You are on page 1of 28

KEMISKINAN, KETIMPANGAN, DAN PEMBANGUNAN

A. KEMISKINAN

1. Why?
• Kemiskinan dialami oleh semua negara di dunia
• Permasalahan klasik di negara miskin: pertumbuhan versus distribusi
pendapatan
• Penyebaran kemiskinan tidak merata di NSB
• kemiskinan berbeda dengan ketimpangan distribusi pendapatan.
2. WHAT?
• kemiskinan absolut:
• diidentifikasikan jumlah penduduk yang hidup di bawah garis
kemiskinan tertentu
• Didasarkan pada pada konsumsi, terdiri dari dua elemen:
• Pengeluaran yang diperlukan untuk membeli standar gizi
minimum dan kebutuhan mendasar lainnya
• Jumlah kebutuhan lain yang sangat bervariasi
• Garis kemiskinan (poverty line):
• Rp/kapita/bulan
• Desa vs kota
• kemiskinan relatif:
• pangsa pendapatan nasional yang diterima oleh masing-masing
golongan pendapatan
• Dibandingkan lingkungan di mana tinggal
• kemiskinan kultural
• kemiskinan struktural
3. SEBERAPA BESAR TINGKAT KEMISKINAN TERJADI
• Menggunakan cara Headcount Index: menghitung jumlah miskin sebagai
proporsi dari populasi
• cara Poverty Gap: menghitung transfer yang akan membawa
pendapatan setiap penduduk miskin hingga tingkat di atas garis kemiskinan

penduduk miskin dan tingkat kemiskinan yang berkesinambungan cukup cepat


(Booth, 1992). Pertama, ketidakseimbangan dalam kawasan pedesaan menurun
antara tahun 1981 dan 1987. Kedua, garis kemiskinan pedesaan yang ditetapkan
oleh BPS dalam kenyataan bertambah lebih lambat antara tahun 1981 dan 1987
dibanding indeks harga pedesaan yang digunakan.

Hal ini merefleksikan fakta bahwa harga bahan makanan pokok, khususnya
beras, meningkat kurang cepat sejak tahun 1981 dibandingkan dengan harga-
harga lainnya.

Studi yang dilakukan oleh Sumarto (2002) dari SMERU Research Institute
berdasarkan survei yang dilakukan atas 100 desa selama periode Agustus 1998
hingga Oktober 1999. Hasil studinya menemukan bahwa:

 Terdapat hubungan negatif yang sangat kuat antara pertumbuhan dan


kemiskinan. Artinya, ketika perekonomian tumbuh, kemiskinan berkurang;
namun ketika perekonomian mengalami kontraksi pertumbuhan,
kemiskinan meningkat lagi.
 Pertumbuhan tidak mengurangi kemiskinan secara permanen. Walaupun
terjadi pertumbuhan dalam jangka panjang selama periode sebelum krisis,
banyak masyarakat yang tetap rentan terhadap kemiskinan.
 Pertumbuhan secara kontemporer dapat mengurangi kemiskinan. Sehingga
pertumbuhan yang berkelanjutan penting untuk mengurangi kemiskinan.
 Walaupun terjadi pertumbuhan dalam jangka panjang, namun tidak
mengurangi kemiskinan secara permanen. Sejumlah besar masyarakat
tetap rentan terhadap kemiskinan. Oleh karena itu, manajemen kejutan
(management of shocks) dan jaring pengaman harus diterapkan.
 Pengurangan ketimpangan mengurangi kemiskinan secara signifikan.
Sehingga sangat penting untuk mencegah pertumbuhan yang
meningkatkan ketimpangan.
 Memberikan hak atas properti dan memberikan akses terhadap kapital
untuk golongan masyarakat miskin dapat mengurangi kesenjangan,
merangsang pertumbuhan, dan mengurangi kemiskinan.

A. PENGERTIAN KEMISKINAN

Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi kekurangan hal-hal yang biasa


untuk dipunyai seperti makanan , pakaian , tempat berlindung dan air minum, hal-
hal ini berhubungan erat dengan kualitas hidup .

Kemiskinan dipahami dalam berbagai cara. Pemahaman utamanya mencakup:

• Gambaran kekurangan materi, yang biasanya mencakup kebutuhan


pangan sehari-hari, sandang, perumahan, dan pelayanan kesehatan.
Kemiskinan dalam arti ini dipahami sebagai situasi kelangkaan barang-
barang dan pelayanan dasar.
• Gambaran tentang kebutuhan sosial, termasuk keterkucilan sosial,
ketergantungan, dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam
masyarakat. Hal ini termasuk pendidikan dan informasi. Keterkucilan sosial
biasanya dibedakan dari kemiskinan, karena hal ini mencakup masalah-
masalah politik dan moral, dan tidak dibatasi pada bidang ekonomi.
• Gambaran tentang kurangnya penghasilan dan kekayaan yang memadai.
Makna "memadai" di sini sangat berbeda-beda melintasi bagian-bagian
politik dan ekonomi di seluruh dunia.

MENGUKUR KEMISKINAN

Kemiskinan Absolut

Kemiskinan absolut adalah sejumlh penduduk yang tidak mampu


mendapatkan sumber daya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar.

Kemiskinan absolut mengacu kepada sejumlah penduduk yang hidup di


bawah & quot; garis kemiskinan internasional & quot; atau yang kurang dari
tingkat pendapatan minimum tertentu
Kemiskinan absolut mengacu pada satu set standard yang konsisten , tidak
terpengaruh oleh waktu dan tempat / negara. Sebuah contoh dari pengukuran
absolut adalah persentase dari populasi yang makan dibawah jumlah yg cukup
menopang kebutuhan tubuh manusia (kira kira 2000-2500 kalori per hari untuk laki
laki dewasa).

Peraga 6.6 mengilustrasikan bagaimana kita dapat mengukur jurang


kemiskinan itu ( daerah ynag diarsil) yang berada diantara garis kemiskinan, PV,
serta angka pendapatan penduduk tahunan.
meskipun Negara A da B, 50 % penduduknya sama-sama masih berasa di
bawahgaris kemiskinan, namun jurang kemiskinan di Negara A ternyata lebh
besar dari pada yang ada di Negara B.
kita jiga tertarik mempelajari seberapa jauh pendapatan kelompok miskin di bawah
garis kemiskinan. “kekurangan pendapatan total” atau jurang kemiskinan total
(total poverty gap – TGP), dari kaum miskin didefinisikan sebagai:
TGP = ∑ ( Y p – Yi )

Jika dihitung atas dasar perkapita, kekurangan pendapatan rata-rata,


jurang kemiskinan rata-ratanya (average poverty gap – APG) adalah
AGP = TPG / H

Sering kali, kita juga ter tarik mempelajari ukuran kekurangan


pendapatan dalam hubungannya dengan garis kemiskinan, sehingga kita dapat
menggunakan jurang kemiskinan yang di normalisasi (normalized poverty gap –
NPG)
NGP = APG / Yp

Peraga 6.6 mengukur jurang kemiskinan


Kemiskinan absolut dapat diukur dengan angka, atau hitungan perkepala
( headcount ), H, untuk mengetahui seberapa banyak orang yang penghasilannya
berasa dibawah di bawah garis kemiskinan absolut, Y, ketika hitungan perkepala
tersebut dianggap sebagai dari populasi total, N, kita memperoleh INdEKS PER
KEPALA ( headcount index ),H/N.

