You are on page 1of 312

DASAR-DASAR PRAKTEK

PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


DIREKTORAT JENDERAL ANGGARAN
DIREKTORAT PENYUSUNAN APBN

Dasar-Dasar Praktek Penyusunan APBN di Indonesia


ISBN 978-602-17675-0-4
Copyright @ 2013
Direktorat Penyusunan APBN, Direktorat Jenderal Anggaran, Kementerian Keuangan

Disusun oleh Direktorat Penyusunan APBN, Direktorat Jenderal Anggaran


Penanggung jawab:
Herry Purnomo

Editor:
Purwiyanto

Kontributor:
Yonathan Setianto Hadi : Asumsi Ekonomi Makro, Pendapatan Negara dan Hibah
Didik Kusnaini : Belanja Negara
Agung Widiadi : Belanja Kementerian Negara/Lembaga:
Tity Hernawati : Transfer ke Daerah dan Subsidi
Agus Kuswantoro : Pembiayaan Anggaran
Koordinator Teknis:
Wawan Sunarjo
Pelaksana Teknis:
Ken Herindari, Lisno Setiawan
Cover:
Kandha Aditya Sandjoyo

Hak Cipta dilindungi undang-undang


Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku tanpa izin

DASAR-DASAR PRAKTEK KEUANGAN NEGARA

DAFTAR ISI

Halaman

Daftar Isi
Daftar Tabel.
Daftar Gambar.
Daftar Grafik.
Daftar Boks.
Sambutan Menteri Keuangan Republik Indonesia
Kata Pengantar Direktur Jenderal Anggaran
Kata Pengantar Tim Penyusun

iii
vii
ix
x
xii
xiii
xiv
xv

BAB I PENDAHULUAN
1.1
Keuangan Negara.
1.1.
Ruang Lingkup Keuangan Negara.
1.1.2 Kekuasaan atas Pengelolaan Keuangan Negara...
1.1.2.1 Pembagian Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Negara..
1.1.2.2 Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Bank Sentral,
Pemerintah Daerah, Pemerintah/Lembaga Asing, Perusahaan
Negara/Daerah, Perusahaan Swasta serta Badan Pengelola Dana
Masyarakat

1
1
1
2
3

1.2
1.2.1
1.3
1.3.1.
1.4
1.5
1.5.1
1.5.2
1.5.3

1.6
1.7

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) .


Peran APBN terhadap Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi.
Struktur Utama APBN dan Asumsi....
Faktor-faktor Penentu APBN......
Dasar Hukum APBN....
Format dan Postur APBN....
Format (Bentuk Rekening) APBN..
Postur APBN.......................
Surplus / Defisit APBN, SAL (Saldo Anggaran Lebih), Sisa
Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) dan Sisa Kurang Pembiayaan
Anggaran (SIKPA) ..............
Peran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam Keuangan Negara
Peran DPR dalam Undang-undang yang Terkait Dengan Penerimaan
Keuangan Negara

BAB II SIKLUS APBN....................


2.1
Tahapan Siklus....................
2.2
Perencanaan........................
2.3
Kapasitas Fiskal.
2.4
Penganggaran......................
2.5
Penetapan APBN.................

DIREKTORAT P-APBN

5
6
7
8
8
10
11
11
14

18
21
27
29
29
33
39
48
58

iii
DAFTAR ISI

DASAR-DASAR PRAKTEK KEUANGAN NEGARA

BAB III ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO.


3.1
Pendahuluan........................
3.2
Pertumbuhan Ekonomi.........
3.3
Inflasi....................................
3.4
Suku Bunga SPN 3 Bulan....
3.5
Nilai Tukar Rupiah Terhadap USD.
3.6
Harga Minyak Mentah Indonesia.
3.7
Lifting Minyak
3.8
Dampak Perubahan Asumsi Dasar Ekonomi Makro Terhadap Postur
APBN..................................
3.9
Perkembangan Asumsi Dasar Ekonomi Makro

63
63
63
66
70
70
72
73

BAB IV PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH...


4.1
Pendahuluan.............................................
4.2
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pendapatan Negara......
4.3
Struktur Pendapatan Negara dan Hibah...
4.4
Jenis-jenis Pendapatan Negara dan Hibah..
4.4.1 Penerimaan Perpajakan...........................
4.4.2 Unsur Pajak.......
4.4.3 Fungsi Pajak.........
4.4.4 Syarat Pemungutan Pajak......
4.4.5 Asas Pemungutan....
4.4.6 Penerimaan Perpajakan dalam APBN......
4.4.6.1 Pajak di Daerah....
4.4.6.2 Perkembangan Penerimaan Perpajakan..
4.4.7 Penerimaan Negara Bukan Pajak............
4.5
Pengertian Hibah......

77
77
77
78
80
81
82
82
83
85
86
95
96
101
106

BAB V BELANJA PEMERINTAH PUSAT


5.1
Pendahuluan.............................................
5.2
Perkembangan Struktur Belanja Pemerintah Pusat
5.3
Reformasi Manajemen Keuangan Negara...
5.4
Klasifikasi Belanja Pemerintah Pusat.......
5.5
Kebijakan Belanja Pemerintah Pusat 2010-2013
5.6
Belanja Pemerintah Pusat Menurut Jenis (Klasifikasi Ekonomi) .
5.6.1 Belanja Pegawai...
5.6.2 Belanja Barang................
5.6.3 Belanja Modal..................
5.6.4 Pembayaran Bunga Utang..
5.6.5 Subsidi....
5.6.5.1 Subsidi BBM..
5.6.5.2 Subsidi Listrik
5.6.5.3 Subsidi Pangan.
5.6.5.4 Subsidi Pupuk

109
109
113
116
118
121
124
125
134
137
139
141
142
145
146
148

DIREKTORAT P-APBN

74
76

iv
DAFTAR ISI

DASAR-DASAR PRAKTEK KEUANGAN NEGARA

5.6.5.5
5.6.5.6
5.6.5.7
5.6.5.8
5.6.6
5.6.7
5.6.8
5.7
5.8
5.8.1
5.9
5.9.1
5.9.2
5.9.3
5.9.4
5.9.5
5.9.6
5.9.7
5.9.8
5.9.9
5.9.10
5.9.11
5.10
5.10.1
5.10.2
5.10.3
5.11
5.12
5.12.1
5.12.2

Subsidi Benih.
Subsidi/Bantuan PSO.
Subsidi Bunga Kredit Program
Subsidi Pajak Ditanggung Pemerintah (DTP) .
Belanja Hibah
Bantuan Sosial..
Belanja Lain-Lain..
Klasifikasi Belanja Pemerintah Pusat Menurut Organisasi
Penyusunan Anggaran Belanja Kementerian Negara/Lembaga..
Stakeholder yang Terlibat dalam Penyusunan APBN....
Klasifikasi Belanja Pemerintah Pusat Menurut Fungsi...
Belanja Fungsi Pelayanan Umum..
Belanja Fungsi Pendidikan..
Belanja Fungsi Ekonomi..
Belanja Fungsi Pertahanan.
Belanja Fungsi Ketertiban dan Keamanan...
Belanja Fungsi Perlindungan Sosial..
Belanja Fungsi Lingkungan Hidup.
Belanja Fungsi Perumahan dan Fasilitas Umum
Belanja Fungsi Kesehatan..
Belanja Fungsi Pariwisata dan Budaya.
Belanja Agama..
Profil Belanja Pemerintah Pusat.
Belanja operasional dan nonoperasional..
Belanja mengikat (wajib) dan tidak mengikat (tidak wajib) ...
Anggaran Pendidikan...
Perkembangan Belanja Kementerian Lembaga
Pemblokiran dan Revisi...
Pemblokiran...
Revisi Anggaran....

150
151
153
156
157
160
174
177
182
188
189
191
191
192
193
194
195
196
197
198
199
199
200
201
202
203
206
210
210
211

BAB V I TRANSFER KE DAERAH.


6.1
Pendahuluan.
6.2
Transfer ke Daerah..
6.2.1 Dana Perimbangan...
6.2.1.1 Dana Bagi Hasil.
6.2.1.2 DAU.
6.2.1.3 DAK.
6.2.2 Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian.
6.2.2.1 Dana Otonomi Khusus (Otsus)...
6.2.2.2 Dana Penyesuaian

215
215
216
216
216
218
223
226
226
228

DIREKTORAT P-APBN

v
DAFTAR ISI

DASAR-DASAR PRAKTEK KEUANGAN NEGARA

BAB VII PEMBIAYAAN ANGGARAN


7.1
Pendahuluan..
7.2
Kebijakan Pembiayaan Utang.
7.2.1 Surat Berharga Negara.
7.2.2 Pinjaman Dalam Negeri
7.2.3 Pinjaman Luar Negeri
7.2.4 Mekanisme Penganggaran Pembiayaan Utang...
7.3
Pembiayaan Nonutang.
7.3.1 Saldo Anggaran Lebih (SAL) / Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran
(SiLPA).
7.3.2 Hasil Pengelolaan Aset.
7.3.3 Investasi Pemerintah.
7.3.4 Penyertaan Modal Negara (PMN)...
7.3.5 Dana Bergulir..
7.3.6 Kewajiban Penjaminan.
7.3.7 Dana Pengembangan Pendidikan Nasional..
7.4
Kebijakan Pembiayaan Anggaran APBN 2012.
7.4.1 Pembiayaan Utang
7.4.2 Pembiayaan Nonutang.
Lampiran 1
Lampiran 2
Lampiran 3
Lampiran 4
Lampiran 5
Appendiks

233
233
241
241
245
246
250
252
252
253
254
255
259
261
262
262
263
264

Kedudukan, Tugas dan Fungsi Unit-unit di Kementerian


Keuangan
Belanja Kementerian Negara/Lembaga, 2005-2013
Belanja Modal Kementerian Negara/Lembaga 2013
Belanja Kementerian Negara/Lembaga Menurut
Kementerian Koordinator, 2005-2013
Belanja Modal Kementerian Negara/Lembaga 2013
Penjelasan Anggaran Tematik Dalam APBN

Daftar Pustaka

DIREKTORAT P-APBN

vi
DAFTAR ISI

DASAR-DASAR PRAKTEK KEUANGAN NEGARA

DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 1.1 I-account Ringkas dan Asumsi Dasar Ekonomi Makro
Tahun 2009-2012
Tabel 1.2 APBN dalam Format T-Account dan I-Account
Tabel 1.3 Format T-Account dan I-account APBN..
Tabel 1.4 Postur APBN Tahun 2010- 2012.
Tabel 1.5 Komisi DPR dan Ruang Lingkup Tugasnya
Tabel 2.1 Proses Penyusunan Kapasitas Fiskal dan Postur APBN
Tabel 2.2 Model dan Perhitungan Belanja Pegawai
Tabel 2.3 Kegiatan dalam Rangka Penyusunan Pagu Indikatif.

9
13
14
20
22
44
47
50

Tabel 3.1 Nilai Tukar Mata Uang Rupiah (Spot) Terhadap Beberapa Mata
Uang di Dunia 2009-2012..
Tabel 3.2 Dampak Perubahan Asumsi Terhadap Postur APBN...
Tabel 3.3 Perkembangan Asumsi Dasar Ekonomi Makro Tahun 2001-2012.

71
75
76

Tabel 4.1. Faktor-faktor Ekonomi yang Diperhitungkan dalam Perencanaan


Pendapatan Negara
Tabel 4.2. Perbandingan Struktur Penerimaan Negara..
Tabel 4.3. Unit Kerja Pemungut Pendapatan Negara..
Tabel 4.4 Perkembangan Tarif PPH dan PTKP..
Tabel 4.5 Tarif Cukai dan Batasan Harga Jual Eceran Hasil Tembakau Buatan
Dalam Negeri
Tabel 4.6 Tarif Cukai dan Batasan Harga Jual Eceran Hasil Tembakau Impor
Tabel 4.7 Tarif Cukai dan Batasan Harga Jual Eceran Etil Alkohol dan
Minuman Mengandung Etil Alkohol.
Tabel 4.8 Realisasi Penerimaan Perpajakan Tahun Anggaran 2000-2013.
Tabel 4.9 Realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak Tahun Anggaran
2000-2010....
Tabel 4.10 Perkembangan Hibah, 2002-2013
Tabel 5.1
Tabel 5.2
Tabel 5.3
Tabel 5.4
Tabel 5.5
Tabel 5.6
Tabel 5.7
Tabel 5.8
Tabel 5.9

Tema Pembangunan dan Prioritas Nasional..


Perubahan Format Belanja Pemerintah Pusat
Klasifikasi Menurut Fungsi
Kebijakan Belanja Pemerintah Pusat Tahun 2010-2013..
Belanja Pegawai..
Belanja Pegawai Tahun 2001-2013.
Kebijakan Belanja Pegawai Tahun 2005-2013..
Perkembangan Kesejahteraan PNS Tahun 2005-2013...
Perkembangan Jumlah Pegawai Negeri Aktif dan Pensiunan Tahun
2006-2013.

DIREKTORAT P-APBN

78
79
88
91
92
92
99
106
108
111
116
120
122
126
128
129
130
131

vii
DAFTAR TABEL

DASAR-DASAR PRAKTEK KEUANGAN NEGARA

Tabel 5.10 Perkembangan Harga Eceran BBM Bersubsidi Tahun 2006-2011


Tabel 5.11 Perkembangan Belanja Hibah Tahun 2010-2012.
Tabel 5.12 Perkembangan Anggaran Bantuan Sosial Tahun 2005-2013.
Tabel 5.13 Realisasi Belanja Kementerian/Lembaga Tahun 2005-2013..
Tabel 5.14 Perkembangan Alokasi Belanja Menurut Fungsi Perlindungan Sosial
Tahun 2005-2012
Tabel 5.15 Perkembangan Alokasi Belanja Menurut Fungsi Lingkungan Hidup
Tahun 2005-2012.
Tabel 5.16 Perkembangan Alokasi Belanja Menurut Fungsi dan Fasilitas Umum
Tahun 2005-2012...
Tabel 5.17 Perkembangan Alokasi Belanja Menurut Fungsi Kesehatan 20052012...................................
Tabel 5.18 Perkembangan Alokasi Belanja Menurut Fungsi Pariwisata dan
Budaya Tahun 2005-2013 .
Tabel 5.19 Perkembangan Alokasi Belanja Menurut Fungsi Agama Tahun 20052013 ......................................
Tabel 5.20 Perkembangan Anggaran Pendidikan Tahun 2009-2012
Tabel 5.21 Perkembangan Belanja Kementerian Negara/Lembaga Tahun 20092012..

143
160
168
179

Tabel 6.1 Persentase Pembagian Pusat dan Daerah atas DBH.


Tabel 6.2 Perkembangan Transfer ke Daerah, 2001-2013

218
230

Tabel 7.1 Perkembangan Pembiayaan Anggaran Dalam Negeri dan Luar


Negeri 2000-2012.......
Tabel 7.2 Perkembangan Pembiayaan Utang dan Nonutang, 2000-2012..
Tabel 7.3 Perkembangan Pembiayaan Anggaran Berdasarkan Penerimaan dan
Pengeluaran 2000-2012
Tabel 7.4 Daftar Lender Berdasarkan Jenis Pinjaman
Tabel 7.5 Posisi Pinjaman Berdasarkan Negara/Lembaga Kreditor, 2007-2012
Tabel 7.6 BUMN penerima PMN pada Tahun 2006
Tabel 7.7 BUMN penerima PMN pada Tahun 2007
Tabel 7.8 BUMN penerima PMN pada Tahun 2008
Tabel 7.9 BUMN penerima PMN pada Tahun 2009
Tabel 7.10 BUMN penerima PMN pada Tahun 2010
Tabel 7.11 BUMN penerima PMN pada Tahun 2011
Tabel 7.12 BUMN penerima PMN pada Tahun 2012

DIREKTORAT P-APBN

196
197
198
198
199
200
206
207

236
238
240
240
249
256
257
257
257
258
258
258

viii
DAFTAR TABEL

DASAR-DASAR PRAKTEK KEUANGAN NEGARA

DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1.1
Gambar 1.2
Gambar 2.1
Gambar 2.2
Gambar 2.3
Gambar 2.4.
Gambar 2.5
Gambar 2.6
Gambar 2.7
Gambar 2.8
Gambar 2.9
Gambar 2.10
Gambar 3.1
Gambar 3.2
Gambar 4.1
Gambar 4.2
Gambar 5.1
Gambar 5.2
Gambar 5.3
Gambar 5.4
Gambar 5.5
Gambar 5.6
Gambar 5.7
Gambar 6.1
Gambar 7.1
Gambar 7.2
Gambar 7.3

DIREKTORAT P-APBN

Pendelegasian Kekuasaan atas Pengelolaan Keuangan Negara..


Perubahan Format Bentuk Struktur APBN.
Siklus APBN
Keterkaitan Antar Siklus APBN
Keterkaitan Perencanaan dan Penganggaran..
Proses Perencanaan Menghasilkan RKP Hasil Kesepakatan
Mekanisme Penyusunan Postur APBN ..
Proses dan Konsep Penyusunan Pagu Indikatif...
Proses dan Konsep Penyusunan Pagu Anggaran K/L
Proses Penganggaran dan Penetapannya dengan DPR
Proses dan Konsep Penyusunan Alokasi Anggaran K/L.
Komponen Yang Mengalami Perubahan
Pendekatan Pengukuran PDB.
Determinan Inflasi..
Dana Bagi Hasil Perpajakan.
Dana Hasil Bagi PNBP..
Program Kesejahteraan PNS dan Iuran Peserta..
Belanja Barang...
Belanja Modal.....
4 Klaster Program Penanggulangan Kemiskinan.
Biaya Operasional..
Biaya Nonoperasional...
Proses Penyusunan Anggaran...
Ruang Lingkup Transfer ke Daerah....
Contoh Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) Indonesia
Contoh Surat Utang Negara (SUN) Indonesia..
Instrumen Pembiayaan APBN.

ix
DAFTAR GAMBAR

3
12
29
29
35
38
42
48
57
59
61
61
64
69
96
105
131
134
137
168
183
184
185
216
242
243
244

DASAR-DASAR PRAKTEK KEUANGAN NEGARA

DAFTAR GRAFIK
Halaman
Grafik 3.1
Grafik 3.2
Grafik 3.3
Grafik 3.4
Grafik 3.5

Grafik 4.1
Grafik 4.2
Grafik 4.3.
Grafik 4.4.
Grafik 5.1
Grafik 5.2
Grafik 5.3
Grafik 5.4
Grafik 5.5
Grafik 5.6
Grafik 5.7
Grafik 5.8
Grafik 5.9
Grafik 5.10
Grafik 5.11
Grafik 5.12
Grafik 5.13
Grafik 5.14
Grafik 5.15
Grafik 5.16
Grafik 5.17
Grafik 5.18
Grafik 5.19
Grafik 5.20
Grafik 5.21
Grafik 5.22
Grafik 5.23

DIREKTORAT P-APBN

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 2010-2012


Perkembangan IHK dan Inflasi Indonesia 2008-2012...
Perkembangan Suku Bunga SBI 3 bulan dan SPN 3 bulan.
Perkembangan Harga Minyak Indonesia dan Minyak Utama Dunia..
Perkembangan Realisasi Lifting Harga Minyak Mentah Indonesia
2005-2012....
Rasio Penerimaan Perpajakan Terhadap PDB (Tax Ratio),
2002-2013....
Kontribusi Penerimaan Perpajakan terhadap Pendapatan
Negara dan Hibah, 2002-2013.....
Perkembangan Penerimaan Negara dan Belanja Negara,
2002-2013........
Kontribusi Perpajakan terhadap Kebutuhan Fiskal...
Realisasi Belanja Pemerintah Pusat 2010-2013....
Perkembangan Belanja Pemerintah Pusat 2005-2012.
Perkembangan Belanja Pegawai Tahun 2000-2012.
Perkembangan Belanja Barang Tahun 2000-2012...
Perkembangan Belanja Modal Tahun 2000-2012.
Perkembangan Belanja Bunga Utang 2000-2012.
Perkembangan Belanja Subsidi Terhadap Belanja Negara 2001-2013
Perkembangan Subsidi BBM Tahun 2001-2012....
Perkembangan Subsidi BBM Terhadap ICP 2001-2013..
Perkembangan Subsidi Listrik Tahun 2001-2012..
Perkembangan Subsidi Pangan Tahun 2001-2012...
Perkembangan Subsidi Pupuk Tahun 2002-2012.
Perkembangan Subsidi Benih Tahun 2002-2012..
Perkembangan Subsidi PSO Tahun 2004-2012....
Perkembangan Subsidi Bunga Kredit Program Tahun 2001-2012.
Perkembangan Subsidi Pajak Tahun 2004-2012..
Perkembangan Belanja Lain-lain Tahun 2000-2012.
Perkembangan Belanja Pusat Menurut Fungsi, 2007-2012.
Perkembangan Belanja Pusat Menurut Fungsi Pelayanan Umum,
2007-2012....
Perkembangan Belanja Pusat Menurut Fungsi Pendidikan, 2007-2012
Perkembangan Belanja Pusat Menurut Fungsi Ekonomi, 2007-2012
Perkembangan Belanja Pusat Menurut Fungsi Pertahanan,
2007-2012....
Perkembangan Belanja Pusat Menurut Fungsi Ketertiban dan
Keamanan, 2007-2012...

66
67
70
73
74

97
97
98
98
124
125
128
136
139
141
142
144
144
145
148
149
151
153
156
157
176
190
191
192
193
194
195

x
DAFTAR GRAFIK

DASAR-DASAR PRAKTEK KEUANGAN NEGARA

Grafik 5.24
Grafik 5.25

Grafik
Grafik
Grafik
Grafik

6.1
6.2
6.3
6.4

Grafik 7.1

DIREKTORAT P-APBN

Belanja Operasional dan Nonoperasional Tahun 2011-2012..


Komposisi Belanja Mengikat Tidak Mengikat terhadap Belanja Negara
Tahun 2005-2012....

201

Dana Alokasi Umum, 2001-2013..


Dana Otonomi Khusus, 2002-2013..
Dana Penyesuaian, 2002-2013
Perkembangan Transfer ke Daerah terhadap Belanja Negara

223
227
229
231

Rasio Utang Terhadap GDP Tahun 2010 - 2013

249

203

xi
DAFTAR GRAFIK

DASAR-DASAR PRAKTEK KEUANGAN NEGARA

DAFTAR BOKS

Halaman
Boks 2.1
Boks 2.2
Boks 2.3
Boks 4.1
Boks 5.1.
Boks 5.2

Kapasitas Fiskal, Kebutuhan Fiskal, dan Fiscal Gap...


Penjelasan Seputar Inisiatif Baru
Seputar Angka Dasar dan KPJM
Penerimaan Pajak Yang Dibagi hasilkan...
Penyelenggaraaan pensiun pegawai negeri sipil
dan upaya
Perubahannya............................................
Belanja Pemerintah Pusat Menurut Jenis Belanja...

DIREKTORAT P-APBN

39
31
54
100
132
176

xii
DAFTAR BOKS

KATA PENGANTAR
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah rencana keuangan tahunan
pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. APBN, perubahan APBN
dan pertanggunjawaban APBN setiap tahun ditetapkan dengan undang-undang.
Mungkin belum banyak masyarakat yang mengetahui bahwa sebagai sebuah undang-undang,
proses penyusunan APBN berbeda dengan proses penyusunan undang-undang yang lain
meskipun sama-sama harus melalui proses pembahasan dan persetujuan dari DPR.
Perbedaan tersebut adalah tidak adanya naskah akademik dalam proses penyusunannya dan
undang-undang tentang APBN hanya berlaku untuk satu tahun anggaran (1 Januari 31
Desember), sehingga proses penyusunan undang-undang tentang APBN harus dilaksanakan
setiap tahun.
Buku ini disusun sebagai upaya untuk mendokumentasikan proses penyusunan APBN di
Indonesia, mengingat saat ini belum ada buku yang membahas secara detail mengenai proses
penyusunan APBN dari awal ketika Presiden RI menyampaikan arah kebijakan
sampai dengan APBN disetujui sebagai sebuah undang-undang.
Tim Penyusun berusaha agar buku ini dapat memotret secara lengkap mengenai APBN,
bukan hanya dari sisi proses penyusunannya yang dibahas dalam bab mengenai siklus APBN,
namun juga menjelaskan hal-hal yang berpengaruh terhadap APBN dalam bab mengenai
asumsi dasar ekonomi makro, serta menjelaskan setiap komponen yang terdapat dalam APBN
yaitu pendapatan negara, belanja pemerintah pusat, transfer ke daerah dan pembiayaan
anggaran, berikut data-data terkini sebagai pendukung. Tim Penyusun juga berusaha agar
seluruh informasi yang disampaikan dapat tersaji secara runtut.
Pada kesempatan ini, Tim Penyusun mengucapkan terima kasih kepada para pihak yang telah
membantu/berpartisipasi dalam upaya penerbitan buku ini. Ucapan terima kasih kami
sampaikan kepada Bapak Herry Purnomo selaku Direktur Jenderal Anggaran atas
pengarahan dan bimbingan beliau selama penyusunan buku ini. Kami berterima kasih juga
atas kontribusi dan kreatifitas dari Wisynu Wardhana, Arie Yanwar Kapriadi, Wan Rizki Melala,
Arif Kelana Putra, Wasis Prasojo, Hardaning Tyas Widito, Achmad Zunaidi, Raden Agus
Sudradjat, Ahmad Nawawi, Eri Devras, Satya Utama, Alfian Mujiwardhani, Muhendaryanto
Apnipar, Retno Wulandari, Raden Bambang ATS, Adinugroho Dwiutomo, I Made Sanjaya,
Nararia Sanggrama Wijaya, Diana Setyawati, Viki Anggraini S, Aminullah, Anwar, Waskito
Prayogi, Tulus Basuki, Nurul Kartikasari, M. Suci Dwi Nirwanto, Adam Marchino, Dony
Wijanarko, Masudin, Wurjanto Nopijantoro, Salim, Dahlia, Rizki Fajar Pradipta, Toni Prasetio,
Niar Afdhal Luthfi, R Agung Lestanto, Achmad Sanusi, Ali Maskan, Irwan, dan Widhya
Mahendra. Akhirnya, dapat kiranya kami sampaikan bahwa buku ini tidak pernah terwujud
tanpa partisipasi dari segenap pegawai Direktorat Penyusunan APBN yang telah memberikan
dukungan dalam penyusunan buku Dasar-Dasar Praktek Penyusunan APBN di Indonesia,
kami ucapkan selamat dan terima kasih atas kerja kerasnya.
Namun demikian layaknya pepatah tiada gading yang tak retak buku ini masih jauh dari
sempurna, maka demi kesempurnaan penyajian dalam buku ini, tim penyusun mengharapkan
kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak. Semoga buku ini dapat memberikan
wawasan yang lebih luas kepada pembaca.
Jakarta, 14 Maret 2013
Tim Penyusun

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

BAB I
PENDAHULUAN

1.1

Keuangan Negara

Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, khususnya pasal 1 dan
2 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban
negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa
barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban
tersebut. Keuangan negara tersebut meliputi:
a. Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang dan melakukan
pinjaman;
b. Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan
membayar tagihan pihak ketiga;
c. Penerimaan negara dan penerimaan daerah;
d. Pengeluaran negara dan pengeluaran daerah;
e. Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak berupa uang, surat
berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk
kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah;
f.

Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas
pemerintahan dan/atau kepentingan umum;

g. Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.
Selanjutnya, dalam undang-undang tersebut pengelolaan keuangan negara diatur pada pasal 3
yaitu, keuangan negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien,
ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan
kepatutan. Pengelolaan tersebut mencakup keseluruhan kegiatan perencanaan, penguasaan,
penggunaan, pengawasan, dan pertanggungjawaban.
1.1.1 Ruang Lingkup Keuangan Negara
Perumusan keuangan negara dapat ditinjau melalui pendekatan dari sisi obyek, subyek, proses
dan tujuan. Dari sisi obyek yang dimaksud dengan keuangan negara meliputi semua hak dan
kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang
fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik

DIREKTORAT P-APBN

1
PENDAHULUAN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

berupa uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan
pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
Dari sisi subyek, keuangan negara meliputi keseluruhan pelaku yang terkait dengan pengelolaan
obyek sebagaimana tersebut di atas yang dimiliki negara, dan/atau dikuasai oleh Pemerintah
Pusat, Pemerintah Daerah, Perusahaan Negara/Daerah, dan badan lain yang ada kaitannya
dengan keuangan negara.
Dari sisi proses, seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan obyek
sebagaimana tersebut di atas mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan
sampai dengan pertanggunggjawaban.
Dari sisi tujuan, seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan
pemilikan

dan/atau

penguasaan

obyek

sebagaimana

tersebut

di

atas

dalam

rangka

penyelenggaraan pemerintahan negara.


1.1.2 Kekuasaan atas Pengelolaan Keuangan Negara
Penyelenggaraan fungsi pemerintahan dalam berbagai bidang, akan menimbulkan hak dan
kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang. Hal ini perlu dikelola dalam suatu system
pengelolaan keuangan negara. Kekuasaan atas pengelolaan keuangan negara diatur dalam bab II
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Pada pasal 6 ayat (1) diatur
bahwa Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan
negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. Dalam penjelasan pasal tersebut diatur
bahwa kekuasaan tersebut meliputi kewenangan yang bersifat umum dan kewenangan yang
bersifat khusus.
Kewenangan yang bersifat umum meliputi penetapan arah, kebijakan umum, strategi, dan prioritas
dalam pengelolaan APBN, antara lain penetapan pedoman pelaksanaan dan pertanggungjawaban
APBN, penetapan pedoman penyusunan rencana kerja Kementerian Negara/Lembaga (K/L),
penetapan gaji dan tunjangan, serta pedoman pengelolaan penerimaan negara.
Kewenangan yang bersifat khusus meliputi keputusan/ kebijakan teknis yang berkaitan dengan
pengelolaan APBN, antara lain keputusan sidang kabinet di bidang pengelolaan APBN, keputusan
rincian APBN, keputusan dana perimbangan, dan penghapusan aset dan piutang negara.

DIREKTORAT P-APBN

2
PENDAHULUAN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

1.1.2.1 Pembagian Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Negara


Pembagian kekuasaan pengelolaan keuangan Negara dapat digambarkan dalam bagan berikut:

PRESIDEN
PEMEGANG KEKUASAAN
PENGELOLAAN KEUANGAN
NEGARA

DIKUASAKAN KEPADA

MENTERI
KEUANGAN

SELAKU PENGELOLA
FISKAL DAN WAKIL
PEMERINTAH
DALAM KEPEMILIKAN
KEKAYAAN NEGARA
YANG DIPISAHKAN

MENTERI/
PIMPINAN LEMBAGA
SELAKU PENGGUNA
ANGGARAN/PENGGUNA
BARANG KEMENTERIAN
NEGARA/LEMBAGA YANG
DIPIMPINNYA
Catatan: Kementerian
Keuangan juga merupakan
salah satunya

GUBERNUR/BUPATI/
WALI KOTA SELAKU
KEPALA PEMDA
SELAKU KEPALA PEMDA
UNTUK MENGELOLA
KEUANGAN DAERAH
DAN MEWAKILI
PEMDA DALAM
KEPEMILIKAN KEKAYAAN
DAERAH
YANG DIPISAHKAN

TIDAK TERMASUK KEWENANGAN DI BIDANG MONETER, YANG


MELIPUTI ANTARA LAIN MENGELUARKAN DAN MENGEDARKAN
UANG, YANG DIATUR DENGAN UNDANG-UNDANG

Gambar 1.1 Pendelegasian Kekuasaan atas Pengelolaan Keuangan Negara


Untuk membantu Presiden dalam penyelenggaraan kekuasaan pengelolaan keuangan negara,
sebagian dari kekuasaan tersebut dikuasakan kepada :
1)

Menteri Keuangan selaku Pengelola Fiskal dan Wakil Pemerintah dalam kepemilikan
kekayaan negara yang dipisahkan. Menteri Keuangan sebagai pembantu Presiden dalam
bidang keuangan pada hakekatnya berperan sebagai Chief Financial of Officer (CFO)
Pemerintah Republik Indonesia.
Dalam rangka pelaksanaan kekuasaan atas pengelolaan fiskal, Menteri Keuangan
mempunyai tugas sebagai berikut (a) menyusun kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi
makro, (b) menyusun rancangan APBN dan rancangan Perubahan APBN, (c) mengesahkan
dokumen pelaksanaan anggaran, (d) melakukan perjanjian internasional di bidang keuangan,
(e) melaksanakan pemungutan pendapatan negara yang telah ditetapkan dengan undangundang, (f) melaksanakan fungsi bendahara umum negara, (g) menyusun laporan keuangan

DIREKTORAT P-APBN

3
PENDAHULUAN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

yang merupakan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN, (f) melaksanakan tugas-tugas lain


di bidang pengelolaan fiskal berdasarkan ketentuan undang-undang.
Sub bidang pengelolaan fiskal meliputi fungsi-fungsi pengelolaan kebijakan fiskal dan
kerangka ekonomi makro, penganggaran, administrasi perpajakan, administrasi kepabeanan,
perbendaharaan, dan pengawasan keuangan.
2)

Menteri/Pimpinan Lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang kementerian


negara/lembaga yang dipimpinnya. Setiap menteri/pimpinan lembaga pada hakekatnya
adalah Chief of Operational Officer (COO) untuk suatu bidang tertentu pemerintahan, yang
mempunyai tugas sebagai berikut (a) menyusun rancangan anggaran kementerian
negara/lembaga yang dipimpinnya, (b) menyusun dokumen pelaksanaan anggaran, (c)
melaksanakan anggaran kementerian negara /lembaga yang dipimpinnya, (d) melaksanakan
pemungutan penerimaan negara bukan pajak dan menyetorkannya ke kas negara, (e)
mengelola piutang dan utang negara yang menjadi tanggung jawab kementerian negara
/lembaga yang dipimpinnya, (f) mengelola barang milik/kekayaan negara yang menjadi
tanggung jawab kementerian negara /lembaga yang dipimpinnya, (g) menyusun dan
menyampaikan laporan keuangan kementerian negara /lembaga yang dipimpinnya, (h)
melaksanakan tugas-tugas lain yang menjadi tanggung jawabnya berdasarkan ketentuan
undang-undang.

3). Gubernur/bupati/walikota selaku kepala pemerintahan daerah untuk mengelola keuangan


daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang
dipisahkan.
Sesuai dengan asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan negara, kekuasaan
pengelolaan keuangan daerah diatur sebagai berikut:
a. dilaksanakan oleh kepala satuan kerja pengelola keuangan daerah selaku pejabat
pengelola APBD dengan tugas sebagai berikut:
- menyusun dan melaksanakan kebijakan pengelolaan APBD;
- menyusun rancangan APBD dan rancangan Perubahan APBD;
- melaksanakan pemungutan pendapatan daerah yang telah ditetapkan dengan
Peraturan Daerah;
- melaksanakan fungsi bendahara umum daerah;
- menyusun laporan keuangan yang merupakan per-tanggungjawaban pelaksanaan
APBD.
b. dilaksanakan oleh kepala satuan kerja perangkat daerah selaku pejabat pengguna
anggaran/barang daerah, dengan tugas sebagai berikut:

DIREKTORAT P-APBN

4
PENDAHULUAN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

- menyusun anggaran satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya;


- menyusun dokumen pelaksanaan anggaran;
- melaksanakan anggaran satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya;
- melaksanakan pemungutan penerimaan bukan pajak;
- mengelola utang piutang daerah yang menjadi tanggung jawab satuan kerja perangkat
daerah yang dipimpinnya;
- mengelola barang milik/kekayaan daerah yang menjadi tanggung jawab satuan kerja
perangkat daerah yang dipimpinnya;
- menyusun dan menyampaikan laporan keuangan satuan kerja perangkat daerah yang
dipimpinnya.
Sebagai catatan, pembagian kekuasaan pengelolaan keuangan negara seperti tersebut di atas
tidak mencakup kewenangan di bidang moneter, yang antara lain meliputi kewenangan untuk
mengeluarkan dan mengedarkan uang, yang diatur dengan undang-undang. Hal ini sesuai dengan
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 23 D bahwa negara memiliki suatu bank sentral yang susunan,
kedudukan, kewenangan, tanggung jawab dan independensinya diatur dengan undang-undang.
Menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara pasal 21, Pemerintah
Pusat dan bank sentral berkoordinasi dalam penetapan dan pelaksanaan kebijakan fiskal dan
moneter.
Prinsip pembagian kekuasaan perlu dilaksanakan secara konsisten agar terdapat kejelasan dalam
pembagian wewenang dan tanggung jawab, terlaksananya mekanisme koordinasi (checks and
balances) serta untuk mendorong upaya peningkatan profesionalisme dalam penyelenggaraan
tugas pemerintahan.
1.1.2.2

Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat

Dan Bank Sentral, Pemerintah

Daerah, Pemerintah/Lembaga Asing, Perusahaan Negara/Daerah, Perusahaan


Swasta serta Badan Pengelola Dana Masyarakat
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 18A ayat (2) menyatakan bahwa hubungan keuangan,
pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah
pusat dan pemerintah daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan
undang-undang. Selanjutnya dalam bab V dan VI undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara diamanatkan bahwa:
a. Pemerintah Pusat dan bank sentral berkoordinasi dalam penetapan dan pelaksanaan
kebijakan fiskal dan moneter;
b. Pemerintah Pusat mengalokasikan dana perimbangan kepada Pemerintah Daerah;

DIREKTORAT P-APBN

5
PENDAHULUAN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

c. Pemerintah Pusat dapat memberikan pinjaman dan/atau hibah kepada Pemerintah Daerah,
Lembaga Asing atau sebaliknya (dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat);
d. Pemerintah Daerah dapat memberikan pinjaman kepada/menerima pinjaman dari daerah lain
(dengan persetujuan DPRD);
e. Pemerintah dapat memberikan pinjaman/hibah/ penyertaan modal kepada dan menerima
pinjaman/hibah dari perusahaan negara/daerah yang terlebih dahulu harus ditetapkan dalam
APBN/APBD;
f.

Menteri Keuangan melakukan pembinaan dan pengawasan kepada perusahaan negara;

g. Gubernur/bupati/walikota melakukan pembinaan dan pengawasan kepada perusahaan daerah;


h. Pemerintah Pusat dapat melakukan penjualan dan/atau privatisasi perusahaan negara setelah
mendapat persetujuan DPR;
i.

Pemerintah Daerah dapat melakukan penjualan dan/atau privatisasi perusahaan daerah


setelah mendapat persetujuan DPRD;

j.

Dalam keadaan tertentu, untuk penyelamatan perekonomian nasional, Pemerintah Pusat dapat
memberikan pinjaman dan/atau melakukan penyertaan modal kepada perusahaan swasta
setelah mendapat persetujuan DPR;

k. Menteri Keuangan melakukan pembinaan dan pengawasan kepada badan pengelola dana
masyarakat yang mendapat fasilitas dari Pemerintah Pusat;
l.

Gubernur/bupati/walikota melakukan pembinaan dan pengawasan kepada badan pengelola


dana masyarakat yang mendapat fasilitas dari Pemerintah Daerah.

1.2

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)

APBN adalah undang-undang, sehingga merupakan kesepakatan antara Pemerintah dan DPR,
sebagaimana disebutkan dalam pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945 yaitu: Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan
setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2003 tentang Keuangan Negara, yang dimaksud dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara, selanjutnya disebut APBN, adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang
disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Pemerintah menyusun APBN setiap tahun dalam rangka penyelenggaraan fungsi pemerintahan
untuk mencapai tujuan bernegara. APBN tersebut harus dikelola secara tertib dan bertanggung
jawab sesuai kaidah umum praktik penyelenggaraan tata kepemerintahan yang baik. Sesuai pasal
26 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, setelah APBN ditetapkan
dengan undang-undang, pelaksanaannya dituangkan lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.

DIREKTORAT P-APBN

6
PENDAHULUAN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

1.2.1

Peran APBN bagi Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi

Kebijakan fiskal adalah salah satu perangkat kebijakan ekonomi makro dan merupakan kebijakan
utama pemerintah yang diimplementasikan melalui APBN.

Kebijakan ini memiliki peran yang

penting dan sangat strategis dalam mempengaruhi perekonomian, terutama dalam upaya
mencapai target-target pembangunan nasional. Peran tersebut terkait dengan tiga fungsi utama
pemerintah, yaitu fungsi alokasi, fungsi distribusi, dan fungsi stabilisasi. APBN harus didesain
sesuai dengan fungsi tersebut, dalam upaya mendukung penciptaan akselerasi pertumbuhan
ekonomi yang tinggi dan berkualitas.
Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dijelaskan:
fungsi alokasi mengandung arti bahwa anggaran negara harus diarahkan untuk mengurangi
pengangguran dan pemborosan sumber daya, serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas
perekonomian; fungsi distribusi mengandung arti bahwa kebijakan anggaran negara harus
memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan; fungsi stabilisasi mengandung arti bahwa anggaran
pemerintah menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental
ekonomi.
Fungsi alokasi berkaitan dengan intervensi Pemerintah terhadap perekonomian dalam
mengalokasikan sumber daya ekonominya, sedangkan fungsi distribusi berkaitan dengan
pendistribusian barang-barang yang diproduksi oleh masyarakat. Peran penting kebijakan fiskal
dalam redistribusi dan alokasi anggaran pemerintah antara lain adalah penanggulangan
kemiskinan, dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Dalam konteks ini, kebijakan fiskal dapat
dipergunakan untuk mempengaruhi sektor-sektor ekonomi atau kegiatan tertentu, untuk
menyeimbangkan

pertumbuhan

pendapatan

antarsektor

ekonomi,

antardaerah,

atau

antargolongan pendapatan. Peran kebijakan fiskal juga penting dalam menanggulangi dampak
yang ditimbulkan oleh bencana alam, wabah penyakit, dan konflik sosial.
Fungsi stabilisasi berkaitan dengan upaya menjaga stabilitas dan akselerasi kinerja ekonomi,
sehingga perekonomian tetap pada kesempatan kerja penuh (full employment) dengan harga yang
stabil. Fungsi stabilisasi yang ditujukan untuk meminimalisir volatilitas atau fluktuasi dalam
perekonomian, merupakan esensi utama kebijakan APBN. Dengan peran stabilisasinya, kebijakan
fiskal dipandang sebagai salah satu alat yang efektif untuk memperkecil siklus bisnis. Sejarah
kebijakan fiskal Indonesia menunjukkan bukti tersebut selama periode krisis ekonomi 1997/1998,
dan krisis 2009. Kebijakan ekspansif fiskal melalui pengalokasian stimulus fiskal pada tahun 2009
mampu menahan ekonomi Indonesia dari dampak krisis, bahkan mampu membuat ekonomi
tumbuh positif di tengah kondisi melambatnya pertumbuhan ekonomi dunia. Stabilitas ekonomi
terjaga, dan kesehatan fiskal dapat diwujudkan. Tentu saja, hal tersebut dapat diwujudkan tidak

DIREKTORAT P-APBN

7
PENDAHULUAN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

semata melalui kebijakan fiskal yang tepat, tetapi didukung oleh kebijakan moneter dan kebijakan
lain yang saling bersinergi.
1.3

Struktur Utama APBN dan Asumsi

Secara garis besar struktur APBN adalah, (a) Pendapatan Negara dan Hibah, (b) Belanja Negara,
(c) Keseimbangan Primer, (d) Surplus/Defisit Anggaran, (e) Pembiayaan. Asumsi dasar makro
ekonomi sangat berpengaruh pada besaran komponen dalam struktur APBN. Asumsi dasar
tersebut adalah (a) pertumbuhan ekonomi, (b) inflasi, (c) tingkat bunga SPN 3 bulan, (d) nilai tukar
rupiah terhadap dollar AS, (e) harga minyak dan (f) produksi/lifting minyak atau (g) lifting gas.
Struktur APBN dituangkan dalam suatu format yang disebut I-account. Dalam beberapa hal, isi
dari I-account sering disebut postur APBN. Penjelasan lebih lanjut mengenai komponen dalam
struktur APBN terdapat pada poin yang membahas mengenai postur APBN.
Tabel 1.1 menunjukkan I-Account ringkas APBN dan APBN-P disertai besaran asumsi dasar
ekonomi makro yang dipakai sebagai dasar. Dari tabel dapat dilihat pengaruh perubahan asumsi
dasar ekonomi makro terhadap perubahan angka dari APBN menjadi APBN-P.
1.3.1. Faktor-faktor Penentu APBN
Beberapa faktor penentu postur APBN antara lain dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Pendapatan Negara
Besaran pendapatan negara dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: (1) indikator
ekonomi makro yang tercermin pada asumsi dasar makro ekonomi; (2) kebijakan
pendapatan negara; (3) kebijakan pembangunan ekonomi; (4) perkembangan pemungutan
pendapatan negara secara umum; dan (5) kondisi dan kebijakan lainnya. Contohnya, target
penerimaan negara dari SDA migas turut dipengaruhi oleh besaran asumsi lifting minyak
bumi, lifting gas, ICP, dan asumsi nilai tukar. Target penerimaan perpajakan ditentukan
oleh target inflasi serta kebijakan pemerintah terkait perpajakan seperti perubahan besaran
pendapatan tidak kena pajak (PTKP), upaya ekstensifikasi peningkatan jumlah wajib pajak
dan lainnya.
2. Belanja Negara
Besaran belanja negara dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: (1) asumsi dasar
makro ekonomi; (2) kebutuhan penyelenggaraan negara; (3) kebijakan pembangunan; (4)
resiko (bencana alam, dampak kirisi global) dan (4) kondisi dan kebijakan lainnya.
Contohnya, besaran belanja subsidi energi dipengaruhi oleh asumsi ICP, nilai tukar, serta
target volume BBM bersubsidi.

DIREKTORAT P-APBN

8
PENDAHULUAN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

3. Pembiayaan
Besaran pembiayaan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: (1) asumsi dasar
makro ekonomi; (2) kebijakan pembiayaan; dan (3) kondisi dan kebijakan lainnya.
Tabel 1.1 I-Account Ringkas dan Asumsi Dasar Ekonomi Makro Tahun 2009 - 2012
APBN
(dalam m iliar rupiah)
2009

A PBN

A . PENDA PA T A N NEGA RA DA N HIBA H


I.

A PBN-P

A PBN

2011

A PBN-P

A PBN

2012

A PBN-P

A PBN

A PBN-P

985.725,3

870.999,0

949.656,1

992.398,8

1.104.902,0

1.169.914,6

1.311.386,7

1.358.205,0

PENERIMA A N DA LA M NEGERI

984.786,5

869.992,5

948.149,3

990.502,3

1.101.162,5

1.165.252,5

1.310.561,6

1.357.380,0

1.

PENERIMA A N PERPA JA KA N

725.843,0

651.954,8

7 42.738,0

743.325,9

850.255,5

878.685,2

1.032.570,2

1.016.237,3

2.

PENERIMA A N NEGA RA BUKA N PA JA K

258.943,6

218.037,6

205.411,3

247.17 6,4

250.907,0

286.567 ,3

27 7.991,4

341.142,6

938,8

1.006,5

1.506,8

1.896,5

3.739,5

4.662,1

825,1

825,1

1.037 .067,3

1.000.843,9

1.047.666,1

1.126.146,5

1.229.558,5

1.320.751,3

1.435.406,7

1.548.310,4

716.37 6,3

691.535,7

7 25.243,1

781.533,5

836.578,2

908.243,4

964.997,3

1.069.534,4

II. PENERIMA A N HIBAH


B. BELA NJA NEGA RA
I.

BELANJA PEMERINT A H PUSAT

Bela n ja K/L

Bela n ja Non K/L

II. T RA NSFER KE DA ERA H


1.

Da n a Peri m b a n ga n

2.

Da n a Ot on om i Kh u su s da n Pen y .

3.

Hiba h ke da era h

III. SUSPEND
C. KESEIMBA NGA N PRIMER
D. SURPLUS/ (DEFISIT ) A NGGA RA N (A - B)
% Defisit T erhadap PDB
E. PEMBIA YA A N (I + II)
I.

2010

78.973,1

77.932,5

340.149,1

366.134,5

432.779,3

461.508,0

508.359,6

547.925,5

333.482,9

321.048,5

385.093,9

415.399,1

403.798,9

446.735,4

456.637,7

521.608,9

320.691,0

309.308,2

322.423,0

344.612,9

392.980,3

412.507 ,9

470.409,5

478.775,9

296.952,4

285.053,1

306.023,4

314.363,3

334.324,0

347.538,6

399.985,6

408.352,1

23.738,6

24.255,1

16.399,6

30.249,6

58.656,3

64.969,3

70.423,9

70.423,9

0,0

0,0

0,0

0,0

0,0

6.313,0

0,0

0,0

0,0

0,0

0,0

0,0

0,0

0,0

0,0

0,0

50.315,8

(20.254,9)

17.584,7

(28.097,4)

(9.447 ,3)

(44.252,9)

(1.802,4)

(72.319,9)

(51.342,0)

(129.844,9)

(98.010,0)

(133.747 ,7 )

(124.656,5)

(150.836,7)

(124.020,0)

(190.105,3)

(0,96)

(2,40)

(1,62)

(2,14)

(1,78)

(2,09)

(1,53)

(2,23)

51.342,0

129.844,9

98.009,9

133.747,7

124.656,5

150.836,7

124.020,0

190.105,3

PEMBIA YA A N DA LA M NEGERI

60.790,3

142.569,2

107.891,5

133.903,2

125.266,0

153.613,3

125.912,3

194.531,0

1.

Perb a n ka n da la m n eger i

16.629,2

56.566,2

7.129,2

45.477 ,1

12.657 ,2

48.750,7

8.947,0

60.561,6

2.

Non -perba n k a n da la m n egeri

44.161,1

86.003,0

100.762,3

88.426,1

112.608,7

104.862,6

116.965,3

133.969,4

(9.448,2)

(12.724,2)

(2.776,6)

(1.892,3)

(4.425,7)

52.161,0

69.299,2

57.605,8

70.777 ,1

58.933,0

56.182,9

54.282,4

53.7 31,1

(12.991,7)

(8.643,8)

(16.796,6)

(11.724,8)

(11.724,8)

(8.914,6)

(8.431,8)

(69.031,7)

(58.843,5)

(54.136,0)

(47.817,7 )

(47.234,7)

(47.260,1)

(49.724,9)

II. PEMBIA YA A N LUA R NEGERI (n et o)


1.

Pen a r ika n Pi n ja m a n LN (bru t o)

2.

Pen er u sa n Pin ja m a n (SLA )

3.

Pem by r. Cici la n Pok ok Ut a n g LN

0,0
(61.609,2)

(9.881,5)

(155,5)

(609,5)

III. T A LBA HA N PEMBIA YA A N UT ANG

0,0

0,0

0,0

0,0

0,0

0,0

0,0

0,0

KELEBIHA N/(KEKURANGA N) PEMBIA YA A N

0,0

0,0

(0,0)

(0,0)

0,0

(0,0)

(0,0)

0,0

5 .3 2 7 .5 3 7 ,9

5 .4 01 .6 4 0 ,3

6 .05 0 .05 4 ,5

6 .2 5 3 .7 8 9 ,5

7 .0 1 9 .9 4 0,9

7 .2 2 6 .8 9 0,9

8 .1 1 9 .7 8 0,5

8 .5 4 2 .6 3 4 ,4

6 ,0

4 ,3

5 ,0

5 ,8

6 ,4

6 ,5

6 ,7

6 ,5

6 ,2 0

4 ,5 0

5 ,00

5 ,3 0

5 ,3 0

5 ,6 5

5 ,3

6 ,8

7 ,5

7 ,5

6 ,5

6 ,5

6 ,5

5 ,6

6 ,0

5 ,0

9 .4 00

1 0.5 00

1 0.000

9 .2 00

9 .2 5 0

8 .7 00

8 .8 00,0

9 .000,0

Pr odu k Dom est ik Br u to - IHK (m illia r Rp)

Per t u m bu h a n ekon om i (%) y -o-y

In fla si (%) y -o-y

Tk t bu n g a SPN 3 bu la n (%)

Nila i tu k a r (Rp/US$1 )

Ha r g a m in y a k (US$/ba r el)

Pr odu k si m in y a k / Lift in g (r ibu ba r el per h a r i)

DIREKTORAT P-APBN

8 0,0

6 1 ,0

6 0,0

8 0,0

8 0,0

9 5 ,0

9 0,0

1 05 ,0

9 6 0,0

9 6 0 ,0

9 6 5 ,0

9 6 5 ,0

9 7 0,0

9 4 5 ,0

9 5 0,0

9 3 0,0

9
PENDAHULUAN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

1.4

Dasar Hukum APBN

Undang-Undang Dasar 1945 merupakan dasar hukum yang paling tinggi dalam struktur
perundang-undangan di Indonesia. Oleh karena itu pengaturan mengenai keuangan negara selalu
didasarkan pada undang-undang ini,

khususnya dalam bab VIII Undang-Undang Dasar 1945

Amandemen IV pasal 23 mengatur tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Bunyi pasal 23:
ayat (1): Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan
negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan
bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
ayat (2): Rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara diajukan oleh
Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan
Dewan Perwakilan Daerah. Berdasarkan hal tersebut maka Pemerintah bersama-sama DPR
menyusun Rancangan Undang-Undang APBN untuk nantinya ditetapkan, sehingga akan menjadi
dasar bagi Pemerintah dalam mengelola APBN dan bagi DPR sebagai alat pengawasan.
ayat (3): Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui rancangan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara yang diusulkan oleh Presiden, Pemerintah menjalankan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang lalu.
Hal ini dipertegas lagi dalam undang-undang nomor 17 tahun 2003 pasal 15 ayat (6) yang
berbunyi Apabila DPR tidak menyetujui RUU sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Pemerintah
Pusat dapat melakukan pengeluaran setinggi-tingginya sebesar angka Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara tahun anggaran sebelumnya.
Anggaran adalah alat akuntabilitas, manajemen, dan kebijakan ekonomi. Sebagai instrumen
kebijakan ekonomi anggaran berfungsi untuk mendorong terwujudnya pertumbuhan dan stabilitas
perekonomian serta pemerataan pendapatan. Untuk mewujudkan tujuan dan fungsi anggaran
tersebut dilakukan pengaturan secara jelas peran DPR dan Pemerintah dalam proses penyusunan
dan penetapan anggaran sebagai penjabaran Undang-Undang Dasar 1945. Pengaturan peran
DPR dalam proses dan penetapan APBN diatur dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009
tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3). Sementara itu peran pemerintah dalam proses
penyusunan APBN diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara.
Sesuai amanah Undang-undang nomor 17 tahun 2003, dalam rangka penyusunan APBN telah
diterbitkan Peraturan Pemerintah nomor 90 tahun 2010 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan

DIREKTORAT P-APBN

10
PENDAHULUAN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Anggaran Kementerian Negara/Lembaga sebagai pengganti PP nomor 21 tahun 2004 tentang hal
yang sama. Dalam Peraturan Pemerintah ini diatur hal-hal sebagai berikut:
Pertama: pendekatan dan dasar penyusunan Rencana Kerja Anggaran Kementerian/Lembaga
(RKA-K/L), penyusunan RKA-K/L tersebut disusun untuk setiap Bagian Anggaran, Penyusunan
RKA-K/L

menggunakan

pendekatan

a)

kerangka

pengeluaran

jangka

menengah,

b)

Penganggaran terpadu, dan c) penganggaran berbasis kinerja. Selain itu RKA-K/L juga disusun
menurut klasifikasi organisasi, fungsi dan jenis belanja, serta menggunakan instrumen a) indikator
kinerja, b) standar biaya, c) evaluasi kinerja.
Kedua: mengatur tentang proses penyusunan RKA-K/L dan penggunaannya dalam penyusunan
rancangan APBN. Proses penyusunan RKA-K/L pada dasarnya mengatur tentang proses yang
dimulai dari penetapan arah kebijakan oleh Presiden dan prioritas pembangunan nasional sampai
dengan tersusunnya RKA-K/L, serta peranan dari Kementerian Perencanaan, Kementerian
Keuangan dan Kementerian Negara/Lembaga lainnya. RKA-K/L yang telah disusun tersebut
digunakan sebagai bahan penyusunan nota keuangan, Rancangan APBN, Rancangan UndangUndang tentang APBN dan dokumen pendukung pembahasan Rancangan APBN.
1.5 Format dan Postur APBN
1.5.1 Format (Bentuk Rekening) APBN
Sejak APBN tahun 2000, Indonesia mulai menggunakan format I-account untuk menggantikan
format sebelumnya, yaitu T-account. Pada format T-account, pencantuman untuk penerimaan
berada di sebelah kiri dan belanja di sebelah kanan serta menggunakan prinsip berimbang dan
dinamis. Sedangkan pada format I-account, pencantuman pendapatan dan belanja berada pada
satu kolom, sehingga dapat terlihat besaran surplus/ defisit yang didapat dari besaran pendapatan
negara dikurangi besaran belanja negara. Lebih jauh lagi, jika terdapat defisit maka besaran
pembiayaan untuk menutupinya pun dapat dilihat dalam format I-account.
Terdapat beberapa keuntungan dengan penggunaan format I-account ini, diantaranya adalah
meningkatkan transparansi dalam penyusunan APBN, mempermudah pemantauan dalam
pelaksanaan pengelolaan APBN, serta karena disesuaikan dengan Government Finance Statistic
(GFS), yang merupakan standar internasional, maka memudahkan dalam analisa komparasi
dengan APBN pada negara-negara lain, serta memudahkan pelaksanaan desentralisasi fiskal dan
perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

DIREKTORAT P-APBN

11
PENDAHULUAN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Gambar 1.2 Perubahan Format Bentuk Struktur APBN


Pada T-account, pinjaman proyek bersifat in-out yaitu masuk dalam penerimaan negara sebagai
penerimaan pembangunan dan juga masuk dalam pengeluaran negara sebagai pengeluaran
pembangunan, sedangkan pada I-account pinjaman proyek dimasukkan dalam pembiayaan
anggaran. Selain itu pembayaran bunga dan cicilan utang pada T-account dijadikan satu dalam
pengeluaran rutin, sedangkan pada I-account pembayaran bunga utang dan cicilan utang terpisah,
yaitu pembayaran bunga utang termasuk dalam pengeluaran rutin, sedangkan pembayaran utang/
pembayaran cicilan pokok termasuk dalam pembiayaan anggaran. Akibatnya untuk tahun yang
sama jumlah penerimaan maupun pengeluaran pada APBN format T-account berbeda dengan
APBN format I-account, namun secara kumulatif jumlahnya sama.

DIREKTORAT P-APBN

12
PENDAHULUAN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Tabel 1.2 APBN dalam Format T-account dan I-account

FormatAPBN
T-account

APBN

Format I-account
PENERIMAAN NEGARA

A. Penerimaan Dalam Negeri


1. Penerimaan Migas
- Minyak Bumi
- Gas Alam

A.

Belanja Rutin
1. Belanja Pegawai
2. Belanja Barang
3. Belanja Rutin Daerah

A.

4. Bunga dan Cicilan hutang


5. Pengeluaran Rutin Lainnya

2. Penerimaan Bukan Migas


- PPh
- PPN
- Bea Masuk
- Cukai
- Pajak Ekspor
- PBB dan BPHTB
- Pajak Lainnya
- PNBP
B. Penerimaan Pembangunan
1. Pinjaman Program
2. Pinjaman Proyek

FORMAT BARU

BELANJA NEGARA

II. Penerimaan Hibah


B.

B.

Belanja Pembangunan
1. Pembangunan Rupiah
2. Pembangunan Proyek

Nelanja Negara
I. Belanja Pemerintah Pusat
1. Belanja Pegawai
2. Belanja Barang
3. Belanja Modal
4. Pembayaran Bunga Utang
5. Subsidi
6. Belanja Hibah
7. Bantuan Sosial
8. Belanja Lain-lain
II. Transfer ke Daerah
1. Dana Perimbangan
2. Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian

C.
D.
E.
TOTAL

Pendapatan Negara dan Hibah


I. Penerimaan Dalam Negeri
1. Penerimaan Perpajakan
2. PNBP

Keseimbangan Primer
Surplus/Defisit Pembayaran
Pembiayaan

TOTAL

Sejak tahun anggaran 2005, sejalan dengan UU No.17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara,
pemerintah mulai menjalankan format Belanja Negara (khususnya Belanja Pemerintah Pusat)
yang mengacu kepada kaidah-kaidah yang berlaku secara internasional. Sebelumnya, pemerintah
menggunakan anggaran dual budgeting di mana dipisahkan antara Pengeluaran Rutin dan
Pengeluaran Pembangunan. Salah satu tujuannya adalah untuk menekankan pentingnya
pembangunan, namun dalam pelaksanaannya ditemui beberapa kelemahan antara lain :
(1) kurang jelasnya pemisahan antara belanja rutin dan belanja pembangunan yang menyebabkan
terjadinya duplikasi belanja; (2) kurang efisien dalam penyusunan belanja karena untuk satu jenis
belanja terdapat akun untuk belanja rutin dan akun untuk belanja pembangunan; dan juga
kesulitan dalam mengaitkan output/outcome dengan penganggaran organisasi terutama untuk
belanja pembangunan, mengingat proyek sifatnya sementara dan keberlanjutan tanggung jawab
atas asset serta kewajiban dari suatu proyek yang sudah selesai masih kurang jelas. Maka mulai
tahun 2005 digunakan unified budgeting, di mana tidak ada lagi pemisahan antara belanja rutin
dan belanja pembangunan. Belanja Pemerintah Pusat terdiri atas 8 jenis belanja, yaitu : Belanja
Pegawai, Belanja Barang, Belanja Modal, Pembayaran Bunga Utang, Subsidi, Belanja Hibah,
Bantuan Sosial dan Belanja Lain-lain. Beberapa perubahan dalam belanja yang cukup signifikan

DIREKTORAT P-APBN

13
PENDAHULUAN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

antara lain : gaji/upah proyek yang sebelumnya merupakan belanja pembangunan maka
diklasifikasikan sebagai Belanja Pegawai; Pengeluaran Pembangunan diklasifikasikan lagi menjadi
Belanja Pegawai, Belanja Barang, Belanja Modal, dan Belanja Lain-lain sesuai dengan belanjanya;
belanja-belanja yang sifatnya mengandung nama lain-lain dan tersebar pada hampir semua pos
belanja diklasifikasikan sebagai Belanja Lain-lain. Konversi jenis belanja lengkapnya dapat dilihat
pada tabel 1.4. Dengan perubahan-perubahan tersebut diharapkan juga peningkatan efisiensi
anggaran dengan tidak adanya lagi belanja yang tumpang tindih (duplikasi belanja).
Tabel 1.3 Format T-account dan I-account APBN

KONVERSI BELANJA NEGARA MENURUT JENIS BELANJA DALAM I-ACCOUNT


FORMAT LAMA
A. PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH
I. Penerimaan Dalam Negeri
1. Penerimaan Perpajakan
2. Penerimaan Negara Bukan Pajak
II. Penerimaan Hibah
B. BELANJA NEGARA
I. Belanja Pemerintah Pusat

FORMAT BARU
A. PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH
I. Penerimaan Dalam Negeri
1. Penerimaan Perpajakan
2. Penerimaan Negara Bukan Pajak
II. Penerimaan Hibah
B. BELANJA NEGARA
I. Belanja Pemerintah Pusat

1. Pengeluaran Rutin

1. Belanja Pegawai

a. Belanja Pegawai

2. Belanja Barang
3. Belanja Modal

b. Belanja Barang
4. Pembayaran Bunga Utang
c. Pembayaran Bunga Utang
5. Subsidi
d. Subsidi
6. Belanja Hibah
e. Pengeluaran Rutin Lainnya
7. Bantuan Sosial
2. Pengeluaran pembangunan
8. Belanja lain-lain
II. Belanja Untuk Daerah
1. Dana Perimbangan
2. Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian

II. Belanja Untuk Daerah


1. Dana Perimbangan
2. Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian

C. Keseimbangan Primer

C. Keseimbangan Primer

D. Surplus/Defisit Anggaran
E. Pembiayaan

D. Surplus/Defisit Anggaran
E. Pembiayaan

1.5.2 Postur APBN


Penyusunan postur APBN dimulai dari pemerintah terlebih dahulu menetapkan parameter/ asumsi
dasar makro ekonomi, yang terdiri atas enam (6) parameter yaitu : (i) pertumbuhan ekonomi (%);
(ii) Tingkat inflasi (% yoy); (iii) Nilai tukar atau kurs US$ terhadap Rupiah (Rp/US$); (iv) Tingkat
suku bunga (SPN 3 bulan); (v) Harga minyak dunia/ ICP (US$/barrel); dan (vi) Lifting minyak (ribu
barel/ hari). Setelah ditetapkannya asumsi dasar makro ekonomi tersebut, barulah diproyeksikan
besaran komponen-komponen lainnya yang merupakan postur APBN, yang terbagi atas tiga (3)
kelompok besar : (i) Pendapatan Negara dan Hibah; (ii) Belanja Negara; dan (iii) Pembiayaan.
Besaran komponen-komponen tersebut disesuaikan dengan kebijakan umum pemerintah dalam

DIREKTORAT P-APBN

14
PENDAHULUAN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

pengelolaan APBN, apakah bersifat balanced budget (besaran Pendapatan Negara dan Hibah
sama dengan besaran Belanja Negara atau zero deficit) ataukah ekspansif (besaran Belanja
Negara lebih besar dari pada besaran Pendapatan Negara dan Hibah atau defisit).
Dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang dimaksud dengan
(a) Penerimaan negara adalah uang yang masuk ke kas negara, (b) Pengeluaran negara adalah
uang yang keluar dari kas negara, (c) Pendapatan negara adalah hak pemerintah pusat yang
diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih, (d) Belanja negara adalah kewajiban pemerintah
pusat yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih, (e) Pembiayaan adalah setiap
penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik
pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya.
Tiga kelompok besar komponen yang merupakan postur APBN dapat dijelaskan lebih lanjut
sebagai berikut:
1. Pendapatan Negara dan Hibah

PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH

I.

PENERIMAAN DALAM NEGERI


1.

PENERIMAAN PERPAJAKAN
Tax Ratio (% thd PDB)
a. Pajak Dalam Negeri

1) Pajak Penghasilan

2)
3)
4)
5)
6)

- PPh Non-Migas
- PPh Migas
Pajak pertambahan nilai
Pajak bumi dan bangunan
BPHTB
Pajak lainnya
Cukai

b. Pajak Perdagangan Internasional


1) Bea masuk
2) Bea Keluar
2.

PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK


a. Penerimaan SDA
1) SDA Migas
- Minyak bumi
- Gas Bumi

2) Non Migas
- Pertambangan umum
- Panas Bumi
- Kehutanan
- Perikanan
b. Bagian Laba BUMN
c. PNBP Lainnya
II. HIBAH

Pendapatan Negara dan Hibah merupakan semua penerimaan negara dalam satu (1) tahun
anggaran yang menambah ekuitas dana lancar dan tidak perlu dibayar kembali oleh negara.

DIREKTORAT P-APBN

15
PENDAHULUAN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Besaran Pendapatan Negara dan Hibah terutama dipengaruhi oleh proyeksi perkembangan
ekonomi nasional dan internasional yang terkini pada asumsi dasar ekonomi, serta kebijakan
pemerintah di bidang Pendapatan Negara dan hibah. Pendapatan ini terdiri dari Penerimaan
Dalam Negeri dan Hibah. Penerimaan Dalam Negeri merupakan sumber penerimaan negara
terbesar, dengan menyumbangkan sekitar 99,7% dari total penerimaan negara. Hal ini terkait
kebijakan pemerintah untuk mengoptimalkan penerimaan dalam negeri agar dapat mendukung
kebijakan konsolidasi fiskal yang berkelanjutan. Penerimaan perpajakan merupakan sumber
utama dengan proporsi sekitar 69-70% dari total penerimaan dalam negeri, dan pemerintah
melaksanakan optimalisasi penerimaan perpajakan melalui kebijakan tax policy and
administration reform yang meliputi reformasi di bidang administrasi, bidang peraturan dan
perundang-undangan, bidang pengawasan dan penggalian potensi.
2. Belanja Negara
BELANJA NEGARA

I.

BELANJA PEMERINTAH PUSAT


A. Belanja K/L
B. Belanja Non K/L
1.

Belanja Pegawai

2.
3.

Belanja Barang
Belanja Modal

4.

Pembayaran Bunga Utang


i. Utang Dalam Negeri
ii. Utang Luar Negeri

5.

Subsidi

6.
7.
8.

Subsidi Energi

Subsidi Non Energi

Belanja Hibah
Bantuan Sosial
Belanja Lain-Lain

II. TRANSFER KE DAERAH


1.

Dana Perimbangan
a. Dana Bagi Hasil
b. Dana Alokasi Umum
c. Dana Alokasi Khusus
0 Dana Alokasi Khusus Murni
0 Tambahan Dana Optimalisasi

2.

Dana Otonomi Khusus dan Peny.


a. Dana Otonomi Khusus
b. Dana Penyesuaian

Belanja Negara merupakan semua pengeluaran negara dalam satu (1) tahun anggaran yang
mengurangi ekuitas dana lancar dan merupakan kewajiban negara, dan tidak akan diperoleh
pembayarannya kembali oleh negara. Besaran belanja yang tercantum dalam APBN
merupakan batas tertinggi, sehingga tidak dapat dilampaui. Belanja Negara ini memiliki peran
yang strategis untuk mendukung percepatan pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan

DIREKTORAT P-APBN

16
PENDAHULUAN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

dalam mencapai dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Belanja Negara terdiri dari Belanja
Pemerintah Pusat dan Transfer ke Daerah. Belanja Pemerintah Pusat memiliki fungsi sebagai
stabilisator bagi perekonomian; saat perekonomian dalam kondisi resesi, maka dengan
kebijakan Belanja Pemerintah Pusat yang ekspansif dapat memberikan stimulasi pada
pertumbuhan ekonomi dan menjaga stabilitas serta memperkuat fundamental ekonomi makro.
Sebaliknya, saat perekonomian dalam kondisi terlalu ekspansif (over heating), kebijakan
Belanja Pemerintah Pusat dapat berperan untuk menstabilkan roda perekonomian menuju
kondisi yang lebih kondusif.
3. Pembiayaan

PEMBIAYAAN

I.

PEMBIAYAAN DALAM NEGERI


1. Perbankan dalam negeri
a.l SAL
2. Non-perbankan dalam negeri
a.l a. Penerimaan Privatisasi
b. Hasil Pengelolaan Aset
c. Surat Berharga Negara (neto)
d. Pinjaman Dalam Negeri
e. Dana Investasi Pemerintah dan PMN
a.l. Dana Bergulir
- Dana Bergulir Infrastruktur (Geothermal)
Dana Pengembangan Pendidikan Nasional

II. PEMBIAYAAN LUAR NEGERI (neto)


1. Penarikan Pinjaman LN (bruto)
a. Pinjaman Program
b. Pinjaman Proyek Bruto
2. Penerusan Pinjaman (SLA)
3. Pembyr. Cicilan Pokok Utang LN

Pembiayaan merupakan semua penerimaan negara yang harus dibayar kembali / pengeluaran
negara yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran bersangkutan maupun pada
tahun anggaran berikutnya serta penjualan asset dan penggunaan Saldo Anggaran Lebih
(SAL). Pembiayaan ini muncul apabila besaran alokasi belanja melebihi besaran target
pendapatan dan hibah atau terjadi defisit, agar besaran belanja yang sudah ditetapkan dalam
APBN dapat dilaksanakan dengan baik. Kebijakan pemerintah untuk pembiayaan ini
diutamakan berasal dari non utang dan utang dalam negeri dan juga menjaga net outflow
(jumlah penarikan pinjaman lebih kecil dibandingkan dengan pembayaran cicilan pokok
pinjaman luar negeri dan penerusan pinjaman), dikarenakan memiliki resiko yang lebih rendah
(lebih fleksibel dalam mengelola portofolio utang dan resiko utang) dibandingkan pembiayaan
lainnya serta memiliki multiplier effect yang positif pada perekonomian nasional.

DIREKTORAT P-APBN

17
PENDAHULUAN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

1.5.3 Surplus / Defisit

APBN, SAL (Saldo Anggaran

Lebih), Sisa Lebih Pembiayaan

Anggaran (SILPA) dan Sisa Kurang Pembiayaan Anggaran (SIKPA)


Jika dalam APBN, besaran Pendapatan Negara dan Hibah lebih besar dari besaran Belanja
Negara, maka APBN dikatakan mengalami surplus, namun jika sebaliknya maka APBN dikatakan
mengalami defisit.
APBN Indonesia dalam beberapa tahun terakhir selalu mengalami defisit. Salah satu penyebabnya
adalah Indonesia ingin menetapkan tingkat pertumbuhan ekonomi tertentu, sehingga sisi belanja
perlu dalam level yang cukup tinggi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi tersebut. Namun, di
sisi lain, penerimaan negara belum mampu mengimbangi besaran kebutuhan belanja tersebut.
Dengan rencana pemerintah untuk melaksanakan balance budget mulai tahun 2014, maka
pemerintah dituntut harus mampu untuk mengoptimalkan potensi penerimaan yang ada dan
mencari sumber penerimaan baru agar dapat seimbang dengan alokasi belanja negara.
Salah satu alat untuk melihat keberlanjutan fiskal adalah keseimbangan primer, yang merupakan
total penerimaan dikurangi belanja di luar pembayaran bunga utang. Agar posisi utang dapat
terjaga dalam keseimbangan jangka panjang, maka nilai keseimbangan primer ini harus dijaga
setidaknya mendekati nol. Jika nilai keseimbangan primer ini positif, maka posisi utang akan
berkurang seiring waktu, namun sebaliknya, jika nilainya negatif maka dalam jangka panjang dapat
menyebabkan peningkatan nilai utang secara signifikan, sehingga dapat membahayakan
perekonomian negara.
Dalam pelaksanaan APBN, setelah tahun anggaran berakhir, mungkin realisasi Pendapatan
Negara dan Hibah serta Pembiayaan lebih besar dari realisasi Belanja Negara. Hal ini dikenal
dengan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA). Contohnya, pada saat tahun anggaran
berakhir, realisasi Pendapatan Negara dan Hibah melebihi target yang ditetapkan, sedangkan di
sisi lain realisasi Belanja Negara lebih rendah dari alokasi dalam APBN. Namun hal ini tidak serta
merta menyebabkan surplus APBN, karena pemerintah dalam beberapa tahun terakhir memiliki
kebijakan belanja yang ekspansif (lebih besar dari Pendapatan Negara). Namun jika realisasi
Pembiayaan menyebabkan terjadinya surplus APBN, maka dalam kondisi ini terjadi SILPA. Jika
terjadi sebaliknya, kondisi di mana realisasi Pendapatan Negara dan Hibah serta Pembiayaan
lebih kecil dari realisasi Belanja Negara maka terdapat Sisa Kurang Pembiayaan Anggaran
(SIKPA). Contohnya pada saat tahun anggaran berakhir, di mana realisasi Pendapatan Negara

DIREKTORAT P-APBN

18
PENDAHULUAN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

dan Hibah lebih rendah dari target APBN, sedangkan realisasi Belanja Negara cukup tinggi
sehingga lebih besar dari realisasi Pendapatan Negara dan Hibah tersebut sehingga terjadi defisit.
Namun, realisasi Pembiayaan ternyata lebih rendah atau tidak mampu untuk menutup defisit
tersebut. Maka pada kondisi ini terjadi SIKPA.
Akumulasi SILPA dan SIKPA dari tahun anggaran yang lalu dan tahun anggaran bersangkutan
(setelah tutup tahun anggaran) dinamakan Saldo Anggaran Lebih (SAL). Salah satu penggunaan
SAL adalah untuk membiayai defisit APBN.
Berikut adalah postur APBN yang menggambarkan perkembangan perubahan mulai dari RAPBN
sampai dengan realisasi hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dari tahun anggaran 2010
sampai dengan tahun anggaran 2012.

DIREKTORAT P-APBN

19
PENDAHULUAN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

153.400,7

717.100,9

870.501,6

871.923,1

1.421,5

180.889,0

729.165,2

910.054,3

911.475,8

RAPBN

322.423,0
306.023,4
16.399,6

725.243,1

1.047.666,1

1.506,8

205.411,3

742.738,0

948.149,3

949.656,1

APBN

(17.364,1)

0,0

334.268,3
310.525,5
16.399,6

770.368,2

1.104.636,6

1.658,0

239.923,6

733.238,0

973.161,7

974.819,7

133.747,7

(133.747,7)

(28.097,4)

0,0

344.612,9
314.363,3
30.249,6

781.533,5

1.126.146,5

1.896,5

247.176,4

743.325,9

990.502,3

992.398,8

96.118,5

91.552,0

(46.845,7)

41.537,5

(16,8)

344.727,6
316.711,4
28.016,2

697.406,4

1.042.117,2

3.023,0

268.941,9

723.306,7

992.248,5

995.271,5

120.421,1

119.615,9

(119.615,9)

6.938,5

0,0

365.501,3
348.399,8
15.383,2

851.687,7

1.217.189,0

3.234,0

248.933,9

845.405,3

1.094.339,2

1.097.573,1

Pagu Indikatif

118.672,6

115.676,6

(115.676,6)

726,2

378.419,2
329.099,3
49.319,9

823.627,0

1.202.046,2

3.739,5

243.089,7

839.540,3

1.082.630,1

1.086.369,6

RAPBN

0,0

125.266,0

124.656,5

(124.656,5)

(9.447,3)

392.980,3
334.324,0
58.656,3

836.578,2

1.229.558,5

3.739,5

250.907,0

850.255,5

1.101.162,5

1.104.902,0

APBN

0,0

153.231,0

151.098,5

(151.098,4)

(44.127,4)

0,0

405.070,0
346.414,2
58.655,8

908.375,9

1.313.445,9

4.662,1

280.678,2

877.007,2

1.157.685,4

1.162.347,5

RAPBN-P

153.613,3

150.836,7

(150.836,7)

(44.252,9)

412.507,9
347.538,6
64.969,3

908.243,4

1.320.751,3

4.662,1

286.567,3

878.685,2

1.165.252,5

1.169.914,6

APBN-P

0,0

148.748,0

130.948,9

(84.399,5)

8.862,5

(47,5)

411.324,8
347.246,2
64.078,6

883.722,0

1.294.999,2

5.253,9

331.471,8

873.874,0

1.205.345,8

1.210.599,7

LKPP
(audited)

111.610,5

111.007,2

(111.007,2)

12.852,9

0,0

437.122,5
367.915,5
69.207,0

895.894,6

1.333.017,1

1.173,2

235.234,5

985.602,1

1.220.836,7

1.222.009,9

Pagu Indikatif

125.912,3

125.620,0

(125.620,0)

(2.548,1)

464.360,9
394.138,6
70.222,3

954.136,8

1.418.497,7

825,1

272.720,2

1.019.332,4

1.292.052,6

1.292.877,7

RAPBN

0,0

125.912,3

124.020,0

(124.020,0)

(1.802,4)

470.409,5
399.985,6
70.423,9

964.997,3

1.435.406,7

825,1

277.991,4

1.032.570,2

1.310.561,6

1.311.386,7

APBN

0,0

194.531,0

190.105,3

(190.105,3)

(72.319,9)

0,0

476.263,7
405.839,8
70.423,9

1.058.318,4

1.534.582,1

825,1

331.913,8

1.011.737,9

1.343.651,7

1.344.476,8

RAPBN-P

194.531,0

190.105,3

(190.105,3)

(72.319,9)

1.069.534,4

1.548.310,3

825,1

341.142,6

1.016.237,3

1.357.380,0

1.358.205,0

APBN-P

0,0

478.775,9
408.352,1
70.423,9

B. BELANJA NEGARA

III. SUSPEND

I. PEMBIAYAAN DALAM NEGERI

(4.425,7)

60.561,6
133.969,4

PENDAHULUAN

Tabel 1.4 Postur APBN Tahun 2010-2012

APBN

1.421,5

699.688,1

1.009.485,7

0,0

(129.816,9)

133.903,2

(dalam miliar rupiah)

949.070,0

309.797,6
292.979,6
16.818,0

17.584,7

129.816,9

2012

I. PENERIMAAN DALAM NEGERI

A. PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH

661.403,4

0,0

(98.010,0)

130.319,5

2011

1. PENERIMAAN PERPAJAKAN

287.666,6
271.324,0
16.342,6

17.584,7

98.009,9

2010

2. PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK

0,0

(98.009,9)

107.891,5

LKPP
(audited)

I. BELANJA PEMERINTAH PUSAT

36.398,3

98.009,9

APBN-P

II. TRANSFER KE DAERAH


1. Dana Perimbangan
2. Dana Otonomi Khusus dan Peny.

(77.147,0)

107.891,5

RAPBN-P

C. KESEIMBANGAN PRIMER
77.147,0

Pagu Indikatif

D. SURPLUS/ (DEFISIT) ANGGARAN (A - B)


60.512,4

II. PENERIMAAN HIBAH

E. PEMBIAYAAN (I + II)

(4.425,7)

60.561,6
133.969,4

0,0

53.731,1
(8.431,8)
(49.724,9)

(1.892,3)

53.731,1
(8.431,8)
(49.724,9)

8.947,0
116.965,3

0,0

(292,3)

54.282,4
(8.914,6)
(47.260,1)

0,0

8.947,0
116.965,3

0,0

(603,3)

55.984,2
(9.016,4)
(47.260,1)

(0,0)

19.964,8
91.645,7

0,0

48.927,9
99.820,1

59.963,3
(11.426,9)
(49.139,7)

(0,0)

(17.799,2)

0,0

(2.776,6)

33.747,2
(4.223,8)
(47.322,5)

(0,0)

48.750,7
104.862,6

0,0

(2.132,5)

56.182,9
(11.724,8)
(47.234,7)

46.549,3

46.168,1
107.062,9

0,0

(609,5)

56.939,6
(11.724,8)
(47.347,4)

(0,0)

12.657,2
112.608,7

0,0

(2.995,9)

58.933,0
(11.724,8)
(47.817,7)

0,0

7.657,2
111.015,3

0,0

(805,2)

57.070,3
(11.990,1)
(48.076,2)

0,0

6.803,4
113.617,8

0,0

(4.566,5)

59.619,4
(10.270,3)
(50.154,3)

0,0

22.189,3
73.929,2

0,0

(155,5)

54.794,8
(8.728,8)
(50.632,5)

0,0

45.477,1
88.426,1

0,0

(502,6)

70.777,1
(16.796,6)
(54.136,0)

44.706,3

45.477,1
84.842,4

0,0

(9.881,5)

72.322,8
(16.924,1)
(55.901,3)

(0,0)

7.129,2
100.762,3

0,0

(9.881,5)

57.605,8
(8.643,8)
(58.843,5)

0,0

7.129,2
100.762,3

0,0

4.504,2
56.008,2

57.605,8
(8.643,8)
(58.843,5)

(0,0)

(11.915,9)

0,0

1. Perbankan dalam negeri


2. Non-perbankan dalam negeri
54.946,9
(8.019,3)
(58.843,5)

0,0

0,0

0,0

28.550,4

II. PEMBIAYAAN LUAR NEGERI (neto)


1. Penarikan Pinjaman LN (bruto)
2. Penerusan Pinjaman (SLA)
3. Pembyr. Cicilan Pokok Utang LN
III. TAMBAHAN PEMBIAYAAN UTANG

KELEBIHAN/(KEKURANGAN) PEMBIAYAAN

20

DIREKTORAT P-APBN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

1.6 Peran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam Keuangan Negara


Dalam pasal 23 ayat (2) UUD 1945 diamanatkan bahwa rancangan undang-undang anggaran
pendapatan dan belanja negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Terkait dengan hal tersebut dalam undang-undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah pasal 69 ayat (1), DPR mempunyai fungsi:
a. legislasi;
b. anggaran; dan
c. pengawasan.
Fungsi legislasi dilaksanakan sebagai perwujudan DPR selaku pemegang kekuasaan membentuk
undang-undang. Fungsi anggaran dilaksanakan untuk membahas dan memberikan persetujuan
atau tidak memberikan persetujuan persetujuan terhadap rancangan undang-undang tentang APBN
yang diajukan oleh Presiden. Sedangkan fungsi pengawasan dilaksanakan melalui pengawasan
atas pelaksanaan undang-undang dan APBN.
Untuk hal-hal yang berkaitan dengan APBN DPR mempunyai tugas dan wewenang antara lain:
a. Memperhatikan pertimbangan DPD atas rancangan undang-undang tentang APBN dan
rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama;
b. Membahas bersama Presiden dengan memperhatikan pertimbangan DPD dan memberikan
persetujuan atas rancangan undang-undang tentang APBN yang diajukan oleh Presiden;
c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang dan APBN;
d. Membahas dan menindaklanjuti hasil pengawasan yang disampaikan oleh DPD terhadap
pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan
penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan
sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama;
e. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang dan APBN.
Alat kelengkapan DPR terdiri atas: Pimpinan, Badan Musyawarah, Komisi, Badan Legislasi, Badan
Anggaran, Badan Akuntabilitas Keuangan Negara, Badan Kehormatan, Badan Kerjasama AntarParlemen, Badan Urusan Rumah Tangga, Panitia Khusus dan alat kelengkapan lain yang
diperlukan dan dibentuk oleh rapat paripurna.
A. Komisi
Pada periode 20092014, DPR mempunyai 11 komisi dengan ruang lingkup tugas dan pasangan
kerja masing-masing. Komisi merupakan unit kerja utama yang membidangi masalah-masalah

DIREKTORAT P-APBN

21
PENDAHULUAN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

tertentu. Tugas komisi dalam pembentukan undang-undang adalah mengadakan persiapan,


penyusunan, pembahasan, dan penyempurnaan rancangan undang-undang. Komisi-komisi di DPR
tersebut adalah:
Tabel 1.5 Komisi DPR dan Ruang Lingkup Tugasnya
Nama Komisi

Ruang Lingkup Tugas

Komisi I

Pertahanan, Intelijen, Luar negeri, Komunikasi, dan Informatika

Komisi II

Pemerintahan Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi, Kepemiluan, Pertanahan dan Reforma Agraria

Komisi III

Hukum, HAM dan Keamanan.

Komisi IV

Pertanian, Perkebunan, Kehutanan, Kelautan, Perikanan, Pangan

Komisi V

Perhubungan, Pekerjaan Umum, Perumahan Rakyat, Pembangunan Pedesaan dan


Kawasan Tertinggal, Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika

Komisi VI

Perdagangan, Perindustrian , Investasi , Koperasi UKM dan BUMN Standarisasi Nasional

Komisi VII

Energi Sumber Daya Mineral, Riset dan Teknologi, Lingkungan Hidup

Komisi VIII

Agama, Sosial, Pemberdayaan Perempuan

Komisi IX

Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kependudukan, Kesehatan

Komisi X

Pendidikan, Kebudayaan, Pariwisata, Ekonomi Kreatif, Pemuda, Olahraga, Perpustakaan

Komisi XI

Keuangan, Perencanaan Pembangunan, Perbankan, dan Lembaga Keuangan bukan bank

Pelaksanaan tugas Komisi


1. Komisi dalam melaksanakan tugas dapat mengadakan:
a. rapat kerja dengan Pemerintah yang diwakili oleh menteri/pimpinan lembaga.
b. mengadakan konsultasi dengan BPK.
c. konsultasi dengan DPD.
d. rapat dengar pendapat dengan pejabat Pemerintah yang mewakili instansinya.
e. rapat dengar pendapat umum, baik atas permintaan komisi maupun atas permintaan pihak
lain.
f.

rapat kerja dengan menteri atau rapat dengar pendapat dengan pejabat Pemerintah yang
mewakili instansinya yang tidak termasuk dalam ruang lingkup tugasnya apabila diperlukan.

g. mengadakan rapat gabungan komisi apabila ada masalah yang menyangkut lebih dari satu
komisi.
h. mengadakan kunjungan kerja dalam masa reses, atau apabila dipandang perlu, dalam masa
sidang dengan persetujuan pimpinan DPR yang hasilnya dilaporkan dalam rapat komisi

DIREKTORAT P-APBN

22
PENDAHULUAN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

untuk ditentukan tindak lanjutnya, komisi menentukan tindak lanjut hasil pelaksanaan tugas
komisi.
i.

mengadakan rapat dengan Badan Akuntabilitas Keuangan Negara dalam menindaklanjuti


hasil laporan BPK.

2. Keputusan dan/atau kesimpulan hasil rapat kerja komisi atau rapat kerja gabungan komisi
bersifat mengikat antara DPR dan Pemerintah.
3. Komisi membuat laporan kinerja pada akhir masa keanggotaan DPR, baik yang sudah maupun
yang belum terselesaikan untuk dapat digunakan sebagai bahan oleh komisi pada masa
keanggotaan berikutnya.
4. Jumlah, ruang lingkup tugas, dan mitra kerja komisi ditetapkan dengan keputusan DPR.
Di dalam masing-masing komisi I sampai dengan XI terdapat komisi di bidang anggaran, dan
bersama dengan Badan Anggaran mempunyai tugas dalam hal penetapan alokasi anggaran, pada
saat pembahasan RUU APBN dengan pemerintah. Selain itu terdapat komisi di bidang pengawasan
yang melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang termasuk APBN, serta
peraturan pelaksanaannya.
Tugas komisi di bidang anggaran adalah:
a. mengadakan

pembicaraan

pendahuluan

mengenai

penyusunan

rancangan

anggaran

pendapatan dan belanja negara yang termasuk dalam ruang lingkup tugasnya bersama-sama
dengan Pemerintah;
b. mengadakan pembahasan dan mengajukan usul penyempurnaan rancangan anggaran
pendapatan dan belanja negara yang termasuk dalam ruang lingkup tugasnya bersama-sama
dengan Pemerintah;
c. membahas dan menetapkan alokasi anggaran untuk fungsi, program, dan kegiatan
kementerian/lembaga yang menjadi mitra kerja komisi;
d. mengadakan pembahasan laporan keuangan negara dan pelaksanaan APBN termasuk hasil
pemeriksaan BPK yang berkaitan dengan ruang lingkup tugasnya;
e. menyampaikan hasil pembicaraan pendahuluan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dan
hasil pembahasan sebagaimana dimaksud dalam huruf b, huruf c, dan huruf d, kepada Badan
Anggaran untuk sinkronisasi;
f.

menyempurnakan hasil sinkronisasi Badan Anggaran berdasarkan penyampaian usul komisi


sebagaimana dimaksud dalam huruf e; dan

g. menyerahkan kembali kepada Badan Anggaran hasil pembahasan komisi sebagaimana


dimaksud dalam huruf f untuk bahan akhir penetapan APBN.

DIREKTORAT P-APBN

23
PENDAHULUAN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

B. Badan Anggaran
Mengenai Badan Anggaran:
a. Badan Anggaran dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat
tetap.
b. DPR menetapkan susunan dan keanggotaan Badan Anggaran menurut perimbangan dan
pemerataan jumlah anggota tiap-tiap fraksi pada permulaan masa keanggotaan DPR dan
pada permulaan tahun sidang.
c. Susunan dan keanggotaan Badan Anggaran terdiri atas anggota dari tiap-tiap komisi yang
dipilih oleh komisi dengan memperhatikan perimbangan jumlah anggota dan usulan fraksi.
d. Pimpinan Badan Anggaran merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif dan
kolegial.
e. Pimpinan Badan Anggaran terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan paling banyak 3 (tiga) orang
wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota Badan Anggaran berdasarkan prinsip
musyawarah untuk mufakat dan proporsional dengan mempertimbangkan keterwakilan
perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi.
f.

Pemilihan pimpinan Badan Anggaran dilakukan dalam rapat Badan Anggaran yang dipimpin
oleh pimpinan DPR setelah penetapan susunan dan keanggotaan Badan Anggaran.

Badan Anggaran bertugas:


a. membahas bersama Pemerintah yang diwakili oleh menteri untuk menentukan pokok-pokok
kebijakan fiskal secara umum dan prioritas anggaran untuk dijadikan acuan bagi setiap
kementerian negara/lembaga (K/L) dalam menyusun usulan anggaran;
b. menetapkan pendapatan negara bersama Pemerintah dengan mengacu pada usulan komisi
terkait;
c. membahas rancangan undang-undang tentang APBN bersama Presiden yang dapat diwakili
oleh menteri dengan mengacu pada keputusan rapat kerja komisi dan Pemerintah mengenai
alokasi anggaran untuk fungsi, program, dan kegiatan K/L;
d. melakukan sinkronisasi terhadap hasil pembahasan di komisi mengenai rencana kerja dan
anggaran K/L;
e. membahas laporan realisasi dan prognosis yang berkaitan dengan APBN; dan
f.

membahas

pokok-pokok

penjelasan

atas

rancangan

undang-undang

tentang

pertanggungjawaban pelaksanaan APBN.


Pelaksanaan Tugas Badan Anggaran
a. Dalam melaksanakan tugas Badan Anggaran bersama pemerintah menetapkan asumsi
makro dengan mengacu pada keputusan komisi yang sesuai dengan ruang lingkup
tugasnya.

DIREKTORAT P-APBN

24
PENDAHULUAN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

b. Dalam melaksanakan tugas Badan Anggaran dapat melakukan kunjungan kerja pada masa
reses atau pada masa sidang dengan persetujuan pimpinan DPR.
c. Badan Anggaran dalam melaksanakan tugas terlebih dahulu menetapkan siklus dan jadwal
pembahasan APBN bersama pemerintah.
d. Badan Anggaran dalam melaksanakan tugasnya mengacu pada Tata Cara Penetapan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Badan Anggaran hanya membahas alokasi anggaran yang sudah diputuskan oleh komisi.
Anggota komisi dalam Badan Anggaran harus mengupayakan alokasi anggaran yang
diputuskan komisi dan menyampaikan hasil pelaksanaan tugas kepada komisi.
C. Panitia Kerja
Menurut pasal 94

Peraturan DPR RI nomor 1/DPR RI/2009-2010 tentang Tata Tertib DPR RI

disebutkan bahwa Alat kelengkapan DPR selain pimpinan DPR dapat membentuk panitia kerja.
Tugas panitia kerja diatur dalam pasal 96 yaitu:
1. Panitia kerja bertugas melaksanakan tugas tertentu dalam jangka waktu tertentu yang
ditetapkan oleh alat kelengkapan DPR yang membentuknya.
2. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), panitia kerja dapat
mengadakan rapat dengar pendapat dan rapat dengar pendapat umum.
3. Tata cara kerja panitia kerja ditetapkan oleh alat kelengkapan DPR yang membentuknya.
4. Panitia kerja bertanggung jawab kepada alat kelengkapan DPR yang membentuknya.
5. Panitia kerja dibubarkan oleh alat kelengkapan DPR yang membentuknya setelah jangka waktu
penugasannya berakhir atau karena tugasnya dinyatakan selesai.
6. Tindak lanjut hasil kerja panitia kerja ditetapkan oleh alat kelengkapan DPR yang
membentuknya.
Panitia kerja yang terkait dengan pembahasan undang-undang APBN adalah:
- Panja Asumsi Dasar, Kebijakan Fiskal, Pendapatan, Defisit, dan Pembiayaan
- Panja Kebijakan Belanja Pemerintah Pusat
- Panja Kebijakan Transfer ke Daerah
- Tim Perumus Draft RUU tentang APBN
Panja Asumsi Dasar, Kebijakan Fiskal, Pendapatan, Defisit, dan Pembiayaan
Keanggotaan Panja Asumsi Dasar, Kebijakan Fiskal, Pendapatan, Defisit, dan Pembiayaan dari
unsur pemerintah adalah dari Kementerian Keuangan, Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral, Kementerian BUMN, dan Bappenas.
Tugas Panja Asumsi Dasar, Kebijakan Fiskal, Pendapatan, Defisit, dan Pembiayaan:
1.

Membahas dan menetapkan asumsi dasar ekonomi makro, sebagai dasar perhitungan
berbagai besaran APBN, berdasarkan masukan dari komisi terkait (pertumbuhan ekonomi,

DIREKTORAT P-APBN

25
PENDAHULUAN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

inflasi, nilai tukar, dan suku bunga dari Komisi XI; serta lifting minyak dan harga minyak mentah
Indonesia dari Komisi VII).
2.

Membahas dan menetapkan pendapatan negara (penerimaan perpajakan dan penerimaan


negara bukan pajak/PNBP).

3.

Membahas dan menetapkan besaran subsidi energi (subsidi BBM dan subsidi Listrik)
berdasarkan parameter, asumsi, dan langkah-langkah kebijakan (policy measures) yang
ditetapkan oleh Komisi terkait (komisi VII).

4.

Membahas dan menetapkan defisit dan pembiayaan anggaran, baik penerimaan pembiayaan
maupun pengeluaran pembiayaan, yang meliputi pembiayaan utang maupun pembiayaan nonutang.

5.

Membahas dan menetapkan postur (sementara) APBN, sebagai hasil rekapitulasi dari
pembahasan dan kesepakatan tentang pendapatan negara (butir 2), belanja subsidi energi
(butir 3), belanja yang bersumber dari penggunaan PNBP dan transfer ke daerah sebagai
implikasi dari hasil pembahasan pendapatan negara (butir 2), serta defisit dan pembiayaan
anggaran (butir 4).

6.

Melaporkan hasil pembahasan kepada Rapat Kerja Badan Anggaran dengan Pemerintah dan
Bank Indonesia untuk diambil keputusan pada akhir Pembicaraan Tingkat I, guna diteruskan ke
Pembicaraan Tingkat II (pengambilan keputusan pada Rapat Paripurna).

Panja Kebijakan Belanja Pemerintah Pusat


Keanggotaan panja kebijakan belanja pemerintah pusat dari unsur pemerintah adalah dari
Kementerian Keuangan, dan Bappenas.
Tugas Panja Kebijakan Belanja Pemerintah Pusat:
1.

Membahas dan menetapkan kebijakan belanja pemerintah pusat menurut jenis (belanja
pegawai, belanja barang, belanja modal, pembayaran bunga utang, subsidi non-energi, belanja
bantuan sosial dan belanja lain-lain).

2.

Membahas dan menetapkan kebijakan belanja K/L, serta alokasi belanja pemerintah pusat
menurut organisasi.

3.

Membahas dan menetapkan kebijakan dan besaran belanja non-K/L (berbagai jenis subsidi
non-energi, seperti subsidi pangan, subsidi pupuk, subsidi benih, subsidi/bantuan PSO, subsidi
bunga kredit program, subsidi pajak), pembayaran bunga utang, dan belanja lain-lain.

4.

Membahas dan menetapkan postur belanja pemerintah pusat berdasarkan hasil rekapitulasi
pembahasan dan kesepakatan kebijakan belanja pemerintah pusat menurut jenis (butir 1), baik
belanja K/L (butir 2) maupun belanja non-K/L (butir 3).

DIREKTORAT P-APBN

26
PENDAHULUAN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

5.

Melaporkan hasil pembahasan kepada Rapat Kerja Badan Anggaran dengan Pemerintah dan
Bank Indonesia untuk diambil keputusan pada akhir Pembicaraan Tingkat I, guna diteruskan ke
Pembicaraan Tingkat II (pengambilan keputusan pada Rapat Paripurna).

Panja Kebijakan Transfer ke Daerah


Keanggotaan panja Panja Kebijakan Transfer ke Daerah dari unsur pemerintah adalah dari
Kementerian Keuangan, Bappenas, Kementrian Dalam Negeri, Badan Pusat Statistik (BPS) dan
Bakosurtanal.
Tugas Panja Kebijakan Transfer ke Daerah:
1.

Membahas dan menetapkan kebijakan umum Transfer ke daerah.

2.

Membahas dan menetapkan kebijakan dana perimbangan, baik dana bagi hasil (DBH), dana
alokasi umum (DAU), maupun dana alokasi khusus.

3.

Membahas dan menetapkan kebijakan dana otonomi khusus dan dana penyesuaian.

4.

Melaporkan hasil pembahasan kepada Rapat Kerja Badan Anggaran dengan Pemerintah dan
Bank Indonesia untuk diambil keputusan pada akhir Pembicaraan Tingkat I, guna diteruskan ke
Pembicaraan Tingkat II (pengambilan keputusan pada Rapat Paripurna).

Tim Perumus Draft RUU tentang APBN


Keanggotaan Tim perumus draft RUU tentang APBN dari unsur pemerintah adalah dari
Kementerian Keuangan, dan Bappenas.
Tugas Tim Perumus Draft RUU tentang APBN adalah:
1. Mengakomodir hasil kesepakatan Panja-Panja.
2. Mengoreksi konsep legal drafting berkaitan dengan penyusunan RUU APBN.
3. Melaporkan hasil pembahasan Tim Perumus kepada Rapat Pengambilan keputusan Rancangan
Undang-Undang tentang APBN antara Badan Anggaran dengan pemerintah pada akhir
Pembicaraan Tingkat I.
1.7 Peran DPR dalam Undang-undang yang Terkait Dengan Penerimaan Keuangan Negara
Hal lain yang diatur dalam Undang-undang Dasar 1945 adalah adanya kewajiban pembentukan
undang-undang atas pengenaan pajak maupun pungutan yang bersifat memaksa untuk keperluan
negara. Ketentuan ini termuat dalam pasal 23A Undang-undang Dasar 1945: Pajak dan pungutan
lain yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara diatur dengan undang-undang. Persyaratan ini
menunjukkan bahwa pajak dan setiap jenis pungutan tersebut adalah atas persetujuan DPR.

