You are on page 1of 7

Teori Komunikasi Politik

Posted by: http://teorikomunikasi.vivinblog.info/2009/12/teori-komunikasi-politik/


Komunikasi Politik

Teori Komunikasi Politik

Dalam komunikasi politik terdapat teori-teori yang berkaitan dengan komunikasi politik,
secara garis besar teori ini terbagi pada dua macam yaitu teori kepribadian dan diri
politik.

Teori kepribadian dalam politik.


Jumlah teori tentang kepribadian sama banyaknya dengan jumlah defenisinya. Pada
tulisan ini akan difokuskan pada beberapa saja diantaranya, tetapi lebih spesifik pada
yang memberikan gambaran tentang belajar politik.

1. Teori kebutuhan.

Teori kebutuhan mengemukakan bahwa manusia memiliki hierarki kebutuhan psikologis,


rasa mana dan kepastian, kasih sayang, penghargaan diri, dan katualisasi diri. Perilaku
manusia merefleksikan upaya untuk memenuhi kebutuhan ini. Kecuali jika orang telah
memenuhi kebutuhan pokok tertentu –kebutuhan akan makanan, pakain, rumah, energi,
keturunan, dsb- sedikit seklai kemungkinan bahwa mereka akan berpikir, merasa atau
bertindak secara politis. Orang hanya berbalik kepada politik hanya setelah memenuhi
kebutuhan pokok fisik dan sosial.

Para perumus teori kebutuhan berargumentasi bahwa banyak diantara yang dipelajari
orang tentang politik bergantung pada kepribadian yang diperoleh pada masa kanak-
kanak sementara berusaha memenuhi kebutuhan pokok psikologis dan sosial pada masa
dini usianya.

Tulis Knutson, betapa pentingnya pola kepribadian yang dipelajari anak sebelum
memulai pendidikan formalnya. Sehingga “Kperibadian individu, sebagai mana dibentuk
dalam tahun-tahun pertama usianya, akan merupakan sumber yang lebih penting
meskipun kurang tampak dari ‘informasi, nilai, atau perasaanya di hadapkan kepada’
peraturan dasar yang pokok yang mengerjakan dan menghubungkan seluruh sistem
kemanusiaan –sosial, politik, dan ekonomi –kepada ketimbang sosialisasi yang terjadi
bersamaan dan di kemudian hari terwujudnya yang mempengaruhi dirinya. Ringkasnya,
kebutuhan membuat anak itu menjadi bapak manusia politik.

2. Teori psikoanalitik.

Dua variasi yakni personal dan interpesoanal, bagaimana kepribadian


mempengaruhi belajar dan perilaku politik.
Personal. Aliran personal dari teori psikoanalitik adalah tradisi Sigmund Freud. Freud
berpendapat bahwa orang bertindak atas dasar motif yang tak disadarinya maupun atas
dasar pikiran, perasaan dan kecenderungan yang disadari dan sebagaian disadari. Freud
berpendapat tentang proses yang menjadi pokok berfungsinya kepribadian:

(1) Id, yaitu proses orang yang berusaha memaksakan keinginnanya akan hal yang
menyenangkan.

(2) Ego, alat yang digunakan untuk menliai sekitar orang itu, atau realitas.

(3) Superego, yaitu gagasan orang diturunkan (biasanya melalui pengalaman dengan
orang tuanya) tentang apa baik dan buruk itu.

Proses id mencari kesenangan dan perasaan benar atau salah, direfleksiakn didalam
superego, sering berselisih. Ego menyeleseikan konflik ini melalui berbagai mekanisme
pertahanan.

Mekanisme ini mencakup represi (memaksakan kepercayaan nilai, dan pengharapan yang
mengancam keluar dari kesadaran), pengalihan (mengalihkan reaksi emosional dari satu
objek ke objek yang lain), sublimasi (mencari cara yang dapat diterima untuk
mengungkapkan dorongan yang dengan cara lain tidak diterima), rasionalsasi
( memberikan alasan yang meragukan untuk membenarkan perilaku atau utnuk
menghilangkan kekecewaan), regresi (kembali kepada perilaku yang tidak dewasa,
pembentukan reaksi (beralih dari satu ekstrem kepada ekstrem yang berlawanan),
introjeksi (memungut pendirian orang lain sebagai pendirian sendiri), atau identifikasi
( meningkatkan rasa kuat, aman dan atau terjamin dengan mengambil sifat orang lain)

Teori psikoanalitik yang dibawa ke dalam dunia politik ini mengemukakan bahwa
mekanisme pertahanan yang tidak disadari menghalangi belar politik yang adaptif.

