You are on page 1of 36

REFERAT

Obstructive Sleep Apnea (OSA)

Pembimbing:
dr. Armiyanto, Sp. THT-KL(K)

Penyusun:
Lettisia Amanda Ruslan 2011-061-157
Linda Anastasia
2011-061-158
Andika
2011-061-159
Kepaniteraan Klinik
Departemen Telinga, Hidung, Tenggorokan-Bedah Kepala Leher
Fakultas Kedokteran UNIKA Atmajaya
Periode 23 September 2013 26 Oktober 2013
Bab I
PENDAHULUAN

Bernafas dan tidur adalah dua proses yang sangat penting dalam
kehidupan manusia. Terhentinya pernafasan selama beberapa menit saja dapat
mengancam nyawa. Tidur merupakan periode istirahat bagi tubuh dan pikiran,
dimana selama periode tersebut kemauan dan kesadaran ditangguhkan sebagian
atau seluruhnya dan fungsi-fungsi tubuh sebagian dihentikan. Tidur juga
dideskripsikan sebagai status tingkah laku yang ditandai dengan posisi tak
bergerak yang khas dan sensitivitas yang menurun, tapi siaga terhadap rangsangan
dari luar1. Sehingga jika proses ini terganggu maka akan mengganggu keseluruhan
aktivitas manusia itu sendiri. Karena itu penting untuk menjaga agar kedua proses
ini tetap harus berlangsung dengan baik.
Laporan pertama mengenai sleep apnea ditemukan pada tahun 1965, yang
dilakukan oleh seorang Jerman dan Perancis. Pada awal abad 20 William Osler
menyebut Obstructive Sleep Apnea sebagai Pickwickian syndrome yang diambil
dari novel Charles Dickens, yang menggambarkan seorang anak yang gendut pada
novel tersebut.
Pada laporanlaporan awal Obstructive Sleep Apnea dalam literatur
dijelaskan bahwa seseorang yang menderita sleep apnea sering menunjukkan
gejala gejala seperti hypoxemia, hypercapnia, gagal jantung kongesti.
Trakeostomi merupakan terapi yang dianjurkan, bahkan dapat menyelamatkan
nyawa. Tetapi komplikasi setelah operasi ini sangat banyak dan dapat berakibat
fatal.
Pada tahun 1981 Collin Sulivan dari Sydney memperkenalkan metode
continous positive airway preassure (CPAP). Tipe pertama dari mesin ini sangat
besar dan berisik dan dengan kemudian dikembangkan pada tahun tahun
selanjutnya. Ditemukannya mesin ini membuat terapi sleep apnea berkembang
dan semakin diterima oleh masyarakat luas. Topik obstructive sleep apnea ini
berkembang dengan sangat pesat sekitar 25 tahun terakhir ini dan menjadi sorotan
banyak ahli.
Menurut kamus kedokteran DORLAND Obstructive Sleep Apnea
didefinisikan sebagai apnea tidur yang terjadi karena kolaps jalan nafas dengan
penghambatan tonus otot yang terjadi selama tidur REM. Pada orang dewasa
gangguan ini terutama ditemukan pada orang orang setengah baya gemuk,

predominan laki laki; dan pada anak anak sering ditemukan menyertai kondisi
kondisi seperti hipertrofi adenotonsillar, sindroma down, atau obesitas morbid. 2
Seseorang dikatakan menderita Obstructive Sleep Apnea jika selama tidur malam
(nocturnal sleep):

Terjadi keadaan apnea/ hipopnea selama lebih dari 10 detik setiap kali

kejadian.
Terjadi lebih dari lima kali dalam 1 jam pada saat seseorang tidur.
Masih adanya usaha nafas.
Terjadinya apnea/hipopnea karena obstruksi saluran nafas atas.
Sleep Apnea Syndrome (SAS) adalah kumpulan gejala yang terjadi akibat

terhentinya pernapasan selama tidur. Ini dapat menimbulkan hipoksemia dan


vasokonstriksi arteriol paru, yang lebih lanjut dapat menyebabkan hipertensi
arterial paru2. Sleep apnea syndrome (SAS) adalah suatu gangguan tidur yang
sangat umum. Sleep apnea syndrome memiliki 2 tipe primer, yaitu:
1. Obstructive Sleep Apnea (OSA)
Apnea tidur yang terjadi karena kolaps jalan nafas dengan penghambatan
tonus otot yang terjadi selama tidur REM. Pada orang dewasa, gangguan
ini terutama ditemukan pada orangorang setengah baya yang gemuk
dengan predominansi lakilaki. Pada anakanak sering ditemukan
menyertai kondisi kondisi seperti hipertrofi adenotonsillar, sindroma
down, atau obesitas morbid. Sekitar 10% penduduk pada usia diatas 65
tahun menderita OSA. 3
2. Central Sleep Apnea (CSA)
Apnea tidur yang disebabkan oleh kegagalan perangsangan oleh pusat
pernafasan di medulla; baik jenis yang herediter maupun yang menyertai
gangguan batang otak sehingga usaha napas dengan melibatkan otot-otot
pernafasan tambahan tidak dapat terjadi.3
Kedua tipe ini dapat dibedakan lebih jelas dengan melihat polisomnogram dari
kedua tipe.

Polisomnogram pada Obstructive Sleep Apnea dan Central Sleep Apnea


Dalam referat ini hanya dibahas mengenai Obstructive Sleep Apnea.
Sedangkan Central Sleep Apnea lebih berhubungan dengan bagian saraf karena
letak kelainannya berada pada pusat pernafasan.

Bab II

PEMBAHASAN
2.1.

Anatomi
Faring sendiri dibagi menjadi 3 area yaitu nasofaring, orofaring dan

hipofaring (laringofaring). Di belakang mukosa dinding belakang faring terdapat


dasar tulang sphenoid dan dasar tulang oksiput di sebelah atas, kemudian bagian
depan tulang atlas dan sumbu badan, dan vertebra servikalis lain. Nasofaring
membuka ke arah depan ke hidung melalui koana posterior. Superior, adenoid
terletak pada mukosa atap nasofaring. Di samping, muara tuba eustachius
kartilaginosa terdapat di depan lekukan yang disebut fossa Rosenmller. Kedua
struktur ini berada di atas batas bebas otot konstriktor faringis superior. Otot
tensor veli palatini, merupakan otot yang menegangkan palatum dan membuka
tuba eustachius, masuk ke faring melalui ruangan ini. otot ini membentuk tendon
yang melekat di sekitar hamulus tulang untuk memasuki palatum mole. Otot
tensor veli palatini dipersarafi oleh saraf mandibularis melalui ganglion otic.5
Orofaring ke arah depan berhubungan dengan rongga mulut. Tonsila
faringeal dalam kapsulnya terletak pada mukosa dinding lateral rongga mulut. Di
depan tonsila, arkus faring anterior disusun oleh otot palatoglosus, dan di
belakang arkus faring posterior disusun oleh otot palatofaringeus. Otot-otot ini
membantu menutupnya orofaring bagian posterior. Semuanya dipersarafi oleh
pleksus faringeus.4
Tonsila disusun oleh jaringan limfoid yang diliputi oleh epitel skuamosa
yang berisi beberapa kripta. Celah di atas tonsila merupakan sisa dari endodermal
muara arkus brankial kedua; dimana fistula brankial atau sinus internal bermuara.4
Hipofaring terbua ke arah depan masuk melalui introitus laring. Epiglotis
dilekatkan pada dasar lidah oleh dua frenulum lateral dan satu frenulum di garis
tengah. Hal ini menyebabkan terbentuknya dua valekula di setiap sisi. Di bawah
valekula adalah permukaan laringeal dari epiglotis. Di bawah muara muara glotis
bagian medial dan lateral terdapat ruangan yang disebut sinus piriformis yaitu di
antara lipatan ariepiglotika dan kartilago tiroid. Lebih ke bawah lagi terdapat otototot dari lamina krikoid, dan terdapat muara esofagus.4