DIREKTORAT P-APBN

27
PENDAHULUAN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Undang- undang yang terkait dengan penerimaan keuangan negara antara lain:
1. Undang-undang di bidang Perpajakan yang terdiri dari:
- Undang-undang nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan jo.
Undang-undang nomor 9 tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-undang nomor 6 tahun
1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan jo. Undang-undang nomor 18
tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang nomor 6 tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan jo. Undang-undang nomor 9 tahun 1994 tentang
Perubahan Ketiga atas Undang-undang nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan jo. Undang-undang nomor 36 tahun 2008 tentang Perubahan Keempat
atas Undang-undang nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan
- Undang-undang nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan jo. Undang-undang nomor 7
tahun 1991 tentang Perubahan atas undang-undang nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan jo. Undang-undang nomor 10 tahun 1994 tentang Perubahan Kedua atas
undang-undang nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan jo. Undang-undang nomor
17 tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas undang-undang nomor 7 tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan jo. Undang-undang nomor 36 tahun 2008 tentang Perubahan Keempat
atas undang-undang nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
- Undang-undang nomor 8 tahun 1983 tentang Pajak pertambahan nilai barang dan jasa dan
pajak atas penjualan barang mewah jo. Undang-undang nomor 11 tahun 1994 tentang
Perubahan atas Undang-undang nomor 8 tahun 1983 tentang Pajak pertambahan nilai
barang dan jasa dan pajak atas penjualan barang mewah jo. Undang-undang nomor 11 tahun
1994 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang nomor 18 tahun 2000 tentang Pajak
pertambahan nilai barang dan jasa dan pajak atas penjualan barang mewah
- Undang-undang nomor 21 tahun 1997 tentang Bea Perolehan atas Tanah dan Bangunan.
2. Undang-undang nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan jo. Undang-undang nomor 17 tahun
2006 tentang Perubahan atas Undang-undang nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan.
3. Undang-undang nomor 11 tahun 1995 tentang Cukai jo. Undang-undang nomor 39 tahun 2007
tentang Perubahan Undang-undang nomor 11 tahun 1995 tentang Cukai.
4. Undang-undang nomor 20 tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak.
5. Undang-undang Nomor 44 Tahun 2003 tentang Tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan
Pajak yang berlaku pada Departemen Keuangan

DIREKTORAT P-APBN

28
PENDAHULUAN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

BAB II
SIKLUS APBN

2.1

TAHAPAN SIKLUS

Gambar. 2.1 Siklus APBN


Siklus merupakan suatu tahapan yang berisikan rangkaian kegiatan dan selalu berulang untuk
jangka waktu tertentu. Jadi, siklus Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah
rangkaian kegiatan dalam proses penganggaran yang dimulai pada saat anggaran negara mulai
disusun sampai dengan perhitungan anggaran disahkan dengan undang-undang (Gambar 2.1).
Letak siklus APBN saling beririsan pada satu tahun anggaran (Gambar 2.2), misalnya, pada tahun
anggaran 2012 terdapat sebagian siklus APBN tahun anggaran 2011 (tahap pemeriksaaan dan
pertanggungjawaban APBN), sebagian siklus APBN tahun anggaran 2012 (tahap pelaksanaan),
dan sebagian siklus APBN tahun anggaran 2013 (tahap perencanaan dan penganggarannya).

Siklus
Siklus Anggaran
tahun 2011

Anggaran
tahun 2012

Siklus Anggaran
tahun 2013

Gambar 2.2 Keterkaitan Antar Siklus APBN

DIREKTORAT P-APBN

29
SIKLUS APBN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Ada 5 tahapan pokok dalam satu siklus APBN di Indonesia. Dari kelima tahapan itu, tahapan ke-2
(kedua) dan ke-5 (kelima) dilaksanakan bukan oleh pemerintah, yaitu masing-masing tahap kedua
penetapan/persetujuan APBN dilaksanakan oleh DPR (lembaga legislatif), dan tahap kelima
pemeriksaan dan pertanggungjawaban dilaksanakan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Sedangkan tahapan lainnya dilaksanakan oleh pemerintah.
Tahapan kegiatan dalam siklus APBN adalah sebagai berikut:
1. Perencanaan dan penganggaran APBN
Tahapan ini dilakukan pada tahun sebelum anggaran tersebut dilaksanakan (APBN t-1) misal
untuk APBN 2013 dilakukan pada tahun 2012 yang meliputi dua kegiatan yaitu, perencanaan
dan penganggaran.
Tahap perencanaan dimulai dari: (1) penyusunan arah kebijakan dan prioritas pembangunan
nasional; (2) Kementerian Negara/Lembaga (K/L) melakukan evaluasi pelaksanaan program
dan kegiatan pada tahun berjalan, menyusun rencana inisiatif baru dan indikasi kebutuhan
anggaran; (3) Kementerian Perencanaan dan Kementerian Keuangan mengevaluasi
pelaksanaan program dan kegiatan yang sedang berjalan dan mengkaji usulan inisiatif baru
berdasarkan prioritas pembangunan serta analisa pemenuhan kelayakan dan efisiensi indikasi
kebutuhan dananya; (4) Pagu indikatif dan rancangan awal Rencana Kerja Pemerintah
ditetapkan; (5) K/L menyusun rencana kerja (Renja); (6) Pertemuan tiga pihak (trilateral
meeting) dilaksanakan antara K/L, Kementerian Perencanaan, dan Kementerian Keuangan; (7)
Rancangan awal RKP disempurnakan; (8) RKP dibahas dalam pembicaraan pendahuluan
antara Pemerintah dengan DPR; (9) RKP ditetapkan.
Tahap penganggaran dimulai dari: (1) penyusunan kapasitas fiskal yang menjadi bahan
penetapan pagu indikatif; (2) penetapan pagu indikatif (3) penetapan pagu anggaran K/L; (4)
penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran K/L (RKA-K/L); (4) penelaahan RKA-K/L sebagai
bahan penyusunan nota keuangan dan rancangan undang-undang tentang APBN; dan (5)
penyampaian Nota Keuangan, Rancangan APBN, dan Rancangan UU tentang APBN kepada
DPR. Hal lebih lanjut tentang kapasitas fiskal dapat dilihat pada Box 2.1.
2. Penetapan/Persetujuan APBN
Kegiatan penetapan/persetujuan ini dilakukan pada APBN t-1, sekitar bulan OktoberDesember. Kegiatan dalam tahap ini berupa pembahasan Rancangan APBN dan Rancangan
Undang-undang APBN serta penetapannya oleh DPR.

DIREKTORAT P-APBN

30
SIKLUS APBN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Selanjutnya berdasarkan persetujuan DPR, Rancangan UU APBN ditetapkan menjadi UU


APBN. Penetapan UU APBN ini diikuti dengan penetapan Keppres mengenai rincian APBN
sebagai lampiran UU APBN dimaksud.
Boks 2.1 Seputar Inisiatif Baru
Gambar di bawah ini menjelaskan mengenai konsep dasar inisiatif baru.

Kebijakan baru atau perubahan kebijakan berjalan yang


menyebabkan adanya konsekuensi anggaran, baik pada
anggaran baseline maupun anggaran ke depan. Inisiatif
Baru dapat berupa : Penambahan Program (Fokus
Prioritas)/Outcome/Kegiatan/Output baru, Penambahan
Volume Target, atau Percepatan Pencapaian Target.

DEFINISI

Memberikan Fleksibilitas Pada Sistem


Perencanaan dan Penganggaran
- Menjaga Konsistensi Pencapaian Tujuan
Pembangunan Nasional
- Meningkatkan Transparansi dan Akuntabilitas
- Melakukan Efisiensi

INISIATIF
BARU

LANDASAN KONSEPTUAL

TUJUAN

SYARAT PENGAJUAN

- Fleksibilitas dalam perencanaan dengan tetap menjaga


akuntabilitas
- Perencanaan berorientasi pada arah kebijakan
- Penerapan prinsip tata kelola yang baik (transparansi
dan akuntabilitas
- Berorientasi pada pencapaian kinerja

Semua Inisiatif Baru harus sesuai dengan Arah Kebijakan


& Prioritas Pembangunan Nasional yang ditetapkan
Presiden (di awal tahun berjalan)

Konsep Dasar Inisiatif Baru


Wujud inisiatif baru (new initiative) dapat berupa:
1. Program/outcome/kegiatan/keluaran baru meliputi penambahan: Program Baru/Fokus Prioritas Baru,
Outcome Baru, Kegiatan Baru, dan Output Baru yang membawa konsekuensi dibutuhkannya
penambahan anggaran atau perubahan baseline;
2. Penambahan volume target; atau
3. Percepatan pencapaian target meliputi penambahan target baru yang bersifat percepatan, sehingga
membutuhkan penambahan anggaran, tetapi pagu baseline jangka menengah awal tidak boleh berubah.
Semua Inisiatif Baru tersebut harus sesuai dengan Arah Kebijakan dan Prioritas Pembangunan Nasional
yang ditetapkan Presiden (di awal tahun berjalan, Januari).
K/L yang mengusulkan inisiatif baru wajib melengkapinya dengan TOR (Terms of Reference/Kerangka
Acuan Kinerja) dan RAB (Rencana Anggaran Belanja) serta dokumen pendukung yang menjelaskan rincian
informasi kinerja dan rincian anggaran secara jelas, spesifik, dan terukur.
Selanjutnya, inisiatif baru yang telah disetujui dan mendapat alokasi anggaran, dituangkan dalam Kertas
Kerja RKA-K/L Satker.
Dalam hal kesempatan pengusulannya, Inisiatif Baru dapat dilakukan pada 3 kesempatan dalam siklus
perencanaan/penganggaran, yaitu:
1. Sebelum Pagu Indikatif (Pengusulan I) sekitar Januari/Pebruari setelah dikeluarkannya surat edaran
Menteri Perencanaan.
2. Sebelum Pagu Anggaran (Pengusulan II) sekitar Mei/Juni dan diusulkan untuk mengakomodasi arahan
presiden dan usulan yang muncul dalam musrenbangnas.
3. Sebelum Alokasi Anggaran (Pengusulan III) sekitar Agustus/September dan diusulkan untuk

DIREKTORAT P-APBN

31
SIKLUS APBN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

mengakomodasi arahan
pengusulan sebelumnya.

Presiden

dan

hal-hal

yang

belum

tertampung

dalam

dua

kali

Setiap K/L dapat mengusulkan proposal inisiatif baru lebih dari satu proposal dimana setiap proposal hanya
boleh diajukan satu kali dalam 3 kesempatan tersebut. Secara substansi, setiap K/L bisa mengusulkan
Inisiatif Baru yang terkait dengan Arah Kebijakan dan Prioritas Pembangunan Nasional.
Penetapan usulan yang akan disetujui sebagai Inisiatif Baru dilakukan melalui sistem kompetisi dengan
mempertimbangkan ketersediaan anggaran.
Berkaitan dengan perencanaan jangka menengah, adanya mekanisme Inisiatif Baru mengakibatkan
penyesuaian perencanaan untuk tahun direncanakan (penyesuaian target kinerja dan anggarannya).
Sedangkan dalam dalam hal APBN-P, mekanisme inisiatif baru mengakibatkan penyesuaian target
perencanaan dan anggaran untuk tahun berjalan.
Namun demikian, ada beberapa perubahan program/kegiatan/output yang bukan kategori inisiatif baru,
yaitu:
1. Penyesuaian anggaran terhadap parameter ekonomi meliputi Inflasi atau kurs;
2. Penyesuaian anggaran terhadap parameter non-ekonomi meliputi perubahan SBU & SBK selama tidak
merubah total pagu K/L dan tetap menjaga output dan outcome yang sudah ditetapkan;
3. Perubahan target tanpa mengubah anggaran yang telah ditetapkan (diluar prioritas nasional, prioritas
bidang dan prioritas K/L) meliputi perubahan target program dan kegiatan non-prioritas;
4. Penambahan target yang disebabkan tidak tercapainya target tahun sebelumnya, sehingga target tahun
ini ditambahkan, tapi total pagu anggaran unit kerja tidak berubah meliputi luncuran (carried over) target
yang tidak tercapai pada tahun sebelumnya; atau
5. Jenis-jenis perubahan kebijakan/anggaran lainnya.
Dari sisi pendanaan, sumber pendanaan Inisiatif Baru dapat berasal dari:
1. Tambahan Anggaran (On Top) merupakan tambahan alokasi yang dapat berupa Rupiah murni,
Pinjaman atau Hibah. Penambahan anggaran ini akan menyebabkan bertambahnya anggaran baseline.
2. Realokasi Anggaran
a. Realokasi Tahun Direncanakan
Realokasi dengan mengambil anggaran dari program/kegiatan lain pada tahun yang direncanakan,
tanpa merubah total anggaran tahun direncanakan. Syaratnya target program/kegiatan yang
direalokasi tidak boleh berubah.
b. Realokasi Antar Tahun
Realokasi dengan mengambil anggaran program yang sama di tahun selanjutnya. Syaratnya target
jangka menengah tidak berubah. Pendanaan ini digunakan untuk mendanai usulan Inisiatif Baru jenis
Percepatan Pencapaian Target.
3. Kombinasi On Top dan Realokasi Anggaran.

3. Pelaksanaan APBN
Jika tahapan kegiatan ke-1 dan ke-2 dilaksanakan pada APBN t-1, kegiatan pelaksanaan
APBN dilaksanakan mulai 1 Januari - 31 Desember pada tahun berjalan (APBN t). Dengan
kata lain, pelaksanaan tahun anggaran 2013 akan dilaksanakan mulai 1 Januari 2013 31 Desember 2013.
Kegiatan pelaksanaan APBN dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini kementerian/lembaga
(K/L). K/L mengusulkan konsep Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) berdasarkan

DIREKTORAT P-APBN

32
SIKLUS APBN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Keppres mengenai rincian APBN dan menyampaikannya ke Kementerian Keuangan untuk


disahkan. DIPA adalah alat untuk melaksanakan APBN. Berdasarkan DIPA inilah para
pengelola anggaran K/L (Pengguna Anggaran, Kuasa Pengguna Anggaran, dan Pembantu
Pengguna Anggaran)

melaksanakan berbagai macam kegiatan sesuai tugas dan fungsi

instansinya.
4. Pelaporan dan Pencatatan APBN
Tahap pelaporan dan pencatatan APBN dilaksanakan bersamaan dengan tahap pelaksanaan
APBN, 1 Januari-31 Desember.
Laporan keuangan pemerintah dihasilkan melalui proses akuntansi, dan disajikan sesuai
dengan standar akuntansi keuangan pemerintah yang terdiri dari Laporan Realisasi Anggaran
(LRA), Neraca, dan Laporan Arus Kas, serta catatan atas laporan keuangan.
5. Pemeriksaan dan Pertanggungjawaban APBN
Tahap terakhir siklus APBN adalah tahap pemeriksanaan dan pertanggungjawaban yang
dilaksanakan setelah tahap pelaksanaan berakhir (APBN t+1), sekitar bulan Januari - Juli.
Contoh, jika APBN dilaksanakan tahun 2013, tahap pemeriksaan dan pertanggungjawabannya
dilakukan pada tahun 2014. Pemeriksaan ini dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK).
Untuk pertanggungjawaban pengelolaan dan pelaksanaan APBN secara keseluruhan selama
satu

tahun

anggaran,

Presiden

menyampaikan

rancangan

undang-undang

tentang

pertanggungjawaban pelaksanaan APBN kepada DPR berupa laporan keuangan yang telah
diperiksa BPK, selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran berakhir.
Penjelasan selanjutnya pada bab ini difokuskan pada tahapan 1 dan 2 siklus APBN, karena
keduanya merupakan bagian hulu dalam permasalahan pengelolaan anggaran negara. Rincian
kegiatan pada kedua tahapan dijelaskan dalam Undang-Undang nomor 17 tahun 2003 tentang
Keuangan Negara, Undang-Undang nomor 27 tahun 2009 tentang MD3 (MPR, DPR, DPD, dan
DPRD), Peraturan Pemerintah nomor 20 tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah, dan
Peraturan Pemerintah nomor 90 tahun 2010 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran
Kementerian Negara/Lembaga.
2.2

PERENCANAAN

Undang-Undang nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional


membagi dokumen perencanaan pembangunan nasional berikut.

DIREKTORAT P-APBN

33
SIKLUS APBN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Pertama, Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJP), yaitu dokumen perencanaan
yang menjabarkan

lebih lanjut dari tujuan pemerintahan negara Indonesia (pembukaan UUD

1945). RPJP berisi visi, misi, dan arah pembangunan nasional. Dokumen perencanaan ini
mempunyai rentang waktu 20 (dua puluh) tahun. Saat ini, RPJP yang berlaku adalah RPJP 20052025.
Kedua,

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM), yaitu dokumen

perencanaan yang menjabarkan visi, misi, dan program presiden untuk periode 5 (lima) tahun
yang penyusunannya berpedoman pada RPJP Nasional. Wujud RPJM berupa peraturan presiden
sebagai bentuk legalnya. RPJM berisi strategi pembangunan nasional, kebijakan umum, kerangka
ekonomi makro, dan program kementerian, lintas kementerian, kewilayahan, dan lintas
kewilayahan yang memuat kegiatan dalam kerangka regulasi dan kerangka anggaran. Dokumen
ini juga memuat prioritas pembangunan dan gambaran perekonomian secara menyeluruh
termasuk arah kebijakan fiskal dalam rencana kerja yang berupa kerangka regulasi dan kerangka
pendanaan yang bersifat indikatif.
Ketiga, Rencana Kerja Pemerintah (RKP), yaitu dokumen perencanaan yang menjabarkan RPJM.
RKP berisi prioritas pembangunan nasional, rencana kerangka ekonomi makro, arah kebijakan
fiskal, program kementerian, lintas kementerian, kewilayahan, dan lintas kewilayahan yang
memuat kegiatan dalam kerangka regulasi dan kerangka anggaran. Dokumen perencanaan ini
ditetapkan setiap tahun dalam bentuk peraturan presiden, paling lambat pada pertengahan Mei
(APBN t-1).
Di samping ketiga dokumen perencanaan nasional tersebut, ada juga dokumen perencanaan K/L
yang mempunyai keterkaitan dengan ketiga dokumen perencanaan pembangunan nasional di
atas. Dokumen dimaksud adalah Rencana Strategis Kementerian/lembaga (Renstra K/L) dan
Rencana Kerja Kementerian/Lembaga (Renja K/L). Penyusunan dokumen

Renstra K/L

berpedoman pada RPJM dan ditetapkan untuk jangka waktu 5 (lima) tahun. Dokumen ini berisi
tiga hal, yaitu: visi-misi K/L; tujuan, strategi, dan kebijakan; serta program dan kegiatan yang
bersifat indikatif. Renstra K/L ini nantinya menjadi pedoman dalam penyusunan Renja K/L.
Sedangkan penyusunan Renja K/L berpedoman pada Renstra dan mengacu pada RKP. Renja K/L
berisi kebijakan K/L dan program-kegiatan pembangunan yang dilaksanakan pemerintah dan/atau
yang mendorong partisipasi masyarakat.
Dokumen perencanaan, terutama RKP dan Renja K/L, menjadi pedoman dalam penyusunan
anggaran. Secara nasional RKP menjadi pedoman APBN pada tahun yang direncanakan.
Sedangkan Renja K/L menjadi pedoman penyusunan RKA-K/L. Keterkaitan perencanaan dan
penganggaran dapat dilihat pada Gambar 2.3.

DIREKTORAT P-APBN

34
SIKLUS APBN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Perencanaan dan Penganggaran


20 Tahunan

5 Tahunan

Tahunan

Pedoman
Renstra
KL

Pedoman
Renja-KL

RINCIAN
APBN

RAPABN

APBN

PEMERINTAH
PUSAT

RKA-KL

Pedoman

RPJP
Nasional
Diacu

Pedoman

Dijabarkan

RPJM
Nasional

Pedoman
RKP

Diserasikan melalui Musrenbang

Diperhatikan
Pedoman

Pedoman

RKP
Daerah

Pedoman
RAPBD

APBD

SKASKPD

Rincian
APBD

Diacu
Pedoman

Renstra
SKPD

Pedoman
Renja
SKPD

PEMERINTAH
DAERAH

Dijabarkan

RPJM
Daerah

RPJP
Nasional

UU SPPN
UU SPPN

Gambar 2.3 Keterkaitan Perencanaan dan Penganggaran


Sebagaimana dijelaskan di atas, proses perencanaan tahunan menghasilkan dokumen RKP.
Untuk menghasilkan dokumen RKP, ada 2 (dua) kegiatan dilihat dari sisi keterlibatan berbagai
pihak. Pertama, kegiatan yang dilaksanakan internal pemerintah untuk menghasilkan RKP usulan
pemerintah. Kedua, kegiatan yang melibatkan pihak legislatif untuk menghasilkan RKP hasil
kesepakatan pemerintah dan DPR.
Proses perencanaan untuk menghasilkan RKP usulan dimulai sekitar Januari, pada saat presiden
memberi arahan dalam berbagai kesempatan (rapat kerja pemerintah, sidang kabinet paripurna,
atau sidang rapat koordinasi terbatas). Berdasarkan arahan presiden tersebut, mesin perencanaan
di lingkungan pemerintah mulai bergerak, yaitu:
1.

Bappenas akan mengevaluasi target-target kerja RPJM berdasarkan:


a. RKP perbaikan sebagai hasil pembahasan dengan DPR (APBN t-1) sebagai benchmark.
b. hasil evaluasi kebijakan program/kegiatan tahun berjalan dari K/L (APBN t-1) sesuai arahan
presiden dan prioritas pembangunan nasional.
c. kapasitas fiskal dari Kementerian Keuangan untuk APBN t+1.

2.

Bappenas menyampaikan surat edaran Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala


Bappenas tentang Penyusunan Inisiatif Baru. Lebih lanjut mengenai bahasan inisiatif baru
dapat dilihat pada Box 2.2.

3.

K/L menyampaikan inisiatif baru kepada Bappenas dan Kemenkeu c.q DJA dengan
memperhatikan:

DIREKTORAT P-APBN

35
SIKLUS APBN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

a. Arahan Presiden;
b. Hasil evaluasi kebijakan berjalan yang diselaraskan dengan arah kebijakan dan prioritas
pembangunan nasional; dan
c. Peningkatan efektifitas dan efisiensi pendanaan program dan kegiatan, termasuk
mempertimbangkan efisiensi APBN t yang dapat diterapkan untuk APBN t+1.
4.

Bappenas melakukan penyelarasan (fine tuning) kapasitas fiskal, baseline, dan inisiatif baru
tahap 1.

5.

Sidang Kabinet tentang Rancangan Awal RKP dan Pagu Indikatif APBN t+1.

6.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas dan Menteri Keuangan


menyampaikan Rancangan Awal RKP dan Pagu Indikatif APBN t+1 kepada K/L pada minggu
ketiga Maret.

7.

Pelaksanaan

pertemuan

tiga

pihak

(Trilateral

Meeting),

Musyawarah

Perencanaan

Pembangunan Propinsi, dan penyampaian Renja K/L.


8.

Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas).

9.

Sidang Kabinet dalam rangka penetapan Rancangan Akhir RKP untuk APBN t+1.

10. Penetapan Peraturan Presiden tentang RKP sekitar bulan Mei.


Tahapan kegiatan dalam proses perencanaan di atas juga melibatkan atau bersinggungan dengan
tugas-fungsi Kementerian Keuangan c.q. Ditjen Anggaran, yaitu pada langkah 3 (tiga), 4 (empat),
dan 7 (tujuh). Pada langkah 3 (penyampaian inisiatif baru dari K/L), Ditjen Anggaran melakukan
penilaian usulan inisiatif baru bersama dengan Bappenas. Selanjutnya pada langkah 4
(penyelarasan kapasitas fiskal, angka dasar, dan inisitaif baru tahap 1), Ditjen Anggaran
menyampaikan kapasitas fiskal kepada Bappenas sebagai dasar penghitungan kebutuhan
anggaran pembangunan. Sedangkan pada langkah 7 (pelaksanaan pertemuan tiga pihak), Ditjen
Anggaran bersama dengan Bappenas dan K/L mengadakan pertemuan untuk menyepakati
beberapa hal dalam kaitannya dengan pendanaan program dan kegiatan K/L: angka dasar,
program prioritas nasional, dan program prioritas K/L.
Proses selanjutnya adalah perencanaan untuk menghasilkan RKP hasil kesepakatan dengan
DPR. Proses pembahasan RKP ini termasuk Pembicaraan Pendahuluan tentang Rancangan
APBN. Penjelasan proses perencanaan pada tahap ini berdasarkan Undang-Undang nomor 17
tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang nomor 27 tahun 2009 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah, serta Peraturan DPR RI nomor 1/DPR RI/2009-2010 tentang Tata
Tertib DPR RI.
Rincian proses perencanaan ini adalah sebagai berikut:

DIREKTORAT P-APBN

36
SIKLUS APBN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

1.

Pemerintah menyampaikan Keppres tentang RKP kepada DPR untuk dibahas bersama.

2.

Pemerintah menyampaikan pokok-pokok pembicaraan pendahuluan Rancangan APBN yang


meliputi:
- Kerangka Ekonomi Makro (KEM) dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal (PPKF);
- Kebijakan Umum dan prioritas Anggaran K/L;
- Rincian unit organisasi, fungsi, program dan kegiatan.

3.

Pandangan fraksi-fraksi atas materi yang disampaikan oleh Pemerintah dalam pokok-pokok
pembicaraan RAPBN.

4.

Tanggapan pemerintah terhadap pandangan Fraksi-fraksi.

5.

Rapat Kerja Badan Anggaran dengan Pemerintah (Menteri Keuangan dan Menteri Negara
Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas) dan Gubernur Bank Indonesia,
penyampaian (RKP), KEM dan PPKF dalam RAPBN, serta pembentukan Panja dan Tim
Perumus.

6.

Rapat kerja Komisi VII dan XI dengan mitra kerjanya, pembahasan asumsi dasar RAPBN.

7.

Rapat kerja Komisi I-XI dengan mitra kerjanya membahas Rencana Kerja Kementerian
Lembaga dan RKP Kementerian Lembaga (disampaikan secara tertulis kepada Badan
Anggaran untuk disinkronisasi).

8.

Rapat Panja-Panja.

9.

Rapat internal Badan Anggaran DPR, sinkronisasi hasil Panja-Panja.

10. Rapat kerja komisi dengan mitra kerjanya, menyempurnakan alokasi anggaran menurut
fungsi, program, kegiatan K/L sesuai dengan hasil pembahasan Badan Anggaran.
11. Penyampaian hasil sinkronisasi oleh komisi dan mitra kerjanya kepada Badan Anggaran dan
Menteri Keuangan untuk bahan penyusunan RUU APBN dan Nota Keuangannya.
12. Rapat Kerja Badan Anggaran dengen Menteri Keuangan, Menteri PPN/Kepala Bappenas dan
Gubernur Bank Indonesia, penyampaian laporan dan pengesahan hasil Panja-Panja.
13. Penyampaian laporan hasil pembahasan tentang RKP dan Pembicaraan Pendahuluan
Rancangan APBN di Badan Anggaran.
Gambaran rincian proses perencanaan ini dapat dilihat pada Gambar 2.5.
Sebagai catatan pada kegiatan Raker Komisi dengan K/L mitra kerjanya (minggu ke-4 Agustusminggu ke-1 September), fokus pembahasan RKA-K/L meliputi indikasi program-kegiatan yang
akan dilaksanakan termasuk alokasi anggarannya dan konsultasi inisiatif baru, bukan pembahasan
RKA-K/L secara menyeluruh dan rinci. Pembahasan RKA-K/L secara menyeluruh dan rinci akan
dilaksanakan pada bulan September dalam proses penganggaran.

DIREKTORAT P-APBN

37
SIKLUS APBN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

PROSES PEMBAHASAN RENCANA KERJA PEMERINTAH DAN PEMBICARAAN PENDAHULUAN PENYUSUNAN RAPBN
BERDASARKAN UU 17 TAHUN 2003 , UU NO.27 TAHUN 2009 DAN TATIB DPR RI TAHUN 2009

PERTENGAHAN MEI
Kepres ttg RKP disampaikan kepada DPR untuk dibahas bersama
DPR
Ayat (2) Pasal 151 Tatib DPR RI; Pasal 7 PP No 20 Tahun 2004

MINGGU II-IV JUNI


Rapat Panja-Panja:
Pembahasan RKP dan Kerangka Ekonomi Makro dan
Pokok-pokok Kebijakan Fiskal
(Ayat (8) Pasal 152 Tatib DPR RI)

MINGGU IV JUNI
Rapat Kerja Badan Anggaran dengan Pemerintah
(Menkeu & Menteri PPN/Kepala Bappenas) dan
Gubernur Bank Indonesia:
Laporan dan pengesahan hasil panja-panja ttg RKP dan
Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal
dalam RAPBN
(Ayat (3) Pasal 151 & Ayat (8); Pasal 152 Tatib DPR RI)

20 MEI ATAU SATU HARI SEBELUMNYA


(JIKA TANGAL TERSEBUT JATUH PADA HARI LIBUR)
RAPAT PARIPURNA
Pemerintah menyampaikan pokok-pokok pembicaraan RAPBN
yang meliputi:
1. Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal;
2. Kebijakan Umum dan Prioritas Anggaran K/L;
3. Rincian unit organisasi, fungsi, program dan kegiatan
(Pasal13 UU 17/2003; Ayat (1)&(2) Pasal 156; Pasal 157 UU 27/2009;
Ayat (1), (2), & (3) Pasal 152 Tatib DPR RI)

MINGGU II JUNI
Rapat Intern Badan Anggaran DPR RI
Penyampaian hasil pembahasan Rapat Kerja/RDP Komisi
dengan Mitra Kerjanya
(Ayat (7) Pasal 152 Tatib DPR RI)

MINGGU I JULI
Rapat Kerja/RDP Komisi-Komisi dgn Mitra Kerjanya:
menyempurnakan alokasi anggaran menurut
fungsi, program, dan kegiatan kementerian/lembaga
sesuai hasil pembahasan Badan Anggaran DPR RI
(Ayat (2) Pasal 96 UU 27/2009;
Ayat (2) Pasal 53 Tatib DPR RI)

MINGGU III MEI


RAPAT PARIPURNA
Pandangan Fraksi-Fraksi atas Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok
Kebijakan Fiskal dalam RAPBN yang diajukan oleh Pemerintah
(Ayat (4) Pasal 152 Tatib DPR RI)

MINGGU I-II JUNI


Raker Komisi I s.d XI Rapat Kerja/Rapat Dengar
Pendapat Komisi-Komisi dgn Mitra Kerjanya:
Membahas Rencana Kerja dan Anggaran K/L
(disampaikan secara tertulis kepada
Badan Anggaran untuk disinkronisasi)

Penyampaian hasil sinkronisasi oleh komisi-komisi dengan mitra


kerjanya kepada Badan Anggaran dan Menteri Keuangan untuk
bahan penyusunan RUU APBN & Nota Keuangannya

Ayat (3) Dan (4) Pasal 157 UU 27/2009;

(ayat (2) Pasal 96 UU 27/2009; Ayat 53 Tatib DPR RI)

MINGGU IV MEI
RAPAT PARIPURNA
Tanggapan Pemerintah terhadap pandangan Fraksi-Fraksi atas kerangka
Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal dalam RAPBN yang
diajukan
oleh Pemerintah
(Ayat (4) Pasal 152 Tatib DPR RI)

MINGGU I JUNI
Rapat Kerja Badan Anggaran dengan Pemerintah
(Menteri Keuangan & Menteri PPN/Kepala Bappenas) dan
Gubernur Bank Indonesia:
Penyampaian RKP & Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok

PALING LAMBAT JULI


RAPAT PARIPURNA :
Penyampaian laporan hasil pembahasan tentang RKP dan
Pembicaraan Pendahuluan RAPBN di Badan Anggaran
(Ayat (9) & (11) Pasal 152 Tatib DPR RI)

Kebijakan Fiskal dalam RAPBN dan pembentukan Panja


(Pasal 158 27/2009,; Pasal 65 dan 66

PP Nomor 20 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah


UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD

Gambar 2.4. Proses Perencanaan Menghasilkan RKP Hasil Kesepakatan

DIREKTORAT P-APBN

38
SIKLUS APBN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

2.3

KAPASITAS FISKAL

Dalam hal kapasitas fiskal yang disampaikan Kementerian Keuangan c.q. Ditjen Anggaran kepada
Bappenas dalam tahap perencanaan, keberadaannya tidak muncul tiba-tiba. Kapasital fiskal ini
bagian awal dari rangkaian gerbong dalam proses penyusunan APBN pada tahun yang
direncanakan dan merupakan bagian dari tahap penganggaran. Penjelasan singkat mengenai
kapasitas fiskal sebagaimana Boks. 2.2.
Boks 2.2
Kapasitas Fiskal, Kebutuhan Fiskal, dan Fiscal Gap
Ada beberapa istilah atau pengertian seperti kapasitas fiskal, kebutuhan fiskal, dan celah
fiskal (fiscal gap) yang biasa digunakan untuk menjelaskan mekanisme pembentukan postur
APBN. Ketiga pengertian ini saling terkait satu sama lain.
Kapasitas fiskal adalah kemampuan keuangan negara yang dihimpun dari pendapatan
negara untuk mendanai anggaran belanja negara. Kemampuan keuangan negara ini telah
memperhitungkan pembiayaan (nonutang) apabila terdapat celah fiskal.

Kebutuhan

mendanai anggaran belanja negara itu disebut kebutuhan fiskal. Sedangkan selisih antara
kebutuhan fiskal dikurangi dengan kapasitas fiskal adalah celah fiskal.
Gambaran mengenai kondisi kapasitas, kebutuhan, dan celah fiskal untuk beberapa tahun
dapat dilihat pada tabel dan grafik di bawah ini. Dari data tersebut dapat dilihat, kebutuhan
fiskal pemerintah tahun 2007-2013 lebih besar dari pada kapasitas fiskal yang ada. Untuk
mengakomodasi kebutuhan yang lebih besar dari kapasitasnya tersebut, pemerintah
menempuh kebijakan defisit anggaran. Yaitu kondisi besaran belanja negara lebih besar
dibandingkan dengan pendapatan negara. Untuk menutup defisit tersebut, pemerintah
memanfaatkan sumber-sumber pembiayaan yang berasal dari utang atau nonutang.
Fiscal Gap 2007-2013
(triliun rupiah
Uraian
Kapasitas fiskal
kebutuhan fiskal
fiscal gap
GDP

DIREKTORAT P-APBN

2007
711,8
823,0
(111,2)
3.950,9

2008
981,9
1.056,9
(75,0)
4.948,7

2009
852,5
1.024,7
(172,2)
5.606,2

2010
1.000,1
1.122,3
(122,2)
6.436,3

2011
1.218,1
1.368,8
(150,7)
7.427,1

2012
1.364,6
1.633,4
(268,8)
8.542,6

2013
1.534,0
1.771,3
(237,3)
9.269,6

39
SIKLUS APBN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

2.000,0
1.800,0
1.600,0
1.400,0
triliun rupiah

1.200,0
1.000,0

Kapasitas fiskal

800,0

kebutuhan fiskal

600,0
400,0
200,0
2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

Kapasitas fiskal : pendapatan pajak + pendapatan negara bukan pajak + hibah


Kebutuhan fiskal : belanja negara + pengeluaran pembiayaan + cicilan pokok utang

Rasio Fiscal Gap terhadap PDB (%)

Uraian
Kapasitas Fiskal
Kebutuhan Fiskal
Fiscal Gap

2007
18,0
20,8
2,8

2008
19,8
21,4
1,5

2009
15,2
18,3
3,1

2010
15,5
17,4
1,9

2011
16,4
18,4
2,0

2012
16,0
19,1
3,1

2013
16,5
19,1
2,6

Penyusunan kapasitas fiskal sendiri pun melalui suatu rangkaian mekanisme koordinasi dan
harmonisasi yang melibatkan para pemangku kepentingan, baik di dalam maupun di luar
Kementerian Keuangan. Pemangku kepentingan dari luar Kementerian Keuangan meliputi Badan
Pusat Statistik, Bank Indonesia, Kementerian Perencanaan/Bappenas, dan K/L terkait. Sedangkan
pemangku kepentingan di dalam Kementerian Keuangan meliputi Ditjen Anggaran (Direktorat
Penyusunan APBN, Direktorat PNBP, Direktorat Sistem Penganggaran, Direktorat Anggaran I,
Direktorat Anggaran II, dan Direktorat Anggaran III), Badan Kebijakan Fiskal, Ditjen Pengelolaan
Utang, Ditjen Perimbangan Keuangan, Ditjen Perbendaharaan, Ditjen Pajak, Ditjen Bea dan Cukai,
Ditjen Kekayaan Negara.
Dari sisi waktu, penyusunan kapasitas fiskal untuk tahun yang direncanakan bahkan dimulai jauh
sebelum tahun anggaran yang direncanakan akan dilaksanakan. Misalnya, proses penyusunan
kapasitas fiskal untuk tahun tahun anggaran 2014 dimulai sejak bulan Desember 2012.
Dari sisi materi, penyusunan kapasitas fiskal pada dasarnya melakukan penyusunan postur APBN
(I-account) secara utuh tetapi masih dalam tahap awal. Ada kemungkinan terdapat penyesuaian
atau perubahan sesuai dinamika internal pemerintahan maupun perubahan lingkungan eksternal

DIREKTORAT P-APBN

40
SIKLUS APBN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

sepanjang

proses

penyusunan

menuju

Rancangan

APBN.

Meskipun

demikian,

penyesuaian/perubahan kapasitas fiskal ini tidak mengubah seluruh bangunan postur APBN
karena tiang bangunan postur mempunyai batasan tersendiri. Tiang bangunan ini meliputi:
pertumbuhan ekonomi, defisit APBN, keseimbangan primer, dan target pendapatan.
Kapasitas fiskal disampaikan kepada Kementerian Perencanaan/Bappenas untuk mengisi
anggaran program pembangunan yang akan direncanakan (APBN t+1).

Menurut

Peraturan

Pemerintah Nomor 90 tahun 2010 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran
Kementerian Negara/Lembaga, kapasitas fiskal ini disampaikan kepada Bappenas pertengahan
Pebruari.
Kapasitas fiskal adalah kemampuan keuangan negara untuk membiayai anggaran belanja negara,
dan dihimpun dari pendapatan negara. Penyusunan kapasitas fiskal tersebut, tidak hanya masuk
tahun yang direncanakan tetapi termasuk kapasitas fiskal untuk jangka menengah (Medium Term
Budget Framework); misal ketika menyusun kapasitas fiskal RAPBN 2013 juga disusun kapasitas
fiskal untuk 2014 2016. Konteks penyusunan ini adalah dalam kerangka membuat perkiraan
mengenai kapasitas fiskal yang ada pada tahun yang direncanakan dan proyeksi untuk jangka
waktu 3 (tiga) tahun dari tahun yang direncanakan. Mekanisme penyusunan ini merupakan bagian
tidak terpisahkan dari pembentukan postur APBN. dan dengan gambaran utuh postur APBN inilah
kapasitas fiskal dapat diketahui beserta potensi sumber-sumber pendanaannya.
Pembentukan postur APBN dapat dianalogikan seperti membentuk kepingan puzzle menjadi
gambar utuh. Tapi puzzle kali ini adalah komponen-komponen postur APBN. Yakni pendapatan,
belanja, keseimbangan umum (defisit/surplus), dan pembiayaan dengan memperhatikan
keseimbangan primer sebagai indicator sustainabilitas APBN.
Pembentukan postur APBN dalam rangka penyusunan kapasitas fiskal mencakup tiga langkah
utama, yaitu (i) menyusun asumsi dasar ekonomi makro berdasarkan prospek perekonomian
global dan domestik; (2) mengidentifikasi kebutuhan belanja untuk kebutuhan penyelenggaraan
negara; (3) merumuskan proyeksi besaran beserta usulan berbagai kebijakan APBN, baik di sisi
pendapatan, belanja, keseimbangan primer, keseimbangan umum, dan pembiayaan ( penerimaan
dan pengeluaran) memperkirakan prospek perekonomian global dan domestik. Wujud perkiraan
prospek ekonomi ini adalah asumsi dasar ekonomi makro. Yakni pertumbuhan ekonomi, inflasi,
kurs mata uang rupiah terhadap dollar Amerika, ICP, lifting minyak, dan SPN 3 bulan.
Masing-masing besaran komponen postur APBN ini ditentukan atau dipengaruhi oleh asumsi
dasar ekonomi makro. Komponen pendapatan dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi, inflasi,
kurs, ICP, dan lifting minyak. Komponen belanja dipengaruhi oleh inflasi, kurs, SPN 3 bulan, ICP,
dan lifting minyak. Komponen defisit (surplus belum pernah terjadi dalam pembentukan postur

DIREKTORAT P-APBN

41
SIKLUS APBN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

APBN selama ini, jadi tidak dijelaskan) tidak dipengaruhi langsung oleh asumsi dasar ekonomi
makro tetapi oleh kondisi tarik-menarik antara belanja-pendapatan. Sedangkan komponen
pembiayaan dipengaruhi langsung oleh kurs. Kebijakan investasi pemerintah juga berpengaruh
terhadap komponen pembiayaan tetapi secara tidak langsung. Dampak perubahan asumsi dasar
ekonomi makro terhadap postur APBN dijelaskan lebih lanjut pada Bab 3.
Berdasarkan pengaruh asumsi dasar ekonomi makro ini masing-masing komponen postur APBN
diperkirakan besaran angkanya. Penghitungan masing-masing komponen postur APBN dilakukan
secara paralel atau bersamaan. Baru kemudian masing-masing komponen ini diharmonisasikan
menjadi postur APBN utuh dan ideal. Acuan harmonisasi postur APBN antara lain besaran defisit,
kualitas belanja, antisipasi gejolak ekonomi dunia, atau risiko dan antisipasi bencana alam.
Penghitungan komponen postur APBN juga memperhatikan karakteristik yang dimiliki tiap
komponen. Pendapatan dapat dipastikan merupakan perkiraan maksimal yang dapat ditarik
pemerintah dari pajak, PNBP, dan hibah. Untuk belanja, harus mempertimbangkan pengeluaran
pemerintah untuk membiayai kebutuhan penyelenggaraan operasional dan pengeluran wajib yang
diperkirakan sekitar 80% dari total belanja negara, termasuk cadangan untuk darurat/mendesak
dan risiko fiskal. Sedangkan untuk defisit harus mempertimbangkan batasan yang diperbolehkan
(amanat Undang-Undang nomor 17 tahun 2003) maksimal 3,0% dari PDB secara kumulatif APBN
+ APBN-P untuk APBN. Dalam hal pembiayaan, ini merupakan perkiraan maksimal yang dapat
diperoleh pemerintah melalui utang dan sumber pembiayaan lainnya.
Gambar 2.5 merupakan penjelasan singkat mekanisme penyusunan kapasitas fiskal dan/atau
postur APBN, ini merupakan hasil akhir dari postur APBN pada saat penyusunan kapasitas fiskal
sekitar bulan Pebruari-Maret. Kapasitas fiskal yang disampaikan kepada Bappenas tersebut
berupa informasi mengenai alokasi belanja yang nantinya dapat digunakan untuk mendanai
kegiatan-kegiatan pembangunan yang merupakan prioritas nasional. Dalam informasi tersebut
terinci berapa kapasitas fiskal yang tersedia untuk belanja K/L, berapa yang merupakan angka
dasar, dan berapa yang merupakan potensi untuk dialokasikan sebagai inisiatif baru.

DIREKTORAT P-APBN

42
SIKLUS APBN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Pe nga ruh As um si D as ar
E kon o m i M akro (A DE M)
da n K ara kteristi k
K o m p on en

Kom po nen
Pe ndapa ta n

Be lanj a

De fis it

Pe mb ia ya a n

Peng a ru h AD E M

K arakter isti k

pe r tumb uhan
e k onom i, i nfl a si,
k urs, I CP, da n
l ifting m i nya k

per ki raa n
m a k si ma l

i nfla si , k urs, S PN
3 bula n, I CP, da n
l ifting m i nya k

B ia ya
op e ras iona l
di perk ira ka n
m e nc a pai
80% dari
to ta l be la nj a
pem e ri nta h
pu sa t

(di pe ngar uhi


ol e h pe nd ap atan
- bel anja)

m a k si ma l
2, 5% da ri
PD B

Kurs

per ki raa n
m a k si ma l

P en gh itu nga n
tia p
K o m p o ne n

Ko m ponen

diha rm onisa sika n


da lam Po stur A PBN
ut u h d an id ea l

Jum la h
(tri li un
Rup ia h)

Kom p onen

Ju m la h
(tril iu n
Rupi a h)

Pen da pata n

1.300

Pen da pa ta n

1.300

B ela nj a
K /L
Angka Dasar
o Ope rasional
o Non ops
Inisi ati fBaru .
N o n-K/L

1. 491
636
566
198
368
70
855

B ela nj a
K/ L
A ngk a Dasar
o Operasi onal
o Non ops
I nisiatif Baru .
N on -K /L

1. 450
595
566
198
368
29
855

D efi sit

191

D ef is it

150

Pem b ia ya a n

150

Pem bi ay a a n

150

A ng k a de fisi t de ng a n
p e mbi a ya a n haru s
s ama.

U ntuk m e nca pa i a ng ka de fi sit 150 ( s am a d g


ke m a m pua n pe m bi ay a a n), be lanj a dipang k as
se bes a r 41 pa da bag ian i nisi atif baru.
Ang k a k a pasita s f isk a l yang di sam pa ik a n k e
Bappe na s ada la h 368 + 29 = 397

Gambar 2.5 Mekanisme Penyusunan Postur APBN


Dalam proses penghitungan tiap komponen, komponen belanja telah memperhitungkan biaya
operasional, pengeluaran wajib (non discretionary spending), belanja antisipasi untuk berbagai
keperluan dan cadangan sebagai angka dasar. Jika masih ada alokasi anggaran belanja yang
belum digunakan, alokasi ini digunakan untuk menambah pendanaan inisiatif baru.
Dari contoh pembentukan postur APBN yang telah diharmonisasikan tersebut dapat diketahui
kapasitas fiskal belanja K/L untuk tahun yang direncanakan sebesarRp595 triliun dengan rincian:
sebesar Rp566 triliun merupakan angka dasar dan sebesar Rp29 triliun merupakan alokasi inisiatif
baru. Pada angka dasar masih dapat dirinci menjadi belanja operasional sebesar Rp198 triliun dan
non-operasional sebesar Rp368 triliun.
Adapun rincian kegiatan penyusunan kapasitas fiskal, termasuk koordinasi dan harmonisasi
dengan pemangku kepentingan terkait dapat dilihat pada Tabel 2.1 di bawah ini. Tabel tersebut
menggambarkan kronologi yang telah, sedang, dan akan dilaksanakan untuk penyusunan
kapasitas fiskal 2014.

DIREKTORAT P-APBN

43
SIKLUS APBN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Tabel 2.1 Proses Penyusunan Kapasitas Fiskal dan Postur APBN


No.

1.

Pemangku
Kepentingan

Uraian

Penyusunan Konsep Arah


Presiden untuk RAPBN 2014

Kebijakan

Ditjen Anggaran

a. Inventarisasi bahan arahan presiden


dan risalah sidang kabinet/rapat
terbatas/retreat/ acara rapim lainnya

Output

Keterangan

Konsep
arah
kebijakan Presiden
RAPBN
2014
sebagai bahan acuan
untuk
Kebijakan
umum RAPBN 2014

Disampaikan oleh
Menteri
Keuangan kepada
Presiden melalui
Menko
Perekonomian
dan
Wakil
Presiden

b. Klasifikasi arahan presiden menurut


tema/bidang
c. Formulasi
kebijakan

2.

konsep

usulan

Pertemuan awal (Pre Kick off Meeting)


asumsi dasar ekonomi makro RAPBN 2014
a. Evaluasi
realisasi
asumsi
ekonomi makro APBN-P 2012

Dipersiapkan
sejak
akhir
November 2012

arah

dasar

b. Review asumsi dasar ekonomi makro


APBN 2013

Ditjen Anggaran, Biro


Pusat Statistik, Bank
Indonesia, Bappenas,
Badan
Kebijakan
Fiskal, Kementerian
ESDM

Konsep awal asumsi


dasar
ekonomi
makro RAPBN 2014

Ditjen Anggaran, Biro


Pusat Statistik, Bank
Indonesia, Bappenas,
Badan
Kebijakan
Fiskal

Asumsi
Ekonomi
2014-2017

c. Proyeksi asumsi dasar ekonomi makro


tahun 2014

3.

Permintaan asumsi dasar ekonomi makro


2014-2017 dari Direktorat Penyusunan
APBN ke pemangku kepentingan

DIREKTORAT P-APBN

Dasar
makro

Minggu
ke-1
Desember
2012

44
SIKLUS APBN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

4.

Permintaan Proyeksi RAPBN 2014 dan


Kerangka Anggaran Jangka Menengah
(MTBF) 2015-2017
a. Pendapatan negara, subsidi energi, dan
bagi hasil
b. Pengelolaan utang dan belanja bunga
utang
c. Transfer ke daerah
d. Belanja Hibah

Ditjen
Anggaran, a. Proyeksi besaran
Badan
Kebijakan
pendapatan
Fiskal,
Ditjen
negara,
subsidi
Pengelolaan
Utang,
energi, dan bagi
Ditjen Perimbangan
hasil
dan Keuangan, Ditjen
b. Proyeksi
Perbendaharaan,
pengelolan utang
Ditjen
Kekayaan
dan belanja bunga
Negara, Kementerian
utang
terkait
c. Proyeksi transfer
ke daerah

e. Pembiayaan non-utang

d. Proyeksi
hibah

f. Underlying dan proyeksi pinjaman luar


negeri

f. Proyeksi
Underlying
pinjaman
negeri
Penyusunan Usulan Kebijakan dan proyeksi
penghitungan
(exercise)
Belanja
Pemerintah Pusat
a. Monitoring dan Evaluasi capaian
kinerja 2012 dan prognosis 2013
b. Koordinasi/rapat/surat
dengan
pemangku kepentingan terkait untuk
merumuskan usulan Kebijakan Belanja
dan Parameternya
c. Menyusun
proyeksi
penghitungan
besaran Belanja Pemerintah Pusat

6.

Penyusunan Usulan Kebijakan dan


proyeksi
penghitungan
Pembiayaan
Anggaran RAPBN 2014
a.

Monitoring dan Evaluasi capaian


kinerja 2012 dan prognosis 2013

b.

Koordinasi/rapat/surat
dengan
pemangku kepentingan terkait untuk
merumuskan
usulan
Kebijakan
Pembiayaan
Anggaran
dan
Parameternya

c.

Menyusun proyeksi penghitungan


besaran Pembiayaan Anggaran

DIREKTORAT P-APBN

belanja

e. Proyeksi
Pembiayaan nonutang

g. Belanja Pemerintah Pusat Non K/L

5.

Minggu
ke-4
Desember 2012
s.d Minggu ke-2
Januari 2013

dan
luar

Ditjen
Anggaran
Menko Perekonomian,
Kementerian
PU,
Mensos,
TNP2K,
Kementan,
Kemenhub, Kominfo,
Kemenpan,
Badan
Kepegawaian Negara,
Ditjen
Perbendaharaan,
Badan
Nasional
Penanggulangan
Bencana,
Badan
Kebijakan Fiskal

Konsep
usulan
Kebijakan
dan
proyeksi
penghitungan
besaran
Belanja
Negara

Minggu
Januari

Ditjen
Anggaran,
Badan
Kebijakan
Fiskal,
Ditjen
Pengelolaan Utang,
Ditjen Perimbangan
Keuangan,
Ditjen
Perbendaharaan,
Ditjen
Kekayaan
Negara, dan unit
terkait lainnya

Konsep
usulan
Kebijakan
dan
proyeksi
penghitungan
Pembiayaan
Anggaran RAPBN
2014

Minggu
Januari
Minggu
Februari

ke

1-3

ke-4
s.d.
ke-2

45
SIKLUS APBN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

7.

postur RAPBN 2014

DJA
mengkoordinasikan
penyusunan
postur RAPBN 2014 dalam rangka
penyusunan kapasitas fiskal dan kerangka
anggaran jangka menengah (MTBF) 20152017 dengan instansi terkait

Ditjen
Anggaran,
Badan
Kebijakan
Fiskal,
Ditjen
Pengelolaan Utang,
Ditjen Perimbangan
Keuangan,
Ditjen
Pajak, Ditjen Bea
Cukai,
Ditjen
Kekayaan
Negara,
Biro Pusat Statistik

a.

Ditjen
Anggaran,
Badan
Kebijakan
Fiskal,
Ditjen
Pengelolaan Utang,
Ditjen Perimbangan
Keuangan,
Ditjen
Pajak, Ditjen Bea
Cukai,
Ditjen
Kekayaan
Negara,
Biro Pusat Statistik

Minggu
Januari
Minggu
Februari

ke-4
s.d.
ke-1

Ditjen Anggaran

Minggu
Januari

ke-4

Ditjen
Anggaran,
Badan
Kebijakan
Fiskal,
Ditjen
Pengelolaan Utang,
Ditjen Perimbangan
Keuangan,
Ditjen
Pajak, Ditjen Bea
Cukai,
Ditjen
Kekayaan
Negara,
Biro Pusat Statistik

Minggu
Januari

ke-4

Penyusunan proyeksi penghitungan


Postur RAPBN dalam rangka
penyusunan
Kapasitas
fiskal
(dengan Eselon II)
Konfirmasi mengenai besar
defisit
dan
kebijakankebijakannya
Konfirmasi mengenai asumsi
dasar ekonomi makro
dan
kebijakan-kebijakannya
Konfirmasi
pendapatan dan
kebijakannya

mengenai
kebijakan-

Konfirmasi mengenai belanja


negara
dan
kebijakankebijakannya
Konfirmasi
pembiayaan dan
kebijakannya

mengenai
kebijakan-

b.

Penyampaian
Anggaran

c.

Pembahasan proyeksi penghitungan


Postur RAPBN dalam rangka
penyusunan
Kapasitas
fiskal
(dengan Eselon I)

Postur

ke

Dirjen

Konfirmasi mengenai defisit


Konfirmasi mengenai asumsi
dasar ekonomi makro
Konfirmasi
pendapatan

mengenai

Konfirmasi mengenai belanja


negara
Konfirmasi
pembiayaan

DIREKTORAT P-APBN

mengenai

46
SIKLUS APBN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

8.

DJA
menyampaikan kepada Menteri
Keuangan:
a.

Internal
Anggaran

Ditjen

kapasitas fiskal untuk pagu indikatif


RAPBN 2014 dan MTBF 2015-2017

Konsep
kapasitas
fiskal untuk pagu
indikatif
RAPBN
2014 dan MTBF
2015-2017

Minggu keFebruari

b. konsep surat Menteri Keuangan


kepada Menteri PPN/Kepala Bappenas

Angka-angka yang ada dalam Gambar 2.4 berasal dari proses penyusunan kapasitas fiskal pada
langkah 5c (belanja) dan 6c (pembiayaan) Tabel 2.1. Besaran angka pada belanja maupun
pembiayaan tersebut mempunyai mekanisme dan model tersendiri dalam penyusunan angkaangkanya. Besaran angka pada belanja dirinci terlebih dahulu dalam unsur-unsur yang
membentuknya berupa jenis belanja: pegawai, barang, modal, bantuan sosial, subsidi, belanja
lain-lain, bunga utang, dan hibah. Masing-masing mempunyai karakteristik tersendiri dalam
penghitungan proyeksi besaran angka yang nantinya dimasukkan dalam postur APBN. Demikian
juga halnya dengan pembiayaan.
Sebagai contoh, Tabel 2.2 berisikan penjelasan model dan cara penghitungan salah satu jenis
belanja, yaitu belanja pegawai yang merupakan unsur belanja negara dalam postur APBN.
Tabel 2.2. Model dan Penghitungan Belanja Pegawai
1.

Belanja Pegawai

BPgt = GTt + HVt + KSt

BPgt : belanja pegawai


GTt : gaji dan tunjangan
HVt : honorarium, vakasi, lembur, dll
KSt : kontribusi sosial

1.1

Gaji dan Tunjangan

GTt = gt + TBt + TLt + UMt + BPLNt + GPBt

gt : Gaji/tunjangan

gt = [((gt-1 + GPBt-1) / Pt-1)) x (1+Kt) x (1+A)] x Pt

TBt : Tunjangan Beras

TBt = TBt-1 x (1+It) x (1+A)

TLt : Tunjangan Lainnya

TLt = [TLt-1 / Pt-1) x (1+Kt) x (1+A)] x Pt

UMt : Uang Makan dan Uang Lauk Pauk

UMt = UMt-1 x [1+(( Tt -Tt-1)/ Tt-1)] x (1+A)

BPLNt :

BPLNt = [(BPLNt-1 / Pt-1) x (1+Kt) x (1+A)] x (NTt /

GPBt : Gaji Pegawai Baru

NTt-1) x Pt

Belanja Pegawai Luar Negeri

Pt : Periode pembayaran

GPBt = TPBt x [(SGt-1 x (1+Kt) x IGt] x Pt

Kt : Kebijakan
A : Indeks Accres
It : inflasi
Tt : tarif uang makan dan uang lauk pauk
NTt : asumsi nilai tukar
TPBt : Tambahan pegawai

DIREKTORAT P-APBN

47
SIKLUS APBN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

SGt-1 : struktur gaji tahun sebelumnya


IGt : Indeks gaji CPNS
1.2

Honorarium, Vakasi,
Lembur, dll

1.3

Kontribusi Sosial

HVLt = HVLt-1 x (1 + It)

It : inflasi

TKt = (TKt-1/Pt-1) x (1 + A) x Pt

TKt : Tunjangan Khusus/Kegiatan

Manfaat Pensiun (PT Taspen dan PT Asabri)

MP : Manfaat Pensiun

MPt = MPKt-1 x (1+KG) x (P)

MPK : Manfaat Perkapita


KG : Kebijakan kenaikan Pensiun Pokok

Asuransi Kesehatan = IWP + subsidi katastrofi


IWP = Askes PNS + Jamkesmen + Jamkestama
+ Veteran Non-Tuvet

IA : iuran askes
KG : kebijakan kenaikan gaji

Askes PNS = IAt = IAt-1 x (1+KG) x (1+y)


Program Jamkesmen = PJN = P x UC x
Period

y : indeks perkembangan alamiah


(kenaikan gaji berkala & jumlah anggota
keluarga)

Program Jamkestama = PJA = P x UC x


Period

UC : unit cost
Ij : iuran per jiwa

Program Pemeliharaan Kesehatan Veteran


(non tuvet) = Iuran Vet = Ij x Vet x Period
Subsidi katastrofi = SKt = (Uct-1 x (1+H.Inf )) x
CP x (50%)

2.4

P : Jumlah Peserta

Vet : jumlah veteran


H. Inf : health inflation
CP : proyeksi jumlah kasus

PENGANGGARAN

Kegiatan perencanaan dan penganggaran pada dasarnya merupakan kegiatan yang saling
mempengaruhi dan berinteraksi secara terus-menerus untuk menghasilkan APBN yang memenuhi
harapan

semua pihak.

Meskipun

secara

kelembagaan

dua fungsi (perencanaan

dan

penganggaran) dilaksanakan oleh kementerian yang berbeda (fungsi perencanaan dilaksanakan


oleh Kementerian Perencanaan/Bappenas dan fungsi penganggaran

dilaksanakan oleh

Kementerian Keuangan) tetapi keduanya terikat erat dalam satu tujuan, menghasilkan APBN yang
dapat dipercaya dan memenuhi harapan semua pihak.
Proses penganggaran tahunan akan menghasilkan APBN, termasuk Undang-Undang APBN-nya.
Dalam proses ini ada 2 (dua) kegiatan untuk menghasilkan APBN jika dilihat dari sisi keterlibatan
berbagai pihak. Pertama, kegiatan yang dilaksanakan internal pemerintah untuk menghasilkan
APBN usulan pemerintah (Rancangan APBN). Kedua, kegiatan yang melibatkan pihak legislatif
untuk menghasilkan APBN hasil kesepakatan pemerintah dan DPR.
Dalam rangka penyusunan Rancangan APBN tersebut, Menteri Keuangan bersama Menteri
Perencanaan/Bappenas menyusun Pagu Indikatif (untuk belanja K/L) dengan memperhatikan
kapasitas fiskal dan pemenuhan prioritas pembangunan nasional. Pagu indikatif tersebut dirinci

DIREKTORAT P-APBN

48
SIKLUS APBN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

menurut unit organisasi, program, kegiatan, dan indikasi pendanaan untuk mendukung arah
kebijakan yang telah ditetapkan oleh Presiden.

Presiden

Arah Kebijakan
Prioritas
Pembangunan
Nasional

1.
Bappenas

2.
3.
4.

Kemkeu

Mengevaluasi pelaksanaan Program dan


Kegiatan yang sedang berjalan;
Mengkaji usulan Inisiatif Baru;
Penyesuaian baseline;
Memperhatikan kapasitas fiskal.

Pagu Indikatif

1.
2.
3.

Unit Organisasi;
Program;
Kegiatan.

Dirinci
menurut

Catatan:
1. Angka prakiraan maju tahun sebelumnya;
2. Angka Dasar; yang disesuaikan
3. Inisiatif Baru Kesempatan ke-1;
4. Pagu Indikatif

Gambar 2.6 Proses dan Konsep Penyusunan Pagu Indikatif


Dilihat dari postur APBN yang telah disusun sebelumnya (dalam rangka penyusunan Kapasitas
Fiskal), substansi dan besaran angka dalam postur APBN secara garis besar tidak mengalami
perubahan yang signifikan. Hal ini karena pagu indikatif merupakan turunan atau terjemahan dari
kapasitas fiskal (alokasi anggaran belanja K/L) yang berbentuk program/kegiatan per K/L. Namun
demikian dimungkinkan ada perubahan pada rincian belanja untuk masing-masing K/L karena
telah mengakomodir adanya inisiatif baru (lihat konsep pagu indikatif pada Gambar 2.6).
Penjelasan mengenai hal tersebut di atas mengacu Gambar 2.4 sebagai contoh kasus. Kapasitas
fiskal untuk belanja K/L pada RAPBN 2014 direncanakan sebesar Rp595 triliun yang terbagi
sebagai angka dasar Rp566 triliun dan inisiatif baru Rp29 triliun. Angka sebesar Rp595 triliun
merupakan jumlah total untuk keseluruhan belanja K/L.
Angka sebesar Rp595 triliun dalam postur APBN tersebut sebagai kapasitas fiskal belanja K/L
yang tidak akan berubah, sepanjang tidak ada perubahan kebijakan (antara lain berupa
perubahan: asumsi dasar ekonomi makro, defisit, tax ratio, atau subsidi). Yang mungkin
mengalami perubahan ialah alokasi belanja satu atau beberapa K/L, bukan kapasitas fiskal untuk
belanja K/L secara total. Misal, Kementerian X mempunyai alokasi anggaran Rp100 miliar tahun
2013. Berdasarkan hasil review KPJM yang ada di dokumen RKA-K/L, Ditjen Anggaran
menetapkan angka dasar Kementerian X sebesar Rp80 miliar untuk RAPBN 2014. Artinya, alokasi
belanja Kementerian X akan tetap sebesar Rp80 miliar (sampai APBN ditetapkan) apabila

DIREKTORAT P-APBN

49
SIKLUS APBN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Kementerian Perencanaan/Bappenas dan Kementerian Keuangan belum menerima dan


menyetujui usulan inisiatif baru untuk Kementerian X untuk RAPBN 2014.
Jika ada persetujuan atas usulan inisiatif baru untuk Kementerian X sebesar Rp10 miliar, maka
anggaran belanja Kementerian X menjadi sebesar Rp90 miliar (angka dasar Rp80 miliar ditambah
angka inisiatif baru Rp10 miliar). Angka sebesar Rp10 miliar tersebut mengambil porsi alokasi
belanja keperluan Inisiatif baru dalam postur APBN. Usulan inisiatif baru yang berasal dari semua
K/L tidak boleh melebihi alokasi belanja untuk keperluan inisiatif baru (sebesar Rp29 triliun). Oleh
karena itu wajar jika ada proses seleksi dan penilalian atas setiap usulan inisiatif baru.
Jadi sisa alokasi belanja inisiatif baru dalam postur APBN menjadi Rp29 triliun minus Rp10 miliar.
Namun demikian alokasi belanja K/L tetap tidak mengalami perubahan sebesar Rp595 triliun.
Pagu indikatif yang sudah ditetapkan beserta prioritas pembangunan nasional yang dituangkan
dalam rencana awal RKP disampaikan kepada K/L pada bulan Maret melalui surat bersama
Menteri Keuangan dan Menteri Perencanaan/Kepala Bappenas.
Pola penyusunan Pagu Indikatif menggunakan metode yang sama dengan penyusunan Kapasitas
Fiskal, yaitu kegiatan koordinasi dan harmonisasi para pihak yang terkait. Contoh sebagaimana
Tabel 2.3 merupakan kegiatan koordinasi dan harmonisasi yang telah, sedang, dan akan
dilakukan dalam rangka penyusunan Pagu Indikatif 2014.

Tabel 2.3 Kegiatan dalam Rangka Penyusunan Pagu Indikatif


No.

1.

Uraian

DJA

Unit Terkait

menyampaikan kepada Menteri

Keuangan:
a. resource envelope untuk pagu indikatif
RAPBN 2014 dan MTBF 2015-2017
b. konsep

surat

Menteri

Keuangan

kepada Menteri PPN/Kepala Bappenas

Internal

Output

Ditjen

Keterangan (Jadwal)

Konsep

Minggu ke-1 Februari

Anggaran (Dit. P-

resource

APBN, Dit. PNBP,

envelope untuk

Dit A1, Dit. A2, Dit.

pagu

A3, Dit. HPP, Dit.

RAPBN

DSP)

dan

indikatif
2014
MTBF

2015-2017

2.

Road show (Kemenkeu dan K/L) untuk

Ditjen

meminta

(Dit A1, Dit. A2,

dan

Dit.

prioritas

K/L

APBN, Dit. DSP)

(untuk

new

dan

initiative)

masukan

dan

pendapat

mengenai perencanaan penganggaran

DIREKTORAT P-APBN

Anggaran

A3, Dit.

P-

beberapa

Usulan program
belanja

Minggu ke 2-3 Januari


(Diselesaikan

pada

Minggu ke-1 Februari)

50
SIKLUS APBN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

K/L

3.

Monitoring

dan

evaluasi

kinerja

Internal

Ditjen

(Dit.

Baseline belanja

pelaksanaan anggaran K/L sebagai bahan

Anggaran

review baseline K/L

DSP, Dit A1, Dit.

(operasional

A2, Dit A3, Dit.

dan

APK, Dit. PA, Dit.

operasional)

K/L

Januari -Februari
(Diselesaikan

pada

Minggu ke-1 Februari)

non-

PAPBN)

4.

Penyusunan

usulan

rancangan

pagu

Indikatif Belanja K/L

Ditjen

Anggaran

Konsep

Februari- Maret

(Dit A1, Dit. A2,

rancangan pagu

Dit.

Indikatif

A3, Dit.

APBN)

Pdan

Belanja K/L

beberapa K/L

5.

DJA

berkoordinasi

dengan

Bappenas

Ditjen

Anggaran

Hasil koordinasi

Minggu

dalam penyusunan pagu indikatif RAPBN

(Dit. P-APBN, Dit.

tentang

Februari

2014

DSP)

indikatif

dan

Bappenas

6.

Rapat Pimpinan Kemenkeu membahas Internal

pagu

ke

2-3

RAPBN 2014

Ditjen

Keputusan rapim Minggu ke-2 Februari

resource envelope untuk pagu indikatif Anggaran (Dit. P- tentang resource


dan rancangan kebijakan RAPBN 2014

APBN, Dit. PNBP, envelope untuk


Dit A1, Dit. A2, Dit. pagu
indikatif
A3, Dit. HPP, Dit. dan
DSP).

rancangan

kebijakan
RAPBN 2014

a.

Penyusunan

paparan

Menteri Ditjen

Keuangan

b.

Anggaran

(Dit. P-APBN)

Penyusunan draft Surat Bersama Internal


dengan

Bappenas

Minggu ke-2 Februari

tentang

Indikatif RAPBN 2014

Ditjen

Minggu ke-2 Februari

Pagu Anggaran (Dit. PAPBN, Dit. PNBP,


Dit A1, Dit. A2, Dit.
A3, Dit. HPP, Dit.
DSP).

DIREKTORAT P-APBN

51
SIKLUS APBN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

7.

Kemenkeu
envelope

Anggaran Paparan Menkeu


resource Ditjen
indikatif dan (Dit. P-APBN, Dit.

menyampaikan
untuk

pagu

rancangan kebijakan RAPBN 2014 kepada PNBP, Dit A1, Dit.


Menko Perekonomian dan Wakil Presiden

Untuk tahun 2012 telah


dilaksanakan pada 26

A2, Dit. A3, Dit. Dit.


DSP),

Minggu ke-3 Februari

Maret 2012

Setjen

Kemenkeu,

Badan

Kebijaka

Fiskal,

Ditjen Pengelolaan
Utang,

Ditjen

Perimbangan
Keuangan

8.

Sidang Kabinet

Terbatas (Sidkabtas ) Ditjen

mengenai Belanja Modal

Anggaran Keputusan

Minggu ke-4 Februari

(Dit. P-APBN) dan mengenai


Pusat Harmonisasi

Belanja Modal

Kebijakan

9.

Sidang

Kabinet

resource Ditjen

membahas

Anggaran

Keputusan

Minggu ke-4 Februari

envelope untuk pagu indikatif rancangan (Dit. P-APBN) dan mengenai


kebijakan

RAPBN

Untuk

(menyusun Pusat Harmonisasi resource

2014

Kebijakan

paparan Menteri Keuangan)

envelope

dan

tahun

2012

dilaksananakan

pada

21 Maret 2012

kebijakan untuk
pagu
dan

indikatif
rancangan

kebijakan
RAPBN 2014

10.

Menteri Keuangan menyampaikan surat Ditjen

Anggaran

Surat

tentang Minggu ke-2 Maret

tentang resources envelope untuk pagu (Dit. P-APBN, Dit. resources


indikatif

belanja

K/L

dan

Untuk

rancangan PNBP, Dit A1, Dit. envelope

untuk

tahun

2012

dilaksanakan pada 16

Pusat A2, Dit. A3, Dit. Dit. pagu


indikatif
Maret 2012
DSP)
dan
Setjen
RAPBN 2014 kepada Menteri PPN/Kepala
belanja
K/L
kebijakan

Belanja

Pemerintah

Kemenkeu

Bappenas

rancangan
kebijakan
Belanja
Pemerintah
Pusat

RAPBN

2014

11.

Rapat

koordinasi

Pembangunan Bappenas

Arahan Menkeu

Akhir Maret
Menkeu memberikan

Pemerintah Pusat (Rakorbangpus)

arahan

DIREKTORAT P-APBN

tentang

52
SIKLUS APBN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

kebijakan
Pemerintah

Pusat

dan Dirjen Anggaran


memberikan arahan
tentang

Kebijakan

Belanja K/L
Untuk tahun 2012
dilaksanakan

pada

29 Maret 2012
12.

Menteri

Keuangan

Menteri Kemenkeu,

dan

PPN/Kepala Bappenas menetapkan

Maret

SB Bappenas

Untuk

Pagu Indikatif RAPBN 2014 yang dirinci


pendanaan

untuk

2012

dilaksanakan pada 30

menurut organisasi, program, kegiatan, dan


indikasi

Tahun

Maret 2012

mendukung

Arah Kebijakan yang telah ditetapkan oleh


Presiden
Dasar hukum : Pasal

8 ayat (4)

PP

Nomor 90 Tahun 2010


April

Musyawarah Perencanaan Pembangunan Bappenas

13.

Menkeu memberikan

Nasional (Musrenbangnas)

arahan

tentang

Kebijakan

Belanja

Negara
Tahun

2012

dilaksanakan

telah
pada

26 April 2012
Pemerintah

menyampaikan

pokok-pokok

Ditjen

Anggaran,

Badan

Kebijakan

dan Fiskal,

Ditjen

pembicaraan RAPBN, meliputi:

Pokok-pokok

Kebijakan

Fiskal

Kerangka Ekonomi Makro 2014

Kebijakan Umum dan Prioritas Anggaran Ditjen


K/L

Pengelolaan Utang,

Rincian unit organisasi, fungsi, program


dan kegiatan

Bea

dan

Minggu ke-2 Mei


Penyusunan
pada

mengacu

kebijakan

disampaikan

yang
oleh

Cukai, Ditjen Pajak,

resource envelope, surat

Ditjen

Kekayaan

Menteri Keuangan ke

Ditjen

Bappenas dan SB Pagu

Negara,
Perimbangan

Indikatif

Dasar hukum: Pasal 13 ayat (1) UU no.17 Tahun Keuangan


2003 dan Pasal 157 Ayat (1) UU MD3

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, keterkaitan perencanaan penganggaran itu sangat erat dan
dari sisi waktu keduanya tumpang-tindih (overlapping). Kondisi tersebut seperti terlihat pada butir
11 dan 13, Tabel 23. Dua kegiatan itu merupakan kegiatan dalam rangka perencanaan tetapi

DIREKTORAT P-APBN

53
SIKLUS APBN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

sangat terkait dengan hasil kegiatan penganggaran pada langkah-langkah kegiatan sebelumnya,
sehingga dimasukkan juga sebagai kegiatan penganggaran terutama dalam rangka penyusunan
Pagu Indikatif.
Dalam hal Pagu Indikatif telah ditetapkan, K/L menyusun Renja K/L berpedoman pada pagu
indikatif dan rancangan awal RKP serta menggunakan pendekatan penganggaran terpadu,
penganggaran berbasis kinerja, dan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (KPJM).
Dalam proses penyusunan renja K/L tersebut dilakukan pertemuan 3 pihak (trilateral meeting)
antara K/L, Kementerian Perencanaan/Bappenas dan Kementerian Keuangan. Pertemuan ini
merupakan langkah harmonisasi antara perencanaan dan penganggaran oleh masing-masing
pihak (K/L c.q. Biro Perencanaan, Kementerian Perencanaan/Bappenas c.q. direktorat yang
menangani sektoral, dan Kementerian Keuangan c.q. DJA).
Pertemuan ini secara normatif akan memperhatikan 3 komponen yang membentuk pagu indikatif
(lihat Gambar 2.6). Ketiga komponen ini adalah:
1. Angka prakiraan maju tahun sebelumnya yang tercantum dalam RKA-K/L pada APBN t-1
sebagai angka dasar (dengan asumsi bahwa angka prakiraan maju tersebut telah dievaluasi
dan dipastikan besaran angka target dan biaya-nya sesuai dengan hasil pembahasan dengan
DPR tahun lalu);
2. Penyesuian angka dasar dengan parameter yang digunakan untuk APBN n+1. Parameter ini
antara lain indeks inflasi dan indeks biaya gaji; dan
3. Inisiatif baru pengusulan ke-1 yang diusulkan K/L dan disetujui oleh Kementerian Keuangan
dan Kementerian Perencanaan/Bappenas.
Renja K/L adalah bahan untuk penyempurnaan rancangan awal RKP dan penyusunan rincian
pagu menurut unit organisasi, fungsi, program dan kegiatan sebagai bahan pembicaraan
pendahuluan Rancangan APBN antara Pemerintah dengan DPR. Hasil dari pembicaraan
pendahuluan rancangan APBN adalah Rencana Kerja Pemerintah hasil kesepakatan Pemerintah
dan DPR.

DIREKTORAT P-APBN

54
SIKLUS APBN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Boks 2.3 Seputar Angka Dasar dan KPJM


Angka dasar atau baseline merupakan angka yang dijadikan dasar penghitungan prakiraan anggaran tahun
berjalan. Angka dasar ini berasal dari alokasi anggaran pada suatu output yang dihasilkan secara terusmenerus atau sedang berjalan (on going) dalam tahun yang direncanakan (APBN n+1).
Angka dasar bukanlah angka yang statis sifatnya, tetapi harus disesuaikan dengan asumsi dan/atau
parameter yang akan digunakan dalam penyusunan anggaran. Penyesuaian Angka Dasar dilakukan
dengan 2 alasan utama:
Adanya perubahan parameter ekonomi (berasal dari asumsi makroekonomi APBN), contohnya
perubahan asumsi untuk Inflasi.
Adanya perubahan parameter non-ekonomi, biasanya dapat berupa:
-

Pengurangan volume output dan pagu anggarannya karena volume output yang ditargetkan
tidak mungkin dapat dicapai (volume output untuk prioritas nasional biasanya tidak berubah);

Penambahan volume output

tanpa penambahan pagu anggaran Kegiatan (dari hasil

optimalisasi); atau
-

Pengurangan pagu anggaran karena rendahnya penyerapan pada tahun sebelumnya tetapi volume
output tetap (penerapan reward and punishment).

PENGHEMATAN

Beseline
Baru

Angka Dasar dan Perkiraan Anggaran Tahun yang Direncanakan


Penyesuaian angka dasar difokuskan pada:
1. Hanya perubahan parameter ekonomi yang dapat mengakibatkan bertambahnya pagu anggaran
Kegiatan. Dampak dari perubahan parameter ekonomi dihitung melalui sistem aplikasi;
2. Penyesuaian parameter non-ekonomi

DIREKTORAT P-APBN

tidak boleh menambah pagu anggaran Kegiatan (yang

55
SIKLUS APBN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

diperbolehkan hanya mengubah volume output atau mengurangi pagu anggaran); atau
3. Penambahan pagu anggaran Kegiatan diluar perubahan parameter ekonomi, dihitung sebagai inisiatif
baru.
Penetapan besaran angka dasar (setelah dilakukan penyesuaian) di atas akan berpengaruh terhadap
besaran angka prakiraan maju jangka menengah (KPJM).
Oleh karena itu penetapan besaran angka KPJM harus memperhatikan:
1. Penghitungan kebutuhan prakiraan maju untuk 3 tahun ke depan dilakukan secara cermat sesuai
tahapan review untuk masing-masing komponen input berdasarkan kebijakan yang ada saat ini.
2. Hasil penghitungan prakiraan maju akan mengikat alokasi anggaran untuk tahun berikutnya dan
menjadi acuan utama dalam penetapan alokasi pagu K/L yang bersangkutan.
3. Untuk hal-hal baru (Kegiatan/Output) yang akan dilaksanakan pada TA 2012 (misalnya) dan seterusnya
tidak termasuk dalam penghitungan prakiraan maju, tapi diusulkan sebagai inisiatif baru pada saat
penyusunan anggaran tahun 2012 atau tahun anggaran berkenaan.

Dalam

proses

pembicaraan

pendahuluan

dengan

DPR

ini

memungkinkan

terjadi

perubahan/pergeseran dari sisi capaian kinerja yang mengakibatkan pergeseran alokasi anggaran
belanja. Di sini pula kemungkinan terjadi perubahan kebijakan asumsi ekonomi makro dan pokokpokok kebijakan fiskal usulan pemerintah yang pada akhirnya mempengaruhi penghitungan
kapasitas fiskal. Selain itu kemungkinan pula usulan inisiatif baru tidak disetujui atau ada usulan
DPR untuk dimasukkan sebagai inisiatif baru.
Bersamaan dengan itu kalau ada dinamika di luar internal pemerintah juga turut mempengaruhi
perubahan pagu indikatif. Perubahan ini adalah arahan/direktif presiden, kebijakan K/L (di luar
kegiatan prioritas nasional yang ada dalam RKP), atau perubahan sumber pendanaan yang
berasal dari pinjaman luar negeri.
Adanya kemungkinan perubahan pagu indikatif sebagai akibat 2 perubahan di atas (selama proses
pembicaraan pendahuluan dengan DPR dan dinamika perubahan) akan direspon Kementerian
Keuangan melalui penyusunan Pagu Anggaran K/L. Penyusunan dan penetapan Pagu Anggaran
K/L dengan berpedoman pada kapasitas fiskal, besaran pagu indikatif, Renja K/L dan
memperhatikan hasil evaluasi kinerja K/L (Gambar 2.7).
Mekanisme penyusunan Pagu Anggaran K/L ini memperhatikan tiga hal sebagaimana Gambar
2.7, yaitu:
1. Pagu indikatif;
2. Penyesuaian angka dasar apabila terjadi perubahan parameter (karena perubahan asumsi
makroekonomi pada Rancangan APBN) dalam rentang waktu antara penetapan pagu indikatif
sampai dengan penetapan pagu anggaran K/L; dan

DIREKTORAT P-APBN

56
SIKLUS APBN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Inisiatif baru pengusulan ke-2 yang diusulkan K/L dan disetujui oleh Kementerian Keuangan dan
Kementerian Perencanaan/Bappenas.
Pagu Anggaran K/L di atas merupakan batas tertinggi anggaran yang dialokasikan kepada K/L
dalam rangka penyusunan RKA-K/L. Pagu anggaran tersebut disampaikan kepada setiap K/L
paling lambat akhir bulan Juni.
Berdasarkan pagu anggaran K/L, Menteri/Pimpinan lembaga selaku Pengguna Anggaran wajib
menyusun RKA-K/L atas bagian anggaran yang dikuasainya. Menteri/Pimpinan lembaga
menyusun RKA-K/L berdasarkan Pagu Anggaran, renja K/L, RKP hasil kesepakatan Pemerintah
dan DPR serta standar biaya. Penyusunan RKA-K/L tersebut menggunakan pendekatan kerangka
pengeluaran jangka menengah (KPJM), penganggaran terpadu dan penganggaran berbasis
kinerja. KPJM digunakan untuk mencapai disiplin fiskal secara berkesinambungan (Box 2.3
menjelaskan lebih lanjut mengenai KPJM dan angka dasar).

DPR

Pembicaraan Pendahuluan Rancangan


APBN :
1. KEM dan PPKF;
2. RKP;
3. Rincian Pagu menurut Organisaasi,
Fungsi, Program dan Kegiatan.

Menkeu

Pagu Anggaran K/L

1. Unit Organisasi;
2. Program.

Dirinci
menurut

Catatan:
1. Pagu Indikatif;
2. Penyesuaian Angka Dasar;
3. Inisiatif Baru Kesempatan ke-2;
4. Pagu Anggaran K/L.

berpedoman

1.
2.
3.
4.

Kapasitas fiskal;
Pagu Indikatif;
Renja-K/L;
Hasil evaluasi kinerja K/L.

Gambar 2.7 Proses dan Konsep Penyusunan Pagu Anggaran K/L


K/L menyusun RKA-K/L secara terstruktur dan dirinci menurut klasifikasi anggaran yang meliputi
klasifikasi organisasi, klasifikasi fungsi dan klasifikasi jenis belanja. Selanjutnya RKA-K/L tersebut
ditelaah dalam forum penelaahan antara K/L dengan Kementerian Keuangan dan Kementerian
Perencanaan. Penelaahan dilakukan secara terintegrasi meliputi (a) kelayakan anggaran terhadap
sasaran kinerja, (b) konsistensi sasaran kinerja K/L dengan RKP, (c) dan efisiensi biaya kegiatan
mengacu pada standar biaya yang ditetapkan Menteri Keuangan. Penelaahan RKA-K/L ini
diselesaikan paling lambat akhir bulan Juli.

DIREKTORAT P-APBN

57
SIKLUS APBN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Selanjutnya, Kementerian Keuangan menghimpun RKA-K/L hasil penelaahan untuk digunakan


sebagai bahan penyusunan nota keuangan, rancangan APBN, rancangan undang-undang tentang
APBN.
Dokumen-dokumen di atas (Himpunan RKA-K/L, Nota Keuangan, dan Rancangan UndangUndang tentang APBN) disampaikan presiden ke DPR untuk dilakukan pembahasan bersama
antara pemerintah dengan DPR pada bulan Agustus tahun sebelumnya.
2.5

PENETAPAN APBN

Proses pembahasan Rancangan APBN dan Rancangan UU APBN tersebut di atas sampai
dengan adanya penetapan atau penolakan dari DPR, merupakan tahapan penetapan APBN
sebagaimana Gambar 2.8).
Sebagai sebuah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara, APBN harus disetujui oleh
DPR. Hal ini sesuai dengan pasal 23 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945, Rancangan UndangUndang tentang APBN diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama DPR dengan
memperhatikan pertimbangan DPD.
DPR juga dapat mengajukan usul yang mengakibatkan perubahan jumlah defisit anggaran
penerimaan dalam RUU tentang APBN sepanjang tidak mengakibatkan peningkatan defisit
anggaran.
Pengambilan keputusan oleh DPR mengenai RUU tentang APBN dilakukan selambat-lambatnya 2
(dua) bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan dilaksanakan atau pemerintah
menyelesaikan pembahasan Rancangan APBN dan Rancangan Undang-undang tentang APBN
dengan DPR paling lambat akhir bulan Oktober. Apabila DPR tidak menyetujui RUU tersebut,
Pemerintah Pusat dapat melakukan pengeluaran setinggi-tingginya sebesar angka APBN tahun
anggaran sebelumnya.
Hasil pembahasan dituangkan dalam berita acara hasil kesepakatan pembahasan Rancangan
APBN dan RUU tentang APBN yang sifatnya final. Selanjutnya Menteri/Pimpinan Lembaga
melakukan penyesuaian RKA-K/L dengan berita acara hasil kesepakatan pembahasan tersebut.
Ringkasan proses penetapan APBN sebagaimana Gambar 2.8 sebagai berikut:
1. Presiden menyampaikan RUU APBN beserta Nota Keuangannya.
2. DPD memberikan pertimbangan kepada DPR terhadap RUU APBN dan Nota Keuangannya,
paling lambat 14 hari sebelum diambil persetujuan bersama antar DPR dan Presiden.
3. Pemandangan umum fraksi-fraksi atas RUU APBN beserta Nota Keuangannya.

DIREKTORAT P-APBN

58
SIKLUS APBN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

4. Tanggapan Pemerintah terhadap pemandangan umum fraksi atas RUU APBN beserta Nota
Keuangannya.
5. Rapat Kerja Badan Anggaran dengan Pemerintah (Menteri Keuangan dan Menteri Negara
Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas) dan Gubernur Bank Indonesia,
penyampaian pokok-pokok RUU APBN, serta pembentukan Panja dan Tim Perumus.
6. Rapat kerja Komisi VII dan XI dengan mitra kerjanya, pembahasan asumsi dasar dalam RUU
APBN.
7. Rapat kerja Komisi I-XI dengan mitra kerjanya membahas Rencana Kerja dan Anggaran
Kementerian Lembaga (disampaikan secara tertulis kepada Badan Anggaran untuk
disinkronisasi).
8. Rapat Panja-Panja.
9. Rapat kerja komisi dengan mitra kerjanya, penyesuaian Rencana Kerja Anggaran K/L sesuai
hasil pembahasan Badan Anggaran.
10. Rapat Tim Perumus, perumusan draft RUU APBN.
11. Rapat internal Badan Anggaran, sinkronisasi laporan panja-panja dan Tim perumus Draft RUU
APBN dan penyampaian hasil penyesuaian Rencana Kerja Anggaran K/L oleh komisi dengan
mitra kerjanya kepada Badan Anggaran dan Menkeu untuk ditetapkan.
12. Rapat kerja Badan Anggaran dengan Menkeu, Menteri Negara Perencanaan Pembangunan
Nasional/Kepala Bappenas dan Gubernur BI:
-

Penyempaian laporan dan pengesahan hasil panja-panja dan Tim perumus draft RUU
APBN;

Pendapat akhir mini fraksi sebagai sikap akhir;

Pendapat Pemerintah;

Pengambilan keputusan untuk dilanjutkan ke tingkat II

13. Rapat paripurna:


-

Penyampaian laporan hasil tingkat I di Badan Anggaran;

Pernyataan persetujuan/penolakan dari setiap fraksi secara lisan yang diminta oleh
Pimpinan rapat paripurna;

Penyampaian pendapat akhir pemerintah.

Apabila Rancangan APBN disetujui dan ditetapkan oleh DPR menjadi APBN, tugas pemerintah
selanjutnya adalah menetapkan alokasi anggaran

K/L sebagai batas tertinggi anggaran

pengeluaran yang dialokasikan kepada K/L. Alokasi anggaran K/L ini berpedoman pada hasil
pembahasan APBN yang dituangkan dalam berita acara hasil kesepakatan pembahasan
Rancangan APBN antara Pemerintah dan DPR. Alokasi anggaran tersebut ditetapkan dengan

DIREKTORAT P-APBN

59
SIKLUS APBN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

PROSES PEMBAHASAN RUU TENTANG APBN BESERTA NOTA KEUANGANNYA


BERDASARKAN UU 17 TAHUN 2003 , UU NO.27 TAHUN 2009 DAN TATIB DPR RI TAHUN 2009
MINGGU II AGUSTUS
RAPAT PARIPURNA
Presiden menyampaikan RUU APBN beserta Nota Keuangannya
dan dokumen pendukung
(Ayat (1) Pasal 15 UU 17/2003; Pasal 156, ayat (1) Pasal 159 UU no 27/2009;
Ayat (1) Pasal 153 dan Pasal 214 Tatib DPR RI)

MINGGU 1 OKTOBER
Rapat Tim Perumus
Draft RUU APBN
(Pasal 65 & UU no 27/2009; Pasal 155 Tatib DPR RI)

MINGGU I OKTOBER
Rapat Kerja Badan Anggaran DPR dengan Pemerintah
(Menkeu & Menteri PPN/Kepala Bappenas &
Gubernur BI
1. Laporan dan pengesahan hasil panja dan tim perumus RUU APBN;
2. Pendapat akhir mini Fraksi sebagai sikap akhir;
3. Pendapat Pemerintah;
4. Pengambilan keputusan untuk dilanjutkan ke Tingkat II
(Pasal 159 UU no 27/2009; Ayat (4) Pasal 155 Tatib DPR RI)

MINGGU II SEPTEMBER-MINGGU I OKTOBER


Pimpinan DPR memberitahukan rencana pembahasan
RUU APBN kepada Pimpinan DPD
Ayat (2) Pasal 154 Tatib DPR RI

MINGGU III AGUSTUS


RAPAT PARIPURNA
Pemandangan umum Fraksi-fraksi terhadap RUU APBN beserta Nota
Keuangannya
(Ayat (2) Pasal 150 UU 27/2009; Ayat (2) Pasal 153 Tatib DPR RI)

Rapat Panja-Panja:
Pembahasan RUU APBN beserta NK-nya
(Pasal 65 & 107 UU no 27/2009; pasal 155 Tatib DPR RI)

MINGGU I SEPTEMBER
Rapat Intern:
Penyampaian hasil rapat kerja/RDP KOmisi dengan Mitra
Kerjanya
dalam rangka pembahasan RKA K/L
(Pasal 65 & 107 UU no 27/2009; pasal 155 Tatib DPR RI)

MINGGU IV AGUSTUS
RAPAT PARIPURNA
Rapat Paripurna: Jawaban Pemerintah terhadap pemandangan umum
Fraksi-fraksi terhadap RUU APBN dan Nota Keuangannya

MINGGU IV AGUSTUS-MINGGU I SEPTEMBER


Rapat Kerja Komisi VII dan XI dg mitra kerjanya:
Pembahasan asumsi dasar dalam RUU APBN

(Pasal 150 UU 27/2009; Ayat (4) Pasal 153 Tatib DPR RI)

Rapat Kerja/RDP Komisi-Komisi dgn Mitra Kerjanya:


Pembahasan RKA/KL

MINGGU II OKTOBER
Anggota Badan Anggaran DPR RI dari Komisi menyampaikan
hasil pembahasan Badan Anggaran
kepada Komisi
yang bersangkutan secara tertulis
(ayat (2) Pasal 1555 Tatib DPR RI)

MINGGU II OKTOBER
Rapat Kerja/RDP Komisi-Komisi dg mitra kerjanaya:
Penyesuaian RKA/KL sesuai hasil pembahasan Badan Anggaran
(selama 7 hari kerja untuk disampaikan kembali ke Badan
Anggaran untuk ditetapkan)
(ayat (3) dan (7) Pasal 1555 Tatib DPR RI)

Penyampaian hasil penyesuaian oleh komisi-komisi dnegan mitra


kerjanya kepada Badan Anggaran dan Menteri Keuangan
(Pasal 96 UU no 27/2009, Ayat (3) & (7) Pasal 155 tatib DPR RI)

(Ayat (2) Pasal 96 UU 27/2009; Ayat (2) Pasal 53 Tatib


DPR; Pasal 155 Tatib DPR RI)

MINGGU IV AGUSTUS
Rapat Kerja Badan Anggaran DPR dengan Pemerintah
Menteri Keuangan) dan Gubernur BI
1. Penyampaiakn pokok-pokok RUU APBN dan Nota
Keuangannya;
2. Pembentukan panja dan tim perumus draft RUU APBN
(Pasal 150 & UU no 27/2009; Pasal 65, 66 Tatib DPR RI)

DPD menyampaikan pertimbangan ttg RUU


APBN kepada DPR paling lambat 14 (empat
belas) hari sebelum diambil persetujuan
bersama antara DPR dan Presiden

OKTOBER
RAPAT PARIPURNA
1. Penyampaian laporan hasil pembahasan tingkat I di Badan
Anggaran DPR RI ;
2. Pernyataan persetujuan/penolakan dari setiap Fraksi secara
lisan yang diminta oleh Pimpinan Rapat Paripurna;
3. Penyampaian pendapat akhir pemerintah.

Ayat (4) Pasal 154 UU 27/2009;


(ayat (3) Pasal 154 Tatib DPR RI)

(Ayat (4) Pasal 15 UU No 17/2003; Pasal 151, pasal 159, Ayat (4)
Pasal 159 UU no 27/2009, Ayat (5) Pasal 155 Tatib DPR RI)

PP Nomor 20 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah


UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD

Gambar 2.8 Proses Penganggaran dan Penetapannya dengan DPR

DIREKTORAT P-APBN

60
SIKLUS APBN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Keputusan Presiden paling lambat tanggal 30 November dan merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Undang-Undang tentang APBN.
Sebelum sampai pada Keputusan Presiden tersebut di atas, ada proses yang harus dilalui. Menteri
Keuangan menerbitkan surat kepada K/L berdasarkan berita acara hasil kesepakatan
pembahasan Rancangan APBN antara Pemerintah dan DPR. Surat tersebut berisikan alokasi
anggaran pada K/L sebagai batas tertinggi anggaran pengeluaran yang dialokasikan kepada K/L
(dulunya disebut pagu definitif).
Berdasarkan alokasi anggaran ini, K/L melakukan penyesuaian RKA-K/L apabila ada perubahan
dibandingkan dengan RKA-K/L pada saat pagu anggaran K/L (dahulu disebut pagu sementara).
Selanjutnya, K/L menyampaikannya kepada Kementerian Keuangan c.q Ditjen Anggaran untuk
dilakukan penelaahan kembali (khusus kepada RKA-K/L yang mengalami perubahan saja).
Proses penelaahan RKA-K/L (perubahan) adalah mencocokkan antara RKA-K/L dengan alokasi
anggaran pada K/L hasil kesepakatan dengan DPR sebagaimana surat Menteri Keuangan tentang
Alokasi Anggaran. Untuk selanjutnya, Kementerian Keuangan c.q Ditjen Anggaran menghimpun
dan menjadikannya sebagai bahan penyusunan Keputusan Presiden tentang Rincian Anggaran
Belanja Pemerintah Pusat.
Dari sisi besaran, besaran angka antara pagu anggaran K/L dengan alokasi anggaran
memungkinkan ada perubahan. Beberapa hal yang menyebabkan perubahan tersebut adalah
sebagai hasil pembahasan dengan DPR, seperti adanya optimalisasi dan realokasi, penyesuaian
angka dasar, atau inisiatif baru ke-3 (Gambar 2.9).
Alokasi Anggaran K/L

DPR

RUU APBN
1

1. Berita Acara Hasil Kesepakatan


Pembahasan RUU APBN;
2. Penyesuaian Angka Dasar;
3. Inisiatif Baru kesempatan ke-3;
4. Pagu Alokasi Anggaran K/L.

K/L

Kemenkeu

Penyesuaian
RKA-K/L

Keppres
Alokasi
Anggaran

Dirinci menurut Klasifikasi


Anggaran
K/L

BUN

Dirinci menurut :
1. Kebutuhan Pemerintah
Pusat;
2. Transfer ke daerah.

Gambar 2.9 Proses dan Konsep Penyusunan Alokasi Anggaran K/L

DIREKTORAT P-APBN

61
SIKLUS APBN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Apabila digambarkan, perjalanan postur APBN dari mulai penyusunan kapasitas fiskal, pagu
indikatif, pagu anggaran K/L, dan pagu alokasi anggaran K/L sebagaimana Gambar 2.10.
Perubahan besar kemungkinan terjadi saat pembahasan dengan DPR. Ini menunjukkan kuatnya
kedudukan DPR dalam penetapan anggaran negara.
Postur APBN
(Penyusunan Kapasitas Fiskal)
Komponen

Jumlah
(triliun Rupiah)

Pendapatan

1.300

Belanja
K/L

1.450
595
566
198
368
29
855

Angka Dasar
o Operasional
o Non ops
Inisiatif Baru.

Non-K/L
Defisit

150

Pembiayaan

150

Sangat besar
(kemungkinan ada )
perubahan angka
Komponen postur APBN
setelah pembahasan
antara Pemerintah dengan
DPR
Perubahan karena
kebijakan ekonomi makro
(lifting minyak, defisit, tax
ratio)
Perubahan pada rincian
penggunaan alokasi
inisiatif baru pada K/L.
Alokasi anggaran suatu K/L
dimungkinkan bertambah
(on top).

Postur APBN
(Pagu Alokasi K/L)
Komponen
Pendapatan

1.300

Belanja
K/L

1.450
595
566
198
368
29
855

Angka Dasar
o Operasional
o Non ops
Inisiatif Baru.

Non-K/L
Defisit

Perubahan pada
rincian
penggunaan
alokasi inisiatif
baru pada K/L.
Alokasi anggaran
suatu K/L
dimungkinkan
bertambah (on
top).

Komponen

Jumlah

Pendapatan

1.300

Belanja
K/L

1.450
595
566
198
368
29
855

Angka Dasar
o Operasional
o Non ops
Inisiatif Baru.

Non-K/L

150

Postur APBN
(Pagu Anggaran K/L)
(triliun Rupiah)

150

Pembiayaan

Postur APBN
(Pagu Indikatif)
Sangat kecil
kemungkinan
perubahan angka
Komponen postur
APBN

Jumlah
(triliun Rupiah)

Defisit

150

Pembiayaan

150

Jarang sekali
(kemungkinan ada )
perubahan angka
Komponen postur APBN
setelah ada pembicaraan
pendahuluan Pemerintah
dengan DPR
Perubahan pada rincian
penggunaan alokasi
inisiatif baru pada K/L.
Alokasi anggaran suatu
K/L dimungkinkan
bertambah (on top).

Komponen

Jumlah
(triliun Rupiah)

Pendapatan

1.300

Belanja
K/L

1.450
595
566
198
368
29
855

Angka Dasar
o Operasional
o Non ops
Inisiatif Baru.

Non-K/L
Defisit

150

Pembiayaan

150

Gambar 2.10. Komponen Yang Mengalami Perubahan


Dan langkah terakhir sebelum ke tahapan pelaksanaan APBN, Menteri/Pimpinan Lembaga
menyusun dokumen pelaksanaan anggaran dengan menggunakan RKA-K/L dan berpedoman
pada Keputusan Presiden tersebut. Menteri Keuangan mengesahkan dokumen pelaksanaan
anggaran paling lambat tanggal 31 Desember.

