Professional Documents
Culture Documents
Disusun oleh :
Universitas Indonesia
2008
Page | 1
BAB I
PENDAHULUAN
Page | 2
Makalah ini akan memaparkan mengenai penggunaan hak veto yang dimiliki Rusia sejak
1945 hingga 2008, dengan memusatkan pembicaraan pada masalah Perang Korea yang terjadi
pada 1950-1953. Makalah ini kemudian akan menganalisa latar belakang dari veto yang
dikeluarkan Uni Soviet pada resolusi PBB sehubungan dengan Perang Korea tersebut, mengenai
perbenturan kepentingan yang terjadi dalam PBB semasa Perang Korea.
1
Kelly-Kate S. Pease, International Organizations : Perspective on Governance in The Twenty-First Century,
(New Jersey: Prentice Hall.Inc, 2000), hal. 46.
2
Clive Archer. International Organizations, (London : Routledge, 2000), hal. 79.
3
Jill Steans dan Lloyd Pettiford. International Relations Perspectives and Themes, (England: Pearson Education
Limited, 2001), hal. 23.
4
Ibid, hal. 26.
Page | 3
dominan dalam organisasi internasional, betapa organisasi internasional hanya merupakan
perpanjangan tangan dari negara berkuasa, seperti yang diutarakan kaum realis.
Page | 4
BAB II
PEMBAHASAN
5
Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pengetahuan Dasar Tentang Perserikatan Bangsa-Bangsa, hal. 9.
6
International Security and Institutions Research Group, “Vetoed Draft Resolutions in the United Nations Security
Council 1946-2008”, http://www.fco.gov.uk/resources/en/pdf/4175218/vetoes-2008-2, diakses pada 14 Oktober
2008, pukul 20.05.
Page | 5
2.2. Veto Rusia dari Masa ke Masa
120
100
80
20
0
Uni Soviet Amerika Inggris Perancis China
Serikat
Veto Rusia
90
80
70
60
50
40 Veto Rusia
30
20
10
0
1946-1955 1956-1965 1966-1975 1976-1985 1986-1995 1996-2008
Sebagai salah satu anggota tetap Dewan Keamanan PBB, Rusia memiliki hak istimewa
untuk menolak resolusi yang diajukan kepada Dewan Keamanan PBB (hak veto). Dalam
menggunakan hak vetonya, Rusia termasuk negara yang paling banyak mengeluarkan hak veto.
Dari 214 resolusi yang diveto oleh DK, 124 veto dikeluarkan oleh Rusia. Ini berarti, 50 persen
dari resolusi yang dikeluarkan dalam sidang DK, diveto oleh Rusia. Pada periode awal
berdirinya PBB (1946-1955), USSR melemparkan 80 veto dari total 82 veto. Sebagian besar
veto ini dilemparkan dengan cara menolak masuknya negara-negara baru ke dalam keanggotaan
PBB. USSR cenderung menolak negara-negara baru rekomendasi Barat.
Dekade berikutnya (1956-1965), dapat dilihat bahwa isu-isu yang diveto mulai beragam.
Namun, USSR tetap menjadi negara yang paling banyak menggunakan hak vetonya (26 veto).
Ini tidak termasuk penggunaan veto dalam isu masuknya negara-negara baru, di mana Rusia
Page | 6
melemparkan 6 veto. Veto lainnya dilemparkan Rusia dalam isu Krisis Suez dan Hongaria,
Jammu dan Kashmir, pesawat pemantau Amerika Serikat, protes masyarakat Libanon terhadap
Siria, masalah Kongo, Kuwait dan Goa, Palestina, dan regulasi Malaysia-Indonesia.
Dekade ketiga (1966-1975), diawali dengan peningkatan jumlah negara anggota tidak
tetap DK, dari 6 menjadi 10 anggota. Ini dikarenakan ada tekanan dari Gerakan Non-Blok.
Penggunaan hak veto tidak lagi didominasi oleh USSR, anggota tidak tetap DK, terutama negara
dunia ketiga, mulai aktif menggunakan hak vetonya. Negara dunia ketiga mulai memperlihatkan
pengaruhnya dalam menyikapi isu-isu internasional, atas dasar kepentingan nasional
masing-masing. USSR hanya memberikan 7 veto, veto terbanyak dilakukan oleh Amerika
Serikat. USSR melemparkan vetonya terhadap resolusi yang memuat isu Palestina (1966 dan
1972), Czechoslovakia (1968), Bangladesh (1971), dan Syprus (1974).
Pada dekade 1976-1985, Amerika Serikat melemparkan 34 veto, Inggris 11 veto,
Perancis 9 veto, dan USSR dengan 6 veto. Veto-veto yang dilemparkan oleh USSR ditujukan
terhadap resolusi isu invasi Vietnam ke Kamboja, invasi Uni Soviet ke Afganistan (1980),
ajakan mengecaman Iran atas tindakannya menawan orang Amerika (1980), penembakan mati
pesawat sipil Korea Selatan (1983), dan peningkatan usaha peacekeeping militer PBB di
Libanon (1984). Penurunan penggunaan hak veto oleh USSR pada tahun 1966-1985, sebanding
dengan berkurangnya hak veto yang digunakan USSR untuk menghalangi masuknya
negara-negara baru ke dalam PBB. Pada masa itu, negara-negara baru yang masuk adalah
negara Dunia Ketiga yang bukan merupakan ancaman besar dalam bargaining power USSR di
PBB.
