You are on page 1of 5

Perpustakaan Desa, Basis Pengembangan Perpustakaan di Indonesia

Oleh: Agus Saputera

Undang Undang tentang Perpustakaan (UU no. 43/2007) mengamanatkan bahwa

pemerintah berkewajiban untuk menggalakkan promosi gemar membaca dan mendorong

pemanfaatan perpustakaan seluas-luasnya oleh masyarakat serta menjamin ketersediaan

layanan perpustakaan secara merata di seluruh pelosok tanah air termasuk memfasilitasi

penyelenggaraan perpustakaan di daerah. Bagi pemerintah provinsi dan pemerintah

kabupaten/kota ditambah pula dengan kewajiban untuk menyelenggarakan dan

mengembangkan perpustakaan umum berdasar kekhasan daerah sebagai pusat penelitian dan

rujukan tentang kekayaan budaya daerah di wilayahnya. Sebagai akibatnya akan terjadi

perbedaan kebijakan dan strategi dalam mengembangkan perpustakaan antara masing-masing

daerah/wilayah sesuai dengan kondisi sosial budaya dan kekhasan daerah bersangkutan.

Kewajiban-kewajiban tersebut adalah di antara beberapa kewajiban pemerintah dalam

rangka menyelenggarakan perpustakaan sebagai manifestasi dari asas penyelenggaraan

perpustakaan di Indonesia yaitu pembelajaran sepanjang hayat, demokrasi, keadilan,

keprofesionalan, keterbukaan, keterukuran, dan kemitraan. Asas-asas tersebut harus

senantiasa dijadikan pedoman dalam menyelenggarakan perpustakaan.

Undang Undang tentang Perpustakaan juga menjelaskan bahwa yang dimaksud

dengan pemerintah adalah pemerintah pusat (Presiden RI) dan pemerintah daerah, baik

gubernur, bupati, walikota, dan perangkat daerah yang merupakan unsur penyelenggara

pemerintahan daerah. Merekalah satu-satunya pihak yang berwewenang dan sekaligus

berkewajiban dalam menyelenggarakan perpustakaan di seluruh wilayah Indonesia, baik di

tingkat pusat, provinsi, kabupaten, kota, kecamatan, bahkan sampai ke tingkat

kelurahan/desa.

1
Meskipun demikian masyarakat juga memiliki hak yang sama untuk mendirikan,

menyelenggarakan dan mengembangkan perpustakaan di lingkungan mereka masing-masing,

karena hal ini sesuai dengan asas penyelenggaraan perpustakaan. Disamping itu tentunya

ketentuan ini akan turut membantu pemerintah dalam menjamin ketersediaan layanan

perpustakaan secara merata di seluruh wilayah tanah air.

Asas lain yang sangat penting namun kurang mendapat perhatian selama ini adalah

asas kemitraan antara pemerintah, masyarakat, dan swasta dalam menyelenggarakan

perpustakaan. Terutama sekali diharapkan kontribusi sosial dari perusahaan swasta berskala

besar, baik nasional maupun internasional apalagi perusahaan asing yang mengeksploitasi

kekayaan alam tempatan dan menjalankan usahanya di daerah tersebut. Sudah menjadi

kewajibannya menyisihkan sebagian perolehan laba untuk dikembalikan kepada masyarakat

melalui program dan kegiatan yang bermanfaat. Ini adalah salah satu bentuk konkrit

tanggung jawab sosial perusahaan atau korporat terhadap masyarakat tempatan.

Selama ini peran perusahaan swasta dalam tanggung jawab pelayanan masyarakat

(community service responsibility) masih dibatasi oleh program atau kegiatan yang sifatnya

bersentuhan langsung dengan hajat hidup orang banyak seperti pengadaan air bersih,

pelayanan kesehatan, pembangunan jalan dan jembatan, dan sebagainya. Paradigma seperti

ini harus dirubah. Pelayanan kepada masyarakat pada masa kini semakin luas bidangnya,

apalagi kemajuan internet dan ICT sudah memasuki wilayah pedesaan. Hal yang sama juga

sudah sepatutnya berlaku bagi pelayanan perpustakaan agar sampai ke tingkat desa bahkan

daerah terpencil, terisolasi, atau terbelakang. Sebab ia merupakan tuntutan asas

penyelenggaraan perpustakaan di Indonesia seperti tercantum dalam UU tentang

Perpustakaan no. 43 tahun 2007.

2
Perpustakaan Desa

Menurut lokasinya perpustakaan desa tidak terbatas kepada perpustakaan yang

terletak di pedesaan, tetapi secara luas juga mencakup semua perpustakaan yang ada di

wilayah desa/kelurahan dalam sebuah kota. Perpustakaan desa bisa dipandang sebagai basis

pemasyarakatan perpustakaan di tengah-tengah masyarakat, karena kebutuhan riil masyarakat

akan informasi atau buku bisa langsung dipenuhi oleh perpustakaan desa tanpa harus pergi ke

perpustakaan umum di pusat kota. Semakin banyak berdiri perpustakaan desa, maka akan

semakin besar kemungkinan rakyat dilayani yang artinya akan semakin merata pula layanan

perpustakaan

Pengembangan perpustakaan desa bisa berbentuk perpustakaan pribadi milik warga

misalnya taman bacaan masyarakat (TBR), rumah baca, sudut baca, atau apapun namanya

yang dikelola atas swakarsa dan swadaya masyarakat. Hanya dengan bermodal 300 – 1000

judul buku atau 1000 eksemplar buku sudah bisa didirikan sebuah rumah baca atau sudut

baca. Sesungguhnya potensi buku-buku yang dimiliki atau tersimpan di rumah-rumah warga

apabila dikumpulkan, jumlahnya sudah lebih dari cukup untuk mendirikan sebuah

perpustakaan desa, taman bacaan masyarakat ataupun sudut baca. Yang menjadi persoalan

adalah bagaimana menimbulkan kesadaran warga terhadap pentingnya membaca dan

membangkitkan semangat mereka untuk memiliki dan mendirikan sebuah perpustakaan.

