Professional Documents
Culture Documents
dalam tubuh atau akumulasi bilirubin dalam darah lebih dari 5 mg/dl dalam 24 jam
Ikterus neonatorum
I. Definisi
Ikterus adalah menguningnya sklera, kulit atau jaringan lain akibat penimbunan bilirubin
dalam tubuh atau akumulasi bilirubin dalam darah lebih dari 5 mg/dl dalam 24 jam, yang
menandakan terjadinya gangguan fungsional dari hepar, sistem biliary, atau sistem
hematologi. Ikterus dapat terjadi baik karena peningkatan bilirubin indirek ( unconjugated )
dan direk ( conjugated ) .
II. Etiologi
Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh bermacam-macam keadaan. Penyebab yang
tersering ditemukan disini adalah hemolisis yang timbul akibat inkompabilitas golongan
darah ABO atau defisiensi enzim G6PD. Hemolisis ini juga dapat timbul akibat perdarahan
tertutup (hematom cefal, perdarahan subaponeurotik) atau inkompabilitas darah Rh, infeksi
juga memegang peranan penting dalam terjadinya hiperbilirubinemia; keadaan ini terutama
terjadi pada penderita sepsis dan gastroenteritis. Beberapa faktor lain adalah
hipoksia/anoksia, dehidrasi dan asidosis, hipoglikemia, dan polisitemia.
III. Epidemiologi
Pada sebagian besar neonatus, ikterik akan ditemukan dalam minggu pertama kehidupannya.
Dikemukan bahwa angka kejadian iketrus terdapat pada 60 % bayi cukup bulan dan 80 %
bayi kurang bulan. Ikterus ini pada sebagian penderita dapat berbentuk fisiologik dan
sebagian lagi patologik yang dapat menimbulkan gangguan yang menetap atau menyebabkan
kematian.
IV. Patolofisiologi
Bilirubin merupakan produk yang bersifat toksik dan harus dikeluarkan oleh oleh tubuh.
Sebagian besar hasil bilirubin berasal dari degredasi hemoglobin darah dan sebagian lagi
berasal dari hem bebas atau dari proses eritropoesis yang tidak efektif. Pembentukan
bilirubin tadi dimulai dengan proses oksidasi yang menghasilkan biliverdin serta beberapa zat
lain. Biliverdin inilah yang mengalami reduksi dan menjadi bilirubin bebas atau bilirubin IX
alfa. Zat ini sulit larut dalam air tetapi larut dalam lemak, karena mempunyai sifat lipofilik
yang sulit diekskresi dan mudah melalui membrane biologic seperti placenta dan sawar darah
otak. Bilirubin bebas tersebut kemudian bersenyawa dengan albumin dan dibawa ke hepar.
Dalam hepar terjadi mekanisme ambilan, sehingga bilirubin terikat dengan oleh reseptor
membran sel hati dan masuk ke dalam sel hati. Segera setelah ada dalam sel hati, terjadi
persenyawaan dengan ligandin ( protein-Y), protein-Z, dan glutation hati lain yang
membawanya ke reticulum endoplasma hati, tempat terjadinya proses konjugasi. Proses ini
timbul berkat adanya enzim glukoronil transferase yang kemudian menghasilkan bentuk
bilirubin direk. Jenis bilirubin ini larut dalam air dan pada kadar tertentu dapat diekskresikan
melalui ginjal. Sebagian besar bilirubin yang terkonjugasi ini diekskesi melalui duktus
hepatikus ke dalam saluran pencernaan dan selanjutnya menjadi urobilinogen dan keluar dari
tinja sebagai sterkobilin. Dalam usus sebagian diarbsorbsi kembali oleh mukosa usus dan
terbentuklah proses arbsorpsi enterohepatik.
