You are on page 1of 20

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sangat dalam dan kuat


sebagai penghubung antara seorang pria dengan seorang wanita dalam
membentuk suatu keluarga atau rumah tangga.
Perkawinan beda agama bagi masing-masing pihak menyangkut
akidah dan hukum yang sangat penting bagi seseorang. Hal ini berarti
menyebabkan tersangkutnya dua peraturan yang berlainan mengenai
syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan perkawinan sesuai dengan
hukum agamanya masing-masing.
Kenyataan dalam kehidupan masyarakat bahwa perkawinan
berbeda agama itu terjadi sebagai realitas yang tidak dipungkiri.
Berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku secara
positif di Indonesia, telah jelas dan tegas menyatakan bahwa
sebenarnya perkawinan antar agama tidak diinginkan, karena
bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Tetapi ternyata
perkawinan antar agama masih saja terjadi dan akan terus terjadi
sebagai akibat interaksi sosial diantara seluruh warga negara Indonesia
yang pluralis agamanya. Banyak kasus-kasus yang terjadi didalam
masyarakat, seperti perkawinan antara artis Jamal Mirdad dengan Lydia
Kandau, Katon Bagaskara dengan Ira Wibowo, Yuni Shara dengan Henri
Siahaan, Adi Subono dengan Chrisye, Ari Sihasale dengan Nia
Zulkarnaen, Dedi Kobusher dengan Kalina, Frans dengan Amara, Sonny
Lauwany dengan Cornelia Agatha, dan masih banyak lagi.
Dari kenyataan yang terjadi di dalam masyarakat terhadap
perkawinan berbeda agama, menurut aturan perundang-undangan itu
sebenarnya tidak dikehendaki. Berangkat dari permasalahan tersebut,
maka penulis mencoba memberikan pendapat tentang Perkawinan
Berbeda Agama Menurut Hukum Positif Indonesia Dan Hukum Islam.
B. Rumusan Masalah

1. Pengertian perkawinan

1
2. Hakikat, asas, syarat, tujuan perkawinan menurut peraturan
perundang-undangan

3. Perkawinan campuran

4. Perkawinan di luar negeri

5. Perkawinan menurut hukum agama


6. Perkawinan beda agama menurut hukum positif indonesia
7. Perbedaan pandangan tentang perkawinan beda agama

8. Pandangan islam tentang hukum nikah beda agama


BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN PERKAWINAN

Menurut pasal 1 UU No. 1/1974 tentang Perkawinan, yang


dimaksud perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sedangkan di dalam ketentuan pasal-pasal KUHPerdata, tidak
memberikan pengertian perkawinan itu. Oleh karena itu untuk
memahami arti perkawinan dapat dilihat pada ilmu pengetahuan atau
pendapat para sarjana. Ali Afandi mengatakan bahwa “perkawinan
adalah suatu persetujuan kekeluargaan”.1 Dan menurut Scholten
perkawinan adalah ”hubungan hukum antara seorang pria dengan
seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal, yang diakui oleh
negara”.2
Menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 2 bahwa perkawinan
menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat
atau miitsaaqan gholiidhzan untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah.
Jadi perkawinan adalah suatu ikatan lahir dan batin antara
seorang pria dengan seorang wanita untuk membentuk suatu keluarga
yang kekal. Sedangkan yang dimaksud dengan Hukum Perkawinan
adalah hukum yang mengatur mengenai syarat-syarat dan caranya
melangsungkan perkawinan, beserta akibat-akibat hukum bagi pihak-
pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut.
B. HAKIKAT, ASAS, SYARAT, TUJUAN PERKAWINAN MENURUT
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

