You are on page 1of 15

KATA PENGANTAR

Pertama-tama kita ucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT. Karena hanya dengan
bimbingan dan petunjuk-Nya penulisan dan penyusunan peningkatan kualitas perpustakaan sebagai
pusat sumber belajar ini dapat diselesaikan.
Penulisan ini dimaksudkan untuk memperkaya pengetahuan kita tentang bagaimana gambaran
kejahatan yang terjadi dalam dunia maya (cybercrime) dan sejauh mana penerapan UU dunia maya
(cyber law) dalam mengatasi hal tersebut, dan juga dimaksudkan untuk dapat menjadi bahan diskusi
dan acuan bagi kita semua.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh sebab
itu, berbagai masukan, kritik, dan saran yang konstruktif dari semua pihak sanagat diharapkan.
Dalam kesempatan ini penulis ingin menghaturkan ucapan terima kasih dan penghargaan
yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang mendukung penyelesaian makalah ini.
Akhirnya penulis mengharapkan, sekecil apapun arti tulisan ini dapat memberikan manfaat
yang sebesar-besarnya, semoga Allah SWT senantiasa memberikan rahmat-Nya kepada kita semua.
Amin!

Bekasi, 27 November2014

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................. i
DAFTAR ISI................................................................................................................ ii
A. BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................. 1
1. Latar Belakang .......................................................................................................... 1
2.

Rumusan Masalah.................................................................................................... 2

B. BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................... 3


A.

Pelanggaran Hukum Dalam Dunia Maya (Cybercrime)........................................... 3

B.

Peranan UU Dunia Maya (Cyberlaw) Terhadap Pelanggaran Yang Terjadi


Dalam Dunia Maya.................................................................................................. 5

C.

Komputer Act Crime................................................................................................... 9

D.

Council Of Europe Convention ................................................................................. 11

C. BAB III PENUTUP ....................................................................................................... 12


A. Kesimpulan ............................................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................ 15

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) yang cukup pesat sekarang ini
sudah menjadi realita sehari-hari bahkan merupakan tuntutan masyarakat yang tidak dapat
ditawar lagi. Tujuan utama perkembangan iptek adalah perubahan kehidupan masa depan
manusia yang lebih baik, mudah, murah, cepat dan aman. Perkembangan iptek, terutama
teknologi informasi (Information Technology) seperti internet sangat menunjang setiap orang
mencapai tujuan hidupnya dalam waktu singkat, baik legal maupun illegal dengan
menghalalkan segala cara karena ingin memperoleh keuntungan secara potong kompas.
Dampak buruk dari perkembangan duniamaya ini tidak dapat dihindarkan dalam kehidupan
masyarakat moderen saat ini dan masa depan.
Kemajuan teknologi informasi yang serba digital membawa orang ke dunia bisnis yang
revolusioner (digital revolution era) karena dirasakan lebih mudah, murah, praktis dan
dinamis berkomunikasi dan memperoleh informasi. Di sisi lain, berkembangnya teknologi
informasi menimbulkan pula sisi rawan yang gelap sampai tahap mencemaskan dengan
kekhawatiran pada perkembangan tindak pidana di bidang teknologi informasi yang
berhubungan dengan cybercrime atau kejahatan duniamaya.
Masalah kejahatan maya dewasa ini sepatutnya mendapat perhatian semua pihak secara
seksama pada perkembangan teknologi informasi masa depan, karena kejahatan ini termasuk
salah satu extra ordinary crime(kejahatan luar biasa) bahkan dirasakan pula sebagai serious
crime (kejahatan serius) dan transnational crime (kejahatan antar negara) yang selalu
mengancam kehidupan warga masyarakat, bangsa dan negara berdaulat. Tindak pidana atau
kejahatan ini adalah sisi paling buruk di dalam kehidupan moderen dari masyarakat informasi
akibat kemajuan pesat teknologi dengan meningkatnya peristiwa kejahatan komputer,
pornografi, terorisme digital, perang informasi sampah, bias informasi, hacker, cracker dan
sebagainya.

B. RUMUSAN MASALAH
Denganlatarbelakang yang dipapakarkandiatasmakarumusanmasalahdarimakalahiniyaitu :
1. Sejauh mana pelanggaran hukum yang terjadi dalam dunia maya sekarangi ni
(Cybercrime)?
2. Bagaimana peranan Undang-Undang Dunia Maya (Cyberlaw) terhadap pelanggaran
yang terjadi dalam dunia maya itu sendiri?