Sebagian besar neonatus mengalami peningkatan kadar bilirubin indirek pada hari-hari
pertama kehidupan. Hal ini terjadi karena terdapatnya proses fisiologik tertentu pada
neonatus. Proses tersebut antara lain karena tingginya kadar eritrosit neonatus, masa hidup
eritrosit yang lebuh pendek (80 – 90 hri ), dan belum matangnya fungsi hepar.
Peningkatan kadar bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan. Kejadian tersering
adalah apabila terdapat pertambahan beban bilirubin pada sel hepar yang berlebihan. Hal ini
dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran eritrosit, polisitemia, memendeknya
umur eritrosit bayi/janin, meningkatnya bilirubin dari sumber lain, atau terdapatnya
peningkatan sirkulasi enterohepatik.
Gangguan ambilan bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan kadar bilirubin
tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein-Y berkurang atau pada keadaan protein-Y
dan protein-Z terikat oleh anion lain, misalkan pada bayi dengan asidosis atau keadaan
anoksia/hipoksia. Keadaan lain yang dapat memperlihatkan peningkatan kadar bilirubin
adalah apabila ditemukan konjugasi hepar ( defisiensi enzim glukoronil transferase ) atau
bayi menderita gangguan eksresi, misalnya penderita hepatitis neonatal atau sumbatan
saluran empedu ekstra/intrahepatik.
V. Diagnosis
Anamnesis ikterus pada riwayat onstetri sebelumnya sangat membantu dalam menegakan
diagnosis hiperbilirubnemia pada bayi. Termasuk anamnesis mengenai riwayat
inkompabilitas darah, riwayat transfusi tukar atau terapi sinar pada bayi sebelumnya.
Disamping itu faktor risiko kehamilan dan persalinan juga berperan dalam diagnosis dini
ikterus/hiperbilirubinemia pada bayi. Faktor risiko itu antara lain adalah kehamilan dengan
komplikasi, obat yang diberikan pada ibu selama hamil/persalinan, kehamilan dengan
diabetes mellitus, gawat janin, malnutrisi intrauterine, infeksi intranatal, dan lain-lain.
Secara klinis ikterus pada bayi dapat dilihat segera setelah lahir atau setelah beberapa hari
kemudian. Pada bayi dengan peninggian bilirubin indirek, kulit tampak berwarna kuning
terang sampai jingga, sedangkan pada penderita dengan gangguan obstruksi empedu warna
kuning kulit tampak kehijauan. Penilaian ini sangat sulit dikarenakan ketergantungan dari
warna kulit bayi sendiri.
Tanpa mempersoalkan usia kehamilan atau saat timbulnya ikterus, hiperbilirubinemia yang
cukup berarti memerlukan penilaian diagnostic lengkap, yang mencakup penentuan fraksi
bilirubn langsung (direk) dan tidak langsung (indirek) hemoglobin, hitung lekosit, golongan
darah, tes Coombs dan pemeriksaan apusan darah tepi. Bilirubinemia indirek, retikulositosis
dan sediaan apusan memperlihatkan petunjuk adanya hemolisis akibat nonimunologik. Jika
terdapat hiperbilirunemia direk, adanya hepatitis hepatitis, fibrosis kistis dan sepsis. Jika
hitung retikulosit, tes Coombs dan bilirubin indirek normal, maka mungkin terdapat
hiperbilirubinemia indirek fisiologis atau patologis.
Ikterus fisiologis. Dalam keadaan normal, kadar bilirubin indirek dalam serum tali pusat
adalah 1 – 3 mg/dl dan akan meningkat dengan kecepatan kurang dari 5 mg/dl /24 jam;
dengan demikian ikterus baru terlihat pada hari ke 2 -3, biasanya mencapai puncak antara
hari ke 2 – 4, dengan kadar 5 – 6 mg/dl untuk selanjutnya menurun sampai kadar 5 – 6 mg/dl
untuk selanjutnya menurun sampai kadarnya lebih rendah dari 2 mg/dl antara hari ke 5 – 7
kehidupan.
