You are on page 1of 6

Pengembangan pendidikan, termasuk didalamnya pengembangan Pendidikan Agama

Islam pada sekolah umum menjadi mustahil untuk dapat direalisir apabila kualitas
pemelajaran dalam kelas tidak ditingkatkan. Guru sebagai penanggung jawab proses
pemelajaran dalam kelas merupakan orang yang berada di lini terdepan. Peningkatan
kompetensi guru menjadi sangat dominan perannya dari empat aspek lainnya, seperti :
kurikulum, fasilitas pendidikan, kultur masyarakat, dan kualitas calon input murid,
dalam upaya pengembangan pendidikan. Telah berbagai upaya dilakukan oleh
pemerintah dan masyarakat peduli pendidikan untuk meningkatkan kompetensi guru,
seperti: pendidikan/pelatihan melai dari tingkat kabupaten/kota sampai tingkat nasional,
mempermudah kesempatan untuk melanjutkan kejenjang pendidikan yang lebih tinggi,
membina wadah MGMP dan MGBS namun beberapa indikator peningkatan mutu
pendidikan belum menunjukkan peningkatan yang signifikan. Diharapkan pelaksanaan
supervisi klinis dapat menjawab semua kebuntuan tersebut.

Pendahuluan.

Membicarakan strategi pengembangan pendidikan, sedikitnya terdapat lima


subsistem yang saling bekerjasama, yakni (1) guru sebagai tenaga pendidik, (2)
kurikulum, (3) sarana dan prasarana pendidikan, (4) kultur masyarakat yang menunjang,
dan (5) kualitas calon peserta didik. Dari kelima subsistem tersebut kompetensi guru
memiliki peran yang paling ldominan, karena sebaik apapun kurikulum dan selengkap
apapun fasilitas akan menjadi tidak bermakna apabila berada ditangan guru yang kurang
profesional.

Sedikitnya terdapat tiga syarat utama yang harus diperhatikan dalam membangun
pendidikan agar dapat berkontribusi terhadap sumber daya manusia (SDM), yakni : (1)
sarana dan prasarana belajar , (2) buku dan atau sumber belajar yang berkualitas, dan (3)
guru dan tenaga kependidikan yang profesional. Demikian diungkapkan mantan Menteri
Pendidikan Nasional Wardiman Djoyonegoro dalam wawancara dengan Metro TV dalam
rangka menyambut hari Pendidikan Nasional tanggal 2 Mei 2005. Dalam pada itu
dikemukakannya, “hanya 43 % guru yang memenuhi syarat “. Artinya sebahagian besar
guru ( 57 % ) tidak atau belum memenuhi syarat, tidak kompeten, dan tidak profesional.

Dalam Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003, tentang Sisdiknas Bab XI


Pasal 39 ayat (1), dijelaskan tenaga kependidikan bertugas melaksanakan administrasi,
pengelolaan, pengembengan, dan pelayanan teknis untuk menunjang proses pendidikan
dan satuan pendidikan. Syaiful (2000 : 73 ) mengatakan : guru adalah orang tua kedua
bagi anak didik . Imran ( 1989 : 112 ) mengungkapkan bahwa guru merupakan tokoh
kunci dalam proses tranformasi manusian Indonesia untuk menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa, inovatif dan kreaktif. Dalam sistem persekolahan gedung, sarana
prasarana, kurikulum, tenaga non kependidikan adalah penting, tetapi tampa guru yang
bermutu, guru yang berdedikasi, guru yang profesional semua masukan lain tidak akan
mempunyai arti banyak.

Guru memiliki posisi yang sangat penting dan menetukan. Guru berada pada lini
paling depan dalam keterlaksanaan proses pemelajaran di sekolah. Guru merupakan
orang yang paling bertanggung jawab atas kualitas dan kebermaknaan proses pemelajaran
di dalam kelas. Dengan sedemikian besarnya beban tugas dan tanggung jawab guru, jika
dipersandingkan dengan guru yang memenuhi syarat seperti yang diungkap bapak
Wardiman di atas, akan sangat sulit untuk bisa dipahami bagaimana guru dapat
melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sesuai dengan harapan.

Dari analisis rangkuman data pendidikan di Sumatera Barat tahun 2004/2005,


ditemukan masalah yang terkait dengan kelayakan guru dari sudut tingkat pendidikan,
sebagai berikut .