Pembagian daerah faring

Nasofaring
Otot-otot faring terdiri dari otot konstriktor superior, media dan inferior.
Serta otot salfingofaringeus,otot stilofaringeus dan otot faringopalatinus. 5

Otot-otot faring

Otot-otot faring (dari posterior)

Aliran darah faring berasal dari beberapa cabang sistem karotis eksterna.
Beberapa anastomosis tidak hanya dari satu sisi tetapi dari pembuluh darah sisi
lainnya. Ujung cabang arteri maksilaris interna, cabang tonsilaris arteri fasialis,
cabang lingual arteri lingualis bagian dorsal, cabang arteri tiroidea suprior, dan
arteri faringeal yang naik semuanya menambah jaringan anastomosis yang
meluas. 5
Persarafan otot konstriktor faring dan salfingofaringeus berasal dari
percabangan pleksus faringeus, otot konstriktor faring juga mendapat persarafan
tambahan dari nervus laringeus eksterna dan nervus rekurens. Dan otot
stilofaringeus dipersarafi oleh nervus glosofaringeus.5
2.2.

Gejala Klinis
Gejala klinik yang umum terjadi pada OSA mencakup rasa mengantuk

yang berlebihan pada siang hari, tidur malam yang tidak efektif (restless sleep)
dan mengorok saat tidur malam. Gejala lainnya yang kurang umum terjadi adalah
sakit kepala pada pagi hari, insomnia; kesulitan memusatkan perhatian; perubahan
mood seperti irritabilitas, ansietas dan depresi; sering melupakan sesuatu;
berkurangnya libido; penambahan berat badan yang tidak bias dijelaskan;
nokturia; heartburn atau refluks gastroesofagus; dan berkeringat berlebihan pada
malam hari.6
Manifestasi gejala klinik Obstructive sleep apnea (OSA) harus dibedakan
pada orang dewasa dan anak anak. Manifestasi OSA yang paling utama pada
orang dewasa adalah rasa mengantuk yang berlebihan pada siang hari. Orang
dewasa dengan OSA berat yang lama biasanya dapat tertidur untuk suatu saat
tertentu di tengah-tengah aktivitas yang biasa dilakukannya pada siang hari, jika
diberikan sedikit saja kesempatan untuk duduk atau beristirahat. Perubahan
perilaku ini bahkan dapat lebih dramatis, kadang dapat terjadi saat percakapan
dengan orang lain. Hipoksia yang terjadi pada OSA dapat menyebabkan
perubahan neuron pada hipokampus dan korteks frontal kanan otak. Hal ini
mendasari terjadinya penurunan daya ingat serta perubahan mental dan perilaku
pada OSA. 7

Walaupun gejala hipersomnolen (rasa mengantuk yang berlebihan) dapat


pula terjadi pada anak-anak, hal ini bukanlah manifestasi OSA yang khas pada
anak-anak. Sebaliknya, anak-anak yang menderita OSA berat justru berkelakuan
hiperaktif atau tidak pernah letih. Orang dewasa dan anak-anak dengan OSA
juga berbeda dalam hal postur tubuh. Orang dewasa dengan OSA biasanya gemuk
dengan leher yang pendek. Anak-anak dengan OSA justru biasanya kurus, bahkan
seringkali gagal tumbuh-kembang. Hal ini disebabkan karena 2 hal:

usaha napas yang sangat berat setiap hari sehingga kalori terpakai dengan
sangat cepat untuk memenuhi kebutuhan energinya, bahkan saat tidur.

pada hidung dan tenggorokan biasanya terdapat obstruksi sehingga makan


menjadi kurang menyenangkan.7
Gejala klinik Obstructive sleep apnea (OSA) pada orang dewasa meliputi:

Gejala mengantuk yang tidak bisa dijelaskan pada siang hari pada saat

orang tersebut berakitivitas.


Tidur yang tidak tenang.
Sakit kepala pada pagi hari
Insomnia
Sulit berkonsentrasi
Perubahan mood: menjadi mudah marah, cemas, dan depresi
Kenaikan tekanan darah
Kenaikan berat badan yang tidak bisa dijelaskan.
Terjadi refluk gastroeosophageal.
Pengeluaran keringat yang banyak pada malam hari.
Sering merasa tercekik pada saat tidur.
Sedangkan gejala klinik OSA pada anak-anak adalah:

Pernafasan yang abnormal pada saat tidur. Hal ini biasanya dapat
dijelaskan oleh orang tua pasien. Sebagian anak anak mengorok dengan
keras (heavy snoring). Sebagian lain bernafas terputus putus dengan
mengeluarkan suara yang keras. Ada juga yang menunjukkan

gejala

kesulitan bernafas sampai terjadi retraksi pada dinding abdominal dan


dinding dada. Juga dapat terjadi sianosis, berkeringat yag banyak, dan
kelelahan tanpa sebab. Kadang kadang dapat ditemui anak anak tidur

dengan posisi yang tidak biasa, dengan kepala dan leher dalam posisi

ekstensi dan mulut terbuka.


Sering terbangun atau kelelahan tiba tiba. Obstruksi yang terus menerus
dapat menyebabkan kelelahan. Biasanya orang tua melaporkan anaknya

sering terbangun tengah malam atau terjatuh saat tertidur.


Sering mimpi buruk : Obstructive sleep apnea (OSA) dan hypopnea
semakin memburuk pada fase rapid eye movement (REM), yang
berhubungan dengen keadaan bermimpi. Kesulitan bernafas ini dapat
menimbulkan gambaran gambaran yang menyeramkan untuk anak

anak: seperti mati tercekik atau tenggelam.


Enuresis : gejala ini sering terdapat pada anak anak dengan Obstructive

sleep apnea (OSA).


Sulit bangun pada pagi hari: pada pagi hari sering memberikan keluhan

seperti mulut kering, pusing, disorientasi, dan lelah.


Sulit konsentrasi pada suatu keadaan karena perasaan mengantuk yang

berlebihan di siang hari.


Hiperaktivitas dan/atau masalah perilaku : pada beberapa kasus sering kali
terdapat hiperaktivitas lebih daripada mengantuk yang berlebihan.
Biasanya sering ditemukan masalah prilaku seperti prilaku yang agresif,
masalah kedisplinan, kurang perhatian pada suatu aktivitas, dan kelakuan

kelakuan aneh di luar kebiasaanya.


Bernafas dengan mulut pada saat tidak tertidur.
Perubahan pola tidur: mengantuk yang berlebihan di siang hari akan
mengubah pola tidur anak anak dengan Obstructive sleep apnea (OSA).

2.3.

Etiopatofisiologi
Faring manusia dapat diandaikan sebagai tabung yang mudah kolaps.