Hiperbilirubin patologis. Makna hiperbilirubinemia terletak pada insiden kernikterus yang
tinggi , berhubungan dengan kadar bilirubin serum yang lebih dari 18 – 20 mg/dl pada bayi
aterm. Pada bayi dengan berat badan lahir rendah akan memperlihatkan kernikterus pada
kadar yang lebih rendah ( 10 – 15 mg/dl)
VI. Diagnosis banding
Ikterus yang timbul 24 jam pertatama kehidupan mungkin akibat eritroblstosis foetalis,
sepsis, rubella atau toksoplasmosis congenital. Ikterus yang timbul setelah hari ke 3 dan
dalam minggu pertama, harus dipikirkan kemungkinan septicemia sebagai penyebabnya.
Ikterus yang permulaannya timbul setelah minggu pertama kehidupan memberi petunjuk
adanya septicemia, atresia kongental saluran empedu, hepatitis serum homolog, rubella,
hepatitis herpetika, anemia hemolitik yang disebabkan oleh obat-obatan dan sebagainya.
Ikterus yang persisten selama bulan pertama kehidupan memberi petunjuk adanya apa yang
dinamakan “inspissated bile syndrome”. Ikterus ini dapat dihubungkan dengan nutrisi
parenteral total. Kadang bilirubin fisiologis dapat berlangsung berkepanjangan sampai
beberapa minggu seperti pada bayi yang menderita penyakit hipotiroidisme atau stenosis
pylorus.
VII. Komplikasi
Kernikterus adalah suatu sindrom neurologik yang timbul sebagai akibat penimbunan tak
terkonjugasi dalam sel-sel otak
VIII. Terapi
Tujuan utama penatalaksanaan ikterus neonatal adalah untuk mengendalikan agar kadar
bilirubin serum tidak mencapai nilai yang dapat menimbulkan kernikterus/encefalopati
biliaris, serta mengobati penyebab langsung ikterus tersebut. Pengendalian bilirubin juga
dapat dilakukan dengan mengusahakan agar kunjugasi bilirubin dapat dilakukan dengan
megusahakan mempercepat proses konjugasi. Hal ini dapat dilakukan dengan merangsang
terbentuknya glukoronil transferase dengan pemberian obat seperti luminal atau fenobarbital.
Pemberian substrat yang dapat menghambat matabolisme bilirubin ( plasma atau albumin ),
mengurangi sirkulasi enterohepatik ( pemberian kolesteramin ), terapi sinar atau transfusi
tukar, merupakan tindakan yang juga dapat mengendalikan kenaikan kadar bilirubin.
Fototerapi. Ikterus klinis dan hiperbilirubin indirek akan berkurang kalau bayi dipaparkn pada
sinar dalam spectrum cahaya yang mempunyai intensitas tinggi. Bilirubin akan menyerap
cahaya secara maksimal dalam batas wilayah warna biru ( mulai dari 420 – 470 nm ).
Bilirubin dalam kulit akan menyerap energi cahaya, yang melalui fotoisomerasi mengubah
bilirubin tak terkonjugasi yang bersifat toksik menjadi isomer-isomer terkonjugasi yang
dikeluarkan ke empedu dan melalui otosensitisasi yang melibatkan oksigen dan
mengakibatkan reaksi oksidasi yang menghasilkan produk-produk pemecahan yang akan
diekskresikan oleh hati dan ginjal tanpa memerlukan konjugat. Indikasi fototerapi hanya
setelah dipastikan adanya hiperbilirubin patologik. Komplikasi fototerapi meliputi tinja yang
cair, ruam kulit, bayi mendapat panas yang berlebihan dan dehidrasi akibat cahaya, menggigil
karena pemaparan pada bayi, dan sindrom bayi perunggu, yaitu warna kulit menjadi gelap,
cokelat dan keabuan.