Bank Dunia mendefinisikan Kemiskinan absolut sebagai hidup dg


pendapatan dibawah USD $1/hari dan Kemiskinan menengah untuk pendapatan
dibawah $2 per hari, dg batasan ini maka diperkiraan pada 2001 1,1 miliar orang
didunia mengkonsumsi kurang dari $1/hari dan 2,7 miliar orang didunia
mengkonsumsi kurang dari $2/hari."[1] Proporsi penduduk negara berkembang
yang hidup dalam Kemiskinan ekstrem telah turun dari 28% pada 1990 menjadi
21% pada 2001.[1] Melihat pada periode 1981-2001, persentase dari penduduk
dunia yang hidup dibawah garis kemiskinan $1 dolar/hari telah berkurang separuh.
Tetapi , nilai dari $1 juga mengalami penurunan dalam kurun waktu tersebut.

Meskipun kemiskinan yang paling parah terdapat di dunia bekembang, ada


bukti tentang kehadiran kemiskinan di setiap region. Di negara-negara maju,
kondisi ini menghadirkan kaum tuna wisma yang berkelana ke sana kemari dan
daerah pinggiran kota dan ghetto yang miskin. Kemiskinan dapat dilihat sebagai
kondisi kolektif masyarakat miskin, atau kelompok orang-orang miskin, dan dalam
pengertian ini keseluruhan negara kadang-kadang dianggap miskin. Untuk
menghindari stigma ini, negara-negara ini biasanya disebut sebagai negara
berkembang.

Garis tersebut tidak mengenal tapal batas antarnegara dan tidak ada
hubungannya dengan tingkat pendapatan per kapita di suatu negara, dan
perbedaan tingkat harga per hari dalam PPP dolar hingga kurang lebih US$1
mengakibatkan jumlah kemiskinan pada kehidupan masing-masing individu.
Bank Dunia menetapkan dua garis kemiskinan global untuk tahun 1985.
Setiap rumah tangga yang pendapatan tahunannya (dihitung berdasarkan daya
beli US$1 pada tahun 1985) $370 digolongkan "miskin" (poor).

Pada tahun 1987, terdapat sekitar 1,2 miliar manusia yang hidup di bawah
garis kemiskinan. Jumlah ini merupakan 30,1 % dari total populasi penduduk
negara-negara Dunia Ketiga.

Meskipun tingkat kemiskinan keseluruhan ini (yang disebut sebagai


headcount index) mengalami sedikit penurunan di negara-negara berkembang
dan negara-negara yang sedang mengalami transisi antara tahun 1987 dan tahun
1993 (dari 30,1 % menjadi 29,4 %), jumlah tingkat kemiskinan absolut meningkat
sebesar 80 juta orang, yaitu dari 1,23 miliar menjadi 1,31 miliar.

Di negara-negara berkembang saja, jumlah penduduk miskin meningkat


sebesar 74 juta. Peningkatan kemiskinan, baik dalam angka persentase maupun
absolut, terjadi di negara-negara Amerika Latin dan Afrika sub-Sahara. Penurunan
jumlah kemiskinan hanya terjadi di Cina, Asia Timur, dan Pasifik. Pada ketiga
wilayah tersebut, sekitar 16 juta orang dikelompokkan miskin secara absolut.

Meskipun indeks poverty headcount (yaitu, tingkat kemiskinan) bisa saja


lebih tinggi di beberapa negara sedang berkembang lainnya, 12 negara dengan
jumlah penduduk besar inilah yang memberikan kontribusi paling besar terhadap
total tingkat kemiskinan secara global.

Dengan peningkatan populasi penduduk negara-negara berkembang yang


begitu cepat, jika tingkat kemiskinan tahun 1993 tetap tidak berubah di negara-
negara tersebut, maka jumlah orang yang berada di bawah garis kemiskinan pada
tahun 1997 akan mendekati 1 miliar.

Seperti diasumsikan oleh banyak ekonom, meskipun tingkat kemiskinan


menurun di satu atau lebih dari negara-negara yang paling banyak penduduknya
ini (misalnya, Cina), jumlah penduduk miskin tetap dan kemungkinan akan terus
meningkat.
INDIKATOR JURANG KEMISKINAN (POVERTY GAP)

Dalam banyak hal, metode dan pelaksanaan perhitungan jumlah penduduk


yang masih hidup di bawah garis kemiskinan itu sendiri memang masih
mengandung banyak keterbatasan.

Sebagai contoh, seandainya saja garis kemiskinan itu dinaikkan pada


angka US$360 maka hasilnya akan jauh berbeda mengingat banyak penduduk
miskin yang hanya berpenghasilan US$350, atau bahkan US$300 per tahun.
Kedua kelompok pendapatan ini akan tercatat dalam bobot yang sama atau dalam
proporsi penduduk yang masih berada di bawah garis kemiskinan.

Beberapa ekonom mencoba mengkalkulasikan indikator jurang kemiskinan


(poverty gap) yang mengukur total pendapatan yang diperlukan untuk
mengangkat mereka yang masih di bawah garis kemiskinan ke atas garis itu.

Meskipun negara A dan B itu sama-sama memiliki 50 % penduduk yang


masih berada di bawah garis kemiskinan, namun jumlahnya yang terdapat di
negara A ternyata lebih besar daripada yang ada di negara B. Dengan demikian,
negara A harus berusaha lebih keras guna memerangi kemiskinan penduduknya.
Meskipun tingkat kemiskinan di Asia Selatan pada tahun 1993 lebih tinggi (43,1
%) dibandingkan dengan Afrika subSahara (39,1 %), namun kesenjangan
kemiskinan (poverty gap) di Afrika lebih tinggi (yaitu, 15,3 %) dibandingkan
dengan kesenjangan kemiskinan di Asia Selatan (yaitu, 12,6 %). Pendapatan per
kapita yang tinggi sama sekali bukan merupakan jaminan tidak adanya
kemiskinan absolut dalam jumlah yang besar.