Nantinya perpustakaan tersebut menjadi kebanggan warga dan sebagai tempat alternatif

mengisi waktu luang.

Di antara hal yang sangat perlu diperhatikan untuk mendorong berdirinya

perpustakaan desa, taman bacaan masyarakat, ataupun sudut-sudut baca adalah tersedianya

bahan bacaan sebagai koleksi dasar pustaka. Pemerintah perlu memberikan perhatian khusus

kepada perpustakaan desa ini agar mampu menjawab kebutuhan informasi sesuai dengan

perkembangan ICT di era globalisasi. Oleh sebab itu sudah saatnya pemerintah berinisiatif
3
untuk mendirikan percontohan perpustakaan desa di setiap kabupaten/kota sebagai pilot

project untuk lebih membantu pemerataan layanan perpustakaan. Kalau selama ini layanan

perpustakaan lebih banyak ditumpukan kepada keberadaan perpustakaan umum, maka

dengan adanya perpustakaan desa bisa menjadi alternatif atau pelengkap pemenuhan

kebutuhan informasi tanpa mengurangi sedikitpun peran dan fungsi perpustakaan umum.

Sebab lokasi perpustakaan desa yang terletak di tengah-tengah pemukiman masyarakat relatif

lebih mudah dijangkau oleh sebagian besar kelompok pengguna ketimbang perpustakaan

umum yang terbatas kepada beberapa kelompok atau orang saja.

Semangat menyelenggarakan perpustakaan secara mandiri ini seyogyanya mendapat

apresiasi dari semua pihak yang benar-benar berkomitmen terhadap upaya mencerdaskan

masyarakat melalui kegiatan membaca. Sebab kegiatan membaca yang dilakukan secara

benar dan efektif telah terbukti mampu meningkatkan kwalitas hidup manusia yang pada

akhirnya menjadi suatu budaya atau kebiasaan bagi dirinya.

Budaya baca biasanya diawali dari tumbuhnya minat baca, kemudian menjadi gemar

dan cinta membaca, akhirnya memelihara dan mengembangkan minat baca itu menjadi suatu

yang bermanfaat. Paling tidak bagi individu yang bersangkutan akan menambah

pengetahuan, memperoleh ketrampilan, dan memperluas wawasan. Apabila setiap pribadi

meningkat kwalitas hidupnya maka negara akan serta merta menjadi maju. Diantara ciri

negara maju adalah masyarakatnya berbudaya baca tinggi yang ditandai dengan besarnya

apresiasi terhadap pustaka, buku, pengarang, dan penulis.

Banyak faktor yang menentukan keberhasilan upaya meningkatkan minat baca dan

mengembangkan perpustakaan secara optimal guna mewujudkan masyarakat gemar

membaca, antara lain: (1). Tersedianya peraturan perundang-undangan perpustakaan. Negara

Republik Indonesia sudah memiliki Undang-Undang tentang Perpustakaan yaitu UU no.

43/2007). (2). Adanya stake holder perpustakaan (pemilik modal atau pemangku
4
kepentingan) seperti pemerintah, lembaga, institusi, ataupun pribadi (3). Tersedianya SDM

perpustakaan yang profesional. (4). Tersedianya koleksi, layanan, dan fasilitas perpustakaan

sesuai standar nasional perpustakaan. (5). Wujudnya partisipasi aktif masyarakat baik sebagai

pengguna maupun penyelenggara perpustakaan.

Kita bisa mencontoh beberapa praktek yang sudah dilaksanakan oleh negara-negara

maju dalam mengembangkan perpustakaan dan memasyarakatkan budaya baca. Misalnya

menyediakan layanan perpustakaan sampai ke daerah terpencil dan terisolasi melalui

perustakaan desa, perpustakaan keliling, mobil/motor pintar, maupun pepustakaan terapung.

Membangun fasilitas sudut baca (reading corner) di tempat-tempat umum seperti terminal,

bandara, pelabuhan, pusat perbelanjaan, mal, tempat ibadah, klinik kesehatan, taman kota,

alun-alun, taman rekreasi, dan sebagainya. Mengenalkan dan menimbulkan kecintaan

terhadap buku semenjak dini kepada anak-anak dengan mendirikan perpustakaan pribadi di

setiap rumah tangga.

Tidak ada salahnya mencontoh sesuatu yang baik dari manapun datangnya asalkan

terbukti membawa manfaat. Bukanlah hal mustahil suatu saat nanti pustaka, buku dan budaya

baca akan menjadi gaya hidup masyarakat (lifestyle). Seperti halnya handphone yang dulu

hanya dimiliki oleh beberapa gelintir orang, sekarang sudah menjadi barang biasa dan

digunakan oleh hampir semua orang.

You might also like