You are on page 1of 11

DIPLOMASI REGIONAL INDONESIA DALAM ASEAN

Studi Kasus mengenai Peran Indonesia sebagai Interlocuter ASEAN


dalam Penyelesaian Konflik Kamboja

KELOMPOK 11
Erika (0706291243)
Eryan Tri Ramadhani (0706291256)
Fatimah Az-zahro (0706291262)

Tugas Makalah untuk Mata Kuliah Diplomasi Indonesia


Program Studi S1 Reguler Ilmu Hubungan Internasional
Semester Genap 2007/2008

DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS INDONESIA
2008
Page | 1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


25 Desember 1978 merupakan saat yang menegangkan bagi Kamboja. Secara tiba-tiba, Vietnam
melakukan invansi ke wilayah Kamboja. Serangan ini tentu mengejutkan Kamboja, juga
negara-negara ASEAN lain, yang selama ini mengharapkan ZOPFAN (Zona Damai Bebas, dan Netral)
terlaksana di wilayah Asia Tenggara. Konflik ini tentu membuyarkan harapan akan terlaksananya
ZOPFAN dan membawa kembali campur tangan dari luar ke dalam wilayah Asia Tenggara. Invansi
Vietnam langsung memancing serangan RRC dan mendatangkan Uni Soviet1, sehingga selanjutnya
akan terbuka pula kesempatan campur tangan pasukan AS. ASEAN tentu tidak tinggal diam pada
campur tangan pihak luar dalam masalah regional ini. Berbagai langkah pun dilakukan ASEAN untuk
menyelesaikan konflik Kamboja tersebut. Dalam menyelesaikan konflik tersebut, ASEAN meminta
bantuan Indonesia yang terbilang dekat hubungannya dengan Vietnam untuk menjadi
interlocuter/rekan bicara bagi ASEAN.

1.2. Perumusan Masalah


Makalah ini membahas mengenai peran Indonesia sebagai perwakilan ASEAN dalam membantu
melakukan upaya penyelesaian konflik Kamboja. Berbagai bentuk penyelesaian konflik Kamboja
yang tidak dilakukan oleh Indonesia tidak akan dibahas dalam makalah ini, begitu juga dengan
tindakan-tindakan yang dilakukan Indonesia di luar payung ASEAN juga tidak akan dibahas dalam
makalah ini.

1.3. Kerangka Teori


Diplomasi sebagai suatu cara konvensional yang secara general dilakukan dalam penyelesaian sebuah
konflik, termasuk Konflik Kamboja, memiliki pengertian sebagai sebuah cara dalam hubungan
internasional dengan memakai jalan negoisasi daripada paksaan, propaganda, atau jalur hukum, untuk
tujuan damai (misalnya mengumpulkan informasi atau menimbulkan maksud baik) yang secara
sengaja maupun tidak sengaja direncanakan untuk sebuah negoisasi.2

Tujuan utama diplomasi adalah untuk menjamin keutuhan kedaulatan dan kemerdekaan negara serta
menjaga sistem politik, sosial, dan ekonomi yang berlaku.3 Sedangkan tugas utama diplomasi adalah
melindungi kepentingan negara dan para warga negaranya di luar negeri, sebagai badan perwakilan
(legal, symbolic, and social), pengamatan, dan pelaporan, dan yang paling penting negoisasi. 4
Berbeda dengan fungsi utama diplomasi yaitu untuk menyelesaikan berbagai perbedaan internasional
dengan penuh ketenangan lagi bersahabat melalui diskusi secara perundingan, yang diperlancar oleh
hubungan-hubungan pribadi yang baik dan saling pengertian.5

Region atau kawasan diartikan sebagai sekumpulan negara yang memiliki kedekatan geografis karena

1
C. P. F. Luhulima, ASEAN Menuju Postur Baru, (Jakarta: Centre of Strategic and International Studies, 1997), hal. 240.
2
G.R. Berridge, Diplomacy, Theory, and Practice, (London: Prentice Hall/Harvester Wheatsheaf, 1995), hal. 1.
3
K. J. Holsti, International Politics: Framework for Analysis, (New Jersey: Prentice Hall, 1992), hal. 145.
4
Joseph Frankel, International Relations, (London: Oxford University Press, 1972), hal. 99.
5
Lord Strang, Foreign Office, dalam Jusuf Badri, ed., Kiat Diplomasi, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993), hal. 23.
Page | 2
berada dalam satu wilayah tertentu6. Namun kedekatan geografis saja tidak cukup untuk menyatukan
suatu negara dalam satu kawasan regional. Hettne dan Soderbaun mengemukakan bahwa kedekatan
geografis tersebut perlu didukung adanya kesamaan budaya, keterikatan sosial dan sejarah yang sama7.
Dengan demikian, untuk menjadikan sekumpulan negara-negara menjadi suatu kawasan regional,
dibutuhkan keterikatan geografis dan struktural.

