You are on page 1of 8

Peran Gerakan Mahasiswa Terhadap Lengsernya Soeharto

Seperti layaknya di negara-negara lain dimana terdapat suatu rezim otoritarianisme yang
mengekang kebebasan dan demokrasi rakyatnya. Hal itu juga terjadi di Indonesia. Selama 32
tahun Indonesia berada dibawah rezim Soharato, dimana keran demokrasi dan kebebasan
terkesan dikekang. Selama masa kepemimpinan Soeharato hampir tidak ada gerakan, baik dari
pressure group maupun gerakan oposisi pilitik yang berani mengkritisi pemerintahan Soeharto,
hal itu dikarenakan pada rezim Soeharto, militer dijadikan alat untuk mempertahankan
kekuasasaanya dan iklim politik pada saat itu tidak memungkinkan suatu gerakan pressure
group untuk tumbuh dan berkembang. Walaupun begitu, terdapat juga suara-suara yang
mengkritisi gaya kepemimpinan Soeharto. Tetapi biasanya gerakan tersebut tidak berlangsung
lama, dikarenakan tindakan represif Soeharto terhadap gerakan-gerakan politik yang
menentangnya.

Seiring dengan berkembangnya waktu dan situasi iklim politik maupun ekonomi
Indonesia yang berubah. Tanda-tanda munculnya gerakan perlawanan terhadap kepemimpinan
Soeharto yang lebih berani mulai muncul. Peristiwa yang mengindikasikan munculnya gerakan
politik yang secara terang-terangan melawan Soeharato adalah tragedi 27 Juli 1996, Di mana
terdapat penyerangan terhadap kantor pusat DPP PDI. Para analis berpendapat bahwa peristiwa
27 Juli tersebut ialah impact terhadap mulai berkembangnya partai non Golkar yaitu PDI, dan
rezim yang berkuasa pada saat itu khawatir terhadap perkembangn partai tersebut. Kemudian
seiring dengan krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1997 dan berkembang
menjadi krisis kepercayaan terhadap pemerintah, pada tahun 1998, di Indonesia gerakan-gerakan
yang menyuarakan perlawanan terhadap Soeharto intensitasnya semakin tinggi. Dikarenakan di
Indonesia pada saat rezim Soeharto, para konglomerat yang menguasai perkonomian bangsa
terkenal dekat dengan Soeharto, maka wajar jika kelompok tersebut tidak menyurakan suara
apapun untuk mengkritisi Soeharto.

Maka dari itu mahasiswa sebagai pionir gerakan intelektual mulai dengan berani
menyuarakan perlunya pergantaian rezim menuju rezim yang lebih demokratis untuk
menggantikan rezim Soeharto yang korup, tidak transparan, dan tidak demokratis. Pada saat itu
semua gerakan mahasiswa menyuarakan satu suara yaitu agar Soeharto lengser. Maka dari itu,
militer yang pada saat itu masih kuat melakukan tindakan untuk mengahalau gerakan tersebut.
Para mahasiswa mengadakan aksi keprihatinan sebagai awal pergerakan yang hanya
melibatkan segelintir mahasiswa dan diadakan didalam kampus saja. Stabilitas ekonomi yang
kian menurun, kenaikan harga barang-barang yang melambung tinggi dan meningkatnya
pemutusan hubungan kerja menjadi pemicu aksi tersebut. Krisis ekonomi yang berkepanjangan
dan ketidakmampuan dalam mengatasi krisis ekonomi tersebut menjadikan kepercayaan rakyat
terhadap pemerintah pudar. Perlahan rakyat mulai memalingkan wajah atas kesuksesan ekonomi
yang selama lebih dari 30 tahun menjadi semacam legitimasi bagi Soeharto untuk terus
memerintah.

Aksi keprihatinan mahasiswa makin meluas saat memasuki bulan Januari 1998. Para
mahasiswa yang menjadi demonstran tadinya hanya seglintir meningkat hingga ratusan. Aksi
tersebut juga turut melibatkan para dosen dan alumni1. Di berbagai kota, salah satunya di
Bandung, tidak kurang dari 500 mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) turut menjadi
peserta aksi keprihatinan tersebut. Tuntutan demi tuntutan terus mereka teriakan. Secara garis
besar tututan para mahasiswa adalah agar pemerintah menurunkan harga-harga, terutama
sembilan bahan pokok, penghapusan monopoli dan KKN, serta suksesi kepemimpinan nasional.