Fenobarbital. Meningkatkan konjugasi dan ekskresi bilirubin. Pemberian obat ini akan
mengurangi timbulnya ikterus fisiologik pada bayi neonatus, kalau diberikan pada ibu dengan
dosis 90 mg/24 jam beberap hari sebelum kelahiran atau bayi pada saat lahir dengan dosis 5
mg/kgBb/24 jam. Pada suatu penelitian menunjukan pemberian fenobarbital pada ibu untuk
beberapa hari sebelum kelahiran baik pada kehamilan cukup bulan atau kurang bulan dapat
mengkontrol terjadinya hiperbilirubinemia. Namun karena efeknya pada metabolisme
bilirubin biasanya belum terwujud sampai beberapa hari setelah pemberian obat dan oleh
karena keefektifannya lebih kecil dibandingkan fototerapi, dan mempunyai efek sedatif yang
tidak diinginkan dan tidak menambah respon terhadap fototerapi, maka fenobarbital tidak
dianjurkan untuk pengobatan ikterus pada bayi neonatus.
Transfusi tukar. Dilakukan untuk mempertahankan kadar bilirubin indirek dalam serum bayi
aterem kurang dari 20 mg/dl atau 15 mg/dl pada bayi kurang bulan . Dapat diulangi
sebanyak yang diperlukan, atau keadaan bayi yang dipandang kritis dapat menjadi petunjuk
melakukan transfusi tukar selama hari pertama atau kedua kehidupan, kalau peningkatan
yang lebih diduga akan terjadi, tetapi tidak dilakukan pada hari ke empat pada bayi aterm
atau hari ke tujuh pada bayi premature, kalau diharapkan akan segera terjadi penurunan kadar
bilirubin serum atau akibat mekanisme konjugasi yang bekerja lebih efektif. Transfusi tukar
mungkin merupakan metode yang paling efektif untuk mengkontrol terjadinya
hiperbilirubinemia.
IX. Prognosis
Hiperbilirubemia baru akan berpengaruh buruk apabila bilirubin indirek telah melalui sawar
otak.
Metabolisme bilirubin
ERITROSIit
Hemoglobin
Heme
Hemoksigenase
Biliverdin
Biliverdin - reductase
Usus
Hidrolisis Bakteri
SIKLUS
ENTERO
Bilirubin :
HEPATIK
Sterkobilin
Urobilinogen
Angka kejadian Ikterus pada bayi sangat bervariasi di RSCM persentase ikterus neonatorum
pada bayi cukup bulan sebesar 32,1% dan pada bayi kurang bulan sebesar 42,9%, sedangkan
di Amerika Serikat sekitar 60% bayi menderita ikterus baru lahir menderita ikterus, lebih dari
50%. Bayi-bayi yang mengalami ikterus itu mencapai kadar bilirubin yang melebihi 10 mg.
(3,7)
Ikterus terjadi apabila terdapat bililirubin dalam darah. Pada sebagian besar neonatus, ikterus
akan ditemukan dalam minggu pertama dalam kehidupannya. Dikemukakan bahwa kejadian
ikterus terdapat pada 60% bayi cukup bulan dan pada bayi 80% bayi kurang bulan. Di Jakarta
dilaporkan 32,19 % menderita ikterus. Ikterus ini pada sebagian lagi bersifat patologik yang
dapat menimbulkan gangguan yang menetap atau menyebabkan kematian. Karena setiap bayi
dengan ikterus harus ditemukan dalam 24 jam pertama kehidupan bayi atau bila kadar
bilirubuin meningkat lebih dari 5 mg/dl dalam 24 jam. (3,7)
Proses hemolisis darah, infeksi berat ikterus yang berlangsung lebih dari 1 mg/dl juga
merupakan keadaan kemungkinan adanya ikterus patologi. Dalam keadaan tersebut
penatalaksanaan ikterus dilakukan sebaik-baiknya agar akibat buruk ikterus dapat
dihindarkan. (3,7)
2.1. Definisi
Ikterus Neonatorum
Yaitu disklorisasi pada kulit atau organ lain karena penumpukan bilirubin. (2,4,5,6,7,8,9,10)
Ikterus fisiologis
Yaitu ikterus yang timbul pada hari kedua dan ketiga yang tidak mempunyai dasar patologis,
kadarnya tidak melewati kadar yang membahayakan atau mempunyai potensi menjadi
“kernikterus” dan tidak menyebabkan suatu morbiditas pada bayi. (2,4,9)
Ikterus patologis
Yaitu ikterus yang mempunyai dasar patologis atau kadar bilirubinnya mencapai suatu nilai
yang disebut hiperbilirubinemia. (2,4,9)
Kernicterus
Suatu sindroma neurologik yang timbul sebagai akibat penimbunan bilirubin tak terkonyugasi
dalam sel – sel otak. (2,4,9)
4. Ekskresi
Sesudah konjugasi bilirubin ini menjadi bilirubin direk yang larut dalam air dan di ekskresi
dengan cepat ke sistem empedu kemudian ke usus. Dalam usus bilirubin direk ini tidak
diabsorpsi; sebagian kecil bilirubin direk dihidrolisis menjadi bilirubin indirek dan
direabsorpsi. Siklus ini disebut siklus enterohepatis.