DIREKTORAT P-APBN

62
SIKLUS APBN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

BAB III
ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO

3.1

Pendahuluan

Asumsi dasar ekonomi makro adalah indikator utama ekonomi makro yang digunakan sebagai
acuan dalam menyusun postur APBN. Asumsi dasar ekonomi makro (ADEM) disusun mengacu
pada

sasaran-sasaran

pembangunan

jangka menengah

yang

terdapat

pada

Rencana

Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) maupun sasaran-sasaran tahunan yang terdapat pada
Rencana Kerja Pemerintah (RKP). Selain itu, asumsi dasar ekonomi makro APBN juga disusun
dengan mempertimbangkan perkembangan ekonomi domestik maupun global agar asumsi yang
digunakan dapat merepresentasikan kondisi perekonomian terkini.
Saat ini, asumsi dasar ekonomi makro terdiri atas 6 indikator utama yaitu (i) pertumbuhan
ekonomi, (ii) inflasi, (iii) nilai tukar rupiah terhadap dolar US, (iv) suku bunga SPN 3 bulan, (v)
harga minyak mentah Indonesia (Indonesias Crude Price/ICP), (vi) lifting minyak Indonesia (vii)
lifting gas. Besaran angka masing-masing jenis Pendapatan Negara, Belanja Negara dan
Pembiayaan Anggaran dihitung berdasarkan pada indikator asumsi dasar ekonomi makro yang
terkait dan juga parameter-parameter pendukung lainnya.
Perumusan asumsi dasar ekonomi makro dalam rangka penyusunan RAPBN melibatkan berbagai
pihak sebagai pemangku kepentingan, baik dari sisi (1) Pemerintah maupun (2) Bank Indonesia
sebagai otoritas moneter. Proses perumusan asumsi dasar ekonomi makro dilakukan melalui
rapat koordinasi yang dilakukan secara intensif antara pihak Pemerintah (Kementerian Keuangan,
Bappenas, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Badan Pusat Statistik, dan Bank
Indonesia). Koordinasi juga dilakukan dalam rangka pemantauan dan evaluasi realisasi asumsi
dasar ekonomi makro sehingga apabila diperlukan, asumsi dasar ekonomi makro dapat diusulkan
untuk disesuaikan melalui mekanisme APBN Perubahan. Selanjutnya akan dijelaskan lebih detil
ruang lingkup masing-masing indikator ekonomi makro yang digunakan sebagai asumsi dasar
ekonomi makro APBN.
3.2

Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi yang menjadi asumsi dasar ekonomi makro merupakan sasaran
pertumbuhan ekonomi yang ingin dicapai pada suatu kurun waktu tertentu. Kementerian
Keuangan, Bappenas, dan BPS merupakan tiga istitusi pemerintah yang terlibat dalam

DIREKTORAT P-APBN

63
ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

menentukan target pertumbuhan ekonomi di dalam asumsi dasar ekonomi makro APBN dan
tentunya dengan memperhatikan masukan dari Bank Indonesia.
Untuk menghitung tingkat pertumbuhan ekonomi, perlu memahami terlebih dahulu apa yang
dimaksud dengan Produk Domestik Bruto (PDB) atau Gross Domestic Product (GDP). PDB atau
GDP adalah total produksi barang dan jasa yang dihasilkan di dalam suatu wilayah pada periode
tertentu, misalnya satu tahun. (Di level provinsi di Indonesia biasanya disebut Produk Domestik
Regional Bruto-PDRB)
Secara prinsip PDB dapat dihitung melalui 3 pendekatan yang secara konsep ketiga pendekatan
tersebut akan menghasilkan angka yang sama. Secara ringkas, metode penghitungan PDB dapat
dilihat pada gambar di bawah ini.

Sektor Ekonomi:
1. Pertanian, Peternakan,
2. Kehutanan dan Perikanan;
3. Pertambangan dan Penggalian;
4. Indutri Pengolahan;Listrik, Gas, dan Air Bersih;
5. Konstruksi;
6. Perdagangan, Hotel dan Restoran;
7. Pengangkutan dan Komunikasi;
8. Keuan gan, Real Estat dan Jasa Perusahaan ;
9. Jasa-jasa.

Pendekatan Produksi
(Production Approach)

PDB

Pendekatan Penggunaan
(Expenditure Approach)

Penggunaan:
1. Konsumsi Rumah Tangga
2. Konsumsi Pemerintah
3. Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB)
4. Perubahan stok
5. Ekspor
6. Impor

Pendekatan Pendapatan
(Income Approach)

Pendapatan:
1. Upah dan gaji (balas jasa ten aga kerja),
2. Sewa tanah (balas jasa tanah),
3. Bunga modal (interests) sebagai balas jasa
modal, dan
4. Keuntungan (balas jasa ketrampilan).

Gambar 3.1 Pendekatan Pengukuran PDB


Nilai PDB dapat dilihat dalam nilai harga berlaku (PDB Nominal) dan harga konstan (PDB Riil).
Perbedaan antara PDB Nominal dan PDB Riil terletak pada komponen pergerakan harga. PDB
Nominal di dalamnya terkandung perubahan harga pasar baik itu kenaikan harga (inflasi) atau
penurunan harga (deflasi). Artinya nilai PDB nominal sangat dipengaruhi oleh tingkat harga yang
berlaku saat itu sehingga meskipun tingkat produksi atau output tidak bertambah namun apabila
terjadi kenaikan harga maka nilai PDB nominal akan meningkat dari periode sebelumnya senilai
perubahan harga yang terjadi.
Sedangkan PDB konstan adalah nilai PDB yang dihitung berdasarkan harga pada tahun dasar
tertentu. Dengan kata lain PDB harga konstan tidak memperhitungkan perubahan harga yang
terjadi dan perubahan nilai PDB merupakan perubahan tingkat produksi/output.

DIREKTORAT P-APBN

64
ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Pertumbuhan ekonomi yang digunakan adalah persentase perubahan dari nilai PDB riil (PDB
harga konstan), untuk melihat perubahan yang terjadi pada output riil yang terjadi dari waktu ke
waktu di dalam suatu perekonomian. Dalam bentuk rumusan, pertumbuhan ekonomi dapat ditulis
sebagai berikut :

PE
PDB
T
t-1

=
=
=
=

100%

Pertumbuhan Ekonomi
Produk Domesik Bruto
Periode tertentu
Periode sebelumnya

Berdasarkan periode waktu yang digunakan, data pertumbuhan ekonomi dapat disajikan dalam 3
pendekatan sebagai berikut:
1. Pertumbuhan ekonomi triwulan ke triwulan (quarter to quarter q to q)
Pertumbuhan ekonomi (atas dasar harga konstan) yang dihitung dengan membandingkan nilai
PDB pada triwulan tertentu dengan nilai PDB triwulan sebelumnya. Sebagai contoh
pertumbuhan ekonomi triwulan I 2012 (q to q) yaitu persentase perubahan nilai PDB triwulan I
tahun 2012 dibandingkan dengan triwulan IV tahun 2011.
2. Pertumbuhan ekonomi tahun ke tahun (year on year)
Pertumbuhan ekonomi (atas dasar harga konstan) yang dihitung dengan membandingkan nilai
PDB pada periode tertentu dengan nilai PDB periode yang sama tahun sebelumnya
sebelumnya. Sebagai contoh pertumbuhan ekonomi triwulan I 2012 (yoy) yaitu persentase
perubahan nilai PDB triwulan I tahun 2012 dibandingkan dengan triwulan I tahun 2011.
3. Pertumbuhan ekonomi kumulatif ke kumulatif (cumulative to cumulative)
Pertumbuhan ekonomi (atas dasar harga konstan) yang dihitung dengan membandingkan nilai
kumulatif PDB pada periode tertentu dengan nilai PDB kumulatif periode yang sama pada tahun
sebelumnya. Sebagai contoh pertumbuhan ekonomi triwulan III 2012 (c to c) yaitu persentase
perubahan nilai PDB triwulan I s.d III tahun 2012 dibandingkan dengan triwulan I s.d III tahun
2011.

DIREKTORAT P-APBN

65
ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Grafik 3.1
Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
2010-2012
Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
persen

persen
4,0

7,0
3,4

6,8
2,7

6,6
6,4

6,4 6,4
1,6 6,5 6,4
6,3

6,0

2,8

2,8

2,0

6,2
5,8

3,4

6,8

6,5 6,4

6,5 6,5

2,0
1,4 6,4 6,3
6,3 6,3

6,2

6,1

6,0

5,9 5,9

3,0

1,0
0,0

5,8

5,6
5,4

-1,0

-1,3

-1,4

5,2

-2,0
Q1

Q2

Q3

Q4

Q1

Q2

2010

Q3

Q4

Q1

2011
YoY

Q2
2012

C to C

QtoQ (RHS)

Sumber: Badan Pusat Statistik

3.3

Inflasi

Secara sederhana inflasi diartikan sebagai meningkatnya harga-harga secara umum dan terus
menerus. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi kecuali bila
kenaikan itu meluas (atau mengakibatkan kenaikan harga) pada barang lainnya. Kebalikan dari
inflasi disebut deflasi.
Berdasarkan international best practice Indikator inflasi dapat menggunakan 2 indikator sebagai
berikut:
1. Indeks Harga Konsumen (IHK). Perubahan IHK dari waktu ke waktu menunjukkan pergerakan
harga dari paket barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat. Sejak Juli 2008, paket barang
dan jasa dalam keranjang IHK telah dilakukan atas dasar Survei Biaya Hidup (SBH) Tahun
2007 yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Kemudian, BPS akan memonitor
perkembangan harga dari barang dan jasa tersebut secara bulanan di beberapa kota, di pasar
tradisional dan modern terhadap beberapa jenis barang/jasa di setiap kota.
2. Deflator Produk Domestik Bruto (PDB) menggambarkan pengukuran level harga barang akhir
(final goods) dan jasa yang diproduksi di dalam suatu ekonomi (negeri). Deflator PDB dihasilkan
dengan membagi PDB atas dasar harga nominal dengan PDB atas dasar harga konstan.

DIREKTORAT P-APBN

66
ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Indikator inflasi yang digunakan pada

Grafik 3.2
Perkembangan IHK dan Inflasi Indonesia
2008-2012

asumsi dasar ekonomi makro APBN yaitu


tingkat inflasi yang dihitung berdasarkan

Perkembangan IHK dan Inflasi Indonesia


2008-2012

indeks
135,0

12,1

130,0

%, yoy
14,0
131,3

Indeks Harga Konsumen dalam skala

12,0

tahunan (yoy). Pemerintah dalam hal ini

10,0

Kementerian

125,0
120,0

8,0

7,0

115,0

4,5
4,0

105,0 104,2

Jan-12

2,0

Mar-12

Nop-11

Jul-11

Inflasi yoy
Sep-11

Jan-11

Mar-11

Nop-10

Jul-10

Sep-10

Mei-10

Jan-10

Mar-10

Nop-09

Jul-09

Sep-09

Mei-09

Jan-09

Mar-09

Nop-08

Jul-08

Sep-08

Mei-08

Jan-08

Mei-11

IHK

2,4

100,0
Mar-08

bersama

Bank

berkoordinasi

Indonesia

dalam

6,0

6,1

110,0

Keuangan

menentukan besaran
inflasi yang akan digunakan di dalam
asumsi dasar ekonomi makro APBN.

Tentunya asumsi inflasi di dalam APBN sejalan dengan Inflation Targeting Framework yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia. Sementara itu, data realisasi Inflasi IHK menggunakan publikasi
Badan Pusat Statistik (BPS) yang diterbitkan setiap awal bulan.
Pengelompokan Inflasi
Berdasarkan jenis pengeluaran rumah tangga (the Classification of individual consumption by
purpose - COICOP), Inflasi IHK di Indonesia dikelompokkan ke dalam 7 kelompok pengeluaran,
yaitu :

Kelompok Bahan Makanan

Kelompok Makanan Jadi, Minuman, dan Tembakau

Kelompok Perumahan

Kelompok Sandang

Kelompok Kesehatan

Kelompok Pendidikan dan Olah Raga

Kelompok Transportasi dan Komunikasi.

Di samping pengelompokan berdasarkan COICOP tersebut, BPS saat ini juga mempublikasikan
inflasi berdasarkan pengelompokan yang lainnya yang dinamakan disagregasi inflasi. Disagregasi
inflasi tersebut dilakukan untuk menghasilkan suatu indikator inflasi yang lebih menggambarkan
pengaruh dari faktor yang bersifat fundamental.
Di Indonesia, disagegasi inflasi IHK tersebut dikelompokan menjadi:
1. Inflasi Inti (core inflation), yaitu komponen inflasi yang cenderung menetap atau persisten
(persistent component) di dalam pergerakan inflasi dan dipengaruhi oleh faktor fundamental,
seperti:

Interaksi permintaan-penawaran

DIREKTORAT P-APBN

67
ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Lingkungan eksternal: nilai tukar, harga komoditi internasional, inflasi mitra dagang

Ekspektasi Inflasi dari pedagang dan konsumen

2. Inflasi non Inti, yaitu komponen inflasi yang cenderung tinggi volatilitasnya karena dipengaruhi
oleh selain faktor fundamental. Komponen inflasi non inti terdiri dari :

Inflasi Komponen Bergejolak (Volatile Food) :


Inflasi yang dominan dipengaruhi oleh shocks (kejutan) dalam kelompok bahan makanan
seperti panen, gangguan alam, atau faktor perkembangan harga komoditas pangan
domestik maupun perkembangan harga komoditas pangan internasional.

Inflasi Komponen Harga yang diatur Pemerintah (Administered Prices) :


Inflasi yang dominan dipengaruhi oleh shocks (kejutan) dari kebijakan harga Pemerintah,
seperti harga BBM bersubsidi, tarif listrik, tarif angkutan, dll.

Berdasarkan basis periode dalam perhitungan, Inflasi dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1.

Penghitungan inflasi year on year digunakan untuk melihat perubahan kenaikan tingkat harga
secara umum dari barang/jasa, atau merosotnya daya beli atau nilai riil uang selama setahun
yang lalu (dari dua belas bulan lalu sampai dengan bulan ini tahun ini). Berdasarkan
pendekatan ini inflasi adalah persentase perubahan IHK bulan ini tahun ini terhadap IHK bulan
ini tahun lalu.

2.

Penghitungan inflasi month on month (m-o-m) digunakan untuk melihat perubahan kenaikan
tingkat harga secara umum dari barang/jasa, atau merosotnya daya beli atau nilai riil uang
selama sebulan yang lalu. Persentase perubahan IHK bulan ini tahun ini terhadap IHK bulan
sebelumnya tahun ini.

3.

Penghitungan inflasi year to date (y-t-d) digunakan untuk melihat perubahan kenaikan tingkat
harga secara umum dari barang/jasa, atau merosotnya daya beli atau nilai riil uang selama
satu tahun kalender (dari bulan Januari tahun ini sampai dengan bulan ini tahun ini).
Berdasarkan pendekatan ini, inflasi adalah perubahan IHK bulan ini tahun ini terhadap IHK
bulan Desember tahun lalu

Determinan Inflasi
Inflasi timbul karena adanya tekanan dari sisi supply (cost push inflation), dari sisi permintaan
(demand pull inflation), dan dari ekspektasi inflasi. Faktor-faktor terjadinya cost push inflation dapat
disebabkan oleh depresiasi nilai tukar, dampak inflasi luar negeri terutama negara-negara partner
dagang, peningkatan harga-harga komoditi yang diatur pemerintah (administered price), dan
terjadi negative supply shocks akibat bencana alam dan terganggunya distribusi.

DIREKTORAT P-APBN

68
ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Faktor penyebab terjadi demand pull inflation adalah tingginya permintaan barang dan jasa relatif
terhadap ketersediaannya. Dalam konteks makroekonomi, kondisi ini digambarkan oleh output riil
yang melebihi output potensialnya atau permintaan total (aggregate demand) lebih besar dari pada
kapasitas perekonomian. Sementara itu, faktor ekspektasi inflasi dipengaruhi oleh perilaku
masyarakat dan pelaku ekonomi dalam menggunakan ekspektasi angka inflasi dalam keputusan
kegiatan ekonominya. Ekspektasi inflasi tersebut apakah lebih cenderung bersifat adaptif atau
forward looking. Hal ini tercermin dari perilaku pembentukan harga di tingkat produsen dan
pedagang terutama pada saat menjelang hari-hari besar keagamaan (lebaran, natal, dan tahun
baru) dan penentuan upah minimum regional (UMR).
Meskipun ketersediaan barang secara umum diperkirakan mencukupi dalam mendukung kenaikan
permintaan, namun harga barang dan jasa pada saat-saat hari raya keagamaan meningkat lebih
tinggi dari komdisi supply-demand tersebut. Demikian halnya pada saat penentuan UMR,
pedagang ikut pula meningkatkan harga barang meski kenaikan upah tersebut tidak terlalu
signifikan dalam mendorong peningkatan permintaan.

Gambar 3.2 Determinan Inflasi

DIREKTORAT P-APBN

69
ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

3.4

Suku Bunga SPN 3 Bulan

Asumsi suku bunga yang digunakan dalam APBN adalah acuan tingkat imbal jasa atau
kompensasi atas utang Pemerintah. Acuan tingkat suku bunga yang digunakan adalah tingkat
bunga mengambang seri variable rate yang dihasilkan dari proses lelang, sebagai representasi
beban bunga utang tahun berjalan.
Awal penggunaan asumsi tingkat suku bunga yaitu pada saat adanya utang dalam negeri
pemerintah khususnya kepada Bank Indonesia (obligasi rekap BI). Sebagai acuan tingkat suku
bunga variable rate adalah tingkat suku bunga hasil lelang SBI 3 dan berlaku sampai dengan
tahun 2010.

Perkembangan Suku
Bunga
Grafik
3.3 SBI 3 bulan
dan SPN
3 bulan
Perkembangan
Suku
Bunga SBI 3 Bulan

Sejak bulan November 2010 sampai

dan SPN
3 Bulan
(Februari 2008Februari
2012)

tidak lagi menyelenggarakan lelang

persen
14,0

dengan Maret 2011, Bank Indonesia

(Februari 2008-Februari 2012)

SBI 3 bulan sehingga tingkat suku

12,0

bunga acuan (reference rate) untuk

10,0

seri variable rate sebagai respon

8,0

kebijakan preventif dalam menghadapi

6,0

arus dana spekulasi jangka pendek.

4,0

Dengan demikian, sejak tahun 2011

2,0
SBI 3 bulan

SPN 3 bulan

asumsi tingkat suku bunga APBN


Feb-12

Okt-11

Des-11

Jun-11

Agust-11

Apr-11

Feb-11

Des-10

Jun-10

Agust-10
Okt-10

Apr-10

Feb-10

Okt-09

Des-09

Jun-09

Agust-09

Apr-09

Feb-09

Okt-08

Des-08

Jun-08
Agust-08

Apr-08

Feb-08

0,0

menggunakan
Perbendahaaan
bulan)

yang

yield
3

bulan
memiliki

Surat
(SPN

sistem

pelelangan dalam menentukan suku bunga sama dengan sistem pelelangan SBI 3 bulan. Namun,
perbedaannya SPN 3 bulan tersebut bukan instrumen kebijakan moneter sebagaimana SBI 3
bulan.
3.5

Nilai Tukar Rupiah Terhadap USD

Angka asumsi dasar nilai tukar rupiah yang digunakan dalam APBN adalah angka rata-rata kurs
tengah (kurs rata-rata dari kurs beli dan kurs jual) harian nilai tukar rupiah terhadap mata uang
dollar Amerika Serikat (AS) selama tahun berjalan (Januari sampai dengan Desember).
Berikut ini beberapa jenis kurs yang digunakan sebagai indikator :

Kurs jual, adalah kurs yang dipakai apabila bank menjual valuta asing kepada nasabahnya

Kurs beli, adalah kurs yang dipakai pada saat bank membeli Valuta asing dari nasabahnya.

DIREKTORAT P-APBN

70
ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Kurs Tengah, adalah kurs yang ditetapkan berdasarkan kurs beli dan kurs jual dibagi dua.
Gunanya untuk mendapatkan kurs untuk perhitungan-perhitungan yang bersifat umum.

Rata-rata nilai kurs bulanan adalah jumlah nilai kurs tengah dalam periode 1 bulan dibagi
dengan jumlah periode waktu selama 1 bulan.

Rata-rata nilai kurs tahunan adalah jumlah rata-rata nilai kurs tengah bulanan selama 1 tahun
dibagi dengan jumlah periode waktu 12 bulan.

Perkembangan nilai tukar dipengaruhi antara lain oleh;


1. Faktor permintaan dan penawaran di pasar:
-

Apresiasi adalah peningkatan nilai mata uang yang diukur berdasarkan peningkatan jumlah
mata uang asing yang dapat dibeli

Depresiasi adalah penurunan nilai mata uang yang diukur berdasarkan penurunan jumlah
mata uang asing yang dapat dibeli.

2. Faktor kebijakan:
-

Revaluasi adalah kebijakan untuk menaikkan nilai tukar mata uang domestik terhadap mata
uang negara lain.

Devaluasi adalah kebijakan untuk menurunkan nilai tukar mata uang domestik terhadap
mata uang negara lain.
Tabel 3.1

NILAI TUKAR MATA UANG RUPIAH (SPOT) TERHADAP BEBERAPA MATA UANG DI DUNIA
2009-2012
MATA UANG
US DOLLAR
JAPANESE YEN (100)
BRITISH POUND
EURO
SINGAPORE DOLLAR
MALAYSIAN RINGGIT
HONGKONG DOLLAR
KOREAN WON
AUSTRALIAN DOLLAR
CANADIAN DOLLAR
SWISS FRANC

2009

2010

2011

Jan

Feb

9.400,0 8.991,0 9.068,0 9.000,0 9.085,0


10.170,4 11.028,5 11.680,3 11.792,5 11.274,5
15.114,3 13.893,8 13.969,3 14.151,6 14.466,1
13.509,7 11.955,8 11.739,0 11.852,6 12.245,2
6.698,5 6.980,6 6.974,3 7.176,2 7.287,3
2.747,1 2.915,9 2.852,9 2.953,7 3.031,3
1.212,2 1.155,4 1.167,2 1.160,3 1.171,5
8,1
8,0
7,8
8,0
8,1
8.431,8 9.142,5 9.202,7 9.572,9 9.826,8
8.935,8 8.987,0 8.881,5 8.996,9 9.144,4
9.087,4 9.600,1 9.636,1 9.835,6 10.156,0

Mar
9.180,0
11.176,1
14.670,1
12.259,0
7.308,6
2.995,6
1.182,3
8,1
9.555,5
9.218,3
10.167,8

2012
Apr

Mei

Jun

Jul

9.190,0 9.565,0 9.480,0 9.485,0


11.467,5 12.141,4 11.962,9 12.135,4
14.961,3 14.803,3 14.731,9 14.911,4
12.169,0 11.832,9 11.801,2 11.638,6
7.425,1 7.424,5 7.415,2 7.616,3
3.029,0 3.007,4 2.967,1 3.013,0
1.184,5 1.231,8 1.221,9 1.223,1
8,1
8,1
8,2
8,4
9.604,0 9.283,8 9.523,6 9.974,0
9.369,9 9.292,3 9.181,2 9.477,4
10.128,4 9.851,2 9.826,4 9.688,5

Sumber: Bank Indonesia

Sejak periode 1970 hingga sekarang, sistem nilai tukar yang berlaku di Indonesia telah mengalami
perubahan sebanyak tiga kali yaitu:
1. Sistem Nilai Tukar Tetap (tahun 1964 s.d tahun 1978).

DIREKTORAT P-APBN

71
ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Dengan sistem nilai tukar tetap ini, Bank Indonesia memiliki kewenangan penuh dalam
mengawasi transaksi devisa berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 tahun 1964. Pemerintah
sebagai otoritas kebijakan moneter dapat menentukan tingkat nilai tukar mata uang domestik
terhadap mata uang negara lain pada tingkat tertentu tanpa memperhatikan penawaran
ataupun permintaan terhadap valuta asing yang terjadi.
2. Sistem Nilai tukar Mengambang Terkendali (tahun 1978 s.d. tahun 1997)
Berdasarkan sistem tersebut Bank Indonesia menetapkan kurs indikasi dan membiarkan kurs
bergerak di pasar dengan spread tertentu dan melakukan intervensi bila kurs bergejolak
melebihi batas atas atau batas bawah spread yang telah ditetapkan.
3. Sistem Nilai tukar Mengambang Bebas (tahun 1997 s.d. sekarang)
Bank indonesia menghapus rentang intervensi dan tidak mencampuri tingkat nilai tukar sama
sekali sehingga nilai tukar sepenuhnya diserahkan pada permintaan dan penawaran valuta
asing.
3.6

Harga Minyak Mentah Indonesia

Harga minyak mentah Indonesia atau Indonesian Crude Price (ICP) merupakan dasar monetisasi
harga minyak mentah Indonesia di pasar internasional (satuan yang digunakan adalah USD per
barel) yang penetapannnya dilakukan setiap bulan oleh Kementerian ESDM. Angka asumsi dasar
harga minyak mentah yang digunakan dalam APBN adalah harga rata-rata ICP selama satu
periode tahun berjalan. Penetapan ICP oleh Kementerian ESDM dilakukan berdasarkan 4 prinsip
utama yaitu:
a. Fairness & transparency (jelas, obyektif dan tranparan);
b. International Competitiveness (dapat bersaing dengan harga minyak mentah dari kawasan
atau negara lain);
c. Stability (formula relatif stabil dan ICP yang dihasilkan dari formula tidak berfluktuatif);
d. Continuity (diberlakukan dalam periode yang cukup panjang selalu mengikuti perkembangan
harga pasar minyak mentah internasional, dan formula ICP akan dievaluasi secara berkala).

DIREKTORAT P-APBN

72
ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

minyak perhari selama periode satu tahun berjalan (Januari sampai Desember). Asumsi lifting
minyak dalam APBN digunakan sebagai dasar perhitungan penerimaan PNBP migas.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral serta BP Migas merupakan institusi yang terlibat
dalam penetapan asumsi dasar lifting minyak.
Selain diproduksi untuk dijual (lifting), produksi minyak mentah Indonesia digunakan untuk
kegiatan operasional sebagai pembangkit energi, persediaan di kilang operasi atau kilang
penampungan.
Satuan yang digunakan untuk mengukur lifting minyak yaitu:

Ribu barel per hari atau MBOPD (Thousand Barrels Oil Per Day) atau MBCD (Thousand
Barrels Crude per Day)

Juta barel per hari atau MMBOPD (Million Barrels Oil Per Day) atau MMBCD (Million Barrels
Crude per Day)

ribu bph
1.040,0

Grafik
3.5 Minyak Mentah
Perkembangan Realisasi
Lifting
Perkembangan
Realisasi
Lifting Minyak Mentah
Indonesia,
2005-2012
Indonesia, 2005-2012

1.002,9
1.000,0
957,1

960,0

930,9

920,0

943,9

953,9

898,9

898,5
877,0

880,0
840,0
800,0
2005

2006

2007

2008

2009

2010

2011

2012

Catatan: M adalah angka romawi (M) = 1000 (thousand) dan MM = 1.000.000 (million)
3.8 Dampak Perubahan Asumsi Dasar Ekonomi Makro Terhadap Postur APBN
Perubahan atas sejumlah asumsi dasar ekonomi makro akan mempengaruhi pos-pos di dalam
postur APBN. Pengaruh tersebut dapat dapat bersifat positif (searah) atau bersifat negatif
(berlawanan arah) sebagaimana tabel berikut:

DIREKTORAT P-APBN

74
ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Tabel 3.2
Dampak Perubahan Asumsi Terhadap Postur APBN
ASUMSI

A. PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH


I.

PENERIMAAN DALAM NEGERI


1.

PENERIMAAN PERPAJAKAN
a. Pajak Dalam Negeri
1) Pajak Penghasilan
- PPh Non-Migas
- PPh Migas
2) Pajak pertambahan nilai
3) Pajak bumi dan bangunan
4) BPHTB
5) Cukai
6) Pajak lainnya
b. Pajak Perdagangan Internasional
1) Bea masuk
2) Bea Keluar

2.

PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK


b. Bagian Laba BUMN

II. PENERIMAAN HIBAH

B. BELANJA NEGARA
I.

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

1. Belanja Pegawai
2. Belanja Barang
3. Belanja Modal
4. Pembayaran Bunga Utang
5. Subsidi
II. TRANSFER KE DAERAH
1. Dana Perimbangan
2. Dana Otonomi Khusus dan Peny.

D. SURPLUS/ (DEFISIT) ANGGARAN (A - B)


% Defisit Terhadap PDB
E. PEMBIAYAAN (I + II)
I.

PEMBIAYAAN DALAM NEGERI


1.
2.

Perbankan dalam negeri


Non-perbankan dalam negeri

II. PEMBIAYAAN LUAR NEGERI (neto)


1.
2.
3.

Penarikan Pinjaman LN (bruto)


Penerusan Pinjaman (SLA)
Pembyr. Cicilan Pokok Utang LN

Pertumbuhan
Ekonomi

Inflasi

Kurs

SPN 3 bulan

ICP

Lifting
Minyak

+
+
+
+
+
+
0
+
+
0
+
+
0
0
0

+
+
+
+
+
+
0
+
0
0
+
+
0
0
0

+
+
+
+
+
0
+
0
0
0
0
0
+
+
0

0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0

+
+
+
+
+
0
+
0
0
0
0
0
0
0
0

+
+
+
+
+
0
+
0
0
0
0
0
0
0
0

0
+
0

0
+
0

+
0
0

0
0
0

+
0
0

+
0
0

0
0
0
0
0
0
+
+
+
+
0
0
0
0
0
0
0
0
0

+
+
+
+
0
+
+
+
+
+
0
0
0
0
0
0
0
0
0

+
+
0
0
+
+
+
+
+
0
0
0
-

+
0
0
0
+
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0

+
0
0
0
0
+
+
+
+
0
0
0
0
0
0
0
0
0

0
0
0
0
0
0
+
+
+
+
0
0
0
0
0
0
0
0
0

Keterangan:
tanda positif ( + ) : asumsi dasar ekonomi makro mempengaruhi secara positif
tanda negatif ( - ) : asumsi dasar ekonomi makro mempengaruhi secara negatif
tanda ( 0 )

DIREKTORAT P-APBN

: asumsi dasar ekonomi makro tidak berpengaruh secara langsung

75
ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

3.9

Perkembangan Asumsi Dasar Ekonomi Makro

Berikut merupakan tabel perkembangan asumsi dasar ekonomi makro periode 2001 sampai
dengan 2012. Angka asumsi dasar ekonomi makro setiap tahunnya yang disajikan pada tabel
tersebut terdiri dari tiga komponen asumsi yaitu asumsi dasar pada saat APBN, APBN-P dan
realisasi.

Tabel 3.3
Perkembangan Asumsi Dasar Ekonomi Makro Tahun 2001-2012
Pertumbuhan
Ekonomi
(%, yoy)

Inflasi
(%, yoy)

Kurs rupiah
(Rp/US$1)

Suku bunga
SPN 3 bulan
(%)

5,0

7,2

7.800,0

11,5

24,0

1.460,0

3,5

9,3

9.600,0

15,0

24,0

1.273,0

Real.

3,6

12,6

10.241,0

16,4

23,9

1.349,6

APBN

4,0

9,0

9.280,0

14,0

22,0

1.320,0

4,0

9,5

9.280,0

15,7

22,8

1.260,0

Real.

4,5

10,0

9.311,0

15,2

24,6

1.260,5

APBN

4,0

9,0

9.000,0

13,0

22,0

1.270,0

4,0

6,0

8.500,0

10,1

27,9

1.092,0

Real.

4,8

5,1

8.577,0

10,2

28,8

1.144,0

APBN

4,8

6,5

8.600,0

8,5

22,0

1.150,0

4,8

7,0

8.900,0

7,6

36,0

1.072,0

Real.

5,0

6,4

8.939,0

7,4

37,6

1.037,8

APBN

5,4

5,5

8.600,0

6,5

24,0

1.125,0

APBN-P I

6,0

7,5

9.300,0

8,0

45,0

1.125,0

APBN-P II

6,0

8,6

9.800,0

8,4

54,0

1.075,0

Real.

5,7

17,1

9.705,0

9,1

53,4

1.002,9

APBN

6,2

8,0

9.900,0

9,5

57,0

1.050,0

5,8

8,0

9.300,0

12,0

64,0

1.000,0

Real.

5,5

6,6

9.164,0

11,7

64,3

952,0

APBN

6,3

6,5

9.300,0

8,5

63,0

1.000,0
950,0

Periode

APBN
2001 APBN-P

2002 APBN-P

2003 APBN-P

2004 APBN-P

2005

2006 APBN-P

2007 APBN-P

Harga Minyak Lifting Minyak


(US$/Barel)
(MBOD)

6,3

6,0

9.050,0

8,0

60,0

Real.

6,3

6,6

9.140,0

8,0

72,3

904,0

APBN

6,8

6,0

9.100,0

7,5

60,0

1.034,0

2008 APBN-P

6,4

6,5

9.100,0

7,5

95,0

927,0

Real.

6,0

11,1

9.691,0

9,3

97,0

871,0

APBN

6,0

6,2

9.400,0

7,5

80,0

960,0

4,3

4,5

10.500,0

7,5

61,0

960,0

Real.

4,6

2,8

10.408,0

7,6

61,6

944,0

APBN

5,5

5,0

10.000,0

6,5

65,0

965,0

5,8

5,3

9.200,0

6,5

80,0

965,0

Real.

6,2

7,0

9.087,0

6,6

79,4

953,9

APBN

6,4

5,3

9.250,0

6,5

80,0

970,0

6,5

5,7

8.700,0

5,6

95,0

945,0

Real.

6,5

3,8

8.779,0

4,8

111,5

898,5

APBN

6,7

5,3

8.800,0

6,0

90,0

950,0

6,5

6,8

9.000,0

5,0

105,0

930,0

6,3*

4,3

9.384,0

3,2

112,7

861,0

2009 APBN-P

2010 APBN-P

2011 APBN-P

2012 APBN-P
Real.

Keterangan: *) Realisasi s.d. Trw III-2012

DIREKTORAT P-APBN

76
ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

BAB IV
PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH

4.1 Pendahuluan
Di dalam banyak literatur keuangan negara disebutkan bahwa sumber utama penerimaan negara
berasal dari pajak. Pajak adalah iuran rakyat (lebih tepatnya pungutan kepada masyarakat)
kepada kas negara berdasarkan undang-undang sehingga dapat dipaksakan dengan tiada
mendapat balas jasa secara langsung. Pajak dipungut penguasa berdasarkan norma-norma
hukum untuk menutup biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif untuk mencapai
kesejahteraan umum.
Dalam praktiknya di Indonesia, selain pajak, sumber penerimaan negara juga berasal dari
penerimaan negara bukan pajak. Menurut UU Nomor 17 tahun 2003, pendapatan negara
merupakan hak Pemerintah Pusat yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih.
Pendapatan negara terdiri dari penerimaan dalam negeri dan hibah. Penerimaan dalam negeri
adalah penerimaan yang terdiri dari penerimaan perpajakan dan penerimaan negara bukan pajak
(PNBP). Sedangkan hibah adalah setiap penerimaan negara dalam bentuk devisa, devisa yang
dirupiahkan, rupiah, barang, jasa dan/atau surat berharga yang diperoleh dari pemberi hibah yang
tidak perlu dibayar kembali, yang berasal dari dalam negeri atau luar negeri (PP 10 tahun 2011).
Di dalam APBN, hibah di catat secara terpisah dari pendapatan negara sehingga secara
keseluruhan penerimaan negara dalam APBN disebut sebagai pendapatan negara dan hibah.
4.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pendapatan Negara
Semua komponen pendapatan negara memiliki ketergantungan terhadap indikator ekonomi makro
yang tercantum dalam asumsi dasar ekonomi makro APBN baik secara langsung maupun tak
langsung. Indikator ekonomi makro yang mempengaruhi pendapatan negara adalah harga minyak
internasional (ICP), pertumbuhan ekonomi, inflasi, nilai tukar, dan lifting minyak bumi. Secara
ringkas, faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan negara dapat dilihat dalam tabel berikut.

77
DIREKTORAT P-APBN

PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Tabel 4.1.
Faktor-faktor Ekonomi yang Diperhitungkan dalam Perencanaan Pendapatan Negara

No

Jenis Pendapatan Negara

Faktor yang Mempengaruhi

PPh Migas

PPh Non Migas

inflasi dan pertumbuhan ekonomi

PPN dan PPnBM

inflasi dan pertumbuhan ekonomi

Pajak Bumi dan Bangunan

Cukai

Pajak Lainnya

Bea Masuk

kurs dan volume impor

Bea Keluar

kurs dan volume impor

PNBP SDA Migas

10 PNBP SDA Non Migas


11 Bagian Pemerintah atas Laba BUMN

Indonesian Crude Price (ICP), lifting, dan kurs

pertumbuhan ekonomi
inflasi, pertumbuhan ekonomi,
rokok, dan produksi MMEA

produksi

inflasi dan pertumbuhan ekonomi

ICP, kurs, lifting, harga gas, dan volume produksi gas


pertumbuhan ekonomi dunia dan kebijakan pemerintah
terkait pengelolaan SDA non migas
Langsung:
laba
BUMN, kebijakan Pemerintah dalam menetapkan pay out
ratio (POR) masing-masing BUMN
Tidak langsung
:
inflasi, pertumbuhan
ekonomi dalam negeri dan dunia

12 PNBP K/L

jumlah jenis layanan yang dipungut PNBP, volume layanan,


tarif layanan, dan kualitas pemberian layanan

13 Pendapatan BLU

volume layanan, tarif layanan, dan kualitas pemberian


layanan

Catatan : Pendapatan Negara juga dipengaruhi oleh faktor admistratif seperti tarif, nilai objek pajak, pelayanan,
pengawasan, PTKP, dan lain-lain.

4.3 Struktur Pendapatan Negara dan Hibah


Struktur pendapatan negara dalam APBN telah mengalami dua kali perubahan sejak tahun
1969/1970 sampai dengan sekarang. Dalam periode 1969/1970 s.d 1999/2000, penerimaan
negara dalam APBN terdiri atas penerimaan dalam negeri dan penerimaan pembangunan.
Penerimaan dalam negeri merupakan penerimaan yang dihimpun dari sumber-sumber dalam
negeri yang terdiri atas penerimaan migas dan non-migas, di mana penerimaan migas terdiri dari
penerimaan pajak dan penerimaan negara bukan pajak.
Sementara itu, penerimaan pembangunan pada dasarnya merupakan penerimaan yang berasal
dari luar negeri. Penerimaan ini sebenarnya merupakan pinjaman/utang luar negeri, tetapi
diperlakukan dan diadministrasikan dalam APBN sebagai penerimaan.

78
DIREKTORAT P-APBN

PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Sejak tahun 2000 s.d sekarang, struktur pendapatan negara dalam APBN berubah secara
signifikan. Setelah tahun 2000 pendapatan negara dibagi menjadi 3 bagian yaitu penerimaan
perpajakan, penerimaan negara bukan pajak, dan hibah. Penerimaan migas yang pada periode
sebelumnya dicatat menjadi bagian tersendiri dari penerimaan negara, pada periode ini telah di
integrasikan menjadi komponen PNBP. Tetapi penerimaan pajak penghasilan yang berasal dari
migas menjadi komponen penerimaan perpajakan. Perbandingan struktur penerimaan negara
yang baru dengan yang lama dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 4.2.
Perbandingan Struktur Penerimaan Negara
Struktur Lama (1969/1970 s.d 1999/2000)

Struktur Baru (2000 s.d sekarang)

I. Penerimaan Rutin
1. Penerimaan dari minyak bumi dan gas alam
1. Minyak bumi
2. Gas alam
2. Penerimaan non migas
1. Pajak Penghasilan
2. Pajak Pertambahan Nilai
3. Pajak Bumi dan Bangunan
4. Cukai
5. Pajak lainnya
6. Bea Masuk
7. Pajak Ekspor
8. Penerimaan Bukan Pajak
9. Laba Bersih Minyak
II.Penerimaan Pembangunan

I. Penerimaan Dalam Negeri


1. Penerimaan Perpajakan
a. Pajak Dalam Negeri
i Pajak Penghasilan
1. Migas
2. Non-migas
ii. Pajak Pertambahan Nilai
iii. Pajak Bumi dan Bangunan
iv. Cukai
v. Pajak lainnya
b. Pajak Perdagangan Internasional
i. Bea Masuk
ii. Bea Keluar
2. Penerimaan Bukan Pajak
a. Penerimaan SDA
i. Migas
ii. Non Migas
b. Bagian Laba BUMN
c. PNBP Lainnya
d. BLU
II. Hibah

Pinjaman/utang luar negeri yang pada struktur periode pertama menjadi bagian dari pos
penerimaan negara dalam APBN mengalami perubahan pos pada struktur periode kedua menjadi
pos pembiayaan. Pos pembiayaan dalam APBN digunakan untuk membiayai pembangunan
apabila pendapatan negara dan hibah belum dapat memenuhi kebutuhan belanja negara.
Apabila dilihat dari proporsi penerimaan negara, maka penerimaan migas merupakan primadona
pada awal periode pertama (1969/1970 s.d 1985/1986). Hal ini dikarenakan booming minyak yang
terjadi pada dekade 1970an di mana harga minyak dunia terus meningkat sampai awal dekade
1980an. Tetapi keadaan mulai berbalik, di mana harga minyak dunia cenderung menurun.

79
DIREKTORAT P-APBN

PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Sebelum terjadi penurunan harga minyak dunia tersebut, Pemerintah telah menyadari bahwa
penerimaan migas tidak seharusnya dijadikan sumber penerimaan utama karena sifatnya yang
fluktuatif dan merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui. Oleh karena itu, pada
tahun 1983 Pemerintah melakukan serangkaian reformasi perpajakan dengan membuat peraturan
perundangan perpajakan baru yang mengatur mengenai pajak penghasilan (UU Nomor 7/1983),
pajak pertambahan nilai (UU Nomor 8/1983) dan ketentuan umum dan tata cara perpajakan (UU
Nomor 6/1983). Reformasi perpajakan tersebut juga melakukan perubahan mendasar pada sistem
pemungutan pajak yang sebelumnya official assessment menjadi self assessment. Langkah ini
berhasil meningkatkan penerimaan perpajakan, sehingga mulai tahun 1986/1987 penerimaan
perpajakan telah menggantikan posisi penerimaan migas sebagai primadona dalam penerimaan
negara.
4.4 Jenis-jenis Pendapatan Negara dan Hibah
Sesuai amanat dalam UU Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, pendapatan negara
terdiri atas penerimaan perpajakan, penerimaan negara bukan pajak, dan hibah. Berdasarkan
struktur pendapatan negara dan hibah yang baru maka penerimaan perpajakan terdiri dari pajak
penghasilan, pajak pertambahan nilai, pajak bumi dan bangunan, cukai, dan pajak lainya serta
pajak perdagangan internasional yang terdiri dari bea masuk dan bea keluar. Sedangkan PNBP
terdiri dari penerimaan SDA (migas dan nonmigas), bagian Pemerintah atas laba BUMN, PNBP
lainnya serta penerimaan BLU. Penerimaan perpajakan dan PNBP juga diklasifikasikan sebagai
penerimaan dalam negeri.

80
DIREKTORAT P-APBN

PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Tabel 4.3.
Unit Kerja Pemungut Pendapatan Negara
Jenis Penerimaan

Unit Kerja
1. Kementerian Keuangan:
a. Direktorat Jenderal Pajak

PPH*, PPN & PPnBM, PBB, Pajak Lainnya

b. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai

Cukai, Bea Masuk, Bea Keluar

c. Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang

Penerimaan Hibah

2. Kementerian Energi dan Sumber Daya


Mineral

SDA Migas, DMO, Pertambangan, Panas Bumi

3. Kementerian Kehutanan

SDA Kehutanan

4. Kementerian Kelautan Perikanan

SDA Perikanan

5. Kementerian Negara BUMN

Bagian Pemerintah atas Laba BUMN

6. PNBP Lainnya

Seluruh K/L yang memungut PNBP

7. Badan Layanan Umum


Seluruh K/L yang membawahi Satker BLU
* Khusus PPh Migas pengadministrasiannya berada di Direktorat Jenderal Anggaran, Kementerian
Keuangan.

4.4.1 Penerimaan Perpajakan


Terdapat bermacam-macam batasan atau definisi tentang "pajak" yang dikemukakan oleh para
ahli diantaranya adalah :

Menurut Prof. Dr. P. J. A. Adriani, pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat
dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum
(undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan
yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas
negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.

Menurut Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro SH, pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara
berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal
(kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar
pengeluaran umum. Definisi tersebut kemudian dikoreksinya yang berbunyi sebagai berikut:
Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negara untuk membiayai
pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber
utama untuk membiayai public investment.

Sedangkan menurut Sommerfeld Ray M., Anderson Herschel M., & Brock Horace R, pajak
adalah suatu pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah, bukan akibat
pelanggaran hukum, namun wajib dilaksanakan, berdasarkan ketentuan yang ditetapkan lebih

81
DIREKTORAT P-APBN

PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

dahulu, tanpa mendapat imbalan yang langsung dan proporsional, agar pemerintah dapat
melaksanakan tugas-tugasnya untuk menjalankan pemerintahan.
Pajak menurut Pasal 1 angka 1 UU No 6 Tahun 1983 sebagaimana telah disempurnakan terakhir
dengan UU No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan umum dan tata cara perpajakan adalah
kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat
memaksa berdasarkan Undang Undang, dengan tidak mendapat timbal balik secara langsung dan
digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
4.4.2 Unsur Pajak
Dari berbagai definisi yang diberikan terhadap pajak baik pengertian secara ekonomis (pajak
sebagai pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah) atau pengertian secara
yuridis (pajak adalah iuran yang dapat dipaksakan) dapat ditarik kesimpulan tentang unsur-unsur
yang terdapat pada pengertian pajak antara lain sebagai berikut:
1. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang. Asas ini sesuai dengan perubahan ketiga
UUD 1945 pasal 23A yang menyatakan "pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa
untuk keperluan negara diatur dalam undang-undang."
2. Tidak mendapatkan jasa timbal balik (kontraprestasi perseorangan) yang dapat
ditunjukkan secara langsung. Misalnya, orang yang taat membayar pajak kendaraantor
akan melalui jalan yang sama kualitasnya dengan orang yang tidak membayar pajak
kendaraan bermotor.
3. Pemungutan pajak diperuntukkan bagi keperluan pembiayaan umum pemerintah dalam
rangka menjalankan fungsi pemerintahan, baik rutin maupun pembangunan.
4. Pemungutan pajak dapat dipaksakan. Pajak dapat dipaksakan apabila wajib pajak tidak
memenuhi kewajiban perpajakan dan dapat dikenakan sanksi sesuai peraturan perundagundangan.
5. Selain fungsi budgeter (anggaran) yaitu fungsi mengisi Kas Negara/Anggaran Negara yang
diperlukan untuk menutup pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan, pajak juga berfungsi
sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan negara dalam lapangan ekonomi
dan sosial (fungsi mengatur / regulatif) dan distribusi pendapatan (fungsi distributif).
4.4.3 Fungsi Pajak
Pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara, khususnya di dalam
pelaksanaan pembangunan karena pajak merupakan sumber pendapatan negara untuk

82
DIREKTORAT P-APBN

PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

membiayai semua pengeluaran termasuk pengeluaran pembangunan. Berdasarkan hal diatas


maka pajak mempunyai beberapa fungsi, yaitu:

Fungsi anggaran (budgetair)


Sebagai sumber pendapatan negara, pajak berfungsi untuk membiayai pengeluaranpengeluaran negara. Untuk menjalankan tugas-tugas rutin negara dan melaksanakan
pembangunan, negara membutuhkan biaya. Biaya ini dapat diperoleh dari penerimaan pajak.
Dewasa ini pajak digunakan untuk pembiayaan rutin seperti belanja pegawai, belanja barang,
pemeliharaan, dan lain sebagainya. Untuk pembiayaan pembangunan, uang dikeluarkan dari
tabungan pemerintah, yakni penerimaan dalam negeri dikurangi pengeluaran rutin. Tabungan
pemerintah ini dari tahun ke tahun harus ditingkatkan sesuai kebutuhan pembiayaan
pembangunan yang semakin meningkat dan ini terutama diharapkan dari sektor pajak.

Fungsi mengatur (regulerend)


Pemerintah bisa mengatur pertumbuhan ekonomi melalui kebijaksanaan pajak. Dengan fungsi
mengatur, pajak bisa digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Contohnya dalam
rangka menggiring penanaman modal, baik dalam negeri maupun luar negeri, diberikan
berbagai macam fasilitas keringanan pajak. Dalam rangka melindungi produksi dalam negeri,
pemerintah menetapkan bea masuk yang tinggi untuk produk luar negeri.

Fungsi stabilitas
Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan kebijakan yang
berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat dikendalikan, Hal ini bisa
dilakukan antara lain dengan jalan mengatur peredaran uang di masyarakat, pemungutan
pajak, penggunaan pajak yang efektif dan efisien.

Fungsi redistribusi pendapatan


Pajak yang sudah dipungut oleh negara akan digunakan untuk membiayai semua kepentingan
umum, termasuk juga untuk membiayai pembangunan sehingga dapat membuka kesempatan
kerja, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat.

4.4.4 Syarat Pemungutan Pajak


Tidaklah mudah untuk membebankan pajak pada masyarakat. Bila terlalu tinggi, masyarakat akan
enggan membayar pajak. Namun bila terlalu rendah, maka pembangunan tidak akan berjalan
karena dana yang kurang. Agar tidak menimbulkan berbagai masalah, maka pemungutan pajak
harus memenuhi persyaratan yaitu:

83
DIREKTORAT P-APBN

PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Pemungutan pajak harus adil


Seperti halnya produk hukum pajak pun mempunyai tujuan untuk menciptakan keadilan dalam
hal pemungutan pajak. Adil dalam perundang-undangan maupun adil dalam pelaksanaannya.
Contohnya:
1. Dengan mengatur hak dan kewajiban para wajib pajak.
2. Pajak diberlakukan bagi setiap warga negara yang memenuhi syarat sebagai wajib pajak.
3. Sanksi atas pelanggaran pajak diberlakukan secara umum sesuai dengan berat ringannya
pelanggaran.

Pengaturan pajak harus berdasarkan UU


Sesuai dengan Pasal 23 UUD 1945 yang berbunyi: "Pajak dan pungutan yang bersifat untuk
keperluan negara diatur dengan Undang-Undang", ada beberapa hal yang perlu diperhatikan
dalam penyusunan UU tentang pajak, yaitu:
1.

Pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara yang berdasarkan UU tersebut harus
dijamin kelancarannya.

2.

Jaminan hukum bagi para wajib pajak untuk tidak diperlakukan secara umum.

3.

Jaminan hukum akan terjaganya kerasahiaan bagi para wajib pajak.

Pungutan pajak tidak mengganggu perekonomian


Pemungutan pajak harus diusahakan sedemikian rupa agar tidak mengganggu kondisi
perekonomian, baik kegiatan produksi, perdagangan, maupun jasa. Pemungutan pajak jangan
sampai merugikan kepentingan masyarakat dan menghambat lajunya usaha masyarakat
pemasok pajak, terutama masyarakat kecil dan menengah.

Pemungutan pajak harus efesien


Biaya-biaya yang dikeluarkan dalam rangka pemungutan pajak harus diperhitungkan. Jangan
sampai pajak yang diterima lebih rendah daripada biaya pengurusan pajak tersebut. Oleh
karena itu, sistem pemungutan pajak harus sederhana dan mudah untuk dilaksanakan.
Dengan demikian, wajib pajak tidak akan mengalami kesulitan dalam pembayaran pajak baik
dari segi penghitungan maupun dari segi waktu.

Sistem pemungutan pajak harus sederhana


Bagaimana pajak dipungut akan sangat menentukan keberhasilan dalam pungutan pajak.
Sistem yang sederhana akan memudahkan wajib pajak dalam menghitung beban pajak yang
harus dibiayai sehingga akan memberikan dapat positif bagi para wajib pajak untuk
meningkatkan kesadaran dalam pembayaran pajak. Sebaliknya, jika sistem pemungutan pajak
rumit, orang akan semakin enggan membayar pajak.
Contoh:

84
DIREKTORAT P-APBN

PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

1.

Bea materai disederhanakan dari 167 macam tarif menjadi 2 macam tarif.

2.

Tarif PPN yang beragam disederhanakan menjadi hanya satu tarif, yaitu 10%.

3.

Pajak perseorangan untuk badan dan pajak pendapatan untuk perseorangan


disederhanakan menjadi pajak penghasilan (PPh) yang berlaku bagi badan maupun
perseorangan (pribadi).

4.4.5 Asas Pemungutan


Asas pemungutan pajak menurut pendapat para ahli
Untuk dapat mencapai tujuan dari pemungutan pajak, beberapa ahli yang mengemukakan tentang
1. Menurut Adam Smith dalam bukunya Wealth of Nations dengan ajaran yang terkenal "The
Four Maxims", asas pemungutan pajak adalah sebagai berikut.
Asas Equality (asas keseimbangan dengan kemampuan atau asas keadilan): pemungutan

pajak yang dilakukan oleh negara harus sesuai dengan kemampuan dan penghasilan wajib
pajak. Negara tidak boleh bertindak diskriminatif terhadap wajib pajak.
Asas Certainty (asas kepastian hukum): semua pungutan pajak harus berdasarkan UU,

sehingga bagi yang melanggar akan dapat dikenai sanksi hukum.


Asas Convinience of Payment (asas pemungutan pajak yang tepat waktu atau asas

kesenangan): pajak harus dipungut pada saat yang tepat bagi wajib pajak (saat yang paling
baik), misalnya disaat wajib pajak baru menerima penghasilannya atau disaat wajib pajak
menerima hadiah.
Asas Efficiency (asas efisien atau asas ekonomis): biaya pemungutan pajak diusahakan

sehemat mungkin, jangan sampai terjadi biaya pemungutan pajak lebih besar dari hasil
pemungutan pajak.
2. Menurut W.J. Langen, asas pemungutan pajak adalah sebagai berikut:
Asas daya pikul: besar kecilnya pajak yang dipungut harus berdasarkan besar kecilnya

penghasilan wajib pajak. Semakin tinggi penghasilan maka semakin tinggi pajak yang
dibebankan.
Asas manfaat: pajak yang dipungut oleh negara harus digunakan untuk kegiatan-kegiatan

yang bermanfaat untuk kepentingan umum.


Asas kesejahteraan: pajak yang dipungut oleh negara digunakan untuk meningkatkan

kesejahteraan rakyat.
Asas kesamaan: dalam kondisi yang sama antara wajib pajak yang satu dengan yang lain

harus dikenakan pajak dalam jumlah yang sama (diperlakukan sama).

85
DIREKTORAT P-APBN

PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Asas beban yang sekecil-kecilnya: pemungutan pajak diusahakan sekecil-kecilnya

(serendah-rendahnya) jika dibandingkan dengan nilai obyek pajak sehingga tidak


memberatkan para wajib pajak.
3. Menurut Adolf Wagner, asas pemungutan pahak adalah sebagai berikut:
Asas politik finansial: pajak yang dipungut negara jumlahnya memadai sehingga dapat

membiayai atau mendorong semua kegiatan negara.


Asas ekonomi: penentuan obyek pajak harus tepat, misalnya: pajak pendapatan, pajak

untuk barang-barang mewah.


Asas keadilan: pungutan pajak berlaku secara umum tanpa diskriminasi, untuk kondisi

yang sama diperlakukan sama pula.


Asas administrasi: menyangkut masalah kepastian perpajakan (kapan, dimana harus

membayar pajak), keluwesan penagihan (bagaimana cara membayarnya) dan besarnya


biaya pajak.
Asas yuridis: segala pungutan pajak harus berdasarkan Undang-Undang.

4.4.6

Penerimaan Perpajakan dalam APBN

Di Indonesia, sumber pendapatan negara selain berasal dari penerimaan pajak, juga berasal dari
penerimaan cukai, bea masuk, dan bea keluar. Kesemuanya disebut dengan penerimaan
perpajakan.
Lembaga Pemerintah yang mengelola perpajakan negara di Indonesia adalah Direktorat Jenderal
Pajak (DJP) yang merupakan salah satu direktorat jenderal yang ada di bawah naungan
Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Direktorat Jenderal Pajak menangani penerimaan
penerimaan pajak non-migas. Untuk penerimaan pajak migas, kewenangan administrasinya ada di
Direktorat Jenderal Anggaran. Sementara itu, untuk penerimaan cukai, bea keluar, dan bea
masuk, ditangani oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Menurut Peraturan Perundang-Undangan tentang APBN, penerimaan perpajakan adalah semua
penerimaan negara yang terdiri atas pajak dalam negeri dan pajak perdagangan internasional.
Sedangkan menurut Government Finance Statistic (GFS) manual 2001, penerimaan perpajakan
adalah semua transfer wajib kepada sektor Pemerintah tidak termasuk denda, penalti, dan
kontribusi jaminan sosial. Berdasarkan sumbernya penerimaan pajak terdiri atas pajak dalam
negeri dan pajak perdagangan internasional.
Dasar hukum penerimaan perpajakan yang berlaku saat ini adalah:
1. UU Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan.
2. UU Nomor 42 Tahun 2009 Tentang PPN dan PPnBM.

86
DIREKTORAT P-APBN

PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

3. UU Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Kententuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
4. UU Nomor 12 Tahun 1985 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan.
5. UU Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
6. UU Nomor 20 Tahun 2000 Tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
7. UU Nomor 13 Tahun 1985 Tentang Bea Meterai.
8. UU Nomor 39 Tahun 2007 Tentang Cukai.
9. UU Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Kepabeanan.
Pajak dalam negeri terdiri atas pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai dan pajak
penjualan atas barang mewah (PPN & PPnBM), pajak bumi dan bangunan (PBB), bea perolehan
hak atas tanah dan bangunan (BPHTB), cukai, dan pajak lainnya. Akan tetapi, sesuai dengan
amanat dalam UU Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah seluruh
penerimaan BPHTB akan dipindahkan administrasinya ke daerah sejak tahun 2011. Oleh karena
itu, penerimaan BPHTB tidak lagi menjadi penerimaan pajak Pemerintah pusat sejak tahun 2011
sehingga tidak lagi dicatat dalam APBN.
Selain dibagi berdasarkan jenisnya, penerimaan pajak juga ketegorikan berdasarkan sifat
pemungutannya. Terdapat dua sifat pemungutan yaitu pajak langsung yaitu pajak yang dibayar
langsung oleh subjek pajaknya seperti PPh, PBB, bea meterai, bea masuk, dan bea keluar.
Sedangkan pajak tidak langsung adalah pajak yang dibebankan kepada subjek pajaknya tetapi
subjek pajak tersebut membayar pajaknya tidak langsung kepada negara melainkan melalui pihak
ketiga seperti pengusaha kena pajak (PKP) atau produsen. Pajak yang termasuk dalam kategori
pajak tidak langsung adalah PPN, PPnBM, dan cukai.
Pajak Penghasilan
Menurut UU Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan, PPh adalah pajak yang
dikenakan terhadap subyek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam satu
tahun pajak. Jenis-jenis pajak penghasilan (PPh) dalam APBN :
1.

PPh Migas
Merupakan PPh yang dipungut dari Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap atas penghasilan
dari kegiatan usaha hulu minyak bumi dan gas alam.

2.

PPh Non Migas


Merupakan PPh yang dipungut dari Wajib Pajak Orang Pribadi, Badan, dan Bentuk Usaha
Tetap dalam negeri atau luar negeri atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam
tahun pajak selain penghasilan atas pelaksanaan kegiatan hulu migas. Diantara seluruh
komponen PPh nonmigas, PPh pasal 25/29 yang terdiri dari PPh Badan dan Orang Pribadi

87
DIREKTORAT P-APBN

PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

memiliki kontribusi terbesar dari total PPh nonmigas. PPh Badan berkontribusi lebih dari 30
persen dari total penerimaan PPh, diikuti dengan PPh orang pribadi dengan kontribusi ratarata 15 persen.
Selanjutnya, selain di pungut berdasarkan subjek pajaknya (orang pribadi atau badan), PPh juga
dibedakan berdasarkan sifat pungutnya yaitu final dan tidak final. Final dalam hal ini adalah bahwa
PPh yang sudah dibayar/dipungut/dipotong sudah tidak lagi diperhitungkan dengan PPh terutang
lainnya. Sedangkan tidak final, adalah kebalikan dari PPh final. Munculnya PPh yang bersifat final
terutama bertujuan untuk memberi dorongan dalam rangka perkembangan investasi dan tabungan
masyarakat, kesederhanaan dalam pemungutan pajak, mengurangi beban administrasi Wajib
Pajak maupun Direktorat Jenderal Pajak, pemerataan dalam pengenaan pajaknya, dan mengikuti
perkembangan ekonomi dan moneter.
Selain PPh pasal 25/29, terdapat beberapa jenis pajak yang diatur dalam UU PPh sesuai dengan
sifat dan tarifnya masing-masing yang diatur oleh keputusan Menteri Keuangan.
Dalam perkembangannya, Undang-undang PPh telah mengalami beberapa kali perubahan
terutama terkait tarif PPh dan penghasilan tidak kena pajak (PTKP). Dalam 3 dasawarsa, tarif PPh
telah mengalami 4 kali perubahan sejak reformasi perpajakan pertama dalam UU Nomor 8 tahun
1983 Tentang PPh sampai dengan perubahan terakhir dalam UU Nomor 36 tahun 2008. PTKP
sendiri telah mengalami 6 kali perubahan, karena perubahan PTKP disesuaikan setiap beberapa
tahun sekali di mana perubahan tersebut cukup dengan menggunakan keputusan Menteri
Keuangan, tanpa harus melakukan revisi UU PPh. Perkembangan tarif PPh dan PTKP dapat
dilihat dalam tabel berikut disertai dengan ilustrasi perhitungan pajak penghasilan untuk orang
pribadi.

Tabel 4.4
Perkembangan Tarif PPH dan PTKP
UU No. 8 tahun 1983

UU No. 10 tahun 1994

UU No. 17 tahun 2000

UU No. 36 Tahun 2008

Tarif Pajak

- PPh OP

- PPh Badan

Lapisan Tarif (Rp)

Tarif

Lapisan Tarif (Rp)

Tarif

Lapisan Tarif (Rp)

Tarif

Lapisan Tarif (Rp)

Tarif

0 - 10 juta

15%

0 - 25 juta

10%

0 - 25 juta

5%

0 - 50 juta

5%

10 - 50 juta

25%

25 - 50 juta

15%

25 - 50 juta

10%

50 - 250 juta

15%

> 50 juta

35%

> 50 juta

30%

50 -100 juta

15%

250 - 500 juta

25%

100 - 200 juta

25%

> 500 juta

30%

> 200 juta

35%

0 - 10 juta

15%

0 - 25 juta

10%

0 - 50 juta

10%

Tarif Tunggal

10 - 50 juta

25%

25 - 50 juta

15%

50 - 100 juta

15%

2009

28%

> 50 juta

35%

> 50 juta

30%

> 100 juta

30%

2010

25%

88
DIREKTORAT P-APBN

PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

UU No. 8
Tahun 1983

UU No. 10
Tahun 1994

UU No. 17
Tahun 2000

KMK No.
564/KMK.03/2004

KMK No.
137/KMK.05/2005

UU No . 36
Tahun 2008

- PTKP Sendiri

960.000

1.728.000

2.880.000

12.000.000

13.200.000

15.840.000

- Istri/Suami

480.000

864.000

1.440.000

1.200.000

1.200.000

1.320.000

- Tanggungan, Max 3 orang

480.000

864.000

1.440.000

1.200.000

1.200.000

1.320.000

1.920.000

3.456.000

5.760.000

14.400.000

15.600.000

18.480.000

PTKP

Jumlah

Pajak Pertambahan Nilai


Pajak Pertambahan Nilai berdasarkan UU Nomor 42 Tahun 2009 adalah:
1. Pajak yang dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) karena:
a. Perolehan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau;
b. Perolehan Jasa Kena Pajak (JKP) dan/atau;
c. Pemanfaatan BKP Tidak berwujud dari luar Daerah Pabean dan/atau;
d. Pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean dan atau;
e. Impor BKP
Disebut juga PPN Masukan.
2. Pajak Pertambahan Nilai terutang yang wajib dipungut oleh PKP yang melakukan :
a.

Penyerahan BKP

b.

Penyerahan JKP

c.

Ekspor BKP berwujud

d.

Ekspor BKP Tidak Berwujud

e.

Ekspor JKP

Disebut juga PPN Keluaran.


Sesuai dengan UU No. 42 Tahun 2009 Pasal 7 tarif PPN ditetapkan sebesar 10%. Akan tetapi,
berdasarkan pertimbangan perkembangan ekonomi dan/atau peningkatan kebutuhan dana
untuk pembangunan, Pemerintah diberi wewenang mengubah tarif

PPN menjadi paling

rendah 5% dan paling tinggi 15% dengan tetap memakai prinsip tarif tunggal. Perubahan
tarif ini dikemukakan oleh Pemerintah kepada DPR dalam rangka pembahasan dan penyusunan
RAPBN. Khusus untuk ekspor BKP berwujud, BKP tidak berwujud dan JKP dikenakan tarif 0%.
Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)
Berdasarkan UU No. 42 Tahun 2009 Pasal 5, PPnBM merupakan pajak yang dikenakan terhadap
penyerahan BKP yang tergolong mewah yang dilakukan oleh pengusaha yang menghasilkan
barang tersebut di dalam Daerah Pabean dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya dan impor
BKP yang tergolong mewah

89
DIREKTORAT P-APBN

PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Tarif PPnBM berdasarkan UU No. 42 Tahun 2009 Pasal 8 ditetapkan paling rendah 10% (sepuluh
persen) dan paling tinggi 200% (dua ratus persen). Sedangkan khusus untuk ekspor BKP yang
tergolong mewah dikenai pajak dengan tarif 0% (nol persen)
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
Berdasarkan Undang-undang nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 12 Tahun 1994 PBB adalah pajak yang
bersifat kebendaan dalam arti besarnya pajak terutang ditentukan oleh keadaan objek yaitu
bumi/tanah dan atau bangunan. Keadaan subyek (siapa yang membayar) tidak ikut menentukan
besarnya pajak.
PBB

terbagi ke dalam beberapa sektor, yaitu Sektor perkotaan, Sektor Perdesaan, Sektor

Perkebunan, Sektor Perhutanan, dan Sektor Pertambangan Migas dan Pertambangan Umum.
Cukai
Cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang yang mempunyai sifat
atau karakteristik yang ditetapkan dalam undang-undang cukai (UU Nomor 39 Tahun 2007).
Sedangkan sifat atau karakteristik Barang Kena Cukai (BKC) adalah:
a. Barang yang konsumsinya perlu dikendalikan
b. Peredarannya perlu diawasi
c. Pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan
hidup; atau
d. Pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan.
Berdasarkan UU Nomor 11 Tahun 1995 yang diubah kedua kalinya dengan UU Nomor 39 Tahun
2007 Tentang Cukai pasal 4, cukai dikenakan terhadap barang kena cukai yang terdiri dari:
a. Etil alkohol atau etanol, dengan tidak mengindahkan bahan yang digunakan dan proses
pembuatannya;
b. Minuman yang mengandung etil alkohol dalam kadar berapa pun, dengan tidak
mengindahkan bahan yang digunakan dan proses pembuatannya, termasuk konsentrat
yang mengandung etil alkohol;
c. Hasil tembakau, yang meliputi sigaret, cerutu, rokok daun, tembakau iris, dan hasil
pengolahan tembakau lainnya, dengan tidak mengindahkan digunakan atau tidak bahan
pengganti atau bahan pembantu dalam pembuatannya.
Walaupun cukai dikategorikan sebagai pajak tidak langsung tetapi dalam prakteknya produsen ikut
menanggung beban cukai sehingga konsumen membayar cukai dalam jumlah yang tidak
seharusnya. Tarif cukai ditentukan secara spesifik addvalorem yaitu jumlah dalam setiap rupiah

90
DIREKTORAT P-APBN

PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

untuk setiap barang kena cukai (1 pita cukai untuk 1 BKC). Apabila konsumen membayar dibawah
harga yang tertera dalam pita cukai, maka besar kemungkinan produsen atas BKC tersebut ikut
menanggung beban cukai tersebut. Tabel berikut menyajikan tarif cukai untuk masing-masing jenis
BKC.

Tabel 4.5.
Tarif Cukai dan Batasan Harga Jual Eceran
Hasil Tembakau Buatan Dalam Negeri
Golongan pengusaha
pabrik hasil tembakau
No
Gol.

Jenis

I
1

SKM
II

I
2

SPM
II

I
3

SKT atau
SPT

II
III
I

SKTF atau
SPTF
II

Batasan harga jual


eceran per batang atau
gram

Tarif cukai (per batang atau gram)


PMK No 181 /
2009

PMK No 181 /
2009

PMK No 190 /
2010

> Rp660
Rp630 - Rp660
Rp600 - Rp630
> Rp430
Rp380 - Rp430
Rp374 - Rp380
> Rp600
Rp450 - Rp600
Rp375 - Rp450
> Rp300
Rp254 - Rp300
Rp217 - Rp254

Rp
Rp
Rp
Rp
Rp
Rp
Rp
Rp
Rp
Rp
Rp
Rp

310,0
300,0
280,0
230,0
195,0
155,0
310,0
275,0
25,0
200,0
165,0
105,0

Rp
Rp
Rp
Rp
Rp
Rp
Rp
Rp
Rp
Rp
Rp
Rp

310,0
300,0
280,0
230,0
195,0
155,0
310,0
275,0
25,0
200,0
165,0
105,0

Rp
Rp
Rp
Rp
Rp
Rp
Rp
Rp
Rp
Rp
Rp
Rp

325,0
315,0
295,0
245,0
210,0
170,0
325,0
295,0
245,0
215,0
175,0
110,0

> Rp590
Rp550 - Rp590
Rp520 - Rp550
> Rp379
Rp349 - Rp379
Rp336 - Rp349
Rp234

Rp
Rp
Rp
Rp
Rp
Rp
Rp

215,0
165,0
145,0
105,0
95,0
90,0
65,0

Rp
Rp
Rp
Rp
Rp
Rp
Rp

215,0
165,0
145,0
105,0
95,0
90,0
50,0

Rp
Rp
Rp
Rp
Rp
Rp
Rp

235,0
180,0
155,0
110,0
100,0
90,0
65,0

> Rp660
Rp630 - Rp660
Rp600 - Rp630
> Rp430
Rp380 - Rp430
Rp374 - Rp380
> Rp250
Rp149 - Rp250
Rp40 - Rp149
> Rp250
Rp180 - Rp250

Rp
Rp
Rp
Rp
Rp
Rp
Rp
Rp
Rp
Rp
Rp

310,0
300,0
280,0
230,0
195,0
155,0
21,0
19,0
5,0
25,0
18,0

Rp
Rp
Rp
Rp
Rp
Rp
Rp
Rp
Rp
Rp
Rp

310,0
300,0
280,0
230,0
195,0
155,0
21,0
19,0
5,0
25,0
18,0

Rp
Rp
Rp
Rp
Rp
Rp
Rp
Rp
Rp
Rp
Rp

325,0
315,0
295,0
245,0
210,0
170,0
21,0
19,0
5,0
25,0
18,0

TIS

KLB

KLM

Rp180

Rp

17,0

Rp

17,0

Rp

17,0

CRT

> Rp100.000
Rp50.000 - Rp100.000
Rp20.000 - Rp50.000
Rp5.000 - Rp20.000
Rp275 - Rp5.000

Rp
Rp
Rp
Rp
Rp

100.000,0
20.000,0
10.000,0
1.200,0
250,0

Rp
Rp
Rp
Rp
Rp

100.000,0
20.000,0
10.000,0
1.200,0
250,0

Rp
Rp
Rp
Rp
Rp

100.000,0
20.000,0
10.000,0
1.200,0
250,0

HPTL

Rp275

Rp

100,0

Rp

100,0

Rp

100,0

Keterangan:
- SKM
- SPM
- SKT
- SPT
- SKTF
- SPTF

:
:
:
:
:
:

Sigaret
Sigaret
Sigaret
Sigaret
Sigaret
Sigaret

Kretek Mesin
Putih Mesin
Kretek Tangan
Putih Tangan
Kretek Tangan Filter
Putih Tangan Filter

-TIS
- KLB
- KLM
- CRT
- HPTL

:
:
:
:
:

Tembakau Iris
Rokok Daun/Klobot
Sigaret Kelembak Menyan
Cerutu
Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya

91
DIREKTORAT P-APBN

PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Tabel 4.6.
Tarif Cukai dan Batasan Harga Jual Eceran
Hasil Tembakau Impor
No

Golongan
pengusaha pabrik
hasil tembakau

Batasan HJE
(per batang
atau gram)

Tarif cukai (per batang atau


gram)
PMK No 181 /
2009

PMK No 190 /
2010

SKM

Rp

661,0

Rp

310,0

Rp

325,0

SPM

Rp

601,0

Rp

310,0

Rp

325,0

SKT atau SPT

Rp

591,0

Rp

215,0

Rp

235,0

SKTF atau SPTF

Rp

661,0

Rp

310,0

Rp

325,0

TIS

Rp

251,0

Rp

21,0

Rp

21,0

KLB

Rp

251,0

Rp

25,0

Rp

25,0

KLM

Rp

180,0

Rp

17,0

Rp

17,0

CRT

Rp 100.000,0

Rp 100.000,0

Rp

100.000,0

HPTL

Rp

Rp

Rp

100,0

275,0

Keterangan:
- SKM
: Sigaret Kretek Mesin -TIS
- SPM
: Sigaret Putih Mesin - KLB
- SKT
: Sigaret Kretek Tangan- KLM
- SPT
: Sigaret Putih Tangan - CRT
- SKTF
: Sigaret Kretek Tangan- HPTL
Filter
- SPTF
: Sigaret Putih Tangan Filter

100,0

: Tembakau Iris
: Rokok Daun/Klobot
: Sigaret Kelembak Menyan
: Cerutu
: Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya

Tabel 4.7.
Tarif Cukai dan Batasan Harga Jual Eceran
Etil Alkohol dan Minuman Mengandung Etil Alkohol
Dalam Negeri
Jenis BKC

Gol

Impor

Kadar Alkohol
PMK No 90/2006 PMK No.62/2010 PMK No 90/2006 PMK No.62/2010

A1

s.d 1%

Rp

2.500,0
Rp

MMEA

A2

> 1% s.d 5%

Rp

3.500,0

B1

> 5% s.d 15%

Rp

5.000,0
Rp

Konsentrat yang
mengandung EA

EA

Rp

2.500,0

Rp

5.000,0

Rp

20.000,0

Rp

30.000,0

75.000,0 Rp

50.000,0

Rp

130.000,0

50.000,0

Rp

100.000,0

Rp

20.000,0

11.000,0

30.000,0

B2

> 15% s.d 20%

Rp

10.000,0

> 20%

Rp

26.000,0

Rp

Rp

50.000,0

Rp

100.000,0

Rp

20.000,0

Dari semua jenis konsenrat, kadar, dan


golongan, sebagai bahan baku atau bahan
penolong dalam pembuatan MMEA

dari semua jenis etil alkohol, kadar, dan


golongan

Rp

Rp

11.000,0

Rp

40.000,0

92
DIREKTORAT P-APBN

PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Pajak Lainnya
Pajak Lainnya merupakan jenis penerimaan perpajakan yang tidak termasuk ke dalam kategori
penerimaan pajak di atas. Penerimaan pajak lainnya terdiri dari:
a. Bea Meterai
b. Pendapatan Penjualan Benda Materai
c. Pajak Tidak Langsung Lainnya
d. Bunga Penagihan PPh
e. Bunga Penagihan PPN
f.

Bunga Penagihan PPnBM

g. Bunga Penagihan Pajak


Penerimaan bea meterai merupakan penerimaan dominan dalam pajak lainnya. Bea meterai
sendiri pada dasarnya adalah pajak atas dokumen sesuai dengan UU Nomor 13 tahun 1985
tentang Bea Meterai.
Penerimaan pajak lainnya selain bea meterai adalah sanksi-sanksi administratif dari keterlambatan
dan kekurangan pembayaran pajak berupa bunga penagihan PPh, PPN, PPnBm, dan Pajak.
Bunga penagihan ini diatur dalan UU No.28/2007 Tentang KUP Pasal 8, 9, 13, 13A, 14, dan 15.
Berdasarkan UU No.13/1995, dokumen yang dikenakan bea meterai adalah:
a. Surat perjanjian dan surat-surat lainnya (antara lain: surat kuasa, surat hibah, surat
pernyataan) yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai
perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata
b. Akta-akta notaris termasuk salinannya
c. Akta yang dibuat PPAT termasuk rangkap-rangkapnya
d. Surat yang menyebutkan penerimaan uang;

pembukuan atau penyimpanan uang dalam

rekening di bank; berisi pemberitahuan saldo rekening di bank; dan berisi pengakuan bahwa
utang uang seluruhnya atau sebagian telah dilunasi atau diperhitungkan
e. Surat berharga seperti wesel, promes dan aksep
f.

Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun

g. Surat-surat biasa dan surat-surat kerumahtanggaan serta surat-surat yang semula tidak
dikenakan bea meterai berdasarkan tujuannya, jika digunakan untuk tujuan lain atau digunakan
oleh orang lain, lain dari maksud semula, yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di
muka pengadilan, dengan nominal keseluruhan lebih dari atau sama dengan Rp250.000.

93
DIREKTORAT P-APBN

PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Berdasarkan PP No.24 Tahun 2000 Tentang Perubahan Tarif Bea Meterai dan Besarnya Batas
Pengenaan Harga Nominal yang Dikenakan Bea Meterai, tarif bea materai adalah sebagai berikut:
Nilai Dokumen

Tarif

< Rp 250.000

Tidak Dike nakan

Rp250.000 - Rp1.000.000

Rp3.000,-

Rp1.000.000,-

Rp6.000,-

Bea Masuk
Bea Masuk adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang yang diimpor. (Pasal 1 ayat
15 UU Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 10 Tahun 1995 tentang
Kepabeanan. Pada dasarnya bea masuk berfungsi sebagai:
a. Mencegah kerugian industri dalam negeri yang

memproduksi barang sejenis dengan

barang impor tersebut;


b. Melindungi pengembangan industri barang sejenis dengan barang impor tersebut di dalam
negeri.
c. Mencegah terjadinya kerugian serius terhadap industri dalam negeri yang memproduksi
barang sejenis dan/atau barang yang secara langsung bersaing.
d. Melakukan pembalasan terhadap barang impor yang berasal dari negara yang
memperlakukan barang ekspor Indonesia secara diskriminatif.
ASEAN FreeTrade Area (AFTA) merupakan wujud dari kesepakatan dari negara-negara ASEAN
untuk membentuk suatu kawasan bebas perdagangan dalam rangka meningkatkan daya saing
ekonomi kawasan regional ASEAN dengan menjadikan ASEAN sebagai basis produksi dunia akan
dicapai dalam waktu 15 tahun (1993-2008), kemudian dipercepat menjadi tahun 2003, dan terakhir
dipercepat lagi menjadi tahun 2002. Salah satu kesepakatan dalam AFTA yang terkait dengan
Indonesia adalah menghapuskan semua bea masuk impor barang bagi Indonesia pada tahun
2015. Dengan dihapuskannya bea masuk bagi Indonesia tersebut, manfaat-manfaat bea masuk
sebagai pelindung industri dalam negeri juga akan hilang, dan hal ini merupakan tantangan bagi
Pengusaha/produsen Indonesia untuk

dapat meningkatkan kemampuan dalam menjalankan

bisnis guna dapat memenangkan kompetisi dengan berbagai produk yang berasal dari negara
anggota ASEAN lainnya baik dalam memanfaatkan peluang pasar dalam negeri maupun pasar
negara anggota ASEAN lainnya.

94
DIREKTORAT P-APBN

PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Bea Keluar
Bea keluar berdasarkan UU Nomor 17 Tahun 2006 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 10
Tahun 1995 tentang Kepabeanan adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang
ekspor.
Tujuan pengenaan Bea Keluar terhadap barang ekspor adalah: (i) Menjamin terpenuhinya
kebutuhan dalam negeri; (ii) Melindungi kelestarian sumber daya alam; (iii) Mengantisipasi
kenaikan harga yang cukup drastis dan

komoditi ekspor tertentu dipasaran internasional; dan

(iv) Menjaga stabilitas harga komoditi tertentu di dalam negeri. Sedangkan barang Ekspor yang
dikenakan bea keluar adalah rotan, kulit, kayu, kelapa sawit, serta CPO dan produk turunannya.
4.4.6.1 Pajak di Daerah
Sejak disahkannya Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, pemerintah daerah menerima sejumlah dana
yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka
persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi, dana
tersebut disebut dengan dana bagi hasil.
Dana bagi hasil bersumber dari pajak dan sumber daya alam. Dana bagi hasil yang bersumber
dari pajak terdiri atas pajak bumi dan bangunan (PBB), pajak penghasilan (PPh) Pasal 25 dan
Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam negeri dan PPh Pasal 21, serta bea perolehan hak
atas tanah dan bangunan (BPHTB).
Sebagai implementasi dari Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah, mulai tanggal 1 Januari 2011, pengelolaan BPHTB dialihkan dari Pemerintah
Pusat kepada pemerintah kabupaten/kota, sehingga penerimaan BPHTB tidak lagi dianggarkan
dalam APBN 2011.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-undang
Nomor 11 Tahun 1995 Tentang Cukai, Pasal 66A , pendapatan negara dari cukai hasil tembakau
yang dibuat di Indonesia dibagihasilkan kepada provinsi penghasil cukai hasil tembakau sebesar 2
persen.

95
DIREKTORAT P-APBN

PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

PENERIMAAN PERPAJAKAN

DANA BAGI HASIL PERPAJAKAN

1. Penerimaan Pajak Penghasilan


a. PPh Migas
b. PPh Non-migas
al: - PPh Pasal 21
- PPh Pasal 25/29 OP

20%

1. PPh Pasal 21
2. PPh Pasal 25/29 OP

2. Penerimaan Pajak Pertambahan Nilai


3. Penerimaan Pajak bumi dan Bangunan
a. Pedesaan
b. Perkotaan
c. Perkebunan
d. Perhutanan
e. Pertambangan
f. Migas

Berdasarkan
Proporsi
tertentu

4. Penerimaan Cukai
a.l Cukai Hasil Tembakau

2%

3. Penerimaan Pajak bumi dan Bangunan


a. Pedesaan
b. Perkotaan
c. Perkebunan
d. Perhutanan
e. Pertambangan
f. Migas
4. Penerimaan Cukai Hasil Tembakau

5. Penerimaan Pajak Lainnya


6. Penerimaan Pajak Perdagangan Internasional

Gambar 4.1 Dana Bagi Hasil Perpajakan


4.4.6.2 Perkembangan Penerimaan Perpajakan
Penerimaan perpajakan merupakan sumber penerimaan dominan dalam APBN, terutama setelah
reformasi perpajakan tahun 1983 penerimaan perpajakan telah memberikan kontribusi yang
sangat signifikan bahkan melampaui penerimaan migas. Dengan rasio pajak terhadap PDB diatas
10 persen dan cenderung meningkat (Grafik 4.1) penerimaan perpajakan semakin memantapkan
dominasinya sebagai kontributor utama penerimaan negara. Dalam dekade terakhir penerimaan
perpajakan berkontribusi lebih dari 70 persen dari total pendapatan negara dan hibah dengan rasio
pajak terhadap PDB lebih dari 11 persen (Grafik 4.2). Penerimaan perpajakan juga digunakan
untuk membiayai lebih dari 60 persen belanja negara (Grafik 4.3) serta kebutuhan fiskal dalam
APBN (Grafik 4.4).

96
DIREKTORAT P-APBN

PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Grafik 4.1
Rasio Penerimaan Perpajakan Terhadap PDB (Tax Ratio), 2002-2013

Persen

Triliun Rp

14

1.400

12

1.200

10

1.000

800

600

400

200

0
2002

2003

2004

2005

2006

2007

2008

2009

2010

2011

2012
APBNP

2012
Real

2013
APBN

Realisasi

210,1

242,0

280,6

347,0

409,2

491,0

658,7

619,9

723,3

873,9

1.016,

980,1

1.193,

Tax Ratio

11,5

12,0

12,2

12,5

12,3

12,4

13,3

11,1

11,3

11,8

11,9

11,9

12,9

Grafik 4.2
Kontribusi Penerimaan Perpajakan terhadap Pendapatan
Negara dan Hibah, 2002-2013

Triliun

Persen

Penerimaan Perpajakan

1.800

80
Pendapatan Negara

1.600

78
78,2

Rasio Penerimaan Perpajakan thd


Pendapatan Negara (%)

1.400
1.200

73,0

600

72,7

72

72,2

70
68

69,4

66

67,1

400

76
74

74,8

1.000
800

78,0

64

200

62

60
2007

2008

Penerimaan Perpajakan
Pendapatan Negara
Rasio Penerimaan Perpajakan thd
Pendapatan Negara (%)

2009

2010

2011

2007
491,0
707,8

2008
658,7
981,6

2009
619,9
848,8

2010
723,3
995,3

69,4

67,1

73,0

72,7

APBNP
2012

RAPBN
2013

APBN
2013

2011 APBNP 2012RAPBN 2013 APBN 2013


873,9
1.016,2 1.178,9
1.193,0
1.210,6
1.358,2 1.507,7
1.529,7
72,2

74,8

78,2

78,0

97
DIREKTORAT P-APBN

PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Grafik 4.3.
Perkembangan Penerimaan Negara dan Belanja Negara, 2002-2013

2005

2006

2007

Penerimaan Perpajakan
347,0
409,2
Belanja Negara
511,6
666,2
Rasio Penerimaan Perpajakan thd67,8
Belanja Negara
61,4

2008

2009

2010

2011

2012

2013
1.130,5

491,0
757,9

658,7
985,8

619,9
937,4

723,3
1.042,1

873,9
1.294,9

1.016,2
1.548,3

64,8

66,8

66,1

69,4

67,5

65,6

1568,6
72,1

Grafik 4.4.
Kontribusi Perpajakan terhadap Kebutuhan Fiskal

2005
Penerimaan Perpajakan
Kebutuhan Fiskal (belanja negara &
cicilan pokok utang LN)
Belanja Negara
Pemb. Cicilan Pokok Utang LN
Rasio Penerimaan Perpajakan thd
Kebutuhan Fiskal

2006

2007

2008

2009

2010

2011

2012

2013

347,0

409,2

491,0

658,7

619,9

723,3

873,9

1.016,2

1.130,5

548,7
511,6

718,9
666,2

815,8
757,9

1.049,2
985,8

1.005,4
937,4

1.107,1
1.056,5

1.342,2
1.294,9

1.598,0
1.548,3

1.625,2
1.568,7

37,1
63,2

52,7
56,9

57,9
60,2

63,4
62,8

68,0
61,7

50,6
65,3

47,3
65,1

49,7
63,6

56,5
69,6

98
DIREKTORAT P-APBN

PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Tabel 4.8.
Realisasi Penerimaan Perpajakan Tahun Anggaran 2000-2013 (triliun rupiah)
2000

2001

2002

2003

2004

2005

2006

2007

2008

2009

2010

2011

2012
APBN-P

2013

Real

Real

Real

Real

Real

Real

Real

Real

Real

Real

Real

Real

APBN-P Real

APBN

108,9

176,0 199,5

230,9 267,8 331,8 396,0 470,1 622,4

601,3

694,4

819,8

968,3

930,5 1.134,3

57,1

94,6 101,9

115,0 119,5 175,5 208,8 238,4 327,5

317,6

357,0

431,1

513,7

464,7

584,9

i. PPh Migas

18,7

23,1

17,5

19,0

22,9

77,0

50,0

58,9

73,1

67,9

83,5

71,4

ii. PPh Non-Migas

38,4

71,5

84,4

96,1

96,6 140,4 165,6 194,4 250,5

267,6

298,2

358,0

445,7

381,3

513,5

35,2

56,0

65,2

77,1 102,6 101,3 123,0 154,5 209,6

193,1

230,6

277,8

336,1

337,6

423,7

4,5

5,2

6,2

8,8

11,8

16,2

20,9

23,7

25,4

24,3

28,6

29,9

29,7

29,0

27,3

1,4

1,6

2,1

2,9

3,4

3,2

6,0

5,6

6,5

8,0

(0,0)

11,3

17,4

23,2

26,3

29,2

33,3

37,8

44,7

51,3

56,7

66,2

77,0

83,3

95,0

92,0

6 Pajak Lainnya

0,8

1,4

1,5

1,7

1,9

2,1

2,3

2,7

3,0

3,1

4,0

3,9

5,6

4,2

6,3

1 Bea Masuk

6,7

9,0

10,3

10,9

12,4

14,9

12,1

16,7

22,8

18,1

20,0

25,3

24,7

28,3

27,0

2 Bea Keluar

0,3

0,5

0,2

0,2

0,3

0,3

1,1

4,2

13,6

0,6

8,9

28,9

23,2

21,2

31,7

URAIAN
A. Pajak Dalam Negeri
1 Pajak Penghasilan

2 PPN/PPnBM
3 PBB
4 BPHTB
5 Pendapatan Cukai

35,1

43,2

44,0

Penerimaan Perpajakan

115,9

185,5 210,1

242,0 280,6 347,0 409,2 491,0 658,7

619,9

723,3

873,9 1.016,2

980,1 1.193,0

- Penerimaan DJP

97,6

158,6 176,3

204,7 238,6 298,5 358,2 425,4 571,1

544,5

628,2

873,9

817,1

752,1

970,9

- Penerimaan DJBC

18,3

75,4

95,1

742,7

131,2

144,5

150,7

26,9

33,8

37,4

41,9

48,5

51,0

65,6

87,6

99
DIREKTORAT P-APBN

PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Boks 4.1
III.1
Boks
Penerimaan
Pajak
yang
DibagiHasilkan
hasilkan
Penerimaan Pajak Yang Dibagi
1. Menurut UU Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah pasal 13 ayat 1, penerimaan PPh Pasal
21 dan PPh Pasal 25/29 Pribadi harus dibagihasilkan sebesar 20% untuk
pemerintah daerah.
DBH Pajak = Penerimaan PPh Pasal 21 + Penerimaan PPh Pasal 25/29 OP x 20%

2. Menurut UU Nomor 39 Tahun 2007 Tentang Cukai pasal 66A ayat 1, Penerimaan
negara dari cukai hasil tembakau yang dibuat di Indonesia dibagikan kepada
provinsi penghasil cukai hasil tembakau sebesar 2% yang digunakan untuk
mendanai peningkatan kualitas bahan baku, pembinaan industri, pembinaan
lingkungan sosial, sosialisasi ketentuan di bidang cukai, dan/atau pemberantasan
barang kena cukai illegal
DBH Cukai = Penerimaan Cukai Tembakau x 2%

3. Berdasarkan UU No.33/2004, PBB merupakan jenis pajak pusat yang


dibagihasilkan ke daerah dengan rincian:
a. 16,2% untuk daerah provinsi yang bersangkutan dan disalurkan ke Rekening
Kas Umum Daerah provinsi;
b. 64,8% untuk daerah kabupaten/kota yang bersangkutan dan disalurkan ke
Rekening Kas Umum Daerah kabupaten/kota;
c. 9% untuk biaya pemungutan;
d. 6,5% dibagikan secara merata kepada seluruh daerah kabupaten dan kota; dan
e. 3,5% dibagikan sebagai insentif kepada daerah kabupaten dan kota yang
realisasi tahun sebelumnya mencapai/melampaui rencana penerimaan sektor
tertentu.
4. Berdasarkan UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah sebagai pengganti dari UU Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 34 Tahun
2000, PBB Sektor Perdesaan dan PBB Sektor Perkotaan dialihkan pajak pusat
menjadi pajak daerah selambat-lambatnya tanggal 1 Januari 2014. Akan tetapi
pemerintah daerah yang telah siap dengan infrastrukturnya dapat melaksanakan
kebijakan ini per 1 Januari 2011.
5. BPHTB per 1 januari 2011 telah dialihkan administrasinya dari pajak Pemerintah
pusat menjadi pajak daerah sesuai amanat UU Nomor 28 tahun 2009 tentang
PDRD. Oleh karena itu, sejak tahun 2011 penerimaan BPHTB sudah tidak dicatat
lagi dalam APBN.

100
DIREKTORAT P-APBN

PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

4.4.7

Penerimaan Negara Bukan Pajak

Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) merupakan salah satu sumber pendapatan negara, di
luar penerimaan perpajakan. PNBP telah mengalami beberapa kali perubahan klasifikasi sejalan
dengan jumlah dan kontribusinya dalam pendapatan negara. Sebelum tahun anggaran 2000,
PNBP dicatat terpisah dari penerimaan migas dan menjadi bagian dari penerimaan nonmigas.
Sejak tahun anggaran 2000, PNBP menampung juga penerimaan migas karena dominasi
penerimaan migas yang semakin menurun dalam penerimaan negara, dan peranannya diambil
alih oleh penerimaan perpajakan. Sejak tahun 2007, sejalan dengan perubahan status beberapa
rumah sakit Perjan dan satuan kerja (Satker), terdapat pos baru dalam PNBP yaitu pendapatan
Badan Layanan Umum.
Menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak,
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) adalah seluruh penerimaan Pemerintah pusat yang
tidak berasal dari penerimaan perpajakan.
Dasar hukum PNBP adalah:
1. Undang-Undang No. 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak;
2. Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 1997 tentang Jenis dan Penyetoran PNBP;
3. Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2004 tentang Tata Cara Penyampaian Rencana dan
Laporan Realisasi PNBP;
4. Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 2009 tentang Tata Cara Penentuan Jumlah, Pembayaran,
dan Penyetoran PNBP yang Terutang;
5. Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2010 tentang Pengajuan dan Penyelesaian Keberatan
atas Penetapan PNBP yang Terutang;
6. Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan
Umum.
7. Peraturan Pemerintah tentang jenis dan tarif atas jenis PNBP yang berlaku pada masingmasing kementerian/lembaga.
Berdasarkan jenisnya PNBP terdiri atas penerimaan dari sumber daya alam, bagian Pemerintah
atas laba Badan Usaha Milik Negara (BUMN), PNBP Lainnya, dan pendapatan Badan Layanan
Umum (BLU). Sedangkan dalam UU No. 20 Tahun 1997 PNBP dikelompokkan menjadi 7
kelompok yaitu:
1. Penerimaan yang bersumber dari pengelolaan dana pemerintah;
2. Penerimaan dari pemanfaatan sumber daya alam;
3. Penerimaan dari hasil-hasil pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan;
4. Penerimaan dari kegiatan pelayanan yang dilaksanakan Pemerintah;

101
DIREKTORAT P-APBN

PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

5. Penerimaan berdasarkan putusan pengadilan dan yang berasal dari pengenaan denda
administrasi;
6. Penerimaan berupa hibah yang merupakan hak Pemerintah;
7. Penerimaan lainnya yang diatur dalam undang-undang tersendiri.
PNBP SDA Migas
Penerimaan SDA migas merupakan bagian Pemerintah atas kegiatan usaha hulu yang
dilaksanakan berdasarkan Kontrak Production Sharing (KPS), setelah dikurangi faktor pengurang
berupa pajak-pajak dan pungutan lainnya. Penerimaan SDA migas sangat dipengaruhi oleh
perkembangan indikator ekonomi makro terutama harga minyak mentah (ICP), lifting, dan nilai
tukar. Sebelum tahun anggaran 2000, penerimaan SDA migas dicatat tersendiri dalam penerimaan
migas, terpisah dari PNBP. Pos penerimaan migas tersebut termasuk PPh migas. Sejak tahun
anggaran 2000, penerimaan SDA migas dicatat dalam PNBP, sedangkan PPh migas dicatat
tersendiri dalam penerimaan perpajakan. Sejak tahun anggaran 2007 penerimaan DMO
dikeluarkan dari penerimaan SDA migas, dan dicatat dalam kelompok PNBP lainnya. Sesuai
Undang-undang No. 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan
Pemerintah Daerah, penerimaan SDA migas dibagihasilkan ke daerah penghasil dengan proporsi
tertentu.
PNBP SDA Non-Migas
Penerimaan SDA nonmigas merupakan penerimaan yang berasal dari hasil pemanfaatan sumber
daya alam di luar minyak dan gas bumi. Sumber Penerimaan SDA nonmigas meliputi:
1.

Pendapatan pertambangan umum,

2.

Pendapatan kehutanan,

3.

Pendapatan perikanan, dan

4.

Pendapatan pertambangan panas bumi.

Pertambangan Umum
Pendapatan pertambangan umum adalah penerimaan yang berasal dari pemanfaatan sumber
daya alam berupa bahan galian, seperti batubara, emas, perak, intan, timah, tembaga, nikel,
aluminium, bijih besi, pasir besi, bauksit, dan lain-lain. Menurut Undang-Undang No. 33 Tahun
2004, pendapatan pertambangan umum dibagi ke daerah sesuai dengan proporsi tertentu.
Pendapatan pertambangan umum terbagi dalam beberapa jenis yaitu pendapatan iuran tetap yang
merupakan iuran yang dibayarkan oleh pemegang Kuasa Pertambangan (KP), Kontrak Karya
(KK), dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) kepada negara
sebagai imbalan atas kesempatan penyelidikan umum, eksplorasi atau eksploitasi pada suatu

102
DIREKTORAT P-APBN

PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

wilayah kuasa pertambangan. Selain itu, terdapat pendapatan royalti iuran yang dibayarkan oleh
pemegang KP, KK, dan PKP2B atas hasil yang diperoleh dari usaha pertambangan.
Pendapatan Kehutanan
Pendapatan kehutanan berasal dari pemanfatan hasil hutan berupa kayu maupun non kayu dan
penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan.
Pendapatan kehutanan meliputi:
1. Pendapatan dana reboisasi (DR),
2. Pendapatan provisi sumber daya hutan (PSDH),
3. Pendapatan iuran hak pengusahaan hutan (IHPH), serta
4. Pendapatan penggunaan kawasan hutan.
Menurut UU No. 33 Tahun 2004, pendapatan kehutanan dibagi ke daerah sesuai dengan proporsi
tertentu.
Pendapatan Perikanan
Pendapatan Perikanan adalah penerimaan yang berasal dari pungutan perikanan atas hak
pengusahaan dan/atau pemanfaatan sumber daya ikan yang harus dibayarkan kepada pemerintah
oleh perusahaan perikanan Indonesia yang melakukan usaha perikanan atau oleh perusahaan
perikanan asing yang melakukan usaha penangkapan ikan. Jenis Pendapatan perikanan terdiri
dari: Pungutan Pengusahaan Perikanan (PPP), Pungutan Hasil Perikanan (PHP), dan Pungutan
Perikanan Asing (PPA).
Pendapatan Panas Bumi
Menurut Undang-Undang No. 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi, Panas Bumi adalah sumber
energi panas yang terkandung di dalam air panas, uap air, dan batuan bersama mineral ikutan dan
gas lainnya yang secara genetik semuanya tidak dapat dipisahkan dalam suatu sistem panas bumi
dan untuk pemanfaatannya diperlukan proses penambangan. Pendapatan pertambangan panas
bumi merupakan penerimaan negara dari kegiatan usaha di bidang pertambangan panas bumi
yang berasal dari setoran bagian Pemerintah setelah dikurangi dengan kewajiban pembayaran
pajak-pajak (PPh Badan, PPN, PBB).
Pendapatan Bagian Pemerintah atas Laba BUMN
Pendapatan Bagian Pemerintah Atas Laba BUMN bersumber dari bagian pemerintah atas laba
bersih setelah pajak yang dihasilkan oleh BUMN dan perseroan terbatas lainnya. Laba yang
disetor ke APBN tahun berjalan (sering disebut sebagai deviden BUMN) adalah laba BUMN tahun
lalu setelah hasil RUPS. Badan Usaha Milik Negara/ BUMN adalah badan usaha yang seluruh
atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara (lebih dari 51%).

103
DIREKTORAT P-APBN

PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

PNBP Lainnya
PNBP Lainnya merupakan penerimaan kementerian negara/lembaga atas kegiatan layanan yang
diberikan kepada masyarakat sesuai dengan tugas dan fungsinya serta penerimaan lainnya di luar
penerimaan sumber daya alam, bagian laba BUMN, maupun pendapatan BLU.
Klasifikasi PNBP Lainnya
1. Pendapatan penjualan dan sewa
Pendapatan penjualan adalah pendapatan yang berasal dari aktifitas penjualan aset milik
negara (bangunan dan kendaraan), hasil alam (pertanian, pertambangan, dan perikanan),
penjualan lainnya yang merupakan hak dan milik negara (dokumen lelang, hasil sitaan,
informasi, penerbitan, film, survei, dan lain-lain) , serta penjualan dari kegiatan hulu migas
(Domestic Market Obligation).
Pendapatan sewa adalah semua pendapatan yang berasal dari aktifitas penyewaan yang
dilakukan oleh K/L dan Non K/L seperti sewa rumah dinas, gedung, gudang, tanah, serta
benda-benda bergerak dan tak bergerak lainnya.
2. Pendapatan jasa adalah semua pendapatan yang berasal dari aktifitas pelayanan publik yang
dilakukan oleh K/L dan non K/L seperti jasa kesehatan, jasa kantor urusan agama, pelayanan
pertanahan , jasa giro, jasa perbankan, jasa pengurusan dokumen, dan jasa kepolisian.
3. Pendapatan Bunga adalah semua pendapatan negara yang berasal dari bunga atas piutang
Pemerintah dan penerusan pinjaman.
4. Pendapatan Kejaksaan dan Peradilan adalah semua pendapatan Pemerintah yang berasal
dari kasus-kasus pengadilan yang ditangani Pemerintah, seperti legalisasi penandatanganan,
denda/tilang, pengesahan surat di bawah tangan,

ongkos perkara, penjualan hasil lelang

tindak pidana korupsi, dan lain-lain.