Mengingat besar atau kecilnya porsi atau bagian pendapatan yang diterima
oleh kelompok-kelompok penduduk yang paling miskin tidak sama untuk masing-
masing negara, maka mungkin saja suatu negara dengan GNP atau pendapatan
per kapita yang tinggi justru mempunyai persentase penduduk yang berada di
bawah garis kemiskinan internasional yang lebih besar dibandingkan dengan
suatu negara yang pendapatan per kapitanya lebih rendah.
Sebagai contoh, Afrika Selatan memiliki pendapatan per kapita sebesar
US$3.520 pada tahun 1996, tingkat kemiskinan 24 % dan kesenjangan
kemiskinan 6,6 %. Sementara Sri Lanka hanya memiliki pendapatan per kapita
sebesar US$740 pada tahun 1996, memiliki tingkat kemiskinan 4 % dan
kesenjangan kemiskinan 0,7 %.

Masalah-masalah kemiskinan dan ketimpangan distribusi pendapatan


tersebut sesungguhnya tidak semata-mata disebabkan oleh proses-proses
pertumbuhan ekonomi yang alamiah. Ada faktor-faktor lain yang bermain serta
turut mempengaruhinya, yakni seperti jenis pertumbuhan ekonomi yang
berlangsung di negara yang bersangkutan, berbagai pengaturan politik dan
kelembagaan yang dalam prakteknya ikut menentukan pola-pola distribusi
pendapatan nasional, yang harus sengaja diciptakan sedemikian rupa dalam
rangka lebih menyebarluaskan kue atau buah hasil pertumbuhan ekonomi kepada
masyarakat luas.

INDEKS KEMISKINAN MANUSIA

Tidak puas dengan ukuran pendapatan dalam dolar per hari yang
digunakan oleh Bank Dunia, UNDP berusaha mengganti ukuran kemiskinan
"pendapatan" Bank Dunia dengan ukuran kemiskinan "
manusia".

Lembaga ini selanjutnya membentuk apa yang dinamakan Indeks


Kemiskinan Manusia (Human Poverty Index-HPI) yang dalam berbagai cara
analog dengan Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index-HD I
yang telah dibuatnya.

Dengan keyakinan bahwa kemiskinan manusia harus diukur dalam satuan


hilangnya tiga hal utama (three key deprivations), yaitu :kehidupan (lebih dari 30
% penduduk negara-negara kurang berkembang tidak mungkin hidup lebih dari 40
tahun), pendidikan dasar (seperti diukur oleh persentase penduduk dewasa yang
buta huruf, dengan penekanan pada hilangnya hak pendidikan perempuan), serta
keseluruhan ketetapan ekonomi (diukur oleh persentase penduduk yang tidak
memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan dan air bersih ditambah persentase
anak-anak di bawah usia 5 tahun yang kekurangan berat badan).

Dengan menggunakan sebuah rumus yang agak kompleks untuk


menghitung HPI 78 negara miskin, laporan mereka tahun 1997 melakukan
pemeringkatan negara-negara tersebut dari negara dengan HPI terendah sampai
HPI tertinggi.

Mereka menemukan bahwa peringkat tersebut berbeda secara substansial


dengan peringkat kemiskinan pendapatan Bank Dunia maupun peringkat HDI
UNDP sendiri.

Oleh karena nilai HPI menunjukkan proporsi penduduk yang secara luas
dipengaruhi oleh hilangnya tiga hal utama (daya hidup, ilmu pengetahuan, dan
ketetapan ekonomi), angka HPI yang rendah berarti menunjukkan hal yang bagus
(yakni, persentase penduduk yang mengalami kehilangan hak yang lebih kecil).

Sementara HPI yang lebih tinggi menunjukkan kehilangan yang lebih besar.
Sepuluh negara dengan peringkat tertinggi (artinya, memiliki HPI rendah) dan
sepuluh negara peringkat paling rendah (artinya, memiliki HPI yang tinggi)

PENYEBAB KEMISKINAN

Kemiskinan banyak dihubungkan dengan:

• penyebab individual, atau patologis, yang melihat kemiskinan sebagai


akibat dari perilaku, pilihan, atau kemampuan dari si miskin;
• penyebab keluarga, yang menghubungkan kemiskinan dengan pendidikan
keluarga;
• penyebab sub-budaya (subcultural), yang menghubungkan kemiskinan
dengan kehidupan sehari-hari, dipelajari atau dijalankan dalam lingkungan
sekitar;
• penyebab agensi, yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari aksi orang
lain, termasuk perang, pemerintah, dan ekonomi;
• penyebab struktural, yang memberikan alasan bahwa kemiskinan
merupakan hasil dari struktur sosial.

Meskipun diterima luas bahwa kemiskinan dan pengangguran adalah sebagai


akibat dari kemalasan, namun di Amerika Serikat (negera terkaya per kapita di
dunia) misalnya memiliki jutaan masyarakat yang diistilahkan sebagai pekerja
miskin; yaitu, orang yang tidak sejahtera atau rencana bantuan publik, namun
masih gagal melewati atas garis kemiskinan.

Menurut Sharp, et.al (1996 : h 173-191)

1. Secara mikro, kemiskinan muncul karena adanya ketidaksamaan pola


kepemilikan sumber daya yang menimbulkan ketimpangan distribusi
pendapatan.

2. Kemiskinan muncul akibat perbedaan kualitas sumber daya manusia.

3. Kemiskinan muncul akibat perbedaan akses modal

MENGHILANGKAN KEMISKINAN

Tanggapan utama terhadap kemiskinan adalah:

• Bantuan kemiskinan, atau membantu secara langsung kepada orang


miskin. Ini telah menjadi bagian pendekatan dari masyarakat Eropa sejak
zaman pertengahan.
• Bantuan terhadap keadaan individu. Banyak macam kebijakan yang
dijalankan untuk mengubah situasi orang miskin berdasarkan perorangan,
termasuk hukuman, pendidikan, kerja sosial, pencarian kerja, dan lain-lain.
• Persiapan bagi yang lemah. Daripada memberikan bantuan secara
langsung kepada orang miskin, banyak negara sejahtera menyediakan
bantuan untuk orang yang dikategorikan sebagai orang yang lebih mungkin
miskin, seperti orang tua atau orang dengan ketidakmampuan, atau
keadaan yang membuat orang miskin, seperti kebutuhan akan perawatan
kesehatan.
• Mobilisasi tenaga kerja yang belum didayagunakan agar terjadi
pembentukan modal
• Transfer sumber daya pertanian ke industri melalui mekanisme pasar
• Sektor pertanian berbasis teknologi menjadi sektor yang memimpin
• Pengupahan tenaga kerja (terutama sektor tradisional, modal yang didapat
dari pemungutan pajak).

