You are on page 1of 17

Partisipasi Anak Dalam Pendidikan

Partisipasi anak memerlukan dorongan dan upaya untuk memampukan mereka dalam
menyatakan pandangannya terhadap masalah-masalah yang mempengaruhi kehidupan
mereka. Dalam praktek, partisipasi memiliki makna bahwa orang dewasa mendengar apa
yang diinginkan anak melalui cara komunikasi yang sangat beragam, menjamin
kebebasan mereka untuk mengekspresikan diri dan mempertim¬bangkan pandangan
mereka ketika harus mengambil keputusan mengenai hal-hal yang mempengaruhi
kehidupan mereka.

Anak yang dimoti¬vasi sejak dini untuk berpartisipasi aktif dalam dunia ini akan menjadi
seorang anak yang memiliki kompetensi untuk tumbuh pada awal masa kanak-kanaknya,
yang tanggap terhadap kesempatan untuk mendapatkan pendidikan dan berkembang
menuju masa remaja dengan penuh keyakinan dan mampu menyumbang pada wacana
demokrasi dan menerapkannya di rumah, lingkungan sekolah, masyarakat dan Negara.

Keterlibatan anak dalam setiap aktivitas walaupun tanpa disadari si anak, merupakan
partisipasi yang paling rendah dalam tingkatan partisipasi. Namun adapula anak yang
memahami bahwa dirinya berpartisipasi dalam aktivitas yang ada, walaupun pada
tingkatan ini anak diarahkan oleh orang dewasa. Tingkatan partisipasi yang paling tinggi
adalah anak yang memiliki inisiatif dan mengatur aktivitas berkolaborasi dengan orang
dewasa.

Prinsip bahwa anak harus diajak berunding mengenai hal-hal yang mempengaruhi hidup
mereka seringkali ditentang oleh mereka yang melihat prinsip itu sebagai tindakan yang
dapat mengurangi pengaruh dan wibawa orang dewasa dalam keluarga, sekolah dan
masyarakat.

Tulisan ini diilhami ketika penulis secara tidak sengaja “menyadap” obrolan para ortu
murid sambil menjemput anaknya. Sebagian mengeluhkan anaknya yang tidak masuk
ranking atas, sebagian mengeluhkan anaknya yang sering mendapat nilai jelek pada mata
pelajaran Bahasa Indonesia, IPS dan PPKn, yang menurut si anak jawabannya benar,
tetapi salah menurut guru, sehingga anak menjadi bingung. Mereka akhirnya sampai pada
kata sepakat: mengikutkan anaknya les mata pelajaran kepada gurunya dengan harapan
mulia, dapat nilai bagus. Alhasil, mujarab! Ada pula cerita orangtua murid yang
“memprotes” guru karena sang guru dinilai kurang memperhatikan murid, sering
meninggalkan kelas karena sibuk dengan kantin sekolah, ujung-ujungnya nilai si anak
yang menjadi korban. Yang seperti ini memilih tinggal diam dan menyuruh anaknya
melakukan aksi diam di sekolah, daripada kualat. Dan si anak pun, yang sebetulnya ingin
tampil sebagaimana anak sekolah yang punya kreasi dan daya cipta, menjadi malas dan
nervous. Dia merasa buka siapa-siapa dan seolah asing dengan diri dan lingkungannya.
Pendapatnya tidak dihargai, eksistensinya terganggu.
Dalam kasus ini pendapat anak tidak mendapat tempat yang selayaknya dalam proses
belajar. Anak yang notabene telah berpartisipasi dan menempatkan diri pada inner-circle
proses belajar, terpaksa harus diposisikan di luar circle. Terlepas dari kemungkinan si
anak akan mengalami sedikit stress dan dapat memicu krisis percaya diri, masalah ini,
dalam studi pemberdayaan anak, terdapat apa yang disebut sebagai partisipasi anak. Yang
ternyata, tidak hanya dalam kasus diatas yang terjadi di wilayah penulis, tetapi memang
sudah “lazim” terjadi di beberapa daerah dengan corak budaya paternalistik. Tulisan ini
berupaya menunjukkan peranan partisipasi (anak) pada pendidikan, dalam arti luas,
pendidikan di lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Anak, dalam tulisan ini,
adalah manusia yang berusia sebelum 18 tahun (sesuai Pasal 1 Konvensi Hak Anak).