5. Pendapatan Pendidikan adalah semua pendapatan negara yang berasal dari jasa
penyelengaraan pendidikan, yaitu pendapatan uang pendidikan, uang ujian masuk, kenaikan
tingkat, dan akhir pendidikan, serta pendapatan uang ujian untuk menjalankan praktik.
6. Pendapatan gratifikasi dan uang sitaan hasil korupsi adalah semua pendapatan negara yang
berasal dari hasil korupsi yang telah ditetapkan untuk menjadi milik negara, baik ditetapkan
oleh pengadilan maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
7. Pendapatan iuran dan denda adalah pendapatan negara yang berasal dari iuran badan usaha
yang bergerak di bidang penyediaan dan pendistribusian BBM, serta pengangkutan gas bumi
melalui pipa.
8. Pendapatan lain-lain adalah komponen-komponen PNBP yang tidak terklasifikasikan dalam
komponen-komponen sebelumnya. Hal ini disebabkan karena komponen PNBP ini tidak selalu

104
DIREKTORAT P-APBN

PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

ada penerimaannya atau pola penerimaannya yang bersifat volatile (kadang tidak ada, kadang
ada dalam jumlah besar). Termasuk dalam PNBP lain-lain adalah penerimaan kembali belanja
tahun anggaran yang lalu, pendapatan pelunasan piutang nonbendahara, dan lain-lain
Penerimaan BLU
Penerimaan BLU adalah penerimaan yang berasal dari kegiatan pelayanan masyarakat yang
dilakukan oleh badan layanan umum (BLU). Badan Layanan Umum (BLU) adalah instansi di
lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa
penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan
dalam melakukan kegiatannya, didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas.
Salah satu tujuan didirikannya BLU adalah untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat
dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini di
dasarkan atas UU nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang disusun dengan
tujuan

utama

dalam

rangka

pembenahan

dan

penyempurnaan

pengelolaan

dan

pertanggungjawaban keuangan negara yang dicerminkan dalam bentuk anggaran pendapatan dan
belanja negara (APBN) dan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) agar sesuai
dengan kaidah-kaidah hukum administrasi keuangan negara serta best practice di dunia
internasional.
PNBP yang Dibagihasilkan kepada Daerah
Dana bagi hasil yang bersumber dari sumber daya alam (SDA) terdiri atas penerimaan SDA
minyak bumi dan gas bumi, penerimaan SDA kehutanan, penerimaan SDA pertambangan umum,
penerimaan SDA perikanan, dan penerimaan SDA panas bumi. Masing-masing penerimaan SDA
tersebut dibagihasilkan kepada daerah berdasarkan proporsi tertentu.
PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK
1. Penerimaan SDA
a. SDA Migas
b. SDA Non-migas
i) Pertambangan Umum
ii) Kehutanan
- Dana reboisasi
- PSDH
- IHPH
- Penggunaan Kawasan Hutan
iii) Perikanan
iv) Panas Bumi

DANA BAGI HASIL PNBP


Penerimaan SDA
Bagi hasil migas berdasarkana. SDA Migas
proporsi tertentu
b. SDA Non-migas
i) Pertambangan Umum
80%
ii) Kehutanan
- Dana reboisasi
40%
- PSDH
80%
- IHPH
- Penggunaan Kawasan Hutan
iii) Perikanan
80%
iv) Panas Bumi

2. Bagian Pemerintah atas Laba BUMN


3. PNBP Lainnya
4. Pendapatan BLU

Gambar 4.2 Dana Hasil Bagi PNBP

105
DIREKTORAT P-APBN

PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Tabel 4.9.
Realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak
Tahun Anggaran 2000-2010 (miliar rupiah)

Jenis Pendapatan

2000

2001

2002

2003

2005

2004

2006

2007

2008

2009

2010

2011

2012 2013 APBN

Penerimaan Negara Bukan Pajak 89.422,0 115.058,6 88.440,0 98.880,2 122.545,8 146.888,3 226.950,1 215.119,7 320.604,6 227.174,5 268.941,9 331.471,8 341.142,6 329.104,7
1. Penerimaan SDA

76.290,1 85.671,9 64.755,1 67.510,0 91.543,0 110.467,3 167.473,8 132.892,6 224.463,0 138.959,2 168.825,4 213.823,3 217.158,9 197.204,9

a. MIGAS
Minyak Bumi
Gas Bumi

66.661,0 81.041,0 60.011,0 61.501,9 85.259,0 103.762,0 158.086,1 124.783,7 211.617,0 125.752,0 152.733,2 193.490,6 198.311,1 174.868,5
50.953,0 58.949,6 47.685,9 42.969,1 63.059,8 72.822,3 125.145,4 93.604,5 169.022,2 90.056,0 111.814,9 141.303,5 150.847,2 120.917,9
15.707,9 22.091,3 12.325,1 18.532,8 22.199,2 30.939,8 32.940,7 31.179,2 42.594,7 35.696,0 40.918,3 52.187,1 47.463,9 53.950,6

b. NON-MIGAS
Pertambangan Umum
Kehutanan
Perikanan
Panas Bumi

9.629,1 4.630,9 4.744,1 6.008,2 6.284,0


856,9 2.319,7 1.457,0 1.981,5 2.548,8
8.719,3 2.242,9 3.130,0 3.715,1 3.411,6
52,9 68,3 157,1 311,6 323,6
-

6.705,2
3.190,5
3.249,4
265,4
-

9.387,7
6.781,4
2.409,5
196,9
-

8.108,9 12.846,0 13.207,3 16.092,2 20.332,8 18.847,8 22.336,5


5.877,9 9.511,3 10.369,4 12.646,8 16.369,8 15.274,1 17.599,0
2.114,8 2.315,5 2.345,4 3.009,7 3.216,5 3.074,9 4.154,0
116,3
77,8
92,0
92,0 183,8 150,0 180,0
- 941,4 400,4 343,8 562,7 348,8 403,5

2.Laba BUMN

4.017,8 8.836,7 9.760,2 12.616,6 9.817,5 12.835,2 21.450,6 23.222,5 29.088,4 26.049,6 30.096,9 28.184,0 30.776,3 33.500,0

3.PNBP Lainnya

9.114,1 20.550,1 13.924,7 18.753,5 21.185,2 23.585,8 38.025,7 56.873,4 63.319,0 53.796,1 59.428,6 69.360,5 72.799,4 77.991,7

4.BLU
4.5.

2.131,2

3.734,3

8.369,5 10.590,8 20.104,0 20.408,0 20.408,0

Pengertian Hibah

Hibah adalah pendapatan pemerintah dalam bentuk uang/barang atau jasa dari pemerintah
lainnya, perusahaan negara/daerah, masyarakat dan organisasi kemasyarakatan, bersifat tidak
wajib dan tidak mengikat serta tidak secara terus-menerus. Pos penerimaan hibah baru mulai ada
dalam APBN sejak APBN menggunakan struktur baru yaitu tahun 2000. Realisasinya
penerimaannya sendiri baru mulai ada pada tahun 2001. Pada awalnya penerimaan hibah hanya
dicatat realisasinya tetapi tidak dianggarkan dalam APBN. Akan tetapi, sehubungan dengan
adanya beberapa program Pemerintah yang dibiayai melalui hibah, penerimaan hibah mulai
dianggarkan pertama kali dalam APBN-P 2002.

106
DIREKTORAT P-APBN

PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Landasan hukum penerimaan hibah adalah:


1. Peraturan Pemerintah No 10 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman Luar Negeri
dan Penerimaan Hibah.
2. Peraturan Pemerintah 2 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman dan atau
Penerimaan Hibah serta Penerusan Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri.
3. Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2011 tentang Dana Perwalian.
4. Peraturan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Badan Perencanaan
Pembangunan nasional Nomor 5 Tahun 2006 tentang Tata Cara Perencanaan dan Pengajuan
Usulan serta Penilaian Kegiatan yang Dibiayai dari Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri.
5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 52 Tahun 2006 tentang tata cara pemberian hibah kepada
daerah.
6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 40 Tahun 2009 tentang Sistem Akuntansi Hibah.
7. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 151 Tahun 2011 tentang Tata Cara Penarikan Pinjaman
dan/atau Hibah Luar Negeri.
Hibah digunakan untuk mendukung program pembangunan nasional dan/atau mendukung
penanggulangan bencana alam dan bantuan kemanusiaan. Hibah dapat diterima apabila
memenuhi prinsip transparan, akuntabel, efisien dan efektif, kehati-hatian, tidak ada ikatan politik,
dan tidak memiliki muatan yang dapat mengganggu stabilitas keamanan negara.
Hibah dibagi berdasarkan jenis, bentuk, dan sumbernya. Berdasarkan jenisnya, hibah dibagi
menjadi dua jenis yaitu hibah yang direncanakan dan hibah yang tidak direncanakan. Hibah yang
direncanakan adalah hibah yang dilaksanakan melalui mekanisme perencanaan, sehingga hibah
ini dicatat penerimaannya dalam APBN. Sedangkan hibah yang tidak direncanakan adalah hibah
yang diberikan langsung oleh donor kepada excuting agency (K/L yang menerima hibah tanpa
melalui kas umum negara). Biasanya hibah langsung adalah hibah yang diberikan dalam bentuk
barang/jasa atau bukan uang tunai (non cash).
Berdasarkan bentuknya, hibah dibagi menjadi empat. Pertama adalah uang tunai di mana uang
tersebut disetor langsung ke rekening kas umum negara (RKUN) atau atau rekening lain yang
ditentukan oleh menteri sebagai bagian dari penerimaan APBN. Kedua adalah hibah dalam bentuk
uang, tetapi uang tersebut digunakan langsung untuk membiayai suatu kegiatan. Dalam hal ini,
hibah tersebut tidak masuk melalui rekening kas negara melainkan melalui dana perwalian (trust
fund). Ketiga adalah hibah dalam bentuk non tunai, yaitu hibah yang diberikan dalam bentuk
barang/jasa/surat berharga. Pemberian hibah ini sebagian besar dilakukan secara langsung oleh
donor kepada K/L sehingga dicantumkan dalam proses penganggaran tetapi di catat realisasinya.

107
DIREKTORAT P-APBN

PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Berdasarkan sumbernya hibah terdiri dari hibah yang berasal dari luar negeri dan dalam negeri.
Untuk hibah dalam negeri dapat berupa hibah yang diterima dari (a) lembaga keuangan dalam
negeri; (b) lembaga non-keuangan dalam negeri; (c) pemerintah daerah; (d) perusahaan asing
yang berdomisili dan melakukan kegiatan di wilayah Republik Indonesia; (e) lembaga lainnya; dan
(f) perorangan. Sedangkan untuk hibah yang sumbernya berasal dari luar negeri, merupakan
hibah yang diterima dari (a) negara asing; (b) lembaga di bawah PBB; (c) lembaga multilateral; (d)
lembaga keuangan asing; (e) lembaga non-keuangan asing; (f) lembaga keuangan nasional yang
berdomisili dan melakukan kegiatan usaha di luar wilayah Republik Indonesia; dan (g) perorangan.
Tabel berikut adalah perkembangan penerimaan dalam 10 tahun terakhir.
Tabel 4.10
Perkembangan Hibah, 2002-2013 (miliar rupiah)
Tahun

APBN

APBN-P

LKPP

2000

2001

478,2

2002

256,0

0,1

2003

340,1

467,7

2004

0,1

737,7

262,1

2005

750,0

7.455,1

1.304,8

2006

3.631,6

4.232,9

1.834,1

2007

2.669,0

3.823,3

1.697,7

2008

2.139,7

2.948,6

2.304,0

2009

938,8

1.006,5

1.666,6

2010

1.506,8

1.896,5

3.023,0

2011

3.739,5

4.662,1

4.801,7

2012

825,1

825,1

2013

4.483,6

108
DIREKTORAT P-APBN

PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

BAB V
BELANJA PEMERINTAH PUSAT

5.1 Pendahuluan
Kebijakan alokasi anggaran belanja pemerintah pusat, sebagai komponen dari belanja negara,
merupakan salah satu instrumen kebijakan fiskal yang sangat strategis di antara berbagai pilar
kebijakan fiskal lainnya dalam mencapai sasaran-sasaran pokok pembangunan nasional seperti
yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana
Kerja Pemerintah (RKP). Hal ini terutama karena melalui kebijakan dan alokasi anggaran belanja
pemerintah pusat, pemerintah dapat secara langsung melakukan intervensi anggaran (direct
budget intervention) untuk mencapai sasaran-sasaran program pembangunan yang ditetapkan
pemerintah.
RPJMN merupakan penjabaran visi, misi dan program Presiden selama 5 (lima) tahun, yang
ditempuh melalui strategi pokok yang dijabarkan dalam agenda pembangunan nasional, memuat
sasaran-sasaran pokok yang harus dicapai, arah kebijakan, dan program-program pembangunan.
Sementara itu, RKP merupakan dokumen perencanaan pembangunan nasional tahunan, yang
memuat prioritas pembangunan, rancangan kerangka ekonomi makro, serta program-program
kementerian negara/lembaga (K/L), lintas K/L, dan lintas wilayah. Oleh karena itu, RKP
mempunyai fungsi pokok: (i) menjadi acuan bagi seluruh komponen bangsa, karena memuat
seluruh kebijakan publik; (ii) menjadi pedoman bagi penyusunan APBN, karena memuat arah
kebijakan pembangunan nasional satu tahun; dan (iii) menciptakan kepastian kebijakan, karena
merupakan komitmen pemerintah.
Untuk menjamin tercapainya sasaran-sasaran pembangunan yang ditetapkan melalui pelaksanaan
serangkaian kebijakan di bidang belanja pemerintah pusat, maka diperlukan kesinambungan
antara perencanaan pembangunan dan penganggaran. Hal tersebut diatur dalam Undang-Undang
nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang nomor 25 tahun 2004
tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Pada satu sisi, Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional adalah satu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk
menghasilkan rencana-rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah, dan
tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara dan masyarakat di tingkat Pusat
dan Daerah. Di sisi lainnya, sistem penganggaran mencerminkan ketersediaan pendanaan bagi

DIREKTORAT P-APBN

109

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

pelaksanaan pembangunan berkenaan yang harus terjaga kelangsungannya (sustainable) dan


dilaksanakan secara berdaya guna dan berhasil guna.
Perencanaan pembangunan secara cakupan waktu terbagi dalam Jangka Panjang (20 tahun),
Jangka Menengah (5 tahun) dan Jangka Tahunan. Rencana Pembangunan Jangka Panjang
(RPJP) akan dijabarkan ke dalam Rencana Strategis Kementerian Negara/Lembaga (Renstra K/L)
untuk selanjutnya dirangkum ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) yang
memuat strategi pembangunan nasional, kebijakan umum, program kementerian negara/lembaga
dan lintas kementerian/lembaga. Renstra-KL dan RPJM selanjutnya dijabarkan ke dalam Rencana
Kerja Tahunan K/L (Renja-KL) yang selanjutnya dirangkum ke dalam Rencana Kerja Pemerintah
(RKP) yang memuat prioritas pembangunan, rencana kerja dan pendanaannya baik yang
dilaksanakan langsung oleh Pemerintah maupun yang ditempuh dengan mendorong partisipasi
masyarakat. Sampai dengan pertengah tahun 2012, Pemerintah telah menetapkan 2 RPJMN,
yaitu RPJMN 2004-2009, dan RPJMN 2010-2014, serta 9 RKP, sejak RKP 2005 sampai dengan
RKP 2013.
Untuk melaksanakan program-program dalam RKP tersebut, dibutuhkan suatu strategi
penganggaran yang berkelanjutan (sustainable) dan efektif merefleksikan fungsi-fungsi alokasi,
distribusi, dan stabilitas, yang antara lain dituangkan dalam bentuk kebijakan di bidang belanja
pemerintah pusat. Dengan demikian, sistem penganggaran merupakan strategi pemerintah untuk
menerjemahkan kebijakan yang telah tertuang dalam dokumen perencanaan pembangunan
nasional kedalam strategi pembiayaan pembangunan tersebut. Sistem penganggaran yang efektif
akan menjamin terselenggaranya kehidupan bernegara yang optimal dari sisi pengerahan sumber
daya pendanaan, baik pengelolaan penerimaan negara, efektivitas kebijakan pengeluaran maupun
efisiensi pemenuhan kebutuhan pembiayaan anggaran.
Tema Pembangunan dan Prioritas Pembangunan
Pembangunan yang dilaksanakan oleh Pemerintah harus berpedoman kepada visi dan misi
pembangunan nasional yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN). Pemerintah sendiri telah melaksanakan RPJMN 2004-2009 dan kini tengah berada
dalam tahun ketiga RPJMN 2010-2014. RPJMN 2010-2014 telah menggariskan bahwa Visi
Pembangunan

2010-2014

adalah

TERWUJUDNYA

INDONESIA

YANG

SEJAHTERA,

DEMOKRATIS, DAN BERKEADILAN. Untuk mewujudkan visi ini juga telah ditetapkan 3 (tiga)
misi yang harus diemban yakni:
Misi 1: Melanjutkan Pembangunan Menuju Indonesia yang Sejahtera
Misi 2: Memperkuat Pilar-Pilar Demokrasi
Misi 3: Memperkuat Dimensi Keadilan di Semua Bidang

DIREKTORAT P-APBN

110

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Sebagai penjabaran dari RPJMN, baik itu RPJMN 2004-2009 maupun kini RPJMN 2010-2014,
maka tema pembangunan nasional disusun setiap tahunnya dengan memperhatikan realisasi
pembangunan tahun sebelumnya dan perkiraan capaian tahun berjalan, serta permasalahan dan
tantangan yang akan dihadapi. Selanjutnya, tema pembangunan ini akan menjiwai pelaksanaan
prioritas pembangunan yang digariskan dalam RPJMN. Tema pembangunan dan prioritas
pembangunan nasional tersebut dituangkan dalam dokumen Rencana Kerja Pemerintah (RKP).
Dengan menetapkan tema pembangunan dan prioritas pembangunan nasional setiap tahunnya,
diharapkan pembangunan yang dilaksanakan dapat berjalan sesuai dengan arah yang diinginkan
untuk dapat mencapai sasaran-sasaran pembangunan yang telah direncanakan.
Perkembangan tema pembangunan dan prioritas nasional yang tertuang dalam RKP tahun 20052012 dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel 5.1 Tema Pembangunan dan Prioritas Nasional
Tahun

Tema Pembangunan

2012

PERCEPATAN DAN PERLUASAN


PERTUMBUHAN EKONOMI YANG
INKLUSIF DAN BERKEADILAN BAGI
PENINGKATAN KESEJAHTERAAN
RAKYAT

2011

PERCEPATAN PERTUMBUHAN EKONOMI


YANG BERKEADILAN DIDUKUNG OLEH
PEMANTAPAN TATAKELOLA DAN
SINERGI PUSAT DAERAH

Prioritas Nasional
11 Prioritas Nasional, yaitu:
1. reformasi birokrasi dan tata kelola;
2. pendidikan;
3. kesehatan;
4. penanggulangan kemiskinan;
5. ketahanan pangan;
6. infrastruktur;
7. iklim investasi dan iklim usaha
8. energi;
9. lingkungan hidup dan pengelolaan bencana;
10. daerah tertinggal, terdepan, terluar, dan pasca-konflik;
11. kebudayaan, kreativitas, dan inovasi teknologi;
3 Prioritas Nasional Lainnya, yaitu:
12. prioritas lainnya di bidang politik, hukum dan
keamanan;
13. prioritas lainnya di bidang perekonomian; dan
14. prioritas lainnya di bidang kesejahteraan rakyat

2010

PEMULIHAN PEREKONOMIAN NASIONAL


DAN PEMELIHARAAN KESEJAHTERAAN
RAKYAT

1.Pemeliharaan Kesejahteraan Rakyat, serta Penataan


Kelembagaan dan Pelaksanaan Sistem Perlindungan
Sosial
2.Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia
3.Pemantapan Reformasi Birokrasi dan Hukum, serta
Pemantapan Demokrasi dan Keamanan Nasional
4.Pemulihan Ekonomi yang Didukung oleh Pembangunan
Pertanian, Infrastruktur, dan Energi
5.Peningkatan Kualitas Pengelolaan Sumber Daya Alam
dan Kapasitas Penanganan Perubahan Iklim

DIREKTORAT P-APBN

111

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

2009

PENINGKATAN KESEJAHTERAAN
RAKYAT DAN PENGURANGAN
KEMISKINAN

1. Peningkatan pelayanan dasar dan pembangunan


pedesaan
2. Percepatan pertumbuhan yang berkualitas dengan
memperkuat daya tahan ekonomi yang didukung oleh
pembangunan pertanian, infrastruktur, dan energi
3. Peningkatan upaya anti korupsi, reformasi birokrasi,
serta pemantapan demokrasi dan keamanan dalam
negeri

2008

PERCEPATAN PERTUMBUHAN EKONOMI


UNTUK MENGURANGI KEMISKINAN DAN
PENGANGGURAN

1. Peningkatan Investasi, Ekspor, dan Kesempatan Kerja;


2. Revitalisasi Pertanian, Perikanan, Kehutanan, dan
Pembangunan Perdesaan;
3. Percepatan Pembangunan Infrastruktur dan Peningkatan
Pengelolaan Energi;
4. Peningkatan Akses dan Kualitas Pendidikan dan
Kesehatan;
5. Peningkatan Efektivitas Penanggulangan Kemiskinan;
6. Pemberantasan Korupsi dan Percepatan Pelaksanaan
Reformasi Birokrasi;
7. Penguatan Kemampuan Pertahanan dan Pemantapan
Keamanan Dalam Negeri;
8. Penanganan Bencana, Pengurangan Risiko Bencana,
dan Peningkatan Pemberantasan Penyakit Menular

2007

MENINGKATKAN KESEMPATAN KERJA


DAN MENANGGULANGI KEMISKINAN
DALAM RANGKA MENINGKATKAN
KESEJAHTERAAN RAKYAT

1. Penanggulangan Kemiskinan;
2. Peningkatan Kesempatan Kerja, Investasi, dan Ekspor;
3. Revitalisasi Pertanian dalam arti luas dan Pembangunan
Perdesaan;
4. Peningkatan Aksesibilitas dan Kualitas Pendidikan dan
Kesehatan;
5. Penegakan Hukum dan HAM, Pemberantasan Korupsi,
dan Reformasi Birokrasi;
6. Penguatan Kemampuan Pertahanan, Pemantapan
Keamanan dan Ketertiban, serta Penyelesaian Konflik;
7. Mitigasi dan Penanggulangan Bencana;
8. Percepatan Pembangunan Infrastruktur; serta
9. Pembangunan Derah Perbatasan dan Wilayah Terisolir.

2006

MENYELESAIKAN REFORMASI
MENYELURUH UNTUK MENINGKATKAN
KESEJAHTERAAN RAKYAT

1. Penanggulangan Kemiskinan dan Kesenjangan;


2. Peningkatan Kesempatan Kerja, Investasi, dan Ekspor;
3. Revitalisasi Pertanian dan Perdesaan;
4. Peningkatan Aksesibilitas dan Kualitas Pendidikan dan
Kesehatan;
5. Penegakan Hukum, Pemberantasan Korupsi, dan
Reformasi Birokrasi;
6. Penguatan Kemampuan Pertahanan, Pemantapan
Keamanan dan Ketertiban, serta Penyelesaian Konflik;
7. Rehabilitasi dan Rekonstruksi Nanggroe Aceh
Darussalam dan Nias (Sumatera Utara);

DIREKTORAT P-APBN

112

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

2005

1. MEMPERCEPAT REFORMASI;
2. MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN RAKYAT; SERTA
3. MEMPERKOKOH KESATUAN DAN PERSATUAN BANGSA DALAM KERANGKA NEGARA
KESATUAN REPUBLIK INDONESIA.

5.2 Perkembangan Struktur Belanja Pemerintah Pusat


Era Indische Comptabiliteits Wet (ICW)
Pada masa Kabinet Ampera, awal pemerintahan Orde Baru, diperkenalkan untuk pertama kalinya
kebijakan Anggaran Berimbang dan Dinamis. Kebijakan ini dibuat dalam rangka mengatasi krisis
perekonomian akibat hiper inflasi yang mencapai 650 persen pada pertengahan tahun 1966. Hal
tersebut disebabkan oleh defisit APBN yang sangat besar dan dibiayai oleh pencetakan uang.
Karena itu, APBN berimbang dan dinamis diciptakan dengan tujuan menghilangkan defisit
anggaran.
Dalam anggaran berimbang dan dinamis, struktur APBN terdiri dari anggaran penerimaan dan
anggaran belanja. Pada sisi penerimaan dicatat penerimaan dari dalam negeri dan penerimaan
dari luar negeri (pinjaman), sedangkan sisi pengeluaran terdiri dari belanja rutin dan belanja
pembangunan. Belanja rutin dibiayai dengan menggunakan penerimaan dalam negeri, dan belanja
pembangunan dibiayai menggunakan penerimaan luar negeri sehingga tercipta internal balance
dalam APBN. Disiplin tersebut tidak dapat dilanggar. Belanja rutin hanya disediakan sepanjang
ada dana dari penerimaan dalam negeri, dan belanja pembangunan dapat dilakukan apabila
terdapat penerimaan bantuan/pinjaman/utang luar negeri.
Kebijakan anggaran berimbang dan dinamis berjalan hingga tahun 2000. Sejak tahun 2001 prinsip
anggaran yang digunakan adalah anggaran surplus/defisit. Sejalan dengan itu, format dan struktur
APBN berubah dari T-Account menjadi

I-Account. Belanja negara menampung seluruh

pengeluaran negara, yang terdiri dari (1) belanja pemerintah pusat, yang meliputi pengeluaran
rutin dan pengeluaran pembangunan, dan (2) belanja untuk daerah, yang meliputi dana
perimbangan dan dana otonomi khusus dan penyeimbang/penyesuaian. Selisih antara
pendapatan negara dan hibah dengan belanja negara akan berupa surplus/defisit anggaran. Guna
menutup defisit anggaran maka diperlukan pembiayaan yang bersumber dari luar pendapatan
negara dan hibah, yang antara lain bersumber dari pembiayaan dalam negeri, dan pembiayaan
luar negeri.

DIREKTORAT P-APBN

113

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Sesuai dengan hal tersebut, GBHN 1999 2004 antara lain mengamanatkan hal-hal sebagai
berikut:

Pengembangan kebijakan fiskal dengan memperhatikan prinsip transparansi, disiplin, keadilan,


efisiensi,

dan

efektivitas,

untuk

menambah

penerimaan

negara

dan

mengurangi

ketergantungan dana dari luar negeri

Mengoptimalkan penggunaan pinjaman luar negeri pemerintah untuk kegiatan ekonomi


produktif yang dilaksanakan secara transparan, efektif, dan efisien. Mekanisme dan prosedur
pinjaman luar negeri harus sesuai dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dan diatur
dengan undang-undang

Menyehatkan APBN dengan mengurangi defisit anggaran melalui peningkatan disiplin


anggaran, pengurangan subsidi dan pinjaman luar negeri secara bertahap, peningkatan
penerimaan pajak progresif yang adil dan jujur, serta penghematan pengeluaran.

Dalam rangka menetapkan perencanaan yang memadai, antara lain dilakukan melalui kebijakan
dalam sistem biaya, yaitu dalam melaksanakan belanja negara dilakukan standardisasi komponen
kegiatan termasuk harga satuannya, antara lain:
1. Standardisasi harga satuan digunakan untuk menyusun pembiayaan kegiatan-kegiatan yang
diusulkan dalam dokumen anggaran.
2. Dalam penyusunan standardisasi harga satuan, sedapat mungkin menggunakan data dasar
yang bersumber dari penerbitan resmi Badan Pusat Statistik, departemen/lembaga, dan
pemerintah daerah.
3. Penetapan standardisasi perlu dilakukan secara berkala oleh:
a. Menteri Keuangan dengan memperhatikan pertimbangan menteri/pimpinan lembaga terkait
untuk standardisasi harga satuan umum, satuan biaya langsung personel dan nonpersonel
untuk kegiatan jasa konsultasi
b. Menteri/pimpinan

lembaga

untuk

standardisasi

harga

satuan

pokok

kegiatan

departemem/lembaga yang bersangkutan


c. Gubernur/bupati/walikota dengan memperhatikan pertimbangan dari instansi terkait untuk
standardisasi harga satuan pokok kegiatan daerah provinsi/kabupaten /kota yang
bersangkutan, dan
d. Bupati/walikota untuk standardisasi harga satuan bangunan gedung negara untuk
keperluan dinas, seperti kantor, rumah dinas, gudang, rumah sakit, gedung sekolah, pagar,
dan bangunan fisik lainnya.

DIREKTORAT P-APBN

114

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Era Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara


Sejak tahun 2004, telah dimulai langkah reformasi di bidang pengelolaan keuangan negara,
dengan diberlakukannya satu paket perundang-undangan bidang keuangan negara, yaitu (1)
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, (2) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan (3) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004
tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara disusun untuk mengakomodasi
berbagai perkembangan dalam sistem kelembagaan, pengelolaan keuangan negara, dan
mewujudkan sistem pengelolaan fiskal yang berkesinambungan. Undang-undang tersebut
menetapkan prinsip-prinsip pengelolaan keuangan negara sebagai dasar pelaksanaan reformasi
manajemen keuangan pemerintahan.
Salah satu hal yang diatur terkait dengan struktur belanja negara, tercermin pada pasal 11 ayat (5)
UU 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, belanja negara dirinci menurut organisasi, fungsi,
dan jenis belanja. Perubahan struktur meliputi perubahan anggaran belanja negara yang
sebelumnya terdiri dari anggaran belanja rutin dan anggaran belanja pembangunan menjadi
anggaran terpadu (unified budget). Anggaran belanja terpadu itu diwujudkan dalam bentuk
penyatuan anggaran belanja rutin dengan anggaran belanja pembangunan dalam APBN yang
selama ini dipisahkan, menjadi satu format anggaran belanja pemerintah pusat yang
komprehensif.
Tujuan perubahan format adalah sebagai berikut. Pertama, meningkatkan transparansi dan
akuntabilitas pengelolaan belanja negara melalui (a) minimalisasi duplikasi rencana kerja dan
penganggaran dalam belanja negara, dan (b) meningkatkan keterkaitan antara keluaran (output)
dan hasil (outcomes) yang dicapai dengan penganggaran organisasi. Kedua, menyesuaikan
dengan klasifikasi yang digunakan secara internasional.
Secara ringkas, beberapa perubahan pokok sebagai akibat dari penerapan 2 hal sebagaimana di
atas, dapat diikuti dalam persandingan format lama dan format baru berikut.

DIREKTORAT P-APBN

115

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Tabel 5.2 Perubahan Format Belanja Pemerintah Pusat


Format Lama

Format Baru

Klasifikasi Jenis Belanja


Dual Budgeting
Belanja pusat terdiri 6 jenis belanja
(termasuk belanja pembangunan)

Klasifikasi Jenis Belanja


Unified Budgeting
Belanja pusat terdiri dari 8 jenis belanja

Klasifikasi Organisasi
Klasifikasi Organisasi
Tidak tercantum dalam NK dan UU APBN
Dengan organisasi pengguna anggaran
tetapi hanya tercantum dalam buku satuan
belanja negara tercantum dalam NK dan UU
3 yang ditetapkan dengan Keppres
APBN.
Jumlah
kementerian
negara/lembaga
disesuaikan dengan yang ada
Klasifikasi Sektor
Klasifikasi Fungsi
terdiri atas 20 sektor dan 50 subsektor
terdiri atas 11 fungsi dan 79 subfungsi
Program merupakan rincian dari sektor
Program pada masing-masing kementerian
pada pengeluaran rutin dan pembangunan
negara/lembaga dikompilasi sesuai dengan
fungsinya
Nama-nama program antra pengeluaran
Nama-nama program telah disesuaiakan
rutin dan pengeluaran pembangunan agak
dengan unified budget
berbeda
Dasar Alokasi
Alokasi anggaran berdasarkan
subsektor dan program

sektor

Dasar Alokasi
Alokasi anggaran berdasarkan program
kementerian negara/lembaga

Konversi belanja negara menurut klasifikasi ekonomi dari format lama ke format baru dapat dilihat
pada Bab I tabel 1.3.
5.3 Reformasi Manajemen Keuangan Negara
Seiring dengan ditetapkannya paket perundang-undangan di bidang keuangan negara, yaitu: (1)
Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, (2) Undang-undang Nomor 1
Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan (3) Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004
tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, Pemerintah telah
memulai langkah reformasi manajemen keuangan negara pada keseluruhan aspek pengelolaan
keuangan negara, yang mencakup penyusunan anggaran, pelaksanaan anggaran, dan
pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran. Pelaksanaan reformasi dimaksud diharapkan dapat
menjadikan pengelolaan keuangan negara menjadi lebih mandiri, transparan, dan akuntabel. Hal
ini penting, sebagai upaya untuk meluruskan kembali tujuan dan fungsi anggaran secara sungguhsungguh, yang pada akhirnya akan meningkatkan kualitas pengelolaan anggaran.
Dalam bidang penyusunan anggaran, dalam upaya menjunjung tinggi prinsip-prinsip tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance), perubahan dilakukan atas penyelenggaraan sistem
penganggaran, yang dilakukan melalui 3 pendekatan, yaitu:

DIREKTORAT P-APBN

116

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

a. Penganggaran Terpadu (Unified Budgeting), yaitu penyusunan anggaran yang dilakukan


secara terintegrasi antar program/kegiatan dan jenis belanja pada kementerian/lembaga
beserta seluruh satuan kerja yang bertanggungjawab terhadap aset dan kewajiban yang
dimilikinya. Hal mendasar yang dilakukan adalah penyatuan anggaran rutin dan pembangunan
yang bertujuan, antara lain: (1) agar tidak terjadi duplikasi anggaran yang disebabkan kurang
tegasnya pemisahan antara kegiatan operasional dengan proyek, khususnya proyek-proyek
nonfisik; (2) memudahkan penyusunan anggaran berbasis kinerja yang akan diterapkan dalam
beberapa tahun ke depan, guna memperjelas keterkaitan antara output/outcome yang dicapai
dengan penganggaran organisasi; (3) memberikan gambaran yang objektif dan proporsional
mengenai kegiatan keuangan pemerintah; serta (4) meningkatkan kredibilitas statistik
keuangan pemerintah, dengan mengacu pada format keuangan pemerintah sesuai standar
internasional.
b. Penganggaran Berbasis Kinerja (Performance Based Budgeting), yaitu penyusunan anggaran
yang dilakukan dengan memperhatikan keterkaitan antara pendanaan dengan keluaran
(output) dan hasil (outcome) yang diharapkan, termasuk efisiensi dalam pencapaian hasil dan
keluaran tersebut;
c. Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (Medium Term Expenditure Framework), yaitu
perencanaan penganggaran yang memperhitungkan kebutuhan anggaran dengan perspektif
lebih dari satu tahun
Dengan demikian, sistem penganggaran yang dilaksanakan diharapkan dapat menjamin: (1)
Tersedianya

pendanaan

bagi

program-program

pemerintah

secara

berkesinambungan

(sustainable) yang dialokasikan berdasarkan jenis belanja secara efektif dan efisien, baik yang
bersifat komitmen maupun bersifat kebijakan yang sesuai dengan skala prioritas (Rencana
strategi/RKP) dengan target/sasaran yang jelas dan terukur;dan (2) Akuntabilitas dalam mencapai
target dan sasaran program serta dalam menggunakan sumber daya, yang tercermin dalam
Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) dan Laporan Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP)
yang akuntabel.
Sementara itu, dalam bidang pelaksanaan anggaran, perubahan dilakukan melalui pembagian
kewenangan yang lebih jelas dalam pengelolaan keuangan antara menteri teknis dan Menteri
Keuangan. Pembagian kewenangan yang baru ini memberikan jaminan (1) terlaksananya
mekanisme saling uji (check and balance) dalam pelaksanaan pengeluaran negara; dan (2)
kejelasan akuntabilitas Menteri Keuangan sebagai Bendahara Umum Negara dan menteri teknis
sebagai Pengguna Anggaran. Pembagian kewenangan ini memberikan pula fleksibilitas kepada
menteri teknis, sebagai Pengguna Anggaran, untuk mengatur penggunaan dana anggaran

DIREKTORAT P-APBN

117

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

kementeriannya secara efisien dan efektif dalam rangka optimalisasi kinerja kementeriannya untuk
menghasilkan output yang telah ditetapkan.
Selanjutnya, di bidang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN, Pemerintah akan menyajikan
laporan yang lebih lengkap dan akurat dalam waktu yang relatif singkat. Laporan keuangan
tersebut meliputi laporan Realisasi Anggaran, Neraca dan Laporan Arus Kas, yang disusun dan
disajikan berdasarkan akuntansi pemerintah. Sehubungan dengan itu, Pemerintah telah
menyiapkan standar akuntansi pemerintahan dengan mengacu kepada international public sector
accounting standard (IPSAS). Selain itu, untuk menjamin pengelolaan keuangan negara secara
transparan dan bertanggung jawab, berdasarkan UU Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung
Jawab Keuangan Negara, Badan Pemeriksa Keuangan berwenang untuk melakukan pemeriksaan
atas pelaksanaan pengelolaan keuangan negara dan pertanggungjawaban keuangan negara.
Prinsip pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri tersebut sejalan
dengan Codes of Good Practices on Fiscal Transparency, yang diterbitkan oleh Fiscal Affairs
Department, International Monetary Fund, yang meliputi (i) Clarity of Roles and Responsibilities, (ii)
Public Availability of Information, (iii) Open Budget Preparation, Execution, and Reporting, dan (iv)
Assurances of Integrity.
5.4 Klasifikasi Belanja Pemerintah Pusat
Salah satu implementasi pelaksanaan unified budget adalah pengklasifikasian belanja pemerintah
pusat menurut organisasi, fungsi, dan jenis belanja (klasifikasi ekonomi). Hal tersebut diatur dalam
pasal 11 ayat (5) Undang-undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, belanja
negara dirinci menurut organisasi, fungsi, dan jenis belanja. Rincian belanja negara menurut
organisasi disesuaikan dengan susunan kementerian negara/lembaga pemerintah pusat.
Sedangkan rincian belanja negara menurut fungsi terdiri dari: (1) pelayanan umum, (2)
pertahanan, (3) ketertiban dan keamanan, (4) ekonomi, (5) lingkungan hidup, (6) perumahan dan
fasilitas umum, (7) kesehatan, (8) pariwisata dan budaya, (9) agama, (10) pendidikan, dan (11)
perlindungan sosial. Sementara itu, rincian belanja negara menurut jenis belanja (sifat ekonomi),
terdiri dari: (1) belanja pegawai, (2) belanja barang, (3) belanja modal, (4) pembayaran bunga
utang, (5) subsidi, (6) belanja hibah, (7) bantuan sosial, dan (8) belanja lain-lain.
Rincian belanja pemerintah pusat menurut organisasi dipengaruhi oleh perkembangan
susunan kementerian negara/lembaga, perkembangan jumlah bagian anggaran, serta perubahan
nomenklatur atau pemisahan suatu unit organisasi dari organisasi induknya, atau penggabungan
organisasi. Setelah beberapa kali dilakukan perubahan dan penyempurnaan, hingga saat ini
terdapat 86 organisasi K/L, terdiri dari: (i) 37 kementerian, (ii) 37 lembaga pemerintah, (iii) 6
lembaga negara, dan (iv) 6 lembaga nonstruktural. Organisasi K/L dimaksud pembentukannya

DIREKTORAT P-APBN

118

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

ditetapkan melalui Keputusan Presiden dan telah mempunyai kode bagian anggaran sendiri.
Selain dialokasikan melalui K/L, belanja pemerintah pusat juga dialokasikan melalui organisasi
Bendahara Umum Negara (BUN), yang antara lain didalamnya termasuk alokasi pembayaran
bunga utang, subsidi, belanja hibah, dan belanja lain-lain.
Rincian belanja pemerintah pusat menurut fungsi merupakan reklasifikasi atas programprogram yang dalam format sebelumnya merupakan rincian dari sektor/subsektor. Klasifikasi
menurut fungsi (dan subfungsi) merupakan pengelompokkan dari program-program kementerian
negara/lembaga dan hanya merupakan alat analisis (tools of analysis) yang digunakan untuk
menganalisa fungsi-fungsi yang telah, sedang dan akan dilaksanakan oleh Pemerintah sesuai
dengan international best practices. Klasifikasi menurut fungsi yang diterapkan dalam sistem
penganggaran di Indonesia, telah mengacu pada classification of the functions of government
(COFOG) yang disusun oleh United Nations Development Programme (UNDP) dan diadopsi
Government Finance Statistics Government Finance Statistics (GFS) manual 2001 International
Monetary Fund (IMF), dengan sedikit modifikasi berupa pemisahan fungsi agama dari fungsi
rekreasi, budaya dan agama (recreation, culture, and religion). Saat ini, terdapat 11 fungsi dan 69
subfungsi, sebagaimana disajikan dalam tabel berikut.

DIREKTORAT P-APBN

119

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Tabel 5.3
Klasifikasi Menurut Fungsi
01 PELAYANAN UMUM
01.01 LEMBAGA EKSEKUTIF DAN LEGISLATIF, MASALAH KEUANGAN DAN FISKAL, SERTA URUSAN LUAR NEGERI
01.03 PELAYANAN UMUM
01.04 PENELITIAN DASAR DAN PENGEMBANGAN IPTEK
01.05 PINJAMAN PEMERINTAH
01.06 PEMBANGUNAN DAERAH
01.07 LITBANG PELAYANANAN UMUM
01.90 PELAYANAN UMUM LAINNYA
02 PERTAHANAN
02.01 PERTAHANAN NEGARA
02.02 DUKUNGAN PERTAHANAN
02.04 LITBANG PERTAHANAN
03 KETERTIBAN DAN KEAMANAN
03.01 KEPOLISIAN
03.02 PENANGGULANGAN BENCANA
03.03 PEMBINAAN HUKUM
03.04 PERADILAN
03.06 LITBANG KETERTIBAN DAN KEAMANAN
03.90 KETERTIBAN DAN KEAMANAN LAINNYA
04 EKONOMI
04.01 PERDAGANGAN, PENGEMBANGAN USAHA, KOPERASI DAN UKM
04.02 TENAGA KERJA
04.03 PERTANIAN, KEHUTANAN, PERIKANAN DAN KELAUTAN
04.04 PENGAIRAN
04.05 BAHAN BAKAR DAN ENERGI
04.06 PERTAMBANGAN
04.07 INDUSTRI DAN KONSTRUKSI
04.08 TRANSPORTASI
04.09 TELEKOMUNIKASI
04.10 LITBANG EKONOMI
04.90 EKONOMI LAINNYA
05 LINGKUNGAN HIDUP
05.01 MANAJEMEN LIMBAH
05.03 PENANGGULANGAN POLUSI
05.04 KONSERVASI SUMBERDAYA ALAM
05.05 TATA RUANG DAN PERTANAHAN
05.90 LINGKUNGAN HIDUP LAINNYA
06 PERUMAHAN DAN FASILITAS UMUM
06.01 PEMBANGUNAN PERUMAHAN
06.02 PEMBERDAYAAN KOMUNITAS PERMUKIMAN
06.03 PENYEDIAAN AIR MINUM
06.90 PERUMAHAN DAN FASILITAS UMUM LAINNYA
07 KESEHATAN
07.01 OBAT DAN PERBEKALAN KESEHATAN
07.02 PELAYANAN KESEHATAN PERORANGAN
07.03 PELAYANAN KESEHATAN MASYARAKAT
07.04 KEPENDUDUKAN DAN KELUARGA BERENCANA
07.05 LITBANG KESEHATAN
07.90 KESEHATAN LAINNYA
08 PARIWISATA DAN BUDAYA
08.01 PENGEMBANGAN PARIWISATA DAN BUDAYA
08.03 PEMBINAAN PENERBITAN DAN PENYIARAN
08.04 LITBANG PARIWISATA DAN BUDAYA
08.05 PEMBINAAN OLAHRAGA PRESTASI
08.90 PARIWISATA DAN BUDAYA LAINNYA
09 AGAMA
09.01 PENINGKATAN KEHIDUPAN BERAGAMA
09.02 KERUKUNAN HIDUP BERAGAMA
09.03 LITBANG AGAMA
09.90 PELAYANAN KEAGAMAAN LAINNYA
10 PENDIDIKAN
10.01 PENDIDIKAN ANAK USIA DINI
10.02 PENDIDIKAN DASAR
10.03 PENDIDIKAN MENENGAH
10.04 PENDIDIKAN NON-FORMAL DAN INFORMAL
10.05 PENDIDIKAN KEDINASAN
10.06 PENDIDIKAN TINGGI
10.07 PELAYANAN BANTUAN TERHADAP PENDIDIKAN
10.08 PENDIDIKAN KEAGAMAAN
10.09 LITBANG PENDIDIKAN
10.10 PEMBINAAN KEPEMUDAAN DAN OLAH RAGA
10.90 PENDIDIKAN LAINNYA
11 PERLINDUNGAN SOSIAL
11.01 PERLINDUNGAN DAN PELAYANAN SOSIAL ORANG SAKIT DAN CACAT
11.02 PERLINDUNGAN DAN PELAYANAN SOSIAL LANSIA
11.04 PERLINDUNGAN DAN PELAYANAN SOSIAL ANAK-ANAK DAN KELUARGA
11.05 PEMBERDAYAAN PEREMPUAN
11.08 BANTUAN DAN JAMINAN SOSIAL
11.09 LITBANG PERLINDUNGAN SOSIAL
11.90 PERLINDUNGAN SOSIAL LAINNYA

DIREKTORAT P-APBN

120

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Rincian belanja pemerintah pusat menurut jenis belanja (klasifikasi ekonomi) merupakan
pengelompokkan belanja pusat berdasarkan prinsip-prinsip akuntansi dengan mengacupada
manual GFS manual 2001. Sebelum tahun 2005, belanja pemerintah pusat dibagi atas belanja
rutin (belanja pegawai, belanja barang, pembayaran bunga utang, belanja subsidi, dan belanja
lain-lain)

dan

belanja

pembangunan

(pembiayaan

proyek

dan

pembiayaan

Pengklasifikasian atas belanja rutin dan pembangunan tersebut bertujuan untuk

program).

memberikan

penekanan pada arti pentingnya anggaran pembangunan, yang dianggap memberikan dampak
yang lebih besar terhadap pertumbuhan ekonomi. Namun dalam pelaksanaannya, telah
menimbulkan peluang terjadinya duplikasi, penumpukan, dan penyimpangan anggaran. Sejak
tahun 2005, anggaran belanja pemerintah pusat dalam APBN terdiri atas belanja pegawai, belanja
barang, belanja modal, pembayaran bunga utang, subsidi, belanja hibah, bantuan sosial, dan
belanja lain-lain.
5.5 Kebijakan Belanja Pemerintah Pusat 2010-2013
Kebijakan APBN 2010-2013 diarahkan sesuai dengan RPJMN ke-2 ( 2010-2014) yang ditujukan
untuk lebih memantapkan penataan kembali Indonesia di segala bidang dengan menekankan
upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia termasuk pengembangan kemampuan ilmu dan
teknologi serta penguatan daya saing perekonomian. Misi jangka menengah Pemerintah adalah:
1. Melanjutkan Pembangunan Menuju Indonesia yang Sejahtera
2. Memperkuat Pilar-pilar Demokrasi
3. Memperkuat Dimensi Keadilan di Semua Bidang
Beberapa kebijakan Belanja Pemerintah Pusat selama tahun 2010 2013 dapat dilihat pada tabel
sebagai berikut:

DIREKTORAT P-APBN

121

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Tabel 5.4
Kebijakan Belanja Pemerintah Pusat Tahun 2010-2013
Realisasi
Tahun

Kebijakan Belanja Pemerintah Pusat

Anggaran
(Rp triliun)

Alokasi anggaran belanja pemerintah pusat dalam APBN tahun 2010 akan difokuskan
untuk:
1. Meneruskan/meningkatkan seluruh program kesejahteraan rakyat seperti PNPM,
BOS, Jamkesmas, Raskin, PKH, dan berbagai subsidi lainnya
2. Melanjutkan pembangunan infrastruktur, pertanian, dan energi, serta proyek padat
karya dan stimulus fiskal bila diperlukan
2010

697,4

3. Mendorong revitalisasi industri, pemulihan dunia usaha termasuk melalui pemberian


insentif perpajakan dan bea masuk
4. Meneruskan reformasi birokrasi
5. Meningkatkan anggaran operasional, pemeliharaan dan pengadaan alutsista
6. Menjaga anggaran pendidikan tetap 20 persen
7. Meningkatkan kapasitas pengelolaan sumber daya alam dan kapasitas penanganan
perubahan iklim, termasuk dalam pengurangan resiko bencana.

- Tahun 2011 mulai menerapkan penganggaran berbasis kinerja dan kerangka


penganggaran jangka menengah
- Kebijakan Belanja Pemerintah Pusat diarahkan untuk mencapai tujuh sasaran utama,
yaitu;
1. Menunjang pencapaian pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, yang didukung oleh
pembangunan infrastruktur, termasuk transportasi dan energi;
2. Perlindungan sosial melalui BOS dan Jamkesmas;
3. Pemberdayaan masyarakat antara lain melalui PNPM mandiri;
4. Pemantapan pelaksanaan reformasi birokrasi;
5. Perbaikan kesejahteraan aparatur negara dan pensiunan;
2011

883,5

6. Penyediaan anggaran subsidi yang lebih tepat sasaran; dan


7. Pemenuhan kewajiban pembayaran utang tepat waktu.
- Peningkatan belanja modal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, dengan sasaran:
1. Menunjang pengembangan dan pembangunan sarana dan prasarana dasar atau
infrastruktur (irigasi, transportasi, perumahan, dan sumber daya air).
2. Mengatasi hambatan dan sumbatan yang memacetkan pembangunan infrastruktur
(bottleneck) , dan keterlambatan (backlog) dalam proses pembangunan infrastruktur.
3. Memantapkan ketahanan pangan nasional, meningkatkan ketahanan energi nasional,
serta menjamin ketersediaan air baku dan pengendalian banjir.

DIREKTORAT P-APBN

122

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

4. Membangun jaringan keterhubungan antarwilayah (domestic connectivity) termasuk


pembangunan infrastruktur di kawasan Timur Indonesia, daerah perbatasan, daerah
terpencil, dan pulau-pulau terluar.

- Memperkenalkan konsep inisiatif baru (new initiative)


- Pelaksanaan Program Pro Rakyat (Klaster 4), yang terdiri dari:
1. Enam (6) Program Utama: Penyediaan Rumah Sangat Murah, Kendaraan Angkatan
Umum Murah, Air Bersih untuk Rakyat, Listrik Murah dan Hemat, Peningkatan
Kehidupan Nelayan, Peningkatan Kehidupan Masyarakat Pinggir (terpinggirkan)
2012

perkotaan;

1.069,5*

2. Tiga (3) Program Prioritas: Pencapaian Surplus beras 10 juta ton dalam waktu 5-10
tahun, Penciptaan lapangan kerja untuk 1 juta jiwa/tahun, dan Pembangunan
Transportasi Jakarta
- Pelaksanaan Program ketahanan pangan melalui dukungan subsidi dan dana stabilisasi
pangan.

- Meningkatkan Belanja Infrastruktur untuk mendukung upaya Debottlenecking, Domestic


Connectivity, Ketahanan Pangan, Ketahanan Energi, dan Kesejahteraan Masyarakat;
- Meningkatkan

program

perlindungan

sosial,

pemberdayaan

masyarakat,

dan

penanggulangan bencana;
- Menguatkan Program Pro Rakyat (Klaster 4), yang terdiri dari:
1. 6 Program Utama: Penyediaan Rumah Sangat Murah, Kendaraan Angkatan Umum
Murah, Air Bersih untuk Rakyat, Listrik Murah dan Hemat, Peningkatan Kehidupan
Nelayan, Peningkatan Kehidupan Masyarakat Pinggir (terpinggirkan) perkotaan;
2013

2. 3 Program Prioritas: Pencapaian Surplus beras 10 juta ton dalam waktu 5-10 tahun,

1.054,3**

Penciptaan lapangan kerja untuk 1 juta jiwa/tahun, dan Pembangunan Transportasi


Jakarta
- Meningkatkan kualitas belanja negara melalui pelaksanaan PBB & MTEF;
- Mempertahankan tingkat kesejahteraan aparatur negara;
- Meningkatkan kapasitas mitigasi dan adaptasi perubahan iklim (climate change);
- Meningkatkan alokasi anggaran untuk riset dan pengembangan kapasitas SDM
- Memberikan dukungan kepada pelaksanaan proyek/kegiatan kerjasama pemerintahswasta (Public Private Partnership/PPP)
*APBN-P 2012
** Resource Envelope 2013

DIREKTORAT P-APBN

123

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Perkembangan realisasi Belanja Pemerintah Pusat tahun 2010-2013 dapat dilihat pada grafik
berikut:
GrafikPusat,
5.1
Realisasi Belanja Pemerintah
2010 - 2013
Realisasi Belanja Pemerintah Pusat, 2010-2013

1200,0

1.069,5

1.054,3

2012
APBN-P

2013
Res. Envelope

1000,0

883,5
800,0

triliun Rp

697,4
600,0

400,0

200,0

0,0

Non K/L
K/L

2010

2011
LKPP Unaudited

364,5

465,6

521,6

512,9

332,9

418,0

547,9

541,4

5.6 Belanja Pemerintah Pusat Menurut Jenis (Klasifikasi Ekonomi)


Pemerintah menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) setiap tahun dalam
rangka penyelenggaraan fungsi pemerintahan untuk mencapai tujuan bernegara. Kebutuhan
anggaran belanja dalam rangka penyelenggaraan fungsi pemerintahan tersebut dilakasanakan
oleh Kementerian Negara/Lembaga (K/L) melalui penyusunan dokumen Rencana Kerja dan
Anggaran Kementerian/Lembaga (RKA-K/L) atas Bagian Anggaran yang dikuasainya. Rincian
belanja negara dalam APBN tersebut dirinci menurut klasifikasi anggaran, terdiri dari klasifikasi:
Organisasi, Fungsi, dan Jenis Belanja.
Jenis belanja dalam klasifikasi belanja digunakan dalam dokumen penganggaran baik dalam
proses penyusunan anggaran, pelaksanan anggaran, dan pertangungjawaban/ pelaporan
anggaran. Namun penggunaan jenis belanja dalam dokumen tersebut mempunyai tujuan berbeda.
Dalam kaitan proses penyusunan anggaran tujuan penggunaan jenis belanja ini dimaksudkan
untuk mengetahui pendistribusian alokasi anggaran ke dalam jenisjenis belanja.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dijelaskan bahwa
rincian belanja negara termasuk anggaran belanja pemerintah pusat menurut jenis belanja terdiri
dari belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, pembayaran bunga utang, subsidi, belanja

DIREKTORAT P-APBN

124

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

hibah, bantuan sosial, dan belanja lain-lain. Secara umum, alokasi anggaran untuk masing-masing
komponen tersebut meningkat seiring dengan peningkatan anggaran belanja pemerintah pusat.
Secara umum, anggaran belanja pemerintah pusat terus mengalami peningkatan, dari sebesar
Rp361,1 triliun realisasi tahun 2005 menjadi Rp1.069,5 triliun pada APBN-P tahun 2012. Hal ini
menunjukkan semakin besarnya kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dan pendanaan
pembangunan yang dilaksanakan Pemerintah. Perkembangan Belanja Pemerintah Pusat dari
tahun 2005-2012, dapat dilihat pada grafik berikut ini:
1,200

Grafik 5.2.
Perkembangan Belanja Pemerintah Pusat Tahun 2005-2012

1.069,5

965,0

1,000

t r i l i u n Rp

883,6
800
697,4

693,3
628,9
600
504,5
440,0
400

361,1

200

LKPP
Unaudited
2005

2006

2007

2008

2009

2010

APBN

2011

APBN-P

2012

Tahun

Tambahan Anggaran

Blj Lain-lain

Bantuan Sosial

Blj Hibah

Subsidi

Bunga Utang

Blj Modal

Blj Barang

Blj Pegawai

Penjelasan untuk masing-masing jenis belanja akan dipaparkan sebagai berikut:


5.6.1 Belanja Pegawai
Belanja pegawai adalah belanja yang digunakan untuk membiayai kompensasi dalam bentuk uang
atau barang yang diberikan kepada pegawai pemerintah pusat, pensiunan, anggota Tentara
Nasional Indonesia/Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan pejabat negara, baik yang
bertugas di dalam negeri maupun di luar negeri, sebagai imbalan atas pekerjaan yang telah
dilaksanakan, kecuali pekerjaan yang berkaitan dengan pembentukan modal.
Secara garis besar belanja pegawai terbagi atas 3 (tiga) pos belanja, yaitu: (1) Gaji dan Tunjangan
(kelompok akun 511); (2) Honorarium, Vakasi, dll (kelompok akun 512); (3) Kontribusi Sosial
(kelompok 513).

DIREKTORAT P-APBN

125

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Tabel 5.5 Belanja PegawaI

Gaji dan Tunjangan

Honorarium, Vakasi, dll

Kontribusi Sosial

i. Gaji & Tunjangan


ii. Tunjangan Beras
iii. Uang Makan/Lauk Pauk
iv. Belanja Pegawai Luar Negeri
v. Gaji untuk tambahan pegawai baru

i. Honorarium, vakasi, lembur, dll


ii. Belanja Tunjangan Khusus dan
Belanja Pegawai Transito

i. Pensiun dan THT


ii. Jaminan Pelayanan Kesehatan

Gaji dan tunjangan adalah pengeluaran untuk kompensasi yang harus dibayarkan kepada pegawai
pemerintah berupa gaji pokok dan berbagai tunjangan yang diterima berkaitan dengan jenis dan
sifat pekerjaan yang dilakukan seperti tunjangan keluarga, tunjangan beras, tunjangan struktural
dan fungsional, serta tunjangan lainnya bagi aparatur negara (baik di dalam maupun luar negeri)
serta alokasi untuk pembayaran gaji pegawai negeri baru. Faktor-faktor yang mempengaruhi
dalam perhitungan proyeksi alokasi gaji dan tunjangan antara lain kebijakan gaji dan tunjangan,
tingkat inflasi, nilai tukar rupiah, dan proyeksi jumlah tambahan pegawai baru.
Gaji pokok adalah landasan dasar dalam menghitung besarnya gaji seseorang pegawai negeri
sipil. Hal ini disebabkan sebagian komponen perhitungan gaji seperti tunjangan isteri, tunjangan
anak, dan tunjangan perbaikan penghasilan dihitung atas dasar persentase tertentu atau terkait
dengan gaji pokok. Besarnya gaji pokok seorang pegawai negeri sipil tergantung atas golongan
ruang penggajian yang ditetapkan untuk pangkat yang dimilikinya. Oleh karena itu pangkat
berfungsi pula sebagai dasar penggajian
Tunjangan-tunjangan yang melekat pada gaji antara lain terdiri atas tunjangan keluarga (tunjangan
istri/suami dan tunjangan anak), tunjangan jabatan struktural/fungsional, tunjangan yang
dipersamakan dengan tunjangan jabatan, tunjangan kompensasi kerja, tunjangan beras, tunjangan
khusus PPh.
Yang dimaksud dengan tunjangan istri/suami adalah tunjangan yang diberikan kepada pegawai
negeri yang beristeri/suami. Besarnya tunjangan isteri/suami adalah 10 % dari gaji pokok. Yang
dimaksud dengan tunjangan anak adalah tunjangan yang diberikan kepada pegawai negeri yang
mempunyai anak (anak kandung, anak tiri dan anak angkat). Maksimal anak yang ditanggung
adalah 2 (dua) orang dengan besarnya tunjangan adalah 2% dari gaji pokok.
Tunjangan beras adalah tunjangan yang diberikan kepada pegawai negeri dan anggota
keluarganya dalam bentuk natura (beras) atau dalam bentuk inatura (uang). Besaran tunjangan

DIREKTORAT P-APBN

126

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

beras diberikan sebanyak 10 kg/orang/bulan, atau setara itu yang diberikan dalam bentuk uang
dengan besaran harga beras per kg nya ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Banyaknya jumlah
orang yang dapat diberikan tunjangan beras adalah pegawai yang bersangkutan ditambah jumlah
anggota keluarga yang tercantum dalam daftar gaji.
Sementara itu, yang dimaksud dengan Uang Makan adalah uang yang diberikan kepada Pegawai
Negeri Sipil berdasarkan tarif dan dihitung secara harian untuk keperluan makan Pegawai Negeri
Sipil sedangkan Uang Lauk/Pauk adalah uang yang diberikan kepada anggota TNI/Polri
berdasarkan tarif dan dihitung secara harian untuk keperluan makan anggota TNI/Polri tersebut.
Uang makan diberikan maksimal 22 (dua puluh dua) hari kerja dalam sebulan, sementara uang
lauk/pauk diberikan sesuai dengan jumlah hari dalam bulan berkenaan.
Belanja pegawai luar negeri adalah alokasi anggaran yang digunakan untuk pembayaran gaji
pegawai negeri sipil yang ditempatkan di kantor perwakilan pemerintah di luar negeri.
Selanjutnya, pos honorarium, vakasi, dan lain-lain dialokasikan untuk pembayaran kompensasi
yang harus dibayarkan kepada pegawai pemerintah berupa honorarium tim dan sebagainya,
lembur, vakasi, tunjangan khusus, dan berbagai pembiayaan kepegawaian lainnya sesuai dengan
peraturan yang berlaku, termasuk pegawai di lingkungan kementerian negara/lembaga yang
dialihkan ke daerah dan kantor-kantor di lingkungan kementerian negara/lembaga yang dilikuidasi.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi dalam perhitungan proyeksi alokasi gaji dan tunjangan
antara lain kebijakan terkait honorarium, tarif lembur, kebijakan tunjangan khusus dan remunerasi,
tingkat inflasi.
Sementara itu, kontribusi sosial dialokasikan untuk pembayaran pensiun aparatur negara serta
kontribusi pemerintah dalam rangka pelaksanaan jaminan sosial termasuk jaminan kesehatan bagi
pegawai yang masih aktif maupun pensiunan. Faktor-faktor yang mempengaruhi

dalam

perhitungan proyeksi alokasi kontribusi sosial antara lain kebijakan terkait jaminan sosial aparatur
negara, jumlah peserta jaminan sosial, tingkat inflasi.
Dalam proses perencanaan belanja pegawai, kementerian keuangan berkoordinasi dengan
instansi-instansi pemerintah lainnya seperti Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara Dan
Reformasi Briokrasi, Kementerian Dalam Negeri dan Badan Kepegawaian Negara, serta instansi
non pemerintah yang terkait seperti PT Taspen (Persero), PT Askes (Persero), PT Asabri
(Persero), dan PT KAI (Persero).

DIREKTORAT P-APBN

127

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Data perkembangan belanja pegawai dapat dilihat pada tabel dan grafik di bawah ini.
Tabel 5.6
Belanja Pegawai, Tahun 2001-2013 (triliun rupiah)

Uraian
1. Gaji & Tunjangan
2. Honorarium & Vakasi
3. Kontribusi Sosial
Total

2001

2002

2003

2004

2005

2006

2007

2008

2009

2010

2011

2012

2013

18,9

19,3

22,2

31,8

33,4

43,1

50,3

67,8

70,7

81,0

91,5

101,3

112,7

6,6

6,8

8,9

3,8

2,2

6,4

11,5

7,8

8,5

14,3

22,4

41,8

51,6

13,2

13,4

16,5

19,3

18,7

23,8

28,5

37,3

48,5

52,8

61,8

69,2

77,3

38,7

39,5

47,7

55,0

54,3

73,3

90,4

112,8 127,7

148,1

175,7

212,3

241,6

keterangan:
- Tahun 2001 - 2003 adalah data PAN
- Tahun 2004 - 2011 adalah data LKPP
- Tahun 2012 adalah data APBN Perubahan
- Tahun 2013 adalah data APBN

Triliun Rp

persen (%)
Grafik 5.3.
120,0
Perkembangan Belanja Pegawai, Tahun 2001-2011 (triliun rupiah)

200,0

175,5

180,0

97,4

97,4
92,6

91,3

160,0

90,8

88,7

92,6

148,1

91,3

96,0
90,9

90,8

140,0

80,0

127,7
112,8

120,0
100,0

60,0

90,4
73,3

80,0
55,0

60,0
40,0

100,0

40,0

54,3

47,7
38,7

39,5

20,0

20,0
0,0

0,0
2001

cat: tahun 2011 LKPP Unaudited

DIREKTORAT P-APBN

2002

2003
Gaji & Tunjangan

2004

2005

2006

Honorarium & Vakasi

128

2007

2008

Kontribusi Sosial

2009

2010

2011

Penyerapan

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Tabel 5.7
KEBIJAKAN
Kebijakan
BELANJA
Belanja
PEGAWAI,
Pegawai
2005-2013
Tahun 2005-2013
Uraian
1.
2.
3.
4.
5.

Pemberian Gaji/Pensiun ke-13


Kenaikan Gaji dan Pensiun Pokok (rata-rata)
Kenaikan Rata-rata Tunjangan Struktural
Kenaikan Rata-rata Tunjangan Fungsional
Pemberian Tunjangan Umum (Rp) bagi
non pejabat, sehingga penghasilan
terendah minimal Rp1 juta
- PNS Golongan I
- PNS Golongan II
- PNS Golongan III
- PNS Golongan IV
- TNI/Polri
6. Uang makan dan lauk pauk
ULP TNI/Polri
- ULP TNI/Polri (Rp)
- Persentase
Uang Makan PNS
- Uang Makan PNS
- Persentase
7. Tambahan pegawai baru (Pem. Pusat)
- orang
- periode (bln)
8. Perkembangan Pelaksanaan Renumerasi
9. Sharing pemerintah u/ program Askes (%)
- PNS + Pensiunan
- Non Tunjangan Veteran (Non-Tuvet)
10. Unfunded THT (juta rupiah)
11. Bantuan Penyakit Katastropik (miliar rupiah)
12. Jamkesmen* (miliar rupiah)
13. Jamkestama** (miliar rupiah)

2006

2007

2008

2009

2010

2011

2012
APBN-P

2013
APBN

1 x gaji Juli

1 x gaji Juli

1 x bl Juni

1 x bl Juni

1 x bl Juni

1 x bl Juni

1 x bl Juni

1 x bl Juni

1 x bl Juni

15%
50%
10%

15%
40%
20%

20%
-

15%
-

5%
-

10%
-

10%
-

7%
-

175.000
180.000
185.000
190.000
75.000

17.500
16,7%

25.000
42,9%

30.000
20,0%

35.000
16,7%

35.000
0,0%

40.000
14,3%

40.000
0,0%

45.000
12,5%

45.000
0,0%

10.000

15.000
50,0%

15.000
0,0%

20.000
33,3%

20.000
0,0%

25.000
25,0%

25.000
0,0%

75.000

50.000

100.000
5
9 K/L
100,0%
100,0%
100,0%
322,00
35,00
-

2005

129.000

50.000

50.000

50,0%
50,0%
50,0%
250.179
-

66,1%
75,0%
57,1%
250.179
-

3 K/L
75,0%
100,0%
50,0%
250.179
-

2 K/L
100,0%
100,0%
100,0%
100,0%
100,0%
100,0%
500.179 1.553.293
130,71
-

40.232
38.174
39.203
9
3
6
seluruh K/L
2 K/L
51 K/L
100,0%
100,0%
100,0%
100,0%
100,0%
100,0%
100,0%
100,0%
100,0%
- 1.000.000 1.000.000
451,29
451,29
451,29
50,00
50,00
50,00
-

Keterangan
*
Jamkesmen adalah Jaminan kesehatan untuk Menteri dan Pejabat
**
Jamkestama adalah jaminan kesehatan untuk Anggota DPR

DIREKTORAT P-APBN

129

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Tabel 5.8. Perkembangan Kesejahteraan PNS, Tahun 2005-2013


PERBANDINGAN PENGHASILAN (TAKE HOME PAY) PNS YANG TIDAK MENJABAT, TAHUN 2004 - 2013
(dalam rupiah)
Uraian
I. PNS Gol I/a, Masa Kerja 10 Tahun, Tidak Kawin
1. Gaji Pokok
2. T unjangan Keluarga
3. T unjangan Beras
4. T unjangan Umum
5. T unjangan Jabatan Struktural
6. T unjangan Jabatan Fungsional
5. T ambahan tunj umum (memenuhi THP Rp1 juta)
6. Uang makan
Jumlah
II. PNS Gol II/a, Masa Kerja 10 Tahun, Tidak Kawin
1. Gaji Pokok
2. T unjangan Keluarga
3. T unjangan Beras
4. T unjangan Umum
5. Uang makan
Jumlah
III. PNS Gol III/a, Masa Kerja 0 Tahun, Tidak Kawin
1. Gaji Pokok
2. T unjangan Keluarga
3. T unjangan Beras
4. T unjangan Umum
5. T unjangan Jabatan Struktural
6. T unjangan Jabatan Fungsional
T ambahan tunj umum (yang kurang dari Rp1 juta)
5. Uang makan
Jumlah
IV. PNS Gol IV/e, Masa Kerja 32 Tahun, Tidak Kawin
1. Gaji Pokok
2. T unjangan Keluarga
3. T unjangan Beras
4. T unjangan Umum
5. Uang makan
Jumlah

Harga Beras (perhitungan APBN), Rp/kg


Pendapatan (THP) riil dalam beras (kg)
I. Gol I
Gol II
II. Gol III
III. Gol IV

2005

2006

2007

2008

2009

2010

2011

2012

2013

20%

15%

5%

10%

10%

7%

642.600
31.450
-

739.000
31.450
175.000
54.550
-

851.900
38.500
175.000
220.000

1.022.000
42.300
175.000
330.000

1.174.100
42.300
175.000
330.000

1.236.200
44.500
175.000
440.000

1.346.800
47.200
175.000
440.000

1.459.700
49.600
175.000
550.000

1.561.900
52.100
175.000
550.000

674.050

1.000.000

1.285.400

1.569.300

1.721.400

1.895.700

2.009.000

2.234.300

2.339.000

801.900
31.450
-

922.200
31.450
175.000
-

1.064.500
38.500
175.000
220.000

1.278.600
42.300
175.000
330.000

1.472.700
42.300
175.000
330.000

1.550.600
44.500
175.000
440.000

1.702.200
47.200
175.000
440.000

1.854.900
49.600
175.000
550.000

1.984.800
49.600
175.000
550.000

833.350

1.128.650

1.498.000

1.825.900

2.020.000

2.210.100

2.364.400

2.629.500

2.759.400

905.400
31.450
-

1.041.200
31.450
185.000
-

1.200.600
38.500
185.000
220.000

1.440.600
42.300
185.000
330.000

1.655.800
42.300
185.000
330.000

1.743.400
44.500
185.000
440.000

1.902.300
47.200
185.000
440.000

2.064.100
49.600
185.000
550.000

2.208.600
52.100
185.000
550.000

936.850

1.257.650

1.644.100

1.997.900

2.213.100

2.412.900

2.574.500

2.848.700

2.995.700

1.800.000
31.450
-

2.070.000
31.450
190.000
-

2.405.400
38.500
190.000
220.000

2.910.000
42.300
190.000
330.000

3.400.000
42.300
190.000
330.000

3.580.000
44.500
190.000
440.000

4.100.000
47.200
190.000
440.000

4.603.700
49.600
190.000
550.000

4.926.000
52.100
190.000
550.000

1.831.450

2.291.450

2.853.900

3.472.300

3.962.300

4.254.500

4.777.200

5.393.300

5.718.100

3.145

3.850

4.160

4.230

4.230

4.458

4.720

4.960

5.210

214
265
298
582

260
293
327
595

309
360
395
686

371
432
472
821

407
478
523
937

425
496
541
954

426
501
545
1.012

450
530
574
1.087

449
530
575
1.098

Dalam rangka pelaksanaan program kesejahteraan bagi pegawai negeri, pegawai selaku pekerja
turut berpartisipasi melalui iuran wajib peserta yang besarnya 10 (sepuluh) persen dari gaji pokok
pegawai negeri. Jumlah tersebut terbagi atas 8 (delapan) persen untuk iuran program pensiun dan
Tabungan Hari Tua serta 2 (dua) persen untuk iuran program jaminan kesehatan. Secara lebih
detil, rincian jumlah potongan yang dikenakan atas gaji pegawai sebagai iuran pelaksanaan
program-program kesejahteraan pegawai negeri dapat dilihat pada gambar dibawah ini.

DIREKTORAT P-APBN

130

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Gaji Pokok : 100 %

PEMERINTAH

iuran :10 %

PN S

4,75%

3,25%

2,00%

PT Taspen

PT Taspen

PT.ASKES

Program
Pensiun

Program
Tabungan
Hari Tua (THT)

Program
Kesehatan

PROGRAM KESEJAHTERAAN

Gambar 5.1 Program Kesejahteraan PNS dan Iuran Peserta

Tabel 5.9.
PERKEMBANGAN
PEGAWAI
NEGERI SIPIL,
KEKUATAN
POLRI, SERTA
PENERIMA
PENSIUN 1)1)
Perkembangan
Jumlah
Pegawai
Negeri
Aktif TNI
danDAN
Pensiunan,
Tahun
2006-2013
2006

2007

2008

2009

2010

2011

2012

2013

(Des. 2006)

(Juni 2007)

(Des 2008)

(Juni 2009)

APBN

Proyeksi

(Agts 2012)

Proyeksi

I. PNS Pusat
a. Golongan I
b. Golongan II
c. Golongan III
d. Golongan IV

885.225
17.161
283.814
492.387
91.863

876.430
15.327
271.699
496.596
92.808

841.158
18.253
266.763
466.560
89.582

865.259
19.502
275.896
474.914
94.947

865.259
19.502
275.896
474.914
94.947

1.066.417

913.051
13.196
247.531
534.378
117.946

933.051

II. PNS Daerah


a. Golongan I
b. Golongan II
c. Golongan III
d. Golongan IV

2.840.006
47.695
660.719
1.620.192
511.400

2.905.106
42.437
671.044
1.561.685
629.940

3.242.202
79.768
913.776
1.567.759
680.899

3.514.763
96.953
1.063.743
1.658.213
695.854

3.514.763
96.953
1.063.743
1.658.213
695.854

3.570.180

3.589.065
79.313
992.712
1.593.194
923.846

3.738.065

A. Jumlah PNS Pusat & Daerah


a. Golongan I
b. Golongan II
c. Golongan III
d. Golongan IV

3.725.231
64.856
944.533
2.112.579
603.263

3.781.536
57.764
942.743
2.058.281
722.748

4.083.360
98.021
1.180.539
2.034.319
770.481

4.380.022
116.455
1.339.639
2.133.127
790.801

4.380.022
116.455
1.339.639
2.133.127
790.801

4.636.597

4.502.116
92.509
1.240.243
2.127.572
1.041.792

4.671.116

URAIAN

B. Jumlah Kekuatan TNI & Polri


a. Kekuatan TNI
b. Anggota Polri
C. Pensiunan
2)
a. melalui PT Taspen
3)
b. melalui PT Asabri

2.257.518
1.987.503
270.015

2.432.138
2.155.373
276.765

2.502.148
2.218.464
283.684

2.444.215
2.155.373
288.842

2.522.273
2.218.464
303.809

801.733
414.366
387.367

376.626

2.570.269
2.269.680
300.589

2.732.779
2.421.375
311.404

2.844.451
2.525.261
319.190

Sumber :
1) Jumlah PNS Tahun 2006-2012 berdasarkan data BKN, tahun 2013 sesuai usulan tambahan CPNS dari Kementerian PAN & RB
2) PT Taspen dan DJPb; sejak 2008 termasuk PNS Ex Dephub pd PT KAI, dan sejak 2009 termasuk Penerima Dana Kehormatan
3) PT Asabri, Proy eksi

DIREKTORAT P-APBN

131

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Boks 5.1.
PENYELENGGARAAAN PENSIUN PEGAWAI NEGERI SIPIL
DAN UPAYA PERUBAHANNYA
Pelaksanaan pensiun Pegawai Negeri Sipil diatur dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 1969
tentang Pensiun Pegawai dan Pensiun Janda/Duda Pegawai. Kebijakan pensiun Pegawai Negeri Sipil
juga merupakan amanat Pasal 10 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok
Kepegawaian sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999, di mana
setiap pegawai negeri yang telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan berhak atas pensiun.
Menurut penjelasan pasal tersebut pensiun adalah jaminan hari tua dan sebagai balas jasa terhadap
pegawai negeri yang telah bertahun-tahun mengabdikan dirinya kepada negara.
Skema manfaat program pensiun Pegawai Negeri Sipil adalah skema manfaat pasti di mana peserta
akan memperoleh sejumlah manfaat tertentu pada saat ia mencapai usia pensiun. Secara garis besar,
ketentuan program pensiun pegawai negeri sipil adalah sebagai berikut:

Peserta membayar iuran sebesar 4,75% dari gaji pokok dan tunjangan keluarga

Besarnya manfaat pensiun adalah 2,5% dari dasar pensiun untuk setiap tahun masa kerja,
dengan ketentuan manfaat pensiun maksimal 75% dan sekurang-kurangnya 40% dari dasar
pensiun.

Pensiun diberikan apabila pegawai negeri berusia sekurang-kurangnya 50 tahun dan masa
kerjanya 20 tahun

Dasar pensiun adalah gaji pokok terakhir yang berhak diterima oleh pegawai negeri sipil
bersangkutan.

Saat ini pembayaran manfaat pensiun pegawai negeri sipil secara prinsip sepenuhnya masih dari APBN
atau lazim disebut skema pay as you go. Sedangkan iuran peserta dikelola oleh PT Taspen (Persero)
dan akan digunakan untuk mendukung terbentuknya dana pensiun.
Beberapa pihak berpendapat bahwa dalam penyelenggaraan program pensiun, Pemerintah tidak
memberikan iuran sebagaimana yang dilakukan oleh peserta. Namun faktanya, Pemerintah membayar
sejumlah besar dana untuk membiayai manfaat pensiun tersebut. Justru dengan masih dianutnya
pendanaan pay as you go, dampak fiskal dari program pensiun yang harus ditanggung oleh Pemerintah
adalah beban untuk pembayaran pensiun yang selalu mengalami kenaikan setiap tahunnya. Dalam
kurun waktu tujuh tahun (2007 s.d. 2013), alokasi APBN untuk pembayaran manfaat pensiun (baik sipil
maupun non sipil) adalah sebagaimana grafik sebagai berikut.

DIREKTORAT P-APBN

132

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Grafik tersebut di atas menggambarkan Pemerintah mempunyai peran utama dalam

hal

kesinambungan pembayaran manfaat pensiun. Pemerintah dituntut untuk menjaga terpenuhinya


pembayaran manfaat pensiun pensiunan pegawai negeri sipil yang berjumlah lebih dari dua juta orang.
Diantara penyebab naiknya beban APBN setiap tahun untuk pembayaran manfaat pensiun adalah
jumlah pensiunan yang meningkat setiap tahunnya dan kebijakan kenaikan pensiun pokok yang
mengikuti kenaikan gaji pokok PNS. Dengan kondisi tersebut, akan terjadi peningkatan yang signifikan
beban APBN untuk pembayaran manfaat pensiun di masa mendatang dimana jumlah pensiunan dalam
kurun waktu 5-10 tahun ke depan hampir sama dengan jumlah pegawai negeri sipil yang aktif.
Mengingat kondisi pendanaan yang semakin meningkat tersebut, telah dilakukan upaya-upaya untuk
melakukan evaluasi penyelenggaraan program pensiun PNS. Upaya untuk melakukan perubahan
tersebut merupakan hal yang perlu dilakukan sebagai evaluasi atas pelaksanaan pembayaran manfaat
pensiun yang telah berlangsung lebih dari 40 tahun atau sejak Undang-Undang Nomor 11 tahun 1969
ditetapkan. Terlebih dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial, di mana program pensiun pegawai negeri sipil merupakan bagian yang harus
ditransformasikan ke dalam penyelenggaraan program jaminan pensiun yang diselenggarakan oleh
BPJS Ketenagakerjaan. Selain hal tersebut, perubahan program pensiun pegawai negeri sipil juga perlu
diselaraskan dengan kebijakan reformasi birokrasi yang sedang dilaksanakan oleh Pemerintah. Dengan
demikian, upaya perubahan tersebut setidak-tidaknya menyangkut dua isu pokok yaitu perubahan
desain program pensiun dan kesinambungan pendanaan program pensiun.
Beberapa hal yang mengemuka untuk dilakukan perubahan desain pensiun adalah skema pensiun
(apakah menggunakan skema manfaat pasti atau skema iuran pasti), dasar pensiun (apakah
didasarkan pada gaji pokok terakhir atau rata-rata penghasilan dalam kurun waktu tertentu, misal ratarata penghasilan 3-5 tahun terakhir), perubahan usia pensiun pegawai negeri sipil (disesuaikan dengan
tingkat harapan hidup), sumber pendanaan (apakah peserta yang mengiur atau peserta dan pemerintah
yang mengiur), peran Pemerintah Daerah dalam mendukung program pensiun mengingat kurang lebih
75% peserta adalah PNS Daerah, serta cut off date atau skema pemberlakuan desain baru bagi PNS
lama dan PNS baru.

DIREKTORAT P-APBN

133

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Skema pendanaan program pensiun sendiri nantinya sangat tergantung pada desain yang dipilih oleh
Pemerintah. Tentu saja, dalam skema tersebut akan ada dampak fiskal yang harus diantisipasi oleh
Pemerintah. Sebagai gambaran, apabila Pemerintah memutuskan untuk memberikan iuran, maka akan
ada beban iuran yang harus ditanggung APBN selain beban pembayaran manfaat pensiun bagi
pensiunan yang sudah ada (meskipun ini masih tergantung dari skema cut off date yang dipilih oleh
Pemerintah).
Hal terakhir yang diperlukan dalam perubahan desain program pensiun adalah perubahan regulasi
guna mendukung legalitas pemberlakuan desain baru. Dengan adanya Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011
tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial sudah memberikan gambaran perlunya penyesuaian
beberapa aturan pensiun PNS. Bahkan tidak tertutup kemungkinan untuk mengubah UU Nomor 11
Tahun 1969 yang selama ini menjadi dasar utama pelaksanaan program pensiun PNS.

5.6.2 Belanja Barang


Bel. Barang
52

Bel. Barang Non


Operasional

Dalam rangka
pemenuhan kebutuhan
dasar dan pelayanan
bersifat internal

Dikaitkan dengan strategi


pencapaian target kinerja
dan pelayanan bersifat
eksternal

521xxx ; Bel. Barang

521xxx ; Bel. Barang

522xxx ; Bel. Jasa

522xxx ; Bel. Jasa

Bel. Barang
BLU

523xxx ; Bel. Pemeliharaan


524xxx ; Bel. Perjalanan

524xxx ; Bel. Perjalanan

525xxx ; Bel. Gaji dan Tunjangan, Bel.


Barang, Bel. Jasa, Bel. Pemeliharaan, Bel.
Perjalanan, Bel. Penyediaan B/J BLU
lainnya

Bel. Barang
Operasional

Bel. Barang untuk


Masyarakat
(526xxx)
526111 ; Bel. Tanah UDKM
526112 ; Bel. Peralatan dan
Mesin UDKM
526112 ; Bel. Gedung dan
Bangunan UDKM
526112 ; Bel. Jalan, Irigasi,
dan Jaringan UDKM
526112 ; Bel. Barang Fisik
Lainnya UDKM
526211 ; BB Penunjang KD
521212 ; BB Penunjang KTP

Gambar 5.2 Belanja Barang


Pengertian Belanja Barang adalah pengeluaran untuk pembelian barang dan/atau jasa yang
habis pakai untuk memproduksi barang dan/atau jasa yang dipasarkan maupun yang tidak
dipasarkan serta pengadaan barang yang dimaksudkan untuk diserahkan atau dijual kepada
masyarakat di luar kriteria belanja bantuan sosial serta belanja perjalanan.

DIREKTORAT P-APBN

134

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Penggunaan Belanja Barang tersebut dapat dikelompokkan lagi dalam 2 jenis, yaitu: Belanja
Barang Operasional dan Belanja Barang Nonoperasional. Masing-masing kelompok ini
dipergunakan sebagai berikut:
1.

Belanja Barang Operasional merupakan pembelian barang dan/atau jasa yang habis pakai
yang dipergunakan dalam rangka pemenuhan kebutuhan dasar suatu satuan kerja dan
umumnya pelayanan yang bersifat internal. Jenis pengeluaran terdiri dari antara lain:
a. Belanja keperluan perkantoran;
b. Belanja pengadaan bahan makanan;
c. Belanja penambah daya tahan tubuh;
d. Belanja bahan;
e. Belanja pengiriman surat dinas;
f.

Honor yang terkait dengan operasional Satker;

g. Belanja langganan daya dan jasa (ditafsirkan sebagai Listrik, Telepon, dan Air) termasuk
atas rumah dinas yang tidak berpenghuni;
h. Belanja biaya pemeliharaan gedung dan bangunan (ditafsirkan sebagai gedung
operasional sehari-hari berikut halaman gedung operasional);
i.

Belanja biaya pemeliharaan peralatan dan mesin (ditafsirkan sebagai pemeliharaan aset
yang terkait dengan pelaksanaan operasional Satker sehari-hari) tidak termasuk biaya
pemeliharaan yang dikapitalisasi;

j.

Belanja sewa gedung operasional sehari-hari satuan kerja; dan

k. Belanja barang operasional lainnya yang diperlukan dalam rangka pemenuhan kebutuhan
dasar lainnya.
2.

Belanja Barang Nonoperasional merupakan pembelian barang dan/atau jasa yang habis pakai
dikaitkan dengan strategi pencapaian target kinerja suatu satuan kerja dan umumnya
pelayanan yang bersifat eksternal. Jenis pengeluaran Belanja Barang Nonoperasional
tersebut terdiri:
a. Honor yang terkait dengan output kegiatan;
b. Belanja operasional terkait dengan penyelenggaraan administrasi kegiatan di luar kantor,
antara lain biaya paket rapat/pertemuan, ATK, uang saku, uang transportasi lokal, biaya
sewa peralatan yang mendukung penyelenggaraan kegiatan berkenaan;
c. Belanja jasa konsultan;
d. Belanja sewa yang dikaitkan dengan strategi pencapaian target kinerja;
e. Belanja jasa profesi;
f.

Belanja biaya pemeliharaan nonkapitalisasi yang dikaitkan dengan target kinerja;

g. Belanja jasa;
h. Belanja perjalanan;

DIREKTORAT P-APBN

135

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

i.

Belanja barang penunjang kegiatan dekonsentrasi;

j.

Belanja barang penunjang kegiatan tugas pembantuan;

k. Belanja barang fisik lain tugas pembantuan; dan


l.

Belanja barang nonoperasional lainnya terkait dengan penetapan target kinerja tahun
yang direncanakan;

3.

Belanja barang Badan Layanan Umum (BLU) merupakan pengeluaran anggaran belanja
operasional BLU termasuk pembayaran gaji dan tunjangan pegawai BLU.

4.

Belanja barang untuk masyarakat atau entitas lain merupakan pengeluaran anggaran belanja
negara untuk pengadaan barang yang dimaksudkan untuk diserahkan kepada masyarakat
atau entitas lain yang tujuan kegiatannya tidak termasuk dalam kriteria kegiatan bantuan
sosial .

Berikut adalah grafik perkembangan Belanja Barang dari tahun 2000-2012.

Grafik 5.4.
Perkembangan Belanja Barang Tahun 2000-2012

DIREKTORAT P-APBN

136

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

5.6.3

Belanja Modal
Bel. Modal
53

Bel. Modal
Tanah
531xxx

Bel. Modal
Peralatan dan
Mesin
532xxx

Bel. Modal
Gedung dan
Bangunan
533xxx

Bel. Modal
Jalan, Irigasi,
dan Jaringan
534xxx

Bel. Modal
Lainnya
536xxx

Bel. Modal
BLU
537xxx

Komponen Utama
Pendanaan TP
(Bersifat Fisik/Asset)

Gambar 5.3. Belanja Modal


Pengertian Belanja Modal adalah pengeluaran untuk pembayaran perolehan aset dan/atau
menambah nilai aset tetap/aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi
dan melebihi batas minimal kapitalisasi aset tetap/aset lainnya yang ditetapkan pemerintah.
Belanja modal dipergunakan untuk mengelompokkan jenis transaksi berupa:

1.

Belanja modal tanah


Seluruh pengeluaran untuk pengadaan/pembelian/pembebasan/ penyelesaian, balik nama,
pengosongan, penimbunan, perataan, pematangan tanah, pembuatan sertifikat tanah serta
pengeluaran-pengeluaran lain yang bersifat administratif sehubungan dengan perolehan hak
dan kewajiban atas tanah pada saat pembebasan/pembayaran ganti rugi sampai

tanah

tersebut siap digunakan/dipakai.

2.

Belanja modal peralatan dan mesin


Pengeluaran untuk pengadaan peralatan dan mesin yang digunakan dalam pelaksanaan
kegiatan antara lain biaya pembelian, biaya pengangkutan, biaya instalasi, serta biaya
langsung lainnya untuk memperoleh dan mempersiapkan sampai peralatan dan mesin
tersebut siap digunakan.

3.

Belanja modal gedung dan bangunan


Pengeluaran untuk memperoleh gedung dan bangunan secara kontraktual sampai dengan
gedung dan bangunan siap digunakan meliputi biaya pembelian atau biaya konstruksi,
termasuk biaya pengurusan Izin Mendirikan Bangunan, notaries, dan pajak (kontraktual).

DIREKTORAT P-APBN

137

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Dalam belanja ini termasuk biaya untuk perencanaan dan pengawasan yang terkait dengan
perolehan gedung dan bangunan.

4.

Belanja modal jalan, irigasi, dan jaringan


Pengeluaran untuk memperoleh jalan dan jembatan, irigasi dan jaringan sampai siap pakai
meliputi biaya perolehan atau biaya kontruksi dan biaya-biaya lain yang dikeluarkan sampai
jalan dan jembatan, irigasi dan jaringan tersebut siap pakai. Dalam belanja ini termasuk biaya
untuk penambahan dan penggantian yang meningkatkan masa manfaat, menambah nilai
aset, dan di atas batas minimal nilai kapitalisasi jalan dan jembatan, irigasi dan jaringan.

5.

Belanja modal lainnya


Pengeluaran

yang

diperlukan

dalam

kegiatan

pembentukan

modal

untuk

pengadaan/pembangunan belanja modal lainnya yang tidak dapat diklasifikasikan dalam


perkiraan kriteria belanja modal Tanah, Peralatan dan Mesin, Gedung dan Bangunan,
Jaringan (Jalan, Irigasi dan lain-lain). Termasuk dalam belanja modal ini: kontrak sewa beli
(leasehold), pengadaan/pembelian barang-barang kesenian (art pieces), barang-barang
purbakala dan barang-barang untuk museum, serta hewan ternak,

buku-buku dan jurnal

ilmiah sepanjang tidak dimaksudkan untuk dijual dan diserahkan kepada masyarakat.
Termasuk dalam belanja modal ini adalah belanja modal nonfisik yang besaran jumlah
kuantitasnya dapat teridentifikasi dan terukur.

6.

Belanja modal Badan Layanan Umum (BLU)


Pengeluaran untuk pengadaan/perolehan/pembelian aset yang dipergunakan dalam rangka
penyelenggaraan operasional BLU.

Dalam rangka pembukuan dan pelaporan, nilai perolehan aset dihitung. Semua pendanaan yang
dibutuhkan hingga aset tersebut tersedia dan siap untuk digunakan dihitung sebagai Belanja
Modal, termasuk biaya operasional panitia pengadaan barang/jasa yang terkait dengan
pengadaan aset berkenaan. Konsep ini disebut konsep nilai perolehan.
Dalam proses penentuan jenis belanja modal atau belanja barang berdasarkan jenis transaksinya,
kriteria kapitalisasi digunakan. Kriteria kapitalisasi dalam pengadaan/pemeliharaan barang/aset
merupakan suatu tahap validasi untuk penetapan belanja modal atau bukan dan merupakan syarat
wajib dalam penetapan kapitalisasi atas pengadaan barang/aset. Kriteria tersebut meliputi:

1.

Pengeluaran anggaran belanja tersebut mengakibatkan bertambahnya aset dan/atau


bertambahnya masa manfaat/umur ekonomis aset berkenaan

2.

Pengeluaran anggaran belanja tersebut mengakibatkan bertambahnya kapasitas, peningkatan


standar kinerja, atau volume aset.

3.

Memenuhi nilai minimum kapitalisasi dengan rincian sebagai berikut:

DIREKTORAT P-APBN

138

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

a. Untuk pengadaan peralatan dan mesin, batas minimal harga pasar per unit barang adalah
sebesar Rp300.000,- (tiga ratus ribu rupiah).
b. Untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan gedung dan bangunan per paket pekerjaan
adalah sebesar Rp10.000.000,- (sepuluh juta rupiah).

4.

Pengadaan barang tersebut tidak dimaksudkan untuk diserahkan/dipasarkan kepada


masyarakat atau entitas lain di luar pemerintah.

Berikut adalah grafik perkembangan Belanja Modal dari tahun 2000-2012.

Grafik 5.5.
Perkembangan Belanja Modal Tahun 2000-2012

5.6.4

Pembayaran Bunga Utang

Belanja bunga utang adalah belanja pemerintah pusat yang digunakan untuk pembayaran atas
kewajiban pengunaan pokok utang (principal outstanding), baik yang berasal dari dalam negeri
maupun utang luar negeri, rupiah ataupun valas, yang dihitung berdasarkan posisi pinjaman.
Secara umum, bunga utang yang harus dibayarkan oleh pemerintah setiap tahunnya adalah
beban bunga yang berasal dari Surat Berharga Negara (SBN) dan Pinjaman yang berasal dari
dalam maupun luar negeri. Selain bunga atas SBN atau pinjaman, komponen beban bunga utang
yang juga harus ditanggung oleh pemerintah adalah fees yang disebabkan oleh penerbitan SBN
dan pinjaman tersebut, yang antara lain seperti:
a. Commitment fee merupakan biaya yang dibayar atas komitmen pinjaman yang telah disepakati
dan dihitung berdasarkan persentase tertentu dari jumlah pinjaman yang belum ditarik sesuai
kesepakatan dengan lender.

DIREKTORAT P-APBN

139

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

b. Front end fee merupakan biaya yang dibayar pada saat pinjaman dinyatakan efektif
berdasarkan persentase tertentu dari komitmen pinjaman luar negeri yang disepakati.
c. Insurance premium merupakan premi yang dibayar atas pinjaman luar negeri dari lender
komersial yang dilakukan oleh Pemerintah.
d. Listing fee merupakan biaya penerbitan SBN yang dapat diperdagangkan, selain SPN. Untuk
setiap penerbitan SBN lebih dari Rp1,0 triliun dikenakan biaya penerbitan sebesar Rp100,0
juta yang dibayarkan kepada bursa.
e. Out of pocket fee merupakan biaya yang dibayarkan kepada joint lead manager pada saat
penerbitan SBN valas.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pembayaran bunga utang
Jumlah pembayaran bunga utang yang harus ditanggung pemerintah, antara lain dipengaruhi oleh:
1.

Jumlah outstanding:
a. Outstanding SBN:

Perubahan jumlah outstanding SBN akibat penerbitan utang baru,

jatuh tempo, maupun buyback, akan mempengaruhi perhitungan bunga baseline.


b. Outstanding pinjaman: Perubahan jumlah outstanding pinjaman, baik dalam maupun luar
negeri akibat tambahan penarikan, pembayaran cicilan pokok, reschedulling dan debt
swap, akan mempengaruhi perhitungan bunga.
2.

Tingkat bunga SPN 3 bulan: berpengaruh pada perhitungan beban bunga SBN domestik.

3.

Tingkat bunga LIBOR (London Inter-Bank Offered Rate) (USD, EUR, JPY), CIRR
(Commercial Interest Reference Rates) , ADB Cost of Borrowing, World Bank Cost of
Borrowing: berpengaruh pada perhitungan bunga pinjaman dengan tingkat bunga floating.

4.

Yield penerbitan dan kupon, peningkatan/penurunan tingkat imbal hasil di pasar (yield): akan
mempengaruhi naik atau turunnya kupon/bunga dan diskon SBN pada saat penerbitan.

5.

Nilai tukar (kurs) pada SBN: nilai tukar akan mempengaruhi perhitungan beban bunga pada
SBN berdenominasi valas atau international bonds. Selain itu, nilai tukar juga akan
mempengaruhi beban bunga pada seluruh jenis pinjaman luar negeri terutama pinjaman
dalam mata uang Yen, USD, EURO dan Poundsterling.

6.

Perubahan komposisi penerbitan SBN: berpengaruh pada besar kupon dan diskon atas SBN
yang diterbitkan pada tahun anggaran berjalan.

7.

Country Risk: perubahan country risk classification akan mempengaruhi besarnya insurance
premium terutama pinjaman yang berasal dari

negara anggota OECD (Organization for

Economic Cooperation and Development).


Perencanaan besaran pembayaran bunga utang:
Besarnya jumlah bunga utang yang harus dibayarkan pada suatu tahun anggaran diusulkan oleh
Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang (DJPU) dengan memperhatikan asumsi ekonomi makro

DIREKTORAT P-APBN

140

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

dalam APBN yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Anggaran (DJA) c.q. Direktorat Penyusunan
APBN.
Stakeholders Pembayaran Bunga Utang:
-

Pembayaran Bunga Utang Dalam Negeri: Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang dan
Direktorat Jenderal Anggaran, Kementerian Keuangan.

Pembayaran Bunga Utang Luar Negeri: Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang dan Direktorat
Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan, serta Bank Indonesia.
Grafik.1

Grafik 5.6.
Perkembangan Belanja Bunga Utang
Perkembangan Belanja 2000-2012
Bunga Utang 2000-2012

triliun Rupiah

%
140

120

7
6

100

5
80
4
60
3
40

20

2000

2001

2002

2003

2004

2005

2006

2007

2008

2009

2010

2011

2012

APBN

54,6

76,5

88,5

81,9

65,7

64,1

76,6

85,1

91,4

101,7

115,6

115,2

122,2

APBN-P

53,3

95,5

91,6

72,2

63,2

61,0

82,5

83,6

94,8

109,6

105,7

106,6

117,8

Realisasi

50,1

87,1

87,7

65,4

62,5

65,2

79,1

79,8

88,4

93,8

88,4

93,3

22,9

% thd Outstanding

4,1

6,9

7,1

5,3

4,8

5,0

6,1

5,7

5,4

5,9

5,3

5,2

6,0

5.6.5 Subsidi
Pengertian subsidi
Subsidi adalah alokasi anggaran yang diberikan kepada perusahaan/lembaga yang memproduksi,
menjual, mengekspor, atau mengimpor barang dan jasa, yang memenuhi hajat hidup orang
banyak sedemikian rupa sehingga harga jualnya dapat terjangkau oleh masyarakat (UU APBN)
Jenis subsidi
Jenis jenis subsidi yang diberikan oleh Pemerintah kepada masyarakat saat ini terdiri dari dua
jenis yaitu subsidi energi dan subsidi nonenergi.
Subsidi energi meliputi :
a. Subsidi BBM
b. Subsidi Listrik
Subsidi nonenergi meliputi :

DIREKTORAT P-APBN

141

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

c. Subsidi Pangan
d. Subsidi Pupuk
e. Subsidi Benih
f.

Subsidi Bunga kredit program

g. Subsidi/bantuan PSO
h. Subsidi Pajak

Grafik 5.7
Perkembangan Belanja Subsidi Terhadap Belanja Negara, 2001-2013
1800,0

120%

1600,0
100%
1400,0

Triliun Rupiah

1200,0

80%

1000,0
60%

800,0
600,0

40%

400,0
20%
200,0
0,0
2001

2002

2003

0%

2004

2005

2006

2007

2008

2009

2010

2011

2012
Real sd
31 Des

2013
APBN

Bel. Subsidi

77,4

43,6

43,9

91,5

120,8

107,4

150,2

275,3

138,1

192,7

295,4

346,4

317,7

Bel. Negara

341,6

322,2

376,5

427,2

509,6

667,1

757,6

985,7

937,4

1.042

1.295

1.501

1.683

5.6.5.1 Subsidi BBM


Subsidi BBM, diberikan dengan maksud untuk mengendalikan harga jual BBM di dalam negeri,
sebagai salah satu kebutuhan dasar masyarakat, sedemikian rupa, sehingga dapat terjangkau
oleh daya beli masyarakat, terutama masyarakat berpenghasilan rendah. Hal ini dikarenakan
harga jual BBM dalam negeri sangat dipengaruhi oleh perkembangan berbagai faktor eksternal,
terutama harga minyak mentah di pasar dunia, dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika
Serikat. Pada saat ini, BBM bersubsidi hanya diberikan pada beberapa jenis BBM tertentu, yaitu
meliputi minyak tanah (kerosene) untuk rumah tangga, minyak solar (gas oil), dan premium di
SPBU kecuali untuk industri, dan Bahan Bakar Nabati (BBN) serta LPG tabung 3 kg.
Beberapa parameter yang mempengaruhi perubahan subsidi BBM di Indonesia :
a. ICP (Indonesian Crude Oil Price) adalah harga jual minyak mentah di Indonesia.
b. Kurs (nilai mata uang asing) adalah nilai tukar mata uang asing terhadap nilai mata uang
dalam negeri.
c. Alpha () adalah biaya yang terdiri dari biaya distribusi dan margin.