Kerjasama, didefinisikan sebagai “tindakan bekerja bersama-sama untuk mencapai suatu tujuan”8.
Kerjasama dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu kerjasama berlembaga dan kerjasama tanpa
lembaga. Kerjasama berlembaga adalah kerjasama yang dituangkan lewat lembaga-lembaga khusus
dalam mana anggota-anggotanya sangat terikat pada lembaga-lembaga itu. Kerjasama seperti ini
umumnya mempunyai ruang lingkup kawasan (region) atau sub-kawasan (sub-region), sehingga
sering disebut sebagai regional grouping (pengelompokan regional) atau kerjasama regional.9

Menyoal tentang kerjasama regional ini, ada baiknya kita sama-sama memahami dulu mengenai
pengertian regional itu sendiri. Region atau kawasan diartikan sebagai sekumpulan negara yang
memiliki kedekatan geografis karena berada dalam satu wilayah tertentu 10 . Namun kedekatan
geografis saja tidak cukup untuk menyatukan suatu negara dalam satu kawasan regional. Hettne dan
Soderbaun mengemukakan bahwa kedekatan geografis tersebut perlu didukung adanya kesamaan
budaya, keterikatan sosial dan sejarah yang sama11. Dengan demikian, untuk menjadikan sekumpulan
negara-negara menjadi suatu kawasan regional, dibutuhkan keterikatan geografis dan struktural.

Kerjasama regional merupakan salah satu jalan yang digunakan oleh banyak negara untuk membantu
mengatasi persoalan-persoalan dalam negeri juga persoalan-persoalan yang menyangkut hubungan
antar negara. Kerjasama regional juga diharapkan dapat mengurangi kecenderungan terjadinya konflik
antarnegara. Terselenggaranya iklim hubungan yang lebih harmonis karena berkurangnya konflik itu,
pada gilirannya diharapkan akan lebih mendorong lagi tercapainya usaha-usaha pembangunan
nasional, khususnya dalam bidang sosial dan ekonomi12.

Bagi kawasan Asia Tenggara, organisasi kerjasama regional yang paling menonjol adalah ASEAN
(Association of South East Asian Nations) atau Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara. ASEAN
hingga tingkat tertentu dipandang tidak saja mampu bertahan, tetapi juga mengalami
kemajuan-kemajuan penting bagi kesejahteraan dan perdamaian di kawasan Asia Tenggara,
khususnya dalam wilayah yang diliput oleh kerjasama regional ini.13

Untuk dapat semakin berkembang menjadi organisasi kerjasama regional yang baik, ada tiga hal yang
harus dipenuhi ASEAN. Ketiga hal tersebut dimuat dalam pembahasan mengenai “New Regional
Theory”, yaitu dukungan dari kekuatan besar di dalam kawasan (regional great power), tingkat