a. Hakikat Perkawinan
1 Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian, Jakarta, Rineka Cipta, 1997,
h.94
2 R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Azis Safioedin, Hukum Orang dan Hukum Keluarga, Bandung,
Alumni, 1985, h.31
3
Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 2 hakikat perkawinan adalah
untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakanya merupakan ibadah.
Menurut UU No. 1/1974 pasal 1, hakikat perkawinan adalah ikatan
lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami
isteri. Jadi hakikat perkawinan bukan sekedar ikatan formal belaka,
tetapi juga ikatan batin antara pasangan yang sudah resmi sebagai
suami dan isteri.
Sedangkan menurut KUHPerdata hakikat perkawinan adalah
merupakan hubungan hukum antara subyek-subyek yang mengikatkan
diri dalam perkawinan. Hubungan tersebut didasarkan pada
persetujuan di antara mereka dan dengan adanya persetujuan tersebut
mereka menjadi terikat.
b. Asas Perkawinan
Menurut UU No. 1/1974 pasal 3 adalah asas monogami relatif,
artinya boleh sepanjang hukum dan agamanya mengizinkan.
c. Syarat Sahnya Perkawinan
Menurut pasal 14 KHI dalam melaksanakan perkawinan harus ada
calon suami dan isteri, wali nikah, dua orang saksi serta sighat akad
nikah.
Menurut pasal 2 UU No. 1/1974 bahwa perkawinan adalah sah jika
dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.
Setiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Hal ini sejalan dengan KHI, dalam pasal 4 KHI bahwa
perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut Hukum Islam. Dan
dalam pasal 5 KHI bahwa setiap perkawinan harus dicatat agar terjamin
ketertiban perkawinan. Kemudian dalam pasal 6 KHI bahwa perkawinan
yang dilakukan di luar pengawasan pegawai pencatatan nikah tidak
mempunyai kekuatan hukum.
Pada pasal 6 s/d 12 UU No. 1/1974 syarat-syarat perkawinan,
yaitu adanya persetujuan kedua calon mempelai, ada izin orang tua
atau wali bagi calon yang belum berusia 21 tahun, usia calon pria
berumur 19 tahun dan perempuan berumur 16 tahun, tidak ada
hubungan darah yang tidak boleh kawin, tidak ada ikatan perkawinan
dengan pihak lain, tidak ada larangan kawin menurut agama dan
kepercayaannya untuk ketiga kalinya, tidak dalam waktu tunggu bagi
wanita yang janda.
Sedangkan syarat perkawinan menurut KUHPerdata adalah
syarat material absolut yaitu asas monogami, persetujuan kedua calon
mempelai, usia pria 18 tahun dan wanita 15 tahun, bagi wanita yang
pernah kawin harus 300 hari setelah perkawinan yang terdahulu
dibubarkan. Sedang syarat material relatif, yaitu larangan untuk kawin
dengan orang yang sangat dekat di dalam kekeluargaan sedarah atau
karena perkawinan, larangan untuk kawin dengan orang yang pernah
melakukan zina, larangan memperbaharui perkawinan setelah adanya
perceraian jika belum lewat waktu 1 tahun.
d. Tujuan Perkawinan
Dalam pasal 1 UU No. 1/1974 adalah untuk membentuk keluarga
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sedangkan dalam KUHPerdata tidak ada satu pasalpun yang secara
jelas-jelas mencantumkan mengenai tujuan perkawinan itu.
Dalam pasal 3 Kompilasi Hukum Islam tujuan perkawinan adalah
untuk mewujudkan kehidupan berumah tangga yang sakinah,
mawaddah, dan rahmah.
Sedangkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata memandang
soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata.
C. PERKAWINAN CAMPURAN

Dalam pasal 57 UU No. 1/1974 perkawinan campuran adalah


antara dua orang di Indonesia yang tunduk pada hukum yang
berlainan, karena beda warga negara dan salah satu warga negaranya
adalah warga negara Indonesia.
Jadi unsur-unsur yang terdapat dalan perkawinan campur adalah
perkawinan dilakukan di wilayah hukum Indonesia dan masing-masing
tunduk pada hukum yang berlainan karena perbedaaan
kewarganegaraan, yang salah satu pihak harus warga negara
Indonesia.

5
Dan syarat-syarat perkawinan campuran pada pasal pasal 59
ayat 2 UU No. 1/1974, dari pasal ini menunjukan prinsip Lex loci actus
yaitu menunjuk dimana perbuatan hukum tersebut dilangsungkan. Hal
ini berarti perkawinan campuran di Indonesia dilakukan menurut hukum
perkawinan Indonesia.
D. PERKAWINAN DI LUAR NEGERI

Menurut pasal 83 KUHPerdata, perkawinan yang dilangsungkan di


luar Indonesia, baik antara warga negara Indonesia dan dengan warga
negara lain adalah sah, jika perkawinan dilangsungkan menurut cara
atau aturan negara tersebut dan tidak melanggar ketentuan-ketentuan
dalam KUHPerdata. Kemudian dalam waktu satu tahun setelah suami-
isteri tersebut kembali di wilayah Indonesia, maka perkawinan harus
dicatatkan dalam daftar pencatatan perkawinan di tempat tinggal
mereka (pasal 84 KUHPerdata).3
Pada pasal 56 UU No. 1/1974 mengatur perkawinan di luar negeri,
baik yang dilakukan oleh sesama warga negara Indonesia di luar negeri
atau salah satu pihaknya adalah warga negara Indonesia sedang yang
lain adalah warga negara asing, adalah sah bila dilakukan menurut
hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan itu berlangsung dan
bagi warga negara Indonesia tidak melanggar UU ini.4
Pasal 56 ayat 2 menentukan bahwa dalam waktu satu tahun
setelah suami isteri itu kembali di wilayah Indonesia, surat bukti
perkawinan harus didaftarkan di kantor pencatatan perkawinan tempat
tinggal mereka.5
1. PERKAWINAN MENURUT HUKUM AGAMA
Perkawinan hanya sah jika dilakukan menurut hukum agama
yang dianut oleh calon pasangan yang akan melaksanakan pernikahan.
Kedua pasangan suami isteri tersebut menganut agama yang sama.
Jika antara keduanya menganut agama yang berlainan, maka
perkawinan tidak dapat dilangsungkan, kecuali apabila salah satunya