DIREKTORAT P-APBN

142

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

d. Volume BBM bersubsidi yaitu jumlah bahan bakar yang dipasarkan dan menyangkut hajat
hidup orang banyak sehingga perlu untuk disubsidi. Volume BBM bersubsidi termasuk volume
Bahan Bakar Nabati (BBN) dan LPG tabung 3 kg.
e. Harga jual BBM bersubsidi.
f.

Jenis BBM yang disubsidi.

Perhitungan Subsidi BBM dirumuskan sebagai berikut:


[Harga Patokan BBM (Harga jual eceran BBM - Pajak)] x volume BBM
Harga patokan BBM adalah harga yang dihitung berdasarkan MOPS (Mid Oil Platts Singapore)
ditambah (alpha) BBM (biaya distribusi dan margin).
Harga jual eceran BBM merupakan harga jual eceran per liter BBM dalam negeri.
Pajak yang dimaksud terdiri dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Bahan Bakar
Kendaraan Bermotor (PBBKB), kecuali minyak tanah tidak dikenakan PBBKB.
Perkiraan MOPS sendiri dihitung dengan formula: perkiraan ICP ditambah (delta) MOPS dimana
MOPS adalah rata-rata selisih realisasi ICP dikurangi dengan realisasi MOPS.
Sejak APBN-P 2011, Pajak DTP untuk subsidi BBM dimasukkan dalam pos Subsidi BBM, dengan
formula :Subsidi BBM x 10%
Stakeholder yang terkait dengan subsidi BBM:
a. Direktorat jenderal Migas, Kementerian ESDM
b. BPH Migas
c. PT Pertamina
d. Kementerian Keuangan: Badan Kebijakan Fiskal dan Direktorat Jenderal Anggaran
Tabel 5.10
Perkembangan Harga Eceran BBM Bersubsidi Tahun 2006-2011
(Rupiah/Liter)

Uraian

1 Jan 2006 - 23
Mei 2008

24 Mei - 30 Nov
2008

1 Des - 14 Des
2008

15 Des 2008 14 Jan 2009

15 Jan 2009 Sekarang

1.

Premium

4.500

6.000

5.500

5.000

4.500

2.

Solar

4.300

5.500

5.500

4.800

4.500

3.

Minyak Tanah

2.000

2.500

2.500

2.500

2.500

Sumber : Kementerian ESDM

DIREKTORAT P-APBN

143

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

180.0

100.0

160.0

90.0

140.0

80.0
70.0

120.0

60.0

100.0

(%)

(Rp Triliun)

Grafik
Perkembangan Subsidi
BBM5.8.
2001-2012
Perkembangan Subsidi BBM Tahun 2001-2012

50.0
80.0

40.0

60.0

30.0

40.0

20.0

20.0

10.0

0.0

0.0

2001

2002

2003

2004

2005

2006

2007

2008

2009

2010

2011
LKPP
Unaudited

Subsidi BBM

68.4

31.2

30.0

69.0

95.6

64.2

83.8

139.1

45.0

82.4

165.2

137.4

% thd Belanja Subsidi

88.3

71.4

68.4

75.4

79.2

59.8

55.8

50.5

32.6

42.7

55.9

56.1

2012
APBN-P

Grafik 5.9
Perkembangan Belanja Subsidi BBM Terhadap ICP, 2001-2013
250,0

120,00

100,00

200,0

60,00

US$/barel

Triliun Rupiah

80,00
150,0

100,0
40,00

50,0

20,00

0,0

0,00

2001

2002

2003

2004

2005

2006

2007

2008

2009

2010

2011

2012
Real sd
31 Des

Subsidi BBM

68,4

31,2

30,0

69,0

95,6

64,2

83,8

139,1

45,0

82,4

165,2

211,9

193,8

ICP

23,9

24,6

28,8

37,6

53,4

64,3

72,3

97,0

61,6

79,4

111,5

117,3

100,0

DIREKTORAT P-APBN

144

2013
APBN

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

5.6.5.2 Subsidi Listrik


Dalam rangka menyediakan kebutuhan energi listrik yang dapat terjangkau oleh masyarakat luas,
Pemerintah memberikan subsidi listrik diperuntukkan bagi pelanggan listrik tertentu yang menjadi
sasaran subsidi, yaitu kelompok pelanggan sosial (S1 dan S2), rumah tangga (R1), bisnis (B1),
dan industri (I1) dengan daya terpasang sampai dengan 900 VA. Subsidi diberikan dalam bentuk
penetapan tarif dasar listrik (TDL) yang harga jual tenaga listrik rata-ratanya lebih rendah dari
harga pokok produksinya pada golongan tarif tersebut, sehingga akan lebih mencerminkan
keadilan dan pemerataan. Subsidi listrik ini disalurkan melalui PT PLN.
Perhitungan subsidi listrik dihitung dari selisih negatif antara harga jual tenaga listrik rata-rata
(Rp/kwh) dari masing-masing golongan tarif dikalikan volume penjualan (kwh) untuk masingmasing golongan tarif. Biaya pokok produksi (BPP) listrik adalah biaya penyediaan tenaga listrik
oleh PT PLN untuk melaksanakan kegiaan operasi mulai dari pembangkitan, penyaluran (tansmisi)
sampai dengan pendistribusian kepada pelanggan.
Grafik 5.10.
Perkembangan Subsidi Listrik Tahun 2001-2012

Perkembangan Subsidi Listrik 2001-2012

100.0

40.0
35.0
30.0
25.0

60.0

(%)

(Rp Triliun)

80.0

20.0
40.0

15.0
10.0

20.0

5.0
0.0
2001

2002

2003

2004

2005

2006

2007

2008

2009

2011
2012
2010 LKPP
APBN-P
Unaudited

Subsidi Listrik

4.6

4.1

3.8

2.3

8.9

30.4

33.1

83.9

49.5

57.6

90.4

65.0

% thd Belanja Subsidi

6.0

9.4

8.6

2.5

7.3

28.3

22.0

30.5

35.9

29.9

30.6

26.5

0.0

Besarnya peningkatan atau penurunan beban subsidi listrik dipengaruhi oleh:


1. perkembangan nilai tukar (kurs) rupiah terhadap dolar Amerika Serikat,
2. harga minyak mentah Indonesia (ICP),
3. kebijakan tarif tenaga listrik (TTL),

DIREKTORAT P-APBN

145

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

4. parameter perhitungan subsidi listrik : margin usaha, susut jaringan, growth sales, energy
sales, golongan tarif yang disubsidi.
Perhitungan subsidi listrik:
a. Subsidi listrik merupakan subsidi yang diberikan dalam rangka menjaga stabilitas harga jual
listrik agar yang terjangkau oleh daya beli masyarakat luas, mengingat listrik adalah sumber
energi vital yang sangat dibutuhkan oleh hampir semua sektor ekonomi. Subsidi listrik
diberikan kepada pelanggan dengan golongan tarif yang harga jual tenaga listrik rata-ratanya
lebih rendah dari BPP tenaga listrik pada tegangan di golongan tarif tersebut.
b. Subsidi Listrik dirumuskan:
S = - (HJTL BPP (1+m)) * V
Keterangan :
S

: subsidi listrik

HJTL : harga jual tenaga listrik rata-rata (Rp/kWh) dari masing-masing gol tarif
BPP

: biaya pokok penyediaan (Rp/kWh) pada tegangan di masing-masing gol tarif

TTL

: Tarif tenaga listrik

: margin

: volume penjualan tenaga listrik (kWh) untuk setiap gol tarif

Stakeholder yang terkait dengan subsidi listrik:


a. Direktorat Jenderal Kelistrikan Kelistrikan, Kementerian ESDM
b. PT PLN.
c. Kementerian Keuangan: Badan Kebijakan Fiskal dan Direktorat Jenderal Anggaran
5.6.5.3 Subsidi Pangan
Subsidi pangan adalah subsidi yang diberikan dalam bentuk penyediaan beras murah untuk
masyarakat miskin (Raskin) melalui program operasi pasar khusus (OPK) beras. Subsidi pangan
bertujuan untuk menjamin distribusi dan ketersediaan beras dengan harga yang terjangkau oleh
masyarakat miskin. Subsidi ini disalurkan melalui Perum Bulog.
Besaran alokasi anggaran subsidi pangan dipengaruhi oleh:
a. Durasi;
b. harga pokok pembelian beras Bulog (HPB);
c. jumlah keluarga miskin yang menjadi sasaran subsidi;
d. alokasi kuantum beras per kepala keluarga; dan
e. Harga jual beras Raskin.

DIREKTORAT P-APBN

146

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Melalui subsidi pangan ini, setiap Kepala Keluarga miskin yang menjadi target subsidi akan
menerima beras per bulan selama beberapa bulan, dengan harga yang ditetapkan lebih murah
dibandingkan harga pasar. Data rumah tangga sasaran (RTS) ditentukan oleh Badan Pusat
Statistik (BPS).
Di sisi lain, subsidi pangan juga menjamin penyerapan beras petani oleh Perum Bulog. Dalam
upaya menjaga harga dasar gabah di tingkat petani tetap stabil maka Perum Bulog diwajibkan
membeli beras petani dengan harga yang telah ditetapkan oleh Pemerintah (HPP). Perum Bulog
akan menyerap sebagian hasil panen di dalam negeri dan digunakan untuk penyaluran beras
Raskin. Dengan demikian Perum Bulog mempunyai 2 (dua) peran sekaligus, di satu sisi menjaga
harga dasar gabah di tingkat petani dan di sisi lain menyalurkan beras dengan harga murah
kepada masyarakat miskin.
Perhitungan subsidi pangan:
Subsidi Pangan = RTS * D * Q * ( HPB - Hjual)
Keterangan :
RTS

: jumlah rumah tangga sasaran penerima raskin

: durasi operasi Raskin

: kuantum beras per RTS per bulan

HPB : harga pembelian beras Bulog oleh pemerintah


Hjual : harga jual Raskin
Stakeholder yang terkait dengan subsidi pangan:
a. Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K)
b. Kemenko Perekonomian
c. Perum Bulog
d. Kementerian Keuangan: Badan Kebijakan Fiskal dan Direktorat Jenderal Anggaran

DIREKTORAT P-APBN

147

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Grafik
5.11.
Perkembangan Subsidi
Pangan
2001-2012
Perkembangan Subsidi Pangan 2001-2012
30.0

12.0

20.0

8.0
6.0

10.0

(%)

(Rp Triliun)

10.0

4.0
2.0

0.0

2011
2012
LKPP
APBN-P
Unaudited

2001

2002

2003

2004

2005

2006

2007

2008

2009

2010

Subsidi Pangan

2.4

4.5

4.7

4.8

6.4

5.3

6.6

12.1

13.0

15.2

16.5

20.9

% thd Belanja Subsidi

3.1

10.3

10.7

5.3

5.3

5.0

4.4

4.4

9.4

7.9

5.6

8.5

0.0

5.6.5.4 Subsidi Pupuk


Beban subsidi ini timbul sebagai konsekuensi dari adanya kebijakan pemerintah dalam rangka
penyediaan pupuk bagi petani dengan harga jual pupuk yang lebih rendah dari harga pasar.
Tujuan utama subsidi pupuk adalah agar harga pupuk di tingkat petani dapat tetap terjangkau oleh
petani, sehingga dapat mendukung peningkatan produktivitas petani, dan mendukung program
ketahanan pangan.
Beban subsidi pupuk dipengaruhi oleh:
a. biaya pengadaan pupuk yang bersubsidi yang merupakan selisih antara harga eceran tertinggi
(HET) dengan harga pokok produksi (HPP), dan
b. volume pupuk yang memperoleh subsidi.
Khusus untuk urea, HET dipengaruhi oleh pasokan gas bagi produsen pupuk. Oleh karena harga
gas diperhitungkan dalam dolar (US$/MMBTU(million metric British thermal unit)), maka besaran
subsidi pupuk urea juga dipengaruhi oleh kurs dolar. Selain HET, HPP, harga gas, dan kurs,
subsidi pupuk juga dipengaruhi oleh biaya transportasi ke daerah terpencil dan biaya pengawasan.
Besaran HET dan HPP serta volume pupuk bersubsidi ditentukan oleh Menteri Pertanian. Mulai
TA. 2009, pemerintah juga mengalokasikan anggaran untuk subsidi pupuk organik dalam rangka
mengurangi ketergantungan petani pada pupuk anorganik.
Perhitungan subsidi pupuk berdasarkan selisih antara harga pokok produksi (HPP) dengan harga
eceran tertinggi (HET) dikalikan dengan volume pupuk bersubsidi. Dengan demikian apabila kita

DIREKTORAT P-APBN

148

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

menghendaki subsidi pupuk naik atau turun dapat dilakukan dengan cara penyesuaian terhadap
faktor-faktor tersebut. Misalkan, untuk menurunkan subsidi pupuk dapat dilakukan dengan cara
menaikan HET. Sementara itu, untuk menjaga stabilitas harga gas agak sulit mengingat fluktuasi
nilai tukar rupiah terhadap dolar yang sangat tajam. Akibatnya beban subsidi pupuk akan
meningkat seiring dengan peningkatan kurs.
Perhitungan subsidi pupuk:
n (( HPP HET)* Volume)
Keterangan :
n

: jenis pupuk, yaitu urea, SP-36, ZA, dan NPK (sesuai PMK)

HPP : harga pokok produksi


HET : harga eceran tertinggi pupuk
Stakeholder yang terkait dengan subsidi pupuk:
a. Kementerian Pertanian
b. PT Pupuk Sriwijaya
c. PT Pupuk Kalimantan Timur
d. PT Pupuk Petrokimia Gresik
e. PT Pupuk Kujang
f.

PT Pupuk Iskandar Muda

g. Kementerian Keuangan: Badan Kebijakan Fiskal dan Direktorat Jenderal Anggaran

Grafik
5.12.
Perkembangan Subsidi
Pupuk,
2002-2012
Perkembangan Subsidi Pupuk Tahun 2002-2012
20,000.0

14.0
12.0

16,000.0
10.0

14,000.0
12,000.0

(%)

(Rp Miliar)

18,000.0

8.0

10,000.0
6.0

8,000.0
6,000.0

4.0

4,000.0
2.0

2,000.0
0.0

2011
2012
LKPP
APBN-P
Unaudited

2002

2003

2004

2005

2006

2007

2008

2009

2010

Subsidi Pupuk

48.5

794.0

1,171.4

2,527.3

3,165.7

6,260.5

15,181.5

18,329.0

18,410.9

16,344.6

13,958.6

% thd Belanja Subsidi

0.1

1.8

1.3

2.1

2.9

4.2

5.5

13.3

9.6

5.5

5.7

DIREKTORAT P-APBN

149

0.0

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

5.6.5.5 Subsidi Benih


Subsidi benih adalah subsidi untuk pengadaan benih unggul padi, kedelai, jagung, dan ikan.
Tujuan utama pemberian subsidi benih adalah agar petani bisa mendapatkan benih berkualitas
dengan harga yang terjangkau. Dengan ketersediaan benih berkualitas maka produksi pertanian
diharapkan dapat meningkat. Subsidi ini disalurkan melalui perusahaan negara penyedia benih,
yaitu PT Sang Hyang Seri (Persero), PT Pertani (Persero), dan Penangkar Swasta dalam
koordinasi PT Sang Hyang Seri dan PT Pertani, serta Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pusat di
lingkungan Departemen Kelautan dan Perikanan. Untuk TA. 2009, subsidi benih ikan dialihkan ke
anggaran Departemen Kelautan dan Perikanan.
Perhitungan subsidi benih berdasarkan selisih antara harga pokok produksi (HPP) dengan harga
eceran tertinggi (HET) dikalikan dengan volume benih bersubsidi.
Perhitungan subsidi benih:
Subidi benih = ((HPP HP)* Volume)
Keterangan :
n

: jenis benih (padi, jagung, kedelai, udang, nila, patin, dll)

HPP : harga pokok penjualan


HP

: harga penyerahan/harga jual

Parameter yang digunakan dalam subsidi benih:


a. Harga eceran tertinggi (HET) benih bersubsidi
b. Harga pokok produksi (HPP) benih bersubsidi
c. Volume benih bersubsidi
Stakeholder yang terkait dengan subsidi benih:
a. Kementerian Pertanian
b. PT Sang Hyang Seri (Persero)
c. PT Pertani (Persero)
d. Departemen Kelautan dan Perikanan
e. Kementerian Keuangan: Badan Kebijakan Fiskal dan Direktorat Jenderal Anggaran

DIREKTORAT P-APBN

150

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Grafik
5.13.
Perkembangan Subsidi
Benih,
2002-2012

(Rp Miliar)

1.4

2,100.0

1.2

1,800.0

1.0

1,500.0

(%)

Perkembangan Subsidi Benih Tahun 2002-2012


2,400.0

0.8

1,200.0

0.6

900.0
0.4

600.0

0.2

300.0
0.0

0.0

2002

2003

2004

2005

2006

2007

2008

2009

2010

2011
LKPP
Unaudite
d

Subsidi Benih

2.3

76.2

147.8

131.1

479.0

985.2

1,597.2

2,177.5

96.9

129.5

% thd Belanja Subsidi

0.0

0.1

0.1

0.1

0.3

0.4

1.2

1.1

0.0

0.1

2012
APBN-P

5.6.5.7 Subsidi/Bantuan PSO


Sementara itu, dalam rangka memenuhi kewajiban pemerintah dalam penyelenggaraan layanan
publik. Pemerintah dapat menggunakan BUMN dalam rangka menyediakan barang dan jasa
kepada masyarakat. Menurut Undang-Undang No.19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik
Negara,

pemerintah

dapat

memberikan

penugasan

khusus

kepada

BUMN

untuk

menyelenggarakan fungsi pelayanan umum dengan tetap memperhatikan maksud dan tujuan
kegiatan BUMN. Apabila penugasan tersebut menurut kajian secara finansial tidak fisibel,
pemerintah diwajibkan untuk memberikan kompensasi finansial kepada BUMN-BUMN yang
diberikan tugas untuk menjalankan pelayanan umum (public service obligation, PSO), seperti PT
Kereta Api (Persero) untuk tugas layanan jasa angkutan kereta api kelas ekonomi, PT Pos
Indonesia (Persero) untuk tugas layanan jasa pos pada kantor cabang luar kota dan daerah
terpencil, PT Pelayaran Nasional Indonesia (Persero) untuk tugas layanan jasa angkutan laut
kelas ekonomi.
Perhitungan subsidi/bantuan PSO:
a.

PSO PT Pelni
PSO = PMS x (BP T) + P
Keterangan:
PMS = Passenger Miles Product (PMP) x Load Factor (%).
PMP = Jarak x Kapasitas x Voyage
BP = Biaya Pokok

DIREKTORAT P-APBN

151

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

T = Tarif
P = Kebijakan Pemerintah
b.

PSO Kereta Api


PSO = JTD x (BP T) + P
Keterangan:
JTD : Jumlah Tempat Duduk
BP

: Biaya Pokok

: Tarif

: Kebijakan Pemerintah

c. PSO PT Posindo
PSO = n (( BPP T)* Volume) + P
Keterangan :
n : jenis layanan yang disubsidi (surat, warkatpos, kartupos, paketpos, weselpos, meterai,
akta agraria)
BPP : biaya pokok produksi
T

: tarif

: kebijakan pemerintah

d. PSO LKBN Antara


PSO = n (( BPP T)* Volume) + P
Keterangan :
n

: jenis layanan yang disubsidi (berita, teks, gambar)

BPP : biaya pokok produksi


T

: tarif

: kebijakan pemerintah

Stakeholder yang terkait dengan subsidi/bantuan PSO:


a. Kementerian Pehubungan;
b. Kementerian Kominfo;
c. PT Pelni
d. PT Kereta Api
e. PT Posindo

DIREKTORAT P-APBN

152

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

f.

LKBN Antara

g. Kementerian Keuangan: Badan Kebijakan Fiskal dan Direktorat Jenderal Anggaran.


Grafik 5.14.
Perkembangan Subsidi PSO Tahun 2004-2012

Perkembangan Subsidi PSO, 2004-2012

1.8

2,400.0

1.6

2,100.0

1.4
1.2

1,500.0

1.0

1,200.0

(%)

(Rp Miliar)

1,800.0

0.8

900.0

0.6

600.0

0.4

300.0

0.2

0.0

0.0

2004

2005

2006

2007

2008

2009

2010

2011
LKPP
Unaudited

Subsidi PSO

700.7

934.6

1,795.0

1,025.0

1,729.1

1,339.4

1,373.9

1,833.9

2,151.4

% thd Belanja Subsidi

0.8

0.8

1.7

0.7

0.6

1.0

0.7

0.6

0.9

2012
APBN-P

5.6.5.7 Subsidi Bunga Kredit Program


Sementara itu, dalam rangka membantu masyarakat pada sektor perkreditan perbankan,
pemerintah selama periode 2005-2009 juga menyalurkan subsidi yang disediakan untuk
meringankan beban bunga pada beberapa program antara lain; menutup selisih antara bunga
pasar dengan bunga yang ditetapkan lebih rendah oleh pemerintah untuk berbagai skim kredit
program seperti Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKP-E), Pemilikan Rumah Sederhana
(KPRS) dan Kredit Pemilikan Rumah Sangat Sederhana (KPRSS), termasuk beban resiko (risk
sharing) bagi kredit yang tidak dapat ditagih kembali (default). Kenaikan realisasi anggaran yang
sangat signifikan tersebut disebabkan adanya peningkatan yang sangat tajam dalam realisasi
subsidi Kredit Pemilikan Rumah Sederhana (KPRS) dan Kredit Pemilikan Rumah Sangat
Sederhana

(KPRSS)

dalam

rangka

program

pemerintah

untuk

membangun

rumah

susun/apartemen bersubsidi baik rusunawa ataupun rusunami.


Selain itu, dalam perkembangannya pada tahun 2007 sampai dengan 2009 pemerintah
memberikan penambahan realisasi dan jenis subsidi bunga kredit program antara lain: (i) subsidi
bunga kredit program untuk usaha bahan bakar nabati (biofuel) sebagai salah satu upaya untuk

DIREKTORAT P-APBN

153

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

mendukung program diversifikasi energi; (ii) subsidi bunga bagi pengusaha NAD; (iii) imbal jasa
atas kredit usaha rakyat (KUR); (iv) kredit program pada sektor peternakan dan resi gudang; serta
(v) subsidi bunga dalam rangka penyediaan air bersih. Khusus untuk subsidi bunga dalam rangka
penyediaan air bersih merupakan kebijakan dalam program stimulus fiskal tahun 2009.
Subsidi bunga kredit program dirumuskan:
SBKP = KLBI + KKP-E + RS + KPEN-RP + KPP NAD + IJPKUR + KUPS+S-SRG
Rumus yang lebih detil adalah sebagai berikut:
-

KLBI : subsidi bunga eks skim KLBI, dirumuskan

KLBI = (((SBI-

6,5)*OsKKPA)+(SBI-

3,75)*OsPIR)+(SBI-3,0)*OsKPRS)*12)/12
Keterangan:
SBI

: tingkat suku bunga SBI 3 bulan

OsKKPA : outstanding KKPA


OsPIR

: outstanding PIR

OsKPRS : outstanding KPRS


-

KKP-E : subsidi bunga kredit ketahanan pangan dan energi untuk non-tebu, dirumuskan KKP-E
= ((LPS+6%/5%)-BP)*OsKKPE*Plf
Keterangan:
LPS

: Bunga yang dijaminkan oleh LPS

BP

: Bunga yang dibayarkan debitur

Outs KKPE : Outstanding Rata-rata


Plf
-

: Plafon kredit yang diberikan subsidi

RS

risk

sharing

KKP-E

bagian

pemerintah,

dirumuskan RS-KKPE= OsKKP-E *DR*RS


Keterangan:
OsKKP-E : Persentase outstanding KKP-E

DR

: Default Risk

RS

: Risk Sharing

KPEN-RP : subsidi bunga kredit pengembangan energi nabati dan revitalisasi perkebunan,
dirumuskan: KPEN-RP = ((LPS+5%)-BP)*Os KPEN-RP*Plf
Keterangan:
LPS

: Bunga yang dijaminkan oleh LPS

BP

: Bunga yang dibayarkan debitur

Plf

: Plafon kredit yang diberikan subsidi

DIREKTORAT P-APBN

154

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

OsKPEN-RP : Persentase outstanding rata-rata KPEN-RP


-

KPP-NAD : subsidi bunga kredit pemberdayaan pengusaha NAD dan Nias, dirumuskan KKPNAD = (BB-BP)*OsKPP-NAD*Plf
Keterangan:
BB

: Bunga Bank

BP

: Bunga yang dibayar debitur

OsKPP-NAD : Persentase oustanding rata-rata kredit


Plf
-

IJP

: Plafon Kredit yang diberikan subsidi,


KUR

pembayaran

imbal

jasa

(IJP)

kredit

usaha

Rakyat

(KUR),dirumuskan

IJP KUR=((75%*Plf)*70%*IJP)+ (25%*Plf)*80%*IJP))


Keterangan

Plf

: Plafon kredit yang disubsidi

IJP

: Persentase Pembayaran Imbal Jasa Penjaminan

KUPS : Kredit usaha pembibitan sapi, dirumuskan KUPS = ((LPS+6%)-BP)*Os KUPS*Plf


Keterangan:
LPS

: Bunga yang dijaminkan oleh LPS

BP

: Bunga yang dibayarkan debitur

Plf

: Plafon kredit yang diberikan subsidi

Os KUPS : Persentase outstanding rata-rata KUPS


-

S-SRG : Skema-Subsidi Resi Gudang, dirumuskan S-SRG = ((LPS+5%)-BP)*Os S-SRG*Plf


Keterangan:
LPS

: Bunga yang dijaminkan oleh LPS

BP

: Bunga yang dibayarkan debitur

Plf

: Plafon kredit yang diberikan subsidi

Os S-SRG : Persentase Outstanding rata-rata S-SRG


Faktor yang mempengaruhi perkembangan subsidi bunga kredit program:
a. Jenis subsidi bunga kredit program
b. Besarnya bunga yang disubsidi oleh pemerintah
c. Tingkat bunga pasar yang berlaku

DIREKTORAT P-APBN

155

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Stakeholder yang terkait dengan subsidi bunga kredit program:


a. Kementerian Pekerjaan Umum
b. Ditjen Perbendaharaan
c. Kementerian Keuangan: Badan Kebijakan Fiskal dan Direktorat Jenderal Anggaran.
Grafik 5.15.
Perkembangan Subsidi Bunga Kredit Program Tahun 2001-2012

1,600.0

1.6

1,400.0

1.4

1,200.0

1.2

1,000.0

1.0

800.0

0.8

600.0

0.6

400.0

0.4

200.0

0.2

0.0
2001

2002

2003

2004

2005

2006

2007

2008

2009

2011
2012
2010 LKPP
APBN-P
Unaudited

Subsidi Bunga Kredit Program 1,082.7

183.7

593.7

96.5

149.0

286.2

347.5

939.2

1,070.0

823.0

% thd Belanja Subsidi

0.4

1.4

0.1

0.1

0.3

0.2

0.3

0.8

0.4

1.4

(%)

(Rp Miliar)

Perkembangan Subsidi Bunga Kredit Program, 2001-2012

0.0

1,522.9 1,293.9
0.5

0.5

5.6.5.8 Subsidi Pajak Ditanggung Pemerintah (DTP)


Guna mendukung stabilisasi perekonomian yang sehat, pemerintah memberikan insentif berupa
pemberian subsidi pajak yang disebut pajak ditanggung pemerintah (DTP) yang bertujuan antara
lain untuk mendorong daya beli masyarakat melalui subsidi Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21,
menekan laju inflasi dan menurunkan harga kebutuhan dalam bentuk insentif kepada pengusaha
melalui subsidi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan mendorong laju perdagangan ekspor-impor
melalui fasilitas bea masuk (BM). Peningkatan realisasi subsidi pajak tersebut merupakan upaya
pemerintah untuk memantapkan stabilitas perekonomian nasional dengan menambah jumlah
pajak yang ditanggung pemerintah baik menambah jenisnya maupun besarannya.
Stakeholder yang terkait subsidi pajak adalah dari Kementerian Keuangan yaitu:
a. Badan Kebijakan Fiskal
b. Direktorat Jenderal Pajak
c. Direktorat Jenderal Bea Cukai
d. Direktorat Jenderal Anggaran

DIREKTORAT P-APBN

156

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Grafik
Perkembangan Subsidi
Pajak,5.16.
2004-2012
Perkembangan Subsidi Pajak Tahun 2004-2012
12.0
10.0

20.0

8.0
15.0

(%)

(Rp Triliun)

25.0

6.0
10.0
4.0
5.0

2.0

0.0

5.6.6

0.0

2004

2005

2006

2007

2008

2009

2010

2011
LKPP
Unaudited

Subsidi Pajak DTP

1.3

6.2

1.9

17.1

21.0

8.2

14.8

3.4

4.3

% thd Belanja Subsidi

1.4

5.1

1.7

11.4

7.6

5.9

7.7

1.2

1.7

2012
APBN-P

Belanja Hibah

Belanja Hibah merupakan belanja pemerintah pusat dalam bentuk uang, barang, atau jasa dari
pemerintah kepada BUMN, pemerintah negara lain, lembaga/organisasi internasional, pemerintah
daerah khususnya pinjaman dan atau hibah luar negeri yang diterushibahkan ke daerah yang tidak
perlu dibayar kembali, bersifat tidak wajib dan tidak mengikat, tidak secara terus menerus, bersifat
sukarela dengan pengalihan hak dan dilakukan dengan naskah perjanjian antar pemberi hibah dan
penerima hibah.
Hibah Daerah adalah pemberian dengan pengalihan hak atas sesuatu dari Pemerintah atau pihak
lain kepada Pemerintah Daerah atau sebaliknya yang secara spesifik telah ditetapkan
peruntukannya dan dilakukan melalui perjanjian. Hibah Daerah tersebut meliputi Hibah kepada
Pemerintah Daerah, atau sebaliknya Hibah dari Pemerintah Daerah. Hibah kepada Pemerintah
Daerah dapat berasal dari (1) Pemerintah; (2) badan, lembaga, atau organisasi dalam negeri; dan
(3) kelompok masyarakat atau perorangan dalam negeri.
Hibah Daerah dapat berbentuk uang, barang, dan/atau jasa. Hibah kepada Pemerintah Daerah
yang berasal dari Pemerintah yang bersumber dari APBN meliputi penerimaan dalam negeri,
pinjaman dan hibah luar negeri. Hibah kepada Pemerintah Daerah yang bersumber dari luar
negeri dilakukan melalui Pemerintah. Pemberian hibah harus memperhatikan stabilitas kondisi
perekonomian nasional dan keseimbangan fiskal antara Pemerintah dan pemerintah daerah serta

DIREKTORAT P-APBN

157

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

antardaerah. Hibah kepada Pemerintah Daerah merupakan salah satu sumber penerimaan
Daerah untuk mendanai penyelenggaraan urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah
dalam kerangka hubungan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah yang
diprioritaskan untuk penyelenggaraan pelayanan publik.
Kegiatan hibah yang bersumber dari Pinjaman Luar Negeri digunakan untuk melaksanakan
kegiatan yang merupakan urusan Pemerintah Daerah dalam rangka pencapaian sasaran program
dan prioritas pembangunan nasional yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Kegiatan hibah yang didanai dari hibah luar negeri harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. kegiatan yang menjadi urusan Pemerintah Daerah;
b. kegiatan yang mendukung program pembangunan nasional; dan/atau
c. kegiatan tertentu yang secara spesifik ditentukan oleh calon Pemberi Hibah Luar Negeri.
Kegiatan hibah yang didanai dari penerimaan dalam negeri harus memenuhi kriteria sebagai
berikut:
a. kegiatan yang menjadi urusan Pemerintah Daerah atau untuk kegiatan peningkatan fungsi
pemerintahan, layanan dasar umum, dan pemberdayaan aparatur Pemerintah Daerah;
b. kegiatan lainnya sebagai akibat kebijakan Pemerintah yang mengakibatkan penambahan
beban pada APBD;
c. kegiatan

tertentu

yang

merupakan

kewenangan

Daerah

yang

berkaitan

dengan

penyelenggaraan kegiatan berskala nasional atau internasional; dan/atau


d. kegiatan tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Penganggaran belanja hibah dari Pemerintah kepada pemerintah daerah dilakukan melalui
penerusan pinjaman dan penerusan hibah luar negeri. Hibah dari Pemerintah kepada Pemerintah
Daerah dianggarkan dalam APBN sebagai Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara sesuai
dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dalam hal APBN telah ditetapkan,

penerushibahan kepada Pemerintah Daerah yang bersumber dari hibah luar negeri dapat
dilaksanakan untuk kemudian dianggarkan dalam perubahan APBN. Dalam hal hibah luar negeri
diterima setelah APBN Perubahan ditetapkan, penerushibahan kepada Pemerintah dapat
dilaksanakan untuk kemudian dilaporkan dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat.
Pemerintah mengalokasikan anggaran belanja hibah sejak tahun 2009 yaitu dalam APBN-P
sebesar 31,6 miliar tapi dari anggaran yang dialokasikan tersebut tidak dapat terserap seluruhnya
dikarenakan proses penerbitan dokumen pencairan yang tidak dapat terselesaikan sampai akhir
tahun. Sampai saat ini kegiatan yang telah dilaksanakan dan yang direncanakan akan

DIREKTORAT P-APBN

158

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

dilaksanakan digunakan untuk mendukung kapasitas pemerintah daerah dalam menyediakan


layanan dasar umum dalam bidang pendidikan, air minum, sanitasi, perhubungan, dan irigasi.
Beberapa program dalam alokasi anggaran belanja hibah antara lain:
1. Program Mass Rapid Transit (MRT) dilaksanakan untuk mengatasi masalah transportasi di
Jakarta, di mana sebagian pendanaan untuk MRT Project bersumber

dari Pinjaman

International Cooperation Agency/JICA (dulu Japan Bank for International Cooperation/JBIC),


yang akan diberikan dalam beberapa tahap.
2. Program Local Basic Education Capacity (L-BEC) merupakan hibah kepada kabupaten/kota
dari Komisi Eropa dan Pemerintah Belanda yang dikelola oleh Bank Dunia sebagai Trustee,
dan bertujuan untuk meningkatkan kapasitas pemerintah daerah di bidang pendidikan dalam
konteks desentralisasi. Kapasitas yang dikembangkan antara lain bidang perencanaan,
manajemen keuangan, manajemen sumber daya manusia, sistem informasi, dan sistem
monitoring dan evaluasi.
3. Program Hibah Air Minum merupakan hibah kepada pemerintah daerah yang berasal dari
Pemerintah Australia yang bertujuan untuk untuk mendanai kegiatan pembangunan
sambungan air minum bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Hibah yang diberikan
kepada 35 pemerintah daerah ini diharapkan akan dapat membantu pencapaian target
pembangunan millennium (MDGs).
4. Hibah Air Limbah Terpusat berasal dari Pemerintah Australia, yang bertujuan untuk
pelaksanaan kegiatan peningkatan akses sistem air limbah perpipaan bagi masyarakat. Hibah
yang diberikan kepada 5 pemerintah daerah ini diharapkan akan dapat membantu pencapaian
target pembangunan millennium (MDGs).
5. Program Water and Sanitation Program Sub-D bersumber dari Kerajaan Belanda melalui Bank
Dunia. Tujuan pemberian hibah ini adalah dalam rangka pembangunan sarana pengelolaan air
limbah, khususnya bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
6. Program Infrastructure Enhancement Grant (IEG) bersumber dari hibah AusAID, dan bertujuan
untuk peningkatan infrastruktur dalam mendukung proyek-proyek infrastruktur yang menjadi
prioritas pembangunan dan diharapkan agar dapat meningkatkan dampak ekonomi dan sosial.
7. Program Water resources dan Irrigation System Management Project-2 (WISMP-2) merupakan
hibah kepada daerah yang bersumber dari pinjaman World Bank yang dilaksanakan untuk
meningkatlan kapasitas kinerja unit pengelola sumber daya air/daerah aliran sungai dan
pengelolaan daerah irigasi, serta peningkatan produktivitas pertanian beririgasi di beberapa
provinsi dan kabupaten.
8. Hibah Pemerintah Indonesia kepada Pemerintah Lainnya, seperti hibah untuk pembangunan
Cardiac Centre di Rumah sakit Shifa, Gaza, Palestina untuk pembangunan rumah sakit.

DIREKTORAT P-APBN

159

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Adapun perkembangan alokasi belanja hibah dari tahun 2010-2012 dapat dilihat pada tabel di
bawah ini:

Tabel 5.11
Perkembangan Belanja Hibah Tahun 2010-2012
No

Program/Kegiatan

Sumber

Lembaga

Pinjaman

JICA/Jepang

Mass Rapid Transit (MRT) Project

Local Basic Education Capacity (L-BEC)

Hibah

Hibah Air Minum

2010

2011

2012

LKPP

LKPP

APBN-P

6,8

1.570,6

World Bank/Komisi
Eropa dan Belanda

24,5

45,9

54,5

Hibah

AusAid/Australia

37,4

161,7

Hibah Air Limbah

Hibah

AusAid/Australia

8,1

16,0

Water and Sanitation Program, Subprogram D-Sanitation City


Pilot Projects (WASAP-D)

Hibah

Belanda

6,3

11,7

Infrastructure Enhancement Grant (IEG)

Hibah

AusAid/Australia

43,4

6,4

Water Resources and Irrigation Sector Management ProjectPhase II (WISMP-2)

Pinjaman

World Bank

147,8

Rupiah
Murni

Indonesia

8 Pembangunan Cardiac Centre at Shifa Hospital Gaza


Total

5.6.7

20,0
70,0

300,1

1.790,9

Bantuan Sosial

Bantuan sosial adalah transfer uang atau barang yang diberikan kepada masyarakat melalui
Kementerian Negara/Lembaga (Pemerintah) dan/atau pemerintah daerah guna melindungi
masyarakat dari kemungkinan terjadinya risiko sosial. Risiko sosial yang dimaksud dalam hal ini
adalah kejadian atau peristiwa yang dapat menimbulkan potensi terjadinya kerentanan sosial yang
ditanggung oleh individu, keluarga, kelompok dan/atau masyarakat sebagai dampak krisis sosial,
krisis ekonomi, krisis politik, fenomena alam dan bencana alam yang jika tidak diberikan bantuan
sosial akan semakin terpuruk dan tidak dapat hidup dalam kondisi yang wajar.
Bantuan sosial memiliki ketentuan sebagai berikut: (i) dapat langsung diberikan kepada anggota
masyarakat dan/atau lembaga kemasyarakatan (kelompok masyarakat) termasuk lembaga nonpemerintah bidang pendidikan dan keagamaan; (ii) bersifat sementara atau berkelanjutan; (iii)
ditujukan untuk mendanai kegiatan rehabilitasi sosial, perlindungan sosial, jaminan sosial,
pemberdayaan sosial, penanggulangan kemiskinan dan penanggulangan bencana; dan (iv)
bertujuan untuk meningkatkan taraf kesejahteraan, kualitas, kelangsungan hidup, dan memulihkan
fungsi sosial dalam rangka mencapai kemandirian sehingga terlepas dari risiko sosial.

DIREKTORAT P-APBN

160

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Selain hal tersebut, bantuan sosial juga memiliki beberapa kriteria dalam rangka untuk membatasi
program/kegiatan yang dapat dikategorikan dalam bantuan sosial, yaitu:
1. Tujuan Penggunaan
a. Rehabilitasi sosial dimaksudkan untuk memulihkan dan mengembangkan kemampuan
seseorang yang mengalami disfungsi sosial agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya
secara wajar.
b. Perlindungan sosial dimaksudkan untuk mencegah dan menangani risiko dari guncangan
dan kerentanan sosial seseorang, keluarga, kelompok, dan/atau masyarakat agar
kelangsungan hidupnya dapat dipenuhi sesuai dengan kebutuhan dasar minimal.
c. Pemberdayaan Sosial adalah semua upaya yang diarahkan untuk menjadikan warga
negara yang mengalami masalah sosial mempunyai daya, sehingga mampu memenuhi
kebutuhan dasarnya.
d. Jaminan Sosial adalah skema yang melembaga untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat
memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak.
e. Penanggulangan kemiskinan merupakan kebijakan, program, dan kegiatan yang dilakukan
terhadap orang, keluarga, kelompok dan/atau masyarakat yang tidak mempunyai atau
mempunyai sumber mata pencaharian dan tidak dapat memenuhi kebutuhan yang layak
bagi kemanusiaan.
f.

Penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan


pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap
darurat dan rehabilitasi.

2. Pemberi Bantuan
Pemberi bantuan sosial adalah Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah. Institusi
pemerintah baik pusat atau daerah yang dapat memberikan bantuan sosial adalah institusi yang
melaksanakan perlindungan sosial, rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial,
penanggulangan kemiskinan dan pelayanan dasar serta penanggulangan bencana.
3. Persyaratan Penerima Bantuan
Hanya diberikan kepada calon penerima yang memenuhi kriteria yang ditetapkan dalam
pengertian belanja bantuan sosial, yaitu melindungi dari kemungkinan terjadinya risiko sosial.
Penerima belanja bantuan sosial adalah seseorang, keluarga, kelompok, dan/atau masyarakat
yang mengalami keadaan yang tidak stabil sebagai akibat dari situasi krisis sosial, ekonomi, politik,
bencana, dan fenomena alam agar dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum, termasuk di
dalamnya bantuan untuk lembaga non pemerintah bidang pendidikan dan keagamaan.

DIREKTORAT P-APBN

161

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

4. Bersifat Sementara/Berkelanjutan
Pemberian belanja bantuan sosial umumnya bersifat sementara dan tidak terus-menerus, namun
terdapat kondisi dimana belanja bantuan sosial tersebut diberikan secara terus-menerus. Yang
dimaksud dengan belanja bantuan sosial berkelanjutan yaitu bantuan yang diberikan secara terus
menerus untuk mempertahankan taraf kesejahteraan sosial dan upaya untuk mengembangkan
kemandirian. Jangka waktu pemberian belanja bantuan sosial kepada anggota masyarakat atau
kelompok masyarakat tergantung pada apakah si penerima bantuan masih memenuhi
kriteria/persyaratan sebagai pihak yang berhak menerima bantuan. Apabila si penerima sudah
tidak termasuk yang mempunyai resiko sosial, telah dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum
maka kepada yang bersangkutan tidak dapat diberikan bantuan lagi.
Mulai tahun 2005, Pemerintah menetapkan tiga strategi pembangunan, yaitu: (i) Pro-growth dalam
rangka meningkatkan dan mempercepat pertumbuhan ekonomi melalui investasi; (ii) Pro-job yang
bertujuan agar pertumbuhan ekonomi yang tinggi menciptakan lapangan pekerjaan yang seluasluasnya dengan menekankan investasi yang padat pekerja; dan (iii) Pro-poor agar pertumbuhan
ekonomi dapat mengurangi jumlah penduduk miskin sebesar-besarnya, melalui penyempurnaan
sistem perlindungan sosial, meningkatkan akses terhadap pelayanan dasar, dan meningkatkan
pemberdayaan masyarakat.
Salah satu program Pemerintah yakni pro-poor dilakukan dengan menggunakan instrumen empat
klaster program penanggulangan kemiskinan, yang didalamnya mencakup program-program
prioritas bantuan sosial, yaitu:
a. Klaster I (Bantuan dan Perlindungan Sosial Kelompok Sasaran)

Program Keluarga Harapan (PKH)


Dalam rangka

percepatan

penanggulangan kemiskinan

sekaligus pengembangan

kebijakan di bidang perlindungan sosial, sejak tahun 2007 Pemerintah melaksanakan


Program Keluarga Harapan (PKH). Program serupa telah dilaksanakan dan cukup berhasil
di beberapa negara yang dikenal dengan Conditional Cash Transfers (CCT) atau bantuan
tunai bersyarat. Program Keluarga Harapan (PKH) adalah program yang memberikan
bantuan tunai kepada Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM) yang telah ditetapkan
sebagai peserta PKH dan diwajibkan memenuhi persyaratan dan komitmen yang terkait
dengan upaya peningkatan kualitas SDM, yaitu pendidikan dan kesehatan. Persyaratan
peserta PKH yaitu: (i) pemeriksaan kandungan bagi ibu hamil; (ii) pemeriksaan kesehatan;
(iii) pemberian asupan gizi dan imunisasi anak balita; dan (iv) kewajiban menyekolahkan
anak ke SD sampai dengan SMP.Peserta PKH adalah RTSM yang memenuhi

DIREKTORAT P-APBN

162

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

satu/beberapa kriteria sebagai berikut: (i) ibu hamil/nifas; (ii) anak balita /anak usia 5-7
tahun yang belum masuk pendidikan SD; dan (iii) anak usia SD dan SLTP serta anak usia
15-18 tahun yang belum menyelesaikan pendidikan dasar. Tujuan dari PKH adalah: (i)
meningkatkan status sosial ekonomi RTSM; (ii) meningkatkan status kesehatan dan gizi ibu
hamil, ibu nifas, anak balita dan anak usia 5-7 tahun yang belum masuk sekolah dasar dari
RTSM; (iii) meningkatkan akses dan kualitas pelayanan pendidikan dan kesehatan,
khususnya bagi anak-anak RTSM; dan (iv) meningkatkan taraf pendidikan anak-anak
RTSM. Besaran nilai bantuan PKH bagi RTSM per tahun yaitu: (i) bantuan tetap untuk
RTSM Rp200 ribu; (ii) untuk ibu hamil/nifas dan memiliki anak balita Rp800 ribu; (iii) untuk
RTSM yang memiliki anak usia SD/MI Rp400 ribu; (iv) untuk RTSM yang memiliki anak
usia SMP/MTs Rp800 ribu. Sehingga bantuan minimum per RTSM sebesar Rp600 ribu dan
bantuan maksimum per RTSM sebesar Rp2.200 ribu (memiliki 3 orang anak), sedangkan
bantuan disalurkan empat kali pembayaran dalam satu tahun.

Bantuan Operasional Sekolah (BOS)


Program BOS merupakan realisasi dari Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional
(UUSPN) yaitu Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 yang mulai berlaku pada tanggal
diundangkan yaitu pada tanggal 8 Juli 2003. Isi UUSPN ini mengacu pada Konvensi
Internasional bidang Pendidikan yang dilaksanakan di Dakkar, Senegal, Afrika, Tahun 2000
yang menyatakan bahwa semua negara diwajibkan memberikan pendidikan dasar yang
bermutu secara gratis kepada semua warga negaranya. Dalam Bab VIII mengenai Wajib
Belajar Pasal 34 UUSPN dinyatakan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin
terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut
biaya. Inilah yang menjadi tujuan dari program BOS yaitu membebaskan biaya pendidikan
bagi siswa tidak mampu dan meringankan beban siswa lain agar semua siswa memperoleh
layanan pendidikan dasar yang lebih bermutu sampai tamat dalam rangka penuntasan
Wajib Belajar Pendidikan Dasar (Wajar Dikdas) 9 Tahun. Program BOS pada awalnya
dikelola oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, namun sejak tahun ajaran
2007/2008, pengelolaan program BOS dilakukan secara terpisah antara Kemendikbud dan
Kementerian Agama. Kemendikbud bertanggung jawab terhadap seluruh kegiatan program
dan penyaluran dana ke sekolah SD/SDLB/SMP/SMPLB/SMPT baik negeri maupun
swasta, sementara Kemenag bertanggung jawab terhadap seluruh kegiatan program dan
penyaluran dana ke MI/MTs/Salafiyah/Sekolah keagamaan lainnya. Program BOS
diperuntukkan untuk biaya operasional nonpersonil yaitu: penunjang Kegiatan Belajar
Mengajar (KBM), evaluasi/penilaian, perawatan/pemeliharaan, daya dan jasa, pembinaan
kesiswaan,

DIREKTORAT P-APBN

rumah

tangga

sekolah, dan

163

supervisi,

serta

sebagian untuk biaya

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

pengembangan profesi guru (personil) dan buku perpustakan (investasi). Tujuan umum
program BOS adalah dalam rangka meringankan beban masyarakat terhadap pembiayaan
pendidikan dalam rangka wajib belajar 9 tahun yang bermutu. Sedangkan tujuan
khususnya yaitu: (i) membebaskan seluruh siswa SD/MI negeri dan SMP/MTs negeri
terhadap biaya operasional sekolah, kecuali pada rintisan sekolah bertaraf internasional
(RSBI) dan sekolah bertaraf internasional (SBI); (ii) membebaskan seluruh siswa miskin
dari seluruh pungutan dalam bentuk apapun, baik di sekolah negeri maupun sekolah
swasta; dan (iii) meringankan beban biaya operasional sekolah bagi siswa SD/MI dan
SMP/MTs swasta.

Bantuan Siswa/Mahasiswa Miskin


Bantuan Siswa/Mahasiswa Miskin (BSM) adalah bantuan yang diberikan kepada siswa dari
keluarga kurang mampu untuk dapat melakukan kegiatan belajar di sekolah. Bantuan ini
memberi peluang bagi siswa untuk mengikuti pendidikan di level yang lebih tinggi. Selain
itu, bertujuan untuk mengurangi jumlah siswa putus sekolah akibat permasalahan biaya
pendidikan. Kebijakan Bantuan Siswa/Mahasiswa Miskin adalah bersifat bantuan bukan
beasiswa, karena jika beasiswa bukan berdasarkan kemiskinan tetapi prestasi. Sementara
bagi siswa miskin di jenjang pendidikan menengah atas pemerintah menyiapkan bantuan
khusus murid miskin di jenjang SMA dan bantuan beasiswa untuk siswa miskin pada
jenjang SMK. Di jenjang pendidikan tinggi, program beasiswa bagi anak kurang mampu
juga digulirkan pemerintah dengan nama bantuan belajar mahasiswa miskin ber-IPK 2,5,
dan beasiswa bidik misi. Bidik misi bertujuan untuk meningkatkan akses dan kesempatan
belajar di perguruan tinggi bagi peserta didik yang berpotensi akademik memadai dan
kurang mampu secara ekonomi.

Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas)


Jaminan Kesehatan Masyarakat adalah hasil suatu perkembangan kebijakan dimana pada
tahun 2004 program ini disebut sebagai Pelayanan Kesehatan Masyarakat Miskin Gratis
yang kemudian berubah menjadi Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Askeskin pada Januari
2005 dan pada akhirnya berubah menjadi Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas)
pada tahun 2008.Tujuan dari program Jamkesmas adalah untuk meningkatkan akses dan
mutu pelayanan kesehatan seluruh masyarakat miskin sehingga masyarakat miskin dapat
memperoleh pelayanan kesehatan sesuai standar, berdasarkan penjelasan tersebut
jelaslah bahwa program Jamkesmas ditujukan kepada seluruh masyarakat sangat miskin,
miskin, dan mendekati miskin. Hal ini sesuai dengan Undang Undang Nomor 23 Tahun
1992 tentang Kesehatan, yang mengatakan bahwa kesehatan adalah investasi, hak

DIREKTORAT P-APBN

164

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

fundamental dan kewajiban setiap warga negara. Secara khusus, tujuan Jamkesmas
adalah: (i) melaksanakan pelayanan kesehatan masyarakat miskin sesuai standar; (ii)
meningkatkan

kepuasan

masyarakat

miskin

terhadap

pelayanan

kesehatan;

(iii)

melaksanakan pengelolaan keuangan yang akuntabel; (iv) melaksanakan kegiatan


safeguarding; dan (v) terselenggaranya kegiatan pendukung pelayanan kesehatan.
Sedangkan prinsip-prinsip penyelenggaran Jamkesmas adalah: (i) program dilaksanakan
berdasar prinsip nirlaba dan dana amanah; (ii) diselenggarakan secara serentak di seluruh
Indonesia dengan azas gotong royong sehingga terjadi subsidi silang; (iii) bersifat
menyeluruh (komprehensif) sesuai standar pelayanan medik yang cost effective dan
rasional; (iv) pelayanan kesehatan dengan prinsip managed care dilaksanakan secara
terstruktur dan berjenjang; (v) menjamin adanya portabilitas dan ekuitas dalam pelayanan
kepada peserta; (vi) akuntabilitas dan transparasi yang terjamin dengan mengutamakan
prinsip kehati-hatian, efisiensi, dan efektivitas; dan (vii) Pemerintah membayar iuran bagi
masyarakat miskin. Selanjutnya dalam rangka mengurangi angka kematian ibu melahirkan
dan kelahiran anak, serta sesuai dengan komitmen global MDGs tentang peningkatan
kesehatan ibu hamil, Pemerintah melaksanakan program Jaminan Persalinan (Jampersal)
mulai tahun 2011. Jampersal adalah program pemeriksaan kehamilan (antenatal),
persalinan dan pemeriksaan masa nifas (postnatal) bagi seluruh ibu hamil yang belum
mempunyai jaminan kesehatan serta bayi yg dilahirkannya pada fasilitas kesehatan yang
terintegrasi dengan program Jamkesmas. Secara umum tujuan dari program Jampersal
adalah meningkatnya akses pemeriksaan kehamilan (antenatal), persalinan, dan pelayanan
nifas dan bayi baru lahir yang dilahirkannya (postnatal) yang dilakukan oleh tenaga
kesehatan dengan menghilangkan hambatan finansial dalam rangka menurunkan Angka
Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB).

Sementara untuk Subsidi Beras Masyarakat Miskin (Raskin) dialokasikan dalam Belanja
Subsidi dan Bantuan Langsung Tunai yang terakhir dilaksanakan tahun 2009 dialokasikan
dalam Belanja Lain-lain.

b. Klaster II (Pemberdayaan Masyarakat melalui PNPM)


PNPM adalah program nasional dalam wujud kerangka kebijakan sebagai dasar dan acuan
pelaksanaan

program-program

penanggulangan

kemiskinan

berbasis

pemberdayaan

masyarakat. PNPM dilaksanakan melalui harmonisasi dan pengembangan sistem serta


mekanisme dan prosedur program, penyediaan pendampingan, dan pendanaan stimulan
untuk mendorong prakarsa dan inovasi masyarakat dalam upaya penanggulangan kemiskinan
yang berkelanjutan. Pemerintah meluncurkan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat

DIREKTORAT P-APBN

165

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

(PNPM) Mandiri mulai tahun 2007. Melalui PNPM Mandiri dirumuskan kembali mekanisme
upaya penanggulangan kemiskinan yang melibatkan unsur masyarakat, mulai dari tahap
perencanaan, pelaksanaan, hingga pemantauan dan evaluasi. Melalui proses pembangunan
partisipatif, kesadaran kritis dan kemandirian masyarakat, terutama masyarakat miskin, dapat
ditumbuhkembangkan sehingga mereka bukan sebagai objek melainkan subjek upaya
penanggulangan kemiskinan. Dengan pengintegrasian berbagai program pemberdayaan
masyarakat ke dalam kerangka kebijakan PNPM Mandiri, cakupan pembangunan diharapkan
dapat diperluas hingga ke daerah-daerah terpencil dan terisolir. Efektivitas dan efisiensi dari
kegiatan yang selama ini sering berduplikasi antarproyek diharapkan juga dapat diwujudkan.
Mengingat proses pemberdayaan pada umumnya membutuhkan waktu 5-6 tahun, maka
PNPM Mandiri akan dilaksanakan sekurang-kurangnya hingga tahun 2015. Hal ini sejalan
dengan

target

waktu

pencapaian

tujuan

pembangunan

milenium

atau

Millennium

Development Goals (MDGs). Pelaksanaan PNPM Mandiri yang berdasar pada indikatorindikator keberhasilan yang terukur akan membantu Indonesia mewujudkan pencapaian
target-target MDGs tersebut. Secara umum tujuan PNPM mandiri adalah meningkatnya
kesejahteraan dan kesempatan kerja masyarakat miskin secara mandiri. Program
penanggulangan kemiskinan yang berbasis pemberdayaan masyarakat dapat dikategorikan
menjadi dua yakni:
1)

PNPM Inti, yang terdiri atas program/proyek pemberdayaan masyarakat berbasis


kewilayahan, yang mencakup:
a)

PNPM Mandiri Perdesaan


Ditujukan bagi pemberdayaan masyarakat di perdesaan dengan tujuan untuk
meningkatkan partisipasi masyarakat dalam membangun desanya. Program ini
dikembangkan dari Program Pengembangan Kecamatan (PPK) yang dilaksanakan
mulai dari tahun 1998. Visi PNPM Mandiri Perdesaan adalah mewujudkan
kesejahteraan dan kemandirian masyarakat miskin perdesaan. Kesejahteraan berarti
terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat. Kemandirian yaitu mampu mengorganisir
diri untuk memobilisasi sumberdaya yang ada di lingkungannya, mampu mengakses
sumberdaya

yang

ada

dilingkungannya,

mampu

mengatasi

masalah

yang

dihadapinya, khususnya masalah kemiskinan.


Besarnya dana Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) yang disalurkan per kecamatan
adalah Rp500 juta Rp3 miliar.
b)

PNPM Mandiri Perkotaan


Merupakan upaya Pemerintah dalam membangun kemandirian masyarakat dan
pemerintah daerah dalam menanggulangi kemiskinan di perkotaan secara mandiri.

DIREKTORAT P-APBN

166

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Kelompok sasaran PNPM Mandiri Perkotaan pada dasarnya mencakup empat


sasaran utama, yaitu masyarakat, pemerintah daerah, kelompok peduli setempat, dan
para pihak terkait (stakeholders). PNPM Mandiri P2KP sebagai bagian dari program
penanggulangan kemiskinan merupakan urusan dan tanggung jawab bersama antara
Pusat dan daerah sebagaimana diatur dalam PMK No. 168/PMK.07/2009 tentang
Pedoman Pendanaan Urusan Bersama Pusat dan Daerah untuk Penanggulangan
Kemiskinan. Besarnya dana Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) yang disalurkan
per kelurahan adalah Rp50 Rp350 juta.
c)

Program Pengembangan Infrastruktur Sosial Ekonomi Wilayah (PISEW)


PISEW Merupakan program yang dimaksudkan untuk mengurangi kesenjangan
antarwilayah, pengentasan kemiskinan, dan pengurangan pengangguran. Secara
umum tujuan pelaksanaan PISEW adalah mempercepat pembangunan sosial
ekonomi masyarakat yang berbasis sumberdaya lokal, mengurangi kesenjangan
antarwilayah, pengentasan kemiskinan daerah perdesaan, memperbaiki pengelolaan
pemerintahan (local governance) dan penguatan institusi perdesaan. Besarnya dana
Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) yang disalurkan per kecamatan adalah Rp1,5
miliar.

d)

Program Pengembangan Infrastruktur Perdesaan (PPIP)


PPIP adalah program untuk meningkatkan kesejahteraan dan pembangunan
perekonomian masyarakat di daerah perdesaan, melalui pembangunan dan
perbaikan

sarana

prasarana

infrastruktur

guna

mendukung

peningkatan

perekonomian perdesaan. Tujuan jangka menengah PPIP adalah meningkatnya


akses masyarakat miskin dan mendekati miskin kepada infrastruktur dasar di wilayah
perdesaan,
kesejahteraan

sedangkan

tujuan

masyarakat

jangka

perdesaan.

panjangnya
Besarnya

adalah

dana

meningkatnya

Bantuan

Langsung

Masyarakat (BLM) yang disalurkan per desa adalah Rp250 juta.


e)

Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Khusus (P2DTK)


P2DTK adalah program penanggulangan kemiskinan dengan sasaran daerah
tertinggal dan daerah khusus yang dilakukan Pemerintah Daerah difasilitasi oleh
Pemerintah

Pusat

(Kementerian

Pembangunan

Daerah

Tertinggal)

untuk

meningkatkan kapasitas sosial ekonomi daerah melalui pendekatan pemberdayaan


dan keswadayaan masyarakat. Secara umum tujuan P2DTK adalah membantu
pemerintah daerah dalam rangka mempercepat pemulihan dan pertumbuhan sosial
ekonomi di daerah-daerah tertinggal dan khusus.

DIREKTORAT P-APBN

167

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

2) PNPM-Penguatan, yang terdiri atas program-program pemberdayaan masyarakat


berbasis sektor untuk mendukung penanggulangan kemiskinan yang pelaksanaannya
terkait pencapaian target sektor tertentu. Pelaksanaan program-program ini di tingkat
komunitas mengacu pada kerangka kebijakan PNPM Mandiri.
Sementara itu Klaster III (Program KUR) merupakan bagian dari Pembiayaan dan programprogram dalam Klaster IV tersebar pada pos belanja barang, belanja modal dan belanja subsidi.
Gambar 5.4
4 Klaster Program Penanggulangan Kemiskinan
IV. Rakyat Membeli
Sesuatu Dengan Harga
Sangat Murah Dengan
Sebagian Dibantu
Pemerintah
Terdapat 6 Program Utama
dalam klaster ke-4, yaitu :

III. Pemberdayaan Koperasi


dan Usaha Mikro , Kecil
dan Menengah (K-UMKM)
1.

II. Pemberdayaan
Masyarakat (PNPM)
I. Bantuan dan Perlindungan
Sosial Kelompok Sasaran
1.

PKH

2.

BOS dan BOMM

3.

Bantuan Siswa Mahasiswa Miskin

4.
5.

Jamkesmas dan Jampersal


Raskin

6.

BLT (dialokasikan hanya s.d 2009)

1.

PNPM Perdesaan

2.

PNPM Perkotaan

3.

PNPM PPIP

4.

PNPM PISEW

5.

PNPM P2DTK

2.

Pelaku usaha mikro dan


kecil. Penyaluran KUR
diarahkan untuk kredit
mikro sebesar
Rp. 20 juta ke bawah tanpa
jaminan.
Ditambah dengan
penyaluran bantuanbantuan permodalan dari
K/L.

1.

Program Rumah Sangat


Murah.

2.

Program Kendaraan
Angkutan Umum Murah.

3.

Program Air Bersih Untuk


Rakyat.

4.

Program Listrik Murah


Dan Hemat.

5.

Program Peningkatan
Kehidupan Nelayan.

6.

Program Peningkatan
Kehidupan Masyarakat
Pinggir Perkotaan.

diberi kail, jala, &


perahu

diajari memancing

Serta 3 Program Prioritas:

diberi ikan

1.

Program Surplus Beras

2.

Program Lapangan Kerja

3.

Program Transportasi
Jakarta

Adapun perkembangan alokasi belanja bansos dari tahun 2005-2013 dapat dilihat pada tabel di
bawah ini:
Tabel 5.12.
Perkembangan Anggaran Bantuan Sosial Tahun 2005-2013
Uraian
A. Bidang Pendidikan

2005

2006

2007

2008

2009

2010

2011

2012

2013

4,8

9,8

10,4

14,8

22,1

23,5

7,7

10,2

11,7

1. BOS

4,8

9,8

10,4

12,5

19,1

19,8

3,0

4,1

4,0

2. BOMM

1,1

3. BSM

2,3

3,0

3,7

4,7

6,2

6,5

B. Bidang Kesehatan

3,2

2,8

4,4

4,7

4,5

5,1

6,3

7,2

8,1

1. Jamkesmas

3,2

2,8

4,4

4,7

4,5

5,1

5,1

5,6

6,5

2. Jampersal

1,2

1,6

1,6

0,8

1,0

1,1

1,3

1,6

1,9

2,9

C. Bidang Perlindungan Sosial


PKH
D. Bidang Pemberdayaan Masyarakat
PNPM Mandiri
E. Bidang Penanganan Bencana
Dana Cad. Bencana Alam
F. Bantuan Sosial Lainnya
Bantuan Sosial Lainnya
Total Bantuan Sosial

DIREKTORAT P-APBN

0,8

1,0

1,1

1,3

1,6

1,9

2,9

0,3

2,4

3,7

6,1

9,4

12,7

12,8

12,1

11,4

0,3

2,4

3,7

6,1

9,4

12,7

12,8

12,1

11,4

1,4

2,8

1,9

2,9

2,2

2,7

4,0

4,0

4,0

1,4

2,8

1,9

2,9

2,2

2,7

4,0

4,0

4,0

15,2

22,9

28,4

28,3

34,5

23,3

38,7

50,6

35,6

15,2

22,9

28,4

28,3

34,5

23,3

38,7

50,6

35,6

24,9

40,7

49,8

57,7

73,8

68,6

71,1

86,0

73,6

168

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Dalam rangka meningkatkan kualitas hidup masyarakat, Pemerintah terus berupaya menjamin dan
berkomitmen untuk terus meningkatkan pelaksanaan social security bagi seluruh rakyat Indonesia,
terutama dalam pemenuhan kebutuhan dasarnya, yaitu pendidikan dan kesehatan. Dalam bidang
pendidikan, Pemerintah terus melaksanakan program BOS dan BSM serta mulai tahun 2013
dicanangkan wajib belajar 12 tahun melalui pelaksanaan program BOS pendidikan menengah
dalam rangka meningkatkan taraf pendidikan masyarakat secara merata dan inklusif. Sementara
itu, dalam bidang kesehatan, Pemerintah telah melaksanakan program Jamkesmas dan Jampersal
dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Selanjutnya, mulai
tahun 2014, Pemerintah akan melaksanakan program sistem jaminan sosial nasional (SJSN) yang
bertujuan untuk memberikan kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia, terutama pelaksanaan jaminan sosial di bidang kesehatan pada tahun 2014, sesuai
dengan amanat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
(UU SJSN) dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial (UU BPJS).
Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) merupakan pelaksanaan amanat Pasal 28 H ayat (3) dan
Pasal 34 ayat (2) UUD Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam Pasal 28 H ayat
(3) disebutkan bahwa setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan
pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermanfaat; dan Pasal 34 ayat (2)
menyebutkan bahwa negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan
memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
SJSN tersebut mengubah secara fundamental penyelenggaraan program jaminan sosial
Indonesia, yaitu: (1) dari upaya merespon masalah dan kebutuhan pemberi kerja terhadap tenaga
kerja murah, berdisiplin dan berproduktifitas tinggi menjadi pemenuhan hak konstitusional Warga
Negara; (2) dari pengaturan oleh berbagai peraturan perundangan untuk tiap-tiap kelompok
masyarakat menjadi pengaturan oleh satu hukum jaminan sosial yang menjamin kesamaan hak
dan kewajiban bagi seluruh Warga Negara Indonesia; dan (3) dari penyelenggaraan oleh badan
usaha pro laba menjadi penyelenggaraan oleh badan publik nir laba.

BPJS
KESEHATAN

JAMINAN
KESEHATAN

DIREKTORAT P-APBN

JAMINAN
KECELAKAAN
KERJA

SJSN

JAMINAN
HARI TUA

169

BPJS
KETENAGAKERJAAN

JAMINAN
PENSIUN

JAMINAN
KEMATIAN

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Penyelenggaraan program jaminan sosial akan dilakukan oleh Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial (BPJS) yang merupakan integrasi dari beberapa badan usaha milik negara yang ditunjuk
oleh Pemerintah, yaitu PT. JAMSOSTEK, PT. ASKES, PT. TASPEN, dan PT. ASABRI. Dalam
penyelenggaraannya,

BPJS terdiri atas BPJS

Kesehatan dan

BPJS

Ketenagakerjaan.

Pengelolaan SJSN didasarkan pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN). UU SJSN menetapkan bahwa penyelenggaraan program
jaminan sosial dilaksanakan dengan mekanisme (1) asuransi sosial; (2) bantuan sosial; dan (3)
tabungan wajib.
Asuransi sosial adalah suatu mekanisme pengumpulan dana yang bersifat wajib yang berasal dari
iuran dan digunakan untuk memberikan perlindungan atas risiko sosial ekonomi yang menimpa
peserta dan/atau anggota keluarganya. Prinsip asuransi sosial mencakup kegotong-royongan
antara yang kaya dan miskin, yang sehat dan sakit, yang tua dan muda, dan yang berisiko tinggi
dan rendah, kepesertaan bersifat wajib dan tidak selektif, iuran berdasarkan presentase
upah/penghasilan dan bersifat nirlaba. Prinsip asuransi sosial diberlakukan untuk program jaminan
kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun dan jaminan kematian.
Selanjutnya, Bantuan sosial dilaksanakan dengan mewajibkan Pemerintah untuk membayar iuran
jaminan sosial bagi penduduk fakir miskin dan tidak mampu, yang selanjutnya disebut sebagai
penerima bantuan iuran (PBI). Sedangkan Tabungan wajib dilaksanakan untuk penyelenggaraan
program jaminan hari tua dan jaminan pensiun. Bagi program jaminan hari tua dan jaminan
pensiun, sesuai dengan Pasal 35 ayat (1) dan Pasal 39 ayat (2) UU SJSN mengatur bahwa prinsip
tabungan wajib adalah pilihan di samping prinsip asuransi sosial.
Selanjutnya dalam tahun 2013 Pemerintah juga telah mengalokasikan dukungan anggaran
persiapan pelaksanaan SJSN, antara lain melalui penyertaan modal negara (PMN) untuk dana
awal BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan, peningkatan kapasitas puskesmas-puskemas
dan rumah sakit-rumah sakit Pemerintah terutama untuk penambahan tempat tidur kelas III serta
penyediaan tenaga medis yang mamadai. Selain hal tersebut, untuk meningkatkan kesadaran
masyarakat akan manfaat pelayanan kesehatan yang akan diberikan, juga telah dialokasikan
anggaran dalam rangka sosialisasi, edukasi dan advokasi kepada masyarakat tentang SJSN dan
BPJS. Sementara itu, dalam rangka menjamin keikutsertaan masyarakat miskin dan kurang
mampu dalam program jaminan sosial ini, mulai tahun 2014 Pemerintah juga menanggung iuran
bagi mereka yang disebut dengan Penerima Bantuan Iuran (PBI) sesuai dengan amanat UU
SJSN. Dengan berlakunya beberapa hal di atas, alokasi belanja negara akan meningkat secara
signifikan.

DIREKTORAT P-APBN

170

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Jenis program jaminan sosial yang akan dilaksanakan meliputi:


A. BPJS Kesehatan mengelola program jaminan kesehatan mulai tahun 2014.

BPJS
KESEHATAN
Program Jaminan Kesehatan Nasional merupakan program
Pemerintah

yang

bertujuan

memberikan

kepastian

jaminan

kesehatan yang menyeluruh bagi setiap rakyat Indonesia agar


penduduk Indonesia dapat hidup sehat, produktif, dan sejahtera.
Manfaat program ini diberikan dalam bentuk pelayanan kesehatan
perseorangan

yang

komprehensif,

mencakup

pelayanan

peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), pengobatan (kuratif) dan


pemulihan (rehabilitatif) termasuk obat dan bahan medis dengan menggunakan teknik layanan
terkendali mutu dan biaya (managed care).
Program Jaminan Kesehatan Nasional diselenggarakan berdasarkan prinsip asuransi sosial, dan
prinsip ekuitas, yaitu kesamaan dalam memperoleh pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis
yang tidak terkait dengan besaran iuran yang telah dibayarkan. Prinsip ini diwujudkan dengan
pembayaran iuran sebesar prosentase tertentu dari upah bagi yang memiliki penghasilan dan
pemerintah membayarkan iuran bagi mereka yang tidak mampu (fakir miskin).
Peserta Program Jaminan Kesehatan Nasional adalah setiap orang yang telah membayar iuran
atau iurannya dibayar oleh Pemerintah (PBI/fakir miskin dan orang tidak mampu). Kepesertaan
bersifat berkesinambungan sesuai prinsip portabilitas dengan memberlakukan program di seluruh
wilayah Indonesia dan menjamin keberlangsungan manfaat bagi peserta dan keluarganya hingga
enam bulan pasca pemutusan hubungan kerja (PHK). Selanjutnya, pekerja yang tidak memiliki
pekerjaan setelah enam bulan PHK atau mengalami cacat tetap total dan tidak memiliki
kemampuan ekonomi tetap menjadi peserta dan iurannya dibayar oleh Pemerintah. Di samping itu,
kepesertaan juga mengacu pada konsep penduduk dengan mengizinkan warga negara asing yang
bekerja paling singkat enam bulan di Indonesia untuk ikut serta menjadi peserta program jaminan
kesehatan ini.
Manfaat Program Jaminan Kesehatan Nasional bagi peserta adalah (1) pelayanan kesehatan
diberikan di fasilitas kesehatan milik Pemerintah atau swasta yang menjalin kerjasama dengan
badan penyelenggara jaminan sosial; (2) dalam keadaan darurat, pelayanan kesehatan dapat
diberikan pada fasilitas kesehatan yang tidak menjalin kerja sama dengan badan penyelenggara
jaminan sosial; (3) Badan penyelenggara jaminan sosial wajib memberikan kompensasi (dapat

DIREKTORAT P-APBN

171

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

berupa uang tunai) untuk memenuhi kebutuhan medik peserta yang berada di daerah yang belum
tersedia fasilitas kesehatan yang memenuhi syarat; (4) layanan rawat inap di Rumah Sakit
diberikan di kelas standar; (5) Badan penyelenggara jaminan sosial menjamin obat-obatan dan
bahan medis habis pakai dengan mempertimbangkan kebutuhan medik, ketersediaan, efektifitas
dan efisiensi obat atau bahan medis habis pakai sesuai ketentuan peraturan perundangan; (6)
dalam pengembangan pelayanan kesehatan, Badan penyelenggara jaminan sosial menerapkan
sistem kendali mutu, sistem kendali biaya dan sistem pembayaran untuk meningkatkan efektifitas
dan efisiensi jaminan kesehatan serta untuk mencegah penyalahgunaan pelayanan kesehatan;
dan (7) untuk jenis pelayanan yang dapat menimbulkan penyalahgunaan pelayanan, peserta
dikenakan urun biaya.
B. BPJS Ketenagakerjaan mengelola beberapa program jaminan yang mulai berjalan
paling lambat pertengahan tahun 2015, yaitu:

BPJS
KETENAGAKERJAAN

1. Jaminan Kecelakaan Kerja


Program Jaminan Kecelakaan Kerja adalah program Pemerintah
yang bertujuan memberikan kepastian jaminan pelayanan dan
santunan apabila tenaga kerja mengalami kecelakaan saat menuju,
menunaikan dan selesai menunaikan tugas pekerjaan dan berbagai
penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan.
Peserta program jaminan kecelakaan kerja adalah seseorang yang
telah membayar iuran. Bagi pekerja penerima upah, iuran proporsional terhadap upah atau
penghasilan dan iuran seluruhnya ditanggung oleh pemberi kerja.
Manfaat program jaminan kecelakaan kerja berupa pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan medis,
dan uang tunai untuk pekerja yang mengalami cacat tetap total atau meninggal dunia. Manfaat
yang berupa uang tunai diberikan sekaligus kepada ahli waris pekerja yang meninggal dunia atau
pekerja yang cacat sesuai tingkat kecacatan kebutuhan medis, dan uang tunai untuk pekerja yang
mengalami cacat tetap total atau meninggal dunia.

DIREKTORAT P-APBN

172

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

2. Jaminan Hari Tua


Program Jaminan Hari Tua adalah program jangka panjang yang
diberikan secara sekaligus sebelum peserta memasuki masa
pensiun, bisa diterimakan kepada janda/duda, anak atau ahli waris
peserta yang sah apabila peserta meninggal dunia. Program
jaminan hari tua diselenggarakan secara nasional berdasarkan
prinsip asuransi sosial (mekanisme asuransi dengan pembayaran
iuran antara pekerja dan pemberi kerja) atau tabungan wajib (manfaat jaminan hari tua berasal
dari akumulasi iuran dan hasil pengembangannya).
Peserta jaminan hari tua adalah peserta yang telah membayar iuran. Bagi pekerja penerima upah,
iuran proporsional terhadap upah atau penghasilan dan iuran ditanggung bersama oleh pemberi
kerja dan pekerja. Bagi pekerja tidak menerima upah, besar iuran dalam jumlah nominal dan
ditetapkan oleh Pemerintah.
Manfaat program jaminan hari tua berupa uang tunai yang dibayarkan sekaligus saat peserta
memasuki usia pensiun, meninggal dunia atau mengalami cacat total tetap dan apabila peserta
meninggal dunia, ahli warisnya yang sah berhak menerima manfaat jaminan hari tua. Besar
manfaat adalah seluruh akumulasi iuran yang telah disetorkan ditambah hasil pengembangannya.
3. Jaminan Pensiun
Program Jaminan Pensiun adalah pembayaran berkala jangka
panjang sebagai substitusi dari penurunan atau hilangnya
penghasilan karena peserta mencapai usia tua (pensiun),
mengalami cacat total permanen, atau meninggal dunia.
Jaminan

pensiun

diselenggarakan

secara

nasional

berdasarkan prinsip asuransi sosial atau tabungan wajib. Pada


dasarnya mekanisme jaminan pensiun berdasarkan asuransi sosial. Prinsip tabungan wajib
diberlakukan dengan pertimbangan untuk memberi kesempatan kepada pekerja yang tidak
memenuhi batas minimal jangka waktu pembayaran iuran saat memasuki masa pensiun. Pekerja
ini mendapatkan uang tunai sebesar akumulasi iuran dan hasil pengembangannya saat berhenti
bekerja.
Peserta jaminan pensiun adalah pekerja yang telah membayar iuran. Bagi pekerja penerima upah,
iuran proporsional terhadap upah atau penghasilan dan iuran ditanggung bersama oleh pemberi
kerja dan pekerja. Bagi pekerja tidak menerima upah, besar iuran dalam jumlah nominal dan
ditetapkan oleh Pemerintah.
Manfaat jaminan pensiun berwujud uang tunai yang diterima setiap bulan sebagai :

DIREKTORAT P-APBN

173

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

a. Pensiun hari tua, diterima peserta setelah pensiun sampai meninggal dunia;
b. Pensiun cacat, diterima peserta yang cacat akibat kecelakaan atau akibat penyakit sampai
meninggal dunia;
c. Pensiun janda/duda,diterima janda/duda ahli waris peserta sampai meninggal dunia atau
menikah lagi;
d. Pensiun anak, diterima anak ahli waris peserta sampai mencapai 23 (dua puluh tiga) tahun,
bekerja, atau menikah; atau
e. Pensiun orang tua, diterima orang tua ahli waris peserta lajang sampai batas waktu tertentu
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
4. Jaminan Kematian
Program Jaminan Kematian adalah program jangka pendek
sebagai pelengkap progam jaminan hari tua, yang dibiayai
dari iuran dan hasil pengelolaan dana santunan kematian,
serta manfaat diberikan kepada keluarga atau ahli waris
yang sah pada saat peserta meninggal dunia. Peserta
jaminan

kematian

adalah

setiap

orang

yang

telah

membayar iuran. Bagi pekerja penerima upah, iuran proporsional terhadap upah atau penghasilan
dan iuran ditanggung oleh pemberi kerja. Bagi pekerja tidak menerima upah, besar iuran dalam
jumlah nominal, dibayar oleh peserta dan ditetapkan oleh Pemerintah.
5.6.8

Belanja Lain-Lain

Tentang Belanja Lain-Lain


Menurut Undang-undang Nomor 10 Tahun 2010 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara Tahun Anggaran 2011, pengertian belanja lain lain adalah semua pengeluaran atau
belanja Pemerintah Pusat yang dialokasikan untuk membiayai keperluan lembaga yang belum
mempunyai kode bagian anggaran, keperluan yang bersifat ad hoc (tidak terus menerus),
kewajiban Pemerintah berupa kontribusi atau iuran kepada organisasi/lembaga keuangan
internasional yang belum ditampung dalam bagian anggaran kementerian negara/lembaga, dan
dana cadangan risiko fiskal serta mengantisipasi kebutuhan mendesak.
Menurut PMK Nomor 101/PMK.02/2011 tentang Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan Rencana
Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga, belanja lain lain adalah pengeluaran
negara untuk pembayaran atas kewajiban Pemerintah yang tidak masuk dalam kategori belanja
pegawai, belanja barang, belanja modal, belanja bunga utang, belanja subsidi, belanja hibah, dan
belanja bantuan sosial serta bersifat mendesak dan tidak dapat diprediksi sebelumnya.

DIREKTORAT P-APBN

174

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Faktor-Faktor Penentu
Faktor faktor penentu dalam penyusunan perhitungan perkiraan alokasi anggaran adalah:
1. Realisasi APBN tahun anggaran sebelumnya digunakan sebagai dasar menghitung perkiraan
realisasi APBN tahun berjalan.
2. Perkiraan realisasi APBN tahun berjalan digunakan sebagai dasar menghitung kebutuhan
alokasi dasar (baseline) RAPBN tahun berikutnya.
3. Mempertimbangkan hal hal berikut:
Asumsi ekonomi makro;
Arah kebijakan belanja negara; dan
RKP dan RPJM.
Unsur unsur dalam penyusunan perhitungan belanja lain lain adalah:
1. Proyeksi Dasar (Baseline Projection), memperkirakan anggaran berdasarkan: (i) perkiraan
realisasi

tahun

berjalan;

(ii)

perkiraan

indikator

ekonomi

makro;

dan

(iii)

belum

memperhitungkan langkah kebijakan;


2. Langkah - langkah Kebijakan (Policy Measures), adalah koreksi terhadap perkiraan APBN
melalui rangakain kebijakan yang akan ditempuh;
3. Sasaran yang akan dicapai (Program), merupakan target final APBN dari hasil koreksi dalam
policy measures terhadap proyeksi dasar.
Stakeholders Penentu Belanja Lain-lain
Stakeholders penentu proyeksi belanja lain lain, yaitu:
1. Kementerian Keuangan: Badan Kebijakan Fiskal, Direktorat Jenderal Perbendaharaan,
Direktorat Jenderal Anggaran
2. Kemenko Bidang Perekonomian
3. Kementerian Pertanian
4. Kementerian Perdagangan
5. Dewan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam/Bintan/Karimun (untuk
Kawasan Bintan dan Karimun).
6. Gubernur provinsi Papua dan provinsi Papua Barat
7. Perum BULOG
8. Instansi pengusul program/kegiatan.
Perkembangan kebijakan dan alokasi anggaran pengeluaran rutin lainnya/belanja lain-lain 2010
sampai sengan 2012, sebagai berikut:

DIREKTORAT P-APBN

175

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Grafik
5.17.
Grafik Perkembangan Belanja
Lain
- Lain, 2000 - 2012
Perkembangan Belanja Lain-lain Tahun 2000-2012
miliar Rp
80.000,0
70.000,0
60.000,0
50.000,0
40.000,0
30.000,0
20.000,0
10.000,0
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
APBN

Tahun

APBN-P

Boks 5.2
BELANJA PEMERINTAH PUSAT MENURUT JENIS BELANJA

Belanja Pemerintah Pusat dalam periode 20092012, secara nominal menunjukkan


peningkatan, yaitu dari Rp628.8 triliun dalam tahun 2009 menjadi Rp1001,3 triliun dalam
tahun 2012 atau meningkat sebesar 59,2%. Dilihat dari komposisi menurut jenis, belanja yang
mengalami peningkatan secara signifikan adalah belanja barang dan belanja modal. Proporsi
belanja barang terhadap total belanja Pemerintah Pusat meningkat dari 12,8 persen dalam
tahun 2009, menjadi 13,7 persen dalam tahun 2012. Sedangkan, proporsi belanja modal
terhadap total belanja Pemerintah Pusat mengalami peningkatan dari 12,1 persen dalam
tahun 2009, menjadi 14,0 persen dalam tahun 2012. Perkembangan belanja Pemerintah
Pusat menurut jenis belanja dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

DIREKTORAT P-APBN

176

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

BELANJA PEMERINTAH PUSAT, 2009 - 2013


(miliar rupiah)
2009
Uraian

APBN-P LKPP

Belanja Pemerintah Pusat 691,5 628,8


1 Belanja Pegawai
133,7 127,7
2 Belanja Barang
85,5 80,7
3 Belanja Modal
73,4 75,9
4 Pembayaran Bunga Utang 109,6 93,8
5 Subsidi
158,1 138,1
6 Belanja Hibah
0,0 7 Bantuan Sosial
77,9 73,8
8 Belanja Lain-lain
53,3 38,9

5.7

2010
% Thd
% Thd
APBN-P LKPP
APBN-P
APBNP
APBNP
90,9% 781,5 697,4 89,2% 908,2
95,5% 162,7 148,1 91,0% 182,9
94,4% 112,6 97,6 86,7% 142,8
103,4% 95,0 80,3 84,5% 141,0
85,6% 105,7 88,4 83,7% 106,6
87,3% 201,3 192,7 95,7% 237,2
0,0%
0,2 0,1 28,8% 0,4
94,7% 71,2 68,6 96,4% 81,8
73,0% 32,9 21,7 65,8% 15,6

2011
LKPP
883,7
175,7
124,6
117,9
93,3
295,4
0,3
71,1
5,5

2012
% Thd
APBNP
97,3%
96,1%
87,3%
83,6%
87,5%
124,5%
74,1%
86,9%
35,0%

APBN-P
1.069,5
212,3
162,0
176,1
117,8
245,1
1,8
86,0
68,5

Realisasi % Thd
Sementara APBNP
1.001,3 93,6%
197,7 93,1%
137,2 84,7%
140,2 79,6%
100,5 85,4%
346,4 141,3%
0,1 4,2%
75,3 87,6%
3,9 5,7%

Klasifikasi Belanja Pemerintah Pusat Menurut Organisasi

Pada tahun 2013 terdapat 86 K/L yang telah memiliki Bagian Anggaran sendiri. Terdiri dari 33
Kementerian, 6 Lembaga Negara, 38 Lembaga Pemerintah, dan 6 Komisi K/L. Sementara itu,
apabila dibagi menurut bidang pemerintahan, K/L dapat dikelompokkan menjadi tiga bidang,
yaitu: (1) bidang Perekonomian; (2) bidang Politik, Hukum, dan Keamanan; dan (3) bidang
Kesejahteraan Rakyat.
K/L yang termasuk dalam bidang perekonomian, antara lain meliputi: (1) Kementerian Keuangan;
(2) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral; (3) Kementerian Perindustrian; (4) Kementerian
Perdagangan; (5) Kementerian Pertanian; (6) Kementerian Kehutanan; (7) Kementerian
Perhubungan; (8) Kementerian Kelautan dan Perikanan; (9) Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi; (10) Kementerian Pekerjaan Umum; (10) Kementerian Pariwisata dan Ekonomi
Kreatif; (11) Kementerian Riset dan Teknologi; (11) Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan
Menengah; (12) Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal; (13) Kementerian Perencanaan
Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas); (14)
Kementerian Badan Usaha Milik Negara; (15) Badan Pertanahan Nasional; (16) Badan Koordinasi
Penanaman Modal; dan (17) Badan Negara Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja
Indonesia (BNP2TKI).

DIREKTORAT P-APBN

177

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

K/L yang termasuk dalam bidang politik, hukum dan keamanan, antara lain meliputi: (1)
Kementerian Pertahanan; (2) Kepolisian Negara Republik Indonesia; (3) Kementerian Dalam
Negeri; (4) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia; (5) Mahkamah Agung; (6) Kejaksaan
Republik Indonesia; (7) Badan Intilijen Negara; (8) Komisi Pemberantasan Korupsi; (9)
Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan; (10) Lembaga Ketahanan
Nasional; (11) Dewan Ketahanan Nasional; (12) Kementerian Luar Negeri; (13) Dewan Perwakilan
Rakyat; (14) Majelis Permusyawarakatan Rakyat; (15) Lembaga Sandi Negara; (16) Komisi
Pemilihan Umum; (17) Lembaga Administrasi Negara; (18) Mahkamah Konstitusi RI; dan (19)
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme
K/L yang termasuk dalam bidang kesejahteraan rakyat, antara lain meliputi: (1) Kementerian
Kesehatan; (2) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan; (3) Kementerian Sosial; (4)
Kementerian Agama; (5) Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata; (6) Kementerian Lingkungan
Hidup; (7) Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak; (8) Kementerian
Perumahan Rakyat; (9) Kementerian Pemuda dan Olahraga; (10) Kementerian Pendayagunaan
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi; (11) Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional
(12) Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM); (13) Perpustakaan Nasional (Perpusnas);
(14) Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI); (15) Lembaga Administrasi Negara (LAN); (16)
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP); (17) Badan Kepegawaian Negara
(BKN); (18) Badan Narkotika Nasional; (19) Badan Penanggulangan Bencana; (20) Badan
Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI; (21) Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo; dan
(22) Badan SAR Nasional.
Perkembangan belanja menurut organisasi (Kementerian Negara/Lembaga) tahun 2005-2012 dan
rencana tahun 2013 dapat dilihat pada tabel berikut:

DIREKTORAT P-APBN

178

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Tabel 5.13 Realisasi Belanja Kementerian Negara/Lembaga 2005-2013 (miliar rupiah)

NO

KODE BA

WAKIL PRESIDEN

KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA

KEJAKSAAN AGUNG

MAHKAMAH AGUNG

BADAN PEMERIKSA KEUANGAN

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT

MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT

3.160,00

637,6

47,3

603,1

777,7

1.229,80

269,5

673,7

153,6

2.875,90

23.922,80

3.152,80

1.158,00

157,1

729,9

1.401,10

1.948,20

566,6

939,9

130,5

6.999,20

3.574,30

30.611,10

3.376,20

3.118,20

1.174,50

1.590,80

2.663,60

847,4

1.068,70

141,8

12.051,10

3.845,90

31.348,70

3.707,00

5.303,00

1.105,60

1.622,00

4.001,20

1.258,80

1.283,40

159,1

11.759,20

3.903,90

34.332,50

4.106,80

8.315,10

1.342,00

1.602,10

3.950,50

1.590,90

1.538,70

211,8

12.955,00

4.832,10

42.391,60

3.751,90

12.110,80

1.530,40

2.636,70

3.895,80

1.974,20

1.792,40

204,8

14.852,90

6.374,80

51.201,60

4.005,40

13.386,30

1.611,00

3.311,30

4.734,90

2.087,30

1.742,90

320,6

17.097,80

16.913,70

6.949,50

72.935,50

4.996,80

16.722,10

1.977,20

3.789,40

5.055,60

2.674,80

2.706,60

623,2

18.803,90

3.269,90

17.819,50

18.234,40

7.575,30

81.963,60

5.590,10

15.782,60

2.473,20

4.362,20

5.325,90

2.903,40

2.998,30

2013

KEMENTERIAN DALAM NEGERI

20.828,50

5.167,00

15.986,00

2.443,00

36.679,20

2012

KEMENTERIAN LUAR NEGERI

1.953,00

8.016,10

1.958,00

16.286,30

18

17

25

24

23

KEMENTERIAN TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI

KEMENTERIAN AGAMA

KEMENTERIAN KESEHATAN

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

1.068,30

6.497,30

6.508,90

23.117,40

2.221,40

2.069,40

10.023,30

12.260,60

37.095,10

2.343,10

1.761,00

2.766,00

2.451,10

13.298,90

15.530,60

40.475,80

2.398,90

3.174,70

3.213,50

2.352,50

14.874,70

15.871,90

43.546,90

3.205,60

2.110,20

3.255,10

2.837,80

24.957,60

18.001,50

59.558,60

3.139,50

3.290,90

3.470,90

2.763,90

28.008,10

22.428,30

59.347,90

5.176,00

4.756,70

3.957,40

3.682,10

33.208,30

26.871,30

61.060,50

6.014,10

5.686,80

4.549,90

4.101,40

39.375,80

31.204,50

77.179,80

518,2

77.978,00

7.077,40

6.717,50

5.605,60

4.863,10

43.960,50

34.582,00

73.087,50

732,7

10

KEMENTERIAN PERTAHANAN

3.621,30

7.676,50

1.492,70

9.017,50

38.147,10

APBN

11

KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM

7.203,90

1.444,90

5.543,60

20.110,00

APBN-P

12

KEMENTERIAN KEUANGAN

6.532,30

1.414,80

6.577,20

15.562,10

2011

13

5.551,20

1.484,50

5.442,50

15.557,30

2010

10

15

2.659,90

1.126,50

5.141,60

13.477,10

2009

11

KEMENTERIAN PERTANIAN

1.204,20

4.657,60

9.070,40

2008

12
18
KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN

3.117,10

6.769,70

2007

13
19
KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL

3.978,50

2006

14
20
KEMENTERIAN PERHUBUNGAN

2005

15
22

KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA

16

19
26

1.661,90

1.485,20

74.977,10

281,1

20
KEMENTERIAN SOSIAL

2.566,30

405,1

298,9

27

959,4

51.305,90

212

2.053,00

21

1.745,80

467,5

222,3

KEMENTERIAN KEHUTANAN

32.746,90

233,5

2.672,00

KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN

40.082,70

194,3

211,3

29

30.670,00

96,9

1.906,00

32

22.769,50

176,2

84,4

22

19.186,70

77,2

1.590,00

23

13.328,90

176,3

88,1

KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM

179,9

78,8

1.049,40

33

76,3

87,1

24

67,3

58,7

1.021,20

KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG POLITIK, HUKUM, DAN KEAMANAN

92,3

34

65,6

882,8

653

143,6

25

44

68,1

111,3

KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG PEREKONOMIAN

609,7

639,8

35

64,2

110

26

447,4

630,2

KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG KESEJAHTERAAN RAKYAT

620

92,8

KEMENTERIAN PARIWISATA DAN EKONOMI KREATIF

129

36

408

40

148,3

27

451,2

28

261,8

KEMENTERIAN BADAN USAHA MILIK NEGARA

437,1

KEMENTERIAN RISET DAN TEKNOLOGI

155,1

41

342,6

42

25,1

29

1.379,80

30

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

179

DIREKTORAT P-APBN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Tabel 5.13 Realisasi Belanja Kementerian Negara/Lembaga 2005-2013 (miliar rupiah)

729,6

404,4

93,4

156,1

938,2

855,7

1.484,90

131,4

150,9

1.387,50

1.551,40

201,3

234,7

1.810,70

2013

359,5

165,1

1.297,80

2012

744,3

83,4

2011

415,3

111,7

963,3

2010

414,2

982,1

85,8

2009

1.280,80

122,9

968,7

2008

300,9

143,6

932

93,3

2007

930,2

79,7

2006

226,9

116,9

1.048,00

2005

916,7

169,8

KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA
KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP

85,4

1.012,40

KODE BA

KEMENTERIAN KOPERASI DAN UKM

773,3

NO
43

KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK

668,9

38,9

1.593,50

921,5

44

KEMENTERIAN PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA DAN REFORMASI BIROKRASI

1.758,40

APBN

31

47

BADAN INTELIJEN NEGARA

719,2

738,6

32

48

606,1

APBN-P

33

50

480,6

34

598,7

35

1.042,40

478,7

4.390,20

690,3

3.881,20

3.807,40

437,6

51

348

45.622,00

LEMBAGA SANDI NEGARA

36

2.657,90

3.090,80

3.741,70

401,9

41.892,90

31,1

2.294,50

2.642,10

235

1.188,30

36,3

396,9

34.394,60

1.079,70

705,1

29

2.121,20

2.199,50

764,8

174,2

1.072,60

24,4

312,6

26.783,00

207,9

841

650,7

25,1

2.093,70

1.360,00

603,5

456,6

27,5

DEWAN KETAHANAN NASIONAL

280,2

25.633,30

157,8

770,4

29,6

52

1.602,90

996

530,3

378,3

19,9

37

271,8

21.100,00

115,1

345,1

1.055,10
1.211,50

1.016,00

546,2

311,6

755,5

138,7

19.922,40

144,5

239,6

2.272,60

BADAN PUSAT STATISTIK

948,6

1.235,70

377,6

308,1

542,1

KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/BAPPENAS

108,2

16.449,90

126,3

264,9

2.482,20

54

BADAN PERTANAHAN NASIONAL

429,1

302,3

258,2

384,6

55

PERPUSTAKAAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

11.638,20

72,3

234,5

2.048,80

4.947,70

38

56

KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA

229,7

183,2

1.153,80

72,8

2.601,90

314,9

39

57

KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

44,1

285,7

1.013,40

2.110,10

1.513,40

40

59

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN

164,2

1.024,50

2.353,30

312,3

41

60

LEMBAGA KETAHANAN NASIONAL

170,1

931,2

1.332,80

1.318,20

42

63

BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL

918,4

1.148,40

252,6

43

64

BADAN NARKOTIKA NASIONAL

384,8

1.156,00

1.173,60

44

65

230,2

994,2

912,1

45

66

73,9

637,5

198,1

46

KEMENTERIAN PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL

596

138

47
67
BADAN KEPENDUDUKAN DAN KELUARGA BERENCANA NASIONAL

351,5

48
68

49

79,3

199,8

1.392,30

221,8

891,1

53,7

73,1

668,9

55,5

237,2

761,7

888,7

52,7

169,7

47,6

637,1

526,1

46,2

63,7

663,3

808,6

32,7

162,6

492,9

571,9

491,9

28,5

32,9

388,4

403,3

1.001,40

36,6

158,1

455

677,4

12,4

74

30,9

365,4

222,5

KOMISI NASIONAL HAK AZASI MANUSIA

50

149,7

567,1

515,5

8.492,00

77

308,4

198,7

98,5

602,1

1.284,00

204,6

570,5

526,4

74,2

535,9

1.625,20

33

308,6

183,4

75

436,5

761,7

BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI, DAN GEOFISIKA

110,7

396,6

502,3

308,6

1.108,60

KOMISI PEMILIHAN UMUM

250,9

174,4

102,8

759

75

MAHKAMAH KONSTITUSI

413,4

51,7

223,3

885,5

76

PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN

162,5

74,7

197,6

772,8

51

77

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

36

224

567,1

52

78

BADAN TENAGA NUKLIR NASIONAL

31,1

144,9

679

53

79

BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI

453,7

54

80

LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL

610,4

55

81

BADAN KOORDINASI SURVEY DAN PEMETAAN NASIONAL

468,6

56

82

BADAN STANDARDISASI NASIONAL

521,8

57

83

318,1

58

84

8,4

59

220,5

60

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

180

DIREKTORAT P-APBN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Tabel 5.13 Realisasi Belanja Kementerian Negara/Lembaga 2005-2013 (miliar rupiah)

69,3

243,6

72

535,1

154,2

247

159,4

2013

53,5

250,4

130,3

1.250,40

APBN
48,2

188,7

140,8

486,9

2012

47

178,6

104,3

450,6

APBN-P
53,4

161,5

102,1

388

2011

46,9
157,2

115,5

357,1

2010

126

95,7

296,1

2009

KODE BA
BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR
83,9

288,4

2008

NO
85
LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA
228,5

1.050,50

2007

61
86
ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
-

740

2006

62
87
BADAN KEPEGAWAIAN NEGARA

637,8

2005

63
88

540,1

KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA

64

547

3.105,70

482,1

706,5

1.956,70

437,1

634,5

1.757,90

300,2

4.025,90

BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN

2.393,10

91,9

595,5

89

829,1

268

77,4

589,8

392,7

1.345,50

65

734,2

228,6

68,6

553,1

265,9

1.128,20

5.168,10

204,3

54,2

368,7

375

1.232,90

2.441,50

641,2

7.619,10

266,3

5.928,50

163,8

89,2

319,2

226,1

2.371,90

457,4

6.532,80

104,4

2.362,20

221,7

79,6

235,2

220,4

914,9

KEMENTERIAN PERDAGANGAN

120,9

9.976,70

94,5

1.258,30

KEMENTERIAN PERUMAHAN RAKYAT

79,1

201,9

209,7

1.455,00

90

KEMENTERIAN PEMUDA DAN OLAH RAGA

414,7

34,9

149,2

46,7

1.277,50

91

KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI

590,8

66

92

BADAN REHABILITASI DAN REKONSTRUKSI NAD DAN NIAS

1.144,50

67

93

DEWAN PERWAKILAN DAERAH

419,6

68

94

KOMISI YUDISIAL RI

1.233,60

69

95

BADAN KOORDINASI NASIONAL PENANGGULANGAN BENCANA

369,2

70

100

BADAN NASIONAL PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN TKI

1.128,70

71

103

72

104

84,1

73

211,5

2.256,90

74

183,4

1.533,30

513

571,9

113,9

171,5

70,7

636,8

BADAN PENANGGULANGAN LUMPUR SIDOARJO

105
LEMBAGA KEBIJAKAN PENGADAAN BARANG DAN JASA PEMERINTAH

705,8

75
106

76

119,8

1.666,40
-

992,1

113,5

68,1

BADAN SAR NASIONAL

1.053,80

KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA

60,9

107

512,6

108

77

78

67,7

399,6
-

58,8

BADAN PENGEMBANGAN WILAYAH SURAMADU

268,2

OMBUDSMAN RI

69,2

109

885

274,1

594.597,60

197,7

15,5

110

152,2

547.925,50

735,3

79

BADAN NASIONAL PENGELOLA PERBATASAN

213,4

80
111

92,8

856,6

417.626,20

81
112

BADAN PENGUSAHAAN KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS


BATAM
BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN TERORISME

197,2

985,2

332.920,20

82
113

SEKRETARIAT KABINET REPUBLIK INDONESIA

53,1

306.999,50

312,2

83
114
BADAN PENGAWAS PEMILU

259.701,90

84
115

864,2

85

769

116

LEMBAGA PENYIARAN PUBLIK TELEVISI REPUBLIK INDONESIA

LEMBAGA PENYIARAN PUBLIK RADIO REPUBLIK INDONESIA

86
117

225.014,20

392,2

118

189.361,20

87

120.823,00

753,2

88

Jumlah

BADAN PENGUSAHAAN KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS


SABANG

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

181

DIREKTORAT P-APBN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

5.8

Penyusunan Anggaran Belanja Kementerian Negara/Lembaga

Sesuai dengan siklus penganggaran, masing-masing K/L sejak awal tahun anggaran mulai
menyusun suatu rencana kerja berdasarkan dengan rencana kerja pemerintah, rencana strategis
kementerian negara, serta kebijakan-kebijakan yang mempengaruhi perencanaan pada tahun
anggaran dimaksud. Dengan adanya pagu indikatif yang ditetapkan lebih awal (sekitar bulan
Februari) akan menjadi salah satu dasar dalam penyusunan rencana kerja sesuai prioritas. Dengan
mempengaruhi keterbatasan sumber daya yang tersedia K/L harus menyusun program dan kegiatan
berdasarkan prioritas.
Berdasarkan alokasi anggaran dalam Pagu Indikatif, K/L melakukan pembahasan trilateral meeting
bersama Kementerian Keuangan dan Kementerian PPN/Bappenas, dalam menajamkan dan
mensinkronkan alokasi pendanaan program kegiatan K/L melalui review baseline dan new inisitif
dengan tema dan prioritas pembangunan yang diusung Pemerintah, yang digunakan dalam
Musrenbangnas sebagai sinkronisasi program/kegiatan yang dialokasikan ke daerah dan APBD
Pagu belanja K/L dibagi menjadi 2 (dua) bagian yaitu baseline dan new initiative.
1. Angka Dasar (Baseline)
Baseline merupakan indikasi awal (ancar-ancar) kebutuhan anggaran yang harus disediakan
untuk melaksanakan Program/Kegiatan sesuai kebijakan Pemerintah dengan target kinerja
tertentu yang telah ditetapkan.
Baseline K/L terdiri dari 2 (dua) bagian yaitu :
a. Baseline untuk kebutuhan biaya operasional yang terdiri dari
Pembayaran gaji, tunjangan yg melekat dg gaji, honor tetap, tunjangan lain terkait dg
belanja pegawai, lembur dan vakasi
Untuk belanja gaji/tunjangan tersebut menggunakan 2 (dua) pendekatan yaitu:
-

Jumlah pegawai x tabel gaji/tunjangan

Pendekatan dengan angka realisasi

Operasional sehari-hari perkantoran, langganan daya dan jasa, pemeliharaan sarana dan
prasarana kantor.
Untuk perhitungan belanja barang operasional adalah belanja barang tahun sebelumnya
dikalikan dengan inflasi. Dikecualikan dari perkalian dengan inflasi tersebut adalah honor
dan perjalanan dinas, karena kedua jenis belanja barang tersebut sudah ditentukan
satuan biayanya.

