You are on page 1of 27

GLOBAL WARMING : MASALAH GLOBAL YANG DIHADAPI DUNIA

DEWASA INI

KELAS L
HOME GROUP 5

Donny Budi Setiawan, 0706165381


Dina Arifiani, 0706286653
Erika, 0706291243
Gea Nur Alfisahr, 0706284710
Hesty Dwi Haryudi Putri, 0706283714

Makalah Akhir bagi Topik


Pemicu Global Warming
untuk Mata Kuliah
Modul Pengembangan Kepribadian Terintegrasi (MPKT)

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK


UNIVERSITAS INDONESIA
2007

1
BAB I – PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Perubahan iklim global yang menjadi perhatian masyarakat dunia adalah


gejala global warming yang diketahui terjadi sebagai akibat dari penipisan lapisan
ozon di lapisan stratosfir. Lapisan ozon berfungsi menyerap radiasi surya
terutama sinar ultraviolet sebelum mencapai permukaan bumi, sehingga
penipisannya berakibat meningkatnya suhu udara di permukaan bumi, dan
menimbulkan gejala global warming. Sementara itu, penggundulan hutan yang
terus terjadi (terutama di negara berkembang), juga dituding sebagai penyebab
terjadinya gejala rumah kaca yang juga meningkatkan suhu udara. Sebabnya
adalah bahwa penggundulan itu menurunkan penyerapan CO2 oleh pepohonan
yang ditebang.
Pengaruh global warming yang lebih relevan bagi Indonesia adalah
timbulnya gejala El Nino/ENSO, yang berhubungan erat dengan kenaikan suhu
laut kawasan tropis Samudra Pasifik dan turunnya suhu samudra Pasifik yang
disebut La Nina. Sementara itu ada pendapat (Winarso, 2002) bahwa walaupun
telah terlihat adanya kecederungan iklim untuk berubah dalam kurun waktu satu
abad, maka perlu dibedakan dengan terjadinya variabilitas/fluktuasi iklim jangka
tahunan hingga dasawarsa. Akibat peristiwa El Nino dan La Nina dengan variasi
dan dampak yang muncul di Indonesia, antara lain:
a. El Nino makin sering terjadi dan tidak memiliki periodisitas yang jelas,
dan dampak yang terlihat di Indonesia umumnya kemarau kering.
b. La Nina sebagai lawan balik gejala El Nino secara umum tidak pasti
meningkatkan curah hujan, khususnya yang terjadi di tahun 1999 dan
2000 di mana justru curah hujan menurun.
Dengan demikian kita dapat melihat bahwa di samping perubahan iklim global
terhadap iklim Indonesia, terdapat pula penyimpanan iklim lokal dan regional.
Selain hal itu, intensitas banjir dan kekeringan sangat dipengaruhi oleh
perubahan-perubahan lokal.

2
Oleh karena itu, makalah yang kami buat ini akan membahas mengenai
pemanasan global yang terjadi saat ini beserta dampak-dampak yang diberikan
oleh pemanasan global terutama di Indonesia.

1.2. Perumusan Masalah

Tim penulis merumuskan masalah pada beberapa hal sebagai berikut :


 Identifikasi mengenai penyebab pemanasan global,
 Dampak yang diakibatkan oleh pemanasan global,
 Solusi untuk meminimalisir terjadinya pemanasan global.

1.3. Tujuan Penulisan

Karya tulis ini dibuat dengan tujuan :


 Mengenal lebih jauh mengenai pemanasan global yang terjadi akhir-
akhir ini,
 Membuka wawasan penulis dan pembaca tentang penyebab serta
dampak dari pemanasan global,
 Memenuhi tugas Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian
Terintegrasi Semester Gasal 2007/2008.

1.4. Metode Pengumpulan Data

Data yang digunakan tim penulis dalam makalah ini adalah metode
pengumpulan data sekunder. Data sekunder didapatkan melalui data
referensi seperti buku, internet, koran maupun majalah.

3
BAB II - PEMBAHASAN

2.1. Pemanasan Global

2.1.1. Pengertian

Pemanasan Global adalah kejadian meningkatnya temperatur rata-rata


atmosfir, laut dan daratan bumi. Planet bumi telah menghangat(dan juga
mendingin) berkali-kali selama 4,65 miliyar tahun sejarahnya. Pada saat ini, bumi
menghadapi pemanasan yang cepat, karena disebabkan aktifitas manusia.
Penyebab utama pemanasan ini adalah pembakaran bahan bakar fosil, seperti batu
bara, inyak bumi, dan gas alam, yang melepas karbondioksida dan gas-gas lainnya
yang dikenal sebagai gas rumah kaca ke atmosfer. Ketika atmosfer semakin kaya
akan gas-gas rumah kaca ini, ia semakin menjadi insulator yang menahan lebih
banyak panas dari matahari yang dipancarkan ke bumi.

2.1.2. Efek Rumah Kaca

Efek Rumah Kaca (EFK)


disebut juga greenhouse effect. Efek
rumah kaca, pertama kali ditemukan
oleh Joseph Fourier pada 1864,
merupakan sebuah proses di mana
atmosfer memanaskan sebuah planet.
Efek rumah kaca dapat digunakan
untuk menunjuk dua hal berbeda: efek
rumah kaca alami yang terjadi secara alami di bumi, dan efek rumah kaca
ditingkatkan yang terjadi akibat aktifitas manusia.
Efek rumah kaca disebabkan karena naiknya konsentrasi gas
karbondioksida dan gas-gas lainnya di atmosfer. Kenaikan konsentrasi gas
karbondioksida ini disebabkan oleh kenaikan pembakaran bahan bakar minyak

4
(BBM), batu bara, dan bahan bakar organik lainnya yang melampaui kemampuan
tumbuhan-tumbuhan dan laut untuk mengabsorbsinya.
Energi yang masuk ke bumi mengalami: 25% dipantulkan oleh awan atau
partikel lain di atmosfer 25% diserap awan 45% diadsorpsi permukaan bumi 5%
dipantulkan kembali oleh permukaan bumi.
Energi yang diadsoprsi dipantulkan kembali dalam bentuk radiasi infra
merah oleh awan dan permukaan bumi. Namun sebagian besar infra merah yang
dipancarkan bumi tertahan oleh awan dan gas karbondioksida untuk dikembalikan
ke permukaan bumi. Dalam keadaan normal, efek rumah kaca diperlukan, dengan
adanya efek rumah kaca perbedaan suhu antara siang dan malam di bumi tidak
terlalu jauh berbeda.