Terjadi perubahan pola pelemparan veto setelah berakhirnya Perang Dingin, di akhir
tahun 1980. Jumlah veto yang dikeluarkan pun menunjukkan penurunan pada periode
1986-1995. Amerika Serikat melemparkan 23 veto, Inggris 8 veto, Perancis 3 veto, dan Rusia
(sebagai pengganti USSR) 2 veto. Pada akhir 1980-an, terjadi perubahan pola tingkah laku pada
USSR, terjadi peningkatan kerja sama antara negara-negara anggota tetap DK. USSR mulai
menunjukkan etika baik. Hal ini terlihat dalam kesatuan suara dan pandangan dalam menyikapi
invasi Irak ke Kuwait Agustus 1990. Perpecahan internal dalam tubuh USSR pada akhir 1991
membawa Rusia sebagai penggantinya menjadi anggota tetap DK. Rusia ingin memperjelas
sikapnya yang menentang penggunaan dana dalam operasi-operasi peacekeeping tambahan PBB,
seperti yang akan terjadi dalam pandanaan UNFICYP, dianggap sebagai penggunaan dana oleh
PBB berdasarkan Artikel 17(2). Veto ini dilemparkan dalam konteks peningkatan penggunaan
dana yang signifikan dalam operasi peacekeeping PBB sejak awal 1980-an. Rusia selanjutnya
memveto sebuah draft resolusi non-aliansi (196) (Cina abstain), resolusi tersebut memuat
aplikasi tegas berupa sanksi-sanksi tertentu pada Republik Fedral Yugoslavia. Rusia
mempertimbangkan bahwa resolusi ini merupakan pengetatan sanksi yang menentang RFY
padahal RFY sedang mengupayakan usaha damai.
Jumlah veto yang dikeluarkan menunjukkan penurunan antara tahun 1996-2008. Dalam
periode ini, Amerika Serikat melempar 12 veto, Cina 4 veto, dan Rusia 3 veto, sedangkan
Perancis dan Inggris sama sekali tidak melakukan veto. Veto yang pertama kali dilancarkan oleh
Rusia ditujukan terhadap rancangan resolusi terhadap Siprus. Resolusi tersebut menyatakan
persetujuan operasi PBB di Siprus serta pengoperasian embargo militer, namun rancangan ini
kemudian diveto oleh Rusia dengan alasan resolusi tersebut tidak seharusnya dijalankan selama
hasil referendum Siprus tahun 2004 belum diketahui. Tahun 2007, Rusia beserta Cina
Page | 7
menggunakan hak vetonya terhadap resolusi yang diajukan oleh Perancis dan Inggris terhadap
Myanmar. Rancangan resolusi tersebut menyatakan dukungan Dewan Keamanan terhadap misi
Sekretaris Jendral untuk memaksa dihentikannya serangan militer pemerintah Myanmar
terhadap warga sipilnya, dan membuka adanya dialog politik yang berbuntut terhadap transisi
Myanmar menjadi negara demokratis. Argumen Rusia dan Cina adalah bahwa masalah yang
terjadi di Myanmar adalah masalah internal dalam negara berdaulat tersebut, dan tidak memiliki
pengaruh terhadap dunia internasional. Oleh karena itu, rancangan resolusi tersebut secara tidak
langsung merupakan bentuk intervensi terhadap kedaulatan negara-negara di dunia. Hal ini pun
kembali terulang saat Rusia dan Cina kembali melakukan veto terhadap masalah Zimbabwe
dengan alasan serta argumen yang sama.
Dari veto-veto yang dikeluarkan Rusia sejak tahun 1946-2008 terdapat kecenderungan
bahwa Rusia mencoba melebarkan kepentingan nasionalnya sehubungan dengan perluasan
paham komunisme di dunia. Salah satu upaya yang dilakukan Rusia adalah dengan
mempertahankan powernya dalam PBB dengan menghalangi bertambahnya anggota-anggota
baru PBB, di mana dalam hal ini negara-negara tersebut memiliki paham yang bertentangan
dengan paham dirinya, terutama paham demokrasi. Usaha menghalangi masuknya anggota baru
dengan paham demokrasi tersebut bertujuan untuk mempertahankan kondisi “balance of power”
dalam PBB; Rusia merasa bila jumlah negara demokrasi anggota PBB bertambah, hal tersebut
akan menurunkan bargaining power negara-negara komunis anggota PBB, termasuk dirinya.
Perluasan ideologi komunis Uni Soviet terutama terlihat dalam penolakan yang ia berikan
terhadap dua resolusi PBB pada tahun 1950. Kedua resolusi yang dimaksud berisi pengaduan
atas agresi terhadap Korea Selatan. Bab selanjutnya kemudian akan lebih menjelaskan mengenai
Perang Korea dan keterlibatan Soviet di dalamnya.