6
Craig A. Snyder, Contemporary Security and Strategy, (Palgrave : Macmillan, 2008), hal. 228.
7
B. Hettne dan Soderbaun, Theorizing the Rise of Regionnes, (London : Routledge, 2002), hal.39.
8
Estrelle D. Solidum, Towards A Southeast Asian Comunity, (Quezon City: Unv of Philipines Press, 1974), hal. 2.
9
M. Sabir, ASEAN, Kenyataan dan Harapan, (Jakarta: Pustaka harapan, 1992)
10
Craig A. Snyder, Contemporary Security and Strategy, (Palgrave : Macmillan, 2008), hal. 228.
11
B. Hettne dan Soderbaun, Theorizing the Rise of Regionnes, (London : Routledge, 2002), hal.39.
12
Nina Ernawati, Dinamika Polugri Indonesia 1945-1966 dalam Kaitannya dengan Peranan Indonesia dalam
Pembentukan ASEAN (8 Agustus 1967) dan Perkembangannya Hingga Tahun 1969, (Skripsi Fakultas Sastra Universitas
Indonesia, tidak diterbitkan).
13
Ibid.
Page | 3
interaksi antar negara dalam kawasan, dan saling kepercayaan antar negara dalam kawasan14. Dalam
penyelesaian konflik Kamboja yang akan dibahas dalam makalah ini, pentingnya faktor kedua dan
ketiga dalam proses menuju penyelesaian konflik sangatlah penting. Peran Indonesia sebagai
interlocuter ASEAN seyogyanya tidak akan berhasil bila negara-negara yang bertikai dalam konflik
tersebut tidak memiliki kepercayaan pada Indonesia, peran tersebut juga tidak akan berhasil bila
Indonesia jarang melakukan interaksi pada negara-negara yang bertikai tersebut.

14
B. Hettne, The New Regionalism : A Prologue, dalam B. Hettne, ed., The New Regionalism and the Future of Security
Development, (London : Macmillan, 2000).
Page | 4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Reaksi Indonesia terhadap Invasi Vietnam ke Kamboja


Sebagai bentuk pelaksanaan politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif, maka atas inisiatif
Indonesia pada tanggal 9 Januari 1979 di Jakarta, Menteri Luar Negeri Indonesia Mochtar
Kusumaatmadja yang berperan sebagai Ketua ASEAN Standing Committee mengeluarkan suatu
pernyataan yang menyesalkan peningkatan dan perluasan konflik antara kedua negara di Indocina,
yang akan mempengaruhi “perdamaian, keamanan, dan stabilitas di Asia Tenggara” 15 . Dalam
pernyataannya, Mochtar Kusumaatmadja meminta negara-negara ASEAN untuk:
“Strictly respect each other’s independence, souvereignty, territorial integrity and political system to
refrain from using force or threatening to use force in their billateral relations, from interfering in each
other’s internal affairs, and from carrying out subversive activities, directly or indirectly, againts each
other to settle all differences between the countries by peacefulmeans through negotiations, in a spirit on
equality, mutual understanding, and respect.” (Statement by the Indonesian Foreign Minister as
Chairman of the ASEAN Standing Committee on Escalation of the Armed Conflict between Vietnam and
Kampuchea, Jakarta, 9 January 1979, dalam Documents on the Kampuchean Problem, 1979-1985)16.

Walaupun dalam pidatonya tersebut tidak disebutkan secara eksplisit tentang masalah Indocina
(Indonesia meminta agar nama Indocina tidak disebut agar pernyataan itu dapat bersifat umum dan
dapat digunakan untuk kesempatan lain seperti misalnya dalam Piagam PBB dan Dasasila Bandung),
namun sebenarnya pernyataan itu dikeluarkan sebagai reaksi atas invasi Vietnam pada Kamboja.

Pidato ini kemudian menjadi dasar bagi pertemuan khusus para Menteri Luar Negeri yang
diselenggarakan di Bangkok tiga hari kemudian (12 Januari 1979). Dalam pertemuan itu, para Menteri
Luar Negeri meminta agar semua tentara asing segera ditarik kembali dari wilayah Kamboja. Namun
permintaan itu tidak digubris oleh Vietnam.

2.2. Keterlibatan Indonesia melalui ASEAN dalam resolusi konflik masalah Kamboja
Setelah diselenggarakannya pertemuan khusus para Menteri Luar Negeri di Bangkok, yang ternyata
hasilnya tidak digubris oleh Vietnam, Indonesia kemudian mengadakan pertemuan dengan Malaysia
di Kuantan, Pantai Timur Jasirah Malaya untuk membicarakan peredaan ketegangan antar negara
Indocina. Namun karena pertemuan di Kuantan ini tidak dilakukan dalam payung besar ASEAN,
pertemuan ini tidak dibahas lebih lanjut dalam makalah ini.