Partisipasi anak merupakan salah satu bentuk hak anak, khususnya dalam hal hak untuk
didengar suaranya dan berperanserta (berada dalam inner-circle suatu hal). Selama ini,
partisipasi anak belum banyak mendapat tempat dan terkesan masih kurang diperhatikan.
Hal ini terjadi antara lain karena budaya yang ada pada sebagian besar masyarakat
Indonesia kurang berpihak pada anak. Dalam budaya kita, anak berada pada “strata” yang
paling rendah, setelah orang tua, orang dewasa dan remaja. Anak harus selalu berada
dalam posisi patuh pada orang yang lebih tua. Dalam strata yang demikian sangat tidak
memberi tempat bagi anak untuk menyatakan pendapatnya, lebih-lebih pendapat yang
bertentangan (tidak sama) dengan orang tua, karena hal itu akan dianggap sebagai bentuk
pembangkangan, nglamak, setingkat lebih rendah dari durhaka. Lebih lanjut, si anak yang
nglamak akan kualat tanpa syarat, karena dekat dengan perbuatan durhaka. Penulis rasa
tidak akan ada anak di muka bumi-budaya ini yang sudi disebut sebagai ‘anak durhaka’,
yang bakal kualat seperti Malin Kundang atau menjadi jambu mente. Dalam konstruksi
budaya semacam ini, komunikasi yang terbangun antara anak dan orang (yang lebih) tua
berpola hubungan kekuasaan, tidak setara, yang “kuat”-lah yang (harus) menang dan
benar. Anak berada pada posisi yang sangat lemah, termarginalkan, “terkalahkan”.
Budaya pemosisian anak semacam ini hanya akan melahirkan kualitas manusia yang
berjiwa dan berpemikiran kerdil, kurang cakap, kurang bertanggungjawab, dsb.
Ironisnya, di sisi lain, lidah masyarakat (dewasa) kita sangat lancar dengan, dan merestui
jargon-jargon laiknya kampanye caleg dan capres, bahwa “anak adalah tunas bangsa,
calon pemimpin masa depan”, dan sebagainya predikat muluk-muluk yang dipikulkan
pada pundak anak-anak yang justru kurang diberikan ruang yang memadai untuk
bertumbuhkembang. Tentu saja, untuk dapat mampu memikul tanggung jawab tersebut
dimasa mendatang, maka anak perlu mendapat ruang/ kesempatan yang seluas-luasnya
untuk tumbuh dan berkembang secara optimal baik fisik, mental maupun social. Dan,
ruang tersebut adalah, partisipasi! Partisipasi, melalui pola komunikasi setara dan sehat
antara anak dengan orang tua/ dewasa dapat diartikan sebagai wujud “sayang kepada
yang lebih muda” dan “hormat pada yang lebih tua”. Agama dan keyakinan apapun pasti
mengajarkan sikap tersebut. Entah mengapa, ajaran sikap tersebut tidak nyambung
dengan sikap budaya komunal masyarakat kita yang cenderung “subordinatif” dan
“eksploitatif” oleh golongan tua (orang tua/ dewasa) kepada golongan muda (anak).

Undang Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, khususnya pasal 10,
menyebutkan bahwa setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya,
menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan
usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.
Hal ini juga sejalan dengan Convention on the Rights of the Child (Konvensi Hak Anak,
KHA), yang meliputi non diskriminasi, kepentingan yang terbaik bagi anak (the best
interest of the child), hak untuk hidup, kelangsungan hidup, perkembangan dan
penghargaan terhadap pendapat anak. Penghargaan terhadap pendapat anak ini
mempunyai arti yang sangat luas, yang merupakan bagian dari partisipasi anak. Setiap
pandangan atau pendapat anak, terutama pendapat yang mempengaruhi kehi¬dup¬annya,
perlu mendapatkan perhatian dalam setiap pengambilan keputusan.

Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa telah berjanji untuk membangun suatu dunia
yang layak bagi anak, yang pada penutupan UN Special Session on Children pada bulan
Mei tahun 2002, para pemimpin dunia itu mendeklarasikan tanggung jawabnya untuk
mengubah dunia tidak hanya bagi anak-anak, tapi juga dengan partisipasi anak. Sebuah
janji besar untuk anak-anak dunia, tinggal menunggu realisasi di masing-masing negara.

Negara akan menjamin anak yang mempunyai pandangan sendiri akan memperoleh hak
untuk menyatakan pandangannya secara bebas dalam semua hal yang mempengaruhi
anak; dan pandangan tersebut dihargai sesuai dengan tingkat usia dan kematangan anak.
Upaya mempromosikan partisipasi anak yang penuh makna, ceria dan berkualitas sangat
penting dalam menjamin tumbuh-kembang mereka. Anak yang dimoti¬vasi sejak dini
untuk berpartisipasi aktif dalam dunia ini akan menjadi seorang anak yang memiliki
kompetensi untuk tumbuh pada awal masa kanak-kanaknya, yang tanggap terhadap
kesempatan untuk mendapatkan pendidikan dan berkembang menuju masa remaja
dengan penuh keyakinan dan mampu menyumbang pada wacana demokrasi dan
menerapkannya di rumah, lingkungan sekolah, masyarakat dan Negara. Dorongan untuk
berpartisipasi adalah bawaan lahir setiap manusia, siap untuk dikembangkan sejak
seorang bayi baru dilahirkan. Karenanya, pengingkaran/ penolakan terhadap partisipasi
anak ini merupakan tindakan yang kontra-produktif dan melawan hukum kodrati
(sunnatullah).

Untuk mencapai adanya suatu kemitraan sejajar dan anak akan memberikan
pandangannya merupakan suatu proses yang memerlukan pemahaman dan komitmen
bersama antara anak-anak, orang tua, keluarga, masyarakat dan organisasi pemeduli anak.
Tatkala anak-anak tumbuh dan berkembang maka peluang mereka untuk berpartisipasi
berkembang pula mulai dari hal-hal yang bersifat pribadi menjadi yang bersifat umum
sehingga meluas menjadi mendunia. Partisipasi anak adalah keikutsertaan dan peranserta
anak dalam keluarga, masyarakat, bangsa dan bernegara sesuai dengan tingkat usia dan
kemampuan anak.

Peran Orangtua, Wali dan Pengasuh

Pada kenyataannya masih banyak orangtua, wali, pengasuh yang kurang mendapat
informasi tentang pentingnya partisipasi dalam berbagai aspek kehidupan yang dimulai
dari dalam keluarga. Banyak hal yang mempengaruhi kurangnya pemahaman orangtua,
wali, pengasuh terhadap partisipasi anak, yaitu sikap, budaya, ekonomi, system politik
dan demokrasi. Juga kondisi krisis yang mengakibatkan 37 juta dari 205 juta penduduk
Indonesia hidup dibawah garis kemiskinan (UNICEF, 2000). Orang tua memandang anak
adalah sebagai asset dan hak milik, sehingga anak berada pada posisi sebagai objek.
Akibat kemiskinan, terlebih pada masa krisis dan setelahnya, banyak orangtua dari
keluarga miskin yang terpaksa harus mendayagunakan asset dan hak miliknya tersebut
(baca: anak) untuk meringankan beban ekonomi keluarga, sehingga memunculkan
fenomena pekerja anak, anak jalanan, anak yang dieksploitasi baik ekonomi maupun
seksual komersial, dan bentuk-bentuk eksploitatif lainnya. Ternyata memang ampuh.
Banyak bukti menunjukkan bahwa dari sector anak ini mampu memberikan kontribusi
yang signifikan bagi kelangsungan hidup keluarga miskin. Diperkirakan sumbangan hasil
kerja anak terhadap total pengeluaran keluarga mencapai hingga 40%, bahkan lebih
(Asra,1993). Studi yang dilakukan Bagong Suyanto dkk (2000) di Jawa Timur
menunjukkan bahwa tingkat eksploitasi ekonomi terhadap anak pada masyarakat Jawa
Timur relative tinggi, berturut-turut Kabupaten Sampang (30,57%), Pacitan (29,85%),
Trenggalek (17,91%), Tuban (16,30%), Probolinggo (13,92%), Bondowoso (13,35%),
Nganjuk (12,73%). Selanjutnya Bagong menengarai, bahwa (meski harus dikaji lebih
lanjut) daerah yang mempunyai pekerja anak dominant, maka di daerah itu pula rawan
problema anak tidak naik kelas atau putus sekolah. Di situ pulalah berkembang subur
kecenderungan subordinasi total orang tua terhadap anak, bahkan mengarah kepada hal-
hal yang lebih buruk: eksploitasi dan kekerasan terhadap anak. System budaya juga
memandang anak secara hierarkis dalam hubungannya dengan orang tua. Anak dianggap
belum matang, sehingga semua urusan menjadi urusan orang tua. Anak harus mengikuti
kemauan orang tua, dan pendapat orang tua dan guru adalah yang paling benar. The
know-nothing (anak) must be under the know-everything (orang tua/ dewasa).

