You are on page 1of 37

DOSEN DR SUNDARI

TANAH GAMBUT
(ASAM HUMAT)
SEBAGAI
ADSORBEN
TINJAUAN SECARA
ANORGANIK
TUGAS ANORGANIK LANJUT
(edisi revisi)
SUWAHONO

7
2

PASCA SARJANA UNNES PRODI IPA


3

PENDAHULUAN

Sifat fisik tanah gambut: selalu tergenang air, dekomposisi bahan organik

lambat, konsistensi lepas, kepadatan masa rendah, bersifat seperti spon (menyerap

dan manahan air dalam jumlah besar), drainase pada gambut akan diikuti oleh

penyusutan masa, terjadi penurunan muka tanah, tanaman tumbuh miring dan

tumbang, mudah terbakar. Komposisi senyawa tanah gambut terdiri atas bahan

terhumifikasi dan tak terhumifikasi. Yang termasuk bahan-bahan tak terhumifikasi

adalah senyawa-senyawa dalam tanaman seperti karbohidrat, asam amino, protein,

lipid, asam nukleat, dan lignin. Sedangkan fraksi terhumifikasi yang dikenal sebagai

humus atau disebut sebagai senyawa humat, dianggap sebagai hasil akhir

dekomposisi bahan tanaman dalam tanah (Tan, 1998).

Studi komparatif tentang senyawa humat pertama kali dilakukan oleh

Sprengel (1826, 1837). Sprengel merancang prosedur preparasi asam humat dengan

tahap awal perlakuan tanah menggunakan asam-asam mineral sebelum diekstraksi

dengan alkali (Aiken dkk., 1985).

Istilah senyawa humat pertama kali dikemukakan oleh Berzelius pada tahun

1830. Senyawa humat merupakan senyawa makromolekul dengan berat molekul

tinggi sebagai hasil peruraian bahan organik tanaman dan berperan penting dalam

mempengaruhi sifat-sifat tanah dan spesies kimia dalam tanah dan perairan.

Senyawa humat didefinisikan oleh Aiken dkk. (1985) sebagai kategori umum

dari bahan organik tanah heterogen yang terjadi secara alami. Secara umum, senyawa

humat dikarakterisasikan berwarna kuning hingga hitam dengan berat molekul besar
4

dan bersifat refraktori. Struktur kimianya tidak dapat digambarkan sebagai satu

bentuk tunggal karena merupakan campuran yang kompleks dari polielektrolit fenol

dan karbohidrat yang bervariasi dari satu molekul ke molekul yang lain (Hayes dan

Himes, 1986).

Senyawa humat dapat terbentuk dari dekomposisi jaringan tanaman dan

hewan dan dapat ditemukan di lingkungan perairan, tanah dan sedimen. Pembentukan

senyawa humat dianggap sebagai proses biologis, namun demikian dengan sifat

heterogenitasnya yang tinggi menunjukkan bahwa yang terlibat pada pembentukan

senyawa humat tidak hanya enzim-enzim, tetapi juga keberagaman katalis kimia

(Huang dkk., 1982 dalam Sanchez dkk., 2000).

Senyawa humat memiliki berat molekul dan ukuran dalam rentang yang luas,

mulai dari beberapa ratus sampai beberapa ratus ribu unit massa atom. Secara umum,

asam fulvat memiliki berat molekul lebih rendah dibanding asam humat (Choppin

dan Allard, 1985; Stevenson, 1982 dalam Gaffney dkk., 1996). Senyawa humat

terdiri atas kerangka karbon dengan karakter aromatis yang tinggi dan memiliki

gugus-gugus fungsional yang sebagian besar mengandung atom oksigen (Manahan,

2000). Karakteristik terpenting dari senyawa humat adalah kualitas dan kuantitas

gugus fungsionalnya, ukuran molekulnya serta aromatisnya, karena parameter-

parameter ini akan menentukan sifat-sifat kimia dan biologi senyawa humat.

Senyawa humat memegang peranan penting dalam mempengaruhi kesuburan

tanah dan spesiasi kimia tanah dan perairan. Kandungan senyawa humat dalam tanah

bervariasi, mulai dari 0 sampai 10%. Pada air permukaan, kandungan humat
5

dinyatakan sebagai karbon organik terlarut (dissolved organic carbon : DOC),

konsentrasinya bervariasi dari 0,1 hingga 50 mg/L. Pada permukaan air laut

kandungan karbon organik terlarut bervariasi dari 0,5 hingga 1,2 mg/L dan pada air

yang lebih dalam (groundwater) bervariasi dari 0,1 hingga 10 mg/L (Choppin dan

Allard, 1985 dalam Gaffney dkk., 1996).

Menurut Gaffney dkk. (1996), secara tradisional senyawa humat didefinisikan

berdasarkan kelarutannya yaitu : (1) asam fulvat adalah bahan humat yang larut

dalam air pada semua pH, (2) asam humat adalah fraksi senyawa humat yang tidak

larut pada pH asam (pH<2) tetapi larut pada pH yang lebih tinggi, (3) humin

merupakan fraksi senyawa humat yang tidak larut dalam air pada semua nilai pH.

Struktur Senyawa Humat

Model struktur senyawa humat seperti monomer asam humat telah diusulkan

dengan pendekatan integrasi berbagai macam metode analisis. Model senyawa humat

sangat penting mengingat sebagian besar bahan organik tanah (70-80%) merupakan

senyawa humat dan semua aspek kimia (kapasitas adsorpsi besar, pengompleks

logam yang sangat baik, medium bagi mikrobia, dapat menyediakan nutrien) dapat

dijelaskan berdasarkan struktur asam humat sebagai senyawa humat yang utama di

lingkungan (Ghosh dan Schnitzer, 1980).

Para ahli berpendapat bahwa warna, reaktivitas, dan sifat fisika-kimia

senyawa humat ditentukan oleh strukturnya. Senyawa humat yang paling menarik

perhatian peneliti adalah asam humat dan asam fulvat, karena senyawa tersebut
6

terlibat aktif pada pengikatan ion-ion dan molekul organik (Finniburg dkk., 1996,

Jones dan Bryan, 1998, dalam Avena dan Koopal, 1999).

Meskipun struktur yang tepat belum dapat ditentukan, namun struktur

senyawa humat telah diusulkan dengan mendasarkan pada model atau struktur rata-

rata senyawa humat yang telah ada, sehingga dapat digunakan untuk studi lebih

lanjut. Model struktur senyawa humat yang diusulkan mengacu pada hasil penelitian

mengenai komposisi unsur-unsur penyusun, gugus-gugus fungsional, produk

degradasi, data spektroskopi, dan sifat fisika-kimia senyawa humat.

Sejumlah struktur senyawa humat yang masih merupakan struktur hipotetik

telah diajukan oleh beberapa peneliti, seperti Fuch, Dragunov, Flaig dan Stevenson

(Stevenson, 1994).

Fuch, seorang ilmuwan Jerman, telah mengusulkan struktur asam humat yang

ditunjukkan pada Gambar 2.1. Struktur tersebut merupakan hasil deduksi berbagai

penelitian tentang struktur asam humat yang dihasilkan dari batubara, yang terdiri

atas sistem cincin aromatik yang mengandung gugus -COOH dan –OH (Stevenson,

1994).
7

O
HO COOH
COOH
HO
OH OH
HO
O COOH

HO COOH

H3CO COOH
O

Gambar 1 Struktur hipotetik asam humat menurut Fuch (Stevenson, 1994)

Berdasarkan gugus fungsional reaktif hasil degradasi asam humat, maka

struktur inti asam humat terdiri atas cincin aromatik, di-, atau trihidroksifenol yang

dijembatani oleh –O-, -(CH2)-, -NH- dan :N-. Selain itu, gugus-gugus fungsional

utama yang terdapat pada asam humat adalah gugus –COOH, -OH dan kuinon. Pada

keadaan alami, molekul-molekul tersebut mengandung residu protein dan karbohidrat

yang sebagian besar dihubungkan oleh ikatan kovalen pada struktur inti.