• Menitikberatkan pada transfer sumber daya dari pertanian ke industri


melalui mekanisme pasar.

• Menyoroti potensi pesatnya pertumbuhan dalam sektor pertanian yang


dibuka dengan kemajuan teknologi sehingga menjadi leading sector (rural
– led development) proses ini akan mendukung pertumbuhan seimbang
dengan syarat

B. MASALAH KETIMPANGAN PENDAPATAN DAN KEMISKINAN

Terdapat dua pendekatan : kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif

1. Kemiskinan absolut ( melihat jumlah penduduk dibawah garis kemiskinan).

2. Kemiskinan relatif (hubungan populasi terhadap distribusi pendapatan).

Beban Kemiskinan Global Terjadi pada negara yang memiliki populasi yang
besar pada kelompok-kelompok tertentu (kaum wanita), Anak –anak (sisi
pendidikan dan kesehatan). Beban tersebut dapat dilihat dari extreme poverty line
dan poverty line.

Perbedaan Kemiskinan dengan Ketimpangan Pendapatan.

- Kemiskinan berkaitan dengan standar hidup yang absolut.

- Sedangkan Ketimpangan mengacu pada standar hidup relatif dari seluruh


masyarakat.
Garis Kemiskinan

Semua ukuran kemiskinan dipertimbangkan pada norma tertentu. Pilihan


norma tersebut sangat penting terutama dalam pengukuran kemiskinan yang
didasarkan pada konsumsi.

Garis kemiskinan didasarkan pada consumption based poverty line dimana


terdapat dua elemen :
1. Pengeluaran yang diperlukan untuk standar gizi.
2. Jumlah kebutuhan lain yang bervariasi.

Hipotesis U Terbalik Tentang Kemiskinan

Simon Kuznets (1955) membuat hipotesis adanya U terbalik, bahwa


permulaan pembangunan dimulai dimana distribusi pendapatan akan makin tidak
merata, namun setelah mencapai tingkat pembangunan tertentu distribusi
pendapatan makin merata.

Sebagian besar kurva kuznet ini terletak disebelah kanan, ketimpangan


pendapatan menurun seiring dengan peningkatan GDP perkapita pada tahap
pembangunan selanjutnya. Hipotesis ini membuktikan terjadinya dua economy.
Simon kuznets mengatakan bahwa pada tahap awal pertumbuhan
ekonomi, distribusi pendapatan cenderung memburuk, namun pada tahap
selanjutnya, distribusi pendapatannya membaik.

Peraga kurva kuznets “ U “ terbalik


Mengukur ketimpangan
Para ekonom pada umumnaya membedakan dua ukuran pokok distribusi
pendapatan, yaitu
• ukuran distribusi, yakni besar atau kecilnya bagian pendapatan yang
diterima masing-masing orang , dan distribusi fungsional atau distribusi
kepemilikan factor-faktor produksi. Ukuran ini secara langsung menghitung
jmlah penghasilan yang diterima oleh setiap individu atau rumah tangga.

individu pend perorangan kuintil desil


1 0,8
2 1 1,8
3 1,4
4 1,8 5 3,2
5 1,9
6 2 3,9
7 2,4
8 2,7 9 5,1
9 2,8
10 3 5,8
11 3,4
12 3,8 13 7,2
13 4,2
14 4,8 9
15 5,9
16 7,1 22 13
17 10,5
18 12 22,5
19 13,5
20 15 51 28,5
total (pend nasional) 100 100

Kurva Lorenz
Kurva Lorenz metode lain yang lazim dipakai untuk menganalisiss statistic
pendapatan perorangan adalah dengan menggunakan kurva Lorenz.
gambar disamping
menunjukan mekanisme
kerja kurva tersebut.
Jumlah penerimaan
pendapatan dinyatakan
pada subu horizontal,
tidak dalam arti
absolute meliankan dalam
persentase kumulatif.

Kurva Lorenz memperlihatkan hubungan kuantitatif actual antara


persentase penerima pendapatan dengan persentase pendapatan total yang
benar-benar mereka terima slama, misalnya satu tahun.
Peraga 6.2 semakin melengkung kurva Lorenz, maka semakin paralah tingkat
ketimpangannya.

Koefisien gini dan ukuran ketimpangan agrerat


Koefisien gini adalah ukuran ketimpanganb agregat yang angkanya berkisar
antara nol ( pemerataan sempurna )hingga satu ( ketimpangan sempurna ).
koefisien gini merupakan salah satu ukuran yang memenuhi empat kereteria yang
sangat di cari, yaitu:
1. Anonimitas
2. Indevendensi skala
3. Indevedensi populasi
4. Dan transfer

• Distribusi fungsional
Teori ini pada dasranya mempersoalkan persentase penghasilan tenaga
kerja secara keseluruhan, bukan sebagai unit-unit atau factor produksi yang
terpisah secara individual, dan membandingkannya dengan persentase
pendapatan total di bagikkan dalam bentuk sewa, bungan, dan laba.

Sebagai ilustrasi
Peraga distribusi pendapatan fungsional didalam sebuah erekonomian pasar.

Dalam peraga tersebut kita asumsikan bahwa hanya terdapat dua factor
produksi saja yaitu: modal, yang persediannya dianggap tetap, dan tenaga kerja,
yang merupakan satu-satunya factor variable.