Tetapi pemerintah sama sekali tidak menggubris aksi-aksi yang dilakukan para
mahasiswa tersebut. Hal ini kian memicu para mahasiswa di berbagai kota untuk menggelar aksi
yang lebih besar hingga ke luar kampus. Menyadari besarnya gerakan para mahasiswa, maka
pemerintah mengambil langkah antisipasi untuk menertibkan aksi-aksi para mahasiswa tersebut.
Pemerintah sengaja menempatkan para aparat keamanan untuk berjaga di depan pintu gerbang
kampus sebagai tindakan untuk menghalangi aksi tersebut. Tindakan pemerintah ini tidak serta
merta membuat semangat para mahasiswa padam untuk melanjutkan aksi mereka dan bentrokan
antara mahasiswa dan aparat keamanan pun tidak dapat dielakkan. Bentrokan ini terjadi hampir
setiap hari dan korban luka-luka mulai berjatuhan.

Soeharto kembali terpilih menjadi presiden untuk ketujuh kalinya, masa bakti 1998-2003
pada tanggal 11 Maret 1998. Soeharto juga mengumumkan susunan anggota Kabinet
Pembangunan VII di Credentials Room, dimana dalam susunan tersebut terdapat nama Siti
Hardiyanti Rukmana dan Mohamad “Bob” Hasan yang tidak lain adalah putri sulung dan kroni
Soeharto2. Hal ini membuat intensitas aksi-aksi mahasiswa meningkat. Aksi yang digelar
1 Luhulima, James. 2001. Hari-hari Terpanjang Menjelang Mundurnya Presiden Soeharto dan beberapa peristiwa
terkait. (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara). pp. 83.
2 Ibid. pp 84.
mahasiswa ini berisi tuntutan agar Soeharto mundur dari jabatannya. Mahasiswa merasa tindakan
Soeharto tersebut adalah tantangan terbuka. Karena kolusi antara konglomerat dan permerintah,
serta nepotisme adalah hal-hal yang mereka tentang dalam aksi mereka.

Aksi-aksi yang semakin gencar membuat bentrokan terus menerus terjadi seakan tiada
henti. Untuk mencegah aksi dari mahasiswa dapat menimbulkan korban yang lebih besar, maka
Wiranto yang pada saat itu menjabat sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan, mencoba untuk
mendinginkan keadaan dengan mengajak para mahasiswa berdialog dengan para menteri
kabinet. Wiranto dalam hal ini mencoba membuka jalur bagi masyarakat untuk menyampaikan
aspirasi dan membuka pintu-pintu politik yang selama ini tertutup. Tetapi tawaran tersebut
ditolak oleh senat mahasiswa dari beberapa perguruan tinggi besar, seperti Universitas Indonesia
(UI), Universitas Padjajaran (UNPAD), Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Universitas
Gadjah Mada (UGM)3. Tawaran untuk berdialog ini dianggap tidak efektif karena tuntutan
mereka sudah jelas, yaitu reformasi politik dan ekonomi, serta pengunduran diri Soeharto dari
jabatannya sebagai presiden. Mereka juga meragukan para menteri kabinet tersebut berani untuk
menyampaikan tuntutan mereka kepada Soeharto. Jadi mereka menginginkan lembaga
kepresidenan dan MPR sebagai mitra dialog mereka. Tetapi penolakan dari para senat
mahasiswa tersebut tidak membuat Wiranto patah semangat, maka atas prakarsa Wiranto sendiri
diadakanlah dialog antara pemerintah, tokoh masyarakat, cendikiawan dan mahasiswa di Gedung
Niaga Arena Pekan Raya Jakarta, Kemayoran, pada tanggal 18 April 1998. Dalam dialog
tersebut hadir 25 tokoh masyarakat, 39 Organisasi Kemasyarakatan Pemuda (OKP), 39 senat
mahasiswa perguruan tinggi dan 24 rektor/pembantu rektor perguruan tinggi, serta 17 menteri.
Dari 17 menteri tersebut hadir pula Menteri Sosial (Mensos) Siti Hardiyanti Rukmana dan
Menteri Perindustrian dan Perdagangan (Menperindag) Mohamad “Bob” Hasan4. Akan tetapi
dalam dialog tersebut sejumlah senat mahasiswa dari perguruan tinggi tidak hadir. Walaupun
dialog ini berjalan cukup positif, bukan berarti hal tersebut membuat para mahasiswa
mengurangi atau menghentikan aksi-aksi keprihatinan.

