You are on page 1of 6

Para siswa 9a akan tahu bahwa jika menonton sinetron terus-menerus akan

merusak moral kita karena sinetron zaman sekarang tidak berbobot, contoh
sinetron yang tidak berbobot adalah sinetron yang menunjukkan kekayaan
seseorang dan orang itu menjadi sombong.

Pengaruh Tayangan Televisi Terhadap Perkembangan Anak

Televisi sekarang telah menjelma sebagai sahabat yang aktif mengunjungi anak-
anak. Bahkan di lingkungan keluarga yang para orang tuanya sibuk bekerja di
luar rumah, televis telah berfungsi ganda, yaitu sebagai penyaji hiburan
sekaligus sebagai pengganti peran orang tua dalam mendampingi keseharian
anak-anak.

Ironisnya, di tengah-tengah peran vitalnya selaku media hiburan keluarga, dunia


pertelevisian kini telah mengalami disorientasi dalam ikut mendidik
penontonnya. Sebagaimana dikemukakan oleh Ketua Lembaga Sensor Film
(LSF), Titie Said, dunia pertelevisian kini terancam oleh unsur-unsur vulgarisme,
kekerasan, dan pornografi (KR, 23/9-2003). Ketiga unsur tersebut hampir-hampir
menjadi sajian rutin di sejumlah stasiun televisi serta dapat ditonton secara
bebas bahkan oleh kalangan anak-anak. Padahal ketiga unsur itu mestinya
dicegah agar tidak ditonton oleh anak-anak mengingat kondisi psikologi mereka
yang belum mampu membedakan mana hal-hal yang positif dan mana hal-hal
yang negatif dari sebuah tayangan TV.

Harus kita akui, belakangan ini berbagai tayangan televisi cenderung disajikan
secara kurang selektif. Tayangan sinetron televisi, misalnya, kini didominasi oleh
kisah-kisah percintaan orang dewasa, banyolan-banyolan konyol ala pelawak,
intrik-intrik rumah tangga dari keluarga elit, cerita laga dan sejenisnya. Jika
terus-terusan ditonton anak, hal ini akan membawa pengaruh kurang sehat bagi
mereka. Sementara tayangan film yang khusus disajikan untuk anak-anak sering
kali berisi adegan jorok dan kekerasan yang dapat merusak perkembangan jiwa.
di sisi lain, aneka acara yang sifatnya menghibur anak-anak, seperti acara
permainan, pentas lagu-lagu dan sejenisnya kurang memperoleh prioritas, atau
hanya sedikit memperoleh jam tayang.

Masih minimnya komitmen televisi nasional dalam ikut mendidik anak-anak


tampaknya menjadi pekerjaan rumah (PR) bagi para pemilik dan pengelola
televisi. Orentasi pendidikan perlu menjadi semangat kerja para pemilik dan
pengelola televisi dalam rangka membantu tugas orang tua, sekolah dan
masyarakat dalam mengajarkan dan mendidik agama, budi pekerti, etos kerja,
kedisiplinan, nilai-nilai kesopanan dan kreatifitas di kalangan anak-anak dan
remaja.

Dalam situasi demikian tentu saja akan bersifat kontra produktif jika beberapa
stasiun televisi menayangkan berbagai acara yang kurang memupuk upaya
penanaman nilai agama dan budi pekerti. Untuk itu, sudah saatnya para
pengelola televisi dituntut kesediaannya dalam memperbanyak volume acara
yang membawakan pesan-pesan edukatif, positif. Sebaliknya mengurangi volume
tayangan yang secara terselubung membawakan pesan-pesan negatif seperti
sinetron yang bertemakan percintaan antara siswa dengan gurunya, intrik antar
gadis dalam memperebutkan cowok keren, kebiasaan hura-hura, pesta, serta
adegan-adegan kurang pantas lain yang membuat kalangan orang tua mengelus
dada.

Kita akui, tayangan televisi seperti sinetron hanya sebatas rekaan sutradara
yang tak mesti sejalan denga realitas pergaulan remaja kita sehari-hari. tetapi,
karena TV telah menjadi media publik yang ditonton secara luas, termasuk
kalangan anak-anak, maka akan memberi dampak kurang positif jika isinya
bersifat vulgar. Di samping itu, judul sinetron yang selalu mengambil topik-topik
tentang percintaan dan pacaran sedikit banyak akan mengajari anak-anak untuk
berpacaran, tampil sexy, bergaya hidup trendy dan berorentasi yang penting
happy. Walaupun tayangan ini belum tentu ditiru namun tetap akan
mengontaminasi pikiran polosnya. Karena efek tayangan TV selama ini terbukti
cukup ampuh bagi mereka. Simak saja, tingkah laku sebagian anak-anak remaja
kita yang sangat mengidolakan tokoh-tokoh film percintaan dan sejenisnya.

