sekolah tidak cukup hanya

melatih keterampilan berhitung dan menghafal fakta, tetapi juga menekankan


16

pada kemampuan penalaran. Sedangkan Nickson (Akib, 2001) mengatakan bahwa

pembelajaran matematika adalah suatu upaya membantu siswa untuk

mengkontruksikan konsep-konsep atau prinsip-prinsip matematika dengan

keterampilannya sendiri melalui internalisasi sehingga konsep itu terbangun

kembali.

Dalam pembelajaran matematika di sekolah, guru hendaknya memilih

dan menggunakan strategi, pendekatan, metode, ataupun teknik yang banyak

melibatkan siswa secara aktif dalam belajar baik secara mental, fisik, maupun

sosial. Prinsip belajar aktif inilah yang diharapkan menumbuhkan sasaran

pembelajaran matematika yang kreatif dan kritis untuk membantu siswa dalam

membangun sendiri konsep dan prinsip yang dipelajarinya.

6. Materi Diferensial di Sekolah Menengah Atas

a. Turunan Fungsi Aljabar

1) Definisi dan Notasi Turunan

a) Definisi

Turunan (differential) dari sebuah fungsi adalah fungsi yang


f

diberi lambang (dibaca ) dan didefinisikan sebagai:


f' " f aksen"

f ( x + h) − f ( x )
f ' ( x ) = lim
h →0 h
16

dengan menganggap nilai limit ada. Jika dapat diperoleh,


f ' ( x) f

dikatakan dapat diturunkan (differentiable). disebut turunan dari


f ' ( x)

terhadap . Proses mencari turunan disebut penurunan


f x

(differentiation).

b) Notasi Lain dari Turunan

Selain notasi , notasi lain yang sering digunakan untuk


f ' ( x)

menyatakan turunan dari di adalah:


y = f (x) x

1. (dibaca “de , de ”)
dy y x
dx

2. (dibaca “de , de )
d f (x ) x
[ f (x)]
dx

(dibaca “ aksen”)
3.
y' y
16

1) Turunan Fungsi Aljabar

a) Turunan Fungsi Konstan

Jika suatu fungsi dengan , di mana merupakan


f f ( x) = k k

suatu konstan. Maka untuk menentukan turunan fungsi berlaku aturan


f

sebaga berikut:

maka atau
f ( x) = k f ' ( x) = 0 d
(k ) = 0
dx

b) Turunan Fungsi Identitas

Jika suatu fungsi dengan . Maka untuk


f f ( x) = x

menentukan turunan fungsi berlaku aturan sebaga berikut:


f

maka atau
f ( x) = x f ' ( x) = 1 d
( x) = 1
dx

c) Turunan Fungsi Eksponen


16

Jika suatu fungsi dengan , di mana merupakan


f f ( x) = x n n

bilangan real. Maka untuk menentukan turunan fungsi berlaku aturan


f

sebagai berikut:

maka atau
f ( x) = x n f ' ( x ) = nx n −1 d n
( x ) = nx n −1
dx

a. Rumus-rumus Turunan Fungsi Aljabar dan Trigonometri

1) Rumus-rumus Turunan Fungsi Aljabar

a) Turunan Hasil Kali Konstanta dengan Suatu Fungsi

Jika adalah fungsi yang dapat diturunkan dan adalah suatu


f k

konstanta maka fungsi dapat diturunkan dengan aturan:


g ( x) = k ⋅ f ( x )

atau
g ' ( x) = k ⋅ f ' ( x) d
[ k ( f ( x) ) ] = k ⋅ f ' ( x)
dx
b) Turunan Jumlah dan Selisih dari Fungsi-fungsi Aljabar
16

Jika dan adalah fungsi-fungsi dari variabel yang dapat


u v x

diturunkan, maka dan juga dapat diturunkan.


u+v u−v

Misalkan, dan , maka fungsi


f ( x) = u ( x ) + v( x ) g ( x) = u ( x) − v ( x)

dan dapat diturunkan dengan aturan:


f (x) g (x)

1. Jika , maka
f ( x) = u ( x) + v ( x )

atau
f ' ( x ) = u ' ( x) + v' ( x)

.
d
[ u ( x) + v ( x)] = u ' ( x) + v' ( x)
dx

2. Jika , maka
g ( x) = u ( x) − v ( x) g ' ( x) = u ' ( x) − v' ( x)

a) Turunanatau
Hasil Kali Fungsi-fungsi Aljabar .
d
Jika dan [ u ( xadalah
) − v( x)]fungsi-fungsi
= u ' ( x) − v' ( x)dari variabel yang dapat
dx
u v x

diturunkan, maka hasil kali juga dapat diturunkan.


u⋅v
16

Misalkan, maka fungsi dapat diturunkan


f ( x ) = u ( x ) ⋅ v ( x) f (x)

dengan aturan:

Jika maka
f ( x) = u ( x) ⋅ v ( x) f ' ( x) = u ( x) ⋅ v ' ( x) + v ( x ) ⋅ u ' ( x)

Dari aturan di atas tampak bahwa turunan dua fungsi adalah

fungsi pertama dikali dengan turunan dari fungsi kedua ditambah fungsi

kedua dikali dengan turunan fungsi pertama.

b) Turunan Hasil Bagi Fungsi-fungsi Aljabar

Jika dan adalah fungsi-fungsi dari variabel yang dapat


u v x

diturunkan, maka hasil pembagian juga dapat diturunkan.


u
v

Misalkan, , syarat . Dalam hal ini,


u ( x) v( x) ≠ 0 u (x)
f ( x) =
v ( x)

disebut fungsi pembilang dan disebut fungsi penyebut, maka fungsi


v(x)

dapat diturunkan dengan aturan:


f (x)
16

Jika maka
u ( x) v ( x ) ⋅ u ' ( x ) − u ( x )v ' ( x )
f ( x) = f ' ( x) =
v( x) ( v( x) ) 2
Dari aturan di atas bahwa turunan dari pembagian dua fungsi

adalah penyebut dikali dengan turunan pembilang dikurangi dengan

pembilang dikali dengan turunan penyebut. Kemudian, hasilnya dibagi

dengan kuadrat penyebut.

1) Rumus-rumus Turunan Fungsi Trigonometri

a) Turunan Sinus

Jika , maka atau


y = f ( x) = sin x y ' = f ' ( x) = cos x

df d
= ( sin x ) = cos x
dx dx
b) Turunan Cosinus

Jika , maka atau


y = f ( x) = cos x y ' = f ' ( x) = − sin x

df d
= ( cos x ) = − sin x
dx dx
c) Turunan Tangen

Jika , maka
y = f ( x) = tan x y ' = f ' ( x) = sec2 x
atau
df d
= ( tan x ) = sec2 x
dx dx
d) Turunan Cotangen
17

Jika , maka atau


y = f ( x) = cot x y ' = f ' ( x) = − cos ec 2 x

e) Turunan Secan

Jika , maka atau


y = f ( x) = sec x y ' = f ' ( x) = sec x ⋅ tan x

f) Turunan Cosecan

Jika , maka atau


y = f ( x ) = cos ecx y ' = f ' ( x) = − cos ecx ⋅ cot x

a. Menentukan Turunan Suatu Fungsi dengan Aturan Rantai dan


Pemangkatan

1) Aturan Rantai
16

Jika adalah fungsi yang dapat diturunkan terhadap dan


y = f (u ) u

adalah fungsi yang dapat diturunkan terhadap , ditulis sebagai:


u = g (x) x

atau , maka berlalu aturan:


y = f { g (x)} y = f g

atau
dy dy du
= ⋅
dx du dx

2) Aturan Pemangkatan

Jika adalah fungsi yang dapat diturunkan terhadap dan


u x n

adalah bilangan sebarang, maka berlalu aturan:

atau
d n
dx
( u ) = n ⋅ u n −1 .
du
dx

Untuk dan maka:


y=u n u = f (x)

a. Persamaan Garis Singgung pada Suatu Kurva

1) Tafsiran Geometri dari Turunan Pertama di Suatu Titik

Definisi:
16

Misalkan gradien kurva di suatu titik sama dengan


y = f (x) ( x1 , y1 )

gradien dari garis singgung kurva di titik yang diberikan oleh:


( x1 , y1 )

f ( x1 + h) − f ( x1 )
m = lim
h→0 h

Bentuk limit pada ruas kanan dari bentuk di atas tak lain adalah turunan

fungsi di titik . Dengan demikian, gradien garis


y = f (x) ( x1 , y1 )

singgung dapat dituliskan sebagai:


m

atau
m = y ' ( x1 ) = f ' ( x1 ) dy
m=
dx x = x1

Untuk menentukan persamaan garis singgung pada suatu kurva yang

melalui titik dengan gradien adalah:


P( x1 , y1 ) m

y − y1 = m( x − x1 )
15

2) Persamaan Garis Singgung dan Garis Normal

Definisi:

Misalkan fungsi terdeferensialkan pada selang terbuka yang memuat


f I

dan turunan pertama kontinu pada . Persamaan garis singgung


c f' I

pada fungsi di didefinisikan sebagai garis yang melalui titik


f c

dengan gradien yang dirumuskan sebagai:


( c, ( f (c ) ) m gs = f ' (c )

y − f ( x) = m gs ( x − c)

Sedangkan persamaan garis normal pada grafik fungsi di


f c

didefinisikan sebagai garis yang melalui dan tegak lurus pada


( c, ( f ( c ) )
16

garis singgungnya atau mempunyai gradien , yang


1 1
m gn = − =−
f ' (c ) m gs

dapat dirumuskan sebagai:

atau
y − f ( x) = m gn ( x − c ) 1
y − f (c ) = − ( x − c)
m gs

3) Persamaan Garis Singgung dan Garis Normal pada Situasi Khusus

Definisi:

Misalkan fungsi terdeferensialkan pada selang terbuka yang memuat


f I

, kecuali di sendiri dan fungsi kontinu pada , dengan:


c c f' I − { c}

f ( x ) − f (c )
f ' (c) = lim =±∞
x →c x−c

Garis singgung pada kurva di didefinisikan sebagai garis dan


f c x=c

garis normalnya adalah garis .


y = f (c)

a. Fungsi Naik, Fungsi Turun

1) Pengertian Fungsi Naik dan Fungsi Turun


16

Secara matematis, pengertian fungsi naik dan fungsi turun adalah

sebagai berikut:

a. Fungsi dikatakan fungsi naik dalam selang interval apabila


f (x) I

untuk setiap dan dalam selang interval dan maka


x1 jika x 2
naik maka
I x1 < x 2

berlaku . Dalam notasi matematika dapat ditulis:


f ( x1 ) < f ( x 2 )

b. Fungsi dikatakan fungsi turun dalam selang interval apabila


f (x ) I

untuk setiap dan dalam selang interval dan maka


x1 x2 I x1 < x 2

berlaku . Dalam notasi matematika dapat ditulis:


f ( x1 ) > f ( x 2 )

naik jika maka

2) Syarat Fungsi Naik dan Fungsi Turun


16

Dari definisi di atas, syarat agar fungsi dikatakan fungsi


f (x)

naik dan fungsi turun di setiap titik dalam selang interval adalah:
I

a. Fungsi dikatakan fungsi naik dalam interval


f (x)

, jika untuk setiap dalam interval .


I f ' ( x) > 0 x I

a. Nilai Stasioner Suatu Fungsi dan Jenis-jenisnya

1) Pengertian Nilai Stasioner dan Titik Stasioner Suatu Fungsi

a. Titik stasioner atau titik ekstrim suatu fungsi adalah titik pada kurva

di mana gradien garis singgung kurva di titik tersebut bernilai


f (x)

nol.
b. Nilai stasioner atau nilai ekstrim suatu fungsi adalah nilai fungsi di
f

titik stasioner itu.

1) Jenis-jenis Stasioner

Jenis titik stasioner (titik ekstrem) bergantung pada gradien dari kedua sisi

dari titik stasioner. Secara umum ada tiga jenis stasioner, yaitu titik balik

minimum, titik balik maksimum, dan titik belok horizontal.


15

a. Turunan Kedua Suatu Fungsi

Turunan kedua suatu fungsi adalah nilai turunan pertama fungsi yang
y y

diturunkan lagi. Notasi dari turunan kedua adalah:

, , , atau
y" d y d f2 2
f "( x)
dx 2 dx 2

dibaca dua aksen dan dibaca dua aksen .


y" y f "( x) f x

a. berasal dari , yaitu turunan terhadap


d2y d  dy  dy
dx 2 dx  dx  dx

a. Nilai Minimum dan Maksimum Suatu Fungsi

Misalkan, terdefinisi pada selang yang memuat , dan


y = f (x) a< x<b c

dan ada untuk setiap titik pada selang . Misalkan, pula


f ' ( x) f ' ' ( x) a<x<b

sehingga:
f ' (c ) = 0

1) Jika (negatif), adalah nilai balik maksimum.


f ' ' (c ) < 0 f (c)
15

2) Jika (positif), adalah nilai balik minimum.


f ' ' (c ) > 0 f (c)

a. Titik Belok Suatu Fungsi

Teorema:

Jika diberikan kurva yang kontinu, maka:


y = f (x)

a) pada adalah titik stasioner.


dy x = c ⇒ (c, f (c))
=0
dx

b) Titik stasioner disebut titik belok jika untuk .


( c , f (c ) ) d2y x=c
=0
dx 2

c) Secara umum, syarat untuk menentukan titik belok adalah .


f " ( x) = 0

Dengan menyelesaikan ini akan diperoleh absis titik belok.


f " ( x) = 0

a. Aplikasi Turunan dalam Masalah-masalah Ekstrem.

Pembahasan masalah ekstrem fungsi akan diawali dengan

mengemukakan dua masalah ekstrem yang berkaitan dengan geometri dan

aljabar. Melalui contoh-contoh soal yang berkaitan dengan kehidupan sehari-

hari. Dan menyelesaikannya dengan menggunakan konsep dan aturan

differensial (turunan).

A. Acuan Teori Tindakan yang Dipilih


15

1. Model Cooperative Learning

Menurut Slavin pembelajaran kooperatif sebagai:

“cooperative learning method share the idea that students work together to
learn ad are responsible for one another’s learning as well as their own”
(2007:73 dalam Rahayu)

Definisi ini mengandung pengertian bahwa dalam pembelajaran kooperatif

siswa belajar bersama, saling menyumbangkan pikiran dan bertanggung jawab

terhadap pencapaian hasil belajar secara individu maupun kelompok. Perasaan

saling bertanggung jawab ini sering diistilahkan dengan “swim and sink together”.

Sedangkan Cohen menggambarkan pembelajaran kooperatif sebagai:

“cooperative learning will be defined as students working; together in a group


small enough that everyone can participate on a collective task that has been
clearly assigned. Moreover, student are expected to carry out their task
without direct and immediate supervision of the teacher” (1994:3 dalam
Rahayu )

Definisi ini disamping memiliki pengertian luas yang meliputi belajar

berkolaborasi, belajar kooperatif dan kerja kelompok, juga menunjukkan ciri

sosiologis yaitu penekanannya pada aspek tugas-tugas kolektif yang harus

dikerjakan bersama dalam kelompok dan pendelegasian wewenang (authority)

dari guru kepada siswa. Guru berperan sebagai fasilitator dalam membimbing

siswa menyelesaikan materi tugas. Dalam model pembelajaran belajar kooperatif

diharapkan siswa bekerja sama, satu sama lainnya berdiskusi dan berdebat,

menilai kemampuan pengetahuan dan mengisi kekurangan anggota lainnya. Bila

diorganisasikan dengan tepat, siswa dapat bekerja sama dengan yang lainnya

untuk memastikan bahwa setiap siswa dalam kelompok tersebut telah menguasai

konsep yang telah diajarkan. Kelompok kooperatif yang terdiri dari anggota siswa

yang heterogen baik tingkat kepandaian, jenis kelamin, suku dan etnis, diharapkan
16

dapat meningkatkan hubungan antar sosial diantara siswa. Siswa yang

kemampuan tinggi dapat membantu temannya yang berkemampuan rendah

memahami materi pelajaran dengan tutor sebaya. Sehingga siswa dapat mudah

mempelajari materi yang kompleks dan sulit dalam kelompok kooperatif. Proses

belajar dalam kelompok akan membantu siswa menemukan dan membangun

sendiri pemahaman mereka tentang materi pelajaran yang tidak dapat ditemui

pada metode konvensional.

Penekanan model pembelajaran ini adalah meningkatkan keaktifan siswa

membangun pengetahuan dibandingkan siswa pasif mendengarkan guru. Situasi

pembelajaran secara kooperatif di kelas adalah siswa bekerja sama untuk

mencapai tujuan bersama-sama. Cooperative Learning adalah sturuktur

pembelajaran yang menggunakan kelompok kecil sehingga siswa dapat bekerja

sama untuk memaksimalkan apa yang mereka pelajari.