Secara unik rentan terhadap kolaps karena adanya tulang hyoid yang melayang,
jalan nafas yang lebih panjang, dan kurangnya rute langsung aliran udara inspirasi
jika dibandingkan dengan mamalia lain. Selain itu juga dipengaruhi oleh adanya
jaringan lunak dan struktur tulang yang mengelilingi jalan nafas atas yang dapat
meningkatkan tekanan jaringan ekstraluminal, serta adanya otot-otot dilator faring
yang secara kontras mempertahankan patensi faring melalui jalur refleks dari SSP
dan dari dalam faring sendiri. Faktor-faktor yang berlawanan ini memberi

kesimpulan bahwa peningkatan resiko kolapsnya faring disebabkan karena adanya


gangguan beban mekanis secara anatomis dan/atau respons neuromuskular
dinamis dari obstruksi jalan nafas atas selama tidur.8
Tiga area obstruksi yang paling sering adalah hidung, palatum, dan
hipofaring. Fujita menjabarkan pola kolaps ada tiga, yaitu retropalatal (tipe I),
retropalatal dan retrolingual (tipe II), dan retrolingual (tipe III). Obstruksi
retrolingual meliputi kolaps dasar lidah dan dinding lateral faring. Pada orang
obese lebih sering terjadi obstruksi hipofaring.6
OSA terjadi ketika otot relaksasi pada waktu tidur sehingga menyebabkan
jaringan lunak bagian belakang tenggorokan kolaps dan menyumbat jalan napas
atas, terutama pada orang yang mempunyai jalan napas yang sempit. Hal ini dapat
menyebabkan reduksi pernapasan parsial (hipopnea) atau henti total (apnea)
setidaknya selama 10 detik selama tidur. Kebanyakan henti napas terjadi antara 10
sampai 30 detik, tetapi beberapa di antaranya dapat menetap hingga lebih dari1
menit. Hal ini dapat menyebabkan penurunan mendadak dari saturasi oksigen
dalam darah, dengan penurunan level oksigen hingga 40 persen atau lebih pada
kasus-kasus berat. Oleh karena itu, hal ini dapat mengakibatkan stres pada
jantung, otak, maupun organ lain pada tubuh, sehingga dapat menyebabkan
tekanan darah tinggi, penyakit jantung, stroke, dan bahkan kematian mendadak
saat tidur.9
Otak akan merespon kurangnya oksigen dengan membuat tubuh menjadi
waspada, menyebabkan bangun sesaat dari tidur yang akan mengembalikan
pernafasan menjadi normal. Pola ini dapat terjadi ratusan kali dalam satu malam.
Hal ini akan mengakibatkan kualitas tidur yang terpecah yang sering
mengakibatkan rasa kantuk pada siang hari yang berlebih. Kebanyakan orang
dengan OSA sering mengorok dengan keras, dengan periode sunyi saat aliran
udara menurun atau terhenti. Selanjutnya mereka dapat mengalami rasa tercekik,
mendengus, atau megap ketika jalan nafas terbuka kembali.9
2.3.1. Pengukuran Kolaps Faring
Pengukuran secara kuantitatif kontribusi mekanis dan neuromuskular sulit
untuk diperiksa selama tidur. Salah satu pendekatan adalah pengandaian jalan
nafas atas sebagai pipa yang mudah kolaps, yaitu diandaikan sebagai sebuah

10

Resistor Starling dimana digambarkan hubungan antara tekanan dan aliran udara
melalui pipa.8
Pada gambar 1 (Starling resistor model), segmen yang mudah kolaps pada
pipa dipertahankan oleh segmen upstream dan downstream yang berhubungan
juga dengan tekanan upstream (Pus) dan downstream (Pds) serta resistensinya.
Sumbatan terjadi ketika tekanan sekitar (Pcrit) menjadi lebih besar dari tekanan
intraluminal, menyebabkan tekanan transmural 0.8
Pada model dari jalan nafas atas ini, Pus adalah tekanan atmosfer pada
bukaan jalan nafas (bagian nasal), dan Pds adalah tekanan di trakea. Dapat terjadi
3 hal:
a.

b.

Saat Pus > Pds > Pcrit (analog dengan Westzone 3) aliran udara melalui
pipa mengikuti prinsip dari resistor Ohmic.
Saat Pus > Pcrit > Pds (analog dengan Westzone 2) terjadi limitasi aliran
udara inspirasi dan independen dengan penurunan lebih lanjut dari Pds.
Pada kondisi ini faring dalam keadaan kolaps parsial dan aliran udara
inspirasi maksimal bervariasi secara linear sesuai dengan perbedaan antara

c.

Pus dan Pcrit.


Saat Pcrit > Pus > Pds (analog dengan Westzone 1) jalan nafas atas
tersumbat.8

Model Resistor Starling

11

Secara operasional, Pcrit pada jalan napas atas manusia ditentukan dengan
menurunkan tekanan nasal sampai aliran udara inspirasi terhenti. Pengukuran
Pcrit sudah menunjukkan penjelasan spektrum dari obstruksi jalan napas atas pada
saat tidur.8
Spektrum Obstruksi Jalan Napas Atas
Pcrit
< -10 cm H2O
-10 s/d -5 cm H2O
-5 s/d 0 cm H2O
> 0 cm H2O

Klinis
Pernapasan normal
Mengorok
Hipopnea obstruktif
Apnea obstruktif

Ambang Rangsang Penyakit


2.3.2. Kontribusi Faktor Anatomi
OSA diketahui berhubungan dengan gangguan anatomi jalan napas atas.
Perubahan struktural meliputi hipertrofi tonsilar, retroagnathia, tulang yang lebih
kecil, dan variasi pada struktur kraniofasial pada etnik yang berbeda. Peningkatan
deposisi jaringan lemak dan edema submukosa pada dinding lateral faring, yang
keduanya mempersempit lumen faring, dapat menjadi faktor predisposisi dari
obstruksi selama tidur. Gangguan struktural dinding lateral faring dan lidah yang
berbasis keluarga, memberi kesimpulan genetik juga berperan.8
Obesitas, yang merupakan faktor resiko utama OSA, dihubungkan dengan
peningkatan lingkaran leher dan lemak di perifaringeal, yang dapat mempersempit
dan menekan jalan napas atas. Efek kompresi jaringan lemak di sekeliling faring
juga dapat menghambat efek dari otot-otot dilator faring yang mempertahankan

12

patensi jalan napas. Selain itu obesitas juga dapat menyebabkan kolaps faring
melalui reduksi volume paru, terutama menurunkan kapasitas residu fungsional,
melalui penurunan traksi trakeal pada segmen faring. Sebaliknya, peningkatan
volume paru menyebabkan peningkatan traksi trakea dan menstabilisasi jalan
napas atas selama inspirasi.8
2.3.3. Kontribusi Faktor Neuromuskular
Harus dicatat bahwa meskipun secara anatomis terdapat beban mekanis
pada saluran nafas atas tetapi belum tentu menyebabkan kolaps faring selama
tidur, contohnya wanita memiliki faring dan sambungan orofaringeal yang lebih
kecil daripada pria, tetapi memiliki prevalensi OSA yang lebih rendah. Oleh
karena itu, faktor nonstruktural (neuromuskular) juga berperan pada proteksi jalan
nafas atas.8
Obstruksi jalan nafas atas dapat memicu respons neuromuskular yang
dapat mengembalikan patensi dari jalan nafas atas dengan merangsang otot-otot
yang mendilatasi dan mengelongasi jalan nafas. Output motorik dari faring
dimodulasi oleh sejumlah faktor, di antaranya mekanisme dependen bangun vs
tidur, respons mekanoreseptor lokal terhadap tekanan negatif, dan mekanisme
kontrol ventilasi.8