Interpersonal. Varian intrepersonal dari teori psikoanalitik sebagian besar berasal dari
karya Harry Stack Sullivan. Dalam kata-kata Sullivan, “Keprinadian adalah pola yang
relatif kekal dari situasi interpersonal yang berulang yang menjadi ciri kehidupan
manusia.” Sullivan menerima pandangan bahwa manusia memiliki kebutuhan biologis
sebagai pembawaan. –kebutuhan akan makanan, air, kehangatan, dan pembuangan yang
tidak diperlukan oleh tubuh. Tambahnya, bahwa manusia membutuhkan rasa aman dari
pengalaman dengan orang lain yang membangkitkan kecemaan maupun jaminan
pemuasan ketegangan yang bersifat biologis. Dan dalam mengurangi kecemasan dan
memuasakan tuntutan bilogis orang sering terbentur pada hubungan sengan oarang lain
yang rumit dan menyimpang.

Dalam keadaan ini orang mengembangkan mekanisme pertahanan, atau apa yang oleh
Sullivan disebut “operasi keamanan”., untuk memelihara rasa aman bersama sesamanya.
Sullivan menekankan empat operasi yaitu:

(1) Sublimasi, yang sama dengan mekanisme pertahanann yang diakui dalam teori Freud.
(2) Obsesionalime, yaitu kecenderungan gagasan atau dorongan untuk tumbuh begitu
mendesak dan mengganggu sehingga individu tidak dapat menghilangkannya dari
kesadaran (dalam beberapa hal, dorongan ini mengambil bentuk verbalime ritualisitk
dengan sifat hampir magis.

(3) Disosiasi, yaitu mekanisme untuk menjaga agar pikiran yang bertentangan tetap
terpisah,

(4) Keacuhan selektif dan lawannya, perhatian selektif, atau kebiasaan melihat apa yang
kita ingin melihatnya dan menghindari informasi yang mengancam. disosiasi dan
keacuhan selektif memilki gabungan langsung dengan komunikasi politik dan proses
opini.

Selain itu para peneliti sosialisasi politik yang mengambil dari pemikiran Sullivan,
mengemukakan bahwa salah satu cara utama anak-anak memperoleh kepercayaan dan
nilai politik ialah melalui proses pengalihan interpersonal.

3. Teori Sifat.

Teori-teori dalam kategori ini berfokus pada kecenderungan atau predisposisi yang
menentukan cara orang berprilaku. Setiap kepribadian mengandung seperangkat sifat
yang unik dan individual. Oleh karena itu, orang dapat dibandingkan satu sama lain
berdasarkan perbedaan sifat mereka –perbedaan yang diukur dengan skala yang
menujukan berapa banyak sari setiap sifat itu yang dimiliki seseorang.

Contohnya sifat kepribadian yang diukur dengan skala seperti ini meliputi apakah
seseorang mudah menyesuaikan diri atau kaku, emosional atau tenang, cermat atau
ceroboh, konvensional atau eksentrik, mudah cemburu atau tidak, sopan atau kasar,
pembosan atau tekun, lembut atau keras, rendah hati atau sombong, dan lemah atau
bersemangat. Sejumlah ilmuwan sosial menerangkan politik sebagai refleksi sifat
kepribadian. Studi lain berusaha menentukan sifat yang mencakup kepribadian
konservatif.

4. Teori tipe.

Teori ini mengklasifikan orang ke dalam kategori-kategori berdasarkan karakteristik yang


dominan atau tema pokok yang timbul berulangkali dalam perilaku politik mereka.
Meskipun kebanyakan upaya untuk menguraikan kepribadian politik telah menerapkan
teori tipe berfokus pada karakter dan gaya pemimpin politik, di sini perhatian kita adalah
pada mereka yang etlah menggunakan teori tipe untuk memperhitungkan bagaimana
khalayak komunikasi politik belajar menanggapai dengan berbagai cara.

Dalam teori ini berdasarkan perbedaan dalam pengaruh orang tua terhadap kepribadian
seseorang terbadi pada beberapa tipe golongan, diantaranya:
(1) Golongan Inaktif adalah sesorang yang berpartisipasi dalam organisasi politik atau
sosial di suatu tempat, mereka sama memiliki tipe asuhan orang tua yang sama. Orang tua
mereka mengkhawatirkan kesehatan, konformitas, dan kepatuhan akan tuntutan orang
tua.

(2) Golongan kovensionalis terdiri dari anggota perkumpulan laki-laki dan perempuan.
Orang yang relatif sedikit keterlibatannya dalam politik dan merupakan stereotif “Orang
Biasa” yang konvensional, orang tua yang konvensional pada umumnya setia kepada
nilai sosial tradisional seperti tanggung jawaban, konformitas, prestasi, dan kepatuhan
serta menuntut perilaku yang patut secara sosial dari anak-anak mereka. Oarang tua ini
menggunakan hukuman fisik fisik dan psikologis dalam mendidik anak-anak mereka.