Bertolak dari sini, dapat digarisbawahi bahwa penayangan bertemakan remaja


yang kental nuasa percintaannya serta mengambil background anak sekolah
seperti berseragan putih biru untuk SLTP maupun berseragan putih abu-abu
untu SLTA justru kurang memberikan pra-kondisi bagi tumbuhnya remaja yang
cerdas, berakhlak mulia, kreatif, disiplin dan lain-lain. Hal inilah yang membut
orang tua menjadi ngeri dan sangat menyayangkan pemutranan sinetron yang
miskin kandungan nilainya seperti itu.

Analisa dan Solusi


Munculnya beberapa TV swasta baru, baik yang cakupannya lokal maupaun
nasional. Sebenarnya disambut hangat oleh publik. Hal ini lantaran publik
merasa memperoleh tambahan berbagai sajian acara baru yang lebih beragam.
Booming TV swasta sanggat diharapkan akan memberikan pencerahan budaya
sekaligus pencerdasan melalui sajian informasi yang disampaikan secara tajam,
objektif dan akurat, dengan sajian informasi yang tajam, maka akan
mencerdaskan masyarakat dalam memahami berbagai persolan aktual baik di
bidang ekonomi, pilitik, sosial, budaya, dan lain-lain. Disamping itu, TV juag akan
memperluas wawasan masyarakat jika mereka aktif mengikuti acara dialog,
debat, diskusi dan berbagai acara informatif-edukatif lain yang ditayangkan TV.

Namun tak dapat diingkari kehadiran beberapa TV swasta baru semakin


mempertajam tingkat kompetisi bisnis pertelevisian di Indonesia. Sebagai
konsekuensinya, para awak TV swasta yang ada, baik pemain lama maupun
pemain baru, harus memutar otak untuk memilih strategi jitu dalam menggait
pemirsa. Logikanya, jika mereka berhasil merebut simpati penonton secara luas
maka sejumlah iklan akan masuk.

Yang menjadi keprihatinan kita, ternyata sebagian TV swasta memilih strategi


yang kurang tepat untuk menggaet penonton, diantaranya lewat eksploitasi
anak-anak dan remaja secara berlebihan. Dan hal tersebut tampak pada tiga hal.
Pertama, judul-judul sinetron selalu vulgar, menantang, dan mengandung unsur
pornografi. Kedua, pemilihan aktris yang kebanyakan anak-anak dan remaja
belia. Ketiga, jenis peran yang dilakoninya kurang berakar pada budaya
pergaulan masyarakat Indonesia, dan bahkan sering kurang sesuai dengan
tingkat kematangan psikologis dan umur pemerannya.

Agaknya, pemilihan aktris yang masih belia ini dimaksudkan untu menggaet
penonton dari kalangan ABG atau remaja sebanyak-banyaknya. Disamping itu,
pemilihan alur cerita yang memilih setting anak-anak sekolah tentunya
diorientasikan untuk membidik segmen penonton yang duduk di SD kelas-kelas
atas, SLTP, SLTA. Padahal adegan dalam sinetron bersetting sekolahan tersebut
sebenarnya belum pantas dilakukan oleh mereka. Apa lagi apa bila kita berpijak
pada nilai dan norma agama dan adat ketimuran, tentu peran dan adegan itu
tidak layak diekspos di muka umum.

Agaknya, tanyangan TV terbukti cukup efektif dalam membentuk dan


mempengaruhi perilaku anak-anak lantaran media ini sekarang telah berfungsi
sebagai rujukan dan wahana peniruan (what they see is what they do). Anak-
anak sebagai salah satu konsumen media secara sadar atau tidak telah dicekoki
budaya baru yang dikontruksi oleh pasar (market ideologi).

Untuk membantu anak agar dapat memanfaatkan tanyangan TV secara positif


agaknya sangat membutuhkan peran optimal orang tua, terutama dalam
mendampingi dan mengontrolnya. Orang tua harus sabar mendampingi anak-
anaknya saat menonton TV. Hal ini perlu dilakukan orang tua agar anak tidak
terpolusi oleh “Limbah budaya massa” yang terus mengalir lewat teknologi
komunikasi yang hanya mempertontonkan hiburan sampah seperti hiburan opera
sabun maupun sinetron akhir-akhir ini.

Orang tua perlu terus mananamkan daya pikir yang kreatif anak dalam belajar.
Orang tua tidak perlu melarang anaknya menonton TV. Yang justru mendapat
perhatian serius adalah bagaimana orang tua memilihkan acara yang betul-betul
bermanfaat bagi pendidikan dan perkembangan anaknya, agar anak tersebut
dapat terangsang untuk berfikir kreatif.