BAB II
PEMBAHASAN
A. PELANGGARAN HUKUM DALAM DUNIA MAYA(CYBERCRIME)
Munculnya revolusi teknologi informasi dewasa ini dan masa depan tidak hanya
membawa dampak pada perkembangan teknologi itu sendiri, akan tetapi juga akan
mempengaruhi aspek kehidupan lain seperti agama, kebudayaan, sosial, politik, kehidupan
pribadi, masyarakat bahkan bangsa dan negara. Jaringan informasi global atau internet saat
ini telah menjadi salah satu sarana untuk melakukan kejahatan baik domestik maupun
internasional. Internet menjadi medium bagi pelaku kejahatan untuk melakukan kejahatan
dengan sifatnya yang mondial, internasional dan melampaui batas ataupun kedaulatan suatu
negara. Semua ini menjadi motif dan modus operandi yang amat menarik bagi para penjahat
digital.
Cyber crime atau kejahatan dunia maya dapat didefenisikan sebagai perbuatan melawan
hukum yang dilakukan dengan menggunakan internet yang berbasis pada kecanggihan
teknologi computer dan komunikasi.
Manifestasi kejahatan duniamaya yang terjadi selama ini dapat muncul dalam berbagai
macam bentuk atau varian yang amat merugikan bagi kehidupan masyarakat ataupun
kepentingan suatu bangsa dan negara pada hubungan internasional. Kejahatan mayantara
dewasa ini mengalami perkembangan pesat tanpa mengenal batas wilayah negara lagi
(borderless state), karena kemajuan teknologi yang digunakan para pelaku cukup canggih
dalam aksi kejahatannya. Para hacker dan cracker bisa melakukannya lewat lintas negara
(cross boundaries countries) bahkan di negara-negara berkembang (developing countries)
4

aparat penegak hukum, khususnya kepolisian tidak mampu untuk menangkal dan
menanggulangi disebabkan keterbatasan sumber daya manusia, sarana dan prasarana
teknologi yang dimiliki.
Di sisi lain, kemampuan para hacker dan cracker dalam mengotak-atik internet juga
semakin andal untuk mengacaukan dan merusak data korban. Mereka dengan cepat mampu
mengikuti perkembangan baru teknologi bahkan menciptakan pula jurus ampuh untuk
membobol data rahasia korban atau virus perusak yang tidak dikenal sebelumnya. Perbuatan
ini jelas akan menimbulkan kerugian besar dialami para korban yang sulit untuk dipulihkan
dalam waktu singkat mengingat ada pula antibody virus tidak mudah ditemukan oleh
pembuat software komputer.
Wajar kejahatan duniamaya akan menjadi momok baru yang menakutkan bagi setiap
orang bahkan masyarakat internasional dewasa ini dan masa depan akibat kemajuan
teknologi yang digunakan bukan untuk tujuan kemaslahatan umat manusia, akan tetapi
menghancurkan hasil rasa, karsa dan cipta orang lain.
Berbagai kasus yang menyangkut Cyber Crime yang terjadi di Indonesia dan dapat
dideteksi oleh Polri sampai saat ini, pada umumnya terbatas pada kejahatan dibidang
Perbankan dengan menggunakan Komputer sebagai alat kejahatan dengan modus Operandi
yang dikenal dengan istilah DATA DIDLING , yaitu perbuatan memanipulasi transaksi
input dengan mengubah data, antara lain

berupa

mengubah / menghapus transaksi,

memasukan transaksi tambahan dan mengubah transaksi penyesuaian. Hal ini dapat
dilakukan apabila pelaku mengetahui system pengaman berupa USER

ID

dan

PASSWORD , namun demikian tidak menutup kemungkinan timbulnya kejahatan dibidang


lain seperti Ponografi dan perbuatan menghasut, memfitnah yang dilakukan melalui
jaringan internet dan sulit melacak pelakunya.
Harus diakui bahwa Indonesia belum mengadakan langkah-langkah yang cukup
signifikan di bidang penegakan hukum (law enforcement) dalam upaya mengantisipasi
kejahatan dunia maya seperti dilakukan oleh negara-negara maju di Eropa dan Amerika
Serikat. Kesulitan yang dialami adalah pada perangkat hukum atau undang-undang teknologi
informasi dan telematika yang belum ada sehingga pihak kepolisian Indonesia masih raguragu dalam bertindak untuk menangkap para pelakunya, kecuali kejahatan duniamaya yang
bermotif pada kejahatan ekonomi/perbankan.
Untuk itu diperlukan suatu perangkat UU yang dapat mengatasi masalah ini seperti yang
sekarangtelahadanyaperangkat hukum yang satu ini berhasil digolkan, yaitu Undang-Undang
Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). UU yang terdiri dari 13 Bab dan 54 Pasal serta
Penjelasan ini disahkan setelah melalui Rapat Paripurna DPR RI pada Selasa, 25 Maret 2008.
5