Struktur pertama yang menggunakan konsep tersebut dikemukakan oleh

Dragunov (Konokova, 1966 dalam Stevenson, 1994) seperti terlihat pada Gambar

2.2. Pada struktur ini dapat dilihat cincin aromatis di- dan trihidroksilbenzena (1),

nitrogen dalam bentuk siklis (2), nitrogen dalam rantai periperal (3) dan residu

karbohidrat (4).
8

(4)
COOH
C6H11O5
O HO
HO CH2 OH
CH CH2 CH CH2 O
(2) (2)
O (1) H2C O (1) CH (1) H2C O (1) HC (1) H2C O (1) O
N N

O O CH3 O OH
OCH3
C HN C8H16O3N
O
(3) (4)

Gambar 2 Struktur hipotetik asam humat menurut Dragunov memperlihatkan : 1) cincin


aromatik, 2) nitrogen dalam bentuk siklis, 3) nitrogen dalam rantai periperal
dan 4) residu karbohidrat.
Struktur lain dikemukakan oleh Flaig, dimana asam humat mengandung

gugus –OH fenolat dalam jumlah cukup melimpah, tetapi gugus karboksilatnya relatif

sedikit (Stevenson, 1994), ditunjukkan pada Gambar 2.3.


Ar

O OH
OH
C
O O OH OH O
OH H COOH
OCH3 O HO OH
O
COOH O
O

(CH2)3 O
N
H O C

Ar

Gambar 3 Struktur hipotetik asam humat menurut Flaig (Stevenson, 1994)

Struktur asam humat yang saat ini dianggap memenuhi konsep-konsep yang

telah ada dikemukakan oleh Stevenson (1994). Pada struktur hipotetik ini, asam

humat mengandung gugus –OH fenolat, -COOH yang terikat pada cincin aromatik

dan kuinon yang dijembatani oleh nitrogen dan oksigen (Gambar 2.4).
9

gugus COOH aromatis (terisolasi) gugus OH fenolat


HC=O (ikatan hidrogen)
gugus kuinon
(HC-OH) 4
COOH (gula) C=O
COOH COOH H
RCH O O OH
HO O
H O COOH
O N O O CH-CH 2
HO
O COOH
OH OH O CH
O
N
O NH
gugus OH fenolat O OH
(bebas) oksigen sebagai
RCH
jembatan gugus COOH yang
N siklik
C=O saling berdampingan
(peptida)
NH

Gambar 4 Struktur hipotetik asam humat menurut Stevenson

Struktur hipotetik asam fulvat telah diusulkan oleh Schnitzer dan Khan (1972)

dalam Stevenson (1994) seperti terlihat pada Gambar 2.5. Asam fulvat terdiri atas

asam-asam fenolat dan benzenekarboksilat yang saling berikatan satu dengan yang

lain melalui ikatan hidrogen membentuk struktur polimer yang stabil.


O
OH OH
O C
OH O O
OH OH O C C
HO C
C C OH
O OH
O C
HO C C OH
C OH O OH
OH OH O OH O
OH C
OH
O
O
O O
C OH O OH OH
H C C
HO C OH
O O
O
HO C C
C=O HO C OH HO
C=O OH
O O OH
OH OH
OH C C
O
OH C=O OH
OH

Gambar 5 Struktur asam fulvat menurut Schnitzer (Stevenson, 1994)

Secara umum asam fulvat memiliki berat molekul lebih kecil dibandingkan

asam humat, sedangkan asam humat yang berasal dari tanah memiliki berat molekul
10

lebih besar dibandingkan asam humat yang berasal dari perairan (Gaffney dkk.,

1996).

Asam fulvat sangat berperan dalam tanah dan perairan, karena senyawa-

senyawa organik yang memiliki berat molekul rendah seperti pestisida dan bahan-

bahan anorganik seperti ion logam dapat diikat oleh asam fulvat (Stevenson, 1994).

Ekstraksi dan Isolasi Senyawa-senyawa Humat dari Tanah Gambut

Isolasi senyawa-senyawa humat dari tanah pertama kali dilakukan oleh

Achard (1786) yang mengekstraksi tanah gambut dengan alkali dan diperoleh

endapan amorf pada saat pengasaman (Aiken dkk., 1985). Bahan yang larut dalam

alkali dan tidak larut dalam asam ini selanjutnya dikenal sebagai asam humat.

Sejumlah metode isolasi/ekstraksi senyawa humat pada berbagai jenis sampel

lingkungan, baik lingkungan tanah, perairan maupun sedimen telah dilaporkan oleh

sejumlah peneliti. Stevenson (1982) dalam Aiken dkk. (1985) menyatakan bahwa ada

beberapa kriteria metode ekstraksi senyawa humat dari tanah secara ideal yaitu : (1)

metode yang digunakan untuk isolasi tidak menimbulkan perubahan bahan-bahan

yang diekstraksi, (2) senyawa-senyawa humat yang terekstrak bebas dari kontaminan

anorganik seperti lempung dan kation-kation polivalen, (3) proses ekstraksi

berlangsung sempurna, dan dapat menggambarkan fraksi-fraksi dari seluruh rentang

berat molekul, (4) metode bersifat universal, dapat diaplikasikan pada semua jenis

tanah.

Sementara itu Tan (1993) menyatakan bahwa pemilihan ekstraktan (bahan

pengekstraksi) yang baik didasarkan pada dua pertimbangan yaitu : (1) pereaksi yang
11

digunakan tidak merubah sifat fisika dan kimia bahan yang diekstrak, (2) pereaksi

harus dapat memisahkan bahan humat dari tanah secara kuantitatif. Selama ini

banyak pelarut/reagen organik dan anorganik yang telah dievaluasi penggunaannya

untuk ekstraksi senyawa-senyawa humat.

Beberapa reagen yang memenuhi kedua persyaratan sebagaimana diuraikan di

atas adalah basa-basa encer. Namun demikian semuanya berpengaruh mengubah sifat

fisika dan atau kimia bahan yang diekstrak (Flaig dkk., 1975 dalam Tan, 1998).

Beberapa contoh reagen anorganik yang telah dilaporkan oleh sejumlah peneliti untuk

mengisolasi senyawa humat adalah 0,1 N NaOH; 0,5 N NaOH; 0,1 M Na 2CO3; 0,1 M

NaF; 0,1 M Na4P2O7 pH 7, pH 9-10; 0,2 M Na2-EDTA; 0,1 M Na2B4O7 dan beberapa

pereaksi asam seperti 0,1 N HCl; 0,025 N HF dan H 3BO3 1%. Sementara itu,

penggunaan pelarut organik untuk ekstraksi senyawa humat yang dilaporkan oleh

sejumlah peneliti adalah asam oksalat, asam format, fenol, benzena, kloroform dan

campuran pelarut-pelarut tersebut.