Otot Genioglossus dan Persarafannya

13

Otot Tensor Palatini dan Persarafannya


Saat pasien OSA bangun di pagi hari, aktivitas otot genioglossal dan
tensor palatini lebih tinggi dibandingkan orang normal. Diduga karena adanya
mekanisme kompensasi neuromuskular akibat adanya defek anatomis. Hal ini
dapat dilihat bahwa dengan pemberian CPAP, aktivitas otot-otot dilator faring
dapat diturunkan pada pasien OSA, sedangkan pada orang normal yang
mempunyai aktivitas otot genioglossal dan tensor palatini yang lebih rendah tidak
dapat diturunkan lebih jauh. Tetapi pada saat tidur, aktivitas otot-otot dilator
faring ini pada pasien OSA menurun. Hal ini diakibatkan karena hilangnya
mekanisme

kompensasi

neuromuskular

pada

saat

sadar

(stimulus

wakefullness)8,10

Aktivitas Otot-otot Dilator Faring

14

Pemberian CPAP
Refleks tekanan negatif menstabilisasi jalan napas atas selama inspirasi,
aktif pada saat bangun dan menurun saat tidur. Refleks tekanan negatif secara
primer dimediasi oleh mekanoreseptor-mekanoreseptor pada faring. Hal ini dapat
dibuktikan dengan pemberian anestesi topikal pada mukosa faring melemahkan
hubungan antara aktivitas otot genioglossal dan tekanan faring sehingga terjadi
peningkatan jumlah hipopnea dan apnea obstruksi selama tidur pada orang normal
dan pengorok, dan/atau meningkatkan durasi episode apnea. Selain itu juga dapat
dengan observasi pasien yang bernapas melalui trakeostomi dibandingkan dengan
yang bernapas lewat hidung, memberi kesan bahwa tekanan negatif pada faring
selama inspirasi menstabilisasi patensi jalan napas atas.8
Mekanisme kontrol ventilasi mempunyai peranan dalam memodulasi
kolaps faring saat tidur dengan adanya koordinasi SSP antara jalan nafas atas dan
diafragma yang dipengaruhi oleh kemoreseptor di sentral dan perifer. Mekanisme
ini berperan pada sleep apnea sentral. Pada obstruksi jalan napas atas terjadi
hiperkapnia dan hipoksemia yang akan meningkatkan rangsang pusat pada jalan
nafas atas dan menurunkan kemungkinan kolaps faring. Hal ini dapat
menyebabkan instabilitas ventilasi yang pada akhirnya akan mengarah pada
pernafasan periodik.8
Beberapa faktor resiko yang dapat meningkatkan prevalensi OSA adalah:9
Overweight (BMI 25-29,9) dan obesitas (BMI 30).
Lingkaran leher yang besar; pria 17 inch, wanita 16 inch.
Pria usia pertengahan atau lebih dan wanita post menopause.
Etnik minoritas (kulit hitam, Hispanik, dan penduduk kepulauan Pasifik

lebih sering daripada Kaukasian).


Abnormalitas struktur tulang dan jaringan lunak pada kepala dan leher.
Dewasa dan anak-anak dengan Down Syndrome.
Anak-anak dengan pembesaran tonsil dan adenoid.
15

2.4.

Riwayat anggota keluarga OSA.


Kelainan endokrin seperti akromegali dan hipotiroidism.
Perokok.
Mereka yang menderita sumbatan nafas pada malam hari karena adanya
morfologi abnormal, rinitis atau keduanya.
Penyakit yang berhubungan:
Obesitas
Hipertensi
Penyakit Jantung Iskemik
Stroke (Penyakit Serebrovaskular)
Diabetes Melitus
Diagnosis

2.4.1. Anamnesis
Diagnosa OSA dibuat berdasarkan anamnesis yang mendalam mengenai
gejala-gejala gangguan pernapasan saat tidur dan manifestasinya dalam kehidupan
pasien sehari-hari. Lebih jauh lagi, perlu ditanyakan adanya perubahan perilaku
yang seringkali mempengaruhi kualitas kerja dan atau sekolah pasien. Perlu
diingat pula bahwa manifestasi gejala OSA pada anak-anak dan orang dewasa
tidak selalu sama, bahkan dalam kebanyakan kasus sangat berbeda.
Terdapat beberapa kuesinor yang dapat membantu kita men-screening
pasien-pasien yang dicurigai mengidap OSA. Salah satu kuesioner yang banyak
digunakan oleh sleep-apnea centre di dunia adalah Epworth Sleepiness Scale.
Skala Epworth memperhitungkan beberapa aktivitas sehari-hari yang dapat
terganggu pada pasien-pasien OSA karena kurangnya efektitas tidur malam hari.6

Epworth Sleepiness Scale


Jawab pertanyaan-pertanyaan berikut berdasarkan skala:
0. Tidak pernah tertidur
1. Berpeluang kecil untuk tertidur
2. Berpeluang sedang untuk tertidur
3. Berpeluang besar untuk tertidur
Kegiatan
Skor
Membaca
Menonton tv
Duduk di tempat-tempat umum (teater, rapat, dll)

16

Mengendarai mobil
Menjadi penumpang mobil 1 jam tanpa henti
Bersantai sesudah makan tanpa alkohol
Berbaring untuk beristirahat
Skor total
Skala Epsworth < 8= normal

2.4.2. Pemeriksaan Fisik


Walaupun anamnesa awal merupakan informasi paling penting dalam
menegakkan atau menyingkirkan diagnosa OSA, temuan pemeriksaan fisik yang
mendetil juga dapat memperkuat diagnosa. Tekanan darah, lingkar leher dan
indeks massa tubuh merupakan beberapa parameter penilaian awal yang penting. 6
Temuan pemeriksaan fisik terkait OSA:
1. Obstruksi nasal
a. deviasi septum
b. hipertrofi konka
c. kolaps katup nasal
d. hipertrofi adenoid
e. tumor nasal atau polip
2. Obstruksi orofaring
a. palatum molle yang lebar
b. hipertrofi tonsil palatine
c. makroglossia
d. mandibula yang besar dan lebar]
e. retrognathia dan micrognathia
3. Obstruksi hipofaring
a. kolaps dinding lateral faring
b. epiglotis bentuk omega
c. tumor hipofaring
d. hipertrofi tonsil lingual
4. Obstruksi laring
a. paralisis vocal cord
b. tumor laring
5. Kelebihan jaringan pada leher
a. leher yang lebar dan tebal
b. jaringan adipose leher yang berlebihan
6. Habitus umum tubuh
a. obesitas
b. achondroplasia
c. deformitas dinding dada
d. sindroma Marfan
7. Tanda-tanda kardiovaskular
a. hipertensi arterial

17

b. edema perifer
Sebuah studi sleep apnea yang dilakukan oleh Stanford University
menghasilkan sistem skoring pemeriksaan fisik yang digunakan untuk deteksi
faktor resiko OSA pada anak-anak. Sistem skoring tersebut dilakukan dengan
skala klinis yang dibuat spesifik untuk struktur-struktur orokraniofasial.
Kelompok dengan skor total termasuk dalam sepertiga tertinggi mempunyai
resiko paling besar menderita OSA. Dari penelitian selanjutnya didapat bahwa
sensitifitas dan spesifisitas sistem skoring ini cukup menyakinkan terutama dalam
mendiagnosa Sleep-Disordered Breathing, yang salah satunya adalah OSA, pada
anak-anak. 6
Orocraniofacial Features Clinical Scale
Tampilan
Ukuran dagu
Kemiringan plana mandibular
Posisi maksilla vs mandibula
Ketinggian palatum durum
Bentuk wajah
Panjang palatum molle
Lebar intermolar

Skala
0=lebar; 3=kecil dan triangular
0=horizontal; 3=licin
0=prognathic; 4=retrognathic
0=rendah; 2=tinggi
0=segi empat; 3=memanjang
0=pendek; 2=panjang
0=lebar; 2=sempit
Total
Skor total:
Sepertiga tertinggi: > 13,8
Sepertiga tengah: 6,5 13,8
Sepertiga terendah: 6,5