Namun sejatinya perjalanan perangkat hukum yang sangat penting bagi kepastian hukum di
dunia maya ini sebenarnya sudah dimulai 5 tahun yang lalu.

B. PERANAN UU DUNIA MAYA (CYBERLAW) TERHADAP PELANGGARAN


YANG TERJADI DALAM DUNIA MAYA
Cyber Law adalah aspek hukum yang istilahnya berasal dari Cyberspace Law, yangruang
lingkupnya meliputi setiap aspek yang berhubungan dengan orang perorangan atau subyek
hukum yang menggunakan dan memanfaatkan teknologi internet yang dimulai pada saat
mulai "online" dan memasuki dunia cyber atau maya. Pada negara yang telah maju dalam
penggunaan internet sebagai alat untuk memfasilitasi setiap aspek kehidupan mereka,
perkembangan hukum dunia maya sudah sangat maju. Sebagai kiblat dari perkembangan
aspek hukum ini, Amerika Serikat merupakan negara yang telah memiliki banyak perangkat
hukum yang mengatur dan menentukan perkembangan Cyber Law.Untuk dapat memahami
sejauh mana perkembangan Cyber Law di Indonesia maka kita akan membahas secara
ringkas tentang landasan fundamental yang ada didalam aspekyuridis yang mengatur lalu
lintas internet sebagai sebuah rezim hukum khusus, dimana terdapat komponen utama yang
meliputi persoalan yang ada dalam dunia maya tersebut,yaitu
Pertama, tentang yurisdiksi hukum dan aspek-aspek terkait; komponen ini
menganalisa dan menentukan keberlakuan hukum yang berlaku dan diterapkan di
dalam dunia maya itu;
Kedua, tentang landasan penggunaan internet sebagai sarana untuk melakukan
kebebasan berpendapat yang berhubungan dengan tanggungjawab pihak yang
menyampaikan, aspek accountability, tangung jawab dalam memberikan jasa online
dan penyedia jasa internet (internetprovider), serta tanggung jawab hukum bagi
penyedia jasa pendidikan melalui jaringan internet;
Ketiga, tentang aspek hak milik intelektual dimana adanya aspek tentang patent,
merek dagang rahasia yang diterapkan serta berlaku di dalam dunia
cyber;
Keempat, tentang aspek kerahasiaan yang dijamin oleh ketentuan hukumyang berlaku
di masing-masing yurisdiksi negara asal dari pihak yang mempergunakan atau
memanfaatkan dunia maya sebagai bagian darisistem atau mekanisme jasa yang
mereka lakukan;
Kelima, tentang aspek hukum yang menjamin keamanan dari setiap pengguna
internet;
6

Keenam, tentang ketentuan hukum yang memformulasikan aspek kepemilikan dalam


internet sebagai bagian dari nilai investasi yang dapat dihitung sesuai dengan prinisipprinsip keuangan atau akuntansi;
Ketujuh, tentang aspek hukum yang memberikan legalisasi atas internetsebagai bagian
dari perdagangan atau bisnis usaha.
Berdasarkan faktor-faktor tersebut di atas maka kita akan dapat melakukan penilaian
untuk menjustifikasi sejauh mana perkembangan dari hukum yang mengatur sistem dan
mekanisme internet di Indonesia.Perkembangan internet di Indonesia mengalami percepatan
yang sangat tinggi serta memiliki jumlah pelanggan atau pihak pengguna jaringan internet
yang terus meningkat sejak paruh tahun 90'an. Salah satu indikator untuk melihat bagaimana
aplikasi hukum tentang internet diperlukan di Indonesia adalah dengan melihat banyaknya
perusahaan yang menjadi provider untuk pengguna jasa internet di Indonesia. Perusahaanperusahaan yang memberikan jasa provider di Indonesia sadar atau tidak merupakan pihak
yang berperanan sangat penting dalam memajukan perkembangan cyber law di Indonesia
dimana fungsi-fungsi yang mereka lakukan seperti :

Perjanjian aplikasi rekening pelanggan internet;


Perjanjian pembuatan desain home page komersial;
Perjanjian reseller penempatan data-data di internet server;
Penawaran-penawaran penjualan produk-produk komersial melalui internet;
Pemberian informasi yang di update setiap hari oleh home page komersial;
Pemberian pendapat atau polling online melalui internet.