Usaha pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan masalah Kamboja tidak terhenti sampai di situ saja.
Pemerintah Indonesia tetap berusaha untuk memprakarsai berbagai upaya penyelesaian konflik
Kamboja. Hal ini dikarenakan hubungan Indonesia yang terbilang dekat dengan Vietnam dan
Kamboja, dua negara utama yang bertikai dalam konflik Kamboja. Itulah sebabnya mengapa Menteri
Luar Negeri RI pada Sidang Khusus Menteri Luar Negeri ASEAN di Jakarta pada bulan Mei 1984

15
Ibid.
16
Bangkok, Ministry of Foreign Affairs, 1985, 73.
Page | 5
ditunjuk sebagai rekan bicara (interlocuter) ASEAN dengan Vietnam 17 , hal ini dilakukan pada
Pertemuan Tahunan ASEAN Tingkat Menteri di Jakarta, yang tujuan pokoknya adalah rekonsiliasi
nasional dan penyelesaian konflik Kamboja melalui jalan damai.

Sehubungan dengan tugasnya sebagai interlocuter ASEAN, ada tiga upaya yang dilakukan Indonesia,
melalui wakilnya Menteri Mochtar Kusumaatmadja.
Upaya yang pertama adalah upaya yang dilakukan untuk menormalisasi hubungan Vietnam dengan
Amerika Serikat. Normalisasi ini dilakukan oleh Menteri Mochtar dengan mengembalikan kerangka
jenasah tentara Amerika Serikat yang hilang dalam Perang Vietnam. Langkah Menteri Mochtar ini
berhasil melunakkan sikap garang Amerika Serikat terhadap Vietnam.

Upaya kedua yang dilakukan Indonesia adalah dengan mengumumkan “Usul 12 Pasal” melalui
pertemuan untuk memperingati tiga puluh tahun Konferensi Asia Afrika yang diselenggarakan pada
April 1985 di Bandung. “Usul 12 Pasal” ini kemudian menjadi landasan penyelesaian politik masalah
Kamboja.

Usul-usul itu secara garis besar berisikan:


1. Kerangka pikir strategis. Di dalam butir ini, Amerika Serikat ditempatkan setingkat dengan Uni
Soviet dan RRC untuk menyelesaikan masalah Kamboja.
2. Sasaran strategis. Butir ini mengandung pengertian terbentuknya suatu Kamboja yang merdeka,
bebas, netral, dan non-aligned. “Bebas” di sini berarti terciptanya Kamboja yang nonkomunis.
“Netral” berarti penyelesaian masalah Kamboja memerlukan jaminan dari ketiga negara besar,
yaitu Amerika Serikat, Uni Soviet, dan RRC.
3. Kurun waktu. Penarikan pasukan Vietnam dari seluruh wilayah Kamboja perlu ditentukan dengan
jelas dan sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan.
4. Format konferensi terbatas. Hanya beberapa negara lah yang akan menghadiri konferensi, seperti
5 negara ASEAN, Vietnam, Laos, Dewan Keamanan PBB (Amerika Serikat, RRC, Uni Soviet,
Inggris, dan Perancis), serta Australia, India, dan Swedia.
5. Pembicaraan Antar-Pelaku Utama. Pelaku utama yang dimaksud di sini adalah Vietnam dan
CGDK (Coalition Government of Democratis Kampuchea, bentuk pemerintahan yang
merupakan gabungan dari kelompok-kelompok pelawan Vietnam di Kamboja).
6. Kerujukan nasional. Butir ini mengatakan agar semua faksi di Kamboja melakukan pembicaraan
langsung demi mewujudkan suatu kerujukan. Pembicaraan selanjutnya akan dikelola oleh
Pangeran Sihanouk.
7. Penarikan pasukan Vietnam. Ada dua konsep berbeda mengenai penarikan pasukan Vietnam ini.
Konsep pertama datang dari ASEAN yaitu supaya penarikan pasukan Vietnam dilakukan secara
bertahap mulai dari Muangthai sampai Kamboja. Konsep kedua datang dari Vietnam yang tidak
setuju penarikan dilakukan secara bertahap karena menurutnya penarikan secara bertahap malah
akan memungkinkan Khmer Merah masuk kembali ke Kamboja, seiring dengan penarikan
tersebut.
8. Zona keamanan. Vietnam menghendaki agar zona keamanan berada di Kamboja, sementara
Indonesia menghendaki zona keamanan berada di perbatasan Muangthai-Kamboja.
9. Pasukan internasional. Beberapa bentuk pasukan internasional adalah Pasukan Perdamaian dan