Hal tersebut sangat perlu dilakuakn karena mengingat kondisi psikologis anak
yang belum matang, akan sulit bagi mereka untuk membedakan mana yang
positif dan mana yang negatif. Orang tua perlu senantiasa mandampingi dan
membimbingnya. Bentuk kehati-hatian dari para orang tua semenjak dini sangat
diperlukan untuk menangkal efek samping (side effect). Yang kemungkinan
timbul jika anak-anak dibebaskan menonton berbagai tanyangan TV
sekehendaknya.

Kontrol orang tua terhadap tayangan TV juga dapat dilakukan secara langsung
kepada stasiun TV yang menayangkannya. Caranya, orang tua dapat
melayangkan protes kepada stasiun TV yang menayangkan sebuah acara yang
dianggap bernilai negatif. Cara protes ini sekarang lebih mudah dilakukan
karena telah disediakan salurannya. Hampir semua TV di Indonesia memiliki
telepon, fax, email, bahkan SMS yang bisa dijangkau dari mana-mana. Mereka
umumnya menerima layanan pelangan (custumer service) hampir 24 jam.
Adaikan ada dua orang dari setiap propinsi di Indonesia yang rela
menyempatkan diri ‘mengawasi’, atau bahkan melakukan protes terhadap setiap
tayangan TV yang berbau ‘sesat’, maka dipastikan stasiun TV akan sangat
selektif menampilkan tayangan akibat kewalahan menerima protes dari banyak
permirsa. Jihad (memerangi) TV dengan memprotesnya, walau lewat telefon
koin, lebih berguna demi satu abad masa depan anak-anak kita.

Bagi pemilik atau pengelola stasiun-stasiun TV itu sendiri, adalah bagaimana


dapat memformat acara TV yang mampu melatih anak agar berfikir kreatif. Yaitu
dengan lebih menambah acara-acara yang banyak mengandung unsur
pendidikan, seperti, kuis anak-anak, sejarah, dan lain sebagainya. Stasiun TV
hendaknya betul-betul memikirkan nasib perkembangan generasi bangsa ini.
Hendaknya tidak bermuara pada meraup keuntungan yang sebayak-banyaknya,
dengan tanpa memikirkan nasib konsumennya. Akan tetapi bagaimana sebuah
stasiun TV itu dapat atau ikut andil dalam upaya mendidik generasi bangsa ini,
dengan menyuguhkan tayangan-tayangan yang betul-betul bermanfaat.

Kontrol terhadap tayanagn TV di masa depan agaknya akan bertambah optimal


jika Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Lembaga Sensor Sinetron mampu
berjalan optimal. Kinerja kedua lembaga tersebut sanggat kiat tunggu, terutama
dalam tiga hal. Pertama, mencegah unsur pornografi masuk dalam tanyangan
sinetron. Kedua, mencegah unsur kekerasan berlebihan dalam sintron. Ketiga,
mencegah pandangan dan pemikiran yang menyesatkan masuk dalam tayangan
sinetron.
So, yang jelas dan pasti, faktor keterpengaruhan TV terhadap realitas pendidikan
kita bukan hanya tugas pengelola TV, orang tua, atau KPI dan LSS, namun
merupakan tangggung jawab yang harus dipikul oleh siapa saja yang masih
membutuhkan pendidikan dan ilmu sebagai proses pembelajaran dan menaruh
peduli terhadap perkembangan dan masa depan generasi bangsa ini.

Televisi adalah salah satu contoh media audio visual karena menyediakan
fasilitas berupa gambar dan suara. Pada saat ini televisi bukan lagi merupakan
kebutuhan sekunder melainkan sudah menjadi kebutuhan primer. Hampir
disetiap rumah terdapat televisi, tentu saja hal ini mempengaruhi pola hidup
pelajar Indonesia, karena setiap hari televisi menayangkan beragam acara baik
dalam negeri maupun luar negeri. Penelitian mengumgkap bahwa media audio
visual seperti televisi dapat mempengaruhi penonton misalnya menimbulkan
efek kekerasan. Penulis merasa miris dengan tayangan-tayangan saat ini,
tayangan yang disajikan banyak yang mengumbar kemewahan, kekerasan, mistik
dan lain-lain. Sekarang televisi bukan lagi memjadi media penyampaian
informasi atau pesan-pesan moral melainkan menjadi media yang dapat merusak
perilaku masyarakat khususnya pelajar.
Acara Televisi yang Berdampak Negatif
Penelitian mengungkap bahwa media audio visual seperti televisi dapat
mempengaruhi penonton misalnya menimbulkam efek kekerasan. Seorang
peneliti bernama Dywer menyimpulkan sebagai media audio visual, televisi
mampu merebut 94% saluran masuknya pesan-pesan atau informasi kedalam
jiwa manusia, yaitu lewat mata dan telinga. Televisi mampu untuk membuat
orang mengingat 50% dari apa yang mereka lihat dan dengar di layar televisi
walaupun hanya sekali ditayangkan. Atau secara umum orang akan mengingat
85% dari apa yang mereka lihat di televisi setelah tiga jam kemudian, dan 65%
setelah tiga hari kemudian (Dywer,1988)