Di antara reagen-reagen anorganik tersebut, natrium hidroksida dan natrium

pirofosfat merupakan reagen yang paling banyak digunakan untuk ekstraksi senyawa

humat. Penggunaan NaOH pertama kali diperkenalkan oleh Olden pada tahun 1919

dalam suatu prosedur yang dapat diterima secara luas. Larutan NaOH diketahui

sangat efektif mengekstrak senyawa humat, dimana senyawa humat larut dalam

NaOH sedangkan humin dan senyawa bukan humat lainnya tidak larut. Namun

penggunaan reagen ini dapat menyebabkan autooksidasi asam humat, sehingga

disarankan untuk melakukan ekstraksi dengan NaOH di bawah atmosfer gas nitrogen.
12

Larutan 0,1 N NaOH lebih disukai karena sifat ekstraksinya tidak terlalu kuat

dibanding 0,5 N NaOH (Pierce dan Feldbeck, 1975 dalam Tan, 1998). Sementara itu,

Tinsley dan Salam, 1961; dan Schnitzer dan Schuppli, 1989 dalam Kipton dkk., 1992,

juga melaporkan bahwa ekstraksi senyawa humat tanah dengan menggunakan

pengekstrak larutan 0,1-0,5 N NaOH dapat mengakibatkan perubahan senyawa humat

seperti reaksi oksidasi dan kondensasi.

Swift dan Posner (1972) dalam Aiken dkk. (1985) melaporkan bahwa pada

kondisi alkalis dengan adanya oksigen mengakibatkan pemecahan asam humat. Hal

tersebut dapat dihindari sebagian apabila larutan senyawa humat dalam kondisi alkali

diperlakukan dalam atmosfer gas nitrogen. Choudri dan Stevenson (1957) dalam

Aiken dkk. (1985), menggunakan prosedur di atas untuk mengekstraksi asam humat

tanah dengan larutan NaOH dalam atmosfer nitrogen dan stanoklorida sebagai

antioksidan.

Larutan natrium pirofosfat dapat digunakan untuk mengekstraks fraksi humat

tanah yang berkadar seskuinosida tinggi meskipun tidak seefektif NaOH (Tan, 1998).

Untuk meningkatkan kemampuan ekstraksi, dianjurkan menggunakan larutan tersebut

dengan pH 9 hingga pH 10. Pada kasus-kasus tertentu telah dilaporkan bahwa fraksi

humat yang diisolasi dengan natrium pirofosfat menunjukkan spektra inframerah

dengan pemisahan yang lebih tinggi daripada yang diperoleh melalui ekstraksi

dengan NaOH (Tan, 1978). Studi yang dilakukan oleh Orioli dan Curvetto (1980)

dalam Uripto (2001) menunjukkan bahwa dengan metode pirofosfat, tiga fraksi asam

humat dengan berat molekul tinggi tidak terekstraksi.


13

Thurman (1985) telah mengisolasi senyawa-senyawa humat dari sampel air

tanah. Sampel air segera ditambahkan HCl untuk mencegah terjadinya presipitasi

hidroksida besi. Selanjutnya dihubungkan dengan pompa vakum untuk

menghilangkan H2S, sebab jika sampel masih mengandung sulfida maka sulfida

tersebut bereaksi membentuk unsur sulfur dan polisulfida yang akan teradsorpsi pada

resin XAD. Setelah melewati resin, eluen dilewatkan pada kolom Enzacryl-gel untuk

mengelusi asam-asam yang memiliki berat molekul rendah. Selanjutnya eluen yang

terjenuhkan oleh hidrogen dikeringkan dengan freezedryer dan selanjutnya diperoleh

senyawa humat. Isolasi senyawa humat dari sampel sedimen dari beberapa danau di

Jepang telah dilakukan Ishiwatari (1985) dengan menggunakan pelarut organik

(etanol-benzena dan methanol-aseton-benzen) sebagai ekstraktan. Ekstraksi

dilanjutkan dengan menggunakan larutan 0,1 N NaOH. Ekstraksi tersebut

dimaksudkan untuk memperoleh senyawa-senyawa humat. Ishiwatari melaporkan

bahwa hasil ekstraksi yang dilakukan selama 6 jam adalah : 17% asam humat, 11%

asam fulvat dan 67% humin. Sedangkan ekstraksi yang dilakukan selama 1 bulan

adalah : 22% asam humat, 25% asam fulvat dan 47% humin. Ishiwatari

menyimpulkan bahwa efisiensi waktu ekstraksi tidak berpengaruh secara signifikan

terhadap rendemen senyawa humat yang diisolasi kecuali humin.

Senyawa humat tanah gambut yang diekstraksi menggunakan larutan natrium

hidroksida menghasilkan produk yang lebih besar (80%) dibandingkan hasil ekstraksi

menggunakan larutan garam netral natrium pirofosfat yang hasil ekstraksinya hanya

berkisar 30% (Stevenson, 1994). Asam humat dan fulvat larut dalam natrium
14

hidroksida, sedangkan humin dan senyawa non-humat lainnya tidak larut. Untuk

memperoleh asam humat dari larutan natrium hidroksida perlu diasamkan sampai pH

± 2 dengan menggunakan asam klorida. Asam humat mengendap dan asam fulvat

tertinggal dalam larutan bersama molekul-molekul kecil lainnya seperti gula

sederhana dan asam-asam amino (Gaffney dkk., 1996).

Setelah proses ekstraksi senyawa humat, proses selanjutnya adalah pemurnian

senyawa humat tersebut dengan cara memisahkannya dari senyawa-senyawa non-

humat. Pemurnian asam humat dilakukan dengan cara melarutkan asam humat hasil

isolasi ke dalam larutan campuran 0,1 N HCl dan 0,3 N HF. Kedua pereaksi tersebut

berfungsi untuk memisahkan kontaminan berupa bahan-bahan anorganik dari asam

humat terutama silika dan logam.

Alur kerja isolasi asam humat dari tanah gambut

Sampel tanah gambut + entnol-


benzen dan methanol benzen

Vari
Ekstraksi dengan 0,1 Ekstraksi dengan 0,1
asi
NaOH (dalam 1 hari) NaOH (dalam 7 hari)
wakt
u

Ekstraksi dengan 0,1 NaOH


(dalam 30 hari)

Pemurnian asam humat isolasi dalam larutan campuran 0,1 N HCl dan 0,3 N HF.
15

Interaksi Senyawa Humat dengan Ion Logam

Kemampuan senyawa humat berinteraksi dengan kation logam disebabkan

oleh sebagian besar gugus-gugus fungsional asam humat mengandung atom oksigen

seperti –COOH, fenolat, enolat, -OH alkoholat dan –C=O. Berdasarkan keberadaan

senyawa humat yang heterogen, interaksi kation logam dengan senyawa humat terjadi

pada sejumlah besar sisi aktif, dengan afinitas yang berbeda.

Secara umum, interaksi senyawa humat (asam humat) dengan kation logam

meningkat dengan bertambahnya konsentrasi asam humat dan pH, tetapi menurun

dengan bertambahnya konsentrasi logam (Weber, 1983; Wang dan Stumm, 1987;

Stevenson dan Chen, 1991; Zhou dkk., 1994; Milne, 1995; dalam Spark dkk., 1997).

Tipe dan macam gugus fungsional yang digunakan untuk model interaksi asam humat

dengan kation logam bervariasi, namun model yang mendasarkan pada dua sisi

pengikatan (satu karboksil dan satu hidroksil) terlihat sesuai dengan data penelitian

Marshall dkk. (1995) dalam Spark dkk. (1997). Sebagian besar model

mengasumsikan interaksi elektrostatik, meskipun terdapat fakta bahwa tipe ini bukan

satu-satunya tipe yang mungkin terjadi (de Witt dkk., 1990; Sutheiner dkk., 1995

dalam Spark dkk., 1997).

