Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
1. Pengertian perkawinan
1
2. Hakikat, asas, syarat, tujuan perkawinan menurut peraturan
perundang-undangan
3. Perkawinan campuran
A. PENGERTIAN PERKAWINAN
a. Hakikat Perkawinan
1 Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian, Jakarta, Rineka Cipta, 1997,
h.94
2 R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Azis Safioedin, Hukum Orang dan Hukum Keluarga, Bandung,
Alumni, 1985, h.31
3
Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 2 hakikat perkawinan adalah
untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakanya merupakan ibadah.
Menurut UU No. 1/1974 pasal 1, hakikat perkawinan adalah ikatan
lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami
isteri. Jadi hakikat perkawinan bukan sekedar ikatan formal belaka,
tetapi juga ikatan batin antara pasangan yang sudah resmi sebagai
suami dan isteri.
Sedangkan menurut KUHPerdata hakikat perkawinan adalah
merupakan hubungan hukum antara subyek-subyek yang mengikatkan
diri dalam perkawinan. Hubungan tersebut didasarkan pada
persetujuan di antara mereka dan dengan adanya persetujuan tersebut
mereka menjadi terikat.
b. Asas Perkawinan
Menurut UU No. 1/1974 pasal 3 adalah asas monogami relatif,
artinya boleh sepanjang hukum dan agamanya mengizinkan.
c. Syarat Sahnya Perkawinan
Menurut pasal 14 KHI dalam melaksanakan perkawinan harus ada
calon suami dan isteri, wali nikah, dua orang saksi serta sighat akad
nikah.
Menurut pasal 2 UU No. 1/1974 bahwa perkawinan adalah sah jika
dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.
Setiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Hal ini sejalan dengan KHI, dalam pasal 4 KHI bahwa
perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut Hukum Islam. Dan
dalam pasal 5 KHI bahwa setiap perkawinan harus dicatat agar terjamin
ketertiban perkawinan. Kemudian dalam pasal 6 KHI bahwa perkawinan
yang dilakukan di luar pengawasan pegawai pencatatan nikah tidak
mempunyai kekuatan hukum.
Pada pasal 6 s/d 12 UU No. 1/1974 syarat-syarat perkawinan,
yaitu adanya persetujuan kedua calon mempelai, ada izin orang tua
atau wali bagi calon yang belum berusia 21 tahun, usia calon pria
berumur 19 tahun dan perempuan berumur 16 tahun, tidak ada
hubungan darah yang tidak boleh kawin, tidak ada ikatan perkawinan
dengan pihak lain, tidak ada larangan kawin menurut agama dan
kepercayaannya untuk ketiga kalinya, tidak dalam waktu tunggu bagi
wanita yang janda.
Sedangkan syarat perkawinan menurut KUHPerdata adalah
syarat material absolut yaitu asas monogami, persetujuan kedua calon
mempelai, usia pria 18 tahun dan wanita 15 tahun, bagi wanita yang
pernah kawin harus 300 hari setelah perkawinan yang terdahulu
dibubarkan. Sedang syarat material relatif, yaitu larangan untuk kawin
dengan orang yang sangat dekat di dalam kekeluargaan sedarah atau
karena perkawinan, larangan untuk kawin dengan orang yang pernah
melakukan zina, larangan memperbaharui perkawinan setelah adanya
perceraian jika belum lewat waktu 1 tahun.
d. Tujuan Perkawinan
Dalam pasal 1 UU No. 1/1974 adalah untuk membentuk keluarga
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sedangkan dalam KUHPerdata tidak ada satu pasalpun yang secara
jelas-jelas mencantumkan mengenai tujuan perkawinan itu.
Dalam pasal 3 Kompilasi Hukum Islam tujuan perkawinan adalah
untuk mewujudkan kehidupan berumah tangga yang sakinah,
mawaddah, dan rahmah.
Sedangkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata memandang
soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata.
C. PERKAWINAN CAMPURAN
5
Dan syarat-syarat perkawinan campuran pada pasal pasal 59
ayat 2 UU No. 1/1974, dari pasal ini menunjukan prinsip Lex loci actus
yaitu menunjuk dimana perbuatan hukum tersebut dilangsungkan. Hal
ini berarti perkawinan campuran di Indonesia dilakukan menurut hukum
perkawinan Indonesia.
D. PERKAWINAN DI LUAR NEGERI
6 Ahmad Sukarja, Perkawinan Berbeda Agama Menurut Hukum Islam, Editor Chuzaimah T
Yanggo, DR,H & Hafiz Anshary, Drs,MA, Problematika Hukum Islam Kontemporer, Jakarta, PT Pustaka
Firdaus, 1996, h. 17-18
9
tersebut berarti bahwa perkawinan harus dilakukan menurut hukum
agamanya, dan ketentuan yang dilarang oleh agama berarti dilarang
juga oleh undang-undang perkawinan.7 Selaras dengan itu, Prof. Dr.
Hazairin S.H., menafsirkan pasal 2 ayat 1 beserta penjelasanya bahwa
bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk menikah dengan
melanggar hukum agamanya., demikian juga bagi mereka yang
beragama Kristen, Hindu, Budha.8
Pendapat yang menyatakan bahwa perkawinan antar agama
adalah sah dan dapat dilangsungkan, karena telah tercakup dalam
perkawinan campuran, dengan argumentasi pada pasal 57 tentang
perkawinan campuran yang menitikberatkan pada dua orang yang di
Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, yang berarti pasal ini
mengatur perkawinan antara dua orang yang berbeda
kewarganegaraan juga mengatur dua orang yang berbeda agama.