Keterlibatan orang tua dalam mengantarkan anaknya untuk memahami eksistensinya


guna menumbuh¬kan partisipasi anak, dilakukan melalui berbagai bentuk pola
pengasuhan dan pendidikan. Pada dasarnya, hak anak adalah untuk tidak dipisahkan dari
pengasuhan kedua orangtuanya, namun kenyataan anak terlantar sejak krisis ekonomi
nasional tahun 1997 dari 3 juta meningkat sampai 6 juta anak (BKSN, 2000). GNP
keluarga di Indonesia tahun 2000 tercatat 610 USD (Ginanjar, 2001). Sumber utama dari
masalah ini adalah kemiskinan keluarga yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar
anak, utamanya pemenuhan pendidikan dan gizi. Anak-anak yang hidup terlantar di
tengah keluarga miskin, rawan penyalah¬gunaan anak untuk tujuan eksploitasi seksual,
eksploitasi ekonomi, pelibatan pada pekerjaan yang berbahaya, peredaran narkoba,
kegiatan pornografi-pornoaksi, dll. Mampukah dana kompensasi pengurangan subsidi
BBM menjawab masalah ini? Mampukah program pembangunan kita menjawab masalah
ini, sehingga masalah anak dan pendidikan anak tidak lagi kait-mengkait dengan masalah
kemiskinan? Mampukah system pendidikan dan persekolahan kita mendorong partisipasi
anak?

Pendidikan

Partisipasi pendidikan anak mulai dari anak usia dini (0-6 tahun) telah ada walaupun
masih belum memadai. Data laporan UNICEF tentang Situasi Anak dan Perempuan
tahun 2000 mencatat hanya 20% anak yang mengikuti pendidikan prasekolah dan
terdapat 10-30% anak mengalami hambatan perkembangan verbal, mental, dan
psikomotorik. Rendahnya kualitas anak usia dini ini antara lain dipengaruhi oleh
rendahnya mutu pendidikan dan pengetahuan keluarga dalam menstimulasi
perkembangan anak.
Hasil penilaian dari Karin Vilien (konsultan Pendidikan Anak Usia Dini dari Denmark)
menunjukkan bahwa kurikulum di Indonesia telah mengembangkan tema-tema yang
sesuai dengan anak, walaupun terkesan memfokuskan pada pencapaian setiap langkah
dalam pembelajaran dan pembelajaran di Taman Kanak-Kanak lebih bersifat akademik,
dimana anak-anak lebih banyak duduk di bangku seperti di sekolah. Jarang diberikan
kesempatan kepada anak untuk bereksplorasi dan melakukan sendiri apa yang mereka
minati. Kurang diberikan kesempatan pada anak untuk berpikir (children must learn how
to think) dan mengekspresikan perasaannya dan menemukan pemecahan masalah sendiri.