Page | 8
Australia, dan Britania Raya. Itu tidak termasuk berbagai negara yang mengirimkan pasukannya
atas nama PBB. Inilah yang menyebabkan Perang Korea disebut juga sebagai „perang yang
dimandatkan‟ atau Proxy War. Dalam perang tersebut Uni Soviet mengaku mengirimkan
penasehat-penasehat perang sedangkan Cina mengirimkan pasukannya. Namun sebenarnya
keterlibatan Uni Soviet tidak hanya dalam bentuk pengiriman penasehat-penasehat perang saja,
melainkan juga pengiriman armada perang yang akan dibahas lebih lanjut pada sub-judul
selanjutnya. Pada makalah ini penulis akan memfokuskan pada upaya-upaya yang dilakukan
Rusia dalam membantu Korea Utara.
Sebenarnya, perang tersebut terjadi karena adanya upaya pihak komunis untuk
menyebarkan pengaruhnya ke wilayah Asia Timur dan Asia Tenggara. Amerika Serikat yang
mengetahui hal tersebut buru-buru mengupayakan berbagai usaha untuk mencegah komunisme
masuk ke Asia Timur. Namun, komunisme telah berhasil masuk melalui Korea bagian Utara.
Amerika Serikat tetap berusaha untuk menangkal pergerakan komunisme Korea Utara ke arah
selatan, yaitu dengan cara memasok persenjatan secara tidak langsung. Upaya Amerika tersebut
ternyata gagal meredam pergerakan komunisme, sehingga ia kemudian meminta bantuan PBB
untuk turun tangan membela Korea bagian selatan.
Perang akhirnya berakhir tanpa kemenangan bagi pihak mana pun dan membagi Korea
menjadi dua wilayah hingga sekarang ini, Korea Utara yang berhaluan komunis dan Korea
Selatan yang berhaluan liberalis kapitalis. Hingga sekarang ini, Korea Demiliterized Zone
(KDM), sebagai perbatasan antar kedua negara, menjadi kawasan perbatasan yang paling
bersenjata di dunia.
In politics, men spend their power to get what they desire (Karl W. Deutsch)
Perang Korea yang mulai meletus sejak Juni 1950 ini sejatinya kian mempertebal
kegalauan yang menyelimuti nuansa perang dingin. Permusuhan dan kebencian nyatanya tidak
hanya mewarnai hubungan antara Korea Utara dan Korea Selatan, namun merembes hingga
menyulut perdebatan sengit di Dewan Keamanan PBB (DK PBB). Perdebatan inilah yang
menjadi inti analisis kami. Dalam tiga tahun berlangsungnya Perang Korea, Uni Soviet
(sekarang menjadi Rusia) telah mengeluarkan tiga veto yang pada dasarnya menentang resolusi
PBB terkait larangan terhadap negara-negara untuk membantu pecahan Korea Utara dan Korea
Selatan yang tengah berperang. Dalam veto ini, kita sekiranya bisa melihat betapa kuatnya
intensi Uni Soviet dalam menyokong kemampuan militer Korea Utara. Tidak hanya terbatas
pada intensi dan dukungan Uni Soviet, keunikan kasus veto Perang Korea juga dapat disoroti
dari keterlibatan China, dan Amerika Serikat yang menjadi elemen utama dari anggota tetap DK
PBB. Uni Soviet yang didukung oleh Cina secara radikal aktif mengambil stand yang
bertentangan dengan Amerika Serikat. Dukungan Soviet terhadap Korea Utara serta sebaliknya,
dukungan Amerika Serikat terhadap Korea Selatan kemudian menuai kontroversi yang
melahirkan interpretasi yang begitu ambigu. Sejumlah kalangan memandang bahwa perang
Korea atau yang lebih dikenal dengan proxy war ini telah menjelma menjadi perang ideologi
antara Uni Soviet dan AS dalam konteks hegemony maintenance dan pursuit of power.
Page | 9
Pandangan ini kemudian mengepulkan pertanyaan yang menjadi instrumen penting dalam
memahami veto Uni Soviet. Alasan apakah yang sejatinya mendasari putusan US dalam
menelurkan tiga rentetan veto ini?
Perang Korea mulanya diyakini sebagai perang saudara yang timbul karena
gagalnya upaya unifikasi di bawah satu payung pemerintahan. Namun entah kenapa,
permasalahan yang hanya berakar dari ketidaksepahaman Korea Utara dan Korea Selatan yang
memilih untuk menjadi dua negara terpisah ini justru mengundang ketertarikan dari Uni Soviet
dan Amerika Serikat untuk aktif berkecimpung di dalamnya. Sebagai gambaran umum, Korea
Utara dan Korea Selatan sejatinya memang memiliki ideologi yang berbeda di tengah hubungan
Uni Soviet-Amerika Serikat yang juga sedang diliputi ketegangan dalam konteks dunia yang
bipolar. Korea Utara yang memilih untuk menerapkan ideologi komunisme secara historis jelas
memiliki kedekatan dengan Cina yang pada waktu itu bersahabat dekat dengan Uni Soviet,
sementara Korea Selatan kemudian perlahan justru merenda hubungan baik dengan Amerika
Serikat. Namun ketika perpecahan antara Korea Utara dan Korea Selatan yang masih bersikeras
menginginkan terjadinya unifikasi mulai membuncah, sikap Uni Soviet dan Amerika Serikat
yang kelabakan dan justru mengobarkan peperangan rasanya tetap terkesan sangat ironis.