Merupakan faktor dan tindakan yang dapat digolongkan sebagai tindakan yang
berhubungan dengan aplikasi hukum tentang cyber di Indonesia. Oleh sebab itu ada baiknya
didalam perkembangan selanjutnya agar setiap pemberi jasa atau pengguna internet dapat
terjamin maka hukum tentang internet perlu dikembangkan serta dikaji sebagai sebuah
hukum yang memiliki displin tersendiri di Indonesia.
Secara akademis, terminologi cyber law tampaknya belum menjadi terminologi yang
sepenuhnya dapat diterima. Hal ini terbukti dengan dipakainya terminologi lain untuk tujuan
yang sama seperti The law of the Inlernet, Law and the Information Super highway,
Information Technology Law, The Law of Information, dan sebagainya.Di Indonesia sendiri
tampaknya belum ada satu istilah yang disepakati atau paling tidak hanya sekedar terjemahan
atas terminologi cyber law.
Sampai saat ini ada beberapa istilah yang dimaksudkan sebagai terjemahan dari cyber
law, misalnya, Hukum Sistem Informasi, Hukum Informasi, dan Hukum Telematika
(Telekomunikasi dan Informatika).Bagi penulis, istilah (Indonesia) manapun yang akan
7

dipakai tidak menjadi persoalan.Yang penting, di dalamnya memuat atau membicarakan


mengenai aspek-aspek hukum yang berkaitan dengan aktivitas manusia di Internet. Oleh
karena itu dapat dipahamiapabila sampai saat ini di kalangan peminat dan pemerhati masalah
hukum yang berikaitan dengan Internet di Indonesia masih menggunakan istilah cyber law.
Sebagaimana dikemukakan di atas, lahirnya pemikiran untuk membentuk satu aturan
hukum yang dapat merespon persoalan-persoalan hukum yang muncul akibat dari
pemanfaatan Internet terutama disebabkan oleh sistem hukum tradisi.onal yang tidak
sepenuhnya mampu merespon persoalan-persoalan tersebut dan karakteristik dari Internetitu
sendiri. Hal ini pada gilirannya akan melemahkan atau bahkan mengusangkan konsep
konsephukum yang sudah mapan seperti kedaulatan dan yurisdiksi. Kedua konsep ini berada
padaposisi yang dilematis ketika harus berhadapan dengan kenyataan bahwa para pelaku
yang terlibat dalam pemanfaatan Internet tidak lagi tunduk pada batasan kewarganegaraan
dan kedaulatan suatu negara.
Dalam kaitan ini Aron Mefford seorangpakar cyberlaw dari Michigan State University
sampai pada kesimpulan bahwa dengan meluasnya pemanfaatan Internet sebenarnya telah
terjadi semacam paradigm shiftdalam menentukan jati diri pelaku suatu perbuatan hukum
dari citizens menjadi netizens.Dilema yang dihadapi oleh hukum tradisional dalam
menghadapi fenomena cyberspaceini merupakan alasan utama perlunya membentuk satu
regulasi yang cukup akomodatif terhadap fenomena-fenomena baru yang muncul akibat
pemanfaatan Internet.
Aturan hukum yang akan dibentuk itu harus diarahkan untuk memenuhi kebutuhan
hukum (thelegal needs) para pihak yang terlibat dalam traksaksi-transaksi lewat Internet.
Untuk itupenulis cenderung menyetujui proposal dari Mefford yang mengusulkan
LexInformatica (Independent Net Law) sebagai Foundations of Law on the
Internet".Proposal Mefford ini tampaknya diilhami oleh pemikiran mengenai Lex
Mercatoriayang merupakan satu sistem hukum yang dibentuk secara evolutif untuk
merespon kebutuhan-kebutuhan hukum (the legal needs) para pelaku transaksi dagang yang
mendapati kenyataan bahwa sistem hukum nasional tidak cukup memadai dalam menjawab
realitas-realitas yang ditemui dalam transaksi perdagangan internasional.Secara demikian
maka cyber law dapat didefinisikan sebagai seperangkat aturan yang berkaitan dengan
persoalan-persoalan yang muncul akibat dari pemanfaatan Internet.
Pembahasan mengenai ruang lingkup cyber law dimaksudkan sebagai inventarisasi atas
persoalan-persoalan atau aspek-aspek hukum yang diperkirakan berkaitan dengan
pemanfaatan Internet. Secara garis besar ruang lingkup cyber law ini berkaitan dengan
8