Gambar ilustrasi efek rumah kaca

2.2. Penyebab Pemanasan Global

2.2.1. Gas-gas Rumah Kaca (GRK)

2.2.1.1. Karbon Dioksida (CO2)

Senyawa karbon dioksida, atau CO2, adalah gas atmosfir yang terdiri
dari satu atom karbon dan dua atom oksigen. Karbon dioksida adalah
hasil dari pembakaran senyawa organik jika cukup jumlah oksigen
hadir. Juga dihasilkan oleh berbagai mikro organisme dalam

5
fermentasi dan dihembuskan oleh hewan. Tumbuhan menyerap karbon
dioksida selama fotosintesis, memakai baik karbon maupun oksigen
untuk membuat karbohidrat. Karbon dioksida hadir di Atmosfer Bumi
dengan konsentrasi rendah dan bertindak sebagai gas rumah kaca.

CO2 dihasilkan dari pembakaran batu bara, minyak bumi, dan gas alam.

C(s) + O2(g) CO2(g) (pembakaran batu bara)

CxHy(l) + O2(g) CO2(g) + H2O(g) (pembakaran minyak bumi)

CH4(g) + O2(g) CO2(g) + H2O(g) (pembakaran gas alam)

CO2 merupakan komponen udara yang mempunyai sifat menyerap


radiasi infra-merah dari matahari. Oleh karena itu, makin banyak CO2
dalam atmosfer, makin banyak kalor yang dapat diserap oleh atmosfer.
Dampak yang dapat dirasakan oleh manusia sebagai akibat
meningkatnya gas CO2 di atmosfer antara lain melelehnya es di kutub-
kutub bumi dan naiknya air laut yang mengakibatkan hilangnya suatu
pulau beserta lenyapnya kehidupan makhluk hidup yang ada di
dalamnya.

Sebenarnya, karbon dioksida tidak berbahaya bagi manusia. Akan


tetapi, karbon dioksida tergolong gas rumah kaca, sehingga
peningkatan kadar CO2 di udara dapat mengakibatkan peningkatan
suhu permukaan bumi. Peningkatan suhu karena meningkatnya kadar
gas-gas rumah kaca di udara disebut pemanasan global. Pemanasan
global dapat mempengaruhi iklim, mencairkan sungkup es di kutub
dan berbagai akibat lainnya.

2.2.1.2. Karbon Monoksida (CO)

CO (karbon monoksida) bukan merupakan komponen udara yang


kering murni. CO dihasilkan karena pembakaran yang tidak sempurna.

6
2C(s) + O2(g) 2CO(g)

CO merupakan gas yang tidak berbau, tidak berasa dan tidak berwarna,
tetapi sangat beracun. Sumber utama CO adalah kendaraan bermotor.
Konsentrasi maksimum adalah 50 bagian per juta (bpj/ppm) udara.

Pada konsentrasi 100 ppm dalam waktu satu jam dapat menyebabkan
sakit kepala, cepat lelah, sesak nafas, dan ketidaksadaran manusia.
Setelah 4 jam dapat mematikan manusia.

Gas karbon monoksida tidak berwarna dan tidak berbau, oleh karena
itu kehadirannya tidak segera diketahui. Gas itu bersifat racun, dapat
menimbulkan rasa sakit pada mata, saluran pernafasan dan paru-paru.
Bila masuk ke dalam darah melalui pernafasan, CO bereaksi dengan
hemoglobin dalam darah membentuk COHb (karboksihemoglobin).

CO + Hb COHb

Seperti kita ketahui, hemoglobin ini seharusnya bereaksi dengan


oksigen menjadi O2Hb (oksihemoglobin) dan membawa oksigen yang
diperlukan ke sel-sel jaringan tubuh.

O2 + Hb O2Hb

Akan tetapi, afinitas CO terhadap Hb sekitar 300 kali lebih besar


daripada O2. bahkan Hb yang telah mengikat Oksigen dapat diserang
oleh CO.

CO + O2Hb COHb + O2

Jadi, CO menghalangi fungsi vital Hb untuk membawa oksigen bagi


tubuh.

Ambang batas CO di udara sebesar 20 ppm. Udara dengan kadar CO


lebih dari 100 ppm akan menimbulkan sakit kepala dan gangguan
pernafasan. Kadar yang lebih tinggi lagi dapat menimbulkan kematian.

7
Salah satu cara untuk mencegah peningkatan gas CO di udara yaitu
dengan mengurangi penggunaan kendaraan bermotor dan pemasangan
pengubah katalitik (Catalytic converter) pada knalpot kendaraan
bermotor.

WHO telah membuktikan bahwa karbon monoksida yang secara rutin


mencapai tingkat tak sehat di banyak kota dapat mengakibatkan
kecilnya berat badan janin, meningkatnya kematian bayi dan
kerusakan otak, bergantung pada lamanya seorang wanita hamil
terpajan, dan bergantung pada kekentalan polutan di udara.

Asap kendaraan merupakan sumber hampir seluruh karbon monoksida


yang dikeluarkan di banyak daerah perkotaan. Karena itu strategi
penurunan kadar karbon monoksida bergantung terutama pada
pengendalian emisi otomatis seperti pengubah kalitis, yang mengubah
sebagian besar karbon monoksida menjadi karbon dioksida. Kendali
semacam itu secara nyata telah menurunkan emisi dan kadar
konsentrasi karbon monoksida yang menyelimuti kota-kota di seluruh
dunia industri: di Jepang, tingkat kadar karbon monoksida di udara
menurun sampai 50 persen antara tahun 1973 dan 1984, sementara di
AS tingkat karbon monoksida turun 28 persen antara tahun 1980 dan
1989, walaupun terdapat kenaikan 39 persen untuk jarak kilometer
yang ditempuh. Namun kebanyakan dunia negara berkembang
mengalami kenaikan tingkat karbon monoksida, seiring dengan
pertambahan jumlah kendaraan dan kepadatan lalu lintas. Perkiraan
kasar dari WHO menunjukkan bahwa konsentrasi karbon monoksida
yang tidak sehat mungkin terdapat pada paling tidak separo kota di
dunia.