Keadaan kian memburuk ketika pemerintah memutuskan untuk menaikkan harga BBM
dan tarif dasar listrik pada tanggal 4 Mei 1998. Berbagai kalangan, termasuk DPR menentang

3 Basril, Andris. 2000. Gerakan Mahasiswa Dalam Politik Indonesia. (Network for South East Asian Studies). pp.
99
4 Luhulima, James. 2001. Hari-hari Terpanjang Menjelang Mundurnya Presiden Soeharto dan beberapa peristiwa
terkait. (PT Kompas Media Nusantara). pp. 86.
keras atas keputusan yang diambil oleh Soeharto tersebut. Banyak kalangan sudah
memperkirakan bahwa Soeharto akan tetap menaikkan harga BBM dan tarif dasar listrik
walaupun tentangan dan kecaman bermunculan. Hal tersebut seakan sudah biasa terjadi karena
seringkali Soeharto justru mengambil tindakan dan keputusan yang bertentangan dangan yang
dituntut, diminta dan dinasehatkan banyak pihak. Salah satu contohnya adalah pada tahun 1967
dan 1968, pada saat itu Ali Moertopo meminta kepada Soeharto untuk tidak menaikkan harga
BBM dari Rp 4 menjadi Rp 16 per liternya5. Menurut Ali Moertopo keputusan tersebut dapat
menghancurkan pemerintah Orde Baru karena pasti akan ada banyak tentangan dari masyarakat.
Tetapi Soeharto sama sekali tidak mendengarkan nasehat dari Ali Moertopo dan merasa sangat
yakin kalau apa yang dia lakukan adalah untuk melaksanakan pembangunan. Memang pada saat
tidak terjadi apa-apa, persis seperti apa yang diperkirakan oleh Soeharto. Lain hal yang terjadi
dengan keputusan kenaikan BBM dan tarif dasar listrik pada 4 Mei 1998. Walaupun Soeharto
sudah memberikan kenaikan gaji sebesar 15% kepada pegawai negeri, tetapi Soeharto salah
memperhitungkan keadaan. Keputusan tersebut membuat kenaikan tarif angkutan dan harga-
harga barang yang memicu aksi mahasiswa semakin luas dan jumlah mahasiswa yang
berpartisipasi semakin bertambah banyak.

Gencarnya aksi-aksi yang dilakukan mahasiswa membuat korban luka makin bertambah.
Bahkan ada pula korban meninggal karena ketegangan antara para mahasiswa dan aparat
keamanan tidak dapat dihindarkan. Pada tanggal 12 Mei 1998, empat mahasiswa Trisakti tewas
tertembak oleh aparat keamanan di dalam kampus mereka. Keempat mahasiswa Trisakti yang
tewas tertembak tersebut adalah Elang Mulia Lesmana, Hendriawan Sie, Heri Hartanto dan
Hafidhin Alifidin Royan6. Aksi penembakan yang dilakukan oleh aparat keamanan tersebut
dilakukan ketika ribuan mahasiswa Trisakti baru memasuki kampus mereka sehabis menggelar
aksi keprihatinan. Ironisnya sebelum kejadian penembakan tersebut, aksi keprihatinan yang
dilakukan oleh para mahasiswa Trisakti yang dimulai pada pukul 11.00, berjalan dengan tertib
dan tidak ada ketegangan yang berarti antara mahasiswa dan aparat keamanan7. Ketika para
mahasiswa Trisakti bergerak ke luar kampus, para aparat keamanan yang berjaga menghadang
mereka. Kemudian mahasiswa dan aparat keamanan melakukan dialog dan disepakati bahwa