Pandangan konstruktivistik yang merupakan pijakan atau landasan belajar

kooperatif baik secara filosofis maupun pedagogi memberikan wawasan tentang

bagaimana siswa mengkontruksi konsep, mencari makna yang lebih mendalam,

menggali pemahaman baru, dan mengajukan serta menyelesaikan masalah

(Felder, R. M. 1996).

Menurut pandangan ini pada hakekatnya meyakini bahwa pebelajar

merespon pengalaman pancaindera dengan membangun suatu skema atau struktur

kognitif dalam otak mereka. Pokok pikiran pandangan konstruktivis adalah bahwa

pengetahuan diperoleh sebagai akibat dari proses konstruksi yang terus menerus

dimana dicoba mengatur, menyusun dan menata kembali pengalaman-pengalaman

yang dikaitkan dengan struktur kognitif yang dimiliki sehingga struktur kognitif
17

tersebut sedikit demi sedikit dimodifikasi dan dikembangkan. Oleh karena

pengetahuan diciptakan dalam pikiran siswa sebagai hasil interaksi pancaindera

siswa dengan dunianya, maka pengetahuan tidak dapat semata-mata diucapkan

atau ditransfer oleh guru kepada siswa (Piaget dalam Felder, R. M. 1996).

Piaget dalam pembahasan konstruktivis ini menggunakan istilah asimilasi,

akomodasi dan equilibrasi yang digambarkan sebagai mekanisme “self-regulating

internal” yang bekerja melalui dua proses biologis yang saling melengkapi yaitu

asimilasi dan akomodasi. Asimilasi dimaksudkan bahwa kita mengasimilasi dunia

dengan pengertian bahwa kita dalam memandang dunia adalah dengan cara kita

sendiri. Asimilasi dari pola pancaindera ke dalam struktur kognitif merupakan

proses yang konstan sepanjang hidup. Disequilibrasi terjadi bila kita tidak

mengasimilasi pengalaman kita dalam struktur kognitif awal ketika kita

menjumpai permasalahan karena kita tak dapat mencapai tujuan. Equilibrasi

disimpan dengan cara memodifikasi struktur kognitif awal sampai ketidakcocokan

tersebut dapat diatasi. Proses dimana struktur kognitif awal dimodifikasi untuk

disesuaikan dengan data yang baru diasimilasi disebut akomodasi.

Teori konstruktivisme yang dikembangkan oleh Vygotsky dinamakan

konstruktivisme sosial karena menitikberatkan pada interaksi antara individu

dengan lingkungan sosialnya. Melalui interaksi dengan lingkungannya misalnya

melalui diskusi dalam belajar kelompok dapat terjadi rekonstruksi pengetahuan

seseorang. Perubahan konsepsi anak dari prakonsepsi yaitu konsepsi yang

diperoleh dari pengalaman sehari-hari, teman atau orang tua, dapat juga

direkonstruksi setelah ia menjalani proses belajar melalui guru pada pendidikan

formal. Manusia menggunakan bahasa yang merupakan konstruksi sosial untuk


18

mengungkapkan apa yang telah dilakukan dan apa yang diketahui. Belajar

matematik hanya mungkin karena adanya perkembangan bahasa dan simbol untuk

mnggambarkan konsep-konsep matematika itu sendiri. Pengetahuan bukan

merupakan pikiran seseorang yang bertindak terpisah dari orang lain dalam

masyarakat, melainkan hasil dari kepemilikan kultur, mencoba mengerti

kehidupan dalam kultur tersebut, menggunakan bahasa dan konsep-konsep yang

muncul untuk mengkonstruksi model-model teoritis dalam domain matematika.

Untuk belajar dan paham apa yang terjadi terletak pada si pebelajar itu

sendiri, yang memerlukan waktu untuk mengalami, merefleksikaan pengalaman

yang dikaitkan dengan pengetahuan awal mereka untuk menyelesaikan berbagai

permasalahan yang muncul. Tentunya hal ini bagi pebelajar memerlukan waktu

untuk mengklarifikasi, mengelaborasi, mendeskripsikan, membandingkan,

menegosiasikan dan mencapai konsensus mengenai makna suatu pengalaman bagi

mereka yang melibatkan bahasa yang dapat disumbangkan melalui diskusi dengan

pebelajar lainnya.

Dalam pembelajaran kooperatif siswa belajar dan bekerja sama dalam

kelompok- kelompok kecil yang terdiri dari tiga sampai empat orang. Hal ini

dimaksudkan agar interaksi siswa menjadi maksimal dan efektif. Harus disadari

juga bahwa tidak semua kelompok menjadi kelompok kooperatif. Ada kelompok

semu, dan kelompok tradisional. Sebagai contoh kelompok belajar biasa,

kelompok kerja di laboratorium, dan kelompok membaca merupakan merupakan

suatu kelompok namun tidak selalu merupakan kelompok kooperatif.

Pembelajaran kooperatif tidak semata-mata meminta siswa bekerja secara

kelompok dengan cara mereka sendiri. Siswa yang bekerja dalam kelompok
19

mungkin akan menunjukkkan hasil belajar yang rendah, karena hanya beberapa

siswa saja yang bekerja keras dalam menyelesaikan materi tugas sedangkan siswa

lainnya bersikap pasif. Oleh karena itu, tugas seorang guru adalah mengatur siswa

dalam kelompok belajar yang benar-benar kooperatif.

2. Karakteristik dan Prinsip-prinsip Model Cooperative Learning

a. Karakteristik Model Cooperative Learning

Model cooperative learning berbeda dengan model pembelajaran yang

lain. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari proses pembelajaran yang lebih

menekankan kepada proses kerja sama dalam kelomppok. Tujuan yang ingin

dicapai tidak hanya kemampuan akademik dalam penguasaan bahan pelajaran,

tetapi juga adanya unsur kerja sama untuk penguasaan materi tersebut. Adanya

kerja sama inilah yang merupakan ciri khas dari pembelajaran kooperatif.

Slavin, Abrani, dan Chambers (2006:244 dalam Sanjaya) berpendapat

bahwa belajar secara kooperatif dapat dijelaskan dari beberapa perspektif,

perspektif motivasi, perspektif sosial, perspektif perkembangan kognitif, dan

perspektif elaborasi kognitif. Dengan demikian, karakteristik model cooperative

learning dapat dijelaskan sebagai berikut.

1) Pembelajaran secara tim

Pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran secara tim. Tim merupakan

tempat untuk mencapai tujuan. Oleh karena itu, tim harus mampu membuat setiap

siswa belajar. Semua anggota tim (anggota kelompok) harus saling membantu

untuk mencapai tujuan pembelajaran.


16

Setiap kelompok bersifat heterogen. Artinya, kelompok terdiri atas

anggota yang memiliki kemampuan akademik, jenis kelamin, dan latar belakang

sosial yang berbeda. Hal ini dimaksudkan agar setiap anggota kelompok dapat

saling memberi dan menerima (memberi pengalaman), sehingga dapat memberi

kontribusi terhadap keberhasilan kelompok.

2) Didasarkan pada manajemen kooperatif

Seperti pada umumnya, manajemen memiliki empat fungsi pokok, yaitu

fungsi perencanaan, organisasi, pelaksanaan, dan kontrol. Demikian juga dalam

model cooperative learning. Fungsi perencanaan menunjukkan bahwa

pembelajaran kooperatif memerlukan perencanaan dan persiapan yang matang

agar proses pembelajaran berjalan secara efektif. Fungsi pelaksanaan

menunjukkan bahwa pembelajaran kooperatif harus dilaksanakan sesuai dengan

perencanaa, melalui langkah-langkah pembelajaran yang telah ditentukan. Fungsi

organisasi menunjukkan bahwa pembelajaran kooperatif merupakan pekerjaan

bersama oleh setiap anggota kelompok. Fungsi kontrol menunjukkan bahwa

dalam pembelajaran kooperatif perlu ditentukan kriteria keberhasilan yang akan

dicapai.

3) Kemampuan untuk bekerja sama

Keberhasilan pembelajaran kooperatif ditentukan oleh keberhasilan secara

kelompok. Oleh karena itu, prinsip bekerja sama perlu ditekankan dalam proses

pembelajaran kooperatif. Setiap anggota kelompok bukan saja harus diatur oleh

tugas dan tanggung jawab masing-masing, akan tetapi juga ditanamkan perlunya

saling membantu. Misalnya, yang pintar membantu yang kurang pintar.


