You are on page 1of 4

Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional .

Fakultas Ilmu Sosial dan


Ilmu Politik. Universitas Indonesia.

Kasus STPDN : Sebuah Kebobrokan Ideologi yang telah Mengakar

Oleh Erika, 0706291243

Judul : “Lingkaran Kekerasan STPDN”


Pengarang : Tb Ronny Nitibaskara
Data Publikasi : http://kompas.com/kompas-cetak/0309/26/opini/580421.htm

Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri, tadinya institut pendidikan ini


merupakan salah satu institut favorit, yang diidam-idamkan oleh banyak generasi
muda. Betapa tidak, institut ini telah berhasil mencetak calon-calon pamong praja
Indonesia. Itulah sebabnya, ribuan orang berlomba-lomba untuk dapat memasuki
STPDN. Namun, nama besar STPDN itu ternyata tidak menjamin bagusnya sistem
pendidikan di STPDN. Pada tahun 2000 lalu, masyarakat Indonesia dikejutkan dengan
fakta meninggalnya seorang praja STPDN bernama Erie Rakhman. Belum habis rasa
kaget masyarakat, berita mengejutkan kembali datang. Kali ini mengenai tewasnya
Wahyu Hidayat, yang diketahui tewas setelah mendapat pukulan bertubi-tubi dari
seniornya, pada tahun 2003 lalu. Kedua peristiwa ini tentunya membuat masyarakat
sadar, nama besar STPDN bukanlah jaminan bagusnya sistem pendidikan di sana.
Kabar terakhir yaitu terungkapnya kasus kematian Cliff Muntu, seorang siswa IPDN
dari Sulawesi Utara, akibat dipukul beramai-ramai oleh kakak kelasnya.

Ketiga kasus ini sudah cukup untuk menunjukkan kebobrokan yang terjadi pada
sistem STPDN, khususnya dalam bidang ideologinya. Oleh karena itu, lewat tulisan
ini, penulis ingin menjawab pertanyaan : sejauh mana peran ideologi berpengaruh
pada kekerasan yang terjadi di STPDN? Apakah ideologi yang dijalankan oleh para
praja STPDN, baik yang senior maupun yang yunior, yang menyebabkan lingkaran
kekerasan STPDN terus berlangsung dari generasi ke generasi? Pertanyaan inilah
yang akan coba dijawab melalui artikel dari Tb Ronny Nitibaskara.

Sebelum masuk ke dalam konteks Kasus STPDN, penulis ingin menjelaskan sedikit
mengenai ideologi.

-1-
Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik. Universitas Indonesia.

Dari segi etimologisnya, ideologi terdiri dari dua kata, yaitu idea dan logos. Idea
berarti gagasan, konsep, pengertian dasar, dan cita-cita. Sedangkan logos berarti
ilmu. Secara harafiah, ideologi berarti ilmu pengetahuan tentang ide-ide, atau
ajaran tentang pengertian-pengertian dasar1.

Ideologi sendiri dapat dimasukkan dalam kategori pengetahuan yang bersifat subjektif,
karena ideologi menghasilkan kebenaran-kebenaran yang dapat diterima dan diyakini
2
sebagai tujuan akhir . Ideologi bersumber pada filsafat, sehingga dalam
pelaksanaannya, ideologi sering disamaartikan dengan filsafat. Namun sebenarnya
ideologi dan filsafat itu adalah dua hal yang berbeda. Ada juga pendapat yang
mengatakan bahwa ideologi adalah keseluruhan sistem ide serta gagasan yang bersifat
relatif. Selain bersumber pada filsafat, ideologi juga bersumber pada ajaran agama,
atau pandangan hidup tertentu.

Mengenai sifatnya, ideologi mempunyai 4 sifat, yaitu power oriented, dogmatism


oriented, totalitarianism oriented, dan establishment oriented. Totalitarianism
oriented artinya ideologi memiliki sifat total, karena mengikat semua orang yang
menerima ideologi tersebut. Dogmatism oriented berati ideologi selalu meminta
kesetiaan tegas, tanpa kompromi. Establishment oriented yaitu bahwa ideologi sering
dipakai sebagai alat politik dari elite yang berkuasa dalam mempertahankan status
quo-nya.