Dari angka partisipasi sekolah dapat dilihat seberapa banyak penduduk usia sekolah yang
sudah dapat memanfaatkan fasilitas pendidikan yang ada. Angka ini merupakan salah
satu alat ukur untuk mengetahui tingkat partisipasi pada bidang pendidikan.
Meningkatnya angka partisipasi sekolah berarti menunjukkan adanya keberhasilan di
bidang pendidikan, utamanya yang berkaitan dengan upaya memperluas jangkauan
pelayanan pendidikan.

Angka partisipasi anak usia sekolah dapat dibagi dalam tiga kelompok umur yaitu
kelompok umur 7-12 tahun, 13-15 tahun dan 16-18 tahun. Secara umum berdasarkan data
Susenas 2001, bahwa tingkat partisipasi sekolah anak-anak di daerah perkotaan lebih
tinggi dibandingkan dengan anak-anak yang tinggal di daerah perdesaan. Bila dibedakan
menurut jenis kelamin, tampak bahwa angka partisipasi sekolah anak perempuan lebih
tinggi dibandingkan anak laki-laki pada setiap kelompok umur. Pada tahun 2001 angka
partisipasi sekolah anak-anak usia 7-12 tahun sudah mencapai 95,61%, dengan angka
partisipasi sekolah anak perempuan pada kelompok umur yang sama sudah mencapai
96,03% sedangkan anak laki-laki baru mencapai 95,22%.

Pada kelompok umur 7-12 tahun angka partisipasi sekolah mengalami kenaikan,
sebaliknya pada kelompok umur 13-15 tahun dan 16-18 tahun, justru mengalami
penurunan. Angka partisipasi sekolah anak-anak umur 13-15 tahun pada tahun 2001
mencapai 79,56%. Dimana secara nasional angka partisipasi anak perempuan sudah
mencapai 80,25% lebih tinggi dibandingkan anak laki-laki yaitu hanya mencapai 78,91%.
Semakin tinggi kelompok umur anak maka tingkat partisipasi sekolah makin menurun.
Secara umum angka partisipasi sekolah anak-anak umur 16-18 tahun pada tahun 2001
baru mencapai 52,15%. Berdasarkan tempat tinggal, angka partisipasi sekolah anak-anak
umur 16-18 tahun yang tinggal di daerah perkotaan lebih tinggi dibandingkan di daerah
perdesaan, yakni di daerah perkotaan sudah mencapai 65% lebih, sedangkan di daerah
perdesaan kurang dari 40%. Dengan adanya program wajib belajar bagi anak usia 7-12
tahun dilanjutkan pada usia 13-15 tahun diharapkan anak dapat mengenyam pendidikan,
untuk itu dapat diukur dengan Angka Partisipasi Murni (APM). APM di tingkat SD
mencapai 92,9%, tingkat SLTP 60,5% dan SM 37,1%. Melihat APM tersebut sebenarnya
sudah cukup tinggi, tetapi tiap tahun terdapat anak putus sekolah, SD 1,16%, SLTP
6,13%, SM 10,46%. Angka mengulang di tingkat SD 5,88%, di tingkat SLTP 0,31% di
tingkat SM 0,33%. Data Susenas ini sekedar sebagai pembanding bagi pemikiran untuk
pendidikan dan bagi decision-maker pendidikan tingkat lokal.

Sarana partisipasi anak telah ada yaitu melalui institusi seperti OSIS, Pramuka, Sanggar
Teater, dsb. Bahkan banyak terdapat organisasi ekstra sekolah yang dapat menyalurkan
aspirasi dan partipasi siswa. Berbagai bidang kegiatan dapat dilaksanakan oleh siswa
dalam organisasi-organisasi tersebut sesuai bakat dan minat siswa. Hanya saja masih
banyak anak/ siswa (dan dengan dukungan orangtua) yang lebih meminati les mata
pelajaran ketimbang ikut teater, karena pertimbangan pragmatis, dapat mendongkrak
nilai, dan dapat rangking atas. Ikut teater tidak nambahi nilai, emangnya mau ikut
sinetron?

Konsep Peningkatan Partisipasi Anak

Isu krusial yang harus dipahami dengan benar dalam studi partisipasi anak ini adalah
pengikutsertaan/ pemeransertaan anak secara sadar bagi kepentingan (pengembangan)
diri si anak, bukan bagi kepentingan orang tua/ dewasa. Penghargaan terhadap pendapat
dan hasil kegiatan anak merupakan penghormatan atas hak-hak anak. Anak memiliki hak
untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, baik untuk dirinya sendiri maupun
untuk luar dirinya, keluarga, lingkungan berbangsa dan bernegara.