16

4) Keterampilan bekerja sama

Kemampuan untuk bekerja sama itu kemudian diaplikasikan melalui

aktivitas dan kegiatan yang nampak dalam keterampilan bekerja sama. Sehingga,

siswa harus dimotivasi untuk ingin dan mampu untuk berinteraksi dan

berkomunikasi dengan anggota lain.

a. Prinsip-prinsip Model Cooperative Learning

Menurut Roger and Johnson (1988:6 dalam Lawrence Lyman dan Harvey

C .Foyle), terdapat lima prinsip dasar model cooperative learning, seperti yang

dijelaskan di bawah ini.

1. Saling Ketergantungan Positif (Positive Interdependence)

Siswa harus merasa bahwa mereka saling tergantung secara positif dan

saling terikat antar sesama anggota kelompok. Mereka merasa tidak akan sukses

bila siswa lainnya juga tidak sukses. Dengan demikian, materi tugas haruslah

mencerminkan aspek saling ketergantungan seperti dalam hal tujuan belajar,

sumber belajar, peran kelompok dan penghargaan.

Menurut Let Vygotsky (Lawrence Lyman, At All, 1988:7) ada lima aspek

dalam mengkondisikan Positive Interdependence, yaitu:

a) Ketergantungan tujuan (Goal Interdependence), setiap anggota kelompok

harus memberikan sumbangan kepada kelompoknya dengan cara

menyelesaikan bagian yang berbeda dalam tugas kelompoknya.


15

b) Ketergantungan peran (Role Interdependence), setiap anggota kelompok

memiliki peran dan setiap peran itu adalah penting

c) Ketergantungan sumber belajar (Resource Interdependence), setiap anggota

kelompok memiliki sumber belajar yang diperlukan dan diharapkan sumber

belajar tersebut berbeda satu dengan yang lainnya.

d) Ketergantungan lingkungan (Environment Interdependence), setiap anggota

kelompok menggunakan peralatan/sarana fisik secara bersama-sama. Misalnya

siswa menggunakan satu meja untuk setiap kelompok

e) Ketergantungan penghargaan (Reward Interdependence), penghargaan yang

diperoleh oleh salah satu kelompok akan mempengaruhi penghargaan pada

kelompoknya.

1. Interaksi Tatap Muka (Face-to-Face Promotive Interaction)

Hasil belajar yang terbaik dapat diperoleh dengan cara adanya komunikasi

verbal antar siswa yang didukung oleh saling ketergantungan positif. Belajar

kooperatif membutuhkan siswa untuk bertatap muka satu dengan yang lainnya

dan berinteraksi secara langsung. Siswa harus saling berhadapan dan saling

membantu dalam pencapaian tujuan belajar, dan sumbangan pemikiran dalam

pemecahan masalah. Selain itu siswa juga harus mengembangkan ketrampilan

ketrampilan berkomunikasi secara efektif.

2. Pertanggungjawaban Individu (Individual Accountability/Personal


Responsibility)

Agar siswa dapat menyumbang, membantu satu sama lain, setiap siswa

harus menguasai materi ajar. Dengan demikian setiap angota kelompok


16

bertanggung jawab untuk mempelajari materi dan bertanggung jawab pula

terhadap hasil belajar kelompok. Dengan cara ini prestasi setiap siswa dapat

dimaksimalkan. Karena belajar kooperatif mirip dengan belajar tuntas, maka guru

perlu mengetahui kemampuan setiap siswa secara individu.

3. Ketrampilan Berinteraksi Antar Individu dan Kelompok (Interpersonal and


Small-Group Skills)

Ketrampilan sosial sangat penting dalam pembelajaran kooperatif dan

harus diajarkan kepada siswa. Selain itu siswa harus dimotivasi untuk

menggunakan ketrampilan berinteraksi (keterampilan berkomunikasi) yang benar

sebagai bagian dari proses belajar, baik secara individu maupun dalam kelompok.

Sehingga siswa perlu dibekali dengan kemampuan-kemampuan berkomunikasi.

Misalnya, cara menyatakan ketidaksetujuan, cara menyanggah pendapat orang

lain secara santun, tidak memojokkan, dan cara menyampaikan ide/gagasan.

4. Keefektifan Proses Kelompok (Group Processing)

Siswa memproses kefektifan kelompk belajar mereka dengan cara

menjelaskan tindakan mana yang dapat menyumbang belajar dan mana yang

tidak, dan membuat keputusan terhadap tindakan yan bisa dianjutkan atau yang

perlu diubah. Proses kelompok terjadi baik dalam kelompok kecil maupun

diseluruh kelas. Fase- fase dalam proses ini meliputi umpan balik, refleksi dan

peningkatan kualitas kerja.

Menurut Lawrence Lyman, (1988: 25) model cooperative learning

memiliki tujuh unsur dasar yaitu : 1) setiap siswa/anggota kelompok harus merasa
16

bahwa mereka “sink or swim together”, 2) setiap anggota bertanggung jawab

terhadap tugas kelompoknya, 3) setiap anggota harus mengetahui bahwa mereka

mempunyai tujuan yang sama, 4) setiap anggota mempunyai tugas dan tanggung

jawab yang sama/seimbang di antara anggota kelompok, 5) evaluasi dan

penghargaan diberikan kepada semua anggota kelompok, 6) adanya

kepemimpinan kolektif, 7) setiap anggota bertanggung jawab terhadap

penyelesaian tugasnya dalam kelompok kooperatif.

1. Sintaks dan Jenis-Jenis Model Cooperative Learning

Agar pembelajar kooperatif dapat diterapkan dengan baik, seorang guru

perlu melakukan 3 langkah yaitu: persiapan, proses belajar dan evaluasi (Yusuf,

2003).

a. Persiapan

Sebelum siswa bekerja dalam kelompok guru harus melakukan persiapan

sebagai berikut:

1) Menentukan tujuan belajar

Dengan cara menentukan materi yang akan dipelajari atau tugas-tugas

yang harus diselesaikan dan ketrampilan kolaborasi yang digunakan dalam

kelompok.

2) Membagi siswa kedalam kelompok-kelompok

Guru harus memperhatikan variasi dalam kelompok berdasarkan

kemampuan akademik, jenis kelamin, dan latar belakang ras (suku). Guru
16

disarankan untuk memaksimalkan heterogenitas siswa dan kelompok, karena akan

timbul cara berpikir elaborasi, mendengar dan memberikan penjelasan lebih

sering dalam kelompok yang heterogen

3) Menjelaskan tugas

Dalam hal ini ada dua aspek tugas yaitu tugas akademik dan tugas sosial.

Tugas akademik mengacu pada hal-hal yang harus dimiliki siswa untuk

menyelesaikan materi tugas. Tugas sosial meliputi penentuan peran siswa dan

aturan-aturan yang harus diikuti oeh kelompok

b. Proses Belajar

Menurut Van der Kley dalam Yusuf (2003:37) peranan guru selama

belajar kooperatif adalah sebagai fasilitator yaitu:

1) Membantu siswa untuk menyelesaikan tugas

Secara khusus guru mengelilingi kelompok dan melakukan hal-hal berikut:

a. Mengusulkan cara lain dalam memecahkan masalah atau mencari jawaban.

b. Mengarahkan siswa untuk kembali ke sumber belajar semula dalam proses

pemecahan masalah.

c. Memberikan umpan balik yang positif terhadap usaha-usaha siswa dalam

menyelesaikan tugas.

1) Membantu siswa bekerja secara kooperatif


16

Kadang-kadang siswa cenderung bekerja secara individu daripada

kooperatif. Kecenderungan ini terjadi bila belajar kooperatif merupakan gaya

belajar yang baru bagi siswa. Untuk meningkatkan usaha kooperatif, guru harus

memacu siswa untuk:

a. Saling menyebut nama setiap anggota kelompok

b. Memusatkan pada tugas-tugas belajar

c. Saling menanyakan tugas antar siswa

d. Saling memberi semangat satu sama lain

e. Merefleksi dan mengecek pernyataan anggota kelompok

a. Evaluasi

Ada dua macam evaluasi yang harus dilakukan guru yaitu evaluasi hasil

belajar dan evaluasi ketrampilan berkolaborasi.

