Professional Documents
Culture Documents
Islam pada sekolah umum menjadi mustahil untuk dapat direalisir apabila kualitas
pemelajaran dalam kelas tidak ditingkatkan. Guru sebagai penanggung jawab proses
pemelajaran dalam kelas merupakan orang yang berada di lini terdepan. Peningkatan
kompetensi guru menjadi sangat dominan perannya dari empat aspek lainnya, seperti :
kurikulum, fasilitas pendidikan, kultur masyarakat, dan kualitas calon input murid,
dalam upaya pengembangan pendidikan. Telah berbagai upaya dilakukan oleh
pemerintah dan masyarakat peduli pendidikan untuk meningkatkan kompetensi guru,
seperti: pendidikan/pelatihan melai dari tingkat kabupaten/kota sampai tingkat nasional,
mempermudah kesempatan untuk melanjutkan kejenjang pendidikan yang lebih tinggi,
membina wadah MGMP dan MGBS namun beberapa indikator peningkatan mutu
pendidikan belum menunjukkan peningkatan yang signifikan. Diharapkan pelaksanaan
supervisi klinis dapat menjawab semua kebuntuan tersebut.
Pendahuluan.
Sedikitnya terdapat tiga syarat utama yang harus diperhatikan dalam membangun
pendidikan agar dapat berkontribusi terhadap sumber daya manusia (SDM), yakni : (1)
sarana dan prasarana belajar , (2) buku dan atau sumber belajar yang berkualitas, dan (3)
guru dan tenaga kependidikan yang profesional. Demikian diungkapkan mantan Menteri
Pendidikan Nasional Wardiman Djoyonegoro dalam wawancara dengan Metro TV dalam
rangka menyambut hari Pendidikan Nasional tanggal 2 Mei 2005. Dalam pada itu
dikemukakannya, “hanya 43 % guru yang memenuhi syarat “. Artinya sebahagian besar
guru ( 57 % ) tidak atau belum memenuhi syarat, tidak kompeten, dan tidak profesional.
Guru memiliki posisi yang sangat penting dan menetukan. Guru berada pada lini
paling depan dalam keterlaksanaan proses pemelajaran di sekolah. Guru merupakan
orang yang paling bertanggung jawab atas kualitas dan kebermaknaan proses pemelajaran
di dalam kelas. Dengan sedemikian besarnya beban tugas dan tanggung jawab guru, jika
dipersandingkan dengan guru yang memenuhi syarat seperti yang diungkap bapak
Wardiman di atas, akan sangat sulit untuk bisa dipahami bagaimana guru dapat
melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sesuai dengan harapan.
Kualifikasi layak, semi layak, dan tidak layak tersebut, sebagaimana terdapat
dalam rangkuman di atas adalah, guru layak untuk SD/MI tingkat pendidikan D-II
keguruan ke atas, untuk SMP/MTS tingkat pendidikan D-III keguruan ke atas, untuk
SMA/MA/SMK tingkat pendidikan S-1 keguruan ke atas. Kalau kualifikasi kelayakan
menggunakan Undang-Undang Guru dan Dosen tentu tingkat ketidak layakannya akan
menjadi jauh bergeser. Memperhatikan data yang ada di Sumatera Barat di atas tentu
kondisi ketidak layakan guru secara nasional tidak akan berbeda jauh, apalagi diwilayah
Indonesia Timur.
Perobahan paradigma tentang masalah pendidikan, dan digulirkannya Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan ( KTSP ) yang berbasis kompetensi, tentu menuntut
perobahan paradigma guru dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai
penanggung jawab utama proses pemelajaran di kelas.
Memahami kondisi di atas telah berbagai upaya dilakukan oleh semua pihak yang
merasa bertanggung jawab tentang peningkatan mutu pendidikan, mulai dari membuka
peluang bagi guru untuk melanjutkan pendidikan kejenjang yang lebih tinggi, baik
dengan biaya pemerintah ataupun dengan biaya mandiri. Melakukan pelatihan/penataran
ditingkat kabupaten, propinsi dan nasional, mendorong lahirnya MGMP dan atau MGBS.