persoalan-persoalan atau aspek hukum dari E-Commerce, Trademark/Domain Names,Privacy


and Security on the Internet, Copyright, Defamation, Content Regulation, DisptleSettlement,
dan sebagainya.Berikut ini adalah ruang lingkup atau area yang harus dicover oleh cyberlaw.
Ruang lingkup cyberlaw ini akan terus berkembang seiring dengan perkembangan yang
terjadi pada pemanfaatan Internet dikemudian hari.
C. COMPUTER CRIME ACT (MALAYSIA)
TINGKAT penyalahgunaan jaringan internet di Indonesia sudah mencapai tingkat yang
memprihatinkan. Akibatnya, Indonesia dijuluki dunia sebagai negara kriminal internet.
Karena itu, tak heran, apabila saat ini, pihak luar negeri langsung menolak setiap transaksi di
internet menggunakan kartu kredit yang dikeluarkan perbankan Indonesia.
Maraknya kejahatan di dunia maya (cyber crime) merupakakan imbas dari kehadiran
teknologi informasi (TI), yang di satu sisi diakui telah memberikan kemudahan-kemudahan
kepada manusia. Namun demikian, di sisi lainnya, kemudahan tersebut justru sering dijadikan
sebagai alat untuk melakukan kejahatan di dunia maya (cyber crime) seperti yang sering kita
saksikan belakangan ini.
Pornografi, penggelapan, pencurian data, pengaksesan ke suatu sistem secara ilegal
(hacking), pembobolan rekening bank, perusakan situs internet (cracking), pencurian nomor
kartu kredit (carding), penyediaan informasi yang menyesatkan, transaksi barang ilegal,
merupakan contoh-contoh cyber crime yang sering terjadi dan merugikan banyak pihak.
Oleh karena itu, untuk mencegah merajalelanya cyber crime, maka perlu dibuat aturan hukum
yang jelas untuk melindungi masyarakat dari kejahatan dunia maya. Bahkan, dengan
pertimbangan bahwa pengembangan teknologi informasi dapat menimbulkan bentuk-bentuk
kejahatan baru, terutama dalam penyalahgunaan teknologi informasi, akhirnya pada 4
Desember 2001 yang lalu, PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) mengeluarkan resolusi No.
55/63.
Dalam resolusi tersebut disepakati bahwa semua negara harus bekerja sama untuk
mengantisipasi dan memerangi kejahatan yuang menyalahgunakan teknologi informasi. Salah
satu butir penting resolusi menyebutkan, setiap negara harus memiliki undang-undang atau
peraturan

hukum

yang

mampu

untuk

mengeliminir

kejahatan

tersebut.

Implementasi resolusi ini mengikat semua negara yang menjadi anggota PBB termasuk
9

Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia harus segera melakukannya, apalagi saat ini, Indonesia
masuk dalam daftar 10 besar negara kriminal internet. Pemerintah harus segera berupaya
untuk segera merealisasikan undang-undang yang mengatur secara detil tentang TI yang di
dalamnya juga mencakup masalah cyber crime. Kehadiran UU tersebut sangat penting untuk
memulihkan citra Indonesia di dunia Internasional.
Dibandingkan dengan Malaysia dan Singapura, Indonesia tergolong sangat lamban dalam
mengantisipasi perkembangan TI. Sejak 1996, Singapura sudah memiliki beberapa perangkat
hukum yang berkaitan dengan pemanfaatan TI, di antaranya: "The Electronic Act 1998,
Electric Communication Privacy Act 1996.
Sedangkan, peraturan undang-undang (UU) TI sudah dimiliki negara jiran Malaysia sejak
tahun 1997, yaitu dengan dikeluarkannya "Computer Crime Act 1997, "Digital Signature
Act 1997, serta "Communication and Multimedia Act 1998.