1) Evaluasi hasil belajar

Evaluasi jenis ini digunakan untuk menilai pencapaian tujuan belajar

kelompok dan memfokuskan pada penilaian aspek akademik. Hasil belajar yang

dinilai dari evaluasi ini mungkin berupa suatu laporan, satu set jawaban kelompok

yang disetujui oleh semua anggotanya, rata-rata skor ujian individu atau sejumlah

anggota kelompok yang mencapai kriteria tertentu. Cara untuk menilai hasil

belajar dalam belajar kooperatif yaitu:

a. Setiap anggota kelompok mendapat nilai yang sama dengan nilai kelompok
15

b. Setiap siswa diberikan tugas atau tes perorangan setelah kegiatan belajar

kooperatif berakhir

c. Seorang siswa atas nama kelompoknya bisa dipilih secara acak untuk

menjelaskan pemecahan materi tugas

d. Nilai setiap kelompok ditalus dan dibagi untuk mendapatkan nilai rata-rata

kelompok

e. Beberapa topik atau aktifitas yang menggunakan belajar kooperatif mungkin

tidak memerlukan nilai. Dalam hal ini penghargaan kepada siswa dapat

diberikan dalam bentuk lain misalnya memilih dan menunjukkan kepada

seluruh siswa salah satu tugas yang terbaik

2) Evaluasi ketrampilan berkolaborasi

Evaluasi ini bertujuan untuk menemukan seberapa baik siswa bekerja

dalam suatu kelompok. Untuk mengevaluasinya guru harus mengelilingi masing-

masing kelompok dan mencatat apakah kelompok telah menggunakan

ketrampilan kooperatif. Catatan nilai observasi dipersiapkan dalam hal bagaimana

anggota kelompok melaksanakan ketrampilan berkolaborasi seperti

mendengarkan dan melihat pada pembicara, memberi semangat pada anggota

kelompok yang lain, meninjau jawaban dan pertanyaan yang diberikan dan

sebagainya.

Adapun jenis-jenis pembelajaran kooperatif Student Team Achievement

Division (STAD), Jigsaw, Numbered Heads Together (NHT), Teams Games-


16

Tournament (TGT), Group Investigation (GI), dan Team Assisted

Individuallization atau Team Accelerated Instruction (TAI), (Krismanto, 2003).

a. Student Team Achievement Division (STAD)

Metode pengajaran STAD (Student Teams Achievement Division) adalah

salah satu metode pengajaran yang dikemukakan oleh Slavin, RE (1985). Metode

pengajaran ini merupakan teori belajar konstruktivisme yang berdasarkan pada

teori belajar kognitif. Dalam hal ini para pendidik berfungsi sebagai fasilitator

bukan sebagai pemberi informasi. Pendidik cukup menciptakan kondisi

lingkungan belajar yang kondusif bagi peserta didiknya.

Secara umum pembelajaran kooperatif STAD terdiri dari lima komponen

utama, yaitu :

1) Presentasi kelas

Materi dalam STAD adalah pengenalan awal dalam presentasi kelas.

Presentasi kelas ini bisa dilakukan secara pengajaran langsung / pengajaran

diskusi dengan guru, tetapi bisa juga dalam acara presentasi dengan

menggunakan audiovisual. Presentasi kelas dalam STAD berbeda dengan

pengajaran pada umumnya, karena dalam STAD ada penekanan suatu materi.

Dengan cara ini, siswa dituntut untuk bersungguh-sungguh dalam

memperhatikan materi yang diberikan oleh guru dalam presentasi kelas,

karena akan membantu dalam mengerjakan kuis dan menentukan skor dari

pengerjaan kuis yang nantinya akan mempengaruhi skor dari tim mereka.
15

2) Tim / kelompok

Tim terdiri dari 4 – 5 siswa yang mewakili bagiannya dari kelas dalam

menjalankan aktivitas, baik akademik, jenis kelamin, dan suku atau ethnik.

Fungsi utama dari tim adalah membentuk semua tim agar mengingat materi

yang telah diberikan dan lebih memahami materi yang nantinya digunakan

dalam persiapan mengerjakan kuis sehingga bisa mengerjakan dengan baik.

Sesudah guru mempresentasikan materi, tim segera mempelajari lembar kerja

atau materi yang lain. Dalam hal ini siswa biasanya menggunakan cara

pembelajaran diskusi tentang masalah-masalah yang ada, membandingkan

soal-soal yang ada dan mengoreksi beberapa miskonsepsi jika dalam tim

mengalami kesalahan. Tim merupakan hal yang penting yang perlu

ditonjolkan dalam STAD. Dalam setiap langkah, titik beratnya terletak pada

ingatan tim agar bisa bekerja yang terbaik demi timnya dan cara yang terbaik

dalam tim adalah dengan adanya kerja sama yang baik.

3) Kuis

Setelah kurang lebih 1 – 2 periode dari presentasi guru dan 1 – 2 periode dari

kerja tim, siswa mengerjakan kuis secara sendiri-sendiri / individu. Siswa

tidak diijinkan meminta bantuan pada siswa lain dalam mengerjakan kuis. Hal

ini digunakan untuk mengetahui pemahaman materi setiap individu.

4) Skor perbaikan individu

Maksud dari perbaikan skor individu ini adalah memberikan nilai pada setiap

siswa yang dapat dicapai jika mereka bekerja keras dan mengerjakannya

hingga selesai. Beberapa siswa dapat memperoleh nilai maksimal untuk

kelompoknya dalam memberikan skor, tetapi tidak semua siswa dapat


16

mengerjakan dengan baik. Masing-masing siswa diberikan skor “cukup” yang

berasal dari rata-rata siswa pada kuis yang sama. Setelah siswa mendapatkan

nilai, maka siswa berhak mendapatkan urutan tingkatan nilai dari skor kuis

dan berusaha untuk melampaui skor cukup.

5) Pengakuan kelompok

Tim akan mendapatkan sertifikat/penghargaan atau sejenisnya jika dapat

melampaui kriteria yang telah ditentukan. Skor tim siswa akan digunakan

untuk menentukan tingkatan kemampuan pemahaman mereka.

a. Jigsaw

Menurut Aronson dalam Krismanto (2005:16), teknik Jigsaw terdiri dari

beberapa langkah yaitu:

a. Membagi topik dalam beberapa bagian (sub topik).

b. Membagi siswa ke dalam kelompok-kelompok yang terdiri atas 4 sampai 6

orang per kelompok dengan cara secara heterogen mungkin dengan memilih

salah satu siswa sebagai ketua kelompoknya (biasanya siswa yang cukup

menonjol).

c. Menugaskan setiap siswa untuk mempelajari satu sub topik pelajaran.

d. Memberi siswa waktu untuk mempelajari apa yang menjadi bagiannya.

e. Membentuk kelompok ahli (expert) sementara, yaitu siswa yang memiliki

bagian sub topik yang sama membentuk kelompok ahli. Pada tahap ini diberi

waktu kepada kelompok ahli ini untuk mendiskusikan konsep-konsep utama


16

yang ada dalam topik bagiannya dan berlatih menyajikan topik yang

dipelajari tersebut kepada temannya dalam kelompok semula.

f. Meminta siswa untuk kembali ke kelompoknya semula dan meminta setiap

siswa untuk mempresentasikan topik bagiannya. Siswa lain dibri kesempatan

untuk mengajukan pertanyaan sebagai klarifikasi. Guru mengelilingi satu

kelompok ke kelompok lain untuk mengamati proses. Jika ada kelompok yang

mengalami kesulitan (misalnya ada anggota yang mendominasi atau

mengganggu) guru dapat melakukan intervensi, namun yang terbaik adalah

ketua kelompok dapat melakukan tugas ini.

g. Pada akhir pelajaran, berikan soal/kuis untuk materi yang telah dipelajari.

h. Memberikan penghargaan kelompok seperti pada teknik STAD.

a. Numbered Heads Together (NHT)

Model ini dikembangkan oleh Spencer Kagan (dalam Nurhadi Senduk

2004) dengan melibatkan para siswa dalam mereview bahan yang tercakup dalam

suatu pelajaran dan mengecek pemahaman mereka mengenai isi materi pelajaran

tersebut. Sebagai pengganti pertanyaan langsung kepada seluruh kelas, guru

menggunakan langkah sebagai berikut:

1) Langkah 1: Penomoran (Numbering)

Guru membagi siswa ke dalam beberapa kelompok yang beranggotakan 3-5

orang dan memberi mereka nomor sehingga setiap siswa dalam kelompok

tersebut mempunyai nomor yang berbeda

2) Langkah 2: Pengajuan Pertanyaan (Questioning)


16

Guru mengajukan pertanyaan kepada para siswa. Pertanyan dapat bervariasi

dari yang bersifat spesifik hingga yang bersifat umum

3) Langkah 3: Berpikir Bersama (Head Together)