KETIMPANGAN DAN KETERTINGGALAN


Indonesia memiliki satu kementerian negara yang memiliki tugas untuk
mempercepat pembangunan daerah tertinggal yakni Kementerian Negara
Percepatan Daerah Tertiggal (PDT).
Tugas kementerian ini memiliki peran yang strategis dalam mengentaskan
daerah-daerah di Indonesia baik di kawasan barat maupun timur dan kawasan
terluar yang masih banyak tertinggal dibanding daerah lain. Meskipun sudah ada
Kementerian PDT, masalah ketimpangan yang pada gilirannya membawa kepada
ketertinggalan dalam hal pembangunan, semakin nyata terjadi di depan mata kita.
Sejatinya, masalah ini adalah masalah besar bangsa kita yang sedang kita
hadapi. Ini bukan hanya masalah parsial dan hanya menjadi tugas Kementerian
PDT.
Berbicara mengenai masalah ketertinggalan, negara ini sesungguhnya
sedang mengalami proses ketertinggalan yang pelan tapi pasti. Hal ini antara lain
disebabkan oleh maraknya ketimpangan, baik itu ketimpangan pendapatan,
pendidikan, maupun ketimpangan kualitas institusi birokrasi di negara ini. Salah
satu hasil studi William Easterly (2006) mengungkapkan bahwa tingkat
ketimpangan (inequality) yang tinggi merupakan penghambat kemakmuran,
tumbuhnya institusi yang berkualitas, dan berkembangnya pendidikan yang
bermutu tinggi.
Laporan Bank Dunia (2005) bertajuk World Development Report
menyebutkan dalam pengantarnya bahwa keadilan (equity) adalah salah satu
aspek fundamental dalam mencapai kemakmuran jangka panjang bagi
masyarakat secara keseluruhan. Meskipun ada klaim ini, perdebatan mengenai
pengaruh ketimpangan terhadap pembangunan ekonomi masih berlanjut dengan
serius. Perlu ditegaskan di sini, ketimpangan berkaitan dengan distribusi hasil
(outcomes) seperti pendapatan, kemakmuran, konsumsi, dan dimensi-dimensi lain
dari apa yang disebut sebagai kesejahteraan (well being).
Sedangkan ketidakadilan (inequality) merujuk pada distribusi kesempatan
(opportunities) yang mencakup aspek-aspek ekonomi, politik, dan sosial.
Gelombang pertama (first wave) literatur mengenai pembangunan berargumentasi
bahwa tingkat ketimpangan yang tinggi dapat mempercepat pertumbuhan dengan
mengarahkan pendapatan lebih banyak lagi kepada para pemodal bertabungan
tinggi (high saving capitalists) (Lewis, 1954, Kaldor, 1956, 1961). Argumen ini
berangkat dari standar hipotesis di mana tingkat tabungan individu akan
meningkat seiring dengan meningkatnya pendapatan.
Ketika redistribusi sumberdaya dari kaum kaya ke kaum miskin cenderung
menurunkan tingkat tabungan agregat dalam suatu perekonomian, akumulasi
kapital akan menurun seiring dengan laju pertumbuhan ekonomi. Meningkatnya
ketidaksamaan cenderung meningkatkan investasi dan Sementara itu, literatur-
literatur baru mengenai pertumbuhan membalikkan prediksi tersebut. Dengan
seperangkat model teoritik dan studi-studi empiris mereka berargumentasi bahwa
ketimpangan berdampak buruk terhadap pertumbuhan melalui saluran-saluran
ekonomi politik atau kendala akumulasi modal insani (human capital
accumulation) (Galor and Zeira, 1993; Banerjee and Newman, 1993; Alesina and
Rodrik, 1994; Persson and Tabellini, 1994).
Hal yang sangat dekat dengan kemiskinan adalah ketimpangan (inequality)
atau gap antara si miskin dan si kaya. Ketimpangan berkaitan dengan distribusi
hasil seperti pendapatan, kemakmuran, konsumsi, dan dimensi-dimensi lain dari
apa yang disebut sebagai kesejahteraan. Konsep inequality tersebut harus
dibedakan dengan konsep equity yang merujuk pada distribusi kesempatan
(opportunities) yang mencakup aspek-aspek ekonomi, politik, dan sosial. Dalam
World Development Report 2006, World Bank (2006) berargumentasi bahwa
ketimpangan dalam kesempatan dan akses ekonomi berpengaruh terhadap
pembangunan ekonomi.

Kemiskinan, ketimpangan, dan kesejahteraan sosial

Kesejahteraan sosial berhubungan positif dengan pendapatan perkapita,


namun berhubungan negative dengan kemiskinan dan tingakat ketimpangan.
Masalah yang ditimbulkan oleh kemiskinan absolute sudah jelas, tidak ada
masyarakat beradab yang dapat merasa nyaman dengan kondisi dimana rekan-
rekkan senegaranya berada dalam kesengsaraan absolut karean kemiskinan
dideritanya.
rumus kesejahteraan:

W = W ( Y, I, P )
Dilihat dari akar penyebabnya, ketimpangan bisa dibagi dua.
 Pertama, ketimpangan structural (structural inequality) yang
disebabkan oleh peristiwa-peristiwa bersejarah seperti penaklukan, kolonisasi,
perbudakan, dan distribusi tanah oleh negara atau kekuatan kolonial. Situasi
ini menciptakan elite-elite yang lahir dengan kebijakan mekanisme non-pasar
(non-market mechanism).
 Kedua, ketimpangan yang disebabkan oleh kekuatan-kekuatan
pasar karena kesuksesan dalam pasar bebas (free market) selalu tak sama
antarindividu, kota, wilayah, perusahaan, dan industri.

Dalam berbagai literatur studi empiris-ekonometrik, Goudy dan Ladd (1999)


menyebutkan ada tingkat kesepakatan dan konsensus terhadap hubungan-
hubungan antara pertumbuhan ekonomi, ketimpangan, dan kemiskinan. Pertama,
hubungan itu menggambarkan bahwa pertumbuhan ekonomi mengurangi
kemiskinan. Hal ini tergantung pada sampai sejauh mana keadilan dalam
distribusi pendapatan di suatu masyarakat. Kedua, pertumbuhan ekonomi tidak
memiliki pengaruh yang bisa diprediksi atas ketimpangan di negara-negara
berkembang. Ketiga, tingkat keadilan dalam suatu masyarakat adalah salah satu
determinan dari pertumbuhan ekonomi.
Jika melihat kondisi perekonomian Indonesia yang secara makro
menujukkan performa yang baik, namun di sisi lain realitas ketimpangan dan
kemiskinan masih menyelimuti sebagian besar rakyat Indonesia, bisa dikatakan
proposisi pertama dari hubungan antara pertumbuhan ekonomi, ketimpangan, dan
kemiskinan menemui kebenarannya. Memang, pertumbuhan ekonomi yang
dicapai belum cukup untuk mengabsorbsi permasalahan krusial yang dihadapi
bangsa ini.
Namun, persoalan yang perlu dicermati lebih jauh adalah bagaimana
mewujudkan keadilan bagi segenap rakyat dengan membuka katup-katup
pembatas saluran distribusi pendapatan dan peluang/kesempatan ekonomi yang
pada gilirannya akan mengalirkan berkah dari pertumbuhan ekonomi yang dicapai
selama ini. Negara dimana tingkat ketimpangan ekonomi antarkalangan
masyarakatnya rendah, menunjukkan tingkat pertumbuhan ekonomi yang
signifikan. Semoga, proposisi ketiga dari studi empiris di atas adalah berupa
hadirnya keadilan ekonomi bagi segenap masyarakat dapat terwujud.