Interaksi ion logam divalen maupun trivalen dengan asam humat atau asam fulvat

dalam medium air pada pH mendekati 7, dapat berlangsung melalui pembentukan

ikatan hidrogen atau jembatan air, interaksi elektrostatik atau pertukaran ion, ikatan

koordinasi dan melalui struktur cincin khelat, seperti dimodelkan pada Gambar 2.8.

Mekanisme interaksi yang terjadi dapat melalui salah satu atau lebih dari keempat
16

model tersebut, bahkan kemungkinan melibatkan keempat model mekanisme tersebut

secara simultan (Schnitzer, 1986).

O O
C O- C O M OH + H + (1)
+ M 2+ + H2O

O O
C O- C
+ M
2+ O
+ H+ (2)
M
OH
O
O O

C O
- C O
2+ +
+ M M + H (3)
OH
C C O

O O
Na +
O- Na
+
H
C O C O H O n+
M
n+
+ M (H2O)n (4)

Gambar 8 Model interaksi ion logam dengan asam humat dan fulvat (Schnitzer, 1986)

Menurut reaksi (1), salah satu gugus –COOH bereaksi dengan ion logam

membentuk suatu garam anorganik atau kompleks monodentat. Persamaan reaksi (2)

menggambarkan suatu reaksi dimana satu gugus –COOH dan satu gugus –OH

bereaksi secara simultan dengan ion logam membentuk kompleks bidentat atau

khelat. Pada persamaan reaksi (3) dua gugus –COOH terdekat bereaksi secara

simultan dengan ion logam untuk membentuk kelat bidentat. Persamaan (4)

menunjukkan suatu situasi dimana ion logam terikat dengan asam fulvat melalui
17

pengikatan elektrostatik dan juga melalui molekul air dalam bungkus hidrasi

primernya lewat suatu ikatan hidrogen ke gugus C=O. Interaksi jenis ini sangat

penting jika kation memiliki energi pemecahan yang tinggi, dengan demikian dapat

mempertahankan bungkus hidrasi primernya.

Pengikatan kation logam terjadi pertama kali melalui interaksi yang

menghasilkan kompleks yang stabil yaitu membentuk ikatan koordinasi dan struktur

cincin. Pembentukan ikatan melalui interaksi yang lebih lama terjadi apabila sisi aktif

yang mengikat logam dengan kuat telah jenuh (Stevenson, 1994).

Pembentukan Kompleks Logam-Senyawa Humat

Di antara koloid tanah, senyawa humat merupakan bahan pengompleks yang

bersifat multiligan karena mempunyai gugus-gugus pengompleks dalam jumlah besar

untuk setiap molekul senyawa humat. Karakteristik molekular yang berpengaruh

terhadap kemampuan pengompleks dicirikan oleh sifat-sifat multielektrolit,

hidrofobik dan reaksi intermolekuler yang berpengaruh pada perubahan molekular

(Senesi, 1994).

Menurut Aiken dkk. (1985), gugus-gugus fungsional pada asam humat

memiliki kemampuan yang berbeda dalam fungsinya sebagai ligan dalam

pembentukan kompleks dengan kation logam. Penurunan afinitas beberapa gugus

fungsional mengikuti deret berikut : -O-(enolat) > -NH2 (amina) > -N=N (azo) > -N-

(cincin N) > -COOH (karboksil) > -O- (eter) > -C=O (karbonil).

Gugus-gugus fungsional asam humat yang mengandung atom oksigen seperti

–OH dan –COOH merupakan gugus yang paling reaktif dalam berikatan dengan
18

kation (McBride, 1978; Stevenson, 1994). Studi spektroskopi inframerah

menunjukkan bahwa gugus karboksilat memainkan peran penting dalam

pembentukan kompleks kation logam oleh asam humat dan asam fulvat (Piccolo dan

Stevenson, 1981 dalam Fukushima dkk., 1995). Selain gugus karboksilat, kompleks

ion logam dengan asam humat dan asam fulvat juga melibatkan gugus keton

terkonjugasi (Piccolo dan Stevenson, 1981 dalam Alimin, 2000).

Fukushima dkk. (1995) menyatakan bahwa kapasitas pengikatan kation logam

berkorelasi dengan gugus karboksilat dalam asam humat. Hal ini sesuai dengan hasil

yang diperoleh Torresdey dkk. (1999) yang menunjukkan penurunan gugus –COOH

pada asam humat akibat esterifikasi dengan metanol mengakibatkan penurunan

pengikatan Cu(II) sampai 80%. Hal ini juga menunjukkan bahwa selain gugus –

COOH, gugus-gugus lain seperti –OH fenolat dan –OH alkoholat juga berperan

dalam pengikatan logam.

Plavsic dkk. (1991) dalam Saragih (2002) telah meneliti sifat-sifat Cu(II) dan

Pb(II) dalam larutan yang mengandung asam humat dengan kekuatan ionik NaCl.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa asam humat mempengaruhi sifat-sifat kompleks

dari Cu(II) dan Pb(II). Hal tersebut bergantung pada sifat-sifat asam humat dan

kondisi sistem seperti pH dan kekuatan ionik, dimana pH dapat mempengaruhi

konformasi makromolekul.

Asam Humat sebagai Adsorben

Salah satu karakteristik utama asam humat sebagai bagian dari fraksi oganik

tanah gambut adalah kemampuannya mengadsorpsi bahan organik dan anorganik.


19

Kerndorf dan Schnitzer (1980) telah menguji interaksi 11 ion logam dengan asam

humat, dan hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa dengan meningkatnya pH,

efisiensi adsorpsi ion logam pada asam humat juga meningkat. Sedangkan efisiensi

adsorpsi akan berkurang dengan berkurangnya konsentrasi logam.

Hasil penelitian Kerndoff dan Schnitzer, 1980 dalam Schnitzer, 1986

menunjukkan bahwa pada pH 2,4 urutan adsorpsinya adalah : Hg > Fe > Pb > Cu =

Al > Ni > Cr = Zn = Cd = Co = Mn. Pada pH 3,7 mengikuti urutan Hg > Fe > Al >

Pb > Cu > Cr > Cd = Zn = Ni = Co = Mn. Pada pH 4,7 mengikuti urutan Hg = Fe =

Pb = Al = Cr > Cd > Ni = Zn > Co > Mn. Pada pH 5,8 mengikuti urutan Hg = Fe =

Pb = Al = Cr = Cu > Cd > Zn > Ni > Co > Mn.

Mekanisme adsorpsi tergolong kompleks, karena tidak hanya 11 ion logam

dan H+ (total 12 ion) yang berinteraksi dengan asam humat tetapi mereka juga

berinteraksi satu sama lain. Mekanisme yang terlibat tampaknya mencakup

pertukaran ion, kopresipitasi dan pembentukan kompleks lingkaran bagian dalam dan

luar. Afinitas ion-ion tersebut pada asam humat tidak berkaitan dengan berat atom,

nomor atom dan jari-jari ion terhidrat.