Melihat hasil penelitian di atas dapat dibayangkan jika tayangan yang ditonton
adalah tayangan yang seronok, mistik, dan kekerasan tanpa memperhatikan
pesan-pesan moral, tanpa mempedulikan nilai-nilai agama dan tidak
mengindahkan dampaknya untuk penonton. Para pengusaha, para sutradara, dan
juga para model tidak pernah berfikir bahwa apa yang meraka lakukan itu telah
memberikan sumbangan bagi kerusakan moral masyarakat khususnya kaum
pelajar. Meraka hanya berfikir keuntungan dan keuntungan.
Baiklah, berikut ini adalah beberapa acara televisi yang disuka pelajar dan
dampaknya terhadap perilaku pelajar.
Sinetron adalah salah-satu tayangan yang disuka pelajar, tapi gambaran yang
ditampilkan jauh dari nilai-nilai pendidikan, dan peranan kita sebagai pelajar.
Sekolah atau universitas yang semestinya santun dan ilmiah, telah tergtantikan
dengan figur-figur yang centil, seksi, penuh intrik dan mengumbar perilaku yang
tidak mendidik. Sedangkan figur siswa yang pandai digambarkan dengan gaya
hidup yang ketinggalan zaman dan kuno, serta guru digambarkan dengan
perilaku yang tidak pantas untuk diteladani. Menyedihkan.Dampak sinetron
terhadap perilaku pelajar adalah pelajar lupa akan kewajiban utamanya yaitu
belajar, berperilaku tidak sopan terhadap guru dan bergaya hidup mewah.
Selain sinetron reality show juga menjadi salah satu tayangan yang disuka
pelajar, hampir semua stasiun televisi memiliki program ini diantaranya Global
TV punya Singled Out yang lengkap dengan peri cintanya, Trans TV punya Date
Express, dan RCTI punya Katakan Cinta. Tentu saja isi tayangan diatas tidak
mengajarkan para pelajar bagaimana cara meraih prestasi disekolah, tapi
bagaimana cara mencocok-cocokan pelajar dengan lawan jenisnya. Dampak dari
reality show terhadap perilaku pelajar adalah pelajar melalaikan kewajiban
utamanya dan sibuk dengan masalahnya dalam mencari lawan jenis.
Ajang pencarian bakat seperti AFI, Indonesia Idol, KDI, Cilapop dan lain-lain,
merupakan tayangan menarik perhatian remaja. Para pelajar pun berlomba-
lomba menjadi bintang mereka berharap menjadi kaya dan terkenal dengan
cara instan. Dampaknya Universitas atau sekolah menjadi ajang yang tidak
menarik para pelajar.
Salah satu acara yang disuka pelajar adalah seputar musik dan fashion, hampir
semua stasiun televisi, memiliki acara seperti itu, tentu saja hal ini berdampak
negatif bagi pelajar. Pelajar Indonesia mudah latah dengan tidak menolak budaya
asing yang masuk ke Indonesia. Banyak trend barat yang ditiru oleh pelajar
terutama yang negatif contohnya trend berpakaian Britney Spears, Christina
Aguilerra, atau Avril Lavigne, yang khas dengan pakaian super mini. Mode
berpakaian mereka masuk ke Indonesia bagai air bah yang cepat dan
membludak
Acara olah raga dengan unsur kekerasan disukai oleh pelajar, salah satu
contohnya adalah Smack Down. Tentu para pembaca telah mendengar bahkan
melihat langsung dampak dari acara ini, beberapa siswa dinyatakan cedera dan
meninggal.

Peran Pemerintah
Saat ini pemerintah belum dapat memaksimalkan perannya dalam mengontrol
tayangan ditelevisi walaupun sekarang ini telah dibnetuk lembaga yagn
berfungsi untuk mengontrol acara-acara televisi. Lembaga tersbut belum dapat
bertindak tegas dalam memberikan sanksi kepada para pelaku.
Sebaiknya pemerintah mulai peduli dengan tayangan-tayangan di televisi, karena
banyak dampak negatif, diantaranya merusak moral dan budaya bangsa serta
menghancurkan generasi muda di Indonesia, pemerintah sebaiknya membatasi
acara-acara yang tidak bermanfaat, memberikan sansi dan hukuman yang sesuai
bagi yang melanggar serta menambah jam tayang acara yang berhubungan
dengan dunia pendidikan sehingga para pelajar tertarik untuk berprestasi.

You might also like