Keluarnya resolusi PBB yang menghimbau tindakan saling serang serta keterlibatan pihak luar
dihentikan justru berakhir dengan respon getir Uni Soviet yang secara tegas menjatuhkan veto.
Veto ini jelas mengindikasikan fakta tak terbantahkan bahwa kemenangan Korea Utara terhadap
Korea Selatan adalah tujuan utama yang ingin diraih oleh Uni Soviet. Namun alasan utama yang
mendorong Uni Soviet untuk mengeluarkan veto ini rasanya masih sangat kabur, kompleks, dan
sedikit sulit untuk dipahami. Keputusan veto yang mencengangkan dunia internasional ini
tentunya berawal dari faktor-faktor internal yang secara nasional mempengaruhi kebijakan luar
negeri Uni Soviet. Karenanya, untuk mendapat kesimpulan akurat tentang alasan keluarnya veto
ini, maka sangatlah penting rasanya untuk memahami kebijakan luar negeri yang pada saat itu
tengah diusung oleh Uni Soviet.
Sebelum menilik lebih jauh kedalam kebijakan luar negeri Uni Soviet, terlebih dahulu
akan disajikan sejumlah konsep yang memudahkan kita dalam memahami keberadaan kebijakan
luar negeri tersebut. Secara teoretis, meminjam definisi yang digaungkan oleh Christol Rodee
Anderson dalam buku International Politics, kebijakan luar negeri adalah formulasi dan
implementasi dari sejumlah prinsip yang membentuk pola perilaku negara ketika berunding
dengan negara lain untuk melindungi kepentingan vitalnya. Pemenuhan-pemenuhan kepentingan
melalui kebijakan luar negeri ini dalam skala lebih besar terkait dengan konsep power seperti
yang pernah dijelaskan oleh Schumann. Kebijakan luar negeri adalah suatu ungkapan dari hasrat
negara terhadap kekuasaan (power)7. Lebih jauh menyoroti power, pandangan Schumann yang
dikutip oleh Evan Luard dalam buku yang bertajuk Basic Text of International Relations,
menyebutkan bahwa munculnya konsep power interest sejatinya bermula dari hubungan,
kompetisi, dan konflik antar negara. Konsep yang unik kemudian dimunculkan oleh Karl W.
Deutsch yang menyoroti bahwa berbagai bentuk implementasi power dalam hubungan
internasional sebenarnya dimaksudkan untuk mencapai tujuan akhir berupa power lebih besar.
Power yang makin menguat ini lah yang menjadi landasan syah bagi hegemoni suatu negara
untuk menjadi negara maha besar yang ditakuti dan menjadi pemimpin dunia dalam hubungan
7
Evan luard. Basic Text of International Relations. (London : Macmillan Academic and Professional LTD, 1992),
hal. 276.
Page | 10
internasional. Rangkaian teori tentang kebijakan luar negeri ini kemudian ditutup oleh
pandangan Schwarzenberger yang menyatakan bahwa, the exercise of power itu sendiri kerap
dipicu oleh sejumlah alasan yang secara spesifik mempengaruhi suatu negara.
Meneruskan analisis ke dalam pembahasan yang lebih riil, penulis kemudian akan
menggambarkan kebijakan luar negeri yang dianut oleh Stalin sebagai pemicu utama bagi
munculnya veto dalam kasus Perang Korea. Menapaki jejak-jejak historis yang ditorehkan oleh
Stalin, maka Perang Korea bukanlah satu-satunya peristiwa penting yang menandai cerita kelam
kebijakan luar negeri Uni Soviet. Namun dalam pemerintahan yang berlangsung selama 29
tahun ini, berbagai implementasi kebijakan luar negeri Stalin sejatinya menyiratkan suatu
karakter dasar. Karakter dasar dari kebijakan luar negeri ini uniknya juga merupakan cerminan
dari watak Stalin yang dengan kediktatorannya menentukan semua derap langkah Uni Soviet.
Menariknya, E. H. Carr, seorang pemikir realis yang meminjam pandangan Trotsky, mengatakan
bahwa Stalin bukanlah figur yang menelurkan ide, sama sekali hampa dari pemikiran-pemikiran
original, dan cenderung menjadi produk politik dari pengalaman hidupnya. 8 Menyoal
pengalaman hidup yang membesarkan Stalin, maka kata tunggal yang mampu menggambarkan
watak Stalin adalah “keras”. Dibesarkan dalam keluarga petani, Stalin menjadi sangat terkenal
dalam ranah politik dan jamak dibenci oleh lawan-lawan politiknya. Hal inilah yang sejatinya
membangun sifat keras dalam sifat Stalin. Sebuah situs Inggris, revision-note.co.uk, pernah
menyebutkan pola politik Stalin yang senang menyingkirkan lawan-lawan politiknya dengan
bersekutu, dan setelah berhasil kemudian juga menyerang pihak-pihak yang pernah menjadi
sekutunya.9 Inilah yang kemudian diadopsi dalam menyusun kebijakan luar negerinya. Dalam
hubungan internasional, kebijakan luar negeri Stalin, sesuai dengan kebijakan politik domestik,
cenderung berusaha untuk menyingkirkan negara-negara yang menghalangi pencapaian
kepentingannya. Pertanyaan yang terkait dengan preferensi kebijakan luar negeri ini adalah
kepentingan apa yang sebenarnya ingin diperjuangkan Uni Soviet dibawah rezim Stalin?