DIREKTORAT P-APBN

182

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

b. Baseline kebutuhan biaya nonoperasional terdiri dari:


1)

Kegiatan/Output terkait pelaksanaan tugas fungsi unit;

2)

Kegiatan/Output terkait pelayanan kepada publik;

3)

Kegiatan/Output terkait pelaksanaan kebijakan prioritas pembangunan nasional;

Kegiatan/Output tersebut terkait penugasan sesuai kebijakan Pemerintah. Untuk belanja non
operasional ditentukan dengan menghitung volume satuan output yang digunakan oleh K/L x
Indeks KPJM. Namun tidak semua jenis belanja nonoperasional dapat dikalikan dengan
indeks, misalnya untuk multi years contract, karena sudah ditentukan besarannya tiap tahun
berdasarkan keputusan Menteri Keuangan.

Gaji dan tunjangan


yg melakat pd gaji

Gaji dan
Tunjangan

Honor tetap,
Tunjangan lain yg
sah
Remunerasi

Lembur dan Vakasi

Biaya
Operasional

Kebutuhan seharihari Perkantoran

Operasional
Kantor

Langganan daya
dan jasa
Pemeliharaan aset
dan peralatan
kantor

Aplikasi GPP;
SK yg terakhir;
Database pegawai.

SK penetapan tunjangan;
Database pegawai.
SK penetapan Remunerasi;
Database pegawai.
Pagu thn sebelumnya;
Database pegawai.

Standar Biaya Masukan (SBM);


SK yg terakhir;
Database pegawai.
Rata-rata pemakaian
tertinggi dlm setahun.
Standar Biaya Masukan (SBM);
Harga pasar atau kontrak thn
sblmnya;
Daftar Inventaris.

Gambar 5.5 Biaya Operasional

DIREKTORAT P-APBN

183

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Output dlm rangka


regulasi

Kegiatan
Tusi atau
Pelayanan

Output dlm rangka


pelayanan
Output dlm rangka
pemenuhan
Infrastruktur

Biaya Non
Operasional

Standar Biaya Masukan (SBM);


SK dr Presiden, Menteri, KPA;
UU, PP, Keppres;
Ko mponen-komponen;
Standar Biaya Keluaran (SBK);
Harga kontrak tahun
sebelumnya;
Dll.

Output dlm rangka


Infrastruktur

Kegiatan
Prioritas
Nasional
atau
Kebijakan
Pemerintah

Output dlm rangka


pelayanan kpd
Publik
Output dlm rangka
penyediaan akses
pendidikan dan
kesehatan

Standar Biaya Masukan (SBM);


SK dr Presiden, Menteri, KPA;
UU, PP, Keppres;
Komponen-komponen;
Standar Biaya Keluaran (SBK);
Harga kontrak tahun
sebelumnya;
Data terkait;
Jumlah target kinerja;
Cost index;
Dll.

Output dlm rangka


pengentasan
kemiskinan

Gambar 5.6 Biaya Nonoperasional


2. Inisiatif Baru (New Initiative)
New initiative adalah kebijakan baru atau perubahan kebijakan berjalan yang menyebabkan adanya
konsekuensi anggaran, baik pada anggaran baseline maupun anggaran ke depan. New initiative
dapat berupa penambahan program (fokus prioritas/outcome/kegiatan/output baru, penambahan
volume target, atau percepatan pencapaian target. Alokasi anggaran New initiative tersebut
berdasarkan proposal anggaran New initiative yang telah disetujui oleh Kementerian PPN/Bappenas
dan Kementerian Keuangan.
K/L juga menggunakan hasil monitoring evaluasi kinerja K/L atas alokasi anggaran tahun
sebelumnya (pasal 3 ayat 3 PMK 249 tentang Tata cara Monitoring dan Evaluasi kinerja K/L),
sebagai peningkatan kualitas pengalokasian anggaran dalam RKAKL tahun yang akan datang
berdasarkan pelaksanaan kegiatan dan capaian keluaran.

DIREKTORAT P-APBN

184

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

K/L menyusun rencana kerja secara berjenjang sampai pada tingkat satuan kerja, sehingga masingmasing satuan kerja dapat menentukan kegiatan yang akan dilaksanakan disertai indikator kinerja
atas keluaran yang dihasilkan. Hal ini perlu ditekankan dikarenakan setiap kepala satuan kerja
bertanggung jawab secara operasional atas pencapaian target kinerja yang telah ditetapkan.
Rencana kerja disusun dalam kurun waktu antara bulan Februari sampai dengan bulan Mei tahun
penyusunan anggaran. Hasil renja dikompilasi Bappenas sebagai Lampiran I, II dan III Draft keppres
RKP.
Berdasarkan PPKF, pengalokasian anggaran dalam pagu indikatif disesuaikan dengan kebijakan yng
diambil oleh Pemerintah, seperti kenaikan gaji, inflasi, dan remunerasi. Selanjutnya alokasi tersebut
disampaikan Kemenkeu sebagai Pagu Anggaran.
Pada bulan Juli, K/L menyesuaikan rencana kerja yang disusun menjadi suatu Rencana Kerja dan
Anggaran (RKA) setelah menerima surat edaran mengenai pagu anggaran yang disampaikan
Kementerian Keuangan atas pembahasan antara pemerintah dengan DPR mengenai kebijakan
umum dan prioritas anggaran. Kementerian negara/lembaga membahas Rencana Kerja dan
Anggaran tersebut dengan komisi kerja terkait di DPR untuk menyesuaikan rencana kerja dengan
anggaran yang diterima sesuai prioritas. Pembahasan K/L dengan komisi terkait tersebut dilakukan
secara simultan dengan Pembahasan Panitia Anggaran DPR Pemerintah (Menteri Keuangan).
JANUARI APRIL

SEPTEMBER - DESEMBER

MEI AGUSTUS
(4)
Pembahasan
Pokok-pokok
Kebijakan
Fiskal & RKP

DPR

(8)
Pembahasan
RKA-KL

(9)
PEMBAHASAN
RAPBN

UU APBN

(11)

(7)
Kebijakan
Umum dan
Prioritas
Anggaran

KABINET/
PRESIDEN

KEMENTRIAN
PERENCANAAN

KEPPRES
TENTANG
RINCIAN APBN

PENELAAHAN
KONSISTENSI
DENGAN RKP

SEB PRIORITAS
PROGRAM DAN
INDIKASI PAGU

(6)
LAMPIRAN
RAPBN
(HIMPUNAN
RKAKL)

(2)
SE PAGU
SEMENTARA

Kementrian
Keuangan

(5)

(13)

(10)
RANCANGAN
KEPPRES TTG
RINCIAN
APBN

PENGESAHAN

PENELAAHAN
KONSISTENSI
DENGAN PRIORITAS
ANGGARAN

(1)
Kement.
Negara/
Lembaga

NOTA
KEUANGAN
RAPBN DAN
LAMPIRAN

Renstra
KL

Rancangan
Renja KL

(3)

RKA-KL

(12)

(14)

KONSEP
DOKUMEN
PELAKSANAAN
ANGGARAN

DOKUMEN
PELAKSANAAN
ANGGARAN

Gambar 5.7 Proses Penyusunan Anggaran

DIREKTORAT P-APBN

185

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Setelah UU APBN ditetapkan dan Keputusan Presiden mengenai Rincian APBN disusun,
kementerian negara segera mempersiapkan rancangan dokumen pelaksanaan anggaran untuk
disampaikan kepada Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara pada minggu kedua bulan
Desember. Menteri keuangan mensahkan dokumen pelaksanaan anggaran selambat-lambatnya
tanggal 31 Desember tahun anggaran yang disusun.
Proses penyusunan anggaran Kementerian Negara/Lembaga merupakan gabungan dari dua
pendekatan, yaitu top down dan buttom up.
Proses top down meliputi tahapan-tahapan berikut:
1). Menteri Negara PPN/Bappenas menyiapkan rancangan awal rencana kerja pemerintah (RKP)
sebagai penjabaran dari rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) nasional.
2). Menteri Negara PPN/Bappenas dan Menteri Keuangan menetapkan Surat Edaran Bersama
(SEB) tentang pagu indikatif, yang merupakan ancar-ancar pagu anggaran Kementerian
Negara/Lembaga (K/L) untuk setiap program sebagai acuan penyusunan rencana kerja K/L.
3). Pemerintah menyampaikan pokok-pokok kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro tahun
anggaran berikutnya ke DPR selambat-lambatnya pertengahan bulan Mei tahun berjalan.
4). Berdasarkan kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal, pemerintah bersamasama DPR membahas kebijakan umum dan prioritas anggaran sebagai acuan K/L dalam
penyusunan usulan rencana kerja dan anggaran yang akan dilaksanakan tahun berikutnya.
Dalam proses itu dihasilkan angka-angka pagu sementara (masih akan berubah sesuai dengan
hasil pembahasan Nota Keuangan dan RUU APBN antara Pemerintah dan DPR-RI).
5). Presiden menyampaikan pidato pengantar RUU APBN dan Nota Keuangan di DPR selambatlambatnya bulan Agustus. Selanjutnya akan dilakukan pembahasan baik antara menteri
keuangan dan Panitia Anggaran DPR, maupun antara komisi-komisi dengan kementerian
negara/lembaga teknis terkait. Hasil dari pembahasan ini menjadi Undang-Undang APBN
selambat-lambatnya pada akhir bulan Oktober.
6). Selanjutnya, RKA-KL yang telah disepakati DPR kemudian ditetapkan dalam Keputusan Presiden
tentang Rincian APBN selambat-lambatnya akhir bulan November untuk dijadikan dasar oleh K/L
dalam menyusun konsep dokumen anggaran (DIPA).
7). Konsep DIPA disampaikan kepada Menteri Keuangan (c.q. Ditjen Perbendaharaan) selaku
Bendahara Umum Negara selambat-lambatnya minggu kedua bulan Desember sehingga dapat
disahkan oleh Menteri Keuangan selambat-lambatnya tanggal 31 Desember. DIPA yang telah
disahkan oleh Menteri Keuangan tersebut merupakan dokumen anggaran yang berlaku sebagai

DIREKTORAT P-APBN

186

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

otorisasi untuk pengeluaran untuk masing-masing kegiatan pada K/L yang dirinci ke dalam
belanja pegawai, barang, modal, dan bantuan sosial.
Proses bottom up meliputi tahapan-tahapan berikut:
1). Masing-masing K/L sejak awal tahun anggaran mulai menyusun suatu rencana kerja (Renja K/L)
berdasarkan pada rancangan awal RKP, rencana strategis kementerian negara, serta kebijakankebijakan yang mempengaruhi perencanaan pada tahun anggaran dimaksud. Dengan adanya
pagu indikatif yang ditetapkan lebih awal (sekitar bulan Februari) akan menjadi salah satu dasar
dalam penyusunan rencana kerja sesuai prioritas. K/L menyusun rencana kerja secara berjenjang
sampai pada tingkat satuan kerja, sehingga masing-masing satuan kerja dapat menentukan
kegiatan yang akan dilaksanakan disertai indikator kinerja atas keluaran yang dihasilkan. Hal ini
perlu ditekankan dikarenakan setiap kepala satuan kerja bertanggung jawab secara operasional
atas pencapaian target kinerja yang telah ditetapkan. Rencana kerja disusun dalam kurun waktu
antara bulan Februari sampai dengan bulan Mei tahun penyusunan anggaran.
2). Setelah menerima keputusan mengenai pagu sementara melalui Surat Edaran Menteri
Keuangan, K/L menyusun Rencana Kerja Anggaran (RKA-KL) dengan berpedoman pada
rencana kerja pemerintah (RKP) dan menggunakan pendekatan: (a) kerangka pengeluaran
jangka menengah (RPJM); (b) penganggaran terpadu; (c) penganggaran berbasis kinerja. Dalam
rencana kerja diuraikan visi, misi, tujuan, kebijakan, program, hasil yang diharapkan, kegiatan
dan keluaran yang diharapkan. Sedangkan di dalam anggaran diuraikan biaya untuk masingmasing program dan kegiatan, serta sumber dan sasaran pendapatan K/L yang bersangkutan.
Rencana kerja dan anggaran yang disusun K/L disampaikan ke DPR untuk dibahas. Dalam
periode tersebut, K/L bersama dengan komisi mitra kerja terkait (Komisi I s.d XI) di DPR
membahas rencana kerja dan kebutuhan anggaran masing-masing K/L yang bersangkutan.
3). Hasil pembahasan RKA-KL disampaikan ke Menteri Keuangan dan Menteri Negara
PPN/Bappenas selambat-lambatnya pada bulan Juli. Kementerian Negara PPN/Bappenas akan
menelaah kesesuaian antara RKA-KL hasil pembahasan bersama DPR dengan RKP. Sementara
Kementerian Keuangan akan menelaah kesesuaian antara RKA-KL hasil pembahasan bersama
DPR dengan Surat Edaran Menteri Keuangn tentang pagu sementara, Prakiraan Maju yang telah
disetujui tahun anggaran sebelumnya dan standar biaya yang telah ditetapkan. Hasil
pembahasan RKA-KL tersebut dijadikan sebagai bahan penyusunan RUU APBN tahun
berikutnya.
4). Setelah UU APBN ditetapkan dan Keputusan Presiden mengenai Rincian APBN disusun,
kementerian negara segera mempersiapkan rancangan dokumen pelaksanaan anggaran untuk
disampaikan kepada Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara pada minggu kedua

DIREKTORAT P-APBN

187

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

bulan Desember. Menteri keuangan mensahkan dokumen pelaksanaan anggaran selambatlambatnya tanggal 31 Desember tahun anggaran yang disusun.
5.8.1 Stakeholder yang Terlibat dalam Penyusunan APBN
Terdapat beberapa pihak yang terlibat penyusunan APBN. Masing-masing pihak tersebut sesuai
dengan ketentuan dalam peraturan perundangan memiliki peran masing-masing dalam tahap
perencanaan, penganggaran maupun pelaksanaan. Peranan masing-masing pihak tersebut dapat
digambarkan dalam proses di bawah ini:
Tahap Perencanaan
Pihak yang terlibat dalam tahap perencanaan ini terutama adalah Kementerian PPN/Bappenas dan
Kementerian Keuangan. Tugas dan fungsi Kementerian PPN/Bappenas pada tahap perencanaan
adalah sebagai pembuat

rancangan awal dan

koordinator dalam penyusunan Rencana

Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dan
rencana kerja tahunan (Rencana Kerja Pemerintah/RKP). Namun pada tahap penyusunan RPJM
dan RKP keterlibatan Kementerian Keuangan dan instansi terkait lainnya mutlak diperlukan karena
dalam RPJM juga termasuk rencana fiskal sedangkan dalam RKP sudah memerlukan pagu indikatif
untuk masing-masing program dan kegiatan pada kementerian negara/lembaga. Kewenangan fiskal
tersebut berada pada Menteri Keuangan.
Tahap Penganggaran
Pihak yang terlibat dalam tahap penganggaran ini terutama adalah Kementerian PPN/Bappenas,
Kementerian Keuangan, DPR, dan Kementerian Negara/Lembaga. Jika RKP telah disepakati, maka
peran Kementerian Keuangan cq Ditjen Anggaran (DJA) menjadi dominan sebagai penelaah dari
RKA-KL yang dibuat oleh kementerian negara/lembaga bersama-sama dengan parlemen mitra
kerjanya. Penelaahan dilakukan agar RKA-KL tetap konsisten dengan Rencana Kerja (Renja)
kementerian negara/lembaga yang dijadikan bahan RKP, dan Ketaatan atas penggunaan satuan
biaya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
RKA-KL merupakan lampiran dari RUU APBN dan Nota Keuangan yang akan disampaikan kepada
DPR. Tahap penganggaran di DJA adalah sampai dengan disahkannya UU APBN dan Keputusan
Presiden tentang Rincian APBN. Selanjutnya DJA menyampaikan data Keputusan Presiden tentang
Rincian APBN tersebut kepada Ditjen Perbendaharaan.

DIREKTORAT P-APBN

188

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Tahap Pelaksanaan Anggaran


Pelaksanaan Anggaran dimulai dengan penyusunan Konsep Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran
(DIPA) oleh kementerian negara/lembaga atas dasar Keputusan Presiden tentang Rincian APBN.
Pada awalnya, pengesahan DIPA dilakukan oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan (DJPBN) selaku
Bendahara Umum Negara agar dapat digunakan sebagai dokumen dasar pembayaran oleh Kuasa
Bendahara Umum Negara. Mulai tahun 2013, sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor
293/KMK.01/2012 tentang Pelimpahan Wewenang kepada Direktur Jenderal Anggaran untuk dan
atas Nama Menteri Keuangan Mengesahkan Dokumen Pelaksanaan Anggaran, tugas pengesahan
DIPA dialihkan kepada Direktur Jenderal Anggaran. Bagian terpenting dalam proses pengalihan
tersebut adalah penyesuaian proses bisnis (alur kerja) penyelesaian dokumen pelaksanaan
anggaran, yang semula berada pada 2 unit eselon I (DJA dan DJPB) menjadi satu kesatuan proses
bisnis

di

DJA.

Beberapa

pertimbangan

pengalihan

fungsi

tersebut

antara

lain

adalah

penyederhanaan proses bisnis, peningkatan kualitas layanan serta perubahan fokus peran DJPB.
DJPB akan semakin fokus menjalankan peran dalam melaksanakan fungsi Bendahara Umum
Negara yang meliputi treasury/cash management, budget execution dan spending revie. Secara
menyeluruh, nilai tambah yang diharapkan dari pengalihan fungsi ini antara lain adalah: Adanya
efisiensi biaya (cost effective), Peningkatan kualitas layanan (better quality of service), Percepatan
waktu

layanan

(quick

service

time).

Pengalihan

fungsi

ini

menyebabkan

beberapa

perubahan/penyesuian proses bisnis dan penyesuaian aplikasi. Perubahan/penyesuaian proses


bisnis yang terjadi di DJA meliputi proses penerimaan RKA-KL, mekanisme penelaahan, penerbitan
Dokumen Hasil Penelaahan (DHP) RKA-KL serta diperkenalkannya istilah DIPA Induk dan DIPA
Petikan. Di DJPB terjadi penyesuaian proses bisnis di Kantor Wilayah dan KPPN serta satuan kerja
Kementerian/Lembaga.
5.9

Klasifikasi Belanja Pemerintah Pusat Menurut Fungsi

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Pasal 11 ayat (5), mengatur
mengatur pengelompokan anggaran belanja Pemerintah Pusat menurut fungsi. Fungsi ini terdiri dari
11 fungsi yang menggambarkan berbagai aspek penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka
pelayanan kepada masyarakat dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Sebelas fungsi pemerintah
tersebut meliputi: (1) fungsi pelayanan umum, (2) fungsi pertahanan, (3) fungsi ketertiban dan
keamanan, (4) fungsi ekonomi, (5) fungsi lingkungan hidup, (6) fungsi perumahan dan fasilitas

DIREKTORAT P-APBN

189

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

umum, (7) fungsi kesehatan, (8) fungsi pariwisata dan budaya, (9) fungsi agama, (10) fungsi
pendidikan, dan (11) fungsi perlindungan sosial.
Dalam periode 20062011, sebagian besar anggaran belanja Pemerintah Pusat dialokasikan untuk
melaksanakan fungsi pelayanan umum yang mencapai rata-rata sekitar 66,8 persen dari total
realisasi belanja Pemerintah Pusat tiap tahunnya. Selebihnya, sekitar 33,2 persen dari realisasi
anggaran belanja Pemerintah Pusat selama periode tersebut digunakan untuk menjalankan fungsifungsi lainnya. Ilustrasi realisasi anggaran belanja Pemerintah Pusat tersebut disajikan dalam grafik
berikut:
PERKEMBANGAN
BELANJA PEMERINTAH PUSAT
Grafik 5.18
MENURUT FUNGSI, 2007 - 2012

Perkembangan Belanja Pemerintah Pusat


Menurut Fungsi, 2007-2012

1 PELAYANAN UMUM
2 PERTAHANAN

965,0

2012
APBN

3 KETERTIBAN DAN
KEAMANAN

2011
LKPP
Una

883,6

4 EKONOMI
5 LINGKUNGAN HIDUP

697,4

2010

6 PERUMAHAN DAN
FASILITAS UMUM

628,8

2009

7 KESEHATAN

693,4

2008

8 PARIWISATA DAN
BUDAYA
9 AGAMA

504,6
2007

10 PENDIDIKAN

200,0

400,0

600,0

800,0

Triliun Rupiah

1.000,0

11 PERLINDUNGAN
SOSIAL

Dalam grafik di atas terlihat jelas gambaran alokasi anggaran ke-8 fungsi, yaitu: pelayanan umum,
pertahanan, ketertiban dan keamanan, ekonomi, lingkungan hidup, perumahan dan fasilitas umum,
kesehatan, dan pariwisata-budaya. Sementara 3 fungsi lainnya (fungsi agama, fungsi perlindungan
sosial, dan perlindungan lingkungan hidup) tidak terlihat karena tidak signifikan secara angka
nominal.
Selanjutnya, rincian masing-masing fungsi dan perkembangan alokasi anggarannya (hanya untuk
beberapa fungsi yang menonjol) dijelaskan sebagai berikut:

DIREKTORAT P-APBN

190

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

5.9.1 Belanja Fungsi Pelayanan Umum


Anggaran belanja Pemerintah Pusat pada fungsi pelayanan umum dialokasikan melalui kementerian
negara/lembaga (K/L) dan non-kementerian negara/lembaga (non K/L), yang terutama digunakan
untuk melaksanakan pelayanan kepada masyarakat. Fungsi pelayanan umum tersebut terdiri dari
beberapa subfungsi, yaitu: (1) subfungsi lembaga eksekutif dan legislatif, keuangan dan fiskal, serta
urusan luar negeri; (2) subfungsi pelayanan umum; (3) subfungsi penelitian dasar dan
pengembangan iptek; (4) subfungsi pinjaman pemerintah; (5) subfungsi pembangunan daerah; dan
(6) subfungsi pelayanan umum lainnya. Perkembangan realisasi anggaran fungsi pelayanan umum
disajikan pada grafik berikut:
BELANJA FUNGSI
PELAYANAN UMUM,
Grafik 5.19.
Perkembangan Belanja 2007-2012
Pemerintah Pusat Menurut
Fungsi Pelayanan Umum Tahun 2007-2012
600,0
Pelayanan Umum Lainnya
500,0

Tril iun Rp

Penelitian Dasar dan Pengembangan Iptek


400,0
Pembangunan Daerah

300,0

200,0

Pi njaman Pemerintah

100,0
Lembaga Eksekutif, Legislatif, Keuangan dan
Fi sk al, serta Urusan LN
2007

2008

Sumber : Kementerian Keuangan

2009

2010

2011*)

2012
APBN

LKPP
Unaudited

5.9.2 Belanja Fungsi Pendidikan


Selanjutnya, realisasi anggaran fungsi pendidikan digunakan untuk membiayai penyelenggaraan
pendidikan yang menjadi tanggung jawab pemerintah. Anggaran pendidikan melalui belanja
Pemerintah Pusat merupakan realisasi anggaran pada fungsi pendidikan untuk seluruh K/L, yang
terdiri dari beberapa subfungsi, yaitu: subfungsi pendidikan anak usia dini (PAUD), subfungsi
pendidikan dasar, subfungsi pendidikan menengah, subfungsi pendidikan nonformal dan formal,
subfungsi pendidikan tinggi, subfungsi pelayanan bantuan terhadap pendidikan, subfungsi

DIREKTORAT P-APBN

191

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

pendidikan keagamaan, subfungsi penelitian dan pengembangan pendidikan, dan subfungsi


pendidikan lainnya. Perkembangan realisasi untuk fungsi pendidikan dapat dilihat pada grafik berikut:

Grafik 5.20.
BELANJA FUNGSI PENDIDIKAN,
Perkembangan2007-2012
Belanja Pemerintah Pusat
Menurut Fungsi Pendidikan Tahun 2007-2012
Litbang Pendidikan

90,0
80,0

Pendidikan Keagamaan

Triliun Rp

70,0
Pelayanan Bantuan terhadap Pendidikan

60,0
50,0

Pendidikan Tinggi

40,0
Pendidikan Non-Formal dan Informal

30,0
20,0

Pendidikan Menengah

10,0
Pendidikan Dasar

2007

2008

Sumber : Kementerian Keuangan

2009

2010

2011*)
LKPP
Unaudited

2012
APBN

5.9.3 Belanja Fungsi Ekonomi


Selanjutnya, realisasi anggaran belanja pada fungsi ekonomi merupakan realisasi anggaran yang
dimanfaatkan untuk membiayai program-program sarana dan prasarana transportasi, pertanian,
pengairan, dan energi, yang diharapkan mampu mendukung upaya percepatan pertumbuhan
ekonomi. Realisasi anggaran pada fungsi ekonomi tersebut meliputi realisasi anggaran belanja
kementerian negara/lembaga dari beberapa subfungsi, yaitu subfungsi transportasi, subfungsi
pertanian, kehutanan perikanan dan kelautan; subfungsi pengairan; dan subfungsi energi dan bahan
bakar. Perkembangan realisasi untuk fungsi ekonomi dapat dilihat pada grafik berikut:

DIREKTORAT P-APBN

192

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

BELANJAGrafik
FUNGSI
EKONOMI,
5.21.
2007-2012
Perkembangan Belanja Pemerintah
Pusat Menurut Fungsi Ekonomi
Tahun 2007-2012
Industri dan Konstruksi

100,0
90,0

Transportasi

Tril iun Rp

80,0
Pertambangan

70,0
60,0

Bahan Bakar dan Energi

50,0
Pengairan

40,0
30,0

Pertanian, Kehutanan, Perikanan, dan Kelautan

20,0
Tenaga Kerja
10,0
2007

2008

Sumber : Kementerian Keuangan

2009

2010

2011*)

2012
APBN

Perdagangan, Pengembangan Usaha, Koperasi dan


UKM

LKPP
Unaudited

5.9.4 Belanja Fungsi Pertahanan


Realisasi anggaran fungsi pertahanan digunakan untuk membiayai penyelenggaraan peningkatan
kemampuan dan kekuatan pertahanan negara, sesuai dengan salah satu sasaran pokok

dari

agenda mewujudkan Indonesia yang aman dan damai, yaitu memperkokoh Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, serta Bhineka Tunggal Ika yang
tercermin dari tertanganinya kegiatan-kegiatan untuk memisahkan diri dari NKRI, dan meningkatnya
daya cegah dan daya tangkal negara terhadap ancaman bahaya terorisme bagi tetap tegaknya
kedaulatan NKRI, baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
Realisasi anggaran fungsi pertahanan pada belanja Pemerintah Pusat digunakan oleh Kementerian
Pertahanan/TNI, yang meliputi Mabes TNI, TNI Angkatan Darat, TNI Angkatan Laut, dan TNI
Angkatan Udara. Fungsi pertahanan terdiri dari beberapa subfungsi, yaitu subfungsi pertahanan
negara, subfungsi dukungan pertahanan, subfungsi penelitian dan pengembangan pertahanan,
subfungsi bantuan militer luar negeri dan pengembangan pertahanan, dan subfungsi pertahanan
lainnya. Perkembangan realisasi untuk fungsi pertahanan dapat dilihat pada grafik berikut:

DIREKTORAT P-APBN

193

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Grafik 5.22.

BELANJA FUNGSI PERTAHANAN,


Perkembangan Belanja Pemerintah
Pusat Menurut
2007-2012

Fungsi

Pertahanan Tahun 2007-2012


Pertahanan Negara

Dukungan Pertahanan

Litbang Pertahanan

80,0
70,0

Triliun Rp

60,0
50,0
40,0
30,0
20,0
10,0
-

2007

2008

2009

2010

2011*)

2012
APBN

LKPP
Unaudited

Sumber : Kementerian Keuangan

5.9.5 Belanja Fungsi Ketertiban dan Keamanan


Selanjutnya, realisasi anggaran pada fungsi ketertiban dan keamanan dipergunakan untuk
membiayai penyelenggaraan ketertiban dan keamanan yang menjadi tanggung jawab pemerintah.
Realisasi anggaran ketertiban dan keamanan melalui belanja Pemerintah Pusat meliputi realisasi
anggaran fungsi ketertiban dan keamanan pada beberapa kementerian negara/lembaga yang terdiri
dari beberapa subfungsi, yang meliputi:
(1) kepolisian;
(2) penanggulangan bencana; dan
(3) pembinaan hukum.
Fungsi ketertiban dan keamanan juga mengalami restrukturisasi dan pemindahan program dalam
tahun 2008, dimana program penerapan kepemerintahan yang baik dipindahkan dari fungsi
ketertiban dan keamanan ke fungsi pelayanan umum. Perkembangan realisasi untuk fungsi
ketertiban dan keamanan dapat dilihat pada grafik berikut:

DIREKTORAT P-APBN

194

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

BELANJA FUNGSI KETERTIBAN


DAN
KEAMANAN,
Grafik
5.23.
2007-2012

Perkembangan Belanja Pemerintah Pusat Menurut


Fungsi Ketertiban dan Keamanan Tahun 2007-2012

35,0

Triliun Rp

30,0

Ke tertiban dan Ke amanan Lainnya

25,0
Peradilan
20,0
Pembinaan Hukum
15,0
Penanggulangan Be ncana

10,0

5,0

Ke polisian

2007

2008

2009

2010

2011*)
LKPP
Unaudited

2012
APBN

Sumber : Kementerian Keuangan

5.9.6 Belanja Fungsi Perlindungan Sosial


Alokasi anggaran pada fungsi perlindungan sosial dipergunakan untuk membiayai penyelenggaraan
perlindungan sosial yang menjadi tanggung jawab pemerintah. Realisasi anggaran belanja
Pemerintah Pusat meliputi realisasi anggaran fungsi perlindungan sosial pada beberapa kementerian
negara/lembaga sebagaimana tabel berikut:

DIREKTORAT P-APBN

195

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Tabel 5.14
Perkembangan Alokasi Belanja Menurut Fungsi Perlindungan Sosial Tahun 2005-2012

Kode

Fungsi/Sub Fungsi
2005

11
11.01

Perlindungan Sosial
Perlindungan dan pelayanan
social orang sakit dan cacat
11.02
Perlindungan dan pelayanan
social lansia
11.03
Perlindungan dan pelayanan
social keluarga pahlawan,
perintis kemerdekaan,
pejuang
11.04
Perlindungan dan pelayanan
social anak-anak dan
keluarga
11.05
Pemberdayaan Perempuan
11.06
Penyuluhan dan bimbingan
social
11.07
Bantuan Perumahan
11.08
Bantuan dan Jaminan Sosial
11.09
Litbang Perlindungan social
11.90
Perlindungan social lainnya
Catatan:*) 2011 merupakan LKPP Unaudited

Alokasi Anggaran (triliun rupiah)


2006 2007 2008 2009 2010 2011

2012

2,1
0,0

2,3
-

2,7
-

3,0
-

3,1
-

3,3
-

3,9
0,3

5,6
0,3

0,0

0,1

0,1

0,0

0,0

0,4

0,1

0,7

0,7

0,7

0,8

0,5

0,5

0,1
0,0

0,1
0,0

0,1
0,5

0,1
0,5

0,1
0,5

0,1
0,5

0,1
-

0,1
-

0,7
0,0
0,8

0,7
0,1
1,3

1,1
0,1
0,1

1,5
0,1
0,1

1,5
0,1
0,1

1,7
0,1
0,1

0,0
0,2
2,7

0,0
0,2
4,2

5.9.7 Belanja Fungsi Lingkungan Hidup


Alokasi anggaran pada fungsi Lingkungan hidup dipergunakan untuk membiayai penyelenggaraan
untuk menjaga lingkungan hidup yang menjadi tanggung jawab pemerintah. Realisasi anggaran
belanja Pemerintah Pusat meliputi realisasi anggaran fungsi lingkungan hidup pada beberapa
kementerian negara/lembaga sebagaimana tabel berikut:

DIREKTORAT P-APBN

196

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Tabel 5.15.
Perkembangan Alokasi Belanja Menurut Fungsi Lingkungan Hidup
Tahun 2005-2012
Kode

05

Fungsi/Subfungsi

LINGKUNGAN HIDUP

05.01

Manajemen Limbah

05.02

Manajemen Air Limbah

05.03

Penanggulangan Polusi

05.04

Konservasi Sumberdaya Alam

05.05

Tata Ruang dan Pertanahan

05.06

Litbang Lingkungan Hidup

05.90

Lingkungan Hidup Lainnya

Alokasi Anggaran (Triliun Rupiah)


*)

2005

2006

2007

2008

2009

2010

2011

1,3

2,7

5,0

5,3

10,7

6,5

8,6

11,5

0,3

0,3

0,3

0,5

0,5

0,8

2,2

2,9

0,0

0,1

0,2

0,2

0,2

0,2

0,2

0,2

0,2

0,5

1,7

3,2

3,2

4,5

3,9

3,7

4,4

0,4

0,4

1,0

1,4

1,4

1,6

2,1

3,3

0,0

0,0

0,0

0,3

0,1

4,1

0,2

0,4

0,7

2012

Catatan:*) 2011 merupakan LKPP Unaudited

5.9.8 Belanja Fungsi Perumahan dan Fasilitas Umum


Alokasi anggaran pada fungsi perumahan dan fasilitas umum dipergunakan untuk membiayai
penyelenggaraan penyediaan perumahan dan fasilitas umum yang menjadi tanggung jawab
pemerintah. Realisasi anggaran belanja Pemerintah Pusat meliputi realisasi anggaran fungsi
perumahan dan fasilitas umum pada beberapa kementerian negara/lembaga sebagaimana tabel
berikut:

DIREKTORAT P-APBN

197

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Tabel 5.16.
Perkembangan Alokasi Belanja Menurut Fungsi Perumahan
dan Fasilitas Umum Tahun 2005-2012
Kode

Fungsi/Subfungsi

06.01
06.02
06.03
06.04
06.05
06.90
Catatan

2005

2006

2007

2008

2009

2010

2011*)

2012

4,2

5,5

9,1

12,4

14,6

20,1

22,8

26,5

Pembangunan Perumahan
Pemberdayaan Komunitas
Permukiman

0,4

1,0

1,1

1,6

2,0

1,4

1,4

3,1

0,6

1,2

2,4

2,1

3,4

2,7

3,6

4,0

Penyediaan Air Minum

0,5

0,9

1,4

2,1

3,2

3,0

3,0

3,5

Penerangan Jalan
Litbang Perumahan dan
Fasilitas Umum
Perumahan dan Fasilitas
Umum Lainnya

2,7

2,4

4,1

6,6

6,1

13,0

14,8

15,8

PERUMAHAN DAN
FASILITAS UMUM

06

:*)

Alokasi Anggaran (Triliun Rupiah)

2011 merupakan LKPP Unaudited

5.9.9 Belanja Fungsi Kesehatan


Alokasi anggaran pada fungsi kesehatan dipergunakan untuk membiayai penyelenggaraan
penyediaan layanan kesehatan yang menjadi tanggung jawab pemerintah. Realisasi anggaran
belanja Pemerintah Pusat meliputi realisasi anggaran fungsi kesehatan pada beberapa kementerian
negara/lembaga sebagaimana tabel berikut:
Tabel 5.17.
Perkembangan Alokasi Belanja Menurut Fungsi Kesehatan Tahun 2005-2012
Kode

Fungsi/Subfungsi

Alokasi Anggaran (Triliun Rupiah)


2005

07
07.01
07.02
07.03
07.04

2006

2007

2008

2009

2010

2011*)

2012

KESEHATAN
Obat dan Perbekalan
Kesehatan
Pelayanan Kesehatan
Perorangan
Pelayanan Kesehatan
Masyarakat
Kependudukan dan Keluarga
Berencana

5,8

12,2

16,0

14,0

15,7

18,8

14,0

15,6

0,4

0,9

0,9

1,4

1,3

1,3

1,5

2,5

2,1

4,8

8,1

8,8

9,8

12,1

8,2

8,7

3,1

4,2

3,3

1,7

2,7

3,2

1,3

1,1

0,3

0,4

0,5

0,6

0,8

2,3

2,6

07.05

Litbang Kesehatan

0,1

0,1

0,2

0,2

0,1

0,3

0,3

0,3

07.90

Kesehatan Lainnya

0,3

1,8

3,1

1,5

1,2

1,2

0,4

0,3

Catatan :*) 2011 merupakan LKPP Unaudited

DIREKTORAT P-APBN

198

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

5.9.10 Belanja Fungsi Pariwisata dan Budaya


Alokasi anggaran pada fungsi kesehatan dipergunakan untuk membiayai penyelenggaraan
pariwisata dan budaya yang menjadi tanggung jawab pemerintah. Realisasi anggaran belanja
Pemerintah Pusat meliputi realisasi anggaran fungsi pariwisata dan budaya pada beberapa
kementerian negara/lembaga sebagaimana tabel berikut:
Tabel 5.18
Perkembangan Alokasi Belanja Menurut Fungsi Pariwisata dan Budaya Tahun 2005-2012
Kode

08
08.01
08.02
08.03
08.04

Fungsi/Subfungsi
PARIWISATA DAN
BUDAYA
Pengembangan Pariwisata
dan Budaya
Pembinaan Kepemudaan dan
Olah Raga
Pembinaan Penerbitan dan
Penyiaran
Litbang Pariwisata dan
Budaya

08.05

Pembinaan Olahraga Prestasi

08.90

Pariwisata dan Budaya


Lainnya

Alokasi Anggaran (Triliun Rupiah)


2005

2006

2007

2008

2009

2010

2011*)

2012

0,6

0,9

1,9

1,3

1,4

1,4

3,6

2,5

0,3

0,5

0,5

0,6

0,6

0,9

1,3

1,3

0,3

0,3

0,5

0,6

0,7

0,0

0,0

0,1

0,4

0,1

0,1

0,1

0,0

0,0

0,1

0,1

0,4

1,8

0,5

0,0

0,0

0,4

0,4

0,5

Catatan :*) 2011 merupakan LKPP Unaudited

5.9.11 Belanja Fungsi Agama


Alokasi anggaran pada fungsi agama dipergunakan untuk membiayai penyelenggaraan kehidupan
beragama yang menjadi tanggung jawab pemerintah. Realisasi anggaran belanja Pemerintah Pusat
meliputi realisasi anggaran fungsi agama pada kementerian negara/lembaga sebagaimana tabel
berikut:

DIREKTORAT P-APBN

199

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Tabel 5.19
Perkembangan Alokasi Belanja Menurut Fungsi Agama Tahun 2005-2012

Kode

Fungsi/Subfungsi

Alokasi Anggaran (Triliun Rupiah)


2005

09

AGAMA

09.01

Peningkatan Kehidupan
Beragama

09.02

Kerukunan Hidup Beragama

09.03

Litbang Agama

09.90

Pelayanan Keagamaan
Lainnya

2006

2007

2008

2009

2010 2011*) 2012

1,3

1,4

1,9

0,7

0,8

0,9

1,4

3,6

1,2

1,3

0,4

0,6

0,7

0,8

0,7

0,9

0,1

0,0

0,0

0,0

0,0

0,0

0,1

0,1

0,0

0,0

0,0

0,0

0,0

0,0

0,1

1,9

0,0

0,1

1,4

0,1

0,0

0,0

0,6

0,7

Catatan :*) 2011 merupakan LKPP Unaudited

5.10 Profil Belanja Pemerintah Pusat


Untuk kebutuhan analisis, baik belanja negara maupun belanja pemerintah pusat dapat pula
diklasifikan berdasarkan sifat pengalokasiannya. Klasifikasi dimaksud antara lain meliputi: (1) belanja
operasional dan non operasional, serta (2) belanja mengikat (wajib) dan tidak mengikat (tidak wajib).
5.10.1 Belanja operasional dan nonoperasional
Pengelompokan belanja negara dalam belanja operasional dan belanja nonoperasional dilakukan
untuk melihat seberapa besar belanja negara dialokasikan untuk biaya yang secara tidak langsung
(tetap) maupun langsung dalam penyelenggaraan pemerintahan. Pengelompokan belanja tersebut
mengacu pada pengelompokan biaya pada private sector: fixed cost dan variable cost. Yang
dimaksud dengan belanja operasional ialah biaya yang harus ada dan tidak tergantung dari capaian
target kinerja suatu kementerian/lembaga. Apapun dan berapapun target kinerja pemerintahan yang
akan dicapai, belanja operasional dalam penyelenggaraan pemerintahan besarnya relatif tetap.
Sedangkan belanja nonoperasional ialah biaya yang besarannya tergantung dengan target capaian
kinerja kementerian/lembaga yang akan dicapai, semakin besar target kinerja, berarti semakin besar
belanja nonoperasionalnya.
Pengelompokan belanja operasional dan nonoperasional ini digunakan mulai tahun anggaran 2011
pada

saat penerapan

restrukturisasi program dan

kegiatan

dalam kerangka penerapan

penganggaran berbasis kinerja. Berdasarkan peruntukannya, seluruh belanja operasional merupakan

DIREKTORAT P-APBN

200

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

belanja yang mendukung pencapaian output layanan perkantoran. Semua kementerian/lembaga


menghasilkan output layanan perkantoran pada kegiatannya. Sedangkan belanja nonoperasional
merupakan belanja yang mendukung penacapaian output teknis, sesuai dengan tugas-fungsi
masing-masing kementerian/lembaga. Belanja operasional terdiri dari keseluruhan belanja pegawai,
sebagian belanja barang, dan sebagian kecil belanja modal. Belanja operasional yang berasal dari
belanja barang terdiri dari: (1) belanja barang, (2) belanja jasa, (3) belanja pemeliharaan, (4) belanja
perjalanan, serta (5) belanja BLU. Sementara itu, belanja operasional yang berasal dari belanja
modal terdiri dari: (1) belanja modal peralatan dan mesin, (2) belanja penambahan nilai peralatan dan
mesin, (3) belanja penambahan nilai gedung dan bangunan, (4) belanja modal fisik lainnya, serta (5)
belanja modal peralatan dan mesin (BLU).
Dalam kurun waktu 2011-2012, rasio anggaran belanja operasional terhadap total belanja
pemerintah pusat secara rata-rata mencapai 16,6 persen, dan sisanya sebesar 83,4 persen
merupakan belanja nonoperasional. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah dan besaran persentase
anggaran belanja operasional Pemerintah tersebut relatif normal apabila dibandingkan dengan
organisasi privat sector dalam bidang jasa yang mencantumkan rata-rata fixed cost-nya sebesar
20%.

Perkembangan belanja operasional dan nonoperasional dalam kurun waktu 2011-2012

ditampilkan dalam grafik berikut:

400

Grafik 5.24
Belanja Operasional
dan Non Operasional
Belanja Operasional dan Non Operasional

350
300

Triliun

250
Operasional

200
150

35,9%

35,2%

% Operasional thd BPP


% Non Ops thd BPP

100
50

Non Operasional

17,4%

15,8%

0
2011

2012
Tahun

DIREKTORAT P-APBN

201

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

5.10.2 Belanja mengikat (wajib) dan tidak mengikat (tidak wajib)


Pengklasifikasian belanja negara berdasarkan mengikat dan tidak mengikat dilakukan untuk melihat
seberapa besar diskresi Pemerintah dalam pengalokasian anggaran. Semakin besar porsi belanja
mengikat, maka diskresi (ruang gerak) Pemerintah untuk melakukan intervensi fiskal, dalam bentuk
stimulasi dari anggaran belanja negara terhadap kegiatan ekonomi masyarakat, baik untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja produktif maupun pengentasan
kemiskinan menjadi relatif terbatas.
Belanja

mengikat

didefinisikan

sebagai

belanja

yang

wajib

dianggarkan

terkait

dengan

penyelenggaraan operasional pemerintahan, kewajiban yang harus dilakukan pemerintah, dan


belanja yang bersumber dari penerimaan PNBP dan BLU yang dapat digunakan kembali oleh
Kementerian Negara/Lembaga. Dengan demikian, belanja mengikat, meliputi: (1) belanja pegawai,
(2) belanja barang operasional, (3) belanja modal operasional, (4) subsidi, (5) pembayaran bunga
utang, (6) belanja lain-lain yang bersifat wajib, (7) belanja kementerian negara/lembaga yang
bersumber dari penggunaan PNBP/BLU, serta (8) transfer ke daerah sebagai konsekuensi
pelaksanaan desentralisasi fiskal.
Sementara itu, belanja tidak mengikat adalah belanja yang dapat dialokasikan sesuai yang kapasitas
fiskal yang dimiliki Pemerintah, setelah pengalokasian belanja yang bersifat wajib, sebagai
pendanaan program-program pembangunan yang ditetapkan dalam rencana kerja pemerintah.
Dalam kurun waktu 2005-2012, rasio anggaran belanja wajib terhadap total belanja pemerintah pusat
secara rata-rata mencapai 74,0 persen,dan sisanya sebesar 26,0 persen merupakan belanja tidak
wajib. Hal ini menunjukkan relatif terbatasnya ruang gerak Pemerintah dalam pengalokasikan
anggaran untuk melakukan intervensi fiskal. Perkembangan belanja mengikat dan tidak mengikat
dalam kurun waktu 2005-2012 ditampilkan dalam grafik berikut:

DIREKTORAT P-APBN

202

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Grafik Tidak
5.25 Mengikat, terhadap
Komposisi Belanja Mengikat
Komposisi
Belanja
Mengikat
& Tidak mengikat,
Belanja
Negara,
2005-2012
Terhadap Belanja Negara, 2005-2012

100

Persen

80
60
40
20
0
Tidak Mengikat
Mengikat

2005
19

2006
23

2007
20

2008
18

2009
23

2010
20

2011
24

2012
24

81

77

80

82

77

80

76

76

5.10.3 Anggaran Pendidikan


Pasal 31 ayat 4 UUD 1945 Amandemen ke 4 mengamanatkan bahwa negara memprioritaskan
anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN serta dari APBD untuk memenuhi
kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Dalam UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, diamanatkan bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan
layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap
warga negara tanpa diskriminasi. Sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 013/PUUVI/2008, Pemerintah harus menyediakan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari
APBN dan APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
Anggaran pendidikan adalah alokasi anggaran pada fungsi pendidikan yang dianggarkan melalui
kementerian negara/lembaga, alokasi anggaran pendidikan melalui transfer ke daerah, dan alokasi
anggaran pendidikan melalui pengeluaran pembiayaan, termasuk gaji pendidik, namun tidak
termasuk anggaran pendidikan kedinasan, untuk membiayai penyelenggaraan pendidikan yang
menjadi tanggung jawab Pemerintah. Untuk menjalankan amanat tersebut, dalam UU Nomor 41
Tahun 2008 tentang APBN Tahun Anggaran 2009, Pemerintah mengalokasikan 20 persen dari
APBN untuk anggaran pendidikan. Persentase anggaran pendidikan tersebut adalah perbandingan
alokasi anggaran pendidikan terhadap total alokasi anggaran belanja negara.
Pemerintah berupaya untuk menjaga anggaran pendidikan agar tetap memenuhi amanat konstitusi
yaitu sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN. Dari sisi nominal, dalam periode tersebut anggaran
pendidikan mengalami peningkatan yang sangat signifikan yaitu dari Rp208,3 triliun pada tahun 2009

DIREKTORAT P-APBN

203

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

meningkat menjadi Rp266,9 triliun pada tahun 2011. Alokasi anggaran pendidikan melalui belanja
Pemerintah Pusat meningkat dari Rp90,6 triliun menjadi Rp105,4 triliun.
Alokasi anggaran pendidikan pada Pemerintah Pusat digunakan antara lain untuk bantuan
operasional sekolah (BOS), penyediaan beasiswa untuk siswa/mahasiswa kurang mampu,
rehabilitasi ruang kelas, pembangunan unit sekolah baru dan ruang kelas baru, serta pembangunan
prasarana pendukung dan pemberian tunjangan profesi guru.
Alokasi anggaran pendidikan melalui transfer ke daerah antara lain terdiri dari bagian anggaran yang
dialokasikan pada DBH, DAU, DAK, Dana Otsus dan Dana Penyesuaian. Bagian anggaran
pendidikan dalam DBH terdiri atas bagian DBH pertambangan minyak bumi dan gas bumi.
Penghitungan DBH pendidikan tersebut berdasarkan pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 33
Tahun 2004. Bagian anggaran pendidikan dalam DAU terdiri atas DAU untuk gaji pendidik dan DAU
untuk non gaji. Bagian anggaran pendidikan dalam DAK ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara
Pemerintah dengan DPR. Bagian anggaran pendidikan dalam otonomi khusus dihitung berdasarkan
pasal 36 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi
Papua dan pasal 182 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Bagian anggaran pendidikan dalam dana penyesuaian antara lain terdiri atas tunjangan profesi guru,
dana tambahan penghasilan guru Pegawai Negeri Sipil Daerah (PNSD), dan bantuan operasional
sekolah (BOS) yang penghitungannya bersumber dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,
serta dana insentif daerah yang penggunaannya ditujukan terutama untuk pelaksanaan fungsi
pendidikan yang dialokasikan kepada daerah dengan mempertimbangkan kriteria tertentu.
Dari tahun 2009-2011, alokasi anggaran pendidikan pada transfer ke daerah juga mengalami
perkembangan yang sangat signifikan, yaitu dari Rp117,7 triliun pada tahun 2009 menjadi Rp157,0
triliun pada tahun 2011. Alokasi anggaran tersebut sebagian besar disalurkan melalui DAU sebesar
69,8 persen; dana penyesuaian sebesar 21,2 persen, DAK sebesar 6,6 persen, Dana Otsus sebesar
1,8 persen dan sisanya DBH sebesar 0,5 persen. Pengalokasian anggaran untuk BOS melalui
transfer ke daerah dilakukan mulai tahun 2011, yang sebelumnya dialokasikan melalui belanja
Pemerintah Pusat. Anggaran pendidikan pada transfer ke daerah tersebut antara lain digunakan
untuk membayar tunjangan profesi guru dan dosen yang memiliki sertifikat pendidik, dana tambahan
penghasilan guru PNSD bagi guru yang belum mendapat tunjangan profesi, penyaluran BOS,
peningkatan wajib belajar sembilan tahun dan rehabilitasi ruang kelas.
Selanjutnya, anggaran pendidikan melalui pengeluaran pembiayaan yang selanjutnya disebut dana
pengembangan pendidikan nasional (DPPN) terdiri atas dana abadi (endowment funds) pendidikan
dan dana cadangan pendidikan, dimana dana tersebut dikelola oleh BLU bidang pendidikan yaitu

DIREKTORAT P-APBN

204

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) yang merupakan satker dari Kementerian Keuangan.
Endowment Fund adalah Dana Pengembangan Pendidikan Nasional yang dialokasikan dalam APBN
dan/atau APBN-P yang bertujuan untuk menjamin keberlangsungan program pendidikan bagi
generasi berikutnya sebagai bentuk pertanggungjawaban antargenerasi (intergenerational equity).
Sedangkan Dana Cadangan Pendidikan adalah Dana Pengembangan Pendidikan Nasional yang
dialokasikan dalam APBN dan/atau APBN-P untuk mengantisipasi keperluan rehabilitasi fasilitas
pendidikan yang rusak akibat bencana alam. Pengelolaan DPPN tersebut diatur dengan Peraturan
Menteri Keuangan (PMK) Nomor: 238/PMK.05/2010 tentang Tata Cara Penyediaan, Pencairan,
Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Endowment Fund dan Dana Cadangan Pendidikan.
Penyediaan DPPN ini dimulai tahun 2010 sebesar Rp1,0 triliun, kemudian tahun 2011 sebesar Rp2,6
triliun, dan tahun 2012 sebesar Rp7,0 triliun, sehingga total dana pokok DPPN yang bersumber dari
APBN sampai dengan tahun 2012 berjumlah Rp10,6 triliun
Pada tahun 2012, anggaran pendidikan diarahkan untuk mencapai tema prioritas bidang pendidikan
yaitu peningkatan akses pendidikan yang berkualitas, terjangkau, relevan, dan efisien menuju
terangkatnya kesejahteraan hidup rakyat, kemandirian, keluhuran budi pekerti, dan karakter bangsa
yang kuat. Pembangunan bidang pendidikan diarahkan demi tercapainya pertumbuhan ekonomi
yang didukung keselarasan antara ketersediaan tenaga terdidik dengan kemampuan: 1) menciptakan
lapangan kerja atau kewirausahaan dan 2) menjawab tantangan kebutuhan tenaga kerja.
Kebijakan bidang pendidikan pada tahun 2012 diarahkan pada:
1.

peningkatan kualitas wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun yang merata;

2.

peningkatan akses, kualitas, dan relevansi pendidikan menengah,

3.

peningkatan kualitas, relevansi, dan daya saing pendidikan tinggi,

4.

peningkatan profesionalisme dan pemerataan distribusi guru dan tenaga kependidikan,

5.

peningkatan akses, kualitas, dan relevansi pendidikan anak usia dini, pendidikan non-formal
dan informal,

6.

pemantapan pelaksanaan sistem pendidikan nasional,

7.

pemantapan pendidikan karakter bangsa,

8.

peningkatan kualitas pendidikan agama dan keagamaan, dan

9.

peningkatan budaya gemar membaca dan layanan perpustakaan.

Demi terwujudnya tema prioritas bidang pendidikan tersebut, maka alokasi anggaran pendidikan
yang ditetapkan dalam APBN-P 2012 adalah sebesar Rp310,8 triliun (20,2 persen), yang terdiri dari
anggaran pendidikan melalui belanja Pemerintah Pusat sebesar Rp117,2 triliun; anggaran
pendidikan melalui transfer ke daerah sebesar Rp186,6 triliun dan anggaran pendidikan melalui

DIREKTORAT P-APBN

205

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

pengeluaran pembiayaan sebesar Rp7,0 triliun. Adapun perkembangan anggaran pendidikan tahun
2009 2012 dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 5.20
Perkembangan Anggaran Pendidikan 2009-2012
(miliar
(miliarrupiah)
rupiah)
Komponen Anggaran Pendidikan

2009

2010

2011

2012

1. Anggaran Pendidikan melalui Belanja Pemerintah Pusat

90.632,2

96.480,3

105.356,4

117.232,5

A. Anggaran Pendidikan Pada Kementerian Negara / Lembaga

88.904,7

96.480,3

105.356,4

117.232,5

a. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan


b. Kementerian Agama
c. Kementerian Negara/Lembaga lainnya
B. Bagian Anggaran 999

62.090,7
23.711,8
3.102,2
1.727,5

62.955,2
26.524,5
7.000,5
-

67.344,1
30.363,2
7.649,0
-

77.179,8
33.485,3
6.567,4
-

117.654,4

127.749,0

158.966,5

186.615,4

609,7
9.334,9

748,5
9.334,9

882,4
10.041,3

991,6
10.041,3

c. Bagian Anggaran Pendidikan yang diperkirakan dalam DAU

97.982,8

95.923,1

104.289,8

113.855,5

d. Tambahan Penghasilan Guru PNSD

7.490,0

5.800,0

3.696,2

2.898,9

10.994,9

18.537,7

30.559,8

2.237,0

2.309,9

2.706,4

3.285,8

1.387,8

1.387,8

1.387,8

2. Anggaran Pendidikan melalui Transfer Ke Daerah


a. Bagian Anggaran Pendidikan yang diperkirakan dalam DBH
b. DAK Pendidikan

e. Tunjangan Profesi guru


f. Bagian Anggaran Pendidikan yang diperkirakan dalam Otsus
g. Dana insentif daerah
h. Dana percepatan pembangunan infrastruktur pendidikan

1.250,0

16.812,0
613,0

23.594,8
-

1.000,0

2.617,7

7.000,0

208.286,6

225.229,3

266.940,6

310.847,9

1.000.843,9

1.126.146,5

1.320.751,3

1.548.310,4

20,8

20,0

20,2

20,1

i. Bantuan Operasional Sekolah


j. Dana percepatan pembangunan infrastruktur daerah (DPPID)
pendidikan
3. Anggaran Pendidikan melalui Pengeluaran Pembiayaan
4. Anggaran Pendidikan (1 + 2 + 3)
5. Total Belanja Negara
Rasio Anggaran Pendidikan (4 : 5 ) X 100%

5.11 Perkembangan Belanja Kementerian Lembaga


Pada tabel 5.20 dapat dilihat perbandingan antara pagu yang dialokasikan untuk tiap K/L (pagu
APBN-P) dengan realisasi belanja K/L dari Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP). Secara
total realisasi belanja/penyerapan K/L selalu lebih kecil daripada pagu yang dianggarkan, pada tahun
2009 sebesar 97,5%, tahun 2010 sebesar 90,9% dan tahun 2011 sebesar 90,5%. Sedangkan tahun
2012 sebesar 89%, tetapi angka realisasi tersebut masih memakai angka realisasi sementara.

DIREKTORAT P-APBN

206

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Tabel 5.21 Perkembangan Belanja Kementerian Negara/Lembaga Tahun 2009-2012

Realisasi
Sementara

2.998,3

732,7

2013

APBN-P

522,4

2.903,4

2012

623,2

2.031,4

5.325,9

2011

320,6

2.706,6

2.259,3

4.362,2

2010

416,1

1.742,9

2.674,8

4.808,4

2.473,2

2009

204,8

2.445,5

2.087,3

5.055,6

3.527,1

013

012

011

010

008

KEMENTERIAN KEUANGAN

KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM

KEMENTERIAN PERTAHANAN

KEMENTERIAN LUAR NEGERI

KEMENTERIAN DALAM NEGERI

WAKIL PRESIDEN

14.450,5

4.391,4

31.984,3

4.112,5

8.048,3

7.676,5

11.759,2

3.903,9

34.332,5

4.106,8

8.315,1

1.684,6

8.887,7

15.368,3

5.320,1

42.899,0

5.563,7

13.363,3

1.492,7

8.016,1

12.955,0

4.832,1

42.391,6

3.751,9

12.110,8

2.245,6

17.740,6

17.457,7

5.211,7

50.033,9

5.669,9

16.792,7

1.958,0

15.986,0

14.852,9

6.374,8

51.201,6

4.005,4

13.386,3

2.443,0

17.097,8

16.913,7

6.949,5

72.935,5

4.996,8

16.722,1

2.693,3

18.248,7

15.736,6

6.262,6

63.592,1

4.120,6

16.768,0

18.803,9

3.269,9

17.819,5

18.234,4

7.575,3

81.963,6

5.590,1

15.782,6

APBN

260,3

1.792,4

2.820,1

4.734,9

3.789,4

LKPP

211,8
2.376,2

1.974,2

6.056,4

3.311,3

015

6.810,4

1.444,9

APBN-P

316,3
1.538,7
2.297,0

3.895,8

2.845,9

1.624,1

LKPP

MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT


1.752,2
1.590,9
5.219,9

2.636,7

1.977,2

APBN-P

001
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
1.587,0
3.950,5
2.940,0

1.611,0

LKPP

1
002
BADAN PEMERIKSA KEUANGAN
5.077,5
1.602,1

1.938,9

APBN-P

2
004
MAHKAMAH AGUNG
1.706,1

1.530,4

KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA

3
005
KEJAKSAAN AGUNG

1.908,4

KODE
BA

4
006
1.342,0

NO

5
1.244,2

10

KEMENTERIAN PERTANIAN

1.704,0

KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA

11
018
KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN

007

12
019

13

36.679,2

34.582,0

9.890,6

30.052,1

4.863,1

43.960,5

16.286,3

37.094,1

5.605,6

9.017,5

31.204,5

3.786,4

6.717,5

15.674,9

39.375,8

4.403,3

7.077,4

5.543,6

26.871,3

4.101,4

5.143,3

8.002,5

33.208,3

4.549,9

5.940,6

518,2

77.978,0

6.577,2

29.447,7

3.682,1

5.686,8

66.870,0

281,1

7.388,8

35.403,5

3.957,4

6.014,1

360,2

298,9

KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL

22.428,3

4.656,4

4.756,7

74.977,1

193,3

020

28.008,1

4.121,6

5.176,0

405,1

221,1

143,6

2.053,0

14

23.796,8

2.763,9

5.872,7

51.305,9

212,0

2.229,2

653,0

73.087,5

30.129,7

3.470,9

5.559,2

467,5

222,3

94,3

921,5

29.179,4

18.001,5

3.122,1

3.290,9

56.535,3

233,5

2.672,0

651,7

38.147,1

24.957,6

3.727,7

3.139,5

586,0

211,3

111,3

667,7

20.110,0

18.893,8

2.837,8

4.023,4

32.746,9

248,5

1.906,0

639,8

23.134,6

25.053,4

3.255,1

3.380,8

194,3

233,6

110,0

738,6

15.562,1

KEMENTERIAN KESEHATAN

2.949,7

2.110,2

36.092,1

96,9

2.209,3

630,2

17.569,1

KEMENTERIAN AGAMA

3.201,5

3.205,6

238,8

84,4

144,3

855,7

15.557,3

024

KEMENTERIAN TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI

2.193,4

40.082,7

116,4

1.590,0

675,4

18.614,8

025

KEMENTERIAN SOSIAL

3.102,4

176,2

101,2

92,8

974,3

KEMENTERIAN PERHUBUNGAN

17

026

KEMENTERIAN KEHUTANAN

39.056,9

77,2

1.679,6

620,0

022

18

027

KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN

187,0

88,1

166,2

404,4

15

19

029

KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM

89,7

1.049,4

650,5

66.251,3

20

032

KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG POLITIK, HUKUM, DAN KEAMANAN

65,2

129,0

422,3

77.179,8

21

033

KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG PEREKONOMIAN

1.193,0

408,0

61.060,5

22

034

KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG KESEJAHTERAAN RAKYAT

131,9

359,5

67.741,0

23

035

KEMENTERIAN PARIWISATA DAN EKONOMI KREATIF

418,1

59.347,9

24

036

KEMENTERIAN BADAN USAHA MILIK NEGARA

349,4

63.438,1

25

040

KEMENTERIAN RISET DAN TEKNOLOGI

59.558,6

26

041

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP

60.309,0

27

042

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

28

043

023

29

16

30

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

207

DIREKTORAT P-APBN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Tabel 5.21 Perkembangan Belanja Kementerian Negara/Lembaga Tahun 2009-2012

161,6

1.015,7

93,4

156,1

938,2

131,4

150,9

1.387,5

APBN-P

110,7

155,1

1.230,3

Realisasi
Sementara

201,3

234,7

1.810,7

2013

729,6

154,4

2012

789,3

83,4

165,1

1.551,4

2011

183,5

1.476,4

38,9

1.593,5

2010

744,3

129,8

1.484,9

1.737,2

3.741,7

2009

756,3

85,8

111,7

1.297,8

1.758,4

30,1

1.055,1

57

56

55

54

53

52

51

50

49

48

47

46

45

44

43

42

41

40

39

38

37

36

35

34

084

083

082

081

080

079

078

077

076

075

074

068

067

066

065

064

063

060

059

057

056

055

054

052

051

BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR

BADAN STANDARDISASI NASIONAL

BADAN KOORDINASI SURVEY DAN PEMETAAN NASIONAL

LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL

BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI

BADAN TENAGA NUKLIR NASIONAL

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN

MAHKAMAH KONSTITUSI

KOMISI PEMILIHAN UMUM

BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI, DAN GEOFISIKA

KOMISI NASIONAL HAK AZASI MANUSIA

BADAN KEPENDUDUKAN DAN KELUARGA BERENCANA NASIONAL

KEMENTERIAN PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL

BADAN NARKOTIKA NASIONAL

BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL

LEMBAGA KETAHANAN NASIONAL

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN

KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA

PERPUSTAKAAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

BADAN PERTANAHAN NASIONAL

KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/BAPPENAS

BADAN PUSAT STATISTIK

DEWAN KETAHANAN NASIONAL

51,6

68,0

346,4

201,1

506,5

362,3

471,4

105,3

160,1

870,7

769,3

55,1

1.166,9

1.292,4

302,3

342,7

128,2

609,8

24.418,5

2.145,2

349,5

2.713,4

48,2

51,7

223,3

198,7

515,5

365,4

455,0

32,9

162,6

567,1

772,8

46,2

1.148,4

931,2

239,6

311,6

115,1

530,3

25.633,3

1.360,0

312,6

2.121,2

57,3

121,6

463,0

239,0

669,0

406,8

496,2

113,9

189,3

961,5

947,3

58,1

1.361,0

1.040,0

368,2

428,7

238,5

657,9

27.795,0

2.888,7

443,6

2.951,6

53,5

102,8

308,6

222,5

677,4

388,4

492,9

63,7

169,7

759,0

885,5

52,7

1.332,8

1.024,5

345,1

378,3

157,8

603,5

26.783,0

2.199,5

396,9

2.294,5

76,8

82,8

510,4

465,5

983,8

603,4

616,7

98,3

288,0

1.009,4

1.317,3

58,6

2.506,4

1.263,4

977,0

510,9

233,6

928,8

31.261,1

3.452,3

431,9

3.695,4

69,3

75,0

436,5

403,3

1.001,4

571,9

663,3

47,6

237,2

761,7

1.108,6

55,5

2.353,3

1.013,4

770,4

456,6

207,9

764,8

34.394,6

2.642,1

401,9

2.657,9

72,0

74,2

535,9

491,9

808,6

637,1

761,7

73,1

221,8

1.625,2

1.284,0

53,7

2.110,1

1.153,8

841,0

650,7

174,2

1.079,7

41.892,9

3.090,8

348,0

3.881,2

71,4

72,6

382,2

455,7

894,0

730,8

973,3

56,4

220,4

1.114,7

1.136,4

50,9

2.210,0

1.150,3

855,5

572,2

227,7

1.113,9

39.415,5

2.678,3

324,3

2.994,1

98,5

602,1

526,1

888,7

668,9

891,1

79,3

199,8

8.492,0

1.392,3

72,8

2.601,9

2.048,8

1.072,6

705,1

235,0

1.188,3

45.622,0

3.807,4

478,7

4.390,2

APBN

106,3

1.323,1

719,2

31,1

625,9

2.654,8

LKPP

KEMENTERIAN KOPERASI DAN UKM

111,8

963,3

750,6

36,3

755,5

2.272,6

58

085

APBN-P

KODE
BA

KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK

985,9

606,1

37,4

542,1

2.482,2

LKPP

044

KEMENTERIAN PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA DAN REFORMASI BIROKRASI


968,7

625,1

29,0

716,7

2.294,5

APBN-P

NO

047

982,9
480,6

30,2

384,6

4.947,7

LKPP

31

048

497,9
24,4

566,3

5.153,7

APBN-P

32

BADAN INTELIJEN NEGARA

25,6

314,9

1.513,4

KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA

33
050
LEMBAGA SANDI NEGARA

367,4

1.517,0

59

159,4

60

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

208

DIREKTORAT P-APBN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Tabel 5.21 Perkembangan Belanja Kementerian Negara/Lembaga Tahun 2009-2012

67

66

65

64

63

62

61

095

093

092

091

090

089

088

087

086

BADAN KOORDINASI NASIONAL PENANGGULANGAN BENCANA

KOMISI YUDISIAL RI

DEWAN PERWAKILAN DAERAH

KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI

KEMENTERIAN PEMUDA DAN OLAH RAGA

KEMENTERIAN PERUMAHAN RAKYAT

KEMENTERIAN PERDAGANGAN

BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN

BADAN KEPEGAWAIAN NEGARA

ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA

244,7

118,3

74,9

390,3

294,6

806,6

1.346,8

1.471,0

562,6

334,0

111,7

184,8

705,8

220,4

104,4

89,2

319,2

228,6

829,1

1.277,5

1.455,0

540,1

357,1

102,1

178,6

82,3

591,1

110,2

1.216,1

253,5

222,1

58,5

634,6

458,8

2.503,9

964,5

1.455,3

667,0

497,7

114,0

199,5

60,9

512,6

70,7

636,8

226,1

266,3

54,2

368,7

268,0

2.393,1

914,9

1.258,3

637,8

388,0

104,3

188,7

16,3

292,5

181,6

1.329,2

210,4

1.286,1

423,7

938,9

79,7

1.157,0

576,6

4.343,4

3.462,0

2.449,9

716,4

474,6

152,2

244,6

312,2

15,5

69,2

68,1

1.053,8

171,5

571,9

375,0

1.232,9

68,6

553,1

300,2

4.025,9

2.362,2

2.371,9

740,0

450,6

140,8

250,4

197,7

58,8

268,2

113,5

992,1

183,4

1.533,3

265,9

1.128,2

77,4

589,8

634,5

1.757,9

5.928,5

2.441,5

1.050,5

486,9

130,3

243,6

APBN-P

141,2

50,8

100,5

99,3

970,4

151,0

1.066,3

248,0

1.360,1

75,9

523,5

337,0

954,8

3.998,1

2.179,9

1.006,7

493,4

123,1

239,9

Realisasi
Sementara

274,1

67,7

399,6

119,8

1.666,4

211,5

2.256,9

392,7

1.345,5

91,9

595,5

706,5

1.956,7

5.168,1

3.105,7

1.250,4

535,1

154,2

247,0

2013

68

100

BADAN NASIONAL PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN TKI

592,1

454,0

2012

69

103

BADAN PENANGGULANGAN LUMPUR SIDOARJO

2011

70

104

LEMBAGA KEBIJAKAN PENGADAAN BARANG DAN JASA PEMERINTAH

885,0

2010

71

105

BADAN SAR NASIONAL

152,2

2009

72

106

KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA

703,3

213,4

487.854,8

594.597,6

APBN

73

107

BADAN PENGEMBANGAN WILAYAH SURAMADU

89,7

856,6

LKPP

74

108

OMBUDSMAN RI

735,3

138,2

985,2

APBN-P

75

109

BADAN NASIONAL PENGELOLA PERBATASAN

92,8

125,2

LKPP

76

110

BADAN PENGUSAHAAN KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS


BATAM

197,2

677,3

APBN-P

77

111

BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN TERORISME

53,1

LKPP

78

112

SEKRETARIAT KABINET REPUBLIK INDONESIA

769,0

APBN-P

79

113

BADAN PENGAWAS PEMILU

864,2

KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA

80

114

LEMBAGA PENYIARAN PUBLIK RADIO REPUBLIK INDONESIA

392,2

KODE
BA

81

115

715,5

NO

82

116

341,5

83

753,2

84

LEMBAGA PENYIARAN PUBLIK TELEVISI REPUBLIK INDONESIA

547.925,5

117

417.626,2

85

461.508,0

BADAN PENGUSAHAAN KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS


SABANG
306.999,5

332.920,2

118

314.717,0

366.134,5

86

JUMLAH KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

209

DIREKTORAT P-APBN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

5.12 Pemblokiran dan Revisi


Ketentuan mengenai blokir dan revisi diatur dalam bentuk peraturan Menteri Keuangan yang setiap
tahun disesuaikan dengan perkembangan yang terjadi dalam proses penganggaran.
5.12.1 Pemblokiran
Hal tentang pemblokiran terdapat dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 112/PMK.02 Tahun
2012 tentang petunjuk Penyusunan dan Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian
Negara/Lembaga
a. Pengertian Pemblokiran
Pemblokiran adalah pencantuman tanda bintang (*) pada seluruh atau sebagian alokasi
anggaran dalam RKA-K/L Penetapan (Apropriasi Anggaran) sebagai akibat pada saat
penelaahan belum memenuhi satu atau lebih persyaratan alokasi anggaran.
b. Alasan Pemblokiran
1) Belum ada persetujuan dari DPR terhadap rincian penggunaan dana yang dituangkan dalam
RKA-K/L. Jika terjadi hal seperti ini, alokasi dana selain untuk belanja operasional harus
diblokir.
2) Kegiatan yang belum dilengkapi data pendukung, yaitu:
a) TOR (sepanjang ada perubahan substansi dari Proposal Inisiaif Baru);
b) Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak (SPTJM);
c) Perhitungan kebutuhan biaya pembangunan/renovasi bangunan/gedung negara;
d) Rencana Bisnis dan Anggaran Badan Layanan Umum (RBA BLU) apabila berkenaan
dengan Satker BLU;
c. Penghapusan blokir/tanda bintang (*)
1) Secara umum penghapusan blokir/tanda bintang (*) mengikuti ketentuan dalam Peraturan
Menteri Keuangan tentang tata cara revisi anggaran yang berlaku.
2) Pencantuman blokir/tanda bintang (*) pada DHP RKA-K/L yang disebabkan belum
dilengkapinya dokumen pendukung sebagaimana tersebut pada huruf b di atas, dapat
otomatis dihapuskan apabila dokumen pendukung tersebut telah dilengkapi sebelum DIPA
diterbitkan, sehingga tidak terdapat blokir/tanda bintang (*) pada dokumen DIPA.

DIREKTORAT P-APBN

210

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

5.12.2 Revisi Anggaran


a. Pengertian Revisi Anggaran menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 49/PMK.02 Tahun
20120 tentang Tata Cara Revisi Anggaran Tahun Anggaran 2012 adalah:
Revisi Anggaran adalah perubahan Rincian Anggaran Belanja Pemerintah Pusat yang telah
ditetapkan berdasarkan APBN Tahun Anggaran 2012, Surat Penetapan Rencana Kerja dan
Anggaran Kementerian/Lembaga (SP RKA-K/L) Tahun Anggaran 2012 dan/atau Daftar Isian
Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Tahun Anggaran 2012.
b. Revisi Anggaran terdiri atas:
1) perubahan rincian anggaran yang disebabkan penambahan atau pengurangan pagu
anggaran belanja termasuk pergeseran rincian anggaran belanjanya;
2) perubahan atau pergeseran rincian anggaran dalam hal pagu anggaran tetap; dan/atau
3) perubahan/ralat karena kesalahan administrasi.

c. Kewenangan Revisi Anggaran:


1) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
a) Tambahan Pinjaman Proyek Luar Negeri/Pinjaman Dalam Negeri baru setelah UndangUndang mengenai APBN ditetapkan;
b) Pergeseran anggaran antar Program selain untuk memenuhi kebutuhan Biaya
Operasional;
c) Pergeseran anggaran antar Kegiatan yang tidak berasal dari Hasil Optimalisasi;
d) Pergeseran anggaran yang mengakibatkan perubahan Hasil Program;
e) Penggunaan anggaran yang harus mendapat persetujuan DPR RI terlebih dahulu;
f) Pencairan blokir/tanda bintang (*) yang dicantumkan oleh DPR RI termasuk pencairan
blokir yang tidak sesuai dengan rencana peruntukan/penggunaannya;
g) Pergeseran anggaran yang digunakan untuk Program/Kegiatan yang tidak sesuai dengan
hasil kesepakatan antara Pemerintah dengan DPR RI (kesimpulan rapat kerja dalam
rangka APBN);
h) Pergeseran

antar provinsi/kabupaten/kota

untuk Kegiatan

dalam rangka

Tugas

Pembantuan dan Urusan Bersama, atau antarprovinsi untuk Kegiatan dalam rangka
Dekonsentrasi.
2) Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan
a) Perubahan karena penambahan/pengurangan pagu
-

Kelebihan realisasi PNBP di atas target dalam APBN;

Lanjutan kegiatan yang dananya dari PHLN/PHDN;

DIREKTORAT P-APBN

211

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Percepatan penarikan PHLN/PHDN;

Penerimaan HLN/HDN setelah UU APBN ditetapkan ;

Pengurangan alokasi PHLN/PHDN;

Perubahan parameter dalam penghitungan Subsidi Energi;

Perubahan parameter dalam perhitungan bunga utang.

b) Perubahan dalam hal pagu anggaran tetap


-

Pergeseran dalam keluaran yang sama atau antar keluaran dalam suatu Kegiatan
dan satu Satker meliputi pergeseran anggaran dan pengurangan volume Keluaran
Kegiatan Prioritas Kementerian/Lembaga;

Pergeseran dalam Keluaran yang sama dan antar Satker atau antar Keluaran dan
antar Satker dalam Kegiatan yang sama ;

Pergeseran antar Kegiatan dalam satu Program dan satu Satker;

Pergeseran antar Kegiatan dan antar Satker dalam satu Program;

Realokasi anggaran antar Kegiatan/antar Satker/antar Program dalam rangka tanggap


darurat bencana;

Pergeseran antar Program dan antar BA yaitu dari BA 999.08 ke BA K/L;

Perubahan karena pencairan blokir/tanda bintang (*) meliputi:


pencairan blokir/tanda bintang (*) karena telah dilengkapi syarat administratif
antara lain TOR/RAB, persetujuan DPR RI , ijin penggunan PNBP, dan lain-lain;
pencairan blokir terhadap Kegiatan yang sudah jelas peruntukannya namun masih
terpusat;
pencairan blokir dana output cadangan.

Perubahan/penambahan rumusan kinerja yang meliputi rumusan Keluaran dan selain


rumusan Keluaran.

c) Perubahan/ralat karena kesalahan administrasi


-

Ralat sumber dana terkait perubahan komposisi pendanaan dan pencantuman


volume, jenis, dan satuan Keluaran yang berbeda antar RKA-K/L dan RKP atau hasil
kesepakatan DPR.

3) Kantor Pusat/Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Kementerian Keuangan


a) Perubahan karena penambahan/pengurangan pagu
-

Penerimaan HLN/HDN dalam bentuk uang setelah UU APBN ditetapkan;

Penggunaan anggaran belanja yang bersumber dari PNBP di atas pagu APBN untuk
Satker BLU.

b) Perubahan dalam hal pagu anggaran tetap

DIREKTORAT P-APBN

212

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Pergeseran dalam Keluaran yang sama atau antar Keluaran dalam satu Kegiatan dan
satu Satker meliputi:
Pergeseran dan penambahan volume Keluaran termasuk addendum kontrak s.d
10% dari nilai kontrak;
Pergeseran anggaran dan volume Keluaran tetap;
Pergeseran antar jenis belanja;
Pergeseran untuk memenuhi kebutuhan Biaya Operasional;
Pergeseran karena kebutuhan selisih kurs;
Pergeseran rincian anggaran untuk Satker BLU yang sumber dananya dari PNBP;
Pergeseran untuk penyelesaian pekerjaan yang belum selesai pada tahun
anggaran sebelumnya.

Pergeseran dalam Keluaran yang sama dan antar Satker atau antar Keluaran dan
antar Satker dalam Kegiatan yang sama meliputi:
Pergeseran anggaran dan penambahan volume Keluaran;
Pergeseran anggaran dan volume Keluaran tetap;
Pergeseran antar jenis belanja;
Pergeseran antar provinsi/kabupaten/kota untuk memenuhi Biaya Operasional
yang dilaksanakan oleh unit organisasi di tingkat pusat maupun oleh instansi
vertikalnya di daerah;
Pergeseran dalam satu provinsi/kabupaten/kota untuk Kegiatan dalam rangka
Tugas Pembantuan dan Urusan Bersama, atau dalam satu provinsi untuk
Kegiatan dalam rangka Dekonsentrasi;
Pergeseran anggaran dalam rangka penyelesaian tunggakan tahun lalu;
Pergeseran anggaran karena kebutuhan selisih kurs.

Pergeseran antar Kegiatan dalam satu Program dan satu Satker meliputi:
Pergeseran anggaran dan penambahan volume Keluaran tetap;
Pergeseran anggaran dan volume Keluaran tetap;
Pergeseran anggaran dalam rangka memenuhi kebutuhan Biaya Operasional;
Pergeseran anggaran dalam rangka penyelesaian tunggakan tahun lalu;
Pergeseran anggaran kerena kebutuhan selisih kurs;
Pergeseran rincian anggaran untuk Satker BLU yang sumber dananya dari PNBP;
Pergeseran anggaran dalam rangka penyelesaian pekerjaan yang belum selesai
tahun sebelumnya.

Pergeseran antar Kegiatan dan antar Satker dalam satu Program meliputi:

DIREKTORAT P-APBN

213

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Pergeseran anggaran dan penambahan volume Keluaran;


Pergeseran anggaran dan volume Keluaran tetap;
Pergeseran anggaran dalam rangka memenuhi kebutuhan Operasional dan
pembukaan kantor baru;
Pergeseran anggaran dalam rangka penyelesaian tunggakan tahun yang lalu;
Pergeseran anggaran karena kebutuhan selisih kurs.
-

Pergeseran antar Program dalam satu unit Eselon I dalam rangka memenuhi
kebutuhan Biaya Operasional;

Pergeseran antar Program dan antar unit Eselon I dalam satu bagian anggaran dalam
rangka memenuhi kebutuhan Biaya Operasional;

Pergeseran antar Program dan antar unit Eselon I dalam satu bagian anggaran dalam
rangka memenuhi kebutuhan Biaya Operasional;

Pencairan Blokir karena telah dilengkapi syarat administratif meliputi 1) loan


agreement dan/atau grant agreement dan Nomor Register, serta 2) hasil audit BPKP
dalam rangka pembayaran tunggakan.

c) Perubahan/ralat karena kesalahan administrasi


-

Ralat kode akun, kode KPPN, kode nomor register PHLN/PHDN, kode kewenangan,
kode lokasi;

Perubahan nomenklatur BA/Satker sepanjang kode tetap;

Ralat cara penarikan PHLN/PHDN;

Ralat kesalahan pencantuman sumber dana;

Ralat pencantuman volume Keluaran yang berbeda dengan penjumlah volume sub
Keluaran;

Ralat pencantuman volume, jenis, dan satuan Keluaran yang berbeda antara RKA-K/L
dan DIPA.

4) Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran


Revisi Anggaran dapat dilaksanankan oleh PA/KPA sepanjang tidak merubah DIPA dengan
ketentuan:
a) Pergeseran antar akun/anta sub Komponen dalam satu Komponen dan/atau antar
Komponen untuk memenuhi kebutuhan Biaya Operasional sepanjang dalam jenis belanja
yang sama;
b) Antar akun/antar sub Komponen dalam satu Komponen dan/atau pergeseran antar
Komponen dalam satu Keluaran sepanjang dalam jenis belanja yang sama;
c) Penambahan/pengurangan akun/sub Komponen/Komponen dalam satu Keluaran.

DIREKTORAT P-APBN

214

BELANJA PEMERINTAH PUSAT

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

BAB V I
TRANSFER KE DAERAH

6.1

Pendahuluan

Lahirnya pos Transfer ke Daerah dalam postur APBN dilatarbelakangi oleh lahirnya dua UndangUndang (UU) di bidang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, yaitu UU Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yang selanjutnya pada tahun 2004 kedua UU tersebut
direvisi menjadi UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 33
Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
Sebagai implementasi dari kedua UU tersebut, pemuatan pos Transfer ke Daerah dalam postur
APBN untuk pertama kalinya dilakukan pada tahun 2001. Dalam perjalanannya sejak tahun 2001
hingga 2012, nomenklatur Transfer ke Daerah dalam postur APBN telah beberapa kali mengalami
perubahan, yaitu:
a. Pada tahun 2001-2004 lebih dikenal dengan istilah Anggaran yang Didaerahkan;
b. Pada tahun 2004 berubah menjadi Belanja Daerah;
c. Sampai dengan tahun 2007 berubah menjadi Belanja ke Daerah; serta
d. Sejak tahun 2008 hingga saat ini berubah menjadi Transfer ke Daerah.
Arah kebijakan Transfer ke Daerah terutama ditujukan untuk: (1) Mempercepat pembangunan
daerah dan meningkatkan kualitas pelayanan publik di daerah dan mengurangi ketimpangan
pelayanan publik antardaerah; (2) Meningkatkan kemampuan keuangan daerah dan mengurangi
perbedaan keuangan antara pusat dan daerah dan antardaerah terutama dalam rangka mendanai
pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan di daerah; (3) mendukung kesinambungan
fiskal nasional (fiscal sustainability) dalam rangka kebijakan ekonomi makro; (4) Meningkatkan
kemampuan

daerah dalam menggali potensi ekonomi daerah; (5) meningkatkan sinkronisasi

antara rencana pembangunan nasional dengan rencana pembangunan daerah; serta (6)
Mempercepat pembangunan di provinsi khusus, yaitu Provinsi Papua, Provinsi Papua Barat, dan
Provinsi Aceh, terutama melalui pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan
ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan, serta pendanaan pendidikan, sosial dan kesehatan.

DIREKTORAT P-APBN

215
TRANSFER KE DAERAH

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

6.2 Transfer ke Daerah


Definisi: Transfer ke daerah adalah bagian dari belanja negara dalam rangka mendanai
pelaksanaan desentralisasi fiskal berupa dana perimbangan, dana otonomi khusus, dan dana
penyesuaian.
Ruang lingkup: Transfer ke Daerah

Gambar 6.1
Ruang Lingkup Transf er Ke Daerah

terdiri atas; (i) Dana Perimbangan,


yang meliputi DBH, DAU, dan DAK;

Dana Bagi Hasil (DBH)

dan (b) Dana Otonomi Khusus dan

Otonomi

Khusus

dan

Dana Alokasi Umum (DAU)

Dana
Perimbangan

Penyesuaian, yang meliputi Dana

Dana Alokasi Khusus (DAK)

Dana
Dana Otsus PAPUA

Penyesuaian (lihat Bagan 6.1).


6.2.1

Dana
Otsus

TRANSFER
KE DAERAH

Dana Perimbangan

Dana Otsus PAPUA BRT


Dana Otsus ACEH

Definisi: Dana Perimbangan adalah

Dana Infras Otsus Papua

dana

Dana Infras Otsus Papua BRT

yang

bersumber

dari

pendapatan APBN yang dialokasikan


kepada

daerah

kebutuhan

untuk

daerah

Dana Otsus &


Penyesuaian

mendanai

dalam

Tunjangan Profesi Guru PNSD


Tamb Penghasilan Guru PNSD

rangka
Dana
Penyesuaian

pelaksanaan desentralisasi. Jumlah


Dana Perimbangan ditetapkan setiap

Dana Insentif Daerah (DID)


Bantuan Op Sek (BOS)

tahun anggaran dalam APBN.


Ruang Lingkup: Dana Perimbangan terdiri atas: (a) Dana Bagi Hasil (DBH), (b) Dana Alokasi
Umum (DAU), dan (c) Dana Alokasi Khusus (DAK).
6.2.1.1

Dana Bagi Hasil

Definisi: Dana Bagi Hasil (DBH) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN, yang
dialokasikan kepada daerah berdasarkan persentase tertentu untuk mendanai kebutuhan daerah
dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Kebijakan pelaksanaan alokasi DBH tahun 2012
mengacu kepada ketentuan-ketentuan yang diatur dalam UU Nomor 33 Tahun 2004, UU Nomor
11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, UU Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Perpu
Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus
bagi Provinsi Papua menjadi undang-undang, dan UU Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan
UU Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai, serta Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005
tentang Dana Perimbangan.

DIREKTORAT P-APBN

216
TRANSFER KE DAERAH

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Prinsip DBH
By origin
Daerah penghasil mendapat porsi yang lebih besar dari daerah lain yang berada dalam provinsi
tersebut (pemerataan).
Realisasi
Penyaluran keseluruhan DBH didasarkan pada realisasi penerimaannya.
Komponen DBH
DBH terdiri atas DBH Pajak dan DBH Sumber Daya Alam, dengan rincian sebagai berikut:

DBH Pajak, yang meliputi:


-

DBH PPh Pasal 25 WPOPDN dan PPh Pasal 21.

DBH Pajak Bumi dan Bangunan (DBH PBB).

DBH Cukai Hasil Tembakau.

DBH Sumber Daya Alam, yang meliputi:


-

DBH Pertambangan Minyak Bumi.

DBH Pertambangan Gas Bumi.

DBH Pertambangan Umum.

DBH Kehutanan

DBH Perikanan.

DBH Pertambangan Panas Bumi.

Faktor-faktor Penentu
Perhitungan DBH diformulasikan sesuai UU Nomor 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dan UU No. 39/2007 tentang Perubahan UU
No. 11/1995 tentang Cukai.
Perhitungan DBH Pajak dirinci:
-

DBH PPh Psl 21 & Psl 25/29

20% X penerimaan PPh.

DBH PBB

penerimaan PBB - Biaya Pungut.

DBH Cukai Hasil Tembakau (CHT)

DBH Sumber Daya Alam (SDA) dirinci:

= 2% X penerimaan CHT.

DBH Minyak dan Gas Bumi dihitung oleh Direktorat PNBP (tanpa formula).

DBH Pertambangan Umum = 80% dari penerimaan Pertambangan Umum.

DBH Provisi Sumber Daya Hutan = 80% X penerimaan PSDH.

DBH Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Hutan = 80% X penerimaan IIUPH.

DIREKTORAT P-APBN

217
TRANSFER KE DAERAH

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

DBH Dana Reboisasi = 40% X penerimaan Dana Reboisasi.

DBH Perikanan = 80% X penerimaan Perikanan.

DBH Pertambangan Panas Bumi = 80% X penerimaan PPB.


Tabel 6.1
Persentase Pembagian Pusat dan Daerah atas DBH
SUMBER PENERIMAAN

P P h (Ps.21 & Ps.25/29 OP)


PBB
BP H T B
Cukai Hasil Tembakau
S D A Minyak Bumi
S D A Gas Alam
SDA Pertambangan Umum
- Landrent
- Royalti
- S D A Kehutanan
- IH P H
- PSD H
- Panas Bumi
- S D A Perikanan
-

PUSAT

PROV

KAB./KOTA

Kab./Kota
Sekitar

80
9
98
84,5
69,5

8
16,2
16
0,6
3,17
6

12
64,8
64
0,8
6,33
12

10
20
0,6
6
12

20
20

16
16

64
32

32

20
20
20
20

16
16
16
-

64
32
32
-

32
32
80

Catatan: Mulai tahun 2011, pelaksanaan DBH BPHTB diserahkan kepada Daerah.

Stakeholders Penentu DBH

Direktorat Penyusunan APBN, Direktorat Jenderal Anggaran.

Direktorat Penerimaan Negara Bukan Pajak, Direktorat Jenderal Anggaran (angka DBH
Migas).

Direktorat Jenderal Bea Cukai (angka Cukai Hasil Tembakau)

Badan Kebijakan Fiskal (angka Penerimaan Perpajakan).

Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan.

DPD/DPR.

6.2.1.2 DAU
Definisi: Dana Alokasi Umum, selanjutnya disebut DAU, adalah dana yang bersumber dari
pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah dengan tujuan pemerataan kemampuan
keuangan

antardaerah

DIREKTORAT P-APBN

untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan

218
TRANSFER KE DAERAH

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

desentralisasi. DAU tersebut dialokasikan dalam bentuk block grant, yaitu penggunaannya
diserahkan sepenuhnya kepada daerah.
Formula dan faktor-faktor Penentuan DAU secara nasional:
Secara nasional, penyusunan besaran DAU nasional sebesar 26 persen dari PDN Neto yang
ditetapkan dalam APBN pada hakikatnya mengacu kepada UU Nomor 33/2004 dengan
penyesuaian dan langkah-langkah kebijakan sesuai dengan kondisi dan situasi yang dihadapi.
Terkait dengan hal tersebut, rumusan formula perhitungan DAU tersebut dalam perkembangannya
mengalami penyesuaian dan langkah-langkah kebijakan, yaitu:
i.

Periode 2001-2003, rumusan formula perhitungan DAU dalam APBN didasarkan kepada Pasal
7 UU Nomor 25 Tahun 1999, yaitu ditetapkan sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari
penerimaan dalam negeri bersih (penerimaan dalam negeri setelah dikurangi dengan dana
bagi hasil dan DAK yang bersumber dari dana reboisasi).

ii. Dalam tahun 2004-2005, rumusan formula perhitungan DAU dalam APBN berdasarkan
kesepakatan antara Pemerintah dan DPR, yaitu ditetapkan sebesar 25,5% (dua puluh lima
koma lima persen) dari penerimaan dalam negeri bersih.
iii. Periode 20062012, rumusan formula perhitungan DAU dalam APBN didasarkan kepada UU
Nomor 33 Tahun 2004, yaitu ditetapkan 26% (dua puluh enam persen) dari Pendapatan Dalam
Negeri (PDN) Neto yang ditetapkan dalam APBN. Berdasarkan Penjelasan Pasal 27 ayat (1)
UU Nomor 33 Tahun 2004, PDN Neto adalah penerimaan negara yang berasal dari pajak dan
bukan pajak setelah dikurangi dengan penerimaan negara yang dibagihasilkan kepada daerah.
Pada APBN tahun 2007 dan tahun 2008, dengan mempertimbangkan kondisi fiskal nasional dan
pengendalian defisit APBN, PDN Neto merupakan hasil pengurangan antara pendapatan dalam
negeri yang merupakan hasil penjumlahan antara penerimaan perpajakan dan penerimaan negara
bukan pajak dikurangi dengan penerimaan negara yang dibagihasilkan kepada daerah yaitu DBH,
serta belanja yang sifatnya earmarked (penggunaannya diarahkan) dan anggaran yang sifatnya inout (pencatatan anggaran dengan jumlah yang sama pada penerimaan dan belanja).
Selanjutnya, sejak tahun 2009, PDN neto juga memperhitungkan antara lain besaran subsidi BBM,
subsidi listrik, subsidi pupuk, subsidi pangan, subsidi benih yang dihitung berdasarkan
bobot/persentase tertentu sebagai faktor pengurang dalam rangka antisipasi dampak kenaikan
harga minyak, penciptaan stabilisasi APBN dan APBD, dengan tetap menjaga peningkatan secara
riil alokasi DAU setiap tahun.

DIREKTORAT P-APBN

219
TRANSFER KE DAERAH

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Data penghitungan DAU nasional:


DAU nasional pada hakikatnya disusun oleh Pemerintah (Kementerian Keuangan/DJPK, BKF, dan
DJA) dan DPR. Sumber data dalam perhitungan besaran DAU nasional ini adalah sebagai berikut:
(i)

Penerimaan Perpajakan (data bersumber dari BKF, Kementerian Keuangan);

(ii) Penerimaan Negara Bukan Pajak (data bersumber dari Direktorat PNBP, DJA, Kementerian
Keuangan);
(iii) Dana Bagi Hasil (data bersumber dari Direktorat Penyusunan APBN, DJA, Kementerian
Keuangan);
(iv) Subsidi pajak (data bersumber dari BKF, Kementerian Keuangan);
(v) Subsidi BBM dan subsidi listrik(data bersumber dari Direktorat PNBP, DJA, Kementerian
Keuangan);
(vi) Subsidi pupuk, subsidi pangan, dan subsidi benih (data bersumber dari masing-masing KPA
terkait).
Formula dan faktor-faktor Penentuan DAU per daerah
DAU dialokasikan kepada daerah dengan menggunakan formula DAU yang berdasarkan Alokasi
Dasar dan Celah Fiskal dengan proporsi pembagian DAU untuk daerah provinsi dan
kabupaten/kota masing-masing sebesar 10% (sepuluh persen) dan 90% (sembilan puluh persen)
dari besaran DAU secara nasional. Formula DAU dirumuskan sebagai berikut:
DAU = AD + CF
Keterangan:
DAU

= alokasi DAU per daerah

AD

= alokasi DAU berdasar Alokasi Dasar

CF

= alokasi DAU berdasar Celah Fiskal

Alokasi Dasar dihitung berdasarkan data jumlah Pegawai Negeri Sipil Daerah (PNSD) dan
besaran belanja gaji PNSD dengan memperhatikan kebijakan-kebijakan lain terkait dengan
penggajian. Sementara itu, Celah Fiskal merupakan selisih antara Kebutuhan Fiskal dan Kapasitas
Fiskal. Kebutuhan Fiskal merupakan kebutuhan pendanaan daerah dalam rangka melaksanakan
fungsi layanan dasar umum yang diukur melalui variabel:
-

Jumlah Penduduk;

Luas Wilayah, yang meliputi luas darat dan luas wilayah perairan;

Indeks Kemahalan Konstruksi;

Indeks Pembangunan Manusia;

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita.

DIREKTORAT P-APBN

220
TRANSFER KE DAERAH

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Formula penghitungan Celah Fiskal dan Kapasitas Fiskal dirumuskan sebagai berikut:
CF = KbF KpF
Keterangan:
CF

= Celah Fiskal

KbF

= Kebutuhan Fiskal

KpF

= Kapasitas Fiskal
KbF = TBR (1IP + 2IW + 3IKK + 4IPM + 5IPDRB/Kapita)

Keterangan:
TBR

= Total Belanja Daerah Rata-rata

IP

= Indeks Penduduk

IW

= Indeks Wilayah

IKK

= Indeks Kemahalan Konstruksi

IPM

= Indeks Pembangunan Manusia

IPDRB

= Indeks PDRB per kapita

= bobot indeks masing-masing variabel

Kapasitas Fiskal merupakan sumber pendanaan daerah yang berasal dari:


-

Pendapatan Asli Daerah (PAD);

DBH SDA;

DBH Pajak, termasuk Cukai Hasil Tembakau.

Formula yang digunakan untuk menghitung Kapasitas Fiskal adalah


KpF = PAD + DBH SDA + DBH Pajak
Keterangan:
PAD

= Pendapatan Asli Daerah

DBH SDA

= Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam

DBH Pajak

= Dana Bagi Hasil Pajak

Data Penghitungan DAU per daerah


Penghitungan alokasi DAU telah menggunakan data yang berdasar pada Pasal 41 PP Nomor 55
Tahun 2005 yang mengamanatkan penggunaan data yang dapat dipertanggungjawabkan yang
bersumber dari instansi lembaga statistik Pemerintah dan/atau lembaga Pemerintah yang
berwenang menerbitkan data, termasuk dalam hal penggunaan data dasar penghitungan DAU
tahun sebelumnya jika data tidak tersedia.