2.2.1.3. Oksida Belerang (SO2 dan SO3)

Belerang dioksida (SO2) dan belerang trioksida (SO3) merupakan gas-


gas yang berbahaya terhadap manusia. Gas-gas ini dapat menimbulkan
noda-noda cokelat dan merontokkan daun. Gas-gas ini dihasilkan dari

8
pembakaran bahan bakar, misalnya batubara, minyak dan
bensin/premium.

Dalam bahan bakar tersebut terdapat sedikit senyawa belerang.


Apabila bahan baker itu terbakar, belerang teroksidasi menjadi
belerang dioksida.

S(s) + O2(g) SO2(g)

Belerang dioksida adalah oksida yang bersifat asam. Gas ini larut
dalam air hujan sehingga air hujan bersifat asam. Dalam atmosfer, O2
dan Ozon mengubah sebagian SO2 menjadi SO3. SO3 bereaksi dengan
air membentuk asam sulfat dan juga menjadikan air hujan menjadi
bersifat asam.

SO2(g) + H2O(l) H2SO4(aq)

Asam ini merusak batuan, marmer dan dapat menyebabkan besi mudah
berkarat. Selain itu, hujan asam juga menyebabkan tidak suburnya
tanah.

Sulfur Dioksida. Emisi sulfur dioksida terutama timbul dari


pembakaran bahan bakar fosil yang mengandung sulfur terutama
batubara yang digunakan untuk pembangkit tenaga listrik atau
pemanasan rumah tangga. Sistem pemantauan lingkungan global yang
disponsori PBB memperkirakan bahwa pada 1987 dua pertiga
penduduk kota hidup di kota-kota yang konsentrasi sulfur dioksida di
udara sekitarnya di atas atau tepat pada ambang batas yang ditetapkan
WHO. Gas yang berbau tajam tapi tak bewarna ini dapat menimbulkan
serangan asma dan, karena gas ini menetap di udara, bereaksi dan
membentuk partikel-partikel halus dan zat asam.

Belerang dioksida apabila terhisap oleh pernafasan, akan bereaksi


dengan air dalam saluran pernafasan, dan membentuk asam sulfite
yang akan merusak jaringan dan menimbulkan rasa sakit. Apabila SO3

9
yang terisap, maka yang terbentuk adalah asam sulfat dan asam ini
lebih berbahaya. Oksida belerang dapat pula larut dalam air hujan dan
menyebabkan apa yang disebut dengan hujan asam.

2.2.1.4. Oksida Nitrogen (NO dan NO2)

Di kota-kota besar kendaraan bermotor masih merupakan sumber


polutan yang terbesar. Gas yang keluar dari kendaraan mengandung
gas nitrogen oksida. Nitrogen oksida dapat mempunyai dampak
lingkungan yang sama dengan gas belerang oksida.

Dampak gas Nitrogen (IV) oksida pada manusia bervariasi, mulai dari
gangguan ringan (bau yang kurang sedap) sampai dengan gangguan
pada paru-paru, bergantung pada konsentrasi gas itu di udara dan
lamanya kontaminasi. NO2 sangat penting dipelajari sebagai polutan
udara karena zat ini membentuk reaksi berantai dan menghasilkan
kabut.

Nitrogen oksida yang terjadi ketika panas pembakaran menyebabkan


bersatunya oksigen dan nitrogen yang terdapat di udara memberikan
berbagai ancaman bahaya. Zat nitrogen oksida ini sendiri
menyebabkan kerusakan paru-paru. Setelah bereaksi di atmosfer, zat
ini membentuk partikel-partikel nitrat amat halus yang menembus
bagian terdalam paru-paru. Partikel-partikel nitrat ini pula, jika
bergabung dengan air baik air di paru-paru atau uap air di awan akan
membentuk asam. Akhirnya zat-zat oksida ini bereaksi dengan asap
bensin yang tidak terbakar dan zat-zat hidrokarbon lain di sinar
matahari dan membentuk ozon rendah atau "smog" kabut berwarna
coklat kemerahan yang menyelimuti sebagian besar kota di dunia.

Campuran NO dan NO2 sebagai pencemar udara biasa ditandai dengan


lambang NOx. ambang batas NOx di udara 0,05 ppm. NOx di udara
tidak beracun (secara langsung) pada manusia tapi NOx ini bereaksi
dengan bahan-bahan pencemar lain dan menimbulkan fenomena asbut

10
(asap-kabut) atau smog dalam bahasa Inggris. Asbut menyebabkan
berkurangnya daya pandang, iritasi pada mata dan saluran pernafasan,
menjadikan tanaman layu dan menurunkan kualitas materi.

2.2.1.5. Ozon atau Asap Kabut Fotokimiawi.

Ozon, terdiri dari beratus-ratus zat kimiawi yang terdapat dalam asap
kabut, terbentuk ketika hidrokarbon pekat di perkotaan bereaksi
dengan oksida nitrogen. Tetapi, karena salah satu zat kimiawi itu, yaitu
ozon, adalah yang paling dominan, pemerintah menggunakannya
sebagai tolok ukur untuk menetapkan konsentrasi oksidan secara
umum. Ozon merupakan zat oksidan yang begitu kuat (selain klor)
sehingga beberapa kota menggunakannya sebagai disinfektan pasokan
air minum. Banyak ilmuwan menganggapnya sebagai polutan udara
yang paling beracun; begitu berbahayanya sehingga pada eksperimen
laboratorium untuk menguji dampak ozon, satu dari setiap sepuluh
sukarelawan harus dipindahkan dari bilik pajanan yang digunakan
dalam eksperimen itu karena gangguan pernapasan. Pada hewan
percobaan laboratorium, ozon menyebabkan luka dan kerusakan sel
yang mirip dengan yang diderita para perokok. Karena emisi oksida
nitrogen dan hidrokarbon semakin meningkat, tingkat ozon bahkan di
pedesaan telah berlipat dua, dan kini mendekati tingkat
membahayakan bagi banyak spesies.

2.2.1.6. Hidrokarbon

Zat ini kadang-kadang disebut sebagai senyawa organik yang mudah


menguap ("volatile organic compounds/VOC"), dan juga sebagai gas
organic reaktif ("reactive organic gases/ROG"). Hidrokarbon
merupakan uap bensin yang tidak terbakar dan produk samping dari
pembakaran tak sempurna. Jenis-jenis hidrokarbon lain, yang sebagian
menyebabkan leukemia, kanker, atau penyakit-penyakit serius lain,
berbentuk cairan untuk cuci-kering pakaian sampai zat penghilang
lemak untuk industri.