5 N. Hidayat, Dedi. 2008. Pers Dalam "Revolusi Mei": Runtuhnya Sebuah Hegemoni. (Gramedia Pustaka Utama).
pp. 123.
6 Nusa Bhakti, Ikrar. 2001. Militer dan Politik Kekerasan Orde Baru: Soeharto di Belakang Peristiwa 27 Juli.
(Penerbit Mizan bekerjasama dengan Tim Peneliti LIPI). pp. 178.
7 Ibid.
para mahasiswa hanya boleh bergerak sampai di depan Kantor Wali Kota Jakarta Barat yang
jaraknya hanya beberapa ratus meter dari kampus Trisakti. Pada pukul 17.00 para aparat
keamanan meminta para mahasiswa untuk kembali ke dalam kampus mereka. Mahasiswa
Trisakti bersedia menghentikan aksi dengan syarat para aparat keamanan yang berjaga ditarik
mundur. Aparat keamanan menyetujui syarat tersebut dan secara perlahan dan tertib kembali ke
dalam kampus. Beberapa saat berselang, sebagian besar mahasiswa Trisakti sudah berada di
dalam kampus, tetapi beberapa mahasiswa lainnya masih berada di depan Kantor Wali Kota.
Kemudian para mahasiswa berlari tunggang langgang ke dalam kampus karena mendengar suara
letusan senjata. Mahasiswa yang tidak sempat lari dan menyelamatkan diri dipukuli oleh para
aparat. Bentrokan pun tidak dapat dihindari lagi. Para mahasiswa yang sudah berada di dalam
kampus membalas dengan melempari batu ke arah para aparat. Karena dihujani batu oleh para
mahasiswa, para aparat kemudian menembakan gas air mata ke arah kampus Trisakti. Para
mahasiswa menyaksikan kebrutalan para aparat keamanan, yang tidak lain adalah para polisi
menembaki mereka yang sedang berkerumun dari ketinggian. Pada saat itu rekaman bentrokan
antara mahasiswa Trisakti dan para polisi banyak beredar dan tersiar di stasiun-stasiun televisi.
Dan dari rekaman tersebut terlihat bahwa polisi melepaskan tembakan terarah kepada para
mahasiswa Trisakti tersebut. Sehari setelah peristiwa penembakan tersebut. keempat mahasiswa
Trisakti dimakamkan. Setelah pemakaman berlangsung ribuan mahasiswa Trisakti mengadakan
aksi berkabung yang diikuti oleh massa dari kalangan luar kampus Trisakti. Menyadari keadaan
tersebut, aparat keamanan mulai bergerah mencegah massa. Massa pun mengamuk dan
mengadakan aksi perusakan besar-besaran8.

Pada saat kakacauan besar sedang melanda Indonesia, Soeharto sedang tidak berada di
Tanah Air karena menghadiri KTT G-15 di Kairo, Mesir. Mendengar kekacauan yang terjadi di
Tanah Air, maka Soeharto memutuskan untuk pulang sehari lebih cepat, yang seharusnya tanggal
16 Mei 1998 menjadi 15 Mei 19989. Sesampainya di Tanah Air Soeharto mendengar laporan
perkembangan terakhir di dalam negeri. Soeharto merasa ini adalah titik dimana kekuasaannya
akan berakhir. Lalu Soeharto pun bersedia untuk memenuhi tuntutan masyarakat, yaitu
penurunan harga BBM serta berjanji akan me-reshuffle Kabinet Pembangunan VII10. Tindakan

8 N. Hidayat, Dedi. 2008. Pers Dalam "Revolusi Mei": Runtuhnya Sebuah Hegemoni. (Gramedia Pustaka Utama).
pp. 117.
9 Luhulima, James. 2001. Hari-hari Terpanjang Menjelang Mundurnya Presiden Soeharto dan beberapa peristiwa
terkait. (PT Kompas Media Nusantara). pp. 131.
10 Tigor Naipospos, Bonar. 1999. Mahasiswa Menggugat: Potret Gerakan Mahasiswa Indonesia 1998. (Pustaka
Hidayah). pp. 262.
Soeharto ini sangat tidak biasa, karena Soeharto pantang untuk mengalah kepada keinginan
masyarakat. Tindakan Soeharto ini seakan-akan menjadi alat bantu untuk memperpanjang masa
kekuasaannya.

Pada tanggal 18 Mei 1998, para mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi masih
melanjutkan aksinya dengan mendatangi Gedung MPR/DPR. Tidak seperti aksi-aksi mereka
yang biasa terjadi, kali ini aksi mereka tidak mendapat pengamanan dan tindakan pencegahan
oleh aparat keamanan. Lalu pada keesokan harinya para mahasiswa dari Universitas Trisakti
mendatangi Gedung MPR/DPR dan menurunkan bendera yang ada di gedung utama menjadi
setengah tiang untuk mengenang tragedi tewasnya empat mahasiswa Trisakti pada 12 Mei 1998.
Pada hari yang sama, mahasiswa berkumpul memenuhi sekitar Gedung MPR/DPR tersebut.
Sangat penuh hingga para mahasiswa bergerombol di atas kubah atap gedung utama. Lalu
delegasi-delagasi mahasiswa bergantian masuk ke dalam gedung untuk berdialog dengan ketua
DPR saat itu, Harmoko. Mereka mendesak agar Soeharto mundur dari jabatannya dan
diberlakukannya pergantian kepemimpinan nasional. Setelah tekanan demi tekanan dilancarkan
oleh para mahasiswa, akhirnya Harmoko menyatakan bahwa pimpinan DPR meminta Soeharto
secara arif bijaksana mengundurkan diri. Pernyataan Harmoko ini pun disambut gembira oleh
seluruh mahasiswa yang berada di Gedung MPR/DPR pada saat itu. Pada tanggal 20 Mei 1998,
perwakilan mahasiswa kembali menemui Harmoko di Gedung MPR/DPR. Mereka memberi
batas waktu sampai tanggal 22 Mei 1998 untuk pengunduran diri Soeharto dari jabatannya.