17
C. P. F. Luhulima, op. cit., hal. 242.
Page | 6
Pasukan Penyangga yang tugasnya akan dibicarakan kemudian.
10. Komisi pengawas internasional. Ada dua bentuk, yaitu Komisi Pengawas Internasional (ICC)
yang dibentuk di Jenewa pada 1954 dan Komisi Pengawas dan Pengamat Internasional (ICCS)
yang dibentuk di Paris tahun 1973.
11. Pemilihan Umum atau Referendum. Akan dilaksanakan oleh PBB dan berdasarkan hasilnya,
pemerintahan Kamboja yang baru akan dibentuk.
12. Pemerintah Kerujukan Nasional. Dipimpin Pangeran Sihanouk setelah tercapainya penyelesaian
politik atas Kamboja.
Usul ini sebenarnya merupakan gabungan usaha penyelesaian yang diajukan berbagai pihak, peran
Menteri Mochtar adalah menata semua usul tersebut sehingga semua pemikiran ke arah penyelesaian
konflik terwakili di dalamnya.

Pada akhir April 1987, dengan adanya perubahan politik dalam negeri Vietnam, Menlu Mochtar
Kusumaatmadja melakukan kunjungan ke Hanoi, Vietnam. Jalur diplomasi yang dilakukan
negara-negara ASEAN dan negara-negara besar lainnya ini akhirnya memaksa Vietnam untuk
menarik kembali pasukannya dari Kamboja. Di samping itu, kunjungan Menlu Mochtar
Kusumaatmadja ke Uni Soviet telah berhasil membujuk pemerintah Moskow agar lebih keras
mendesak Vietnam untuk segera menarik pasukannya dari Kamboja.

Hal ini sebenarnya juga terkait dengan keinginan Uni Soviet melalui Michael Gorbachevnya yang
ingin menormalisasi hubungan negaranya dengan RRC. RRC setuju untuk menormalisasi
hubungannya dengan US, asalkan US bersedia menarik mundur pasukan Vietnam dari Kamboja. US
pun setuju dengan syarat yang diajukan RRC ini; untuk mewujudkan hal itu, US kemudian mulai
mengurangi bantuan ekonomi dan militer untuk Vietnam. Sebagai hasilnya, pada tahun 1987, Vietnam
sepakat menarik 20.000 pasukannya. Selanjutnya tahun 1988, Vietnam menarik 50.000 pasukannya,
dan akhirnya semua pasukannya ditarik kembali pada tahun 1989 dengan tanpa syarat.

Penarikan mundur pasukan Vietnam dari Kamboja dapat terjadi bukan hanya karena pengaruh Uni
Soviet yang sedemikian besar pada Vietnam, namun juga karena berbagai pembicaraan dan pertemuan,
baik yang resmi maupun yang tidak resmi, yang diselenggarakan baik dalam ASEAN maupun di luar
ASEAN.

Pada November 1985, Mochtar Kusumaatmadja selaku Menteri Luar Negeri


Indonesia ,mengemukakan gagasan mengenai “Pembicaraan Tidak Resmi” (Cocktail Party). Di luar
dugaan, Vietnam memberikan respon positif terhadap gagasan Indonesia ini. Respon positif ini
ditunjukkannya dalam kunjungan Menteri Mochtar ke Hanoi untuk menemui Menteri Nguyen Co
Thach tanggal 27-29 Juli 1987, bahwa Indonesia dan Vietnam sepakat bahwa “suatu pertemuan
informal antara kedua pihak Kamboja diadakan tanpa syarat dan atribut politik”, dan atas dasar
persamaan derajat 18 . Setelah cocktail party tersebut, Vietnam juga setuju untuk mengadakan
pertemuan kedua dengan negara-negara lain untuk proses penyelesaian masalah Kamboja.
Kesepakatan untuk mengadakan cocktail party ini kemudian dikenal dengan Kesepakatan Ho Chi
Minh City (Ho Chi Minh City Understanding).
Pelaksanaan cocktail party yang bertempat di Jakarta tidak akan dibahas lebih lanjut dalam makalah

18
Ibid, hal. 245.
Page | 7
ini, karena penulis tidak menemukan peran ASEAN yang signifikan dalam cocktail party tersebut.
Cocktail party itu dilakukan Indonesia lepas dari embel-embel ASEAN untuk meningkatkan
hubungan baiknya dengan Vietnam.