Karena belum adanya UU khusus tentang TI, maka selama ini, para pelaku tindak pidana
teknologi informasi (cyber crime) di Indonesia hanya bisa dijerat dengan pasal-pasal yang
ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta perangkat UU lainnya,
seperti UU Telekomunikasi, Undang-Undang Hak Cipta, dan Undang-Undang Perlindungan
Konsumen.
Padahal, berdasarkan data Polri, perkembangan cyber crime di Indonesia sangat pesat.
Sebagai contoh, sejak Januari-September 2002, pihak Polri telah berhasil mengungkap 109
kasus tindak pidana TI yang dilakukan oleh 124 tersangka WNI yang melakukan aksinya di
berbagai

kota

di

Indonesia.

Dalam data tersebut, Bandung menempati posisi kedua sebagai kontributor tersangka pelaku
cyber crime. Selain itu, dalam data yang sama diungkapkan pula, sekira 96% modus operandi
yang digunakan dalam 109 kasus tersebut adalah Credit Card Fraud (penipuan dengan kartu
kredit). Kemudian, jumlah korban yang dirugikan oleh kasus tersebut mencapai 109 orang,
sekira 80% dari korban tersebut merupakan warga AS.Berdasarkan paparan data Polri
tersebut, sudah seharusnya negara kita memiliki Undang-Undang Teknologi Informasi
(UUTI) sebagai bukti bahwa pemerintah memang serius dalam menangani maraknya cyber
crime di Indonesia.

10

Berkaitan dengan pembuatan UUTI ini, Deputi Bidang Jaringan Komunikasi dan Informasi
Cahyana Ahmadjayadi, mengatakan, saat ini pemerintah sedang menyusun Rancangan
Undang-Undang (RUU) di bidang TI yang diharapkan dalan waktu dekat ini dapat diajukan
ke DPR. RUU yang dimaksud yaitu: RUU tentang Pemanfaatan Teknologi Informasi/cyber
law (RUU PTI), yang disusun oleh Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi Departemen
Perhubungan bekerja sama dengan Tim dari Fakultas Hukum Unpad. Dan satu lagi, RUU
tentang Tanda Tangan Elektronik (Digital Signature) dan Transaksi Elektronik (ETransaction), yang disingkat RUU IETE, disusun oleh Direktorat Jenderal Perdagangan
Dalam Negeri Departemen Perindustrian dan Perdagangan, bekerja sama dengan tim
Lembaga Kajian Hukum Teknologi, FH UI.

D. COUNCIL OF EUROPE CONVENTION

Saat ini berbagai upaya telah dipersiapkan untuk memerangi cybercrime. The
Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) telah membuat
guidelines bagi para pembuat kebijakan yang berhubungan dengan computer-related crime, di
mana pada tahun 1986 OECD telah mempublikasikan laporannya yang berjudul ComputerRelated Crime: Analysis of Legal Policy. Laporan ini berisi hasil survey terhadap peraturan
perundang-undangan Negara-negara Anggota beserta rekomendasi perubahannya dalam
menanggulangi computer-related crime tersebut, yang mana diakui bahwa sistem
telekomunikasi

juga

memilikiperan

penting

dalam

kejahatan

tersebut.

Melengkapi laporan OECD, The Council of Europe (CE) berinisiatif melakukan studi
mengenai kejahatan tersebut. Studi ini memberikan guidelines lanjutan bagi para pengambil
kebijakan untuk menentukan tindakan-tindakan apa yang seharusnya dilarang berdasarkan
hukum pidana Negara-negara Anggota, dengan tetap memperhatikan keseimbangan antara
hak-hak sipil warga negara dan kebutuhan untuk melakukan proteksi terhadap computerrelatedcrimetersebut.
Pada perkembangannya, CE membentuk Committee of Experts on Crime in Cyberspace of
the Committee on Crime Problems, yang pada tanggal 25 April 2000 telah mempublikasikan
Draft Convention on Cyber-crime sebagai hasil kerjanya ( http://www.cybercrimes.net), yang
11

menurut Prof. Susan Brenner (brenner@cybercrimes.net) dari University of Daytona School


of Law, merupakan perjanjian internasional pertama yang mengatur hukum pidana dan aspek
proseduralnya untuk berbagai tipe tindak pidana yang berkaitan erat dengan penggunaan
komputer,

jaringan

atau

data,

serta

berbagai

penyalahgunaan

sejenis.