Pada neonatus karena aktivitas enzim B glukoronidase yang meningkat, bilirubin direk
banyak yang tidak dirubah menjadi urobilin. Jumlah bilirubin yang terhidrolisa menjadi
bilirubin indirek meningkat dan tereabsorpsi sehingga siklus enterohepatis pun meningkat.
(2,7)
Ikterus Fisiologis
Dalam keadaan normal, kadar bilirubin indirek dalam serum tali pusat adalah sebesar 1-3
mg/dl dan akan meningkat dengan kecepatan kurang dari 5 mg/dl/24 jam; dengan demikian
ikterus baru terlihat pada hari ke 2-3, biasanya mencapai puncaknya antara hari ke 2-4,
dengan kadar 5-6 mg/dl untuk selanjutnya menurun sampai kadarnya lebih rendah dari 2
mg/dl antara lain ke 5-7 kehidupan. Ikterus akibat perubahan ini dinamakan ikterus
“fisiologis” dan diduga sebagai akibat hancurnya sel darah merah janin yang disertai
pembatasan sementara pada konjugasi dan ekskresi bilirubin oleh hati.
Diantara bayi-bayi prematur, kenaikan bilirubin serum cenderung sama atau sedikit lebih
lambat daripada pada bayi aterm, tetapi berlangsung lebih lama, pada umumnya
mengakibatkan kadar yang lebih tinggi, puncaknya dicapai antara hari ke 4-7, pola yang akan
diperlihatkan bergantung pada waktu yang diperlukan oleh bayi preterm mencapai
pematangan mekanisme metabolisme ekskresi bilirubin. Kadar puncak sebesar 8-12 mg/dl
tidak dicapai sebelum hari ke 5-7 dan kadang-kadang ikterus ditemukan setelah hari ke-10.
Diagnosis ikterus fisiologik pada bayi aterm atau preterm, dapat ditegakkan dengan
menyingkirkan penyebab ikterus berdasarkan anamnesis dan penemuan klinik dan
laboratorium. Pada umumnya untuk menentukan penyebab ikterus jika :
1. Ikterus timbul dalam 24 jam pertama kehidupan.
2. Bilirubin serum meningkat dengan kecepatan lebih besar dari 5 mg/dl/24 jam.
3. Kadar bilirubin serum lebih besar dari 12 mg/dl pada bayi aterm dan lebih besar dari 14
mg/dl pada bayi preterm.
4. Ikterus persisten sampai melewati minggu pertama kehidupan, atau
5. Bilirubin direk lebih besar dari 1 mg/dl. (4,5,8)
Ikterus Patologis
Ikterus patologis mungkin merupakan petunjuk penting untuk diagnosis awal dari banyak
penyakit neonatus. Ikterus patologis dalam 36 jam pertama kehidupan biasanya disebabkan
oleh kelebihan produksi bilirubin, karena klirens bilirubin yang lambat jarang menyebabkan
peningkatan konsentrasi diatas 10 mg/dl pada umur ini. Jadi, ikterus neonatorum dini
biasanya disebabkan oleh penyakit hemolitik.