Kelanjutan dari cocktail party tersebut adalah diselenggarakannya Pertemuan Informal Jakarta
(Jakarta Informal Meeting/JIM). JIM ini merupakan usaha pertama negara-negara ASEAN yang
berhasil membawa perubahan cukup signifikan dalam resolusi konflik di Kamboja. Tujuan JIM adalah
menyediakan suatu kerangka bagi pembicaraan informal antara pihak-pihak yang terlibat langsung
dan negara-negara lain dalam usaha menemukan suatu penyelesaian yang komprehensif, adil, dan
langgeng dengan memperhatikan kepentingan yang wajar semua pihak yang berkepentingan19.

Sebelum JIM I diselenggarakan, secara tiba-tiba Sihanouk selaku pemimpin CDGK mengundurkan
diri. Kendati Sihanouk mengejutkan ASEAN dan Indonesia dengan pengunduran diri sebagai
Presiden CDGK pada tanggal 10 Juli 1988—dua minggu sebelum JIM I mulai—Menteri Alatas
menyatakan bahwa JIM I akan berlangsung seperti yang sudah ditentukan (25-28 Juli 1988) dan
tidaklah penting siapa yang memimpin CDGK20.

JIM I berlangsung di Bogor dan dihadiri oleh enam negara anggota ASEAN (Indonesia, Malaysia,
Brunei, Singapura, Thailand, dan Filipina), Laos, Vietnam, dan empat faksi Kamboja (Kelompok
Demokratik Kampuchea, Front Pembebasan Nasional Rakyat Khemr, Front Uni National Pour un
Cambodge Independent Pacifique et Cooperatif, dan People Republic of Kampuchea. Tiga yang
disebut pertama adalah kelompok pelawan Vietnam di Kamboja, sedang kelompok terakhir mewakili
pemerintahan Vietnam di Kamboja).

Dalam JIM I tersebut dicapai kesepakatan di antara keempat faksi tentang elemen-elemen dasar
penyelesaian masalah Kamboja, yaitu:
1. Segera menghentikan penderitaan rakyat Kamboja.
2. Membentuk negara Kamboja yang bebas, berdaulat, netral, dan nonblok.
3. Membentuk Pemerintahan Rekonsiliasi Nasional.
Hasil JIM I yang dinilai cukup maju adalah sebagai berikut :
1. Kesediaan Vietnam untuk menarik mundur pasukannya dari Kamboja sebagai bagian dari
keseluruhan penyelesaian politik masalah Kamboja.
2. Pengkaitan penyelesaian masalah Kamboja dengan perlunya langkah-langkah untuk
mencegah berkuasanya kembali rejim Pol Pot di Kamboja.
3. Disepakati bersama pembentukan kelompok kerja yang akan mempelajari aspek-aspek khusus
penyelesaian politik di Kamboja dan menyampaikan usulan-usulan tersebut
selambat-lambatnya pada akhir Desember 1988 sebagai masukan bagi pertemuan berikutnya.

Karena JIM I dianggap belum menghasilkan suatu bentuk perdamaian yang signifikan, timbul
keputusan untuk kembali menyelenggarakan JIM II, yang diadakan di Jakarta tanggal 19-21 Febuari
1989. Pertemuan tersebut dihadiri oleh delegasi dari keempat faksi yang bertikai di Kamboja, Laos,
Vietnam, Filipina, Thailand, Malaysia, Singapura, Brunei, dan Indonesia. Dalam pelaksanaan JIM II,

19
Ibid, hal. 246.
20
Rodney Tasker dan Robert Delfs, FEER, 14-7-1988: 12.
Page | 8
Menteri Alatas selaku wakil dari Indonesia mendekati setiap delegasi untuk mendapatkan konsesi
mereka, yang kemudian dituangkan dalam 19 butir Pernyataan Konsensus Ketua JIM. Hal ini jelas
merupakan bukti nyata peran Indonesia dalam menyelesaikan konflik Kamboja yang dilakukannya
melalui mediator ASEAN.