Skor

2.4.3. Pemeriksaan Penunjang


a. Polisomnografi
Saat ini, polisomnografi tidak lagi hanya menjadi sebuah pemeriksaan
penunjang, tetapi telah menjadi modalitas diagnosa standar bagi berbagai
gangguan tidur, termasuk OSA. Konfirmasi diagnosa dan tingkat keparahan OSA
melalui polisomnografi sangat direkomendasikan sebelum intervensi terapi
dilakukan. 6
Polisomnografi atau studi tidur (sleep study) merupakan suatu tes
multiparameter yang dilakukan untuk mendapatkan rekaman komprehensif
mengenai perubahan-perubahan biofisikal yang terjadi pada tubuh seseorang
selama fase tidur. Hal ini dilakukan selama tidur malam (nocturnal sleep), di

18

bawah supervisi dari seorang teknisi dan dapat dilakukan dalam sebuah
laboratorium, rumah sakit, rumah pasien, atau bahkan hotel.11
Mekanisme
Ada 3 peralatan utama yang dipakai dalam polisomnografi: 11
Elektroensefalografi (EEG)
Memiliki 6 elektroda eksplorasi yang dilekatkan dengan pasta khusus,
masing-masing 2 buah di scalp frontal, sentral dan oksipital. EEG
memberikan rekaman aktivitas otak selama tidur, berupa beberapa
gelombang yang khas terjadi dalam fase tidur tertentu.
Elektrookulografi (EOG)
Memiliki 2 elektroda yang diletakkan 1 cm di atas batas terluar canthus
okuli dekstra dan 1 cm di bawah batas terluar canthus okuli sinistra. EOG
memberikan rekaman perbedaan elektropotensial antara kornea dan retina
selama tidur.
Elektromiografi (EMG)
Memiliki 6 elektroda yang diletakkan di dahi (2 buah), di atas dagu (1
buah), di bawah dagu (1 buah) dan di daerah tibialis anterior (2 buah).
EMG mengukur tegangan otot-otot tubuh dan memonitor pergerakan kaki
selama tidur.
Selain itu, terdapat beberapa peralatan penunjang:
Elektrokardiografi (EKG)
Elektroda yang dipakai biasanya hanya 2 sampai 3 buah dan diletakkan di
dada. EKG mengukur aktivitas elektrik jantung.
Pressure transducer atau thermocouple, lengkap dengan ikat pinggangnya.
Alat ini diletakkan di dalam atau dekat dengan nostril dan berfungsi
mengukur

kecepatan

respirasi

dan

mengetahui

adanya

interupsi

pernafasan. Ikat pinggang di dada yang melebar selama pernapasan


memberikan input tentang usaha napas (respiratory effort) yang terjadi.
Pulse oxymetri
Diletakkan di jari atau cuping telinga. Alat ini akan mendeteksi perubahan
saturasi oksigen darah dengan mengukur banyakna oksihemoglobin dalam
darah.
Video monitor
Berfungsi memantau aktivitas tidur pasien.
Perekam suara

19

Diletakkan di leher dan berfungsi merekam suara ngorok (snoring) yang


terjadi.
Prosedur
1.

2.
3.
4.
5.

1 minggu sebelum pemeriksaan, beberapa persiapan harus dilakukan


pasien:
o Mempertahankan siklus bangun-tidur regular
o Menghindari konsumsi pil tidur
o Menghindari konsumsi alkohol
o Menghindari konsumsi stimulant
o Menghindari latihan dan aktivitas yang menguras tenaga
Pasien datang ke tempat pemeriksaan pada sore hari.
1-2 jam pertama dilakukan introduksi dan pemasangan elektroda.
Perekaman data mulai dilakukan saat pertama lampu dimatikan.
Hasil perekaman dijadikan data yang akan diolah oleh sebuah sistem
operasi komputer, dan akan ditampilkan secara tertulis dalam sebuah
kertas dengan format khusus yang memuat hasil bacaan seluruh peralatan
detik per detik, yang disebut polisomnogram. Untuk mempermudah
pembacaan dan interpretasi, dalam hasil bacaan kertas dibuat batas tiap 30

6.

detik yang disebut epoch.


Studi dilakukan selama seluruh waktu tidur malam hingga keesokan pagi
dan pasien dapat dipulangkan setelah jam 7 pagi. 11
Hasil

Sleep onset latency


Awal mula tidur dihitung dari waktu pertama lampu dimatikan. Awal mula
tidur ditentukan dengan kriteria EEG. 11
Normal: 20 menit.
Sleep efficiency (efisiensi tidur)
Rasio waktu tidur (dalam menit) dibandingkan dengan waktu yang
dihabiskan di tempat tidur (dalam menit). 11
Normal: 85-90%.
Sleep stages (stadium tidur)
Stadium tidur ditentukan dari hasil EKG, EOG dan EMG. Berdasarkan
hasil tersebut, tidur dibagi menjadi 3 fase, yaitu fase bangun, non-REM
dan REM. Fase non-REM dibagi lagi menjadi stadium 1 sampai 4.
Penilaian tiap fase dan stadium ini memperhitungkan berbagai hal, mulai

20

dari gelombang khas EEG, gerakan mata dalam EOG dan tonus otot dari
EMG.11
Gelombang-gelombang khas EEG:12
Gelombang
Frekuensi
Area dominan
Amplitudo

8-13 cps
oksipital
crescendodecrescendo

(terbanyak)
3-7 cps
sentral verteks

0.5-2 cps
frontal

tanpa amplitudo

> 75 mN

Stadium-stadium tidur: 12
EEG
Bangun (> 50% epoch)

Stad. 1
Stad. 2
Stad. 3

(< 50% epoch)


(> 50% epoch)
(hampir seluruhnya)
(20- 50% epoch)

Stad. 4

(> 50% epoch)

REM

Gambaran gerigi
(saw-tooth waves)

EOG
Slow-rolling eye

EMG
Relatively high muscle

movements or eye

tone

blinks
Slow-rolling eye

Relatively high

movements
-

submental tone
High tonic submental

tone
Submental muscle tone

may be slightly reduced


Submental activity

slightly reduced
Rapid eye movements Low tonic submental
tone

Breathing irregularities (irregularitas pernafasan)


Irregularitas pernapasan dinilai berdasarkan beberapa kriteria yang tegas.
Terdapat beberapa pedoman dasar dalam penilaian tersebut:
o
Tiap gangguan pernafasan harus diukur sampai pada fase REM jika
pasien dapat mencapai fase tersebut. Hal ini dikarenakan pada fase
REM terjadi penurunan tonus otot-otot pernafasan sehingga
gangguan pernafasan, terutama obstruksi dapat terlihat lebih jelas
o
o

dan berat pada fase ini.


Tiap gangguan pernafasan harus memiliki durasi minimal 10 detik.
Tiap gangguan pernafasan harus menyebabkan penurunan saturasi
oksigen minimal 3%.

21

Arousal (perubahan tiba-tiba aktivitas otak atau gelombang EEG)


umumnya terjadi pada sebagian besar gangguan pernafasan.12

Setiap gangguan pernafasan yang terjadi harus memenuhi 4 kriteria dasar


di atas selain kriteria diagnosanya sendiri. Beberapa kriteria diagnosa
tersebut adalah: 12
Gangguan
Hypopnea
Obstructive
apnea
Central apnea

Mixed apnea

Kriteria
Reduksi aliran udara pernafasan (airflow) 50%
Penurunan SaO2 3%
Peningkatan usaha napas
Tidak ada airflow 10 detik
Penurunan SaO2 3%
Peningkatan usaha napas
Tidak ada airflow nasal maupun oral 10 detik
Penurunan SaO2 3%
Tidak ada (complete absence) usaha napas
Tidak ada airflow nasal maupun oral 10 detik
Penurunan SaO2 3%
Tidak ada usaha napas pada awal gangguan, diikuti
peningkatan gradual usaha napas, yang pada akhirnya
mengakhiri apnea dan menyebabkan arousal.

