You are on page 1of 8

Tugas : Individu

TEORI PERKOTAAN

BAYU ALFIAN
60800110019

TEKNIK PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN
MAKASSAR
2012

TEORI PERKOTAAN
Teori-teori yang melandasi struktur ruang kota yang paling dikenal yaitu:

Teori Konsentris (Burgess, 1925)

Teori Konsentris
Teori ini menyatakan bahwa Daerah Pusat Kota (DPK) atau Central Business District (CBD)
adalah pusat kota yang letaknya tepat di tengah kota dan berbentuk bundar yang merupakan
pusat kehidupan sosial, ekonomi, budaya dan politik, serta merupakan zona dengan derajat
aksesibilitas tinggi dalam suatu kota. DPK atau CBD tersebut terbagi atas dua bagian, yaitu:
pertama, bagian paling inti atau RBD (Retail Business District) dengan kegiatan dominan
pertokoan, perkantoran dan jasa; kedua, bagian di luarnya atau WBD (Wholesale Business
District) yang ditempati oleh bangunan dengan peruntukan kegiatan ekonomi skala besar, seperti
pasar, pergudangan (warehouse), dan gedung penyimpanan barang supaya tahan lama (storage
buildings).
1. Zona pusat daerah kegiatan (Central Business District), yang merupakan pusat pertokoan
besar, gedung perkantoran yang bertingkat, bank, museum, hotel, restoran dan
sebagainya.
2. Zona peralihan atau zona transisi, merupakan daerah kegiatan. Penduduk zona ini tidak
stabil, baik dilihat dari tempat tinggal maupun sosialekonomi. Daerah ini sering ditemui
kawasan permukiman kumuh yang disebut slum karena zona ini dihuni penduduk miskin.

Namun demikian sebenarnya zona ini merupakan zona pengembangan industri sekaligus
menghubungkan antara pusat kota dengan daerah di luarnya.
3. Zona permukiman kelas proletar, perumahannya sedikit lebih baik karena dihuni oleh
para pekerja yang berpenghasilan kecil atau buruh dan karyawan kelas bawah, ditandai
oleh adanya rumah-rumah kecil yang kurang menarik dan rumah-rumah susun sederhana
yang dihuni oleh keluarga besar. Burgess menamakan daerah ini yaitu working men's
homes.
4. Zona permukiman kelas menengah (residential zone), merupakan kompleks perumahan
para karyawan kelas menengah yang memiliki keahlian tertentu. Rumah-rumahnya lebih
baik dibandingkan kelas proletar.
5. Wilayah tempat tinggal masyarakat berpenghasilan tinggi. Ditandai dengan adanya
kawasan elit, perumahan dan halaman yang luas. Sebagian penduduk merupakan kaum
eksekutif, pengusaha besar, dan pejabat tinggi.
6. Zona penglaju (commuters), merupakan daerah yang yang memasuki daerah belakang
(hinterland) atau merupakan batas desa-kota. Penduduknya bekerja di kota dan tinggal di
pinggiran.

Teori Sektoral (Hoyt, 1939)

Teori Sektoral
Teori ini menyatakan bahwa DPK atau CBD memiliki pengertian yang sama dengan yang
diungkapkan oleh Teori Konsentris.

1. Sektor pusat kegiatan bisnis yang terdiri atas bangunan-bangunan kontor, hotel, bank,
bioskop, pasar, dan pusat perbelanjaan.
2. Sektor kawasan industri ringan dan perdagangan.
3. Sektor kaum buruh atau kaum murba, yaitu kawasan permukiman kaum buruh.
4. Sektor permukiman kaum menengah atau sektor madya wisma.
5. Sektor permukiman adi wisma, yaitu kawasan tempat tinggal golongan atas yang terdiri
dari para eksekutif dan pejabat.

Teori Inti Berganda (Harris dan Ullman, 1945)

Teori Inti Berganda


Teori ini menyatakan bahwa DPK atau CBD adalah pusat kota yang letaknya relatif di tengahtengah sel-sel lainnya dan berfungsi sebagai salah satu growing points. Zona ini menampung
sebagian besar kegiatan kota, berupa pusat fasilitas transportasi dan di dalamnya terdapat distrik
spesialisasi pelayanan, seperti retailing, distrik khusus perbankan, teater dan lain-lain. Namun,
ada perbedaan dengan dua teori yang disebutkan di atas, yaitu bahwa pada Teori Pusat Berganda
terdapat banyak DPK atau CBD dan letaknya tidak persis di tengah kota dan tidak selalu
berbentuk bundar.
1. Pusat kota atau Central Business District (CBD).
2. Kawasan niaga dan industri ringan.