11
2.2.1.7. Benda Partikulat.

Zat ini sering disebut sebagai asap atau jelaga; benda-benda partikulat
ini sering merupakan pencemar udara yang paling kentara, dan
biasanya juga paling berbahaya. Sistem Pemantauan Lingkungan
global yang disponsori PBB memperkirakan pada 1987 bahwa 70
persen penduduk kota di dunia hidup di kota-kota dengan partikel yang
mengambang di udara melebihi ambang batas yang ditetapkan WHO.

Sebagian benda partikulat keluar dari cerobong pabrik sebagai asap


hitam tebal, tetapi yang paling berbahaya adalah "partikel-partikel
halus" butiran-butiran yang begitu kecil sehingga dapat menembus
bagian terdalam paru-paru. Sebagian besar partikel halus ini terbentuk
dengan polutan lain, terutama sulfur dioksida dan oksida nitrogen, dan
secara kimiawi berubah dan membentuk zat-zat nitrat dan sulfat. Di
beberapa kota, sampai separo jumlah benda partikulat yang disebabkan
ulah manusia terbentuk dari perubahan sulfur dioksida menjadi partikel
sulfat di atmosfer. Di kota-kota lain, zat-zat nitrat yang terbentuk dari
proses yang sama dari oksida-oksida nitrogen dapat membentuk
sepertiga atau lebih benda partikulat.

Tabel (1). Waktu Tinggal Gas-gas Rumah Kaca di Atmosfer

Gas Rumah Kaca Waktu Tinggal di Atmosfer,


(tahun)
Karbon dioksida (CO2) 50 - 200
Metana (CH4) 10
Ozon (O3) 0,1
Dinitrogen oksida (N2O) 150
CFC R-11 (CCl3F) 65
CFC R-12 (CCl2F2) 130

12
Tabel (2). Nilai GWP (Green House Warming Potential) Gas-gas Rumah Kaca

Gas Rumah Kaca GWP (relatif)


Karbon dioksida (CO2) 1
Metana (CH4) 21
Dinitrogen oksida (N2O) 206
Ozon (O3) 2.000
CFC R-11 (CCl3F) 12.400
CFC R-12 (CCl2F2) 15.800

Gambar (12). Sumbangan Gas-gas Rumah Kaca terhadap Terjadinya Efek Rumah
Kaca

2.2.2. Dari mana GRK berasal ?

Gas rumah kaca (GRK) adalah gas yang diemisikan dari berbagi kegiatan
manusia, yang memiliki kemampuan meneruskan gelombang pendek dan
mengubahnya menjadi gelombang panjang. Selain itu, GRK juga memiliki
kemampuan meneruskan sebagian gelombang panjang dan memantulkan
gelombang panjang lainnya.

13
Gas rumah kaca telah ada dahulu kala. Pada waktu bumi mulai terbentuk,
GRK sangat diperlukan untuk menaikan suhu bumi yang masih sangat dingin
hingga hanya beberapa spesies makhluk hidup yang dapat menghuni bumi.
Masa tinggal GRK di atmosfer juga mempengaruhi efektifitasnya dalam
meningkatkan suhu muka bumi ini. Semakin panjang masa tinggal gas di atmosfer,
semakin efektif pengaruhnya terhadap kenaikan suhu muka bumi.
GRK sebahagian besar dihasilkan dari pembakaran bahan bakar
fosil(batubara, minyak bumi, gas alam) untuk rumah tangga, industri, dan
transportasi. GRK yang dihasilkan terutama Carbon dioksida, Metana, Nitrat
oksida, dan Ozon.

2.2.2.1. Asap Pabrik


Dari asap pabrik yang di keluarkan oleh produksi pabrik ini
menyebabkan polusi udara sehingga menghasilkan gas yang
mempunyai efek negatif. Pencemaran udara, atu polusi udara sendiri
terjadi bila ada penambahan komponen udara, bahan kimia, atau bahan
kimia baru di udara yang keberadaannya membahayakan kehidupan
organisme. Polutan yang mencemari udara umumnya berasal dari
pembakaran bahan bakar fosil yang tidak sempurna.

2.2.2.2. Emisi kendaraan bermotor


Bensin mengandung C6-C12. Dalam mesin kendaraan (slinder),
campuran bahan baker dan udara terbakar cepat oleh bunga api listrik.
Bunga api listri menyebabkan sedikit Nitrogen bereaksi dengan
Oksigen dalam slinder membentuk nitrogen monoksida.
Gas-gas yang terdapat dalam asap kendaraan bermotor tersebut banyak
yang dapat menimbulkan kerugian, diantaranya adalah CO2, CO,
hidrokarbon, oksida nitrogen, dan oksida belerang.

2.2.2.3. Pembakaran hutan (Kasus Adelin Lis)


Adelin Lis merupakan Direktur Keuangan PT Keang Nam
Development Indonesia Yang didakwa melakukan tindak pidana

14
korupsi dan pembalakan liar yang akhirnya divonis bebas. Tindakan
yang dilakukan Adelin Lis sangat merugikan, dengan adanya
pembalakan hutan, pohon-pohon yang ditumbangkan tidak dapat
menyerap karbondioksida yang seharusnya pohon tersebut dapat
berfungsi menghasilkan oksigen. Pada saat terjadi kerusakan hutan
akan terjadi pelepasan emisi karbon ke atmosfer. Melalui aktifitas
deforestasi, sekitar 33% karbon akan dilepaskan ke atmosfer.
Sementara akibat pembakaran biomassa dan dekomposisi, emisi
karbon yang dilepas ke atmosfer adalah sebesar 32% dan 22%.

2.2.2.4. Alat-alat teknologi


Penggunaan bahan perusak ozon antara lain klorokarbon atau
chlorofluorocarbon (CFC) misalnya bahan untuk freon pada mesin
pendingin/ kulkas. Sistem ini menghasilkan dingin dari gas-gas yang
mengembang. Bahan perusak ozon itu antara lain CFC-11, CFC-12,
CFC-113, CFC-115 yang banyak digunakan dalam industri foam,
pendingin, tembakau, dan aerosol, halon, pada pemadam api, dan
metilbromida pada fumigasi. Bahan CFC yang dilarang adalah CFC R-
12 atau freon yang banyak digunakan dalam kulkas dan pendingin
ruangan.