Abnormalitas ritme jantung


Pergerakan kaki
Posisi tubuh selama tidur
Interpretasi

polisomnogram

tetap

harus

dilakukan

dengan

memperhitungkan faktor-faktor lain, misalnya: 11


Riwayat kesehatan pasien
Obat-obatan yang sedang dikonsumsi
Waktu makan terakhir

Diagnosa OSA berdasarkan polisomnogram:

Skor AHI (Apnea-Hypopnea Index) minimal 5 kali per jam.


22

AHI merupakan penjumlahan dari AI (Apnea Index = jumlah episode


obstructive apnea yang terjadi per jam) dan HI (Hypopnea Index = jumlah

episode hypopnea yang terjadi per jam). 6


Tingkat keparahan OSA juga dinilai berdasarkan skor AHI: 9
o Mild OSA: AHI 5-15
Mengantuk involunter selama aktivitas yang membutuhkan
sedikit atensi, seperti nonton TV atau membaca.
o Moderate OSA: AHI 15-30
Mengantuk involunter selama aktivitas yang membutuhkan
atensi yang cukup, seperti pada rapat atau presentasi.
o Severe OSA: AHI lebih dari 30
Mengantuk involunter selama aktivitas yang membutuhkan
atensi yang lebih aktif, seperti berbicara atau menyetir.

Polisomnogram pada penderita OSA yang berat.


b. Split-night study
Split-night study pada dasarnya merupakan kombinasi dari polisomnografi
(sleep study) dengan Continous Positive Airway Pressure (CPAP) titration study.
Split-night study biasanya dilakukan setelah diagnosa OSA dengan polisomnografi
ditegakkan dan tata laksana CPAP diperlukan bagi terapinya. Namun beberapa
23

ahli sleep apnea menganjurkan untuk dilakukan split-night study tanpa


polisomnografi terlebih dahulu agar menghemat biaya dan tidak perlu melakukan
pemeriksaan yang sama dua kali kepada pasien. 11
Split-night study dibagi menjadi 2 tahapan yang dilakukan dalam satu
malam (oleh karena itu disebut split-night), yaitu:

Polisomnografi diagnostik
Dilakukan pada 2 sampai 3 jam perekaman pertama. Jika diagnosa OSA
dengan polisomnografi telah dilakukan, polisomnografi diagnostik tidak
lagi dilakukan secara detail tetapi hanya untuk konfirmasi diagnosa OSA

sebelumnya. 11
CPAP titration study
Setelah 2 jam manifestasi

OSA dalam

polisomnografi,

teknisi

menginterupsi studi untuk melakukan pemasangan masker (nasal, atau


nasal dan oral). Pasien terbangun untuk mencocokkan masker kemudian
tidur lagi dengan udara pernafasan tekanan positif yang dialirkan melalui
masker tadi. Tekanan yang diberikan ditingkatkan perlahan hingga
obstructive apnea dan hypopnea tidak lagi terjadi. 11
Tujuan dari CPAP titration study:
o
Menentukan besar tekanan positif yang efektif bagi pasien.
o
Menentukan ukuran masker yang nyaman.
o
Memastikan bahwa pasien toleran terhadap tata laksana terapi. 11
c. Pemeriksaan penunjang lainnya
Beberapa pemeriksaan penunjang lain yang dapat dipakai untuk
memperkuat diagnosa OSA adalah:

Fiberoptic nasopharyngoscopy
Pemeriksaan radiologis, seperti lateral cephalometric radiographs,
fluoroskopi, CT-scan dan MRI.
Namun karena efektifitas pemeriksaan-pemeriksaan tersebut masih

diragukan, ditambah lagi dengan biaya yang mahal, penggunaannya untuk


diagnosa OSA masih belum populer. 6

2.5.

Tatalaksana

24

Setelah melewati berbagai tahap pemeriksaan dan seorang pasien


dinyatakan menderita OSA, langkah selanjutnya yang perlu dilakukan adalah
tindak lanjut terhadap keadaan pasien. Pada pasien OSA, obstruksi berulang dapat
menimbulkan dua sekuele utama, yaitu abnormalitas neurobehavioral dan
gangguan kardiopulmonal.6 Kedua sekuele ini menimbulkan kebutuhan akan
tatalaksana serius, baik dari sudut pandang subyektif personal pasien, maupun
sudut pandang obyektif medis.
Obstruksi pernapasan yang berulang saat tidur dapat menyebabkan
penurunan kandungan oksigen dalam darah hingga di bawah normal secara
dramatis, dengan efek resultan pada jantung dan otak.13 Pada pasien dengan index
hipopneu-apneu (AHI) lebih besar dari 5, terjadi peningkatan resiko terjadinya
cedera cerebrovaskular. Selain itu, pada pasien dengan index apneu (AI) lebih dari
20, terdapat peningkatan angka kejadian mortalitas, dan pada pasien OSA dengan
penurunan saturasi oksigen hingga di bawah 90% terjadi peningkatan frekuensi
aritmia jantung. 6
Sebagai respon terhadap obstruksi pernapasan saat tidur, tubuh
mengompensasi dengan melakukan reduksi kedalaman tidur sehingga terjadi
peningkatan tonus otot dan mengurangi hambatan bernapas.Akibatnya, kualitas
tidur menurun dan demikian juga dengan kualitas hidup.Deprivasi kualitas tidur
yang kronik dapat mengakibatkan rasa ngantuk yang berat di siang hari, rasa lelah
berlebihan, gangguan berpikir, daya ingat, dan komunikasi. Dapat juga timbul
iritabilitas, gangguan mood, gangguan depresi, dan peningkatan resiko terjadi
kecelakaan lalu lintas secara statistik. 13
Secara garis besar, tatalaksana pada pasien dengan OSA dapat dibagi
menjadi tatalaksana operatif yang secara langsung bertujuan menterapi penyebab
utama OSA, dan tatalaksana non-operatif yang lebih banyak berperan dalam
modifikasi faktor-faktor predisposisi. Agar dapat dilakukan terapi yang sesuai
dengan kondisi dan harapan pasien, petugas medis perlu memberikan informasi
lengkap pada pasien mengenai jenis-jenis prosedur terapi yang tersedia, tingkat
keberhasilannya masing-masing, resiko dan komplikasi yang dapat terjadi, serta
hasil akhir yang diharapkan dari jenis terapi tersebut.