KETIMPANGAN PENDAPATAN DI DUNIA KETIGA (PROF. IRMA ADELMAN)

Antara 1960 dan 1980 tingkat ketimpangan pendapatan melonjak, dan hal
ini ternyata terjadi di semua negara-negara Dunia Ketiga nonkomunis.

Koefisien Gini meningkat dari 0,544 menjadi 0,602 (kecenderungan ini


adalah kecenderungan keseluruhan, artinya penjumlahan seluruh koefisien Gini
dari setiap negara-negara berkembang tersebut).

Meskipun demikian, peningkatan pemerataan pendapatan terjadi di


sejumlah negara berkembang berpenghasilan menengah yang bukan merupakan
pengekspor minyak. Sedangkan distribusi pendapatan di negara berkembang
berpenghasilan rendah dan kelompok pengekspor minyak semakin timpang.
Memburuknya (peningkatan angka) koefisien Gini pada duakelompok negara ini
mencerminkan telah memburuknya distribusi pendapatan antara satu negara
dibandingkan dengan negara-negara lain dan, tentu saja, memburuknya distribusi
pendapatan di masing-masing negara berkembang itu sendiri.

Adelman menyimpulkan bahwa "pengurangan atau pemberantasan


atas salah satu sumber ketimpangan itu (ketimpangan anta rn egara atau
ketimpangan dalam masing-masing negara) sangatlah penting demi teratasinya
kemiskinan".

Namun, dalam kenyataannya tingkat ketimpangan pendapatan tersebut justru


terus memburuk di sebagian besar negara berkembang selama dekade 1980-an
dan awal dekade 1990-an, terutama sekali di negara-negara di kawasan Afrika
sub-Sahara dan Amerika Latin.
C. UPAYA PEMERATAAN PEMBANGUNAN

Kunci dari pembangunan adalah kemakmuran bersama. Pemerataan hasil


pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi merupakan tujuan
pembangunan yang ingin dicapai. Tingkat pertumbuhan yang tinggi tanpa disertai
pemerataan pembangunan hanyalah menciptakan perekonomian yang lemah dan
eksploitasi sumber daya manusia.

Hipotesis Kusnets (1963) yang menyatakan bahwa sejalan dengan waktu


ketidakmerataan (inequality) akan meningkat akan tetapi kemudian akan menurun
karena adanya penetesan ke bawah (trickle down effect), sehingga kurva akan
berbentuk seperti huruf U terbalik (Inverted U). Akan tetapi pada kenyataannya
penetesan ke bawah (trickle down effect) tidak selalu terjadi, sehingga
kesenjangan antara kaya dan miskin semakin besar.

Gambar 1. Kurva Kusnets

Pemerataan hasil pembangunan di Indonesia masih sangat


memprihatinkan. Ketidakmerataan juga menjadi masalah dunia.

Menurut data World Development Report 2006, 15,7% penduduk Indonesia


pada tahun 1996 berada di bawah garis kemiskinan. Jumlah penduduk yang
berada di bawah garis kemiskinan meningkat menjadi 27,1 % pada tahun 1999.
Gini Index untuk pemerataan penghasilan Indonesia adalah 0,34, hal ini
menunjukkan adanya ketidakmerataan penghasilan yang cukup besar di
Indonesia. Gini index merupakan ukuran tingkat penyimpangan distribusi
penghasilan, Gini index diukur dengan menghitung area antara kurva Lorenz
dengan garis hipotesis pemerataan absolut. Gini Index untuk pemerataan
kepemilikan tanah di Indonesia mencapai 0,46, nilai ini menunjukkan adanya
ketidakmerataan kepemilikan tanah yang cukup besar.

Gambar 2. Lingkaran Setan (Vicious Circle)

Dari segi pendidikan, Indonesia masih mengalami masalah


ketidakmerataan pendidikan. Gini Index untuk pemerataan pendidikan di

Indonesia mencapai 0,32, angka ini menunjukkan adanya ketidakmerataan


pendidikan. Rendahnya tingkat pendidikan akan mengakibatkan rendahnya
produktivitas dan berakibat pula pada rendahnya tingkat pendapatan, hal ini terus
menjadi lingkaran setan (vicious circle). Kesenjangan tingkat pendidikan
mengakibatkan adanya kesenjangan tingkat pendapatan yang semakin besar.
Kesenjangan ini juga akan mengakibatkan kerawanan sosial.

Di Indonesia persentase balita yang kekurangan gizi mencapai 27,3% pada


tahun 2000. Angka ini cukup besar dan harus menjadi perhatian yang serius bagi
pemerintah. Tingkat gizi yang rendah akan mempengaruhi produktivitas sehingga
tingkat pendapatan akan rendah. Fasilitas kesehatan yang kurang menjangkau ke
daerah terpencil di Indonesia menyebabkan rendahnya kualitas kesehatan
masyarakat. Tingginya tingkat mortalitas balita yaitu 41 kematian balita per 1.000
balita dan tingkat mortalitas ibu yang mencapai 230 kematian ibu per 100.000
kelahiran menunjukkan masih rendahnya kualitas kesehatan.

Pemerataan hasil pembangunan di samping pertumbuhan ekonomi perlu


diupayakan supaya pembangunan dapat dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia.
Pemerataan pendidikan dan pemerataan fasilitas kesehatan merupakan salah
satu upaya penting yang diharapkan meningkatkan pemerataan hasil
pembangunan dengan menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas.

Keberhasilan pembangunan sangat berkaitan dengan kebijakan yang


dibuat oleh pemerintah. Pemerintah harus menciptakan kebijakan pembangunan
yang tepat dalam upaya meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi sekaligus
menciptakan pemerataan pembangunan. Peningkatan laju ekonomi tidak selalu
dibarengi dengan pemerataan. Kemiskinan tidak dapat dihilangkan dengan hanya
peningkatan laju pertumbuhan ekonomi. Ada tiga permasalahan umum yang
menyangkut kebijakan pemerintah dalam kaitannya dengan permasalahan
pemerataan pembangunan yaitu:
1. Sumber dana pembangunan.
2. Alokasi dana pembangunan.
3. Efektivitas dan efisiensi penggunaan dana pembangunan.