Varrault dkk. (2000) telah mempelajari adsorpsi ion-ion logam trace pada

asam humat, dimana sebagian sampel asam humat dipanaskan untuk memperoleh

asam humat tak larut (insolubilized humic acid : IHA). Hasil penelitian menunjukkan

bahwa adanya asam humat mempengaruhi karakteristik kelarutan Cu(II) secara

drastis. Sorpsi Cu(II) dengan adanya asam humat terjadi pada pH yang lebih rendah

dibandingkan pada pH dimana mulai terbentuk hidroksida. Hal ini mengindikasikan


20

bahwa logam teradsorp pada fraksi asam humat tidak larut. Pada pH lebih besar 6,

tidak terbentuk endapan hidroksida, hal ini menunjukkan terbentuknya kompleks

logam-asam humat dan adanya asam humat terlarut telah menahan Cu(II) dalam

larutan melalui pembentukan kompleks organik larut, juga pada pH dimana terbentuk

hidroksida (Spark, 1997 dalam G.Varrault dkk., 2000).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa asam humat tak larut (IHA) juga

mempengaruhi karakteristik kelarutan Cu(II). Pada rentang pH 4-6, asam humat dan

IHA memberikan efek yang sama, namun demikian kemampuan sorpsi asam humat

lebih baik dibandingkan dengan IHA. Hal ini disebabkan karena adanya proses

pemanasan dalam proses preparasi IHA sehingga menurunkan jumlah sisi ikatan

(Seki, 1995 dalam G.Varrault dkk., 2000). Pada pH > 6, Cu(II) telah teradsorp semua.

Hal ini disebabkan karena tidak terjadi pelarutan IHA, sehingga tidak terbentuk

kompleks logam-IHA dalam larutan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi interaksi logam dengan adsorben

Lyman dkk. (1995) dalam Sujandi (2002) mengemukakan bahwa gaya dorong

adsorpsi permukaan merupakan kombinasi dua faktor, yaitu afinitas adsorbat

terhadap pelarut dan afinitas adsobat pada adsorben. Kedua faktor ini dipengaruhi

oleh :

a. Sifat logam dan ligan

Pendekatan sifat-sifat ion logam dan ligan dikembangkan oleh Pearson (1968)

yang menggolongkan akseptor dan donor elektron ke dalam asam dan basa keras dan

lunak. Asam keras digambarkan sebagai suatu spesies yang mempunyai ukuran relatif
21

kecil, bermuatan kecil dan polarisabilitasnya rendah. Sebaliknya asam lunak

digambarkan sebagai suatu spesies yang mempunyai ukuran relatif besar, bermuatan

kecil dan polarisabilitasnya tinggi (Bowser, 1993). Jika adsorbat berupa kation logam

dapat dinyatakan sebagai asam Lewis dan gugus-gugus fungsional pada adsorben

sebagai basa Lewis, maka pengklasifikasian HSAB (hard soft acid and base) dapat

diterapkan pada proses adsorpsi.

Secara umum, asam keras cenderung lebih stabil berikatan dengan basa keras,

sedangkan asam lunak berikatan stabil dengan basa lunak. Fenomena ini berhubungan

dengan energi orbital dari spesies-spesies tersebut. Perbedaan energi antara orbital

asam dan basa keras yang besar menyebabkan transfer muatan dari basa ke asam

sangat eksotermis, dalam hal ini interaksi yang paling dominan adalah interaksi ionik.

Sebaliknya asam dan basa lunak mempunyai energi relatif hampir sama, interaksi

yang dominan adalah interaksi kovalen, karena overlap orbital yang paling efektif

adalah antara orbital yang mempunyai tingkat energi yang sama atau hampir sama.

Tabel 2.3 Klasifikasi asam-basa berdasarkan HSAB (Bowser, 1993)

Asam
Keras Lunak
H+, Li+, Na+, K+, Be2+, Mg2+, Ca2+, Sr2+, Cu+, Ag+, Au+, Hg+, CH3Hg+, Ti+, Pd+,
BF3, B(OH)3, AlH3, AlCl3, Al(Me)3, Pt+, Cd2+, Hg2+, BH3, GaMe3, GaCl3,
CO2, RCO+, NC+, Cl3+, I5+, I7+, Al3+, Sc3+, GaI3, InCl3, CH3, karbena, Br2, I2, Br+, I+,
Ga3+, In3+, La3+, Cr3+, Fe3+, Co3+, Ti4+, atom-atom logam
Zr4+, Hf4+
Menengah
Fe2+, Ru2+, Os2+, Co2+, Rh3+, Ir3+, Ni2+, Cu2+, Zn2+, BMe3, GaH3, R3C, C6H5+, Sn2+,
Pb2+, NO+, Sb3+, Bi3+, SO2
Basa
22

Keras Lunak
CO32-, CH2CO2-, NH3, RNH2, N2H4, CO, CN-, RNC, C2H4, C6H6, R3P,
H2O, OH-, ROH, RO-, ROH, R2O, F-, (RO)3P, R3As, R2S, RSH, H-, R-, I-,
Cl-, NO3-, PO43-, SO42-, ClO4- SCN-, S2O3-
Menengah
N2, N3, NO2-, C6H5NH2, Br-

b. Sifat Pelarut

Pada adsorpsi padat-cair, mekanisme adsorpsi bergantung pada faktor-faktor

seperti gaya interaksi antara molekul adsorbat dengan permukaan, gaya interaksi

antara molekul pelarut dengan permukaan adsorben, dan gaya interaksi antara

molekul dari komponen larutan dengan lapisan permukaan adsorben dan pori-porinya

(Oscik, 1982). Pelarut dapat ikut teradsorp atau sebaliknya dapat mendorong proses

adsorpsi. Pada umumnya zat yang hidrofobik dari larutan encer cenderung teradsorp

lebih banyak pada permukaan adsorben dibandingkan zat yang bersifat hidrofilik.

c. pH sistem

Pengikatan kation logam pada ligan permukaan, seperti halnya pengikatan

kation logam oleh ligan terlarut sangat dipengaruhi oleh pH. Pada pH rendah, ligan

permukaan cenderung terprotonasi, sehingga kation logam juga berkompetisi dengan

H+ untuk terikat pada ligan permukaan. Sebaliknya pada pH tinggi dimana jumlah ion

OH- besar, menyebabkan ligan permukaan cenderung terdeprotonasi, sehingga pada

saat yang sama terjadi kompetisi antara ligan permukaan dengan ion OH- untuk

berikatan dengan kation logam.


23

Secara kualitatif perilaku adsorpsi dapat dipandang dari polaritas adsorben

dan komponen larutan (adsorbat). Adsorben polar cenderung mengadsorpsi kuat

adsorbat polar dan adsorbat non polar terserap lebih lemah, demikian pula sebaliknya.

Kekuatan adsorpsi merupakan hasil kombinasi dari afinitas adsorbat terhadap pelarut

dan afinitas adsorbat terhadap adsorben. Faktor utama penentu proses adsorpsi adalah

kelarutan adsorbat di dalam pelarut. Pada umumnya substansi hidrofobik cenderung

teradsorpsi pada larutan encer dan sebaliknya substansi hidrofilik kurang teradsorpsi

dalam larutan encer.

Menurut Schnitzer (1986), senyawa humat menempati 70-80% dari bahan

organik dalam hampir semua tanah mineral. Salah satu karakteristik senyawa humat

yang paling menonjol adalah kemampuan asam humat untuk berinteraksi dengan ion-

ion logam, oksida, hidroksida, mineral-mineral dan bahan-bahan organik, termasuk

polutan-polutan toksik lainnya untuk membentuk persenyawaan yang larut maupun

tidak larut dalam air (Stevenson, 1994).

Asam humat merupakan fraksi senyawa humat yang tidak larut dalam air pada

kondisi asam (pH<2), tetapi larut pada kondisi pH yang lebih tinggi. Gugus

fungsional utama yang terdapat pada asam humat adalah gugus karboksilat, -OH

fenolat dan –OH alkoholat di samping gugus lain yang terdapat dalam jumlah minor

seperti karbonil, fosfat, sulfat, amida dan sulfida. Semua gugus tersebut memiliki

kemampuan untuk berinteraksi dengan logam dalam larutan (Senesi, 1992 dalam

Spark dkk., 1997).