3 P.N.H. Simanjuntak, S.H., Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta, Djambatan, 1999, h. 56


4 P.N.H. Simanjuntak, Ibid, h. 76
5 Ibid
menganut agama calon lainnya tersebut.
E. PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT HUKUM POSITIF
INDONESIA
Dasar hukum perkawinan di Indonesia yang berlaku sekarang ada
beberapa peraturan, diantaranya adalah :
1. Buku I Kitab Undang-undang Hukum Perdata
2. UU No. 1/1974 tentang Perkawinan
3. UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama
4. PP No. 9/1975 tentang Peraturan Pelaksana UU No. 1/1974
5. Intruksi Presiden No. 1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia
Perkawinan di Indonesia diatur oleh UU No 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Berdasarkan UU tersebut perkawinan di definisikan
sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah
tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa.
Oleh karenanya dalam UU yang sama diatur bahwa perkawinan
adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama
dan kepercayaannya itu serta telah dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Namun bagaimana dengan perkawinan beda agama. Perkawinan
beda agama bukanlah perkawinan campuran dalam pengertian hukum
nasional kita karena perkawinan campuran menurut UU Perkawinan
disebut sebagai perkawinan yang terjadi antara WNI dengan WNA. Akan
tetapi perkawinan beda agama di masyarakat sering pula disebut
sebagai perkawinan campuran. Untuk memudahkan, tulisan ini hanya
akan menggunakan istilah perkawinan beda agama
UU Perkawinan sendiri penafsiran resminya hanya mengakui
perkawinan yang dilangsungkan berdasarkan agama dan kepercayaan
yang sama dari dua orang yang berlainan jenis yang hendak
melangsungkan perkawinan. Dalam masyarakat yang pluralistik seperti
di Indonesia, sangat mungkin terjadi perkawinan diantara dua orang
7
pemeluk agama yang berlainan. Beberapa diantara mereka yang
mempunyai kelimpahan materi mungkin tidak terlampau pusing karena
bisa menikah di negara lain, namun bagaimana yang kondisi
ekonominya serba pas-pasan. Tentu ini menimbulkan suatu masalah
hukum.
Ada dua cara dalam menyikapi perkawinan beda agama ini:
Pertama: Salah satu pihak dapat melakukan perpindahan
agama, namun ini dapat berarti penyelundupan hukum, karena
sesungguhnya yang terjadi adalah hanya menyiasati secara hukum
ketentuan dalam UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Namun
setelah perkawinan berlangsung masing-masing pihak kembali
memeluk agamanya masing-masing. Cara ini sangat tidak disarankan.
Kedua: Berdasarkan Putusan MA No 1400 K/Pdt/1986 Kantor
Catatan Sipil diperkenankan untuk melangsungkan perkawinan beda
agama. Kasus ini bermula dari perkawinan yang hendak dicatatkan oleh
Ani Vonny Gani P (perempuan/Islam) dengan Petrus Hendrik Nelwan
(laki-laki/Kristen).
Dalam putusannya MA menyatakan bahwa dengan pengajuan
pencatatan pernikahan di KCS maka Vonny telah tidak menghiraukan
peraturan agama Islam tentang Perkawinan dan karenanya harus
dianggap bahwa ia menginginkan agar perkawinannya tidak
dilangsungkan menurut agama Islam. Dengan demikian, mereka
berstatus tidak beragama Islam, maka KCS harus melangsungkan
perkawinan tersebut.
Nah putusan ini, secara sekilas hanya berlaku bila perempuan
yang beragama Islam dan Laki-laki yang beragama Nasrani hendak
melangsungkan perkawinan. Lalu bagaimana dengan bila sebaliknya?
Secara argumentum a contrario maka KUA wajib melangsungkan
perkawinannya, karena perempuan yang beragama Nasrani tidak lagi
menghiraukan statusnya yang beragama Nasrani. Oleh karena itu
melakukan penundukkan hukum secara jelas kepada seluruh Hukum
Islam yang terkait dengan perkawinan.
Dengan ini, dari semula pasangan yang berbeda agama tidak
perlu melakukan penyelundupan hukum dengan mengganti agama
untuk sementara, namun bisa melangsungkan perkawinan tanpa
berpindah agama.
Dalam memahami perkawinan beda agama menurut undang-
undang Perkawinan ada tiga penafsiaran yang berbeda. Pertama,
penafsiran yang berpendapat bahwa perkawinan beda agama
merupakan pelanggaran terhadap UU No. 1/1974 pasal 2 ayat 1 pasal
8. Pendapat kedua, bahwa perkawinan antar agama adalah sah dan
dapat dilangsungkan, karena telah tercakup dalam perkawinan
campuran, dengan argumentasi pada pasal 57 tentang perkawinan
campuran yang menitikberatkan pada dua orang yang di Indonesia
tunduk pada hukum yang berlainan, yang berarti pasal ini mengatur
perkawinan antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan juga
mengatur dua orang yang berbeda agama. Pendapat ketiga bahwa
perkawinan antar agama sama sekali tidak diatur dalam UU No. 1/1974,
oleh karena itu berdasarkan pasal 66 UU No. 1/1974 maka persoalan
perkawinan beda agama dapat merujuk pada peraturan perkawinan
campuran, karena belum diatur dalam undang-undang perkawinan.6
F. PERBEDAAN PANDANGAN TENTANG PERKAWINAN BEDA
AGAMA