Pada pasal 1 Peraturan Perkawinan campuran menyatakan bahwa
perkawinan campuran adalah perkawinan antara orang-orang yang di
Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan. Akibat kurang jelasnya
perumusan pasal tersebut, yaitu tunduk pada hukum yang berlainan,
ada beberapa penafsiran dikalangan ahli hukum.
Pendapat pertama menyatakan bahwa perkawinan campuran
hanya terjadi antara orang-orang yang tunduk pada hukum yang
berlainan karena berbeda golongan penduduknya. Pendapat kedua
menyatakan bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan antara
orang-orang yang berlainan agamanya. Pendapat ketiga bahwa
perkawinan campuran adalah perkawinan antara orang-orang yang
berlainan asal daerahnya.9
Pendapat yang menyatakan bahwa perkawinan antar agama
sama sekali tidak diatur dalam UU No. 1/1974, oleh karena itu
berdasarkan pasal 66 UU No. 1/1974 maka persoalan perkawinan beda
agama dapat merujuk pada peraturan perkawinan campuran, karena
11
2. Laki-laki beragama Islam menikah dengan perempuan non-Islam
13
Non Arab.
2. Lelaki Muslim dengan perempuan Ahli Kitab. Yang dimaksud dg
Ahli Kitab di sini adalah agama Nasrani dan Yahudi (agama
samawi). Hukumnya boleh, dengan dasar Surat Al Maidah(5) ayat
5:
ُ َل ل ُ كللم الط ّيبللات وط َعللام اّلللذي ِ ُم أ
م ْ كلل ّ حللِ بَ ن أوُتللوا ال ْك َِتللا َ ِ ُ َ َ ُ َّ ُ ُ َل ل ّ حلل َ ْال َْيللو
نَ ذي ِ ن ال ّلَ ملِ ت ُ صَناَ ح ْ مُ ْ ت َوال ِ مَناِ ْ مؤ ُ ْ ن ال َ مِ ت ُ صَنا َ ح ْ مُ ْ م َوال ْ ُل ل َه ّ ح ِ م ْ ُ مك ُ وَط ََعا
ُ ُ
نَ حي ِ ِساف َ مُ ن غ َي َْر
َ صِني ِ ح ْ مُ ن ّ ُجوَره ُ نأ ّ ُموه ُ ُ م إ َِذا آت َي ْت ْ ُ ن قَب ْل ِك ْ م ِ ب َ أوُتوا ال ْك َِتا
ة
ِ خللَر ِ ه وَهُوَ ِفي ال ُ ُ مل
َ َط ع َ ِ حبَ ْ قد َ َن ف ِ ما َ فْر ِبالي ُ ْ ن ي َكْ م َ َن و ٍ دا َ خ ْ َ ذي أ ِ خِ ّ متُ َول
ن
َ ري ِ س
ِ خا ْ
َ ن ال َ م ِ
ح
ِ ِ صا ِل َ ب ْال
َ م ِ ْ جل
َ ى
َ عل
َ م
ٌ ّ قد
َ م
ُ ِ سد
ِ فا َ ْ د َْرءُ ال
َ م
“Menampik keburukan lebih diutamakan daripada
mendatangkan manfaat’.”
Dalam hal ini, kemurtadan dan brokrn home harus didahulukan
daripada upaya mencari atau menariknya kedalam islam
(Islamisasi), anak-anak dari keturunannya nanti, dan keluarga besar
dari masing-masing suami dan istri.
17
BAB III
KESIMPULAN
perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad
yang sangat kuat atau miitsaaqan gholiidhzan untuk mentaati perintah
Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
hukum nikah beda agama terbagi menjadi beberapa hukum :
:1. Suami Islam, istri ahli kitab = boleh
2. Suami Islam, istri kafir bukan ahli kitab = haram
3. Suami ahli kitab, istri Islam = haram.
4. Suami kafir bukan ahli kitab, istri Islam = haram
Hukum positif Indonesia pun juga melarang perkawinan berbeda
agama, yakni tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam, yang
mengkategorikan perkawinan antar pemeluk agama dalam bab
larangan perkawinan. Pada pasal 40 point c dinyatakan bahwa dilarang
melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang
wanita yang tidak beragama Islam. Kemudian dalam pasal 44
dinyatakan bahwa seorang wanita Islam dilarang melangsungkan
perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.
Perkawinan antar agama yang terjadi dalam kehidupan
masyarakat, seharusnya tidak terjadi jika dalam hal ini negara atau
pemerintah secara tegas melarangnya dan menghilangkan sikap
mendua dalam mengatur dan melaksanakan suatu perkawinan bagi
rakyatnya. Sikap ambivalensi pemerintah dalam perkawinan beda
agama ini terlihat dalam praktek bila tidak dapat diterima oleh Kantor
Urusan Agama, dapat dilakukan di Kantor Catatan Sipil dan
menganggap sah perkawinan berbeda agama yang dilakukan diluar
negeri.
DAFTAR PUSTAKA
Andi Hamzah, Dr., SH, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia Jakarta, 1986.
Satjitpto Rahardjo, Prof. Dr., SH, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti
Bandung, 2000.
19
Soimin, Soedharyo, SH, Hukum Orang dan Keluarga, Jakarta, Sinar
Grafika, 2002
Usman Adji, Sution, SH, Kawin Lari dan Kawin Antar Agama, Yogyakarta,
Liberty, 1989
www.Indonesialawcenter.com
www.penulislepas.com