Dalam rangka mendapatkan dana bagi pembangunan, Pemerintah


Indonesia telah menambah hutang dalam bentuk penerbitan surat utang negara.
Padahal disamping menambah hutang banyak alternatif lain yang dapat
digunakan oleh pemerintah. Penambahan hutang guna mendapatkan dana bagi
pembangunan malah menyebabkan masalah baru. Hutang di kemudian hari harus
dibayar beserta bunganya yang akan semakin membebani anggaran
pembangunan.
Krugman dan Obstfeld (2005) menjelaskan bahwa sebagian besar negara
berkembang menarik pinjaman yang begitu besar dari luar negeri. Jumlah hutang
negara berkembang sangat besar jika dibandingkan ukuran ekonomi negara
tersebut dibandingkan dengan ukuran ekonomi negara industri maju. Jika
tabungan nasional (S) lebih kecil dari investasi domestik (I) maka selisih itu
merupakan defisit transaksi berjalan. Tabungan nasional di negara berkembang
umumnya sangat rendah karena miskin modal, sedangkan peluang investasi
produktif begitu melimpah. Untuk memanfaatkan pelung investasi inilah negara
berkembang menarik pinjaman secara besar-besaran dari luar negeri yang berarti
menjalankan neraca transaksi berjalan yang defisit. Pinjaman atau hutang untuk
mengimpor barang modal diharapkan dapat dilunasi dengan keuntungan yang
dihasilkan investasi itu kelak, baik pokok maupun bunganya.

Pinjaman yang ditarik negara berkembang itu bisa dijelaskan dengan logika
perdagangan antar waktu (intertemporal trade). Negara berkembang terlalu miskin
modal untuk mengolah segenap investasi yang tersedia, sehingga harus
berhutang dengan negara lain. Sebaliknya negara kaya modal telah mengolah
hampir seluruh peluang investasi produktif yang tersedia, sedangkan tingkat
tabungan nasionalnya begitu besar. Oleh sebab itu, wajar jika para penabung di
negara maju lebih tertarik untuk menginvestasikan uangnya di negara
berkembang yang menyajikan keuntungan lebih banyak. Transaksi ini di atas
kertas menguntungkan kedua belah pihak. Namun kenyaaannya, banyak
penarikan pinjaman negara berkembang yang salah. Banyak yang menggunakan
dana pinjaman bagi investasi yang secara ekonomis tidak menguntungkan,
bahkan dana pinjaman digunakan untuk mengimpor barang konsumsi yang tidak
menghasilkan laba. Padahal laba diperlukan untuk membayar pinjaman baik
pokok maupun bunganya. Selain itu rendahnya tingkat tabungan nasional
diakibatkan oleh penerapan kebijakan yang keliru sehingga negara berkembang
makin tergantung pada pinjaman luar negeri.

Penambahan utang merupakan suatu cara paling cepat untuk menambah


dana bagi keperluan tugas umum pemerintahan dan pembangunan. Akan tetapi
dengan menambah utang berarti akan menambah beban bunga yang harus
dibayar di masa yang akan datang. Padahal menambah utang haruslah menjadi
alternatif terakhir yang dapat dilakukan oleh pemerintah. Walaupun demikian
pinjaman bukanlah hal yang buruk, dengan catatan bahwa pinjaman digunakan
untuk membiayai investasi yang kelak menghasilkan manfaat yang lebih besar
dari jumlah pinjaman dan bunganya. Pinjaman tidak akan efektif apabila
digunakan hanya untuk mengimpor barang konsumsi.

Dalam upaya pemenuhan keperluan dana bagi tugas umum pemerintahan


dan pembangunan dapat dicarikan alternatif selain dari penambahan utang.
Banyak hal yang dapat dilakukan oleh pemerintah sebagai contoh dengan
mengefisiensikan penerimaan pajak, meningkatkan perdagangan dengan luar
negeri, meningkatkan investasi langsung (Foreign Direct Investment) dan lain
sebagainya.

Masalah kedua adalah alokasi dana pembangunan. Hal ini memerlukan


pembahasan yang mendalam. Alokasi dana sangat mempengaruhi pertumbuhan
ekonomi baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Dalam makalah ini
akan dibahas penggunaan dana untuk pemerataan pendidikan dan pemerataan
fasilitas kesehatan. Pemerintah harus serius dalam pengalokasian dana dengan
benar. Sejak pelaksanaan otonomi daerah, penyediaan dana kesehatan dari
Anggaran Pendapatan Belanja Nasional (APBN) disatukan dalam Dana Alokasi
Umum (DAU). Penyatuan dana ini berakibat semakin kurang transparan
penyediaan dana kesehatan.

Masalah ketiga adalah masalah efektifitas dan efisiensi penggunaan dana.


Dana yang ada harus dimanfaatkan sebaik-baiknya. Kebocoran penggunaan dana
harus diminimumkan, dengan harapan dana yang terbatas dapat menciptakan
pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Penggunaan harus direncanakan dengan baik
sehingga tingkat daya serap (absorptive capacity) dapat tinggi.

Dari tiga masalah di atas pembahasan selanjutnya lebih difokuskan kepada


alokasi penggunaan dana untuk keperluan pemerataan pendidikan dan fasilitas
kesehatan. Alokasi pengunaan dana di negara berkembang masih belum efisien.
Struktur alokasi penggunaan dana di negara maju cenderung mengalokasikan
dananya pada pendidikan dan kesehatan.
Tabel 1. Perbandingan Alokasi Dana untuk Pendidikan dan Kesehatan terhadap
Pengeluaran Pemerintah

Alokasi dana pembangunan untuk pemerataan pendidikan dan pemerataan


fasilitas kesehatan akan lebih menjamin tercapainya pemerataan dalam jangka
panjang. Kebijakan alokasi dana untuk pendidikan dan kesehatan diharapkan
dapat meningkatkan pemerataan pendidikan serta pemerataan fasilitas
kesehatan. Biaya pendidikan yang lebih murah dan tersedianya fasilitas
kesehatan yang lebih baik dan lebih terjangkau akan langsung dirasakan
manfaatnya oleh masyarakat.

Dalam bidang pendidikan, kebijakan bantuan operasional sekolah (BOS)


belum mampu meringankan beban bagi masyarakat secara signifikan. Pada
kenyataannya orang tua murid masih terbebani dengan biaya lainnya, seperti
uang seragam yang lebih mahal daripada harga di pasaran, buku yang selalu
ganti setiap tahunnya, dan biaya lainnya. Saat musim pendaftaran sekolah,
banyak orang tua yang tidak mampu menyekolahkan anaknya di sekolah negeri
karena biaya yang tidak terjangkau. Akibatnya mereka hanya menyekolahkan
anaknya di sekolah yang memiliki reputasi kurang baik, bahkan ada juga yang
tidak mampu menyekolahkan anaknya.