Kualifikasi Guru Berdasarkan Tingkat Pendidikan dan Latar Belakang Pendidikan


(ijazah) Dengan Bidang Studi yang Diajarkan

No PERSYARATAN SD SLTP SMA SMK


1 Memenuhi tingkat pendidikan minimal 75,41 % 76,72 % 78,68 % 74,51 %
2 Semi memenuhi pendidikan non keguruan 15,12 % 12,3 % 14,97 % 19,64 %
3 Tidak memenuhi tingkat pendidikan di
9,47 % 10,95 % 5,34 % 5,86 %
bawah persyaratan minimal

(Sumber : Diknas Sumbar , tahun 2005)

Kualifikasi layak, semi layak, dan tidak layak tersebut, sebagaimana terdapat
dalam rangkuman di atas adalah, guru layak untuk SD/MI tingkat pendidikan D-II
keguruan ke atas, untuk SMP/MTS tingkat pendidikan D-III keguruan ke atas, untuk
SMA/MA/SMK tingkat pendidikan S-1 keguruan ke atas. Kalau kualifikasi kelayakan
menggunakan Undang-Undang Guru dan Dosen tentu tingkat ketidak layakannya akan
menjadi jauh bergeser. Memperhatikan data yang ada di Sumatera Barat di atas tentu
kondisi ketidak layakan guru secara nasional tidak akan berbeda jauh, apalagi diwilayah
Indonesia Timur.
Perobahan paradigma tentang masalah pendidikan, dan digulirkannya Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan ( KTSP ) yang berbasis kompetensi, tentu menuntut
perobahan paradigma guru dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai
penanggung jawab utama proses pemelajaran di kelas.

Memahami kondisi di atas telah berbagai upaya dilakukan oleh semua pihak yang
merasa bertanggung jawab tentang peningkatan mutu pendidikan, mulai dari membuka
peluang bagi guru untuk melanjutkan pendidikan kejenjang yang lebih tinggi, baik
dengan biaya pemerintah ataupun dengan biaya mandiri. Melakukan pelatihan/penataran
ditingkat kabupaten, propinsi dan nasional, mendorong lahirnya MGMP dan atau MGBS.
Namun upaya itu pada realitanya tidak menampakan hasil yang signifikan kearah
peningkatan mutu pendidikan secara nasional.

Penataran/pelatihan itu tidak memberikan hasil yang signifikan kearah


perbaikatan dan peningkatan mutu pendidikan menerut analisis para ahli banyak
kemungkinan penyebabnya. Salah satu diantaranya, karena guru tersebut
diangkat/dicabut dari kontek dan habitat aslinya, dan dihadapkan pada situasi dan kultur
baru yang belum tentu cocok dengan kontek dan kultur tempat mereka bertugas.
Sehingga pelatihan/penataran melahirkan kebingungan baru yang mendorong guru
menjadi apatis serta mempertahan status kuo. Setelah mereka sampai ditempat tugasnya
habis mengikuti penataran/pelatihan, mereka kembali kepada kebiasaan lama yang sudah
tidak relevan lagi.

Covey (2005 : 25 ) menggambarkan situasi seperti itu dengan hanya 4 kata “


Nothing fails like succes” ( tidak ada sesuatu yang gagal seperti keberhasilan). Dengan
kata lain, bila kita menghadapi sebuah stimulan tahun lalu atau bulan lalu kita respon
dengan “A” yang setara dengan stimulan tersebut maka kita berhasil. Tetapi apa bila hari
ini kita mendapatkan stimulan yang sama dengan stimulan yang lalu, kita respon dengan
“A” seperti yang lalu kita akan gagal, direspon “ A plus “ baru ada peluang untuk
berhasil.

Supervisi klinis adalah sebuah upaya berbagi pengalaman dan pengetahuan untuk
meningkatkan kualitas pemelajaran dengan tampa mengangkat/mencabut guru dari
habitat dan kultur aslinya. Antara guru yang disupervisi dengan supervisor dapat saling
bertukar argumen, tidak ada yang dinilai dan yang menilai. Keduanya saling memperkaya
dan meningkatkan kualitas diri. Supervisi klinis dapat dilakukan bersiklus jika
dibutuhkan.

Supervisi klisnis memberikan kebebasan untuk memilih tanggapan terhadap


berbagai ransangan yang ada. Karena guru dapat memperlebar ruang yang terdapat
antara ransangan dan tanggapan yang datang silih berganti, setiap guru memimpin
proses pemelajaran, baik di dalam ataupun di luar ruang kelasnya. Pemelajaran akan lebih
bermakna dan berkualitas. Sehingga konsep “AMBAK” yang ditawarkan Bobbi De
Porter dalam Quantum Learning dapat direalisasaikan di ruang kelas.

Pengertian Supervisi Klinis.


Johan J. Bolla ( 1985 : 19 ) mengatakan bahwa, supervisi klinis adalah suatu
proses bimbingan yang bertujuan untuk membantu pengembangan profesional guru
dalam pelaksanaan proses pemelajaran. Bimbingan diarahkan pada upaya pemberdayaan
guru dalam menguasai aspek teknis pemelajaran. Dengan bimbingan tersebut diharapkan
terjadi peningkatan kualitas pemelajaran.

Pelaksanaan supervisi klinis menuntut perobahan paradigma guru dan supervisor.


Supervisi dilakukan bukan dalam kontek mencari kesalahan dan kelemahan guru yang di
supervisi. Antara guru yang disupervisi dengan supervisor adalah mitra sejajar, bukan
merupakan hubungan antara bawahan dan atasan dan atau hubungan antara guru dengan
murid. Secara kemitraan keduanya menganalisis proses pemelajaran yang telah dirancang
dan disepakati, kemudian dicarikan alternatif pemecahan permasalah yang ditemui dalam
proses pemelajaran tersebut agar dapat ditingkatkan kualitasnya.