Pendapat yang menyatakan perkawinan beda agama merupakan


pelanggaran terhadap UU No. 1/1974 pasal 2 ayat 1 pasal 8 , maka
instansi baik KUA dan Kantor Catatan Sipil dapat menolak permohonan
perkawinan beda agama berdasarkan pada pasal 2 ayat 1 pasal 8 UU
No. 1/1974 yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah, jika
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu. Dalam penjelasan UU ditegaskan bahwa dengan
perumusan pasal 2 ayat 1, maka tidak ada perkawinan di luar hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Ketentuan pasal

6 Ahmad Sukarja, Perkawinan Berbeda Agama Menurut Hukum Islam, Editor Chuzaimah T
Yanggo, DR,H & Hafiz Anshary, Drs,MA, Problematika Hukum Islam Kontemporer, Jakarta, PT Pustaka
Firdaus, 1996, h. 17-18

9
tersebut berarti bahwa perkawinan harus dilakukan menurut hukum
agamanya, dan ketentuan yang dilarang oleh agama berarti dilarang
juga oleh undang-undang perkawinan.7 Selaras dengan itu, Prof. Dr.
Hazairin S.H., menafsirkan pasal 2 ayat 1 beserta penjelasanya bahwa
bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk menikah dengan
melanggar hukum agamanya., demikian juga bagi mereka yang
beragama Kristen, Hindu, Budha.8
Pendapat yang menyatakan bahwa perkawinan antar agama
adalah sah dan dapat dilangsungkan, karena telah tercakup dalam
perkawinan campuran, dengan argumentasi pada pasal 57 tentang
perkawinan campuran yang menitikberatkan pada dua orang yang di
Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, yang berarti pasal ini
mengatur perkawinan antara dua orang yang berbeda
kewarganegaraan juga mengatur dua orang yang berbeda agama.
Pada pasal 1 Peraturan Perkawinan campuran menyatakan bahwa
perkawinan campuran adalah perkawinan antara orang-orang yang di
Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan. Akibat kurang jelasnya
perumusan pasal tersebut, yaitu tunduk pada hukum yang berlainan,
ada beberapa penafsiran dikalangan ahli hukum.
Pendapat pertama menyatakan bahwa perkawinan campuran
hanya terjadi antara orang-orang yang tunduk pada hukum yang
berlainan karena berbeda golongan penduduknya. Pendapat kedua
menyatakan bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan antara
orang-orang yang berlainan agamanya. Pendapat ketiga bahwa
perkawinan campuran adalah perkawinan antara orang-orang yang
berlainan asal daerahnya.9
Pendapat yang menyatakan bahwa perkawinan antar agama
sama sekali tidak diatur dalam UU No. 1/1974, oleh karena itu
berdasarkan pasal 66 UU No. 1/1974 maka persoalan perkawinan beda
agama dapat merujuk pada peraturan perkawinan campuran, karena

7 Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, Jakara, CV Haji Masaung, 1993, h.3


8 Lihat Hazairin, Tinjauan Mengenai Undang-undang Perkawinan No 1/1974, Jakarta, Tintamas,
1986, h. 2
9 Masjfuk Zuhdi, Op. Cit., h. 2
belum diatur dalam undang-undang perkawinan. Berdasarkan pasal 66
UU No. 1/1974, maka semua peraturan yang mengatur tentang
perkawinan sepanjang telah diatur dalam UU No. 1/1974, dinyatakan
tidak berlaku lagi yaitu perkawinan yang diatur dalam Kitab Undang-
undang Hukum Perdata / BW, Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen
dan peraturan perkawinan campuran. Artinya beberapa ketentuan
tersebut masih berlaku sepanjang tidak diatur dalam UU No. 1/1974.
Dalam Kompilasi Hukum Islam mengkategorikan perkawinan
antar pemeluk agama dalam bab larangan perkawinan. Pada pasal 40
point c dinyatakan bahwa dilarang melangsungkan perkawinan antara
seorang pria dengan seorang wanita yang tidak beragama Islam.
Kemudian dalam pasal 44 dinyatakan bahwa seorang wanita Islam
dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak
beragama Islam.
KHI tersebut selaras dengan pendapat Prof. Dr. Hazairin S.H.,
yang menafsirkan pasal 2 ayat 1 beserta penjelasanya bahwa bagi
orang Islam tidak ada kemungkinan untuk menikah dengan melanggar
hukum agamanya.
Dalam KHI telah dinyatakan dengan jelas bahwa perkawinan beda
agama jelas tidak dapat dilaksanakan selain kedua calon suami isteri
beragama Islam. Sehingga tidak ada peluang bagi orang-orang yang
memeluk agama Islam untuk melaksanakan perkawinan antar agama.
G. PANDANGAN ISLAM TENTANG HUKUM NIKAH BEDA AGAMA

Seringkali kita jumpai pertanyaan “apa hukumnya bila nikah beda


agama, baik yg laki-laki atau perempuannya yg muslim, apa sah atau
tidak menurut Islam ?”. Pertanyaan ini sering muncul terutama ketika
kita berada di sebuah negara yang mayoritas penduduknya non
muslim, seperti di Australia ini. Mengenaihal ini, Prof. Masjfuk Zuhdi
dalam buku “Masail Fiqhiyah” dengan jelas menerangkan hukum
perkawinan beda agama menurut Islam.
Ada 2 jenis menikah beda agama:
1. Perempuan beragama Islam menikah dengan laki-laki non-Islam