2.3 Akibat Pemanasan Global

Pemanasan Global pada tahun 2050 mengakibatkan temperatur udara naik


sekitar 2-3 derajat celcius. Hal ini menimbulkan dampak yang sangat besar dalam
bebagai sisi kehidupan di bumi. Dampak yang ditimbulkan penipisan lapisan ozon,
perubahan iklim, kekeringan yang berkepanjangan, kepunahan spesies, dan
tingginya frekuensi dan intensitas bencana alam.

2.3.1. Perubahan Iklim

15
Pemanasan Global menyebakan perubahan iklim. Menurut laporan
Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC) Ke-3 yang dipublikasikan
pada tahun 2001, terjadi peningkatan konsentrasi CO2 dalam kurun waktu 200
tahun terakhir dari 280 ke 368 parts per million. Diperkirakan pada tahun 2100
terjadi peningkatan antara 540 hingga 970 parts per million. Diprediksikan imbas
dari peningkatan konsentrasi CO2 ini adalah dari tahun 1900-2050 terjadi
peningkatan suhu bumi sebesar 0,8 hingga 2,6 derajat celcius.

Sedangkan pada tahun 2100 diperkirakan sudah


mencapai 1,4 hingga 5,8 derajat celcius. Bahkan
dalam laporan terbarunya, dalam rentang waktu
1990-2005, telah terjadi peningkatan suhu secara
merata di seluruh permukaan bumi sebesar 0,15-
0,30 derajat celcius1. Hal ini menyebakan dampak
positif di negara-negara beriklim dingin.
Kenaikan suhu udara ini akan mengurangi
kebutuhan konsumsi energi sebagai penghangat udara. Diperkirakan akan terjadi
juga peningkatan hasil produksi agrikultur pada negara-negara beriklim dingin.
Angka kematian akibat suhu udara dingin yang banyak terjadi di negara-negara
belahan bumi utara saat winter juga akan berkurang. Akan tetapi, dampak
negatifnya jauh lebih besar dibandingkan dampak positifnya. Misalnya di negara-
negara dingin itu misalnya kandungan tanah yang selama ini membeku di daratan
Rusia dan Kanada bisa mencair dan merusak jaringan infrastruktur seperti jalan
dan jembatan yang ada.

Glaciers dan lapisan es di gunung-gunung tinggi akan mencair sehingga


kelangsungan water supply bisa terganggu. Jika Lapisan es dan glacier yang ada
di belahan utara dan selatan bumi meleleh Air dari mencairnya lapisan es itu akan
memenuhi tempat yang rendah letaknya sehingga sedikit demi sedikit akan
meningkatkan muka air laut di seluruh dunia. Akibatnya, garis pantai pada

1
Wartono. Jelang Pertemuan COP ke-13 di Bali; Mungkinkah Tercipta Tata Dunia yang Peduli Lingkungan.
http://www.pmii.or.id/. Diakses pada 12 November 2007, pukul 06:21:51

16
daratan yang rendah akan tergenangi air laut, bukan karena abrasi melainkan
karena air lautnya yang meninggi. Ini artinya negara-negara dengan daratan yang
rendah atau bahkan lebih rendah dari muka air laut saat ini menjadi sangat
terancam

Kehidupan flora dan fauna secara global juga sangat mungkin terpengaruh. Pola
migrasi burung, ikan, dan mamalia darat dapat berubah dikarenakan pengaruh
berubahnya musim. Sedikit perubahan pada pola migrasi ini bisa berakibat fatal
pada kelangsungan hidup beberapa spesies fauna karena berubahnya pola pakan
dan pola reproduksi2.

Kenaikan suhu udara 2-3 derajat akan memaksa bertambah intensifnya


penggunaan alat pengatur suhu udara (ac, blower) pada tempat tinggal, tempat
bekerja, dan alat transportasi. Jika dulu upaya pertama pengaturan udara bisa
dilakukan dengan merancang arsitektur rumah dan tempat tinggal agar bisa terjadi
pertukaran panas dengan baik, banyak tempat yang mau tidak mau terpaksa
menggunakan ac secara maksimal. Ini akan menggenjot penggunaan energi yang
sayangnya secara tidak langsung akan menghasilkan pengeluaran emisi karbon ke
udara yang pada gilirannya akan menambah efek rumah kaca bumi ini.

Meningkatnya suhu udara secara garis besar akan menurunkan tingkat


produktifitas hasil pertanian. Deforestasi dan desertifikasi akan semakin meluas
dikarenakan semakin tidak mampunya beberapa jenis tumbuhan untuk bertahan
menghadapi suhu udara yang makin panas dan supply air yang berkurang3.

Di bidang perikanan dan kelautan, berubahnya suhu rata-rata bumi akan


menimbulkan perubahan suhu lautan pula, yang pada gilirannya akan
menimbulkan dampak pada perbedaan arus air laut serta kemampuan hidup
tumbuhan dan hewan yang ada di dalamnya. Berubahnya pola arus air antar benua

2
2050: (Sebagian) Jakarta menjadi kenangan. http://72.14.235.104/search?q=cache:4unLfu8lyJEJ: dono
widiatmoko.wordpress.com/2006/11/14/2050-sebagian-jakarta-tinggal-
kenangan/+akibat+global+warming&hl=id&ct=clnk&cd=20&gl=id. Diakses pada 14 November 2007, pukul
15.25.

3
Ibid.

17
akan mengakibatkan berubahnya pola kehidupan plankton dan jasad renik yang
menjadi panganan ikan-ikan pada mata rantai makanan yang lebih tinggi.
Perubahan rata-rata suhu bumi dan suhu air laut juga akan mengubah peta
tumbuhan karang laut di dunia. Pada daerah yang semula merupakan daerah ideal
koral hidup, kemungkinan daerah tersebut akan menjadi terlalu panas untuk
karang untuk bisa bertahan. Dampak selanjutnya adalah berubahnya ketersediaan
ikan dan aneka ragam jenis produksi laut akibat perubahan suhu rata-rata bumi4.