24

Asam humat memiliki kandungan gugus –COOH relatif lebih besar

dibandingkan gugus lain dan studi spektroskopi inframerah juga menunjukkan bahwa

gugus karboksilat memainkan peran penting dalam pembentukan kompleks kation

logam oleh asam humat dan asam fulvat (Piccolo dan Stevenson, 1981 dalam

Fukushima dkk., 1995). Oleh karena itu mekanisme adsorpsi kation logam pada asam

humat dapat dipandang mengikuti model isoterm adsorpsi Langmuir yang berasumsi

bahwa : (1) pada permukaan adsorben terdapat situs aktif yang proporsional dengan

luas permukaan. Masing-masing situs aktif hanya dapat mengadsorpsi satu molekul

saja, dengan demikian adsorpsi hanya terbatas pada pembentukan lapis tunggal

(monolayer), (2) pengikatan adsorbat pada permukaan adsorben dapat secara kimia

atau fisika tetapi harus cukup untuk mencegah perpindahan molekul teradsorpsi pada

permukaan. Interaksi antar molekul-molekul yang teradsorp dalam lapisan adsorpsi

dapat diabaikan (Oscik, 1982), (3) adsorpsi maksimum yang mungkin, terjadi pada

lapis tunggal yang sempurna (Khan, 1980 dalam Diantariani, 2001).

Menurut Jin dkk., (1996), adsorpsi ion logam pada situs aktif asam humat

diasumsikan nonlinear dan mengikuti mekanisme Langmuir-Hinshelwood dengan

order reaksi antara 0 dan 1. Model kinetika diekspresikan dalam persamaan

matematika berikut :

ln( C o / C A ) k 1t
+ ko = (1)
Co − C A Co − C A

dimana k0 : konstanta laju reaksi order nol (mol/L) -1, k1 : konstanta laju reaksi order

satu (min-1), Co : konsentrasi ion logam awal, CA : konsentrasi ion logam sisa dalam
25

larutan. Plot ln(Co/CA)/(Co-CA) terhadap t/(Co-CA), diperoleh garis lurus dengan slope

k1 dan intersep –ko.

Penerapan model kinetika di atas oleh Jin dkk., (1996), diperoleh bahwa

semua intersep dari plot untuk adsorpsi ion tunggal maupun kompetitif menunjukkan

nilai positif. Ini berarti ko akan berharga negatif untuk semua ion logam yang diamati.

Namun ko yang diperoleh dituliskan bernilai positif.

Menurut Atkins, 1986 dan Masel, 1996 dalam Santosa (2001), model kinetika

L-H harus memenuhi mekanisme L-H yaitu : (i) spesies adsorbat haruslah dua atau

lebih, (ii) semua spesies harus pertama kali teradsorp pada adsorben, (iii) reaksi yang

menghasilkan produk di antara adsorbat harus terjadi pada permukaan adsorben dan

(iv) desorpsi produk dari permukaan adsorben (Santosa, 2001).

Berdasarkan alasan di atas, Santosa (2001) mengusulkan model kinetika baru

yang menggambarkan adsorpsi ion logam pada asam humat. Adsorpsi spesies A pada

adsorben P yang mencapai keseimbangan dapat dituliskan :

k1 →
A+P ← k− 1 A*P
dimana k1 : konstanta laju adsorpsi, k-1 : konstanta laju desorpsi. Jika θ0 adalah fraksi

situs adsorben yang tidak ditempati, θ1 adalah fraksi situs adsorben yang ditempati, θ0

+ θ1 = 1, dan adsorpsi mengikuti isoterm adsorpsi Langmuir, sehingga laju adsorpsi

(rads) dinyatakan :

rads = k1 θ0 CA

= k1 (1- θ1) CA (2)


26

dan laju desorpsi dinyatakan sebagai :

rdes = k-1 θ1 (3)

saat keseimbangan, rads = rdes atau

k1 (1- θ1) CA = k-1 θ1

( k1 - k-1 θ1) CA = k-1 θ1

k1
θ1 = (1 - θ1) CA (4)
k −1

dengan k1/k-1 = K (konstanta keseimbangan adsorpsi-desorpsi), maka persamaan (4)

dapat dituliskan :

KC A
θ1 = K (1- θ1) CA atau θ1 = (5)
1 +KC A

Substitusi persamaan (5) ke dalam persamaan (2) diperoleh :

KC A
rads = k1 (1- ) CA atau
1 +KC A

k1 C A
rads = (6)
1 +KC A

Laju adsorpsi dapat didefinisikan sebagai laju pengurangan spesies A (CA) dalam

larutan, maka :

dC A k1 C A
rads = - =
dt 1 +KC A

-dCA -K CA dCA = k1 CA dt

dC A
- -K dCA = k1 dt
CA
27

dC A
+ K dCA = - k1 dt (7)
CA

persamaan (7) diintegralkan, sehingga diperoleh :

ln CA + K CA = - k1t + Y (8)

dimana Y merupakan konstanta integrasi.

Pada saat t = 0, konsentrasi spesies A dalam larutan (CA) sama dengan konsentrasi

awal (CA0), dan parameter K belum ada sebelum proses adsorpsi berlangsung,

sehingga :

Y = ln CA0 (9)

Substitusi Y pada persamaan (9) ke dalam persamaan (8), diperoleh :

ln CA + K CA = - k1t + ln CA0 atau

ln (CA0/CA) = - k1t + K CA (10)

persamaan (10) dibagi CA, sehingga diperoleh :

CA 
ln  0 

 CA  = k t +K (11)
1
CA CA

 CA 
ln  0 
 terhadap t/CA akan diperoleh garis lurus dengan slope k1 dan intersep
Plot  C A 
CA

K.

Untuk mengetahui kapasitas dan energi adsorpsi dapat dihitung berdasarkan

model isoterm Langmuir sesuai dengan persamaan berikut :


28

C 1 C
= bK + b
m

dimana C : konsentrasi adsorbat sisa dalam larutan, m : jumlah adsorbat yang

teradsorp oleh adsorben, b : jumlah maksimum adsorbat yang mengisi adsorben, K :

konstanta keseimbangan adsorpsi.

Plot C/m terhadap C memberikan garis lurus dengan dengan slope 1/b dan

intersep 1/bK, sehingga tetapan K dan b dapat ditentukan. Berdasarkan harga K,

maka energi adsorpsi dapat dihitung menggunakan persamaan berikut :

Eads = R T ln K

dengan R adalah tetapan gas ideal (8,314 J/Kmol), dan T adalah temperatur (dalam

Kelvin) dan K adalah konstanta keseimbangan adsorpsi.

SIMPULAN

1. Besarnya Cd(II) dan Pb(II) yang teradsorp pada padatan elektrolit asam humat

sangat dipengaruhi keasaman (pH) medium.

2. Timbal(II) merupakan elektrofil yang lebih keras dibandingkan Cd(II),

mengakibatkan Pb(II) relatif lebih banyak dan lebih cepat teradsorp pada

asam humat

3. Isoterm adsorpsi Cd(II) dan Pb(II) pada asam humat mengikuti pola isoterm

Langmuir. Dengan meningkatnya Cd(II) yang membentuk kompleks Cd(II)-

AH telah meningkatkan agregasi asam humat, sehingga meningkatkan

kapasitas adsorpsi Cd(II) pada asam humat.