Jawaban yang menyoroti kepentingan Stalin inilah yang seyogyanya begitu terkait
dengan kebijakan Uni Soviet dalam menjatuhkan veto terhadap resolusi perang korea.
Gambaran yang paling jelas terhadap kepentingan Uni Soviet ini dapat dipahami dari pernyataan
pribadi Stalin yang kembali dikutip oleh revision-note.co.uk. Dalam pernyataan ini, Stalin
mengajukan pertanyaan yang berbunyi “Do you want our Socialist fatherland to be beaten and
to lose its independence?”. Pertanyaan yang mencoba menarik dukungan komunitas sosialis ini
kemudian diakhiri dengan seruan tegas berbunyi “If you do not want this you must put an end to
this backwardness as speedily as possible and develop genuine Bolshevik speed in building up
the Socialist system of economy. Either we do it or they crush us.”10 Kesimpulan eksplisit dari
kilasan pernyatan Stalin ini pada akhirnya melahirkan kesimpulan penting yang menjadi esensi
dari kebijakan luar negeri Uni Soviet. Bahwa pencapaian yang diinginkan oleh Stalin sejatinya
merupakan hegemoni tunggal dari paham sosialis dan komunis dalam tatanan internasional.
Dengan kata lain, Stalin sangat ingin menciptakan suatu sistem dunia dengan pola hidup,
pemerintahan, politik, dan ekonomi yang mengusung jiwa sosialis. Cara-cara pencapaian
hegemoni sosialis inilah yang mempengaruhi kebijakan luar negeri Uni Soviet yang aktif
8
E.H. Carr. Socialism in One Country 1924- 1926, Vol. 1, (London : Macmillan, 1958), hal. 174-186.
9
Why Was Stalin Able to Obtain Control? Diakses dari http://Revision-note.co.uk/revision/57.html pada tanggal 16
0ktober 2008 pada pukul 21.09.
10
Ibid.
Page | 11
mencoba menyebarkan paham komunis ke berbagai negara di dunia.
Terkait dengan penyebaran paham komunis ini, Korea Utara melalui
perjanjian-perjanjian yang dia lakukan dengan Uni Soviet berusaha untuk memenuhi
kepentingannya sendiri. Uni Soviet pun meggunakan pengaruhnya pada Korea Utara agar dapat
memasang satelit komunisme pada benua Asia dan juga untuk memenuhi kepentingan
ekonominya seperti emas, beras, dan mineral. Dapat dilihat bahwa hubungan antara Korea Utara
dan Uni Soviet bersifat mutual dimana masing-masing memiliki kepentingannya sendiri yang
secara langsung maupun tidak langsung terpenuhi melalui kerjasama.Namun, kerjasama yang
telah dijalin antara Korea Utara dan Uni Soviet ini belum cukup memberikan alasan bagi Uni
Soviet untuk membantu dan mendukung agresi Korea Utara terhadap Korea Selatan. Faktor
pemicu munculnya dukungan Uni Soviet terhadap ide penyatuan Korea oleh Korea Utara justru
berasal dari China yang saat tengah menjalin hubungan akrab dengan Soviet melalui aliansi
Sino-Soviet. Sejak tahun 1945 hingga tahun 1950, Stalin telah menolak permintaan Kim Il Sung
untuk mengiijinkannya menginvasi Korea Selatan karena kekhawatirannya terhadap intervensi
Amerika Serikat.11 Dalam suasana perang dingin seperti ini, kedua negara adidaya -Amerika
Serikat dan Uni Soviet- cenderung terus menghindari konfrontasi langsung antar keduanya
sehingga langkah-langkah yang dapat memicu persengketaan senjata sangatlah dihindari oleh
Uni Soviet. Namun, pada awal tahun 1950 Mao Ze Dong melalui saran dan pendapat yang ia
berikan dapat menyakinkan Stalin bahwa intervensi Amerika tidak akan terjadi sehingga Stalin
pun akhir memutuskan untuk mendukung rencana Kim Il Sung untuk menyerang Korea
Selatan.12
Namun, ada hal yang perlu diperhatikan lebih lanjut mengenai keterlibatan dari Uni
Soviet dan armada perangnya dalam agresi Korea Utara tersebut. Tentunya jika kita melihat
konteks perang dingin yang sedang terjadi saat itu dan sokongan Amerika Serikat pada
pemerintahan Korea Selatan maka kedua hal tersebut jelas memberikan motivasi bagi Uni
Soviet untuk membantu rencana penguasaan Korea oleh Korea Utara. Menurut Sergey S.