25

2.5.1. Tatalaksana Non Operatif


Sesuai dengan namanya, metode tatalaksana ini merupakan upaya-upaya
medis tanpa melibatkan prosedur di kamar operasi. Berbagai metode yang telah
diteliti dan dikembangkan di antaranya adalah :
a. Nasal CPAP (Continuous Positive Airway pressure)
Metode ini adalah yang paling banyak dikembangkan dan diterapkan pada
pasien OSA yang tidak membutuhkan tindak operatif. Nasal CPAP bekerja
dengan mengaplikasikan udara bertekanan positif pada saluran napas
bagian atas, dan bertindak secara efektif menyerupai pompa pneumatik
yang akan mempertahankan patensi saluran napas. Secara fisiologis, nasal
CPAP meningkatkan tekanan intraluminal untuk mempertahankan tekanan
udara berada di atas tekanan kolaps jalan napas, baik selama inspirasi
maupun ekspirasi. Alat ini juga dinyatakan dapat meningkatkan volume
paru, sehingga akan memperbaiki oksigenasi. 14

Cara kerja nasal CPAP


Tekanan nasal CPAP yang efektif dalam terapi terhadap OSA bervariasi,
tergantung pada posisi tidur, berat badan, stadium tidur, patensi nasal, dan
adanya penggunaan obat-obat sedatif.Tekanan CPAP harus dititrasi secara
individual dan mungkin membutuhkan periode penyesuaian.Penentuan
tekanan yang tidak tepat dapat menyebabkan under-treatment apneu
sehingga pasien mengalami penurunan kedalaman tidur dan bergerak saat
tidur, sehingga memungkinkan alat terlepas.Sebaliknya pada tekanan yang
terlalu tinggi, pasien dapat terbangun secara spontan, mengalami apneu
sentral, dan intoleransi.
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan nasal CPAP dalam
mengatasi OSA adalah tergantung pada: 1) Tekanan mesin yang tepat, 2)
Pemakaian masker yang ketat tapi tetap nyaman, 3) Toleransi pasien, dan

26

4) Kerjasama pasien. Permasalahan yang sering timbul pada penggunaan


nasal CPAP biasanya berhubungan dengan rhinitis, rasa tidak nyaman
pada pemakaian masker, klaustrofobia, disfungsi tuba eustachius, dan
suara bising. 14
b. Bi-level Positive Airway Pressure
Alat ini merupakan variasi dari CPAP.Kebanyakan pasien mengalami
problem dengan CPAP karena harus melakukan ekspirasi melawan
tekanan udara positif yang tinggi. Tekanan udara yang dibutuhkan untuk
mencegah obstruksi pernapasan saat ekspirasi adalah lebih rendah
daripada saat inspirasi, dan bi-level positive airway pressure didesain
untuk mengenali kondisi pasien, apkah sedang inspirasi ataukah ekspirasi,
sehingga dapat menurunkan tekanan udara yang masuk saat pasien
ekshalasi. Alat ini biasanya digunakan pada pasien yang tidak dapat
mentoleransi CPAP atau mengalami lebih dari satu gangguan pernapasan.15
c. Perangkat oral
Perangkat oral yang umum digunakan untuk tatalaksana OSA adalah
perangkat mandibula dan perangkat penahan lidah.
Perangkat mandibula atau mandibular advance devices terdiri dari cetakan
plastik dari gigi-geligi pasien. Bentuknya mirip dengan mouth guard yang
sering digunakan oleh atlet tinju, football, dan olahraga dengan kontak
fisik lainnya. Perangkat ini bertujuan untuk menjamin protrusi mandibula
dan keterbukaan pasase udara selama tidur.

Perangkat mandibula
Perangkat penahan lidah atau tongue-retaining device yang bentuknya
juga serupa, dilengkapi dengan suction/penghisap. Pada penggunaan
perangkat ini, lidah diletakkan pada bagian penghisap sehingga posisinya
selama tidur adalah tetap di bagian depan mulut dan tidak terjatuh ke
27

belakang. Tujuan akhirnya adalah mengatasi obstruksi jalan napas oleh


basis lidah. 15
d. Terapi posisi
Apneu cenderung memburuk ketika pasien tidur dengan posisi telentang
atau supine, karena efek gravitasi menyebabkan lidah jatuh ke belakang
dan menutupi jalan napas, demikian juga yang terjadi pada otot-otot
sekitar pernapasan dan jaringan lain (seperti tonsil) akan kolaps dan
memblok jalan napas. Untuk menghindari posisi supine, dapat dilakukan
berbagai cara, mulai dari yang sederhana seperti meletakkan bantal
pengganjal, hingga pemakaian bantal khusus (yang telah lulus uji FDA)
yang berfungsi memposisikan leher lebih tinggi daripada kepala sehingga
saluran napas lebih paten. 16
e. Penurunan berat badan
OSA dapat berkaitan dengan berat badan.Tambahan jaringan lemak di
sekitar leher dapat menyebabkan saluran napas menjadi lebih sempit,
sehingga obstruksi pun beresiko lebih tinggi untuk terjadi. Untuk pasien
dengan masalah overweight yang ringan, penurunan berat badan dapat
menjadi tatalaksana yang efektif. Selain itu, menurunkan berat badan pada
pasien overweight juga memberi dampak yang baik bagi kesehatannya. 16
Nasal CPAP hinga sekarang tetap merupakan gold standard untuk
tatalaksana non-operatif gangguan napas saat tidur.Efektivitasnya mencapai
100%, tapi angka ketahanannya tidak lebih dari 50%.Sedangkan Bi-level Positive
Airway Pressure memungkinkan peningkatan angka ketahanan jika dibandingkan
dengan CPAP.Perangkat mulut memiliki angka keberhasilan sebesar 50% tapi
angka ketahanan hanya sampai 25%.6
2.5.2. Tatalaksana Operatif
Tujuan utama terapi operatif adalah untuk menciptakan jalan napas yang
lebih terbuka sehingga memperkecil kemungkinan terjadinya obstruksi.Terdapat
berbagai prosedur operasi, dengan angka keberhasilan yang berbeda-beda
pula.Keputusan untuk melaksanakan operasi adalah berdasarkan motivasi pasien,
derajat

beratnya

penyakit

pada

pasien

sebagaimana

ditunjukkan

oleh

polisomnografi, dan lokasi serta tingkat keparahan kolaps saluran napas

28

atas.Sebelum melakukan tindak operasi, pasien perlu menjalani pemeriksaan


secara medis dan psikologis.
Berikut ini adalah indikasi dilaksanakannya terapi operatif pada pasien
OSA: 6
a.
b.
c.
d.
e.
f.

Indeks apneu-hipopneu (AHI) > 15


Desaturasi oksihemoglobin < 90%
AHI > 5 dan <14, dengan rasa ngantuk berlebihan di siang hari
Sindrom resistensi saluran napas atas dengan disfungsi neurokognitif
Aritmia jantung signifikan yang berkaitan dengan obstruksi
Terapi non-operatif yang tidak berhasil atau ditolak pasien (dan lebih

menginginkan terapi operatif)


g. Cukup stabil secara medis untuk menjalani prosedur operasi.
Setelah

diagnosis

OSA ditegakkan

dengan

pengawasan

melalui

polisomnografi dan lokasi potensial obstruksi telah diidentifikasi dengan


pemeriksaan

preoperative,

rekonstruksi

saluran

napas

atas

dapat

dipertimbangkan.Sesuai dengan lokasi terbanyak terjadinya obstruksi, tindak


operatif dapat dibagi menjadi tiga bagian besar, yaitu operasi pada daerah nasal,
palatal, dan hipofaringeal. Berbagai alternatif tatalaksana operasi yang dapat
dilakukan bagi pasien OSA adalah: 6

Operatif Nasal
a. Septoplasti nasal
b. Turbinektomi inferior
c. Adenoidektomi
d. Eksisi tumor atau polip nasal
e. Rekonstruksi klep nasal
Operatif Palatal
a. Uvulopalatofaringoplasty (UPPP)
b. Flap uvulopalatal
c. Tonsilektomi
d. Transpalatal advancement pharyngoplasty
e. Uvulopalatoplasty dengan laser
f. Palatal radiofrequency
Operatif Hipofaringeal
a. Osteotomi maxilomandibular
b. Osteotomi mandibula dengan genioglossus advancement
c. Miotomi dan suspensi hyoid
d. Tongue base radiofrequency
e. Glosektomi parsial
f. Tonsilektomi lingual
g. Repose tongue suspension
29

Pada dasarnya, trakeostomi merupakan gold standard manajemen operatif


karena memungkinkan bypass secara komplit terhadap obstruksi saluran napas
atas. Akan tetapi, alternatif terapi ini jarang dipilih pasien karena faktor
ketidaknyamanan pasien dan masyarakat masih kurang dapat menerima keadaan
pasien dengan trepasang trakeostomi.