Para siswa berpikir bersama untuk menggambarkan dan meyakinkan bahwa

tiap orang mengetahui jawaban tersebut

4) Langkah 4: Pemberian Jawaban (Answering)

Guru menyebut satu nomor dan para siswa setiap kelompok dari nomor yang

sama mengangkat tangan dan menyiapkan jawaban untuk seluruh kelas.

a. Teams Games-Tournament (TGT)

Model pembelajaran ini pada dasarnya sama dengan STAD, perbedaannya

pada model TGT tidak terdapat kuis tapi ada pertandingan akademik atau

perlombaan. Aktifitas belajar dengan perlombaan yang dirancang memungkinkan

siswa dapat belajar lebih bersemangat dan bergairah disamping menumbuhkan

tanggungjawab, kerjasama, persaingan serta keterlibatan belajar. Pembelajaran

model TGT ini mempunyai kelebihan yaitu: keterlibatan siswa dalam belajar

tinggi, siswa menjadi bersemangat dalam belajar, pengetahuan siswa bukan hanya

semata-mata dari guru tapi melalui konstrukksi sendiri oleh siswa, dapat

menumbuhkan sikap-sikap positif dalam diri siswa seperti kerjasama, toleransi,

bisa menerima pendapat orang lain dan lain-lain, sedangkan kelemahannya bagi

para guru membutuhkan waktu yang relatif lama, butuh sarana prasarana yang

memadai, dapat menimbulkan suara gaduh dan siswa terbiasa belajar bila

diberikan hadiah.
15

b. Group Investigation (GI)

Model ini dirancang oleh Herbert Thelen dan dikembangkan oleh Sharan

dan kawan-kawan dari Universitas Tel Aviv. Dibanding dengan model kooperatif

lainnya, model GI dianggap paling kompleks dan paling sulit karena melibatkan

siswa sejak perencanaan, baik dalam menentukan topik maupun cara untuk

mempelajarinya melalui investigasi. Metode ini menuntut para siswa untuk

memiliki kemampuan yang baik dalam berkomunikasi maupun ketrampilan

proses kelompok. Para guru yang menggunakan metode GI umumnya membagi

kelas menjadi beberapa kelompok yang beranggotakan 5-6 orang dengan

karakteristik yang heterogen. Pembagian kelompok dapat juga berdasarkan

kesenangan berteman atau kesamaan minat terhadap topik tertentu. Para siswa

memilih topik yang akan dipelajarinya, mengikuti investigasi mendalam terhadap

sub topik yang dipilih, kemudian menyiapkan dan menyajikan laporan di depan

kelas secara keseluruhan. Langkah-langkah model GI dapat dijelaskan sebagai

berikut:

1) Seleksi topik

Para siswa memilih berbagai sub topik dalam wilayah umum yang

digambarkan lebih dulu oleh guru. Selanjutnya siswa diorganisasi menjadi

kelompok-kelompok yang berorientasi pada tugas yang beranggotakan 2-6

orang

2) Merencanakan kerjasama

Para siswa dan guru merencanakan prosedur belajar khusus, tugas dan tujuan

umum yang konsisten dengan berbagai topik dan sub topik yang telah dipilih

pada langkah (a) di atas.


15

3) Implementasi

Para siswa melaksanakan rencana yang telah dirumuskan pada langkah (b).

Pembelajaran melibatkan berbagai aktifitas dan ketrampilan dengan

mendorong siswa untuk menggunakan berbagai sumber. Guru terus- menerus

mengikuti kemajuan tiap kelompok dan memberikan bantuan jika diperlukan

4) Analisis dan sintesis

Para siswa menganalisis dan mensintesis berbagai informasi yang diperoleh

pada langkah (c) dan meringkasnya yang akan disajikan di depan kelas

5) Penyajian hasil akhir

Semua kelompok menyajikan hasilnya dari berbagai topik tersebut agar siswa

dalam kelas saling terlibat dengan guru mengkoordinasi presentasi kelompok-

kelompok tersebut.

6) Evaluasi

Guru dan siswa melakukan evaluasi mengenai kontribusi tiap kelompok

terhadap pekerjaan kelas sebagai suatu keseluruhan. Evaluasi dapat mencakup

tiap siswa secara individu, kelompok atau keduanya.

a. Team Assisted Individuallization atau Team Accelerated Instruction


(TAI)

Merupakan gabungan pembelajaran individual dan kelompok belajar.

Dengan TAI siswa bekerja dalam tim yang heterogen bersama dengan siswa lain

yang bekerja dengan metode pembelajaran yang berbeda, tetapi siswa

mempelajari materi secara individual. Anggota tim saling memeriksa pekerjaan

dari masing-masing kertas jawaban. Model pembelajaran ini biasa digunakan


16

dalam pengajaran matematika. Skor tim didasarkan pada angka rata-rata dari

satuan yang diselesaikan setiap minggu oleh anggota tim dan didasarkan pada

akurasi satuan-satuan pelajaran.

4.Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw

Pembelajaran kooperatif tipe jigsaw adalah suatu model cooperative

learning yang terdiri dari beberapa anggota dalam satu kelompok yang

bertanggung jawab atas penguasaan bagian materi belajar dan mampu

mengajarkan bagian tersebut kepada anggota lain dalam kelompoknya.

Model cooperative learning tipe Jigsaw merupakan model cooperative

learning, dengan siswa belajar dalam kelompok kecil yang terdiri dari 4–6 orang

secara heterogen dan bekerjasama saling ketergantungan yang positif dan

bertanggung jawab atas ketuntasan bagian materi pelajaran yang harus dipelajari

dan menyampaikan materi tersebut kepada anggota kelompok yang lain

Jigsaw didesain untuk meningkatkan rasa tanggung jawab siswa terhadap

pembelajarannya sendiri dan juga pembelajaran orang lain. Siswa tidak hanya

mempelajari materi yang diberikan, tetapi mereka juga harus siap memberikan

dan mengajarkan materi tersebut pada anggota kelompoknya yang lain. Dengan

demikian, “siswa saling tergantung satu dengan yang lain dan harus bekerja sama

secara kooperatif untuk mempelajari materi yang ditugaskan” (Krismanto, 2003).

Para anggota dari tim-tim yang berbeda dengan topik yang sama bertemu untuk

diskusi dalam tim ahli (ekspert) saling membantu satu sama lain tentang topik
16

pembelajaran yang ditugaskan kepada mereka. Kemudian siswa-siswa itu kembali

pada tim/kelompok asal untuk menjelaskan kepada anggota kelompok yang lain

tentang apa yang telah mereka pelajari sebelumnya pada pertemuan tim ahli.

Pada model cooperative learning tipe jigsaw, terdapat “kelompok asal” dan

“kelompok ahli”. Kelompok asal, yaitu kelompok induk siswa yang

beranggotakan siswa dengan kemampuan, asal, dan latar belakang keluarga yang

beragam. Kelompok asal merupakan gabungan dari beberapa ahli. Kelompok ahli,

yaitu kelompok siswa yang terdiri dari anggota kelompok asal yang berbeda yang

ditugaskan untuk mempelajari dan mendalami topik tertentu dan menyelesaikan

tugas-tugas yang berhubungan dengan topiknya untuk kemudian dijelaskan

kepada anggota kelompok asal. Hubungan antara kelompok asal dan kelompok

ahli diperlihatkan pada gambar 2.1 di bawah ini (Yusuf, 2003).

Kelompok Asal

♣ ♥ ♣ ♥ ♣ ♥ ♣ ♥

♠ ♦ ♠ ♦ ♠ ♦ ♠ ♦

♣ ♣ ♥ ♥ ♠ ♠ ♦ ♦

♣ ♣ ♥ ♥ ♠ ♠ ♦ ♦

Kelompok Ahli

Gambar 2.1: Ilustrasi Kelompok Jigsaw

Para anggota dari kelompok asal yang berbeda, bertemu dengan topik yang

sama dalam kelompok ahli untuk berdiskusi dan membahas materi yang
15

ditugaskan pada masing-masing anggota kelompok serta membantu satu sama lain

untuk mempelajari topik mereka tersebut. Setelah pembahasan selesai, para

anggota kelompok kemudian kembali pada kelompok asal dan mengajarkan pada

teman sekelompoknya apa yang telah mereka dapatkan pada saat pertemuan di

kelompok ahli. Jigsaw didesain selain untuk meningkatkan rasa tanggung jawab

siswa secara mandiri juga dituntut saling ketergantungan yang positif (saling

memberi tahu) terhadap teman sekelompoknya. Selanjutnya di akhir

pembelajaran, siswa diberikan soal baik lisan maupun tulisan secara individu yang

mencakup topik materi yang telah dibahas. Kunci tipe Jigsaw ini adalah

interdependensi setiap siswa terhadap anggota tim yang memberikan informasi

yang diperlukan dengan tujuan agar dapat mengerjakan setiap soal yang diberikan

dengan baik.