11
2. Laki-laki beragama Islam menikah dengan perempuan non-Islam

Perempuan beragama Islam menikah dengan laki-laki non-Islam


Para ulam telah sepakat, bahwa hukum mengenai perempuan
beragama Islam menikah dengan laki-laki non-Islam adalah jelas-jelas
dilarang (haram). Dalil yg digunakan untuk larangan menikahnya
muslimah dengan laki-laki non Islam adalah :
1) Surat Al Baqarah(2) ayat 221 :

ْ ‫شلرِك َةٍ وَل َل‬


‫و‬ ْ ‫م‬ ُ ‫ن‬ ْ ‫مل‬ ِ ‫خي ْلٌر‬ َ ‫ة‬ٌ ‫من َل‬ِ ْ ‫مؤ‬ُ ‫ة‬ ٌ ‫مل‬ َ ‫ن َول‬ ّ ‫م‬ ِ ْ ‫حت ّللى ي ُلؤ‬َ ‫ت‬ ِ ‫كا‬ َ ِ ‫شر‬ ْ ‫م‬ ُ ْ ‫حوا ال‬ ُ ِ ‫َول ت َن ْك‬
َ
‫ك‬ ٍ ِ ‫ش لر‬ ْ ‫م‬ ُ ‫ن‬ْ ‫مل‬ ِ ‫خي ٌْر‬ َ ‫ن‬ ٌ ‫م‬ ُ ٌ ‫مُنوا وَل َعَب ْد‬
ِ ْ ‫مؤ‬ ِ ْ ‫حّتى ي ُؤ‬َ ‫ن‬ َ ‫كي‬ ِ ِ ‫شر‬ْ ‫م‬ ُ ْ ‫حوا ال‬ ُ ِ ‫م َول ت ُن ْك‬ ْ ُ ‫جب َت ْك‬َ ْ ‫أع‬
ِ ِ ‫فَرةِ ِبللإ ِذ ْن‬
‫ه‬ ِ ْ‫مغ‬َ ْ ‫جن ّةِ َوال‬
َ ْ ‫عو إ َِلى ال‬ ُ ْ ‫ه ي َد‬ُ ّ ‫ن إ َِلى الّنارِ َوالل‬ َ ‫عو‬ ُ ْ ‫ك ي َد‬َ ِ ‫م ُأول َئ‬ ْ ُ ‫جب َك‬
َ
َ ْ ‫وَل َوْ أع‬
َ ‫م ي َت َذ َك ُّرو‬
‫ن‬ ْ ُ‫س ل َعَل ّه‬ ِ ‫ن آَيات ِهِ ِللّنا‬ ُ ّ ‫وَي ُب َي‬

“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum


mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik
dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah
kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita
mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang
mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu.
Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan
ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
(perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil
pelajaran.”
2) Ijma para ulama tentang larangan perkawinan anatara wanita
muslimah dengan pria non muslim
Jadi, wanita musliman dilarang atau diharamkan menikah dengan
non muslim, apapun alasannya. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam
Alquran di atas. Bisa dikatakan, jika seorang muslimah memaksakan
dirinya menikah dengan laki-laki non Islam, maka akan dianggap
berzina.

Laki-laki beragama Islam menikah dengan perempuan non-


Islam
Pernikahan seorang lelaki Muslim dengan perempuan non muslim
terbagi atas 2 macam:
1. Lelaki Muslim dengan perempuan musyrik (non Ahli Kitab). Untuk
kasus ini, banyak ulama yg melarang, dengan dasar Al
Baqarah(2) ayat 222 :
‫ض َول‬ ِ ‫حيلل‬ ِ ‫م‬َ ْ ‫ساَء ِفي ال‬
َ
َ ّ ‫ل هُوَ أًذى َفاع ْت َزُِلوا الن‬ ْ ُ‫ض ق‬ِ ‫حي‬ َ ْ ‫ن ال‬
ِ ‫م‬ ِ َ‫ك ع‬َ َ ‫سأ َُلون‬
ْ َ ‫وَي‬
ّ ُ َ ْ َ ْ
‫ن‬
ّ ِ‫ه إ‬
ُ ‫م الل ل‬ُ ‫مَرك ل‬ َ ‫ثأ‬ُ ‫حي ْل‬
َ ‫ن‬ ْ ‫م‬
ِ ‫ن‬ّ ُ‫ن فَأُتوه‬ َ ‫ن فَإ َِذا ت َطهّْر‬ َ ‫حّتى ي َطهُْر‬ َ ‫ن‬ ّ ُ‫قَرُبوه‬ ْ َ‫ت‬
‫ن‬ ِ ّ‫مت َط َه‬
َ ‫ري‬ ُ ْ ‫ب ال‬
ّ ‫ح‬ِ ُ ‫ن وَي‬ َ ‫واِبي‬ ّ ّ ‫ب الت‬ ّ ‫ح‬ ِ ُ‫ه ي‬َ ّ ‫الل‬