Radchenko dalam The Cold War International History Project terbitan Woodrow Wilson
International Center for Scholars, The White House bahkan menggangap bahwa agresi tersebut
masih merupakan bagian dari rencana Uni Soviet untuk mengalihkan perhatian Amerika Serikat
dari Vietnam dan melemahkan kekuatan Amerika untuk dapat membendung ekspansi
komunisme di dunia.
Sebagian besar orang tidak lagi meragukan bahwa Uni Soviet telah melatih dan
memfasilitasi KPA (Korean People‟s Army) pimpinan Kim Il Sung dan menyediakan senjata
kepada Chinese People‟s Volunteer Army (CPVA) di bawah Mao Zedong.13 Hal ini terbukti dari
arsip-arsip pemerintahan Russia yang saat ini telah dipublikasikan keluar meskipun sebenarnya
masih banyak lagi dokumen negara yang disimpan secara rahasia. Meskipun begitu, keterlibatan
armada perang Uni Soviet pada masa itu belum diketahui banyak orang. Pilot-pilot pesawat
11
Mark O‟Neil. Soviet Involvement in the Korean War: A New View from the Soviet-era Archives OAH Magazine of
History. http://www.oah.org/pus/megagreen/korea/oneill.html, diakses pada tanggal 14 Oktober 2008, pukul
21.45 WIB.
12
Chen Jian, The Sino-Soviet Alliance and China’s Entry Into The Korean War, http://www.wilsoncenter.org
/topics/pubs/acfae7.pdf, diakses pada tanggal 14 Oktober 2008 pukul 21.13 WIB.
13
Mark O‟Neil. Soviet Involvement in the Korean War: A New View from the Soviet-era Archives
OAH Magazine of History. http://www.oah.org/pus/megagreen/korea/oneill.html, diakses pada tanggal 14 Oktober
2008, pukul 21.45 WIB.
Page | 12
tempur yang ikut berperang tidak hanya berasal dari RRC tapi juga berasal dari kaum kulit putih
yand tidak lain adalah Soviet. Terdapat sekitar 42,000 pasukan Soviet yang ikut ambil bagian
dalam konflik ditambah lagi dengan kontingen-kontingen yang mencapai 25,000 orang—hal ini
berlum termasuk 1,500 pilots yang dibantu oleh staff maintenance. 14 Sedangkan menurut
intelegen Amerika diperkirakan terdapat 20-25,000 pasukan yang dikirim Uni Soviet setelah
keadaan stabil dan mereka pun tidak terlibat saat perperangan sengit.15
Untuk memastikan bahwa perang yang Uni Soviet bantu akan ia menangi tidaklah
cukup hanya dengan mengawasi dari kejauhan. Oleh karena itu merupakan hal yang logis jika
Stalin saat itu merasa bahwa armada perangnya perlu turun tangan meskipun hanya dalam
jumlah dan aksi yang terbatas. Terlihat secara jelas bahwa pemerintahan Soviet melihat dan
memperlakukan semenanajung Korea sebagai hal yang strategis dan penting untuk menjadi
tempat yang potensial untuk melaksanakan aksi agresif di daerah Asia.
Selanjutnya untuk mengetahui sampai sejauh mana sebenarnya kepentingan Soviet
pada agresi Korea Utara maka perlu dibahas pula hubungan antara kedua aktor sejak beberapa
tahun ke belakang. Menjelang tahun 1948-1950, Uni Soviet melakukan serangkaian perjanjian
dengan DPRK (Democratic People Republic of Korea) mengenai berbagai macam isu. Uni
Soviet setuju untuk terus menyediakan senjata dan peralatan pada Korea Utara, di lain pihak
Korea Utara juga setuju untuk membayar barang-barang tersebut sebagian dengan emas dan
sebagian lagi dengan beras dan mineral.16 Selain itu pada tahun-tahun menjelang serangan
Korea Utara, tepatnya pada tanggal 27 Augustus 1949 terdapat sebuah laporan mengenai
pertemuan antara Pak Hon-yong, menteri luar negari dari DPRK, dan G.I. Tunkin dari Kedutaan
Soviet. Isi dari pertemuan yang dilaksanakan berkat permintaan Hon-Yong tersebut adalah
mengenai pemberitahuan kepada Tunkin bahwa China telah meminta DPRK untuk mengirim
tambahan 8-10 kilowatts listrik dari pembangkit listrik Supun.
Dengan dukungan Soviet baik melalui penyediaan peralatan dan senjata serta
pengiriman pasukan perangnya tersebut, serangan Korea Utara pun akhirnya dapat dilancarkan
juga pada tanggal 25 Juni 1950. Dapat disimpulkan bahwa Soviet memiliki beberapa
kepentingan terhadap serangan Korea Utara yaitu untuk menyebarkan ideologi komunis dan
pengaruh Soviet di benua Asia sekaligus juga untuk mempertahankan keuntungan ekonomi yang
ia peroleh dari kerjasamanya dengan Korea Utara. Dengan kepentingan Soviet tersebut untuk
juga menyukseskan penyatuan Korea secara sepihak ini, tentulah masuk akal jika Soviet sampai
melakukan veto terhadap Resolusi PBB yang mengutuk agresi yang dilakukan oleh Korea Utara.