Kernicterus
Bahaya hiperbilirubinemia adalah kernikterus, yaitu suatu kerusakan otak akibat perlengketan
bilirubin indirek pada otak terutama pada korpus striatum, talamus, nukleus subtalamus
hipokampus, nukleus merah dan nukleus di dasar ventrikel IV. Secara klinis pada awalnya
tidak jelas, dapat berupa mata berputar, letargi, kejang, tak mau menghisap, malas minum,
tonus otot meningkat, leher kaku, dan opistotonus. Bila berlanjut dapat terjadi spasme otot,
opistotonus, kejang, atetosis yang disertai ketegangan otot. Dapat ditemukan ketulian pada
nada tinggi, gangguan bicara dan retardasi mental. (4,8,9)
2.3 Etiologi
Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat disebabkan oleh
beberapa faktor.
Secara garis besar etiologi ikterus neonatorum dapat dibagi :
1. Produksi yang berlebihan
Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya, misalnya pada hemolisis yang
meningkat pada inkompatibilitas darah Rh, AB0, golongan darah lain, defisiensi enzim G-6-
PD, piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.
2. Gangguan dalam proses “uptake” dan konjugasi hepar
Gangguan ini dapat disebabkan oleh bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis,
hipoksia dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukoronil transferase (sindrom criggler-
Najjar). Penyebab lain yaitu defisiensi protein. Protein Y dalam hepar yang berperan penting
dalam “uptake” bilirubin ke sel hepar.
3. Gangguan transportasi
Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkat ke hepar. Ikatan bilirubin
dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat, sulfafurazole. Defisiensi
albumin menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah
yang mudah melekat ke sel otak.
4. Gangguan dalam ekskresi
Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau diluar hepar. Kelainan diluar
hepar biasanya disebabkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya akibat
infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain. (2,4,5,7,8,9)
2.4. Patofisiologi
Peningkatan kadar bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan. Kejadian yang sering
ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban bilirubin pada sel hepar yang terlalu
berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran eritrosit,
polisitemia, memendeknya umur eritrosit janin/bayi, meningkatnya bilirubin dari sumber lain,
atau terdapatnya peningkatan sirkulasi enterohepatik.
Gangguan ambilan bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan kadar bilirubin
tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein Y berkurang atau pada keadaan proten Y
dan protein Z terikat oleh anion lain, misalnya pada bayi dengan asidosis atau dengan
anoksia/hipoksia. Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar bilirubin adalah
apabila ditemukan gangguan konjugasi hepar (defisiensi enzim glukoranil transferase) atau
bayi yang menderita gangguan ekskresi, misalnya penderita hepatitis neonatal atau sumbatan
saluran empedu intra/ekstra hepatik.
Pada derajat tertentu, bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan tubuh. Toksisitas
ini terutama ditemukan pada bilirubin indirek yang bersifat sukar larut dalam air tapi mudah
larut dalam lemak. Sifat ini memungkinkan terjadinya efek patologik pada sel otak apabila
bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak ini disebut
kernikterus atau ensefalopati biliaris. Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada susunan
saraf pusat tersebut mungkin akan timbul apabila kadar bilirubin indirek lebih dari 20 mg/dl.