DIREKTORAT P-APBN

221
TRANSFER KE DAERAH

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Alokasi Dasar
Alokasi Dasar dalam penghitungan DAU dihitung berdasarkan data jumlah Pegawai Negeri Sipil
Daerah (PNSD) dan besaran belanja gaji PNSD dengan memperhatikan kebijakan-kebijakan
perbaikan penghasilan PNS antara lain kenaikan gaji pokok, gaji bulan ke-13, formasi CPNSD,
dan kebijakan-kebijakan lain terkait penggajian. Adapun data dasar yang digunakan adalah data
gaji induk, yang terdiri dari komponen Gaji Pokok, Tunjangan Keluarga, Tunjangan Jabatan,
Tunjangan PPh, Tunjangan Beras.
Komponen Alokasi Dasar dalam DAU

tidak dimaksudkan untuk menutup seluruh kebutuhan

belanja gaji PNSD, terlebih untuk daerah yang memiliki kapasitas fiskal tinggi (Penjabaran dari
pasal 32, UU No.33 Tahun 2004).
Kebutuhan Fiskal (KbF):
a) Data Jumlah Penduduk yang digunakan bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS).
b) Luas wilayah merupakan variabel yang mencerminkan kebutuhan atas penyediaan sarana
prasarana per satuan wilayah. Data luas wilayah yang akan digunakan untuk penghitungan
alokasi DAU meliputi data luas wilayah daratan (administratif) yang bersumber dari Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 66 Tahun 2011 tentang Kode dan Data Wilayah Administrasi
Pemerintahan Daerah dan data luas wilayah perairan (laut) yang bersumber dari Badan
Informasi Geospasial (BIG). Data luas wilayah perairan laut dimaksud dihitung 4 mil dari garis
pantai untuk kabupaten/kota dan 12 mil untuk provinsi.
c) IKK digunakan sebagai proxy untuk mengukur tingkat kesulitan geografis suatu daerah,
semakin sulit letak geografis suatu daerah maka semakin tinggi pula tingkat harga di daerah
tersebut. Data IKK bersumber dari BPS.
d) IPM merupakan indikator komposit yang mengukur kualitas hidup manusia melalui pendekatan
3 (tiga) dimensi yaitu umur panjang dan sehat, pengetahuan, dan kehidupan yang layak.
Indikator ini penting untuk mengukur keberhasilan dalam upaya membangun kualitas hidup
manusia (masyarakat/penduduk) atau secara komprehensif dianggap sebagai ukuran kinerja
suatu negara/wilayah dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi. Data IPM bersumber dari
BPS.
e) Data PDRB per kapita yang bersumber dari BPS. Untuk daerah dengan PDRB per kapita
outlier atau pencilan, nilainya diperhitungkan untuk ditarik ke tingkat PDRB per kapita tertinggi
di dalam layer di bawahnya agar hasil perhitungan lebih mencerminkan pemerataan yang lebih
baik.
f) Total Belanja Rata-rata (TBR) didapat dari realisasi APBD, yang bersumber dari Daerah dan
Kementerian Keuangan.

DIREKTORAT P-APBN

222
TRANSFER KE DAERAH

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Kapasitas Fiskal (KpF):


a) Pendapatan Asli Daerah (PAD) berdasarkan laporan realisasi APBD, yang bersumber dari
Daerah dan Kementerian Keuangan;
b) DBH Pajak dan DBH Cukai Hasil Tembakau bersumber dari Kementerian Keuangan;
c) DBH SDA bersumber dari Kementerian Keuangan.
Perkembangan Dana Alokasi Umum:
a. Dalam periode 2001-2003, dengan rasio 25% dari PDN Neto, alokasi DAU masing-masing
mencapai Rp60,5 triliun, Rp69,1 triliun, dan Rp77,0 triliun.Dalam periode 2004-2005, dengan
rasio 25,5% dari PDN Neto, alokasi DAU masing-masing mencapai Rp82,1 triliun dan Rp88,8
triliun.
b. Dalam periode 2006-2012, dengan

Grafik 6.1
Dana Alokasi Umum, 2001-2013

rasio 26% dari PDN Neto, alokasi


DAU

masing-masing

mencapai

Rp145,7 triliun pada tahun 2006

(miliar rupiah)
350.000,0
300.000,0

dan Rp273,8 triliun pada APBN-P


250.000,0

2012.

200.000,0

Catatan: Khusus untuk tahun 2010


dalam realisasi DAU sebesar Rp203,6
triliun terdiri dari DAU murni Rp192,5

150.000,0
100.000,0

untuk

50.0 00,0

tunjangan profesi guru Rp11,0 triliun,

triliun,

DAU

tambahan

dan koreksi alokasi DAU Kabupaten


Indramayu Rp0,1 triliun, sedangkan

2001

2002

2003

2004

2005

2006

2007

2008

2009

2010

2011

2012
(APBN-P)

2013
(APBN)

Realisasi 60.516,7 69.114,1 76.978,0 82.130,9 88.765,6 145.664,2 164.787,4 179.507,1 186.414,1 203.571,5 225.533,7 273.814,4 311.139,3

untuk tahun 2011 dalam realisasi DAU sebesar Rp225,5 triliun terdiri dari DAU murni Rp225,5
triliun dan koreksi alokasi DAU Tahun 2010 Rp0,9 miliar. Perkembangan DAU dari tahun 2001
sampai dengan APBN-P tahun 2012 sebagaimana tercermin pada Grafik 6.1.
6.2.1.3

DAK

Definisi: Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang
dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus
yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.
Program yang menjadi prioritas nasional dimuat dalam Rencana Kerja Pemerintah dalam tahun
anggaran bersangkutan. Kemudian, Menteri teknis mengusulkan kegiatan khusus yang akan
didanai dari DAK dan ditetapkan setelah berkoordinasi dengan Menteri Dalam Negeri, Menteri

DIREKTORAT P-APBN

223
TRANSFER KE DAERAH

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Keuangan, dan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional, sesuai dengan Rencana
Kerja Pemerintah. Menteri teknis menyampaikan ketetapan tentang kegiatan khusus kepada
Menteri Keuangan.
Faktor-faktor Penentu
DAK nasional ditetapkan dalam APBN, sesuai dengan kemampuan APBN. yang kemudian
ditindaklanjuti dengan perhitungan alokasi DAK per daerah. Penghitungan alokasi DAK dilakukan
melalui 2 (dua) tahapan, yaitu: (a) Penentuan daerah tertentu yang menerima DAK; dan (b)
Penentuan besaran alokasi DAK masing-masing daerah. Setelah menerima usulan kegiatan
khusus, Menteri Keuangan melakukan penghitungan alokasi DAK. Penentuan daerah penerima
DAK harus memenuhi kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis. Besaran alokasi DAK
masing-masing daerah ditentukan dengan perhitungan indeks berdasarkan kriteria umum, kriteria
khusus, dan kriteria teknis.
Kriteria umum sebagaimana dirumuskan berdasarkan kemampuan keuangan daerah yang
dicerminkan dari penerimaan umum APBD setelah dikurangi belanja Pegawai Negeri Sipil Daerah.
Kemampuan keuangan daerah dihitung melalui indeks fiskal netto. Daerah yang memenuhi kriteria
umum merupakan daerah dengan indeks fiskal netto tertentu yang ditetapkan setiap tahun.
Kriteria khusus dirumuskan berdasarkan: (a) Peraturan perundang-undangan yang mengatur
penyelenggaraan otonomi khusus; dan (b) Karakteristik daerah. Kriteria khusus dirumuskan
melalui indeks kewilayahan oleh Menteri Keuangan dengan mempertimbangkan masukan dari
Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional dan menteri/pimpinan lembaga terkait.
Sementara itu, kriteria teknis disusun berdasarkan indikator-indikator kegiatan khusus yang akan
didanai dari DAK. Kriteria teknis dirumuskan melalui indeks teknis oleh menteri teknis terkait.
Menteri teknis menyampaikan kriteria teknis kepada Menteri Keuangan.
Stakeholders penentu DAK
1. Kementerian Keuangan (Direktorat Penyusunan APBN-DJA dan DJPK)
2. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas.
3. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Kemenkeu.
4. Kementerian Teknis
Bidang DAK
Dalam perkembangannya, penambahan bidang-bidang yang didanai dari DAK telah mengalami
penambahan. Jika alokasi DAK pada tahun 2005 digunakan untuk mendanai kegiatan di 8 bidang,
yaitu pendidikan, kesehatan, jalan, irigasi, prasarana pemerintahan, kelautan dan perikanan, air

DIREKTORAT P-APBN

224
TRANSFER KE DAERAH

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

bersih, dan pertanian, maka pada tahun 2006 dialokasikan untuk mendanai kegiatan di 9 bidang
(pendidikan, kesehatan, jalan, irigasi, air minum, prasarana pemerintahan, kelautan dan perikanan,
pertanian dan lingkungan hidup). Bidang yang didanai dari DAK bertambah dua bidang lagi pada
tahun 2008, yaitu bidang keluarga berencana (KB) dan bidang kehutanan sehingga menjadi 11
bidang. Pada tahun 2009 juga bertambah menjadi 13 bidang karena adanya penambahan bidang
perdagangan dan bidang sarana prasarana perdesaan, dan untuk selanjutnya mengalami menjadi
14 bidang pada tahun 2010 karena adanya pemisahan Bidang DAK Air Minum dan Sanitasi
menjadi DAK Air Minum dan DAK Sanitasi. Pada tahun 2011, bidang-bidang yang didanai dari
DAK menjadi 19 bidang karena adanya penambahan 5 bidang baru, yaitu bidang listrik perdesaan,
perumahan dan permukiman, keselamatan transportasi darat, transportasi perdesaan dan sarana
dan prasarana kawasan perbatasan. Sama halnya dengan tahun 2011, dalam tahun 2012, bidangbidang yang didanai DAK berjumlah 19 (Sembilan belas). 19 Bidang yang didanai DAK tersebut
dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.

Pendidikan.

2.

Kesehatan.

3.

Infrastruktur Jalan.

4.

Infrastruktur irigasi.

5.

Infrastruktur air minum.

6.

Infrastruktur sanitasi.

7.

Prasarana pemerintah.

8.

Kelautan dan perikanan.

9.

Pertanian.

10. Lingkungan hidup.


11. Keluarga berencana.
12. Kehutanan.
13. Perdagangan.
14. Sarana dan prasarana daerah tertinggal.
15. Listrik pedesaan.
16. Perumahan dan permukiman.
17. Transportasi perdesaan.
18. Sarana dan prasarana kawasan perbatasan.
19. Keselamatan transportasi darat.
Bertambahnya bidang yang didanai dari DAK tersebut berdampak terhadap peningkatan alokasi
DAK setiap tahunnya walaupun sempat mengalami penurunan pada tahun 2010. Alokasi DAK
tahun 2005 masih sebesar Rp4,0 triliun (0,1 persen terhadap PDB), meningkat menjadi Rp20,8

DIREKTORAT P-APBN

225
TRANSFER KE DAERAH

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

triliun (0,4 persen terhadap PDB) pada tahun 2008, dan selanjutnya juga mengalami peningkatan
pada tahun 2009 menjadi Rp24,7 triliun (0,4 persen terhadap PDB). Mencermati kemampuan
keuangan negara yang terbatas, alokasi DAK pada tahun 2010 mengalami penurunan menjadi
Rp21,0 triliun (0,3 persen terhadap PDB), dan untuk selanjutnya mengalami kenaikan menjadi
25,2 triliun (0,3 persen terhadap PDB) pada APBN-P 2011. Sementara itu, bertambahnya daerah
otonom baru berdampak terhadap bertambahnya jumlah daerah yang menerima DAK. Hal ini
dapat dilihat dari jumlah penerima DAK pada tahun 2005 yaitu dari 377 kabupaten/kota dan 2
Provinsi, dan pada tahun 2011 jumlah daerah yang memperoleh alokasi DAK menjadi 488
kabupaten/kota dan 32 provinsi.
6.2.2

Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian

Komponen Transfer ke Daerah lainnya adalah Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian, yang
diatur dengan peraturan perundang-undangan di luar UU Perimbangan Keuangan, antara lain
meliputi: (a) UU Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2008 tentang
Perubahan atas UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua menjadi
undang-undang; (b) UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, (c) UU Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional; serta (d) PP Nomor 41 Tahun 2009 tentang
Tunjangan Profesi Guru dan Dosen.
6.2.2.1

Dana Otonomi Khusus (Otsus)

Definisi: Dana Otonomi Khusus adalah dana yang dialokasikan untuk membiayai pelaksanaan
otonomi khusus suatu daerah, sebagaimana ditetapkan dalam UU Nomor 35 Tahun 2008 tentang
Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas UU Nomor 21 Tahun 2001
tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua menjadi undang-undang dan UU Nomor 11 Tahun
2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Ruang Lingkup: (a) Dana Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat;
(b) Dana Otonomi Khusus bagi Provinsi Aceh; dan (c) dana tambahan untuk pembangunan
infrastruktur bagi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.
Formula dan Penggunaan Dana Otonomi Khusus:
a. Formula Dana Otonomi Khusus untuk Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat adalah setara
2 persen dari pagu DAU nasional selama 20 tahun, yang penggunaannya terutama ditujukan
untuk pembiayaan pendidikan dan kesehatan;
b. Formula Dana Otonomi Khusus untuk Provinsi Aceh adalah setara 2 persen dari pagu DAU
nasional selama 15 tahun, untuk tahun ke-16 hingga ke-20 menjadi sebesar 1 persen dari

DIREKTORAT P-APBN

226
TRANSFER KE DAERAH

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

pagu DAU nasional, yang penggunaannya ditujukan untuk membiayai pembangunan terutama
pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan
kemiskinan, serta pendanaan pendidikan, sosial, dan kesehatan; serta
c. Besaran dana tambahan untuk pembangunan infrastruktur bagi Papua dan Papua Barat
ditetapkan oleh Pemerintah dan DPR berdasarkan usulan provinsi tersebut, yang
penggunaannya ditujukan untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur.
Faktor-faktor Penentu Dana Otonomi Khusus, antara lain meliputi: (a) untuk Dana Otsus bagi
Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, serta Dana Otonomi Khusus bagi Provinsi Aceh sangat
bergantung pada besaran DAU; dan (b) dana tambahan untuk pembangunan infrastruktur
tergantung pada Kemampuan Keuangan Negara dan hasil kesepakatan antara Pemerintah dan
DPR dengan mempertimbangkan usulan provinsi tersebut.
Stakeholders Penentu Dana Otonomi Khusus, antara lain Kementerian Keuangan, Kementerian
Dalam Negeri, DPR, dan Provinsi-provinsi terkait dengan Dana Otonomi Khusus.
Perkembangan Dana Otonomi Khusus:
a. Pada tahun 2002, realisasi Dana
Otonomi

Khusus,

yang

Grafik 6.2
Dana Otonomi Khusus, 2002-2013

hanya

menampung Dana Otonomi Khusus

(miliar rupiah)
16.000,0

Provinsi Papua, mencapai Rp1,2


14.000,0

triliun.
b. Pada tahun 2006, realisasi Dana
Otonomi

Khusus,

yang

telah

menampung Dana Otonomi Khusus


Provinsi

Papua

dan

12.000,0

10.000,0

8.000,0

Dana
6.000,0

Tambahan

Infrastruktur

Provinsi
4.000,0

Papua, mencapai Rp3,2 triliun.


c. Pada tahun 2008, realisasi Dana
Otonomi

Khusus,

yang

telah

menampung Dana Otonomi Khusus

2.000,0

2002
Realisasi 1.175,0

Provinsi

Papua,

Dana

2003

2004

2005

2006

2007

2008

2009

1.539,6

1.642,6

1.775,3

3.488,3

4.045,7

7.510,3

9.526,6

2010

2011

2012
2013
(APBN-P) (APBN)

9.099,6 10.421,3 11.952,6 13.445,6

Otonomi

Khusus Aceh, dan Dana Tambahan Infrastruktur Provinsi Papua, mencapai Rp7,5 triliun.
d. Pada APBN-P 2012, realisasi Dana Otonomi Khusus, yang meliputi Dana Otonomi Khusus
Provinsi Papua dan Papua Barat, Dana Otonomi Khusus Aceh, dan Dana Tambahan
Infrastruktur Provinsi Papua dan Papua Barat, menjadi Rp12,0 triliun.

DIREKTORAT P-APBN

227
TRANSFER KE DAERAH

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Perkembangan Dana Otonomi Khusus dari tahun 2001 sampai dengan APBN-P tahun 2012
sebagaimana tercermin pada Grafik 6.2.
6.2.2.2

Dana Penyesuaian

Definisi: Dana penyesuaian adalah dana yang dialokasikan untuk membantu daerah dalam
rangka melaksanakan kebijakan tertentu Pemerintah dan DPR sesuai peraturan perundangan.
Ruang lingkup dan penggunaan Dana Penyesuaian:
a. Tunjangan Profesi Guru (TPG) PNSD diberikan kepada guru-guru PNSD yang sudah
mempunyai sertifikat pendidik sebesar 1 (satu) kali gaji pokok;
b. Dana Tambahan Penghasilan Guru PNSD diberikan kepada guru-guru PNSD yang belum
memiliki sertifikat pendidik;
c. Bantuan Operasional Sekolah (BOS) terutama digunakan untuk

biaya nonpersonalia bagi

satuan pendidikan dasar sebagai pelaksana program wajib belajar, dan dapat dimungkinkan
untuk mendanai beberapa kegiatan lain sesuai petunjuk teknis Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan;
d. Dana insentif daerah (DID) untuk melaksanakan fungsi pendidikan dengan mempertimbangkan
kriteria daerah berprestasi yang antara lain telah memenuhi kriteria utama, dan kriteria kinerja;
serta
e. Dana Proyek Pemerintah Daerah dan Desentralisasi (P2D2) merupakan dana yang bersumber
dari pinjaman program yang digunakan dalam rangka memperkuat transparansi dan
akuntabilitas pelaksanaan DAK khususnya bidang infrastruktur.
Faktor-faktor Penentu Dana Penyesuaian, antara lain (a) jumlah guru bersertifikat pendidik dan
jumlah guru yang belum memiliki sertifikat pendidik; serta (b) jumlah sekolah SD dan SMP.
Stakeholders Penentu Dana Penyesuaian, antara lain meliputi Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, serta Kementerian Keuangan.
Perkembangan Dana Penyesuaian:
a. Dalam tahun 2002, realisasi Dana Penyesuaian, yang hanya berupa dana penyeimbang,
mencapai Rp2,4 triliun.

DIREKTORAT P-APBN

228
TRANSFER KE DAERAH

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

b. Pada tahun 2006, realisasi Dana Penyesuaian mencapai Rp0,6 triliun, yang terdiri dari dana
penyesuaian murni Rp0,3 triliun
dan dana penyesuaian kebijakan

Grafik 6.3
Dana Penyesuaian, 2002-2013

(ad-hoc) Rp0,3 triliun.


c. Pada tahun 2011, realisasi Dana
Penyesuaian

mencapai

triliun.

80.000,0

Rp53,7

triliun dan pada APBN-P 2012


direncanakan

(miliar rupiah)

mencapai

Besarnya

70.000,0

Rp58,5

60.000,0

Dana

50.000,0

Penyesuaian dalam tahun 2011

40.000,0

dan APBN-P 2012 tersebut karena


30.000,0

adanya

pengalihan

sebagian

belanja Pemerintah Pusat berupa

20.000,0

TPG

Tambahan

10.000,0

Penghasilan Guru PNSD, dan BOS

ke

PNSD,

Dana

Dana

Penyesuaian

Transfer ke Daerah.

pada

2009

2010

2011

2012
2013
(APBN-P) (APBN)

2002

2003

2004

2005

2006

2007

2008

Realisasi 2.372,5

7.704,3

5.212,8

5.467,3

561,1

5.250,3

6.208,5 11.807,2 18.916,7 53.657,2 58.471,3 70.385,9

Perkembangan Dana Penyesuaian dari tahun 2001 sampai dengan APBN-P tahun 2012 dapat
diikuti pada Grafik 6.3.

DIREKTORAT P-APBN

229
TRANSFER KE DAERAH

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Tabel 6.2
Perkembangan Transfer ke Daerah, 2001-2013
(miliar rupiah)
2001

2002

2003

2004

2005

2006

2007

2008

2009

I. DANA PERIMBANGAN

81.054,4

94.656,6

111.070,4

122.867,7

143.221,3

222.130,6

243.967,1

278.714,7

287.251,5

316.711,4

A. Dana Bagi Hasil

20.708,6

25.497,2

31.369,5

37.900,8

50.479,2

64.900,3

62.941,9

78.420,3

76.130,0

92.183,6

9.679,3
3.151,9
5.112,8
1.414,6
-

11.917,3
4.121,1
6.063,2
1.733,0
-

16.041,3
5.161,9
8.708,4
2.171,0

19.468,8
5.136,3
11.442,2
2.890,4

23.709,6
5.439,6
14.935,7
3.334,3

28.227,1
6.052,6
18.994,9
3.179,6

34.990,4
7.965,3
22.584,6
4.440,6
-

37.879,0
9.988,3
22.251,8
5.638,9
-

40.334,2
10.219,1
23.073,9
5.976,2
1.065,1

11.029,3

13.579,9

15.328,2

18.432,0

26.769,6

36.673,2

27.951,5

40.739,6

9.572,2
5.989,9
3.582,3
438,0
1.019,1
-

11.719,6
6.415,7
5.303,9
550,2
1.184,0
126,1
-

13.251,2
6.831,5
6.419,7
1.145,4
731,6
200,0

14.718,9
8.123,0
6.595,9
1.415,1
2.090,4
207,6

22.633,3
12.551,7
10.081,6
2.584,2
1.334,0
218,1

31.635,8
18.818,0
12.817,9
3.624,9
1.212,7
199,7

21.978,8
12.237,5
9.741,3
4.227,6
1.724,2
166,0
-

33.094,5
18.916,3
14.178,2
6.191,7
1.389,4
64,0
-

60.345,8

69.159,4

76.977,9

82.130,9

88.765,4

145.664,2

164.787,4

2.723,0

2.835,9

3.976,7

11.566,1

16.237,8

Uraian

1. Pajak
i. Pajak Penghasilan
ii. Pajak Bumi dan Bangunan
iii. BPHTB
iv. Cukai Hasil Tembakau
2. Sumber Daya Alam
i. Migas
a. Minyak Bumi
b. Gas Alam
c. Kurang Bayar Migas
ii. Pertambangan Umum
iii. Kehutanan
iv. Perikanan
v. Pertmbangan Panas Bumi
B. Dana Alokasi Umum
C. Dana Alokasi Khusus
II. DANA OTONOMI KHUSUS DAN PENYESUAIAN

2010

2011

APBN-P 2012

APBN 2013

347.246,3

408.352,1

444.798,8

96.909,1

108.421,7

101.962,4

47.017,8
10.931,5
27.108,4
7.775,9
1.202,1

42.934,1
13.237,3
28.288,3
1.408,4

51.675,8
21.641,3
28.149,8
238,8
1.645,9

49.951,7
22.106,9
25.992,8
1.852,0

35.795,8

45.165,7

53.975,0

56.745,9

52.010,6

26.128,7
14.613,3
11.515,3
7.197,6
1.307,1
69,3
1.093,2

35.196,4
17.143,1
11.925,2
6.128,1
7.790,4
1.753,1
120,0
305,9

37.306,3
19.516,6
15.421,8
2.367,9
14.498,1
1.512,5
138,1
520,0

41.695,8
23.381,3
14.476,5
3.838,0
12.919,3
1.700,7
126,5
303,6

35.197,2
18.742,3
16.454,9
14.079,2
2.267,4
144,0
322,8

179.507,1

186.414,1

203.571,5

225.533,7

273.814,4

311.139,3

20.787,3

24.707,4

20.956,3

24.803,5

26.115,9

31.697,1

3.547,5

9.243,9

6.855,3

7.242,6

4.049,3

9.296,0

13.718,8

21.333,8

28.016,3

64.078,5

70.423,9

83.831,5

A. Dana Otonomi Khusus


1. Otsus Murni (Persentase DAU)
- Dana Otsus Prov. Papua
- Dana Otsus Aceh
2. Tambahan Otsus Infrastruktur

1.175,0
1.175,0
1.175,0
-

1.539,6
1.539,6
1.539,6
-

1.642,6
1.642,6
1.642,6
-

1.775,3
1.775,3
1.775,3
-

3.488,3
2.913,3
2.913,3
575,0

4.045,7
3.295,7
3.295,7
750,0

7.510,3
7.180,3
3.590,1
3.590,1
330,0

9.526,6
7.180,3
3.590,1
3.590,1
330,0

9.099,6
7.699,6
3.849,8
3.849,8
1.400,0

10.421,3
9.021,3
4.510,7
4.510,7
1.400,0

11.952,6
10.952,6
5.476,3
5.476,3
1.000,0

13.445,6
12.445,6
6.222,8
6.222,8
1.000,0

B. Dana Penyesuaian
- Penyeimbang/Penyesuaian Murni untuk
kekurangan DAU Bagi beberapa daerah

2.372,5

7.704,3

5.212,7

5.467,3

561,1

5.250,3

6.208,5

11.807,2

18.916,7

53.657,2

58.471,3

70.385,9

2.372,5
-

2.262,4

1.008,4
4.204,3

805,5
4.661,8

300,7
260,4
-

842,9
3.266,0
1.141,4
-

242,8
4.006,9

1.769,5
189,3

6.993,2
4.575,5
197,1

6.880,7
4.133,7
-

3.678,5
-

2.898,9
-

2.412,0
-

41,4
-

80,2
1.387,8

1.387,8

1.387,8

1.387,8

32,0

5.275,8

1.126,5
-

18.510,2
7.535,0
16.329,9

30.559,8

43.057,8

23.594,8

23.446,9

Bantuan ad hoc untuk kenaikan gaji


Dana Penyesuaian Infrastruktur
Dana Tunjangan Kependidikan
Dana Infrastruktur Sarana dan Prasarana
Kependidikan dan Sarana Prasarana Prov.
Papua Barat
- Dana Alokasi Cukai
- Dana Penguatan Desentralisasi Fiskal dan
Percepatan Pembangunan
- Dana Tambahan Penghasilan Guru PNSD
- Dana Penyesuaian Selisih Perhitungan DAK
- Dana Penyesuaian Selish Perhitungan Dana
Penyesuaian Infrastruktur Jalan dan Lainnya
(DPIL)
- Kurang Bayar DAK
- Dana Insentif Daerah
- Kurang Bayar Dana Infrastruktur Sarana dan
Prasarana (DISP)
- Dana Penguatan Infrastruktur dan Prasarana
Daerah (DPIPD)
- Dana Penguatan Infrastruktur Pendidikan
(DPPIP)
-

Tunjangan Profesi Guru


Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah (DPID)
Bantuan Operasional Sekolah (BOS)
Kurang Bayar Dana Sarana dan Prasarana
Infrastruktur Prov. Papua Barat TA 2008

5.441,9
-

78,9

- Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur


Daerah (DPPID)

6.136,8

- Program Pemerintah Daerah dan


Desentralisasi (P2D2)

30,0

81,4

98.204,1

120.314,3

129.723,0

150.463,9

226.179,9

253.263,1

292.433,5

308.585,3

344.727,7

411.324,8

478.775,9

528.630,3

J U M L A H

DIREKTORAT P-APBN

81.054,4

230
TRANSFER KE DAERAH

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Grafik 6.4
Perkembangan Transfer ke Daerah terhadap Belanja Negara
33%

1600,0

34%

33%

33%

33%

1400,0

32%

1200,0

31%
1683,0

1548,3

1295,0

31%
30%
29%

478,8

411,3

1042,1

344,7

937,4

308,6

292,4

757,6

200,0

253,3

600,0

985,7

30%

800,0
400,0

32%

31%

1000,0

528,6

1800,0

28%

0,0

27%
2007

2008

2009

Transfer ke Daerah

2010

2011

APBN-P
2012

Belanja Negara

APBN
2013

% thd Bel Negara

Sejalan dengan makin meningkatnya kebutuhan pendanaan untuk penyediaan infrastruktur sarana
dan prasarana pelayanan publik di daerah, anggaran Transfer ke Daerah dari tahun ke tahun juga
mengalami peningkatan. Pada tahun 2007, alokasi anggaran Transfer ke Daerah yang terdiri atas
Dana Perimbangan dan Dana Otsus dan Penyesuaian mencapai Rp253,3 triliun (6,4 persen dari
PDB) dan pada tahun 2013 jumlahnya menjadi Rp528,6 triliun (5,7 persen dari PDB). Alokasi
Anggaran Transfer ke Daerah tahun 2013 tersebut 10,4 persen lebih tinggi jika dibandingkan
dengan alokasi anggaran Transfer ke Daerah pada tahun 2012 sebesar Rp478,8 triliun.
Selama periode tahun 2007 sampai dengan 2013, jumlah anggaran Transfer ke Daerah meningkat
rata-rata sekitar 18,1 persen per tahun. Peningkatan yang relatif tinggi, terjadi pada tahun 2011,
yakni meningkat Rp66,6 triliun atau sebesar 19,3 persen jika dibandingkan dengan alokasi
anggaran Transfer ke Daerah pada tahun 2010.
Pendanaan Pusat ke Daerah selain Transfer ke Daerah
Selain anggaran Transfer ke Daerah yang dialokasikan dan disalurkan ke daerah sebagai
penerimaan APBD, juga terdapat beberapa jenis dana APBN yang dialokasikan melalui anggaran
kementerian/lembaga

untuk

mendanai

beberapa

kegiatan

di

daerah.

Dana

dari

kementerian/lembaga tersebut antara lain berupa dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan,
dana dalam rangka pelaksanaan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), dan
dana untuk pelaksanaan berbagai jenis subsidi, yang pengelolaan dilaksanakan oleh

DIREKTORAT P-APBN

231
TRANSFER KE DAERAH

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

kementerian/lembaga terkait dan tidak menjadi bagian dari penerimaan APBD. Secara
keseluruhan, dana APBN yang digunakan untuk mendanai kegiatan di daerah, baik berupa
Transfer ke Daerah maupun anggaran dari kementerian/lembaga, jumlahnya saat ini hampir
mencapai 60 persen dari total belanja dalam APBN.
Adanya alokasi dana Transfer ke Daerah dan pemberian diskresi kepada daerah untuk mengelola
perpajakan daerah, pinjaman dan hibah daerah tersebut menunjukkan kuatnya komitmen
Pemerintah untuk melaksanakan desentralisasi fiskal. Komitmen Pemerintah tersebut harus
diimbangi dengan kesungguhan dari Pemda untuk mengelola APBD secara sehat berdasarkan
tata kelola pemerintahan yang baik dengan mengedepankan akuntabilitas dari segenap aparatur
pemerintahan di daerah. Ekspansi APBD karena meningkatnya sumber-sumber pendanaan harus
diikuti dengan perbaikan kualitas belanja daerah (quality of spending), sehingga sumber-sumber
dana yang ada dapat dimanfaatkan untuk mendanai program dan kegiatan yang mempunyai nilai
tambah yang besar bagi masyarakat.

DIREKTORAT P-APBN

232
TRANSFER KE DAERAH

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

BAB VII
PEMBIAYAAN ANGGARAN

7.1

Pendahuluan

Pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang
akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahun-tahun
anggaran berikutnya. Definisi pembiayaan tersebut sesuai menurut Undang-undang Nomor 17
Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara. Kebutuhan pembiayaan anggaran utamanya diperlukan
dalam rangka : (1) menutup defisit APBN, (2) memenuhi kewajiban Pemerintah, utamanya untuk
pembayaran cicilan pokok (amortisasi) utang luar negeri dan dalam negeri, pembayaran jatuh
tempo pokok utang, serta pembelian kembali (buy back) surat berharga negara, (3) membiayai
pengeluaran pembiayaan utamanya untuk penerusan pinjaman, Penyertaan Modal Negara
(PMN), investasi pemerintah, dana bergulir, dana pengembangan pendidikan nasional, kewajiban
penjaminan pemerintah, dan pemberian pinjaman.
Secara umum kebijakan pembiayaan anggaran telah diatur atau dibatasi oleh peraturan
perundangan yang berlaku. Sesuai penjelasan pasal 12 ayat (3) UU Nomor 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara, defisit anggaran dibatasi maksimal 3% dari Produk Domestik Bruto.
Jumlah pinjaman dibatasi maksimal 60% dari Produk Domestik Bruto. Dalam hal anggaran
diperkirakan defisit, ditetapkan sumber-sumber pembiayaan untuk menutup defisit tersebut dalam
Undang-undang tentang APBN. Sebaliknya, dalam hal anggaran diperkirakan surplus, Pemerintah
Pusat dapat mengajukan rencana penggunaan surplus anggaran kepada Dewan Perwakilan
Rakyat.
Secara akuntansi, suatu anggaran akan selalu dalam keadaan seimbang, yaitu incomings sama
dengan outgoings. Kondisi defisit atau surplus anggaran dalam hal ini akan ditandai oleh adanya
item-item penyeimbang (balancing items) baik dalam incoming ataupun outgoing, sehingga terjadi
ketidakseimbangan antara pengeluaran dan penerimaan. Jika penerimaan anggaran Pemerintah
dinyatakan dengan T dan pengeluarannya dinyatakan dengan G, maka kondisi defisit anggaran
dapat dinyatakan dalam bentuk G-T dengan G yang lebih besar dari pada T. Secara verbal defisit
dapat didefinisikan sebagai nilai atau tingkat penerimaan anggaran Pemerintah yang lebih kecil
daripada pengeluarannya, untuk selanjutnya dibiayai dengan beberapa macam mekanisme.

DIREKTORAT P-APBN

233

PEMBIAYAAN ANGGARAN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Menurut Barro (1989) ada beberapa sebab terjadinya defisit anggaran, yaitu:
1. Mempercepat pertumbuhan ekonomi
Untuk mempercepat pembangunan diperlukan investasi yang besar dan dana yang besar
pula. Apabila dana dalam negeri tidak mencukupi, biasanya negara melakukan pilihan dengan
meminjam ke luar negeri untuk menghindari pembebanan warga negara apabila kekurangan
itu ditutup melalui penarikan pajak. Negara memang dibebani tanggung jawab yang besar
dalam meningkatkan kesejahteraan warga negaranya.
2. Pemerataan pendapatan masyarakat
Pengeluaran ekstra juga diperlukan dalam rangka menunjang pemerataan di seluruh wilayah,
sehingga pemerintah mengeluarkan biaya yang besar untuk pemerataan pendapatan tersebut.
Misalnya pengeluaran subsidi transportasi ke wilayah yang miskin dan terpencil, agar
masyarakat di wilayah itu dapat menikmati hasil pembangunan yang tidak jauh berbeda
dengan wilayah yang lebih maju.
3. Melemahnya nilai tukar
Bila suatu negara melakukan pinjaman luar negeri, maka negara tersebut akan mengalami
masalah bila ada gejolak nilai tukar setiap tahunnya. Masalah ini disebabkan karena nilai
pinjaman dihitung dengan valuta asing, sedangkan pembayaran cicilan pokok dan bunga
pinjaman dihitung dengan mata uang negara peminjam tersebut. Misalnya apabila nilai tukar
rupiah depresiasi terhadap mata uang dollar AS, maka pembayaran cicilan pokok dan bunga
pinjaman yang akan dibayarkan juga membengkak. Sehingga pembayaran cicilan pokok dan
bunga pinjaman yang diambil dari APBN bertambah, lebih dari apa yang dianggarkan semula.
4. Pengeluaran akibat krisis ekonomi
Krisis ekonomi akan menyebabkan meningkatnya pengangguran,sedangkan penerimaan pajak
akan menurun akibat menurunnya sektor-sektor ekonomi sebagai dampak krisis itu, padahal
negara harus bertanggung jawab untuk menaikkan daya beli masyarakat yang tergolong
miskin. Dalam hal ini negara terpaksa mengeluarkan dana ekstra untuk program-program
kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat terutama di wilayah pedesaan yang miskin itu.
5. Realisasi yang menyimpang dari rencana
Apabila realisasi penerimaan negara meleset dibanding dengan yang telah direncanakan, atau
dengan kata lain rencana penerimaan negara tidak dapat mencapai sasaran seperti apa yang
direncanakan, maka berarti beberapa kegiatan proyek atau program harus dipotong.
Pemotongan proyek itu tidak begitu mudah, karena bagaimanapun juga untuk mencapai
kinerja pembangunan, suatu proyek tidak bisa berdiri sendiri, tetapi ada kaitannya dengan
proyek lain. Kalau hal ini terjadi, negara harus menutup kekurangan, agar kinerja
pembangunan dapat tercapai sesuai dengan rencana semula.
DIREKTORAT P-APBN

234

PEMBIAYAAN ANGGARAN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

6. Pengeluaran karena inflasi


Penyusunan anggaran negara pada awal tahun, didasarkan menurut standar harga yang telah
ditetapkan. Harga standar itu sendiri dalam perjalanan tahun anggaran, tidak dapat dijamin
ketepatannya. Dengan kata lain, selama perjalanan tahun anggaran standar harga itu dapat
meningkat tetapi jarang yang menurun. Apabila terjadi inflasi, dengan adanya kenaikan hargaharga itu berarti biaya pembangunan program juga akan meningkat, sedangkan anggaran
tetap sama. Semuanya ini akan berakibat pada menurunnya kuantitas dan kualitas program,
sehingga anggaran negara perlu direvisi. Akibatnya, negara terpaksa mengeluarkan dana
dalam rangka menambah standar harga itu.
Pembiayaan defisit anggaran dapat diklasifikasikan menjadi tiga yaitu : (i) Pembiayaan anggaran
dalam negeri dan luar negeri; (ii) Pembiayaan anggaran utang dan nonutang; (iii) Pembiayaan
anggaran berdasarkan penerimaan dan pengeluaran.
Pembiayaan anggaran dalam dan luar negeri merupakan klasifikasi pembiayaan anggaran
berdasarkan perolehan sumber-sumber pembiayaan baik sumber pembiayaan dalam negeri
maupun sumber pembiayaan luar negeri. Pembiayaan dalam negeri bersumber dari perbankan
dalam negeri dan nonperbankan dalam negeri. Pembiayaan perbankan dalam negeri bersumber
dari Sisa Anggaran Lebih (SAL), penerimaan cicilan pengembalian Subsidiry Loan Agreement
(SLA)/Rekening Dana Investasi (RDI), rekening pembangunan hutan, dan rekening Pemerintah
lainnya. Sedangkan pembiayaan nonperbankan dalam negeri bersumber dari privatisasi, Hasil
Pengelolaan Aset (HPA), penerbitan Surat Berharga Negara (SBN), penarikan pinjaman dalam
negeri, dana investasi Pemerintah dan Penyertaan Modal Negara (PMN), dan dana
pengembangan pendidikan nasional. Sementara itu, pembiayaan luar negeri bersumber dari
penarikan pinjaman luar negeri, penerusan pinjaman, dan pembayaran cicilan pokok utang luar
negeri.

DIREKTORAT P-APBN

235

PEMBIAYAAN ANGGARAN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

2001

2002

2003

2004

2005

2006

2007

2008

2009

2010

2011

Tabel 7.1 Perkembangan Pembiayaan Anggaran Dalam Negeri dan Luar Negeri, 2000-2012
(miliar rupiah)

2000

2012

APBN-P

(190.105,3)
(2,23)

APBN

(124.020,0)
(1,53)

Unaudited

(85.816,9)
(1,16)

LKPP
(46.845,7)
(0,7)

LKPP
(88.618,9)
(2,0)

194.531,0

190.105,3

LKPP
(4.121,3)
(0,1)

125.912,2

124.020,0

LKPP
(49.843,7)
(1,3)

131.069,7

LKPP
(29.141,5)
(0,9)

148.626,1

LKPP
(14.408,2)
(0,5)

96.118,5

91.552,0

LKPP
(23.810,0)
(1,1)

128.133,1

112.583,3

PAN
(35.109,1)
(1,7)

84.071,7

PAN
(23.652,1)
(1,3)

102.477,6

PAN
(40.484,9)
(2,4)
42.456,7

PAN
(16.132,2)
(1,2)
69.032,4

Keterangan

I. SURPLUS/ DEFISIT ANGGARAN (A - B)


% Defisit Thd PDB
55.982,1

60.561,6
4.387,9
56.173,7
-

29.415,6

8.947,0
3.890,2
5.056,8
-

133.969,4
280,0
159.596,7
279.800,0
(120.203,3)
991,2
1.132,5
(141,3)
(19.265,2)
(3.299,6)
(8.922,1)
(7.043,5)
(7.000,0)
(633,3)
-

11.121,2

48.912,5
7.946,9
40.319,0
646,5
-

116.965,2
280,0
134.596,7
254.800,0
(120.203,3)
860,0
1.000,0
(140,0)
(17.138,2)
(3.299,6)
(6.852,8)
(6.985,8)
(1.000,0)
(633,3)
-

21.393,2

22.189,3
4.841,4
17.347,9
-

99.713,6
425,0
1.174,0
119.864,4
207.136,1
(87.271,7)
511,7
511,7
(19.643,9)
(1.550,0)
(9.295,8)
(8.798,1)
(2.617,7)
-

0,0

(4.425,7)
53.731,0
15.603,9
11.553,9
4.050,0
38.127,1
29.695,3
8.431,8
(8.431,8)
(49.724,9)

48.853,1

41.056,8
3.705,0
36.730,8
621,0
-

73.929,2
2.098,7
1.133,4
91.102,6
167.634,2
(76.531,6)
393,6
393,6
(12.299,1)
(927,5)
(6.038,6)
(5.333,0)
(1.000,0)
(7.500,0)
-

(1.892,3)
54.282,4
15.257,1
11.297,1
3.960,0
39.025,3
30.110,7
8.914,6
(8.914,6)
(47.260,1)

20.795,9

16.159,3
300,0
15.859,3
-

87.076,3
690,3
99.471,0
148.537,8
(49.066,8)
(13.085,0)
(500,0)
(11.674,0)
(911,0)
-

45.252,8

(17.556,5)
33.403,6
13.574,5
13.574,5
19.829,1
16.191,6
3.637,6
(3.637,6)
(47.322,5)

35.109,1
11.143,3
4.000,0
279,1
521,6
6.342,6

86.318,3
82,3
2.819,8
85.916,2
132.695,2
(46.779,0)
(2.500,0)
(2.500,0)
-

44.706,3

(4.566,5)
54.794,8
28.974,6
24.358,4
4.616,2
25.820,2
17.091,4
8.728,8
(8.728,8)
(50.632,5)

34.561,5
18.912,9
2.000,0
9.555,5
7.357,4

57.889,1
3.004,3
2.412,6
57.172,2
116.858,3
(59.686,1)
(4.700,0)
(4.700,0)
-

23.964,4

(15.549,8)
58.662,0
28.937,7
28.937,7
29.724,3
23.543,6
6.180,7
(6.180,7)
(68.031,1)

17.024,1
(2.550,0)
7.150,0
4.000,0
(13.700,0)
37.069,2
2.371,7
2.684,0
35.985,5
94.234,8
(58.249,3)
(3.972,0)
(3.972,0)
-

79.950,4

(18.405,9)
50.218,7
30.100,4
30.100,4
20.118,3
14.929,0
5.189,3
(5.189,3)
(63.435,3)

23.652,1
22.712,5
22.712,5
23.943,2
6.563,5
22.574,7
47.372,6
(24.797,9)
(5.195,0)
(5.195,0)
-

(7.387,0)

(26.575,7)
34.070,2
19.607,5
19.607,5
14.462,7
11.739,3
2.723,4
(2.723,4)
(57.922,5)

30.217,5
10.705,0
10.705,0
26.140,6
3.519,5
15.750,7
6.870,4
32.326,8
(25.456,4)
-

274,1

(26.566,5)
29.672,6
13.579,6
13.579,6
16.093,0
12.535,0
3.558,0
(3.558,0)
(52.681,1)

40.484,9
(8.140,1)
(8.140,1)
23.856,5
7.300,5
19.660,8
(3.104,8)
11.318,9
(14.423,7)
-

(3.287,0)

(10.272,0)
29.089,0
12.264,8
12.264,8
16.824,2
14.575,6
2.248,6
(2.248,6)
(37.112,4)

5.936,5
(1.227,5)
(1.227,5)
25.164,2
7.664,9
19.438,7
(1.939,4)
1.991,1
(3.930,5)
-

(3.014,1)

(28.057,2)
18.433,9
5.058,5
5.058,5
13.375,4
13.375,4
(46.491,1)

16.132,2
(12.963,5)
(12.963,5)
31.445,0
3.465,0
27.980,0
-

547,6
20.359,6
1.792,1
1.792,1
18.567,5
18.567,5
(19.812,0)

I. Pembiayaan Dalam Negeri


1. Perbankan Dalam Negeri
a. Penerimaan Cicilan Pengembalian SLA (RDI)
b SAL
c. RKUN utk Pembiayaan Kredit Investasi
d. RPH
e. Rek. Cadangan Dana Reboisasi
f. Rek. Pemerintah Lainnya
g. Pelunasan Piutang Pertamina
h. Eks. Moratorium NAD & Nias
18.900,0
18.900,0
-

6.628,0
18.886,6
7.170,1
7.170,1
11.716,5
11.716,5
(12.258,6)

II. PEMBIAYAAN ANGGARAN (I+II)

2. Non Perbankan Dalam Negeri


a. Privatisasi
b. Hasil Pengelolaan Aset
c. SBN (Neto)
i. Penerbitan
ii. Pembayaran Pokok dan Pembelian Kembali
d. Pinjaman Dalam Negeri (Neto)
i. Penarikan PDN (Bruto)
ii. Pembayaran Cicilan Pokok PDN
e. Dana Investasi Pemerintah & PMN
i. Investasi Pemerintah
ii. PMN
iii. Dana Bergulir
Dana Pengembangan Pendidikan Nasional
Pinjaman Kepada PT PLN
Kewajiban Penjaminan
Cadangan Pembiayaan

10.267,4
26.152,0
6.415,9
6.415,9
19.736,1
19.736,1
(15.884,6)

f.
g.
h.
i.

10.195,7
17.818,4
848,8
848,8
16.969,6
16.969,6
(7.622,7)

II. Pembiayaan Luar Negeri (Neto)


1. Penarikan Pinjaman Luar Negeri (Bruto)
a. Pinjaman Program
i. Reguler
ii. Sector Programme Loan
b. Pinjaman Proyek
i. Pusat
ii. Penerimaan Penerusan Pinjaman
2. Penerusan Pinjaman
3. Pembayaran Cicilan Pokok Utang LN
Kelebihan/Kekurangan Pembiayaan

PEMBIAYAAN ANGGARAN

236

DIREKTORAT P-APBN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Pembiayaan anggaran utang dan nonutang merupakan klasifikasi pembiayaan anggaran


berdasarkan perolehan sumber-sumber pembiayaan yang diperoleh melalui penerbitan utang dan
pembiayaan nonutang. Pembiayaan anggaran utang terdiri dari Surat Berharga Negara (neto),
pembiayaan luar negeri (neto), dan pinjaman dalam negeri (neto). Sementara itu untuk
pembiayaan nonutang bersumber dari perbankan dalam negeri dan nonperbankan dalam negeri.
Sumber pembiayaan perbankan dalam negeri meliputi penerimaan cicilan pengembalian SLA
(RDI), SAL, Rekening Kas Umum Negara (RKUN), rekening pembangunan hutan, rekening
cadangan reboisasi, dan rekening Pemerintah lainnya. Sedangkan pembiayaan nonperbankan
dalam negeri meliputi privatisasi, Hasil Pengelolaan Aset (HPA), dana investasi Pemerintah dan
PMN, dana pengembangan pendidikan nasional, dan kewajiban penjaminan.

DIREKTORAT P-APBN

237

PEMBIAYAAN ANGGARAN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

2009

LKPP

2010

Unaudited

2011

Tabel 7.2 Perkembangan Pembiayaan Anggaran Utang dan Nonutang, 2000-2012


(miliar rupiah)

LKPP

2012

APBN-P

2008

APBN

LKPP

(190.105,3)
(2,23)

2007

(124.020,0)
(1,53)

33.943,1

190.105,3

LKPP

(85.816,9)
(1,16)

(9.544,5)

124.020,0

2006

(46.845,7)
(0,7)

28.250,0

131.069,7

LKPP

(88.618,9)
(2,0)

4.622,3

91.552,0

2005

(4.121,3)
(0,1)

28.662,1

112.583,3

LKPP
(49.843,7)
(1,3)

16.561,4

84.071,7

2004

(29.141,5)
(0,9)
11.860,2

42.456,7

LKPP

29.415,6

PAN
(14.408,2)
(0,5)
19.996,6

2003

(23.810,0)
(1,1)
(1.181,5)

11.121,2

PAN
(35.109,1)
(1,7)
41.982,7

20.795,9

2002

35.109,1

PAN
(23.652,1)
(1,3)
37.666,3

2001

23.652,1

PAN
(40.484,9)
(2,4)
18.963,5

2000

(16.132,2)
(1,2)
30.217,5

40.484,9

Keterangan

I. SURPLUS/ DEFISIT ANGGARAN (A - B)


% Defisit Thd PDB
5.936,5

16.132,2

1. Perbankan Dalam Negeri


a. Penerimaan Cicilan Pengembalian SLA (RDI)
b SAL
c. RKUN utk Pembiayaan Kredit Investasi
d. RPH
e. Rek. Cadangan Dana Reboisasi
f. Rek. Pemerintah Lainnya
g. Pelunasan Piutang Pertamina
h. Eks. Moratorium NAD & Nias
18.900,0
18.900,0
-

(12.963,5)
(12.963,5)
31.445,0
3.465,0
27.980,0
-

(1.227,5)
(1.227,5)
27.103,6
7.664,9
19.438,7
-

(8.140,1)
(8.140,1)
26.961,3
7.300,5
19.660,8
-

10.705,0
10.705,0
19.270,2
3.519,5
15.750,7
-

22.712,5
22.712,5
1.368,5
6.563,5
(5.195,0)
(5.195,0)
-

(2.550,0)
7.150,0
4.000,0
(13.700,0)
1.083,7
2.371,7
2.684,0
(3.972,0)
(3.972,0)
-

18.912,9
2.000,0
9.555,5
7.357,4

716,9
3.004,3
2.412,6
(4.700,0)
(4.700,0)
-

11.143,3
4.000,0
279,1
521,6
6.342,6

402,1
82,3
2.819,8
(2.500,0)
(2.500,0)
-

16.159,3
300,0
15.859,3
-

(12.394,7)
690,3
(13.085,0)
(500,0)
(11.674,0)
(911,0)
-

41.056,8
3.705,0
36.730,8
621,0
-

(17.567,0)
2.098,7
1.133,4
(12.299,1)
(927,5)
(6.038,6)
(5.333,0)
(1.000,0)
(7.500,0)
-

22.189,3
4.841,4
17.347,9
-

(20.662,5)
425,0
1.174,0
(19.643,9)
(1.550,0)
(9.295,8)
(8.798,1)
(2.617,7)
-

48.912,5
7.946,9
40.319,0
646,5
-

(18.491,5)
280,0
(17.138,2)
(3.299,6)
(6.852,8)
(6.985,8)
(1.000,0)
(633,3)
-

8.947,0
3.890,2
5.056,8
-

(26.618,5)
280,0
(19.265,2)
(3.299,6)
(8.922,1)
(7.043,5)
(7.000,0)
(633,3)
-

60.561,6
4.387,9
56.173,7
-

I. Non Utang

II. PEMBIAYAAN ANGGARAN (I+II)

2. Non Perbankan Dalam Negeri


a. Privatisasi
b. Hasil Pengelolaan Aset
c. Dana Investasi Pemerintah & PMN
i. Investasi Pemerintah
ii. PMN
iii. Dana Bergulir
Dana Pengembangan Pendidikan Nasional
Pinjaman Kepada PT PLN
Kewajiban Penjaminan
Cadangan Pembiayaan

10.195,7
17.818,4
848,8
848,8
16.969,6
16.969,6
(7.622,7)

10.195,7

10.267,4
26.152,0
6.415,9
6.415,9
19.736,1
19.736,1
(15.884,6)

10.267,4

6.628,0
18.886,6
7.170,1
7.170,1
11.716,5
11.716,5
(12.258,6)

(1.939,4)
1.991,1
(3.930,5)

4.688,6

547,6
20.359,6
1.792,1
1.792,1
18.567,5
18.567,5
(19.812,0)

(3.104,8)
11.318,9
(14.423,7)

(2.557,2)

(3.014,1)

(28.057,2)
18.433,9
5.058,5
5.058,5
13.375,4
13.375,4
(46.491,1)

6.870,4
32.326,8
(25.456,4)

(21.186,8)

(3.287,0)

(10.272,0)
29.089,0
12.264,8
12.264,8
16.824,2
14.575,6
2.248,6
(2.248,6)
(37.112,4)

22.574,7
47.372,6
(24.797,9)

12.302,7

274,1

(26.566,5)
29.672,6
13.579,6
13.579,6
16.093,0
12.535,0
3.558,0
(3.558,0)
(52.681,1)

35.985,5
94.234,8
(58.249,3)

9.419,0

(7.387,0)

(26.575,7)
34.070,2
19.607,5
19.607,5
14.462,7
11.739,3
2.723,4
(2.723,4)
(57.922,5)

57.172,2
116.858,3
(59.686,1)

30.596,5

79.950,4

(18.405,9)
50.218,7
30.100,4
30.100,4
20.118,3
14.929,0
5.189,3
(5.189,3)
(63.435,3)

85.916,2
132.695,2
(46.779,0)

67.510,3

23.964,4

(15.549,8)
58.662,0
28.937,7
28.937,7
29.724,3
23.543,6
6.180,7
(6.180,7)
(68.031,1)

99.471,0
148.537,8
(49.066,8)

83.921,2

44.706,3

393,6
393,6
-

(4.566,5)
54.794,8
28.974,6
24.358,4
4.616,2
25.820,2
17.091,4
8.728,8
(8.728,8)
(50.632,5)

91.102,6
167.634,2
(76.531,6)

86.929,7

45.252,8

511,7
511,7
-

(17.556,5)
33.403,6
13.574,5
13.574,5
19.829,1
16.191,6
3.637,6
(3.637,6)
(47.322,5)

119.864,4
207.136,1
(87.271,7)

102.819,6

860,0
1.000,0
(140,0)

(1.892,3)
54.282,4
15.257,1
11.297,1
3.960,0
39.025,3
30.110,7
8.914,6
(8.914,6)
(47.260,1)

134.596,7
254.800,0
(120.203,3)

133.564,4

0,0

991,2
1.132,5
(141,3)

(4.425,7)
53.731,0
15.603,9
11.553,9
4.050,0
38.127,1
29.695,3
8.431,8
(8.431,8)
(49.724,9)

159.596,7
279.800,0
(120.203,3)

156.162,2

d.
e.
f.
g.

II. Utang

3. Pinjaman Dalam Negeri (Neto)


a. Penarikan PDN (Bruto)
b. Pembayaran Cicilan Pokok PDN

2. Pembiayaan Luar Negeri (Neto)


a. Penarikan Pinjaman Luar Negeri (Bruto)
i. Pinjaman Program
- Reguler
- Sector Programme Loan
ii. Pinjaman Proyek
- Pusat
- Penerimaan Penerusan Pinjaman
b. Penerusan Pinjaman
c. Pembayaran Cicilan Pokok Utang LN

1. SBN (Neto)
a. Penerbitan
b. Pembayaran Pokok dan Pembelian Kembali

Kelebihan/Kekurangan Pembiayaan

PEMBIAYAAN ANGGARAN

238

DIREKTORAT P-APBN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Pembiayaan anggaran berdasarkan penerimaan dan pengeluaran merupakan klasifikasi


pembiayaan anggaran berdasarkan karakteristik cash inflow (penerimaan pembiayaan) dan cash
inflow (pengeluaran pembiayaan). Penerimaan pembiayaan terdiri dari penerimaan pembiayaan
nonutang dan penerimaan pembiayaan utang. Penerimaan pembiayaan nonutang bersumber dari
penerimaan cicilan pengembalian SLA (RDI), SAL, Rekening Kas Umum Negara (RKUN),
Rekening Pembangunan Hutan (RPH), rekening cadangan reboisasi, rekening Pemerintah
lainnya, privatisasi, dan HPA. Sedangkan penerimaan pembiayaan utang bersumber dari SBN
(neto), penarikan pinjaman luar negeri (bruto), dan pinjaman dalam negeri (neto). Sedangkan
Pengeluaran pembiayaan bersumber dari pengeluaran utang dan pengeluaran nonutang.
Pengeluaran pembiayaan nonutang digunakan untuk dana investasi Pemerintah dan PMN, dana
pengembangan pendidikan nasional, pinjaman kepada PT. PLN dan kewajiban penjaminan.
Sedangkan pengeluaran pembiayaan utang meliputi penerusan pinjaman, pembayaran cicilan
pokok utang luar negeri.

DIREKTORAT P-APBN

239

PEMBIAYAAN ANGGARAN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Tabel 7.3 Perkembangan Pembiayaan Anggaran Berdasarkan Penerimaan dan Pengeluaran, 2000-2012

2007
LKPP

2008

LKPP

2009

LKPP

2010

Unaudited

2011

(miliar rupiah)

LKPP

2012

APBN-P

2006

APBN

LKPP

(190.105,3)
(2,23)

2005

190.105,3

LKPP

(124.020,0)
(1,53)

2004

(85.816,9)
(1,16)

LKPP

(46.845,7)
(0,7)

PAN

(88.618,9)
(2,0)

2003

(4.121,3)
(0,1)

PAN
(49.843,7)
(1,3)

2002

(29.141,5)
(0,9)

PAN
(14.408,2)
(0,5)

2001

(23.810,0)
(1,1)

PAN
(35.109,1)
(1,7)

2000

(23.652,1)
(1,3)

Keterangan

(40.484,9)
(2,4)

60.841,6
4.387,9
56.173,7
280,0

(16.132,2)
(1,2)

214.318,9
159.596,7
279.800,0
(120.203,3)

I. SURPLUS/ DEFISIT ANGGARAN (A - B)


% Defisit Thd PDB

9.227,0
3.890,2
5.056,8
280,0

53.731,0
15.603,9
11.553,9
4.050,0
38.127,1
29.695,3
8.431,8

275.160,5

189.739,1
134.596,7
254.800,0
(120.203,3)

991,2
1.132,5
(141,3)

198.966,1

50.511,6
7.946,9
40.319,0
646,5
425,0
1.174,0

54.282,4
15.257,1
11.297,1
3.960,0
39.025,3
30.110,7
8.914,6

(85.055,2)

124.020,0

153.779,7
119.864,4
207.136,1
(87.271,7)

860,0
1.000,0
(140,0)

131.069,7

25.421,4
4.841,4
17.347,9
2.098,7
1.133,4

33.403,6
13.574,5
13.574,5
19.829,1
16.191,6
3.637,6

(74.946,2)

204.291,3

146.291,0
91.102,6
167.634,2
(76.531,6)

511,7
511,7
-

91.552,0

41.747,1
3.705,0
36.730,8
621,0
690,3

54.794,8
28.974,6
24.358,4
4.616,2
25.820,2
17.091,4
8.728,8

(73.221,7)

171.712,4

158.133,0
99.471,0
148.537,8
(49.066,8)

393,6
393,6
-

112.583,3

19.061,4
300,0
15.859,3
82,3
2.819,8

58.662,0
28.937,7
28.937,7
29.724,3
23.543,6
6.180,7

(80.160,4)

199.880,1

136.134,9
85.916,2
132.695,2
(46.779,0)

(26.898,5)
(19.265,2)
(3.299,6)
(8.922,1)
(7.043,5)
(7.000,0)
(633,3)
-

84.071,7

16.560,2
4.000,0
279,1
521,6
6.342,6
3.004,3
2.412,6

50.218,7
30.100,4
30.100,4
20.118,3
14.929,0
5.189,3

(87.296,8)

(18.771,5)
(17.138,2)
(3.299,6)
(6.852,8)
(6.985,8)
(1.000,0)
(633,3)
-

0,0

(58.156,7)
(8.431,8)
(49.724,9)

155.196,3

91.242,4
57.172,2
116.858,3
(59.686,1)

(22.261,6)
(19.643,9)
(1.550,0)
(9.295,8)
(8.798,1)
(2.617,7)
-

(56.174,7)
(8.914,6)
(47.260,1)

42.456,7

23.968,6
2.000,0
9.555,5
7.357,4
2.371,7
2.684,0

34.070,2
19.607,5
19.607,5
14.462,7
11.739,3
2.723,4

(71.124,6)

(50.960,1)
(3.637,6)
(47.322,5)

107.802,6

65.658,1
35.985,5
94.234,8
(58.249,3)

(20.799,1)
(12.299,1)
(927,5)
(6.038,6)
(5.333,0)
(1.000,0)
(7.500,0)
-

45.252,8

29.415,6

4.013,5
7.150,0
4.000,0
(13.700,0)
6.563,5

29.672,6
13.579,6
13.579,6
16.093,0
12.535,0
3.558,0

(65.345,9)

(59.361,3)
(8.728,8)
(50.632,5)

89.626,7

51.663,7
22.574,7
47.372,6
(24.797,9)

(13.085,0)
(13.085,0)
(500,0)
(11.674,0)
(911,0)
-

44.706,3

11.121,2

41.982,7
22.712,5
3.519,5
15.750,7

29.089,0
12.264,8
12.264,8
16.824,2
14.575,6
2.248,6

(60.211,1)

(74.211,8)
(6.180,7)
(68.031,1)

55.677,2

25.304,3
6.870,4
32.326,8
(25.456,4)

(2.500,0)
(2.500,0)
(2.500,0)
-

23.964,4

20.795,9

37.666,3
10.705,0
7.300,5
19.660,8

18.433,9
5.058,5
5.058,5
13.375,4
13.375,4
-

(44.556,0)

(68.624,6)
(5.189,3)
(63.435,3)

67.287,0

17.254,8
(3.104,8)
11.318,9
(14.423,7)

(4.700,0)
(4.700,0)
(4.700,0)
-

79.950,4

54.921,1

18.963,5
(8.140,1)
7.664,9
19.438,7

20.359,6
1.792,1
1.792,1
18.567,5
18.567,5
-

(46.491,1)

(60.645,9)
(2.723,4)
(57.922,5)

35.109,1

16.947,2
(1.939,4)
1.991,1
(3.930,5)

(3.972,0)
(3.972,0)
(3.972,0)
-

(7.387,0)

23.652,1

30.217,5
(1.227,5)
3.465,0
27.980,0

18.886,6
7.170,1
7.170,1
11.716,5
11.716,5
-

(19.812,0)

(5.195,0)
(5.195,0)
(5.195,0)
-

274,1

(56.239,1)
(3.558,0)
(52.681,1)

35.910,7

26.152,0
-

(39.361,0)
(2.248,6)
(37.112,4)

56.369,5

5.936,5
(12.963,5)
18.900,0

26.152,0
6.415,9
6.415,9
19.736,1
19.736,1
-

(12.258,6)

(3.287,0)

40.484,9

17.818,4
-

(46.491,1)
(46.491,1)

16.132,2

17.818,4
848,8
848,8
16.969,6
16.969,6
-

(15.884,6)

(3.014,1)

23.754,9

1. NONUTANG
a. Penerimaan Cicilan Pengembalian SLA (RDI)
b. SAL
c. RKUN utk Pembiayaan Kredit Investasi
d. RPH
e. Rek. Cadangan Dana Reboisasi
f. Rek. Pemerintah Lainnya
g. Pelunasan Piutang Pertamina
h. Eks. Moratorium NAD & Nias
i. Privatisasi
j. Hasil Pengelolaan Aset

(19.812,0)
(19.812,0)

I. PENERIMAAN PEMBIAYAAN

2. UTANG
a. SBN (Neto)
i. Penerbitan
ii. Pembayaran Pokok dan Pembelian Kembali

(7.622,7)

(12.258,6)
(12.258,6)

II. PEMBIAYAAN ANGGARAN (I+II)

b. Penarikan Pinjaman Luar Negeri (Bruto)


i. Pinjaman Program
- Reguler
- Sector Programme Loan
ii. Pinjaman Proyek
- Pusat
- Penerimaan Penerusan Pinjaman

(15.884,6)
(15.884,6)

1. NONUTANG
a. Dana Investasi Pemerintah & PMN
i. Investasi Pemerintah
ii. PMN
iii. Dana Bergulir
Dana Pengembangan Pendidikan Nasional
Pinjaman Kepada PT PLN
Kewajiban Penjaminan
Cadangan Pembiayaan
b.
c.
d.
e.

II. PENGELUARAN PEMBIAYAAN

c. Pinjaman Dalam Negeri (Neto)


i. Penarikan PDN (Bruto)
ii. Pembayaran Cicilan Pokok PDN

(7.622,7)
(7.622,7)

2. UTANG
a. Penerusan Pinjaman
b. Pembayaran Cicilan Pokok Utang LN
Kelebihan/Kekurangan Pembiayaan

PEMBIAYAAN ANGGARAN

240

DIREKTORAT P-APBN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

7.2

Kebijakan Pembiayaan Utang

Adapun beberapa peraturan yang terkait dengan pembiayaan utang adalah:


-

Undang-undang nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara

Undang-undang nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara

Peraturan Pemerintah No.10 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman Luar
Negeri dan Penerimaan Hibah.

Peraturan Batas Maksimal Pinjaman (BMP), pasal 9 Peraturan Pemerintah No.10 Tahun 2011
tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman Luar Negeri

7.2.1

Surat Berharga Negara

Surat Berharga Negara merupakan surat berharga berupa surat pengakuan utang dalam mata
uang rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara
Republik Indonesia, sesuai dengan masa berlakunya. (Undang-undang No. 24/2002 tentang Surat
Utang Negara) .
Tujuan penerbitan SBN yaitu:
1. membiayai defisit APBN;
2. menutup kekurangan kas jangka pendek akibat ketidaksesuaian antara arus kas penerimaan
dan pengeluaran dari Rekening Kas Negara dalam satu tahun anggaran (cash-mismatch);
3. mengelola portofolio utang negara.

DIREKTORAT P-APBN

241

PEMBIAYAAN ANGGARAN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Gambar 7.1 Contoh Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) Indonesia

DIREKTORAT P-APBN

242

PEMBIAYAAN ANGGARAN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Gambar 7.2 Contoh Surat Utang Negara (SUN) Indonesia


DIREKTORAT P-APBN

243

PEMBIAYAAN ANGGARAN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Bentuk SBN secara umum dapat dilihat berdasarkan:


1. Dapat diperdagangkan (tradeable) dan tidak dapat diperdagangkan (non-tradeable)
A.

Dapat diperdagangkan:
- SUN
- Sukuk

B.

Tidak dapat diperdagangkan


- Obligasi Rekap/Surat Utang (SU-002, SU-004, SU-007, SRBI-01). Digunakan untuk
program restrukturisasi perbankan pada saat krisis moneter 1998
- Sukuk Dana Haji Indonesia/SDHI (private placement)

2. Jangka waktu (tenor) jatuh tempo:


A.

Jangka pendek (>1 tahun, SPN);

B.

Jangka panjang (>1 tahun, obligasi 3 tahun, 5 tahun, 10 tahun, 15 tahun, 20 tahun).

3. Sistem:
A.

Konvensional (SUN);

B.

Syariah (SBSN).

4. Warkat dan tanpa warkat (scriples):


5. Jenis suku bunga (coupon)
A. Zero coupon (ZC);
B. Variable rate (VR).
Wholesale

Obligasi
Negara

Surat
Berharga
Negara

SUN

Obligasi Ritel (ORI)

Surat
Perbendaharaan
Negara (SPN)

SBSN Reguler (IFR)

SBSN
(Sukuk Negara)

Instrumen
Pembiayaan

Sukuk Ritel
Islamic Treasury Bills
Sukuk Project Financing
SDHI

Pinjaman Luar Negeri


Pinjaman

Pinjaman Dalam Negeri

Gambar 7.3. Instrumen Pembiayaan APBN


DIREKTORAT P-APBN

244

PEMBIAYAAN ANGGARAN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Kebijakan penerbitan Surat Berharga Negara (SBN):


1. Mengutamakan penerbitan SBN Rupiah di pasar domestik . Implikasinya terdapat potensi
peningkatan porsi asing akibat tambahan supply SBN rupiah
2. Menerapkan Front Loading Strategy

Memanfaatkan window investasi di awal tahun (Januari effect)

Pengamanan pembiayaan lebih awal untuk mendukung market confidence

Mengantisipasi kondisi pasar yang berpotensi berbalik arah pada semester II

Contingent financing facility baru tersedia pada semester II

Terdapat kebutuhan dana valas untuk mendukung pembiayaan alutsista jika sumber
pendanaan melalui pinjaman luar negeri semakin terbatas

3. Penerbitan SBN valas (global bonds, global sukuk, Samurai bonds) bersifat komplementer
terhadap penerbitan SBN Rupiah untuk:

Pengembangan pasar SBN di pasar keuangan Internasional (benchmarking)

Menghindari crowding-out di pasar obligasi domestik, karena penerbitan SBN yang besar.

Penerbitan Samurai Bonds diperlukan karena terdapat kebutuhan refinancing dalam Yen.

4. Melakukan pengelolaan SBN dalam kerangka Asset Liability Management (ALM):

ALM neraca pemerintah pusat/internal Kementerian Keuangan

ALM sovereign balance sheet bersama Bank Indonesia

5. Menjaga stabilitas pasar SBN

Implementasi CMP dan BSF

Mendukung pengembangan CMP Nasional

6. Melaksanakan pengelolaan kewajiban secara menyeluruh dengan mempertimbangkan aspek


biaya dan risiko:

Buyback

Debt switch

7.2.2

Pinjaman Dalam Negeri

Pinjaman Dalam Negeri, yang selanjutnya disingkat PDN adalah setiap pinjaman oleh Pemerintah
yang diperoleh dari Pemberi Pinjaman Dalam Negeri yang harus dibayar kembali dengan
persyaratan tertentu, sesuai dengan masa berlakunya (PP No.54 Tahun 2008)
Pinjaman Dalam Negeri (PDN) dalam struktur portofolio utang Pemerintah merupakan instrumen
yang relatif baru. Pinjaman ini mulai digunakan sebagai instrumen pembiayaan tahun 2010,
setelah ditetapkan Peraturan Pemerintah nomor 54 tahun 2008 tentang Tata Cara Pengadaan dan
Penerusan Pinjaman Dalam Negeri oleh Pemerintah. Meskipun PDN tersebut berasal dari bankbank BUMN, namun tidak menutup kemungkinan bagi perbankan swasta untuk ikut terlibat dalam
DIREKTORAT P-APBN

245

PEMBIAYAAN ANGGARAN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

pengadaan PDN melalui sindikasi dengan bank-bank BUMN. Sesuai dengan peruntukannya,
sebagaimana diatur dalam PP No. 54 tahun 2008 PDN lebih difokuskan untuk membiayai kegiatan
yang dilakukan oleh K/L, Pemda, BUMN atau BUMD. Kegiatan-kegiatan tersebut dimaksudkan
untuk pemberdayaan industri dalam negeri, percepatan pembangunan infrastruktur, dan kegiatan
investasi. Untuk saat ini penggunaan Pinjaman Dalam Negeri tersebut masih terfokus pada
kegiatan-kegiatan pengadaan alat utama sistem persenjataan (alutsista) dan alat utama Polri (alut
Polri) yang diproduksi oleh produsen dalam negeri.
7.2.3

Pinjaman Luar Negeri

Defenisi: Pinjaman luar negeri adalah setiap pembiayaan melalui utang yang diperoleh Pemerintah
dari pemberi Pinjaman Luar Negeri yang diikat oleh suatu perjanjian pinjaman dan tidak berbentuk
surat berharga negara, yang harus dibayar kembali dengan persyarat tertentu. Pengadaan
pinjaman memenuhi prinsip-prinsip:
transparansi,
akuntabilitas,
efisiensi dan efektifitas,
kehati-hatian,
tidak disertai ikatan politik,
tidak memiliki muatan yang dapat mengganggu stabilitas keamanan negara;
Kebijakan Pinjaman Luar Negeri

Mengutamakan pembiayaan sektor energi dan infrastruktur;

Mendukung target rasio utang terhadap PDB akhir tahun 2014 maksimal sebesar 22% dan
anggaran berimbang tahun 2014;

Mempertahankan kebijakan net negative flow (penarikan pinjaman luar negeri <
pembayaran kembali);

Meningkatkan kualitas kesiapan kegiatan (readiness criteria) dan ownership K/L untuk
meningkatkan efektifitas kegiatan dan penyerapan pinjaman lebih tepat waktu.

Jenis Pinjaman Luar Negeri


a. Pinjaman Tunai adalah Pinjaman Luar Negeri dalam bentuk Devisa dan/atau Rupiah yang
digunakan untuk pembiayaan defisit APBN dan pengelolaan portofolio utang. Pinjaman tunai
dapat berupa : Pinjaman Program, standby loan, Pembiayaan Likuiditas jangka pendek,
pembiayaan Kontijensi, pembiayaan untuk permodalan dll yang pencairannya bersifat tunai.
b. Pinjaman Kegiatan adalah Pinjaman Luar Negeri yang digunakan untuk membiayai kegiatan
tertentu. Pinjaman kegiatan dapat berupa : pinjaman proyek, credit line dll.
DIREKTORAT P-APBN

246

PEMBIAYAAN ANGGARAN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Sumber Pinjaman Luar Negeri:


a. Kreditor Multilateral:
Lembaga keuangan internasional yang beranggotakan beberapa negara, yang memberikan
pinjaman ke negara asing.
b. Kreditur Bilateral:
Pemerintah Negara asing atau lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah negara asing atau
lembaga yang bertindak untuk pemerintah negara asing yang memberikan pinjaman ke negara
asing.
c. Kreditor Swasta Asing:
Lembaga keuangan asing, lembaga keuangan nasional dan lembaga keuangan asing yang
berdomisili dan melakukakan kegiatan usaha di luar wilayah Negara Republik Indonesia yang
memberikan pinjaman kepada pemerintah berdasarkan perjanjian pinjaman tanpa jaminan dari
lembaga Penjamin Kredit Ekspor.
d. Lembaga Penjamin Kreditor Ekspor:
Lembaga yang ditunjuk negara asing untuk memberikan jaminan, asuransi, pinjaman
langsung, subsidi bunga dan bantuan keuangan untuk meningkatkan ekspor negara yang
bersangkutan atau bagian terbesar dari dana tersebut digunakan untuk membeli barang/jasa
dari negara bersangkutan yg berdomisili di luar wilayah Indonesia.
Penggunaan Pinjaman Luar Negeri:
a. Pembiayaan defisit APBN
b. Membiayai kegiatan prioritas kementrian negara/lembaga
c. Mengelola portofolio utang: Kegiatan dalam rangka mencapai komposisi utang yang optimal
baik dari sisi instrumen, mata uang, tingkat bunga, jenis suku bunga, sumber, dalam upaya
untuk meminimalkan biaya utang pada tingkat risiko yang terkendali
d. Diteruspinjamkan kepada Pemerintah Daerah
e. Diteruspinjamkan kepada BUMN
f.

Dihibahkan kepada Pemerintah Daerah

Pinjaman luar negeri bersumber dari pinjaman program, pinjaman proyek, dan Subsidiary Loan
Agreement (SLA):
a. Pinjaman Program

Pinjaman tunai adalah Pinjaman Luar Negeri dalam bentuk devisa dan/atau rupiah yang
digunakan untuk pembiayaan defisit APBN dan pengelolaan portofolio utang (pasal 1 butir
18 PP 10 Tahun 2011)

DIREKTORAT P-APBN

247

PEMBIAYAAN ANGGARAN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Pinjaman yang diterima dalam bentuk tunai (cash financing) yang memerlukan collateral
dalam bentuk policy matrix atau terlaksananya kegiatan prioritas tertentu sebagai dasar
pencairannya.

Menurut Lender / Development Partner

Pinjaman Program atau adalah pinjaman yang memerlukan perubahan kebijakan sebagai
prasyarat.

Pinjaman Program umumnya menerapkan kebijakan pasar bebas termasuk perubahan


internal (terutama privatisasi dan deregulasi) dan pengurangan hambatan perdagangan.

b. Penerusan Pinjaman/Subsidiary Loan Agreement (SLA)


Penerusan Pinjaman luar negeri dapat diteruspinjamkan kepada Pemda dan BUMN dan
penerima lainnya.
Prinsip pemberian penerusan pinjaman/SLA:
i. Didasarkan pada kelayakan ekonomi dan keuangan;
ii. Menghasilkan penerimaan yang dapat menutupi pinjaman;
iii. Mempertimbangkan kemampuan keuangan debitur
Kegiatan yang dapat dibiayai dengan dana SLA, adalah:
i. Pembangunan infrastruktur utk pelayanan umum diluar kerangka penugasan khusus;
ii. Kegiatan

investasi

untuk

meningkatkan

pelayanan

dan/atau

meningkatkan

penerimaan;
iii. Khusus Pemda, pinjaman jangka menengah digunakan untuk pelayanan publik yang
tidak menghasilkan penerimaan
Kebijakan penerusan pinjaman kepada Pemda dan BUMN tetap dilaksanakan karena
sesuai pasal 4 PP nomor 10 tahun 2011 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman Luar
Negeri dan Penerimaan Hibah, Kementerian/Lembaga (K/L), Pemda, dan BUMN dilarang
melakukan perikatan dalam bentuk apapun yang dapat menimbulkan kewajiban untuk
melakukan pinjaman luar negeri.

DIREKTORAT P-APBN

248

PEMBIAYAAN ANGGARAN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Grafik 7.1 Rasio Utang Terhadap GDP Tahun 2010 - 2013


10.000,0

30,0
26,3

28,4

24,3

9.269,6

9.000,0

23,9

8.000,0

5.606,2

6.364,4

5.000,0
4.000,0

23,1

8.253,4

6.000,0

7.427,1

7.000,0

25,0

20,0
Dalam Negeri
15,0

Luar Negeri
PDB
Rasio Utang

10,0

864,6

1.278,9

1.097,9

877,1

992,8

810,7

902,6

774,3

1.000,0

754,1

2.000,0

836,3

3.000,0

5,0

2009

2010

2011

2012

2013

Tabel 7.4 Daftar Lender Berdasarkan Jenis Pinjaman

DIREKTORAT P-APBN

I. Pinjaman Proyek Reguler


a. Multilateral
ADB
World Bank
IDB
IFAD
SFD
KFW

2. Fasilitas Kredit Ekspor


FKE
Austria

b.

3. PNPM
JICA
World Bank
ADB
IFAD

Bilateral
JICA
Korea
Spanyol
Perancis
Australia
China
Hungaria
Belanda
Denmark
Norwegia
Jerman
Finlandia
Austria

249

PEMBIAYAAN ANGGARAN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

7.2.4 Mekanisme Penganggaran Pembiayaan Utang


Mekanisme penganggaran pembiayaan utang diawali dengan penyampaian arah kebijakan dan
prioritas pembangunan oleh Presiden, kemudian Kemenkeu cq DJA melakukan penyusunan
resource envelope dan usulan kebijakan APBN, yang di dalamnya telah tercantum besaran
pembiayaan dan komponen penyusunnya. Setelah pelaksanaan trilateral meeting antara
Kemenkeu, Bappenas dan K/L maka dilakukan penyusunan Kebijakan Ekonomi Makro dan Pokok
Pokok Kebijakan Fiskal serta Rencana Kerja Pemerintah yang kemudian diajukan kepada DPR
dan

dibahas dalam Pembicaraan

Pendahuluan

Penyusunan

RAPBN.

Kesimpulan dari

pembicaraan pendahuluan tersebut digunakan oleh Pemerintah sebagai bahan masukan untuk
menyusun RUU APBN, Nota Keuangan RAPBN, serta Himpunan RKA-K/L, yang selanjutnya
diajukan kepada DPR dan dibahas bersama untuk mendapatkan persetujuan DPR. Apabila telah
disetujui oleh DPR dilakukan pengesahan RUU APBN oleh Presiden. Secara rinci, proses
penganggaran pembiayaan utang adalah sebagai berikut:
Surat Berharga Negara dan Pinjaman Program memiliki tujuan untuk menutupi defisit anggaran,
dan keduanya memiliki mekanisme yang sama. Besaran atau pagu SBN dan Pinjaman program
diajukan ke DPR untuk kemudian dibahas, setelah mendapatkan persetujuan dan ketetapan DPR
dalam bentuk Undang-undang APBN, Pemerintah mencari lender dan bila telah mencapai
kesepakatan maka akan dilanjutkan dengan penandatanganan loan agreement untuk pinjaman
program. Sedangkan untuk SBN, yang disetujui adalah konsep neto, sehingga Pemerintah dapat
mulai menerbitkan SBN dengan pagu sebesar yang terdapat dalam Undang-undang.
Pinjaman Dalam Negeri (neto) diawali dengan pemberian besaran pagu PDN kepada Bappenas,
Bappenas kemudian menentukan kementerian negara/lembaga yang akan diberikan PDN. Pagu
besaran PDN tersebut diajukan ke DPR untuk dibahas dan ditetapkan dalam Undang-Undang
APBN.
Penganggaran pinjaman proyek pada sisi pembiayaan anggaran APBN sangat berkaitan dengan
penganggaran belanja kementerian negara/lembaga khususnya yang dananya bersumber dari
pinjaman luar negeri. Prosesnya diawali dari Bappenas mengkoordinasikan penyusunan rencana
penarikan pinjaman luar negeri kementerian negara/lembaga untuk tahun yang direncanakan.
Rencana penarikan pada masing-masing K/L tersebut digunakan untuk membiayai kegiatan yang
sudah masuk dalam Daftar Rencana Prioritas Pinjaman Luar Negeri (DRPPLN/green book).
DRPPLN adalah daftar rencana kegiatan yang telah memiliki indikasi pendanaan dan siap dibiayai
dari pinjaman luar negeri untuk jangka tahunan. Kemudian rencana penarikan pinjaman luar negeri
DIREKTORAT P-APBN

250

PEMBIAYAAN ANGGARAN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

tersebut disampaikan kepada Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Anggaran sebagai
bahan untuk menyusun resource envelope pagu indikatif untuk tahun yang direncanakan.
Berdasarkan resource envelope tersebut, Kementerian Keuangan dan Bappenas menetapkan
pagu indikatif, yang didalamnya termasuk besaran pinjaman luar negeri sebagai salah satu
sumber dana untuk belanja kementerian negara/lembaga. Selanjutnya belanja kementerian
negara/lembaga tersebut dibahas dalam forum trilateral meeting antara Bappenas, Kementerian
Keuangan, dan Kementerian teknis terkait.
Secara paralel, pada bulan Mei Pemerintah menyusun dan menyampaikan kerangka ekonomi
makro (KEM), pokok-pokok kebijakan fiskal (PPKF) dan rencana kerja Pemerintah RKP) kepada
DPR dan dibahas dalam pembicaraan pendahuluan. RKP dibahas di DPR oleh Komisi terkait dan
Badan Anggaran. Berdasarkan KEM, PPKF, dan RKP hasil pembicaraan pendahuluan serta Pagu
Indikatif tersebut, Pemerintah menyusun RKA-KL. Selanjutnya RKA-KL disampaikan kepada
Kementerian Keuangan dan diproses menjadi pagu anggaran sebagai bahan untuk menyusun
nota keuangan RAPBN dan himpunan RKA-KL.
Pada bulan Agustus Pemerintah menyampaikan RUU APBN beserta nota keuangan dan
himpunan RKA-KL kepada DPR dan dibahas bersama untuk mendapatkan persetujuan DPR.
Secara paralel RKA-KL dibahas bersama Komisi terkait dan hasilnya diharmonisasi dalam
pembahasan di Badan Anggaran. Berdasarkan postur APBN yang telah disetujui DPR tersebut,
Pemerintah menetapkan alokasi anggaran.
Sedangkan untuk Penerusan Pinjaman (Subsidiary Loan Agreement/SLA), berdasarkan pasal 7
ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman
Luar Negeri dan Penerimaan Hibah, pinjaman luar negeri berupa pinjaman proyek dapat
diteruspinjamkan kepada pemda dan/atau BUMN. Proses perencanaan Penerusan Pinjaman
dapat dibedakan dalam dua tahap, yaitu tahap penetapan penerusan pinjaman dan tahap
penetapan

alokasi

penerusan

pinjaman.

Penetapan

penerusan

pinjaman

dimulai

dari

Pemda/BUMN mengajukan pembiayaan penerusan pinjaman untuk rencana kegiatan yang telah
tercantum dalam DRPPLN kepada Menteri Keuangan. Pengajuan penerusan pinjaman oleh
pemda dilakukan setelah mendapat pertimbangan Menteri Dalam Negeri. Sedangkan pengajuan
penerusan pinjaman oleh BUMN dilakukan setelah mendapat pertimbangan Menteri Negara
BUMN. Kemudian Menteri Keuangan melakukan penilaian kelayakan pembiayaan sebelum
akhirnya menetapkan penerusan pinjaman. Kemudian penetapan penerusan pinjaman dituangkan
dalam Perjanjian Penerusan Pinjaman Luar Negeri. Untuk penetapan alokasinya, Pemda/BUMN
mengajukan rencana penarikan kepada Menteri Keuangan dan dibahas bersama, kemudian
menteri keuangan menetapkan alokasi penerusan pinjaman tahun yang direncanakan. Rencana
DIREKTORAT P-APBN

251

PEMBIAYAAN ANGGARAN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

alokasi tersebut kemudian diajukan kepada DPR-RI sebagai bagian dari pengajuan RAPBN.
RAPBN tersebut selanjutnya dibahas bersama untuk mendapatkan persetujuan DPR-RI.

Tabel. 7.5. Posisi Pinjaman Berdasarkan Negara/Lembaga Kreditor, 2007-2012


(triliun rupiah)
NEGARA

30-Apr-12

2007

2008

2009

2010

2011

586,36
292,17
232,01
24,24
35,92

730,25
389,94
324,28
27,86
37,80

611,19
313,40
259,50
25,56
28,34

612,28
321,18
274,12
24,39
22,67

615,03
321,50
280,49
20,70
20,31

618,04
319,79
274,68
24,14
20,97

99,8%
51,6%
44,4%
3,9%
3,4%

2. MULTILATERAL
a. ADB
b. Bank Dunia
c. IDB

176,93
95,86
78,88
2,19

219,96
118,99
98,16
2,81

200,24
102,32
94,96
2,96

206,08
100,24
102,20
3,64

209,87
97,92
107,73
4,22

212,92
96,41
112,19
4,32

34,4%
15,6%
18,1%
0,7%

3. BILATERAL LAINNYA

114,71

117,62

95,42

83,14

81,66

83,20

13,4%

2,55

2,73

2,13

1,88

2,00

2,13

0,3%

0,00

0,00

0,00

0,17

0,81

1,13

0,2%

586,36

730,25

611,19

612,45

615,84

619,17

100%

PINJAMAN LUAR NEGERI


1. BILATERAL
a. Jepang
b. Perancis
c. Jerman

4. MULTILATERAL LAINNYA
PINJAMAN DALAM NEGERI
TOTAL *)

6.3

Nominal

% total

Pembiayaan Nonutang

7.3.1

Saldo Anggaran Lebih (SAL) / Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA)

SAL merupakan akumulasi dari sisa lebih pembiayaan anggaran tahun anggaran yang lalu dan
tahun anggaran yang bersangkutan setelah ditutup, ditambah/dikurangi dengan koreksi
pembukuan. Sementara itu, SILPA adalah selisih lebih realisasi pembiayaan atas realisasi defisit
anggaran yang terjadi.
Faktor Penyebab terjadinya SiLPA:

Realisasi pendapatan negara yang lebih tinggi daripada realisasi belanja negara, yang
disebabkan kondisi perekonomian yang semakin membaik

Realisasi pembiayaan lebih tinggi daripada realisasi defisit, yang disebabkan menguatnya kurs
rupiah, sehingga penerimaan pembiayaan yang berasal dari pinjaman luar negeri bertambah
dan pengeluaran pembiayaan untuk membayar pokok utang menurun, sebaliknya realisasi
bunga utang (belanja) menurun

Dasar Hukum Penggunaan SAL/SiLPA:

Untuk menutupi/dana talangan kebutuhan kas awal tahun, pada saat pendapatan negara
belum mencukupi untuk mendanai belanja negara. Penggunaan SAL untuk kebutuhan kas

DIREKTORAT P-APBN

252

PEMBIAYAAN ANGGARAN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

tidak perlu mengajukan ijin kepada DPR dan tidak dialokasikan ke dalam APBN ( Undangundang nomor 2 Tahun 2006 tentang Perhitungan Anggaran Negara tahun 2003).

Untuk pembiayaan defisit tahun anggaran berikutnya, harus mendapatkan persetujuan DPR
dan dialokasikan dalam APBN/APBN-P (Undang-undang nomor 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara, Pasal 27 ayat 3 d).

7.3.2

Hasil Pengelolaan Aset:

Latar Belakang:

Adanya aset-aset milik negara yang berasal dari aset bank yang

masuk dalam program

penyehatan perbankan nasional (restrukturisasi perbankan)

Berakhirnya masa tugas Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) pada 24 Februari
2004 yang didasarkan pada Kepres No. 15 Tahun 2004 tentang Pengakhiran Tugas dan
Pembubaran BPPN dan sejalan dengan ketentuan Pasal 11 ayat 2 PP Nomor 17 Tahun 1999
tentang BPPN, maka segala kekayaan BPPN beralih menjadi kekayaan negara yang
pengelolaannya dilakukan oleh Menkeu.

Kekayaan Negara yang berasal dari BPPN dikuasai untuk sementara dan pengelolaan
Kekayaan Negara yang tidak terkait perkara diserahkelolakan kepada PT Perusahaan
Pengelola Aset Perusahaan Pengelola Aset (Persero).

Bahwa pengelolaan kekayaan negara oleh PT PPA (Persero), dilakukan dalam rangka
pengembalian uang negara yang tersalur pada program penyehatan perbankan antara lain
dengan cara penjualan.

Pihak Pengelola Aset:

Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, Kementerian Keuangan yang mempunyai tugas


merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang kekayaan
negara, piutang negara, dan lelang sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri
Keuangan, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Peraturan Menteri
Keuangan No. 184/PMK.01/2010).

PT Perusahaan Pengelola Aset (Persero) yang didirikan berdasarkan Peraturan Pemerintah


Nomor 10 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 61 Tahun 2008 (PMK No.32/PMK.06/2006)

DIREKTORAT P-APBN

253

PEMBIAYAAN ANGGARAN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

7.3.3

Investasi Pemerintah

Latar Belakang:

Dalam rangka pelaksanaan tugas memajukan kesejahteraan umum, pemerintah perlu


mendorong pertumbuhan ekonomi guna menciptakan kegiatan ekonomi yang produktif dan
lapangan kerja;

Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi tersebut, Pemerintah dapat melakukan investasi


jangka panjang guna memperoleh manfaat ekonomi, sosial dan/atau manfaat lainnya;

Investasi dimaksud harus dikelola dengan sebaik-baiknya sehingga dapat dirasakan


manfaatnya oleh, dan dipertanggungjawabkan kepada masyarakat banyak;

Ruang Lingkup Investasi Pemerintah:

Investasi Surat Berharga meliputi pembelian saham dan pembelian surang utang.

Investasi Langsung meliputi:


- penyertaan modal, dan
- pemberian pinjaman.

Investasi langsung dapat dilakukan dengan cara


- Kerjasama antara Badan Investasi Pemerintah dengan Badan Usaha, BLU dengan pola
kerjasama antara Pemerintah dengan swasta (public private partnership/PPP).
- Kerjasama antara Badan Investasi Pemerintah dengan Badan Usaha, BLU, Pemerintah
Propinsi/Kabupaten/Kota, BLUD, badan hukum asing (Non-public private partnership/PPP)

Investasi langsung yang dimaksud di atas meliputi bidang infrastruktur sedangkan pada bidang
lainnya ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

Kebijakan Umum Investasi Pemerintah:

Kegiatan Investasi Pemerintah merupakan bagian dari pelaksanaan fungsi pelayanan publik;

Investasi

Pemerintah

dalam

bentuk

portofolio

dilakukan

sepanjang

kondisi

APBN

memungkinkan

Kegiatan investasi pemerintah, terutama yang menyangkut penyediaan infrastruktur, dapat


dilakukan dengan pola kemitraan antara pemerintah dan masyarakat (PPP);Kerjasama antara
pemerintah dan masyarakat tersebut dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip: adil, transparan,
akuntabilitas, persaingan yang sehat, dan saling menguntungkan;

Dalam penyediaan infrastruktur berbasis PPP dilakukan pembagian risiko (risk sharing) sesuai
dengan porsinya masing-masing.

Sumber dana Investasi Pemerintah:

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;

keuntungan investasi terdahulu;

dana/barang amanat pihak lain yang dikelola oleh Badan Investasi Pemerintah; dan/atau
254
DIREKTORAT P-APBN
PEMBIAYAAN ANGGARAN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

sumber-sumber lainnya yang sah.

7.3.4

Penyertaan Modal Negara (PMN):

Pengertian PMN:

PP No. 44 Tahun 2005 Pasal 1 angka 7.


Penyertaan Modal Negara adalah pemisahan kekayaan negara dari APBN atau penetapan
cadangan perusahaan atau sumber lain untuk dijadikan sebagai modal BUMN dan/atau
Perseroan Terbatas lainnya, dan dikelola secara korporasi (Pasal 1 angka 7, PP No. 44 Tahun
2005).

PP No. 6 Tahun 2006 Pasal 1 angka 19


Penyertaan modal pemerintah pusat/daerah adalah pengalihan kepemilikan barang milik
negara/daerah yang semula merupakan kekayaan yang tidak dipisahkan menjadi kekayaan
yang dipisahkan untuk diperhitungkan sebagai modal/saham negara atau daerah pada badan
usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan hukum lainnya yang dimiliki negara.

Tujuan PMN:

Mewujudkan kesejahteraan umum masyarakat

Menyelamatkan perekonomian nasional

Memperbaiki struktur permodalan dan meningkatkan kapasitas usaha BUMN dan Perseroan
Terbatas

Ruang Lingkup PMN:

Pendirian BUMN atau Perseroan Terbatas

PMN pada Perseroan Terbatas yang didalamnya belum terdapat saham milik negara

PMN

pada BUMN atau Perseroan Terbatas yang didalamnya telah terdapat saham milik

negara
Bentuk-bentuk PMN:

Tunai, Pemerintah memberikan sejumlah uang kepada BUMN

Konversi piutang Pemerintah. Pemerintah mengkonversi utang BUMN kepada Pemerintah


menjadi PMN

Hibah saham/aset dari pihak lain. Pemerintah mendapat hibah saham/aset dari pihak lain
untuk mendirikan BUMN baru atau perpindahan kepemilikan perusahaan dari pihak ketiga
menjadi milik Pemerintah

Sumber Dana PMN:

APBN

DIREKTORAT P-APBN

255

PEMBIAYAAN ANGGARAN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

- Dana segar
- Proyek-proyek yang dibiayai dari APBN
- Piutang negara pada BUMN atau PT
- Asset-aset negara lainnya

Kapitalisasi Cadangan

Sumber Lainnya
- Keuntungan revaluasi aset
- Agio Saham

Tata Cara Penambahan/Penyertaan Modal Negara:

PMN diusulkan oleh Menteri Keuangan kepada Presiden disertai dengan dasar pertimbangan
setelah dikaji bersama dengan Menteri BUMN dan Menteri Teknis

Rencana PMN tersebut dapat dilakukan atas inisiatif Menteri Keuangan, Menteri BUMN, atau
Menteri Teknis

Apabila berdasarkan hasil pengkajian, menyatakan rencana PMN tersebut layak dilakukan,
maka Menteri Keuangan menyampaikan usul PMN dimaksud kepada Presiden untuk
mendapatkan persetujuan

Penetapan PMN:

Setiap PMN atau Penambahan PMN ke dalam BUMN dan Perseroan Terbatas yang dananya
berasal dari APBN ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah

Setiap penambahan PMN ke dalam

BUMN dan Perseroan Terbatas yang berasal dari

kapitalisasi cadangan dan sumber lainnya ditetapkan dengan Keputusan RUPS untuk Persero
dan PT, dan Keputusan menteri BUMN untuk Perum.
Berikut daftar BUMN Penerima PMN dari Tahun 2006 sampai dengan 2012:
Tabel 7.6 BUMN penerima PMN pada Tahun 2006
No.

BUMN

Nilai PMN (Rpjuta)

Jenis PMN

1
2

PERUM DAMRI
PERUM PPD

5.385,00
40.000,00

AT
FM

PT DIRGANTARA INDONESIA (PERSERO)

40.000,00

FM

4
5

PT GARUDA INDONESIA (PERSERO)


PT KERETA API INDONESIA (PERSERO)

500.000,00
140.000,00

FM
FM

PT KERTAS KRAFT ACEH (PERSERO)

250.000,00

FM

7
8

PT KERTAS LECES (PERSERO)


PT KLIRING BERJANGKA INDONESIA (PERSERO)

100.000,00
82.000,00

FM
FM

PT MERPATI NUSANTARA AIRLINES (PERSERO)

450.000,00

FM

10

PT PERIKANAN NASIONAL (PERSERO)

100.000,00

FM

DIREKTORAT P-APBN

256

PEMBIAYAAN ANGGARAN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

11

PT PERTANI (PERSERO)

20.000,00

FM

12

PT PUPUK SRIWIDJAJA (PERSERO)

100.000,00

FM

13
14

PT SANG HYANG SERI (PERSERO)


PT SEMEN KUPANG (PERSERO)

100.000,00
50.000,00

FM
FM

Tabel 7.7 BUMN penerima PMN pada Tahun 2007


No.

BUMN

Nilai PMN (Rpjuta)

Jenis PMN

PERUM JAMINAN KREDIT INDONESIA (JAMKRINDO)

600.000,00

FM

PT ASURANSI KREDIT INDONESIA (PERSERO)

850.000,00

FM

3
4

PT BOMA BISMA INDRA (PERSERO)


PT GARUDA INDONESIA (PERSERO)

75.000,00
500.000,00

FM
FM

PT INDUSTRI KERETA API (PERSERO)

100.000,00

FM

PT KERETA API INDONESIA (PERSERO)

100.000,00

FM

PT KERTAS LECES (PERSERO)

175.000,00

FM

PT PERKEBUNAN NASIONAL XIV

100.000,00

FM

PT PUPUK SRIWIDJAJA (PERSERO)

200.000,00

FM

10

PT SARANA MULTI INFRASTRUKTUR (PERSERO)

1.000.000,00

FM

Tabel 7.8 BUMN penerima PMN pada Tahun 2008


No.
1
2

BUMN

Nilai PMN (Rpjuta)

Jenis PMN

PT PERUSAHAAN PENGELOLA ASET (PERSERO)

1.500.000,00

FM

PT SARANA MULTI INFRASTRUKTUR (PERSERO)

1.000.000,00

FM

Tabel 7.9 BUMN penerima PMN pada Tahun 2009


No.

BUMN

Nilai PMN (Rpjuta)

PERUM JAMINAN KREDIT INDONESIA (JAMKRINDO)

PERUM PERUMNAS

3
4

PERUM PJT II
PT ASURANSI KREDIT INDONESIA (PERSERO)

PT PERKEBUNAN NUSANTARA II

Jenis PMN

250.000,00

FM

39.227,00

AT

39.820,30
250.000,00

AT
FM

37.605,13

PT PERKEBUNAN NUSANTARA IV

235,50

7
8

PT PERKEBUNAN NUSANTARA V
PT PERTAMINA (PERSERO)

11.515,52
9.136.361,96

K
K

PT PERUSAHAAN GAS NEGARA

28.158,81

AT

DIREKTORAT P-APBN

257

PEMBIAYAAN ANGGARAN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

10

PT PERUSAHAAN PENGELOLA ASET (PERSERO)

1.000.000,00

FM

11

PT PERUSAHAAN PENJAMINAN INFRASTRUKTUR (PERSERO)

1.000.000,00

FM

Tabel 7.10 BUMN penerima PMN pada Tahun 2010

No.

Nilai PMN

BUMN

Jenis PMN

(Rpjuta)

PERUM JAMINAN KREDIT INDONESIA (JAMKRINDO)

900.000,00

FM

PT ASURANSI KREDIT INDONESIA (PERSERO)

900.000,00

FM

220.000,00

SHM

PT PERUSAHAAN PENJAMINAN INFRASTRUKTUR (PERSERO)

1.500.000,00

FM

PT SARANA MULTI INFRASTRUKTUR (PERSERO)

1.000.000,00

FM

Lembaga Pebiayaan Ekspor Indonesia

2.000.000,00

FM

PT BRANTAS ABIPRAYA (PERSERO)

151.554,48

AT

PT BAHANA PUI

18.500,00

SHM

PT ANGKASA PURA II

55.623,29

AT

Tabel 7.11 BUMN penerima PMN pada Tahun 2011


No.