3. Kawasan murbawisma atau permukiman kaum buruh.


4. Kawasan madyawisma atau permukiman kaum pekerja menengah.
5. Kawasan adiwisma atau permukiman kaum kaya.
6. Pusat industri berat.
7. Pusat niaga/perbelanjaan lain di pinggiran.
8. Upakota, untuk kawasan mudyawisma dan adiwisma.
9. Upakota (sub-urban) kawasan industri

Teori Ketinggian Bangunan (Bergel, 1955).

Teori ini menyatakan bahwa perkembangan struktur kota dapat dilihat dari variabel ketinggian
bangunan. DPK atau CBD secara garis besar merupakan daerah dengan harga lahan yang tinggi,
aksesibilitas sangat tinggi dan ada kecenderungan membangun struktur perkotaan secara vertikal.
Dalam hal ini, maka di DPK atau CBD paling sesuai dengan kegiatan perdagangan (retail
activities), karena semakin tinggi aksesibilitas suatu ruang maka ruang tersebut akan ditempati
oleh fungsi yang paling kuat ekonominya.

Teori Konsektoral (Griffin dan Ford, 1980)

Teori Konsektoral dilandasi oleh struktur ruang kota di Amerika Latin. Dalam teori ini
disebutkan bahwa DPK atau CBD merupakan tempat utama dari perdagangan, hiburan dan
lapangan pekerjaan. Di daerah ini terjadi proses perubahan yang cepat sehingga mengancam nilai
historis dari daerah tersebut. Pada daerah daerah yang berbatasan dengan DPK atau CBD di
kota-kota Amerika Latin masih banyak tempat yang digunakan untuk kegiatan ekonomi, antara
lain pasar lokal, daerah-daerah pertokoan untuk golongan ekonomi lemah dan sebagian lain
dipergunakan untuk tempat tinggal sementara para imigran.

Teori Historis (Alonso, 1964)

DPK atau CBD dalam teori ini merupakan pusat segala fasilitas kota dan merupakan daerah
dengan daya tarik tersendiri dan aksesibilitas yang tinggi.

Teori Poros (Babcock, 1960)

Menitikberatkan pada peranan transportasi dalam mempengaruhi struktur keruangan kota.


Asumsinya adalah mobilitas fungsi-fungsi dan penduduk mempunyai intensitas yang sama dan
topografi kota seragam. Faktor utama yang mempengaruhi mobilitas adalah poros transportasi
yang menghubungkan CBD dengan daerah bagian luarnya.Aksesibilitas memperhatikan biaya
waktu dalam sistem transportasi yang ada. Sepanjang poros transportasi akan mengalami
perkembangan lebih besar dibanding zona di antaranya. Zona yang tidak terlayani dengan
fasilitas transportasi yang cepat.
KLASIFIKASI KOTA MENURUT JUMLAH PENDUDUK
Menurut Jumlah Penduduk
1. Kota Kecil =penduduknya antara 20.000-50.000 jiwa
2. Kota sedang =penduduknya antara 50.000-100.000 jiwa
3. Kota besar =penduduknya antara 100.000-1.000.000 jiwa
4. Metropolitan =penduduknya antara 1.000.000-5.000.000 jiwa
5. Megapolitan =penduduknya lebih dari 5.000.000 jiwa
STRUKTUR PANGGUNAAN LAHAN KOTA
1. Pusat Daerah Kegiatan (PDK) juga disebut CBD (Central Bussiness District) dicirikan
dengan adanya pusat pertokoan, kantor pos, bank, bioskop dan pasar.
2. Wilayah Transisi ditandai dengan industri manufaktur, pabrik dan pola penggunaan lahan
merupakan pola campuran.
3. Wilayah pemukiman masyarakat yang berpendapatan rendah.
4. Wilayah pemukiman masyarakat berpenghasilan menengah.
5. Wilayah pemulkiman penghasilan tinggi.