Menurut Arends, R. (Khaeruddin dan Sujiono, 2008:39), sintaks

cooperative learning tipe jigsaw diperlihatkan pada tabel 2.1 berikut ini.

Tabel 2.1: Sintaks Model Cooperative Tipe Jigsaw

Fase Tingkah Laku Guru


Fase 1: Menyampaikan tujuan pembelajaran (atau
indikator hasil belajar), pengalaman belajar yang
Menyampaikan tujuan akan dicapai oleh siswa, memotivasi siswa, dan
mengaitkan pelajaran sekarang dengan yang
pembelajaran dan
terdahulu.
memotivasi siswa.
Fase 2: Menyajikan informasi kepada siswa dengan jalan
demontrasi atau melalui bacaan.
Menyajikan informasi
Fase 3: • Menyampaikan kepada siswa bahwa akan
dibentuk kelompok belajar.
Mengorganisasikan siswa ke • Mengorganiasasikan siswa ke dalam
kelompok-kelompok belajar secara
dalam kelompok-kelompok
heterogen.
belajar. • Menyampaikan kepada siswa bahwa
setiap anggota kelompok mempunyai
tanggung jawab untuk mempelajari bagian
15

tertentu dalam subpokok bahasan materi


yang akan dipelajari.
• Menginformasikan kepada siswa bahwa
setiap anggota kelompok yang telah
mempelajari salah satu bagian dari
subpokok bahasan (topik) akan menjadi
ahli dalam topik materi yang
dipelajarinya.
Fase 4: • Mengelompokkan setiap anggota
kelompok yang mempelajari topik
Diskusi kelompok (materi) yang sama menjadi kelompok
expert (tim ahli), untuk membahas topik
(materi) melalui diskusi.
• Membimbing kelompok-kelompok belajar
pada saat siswa sedang mengadakan
diskusi dalam kelompok ahli (tim ahli).
• Menyampaikan kepada setiap anggota
kelompok diskusi untuk kembali ke
kelompok asal, setelah diskusi selesai.
• Meminta siswa untuk mempresentasikan
hasil diskusinya secara bergiliran dalam
kelompok masing-masing, kemudian
dilanjutkan dengan diskusi.
Fase 5: • Mengevaluasi hasil belajar tentang materi
yang telah dipelajari.
Evaluasi • Meminta siswa untuk
membuat rangkuman
dari hasil diskusi
kelompoknya.
Fase 6: Guru memberikan penghargaan kepada siswa
yang berprestasi untuk menghargai upaya dan
Memberikan penghargaan hasil belajar siswa, baik secara individu maupun
secara kelompok.

Sumber: Khaeruddin dan Sujiono, E.H. (2008). Model-Model


Pembelajaran Sains (Modul Pendidikan dan Latihan Profesi
Guru Rayon 24). Makassar: UNM.

Sehubungan dengan hal tersebut, Slavin (dalam Yusuf, 2003:60)

mengatakan bahwa untuk melaksanaan cooperative learning tipe jigsaw, disusun

langkah-langkah pokok sebagai berikut; (1) pembagian tugas, (2) pemberian

lembar ahli, (3) mengadakan diskusi, (4) mengadakan evaluasi, (5) memberi

penghargaan. Adapun rencana pembelajaran kooperatif tipe jigsaw ini diatur

secara instruksional sebagai berikut:


15

1. Membaca dan Mempelajari: siswa memperoleh topik-topik ahli dan membaca

materi tersebut untuk mendapatkan informasi.

2. Diskusi kelompok ahli: siswa dengan topik-topik ahli yang sama bertemu

untuk mendiskusikan topik tersebut.

3. Diskusi kelompok: ahli kembali ke kelompok asalnya untuk menjelaskan

topik pada kelompoknya.

4. Evaluasi: siswa memperoleh soal individu yang mencakup semua topik.

5. Penghargaan kelompok: penghitungan skor kelompok dan

menentukanpenghargaan kelompok.

Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Lila, M. (2007), memberikan

langkah-langkah (sintaks) pembelajaran cooperatif learning tipe jigsaw sebagai

berikut:

Tabel 2.2: Langkah-langkah Model Cooperative Tipe Jigsaw

Sintaks Kegiatan Guru Kegiatan Siswa Waktu


1. • M Memperhatikan dan 5’
e mengingat kembali
n masalah-masalah yang
y pernah dialami terkait
a dengan materi yang
m disampaikan.
p
a
i
k
a
Eksplorasi n
t
u
j
u
a
n
p
e
m
b
16

e
l
a
j
a
r
a
n
d
a
n
m
e
m
b
e
ri
m
o
ti
v
a
s
i
k
e
p
a
d
a
s
i
s
w
a
.
• M
e
n
g
g
a
li
p
e
n
g
e
t
a
h
u
15

a
n
a
w
a
l
s
i
s
w
a
1. • M • M 25’
e
m • B
i
n • B
t
a
s
i
s
w
a
u
Ekspansi I n
(Siswa t
berada u
pada k
kelompok m
asal I) a
s
u
k
p
a
d
a
k
e
l
o
m
p
o
k
n
y
a
m
a
s
i
16

n
g
-
m
a
s
i
n
g
.
• M
e
m
b
a
g
i
m
a
t
e
ri
b
e
r
u
p
a
L
e
m
b
a
r
K
e
g
i
a
t
a
n
S
i
s
w
a
(
L
K
S
)
16

d
a
n
B
u
k
u
T
e
k
s
t
e
r
k
a
it
m
a
t
e
ri
p
e
l
a
j
a
r
a
n
.
• M
e
n
y
u
r
u
h
s
i
s
w
a
u
n
t
u
k
m
e
16

m
b
a
c
a
,
d
a
n
m
e
m
p
e
l
a
j
a
ri
B
u
k
u
T
e
k
s
y
a
n
g
t
e
l
a
h
d
i
b
a
g
i
k
a
n
.
• M
e
l
a
k
u
15

k
a
n
o
b
s
e
r
v
a
s
i
d
a
n
m
e
n
g
a
m
a
ti
a
k
ti
v
it
a
s
s
i
s
w
a
.
1. • M • B 25’
e
m • M
i
n
t
a
k
e
p
(Siswa berada a
dalam d
kelompok a
ahli/tim ahli s
(expert) e
ti
16

a
p
s
i
s
w
a
u
n
t
u
k
d
u
d
u
k
d
a
l
a
m
s
a
t
u
k
e
l
o
m
p
o
k
/t
i
m

a
h
li
(
e
x
p
e
rt
)
y
a
n
g
17

m
e
n
d
a
p
a
t
p
e
n
g
g
a
l
a
n
m
a
t
e
ri
y
a
n
g
s
a
m
a
.
• M
e
n
y
u
r
u
h
s
i
s
w
a
m
e
n
j
a
w
a
b
16

m
a
s
a
l
a
h
-
m
a
s
a
l
a
h
y
a
n
g
b
e
l
u
m
t
e
r
p
e
c
a
h
k
a
n
.
• M
e
m
f
a
s
il
it
a
s
i
s
i
w
a
s
16

e
l
a
m
a
b
e
r
d
i
s
k
u
s
i
d
a
l
a
m

k
e
l
o
m
p
o
k
a
h
li
/t
i
m

a
h
li
(
e
x
p
e
rt
).
• M
e
l
a
k
u
15

k
a
n
o
b
s
e
r
v
a
s
i
d
a
n
m
e
n
g
a
m
a
ti
a
k
ti
v
it
a
s
s
i
s
w
a
.