2.3.2. Kekeringan Berkepanjangan

Kekeringan terjadi dipengaruhi oleh kondisi alam seperti penyimpangan


iklim global (El Nino), perubahan iklim global, dapat juga disebabkan oleh
perilaku manusia yang serakah dalam mengeksploatasi sumberdaya alam atau
gabungan di antaranya (Stigter, 1997). Perubahan iklim yang semakin panas
dengan temperatur rata-rata tahunan naik sekitar 0,3O C sejak 1900, dan tahun
1998 merupakan tahun terpanas, hampir 1O C di atas rata-rata tempetatur di tahun
1961 –1990. Curah hujan rata-rata tahunan turun sekitar 2 hingga 3 % pada
periode abad 20 ini, penurunan ini sebagian besar terjadi pada periode bulan
Desember hingga Februari, yang merupakan musin terdingin pada setiap tahunnya
(Kompas, 26 Agustus 2003). Meningkatnya suhu menyebabkan Kekeringan yang
berdampak pada masalah kualitas air yang menjadi sebuah ancaman besar dunia.
Laporan PBB tahun 2000 memperkirakan peperangan antar manusia akibat krisis
air akan terjadi di tahun 2025. Diperkirakan sekitar 1,2 milliar penduduk dunia
saat ini hidup dengan air yang tidak layak minum. Keadaan ini diperburuk lagi
dengan kenyataan 70% air dunia digunakan untuk konsumsi ternak dan aktivitas
pencucian di rumah jagal (dibutuhkan 3.500 galon air untuk memproduksi 1 pon
daging, 60 galon air untuk memproduksi gandum dan 24 galon air untuk
memproduksi 1 pon tomat)5.

2.3.3. Kepunahan Spesies

4
Ibid.
5
Global Warming, Gempa, Tsunami, Penyakit Degeneratif dan Inefisiensi Ekonomi.
http://www.djlpe.esdm.go.id/modules/digital_documentation/download.php?file_id=750. Diakses pada 30
November 2007, pukul 15.42.

18
Pemanasan global menyebabkan spesies yang masih bertahan tidak akan
lagi memiliki habitat yang nyaman, sementara sebagian lainnya harus bermigrasi
cukup jauh untuk memperoleh tempat hidup yang sesuai guna mendukung
kehidupannya. Simulasi ini diperkirakan cukup akurat mengingat penelitian di
California melaporkan bahwa kupu-kupu jenis Edith Checkerspot telah mulai
menghilang seiring naiknya suhu udara di kawasan tersebut 6 . Sementara itu
populasi penguin jenis Adeline di Antartika berkurang 33% dalam kurun 25 tahun
terakhir akibat surutnya permukaan lautan es. Tim peneliti dari Kanada
melaporkan bahwa jumlah rusa kutub Peary menurun drastis jumlahnya dari
24.000 pada 1961 menjadi hanya sekitar 1.000 pada 1997 akibat perubahan iklim
yang cukup ekstrim 7 . Perubahan iklim membuat berbagai spesies hewan harus
dapat beradaptasi dengan perubahan itu, tetapi diperkirakan lebih banyak yang
tidak mampu beradaptasi dan terseleksi oleh alam.

2.3.4. Tingginya Frekuensi dan Intensitas Bencana Alam

Pemanasan global menyebabkan terjadinya anomali iklim berupa kemarau


yang berkepanjangan. Kemarau yang berkepanjangan mengakibatkan
meningkatnya intensitas badai, terjadinya banjir dibanyak tempat, kekurangan air
bersih, semakin panasnya suhu bumi, naiknya permukaan air laut, berkurangnya
luas daratan dan tenggelamnya pulau-pulau. Bahkan salju abadi di puncak
Jayawijaya dan Kutub Utara saja sudah tidak lagi abadi oleh karena pemanasan
global. Menurut peneliti dari Queen’s University, Kanada, pada bulan Juni-Juli
2007 terjadi rekor dunia baru di mana suhu di kutub Utara mencapai 22 derajat
celcius melebihi suhu normal yang berkisar 2-4 derajat di atas 0 derajat celcius.
Dalam catatan The US Snow and Ice Data Center di Colorado, peningkatan suhu

6
Global Warming dan World Ocean Conference. http://www.lestari-m3.org. Diakses pada 30 November
2007, pukul 16.03.

7
Ibid.

19
yang ekstrim tersebut telah mengakibatkan pencairan es hingga 4.28 million
square kilometer8.

Adapun fakta lain yang memperjelas fenomena alam ini, dan hasilnya cukup
mengejutkan seperti di Tibet iklim mulai tidak stabil sejak Juni 1998 karena
terjadi gelombang udara panas, temperatur berkisar 250C selama 23 hari, kejadian
ini belum pernah terjadi sebelumnya. Kawasan Siberia, Eropa Timur dan Amerika
Utara yang terkenal dengan udara sangat dingin kini mulai menghangat. Di Kairo
pada Agustus 1998 tercatat suhu udara menembus angka 410C. Pada Agustus
1998 di Sidney Australia terjadi badai besar disertai hujan dengan curah hujan
mencapai tiga kali ukuran normal. Sementara di Indonesia, Meksiko, Spanyol dan
negara-negara lain di berbagai belahan dunia telah terjadi musim kering
berkepanjangan sebagai akibat badai tropis yang berujung pada terbakarnya hutan
jutaan hektar serta presipitasi hujan yang tinggi mengakibatkan bencana banjir
dan kegagalan panen9.

2.3.5. Penyebaran Berbagai Penyakit

Pemanasan global ternyata juga mulai memicu munculnya beberapa


serangan penyakit yang sebelumnya belum pernah ada pada daerah tertentu. Fakta
yang terjadi di kawasan pegunungan Andes Kolumbia - Amerika Tengah dengan
ketinggian 1.000 - 2.195 meter dari permukaan laut dilaporkan muncul nyamuk
penyebab penyakit malaria, demam berdarah dan demam kuning. Pada 1997 di
Papua, penyakit malaria terdeteksi untuk pertama kalinya pada pemukiman di
ketinggian 2.100 meter dari permukaan laut.

2.4. Upaya Pemerintah untuk Mereduksi Pemanasan Global

2.4.1. Protokol Kyoto

2.4.1.1. Pengertian Protokol Kyoto

8
Ibid.
9
Ibid.

20
Protokol Kyoto adalah sebuah amandemen terhadap Konvensi Rangka
Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC), sebuah persetujuan internasional
mengenai pemanasan global. Negara-negara yang meratifikasi protokol ini
berkomitmen untuk mengurangi emisi/pengeluaran karbon dioksida dan lima gas
rumah kaca lainnya, atau bekerja sama dalam perdagangan emisi jika mereka
menjaga jumlah atau menambah emisi gas-gas tersebut, yang telah dikaitkan
dengan pemanasan global.