Isu Perkotaan
Permasalahan lingkungan perkotaan di Perkotaan yang dominan saat ini adalah
population dan building density kota (kepadatan) yang terus meningkat, masalah persampahan,
masalah sanitasi kota, dan water quality (kualitas air). Permasalahan kepadatan Perkotaan
semakin kompleks dengan perkembangan jumlah penduduk yang sangat tinggi, terutama
penduduk yang tidak tetap.Jumlah penduduk merupakan ancaman dan pressure terbesar bagi

masalah lingkungan hidup. Setiap penduduk memerlukan energi, lahan dan sumber daya yang
besar untuk bertahan hidup, di sisi lain setiap orang juga menghasilkan limbah dalam beragam
bentuk. Pertambahan penduduk yang sangat tinggi di Perkotaan, diakui telah melampau
kemampuan daya dukung lingkungan untuk meregenerasi sendiri, sehingga berimbas pada
kualitas hidup manusia yang makin rendah.
Masalah persampahan di Perkotaan terutama masih banyaknya sampah yang dibuang ke
badan sungai atau berserakan di tempat terbuka.Dengan banyaknya sampah, sungai tidak dapat
berfungsi sebagaimana semestinya (fungsi transportasi, konservasi, rekreasi, dan sebagainya)
akibat air yang tidak mengalir lancar dan rusaknya ekosistem sungai akibat zat-zat berbahaya
yang terkandung dalam sampah tersebut. Selain masalah sampah di sungai, timbunan sampah di
berbagai sudut kota berpotensi menimbulkan berbagai penyakit, terutama penyakit yang
disebabkan oleh nyamuk, lalat, kecoak, dan tikus. Keberadaan lalat, nyamuk, dan tikus yang
merupakan vector (pembawa) berbagai macam penyakit menjadi salah satu indikator seberapa
baik kualitas lingkungan suatu kota. Bahkan diindikasikan bahwa penyebab pemanasan global
bukan hanya karena produksi CO2 yang berlebihan, tapi juga disebabkan oleh zat CH4 yang
dihasilkan dari proses pembakaran sampah yang akan terbawa ke atmosfir dan merusak lapisan
ozon.
Pengelolaan sampah yang masih menggunakan paradigma lama (pengumpulan,
pengangkutan, dan pembuangan akhir) perlu dirubah.Hal ini karena permasalahan sampah yang
semakin kompleks, terutama kesulitan mendapat tempat pembuangan akhir serta berkembangnya
jumlah dan ragam sampah perkotaan. Penanganan sampah dengan paradigma baru perlu
mengedepankan proses pengurangan dan pemanfaatan sampah (minimalisasi sampah).
Minimalisasi sampah adalah upaya untuk mengurangi volume, konsentrasi, toksisitas, dan
tingkat bahaya limbah yang berasal dari proses produksi dengan reduksi dari sumber dan/atau
pemanfaatan limbah. Keuntungan dari metode ini adalah: mengurangi ketergantungan terhadap
TPA (tempat pembuangan akhir), meningkatkan efisiensi pengolahan sampah perkotaan, dan
terciptanya peluang usaha bagi masyarakat. Metode minimalisasi sampah mencakup tiga usaha
dasar yang dikenal dengan 3R, yaitu reduce (pengurangan), reuse (memakai kembali), dan
recycle (mendaur ulang).

Permasalahan lainnya adalah sanitasi perkotaan.Masalah sanitasi di Perkotaan terutama


disebabkan oleh kebiasaan masyarakat yang sulit dirubah, terutama masyarakat yang tinggal di
pinggir sungai yang masih menggunakan badan sungai sebagai tempat pembuangan. Buruknya
sanitasi perkotaan akan menyebabkan masalah pada tingkat kesehatan masyarakat, terutama
munculnya

berbagai

penyakit

diare,

muntaber

dan

penyakit

kulit.

Oleh karena itu, perlu pembinaan intensif warga tentang masalah kebiasaan ber-sanitasi.
Kedepannya perlu perencanaan jaringan perpipaan air limbah (Sewerage System) kota yang
diselenggarakan per distrik agar biaya investasi dapat ditekan serta pengelolaan tidak mahal.
Masalah sanitasi kota selalu berkaitan dengan masalah kualitas air dan aspek penyebaran bibit
penyakit di perkotaan.
Kualitas air di Perkotaan yang semakin menurun (baik air tanah maupun air permukaan)
disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: erosi tanah selama konstruksi bangunan, limbah industri,
luapan air kotor dan septictank, banjir, serta kontaminasi air hujan di permukaan tanah dan
jalanan. Karena antara jaringan air bersih dan sanitasi saling berkaitan, maka dalam perencanaan
dan pembangunan jaringannya harus ada keterpaduan diantara keduanya dengan jaringan jalan
dan tata hijau kota.

You might also like