“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum


mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih
baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan
janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-
wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak
yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik
hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke
surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-
ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka
mengambil pelajaran.”
Hanya dikalangan ulama timbul beberapa pendapat dalam hal
ini, siapa wanita musyrik yang haram dikawini in? Menurut Ibnu
Jarrir Ath-Thobari, bahwa musyrikah yang haram dikawini ini adalah
musyrikah dari bangsa Arab saja, karena bbangsa Arab pada waktu
turunnya Al-Qur’an memang tidak mengenal kitab suci dan mereka
menyembah berhala. Maka menurut pendapat ini seorang muslim
boleh menikah dengan wanita msyrik dari non Arab, seperti cina,
india dan jepang yang diduga dahulu mempunyai kitab suci atau
serupa kitabb suci, seperti pemuluk agama Budha, Hindu, Konghucu
yang percaya pada Tuhan Yang Maha Esa. Percaya adanya hidup
setelah mati, dan sebagainya. Muhammad Abduh juga sependapat
dengan ini (Rasyid Ridho, Tafsir Al-Manar).
Tetapi kebanyakan ulama berpendapat mengharamkan
minikah dengan semua musyrikah, baik musyrikah Arab maupun

13
Non Arab.
2. Lelaki Muslim dengan perempuan Ahli Kitab. Yang dimaksud dg
Ahli Kitab di sini adalah agama Nasrani dan Yahudi (agama
samawi). Hukumnya boleh, dengan dasar Surat Al Maidah(5) ayat
5:
ُ َ‫ل ل‬ ُ ‫كللم الط ّيبللات وط َعللام اّلللذي‬ ِ ُ‫م أ‬
‫م‬ ْ ‫كلل‬ ّ ‫حلل‬ِ ‫ب‬َ ‫ن أوُتللوا ال ْك َِتللا‬ َ ِ ُ َ َ ُ َّ ُ ُ َ‫ل ل‬ ّ ‫حلل‬ َ ْ‫ال َْيللو‬
‫ن‬َ ‫ذي‬ ِ ‫ن ال ّل‬َ ‫مل‬ِ ‫ت‬ ُ ‫صَنا‬َ ‫ح‬ ْ ‫م‬ُ ْ ‫ت َوال‬ ِ ‫مَنا‬ِ ْ ‫مؤ‬ ُ ْ ‫ن ال‬ َ ‫م‬ِ ‫ت‬ ُ ‫صَنا‬ َ ‫ح‬ ْ ‫م‬ُ ْ ‫م َوال‬ ْ ُ‫ل ل َه‬ ّ ‫ح‬ ِ ‫م‬ ْ ُ ‫مك‬ ُ ‫وَط ََعا‬
ُ ُ
‫ن‬َ ‫حي‬ ِ ِ‫ساف‬ َ ‫م‬ُ ‫ن غ َي َْر‬
َ ‫صِني‬ ِ ‫ح‬ ْ ‫م‬ُ ‫ن‬ ّ ُ‫جوَره‬ ُ ‫نأ‬ ّ ُ‫موه‬ ُ ُ ‫م إ َِذا آت َي ْت‬ ْ ُ ‫ن قَب ْل ِك‬ ْ ‫م‬ ِ ‫ب‬ َ ‫أوُتوا ال ْك َِتا‬
‫ة‬
ِ ‫خللَر‬ ِ ‫ه وَهُوَ ِفي ال‬ ُ ُ ‫مل‬
َ َ‫ط ع‬ َ ِ ‫حب‬َ ْ ‫قد‬ َ َ‫ن ف‬ ِ ‫ما‬ َ ‫فْر ِبالي‬ ُ ْ ‫ن ي َك‬ْ ‫م‬ َ َ‫ن و‬ ٍ ‫دا‬ َ ‫خ‬ ْ َ ‫ذي أ‬ ِ ‫خ‬ِ ّ ‫مت‬ُ ‫َول‬
‫ن‬
َ ‫ري‬ ِ ‫س‬
ِ ‫خا‬ ْ
َ ‫ن ال‬ َ ‫م‬ ِ