Jika sukses diberlakukan, Protokol Kyoto diprediksi akan mengurangi rata-rata


cuaca global antara 0,02°C dan 0,28°C pada tahun 2050. (sumber: Nature,
Oktober 2003)

Nama resmi persetujuan ini adalah Kyoto Protocol to the United Nations
Framework Convention on Climate Change (Protokol Kyoto mengenai
Konvensi Rangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim). [1] Ia dinegosiasikan di
Kyoto pada Desember 1997, dibuka untuk penanda tanganan pada 16 Maret 1998
dan ditutup pada 15 Maret 1999. Persetujuan ini mulai berlaku pada 16 Februari
2005 setelah ratifikasi resmi yang dilakukan Rusia pada 18 November 2004.

2.4.1.2. Detil Protokol

Menurut rilis pers dari Program Lingkungan PBB:

"Protokol Kyoto adalah sebuah persetujuan sah di mana negara-negara


perindustrian akan mengurangi emisi gas rumah kaca mereka secara
kolektif sebesar 5,2% dibandingkan dengan tahun 1990 (namun yang
perlu diperhatikan adalah, jika dibandingkan dengan perkiraan jumlah
emisi pada tahun 2010 tanpa Protokol, target ini berarti pengurangan
sebesar 29%). Tujuannya adalah untuk mengurangi rata-rata emisi dari
enam gas rumah kaca - karbon dioksida, metan, nitrous oxide, sulfur
heksafluorida, HFC, dan PFC - yang dihitung sebagai rata-rata selama
masa lima tahun antara 2008-12. Target nasional berkisar dari
pengurangan 8% untuk Uni Eropa, 7% untuk AS, 6% untuk Jepang, 0%

21
untuk Rusia, dan penambahan yang diizinkan sebesar 8% untuk Australia
dan 10% untuk Islandia."

Protokol Kyoto adalah protokol kepada Konvensi Rangka Kerja PBB tentang
Perubahan Iklim (UNFCCC, yang diadopsi pada Pertemuan Bumi di Rio de
Janeiro pada 1992). Semua pihak dalam UNFCCC dapat menanda tangani atau
meratifikasi Protokol Kyoto, sementara pihak luar tidak diperbolehkan. Protokol
Kyoto diadopsi pada sesi ketiga Konferensi Pihak Konvensi UNFCCC pada 1997
di Kyoto, Jepang.

Sebagian besar ketetapan Protokol Kyoto berlaku terhadap negara-negara maju


yang disenaraikan dalam Annex I dalam UNFCCC.

2.4.1.3. Status persetujuan

Pada saat pemberlakuan persetujuan pada Februari 2005, ia telah


diratifikasi oleh 141 negara, yang mewakili 61% dari seluruh emisi. Negara-
negara tidak perlu menanda tangani persetujuan tersebut agar dapat
meratifikasinya: penanda tanganan hanyalah aksi simbolis saja. Daftar terbaru
para pihak yang telah meratifikasinya ada di sini.

Menurut syarat-syarat persetujuan protokol, ia mulai berlaku "pada hari ke-90


setelah tanggal saat di mana tidak kurang dari 55 Pihak Konvensi, termasuk
Pihak-pihak dalam Annex I yang bertanggung jawab kepada setidaknya 55 persen
dari seluruh emisi karbon dioksida pada 1990 dari Pihak-pihak dalam Annex I,
telah memberikan alat ratifikasi mereka, penerimaan, persetujuan atau
pemasukan." Dari kedua syarat tersebut, bagian "55 pihak" dicapai pada 23 Mei
2002 ketika Islandia meratifikasi. Ratifikasi oleh Rusia pada 18 November 2004
memenuhi syarat "55 persen" dan menyebabkan pesetujuan itu mulai berlaku pada
16 Februari 2005.

2.4.1.4. Status terkini para pemerintah

22
Hingga Februari 2005, 141 negara telah meratifikasi protokol tersebut,
termasuk Kanada, Tiongkok, India, Jepang, Selandia Baru, Rusia dan 25 negara
anggota Uni Eropa, serta Rumania dan Bulgaria.

Ada enam negara yang telah menanda tangani namun belum meratifikasi protokol
itu. Tiga di antaranya adalah negara-negara Annex I:

 Australia (tidak berminat untuk meratifikasi)


 Monako
 Amerika Serikat -- AS, pengeluar terbesar gas rumah kaca, tidak berminat
untuk meratifikasi.

Sisanya adalah: Kroasia, Kazakhstan, dan Zambia.

AS, Australia, Italia, Tiongkok, India dan negara-negara berkembang telah bersatu
untuk melawan strategi terhadap adanya kemungkinan Protokol Kyoto II atau
persetujuan lainnya yang bersifat mengekang.

2.4.2. Penggunaan Laut untuk Menyerap Karbon

Pemanfaatan sumber daya hayati perairan ini melalui riset bioteknologi


molekuler bukan hanya memberikan konstribusi pada pemenuhan kebutuhan
bahan pangan karena kandungan nutrisinya yang lengkap seperti kandungan asam
amino, vitamin, mikronutrien lainnya, asam-asam lemak, DHA dan EPA yang
sangat berguna, tetapi lebih jauh dapat mencakup area kegunaan yang sangat luas.
Di samping itu mikrolagae ternyata dapat berperan seperti layaknya mesin-mesin
mikroskopis yang mampu menyerap karbondioksida (CO2), di mana hampir 90%
dari jumlah karbon organik di laut yang diperkirakan sekitar 4,2 x 1011 ton ada
dalam bentuk terlarut yang dimanfaatkan oleh mikroorganisme untuk proses
pertumbuhan dalam suatu “microbial loop” (Jannasch, H.W and Wirsen, C.O.,
1995)