29

DAFTAR PUSTAKA

Adamson, A.W., 1990, Physical Chemistry of Surfaces, Fifth Editions, John Wiley
and Sons, Inc., New York.

Aiken, G.R., McKnight, D.M.,Wershaw, R.L. dan P. MacCarthy, P., 1985, “Humic
Substance in Soil, Sediment and Water” : Geochemistry, Isolation, and
Characterization, John Wiley & Sons, New York.

Alberty, R.A., Daniels, F., penerjemah N.M Surdia, 1992, Kimia Fisika, Edisi kelima,
Versi SI, Erlangga, Jakarta.

Alimin, 2000, “Fraksinasi Asam Humat dan Pengaruhnya pada Kelarutan Ion Logam
Seng(II), Kadmium(II), Magnesium(II), dan Kalsium(II)”, Tesis, Program
Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Avena, M.J. dan Koopal, L.K., 1999, Kinetics of Humic Acid Adsorption at Solid-
Water Interfaces, Environ. Sci. Technol., 33: 2739-2744.

Bohari, 1996, “Analisis Cd, Pb dan Cu dengan Metoda Voltametri Pelarutan Kembali
Anodik Pulsa Differensial”, Tesis, Program Pascasarjana, Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta.

Chung, K.H., Seong W.Rhee, Hyun S.Shin, dan Christopher H.Moon, 1996, “Probe
of Cadmium (II) Binding on Soil Fulvic Acid Investigated by 113Cd NMR
Spectroscopy”, Can. J. Chem, 74: 1360-1365.

Connel, D.W., dan Miller, G.J., Penerjemah Yanti Koestoer, 1995, “Kimia dan
Ekotoksikologi Pencemaran”, UI Press, Jakarta.

Darmono, 1995, “Logam dalam Sistem Biologi Makhluk Hidup”, UI-Press, Jakarta.
30

Freedman, B., 1995, “Environmental Ecology”, Second Edition, Academic Press,


London.

Fukushima, M., Nakayasu, K., Tanaka, S., and Nakamura, H., 1995, “Chromium(III)
Binding Abilities of Humic Acids, Anal. Chim. Acta, 317 : 195-206.

Gardea, J.L.-Torresday, Tang, L., dan Salvador, J.M., “ Copper Adsorption by


Sphagnum Peat Moss and Its Different Humic Fractions”, Proceedings of
the 10th Annual Conference on Hazardous waste Research, Texas.

Gaffney, J.S., Marley, N.A., Clarck, S.B., 1996, Humic and Fulvic Acids : Isolation,
Structure and Environmental Role, American Chemical Society,
Washington, DC.

Giddings, J.C., 1991, “Unified Separation Science”, John Wiley&Sons, New York.

Ghosh, K., dan Schnitzer, M., 1980, “Macromolecular Structures of Humic


Substances”, Soil Science, 129

Hayes, M.B., dan Himes, F.L., 1986, “Nature and Properties of Humus-Mineral
Complexes”, In : “Interaction of Soil Mineral with Natural Organics and
Microbes” (P.M. Huang dan M.Schnitzer), Soil Sci. Soc. Am. Special Publ.,
17, Soil Sci. Am., Madison, WI : 103-158.

Huang, P. M.dan Schnitzer, M., 1986, “Interaction of Soils Minerals With Natural
Organic and Microbes”, Soil Sci. Soc. Am. Inc., New York.

Hunter K.A, Kim P.J, dan Reid R.Malcolm, 1999, “Factors Influencing the Inorganic
Speciation of Trace Metal Cations in Fresh Waters”, Mar.Freshwater Res.,
50 : 367-372.

Inbar, Y., Y. Chen, dan Y. Hadar, 1989, “Solid-State Carbon-13 Nuclear Magnetic
Resonance and Infrared Spectroscopy of Composted Organic Matter”, Soil
Sci. Soc. Am. J. 53 : 1695-1701.

Ishiwatari, R., 1985, “Geochemistry of Humic Subtances in Lake Sediments” (dalam


Aiken, dkk, 1985, Humic Subtances in Soils, Sediment and Water :
Geochemistry, Isolation, and Characterization, John Wiley & Sons, New
York.

Jin, X., Bailey G.W., Yu, Y.S., dan Lynch, A.T., 1996, “Kinetics of Single and
Multiple Metal Ion Sorption Processes on Humic Subtances”, Soil Science,
161 : 509-519.
31

Kadidae, L.O., 2000, “Sintesis Benzileugenol daan Pemanfaatannya sebagai


Komponen Membran ESI”, Tesis, Program Pascasarjana, Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta.

Kerndorff, H., dan Schnitzer, M., 1980, “Sorption of Metals on Humic Acid”,
Geochim. Cosmochim. Acta, 44 : 1577-1581.

Kipton, H., Powell, J. and Town, R.M., 1992, “Solubility and Fractionation of Humic
Acid, Effect of pH and Ionic Medium”, Anal. Chim. Acta, 267 : 47-54.
Liu Aiguo dan Gonzales, R.D., 2000, “Modeling Adsorption of Copper(II),
Cadmium(II) and Lead(II) on Purified Humic Acid”, Langmuir, 16 : 3902-
3909.

Liu C. dan Huang, P.M., 1999, “Atomic Force Microscopy of pH, Ionic Strength and
Cadmium Effects on Surface Features of Humic Acid”, In :
“Understanding Humic Substances” : Advanced Methods, Properties and
Applications, The Royal Society of Chemistry, Cambridge, UK.

Manahan, S.E., 2000, ”Environmental Chemistry”, Seventh Edition, Willard Grant


Press, Boston.

Diantariani, Ni,Putu 2001, “Studi Adsorpsi-Desorpsi Paraquat pada Tanah Vertisol


Lombok dan Toksisitasnya terhadap Fitoplankton Chlorella sp”, Tesis,
Program Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Ościk, J., 1982, “Adsorption”, John Wiley & Sons, New York.

Sanchez-Cortez, S., Francioso, O., Garcia-Ramos, J.V., Marzadori, C., and Gessa,
C.C.C., 2000, “Formation of Humic-like substances from Phenols by means
SERS Spectroscopy, p.121, In : Proceedings 10th International Meeting of
the International-Humic Substances Society, IHSS 10, 24-28 July 2000-
Touluse (France).

Santosa, S.J., 2001, “Adsorption Kinetics of Cd(II) and Cr(III) by Humic Acid”,
dalam Prosiding Seminar Nasional Kimia IX, Jurusan Kimia Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta, 21 Mei 2001.

Saragih, B.S., 2002, “Isolasi Asam Humat dan Aplikasinya sebagai Sensitizer dalam
Fotoreduksi Fe(III)”, Tesis, Program Pascasarjana, Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta.
32

Schnitzer, M., 1986, “ Pengikatan Bahan Humat oleh Koloid Mineral Tanah”,
(dalam Huang, P.M, dan Schnitzer, M., 1986, “Interaksi Mineral Tanah
dengan Organik Alami dan Mikroba”, Terjemahan : Goenadi, D.H., 1997),
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Schlebaum, W., 1999, “Organic Contaminants in Soil Desorption Kinetics and


Microbial Degradation”, Wageningen.

Senesi, N., 1994, “Spectroscopic Studies of Metal Ion Humic Substance


Complexation in Soil”, In : 15th World Congress of Soil Sci., Acapulco,
Mexico.

Spark, K.M., Wells, J.D., dan Johnson, B.B., 1997, “The Interaction of Humic Acid
With Heavy Metals”, Aus. J. Soil Res., 35 : 89-101.