BUMN

Nilai PMN (Rpmiliar)

Jenis PMN

PT ASKRINDO DAN PERUM JAMKRINDO

2.000,00

FM

PT PUPUK ISKANDAR MUDA (PERSERO)

1.338,00

FM

PT PERUSAHAAN PENJAMINAN INFRASTRUKTUR (PERSERO)

1.500,00

FM

PERUSAHAAN PENERBIT SBSN INDONESIA III

0,10

FM

PT DIRGANTARA INDONESIA

1.571,10

FM

PT PAL INDONESIA

960,20

FM

PT SARANA MULTIGRIYA FINANSIAL

1.000,00

FM

PT GEO DIPA ENERGI

443,50

FM

PT INHUTANI I

5,00

FM

10

PT MERPATI NUSANTARA AIRLINES

561,00

FM

Tabel 7.12 BUMN penerima PMN pada Tahun 2012


No.

BUMN

Nilai PMN (Rpmiliar)

PERUM ASKRINDO DAN PT JAMKRINDO

PT PINDAD

PT PERUSAHAAN PENJAMINAN INFRASTRUKTUR (PERSERO)

Jenis PMN

2.000,00

FM

300,00

FM

1.000,00

FM

PT INDUSTRI KAPAL INDONESIA

200,00

FM

PT DIRGANTARA INDONESIA

600,00

PT PAL INDONESIA

600,00

DIREKTORAT P-APBN

258

FM

PEMBIAYAAN ANGGARAN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

PT GARAM

100,00

FM

PT SARANA MULTI INFASTRUKTUR

2.000,00

FM

PT MERPATI NUSANTARA AIRLINES

200,00

FM

Keterangan Jenis PMN:


1. FM (Fresh Money) adalah Dana Tunai berupa rupiah murni dari APBN.
2. AT adalah Aktiva Tetap yang berasal Barang Milik Negara yang dihasilkan dari proyek-proyek yang
dibiayai APBN.
3. SHM adalah PMN berupa saham negara di perusahaan lain kepada BUMN tersebut.
4. K adalah konversi piutang Pemerintah pada BUMN

7.3.5

Dana Bergulir:

Dana bergulir adalah dana yang dikelola oleh BLU untuk dipinjamkan dan digulirkan kepada
masyarakat dengan tujuan untuk meningkatkan ekonomi rakyat dan tujuan lainnya. (UU no 22
tahun 2011 tentang APBN)
Dana pemberdayaan yang dialokasikan melalui pembiayaan, dipinjamkan kepada masyarakat,
untuk selanjutnya dikembalikan kepada Pemerintah dalam jangka waktu tertentu, dan selanjutnya
dipinjamkan kembali (dipergulirkan) kepada masyarakat lain yang membutuhkan. Mekanisme
perguliran dana diharapkan dapat meningkatkan jumlah masyarakat yang dapat menerima dana
sehingga terjadi snowballing effects yang dapat meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan
masyarakat.
Karakterisitik Dana Bergulir sesuai dengan PMK Nomor 99 Tahun 2008 antara lain sebagai
berikut:
a. Merupakan bagian dari keuangan negara;
b. Dicantumkan dalam APBN dan/atau laporan keuangan;
c. Dimiliki, dikuasai, dan/atau dikendalikan oleh Penggunan Anggaran/Kuasa Penggunan
Anggaran;
d. Disalurkan/dipinjamkan kepada masyarakat/kelompok masyarakat, ditagih kembali dengan
atau tanpa nilai tambah, dan digulirkan kembali kepada masyarakat/kelompok masyarakat
(revolving fund);
e. Ditujukan untuk perkuatan modal koperasi, usaha mikro, kecil, menengah, dan usaha lainnya;
f.

Dapat ditarik kembali pada suatu saat.

Sementara itu, sumber pendanaan Dana Bergulir dapat berasal dari: (a) Rupiah murni, (b) Hibah,
(c) Penarikan kembali pokok dana bergulir, (d) Pendapatan dari dana bergulir, (e) Saldo pokok
pembiayaan yang diterima dari APBN, dan (f) sumber lainnya. Pengeluaran dana bergulir yang
DIREKTORAT P-APBN

259

PEMBIAYAAN ANGGARAN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

bersumber dari rupiah murni dialokasikan sebagai pengeluaran pembiayaan dalam APBN pada
DIPA Bagian Anggaran Pembiayaan dan Perhitungan atau bagian anggaran lain yang dikuasai
oleh Bendahara Umum Negara.
Lima ( 5 ) Badan Layanan Umum Pengelola Dana Bergulir adalah:
a. Pusat Investasi Pemerintah (PIP)
PIP merupakan satker yang berada dibawah Kementerian Keuangan. Kegiatan utama dari PIP
adalah Pengelolaan investasi Pemerintah Pusat. Dalam kaitannya dengan dengan Dana
Bergulir, PIP mengelola Dana Bergulir Geothermal.
b. Pusat Pembiyaan Perumahan (PPP)
BLU PPP merupakan satker yang berada dibawah Kementerian Perumahan Rakyat, yang
memiliki tugas pokok dalam rangka pelaksanaan kebijakan fasilitas likuiditas adalah
menggalang, mengelola, dan menyalurkan dana bantuan pembiayaan perumahan kepada
Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR), dengan tujuan untuk meningkatkan akses kepada
sumber pembiayaan perumahan.
c. Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan (Pusat P2H)
Pusat P2H merupakan satker yang berada dibawah Kementerian Kehutanan. Pusat P2H
melaksanakan

kegiatan

utamanya

yaitu

penyaluran

pinjaman

dana

bergulir

untuk

pembangunan hutan tanaman baik oleh BUMN/BUMD/Swasta/Koperasi maupun Kelompok


Tani Hutan.
d. Lembaga Pengelola Dana Bergulir KUMKM (LPDB KUMKM)
LPDB KUMKM merupakan Satker yang berada dibawah Kementerian Koperasi dan UKM.
Kegiatan Utama dari LPDB KUMKM adalah menyalurkan dan memanfaatkan dana bergulir
dalam rangka pembiayaan berupa pinjaman dan bentuk pembiayaan lainnya yang sesuai
kebutuhan KUMKM.
e. Bidang Pendanaan Sekretariat Badan Pengatur Jalan Tol (BP Set BPJT)
BPJT berwenang untuk melaksanakan sebagian penyelenggaraan jalan tol, meliputi
pengaturan, pengusahaan, dan pengawasan Badan Usaha Jalan Tol (BUJT). Dana bergulir
yang dikelola oleh BLU BP Set. BPJT merupakan dana talangan untuk memperlancar proses
pengadaan tanah untuk pembangunan jalan tol. Kegiatan Utama dari BP Set. BPJT adalah
menyalurkan dana pengadaan tanah jalan tol kepada Badan Usaha Jalan Tol (BUJT).

DIREKTORAT P-APBN

260

PEMBIAYAAN ANGGARAN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

7.3.6

Kewajiban Penjaminan

Dana Kewajiban penjaminan adalah kewajiban yang secara potensial menjadi beban Pemerintah
akibat pemberian jaminan kepada BUMN dan/atau badan usaha milik daerah (BUMD) dalam hal
BUMN dan/atau BUMD dimaksud tidak dapat membayar kewajibannya kepada kreditur sesuai
perjanjian pinjaman.
Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2006 dan Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun
2006 sebagaimana telah diubah oleh Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2007 tentang
perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 86 tahun 2006 tentang Pemberian Jaminan
Pemerintah Untuk Percepatan Pembangkit Tenaga Listrik Yang Menggunakan Batubara,
Pemerintah memberikan dukungan dalam bentuk jaminan penuh terhadap pembayaran kewajiban
PT PLN (Persero) kepada kreditur perbankan yang menyediakan pendanaan/kredit untuk proyekproyek pembangunan pembangkit tenaga listrik 10.000 MW. Penjaminan ini dimaksudkan untuk
meningkatkan kelayakan PT PLN (Persero) dalam memperoleh kredit yang diharapkan dapat
menurunkan biaya modal proyek. Dengan penjaminan tersebut diharapkan dapat membantu
mempercepat penyelesaian Proyek Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik 10.000
MW dalam rangka mengatasi kekurangan pasokan listrik nasional.
Sebagai konsekuensi pemberian jaminan ini, ketika PT PLN (Persero) tidak mampu memenuhi
kewajiban kepada kreditur secara tepat waktu, maka Pemerintah wajib memenuhi kewajiban
tersebut. Pembayaran yang dilakukan oleh Pemerintah kepada kreditor ini akan diperhitungkan
sebagai utang PT PLN (Persero) kepada Pemerintah. Dana kewajiban penjaminan mulai
dianggarkan pada APBN tahun 2007.
Kewajiban penjaminan untuk PDAM dialokasikan dalam rangka percepatan penyediaan air minum
bagi masyarakat. Dana penjaminan tersebut dimaksudkan untuk mendorong perbankan nasional
dalam memberikan kredit investasi kepada PDAM. Sementara itu, PDAM juga diberikan subsidi
bunga oleh Pemerintah pusat atas kewajiban pembayaran kredit investasi PDAM kepada bank.
Kebijakan tersebut sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 29 Tahun 2009 tentang Pemberian
Jaminan dan Subsidi Bunga oleh Pemerintah Pusat dalam Rangka Percepatan Penyediaan Air
Minum,

serta

aturan

pelaksanaannya

dalam

Peraturan

Menteri

Keuangan

Nomor

229/PMK.01/2009 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemberian Jaminan dan Subsidi Bunga oleh
Pemerintah Pusat dalam Rangka Percepatan Penyediaan Air Minum. Dana penjaminan kepada
PDAM akan diberikan dalam hal PDAM gagal membayar atas sebagian atau seluruh kewajiban
yang telah jatuh tempo.
DIREKTORAT P-APBN

261

PEMBIAYAAN ANGGARAN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

7.3.7

Dana Pengembangan Pendidikan Nasional

Dana pengembangan pendidikan nasional merupakan anggaran pendidikan yang dialokasikan


untuk pembentukan endowment fund yang bertujuan untuk menjamin keberlangsungan
program pendidikan bagi generasi berikutnya sebagai bentuk pertanggungjawaban antargenerasi
dan dana cadangan pendidikan untuk mengantisipasi keperluan rehabilitasi fasilitas pendidikan
yang rusak akibat bencana alam yang dilakukan oleh BLU pengelola dana dibidang pendidikan
yaitu, Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).
LPDP dibentuk pada akhir tahun 2011 dan ditetapkan sebagai sebuah BLU pada awal tahun
2012. LPDP adalah sebuah satuan kerja di lingkungan Kementerian Keuangan yang menerapkan
Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (BLU). Dana Pokok DPPN bersifat abadi.
Dimana pendapatan dana pokok DPPN digunakan untuk keberlangsungan program pendidikan
dan juga rehabilitasi fasilitas pendidikan yang rusak akibat bencana alam berdasarkan proporsi
masing-masing sesuai yang telah ditetapkan oleh Dewan Penyantun LPDP.
7.4

Kebijakan Pembiayaan Anggaran APBN 2012

Arah kebijakan defisit anggaran pada tahun 2012 adalah berupaya menurunkan tingkat defisit
APBN terhadap PDB. Kebijakan tersebut dilakukan untuk mengendalikan defisit guna menjaga
kesinambungan fiskal jangka menengah dalam kerangka fiskal periode 2010-2014. Dalam rangka
menutup defisit tersebut, Pemerintah perlu menetapkan strategi pembiayaan yang tepat, serta
merumuskan suatu kebijakan pembiayaan yang mempunyai komposisi seimbang antara
pembiayaan yang bersumber dari non utang maupun utang.
Secara umum strategi pembiayaan pada tahun 2012 adalah: (i) pembiayaan utang dari penerbitan
SBN dan penarikan pinjaman luar negeri harus mempertimbangkan biaya yang rendah dan risiko
yang minimal; (ii) pinjaman luar negeri harus diutamakan untuk membiayai kegiatan produktif yang
mendorong pertumbuhan ekonomi dan perbaikan kesejahteraan masyarakat; (iii) pemanfaatan
dana SAL ditujukan utamanya untuk mengurangi tambahan utang serta menjaga stabilitas
perekonomian; (iv) meningkatkan Investasi pemerintah untuk mempercepat pembangunan
infrastruktur; serta (v) pengembangan dana bergulir untuk Fasilitas Likuiditas Pembiayaan
Perumahan dan Kredit Usaha Rakyat.

DIREKTORAT P-APBN

262

PEMBIAYAAN ANGGARAN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

7.4.1

Pembiayaan Utang

Pembiayaan anggaran yang bersumber dari nonutang pada tahun 2012 terdiri atas: (1) perbankan
dalam negeri, yang berasal dari penerimaan cicilan pengembalian penerusan pinjaman dan Saldo
Anggaran Lebih (SAL); dan (2) nonperbankan dalam negeri, yang berasal dari penerimaan
privatisasi, penerimaan hasil pengelolaan aset, dana investasi Pemerintah dan Penyertaan Modal
Negara (PMN), Dana Pengembangan Pendidikan Nasional, serta Kewajiban Penjaminan.
Sumber pembiayaan nonutang pada tahun 2012 tersebut sedikit berbeda dibandingkan dengan
sumber pembiayaan nonutang tahun-tahun sebelumnya. Perbedaan tersebut dipengaruhi
ketersediaan dana masing-masing sumber pembiayaan serta kebijakan Pemerintah untuk
memanfaatkan sumber pendanaan tersebut. Pada tahun 2012, kebijakan pembiayaan nonutang
meliputi:
1. Memanfaatkan SAL untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya krisis pasar SBN domestik,
mengantisipasi terjadinya risiko fiskal akibat realisasi subsidi listrik melebihi pagu anggaran,
dan mengantisipasi keadaan darurat untuk menutup kekurangan pembiayaan APBN setelah
memperhitungkan kebutuhan anggaran sampai dengan akhir tahun anggaran berjalan dan
awal tahun anggaran tahun berikutnya, selain pemanfaatan untuk menutup defisit anggaran;
2. Mengoptimalkan penerimaan kembali pinjaman dari debitur, meliputi penerimaan kembali
sesuai jadwal jatuh tempo masing-masing pinjaman dan penerimaan kembali dari pinjaman
yang telah direstrukturisasi;
3. Mengoptimalkan pengelolaan asset yang dikelola oleh PT PPA serta yang telah diserahkan
kepada Direktorat Jenderal Kekayaan Negara;
4. Menyediakan alokasi PMN yang diarahkan untuk meningkatkan penjaminan infrastruktur,
meningkatkan kapasitas penjaminan program Kredit Usaha Rakyat (KUR), mendukung
penerbitan SBSN, memenuhi kewajiban Indonesia sebagai anggota organisasi/lembaga
keuangan internasional, dan mendukung upaya restrukturisasi dan revitalisasi BUMN strategis;
5. Menyediakan alokasi dana

investasi Pemerintah untuk mempercepat pembangunan

infrastruktur dan bidang-bidang lainnya;


6. Menyediakan alokasi dana bergulir untuk fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan,
penguatan KUMKM, Geothermal, dan percepatan pengadaan tanah untuk jalan tol;
7. Memanfaatkan Dana Pengembangan Pendidikan Nasional melalui pembentukan dana abadi
pendidikan (endowment fund) dan dana cadangan untuk pendidikan; dan

DIREKTORAT P-APBN

263

PEMBIAYAAN ANGGARAN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

8. Mendukung penjaminan terhadap kredit PT PLN dan PDAM, dan sesuai dengan Peraturan
Presiden Nomor 91 Tahun 2007, Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2010, dan Peraturan
Presiden Nomor 29 Tahun 2009.
7.4.2

Pembiayaan Nonutang

Sebagai upaya untuk menerapkan pengelolaan utang yang mengutamakan prinsip kehati-hatian,
akuntabel, dan transparan, Pemerintah melalui Kementerian Keuangan telah menetapkan
dokumen strategi pengelolaan utang sebagai panduan dalam mengelola utang negara.
Berdasarkan jangka waktu dan detail arahan dalam strategi pengelolaan utang Pemerintah,
strategi pengelolaan utang dibagi menjadi strategi pengelolaan utang periode jangka menengah
(lima tahunan) dan strategi pembiayaan utang periode tahunan. Strategi pengelolaan utang jangka
menengah merupakan pedoman dan batasan bagi penyusunan strategi pembiayaan utang
tahunan berdasarkan target yang ditetapkan dalam APBN. Selain itu, strategi pengelolaan utang
jangka menengah juga digunakan untuk memberikan pedoman umum dalam rangka harmonisasi
kebijakan ekonomi makro, memberikan keyakinan pada publik bahwa pengelolaan utang negara
telah dilakukan secara professional dan akuntabel, serta menerapkan praktek pengelolaan utang
yang lazim di seluruh dunia untuk mencapai pengelolaan utang yang baik.
Strategi jangka menengah periode kedua difokuskan pada upaya meningkatkan efisiensi
pengelolaan utang melalui strategi umum dan strategi khusus yang diuraikan secara kualitatif dan
kuantitatif. Adapun strategi umum pengelolaan utang negara tahun 20102014 adalah sebagai
berikut:
1. Mengoptimalkan potensi pendanaan utang dari sumber domestik melalui penerbitan SBN
rupiah maupun penarikan pinjaman dalam negeri;
2. Melakukan pengembangan instrumen utang agar diperoleh fleksibilitas dalam memilih berbagai
instrumen yang lebih sesuai, cost efficient dan risiko yang minimal; Melakukan pengadaan
pinjaman luar negeri sepanjang digunakan untuk memenuhi kebutuhan prioritas, dengan terms
and conditions yang wajar (favourable) bagi Pemerintah, dan tanpa agenda politik dari kreditur;
3. Mempertahankan kebijakan pengurangan pinjaman luar negeri dalam periode jangka
menengah;
4. Meningkatkan koordinasi dengan otoritas moneter dan otoritas pasar modal, terutama dalam
rangka mendorong upaya financial deepening;
5. Meningkatkan koordinasi dan komunikasi dengan berbagai pihak dalam rangka meningkatkan
efisiensi pengelolaan pinjaman dan sovereign credit rating.

DIREKTORAT P-APBN

264

PEMBIAYAAN ANGGARAN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Sedangkan strategi khusus pengelolaan utang negara adalah:


1. Meningkatkan likuiditas dan daya serap pasar SBN domestik;
2. Menurunkan biaya pinjaman dengan memilih lender secara selektif, meningkatkan kualitas
penyerapan pinjaman, dan mengelola struktur portofolio pinjaman;
3. Meningkatkan kualitas proses bisnis dan komunikasi serta koordinasi dengan stakeholder
pengelolaan utang.

DIREKTORAT P-APBN

265

PEMBIAYAAN ANGGARAN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Kedudukan, Tugas dan Fungsi Unit-unit di Kementerian Keuangan

No
1.

Kedudukan dalam
Organisasi
Menteri Keuangan

Tugas
Kementerian
Keuangan
mempunyai
tugas
menyelenggarakan urusan di
bidang
keuangan
dan
kekayaan
1egara
dalam
pemerintahan
untuk
membantu Presiden dalam
menyelenggarakan
pemerintahan 1egara.

Fungsi
Kementerian Keuangan
menyelenggarakan fungsi:
a. perumusan, penetapan, dan
pelaksanaan kebijakan di bidang
keuangan dan kekayaan 1egara;
b. pengelolaan Barang Milik/Kekayaan
Negara yang menjadi tanggung jawab
Kementerian Keuangan;
c.

pengawasan atas pelaksanaan tugas


di lingkungan Kementerian Keuangan;

d.

pelaksanaan bimbingan teknis dan


Negara atas pelaksanaan urusan
Kementerian Keuangan di daerah;

e. pelaksanaan kegiatan teknis yang


berskala nasional; dan
f.
2.

Wakil Menteri
Keuangan

Wakil
Menteri
Keuangan
mempunyai tugas membantu
Menteri
Keuangan
dalam
memimpin pelaksanaan tugas
Kementerian Keuangan

3.

Sekretariat Jenderal

Sekretariat
Jenderal
mempunyai
tugas
melaksanakan
koordinasi
pelaksanaan
tugas,
pembinaan, dan pemberian
dukungan administrasi kepada
seluruh
unit organisasi di lingkungan
Kementerian Keuangan.

pelaksanaan kegiatan teknis dari


pusat sampai ke daerah.

Sekretariat Jenderal menyelenggarakan


fungsi:
a. koordinasi
Keuangan;

kegiatan

Kementerian

b. koordinasi dan penyusunan rencana


dan program Kementerian Keuangan;
c. pembinaan dan pemberian dukungan
administrasi
yang
meliputi
ketatausahaan,kepegawaian,
keuangan, kerumahtanggaan, arsip,
dan
dokumentasi
Kementerian
Keuangan;
d. pembinaan dan penyelenggaraan
organisasi dan tata laksana, kerja
sama, dan hubungan masyarakat;
e. koordinasi dan penyusunan peraturan
perundang-undangan dan bantuan
negara;
f. penyelenggaraan pengelolaan barang

DIREKTORAT P-APBN

LAMPIRAN 1

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

milik/kekayaan negara; dan


g. pelaksanaan
tugas
lain
yang
diberikan oleh Menteri Keuangan.
4.

Direktorat Jenderal
Anggaran

Direktorat Jenderal Anggaran


mempunyai
tugas
merumuskan
serta
melaksanakan kebijakan dan
standardisasi teknis di bidang
penganggaran.

Direktorat Jenderal Anggaran


menyelenggarakan fungsi:
a. perumusan kebijakan di bidang
penganggaran;
b. pelaksanaan kebijakan di bidang
penganggaran;
c. penyusunan norma, standar, prosedur
dan negara di bidang penganggaran;
d. pemberian bimbingan teknis dan
evaluasi di bidang penganggaran; dan
e. pelaksanaan administrasi Direktorat
Jenderal Anggaran.

5.

Direktorat Jenderal
Pajak

Direktorat
Jenderal
Pajak Direktorat
Jenderal
Pajak
mempunyai
tugas menyelenggarakan fungsi:
merumuskan
serta
a. perumusan kebijakan di bidang
melaksanakan kebijakan dan
perpajakan;
standardisasi teknis di bidang
b. pelaksanaan kebijakan di bidang
perpajakan.
perpajakan;
c.

penyusunan
prosedur dan
perpajakan;

norma,
negara

di

standar,
bidang

d. pemberian bimbingan teknis dan


evaluasi di bidang perpajakan; dan
e. pelaksanaan administrasi Direktorat
Jenderal Pajak.
6.

Direktorat Jenderal
Bea dan Cukai

Direktorat Jenderal Bea dan


Cukai
mempunyai
tugas
merumuskan
serta
melaksanakan kebijakan dan
standardisasi teknis di bidang
kepabeanan dan cukai.

Direktorat Jenderal Bea


menyelenggarakan fungsi:
a. perumusan kebijakan
kepabeanan dan cukai;
b. pelaksanaan kebijakan
kepabeanan dan cukai;
c. penyusunan
norma,
prosedur dan negara
kepabeanan dan cukai;

dan

Cukai

di

bidang

di

bidang

di

standar,
bidang

d. pemberian bimbingan teknis dan


evaluasi di bidang kepabeanan dan
cukai; dan
e. pelaksanaan administrasi Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai.

DIREKTORAT P-APBN

LAMPIRAN 1

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

7.

Direktorat Jenderal
Perbendaharaan

Direktorat
Jenderal Direktorat Jenderal Perbendaharaan
Perbendaharaan mempunyai menyelenggarakan fungsi:
tugas
merumuskan
serta a. perumusan kebijakan di bidang
melaksanakan kebijakan dan
perbendaharaan Negara;
standardisasi teknis di bidang
b. pelaksanaan kebijakan di bidang
perbendaharaan 3egara.
perbendaharaan negara;
c.

penyusunan
norma,
standar,
prosedur, dan negara di bidang
perbendaharaan negara;

d. pemberian bimbingan teknis dan


evaluasi di bidang perbendaharaan
negara; dan
e. pelaksanaan administrasi Direktorat
Jenderal Perbendaharaan.

8.

Direktorat Jenderal
Kekayaan Negara

Direktorat Jenderal Kekayaan


Negara mempunyai tugas
merumuskan
serta
melaksanakan kebijakan dan
standardisasi teknis di bidang
kekayaan negara, piutang
negara, dan lelang.

Direktorat Jenderal Kekayaan Negara


menyelenggarakan fungsi:
a. perumusan kebijakan di bidang
kekayaan negara, piutang negara,dan
lelang;
b. pelaksanaan kebijakan di bidang
kekayaan negara, piutang negara,
dan lelang;
c. penyusunan
norma,
standar,
prosedur, dan Negara di bidang
kekayaan negara, piutang negara,
dan lelang;
d. pemberian bimbingan teknis dan
evaluasi di bidang kekayaan negara,
piutang negara, dan lelang; dan
e. pelaksanaan administrasi Direktorat
Jenderal Kekayaan Negara.

9.

Direktorat Jenderal
Perimbangan
Keuangan

Direktorat
Jenderal
Perimbangan
Keuangan
mempunyai
tugas
merumuskan
serta
melaksanakan kebijakan dan
standardisasi teknis di bidang
perimbangan keuangan.

Direktorat
Jenderal
Perimbangan
Keuangan menyelenggarakan fungsi:
a. perumusan kebijakan di bidang
perimbangan keuangan;
b. pelaksanaan kebijakan
perimbangan keuangan;

di

bidang

c. penyusunan norma, standar, prosedur


dan negara di bidang perimbangan
keuangan;
d. pemberian bimbingan teknis dan
evaluasi di bidang perimbangan

DIREKTORAT P-APBN

LAMPIRAN 1

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

keuangan; dan
e. pelaksanaan administrasi Direktorat
Jenderal Perimbangan Keuangan.
10.

Direktorat Jenderal
Pengelolaan Utang

Direktorat
Jenderal
Pengelolaan
Utang
mempunyai
tugas
merumuskan
serta
melaksanakan kebijakan dan
standardisasi teknis di bidang
pengelolaan utang.

Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang


menyelenggarakan fungsi:
a. perumusan kebijakan di bidang
pengelolaan utang;
b. pelaksanaan kebijakan
pengelolaan utang;
c. penyusunan
norma,
prosedur, dan negara
pengelolaan utang;

di

bidang

di

standar,
bidang

d. pemberian bimbingan teknis dan


evaluasi di bidang pengelolaan utang;
dan
e. pelaksanaan administrasi Direktorat
Jenderal Pengelolaan Utang.
11.

Badan Pengawas
Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan

Badan Pengawas Pasar Modal Bapepam dan LK menyelenggarakan


dan Lembaga Keuangan yang fungsi:
selanjutnya dalam peraturan a. penyusunan peraturan di bidang
ini disebut Bapepam dan LK
pasar modal;
mempunyai
tugas
b. penegakan peraturan di bidang pasar
melaksanakan
pembinaan,
modal;
pengaturan, dan pengawasan
dan
pengawasan
kegiatan sehari-hari pasar c. pembinaan
terhadap pihak yang memperoleh izin
modal serta merumuskan dan
usaha, persetujuan, pendaftaran dari
melaksanakan kebijakan dan
Badan dan pihak lain yang bergerak
standardisasi teknis di bidang
di pasar modal;
lembaga keuangan, sesuai
dengan
kebijakan
yang d. penetapan
prinsip-prinsip
ditetapkan
oleh
Menteri
keterbukaan perusahaan bagi Emiten
Keuangan, dan berdasarkan
dan Perusahaan Publik;
peraturan
perundange. penyelesaian
keberatan
yang
undangan yang berlaku.
diajukan oleh pihak yang dikenakan
sanksi oleh Bursa Efek, Kliring dan
Penjaminan,
dan
Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian;
f. penetapan ketentuan akuntansi di
bidang pasar modal;
g. penyiapan perumusan kebijakan di
bidang lembaga keuangan;
h. pelaksanaan kebijakan di bidang
lembaga keuangan, sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan;
i. perumusan standar, norma, pedoman
negara dan prosedur di bidang
lembag keuangan;

DIREKTORAT P-APBN

LAMPIRAN 1

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

j. pemberian bimbingan teknis dan


evaluasi
di
bidang
lembaga
keuangan; dan
k. pelaksanaan
administrasi
Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan.
12.

13.

Badan Kebijakan
Fiskal

Badan Pendidikan
dan Pelatihan
Keuangan

Badan
Kebijakan
Fiskal Badan
Kebijakan
Fiskal
mempunyai
tugas menyelenggarakan fungsi:
melaksanakan
analisis
di
a. penyusunan
kebijakan
teknis,
bidang kebijakan negara.
rencana dan program analisis di
bidang kebijakan negara;
b.

pelaksanaan
analisis
dan
pemberian rekomendasi di bidang
kebijakan negara;

c.

pemantauan,
evaluasi,
dan
pelaporan pelaksanaan analisis di
bidang kebijakan negara; dan

d.

pelaksanaan administrasi
Kebijakan Fiskal.

Badan

Badan
Pendidikan
dan Dalam
melaksanakan
tugas
Pelatihan
Keuangan menyelenggarakan fungsi:
mempunyai
tugas a. penyusunan
kebijakan
teknis,
melaksanakan pendidikan dan
rencana dan program pendidikan dan
pelatihan di bidang keuangan
pelatihan di bidang keuangan negara;
negara.
b. pelaksanaan
pendidikan
dan
pelatihan di bidang keuangan negara;
c. pemantauan, evaluasi, dan pelaporan
pelaksanaan
pendidikan
dan
pelatihan di bidang keuangan negara;
dan
d. pelaksanaan
administrasi
Badan
Pendidikan dan Pelatihan Keuangan.

14.

Staf Ahli Menteri

DIREKTORAT P-APBN

memberikan
telaahan
mengenai masalah-masalah di
bidang penerimaan negara,
pengeluaran negara, makro
ekonomi
dan
keuangan
internasional, kebijakan dan
regulasi jasa keuangan dan
pasar modal, dan organisasi,
birokrasi,
dan
teknologi
informasi secara keahlian, dan
memberikan
penalaran
pemecahan konsepsional atas
petunjuk Menteri

a. pengolahan
dan
penelaahan
masalah-masalah
di
bidang
penerimaan
negara,pengeluaran
negara,
makro
ekonomi
dan
keuangan internasional, kebijakan
dan regulasi jasa keuangan dan
pasar
modal,
dan
organisasi,
birokrasi, dan teknologi informasi,
serta penyiapan penalaran secara
konsepsional;
b. penalaran
konsepsional
suatu
masalah di bidang keahliannya atas
inisiatif sendiri dan pemecahan
persoalan secara mendasar dan
terpadu untuk bahan kebijakan
Menteri sebagai penelaahan Staf;

LAMPIRAN 1

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

c. pemberian bantuan kepada Menteri


dalam penyiapan bahan untuk
keperluan rapat, seminar, dan lainlain yang dihadiri oleh Menteri;
d. pelaksanaan tugas-tugas lain atas
petunjuk Menteri.

DIREKTORAT P-APBN

LAMPIRAN 1

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

(miliar rupiah)

BELANJA KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA, 2005-2013

MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT

269,5

673,7

153,6

1.401,1

1.948,2

566,6

939,9

130,5

1.174,5

1.590,8

2.663,6

847,4

1.068,7

141,8

3.707,0

5.303,0

1.105,6

1.622,0

4.001,2

1.258,8

1.283,4

159,1

34.332,5

4.106,8

8.315,1

1.342,0

1.602,1

3.950,5

1.590,9

1.538,7

211,8

8.016,1

12.955,0

4.832,1

42.391,6

3.751,9

12.110,8

1.530,4

2.636,7

3.895,8

1.974,2

1.792,4

204,8

9.017,5

1.958,0

15.986,0

14.852,9

6.374,8

51.201,6

4.005,4

13.386,3

1.611,0

3.311,3

4.734,9

2.087,3

1.742,9

320,6

38.147,1

16.286,3

2.443,0

17.097,8

16.913,7

6.949,5

72.935,5

4.996,8

16.722,1

1.977,2

3.789,4

5.055,6

2.674,8

2.706,6

623,2

73.087,5

36.679,2

18.803,9

3.269,9

17.819,5

18.234,4

7.575,3

81.963,6

5.590,1

15.782,6

2.473,2

4.362,2

5.325,9

2.903,4

2.998,3

732,7

2013

KODE
BA

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT

1.229,8

729,9

3.118,2

31.348,7

3.903,9

1.492,7

20.110,0

34.582,0

2012

001

BADAN PEMERIKSA KEUANGAN

157,1

3.376,2

7.676,5

11.759,2

5.543,6

77.179,8

43.960,5

2011

NO
URUT

002

MAHKAMAH AGUNG

777,7

1.158,0

30.611,1

3.845,9

1.444,9

15.562,1

31.204,5

2010

004

KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

47,3

603,1

3.152,8

3.574,3

7.203,9

12.051,1

6.577,2

61.060,5

39.375,8

2008

005

KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA

637,6

23.922,8

6.999,2

1.414,8

15.557,3

26.871,3

2008

006

WAKIL PRESIDEN

3.160,0

2.875,9

6.532,3

5.442,5

59.347,9

33.208,3

2007

007

KEMENTERIAN DALAM NEGERI

20.828,5

5.167,0

1.484,5

13.477,1

22.428,3

2006

008

KEMENTERIAN LUAR NEGERI

1.953,0

5.551,2

5.141,6

59.558,6

28.008,1

2005

010

KEMENTERIAN PERTAHANAN

3.621,3

1.126,5

9.070,4

18.001,5

APBN

011

KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA RI

2.659,9

4.657,6

43.546,9

24.957,6

4.863,1

APBNP

012

KEMENTERIAN KEUANGAN

1.204,2

6.769,7

15.871,9

5.605,6

LKPP

013

KEMENTERIAN PERTANIAN

3.117,1

40.475,8

14.874,7

4.101,4

6.717,5

LKPP

10

015

KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN

3.978,5

15.530,6

4.549,9

LKPP

11

018

KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL

37.095,1

13.298,9

3.682,1

5.686,8

LKPP

12

019

KEMENTERIAN PERHUBUNGAN

12.260,6

3.957,4

LKPP

13

020

23.117,4

10.023,3

2.763,9

4.756,7

LKPP

14

022

6.508,9

3.470,9

LKPP

15

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

6.497,3

2.837,8

3.290,9

KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA

16
023
KEMENTERIAN KESEHATAN

3.255,1

17

KEMENTERIAN AGAMA

2.352,5

2.110,2

024

3.213,5

025

2.451,1

3.174,7

18

2.069,4

2.766,0

19

1.068,3

1.761,0

KEMENTERIAN TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI

2.221,4

026

1.485,2

20

959,4

1.661,9

7.077,4

KEMENTERIAN SOSIAL

6.014,1

KEMENTERIAN KEHUTANAN

5.176,0

027

3.139,5

029

3.205,6

21

2.398,9

22

2.343,1

KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN

2.566,3

032

1.745,8

23

Lampiran 2

DIREKTORAT P-APBN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

2006

2007

2008

LKPP

2008

LKPP

2010

LKPP

2011

APBNP

2012

APBN

2013

(miliar rupiah)

BELANJA KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA, 2005-2013, lanjutan

2005

LKPP

281,1

LKPP

298,9

LKPP

212,0

2.053,0

LKPP

KODE
BA

222,3

KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA

NO
URUT

233,5

2.672,0

518,2

211,3

77.978,0

96,9

1.906,0

405,1

84,4

74.977,1

77,2

1.590,0

467,5

88,1

51.305,9

78,8

1.049,4

194,3

87,1

32.746,9

58,7

1.021,2

176,2

92,3

40.082,7

65,6

882,8

176,3

68,1

30.670,0

KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM

44,0

609,7

179,9

KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG POLITIK, HUKUM DAN KEAMANAN

64,2

22.769,5

033

KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG PEREKONOMIAN

447,4

76,3

034

KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG KESEJAHTERAAN RAKYAT

19.186,7

24

035

KEMENTERIAN PARIWISATA DAN EKONOMI KREATIF

67,3

25

036

13.328,9

26

040

27

143,6

28

653,0

234,7

1.810,7

111,3

150,9

1.387,5

201,3

110,0

938,2

1.551,4

92,8

156,1

131,4

1.593,5

129,0

729,6

1.484,9

148,3

165,1

93,4

1.758,4

261,8

744,3

83,4

719,2

1.297,8

155,1

111,7

963,3

25,1

041

982,1

85,8

606,1

38,9

KEMENTERIAN BADAN USAHA MILIK NEGARA

29

122,9

968,7

3.741,7

921,5

93,3

480,6

31,1

1.055,1

639,8

143,6

1.280,8

932,0

36,3

755,5

2.272,6

738,6
930,2

79,7

598,7

29,0

542,1

2.482,2

630,2

KEMENTERIAN RISET DAN TEKNOLOGI

116,9

1.048,0

24,4

384,6

4.947,7

478,7

4.390,2

855,7

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP

85,4

916,7

169,8

1.042,4

25,1

314,9

1.513,4

3.881,2

3.807,4

620,0

042

KEMENTERIAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH

773,3

690,3

1.012,4

27,5

312,3

1.318,2

348,0

404,4

043

KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK

668,9

29,6

252,6

1.173,6

2.657,9

3.090,8

408,0

30

044

KEMENTERIAN PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA DAN REFORMASI BIROKRASI

437,6

912,1

401,9

359,5

31

047

BADAN INTELIJEN NEGARA

19,9

198,1

2.294,5

2.642,1

451,2

32

048

LEMBAGA SANDI NEGARA

351,5

396,9

415,3

33

050

DEWAN KETAHANAN NASIONAL

138,0

2.121,2

2.199,5

437,1

34

051

BADAN PUSAT STATISTIK

2.093,7

312,6

414,2

35

052

KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL

1.602,9

1.360,0

342,6

36

054

1.211,5

280,2

300,9

37

055

948,6

996,0

226,9

38

BADAN PERTANAHAN NASIONAL

271,8

1.379,8

39
056

1.016,0

40

138,7

235,0

1.235,7

705,1

108,2

057

174,2

429,1

059

650,7

PERPUSTAKAAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

41

207,9

KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA

42

456,6

1.188,3

157,8

45.622,0

378,3

1.079,7
115,1

41.892,9

311,6

764,8
144,5

34.394,6

308,1

603,5
126,3

26.783,0

258,2

530,3
72,3

25.633,3

183,2

546,2

KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

44,1

21.100,0

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN

164,2

377,6

060

LEMBAGA KETAHANAN NASIONAL

19.922,4

063

BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL

302,3

43

064

16.449,9

44

065

229,7

45

11.638,2

46

Lampiran 2

DIREKTORAT P-APBN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

(miliar rupiah)

BELANJA KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA, 2005-2013, lanjutan

KODE
BA

KEMENTERIAN PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL

BADAN NARKOTIKA NASIONAL

12,4

596,0

73,9

170,1

318,1

521,8

36,6

637,5

230,2

285,7

77,0

149,7

468,6

610,4

28,5

994,2

384,8

234,5

308,4

567,1

30,9

158,1

453,7

679,0

32,7

1.156,0

918,4

264,9

198,7

515,5

365,4

455,0

32,9

162,6

567,1

772,8

46,2

1.148,4

931,2

239,6

308,6

222,5

677,4

388,4

492,9

63,7

169,7

759,0

885,5

52,7

1.332,8

1.024,5

345,1

69,3

75,0

436,5

403,3

1.001,4

571,9

663,3

47,6

237,2

761,7

1.108,6

55,5

2.353,3

1.013,4

770,4

243,6

72,0

74,2

535,9

491,9

808,6

637,1

761,7

73,1

221,8

1.625,2

1.284,0

53,7

2.110,1

1.153,8

841,0

535,1

154,2

247,0

159,4

98,5

602,1

526,1

888,7

668,9

891,1

79,3

199,8

8.492,0

1.392,3

72,8

2.601,9

2.048,8

1.072,6

2013

066

BADAN KEPENDUDUKAN DAN KELUARGA BERENCANA NASIONAL

220,5

204,6

570,5

526,4

223,3

53,5

102,8

130,3

1.250,4

2012

NO
URUT

067

KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA

8,4

33,0

308,6

183,4

51,7

250,4

486,9

3.105,7

2011

47

068

BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

110,7

396,6

502,3

197,6

48,2

140,8

1.050,5

2010

48

074

KOMISI PEMILIHAN UMUM

250,9

174,4

74,7

188,7

450,6

2.441,5

2008

49

075

MAHKAMAH KONSTITUSI RI

413,4

224,0

47,0

104,3

740,0

2008

50

076

PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN

162,5

36,0

178,6

388,0

2.371,9

2007

51

077

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

144,9

53,4

102,1

637,8

2006

52

078

BADAN TENAGA NUKLIR NASIONAL

31,1

161,5

357,1

1.258,3

2005

53

079

BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI

46,9

115,5

540,1

APBN

54

080

LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL

95,7

157,2

296,1

1.455,0

APBNP

55

081

BADAN INFORMASI GEOSPASIAL *)

83,9

126,0

547,0

LKPP

56

082

BADAN STANDARDISASI NASIONAL

288,4

1.144,5

LKPP

57

083

BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR

482,1

LKPP

58

084

LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA

228,5

1.233,6

LKPP

59

085

ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

437,1

LKPP

60

086

1.128,7

LKPP

61

087

LKPP

62

BADAN KEPEGAWAIAN NEGARA

5.168,1

KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA

63
088

BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN

5.928,5

64

KEMENTERIAN PERDAGANGAN

2.362,2

089

914,9

090

1.277,5

65

590,8

66

419,6

KEMENTERIAN PERUMAHAN RAKYAT

369,2

091

84,1

67

Lampiran 2

DIREKTORAT P-APBN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

2006

2007

2008

2008

2010

2011

2012

APBN

2013

(miliar rupiah)

BELANJA KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA, 2005-2013, lanjutan

2005

APBNP

595,5

LKPP

589,8

91,9

LKPP

77,4

392,7

1.345,5

LKPP

553,1

265,9

1.128,2

211,5

2.256,9

LKPP

368,7

68,6

183,4

1.533,3

119,8

1.666,4

LKPP

54,2

375,0

1.232,9

992,1

399,6

LKPP

319,2

266,3

571,9

113,5

67,7

LKPP

KODE
BA

89,2

226,1

171,5

268,2

274,1

KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA

NO
URUT

104,4

1.053,8

58,8

885,0

225.014,2

259.701,9

306.999,5

332.920,2

417.626,2

547.925,5

594.597,6

189.361,2

120.823,0

1.956,7

79,6

220,4

70,7

636,8

68,1

197,7

152,2

1.757,9

94,5

705,8

512,6

69,2

735,3

213,4

4.025,9

79,1

209,7

60,9

15,5

92,8

856,6

2.393,1

KEMENTERIAN PEMUDA DAN OLAH RAGA

34,9

46,7

513,0

312,2

197,2

985,2

829,1

KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI

53,1

864,2

734,2

092

BADAN REHABILITASI DAN REKONSTRUKSI NAD DAN NIAS

113,9

769,0

641,2

093

DEWAN PERWAKILAN DAERAH (DPD)

753,2

457,4

68

094

KOMISI YUDISIAL REPUBLIK INDONESIA

120,9

69

095

BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN BENCANA

70

100

BADAN NASIONAL PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN TENAGA KERJA INDONESIA

706,5

71

103

BADAN PENANGGULANGAN LUMPUR SIDOARJO (BPLS)

634,5

72

104

LEMBAGA KEBIJAKAN PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH

300,2

73

105

BADAN SAR NASIONAL

268,0

74

106

KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA

228,6

75

107

BADAN PENGEMBANGAN WILAYAH SURAMADU

204,3

76

108

OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA

163,8

77

109

BADAN NASIONAL PENGELOLA PERBATASAN

392,2

221,7

78

110

BADAN PENGUSAHAAN KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS BATAM

79

111

BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN TERORISME

80

112

SEKRETARIAT KABINET

235,2

81

113

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM

7.619,1

82

114

LEMBAGA PENYIARAN PUBLIK RADIO REPUBLIK INDONESIA

201,9

83

115

LEMBAGA PENYIARAN PUBLIK TELEVISI REPUBLIK INDONESIA

6.532,8

84

116

149,2

85

117

9.976,7

86

BADAN PENGUSAHAAN KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS SABANG

87
118

414,7

88

TOTAL

Lampiran 2

DIREKTORAT P-APBN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

BELANJA MODAL KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA, 2013


(miliar rupiah)
2013
NO
URUT

KODE
BA

033

KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM

62.583,1

012

KEMENTERIAN PERTAHANAN

32.029,0

022

KEMENTERIAN PERHUBUNGAN

27.778,7

020

KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL

12.536,0

024

KEMENTERIAN KESEHATAN

6.964,6

060

KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

6.822,0

023

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

3.312,1

025

KEMENTERIAN AGAMA

3.002,9

015

KEMENTERIAN KEUANGAN

2.766,8

10

105

BADAN PENANGGULANGAN LUMPUR SIDOARJO (BPLS)

2.042,6

11

018

KEMENTERIAN PERTANIAN

1.660,7

12

010

KEMENTERIAN DALAM NEGERI

1.414,5

13

091

KEMENTERIAN PERUMAHAN RAKYAT

1.340,8

14

051

LEMBAGA SANDI NEGARA

1.332,7

15

032

KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN

1.247,4

16

107

BADAN SAR NASIONAL

1.136,0

17

013

KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA RI

1.105,2

18

026

KEMENTERIAN TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI

1.079,7

19

005

MAHKAMAH AGUNG

939,9

20

090

KEMENTERIAN PERDAGANGAN

918,1

21

029

KEMENTERIAN KEHUTANAN

759,6

22

019

KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN

743,3

23

054

BADAN PUSAT STATISTIK

697,3

24

056

BADAN PERTANAHAN NASIONAL

696,0

25

006

KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

525,3

26

075

BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

522,4

27

004

BADAN PEMERIKSA KEUANGAN

511,2

28

011

KEMENTERIAN LUAR NEGERI

509,3

29

050

BADAN INTELIJEN NEGARA

468,9

30

059

KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA

429,2

KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA

DIREKTORAT P-APBN

APBN

Lampiran 3

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

BELANJA MODAL KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA, 2013


(miliar rupiah)
2013
NO
URUT

KODE
BA

31

103

BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN BENCANA

412,6

32

007

KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA

397,8

33

063

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN

370,9

34

118

BADAN PENGUSAHAAN KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS SABANG

347,4

35

066

BADAN NARKOTIKA NASIONAL

321,6

36

083

BADAN INFORMASI GEOSPASIAL *)

301,8

37

109

BADAN PENGEMBANGAN WILAYAH SURAMADU

293,2

38

112

BADAN PENGUSAHAAN KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS BATAM

262,1

39

081

BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI

249,6

40

044

KEMENTERIAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH

247,1

41

082

LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL

212,3

42

027

KEMENTERIAN SOSIAL

205,0

43

079

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

196,1

44

116

LEMBAGA PENYIARAN PUBLIK RADIO REPUBLIK INDONESIA

193,3

45

034

KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG POLITIK, HUKUM DAN KEAMANAN

181,7

46

080

BADAN TENAGA NUKLIR NASIONAL

169,1

47

076

KOMISI PEMILIHAN UMUM

167,7

48

088

BADAN KEPEGAWAIAN NEGARA

142,7

49

093

KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI

129,0

50

042

KEMENTERIAN RISET DAN TEKNOLOGI

123,1

51

057

PERPUSTAKAAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

118,8

52

068

BADAN KEPENDUDUKAN DAN KELUARGA BERENCANA NASIONAL

103,1

53

117

LEMBAGA PENYIARAN PUBLIK TELEVISI REPUBLIK INDONESIA

101,9

54

040

KEMENTERIAN PARIWISATA DAN EKONOMI KREATIF

99,1

55

106

LEMBAGA KEBIJAKAN PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH

97,7

56

064

LEMBAGA KETAHANAN NASIONAL

92,0

57

047

KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK

87,6

58

002

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT

81,1

59

089

BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN

71,2

60

085

BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR

62,6

61

065

BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL

55,8

62

111

BADAN NASIONAL PENGELOLA PERBATASAN

53,8

KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA

DIREKTORAT P-APBN

APBN

Lampiran 3

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

BELANJA MODAL KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA, 2013


(miliar rupiah)
2013
NO
URUT

KODE
BA

63

055

KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL

51,5

64

092

KEMENTERIAN PEMUDA DAN OLAH RAGA

50,8

65

043

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP

47,8

66

036

KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG KESEJAHTERAAN RAKYAT

44,6

67

115

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM

42,3

68

067

KEMENTERIAN PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL

40,7

69

104

BADAN NASIONAL PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN TENAGA KERJA INDONESIA

40,7

70

087

ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

40,0

71

077

MAHKAMAH KONSTITUSI RI

36,6

72

086

LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA

29,3

73

048

KEMENTERIAN PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA DAN REFORMASI BIROKRASI

17,4

74

001

MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT

16,8

75

078

PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN

12,7

76

074

KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA

11,6

77

041

KEMENTERIAN BADAN USAHA MILIK NEGARA

11,1

78

095

DEWAN PERWAKILAN DAERAH (DPD)

8,2

79

035

KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG PEREKONOMIAN

6,8

80

110

OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA

6,2

81

100

KOMISI YUDISIAL REPUBLIK INDONESIA

6,0

82

108

KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA

4,8

83

084

BADAN STANDARDISASI NASIONAL

3,8

84

114

SEKRETARIAT KABINET

3,7

85

113

BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN TERORISME

3,2

86

052

DEWAN KETAHANAN NASIONAL

2,5

87

008

WAKIL PRESIDEN

88

094

BADAN REHABILITASI DAN REKONSTRUKSI NAD DAN NIAS

KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA

TOTAL

DIREKTORAT P-APBN

APBN

184.363,5

Lampiran 3

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

(miliar rupiah)

BELANJA KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA MENURUT KEMENTERIAN KOORDINATOR, 2005-2013

19

18

17

16

15

14

13

12

11

10

079

075

067

065

059

055

054

044

042

041

033

032

029

026

022

020

019

018

015

004

035

BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI

BADAN TENAGA NUKLIR NASIONAL

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

KEMENTERIAN PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL

BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL

KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA

KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL

BADAN PUSAT STATISTIK

KEMENTERIAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH

KEMENTERIAN RISET DAN TEKNOLOGI

KEMENTERIAN BADAN USAHA MILIK NEGARA

KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM

KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN

KEMENTERIAN KEHUTANAN

KEMENTERIAN TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI

KEMENTERIAN PERHUBUNGAN

KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL

KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN

KEMENTERIAN PERTANIAN

KEMENTERIAN KEUANGAN

BADAN PEMERIKSA KEUANGAN

KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG PEREKONOMIAN

220,5

73,9

164,2

429,1

138,0

351,5

916,7

1.379,8

25,1

13.328,9

1.745,8

959,4

1.068,3

3.978,5

3.117,1

1.204,2

2.659,9

3.621,3

269,5

44,0

35.696,1

LKPP

46,9

31,1

144,9

162,5

413,4

250,9

396,6

521,8

230,2

183,2

1.235,7

198,1

912,1

930,2

342,6

155,1

19.186,7

2.566,3

1.485,2

2.069,4

6.769,7

4.657,6

1.126,5

5.551,2

5.167,0

566,6

65,6

56.495,9

LKPP

1.233,6

53,4

36,0

224,0

174,4

502,3

308,6

570,5

610,4

384,8

258,2

1.016,0

252,6

1.173,6

1.280,8

437,1

261,8

22.769,5

2.343,1

1.761,0

2.451,1

9.070,4

5.141,6

1.484,5

6.532,3

6.999,2

847,4

58,7

68.237,2

LKPP

1.144,5

47,0

74,7

197,6

183,4

526,4

308,4

567,1

679,0

918,4

308,1

996,0

312,3

1.318,2

982,1

451,2

148,3

30.670,0

2.398,9

3.174,7

2.352,5

13.477,1

5.442,5

1.414,8

7.203,9

12.051,1

1.258,8

78,8

88.685,9

LKPP

1.455,0

48,2

51,7

223,3

198,7

515,5

365,4

455,0

772,8

931,2

311,6

1.360,0

314,9

1.513,4

744,3

408,0

129,0

40.082,7

3.205,6

2.110,2

2.837,8

15.557,3

6.577,2

1.444,9

7.676,5

11.759,2

1.590,9

77,2

102.717,6

LKPP

70,7

1.258,3

53,5

102,8

308,6

222,5

677,4

388,4

492,9

885,5

1.024,5

378,3

2.199,5

384,6

4.947,7

729,6

620,0

92,8

32.746,9

3.139,5

3.290,9

2.763,9

15.562,1

5.543,6

1.492,7

8.016,1

12.955,0

1.974,2

96,9

102.419,4

LKPP

69,2

171,5

2.371,9

69,3

75,0

436,5

403,3

1.001,4

571,9

663,3

1.108,6

1.013,4

456,6

2.642,1

542,1

2.482,2

938,2

630,2

110,0

51.305,9

5.176,0

4.756,7

3.682,1

20.110,0

9.017,5

1.958,0

15.986,0

14.852,9

2.087,3

233,5

144.922,7

LKPP

753,2

769,0

735,3

268,2

183,4

2.441,5

72,0

74,2

535,9

491,9

808,6

637,1

761,7

1.284,0

1.153,8

650,7

3.090,8

755,5

2.272,6

1.387,5

639,8

111,3

74.977,1

6.014,1

5.686,8

4.101,4

38.147,1

16.286,3

2.443,0

17.097,8

16.913,7

2.674,8

212,0

204.432,0

APBNP

864,2

985,2

885,0

399,6

211,5

3.105,7

159,4

98,5

602,1

526,1

888,7

668,9

891,1

1.392,3

2.048,8

705,1

3.807,4

1.055,1

3.741,7

1.810,7

653,0

143,6

77.978,0

7.077,4

6.717,5

4.863,1

36.679,2

18.803,9

3.269,9

17.819,5

18.234,4

2.903,4

281,1

220.663,4

APBN

2013

20

080

LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL

1.128,7

2012

21

081

BADAN INFORMASI GEOSPASIAL *)

2011

22

082

BADAN STANDARDISASI NASIONAL

2010

23

083

BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR

2008

24

084

KEMENTERIAN PERDAGANGAN

2008

25

085

LEMBAGA KEBIJAKAN PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH

2007

26

090

BADAN PENGEMBANGAN WILAYAH SURAMADU

2006

27

106

BADAN PENGUSAHAAN KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS BATAM

2005

28

109

LEMBAGA PENYIARAN PUBLIK RADIO REPUBLIK INDONESIA

KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA

29

112

LEMBAGA PENYIARAN PUBLIK TELEVISI REPUBLIK INDONESIA

KODE
BA

30

116

BADAN PENGUSAHAAN KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS SABANG

NO
URUT

31

117

BIDANG PEREKONOMIAN

32

118

392,2

33

34

Lampiran 4

DIREKTORAT P-APBN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

17

16

15

14

13

12

11

10

092

091

089

088

087

068

066

063

057

048

047

043

040

027

025

024

023

036

BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN BENCANA

KEMENTERIAN PEMUDA DAN OLAH RAGA

KEMENTERIAN PERUMAHAN RAKYAT

BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN

BADAN KEPEGAWAIAN NEGARA

ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

BADAN KEPENDUDUKAN DAN KELUARGA BERENCANA NASIONAL

BADAN NARKOTIKA NASIONAL

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN

PERPUSTAKAAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

KEMENTERIAN PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA DAN REFORMASI BIROKRASI

KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP

KEMENTERIAN PARIWISATA DAN EKONOMI KREATIF

KEMENTERIAN SOSIAL

KEMENTERIAN AGAMA

KEMENTERIAN KESEHATAN

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG KESEJAHTERAAN RAKYAT

84,1

596,0

170,1

229,7

108,2

773,3

85,4

226,9

447,4

1.661,9

6.497,3

6.508,9

23.117,4

64,2

40.691,8

2005

120,9

LKPP

369,2

437,1

228,5

83,9

637,5

285,7

302,3

138,7

169,8

116,9

300,9

609,7

2.221,4

10.023,3

12.260,6

37.095,1

68,1

65.806,1

2006

457,4

LKPP

113,9

641,2

419,6

482,1

288,4

95,7

994,2

234,5

377,6

271,8

79,7

143,6

414,2

882,8

2.766,0

13.298,9

15.530,6

40.475,8

92,3

77.649,7

2007

46,7

LKPP

513,0

209,7

94,5

734,2

590,8

547,0

296,1

115,5

1.156,0

264,9

546,2

280,2

93,3

122,9

415,3

1.021,2

3.213,5

14.874,7

15.871,9

43.546,9

87,1

84.594,9

LKPP

2008

705,8

220,4

104,4

829,1

1.277,5

540,1

357,1

102,1

1.148,4

239,6

530,3

312,6

85,8

111,7

359,5

1.049,4

3.255,1

24.957,6

18.001,5

59.558,6

88,1

113.834,6

LKPP

2008

512,6

636,8

226,1

266,3

2.393,1

914,9

637,8

388,0

104,3

1.332,8

345,1

603,5

396,9

83,4

165,1

404,4

1.590,0

3.470,9

28.008,1

22.428,3

59.347,9

84,4

124.340,8

LKPP

2010

1.053,8

571,9

375,0

1.232,9

4.025,9

2.362,2

740,0

450,6

140,8

2.353,3

770,4

764,8

401,9

93,4

156,1

855,7

1.906,0

3.957,4

33.208,3

26.871,3

61.060,5

211,3

143.563,5

LKPP

2011

992,1

1.533,3

265,9

1.128,2

1.757,9

5.928,5

1.050,5

486,9

130,3

2.110,1

841,0

1.079,7

348,0

131,4

150,9

738,6

2.672,0

4.549,9

39.375,8

31.204,5

77.179,8

222,3

173.877,7

APBNP

2012

1.666,4

2.256,9

392,7

1.345,5

1.956,7

5.168,1

1.250,4

535,1

154,2

2.601,9

1.072,6

1.188,3

478,7

201,3

234,7

921,5

2.053,0

5.605,6

43.960,5

34.582,0

73.087,5

298,9

181.012,3

APBN

2013

(miliar rupiah)

BELANJA KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA MENURUT KEMENTERIAN KOORDINATOR, 2005-2013

18
103

BADAN NASIONAL PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN TENAGA KERJA INDONESIA

KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA

19
104

BADAN PENANGGULANGAN LUMPUR SIDOARJO (BPLS)

KODE
BA

20
105

BADAN SAR NASIONAL

NO
URUT

21
107

BIDANG KESEJAHTERAAN RAKYAT

22

Lampiran 4

DIREKTORAT P-APBN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

NO
URUT

2006

2007

2008

2008

2010

2011

2012

2013

(miliar rupiah)

BELANJA KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA MENURUT KEMENTERIAN KOORDINATOR, 2005-2013

2005

192.921,9

APBN

518,2

APBNP

169.615,8

732,7

LKPP

129.140,0

405,1

2.998,3

LKPP

106.160,0

467,5

623,2

LKPP

90.447,3

194,3

320,6

LKPP

86.421,0

176,2

204,8

LKPP

79.127,4

176,3

211,8

LKPP

67.059,3
179,9

159,1

LKPP

44.435,1
76,3
141,8

KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA

67,3
130,5

KODE
BA

KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG POLITIK, HUKUM DAN KEAMANAN


153,6

BIDANG POLITIK, HUKUM, DAN KEAMANAN


034
MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT

5.325,9

1
001

2.706,6

1.742,9

2.473,2

1.792,4

1.977,2

5.590,1

15.782,6

1.538,7

4.996,8

16.722,1

7.575,3

81.963,6

1.283,4

1.611,0

72.935,5

1.551,4

1.068,7

4.005,4

13.386,3

6.949,5

939,9

1.530,4

51.201,6

1.484,9

38,9

1.593,5

673,7

002

1.342,0

3.751,9

12.110,8

6.374,8

1.758,4

4.390,2

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT

8.315,1

1.297,8

31,1

4.362,2
1.105,6

4.106,8

42.391,6

719,2

3.881,2

45.622,0

5.055,6

5.303,0

963,3

4.832,1

36,3

41.892,9

72,8

235,0

3.789,4
1.174,5

3.707,0

34.332,5

606,1

2.657,9

174,2

8.492,0

4.734,9

729,9

3.118,2

968,7

3.903,9

29,0

34.394,6

53,7

3.311,3

157,1

3.376,2

31.348,7

480,6

2.294,5

207,9

1.625,2

79,3

199,8

3.895,8

1.158,0

30.611,1

932,0

3.845,9

24,4

26.783,0

55,5

221,8

247,0

2.636,7

3.152,8

3.574,3

598,7

2.121,2

157,8

761,7

73,1

3.950,5

23.922,8

1.048,0

25,1

25.633,3

52,7

237,2

243,6

1.602,1

47,3

603,1

2.875,9

1.042,4

2.093,7

115,1

759,0

47,6

4.001,2

637,6

1.012,4

27,5

21.100,0

46,2

169,7

250,4

1.622,0

MAHKAMAH AGUNG

3.160,0

690,3

1.602,9

144,5

567,1

63,7

2.663,6

KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

20.828,5

29,6

19.922,4

32,7

162,6

188,7

1.590,8

KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA

668,9

1.953,0

1.211,5

126,3

453,7

32,9

1.948,2

005

WAKIL PRESIDEN

437,6

16.449,9

28,5

158,1

178,6

1.401,1

006

KEMENTERIAN DALAM NEGERI

19,9

72,3

468,6

30,9

777,7

007

KEMENTERIAN LUAR NEGERI

948,6

36,6

149,7

161,5

706,5

1.229,8

008

KEMENTERIAN PERTAHANAN

11.638,2

318,1

77,0

634,5

22

21

20

19

18

17

16

15

14

13

086

078

077

076

074

064

060

056

052

KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI

MAHKAMAH KONSTITUSI RI

KOMISI PEMILIHAN UMUM

KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA

LEMBAGA KETAHANAN NASIONAL

KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

34,9

79,1

79,6

89,2

319,2

60,9

54,2

368,7

312,2

15,5

68,1

68,6

553,1

53,1

197,2

92,8

197,7

58,8

113,5

77,4

589,8

856,6

213,4

152,2

274,1

67,7

119,8

91,9

595,5

332.920,2

417.626,2

306.999,5

547.925,5

594.597,6

BADAN REHABILITASI DAN REKONSTRUKSI NAD DAN NIAS

010

KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA RI

44,1

204,6

157,2

300,2

093

DEWAN PERWAKILAN DAERAH (DPD)

011

BADAN INTELIJEN NEGARA

8,4

12,4

33,0

268,0

094

012

LEMBAGA SANDI NEGARA

110,7

126,0

228,6

23

095
KOMISI YUDISIAL REPUBLIK INDONESIA

013

DEWAN KETAHANAN NASIONAL

204,3

24

100

KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA

259.701,9

25

108

OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA

225.014,2

26

110

BADAN NASIONAL PENGELOLA PERBATASAN

189.361,2

27

111

BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN TERORISME

120.823,0

28

113

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM

SEKRETARIAT KABINET

10

050

BADAN PERTANAHAN NASIONAL

163,8

235,2

7.619,1

29

114

11

PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN

221,7

201,9

6.532,8

30

115

12
051

LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA

149,2

9.976,7

31

414,7

32

TOTAL

Lampiran 4

DIREKTORAT P-APBN

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

BELANJA MODAL KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA, 2013


(miliar rupiah)
2013
NO
URUT

KODE
BA

001

MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT

16,8

002

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT

81,1

004

BADAN PEMERIKSA KEUANGAN

511,2

005

MAHKAMAH AGUNG

939,9

006

KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

525,3

007

KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA

397,8

008

WAKIL PRESIDEN

010

KEMENTERIAN DALAM NEGERI

011

KEMENTERIAN LUAR NEGERI

509,3

10

012

KEMENTERIAN PERTAHANAN

32.029,0

11

013

KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA RI

1.105,2

12

015

KEMENTERIAN KEUANGAN

2.766,8

13

018

KEMENTERIAN PERTANIAN

1.660,7

14

019

KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN

15

020

KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL

12.536,0

16

022

KEMENTERIAN PERHUBUNGAN

27.778,7

17

023

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

3.312,1

18

024

KEMENTERIAN KESEHATAN

6.964,6

19

025

KEMENTERIAN AGAMA

3.002,9

20

026

KEMENTERIAN TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI

1.079,7

21

027

KEMENTERIAN SOSIAL

205,0

22

029

KEMENTERIAN KEHUTANAN

759,6

23

032

KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN

24

033

KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM

25

034

KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG POLITIK, HUKUM DAN KEAMANAN

KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA
APBN

DIREKTORAT P-APBN

1.414,5

743,3

1.247,4
62.583,1
181,7

Lampiran 5

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

BELANJA MODAL KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA, 2013


(miliar rupiah)
2013
NO
URUT

KODE
BA

26

035

KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG PEREKONOMIAN

27

036

KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG KESEJAHTERAAN RAKYAT

44,6

28

040

KEMENTERIAN PARIWISATA DAN EKONOMI KREATIF

99,1

29

041

KEMENTERIAN BADAN USAHA MILIK NEGARA

11,1

30

042

KEMENTERIAN RISET DAN TEKNOLOGI

31

043

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP

32

044

KEMENTERIAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH

33

047

KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK

87,6

34

048

KEMENTERIAN PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA DAN REFORMASI BIROKRASI

17,4

35

050

BADAN INTELIJEN NEGARA

36

051

LEMBAGA SANDI NEGARA

37

052

DEWAN KETAHANAN NASIONAL

38

054

BADAN PUSAT STATISTIK

39

055

KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL

40

056

BADAN PERTANAHAN NASIONAL

696,0

41

057

PERPUSTAKAAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

118,8

42

059

KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA

429,2

43

060

KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

44

063

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN

45

064

LEMBAGA KETAHANAN NASIONAL

92,0

46

065

BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL

55,8

47

066

BADAN NARKOTIKA NASIONAL

48

067

KEMENTERIAN PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL

49

068

BADAN KEPENDUDUKAN DAN KELUARGA BERENCANA NASIONAL

50

074

KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA

KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA

DIREKTORAT P-APBN

APBN

6,8

123,1
47,8
247,1

468,9
1.332,7
2,5
697,3
51,5

6.822,0
370,9

321,6
40,7
103,1
11,6

Lampiran 5

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

BELANJA MODAL KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA, 2013


(miliar rupiah)
2013
NO
URUT

KODE
BA

51

075

BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

522,4

52

076

KOMISI PEMILIHAN UMUM

167,7

53

077

MAHKAMAH KONSTITUSI RI

36,6

54

078

PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN

12,7

55

079

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

196,1

56

080

BADAN TENAGA NUKLIR NASIONAL

169,1

57

081

BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI

249,6

58

082

LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL

212,3

59

083

BADAN INFORMASI GEOSPASIAL *)

301,8

60

084

BADAN STANDARDISASI NASIONAL

3,8

61

085

BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR

62,6

62

086

LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA

29,3

63

087

ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

40,0

64

088

BADAN KEPEGAWAIAN NEGARA

65

089

BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN

66

090

KEMENTERIAN PERDAGANGAN

67

091

KEMENTERIAN PERUMAHAN RAKYAT

68

092

KEMENTERIAN PEMUDA DAN OLAH RAGA

69

093

KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI

70

094

BADAN REHABILITASI DAN REKONSTRUKSI NAD DAN NIAS

71

095

DEWAN PERWAKILAN DAERAH (DPD)

8,2

72

100

KOMISI YUDISIAL REPUBLIK INDONESIA

6,0

73

103

BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN BENCANA

KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA

DIREKTORAT P-APBN

APBN

142,7
71,2
918,1
1.340,8
50,8
129,0
-

412,6

Lampiran 5

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

BELANJA MODAL KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA, 2013


(miliar rupiah)
2013
NO
URUT

KODE
BA

74

104

BADAN NASIONAL PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN TENAGA KERJA INDONESIA

75

105

BADAN PENANGGULANGAN LUMPUR SIDOARJO (BPLS)

76

106

LEMBAGA KEBIJAKAN PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH

77

107

BADAN SAR NASIONAL

78

108

KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA

79

109

BADAN PENGEMBANGAN WILAYAH SURAMADU

80

110

OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA

81

111

BADAN NASIONAL PENGELOLA PERBATASAN

82

112

BADAN PENGUSAHAAN KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS BATAM

83

113

BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN TERORISME

3,2

84

114

SEKRETARIAT KABINET

3,7

85

115

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM

86

116

LEMBAGA PENYIARAN PUBLIK RADIO REPUBLIK INDONESIA

193,3

87

117

LEMBAGA PENYIARAN PUBLIK TELEVISI REPUBLIK INDONESIA

101,9

88

118

BADAN PENGUSAHAAN KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS SABANG

347,4

KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA

40,7
2.042,6
97,7
1.136,0
4,8
293,2
6,2

TOTAL

DIREKTORAT P-APBN

APBN

53,8
262,1

42,3

184.363,5

Lampiran 5

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

APPENDIKS

Penjelasan Anggaran Tematik Dalam APBN

Undang Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara mengamanatkan klasifikasi belanja
negara dalam APBN menurut organisasi, fungsi, dan jenis belanja. Klasifikasi belanja menurut organisasi
merupakan rincian belanja untuk masing-masing bagian anggaran kementerian negara/lembaga (K/L)
maupun bagian anggaran bendahara umum negara (BA BUN). Sementara itu, klasifikasi belanja
menurut fungsi merupakan rincian belanja atas 11 fungsi yang menggambarkan berbagai aspek
penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan kepada masyarakat dan peningkatan
kesejahteraan rakyat yang meliputi: (1) pelayanan umum, (2) pertahanan, (3) ketertiban dan keamanan,
(4) ekonomi, (5) lingkungan hidup, (6) perumahan dan fasilitas umum, (7) kesehatan, (8) pariwisata dan
budaya, (9) agama, (10) pendidikan, dan (11) perlindungan sosial. Selanjutnya, klasifikasi ekonomi
merupakan rincian belanja pemerintah pusat atas delapan jenis belanja, yang meliputi: belanja pegawai;
belanja barang; belanja modal; pembayaran bunga utang; subsidi; belanja hibah; bantuan sosial; dan
belanja lain-lain.

Namun dalam pembahasan dan analisis program-program pembangunan nasional dan anggaran, data
mengenai perkembangan alokasi dan realisasi anggaran dalam APBN terkait dengan kegiatan pada
bidang-bidang tertentu, juga dibutuhkan dalam pengambilan keputusan. Anggaran bidang tertentu
(tematik) tersebut perlu disiapkan sebagai upaya untuk mendukung penerapan performance based
budgeting, dalam arti penganggaran yang telah dan akan dilakukan disertai dengan capaian dan target
yang akan dihasilkan di bidang-bidang tertentu. Selain itu, informasi mengenai anggaran tematik juga
dapat digunakan untuk menunjukkan pertanggungjawaban dan/atau komitmen Pemerintah atas targettarget pembangunan Nasional.

Anggaran tematik dalam APBN dikompilasi secara komprehensif, sehingga tidak hanya mencakup
belanja negara, namun juga mencakup pembiayaan anggaran, serta memungkinkan adanya
program/kegiatan yang dapat dikategorikan dalam satu jenis atau lebih anggaran tematik. Informasi
mengenai anggaran tematik diharapkan dapat memperkaya dan memperluas persepsi masyarakat
mengenai peranan dan upaya Pemerintah melalui kebijakan anggaran dalam melaksanakan programprogram, dan mencapai tujuan dari pembangunan yang dilaksanakan. Beberapa informasi terkait
anggaran bidang tertentu dalam APBN yang cukup strategis adalah anggaran infrastruktur, anggaran
kemiskinan, anggaran kesehatan, anggaran tanggap perubahan iklim dan anggaran ketahanan pangan.

DIREKTORAT P-APBN

APPENDIKS

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

1. Anggaran Infrastruktur, dihitung melalui anggaran yang dialokasikan terkait dengan bidang
infrastruktur dan/atau mendukung pelaksanaan pembangunan infrastruktur, sebagai berikut:
a. Anggaran belanja Pemerintah Pusat:
i. Anggaran total beberapa KL yang fungsi utamanya terkait dengan bidang infrastruktur dan/atau
mendukung pelaksanaan pembangunan infrastruktur. Sebagai contoh, anggaran Kementerian
Pekerjaan Umum dan Kementerian Perhubungan (terkait dengan infrastruktur jalan dan
transportasi), serta anggaran Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (terkait dengan
infrastruktur di bidang energi).
ii. Anggaran non K/L, melalui alokasi untuk pengembangan kawasan Bintan dan Karimun, alokasi
untuk Viability Gap Fund (VGF), serta risiko kenaikan harga tanah pada pos belanja lain-lain.
b. Transfer ke daerah, melalui dana alokasi khusus untuk bidang-bidang yang terkait dengan
infrastruktur.
c. Pembiayaan anggaran, berupa investasi pemerintah untuk infrastruktur, dana bergulir pengadaan
tanah, dan penyertaan modal negara baik untuk PT Sarana Multi Infrastruktur (PT SMI) maupun PT
Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PT PII).
Anggaran Infrastruktur, 2005 - 2013
(miliar rupiah)
Uraian

2005

2006

2007

2008

2009

2010

2011

Realisasi

Realisasi

Realisasi

Realisasi

Realisasi

Realisasi

Realisasi

2012
Real
Sementara

2013
APBN

23.809,8

46.150,2

50.956,7

68.023,3

78.116,8

75.385,7

107.941,2

138.828,8

174.291,0

13.328,9

19.186,7

22.769,5

30.670,0

40.082,7

32.107,9

51.305,9

66.716,7

77.978,0

2 Kementerian Perhubungan

3.978,5

6.769,7

9.070,4

13.477,1

15.557,3

15.420,1

20.110,0

28.983,1

36.679,2

3 Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral

3.117,1

4.657,6

5.141,6

5.442,5

6.577,2

5.534,1

9.017,5

9.802,1

18.803,9

637,6

1.158,0

3.118,2

5.303,0

8.315,1

13.403,3

13.386,3

16.710,7

15.782,6

1.745,8

2.566,3

2.343,1

2.398,9

3.205,6

3.380,8

5.176,0

5.752,7

7.077,4

429,1

1.235,7

1.016,0

996,0

1.360,0

2.196,7

2.642,1

1.975,8

3.807,4

7 Kementerian Negara Perumahan Rakyat

84,1

369,2

419,6

590,8

1.277,5

913,9

2.362,2

3.938,6

5.168,1

8 Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal

73,9

230,2

384,8

918,4

931,2

1.040,0

1.013,4

1.133,0

2.048,8

414,7

9.976,7

6.532,8

7.619,1

10 Badan Nasional Penanggulangan Bencana

46,7

94,5

104,4

239,4

1.232,9

1.128,2

1.345,5

11 Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo

113,9

513,0

705,8

636,9

571,9

1.065,3

2.256,9

12 Badan SAR Nasional

512,6

1.053,8

958,9

1.666,4

13 Badan Pengembangan Wilayah Suramadu

69,2

100,1

399,6

14 BPKB Batam

222,3

885,0

15 BPKPB Sabang

341,1

392,2

2.304,3

7.853,4

8.857,8

10.633,9

13.227,6

23.985,2

20.756,6

19.464,0

27.005,7

1 Risiko Kenaikan Harga Tanah (land capping)

264,9

400,8

352,8

406,1

310,1

500,0

2 Pengembangan Kawasan Perdagangan Bebas Sabang

398,9

392,2

3 Pengembangan Otorita Batam

140,0

140,0

4 Pengembangan kawasan Bintan dan Karimun

27,5

60,0

5 Cadangan Anggaran Infrastruktur

6 Unit Percepatan Pembangunan Prov Papua & Papua Barat

1.000,0

7 Cadangan Pemetaan dan Pembangunan Shelter di Daerah Rawan Bencana

1.000,0

8 Cadangan Penyelesaian pembangunan Perumahan Warga Baru NTT

931,8

9 Penugasan PT SMI untuk Penyiapan Proyek KPS

211,7

10 Direktif Presiden

11 Cadangan VGF

341,3

1. Kementerian Negara/Lembaga (Miliar Rupiah)


1 Kementerian Pekerjaan Umum

4 Kementerian Dalam Negeri


5 Kementerian Kelautan dan Perikanan
6 Kementerian Komunikasi dan Informatika

9 Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD dan Nias

2. Non K/L (Miliar Rupiah)

12 Program Percepatan pembangunan Madura

760,7

675,5

1.215,0

1.025,1

1.688,4

1.289,8

1.373,9

1.833,9

1.932,4

1.521,1

14 Subsidi PPH atas Komoditas Panas Bumi

815,4

770,6

15 Belanja Hibah

3.621,3

13 PSO

16 Kredit Program KPRSH & Rusunami


17 Dana Alokasi Khusus

110,1

252,0

300,0

800,0

774,8

416,0

611,8

1.518,7

3.811,4

4.782,7

6.550,5

7.192,2

4.493,1

6.051,0

6.285,1

10.871,9

18 Tambahan Otonomi Khusus Infrastruktur

575,0

750,0

330,0

2.070,0

1.400,0

1.400,0

1.000,0

1.000,0

19 Investasi Pemerintah untuk Infrastruktur

2.000,0

2.000,0

500,0

3.610,5

4.571,6

6.008,9

1.000,0

20 Dana Kontijensi PLN

611,2

21 Dana Kontijensi PDAM

35,0

20 Pinjaman pada PT PLN

7.500,0

21 Dana Bergulir Pengadaan Tanah

2.300,0

3.850,0

900,0

22 PMN untuk PT SMI


23 PMN untuk PT PII
24 Dana bergulir Proyek Pembangkit Listrik Jawa Tengah

1.000,0
-

1.000,0
-

1.000,0
1.000,0
-

1.500,0
-

2.000,0

25 Dana bergulir Pusat Pembiayaan Perumahan


Total

DIREKTORAT P-APBN

1.000,0

59,8

2.709,3

26.114,2

54.003,6

59.814,4

78.657,2

91.344,4

99.370,9

128.697,8

158.292,9

201.296,7

APPENDIKS

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

2. Anggaran Kemiskinan, dihitung melalui anggaran di bidang kemiskinan secara luas, termasuk
didalamnya kegiatan membantu masyarakat berpenghasilan rendah, penanggulangan kemiskinan,
dan pencegahan kemiskinan, sebagai berikut:
a. Anggaran belanja Pemerintah Pusat:
i. Anggaran beberapa program/kegiatan pada beberapa KL, berupa antara lain Program
Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa pada Kementerian Dalam Negeri; dan
Program Rehabilitasi Sosial pada Kementerian Sosial.
ii. Anggaran non K/L, melalui Subsidi Pangan (Subsidi Beras untuk Masyarakat Miskin);
b. Pembiayaan anggaran, berupa penyertaan modal negara dalam mendukung Kredit Usaha Rakyat.
Anggaran Kemiskinan 2005-2013
(miliar rupiah)
2005
KODE BA

2006

2007

2008

2009

2010

2011

2012

2013

Realisasi

APBN

KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA
Realisasi

Realisasi

Realisasi

Realisasi

Realisasi

Realisasi

Realisasi

139,5

168,7

142,4

143,1

551,4

9.469,3

10.920,6

10.797,0

979,2

3.243,2

3.247,9

4.201,2

5.132,4

6.284,9

466,4

1.250,6

550,2

86,2

189,2

181,9

340,8

308,5

10.662,6

19.252,5

19.200,0

19.200,0

29.488,1

27.472,3

24.189,6

27.731,6

26.067,9

KEMENTERIAN KESEHATAN

5.331,4

7.301,8

10.527,3

10.471,5

11.501,5

14.872,2

17.363,9

19.372,8

22.625,5

KEMENTERIAN AGAMA

1.507,2

2.018,5

1.884,2

1.661,3

4.572,8

5.880,2

3.707,8

5.093,4

6.580,3

0,0

363,8

517,8

530,8

588,7

653,5

776,4

939,3

1.279,7

1.497,9

1.707,1

2.098,3

2.413,3

2.493,6

2.777,7

2.855,9

3.327,5

4.353,2

218,3

340,6

238,8

185,6

320,2

1.501,2

51,7

143,4

148,1

152,1

215,1

164,7

629,7

527,6

581,6

1.540,0

4.113,3

5.213,7

5.711,2

8.086,9

7.644,8

12.421,3

12.821,5

17.218,8

1,0

0,6

1,2

163,5

142,9

206,0

010

KEMENTERIAN DALAM NEGERI

018

KEMENTERIAN PERTANIAN

022

KEMENTERIAN PERHUBUNGAN

023

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL

024
025
026

KEMENTERIAN TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI

027

KEMENTERIAN SOSIAL

029

KEMENTERIAN KEHUTANAN

032

KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN

033

KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM

035

KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG PEREKONOMIAN

036

KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG KESEJAHTERAAN RAKYAT

040

KEMENTERIAN KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA

044

KEMENTERIAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH

047

KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK

21,0

19,6

24,5

26,6

20,1

44,0

056

BADAN PERTANAHAN NASIONAL

283,1

249,2

741,4

1.076,5

1.021,1

1.138,3

1.111,2

1.298,0

1.973,7

059

KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMASI

112,0

878,4

404,4

420,1

629,2

1.347,9

067

KEMENTERIAN PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL

6,7

61,9

120,9

424,0

402,3

434,6

902,4

1.029,4

1.841,2

068

BADAN KOORDINASI KELUARGA BERENCANA NASIONAL

314,1

271,4

325,2

341,5

478,9

664,7

766,5

678,1

632,9

079

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

9,9

7,9

8,5

12,3

15,0

081

BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI

32,3

42,9

14,9

6,7

12,8

083

BADAN KOORDINASI SURVEY DAN PEMETAAN NASIONAL

10,7

10,6

11,2

13,7

14,8

091

KEMENTERIAN NEGARA PERUMAHAN RAKYAT

73,2

326,3

321,6

461,6

1.050,6

829,7

41.253,9

46.523,3

48.460,8

67.118,5

67.505,5

75.564,5

86.086,1

96.347,3

JUMLAH K/L

60,7

118,4

123,3

813,8

684,4

1.090,1

824,6

600,4

561,5

678,9

833,7

1.514,7

23.412,1

Melalui Non K/L

5.320,2

6.584,3

12.095,9

12.987,0

13.925,1

18.539,3

21.117,0

19.197,9

Subsidi Pangan

5.320,2

6.584,3

12.095,9

12.987,0

13.925,1

16.539,3

19.117,0

17.197,9

Penyertaan Modal Negara dalam Rangka Mendukung KUR

2.000,0

2.000,0

2.000,0

94.103,8

107.203,1

115.545,2

Total

23.412,1

46.574,1

53.107,6

60.556,7

80.105,5

81.430,6

3. Anggaran Kesehatan, dihitung melalui anggaran bidang kesehatan secara luas, termasuk antara lain
di dalamnya anggaran untuk penyelenggaraan air minum, sanitasi, gizi, pengendalian penyakit,
pencegahan penyakit, obat, dan keluarga berencana, sebagai berikut:
a. Anggaran belanja Pemerintah Pusat:
i. Anggaran beberapa program/kegiatan pada beberapa KL, berupa antara lain Program
Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa pada Kementerian Dalam Negeri; dan
Program Rehabilitasi Sosial pada Kementerian Sosial.

DIREKTORAT P-APBN

APPENDIKS

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

ii. Anggaran non K/L, melalui Anggaran untuk Asuransi Kesehatan pada belanja pegawai dan
Subsidi air bersih pada pos subsidi non energi;
b. Transfer ke daerah, melalui dana alokasi khusus dan dana otonomi khusus untuk bidang
kesehatan.
Anggaran Kesehatan, 2005-2013
(Miliar Rupiah)
2005

2006

2007

2008

2009

2010

2011

2012

2013

Realisasi
Sementara

Realisasi
Sementara

APBN

Komponen Anggaran Kesehatan

I.

Anggaran Kesehatan Melalui Belanja Pemerintah Pusat


1. Melalui Kementerian Negara/Lembaga
Kode BA
024
Kementerian Kesehatan
063
Badan Pengawas Obat dan Makanan
068
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional
023
Kementerian Pendidikan Nasional
026
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi
036
Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat
020
Kementerian ESDM
033
Kementerian PU
043
Kementerian Lingkungan Hidup
042
Kementerian Ristek
018
Kementerian Pertanian
032
Kementerian Kelautan dan Perikanan
Kementerian Lainnya
Total Anggaran K/L

Real

Real

Real

Real

Real

Real

11.859,7

19.578,0

20.646,9

20.052,1

23.242,5

28.176,3

38.549,3

42.310,0

52.032,4

11.474,9

19.091,5

19.971,6

18.898,9

21.720,5

26.230,1

36.251,5

39.663,7

49.043,0

7.944,4
229,8
7,7
4,8
0,9
71,3
2.741,8
5,5
35,4
433,3

12.260,5
302,4
337,2
10,1
0,3
3,5
102,1
5.188,5
191,9
695,1

15.588,4
378,0
468,3
17,7
32,7
3,6
26,6
940,5
46,6
53,8
2.415,5

15.886,2
395,3
479,8
10,9
41,0
3,1
71,9
1.454,2
58,1
24,2
402,2
68,7
3,4

18.023,6
349,7
626,9
58,4
8,9
16,6
1.986,5
46,1
20,6
477,1
106,1
-

22.445,4
410,0
797,5
9,7
26,2
3,4
54,1
1.699,3
29,6
18,5
529,9
206,5
-

26.868,3
770,5
2.351,3
190,5
174,3
23,0
5.296,2
70,3
21,0
159,0
34,2
292,8

28.725,1
1.080,1
2.162,9
179,8
314,4
19,6
5.776,1
64,3
19,5
836,1
139,5
346,2
-

34.582,0
1.188,3
2.601,9
511,4
371,8
35,7
8.726,7
67,2
23,8
400,2
52,2
482,1
-

120.823,0

189.361,2

225.014,2

259.701,9

306.999,5

330.492,6

432.779,3

547.925,5

594.597,6

384,8

486,5

675,3

1.153,2

1.522,0

1.946,2

2.297,8

2.646,4

2.989,3

384,8

486,5

675,3

1.153,2

1.522,0

1.946,2

6,0
2.291,8

0,1
2.646,3

20,0
2.969,3

886,3

2.930,0

3.875,7

4.355,9

4.576,6

3.407,3

3.758,3

3.794,4

3.914,4

620,0
266,3

2.406,8
523,2

3.381,3
494,4

3.817,4
538,5

4.017,4
559,2

2.829,8
577,5

2.949,7
808,6

2.985,8
808,6

3.105,8
808,6

2. Melalui Non-Kementerian Negara/Lembaga BA 999


i.
ii.
II.

Subsidi Untuk Air Bersih


Askes PNS (Belanja Pegawai)

Anggaran Kesehatan Melalui Transfer ke daerah


1. DAK Kesehatan
2. Dana Otonomi Khusus Kesehatan Papua dan Papua Barat

III.
IV.

TOTAL ANGGARAN KESEHATAN


Total Belanja Negara
RASIO ANGGARAN KESEHATAN TERHADAP TOTAL BELANJA NEGARA

12.746,0

22.508,0

24.522,6

24.408,0

27.819,1

31.583,6

42.307,7

46.104,5

55.946,8

517.517,6

699.099,2

752.373,3

989.493,7

937.382,0

1.056.510,3

1.294.999,2

1.481.674,2

1.683.011,1

3,0

3,3

3,1

2,5

3,2

3,3

2,5

3,0

3,3

4. Anggaran Tanggap Climate Change, dihitung melalui anggaran terkait dengan upaya mitigasi climate
change secara luas, termasuk antara lain di dalamnya anggaran untuk lingkungan hidup, pengelolaan
hutan, pembangunan energi terbarukan dan lain-lain, sebagai berikut:
i.

Anggaran beberapa program/kegiatan pada beberapa KL, dengan keyword: lingkungan, energi
terbarukan, konservasi, dan lain-lain.

ii. Anggaran non K/L, melalui anggaran terkait lingkungan, dan konservasi energi.

DIREKTORAT P-APBN

APPENDIKS

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Hipotesis Alokasi Anggaran Tanggap Perubahan Iklim/Climate Change


(miliar rupiah)
KOD
E BA

URAIAN

2005

2006

2007

2008

2009

2010

2011

2012

2013

5.950,1

10.054,1

10.679,8

11.389,6

13.878,8

15.848,4

34.624,1

39.363,6

52.038,3

2.442,0
88,1
218,2
435,2
353,5
1.916,0
65,4
212,0
-

4.311,3
151,7
252,3
680,3
680,4
2.830,0
104,6
277,5
50,3
-

3.812,3
749,6
203,4
493,6
551,5
3.682,0
117,4
340,1
25,9
-

3.941,1
910,1
178,5
391,9
597,2
4.105,4
0,6
138,3
338,9
32,0
1,7

3.449,9
870,4
260,7
652,3
839,9
6.509,0
0,8
134,1
298,4
49,8
3,9

72,4
50,4
70,3
-

104,3
39,8
141,3
33,7

123,2
52,7
107,3
72,7

131,3
67,5
130,6
86,0

4.329,0
2.167,5
356,5
1.625,7
688,3
4.996,5
1,2
84,0
320,0
28,4
2,4
461,4
182,3
91,0
344,9
169,3

6.430,0
5.995,9
1.505,3
3.627,7
1.072,5
12.026,2
542,1
485,1
881,6
617,2
347,7
1.092,8

7.665,4
6.235,2
1.047,7
3.494,7
906,2
16.430,7
487,2
620,2
907,1
238,8
283,2
1.047,1

8.190,6
11.736,7
1.640,2
4.923,9
1.151,8
20.344,7
699,0
566,8
1.070,4
455,1
449,8
809,3

1.418,2

3.773,1

3.706,9

4.060,2

2.665,1

4.751,0

DANA REBOISASI (GERHAN)


1.418,2
BIAYA SARANA DAN PRASARANA KONVERSI MINYAK TANAH KE LPG
TOTAL
7.368,3

3.773,1
-

3.706,9
-

1.864,0
2.196,2

307,5
2.357,6

4.751,0

13.827,2

14.386,7

15.449,8

16.543,9

20.599,4

34.624,1

39.363,6

52.038,3

KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA
018
020
024
029
032
033
035
042
043
079
080
075
081
082
083
103

KEMENTERIAN PERTANIAN
KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL
KEMENTERIAN KESEHATAN
KEMENTERIAN KEHUTANAN
KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN
KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM
KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG PEREKONOMIAN
KEMENTERIAN NEGARA RISET DAN TEKNOLOGI
KEMENTERIAN NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA
BADAN TENAGA NUKLIR NASIONAL
BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA
BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI
LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL
BADAN KOORDINASI SURVEY DAN PEMETAAN NASIONAL
BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN BENCANA
NON KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA

5. Anggaran Ketahanan Pangan, dihitung melalui anggaran dalam rangka menjaga ketahanan pangan
nasional secara luas, termasuk antara lain di dalamnya anggaran untuk mendukung kegiatan
pertanian (misal: irigasi), industri agro, menjaga ketersedian stok bahan pangan dan distribusi bahan
pokok, sebagai berikut:
i.

Total anggaran Kementerian Pertanian sebagai kementerian yang memiliki fungsi terkait
ketersedian pangan, serta anggaran pembangunan irigasi pada Kementerian Pekerjaan Umum.

ii.

Anggaran non K/L, melalui Anggaran subsidi di bidang pangan (subsidi pangan, benih, dan
pupuk) serta cadangan anggaran di bidang pangan pada belanja lain-lain.
Anggaran Ketahanan Pangan 2005-2013
(miliar rupiah)
2005

2006

2007

2008

2009

2010

2011

2012

2013

Realisasi

Realisasi

Realisasi

Realisasi

Realisasi

Realisasi

Realisasi

Real Smtr

APBN

I. Kementerian Negara/Lembaga
BA 023 Kementerian Pertanian
BA 033 Kementerian PU (Irigasi)

4.435,0
2.659,9
1.775,1

8.125,3
5.551,2
2.574,1
-

9.073,9
6.532,3
2.541,6
-

10.713,5
7.203,9
3.509,6
-

12.770,9
7.676,5
5.094,4
-

11.110,3
8.016,1
3.094,2
-

20.127,7
15.963,5
4.164,2
-

23.011,0
17.928,4
5.082,6
-

23.884,8
17.819,5
6.065,2
-

II. BA-BUN
1. Subsidi
a. Subsidi Pangan
b. Subsidi Pupuk
c. Subsidi Benih
d. Subsidi bunga kredit resi gudang
2. Belanja Lain-lain
a. Cadangan Beras Pemerintah
b. Cadangan Stabilisasi Pangan
c. Cadangan Benih Nasional
d. Cadangan Ketahanan Pangan

7.641,0
7.641,0
4.965,9
2.527,3
147,8
-

8.617,1
8.617,1
5.320,2
3.165,7
131,1
-

14.205,2
13.023,9
6.284,3
6.260,5
479,0
1.181,3
1.181,3
-

28.962,6
27.962,6
11.795,9
15.181,5
985,2
1.000,0
1.000,0
-

33.913,2
32.913,2
12.987,0
18.329,0
1.597,2
1.000,0
1.000,0
-

36.742,2
35.742,2
15.153,8
18.410,9
2.177,5
0,0
1.000,0
1.000,0
-

34.499,2
32.980,9
16.539,3
16.344,6
96,9
0,1
1.518,3
1.000,0
518,3
-

37.613,5
33.136,2
19.117,0
13.958,5
60,3
0,4
4.477,3
2.000,0
1.400,0
342,8
734,5

39.270,8
34.881,9
17.197,9
16.228,8
1.454,2
1,1
4.388,9
2.000,0
2.000,0
388,9
-

12.076,0

16.742,3

23.279,0

39.676,1

46.684,1

47.852,5

54.626,9

60.624,5

63.155,6

Uraian

Total

* Realisasi Cadangan stabilisasi harga pangan tahun 2012 sebesar Rp1.400,0 M pada Kementan
** Realisasi Cadangan ketahanan tahun 2012 sebesar Rp734,5 M pada Kementan dan Kemen KP

DIREKTORAT P-APBN

APPENDIKS

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

DAFTAR PUSTAKA
Republik Indonesia. Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945 amandemen ke empat
Republik Indonesia.1969. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1969 tentang Pensiun Pegawai
dan Pensiun Janda/Duda Pegawai.
Republik Indonesia.1974. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok
Kepegawaian
Republik Indonesia. 1985. Undang-undang Nomor 13 Tahun 1985 Tentang Bea Meterai
Republik Indonesia. 1997. Undang-undang nomor 20 tahun 1997 tentang Penerimaan Negara
Bukan Pajak
Republik Indonesia. 2001. Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus
Bagi Provinsi Papua
Republik Indonesia. 2003. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
undang-undang
Nomor
27
Tahun
2009
tentang
Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia. 2003. Undang-Undang No.19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik
Negara
Republik Indonesia. 2003. Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional
Republik Indonesia. 2004. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan
Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara
Republik Indonesia. 2004. Undang-Undang nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan
Nasional
membagi
dokumen
perencanaan
pembangunan nasional
Republik Indonesia. 2004. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan
Republik Indonesia. 2004. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan
Sosial Nasional
Republik Indonesia.2006. Undang-undang nomor 17 tahun 2006 perubahan atas Undang undang
nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan
Republik Indonesia. 2006. Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
Republik Indonesia. 2004. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah Republik Indonesia. Undang-undang
Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2008
tentang Perubahan atas UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi
Khusus bagi Provinsi Papua menjadi undang-undang

Republik Indonesia. 2007. Undang - undang nomor 39 tahun 2007 Perubahan atas Undang
Undang nomor 11 tahun 1995 tentang cukai

DIREKTORAT P-APBN

DAFTAR PUSTAKA

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Republik Indonesia.2008. Undang-undang Nomor 36 tahun 2008 tentang Perubahan keempat atas
undang-undang nomor 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan
Republik Indonesia. 2009. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 Tentang
Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983
Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan
Republik Indonesia. 2009. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 Tentang
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Majelis
Dewan

Republik Indonesia. 2009. Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Bumi dan
Bangunan
Republik Indonesia. 2009. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 42 tahun 2009 Tentang
Perubahan ketiga atas undang-undang nomor 8 tahun 1983
Tentang pajak pertambahan nilai barang dan jasa Dan pajak Penjualan
Atas Barang Mewah
Republik Indonesia. 2011. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial
Republik Indonesia. 2011. Undang-undang Nomor 22 tahun 2011 tentang APBN tahun
anggaran 2012
Mahkamah Konstitusi. 2008. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 013/PUU-VI/2008.
DPR RI. 2009. Peraturan DPR RI nomor 1/DPR RI/2009-2010 tentang Tata Tertib DPR RI.
Republik Indonesia. 1997. Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 1997 tentang Jenis dan
Penyetoran PNBP
Republik Indonesia. 2003. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2003 tentang Tarif atas
jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada
Departemen Keuangan
Republik Indonesia. 2004. Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2004 tentang Tata Cara
Penyampaian Rencana dan Laporan Realisasi PNBP
Republik Indonesia. 2004. Peraturan Pemerintah nomor 20 tahun 2004 tentang Rencana Kerja
Pemerintah
Republik Indonesia. 2005. Peraturan Presiden No 7 tahun 2005 tentang RPJM Nasional 20042009
Republik Indonesia. 2005. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 44 tahun 2005 tentang
tata cara penyertaan dan penatausahaan modal Negara pada badan usaha milik negara dan
Perseroan terbatas
Republik Indonesia. 2005. Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan
Keuangan Badan Layanan Umum

DIREKTORAT P-APBN

DAFTAR PUSTAKA

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Republik Indonesia. 2005. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana
Perimbangan

Republik Indonesia. 2006. Peraturan Pemerintah 2 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengadaan
Pinjaman dan atau Penerimaan Hibah serta Penerusan Pinjaman
dan/atau Hibah Luar Negeri.
Republik Indonesia. 2006. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 tahun 2006 Tentang
Pengelolaan barang milik negara/daerah
Republik Indonesia. 2008. Peraturan Presiden No.54 Tahun 2008 Tata cara pengadaan dan
penerusan Pinjaman dalam negeri oleh pemerintah
Republik Indonesia. 2009.Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 2009 tentang Tata Cara
Penentuan Jumlah, Pembayaran, dan Penyetoran PNBP
yang Terutang
Republik Indonesia. 2010. Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2010 tentang Pengajuan dan
Penyelesaian Keberatan atas Penetapan PNBP yang Terutang
Republik Indonesia. 2010. Peraturan Pemerintah nomor 90 tahun 2010 tentang Penyusunan
Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga
sebagai pengganti PP nomor 21 tahun 2004
Republik Indonesia. 2011. Peraturan Pemerintah No 10 Tahun 2011 tentang Tata Cara
Pengadaan Pinjaman Luar Negeri dan Penerimaan Hibah
Republik Indonesia. 2010. Peraturan presiden No. 5 Tahun 2010 tentang RPJMN Tahun 2010
2014
Republik Indonesia. 2011. Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2011 tentang Dana Perwalian

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 52 Tahun 2006 tentang tata cara pemberian hibah kepada
Daerah
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 32/PMK.06/2006 tentang pengelolaan kekayaan negara yang
berasal dari badan penyehatan perbankan nasional oleh PT perusahaan pengelola aset (persero)
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 40 Tahun 2009 tentang Sistem Akuntansi Hibah
Peraturan Menteri Keuangan No. 184/PMK.01/2010 tentang Organisasi Dan Tata Kerja
Kementerian Keuangan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 238/PMK.05/2010 tentang Tata Cara Penyediaan,
Pencairan, Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Endowment Fund dan Dana Cadangan
Pendidikan

DIREKTORAT P-APBN

DAFTAR PUSTAKA

DASAR-DASAR PRAKTEK PENYUSUNAN APBN DI INDONESIA

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 151 Tahun 2011 tentang Tata Cara Penarikan Pinjaman
dan/atau Hibah Luar Negeri
Peraturan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Badan Perencanaan
Pembangunan nasional Nomor 5 Tahun 2006 tentang Tata Cara Perencanaan dan Pengajuan
Usulan serta Penilaian Kegiatan yang Dibiayai dari Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri
Republik Indonesia. Rencana Kerja Pemerintah (beberapa tahun)
Republik Indonesia. Nota Keuangan dan Anggaran Belanja Negara (beberapa tahun)
Pemerintah Hindia-Belanda. Indische Comptabiliteit Wet (ICW) tahun 1867
Adam Smith, An Inquary into the Nature and Causes of the Wealth of Nations, London: W. Strahan
and T. Cadell, 1776
Adolf Wagner C. Goedhart, Garis-Garis Besar Ilmu Keuangan Negara, Jakarta: Djambatan, 1973
Langen, W.J, Asas-asas Pemungutan Pajak, Jakarta: Djambatan, 1975
International Monetary Fund, Government Finance Statistic manual 2001, New York: IMF, 2001
Badan Analisa Fiskal. Bunga Rampai Kebijakan Fiskal. Jakarta: Departemen Keuangan RI, 2002
Direktorat Penyusunan APBN, Buku Manual Penerimaan Perpajakan, Jakarta: Direktorat Jenderal
Anggaran: 2011
Direktorat Penyusunan APBN, Buku Manual Penerimaan Negara Bukan Pajak, Jakarta: Direktorat
Jenderal Anggaran: 2011

DIREKTORAT P-APBN

DAFTAR PUSTAKA

You might also like