Dari berbagai upaya yang dilakukan tersebut, telah jelas bahwa cybercrime membutuhkan
global action dalam penanggulangannya mengingat kejahatan tersebut seringkali bersifat
transnasional. Beberapa langkah penting yang harus dilakukan setiap negara dalam
penanggulangan cybercrime adalah:
Melakukan modernisasi hukum pidana nasional beserta hukum acaranya, yang diselaraskan
dengan konvensi internasional yang terkait dengan kejahatan tersebut.
Meningkatkan sistem pengamanan jaringan komputer nasional sesuai standar internasional.
Meningkatkan pemahaman serta keahlian aparatur penegak hukum mengenai upaya
pencegahan, investigasi dan penuntutan perkara-perkara yang berhubungan dengan
cybercrime.
Meningkatkan kesadaran warga negara mengenai masalah cybercrime serta pentingnya
mencegah kejahatan tersebut terjadi

Meningkatkan kerjasama antar negara, baik bilateral, regional maupun multilateral, dalam
upaya penanganan cybercrime, antara lain melalui perjanjian ekstradisi dan mutual assistance
treaties.

BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
12

Perkembangan teknologi informasi (TI) dan khususnya juga Internet ternyata tak
hanyamengubah

cara

bagaimana

seseorang

berkomunikasi,

mengelola

data

dan

informasi,melainkan lebih jauh dari itu mengubah bagaimana seseorang melakukan bisnis.
Banyakkegiatan bisnis yang sebelumnya tak terpikirkan, kini dapat dilakukan dengan mudah
dancepat dengan model-model bisnis yang sama sekali baru. Begitu juga, banyak
kegiatanlainnya yang dilakukan hanya dalam lingkup terbatas kini dapat dilakukan
dalamcakupan yang sangat luas, bahkan mendunia.
Namun, lebih dari itu, perubahan-perubahan yang terjadi juga dinilai sangat
revolusioner.Munculnya bisnis dotcom, meski terbukti sebagian besar mengalami kegagalan,
tetapisebagian besar lainnya mengalami keberhasilan, dan sekaligus ini dianggap
fenomenal.Karena selain itu merupakan sesuatu yang sama sekali baru, dimensinya pun
segeramendunia
Di sisi lain, perkembangan TI dan Internet ini, juga telah sangat mempengaruhi
hampirsemua bisnis di dunia untuk terlibat dalam implementasi dan menerapkan
berbagaiaplikasi. Banyak manfaat dan keuntungan yang bisa diraih kalangan bisnis dalam
kaitanini, baik dalam konteks internal (meningkatkan efisiensi dan efektivitas organisasi),
daneksternal

(meningkatkan

komunikasi

data

dan

informasi

antar

berbagai

perusahaanpemasok, pabrikan, distributor) dan lain sebagainya.Namun, terkait dengan semua


perkembangan tersebut, yang juga harus menjadi perhatianadalah bagaimana hal-hal baru
tersebut, misalnya dalam kepastian dan keabsahantransaksi, keamanan komunikasi data dan
informasi, dan semua yang terkait dengankegiatan bisnis, dapat terlindungi dengan baik
karena adanya kepastian hukum. Mengapadiperlukan kepastian hukum yang lebih kondusif,
meski boleh dikata sama sekali baru,karena perangkat hukum yang ada tidak cukup memadai
untuk menaungi semuaperubahan dan perkembangan yang ada.
Masalah hukum yang dikenal dengan Cyberlaw ini tak hanya terkait dengan
keamanandan kepastian transaksi, juga keamanan dan kepastian berinvestasi. Karena,
diharapkandengan adanya pertangkat hukum yang relevan dan kondusif, kegiatan bisnis akan
dapatberjalan dengan kepastian hukum yang memungkinkan menjerat semua fraud
atautindakan

kejahatan

dalam

kegiatan

bisnis,

maupun

yang

terkait

dengan

kegiatanpemerintah.
Banyak terjadi tindak kejahatan Internet (seperti carding), tetapi yang secara nyata
hanyabeberapa kasus saja yang sampai ke tingkat pengadilan. Hal ini dikarenakan
hakimsendiribelum menerima bukti-bukti elektronik sebagai barang bukti yang sah,
sepertidigital signature. Dengan demikian cyberlaw bukan saja keharusan melainkan
13

sudahmerupakan kebutuhan, baik untuk menghadapi kenyataan yang ada sekarang ini,
dengansemakin

banyakterjadinyanya

kegiatan

cybercrime

maupun

tuntutan

komunikasiperdaganganmancanegara (cross border transaction) ke depan.