Prosedur Nasal
Rasionalisasi dari prosedur operatif nasal adalah untuk memperbaiki
patensi rongga hidung, sebagai usaha untuk mengembalikan pernapasan
fisiologis; untuk memfasilitasi CPAP; dan meminimalisasi pernapasan melalui
mulut selama tidur.1 Deviasi septum nasi, hipertrofi konkha, serta kolaps katup
nasal dan alae nasi, dikoreksi dengan septoplasty, reduksi konkha, implan
kartilago katup nasal. Hipertrofi adenoid diterapi dengan adenoidektomi.
Prosedur Palatal
Operasi jaringan lunak meliputi obstruksi pada area palatum mole atau
velofaring. Berbagai variasi prosedur baru telah muncul dalam usaha mengatasi
obstruksi pada tingkat ini, setelah diperkenalkankannya Uvulopalatofaringoplasty
(UPPP) oleh Fujita pada tahun 1981. 6
Prosedur UPPP bertujuan memperpendek dan menegangkan palatum
durum dengan cara mengangkat uvula secara parsial dan mereduksi tepi palatum
durum.Kini metode UPPP telah mengalami berbagai modifikasi, dimana anestesi
hanya secara lokal, tonsil tidak dieksisi, dan penutupan jaringan lunak tetap
berada pada aspek superior pilar tonsil.Teknik ini terutama dipakai pada
tatalaksana pasien mendengkur.

30

Metode operatif uvulopalatopharyngoplasty


Flap uvulopalatal juga dapat dipertimbangkan. Prosedur ini dapat
mencapai hasil anatomis yang serupa dengan prosedur UPPP, tapi dengan nyeri
post-operatif yang lebih ringan dan lebih sedikit keluhan mengenai sekresi kental
atau sensasi benda asing pada daerah palatal.

Metode operatif uvulopalatal flap


Prosedur Hipofaringeal dan Dasar Lidah
31

Faktor-faktor yang perlu diwaspadai dalam kecurigaan obstruksi


hipofaring antara lain adalah faktor obesitas (IMT > 31 kg/m2), defek skeletal
mandibula, PAS < 11 mm pada radiogram sefalometri lateral, penyempitan
airspace retrolingual, kolaps dinding faring lateral, dan AHI moderat hingga berat
(> 30).
Prosedur-prosedur yang digunakan untuk menatalaksana lokasi hipofaring
dan basis lidah dapat dikelompokkan dalam 3 kategori berdasarkan mekanisme
aksinya: 6
a. Reduksi jaringan
Yang termasuk dalam kategori ini adalah glosektomi midline dengan laser,
lingualplasty, dan radiofrequency tongue ablation. Prosedur-prosedur ini
bertujuan untuk eksisi, ekstirpasi, atau mengecilkan lidah dan volume
jaringan di sekitarnya.
b. Meningkatkan tonus
Prosedur yang tergolong dalam ketgori ini adalah genioglossal
advancement, miotomi hyoid, dan osteotomi maksilomandibula.Tujuan
prosedur-prosedur ini adalah meningkatkan tonus otot-otot genioglossus
dan geniohyoid, sehingga mencegah lidah kolaps ke jalan napas akibat
hipotonia otot saat tidur.

Prosedur miotomi dan suspensi hyoid yang telah dimodifikasi


c. Meningkatkan airway space
Termasuk dalam kategori ini adalah prosedur miotomi hyoid dan
osteotomi maksilomandibula.Tujuannya adalah meningkatkan airway
space dengan memperbaiki jaringan saluran napas atas di sebelah anterior.

32

Prosedur maxillomandibular osteotomy and advancement (MMA)

Kesuksesan Teknik Operatif


Metaanalisis oleh Sher, Shechtman, dan Piccirillo 1 mendeskripsikan
ambang kesuksesan tatalaksana operatif OSA sebagai reduksi AHI sebesar 50%
(dengan AHI post-operatif <20) atau reduksi AI sebesar 50% (dengan AI postoperatif <10). Definisi lain yang lebih ketat hanya mempergunakan AHI sebagai
pedoman, yaitu harus mencapai perbaikan hingga 50% dengan nilai post-operatif
sebesar <20.
Selain peningkatan signifikan pada hasil pemeriksaan polisomnograf,
pasien juga harus mengalami perbaikan dari kebiasaan mendengkur dan hygiene
tidur. Perbaikan lain tampak dari penurunan gejala-gejala OSA, seperti
berkurangnya rasa mengantuk berat di siang hari, peningkatan daya konsentras,
dan peningkatan performa kerja.

33

DAFTAR PUSTAKA

1. Drazen JM: Sleep Apneu Syndrome, New england journal medicine 6:346,
2009.
2. Hartanto H, et al: Kamus Kedokteran Dorland, ed 29, Jakarta, 2000, EGC.
3. Anonim: Sleep-Related Breathing Disorders in Adults: Recommendations for
Syndrome Definition and Measurement Techniques in Clinical Research. The
Report of an American Academy of Sleep Medicine Task Force, SLEEP 5:22,
2009.
4. Boies, et al: Buku Ajar Penyakit THT, ed 6, Jakarta, 1997, EGC.
5. Gray, et al: The Anatomical Basis of Clinical Practice. Gray's Anatomy, ed
40, London, 2007, Churchill Livingstone.
6. Cummings CW, et al: Cummings Otolarygology Head and Neck Surgery,
Philadelphia, 2005, Elsevier Mosby.
7. Anonim:
Obstructive
Sleep

Apnea.

Diambil

dari:

http://en.wikipedia.org/wiki/Obstructive_sleep_apnea
8. Patil SP, et al: Adult Obstructive Sleep Apnea, Chest Journal of the American
College

of

Chest

Physician,

132:

325-337,

2007.

Diambil

dari:

http://chestjournal.chestpubs.org/content/132/1/325.full.html

34

9. Anonim: Obstructive Sleep Apnea. America Academy of Sleep Medicine,


Westchester, 2008, One Westbrook Corporate Center. Diambil dari:
www.aasmnet.org
10. Pack AI: Sleep Apnea: Pathogenesis, Diagnosis, and Treatment, New York,
2002, Marcel Dekker Inc.
11. Anonim:

Polysomnography.

Diambil

dari:

http://en.wikipedia.org/wiki/Polysomnography
12. Armon C, Roy A, Nowack WJ: Polysomnography: Overview and Clinical
Application, eMedicine, 2007.
13. Anonim:

Why

OSA

Should

be

Treated?.

Diambil

dari:

http://www.osasurgery.com/whytreat.htm
14. Anonim: Sleep Medicine: Treatments of Obstructive Sleep Apnea (OSA),
Medical

College

of

Wisconsin,

2009.

Diambil

dari:

http://www.mcw.edu/sleepmed/ObstructiveSleepApneaOSA/TreatmentsofOS
A.htm
15. Anonim: Obstructive Sleep Apnea (OSA) Treatment, Sleep Channel, 2009.
Diambil dari: http://www.sleepdisorderchannel.com/osa/treatment.shtml
16. Anonim: Treatments Options for Adults with Obstructive Sleep Apnea,
American

Sleep

Apnea

Association,

2008.

Diambil

dari:

http://www.sleepapnea.org/resources/pubs/treatment.html

35

You might also like