(3) Golongan konstruktivis bekerja pada proyek pelayanan sosial, tetapi jarang
menjadi peserta protes yang terorganisasi; orang tua mereka menekankan disiplin,
prestasi, dan keandalan, pengungkapan diri yang terbatas, dan menggunakan hukuman
nonfisik. Mereka lebih diakrabi anak-anak mereka ketimbang orang tua golongan
konvensionalis.

(4) Golongan aktivis mengajukan protes ataus kekecewaan mereka terhadap kejelekan
masyarakat yang dipersepsi dan juga turut dalam proyek pelayanan masyarakat untuk
memperbaiki keburukan itu, orang tua mereka mendorong anak-anak merela untuk
independen dan bertanggungjawab, mendiring ekspresi diri berupa jenis agresi fisik, dan
keurang menekan disiplin jika dibandingkan dengan kelompok yang diuraikan diatas.
Namun mereka mengenang hubungan dengan orang tua sebagai hubungan yang kaku.

(5) Golongan penyingkin (disenter) adalah yang hanya terlibat dalam protes-protes
terorganisasi. Orang tua golongan ini tidak konsisten dalam melaksanakan pendidikan
anak. Mereka serba membolehkan (permisif) dalam bidang tertentu,d an sangat ketast
(restriktif) dalam bidang lain, mereka kurang menekankan indenpedensi dan kedewasaan
yang dini dibandingkan dengan orang tua yang lain, namun menuntut prestasi melalui
persaingan. Golongan pengingkar jauh lebih cenderung unturk memprotes sebagai bentuk
pemberontakan terhadap orang tua daripada dalam golongan yang lain.

Kebaikan atau kekurangan tipologi seperti itu di sini bukan pokok masalah, melainkan
hanya contoh tentang bagaimana para sarjana kadang-kadang mencoba menerangkan
politik sebagai refleksi kepribadian. Berbeda dengan teori sifat, pandangan tipe bukan
menujukan kecenderungan yang menentukan perilaku, melainkan berfokus pada
konsfigurasi perilaku yang memisahkan orang terhadap satu sama lain. Namun, baik
dalam teori sifat maupun teori tipe, masa kanak-kanak mempengaruhi permainan peran
utama dalam memberi bentuk kepada pengungkapan politik. Tema bahwa manusia
politik itu dilahirkan dari anak, sekali lagi terjadi.

5. Teori fenomenologis.

Teori fenomenologis adalah pandangan bahwa peran kepribadian dalam perilaku


(termasuk kepribadiandalam politik) paling mudah dipahami dengan melukiskan peranan
langsung orang –yaitu proses yang digunakan oleh mereka yang memeprhatikan dan
memahami fenomena yang disajikan langsung oleh mereka.

Oleh sebab itu, teori fenomenologis menekankan bahwa cara orang mengalami dunai
secara subjektif –sensasi, perasaan, dan fantasi yang terlibat- adalah titik tolak untuk
meneliti bagaimana orang menanggapi berbagai objek.

Dua garis uatam berpikir merefleksikan pendekatan fenomenalogis yaitu:

(1) Teori Gestalt tentang persepsi. Penganut teori ini berargumentasi bahwa aspek utama
kepribadian ialah bagaimana orang menyusun pengalaman ke dalam pola atau
konsfigurasi. Mereka menekankan prinsip kesederhanaan dalam menyusun persepsi.

(2) Teori medan. Teori ini berargumentasi bahwa kepribadian (pola perilaku yang kekal
dan diperoleh dengan belajar) saja tidak dapat menerangkan bagaimana orang berprilaku.
Setiap orang memilki ruang hidup yang tersusun dari medan gaya. Dalam bertindak,
individu mendekati atau menghindari gaya dan objek dalam ruang hidupnya sebagaiaman
ia memahami gaya itu saat bertindak.

Pengalaman yang lalu tentu bisa merupakan gaya di dalam medan itu, tetapi tidak
menentukan bagaimana orang akan bertindak terhadap objek dalam situasi tertentu. Teori
medan. Menolak gagasan bahwa penyebab tindakan manusia terletak pada masalah yang
sudah lama dari setiap individu; sebaliknya, bidang pada saat sekarang adalah produk
dari bidang tersebut menurut keadaanya pada masa yang baru saja lewat pengalaman
masa lalu jauh turut membentuk bidang masa sekarang secara tidak langsung dengan
perjalanan waktu, tetapi pengalaman yang segera memberikan keterangan yang lebih
pasti tentang mengapa orang berperilaku seperti apa yang dilakukannya dalam bidang
masa sekarang.

Teori bidang mencakup dua gagasan yang mempunyai relevansi khusus dengan politik,
yang pertama ialha bahwa belajar politik merupakan proses kumulatif, bahwa
pengalaman yang sedang dialaminya membantu seseorang mendiferensiasikan
kepercayaan, nilai dan pengharapan yang difus yang dipungutnya pada msa kanak-kanak.
Manusia politik mengajari anak masa lalu dengan melibatkan diri ke dalam pengalaman
yang baru yang sebelumnya tidak diperhitungkan.