Kemampuan mikroalgae dalam menyerap karbon organik ini menjadi


landasan bagi ahli Jepang untuk mempelajari kemanfaatan mikroalgae bagi

23
kegiatan lainnya. Melalui Japan Times, kantor berita Kyodo, Jepang,
menginformasikan hasil temuan riset di sekitar Juni tahun 1997, yang menyatakan
bahwa kelompok peneliti Jepang dan dari pusat penelitian perusahaan Idemitsu
Kosan yang bekerjasama dengan perusahaan penyulingan minyak Okinawa telah
berhasil sukses dalam mengekstrak minyak dari jenis mikroalgae air tawar yang
dikenal sebagai Botryococcus bravnii. Rekayasa genetik telah mampu
meningkatkan kemampuan produktivitas mikroalgae ini dari awal penanaman
sejumlah 2 gram dihasilkan 10 gram dalam tempo waktu 10 hari di mana 50%
dari berat tersebut (5 gram) merupakan berat minyak yang dapat dihasilkan. Riset
juga melaporkan bahwa kualitas minyak yang dihasilkan memiliki kapasitas
panas yang ekuivalen dengan grade C dari heavy fuel oil yang biasa digunakan
oleh kapal motor (boat). Hasil temuan ini memberikan optimisme bahwa jika
mikroalgae ini dibudi-dayakan pada area seluas 60% Pulau Hokaido, maka akan
mampu menyerap seluruh karbondioksida (CO2) yang ada sebagai bahan polutan
di seluruh Jepang yang diserap oleh mikroalgae ini sebagai sumber karbon dalam
proses fotosintesisnya dan sekaligus memberikan harapan bagi kemungkinan
produksi minyak, yang berarti akan mereduksi ketergantungan Jepang terhadap
minyak sebagai sumber energi strategis bagi sebagian besar kegiatan industri dan
kehidupan di Jepang.

Sebagai negara yang kaya akan sumberdaya hayati, maka temuan ini
sekaligus memberikan harapan, bahwa di Indonesia juga memiliki peluang untuk
dikembangkan, namun kemampuan sumberdaya manusia dalam menguasai ilmu
dan teknologi menjadi hal yang mutlak harus dipenuhi sehingga kita tidak terus
harus terjebak pada ketidak-berdayaan sebagaimana gambaran kami terhadap
pemanfaatan Chlorella sebagai sumber bahan pangan, pakan dan obat-obatan
yang potensial yang ternyata belum mampu kita manfaatkan.

2.5. Apa Yang Dapat Kita Lakukan ?

Begitu banyak langkah yang telah dilakukan pemerintah untuk mengurangi


dampak dari pemanasan global. Lantas, apa yang dapat kita lakukan sebagai
masyarakat untuk mereduksi efek dari global warming tersebut ?

24
Hal-hal yang dapat dilakukan untuk mencegah kenaikan suhu permukaan muka
bumi (global warming):

1) Mengganti bola lampu model tahun 1878 dengan bola lampu fosfor CLF
yang berbentuk seperti es krim, karena bola lampu ini jauh lebih
menghemat 75% energi dan mempunyai daya hidup sepuluh kali lebih
lama dibanding bola lampu fluoroscen.

2) Lakukan pengomposan. Cacing-cacing kecil dapat membantu mengubah


sisa makanan dan sampah dapur menjadi pupuk organik. Proses
pengomposan organik juga menghasilkan CO2, tetapi 23 kali lebih sedikit
dibandingkan proses sekomposing di tempat pembuangan sampah umum.

3) Jangan gunakan styrofoam, karena styrofoam terbuat dari bahan bakar


fosil (3,2 gram untuk membuat satu cangkir kopi styrofoam) dan
membutuhkan waktu lama untuk terurai.

4) Membawa tas belanja pribadi yang dapat dipakai berulang kali, yang
terbuat dari bahan tahan lama seperti katun. Hindari tas plastik, yang
membutuhkan waktu seribu tahun agar dapat terurai. Sementara satu ton
kantong kertas dibuat dari sekitar 17 batang pohon dewasa.

5) Mematikan semua peralatan listrik yang tidak digunakan dan jangan


biarkan dalam posisi stand by. Jika satu juta rumah tangga melakukan hal
ini, sekitar 150.000 ton CO2 tidak terbuang sia-sia ke atmosfer.

6) Dukung sistem pertanian organik. Pertanian organik merupakan sistem


pertanian yang berpotensi untuk menyerap karbon (carbon sinks).
Penelitian terbaru menunjukkan 100.000 pertanian organik akan menyerap
pengeluaran CO2 dari 12 juta mobil. Sementara pertanian berskala industri
tidak sedikit pun menyerap CO2.

25
7) Membeli produk lokal yang dihasilkan petani lokal. Selain emisi yang
dikeluarkan dari transportasi lebih kecil, hal ini dapat mendukung ekonomi
pedesaan, melindungi keanekaragaman hayati dan menjaga kelangsungan
hidup bumi.

8) Menanam pohon dan berbagai bunga. Tanaman menyerap CO2 melalui


akar dan cabang-cabangnya. Tanaman bambu dapat lebih banyak
menyerap CO2 dan menghasilkan oksigen 35% lebih besar dari pohon
lainnya.

9) Menggunakan angkutan publik untuk perjalanan jauh. Pilih jalan kaki atau
sepeda untuk menempuh jarak dekat.

10) Aktif dalam menyebarkan kesadaran tentang dampak perubahan iklim dan
pastikan kepedulian ini juga didengar oleh para pembuat kebijakan.

11) Mendukung berbagai kegiatan untuk mengubah kebijakan dalam


menangani masalah pemanasan global.

26
BAB III – KESIMPULAN

Global Warming berdampak pada perubahan iklim yang mempengaruhi


manusia dan lingkungannya, seperti kenaikan permukaan air laut, dan kenaikan
intensitas serta frekuensi dari air hujan, badai tropis, serta kekeringan. Indonesia
sendiri sudah merasakan hal ini. Ancaman kehilangan pulau akibat kenaikan
permukaan air laut, bencana alam yang semakin sering terjadi, juga musim yang
semakin tidak menentu, menjadi bukti nyata dari akibat global warming di
Indonesia.

Tantangan untuk Indonesia sekarang adalah memiliki mekanisme yang


responsif untuk mengatasi masalah perubahan iklim ini secara tepat dan efektif.
Tindakan pencegahan di level nasional dan lokal pun perlu dilaksanakan segera
bersama dengan inisiatif internasional. Saat ini, Indonesia telah menunjukkan
perhatiannya dalam mengatasi masalah ini. Salah satunya adalah dengan
mengadakan UNCCC (United Nations Conference Climate Change) di Nusa Dua
Bali, Desember 2007.

27

You might also like