Sudah bukan rahasia lagi, kekerasan, baik secara fisik maupun secara psikis, yang
terjadi dalam STPDN, merupakan suatu peristiwa yang telah mengakar lama dalam
sejarah keberadaan STPDN di Indonesia. Banyak dari masyarakat yang menyalahkan
pemerintah, karena pemerintah tidak mengambil langkah apa-apa untuk mengatasi
permasalahan ini. Sebenarnya, pemerintah sudah mengambil langkah mengadili para
tersangka kasus kekerasan STPDN. Pemerintah juga telah menyatukan STPDN
dengan IIP serta mengubah namanya menjadi IPDN, dengan harapan sistem
pendidikan di IIP dapat diadopsi oleh STPDN tersebut. Namun, penggantian institusi
dan pengubahan nama tersebut tetap tidak dapat menyelesaikan masalah. Lingkaran

1
Irmayanti Meliono, et, al., ed., “Modul 1 MPK Terintegrasi”, (Depok : Fakultas Ilmu Budaya, 2007),
hal. 122.
2
Ibid, hal. 123.

-2-
Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik. Universitas Indonesia.

kekerasan dalam STPDN tetap berlangsung. Sebenarnya, apa sajakah faktor-faktor


ideologi yang menyebabkan lingkaran kekerasan ini tetap berlangsung?

Lingkaran kekerasan STPDN sendiri tetap berlangsung karena adanya 2 faktor, yaitu
faktor ideologi dari senior, dan faktor ideologi dari yunior. Ideologi dari senior yang
dimaksud di sini dapat dibagi menjadi 2 hal. Pertama, karena para senior itu sudah
terbiasa dengan tradisi kekerasan yang terjadi dalam STPDN sebelumnya, maka
kekerasan itu menjadi dianggap wajar di tempat tersebut, meski amat bertentangan
dengan ideologi dalam masyarakat sendiri. Kedua, karena seorang senior sudah
terbiasa dengan lingkungan kekerasan, maka individu itu akan mendefinisikan
hubungan sosialnya dengan simbol kekerasan; individu ini boleh jadi akan terbiasa
bertingkah laku represif kapan pun dan di mana pun. Kedua hal tersebut terjadi karena
adanya penyimpangan-penyimpangan ideologi, yang terjadi dalam kalangan para
praja STPDN.

Terbentuknya lingkaran kekerasan ini, menurut Tb Ronny Nitibaskara, juga


diakibatkan karena ada kontribusi dari yuniornya sendiri. Sedikitnya ada tiga faktor,
yang mempengaruhi ideologi korban, yang dapat membantu kian solidnya lingkaran
kekerasan tersebut.
Pertama, Compliance, yunior patuh dan tidak melawan, karena hal ini dianggap
oleh yang bersangkutan sebagai usaha menghindarkan diri dari hukuman yang
lebih keras.
Kedua, identifikasi. Pada cara berpikir ini, yunior tabah menerima deraan karena
ia tidak mau dikeluarkan dari kelompok. Dorongan untuk tetap menjadi
mahasiswa membuat mereka tetap tabah, dan perlahan-lahan mulai mencari
pembenaran atas kekerasan yang berlangsung. Proses inilah yang nantinya akan
membekali para praja berlaku kejam pada mahasiswa yang datang kemudian.
Ketiga, internalisasi, pada tahap ini yunior berusaha menyerap semua yang
didapat di STPDN sebagai sesuatu yang baik, karena berada di kampus itu sudah
diidamkan sejak semula. Pandangan atau nilai pribadi dikalahkan agar dapat
menerima apa-apa yang baru dijumpai meski disadari, hal itu buruk. Proses inilah
yang nantinya akan melahirkan senior yang kaya death insting, yang melakukan
penganiayaan berat sebagai kesenangan.

-3-
Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik. Universitas Indonesia.

Ketiga faktor tersebut, jugalah merupakan contoh penyimpangan-penyimpangan


ideologi yang terjadi di kalangan praja yunior di STPDN. Ketiga penyimpangan
ideologi tersebut kian membantu makin kukuhnya lingkaran kekerasan yang terjadi di
STPDN.

Melihat berbagai uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa lingkaran kekerasan


STPDN sebenarnya terjadi karena faktor kebobrokan ideologi yang terjadi di
kalangan para praja yunior dan senior sendiri. Di sinilah peran ideologi menjadi
penting. Ideologi, yang berupa nilai tentang ajaran atau pengetahuan dasar, dari para
praja STPDN harus diperbaiki. Karena tanpa adanya perbaikan ideologi, rasanya
mustahil untuk dapat memutus lingkaran kekerasan ini.

-4-

You might also like