Kedua, sekelomok ilmuwan sosial menggunakan teori medan untuk mengarahkan riset ke
dalam perilaku suatu bangsa.

Diri Politik.

Pada bahasan diatas telah jelas bahwa kepribadian adalah totalitas perilaku individu yang
terwujud dalam kecenderungan yang berulang dan berpola pada seluruh variasi situasi
dan mengenai berbagai objek dan berpola pada seluruh variasi situasi dan mengenai
berbagai objek. Salah satu objek tindakan orang sehari-hari adalah diri sendiri. Tidak
berbeda dengan tindkan terhadap orang lain, orang bisa menghargai dan mendorong diri
sendiri atau merasa jijik, menayalahkan dan menghukum diri sendiri.

Banyak orang yang memperoleh diri politik, yakni bagian dari diri yang terdiri atas
“paket orientasi indibidual mengani politik sosialisasi poltik menghasilkan diri politik”.
Ada beberapa teori mengani cara terjadinya hal ini, diataranya:

1. Teori adopsi.

Dengan memberikan perhatian mereka kepada bagaiman orang memperoleh pikiran,


perasaan, dan kecenderungan, psikolog sosial mengajukan berbagai model yang
melukiskan cara memperoleh “semua pengetahuan di dunia, dengan benar atau keliru,
yang dimiliki oleh organisme tertentu katakanlah manusia”, dan cara memperoleh
“signifikansi yang efektif, pada neraca yang dinginkan lawan yang tak diinginkan, yang
diletakkan kepada setiap keadaan tertentu.

Label umum yang diterapkan pada model-model ini ialah teori belajar sosial. Teori
belajar sosial mengatributkan cara memperoleh kepercayaan, nilai, dan pengaharapan
personal kepada pengalaman individual dengan orang lain, objek, atau peristiwa. Ada dua
tipe pengalaman demikian- langsung dan tidak langsung.

2. Teori perubahan.

Teori belajar sosial menekankan berbagai cara yang mungkin digunakan orang dalam
mengadopsi pikirna, perasaan, dan kecondongan awal mereka. Namun, seperti yang
dikemukakan, teori ini tidak banyak membicarakan proses mental yang terlibat, juga
tidak menerangkan perubahan dalam opini awal.

Teori konsistensi adalah seperangkat model yang berfokus pada perubahan opini. Model-
model ini memperhitungkan bahwa orang tidak hanya mempersepsi tanda, atau
rangsangan –pokok dasar gagasan belajar sosial- tetapi juga menginterpretasi dan
menanggapi tanda berdasarkan interpretasi itu.

Teori penjulukan (labelling theory) mengatakan bahwa proses penjulukan


adapat sedemikian hebat sehingga korban-korban msinterpretasi ini tidak dapat menahan
pengaurhnya. Karena berondongean julukan yang bertentangan dengan pandangan
mereka sendiri, citra-diri asli mereka sirna, digantikan citra-diri baru yang diberikan
orang lain. Dampak penjulukan itu jauh lebih hebat dan tidak berhubungan dengan
kebenaran penjulukan tersebut, terutama bagi orang dalam posisi lemah, rakyat jelita
misalnya, benar atau salah, penjulukan itu reaksi yang diberikan objek yang dijulukui
terhadap orang lain “membenarkan” penjulukan tersebut. Maka nubuat itu telah
dipenuhinya sendiri, dan dalam kasusu ini menjadi realitas bagi si penjuluk dan orang
yang dijuluki (phlip fones, 1985:65). Pernyataan klasik sosiolog ternama William I
Thomas “if men define situation as real they are real in their consequences” yang terkenal
itu masih aktual. Manusia memutuskan melakukan sesuatu beradsarkan penafsiran atas
dunia di sekeliling mereka[2].
Pustaka Acuan.

Mulyana, Deddy.Dr, M.A.2005 Nuansa-Nuansa Komunikasi.Bandung: PT Remaja Rosda


Karya.
Dan Nimmo, 2001 Komunikasi Politik Khalayak dan Efek. Bandung: PT Remaja Rosda
Karya
Malik Djamaludin, Dedy dan Inantara, 1994. Yosat. Komunikasi Persuasif. Bandung: PT
Remaja Rosda Karya.
[1] Dan Nimmo, 2001 Komunikasi Politik Khalayak dan Efek. Bandung: PT Remaja
Rosda Karya Hal: 91.
[2] Mulyana, Deddy.Dr, M.A.2005 Nuansa-Nuansa Komunikasi.Bandung: PT Remaja
Rosda Karya Hal: 69.

You might also like