Dalam meningkatkan partisipasi anak, pemahaman anak terhadap partisipasi tersebut


sangat diperlukan, sejauh mana anak memahami partisipasinya dalam setiap aktivitas,
mengingat bahwa anak yang terlibat dalam suatu aktivitas pada umumnya kurang
menyadari bahwa dirinya telah berpartisipasi dalam kegiatan tersebut. Kondisi seperti ini
merupakan partisipasi yang paling rendah dalam tingkatan partisipasi. Namun adapula
dari anak yang memahami bahwa dirinya berpartisipasi dalam aktifitas yang ada,
walaupun tingkatan ini anak diarahkan oleh orang dewasa. Tingkatan partisipasi yang
paling tinggi adalah anak yang memiliki inisiatif dan mengatur aktivitas berkolaborasi
dengan orang dewasa.

Hak partisipasi dan kebebasan menyatakan pendapat tidak sama dengan self
determination (sikap pribadi). Namun setiap pendapat anak adalah realitas yang harus
dihargai dan dipertimbangkan menurut apa yang terbaik bagi anak, dan anak bisa saja
memiliki persepsi yang berbeda dari orang dewasa mengenai berbagai masalah.
Partisipasi anak bersifat sukarela. Anak tidak boleh dipapar pada hal-hal yang berisiko
dan seleksi anak yang akan berpartisipasi harus mempertimbang¬kan aspek
keseimbangan usia, gender, social ekonomi dan politik. Partisipasi anak merupakan
proses yang bertahap dan berkesinambungan (gradual) dalam kehidupan anak dan
mengarusutamakannya dalam berbagai bidang kehidupan.

Partisipasi dapat bermanfaat bagi anak itu sendiri juga bagi lingkungannya, hal ini lebih
banyak berhubungan dengan kemampuan pribadi dalam mewujudkan rasa, karsa dan
karyanya melalui apresiasi, kreativitas dan membangkitkan potensi dirinya. Seperti yang
disebutkan oleh Conny Setiawan (1997) bahwa anak memiliki berbagai potensi dan
perbedaan karakteristik yang memerlukan latihan sehingga anak tersebut dapat
memunculkan bakat dan kreativitasnya. Hal ini sesuai dengan maksud UU No. 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 9 ayat 1, bahwa setiap anak berhak memperoleh
pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat
kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya.
Bentuk-bentuk Partisipasi: Catatan Bagi Para Ortu dan Guru

Bentuk partisipasi anak berbeda-beda pada setiap tahapan kehidupannya. Mendorong


anak untuk berpartisipasi memerlukan kemampuan untuk mendengar bukan hanya
terhadap anak yang tertua, terpintar dan terpandai mengutarakan pikirannya, melainkan
mendengarkan suara anak dalam semua usia dengan berbagai kemampuannya. Patut
diingat, tidak ada anak-anak yang bodoh. Masing-masing mempunyai kemampuan/
kecerdasan yang berbeda-beda (khas) satu sama lain (Gardner, Multiple Intelligences).
Anak-anak berpartisipasi dalam kehidupan sejak awal kehidupannya dan kemampuannya
untuk menyatakan kebutuhan dan keprihatinannya, angan-angan dan aspirasinya,
perubahan usia, pertumbuhan yang semakin kompleks dari masa kanak-kanak menuju
kedewasaan. Walaupun partisipasi anak kecil berbeda secara dramatis dari anak remaja,
tetapi ada rangkaian kontinum dari kemampuan yang terus berkembang dan dapat
ditelusuri ke masa awal dimana seorang bayi mulai bereaksi hingga tindakan-tindakan
politis seorang remaja.