Karenanya, Indonesia sebagai negara yang juga terkait dengan perkembangan
danperubahan

itu,

memang

dituntut

untuk

merumuskan

perangkat

hukum

yang

mampumendukung kegiatan bisnis secara lebih luas, termasuk yang dilakukan dalam
duniavirtual, dengan tanpa mengabaikan yang selama ini sudah berjalan. Karena,
perangkathukum yang ada saat ini ditambah cyberlaw, akan semakin melengkapi perangkat
hukumyang dimiliki. Inisiatif ini sangat perlu dan mendesak dilakukan, seiring dengan
semakinberkembangnya pola-pola bisnis baru tersebut.Sejak Maret 2003 lalu Kantor Menteri
Negara Komunikasi dan Informasi (Menkominfo)mulai menggodok Rancangan UndangUndang (RUU) Informasi Elektronik danTransaksi Elektronik (IETE) - yang semula bernama
Informasi, Komunikasi danTransaksi Elektronik (IKTE).
RUU ITE itu merupakan gabungan dari dua RUU, yaituRUU tentang Pemanfaatan TI
(PTI), dan Tandatangan Elektronik dan TransaksiElektronik (TE). RUU PTI disusun oleh
Ditjen Pos dan Telekomunikasi, DepartemenPerhubungan, bekerja sama dengan Tim dari
Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran(Unpad) dan Tim asistensi dari ITB. Sedang RUU
TE dimotori oleh Lembaga KajianHukum dan Teknologi Universitas Indonesia (UI) dengan
jalur Departemen Perindustriandan Perdagangan.RUU tersebut dimaksudkan menjadi payung
bagi aturan-aturan yang ada di bawahnya.Hanya saja, jika semua aspek dimasukkan, sehingga
menjadi sangat luas, bisa jadi justrumembingungkan, sehingga pengimplementasiannya
menjadi tidak optimal. Idealnya,pemerintah perlu membuat UU untuk setiap bagian khusus
seperti digital signature, ebanking,e-Governmet, atau UU spesifik lainnya. Tetapi, itu harus
mau menunggu lebihlama lagi karena sampai saat ini belum ada pegangan dalam bentuk UU
lain. Sementara
jumlah topik yang harus dibahas sangat banyak.Yang menarik, RUU PTI juga mengatur
perluasan masalah yurisdiksi yangmemungkinkan pengadilan Indonesia mengadili siapa saja
yang melakukan tindak pidanabidang TI yang dampaknya dirasakan di Indonesia. Contohnya,
jika cracker asingmelakukan kejahatan terhadap satu bank di Indonesia, maka berdasarkan
pasal 33 dan 34RUU PTI, pengadilan Indonesia berwenang mengadili orang itu jika masuk
ke Indonesia.Selama ini, kejahatan yang melibatkan orang Indonesia dan asing sangat marak,
namunpenyidikan kejahatan cyber tersebut selalu terganjal masalah yurisdiksi ini.
Hal tersebut seharusnya memang diantisipasi sejak awal, karena eksistensi TI
denganperkembangannya yang sangat pesat telah melahirkan kecemasan-kecemasan baru
14

seiringmaraknya kejahatan di dunia cyber yang semakin canggih. Lebih dari itu, TI yang
tidakmengenal

batas-batas

teritorial

dan

beroperasi

secara

maya

juga

menuntut

pemerintahmengantisipasi aktivitas-aktivitas baru yang harus diatur oleh hukum yang


berlaku,terutama memasuki pasar bebas AFTA yang telah dimulai awal tahun ini.
DAFTAR PUSTAKA
BisTek Warta Ekonomi No. 24 edisiJuli 2000, Judul :Jenis-JenisKejahatanKomputer,
halaman.52-54.
Warta Ekonomi No. 9, 5 Maret 2001 Judul :Perangkathukum di Indonesia dalam
mengatasikejahatankomputer, halaman 12-14.
Web site Insecure.org at http://insecure.org/nmap/ date access December 2008
Majalahinteraksiacuanhukumdankemasyarakatan, website :
http://berita.kafedago.com/kirimkomentar.asp, date access December 2008
AsosiasiJasaPenyelenggara Internet Indonesia, website : http://www.apjii.or.id/news/
date access December 2008
MajalahGatraedisiOktober 2004, Judul :Cybercrime di Era Digital,
website : http://www.gatra.com/2004-10-13/ date access December 2008
Indonesia Infocom Business Community, http://www.i2bc.org/news/i2bcnews4.html
date access December 2008

15

You might also like