Padahal di lain pihak masyarakat internasional khususnya Amerika serikat dan
negara-negara Barat merasa bahwa serangan tersebut tidak dapat dibenarkan. Isu ini pun dibawa
oleh mereka yang merasa keberatan ke Majelis Umum PBB. Serangan Korea Utara yang
sepihak ini dianggap sebagai aksi pelanggaran kedaulatan negara Korea Selatan dan kejahatan
terhadap penduduk Korea Selatan. Hal itu dirasakan bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar
14
Robert Eksuzyan, Little fanfare for Soviet Korean war veterans, http://www.aeronautics.ru/nws002/
korean_war_soviet_pilots_reuters.htm, diakses pada tanggal 14 Oktober 2008, pukul 21.32 WIB
15
Igor N. Gordelianow. Soviet Air Aces of the Korean War, http://aeroweb.lucia.it/rap/RAFAQ/SovietAces.html,
diakses pada 14 Oktober 2008 pukul 21.26 WIB
16
Kathryn Weathersby. Soviet Aims In Korea and The Origins Of The Korean War 1945-1950: New Evidence From
Russian Archives. http://wwics.si.edu/topics/pubs/ACFB76.pdf, diakses pada 14 Oktober 2008 pukul 20.58
WIB.
Page | 13
dari PBB. Setelah berhasil meyakinkan mayoritas anggota PBB bahwa serangan tersebut perlu
ditanggapi secara serius, Amerika Serikat mengajukan sebuah resolusi untuk mengutuk serangan
tersebut dan juga mendorong pengiriman pasukan PBB ke dalam zona konflik. Terlebih
didukung dengan konteks persebaran kekuatan yang saat itu bipolar, Amerika Serikat juga
memanfaatkan keterlibatan Soviet dalam aksi ini dan menggunakan resolusi ini untuk menekan
kekuataannya. Namun, pada kenyataannya resolusi tersebut tidak pernah disetujui dan
terlaksana karena resolusi tersebut bertentangan dengan kepentingan salah satu anggota tetap
DK PBB yaitu Uni Soviet.
Page | 14
BAB III
KESIMPULAN
Dalam kasus Perang Korea, keluarnya veto terhadap empat resolusi PBB sejatinya
dapat dipahami sebagai upaya Uni Soviet dalam mewujudkan kepentingannya. Kepentingan ini
pada dasarnya terkait dengan sejumlah konsep betajuk ideologi dan ekonomi. Secara ideologis,
intensi Stalin dalam konteks pursuit of power dan hegemony maintenance telah melahirkan
alasan Uni Soviet dalam menebar pengaruh dan menanamkan hegemoni di Korea Utara. Dari
segi ekonomi, dukungan Uni Soviet terhadap Korea Utara untuk memenangkan perang tentunya
menawarkan keuntungan ekonomi yang teramat menguntungkan. Alasan ideologi dan ekonomi
inilah yang pada akhirnya mendorong Uni Soviet menceburkan diri dalam Perang Korea dan
menjatuhkan veto terhadap resolusi PBB.
Jika kita melihat fungsi PBB yang seharusnya untuk menjaga ketertiban dunia dan
keamanan internasional maka hal apapun yang bertentangan ataupun menghalangi tercapainya
tujuan ini seharusnya dapat ditumpas atau dihancurkan. Namun, terlihat bahwa meskipun hal
tersebut sudah diajukan oleh Majelis Umum dan disetujui oleh mayoritas anggota PBB tapi hal
itu tetap tidak dapat dilaksanakan. Hak veto yang diberikan pada negara-negara yang berkuasa
setelah perang dunia kedua pun akhirnya dijadikan alat untuk menjustifikasi aksi yang dilakukan
maupun yang didukung oleh negara-negara yang memiliki kekuatan yang besar. Dengan veto ini
dengan kata lain negara besar dapat mengontrol dan menghancurkan pencapaian negara-negara
kecil. Resolusi PBB yang merupakan kumpulan pendapat dan suara dari negara-negara anggota
PBB yang sudah dipersatukan dan disimpulkan secara susah payah dapat dengan mudah
dihancurkan oleh satu kepentingan negara besar. Sehingga dapat dikatakan bahwa fungsi
organisasi internasional khususnya dalam kasus ini PBB tidak berjalan dengan seharusnya dan
malah hanya sebagai institusi semu yang ditunggangi oleh kepentingan negara yang berkuasa.
Dapat disimpulkan bahwa pandangan realisme yang skpetis terhadap fungsi organisasi
internasional dapat dibenarkan. Organisasi internasional tidak ada bedanya dengan alat atau
perpanjangan tangan kepentingan negara-negara besar yang selalu akan berjalan atau ditentukan
oleh kepentingan-kepentingannya. Perang korea yang terjadi ini merupakan implikasi dari
pertentangan dan perebutan kekuasaan serta pengaruh antara Amerika Serikat dan Uni Soviet.