Page | 9
BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan pada bagian sebelumnya, dapat diambil beberapa kesimpulan


mengenai peran dan kontribusi Indonesia dalam penanganan Konflik Kamboja yang terjadi karena
adanya invasi Vietnam ke negara Mekong ini. Persepsi Indonesia mengenai Konflik Kamboja, baik
dari segi Vietnam sebagai penginvasi maupun Kamboja sebagai yang diinvasi, memang berbeda
dengan mayoritas negara anggota ASEAN lainnya. Namun hal ini tidak menghalangi Indonesia untuk
menjalankan tugasnya sebagai interlocuter ASEAN dalam penyelesaian konflik Kamboja dengan
baik.
Indonesia sebagai salah satu anggota ASEAN merasa memiliki kewajiban untuk ikut
berkontribusi dalam penanganan penyelesaian konflik antara Vietnam dan Kamboja. Bersama-sama
dengan negara-negara anggota ASEAN lainnya, Indonesia berusaha keras menciptakan perdamaian
dan ditunjuk sebagai interlocuter dalam resolusi Konflik Kamboja. Sebagai interlocuter, Indonesia
melalui Menlu-nya pada masa itu mengupayakan cara-cara yang dinilai cukup efektif untuk
menciptakan perdamaian dengan cepat. Cara-cara tersebut antara lain dengan normalisasi hubungan
AS-Vietnam dan usulan “12 Pasal”. Selain itu, Indonesia juga mengadakan kunjungan ke Uni Soviet
untuk membicaran Konflik Kamboja dan sekaligus membujuk US untuk memaksa Vietnam menarik
pasukannya dari Kamboja. Keberhasilan Indonesia ini dilanjutkan dengan penyelenggaraan JIM I di
Bogor yang menghasilkan beberapa keberhasilan, yang akhirnya berbuntut pada kesediaan Vietnam
menarik mundur pasukannya dari Kamboja. Keberhasilan JIM I juga diikuti oleh pelaksanaan JIM II
yang pada akhirnya melahirkan “19 Butir Pernyataan Konsensus Ketua JIM”.
Usaha yang dilakukan Indonesia melalui ASEAN pada akhirnya membuahkan keberhasilan
dengan ditariknya pasukan Vietnam dari Kamboja, serta terciptanya perdamaian di kawasan Asia
Tenggara, terutama kawasan Indocina.

Page | 10
DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Dewi Fortuna. 1994. Indonesia in ASEAN, Foreign Policy and Regionalism. Singapore:
Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS).
Berridge, G. R. 1995. Diplomacy, Theory, and Practice. London: Prentice Hall/Harvester Wheatsheaf.
Ernawati, Nisa. Tanpa tahun. Dinamika Polugri Indonesia 1945-1966 dalam Kaitannya dengan
Peranan Indonesia dalam Pembentukan ASEAN (8 Agustus 1967) dan Perkembangannya
Hingga Tahun 1969. Skripsi Fakultas Sastra Universitas Indonesia, tidak diterbitkan.
Frankel, Joseph. 1972. International Relations. London: Oxford University Press.
Luhulima, C. P. F. 1997. ASEAN Menuju Postur Baru. Jakarta: Centre of Strategic and International
Studies.
Hettne, B. 2000. The New Regionalism: A Prologue. Dalam The New Regionalism and The Future of
Security Development, diedit oleh B. Hettne. London: Macmillan.
Hettne, B., dan Soderbaun. 2002. Theorizing the Rise of Regionnes. London: Routledge.
Holsti, K. J. 1992. International Politics: Framework for Analysis. New Jersey: Prentice Hall
Ministry of Foreign Affairs. 1985. Bangkok.
Sabir, M. 1992. ASEAN, Kenyataan dan Harapan. Jakarta: Pustaka Harapan.
Solidum, Estrelle D. 1974. Towards a Southeast Asian Community. Quezon City: University of
Philipines Press.
Snyder, Craig A. 2008. Contemporary Security and Strategy. Palgrave: Macmillan.
Strang, Lord. 1993. Foreign Affairs. Dalam Kiat Diplomasi, diedit oleh Jusuf Badri. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan.
Tasker, Roney dan Robert Delfs. FEER, 14 Juli 1988, edisi 12.

Rujukan dari internet:


Apriliani, Wiwien, dkk. Teori Regionalisme. http://skiasyik.wordpress.com/2008/03/25
/teori-regionalisme/, diakses pada 10 Mei 2008, pukul 20.36.

Page | 11

You might also like