“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan


(sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan
makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini)
wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita
yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di
antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu
telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya,
tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya
gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak
menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia
di hari akhirat termasuk orang-orang merugi.”
Seelain berdasarkan ayat diatas, juga berdasarkan sunnah
Nabi, dimana Nabi pernah kawin dengan wanita Ahlul Kitab, yaitu
Mariah al-Qibthiyah (Kristen). Demikian pula sahabat Nabi yang
bernama Hudzaifah bin Yaman pernah kawin dengan seorang
wanita yahudi, sedang para sahabat tidak ada yang pernah
menentangnya.
Banyak ulama yg menafsirkan bahwa Al Kitab di sini adalah Injil
dan Taurat. Dikarenakan agama Islam, Nasrani dan Yahudi berasal
dari sumber yg sama, agama samawi, maka para ulama
memperbolehkan pernikahan jenis ini. Untuk kasus ini, yg dimaksud
dengan musyrik adalah penyembah berhala, api, dan sejenisnya.
Untuk poin 2, menikah dengan perempuan yang bukan ahli kitab,
para ulama sepakat melarang.
Dari sebuah literatur, didapatkan keterangan bahwa Hindu,
Budha atau Konghuchu tidak termasuk agama samawi (langit) tapi
termasuk agama ardhiy (bumi). Karena benda yang mereka katakan
sebagai kitab suci itu bukanlah kitab yang turun dari Allah SWT.
Benda itu adalah hasil pemikiran para tokoh mereka dan filosof
mereka. Sehingga kita bisa bedakan bahwa kebanyakan isinya lebih
merupakan petuah, hikmah, sejarah dan filsafat para tokohnya.
Kita tidak akan menemukan hukum dan syariat di dalamnya
yang mengatur masalah kehidupan. Tidak ada hukum jual beli,
zakat, zina, minuman keras, judi dan pencurian. Sebagaimana yang
ada di dalam Al-Quran Al-Karim, Injil atau Taurat. Yang ada hanya
etika, moral dan nasehat. Benda itu tidak bisa dikatakan sebagai
kalam suci dari Allah yang diturunkan melalui malaikat Jibril dan
berisi hukum syariat. Sedangkan Taurat, Zabur dan Injil, jelas-jelas
kitab samawi yang secara kompak diakui sebagai kitabullah.
Sementara itu, Imam Syafi’i dalam kitab klasiknya, Al-Umm,
mendefinisikan Kitabiyah dan non Kitabiyah sebagai berikut, “Yang
dimaksud dengan ahlul kitab adalah orang-orang Yahudi dan
Nasrani yang berasal dari keturunan bangsa Israel asli. Adapun
umat-umat lain yang menganut agama Yahudi dan Nasrani, rnaka
mereka tidak termasuk dalam kata ahlul kitab. Sebab, Nabi Musa
a.s. dan Nabi Isa a.s. tidak diutus kecuali untuk Israil dan dakwah
mereka juga bukan ditujukan bagi umat-umat setelah Bani israil.”
Sementara itu, para jumhur shahabat membolehkan laki-laki
muslim menikahi wanita kitabiyah, diantaranya adalah Umar bin Al-
Khattab, Ustman bin Affan, Jabir, Thalhah, Huzaifah. Bersama
dengan para shahabat Nabi juga ada para tabi`Insya Allah seperti
Atho`, Ibnul Musayib, al-Hasan, Thawus, Ibnu Jabir Az-Zuhri. Pada
generasi berikutnya ada Imam Asy-Syafi`i, juga ahli Madinah dan
Kufah.
Yang sedikit berbeda pendapatnya hanyalah Imam Malik dan
Imam Ahmad bin Hanbal, dimana mereka berdua tidak melarang
15
hanya memkaruhkan menikahi wanita kitabiyah selama ada wanita
muslimah.
Pendapat yang mengatakan bahwa nasrani itu musyrik adalah
pendapat Ibnu Umar. Beliau mengatakan bahwa nasrani itu musyrik.
Selain itu ada Ibnu Hazm yang mengatakan bahwa tidak ada yang
lebih musyrik dari orang yang mengatakan bahwa tuhannya adalah
Isa. Sehingga menurut mereka menikahi wanita ahli kitab itu haram
hukumnya karena mereka adalah musyrik.
Namun jumhur Ulama tetap mengatakan bahwa wanita
kitabiyah itu boleh dinikahi, meski ada perbedaan dalam tingkat
kebolehannya. Namun demikian, wanita muslimah yang komitmen
dan bersungguh-sungguh dengan agamanya tentu lebih utama dan
lebih layak bagi seorang muslim dibanding wanita ahlul kitab. Juga
apabila ia khawatir terhadap akidah anak-anak yang lahir nanti,
serta apabila jumlah pria muslim sedikit sementarawanita muslimah
banyak, maka dalam kondisi demikian ada yang berpendapat haram
hukumnyapria muslim menikah dengan wanita non muslim.
Dapat disimpulkan, hukum nikah beda agama terbagi menjadi
beberapa hukum :
:1. Suami Islam, istri ahli kitab = boleh
2. Suami Islam, istri kafir bukan ahli kitab = haram
3. Suami ahli kitab, istri Islam = haram.
4. Suami kafir bukan ahli kitab, istri Islam = haram
Dibolehkannya laki-laki muslim menikah dengan wanita ahlul
kitab namun tidak sebaliknya karena laki-laki adalah pemimpin rumah
tangga, berkuasa atas isterinya, dan bertanggung jawab terhadap
dirinya. Islam menjamin kebebasan aqidah bagi isterinya, serta
mlindungi hak-hak dan kehormatannnya dengan syariat dan
bimbingannya. Akan tetapi, agama lain seperti nasrani dan yahudi tidak
pernah memberikan jaminan kepada isteri yang berlainan agama.
Kompilasi Hukum Islam mengkategorikan perkawinan antar
pemeluk agama dalam bab larangan perkawinan. Pada pasal 40 point c
dinyatakan bahwa dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang
pria dengan seorang wanita yang tidak beragama Islam. Kemudian
dalam pasal 44 dinyatakan bahwa seorang wanita Islam dilarang
melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama
Islam.
Larangan dalam KHI tersebut mempunyai alasan yang cukup
kuat, yakni :
Pertama, dari segi hukum positif, bisa ditemukan dasar hukumnya
antara lain ialah pasal 2 ayat 1 UU nomor 1 tahun 1974 tentang
paerkawinan.
Kedua, dari segi hukum Islam, dapat disebutkan dalil-dalilnya, yaitu :
a. ‫ سسسسّد الذريعسسسة‬artinya sebagai tindakan preventif untuk mencegah
terjadinya pemurtadan dan kehancuran rumah tangga.
b. Kaidah fiqih :