Richard Waller dalam La Solo ( 1983 : 27 ) mengatakan :

“ Clinical supervision may be defined as supervision focused upon the inprovement


of instruction by means of sistematic cycles of planning, observation and intensive
intelectual analysis of actual teaching performance in the interest of rational
modification “

Pendapat Richard di atas mengenai supervisi klinis memfokuskan pada upaya


perbaikan proses pemelajaran yang dilakukan bersiklus. Perbaikan itu dilaksanakan
secara berkelanjutan dalam beberapa siklus sampai kondisi yang diinginkan dapat
dicapai. Supervisi klinis diharapkan juga dapat melahirkan re-invantion dan atau inovasi
yang relevan dengan kultur dan kondisi masing-masing sekolah.

Supervisi klinis dapat dilakukan atas permintaan guru, karena ia merasa bulum
mampu melaksanakan strategi atau keterampilan mengajar terntentu, atau guru tersebut
menemui masalah dalam proses pemelajaran yang ia tidak mempu mengatasinya sendiri.
Guru juga dapat meminta agar ia disupervisi dengan supervisi klinis, karena ia merasa
kurang maksimal dalam pelaksanaan proses pemelajaran.

Supervisi klinis juga dapat diminta oleh kepala sekolah agar dilakukan terhadap
guru tertentu. Hal ini didasari oleh hasil analisis supervisi umum yang dilakukan oleh
kepala sekolah dan atau tim yang ditunjuk kepala sekolah. Hasil supervisi memberikan
petunjuk bahwa guru tertentu perlu bantuan dan bimbingan agar mampu melaksalanakan
proses pemelajaran yang lebih berkualitas dan bermakna.
Berdasarkan dua pertimbangan di ataslah supervisi klinis dapat dilakukan
terhadap seorang guru. Walaupun demikian masih dituntut persetujuan, kerelaan dan
pemahaman yang mendalam dari guru yang akan di supervisi dengan supervisi klinis.

Selanjutnya La Solo (1983 : 56 ) menjelaskan beberapa hal yang harus


diperhatikan dalam pelaksanaan supervisi klinis, antara lain adalah :

1. Supervisi klinis dilakukan dalam bentuk bimbingan dan atau berbagi pengalaman
dan pengetahuan untuk meningkatkan kualitas pemelajaran, bukan perintah atau
instruksi atasan pada bawahan.
2. Aspek dan jenis keterampilan yang akan disupervisi diusulkan oleh guru dan atau
sebuah kesepakan hasil kajian bersama antara guru dengan supervisor.
3. Walaupun guru menggunakan berbagai strategi, metoda, media dan keterampilan
pemelajaran secara terintegrasi, sasaran supervisi klinis hanya pada aspek dan
jenis keterampilan yang disepakati.
4. Instrumen supervisi dirancang dan dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan
kesepakatan.
5. Supervisor merefleksikan data dan fakta objektif hasil observasi selama proses
pemelajaran berlansung.
6. Balikan diberikan segera setelah kegiatan supervisi berlansung.
7. Guru yang disupervisi diberikan kesempatan seluas-luasnya memberikan
argumentasi yang mendasari pilihan tindakan dan perilaku yang digunakan dalam
proses pemelajaran.
8. Supervisor lebih banyak bertanya dan mendengar penjelasan dari pada
memberikan arahan apalagi perintah.
9. Setelah didapat pemahaman bersama dan dirasa belum mencapai kondisi optimal
yang diinginkan, supervisi dapat dilanjutkan pada siklus berikutnya.
10. Satu siklus supervisi klinis terdiri dari 5 ( lima ) tahapan kegiatan yaitu : a).
merumuskan kesepakatan, b). menyusun perencanaan, c). melaksanakan proses
pemelajaran, melakukan observasi dan merefleksikan data dan fakta hasil
observasi, d). diskusi/balikan, dan e). merancang siklus berikutnya.

Instrumen Supervisi Klinis

Instrumen supervisi klinis terdiri dari beberapa bagian. Pertama lembaran


kesepakatan yang terdiri dari 4 (empat ) aspek yakni : aspek kependidikan, akademik ,
pengelolaan kelas dan interaksi dengan siswa dalam proses pemelajaran. Dalam lembaran
ini disepakati, apa fokus persoalan yang akan disupervisi. Kedua lembaran perangkat dan
media pemelajaran apa yang menjadi pilihan. Ketiga lebaran observasi, refleksi, dan
kesimpulan diskusi sebagai balikan. Keempat lembaran penutup, yang berisi saran
pembinaan dan legalitas kegiatan.

Instrumen ini sifatnya terbuka dan setelah digunakan harus dimiliki oleh guru
yang disupervisi, supervisor dan kepala sekolah. Karena data, fakta dan kesimpulan yang
terdapat dalam instrumen inilah yang akan dijadikan dasar dalam perencanaan kekiatan
pada siklus selanjutnya.

You might also like