Stevenson, F.J., 1994, “Humus Chemistry : Genesis, Composition, Reactions”, John


Wiley & Sons Inc., New York.

Stumm, W dan Morgan, J.J, 1996, “Aquatic Chemistry”, Third Edition, John Wiley &
Sons, Inc, New York.

Santosa, S., Narsito, dan Sudino, S.J., 2001, “Studi Interaksi Asam Humat dengan
Cu(II) dan Ni(II)”, dalam Prosiding Seminar Nasional Kimia IX, Jurusan
Kimia Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 21 Mei 2001.

Sujandi, 2002, “ Immobilisasi Asam Humat pada Permukaan Silika Gel dan
Aplikasinya untuk Adsorpsi Tembaga (II) dan Kalsium(II)”, Skripsi,
Jurusan Kimia, FMIPA, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Tan, K.H., 1998, “Dasar-dasar Kimia Tanah”, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.

Tarchitzky, J., Y.Chen., dan A.Banin, 1993, “Humic Subtances and pH Effects on
Sodium-and Calcium-Montmorillonite Flocculation and Dispersion”, Soil
Science Soc. Am. J, 57 : 367-372.

Torresdey, J.L.G., Tang, L., and Salvador, J.M., 1999, “Copper Adsorption by
Sphagnum Peat Moss and Its Different Humic Fraction”, Proceeding of the
10th Annual Conference on Hazardous Waste Research, 249-259.

Uripto, T.S., 2001, “Kajian Kinetika Reduksi dan Fotoreduksi Cr(VI) oleh Asam
Humat”, Tesis, Program Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.
33

Varrault, G., Camel, V., and Bermond, A., 2000, Adsorption of Trace Metal Ion onto
Humic Acid, p. 587-588, in: Proceedings 10th International Meeting of the
International-Humic Substances Society, IHSS 10, 24-28 July 2000-Touluse
(France).

Zavarzina, A.G., Demin, V.V., 2000, Complexation of Molecular-Size Fractionated


Humic Acids with Zink and Cadmium, p. 649-654, in: Proceedings 10th
International Meeting of the International-Humic Substances Society, IHSS
10, 24-28 July 2000-Touluse (France).

Daftar pertanyaan

1. Mengapa yang dibahas asam humat? Bagaimana dengan tanah gambut?

Kenapa sering terjadi kebakaran? (pertanyaan maria ulfa)

Jawab. Pada makalah saya menekankan pada senyawa asam humat sehingga

pokok bahasannya pada senyawa humat, tanah gambut adalah tanah yang

seperti spons (menyerap air). maka pada saat pohon ditebang dan lahannya

dibuka, akan terjadi subsidensi sehingga tanah gambut yang sifatnya

hidropobik tidak akan dapat lagi menyerap air dan kemudian mengering.

Dalam proses ini, terjadilah pelepasan karbon dan sekaligus mengakibatkan

lahan gambut rentan terhadap kebakaran yang pada gilirannya dapat

menyumbangkan pelepasan emisi karbon lebih lanjut. Selain itu, kebakaran

diperparah akibat meningkatnya pemanasan global itu - kemarau ekstrim,

yang seringkali dikaitkan dengan pengaruh iklim El Niño, memberikan

kondisi ideal untuk terjadinya kebakaran hutan dan lahan.


34

Setiap tahunnya dalam musim kemarau, hampir berturut-turut, kejadian

kebakaran hutan dan lahan berulang dengan berbagai tingkatan. Pada tahun

2002 dan 2005, kebakaran hutan dan lahan terjadi kembali dengan skala yang

cukup besar terutama diakibatkan oleh konversi hutan di lahan gambut. Dari

data yang terkumpul terhitung sejak 1997-98, rata-rata 80% kebakaran hutan

dan lahan terjadi di lahan gambut. Data yang dianalisis WWF-Indonesia

menunjukkan bahwa di Provinsi Kalimantan Tengah mayoritas kejadian

kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2002-2003 terjadi di lahan gambut

2. Mengapa struktur asam humat disebut struktur hipotetik? (DR. Siti Sundari)

Jawab. Struktur Asam Humat disebut strutur hipotetik karena masih berupa rumusan

hipotesa hal ini disebabkan banyak analisa analisa rumus asam humat dari beberapa

ilmuwan ada beberapa rumus hipotetik asam humat diantaranya, atas sistem cincin

aromatik yang mengandung gugus -COOH dan –OH (Stevenson, 1994).


35

O
HO COOH
COOH
HO
OH OH
HO
O COOH

HO COOH

H3CO COOH
O

Gambar 1 Struktur hipotetik asam humat menurut Fuch (Stevenson, 1994)

Berdasarkan gugus fungsional reaktif hasil degradasi asam humat, maka

struktur inti asam humat terdiri atas cincin aromatik, di-, atau trihidroksifenol yang

dijembatani oleh –O-, -(CH2)-, -NH- dan :N-. Selain itu, gugus-gugus fungsional

utama yang terdapat pada asam humat adalah gugus –COOH, -OH dan kuinon. Pada

keadaan alami, molekul-molekul tersebut mengandung residu protein dan karbohidrat

yang sebagian besar dihubungkan oleh ikatan kovalen pada struktur inti.

Struktur pertama yang menggunakan konsep tersebut dikemukakan oleh

Dragunov (Konokova, 1966 dalam Stevenson, 1994) seperti terlihat pada Gambar

2.2. Pada struktur ini dapat dilihat cincin aromatis di- dan trihidroksilbenzena (1),

nitrogen dalam bentuk siklis (2), nitrogen dalam rantai periperal (3) dan residu

karbohidrat (4).
36

(4)
COOH
C6H11O5
O HO
HO CH2 OH
CH CH2 CH CH2 O
(2) (2)
O (1) H2C O (1) CH (1) H2C O (1) HC (1) H2C O (1) O
N N

O O CH3 O OH
OCH3
C HN C8H16O3N
O
(3) (4)

Gambar 2 Struktur hipotetik asam humat menurut Dragunov memperlihatkan : 1) cincin


aromatik, 2) nitrogen dalam bentuk siklis, 3) nitrogen dalam rantai periperal
dan 4) residu karbohidrat.
Struktur lain dikemukakan oleh Flaig, dimana asam humat mengandung

gugus –OH fenolat dalam jumlah cukup melimpah, tetapi gugus karboksilatnya relatif

sedikit (Stevenson, 1994), ditunjukkan pada Gambar 2.3.


Ar

O OH
OH
C
O O OH OH O
OH H COOH
OCH3 O HO OH
O
COOH O
O

(CH2)3 O
N
H O C

Ar

Gambar 3 Struktur hipotetik asam humat menurut Flaig (Stevenson, 1994)

Struktur asam humat yang saat ini dianggap memenuhi konsep-konsep yang

telah ada dikemukakan oleh Stevenson (1994). Pada struktur hipotetik ini, asam

humat mengandung gugus –OH fenolat, -COOH yang terikat pada cincin aromatik

dan kuinon yang dijembatani oleh nitrogen dan oksigen


37

gugus COOH aromatis (terisolasi) gugus OH fenolat


HC=O (ikatan hidrogen)
gugus kuinon
(HC-OH) 4
COOH (gula) C=O
COOH COOH H
RCH O O OH
HO O
H O COOH
O N O O CH-CH 2
HO
O COOH
OH OH O CH
O
N
O NH
gugus OH fenolat O OH
(bebas) oksigen sebagai
RCH
jembatan gugus COOH yang
N siklik
C=O saling berdampingan
(peptida)
NH

Gambar 4 Struktur hipotetik asam humat menurut Stevenson

You might also like