‫ح‬
ِ ِ ‫صا ِل‬ َ ‫ب ْال‬
َ ‫م‬ ِ ْ ‫جل‬
َ ‫ى‬
َ ‫عل‬
َ ‫م‬
ٌ ّ ‫قد‬
َ ‫م‬
ُ ِ ‫سد‬
ِ ‫فا‬ َ ْ ‫د َْرءُ ال‬
َ ‫م‬
“Menampik keburukan lebih diutamakan daripada
mendatangkan manfaat’.”
Dalam hal ini, kemurtadan dan brokrn home harus didahulukan
daripada upaya mencari atau menariknya kedalam islam
(Islamisasi), anak-anak dari keturunannya nanti, dan keluarga besar
dari masing-masing suami dan istri.

17
BAB III

KESIMPULAN
perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad
yang sangat kuat atau miitsaaqan gholiidhzan untuk mentaati perintah
Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
hukum nikah beda agama terbagi menjadi beberapa hukum :
:1. Suami Islam, istri ahli kitab = boleh
2. Suami Islam, istri kafir bukan ahli kitab = haram
3. Suami ahli kitab, istri Islam = haram.
4. Suami kafir bukan ahli kitab, istri Islam = haram
Hukum positif Indonesia pun juga melarang perkawinan berbeda
agama, yakni tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam, yang
mengkategorikan perkawinan antar pemeluk agama dalam bab
larangan perkawinan. Pada pasal 40 point c dinyatakan bahwa dilarang
melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang
wanita yang tidak beragama Islam. Kemudian dalam pasal 44
dinyatakan bahwa seorang wanita Islam dilarang melangsungkan
perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.
Perkawinan antar agama yang terjadi dalam kehidupan
masyarakat, seharusnya tidak terjadi jika dalam hal ini negara atau
pemerintah secara tegas melarangnya dan menghilangkan sikap
mendua dalam mengatur dan melaksanakan suatu perkawinan bagi
rakyatnya. Sikap ambivalensi pemerintah dalam perkawinan beda
agama ini terlihat dalam praktek bila tidak dapat diterima oleh Kantor
Urusan Agama, dapat dilakukan di Kantor Catatan Sipil dan
menganggap sah perkawinan berbeda agama yang dilakukan diluar
negeri.
DAFTAR PUSTAKA

Ashshofa, Burhan, SH, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT Rineka


Cipta, 1996

Andi Hamzah, Dr., SH, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia Jakarta, 1986.

Hazairin, Tinjauan Mengenai Undang-undang Perkawinan No 1/1974,


Jakarta, Tintamas, 1986

Kitab undang-undang Hukum Perdata

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU


No. 1/1974

Peraturan Tentang Perkawinan Campuran (Gemengde Huwelijke


Regeling)

Prawirohamidjojo, R. Soetojo dan Azis Safioedin, Hukum Orang dan


Hukum Keluarga, Bandung, Alumni, 1985

Prawirohamidjojo, R. Soetojo, Pluralisme Dalam Perundang-undangan


Perkawinan di Indonesia, Surabaya, Airlangga University Press,
1986

Satjitpto Rahardjo, Prof. Dr., SH, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti
Bandung, 2000.

Simanjuntak, P.N.H., S.H., Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta,


Djambatan, 1999

19
Soimin, Soedharyo, SH, Hukum Orang dan Keluarga, Jakarta, Sinar
Grafika, 2002

……………., Himpunan Yurisprudensi Tentang Hukum Perdata, Jakarta,


Sinar Grafika, 1996

Soejono, SH, MH & Abdurrahman, SH, MH, Metode Penelitian Hukum,


Jakarta, Rineka Cipta, 2003

Sudarsono, SH, Hukum Perkawinan Nasional, Jakarta, Rineka Cipta,


1991

Sudikno Mertokusumo, Prof. Dr., SH, Mengenal Hukum suatu pengantar,


Liberty Yogyakarta, 2003.

Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974

Usman Adji, Sution, SH, Kawin Lari dan Kawin Antar Agama, Yogyakarta,
Liberty, 1989

Yanggo, Chuzaimah T, DR,H & Hafiz Anshary, Drs, MA, Editor,


Problematika Hukum Islam Kontemporer, Jakarta, Pustaka
Firdaus, 1996

Zuhdi , Masjfuk, Masail Fiqhiyah, Kwitang. PT Gunung agung, 1997

www.Indonesialawcenter.com

www.penulislepas.com

You might also like