1. • M • M 30’
e
n • M
g
a • B
m
a • M
ti
d
i
(Siswa berada s
dalam k
kelompok u
asal II) s
i
16

m
e
n
g
e
n
a
i
p
e
n
j
e
l
a
s
a
n
s
i
s
w
a
p
a
d
a
t
e
m
a
n
a
n
g
g
o
t
a
s
e
k
e
l
o
m
p
o
k
n
y
a
17

.
• M
e
n
y
u
r
u
h
s
i
s
w
a
u
n
t
u
k
m
e
m
b
u
a
t
r
a
n
g
k
u
m
a
n
d
a
ri
h
a
s
il
d
i
s
k
u
s
i
k
e
l
16

o
m
p
o
k
n
y
a
.
• M
e
n
y
u
r
u
h
p
e
r
w
a
k
il
a
n
k
e
l
o
m
p
o
k
u
n
t
u
k
m
e
n
y
a
m
p
a
i
k
a
n
k
15

e
s
i
m
p
u
l
a
n
d
i
s
k
u
s
i.
1. • B • M 5’
e
rt • M
a
n • M
y
a
Refleksi k
e
p
a
d
a
s
i
s
w
a
• M
e
m
b
e
ri
k
a
n
t
e
s
k
o
g
n
it
if
16

,
a
n
g
k
e
t
s
k
a
l
a
s
i
k
a
p
s
i
s
w
a
d
a
n
r
e
s
p
o
n
s
i
s
w
a
t
e
r
h
a
d
a
p
m
e
t
o
d
e
p
e
15

m
b
e
l
a
j
a
r
a
n
.
Total waktu 90’

Sumber: Budi Utami, dkk. (2007). Model-Model Pembelajaran


Kooperatif (Makalah). Malang: Universitas Negeri Malang.

A. Hasil-hasil Penelitian yang Relevan

Berikut ini akan di paparkan beberapa hasil penelitian yang relevan

dengan penelitian ini. Hasil penelitian pendukung yang dimaksudkan adalah hasil

penelitian dari penerapan model cooperative learning tipe jigsaw pada

pembelajaran matematika ataupun pada mata pelajaran lain, di antaranya:

1. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Budiningarti, H., (1998) yang

mengembangkan perangkat model cooperative learning tipe jigsaw pada

pengajaran fisika di SMU menunjukkan, bahwa peningkatan pengetahuan

untuk tes hasil belajar produk dan tes hasil belajar psikomotor. Hasil

penelitian ini juga menunjukkan bahwa guru dapat menerapkan model

cooperative learning tipe jigsaw dengan baik dan meningkatkan kooperatif

siswa selama proses belajar mengajar berlangsung.

2. Setyaningsih, S., (1999), melakukan penelitian dalam pembelajaran mata

pelajaran biologi pada kelas I SLTP yang berorientasi model cooperative

learning tipe jigsaw. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan penerapan


16

model cooperative learning tipe jigsaw, dapat: 1) meningkatkan keterampilan

guru dalam mengelola kegiatan belajar mengajar (KBM), 2) meningkatkan

pengelolaan proses belajar mengajar oleh guru, 3) meningkatkan kualitas

interaksi siswa dengan lingkungan belajar, dan 4) meningkatkan prestasi

belajar siswa yang meliputi peningkatan nilai rata-rata dengan ketuntasan

belajar yang maksimal.

3. Penelitian yang dilakukan Widada W., (1999) mengungkapkan bahwa, dengan

pengembangan peragkat pembelajaran yang berorientasi pada model

cooperative learning tipe jigsaw ternyata 82,35% dari seluruh tujuan

pembelajaran yang diajarkan dipelajari oleh siswa pada mata pelajaran

matematika tingkat SMU.

4. Lila, M., (2007) melakukan penelitian pada mata pelajaran biologi kelas X

SMA Wahid Hasim Malang, dalam materi Animalia dan Ekosistem untuk

mengetahui: 1) apakah penerapan model cooperative learning tipe jigsaw yang

dipadukan dengan problem posing dapat meningkatkan proses dan hasil

belajar siswa, 2) sikap siswa kelas X SMA Wahid Hasim Malang terhadap

konsep animalia dan ekosistem melalui penerapan model cooperative learning

tipe jigsaw yang dipadukan dengan problem posing, 3) respon siswa terhadap

penerapan model cooperative learning tipe jigsaw yang dipadukan dengan

problem posing. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan model

cooperative learning tipe jigsaw yang dipadukan dengan problem posing

dapat: 1) meningkatkan proses pembelajaran, meningkatkan keaktifan siswa

dan meningkatkan kooperatif siswa, 2) meningkatkan hasil belajar siswa dan


16

meningkatkan kognitif siswa, 3) meningkatkan sikap positif siswa terhadap

materi, dan meningkatkan respon siswa terhadap materi pembelajaran.

5. Penelitian yang dilakukan oleh Priyanto, (2007) dalam pembelajaran Kimia

pada materi Alkana dan Alkena pada siswa kelas X Madrasah Aliyah Darut

Malang dengan tujuan untuk menngetahui: 1) persepsi siswa terhadap model

cooperative learning tipe jigsaw, dan 2) apakah ada perbedaan hasil belajar

antara siswa yang menggunakan model cooperative learning tipe jigsaw

dengan siswa yang belajar menggunakan metode ceramah. Dari hasil

penelitian tersebut diperoleh bahwa hasil belajar kelompok kooperatif lebih

baik daripada kelompok ceramah dan siswa X Madrasah Aliyah Darut Malang

yang memberi persepsi sangat baik terhadap model cooperative learning tipe

jigsaw.

A. Kerangka Pikir

Keberhasilan pendidikan Kristiani pada SMA Advent Mebali sangat

ditentukan oleh akademik intelektual dan penampilan moral seorang alumninya.

Bagaimanapun nilai raport dan hasil ujiannya, moral keagamaan yang melekat

pada sikap dan perilakunya akan menjadi tolok ukur bagi keberhasilan lembaga

pendidikan tempat ia belajar. Apabila dikaji lebih lanjut berdasarkan teori yang

telah ada maka salah satu alternatif peningkatan kualitas pembelajaran pada SMA

Advent Mebali yang menekankan pendidikan kecerdasan akademik dan moral

atau akhlak adalah penerapan teori kognitif. Teori belajar konstruktivis adalah

salah satu penerapan teori kognitif.


16

Salah satu implikasi teori belajar konstruktivis dalam pembelajaran adalah

penerapan pembelajaran kooperatif. Dalam pembelajaran kooperatif siswa atau

peserta didik lebih mudah menemukan dan memahami konsep-konsep yang sulit

apabila mereka saling mendiskuiskan masalah-masalah tersebut dengan temannya.

Melalui diskusi dalam pembelajaran kooperatif akan terjalin komunikasi di mana

siswa saling berbagi ide atau pendapat. Melalui diskusi akan terjadi elaborasi

kognitif yang baik, sehingga dapat meningkatkan daya nalar, keterlibatan siswa

dalam pembelajaran dan memberi kesempatan pada siswa untuk mengungkapkan

pendapatnya.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa model pembelajaran kooperatif

tipe jigsaw memiliki dampak yang positif terhadap kegiatan belajar mengajar,

yakni dapat meningkatkan aktivitas guru dan siswa selama pembelajaran,

meningkatkan ketercapaian tujuan pembelajaran dan ketuntasan belajar siswa, dan

dapat meningkatkan minat siswa dalam mengikuti pembelajaran berikutnya.

Selain itu, pembelajaran kooperatif tipe jigsaw merupakan lingkungan belajar di

mana siswa belajar bersama dalam kelompok kecil yang heterogen, untuk

menyelesaikan tugas tugas pembelajaran. Siswa melakukan interaksi sosial untuk

mempelajari materi yang diberikan kepadanya, dan bertanggung jawab untuk

menjelaskan kepada anggota kelompoknya. Jadi, siswa dilatih untuk berani

berinteraksi dengan teman-temannya.

Keseluruhan aspek kooperatif yang dilakukan oleh siswa selama

pembelajaran yang berorientasi kooperatif merupakan bagian dari pendidikan

akhlak atau moral kepada peserta didik. Dan apabila keterampilan-keterampilan

kooperatif terus dilatihkan kepada siswa selama pembelajaran maka cermin siswa
17

yang berakhlak mulia yang ditunjukkan dengan sikap-sikap positif dapat tercapai.

Berdasarkan kerangka berfikir secara teoritis yang dikutip dari pendapat para ahli,

dan secara empiris dari hasil penelitian terdahulu, dapat dikatakan bahwa

pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dapat meningkatkan kualitas pembelajaran.

Dengan demikian, diharapkan penerapan model pembelajaran kooperatif

tipe jigsaw dapat meningkatkan kualitas proses dan kualitas hasil belajar

matematika pokok bahasan Differensial pada siswa kelas XI IPA SMA Advent

Mebali.

B. Hipotesis Tindakan

Berdasarkan kerangka teoritik di atas maka hipotesis tindakan pada

penelitian ini adalah “Jika model Cooperative Learning Tipe Jigsaw diterapkan

pada siswa kelas XI IPA SMA Advent Mebali maka prestasi belajar matematika

siswa dalam pokok bahasan differensial akan meningkat”.

You might also like