Namun upaya itu pada realitanya tidak menampakan hasil yang signifikan kearah
peningkatan mutu pendidikan secara nasional.
Supervisi klinis adalah sebuah upaya berbagi pengalaman dan pengetahuan untuk
meningkatkan kualitas pemelajaran dengan tampa mengangkat/mencabut guru dari
habitat dan kultur aslinya. Antara guru yang disupervisi dengan supervisor dapat saling
bertukar argumen, tidak ada yang dinilai dan yang menilai. Keduanya saling memperkaya
dan meningkatkan kualitas diri. Supervisi klinis dapat dilakukan bersiklus jika
dibutuhkan.
Supervisi klinis dapat dilakukan atas permintaan guru, karena ia merasa bulum
mampu melaksanakan strategi atau keterampilan mengajar terntentu, atau guru tersebut
menemui masalah dalam proses pemelajaran yang ia tidak mempu mengatasinya sendiri.
Guru juga dapat meminta agar ia disupervisi dengan supervisi klinis, karena ia merasa
kurang maksimal dalam pelaksanaan proses pemelajaran.
Supervisi klinis juga dapat diminta oleh kepala sekolah agar dilakukan terhadap
guru tertentu. Hal ini didasari oleh hasil analisis supervisi umum yang dilakukan oleh
kepala sekolah dan atau tim yang ditunjuk kepala sekolah. Hasil supervisi memberikan
petunjuk bahwa guru tertentu perlu bantuan dan bimbingan agar mampu melaksalanakan
proses pemelajaran yang lebih berkualitas dan bermakna.
Berdasarkan dua pertimbangan di ataslah supervisi klinis dapat dilakukan
terhadap seorang guru. Walaupun demikian masih dituntut persetujuan, kerelaan dan
pemahaman yang mendalam dari guru yang akan di supervisi dengan supervisi klinis.
1. Supervisi klinis dilakukan dalam bentuk bimbingan dan atau berbagi pengalaman
dan pengetahuan untuk meningkatkan kualitas pemelajaran, bukan perintah atau
instruksi atasan pada bawahan.
2. Aspek dan jenis keterampilan yang akan disupervisi diusulkan oleh guru dan atau
sebuah kesepakan hasil kajian bersama antara guru dengan supervisor.
3. Walaupun guru menggunakan berbagai strategi, metoda, media dan keterampilan
pemelajaran secara terintegrasi, sasaran supervisi klinis hanya pada aspek dan
jenis keterampilan yang disepakati.
4. Instrumen supervisi dirancang dan dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan
kesepakatan.
5. Supervisor merefleksikan data dan fakta objektif hasil observasi selama proses
pemelajaran berlansung.
6. Balikan diberikan segera setelah kegiatan supervisi berlansung.
7. Guru yang disupervisi diberikan kesempatan seluas-luasnya memberikan
argumentasi yang mendasari pilihan tindakan dan perilaku yang digunakan dalam
proses pemelajaran.
8. Supervisor lebih banyak bertanya dan mendengar penjelasan dari pada
memberikan arahan apalagi perintah.
9. Setelah didapat pemahaman bersama dan dirasa belum mencapai kondisi optimal
yang diinginkan, supervisi dapat dilanjutkan pada siklus berikutnya.
10. Satu siklus supervisi klinis terdiri dari 5 ( lima ) tahapan kegiatan yaitu : a).
merumuskan kesepakatan, b). menyusun perencanaan, c). melaksanakan proses
pemelajaran, melakukan observasi dan merefleksikan data dan fakta hasil
observasi, d). diskusi/balikan, dan e). merancang siklus berikutnya.
Instrumen ini sifatnya terbuka dan setelah digunakan harus dimiliki oleh guru
yang disupervisi, supervisor dan kepala sekolah. Karena data, fakta dan kesimpulan yang
terdapat dalam instrumen inilah yang akan dijadikan dasar dalam perencanaan kekiatan
pada siklus selanjutnya.