Mudah tidaknya bilirubin melalui sawar darah otak ternyata tidak hanya tergantung dari
tingginya kadar bilirubin tetapi tergantung pula pada keadaan neonatus sendiri. Bilirubin
indirek akan mudah melalui sawar daerah otak apabila pada bayi terdapat keadaan imaturitas,
berat lahir rendah, hipoksia, hiperkarbia, hipoglikemia, dan kelainan susunan saraf pusat yang
terjadi karena trauma atau infeksi. (7,9)
2.8. Penatalaksanaan
I. Pendekatan menentukan kemungkinan penyebab
Menetapkan penyebab ikterus tidak selamanya mudah dan membutuhkan pemeriksaan yang
banyak dan mahal, sehingga dibutuhkan suatu pendekatan khusus untuk dapat
memperkirakan penyebabnya. Pendekatan yang dapat memenuhi kebutuhan itu yaitu
menggunakan saat timbulnya ikterus seperti yang dikemukakan oleh Harper dan Yoon 1974,
yaitu :
A. Ikterus yang timbul pada 24 jam pertama
Penyebab ikterus yang terjadi pada 24 jam pertama menurut besarnya kemungkinan dapat
disusun sebagai berikut :
- Inkompatibilitas darah Rh, ABO atau golongan lain.
- Infeksi intrauterin (oleh virus, toksoplasma, lues dan kadang-kadang bakteri).
- Kadang-kadang oleh defisiensi G-6-PD.
Pemeriksaan yang perlu diperhatikan yaitu :
- Kadar bilirubin serum berkala
- Darah tepi lengkap
- Golongan darah ibu dan bayi
- Uji coombs
- Pemeriksaan penyaring defisiensi enzim G-6-PD, biakan darah atau biopsi hepar bila perlu.
B. Ikterus yang timbul 24- 72 jam sesudah lahir
- Biasanya ikterus fisiologis
- Masih ada kemungkinan inkompatibilitas darah ABO atau Rh atau golongan lain. Hal ini
dapat diduga kalau peningkatan kadar bilirubin cepat, misalnya melebihi 5 mg%/24 jam.
II. Pencegahan
Ikterus dapat dicegah dan dihentikan peningkatannya dengan :
1. Pengawasan antenatal yang baik.
2. Menghindari obat yang dapat meningkatkan ikterus pada bayi pada masa kehamilan dan
kelahiran, misalnya sulfafurazole, novobiosin, oksitosin dan lain-lain.
3. Pencegahan dan mengobati hipoksia pada janin dan neonatus.
4. Penggunaan fenobarbital pada ibu 1-2 hari sebelum partus.
5. Iluminasi yang baik pada bangsal bayi baru lahir.
6. Pemberian makanan yang dini.
7. Pencegahan infeksi.
V. Tindak lanjut
Bahaya hiperbilirubinemia yaitu ‘kernicterus’. Oleh karena itu terhadap bayi yang menderita
hiperbilirubinemia perlu dilakukan tindak lanjut sebagai berikut :
1. Penilaian berkala pertumbuhan dan perkembangan
2. Penilaian berkala pendengaran
3. Fisioterapi dan rehabilitasi bila terdapat gejala sisa (3,4,9)
2.9. Prognosis
Hiperbilirubinemia baru akan berpengaruh buruk apabila bilirubin indirek telah melalui sawar
darah otak. Pada keadaan ini penderita mungkin menderita kernikterus atau ensefalopati
biliaris. Gejala ensefalopati biliaris ini dapat segera terlihat pada masa neonatus atau baru
tampak setelah beberapa lama kemudian. Pada masa neonatus gejala mungkin sangat ringan
dan hanya memperlihatkan gangguan minum, latergi dan hipotonia. Selanjutnya bayi
mungkin kejang, spastik dan ditemukan epistotonus. Pada stadium lanjut mungkin didapatkan
adanya atetosis disertai gangguan pendengaran dan retardasi mental di hari kemudian.
Dengan memperhatikan hal di atas, maka sebaiknya pada semua penderita hiperbilirubinemia
dilakukan pemeriksaan berkala, baik dalam hal pertumbuhan fisis dan motorik, ataupun
perkembangan mental serta ketajaman pendengarannya. (7,9)
Beckenmaße:
a = Distantia cristarum;
b = Distantia spinarum;
n = Conjugata diagonalis;
o = Conjugata externa;