Amerika Serikat tidak menyetujui langkah frontal yang dilakukan Korea Selatan dan menolak
secara keras agresi tersebut dalam PBB. Namun, Uni Soviet yang memiliki kepentingan akan
penyebaran komunisme ke Asia dapat mengagalkan upaya penolakan tersebut hanya dengan
mengunakan hak vetonya. Apalagi dalam hal ini demi memenuhi kepentingannya tersebut
penyebarannya perlu dimulai dari penaklukan Korea sehingga Korea Selatan dibutuhkan untuk
menyusupkan komunis dari Korea Utara. PBB di sini pada akhirnya tidak lain hanya menjadi
medan pertempuran dan perebutan kekuasaan dari kedua negara adidaya ini.
Page | 15
DAFTAR PUSTAKA
Eksuzyan, Robert. Little fanfare for Soviet Korean war veterans. http://www.aeronautics.ru
/nws002/ korean_war_soviet_pilots_reuters.htm. 14 Oktober 2008, 21.32.
International Security and Institutions Research Group. Vetoed Draft Resolutions in the United
Nations Security Council 1946-2008. http://www.fco.gov.uk/resources
/en/pdf/4175218/vetoes-2008-2. 14 Oktober 2008, 20.05.
Gordelianow, Igor N. Soviet Air Aces of the Korean War. http://aeroweb.lucia.it/rap/RAFAQ
/SovietAces.html. 14 Oktober 2008, 21.26
Jian, Chen. The Sino-Soviet Alliance and China’s Entry Into The Korean War. http://www.wilson
center.org /topics/pubs/acfae7.pdf. 14 Oktober 2008, 21.13.
O‟Neil, Mark. Soviet Involvement in the Korean War: A New View from the Soviet-era Archives
OAH Magazine of History. http://www.oah.org/pus/megagreen/korea/oneill.html. 14
Oktober 2008, 21.45.
Russian Archives. http://wwics.si.edu/topics/pubs/ACFB76.pdf. 14 Oktober 2008, 20.58.
Weathersby, Kathryn. Soviet Aims In Korea and The Origins Of The Korean War 1945-1950:
New Evidence From
Why Was Stalin Able to Obtain Control? http://Revision-note.co.uk/revision/57.html. 16 0ktober
2008, 21.09.
Page | 16
LAMPIRAN
Veto USSR 61
N Tangg Masalah Keterangan
o. al
Page | 28
1 15 Invasi Vietnam atas Panggilan untuk melakukan gencatan
14 Januari Kamboja senjata dan penarikan kembali seluruh pasukan
1979 militer asing dan memohon Secretary General
untuk meloporkan perkembangan menuju
implementasi tidak lebih dari dua minggu.
Jumlah veto : 2, abstain : -
Negara yang juga mem-veto : Cheko
1 16 Situasi Asia Tenggara Panggilan untuk penghentian peperangan
15 Maret 1979 dan implikasinya dan penarikan kembali pasukan militer mereka
terhadapa perdamaian dan oleh seluruh kelompok politik ke negara
keamanan internasional. masing-masing.
Jumlah veto : 2, abstain : -
Negara yang juga mem-veto : Cheko
1 7 Invasi Soviet atas Panggilan untuk penarikan kembali seluruh
16 Januari Afganistan pasukan asing secepatnya dan tanpa syarat.
1980 Jumlah veto : 2, abstain : -
Negara yang juga mem-veto : GDR
1 13 Panggilan untuk Jumlah veto : 2, abstain : -
17 Januari persetujuan menolak Iran Negara yang juga mem-veto : GDR
1980 karena penyanderaan atas
orang Amerika
1 12 Penembakan jatuh Melarang keras penghancuran civil airliner
18 September oelh Uni Soviet terhadap dan mangundang Secretary General untuk
1983 civil airliner Korea mengatur sebuah investigasi dan melaporkan
Selatan hasil penemuannya dalam waktu 14 hari.
Jumlah veto : 2, abstain : 4 (China,
Guyana, Nikaragua, Zimbabwe)
Negara yang juga mem-veto : Polandia
1 29 Peran Amerika Mengeluarkan seruan mendesak untuk
19 Februari Serikat di Libanon melakukan gencatan senjata secara cepat dan
1984 menetukan untuk mendirikan militer PBB di
kawasan Beirut yang terpilih, apabila sesuai dari
militer sementar PBB di libanon dengan misi
pemantauan kepatuhan dengan gencatan senjata.
Jumlah veto : 2, abstain : -
Negara yang juga mem-veto : Ukraina
1 11 Situasi di Siprus Memberlakukan biaya UNFICYP sebagai
20 April 1993 pengeluaran PBB berdasarkan artikel 17 (2)
dengan efek, sejak mandat untuk
memperpanjangan pengeluaran UNFICYP, perlu
dilakukan pembahasan ulang, menambah
sejumlah pengamat pengintai untuk membantu
pembahasan ulang tersebut, dan memandatkan
DK untuk membuat sebuah laporan satu bulan
Page | 29
sebelum pembahasan ulang.
Jumlah veto : 1, abstain : -
Negara yang juga mem-veto : -
1 2 Situasi di Republik Penetapan kembali
21 Desember Bosnia dan Herzegovina Jumlah veto : 1, abstain : 1 (China)
1994 Negara yang juga mem-veto : -
Sumber : http://www.globalpolicy.org
Page | 30