Demikian sampai akhirnya proses demi proses berlangsung. Soeharto banyak melakukan
pertemuan dengan para tokoh masyarakat dan guru-guru besar perguruan tinggi untuk meminta
nasehat tentang bagaimana pandangan masyarakat terhadap dirinya dan cara dia memerintah,
serta memimpin rakyat Indonesia. Berbagai kalangan yang bertemu dengan Soeharto kala itu
menjelaskan bagaimana keinginan rakyat Indonesia sesungguhnya dan meminta Soeharto agar
bersedia melepaskan jabatannya yang lebih dari 30 tahun diembannya. Soeharto juga
menyampaikan bahwa dirinya bukan tidak bersedia untuk mengundurkan diri. Soeharto
berpendapat bahwa dirinya tidak bisa melepaskan tanggung jawab begitu saja ketika negara
sedang mengalami keterpurukan. Setelah menerima nasehat-nasehat dari berbagai kalangan
masyarakat tersebut, Soeharto bersedia mengundurkan diri. Tetapi Soeharto meminta
penguduran dirinya harus secara sah, kontitusional dan damai. Maka pada tanggal 21 Mei 1998,
Soeharto resmi mengundurkan diri setelah membaca naskah pengunduran diri presiden yang
dikenal juga dengan nama naskah lengser keprabon.

Dengan semangat juang para mahasiswa dalam setiap aksi yang mereka lakukan, mereka
berhasil mengubah Indonesia ke era refrormasi. Kebebasan yang diimpikan oleh rakyat
Indonesia ketika Soeharto masih menjabat menjadi presiden, akhirnya dapat terwujud. Walaupun
dengan pengorbanan darah, air mata, jiwa, dan perasaan, mereka tetap maju menghantam tembok
penghalang yang diciptakan oleh pemerintah. Bukan hanya dengan teriakan-teriakan kosong,
tetapi perjuangan mereka sampai kepada bentrokan dengan aparat keamanan, aksi penembakan,
batu melawan timah panas, tidak lagi mereka hiraukan. Dalam pikiran mereka bukanlah lagi
keselamatan diri mereka sendiri dan keluarga mereka, tapi juga nasib bangsa Indonesia yang saat
itu menghadapi kesengsaraan. Soeharto dengan segala tindakan otoriter, korupsi, kolusi dan
nepotisme berhasil diruntuhkan. Hal ini membuktikan sebesar apapun kekuatan pemerintah yang
otoriter dapat diruntuhkan dengan perlawan dari suatu pressure group. Bahkan pressure group
ini pun tidak segan-segan untuk melawan dan mengorbankan apa yang mereka miliki untuk
ditukar dengan “kemerdekaan”.

Daftar Pustaka
Luhulima, James (2001). Hari-hari Terpanjang Menjelang Mundurnya Presiden Soeharto dan
beberapa peristiwa terkait, PT Kompas Media Nusantara, Jakarta.

Basril, Andris (2000). Gerakan Mahasiswa Dalam Politik Indonesia. Network for South East
Asian Studies.

N. Hidayat, Dedi (2008). Pers Dalam "Revolusi Mei": Runtuhnya Sebuah Hegemoni. Gramedia
Pustaka Utama.
Nusa Bhakti, Ikrar (2001). Militer dan Politik Kekerasan Orde Baru: Soeharto di Belakang
Peristiwa 27 Juli. Penerbit Mizan bekerjasama dengan Tim Peneliti LIPI.

Tigor Naipospos, Bonar (1999). Mahasiswa Menggugat: Potret Gerakan Mahasiswa Indonesia
1998. Pustaka Hidayah.

You might also like