Beban biaya pendidikan yang semakin mahal membuat orang tua yang
kurang mampu tidak dapat menyekolahkan anak mereka. Anak yang seharusnya
masih mendapatkan pendidikan justru sudah bekerja mencari nafkah untuk
menyambung hidup keluarga. Rendahnya tingkat pendidikan berakibat rendahnya
tingkat gaji yang diperoleh. Pekerja tanpa pendidikan hanya dinilai sebagai
unskilled labor yang tidak memiliki bargaining position. Daya tawar yang rendah ini
berakibat pada rendahnya tingkat pendapatan yang mereka peroleh. Sehingga
pada waktu mereka masih tetap saja tidak dapat menyekolahkan anak mereka
sampai ke tingkat pendididkan yang tinggi.

Di sisi lain, orang tua yang kaya mampu menyekolahkan anak mereka
sampai ke tingkat pendidikan tinggi. Dengan tingginya tingkat pendidikan dengan
mudah mereka mendapatkan pekerjaan yang bergengsi serta memiliki bargaining
position yang baik sehingga mendapatkan tingkat pendapatan yang tinggi.

Lingkaran setan ini dapat diputus apabila pemerintah menciptakan


kebijakan supaya rakyat dapat memperoleh pendidikan lebih merata, dengan jalan
meningkatkan subsidi untuk pendidikan, sehingga semua orang mendapatkan
mutu pendidikan yang sama. Dengan tingkat pendidikan yang merata diharapkan
tingkat pendapatan akan lebih merata sehingga rakyat benar-benar dapat
merasakan manfaat pembangunan.

Sejak pelaksanaan otonomi daerah, penyediaan dana kesehatan dari


Anggaran Pendapatan Belanja Nasional (APBN) disatukan dalam Dana Alokasi
Umum (DAU). Penyatuan dana ini berakibat semakin kurang transparan
penyediaan dana kesehatan. Apabila dana kesehatan kurang maka akan terbatas
sekali pengadaan fasilitas kesehatan.

Alokasi dana untuk kesehatan yang hanya 2,3% dari pengeluaran


pemerintah sangat kecil. Di negara maju alokasi dana untuk kesehatan jauh lebih
besar, Korea Selatan mengalokasikan 10,08% pengeluaran pemerintah untuk
kesehatan. Padahal fasilitas kesehatan yang lebih merata dapat meningkatkan
produktifitas sumber daya manusia.

Sumber daya manusia yang sehat akan menghasilkan sumber daya


manusia yang produktif. Dengan produktivitas yang tinggi, suatu negara akan
memperoleh keunggulan kompetitif (competitive advantage). Keunggulan
komparatif dinamis dirintis oleh Michael E. Porter (1990) dan Paul Krugman
(1980). Kedua ahli sepakat bahwa keunggulan komparatif dapat diciptakan
(created comparative advantage). Dengan kata lain, mereka menentang teori
Richardo dan Ohlin yang cenderung memandang keunggulan komparatif yang
alami. Argumennya faktor yang menopang tingkatan tertinggi dalam keunggulan
komparatif harus diperbaharui atau diciptakan setiap saat lewat investasi modal
fisik dan manusia agar diperoleh keuntungan komperatif dalam produk yang
terdiferensiasi dan teknologi produksi. Karena itu bisa dipahami apabila industri
yang memiliki keunggulan komparatif versi Richardo dan Ohlin umumnya industri
padat sumber daya (misalnya kayu, beras) dan padat karya yang tidak terampil
(misalnya tekstil dan rokok). Ini berlainan dengan industri yang memiliki
keunggulan komperatif versi Krugman dan Porter, yang umumnya padat modal
(misalnya mesin dan baja) dan padat teknologi (misalnya komputer dan pesawat
terbang).

Michael E. Porter menjelaskan bahwa dalam era persaingan global, suatu


bangsa/negara yang memiliki competitive advantage of nation dapat bersaing di
pasar internasional bila memiliki 4 faktor penentu (attribute) yang digambarkan
sebagai suatu diamond (diamond strategy). Michael E. Porter menjelaskan bahwa
tidak ada korelasi langsung antara 2 faktor produksi yaitu sumber daya alam yang
melimpah dan sumber daya manusia yang murah, yang dimiliki oleh suatu negara
yang dimanfaatkan menjadi keunggulan daya saing dalam perdagangan
internasional. Banyak negara di dunia yang jumlah tenaga kerjanya yang sangat
besar yang proporsional dengan luas negaranya tetapi lemah dalam daya saing
perdagangan internasional. Peran pemerintah sangat mendukung dalam
peningkatan daya saing selain faktor produksi yang tersedia dalam berbagai
kebijakan makronya, dalam hal ini menciptakan sumber daya manusia yang
berkualitas.

Bagi pembangunan ekonomi, kualitas buruh adalah lebih penting, dengan


mengadakan pemerataan pendidikan dan fasilitas kesehatan diharapkan pekerja
Indonesia lebih berkualitas dan produktif. Produktifitas ini yang diharapkan mampu
meningkatkan perekonomian. Sumber daya manusia yang berkualitas juga
diharapkan cepat menyerap penguasaan teknologi. Melalui program pemerataan
pendidikan dan fasilitas kesehatan akan menciptakan sumber daya manusia yang
berkualitas dan mampu mendukung pembangunan. Sumber daya manusia yang
produktif merupakan modal yang paling menentukan dalam keberhasilan
pembangunan dalam jangka panjang.

Pemerataan pendidikan dapat dilakukan dengan jalan menyediakan


sekolah gratis sampai ke tingkat perguruan tinggi. Sekolah gratis ini dalam arti
tidak ada pungutan biaya apapun, baik seragam, biaya operasional, maupun
buku. Diharapkan juga sekolah gratis ini tersedia ke seluruh penjuru nusantara.
Operasional sekolah harus mampu menekan biaya yang tidak perlu sehingga
tidak terlalu membebani keuangan negara. Dengan menyediakan pendidikan
sampai ke tingkat perguruan tinggi, diharapkan tingkat penghasilan penduduk
akan meningkat karena sumber daya manusia yang dihasilkan lebih berkualitas.

Fasilitas kesehatan yang lebih terjangkau oleh masyarakat diharapkan


dapat meningkatkan tingkat produktifitas sumber daya manusia. Penurunan biaya
kesehatan disertai peningkatan mutu pelayanan kesehatan sangat diperlukan oleh
masyarakat sebagai salah satu hasil yang dapat dirasakan secara langsung oleh
rakyat miskin.

Di samping alokasi dana yang tepat, pemerintah juga perlu memperhatikan


masalah penggunaan dana yang efisien. Pemerintah harus mampu menindak
kecurangan yang merugikan pembangunan.

You might also like