1. Partisipasi anak dalam keluarga

Dalam meningkatkan partisipasi anak, orangtua memegang peranan penting karena


kedudukan dan peran strategis keluarga sebagai lembaga pendidikan dan sosial yang
pertama dan utama. Keluarga menjadi core dari upaya peletakan dasar dan awal bagi
tumbuhnya kepekaan, kepedulian serta kemampuan anak dalam berpartisipasi di segala
bidang kehidupan, baik dalam masa perkembangannya maupun masa yang akan datang.
Keluarga seharusnya menjadi lembaga awal untuk terbukanya peluang (kesempatan)
anak-anak berpartisipasi dalam berbagai kebijakan yang diambil atau diterapkan
keluarga. Melalui pemberian kesempatan ini diharapkan akan membuka niat (motivasi),
keinginan dan kemampuan anak untuk terbiasa berpartisipasi dalam kehidupan yang lebih
luas di sekolah, masyarakat, bangsa dan Negara (Irwanto, 2001).

Keluarga sebagai fondasi utama dalam pengasuhan, perawatan, dan pendidikan anak
(pembentukan karakter anak, manusia) sangatlah penting. Ketika ibu mengandung,
kemudian melahirkan anak, anak sudah mulai melihat dunia ini secara global. Anak
sudah dibekali kemampuan fisik dan psikis sejak dini. Kemampuan dalam diri anak itu
perlu dikembangkan. Untuk mengembangkannya anak membutuhkan lingkungan yang
dapat memberi stimulasi pada semua aspek perkembangannya. Lingkungan yang
dimaksud adalah lingkungan fisik dan lingkungan social. Orang-orang yang berada dalam
sebuah keluarga termasuk dalam lingkungan social. Interaksi yang terjadi di dalam
keluarga menjadi suatu pergaulan yang dapat mendidik atau tidak mendidik bagi anak.
Sesuai dengan pendapat Langeveld bahwa segala pergaulan merupakan alat pendidikan.
Jadi pergaulan di dalam keluarga merupakan hal yang sangat berpengaruh bagi
pertumbuhan dan perkembangan anak selanjutnya. Lingkungan fisik menyangkut
fasilitas, sarana/ prasarana, sandang, pangan dan papan yang disediakan orang tua. Ini
juga menjadi kebutuhan dasar bagi anak dalam pertumbuhan dan perkembangannya.

Jika anak mengalami masalah sandang, pangan dan papan, pengasuhan, perawatan, dan
pendidikan secara terus menerus karena kondisi social, budaya, politik, ekonomi,
pertahanan dan keamanan orangtua, maka anak terus diliputi oleh penderitaan secara lahir
dan batin. Anak akan merasa dikecam oleh situasi yang tidak menentu karena anak tidak
merasa aman atau tidak dilindungi secara khusus. Anak sebagai makhluk social
membutuhkan aktualisasi diri sebagaimana teori Abraham Maslow tentang kebutuhan
manusia, yaitu kebutuhan fisiologis, rasa aman, perasaan ingin diterima, perasaan ingin
dicintai, dan aktualisasi diri. Keberadaan anak hendaknya menjadi focus utama dalam
pembahasan bangsa-bangsa di dunia ini agar peradaban yang baik akan terus
berlangsung. Sayangnya, pembahasan-pembahasan negara-bangsa dalam studi Hubungan
Internasional sampai satu dasawarsa terakhir ini, masih belum memperhatikan dan
menempatkan anak-anak (dan pendidikan) pada porsi yang memadai. Studi Hubungan
Internasional masih memfokuskan masalah-masalah yang termasuk dalam kategori high
politics, yakni masalah-masalah politik dan keamanan, ketertiban dunia. Sedangkan isu
anak-anak dan pendidikan masih tergolong low politics, belum mendapatkan prioritas
perhatian (Kuswandoro, Politik Antar Bangsa dan Masalah Anak dalam Studi Hubungan
Internasional, 2002, artikel).

Pemahaman orangtua terhadap kebutuhan per¬tumbuhan dan perkembangan anak sangat


menentukan masa depan anak. Hendaknya orang tua mampu memacu pertumbuhan dan
perkembangan anak agar dapat menjadi generasi penerus bangsa yang dapat diandalkan.
Dari pemahamannya, orangtua hendaknya juga menyediakan dan melaksanakan segala
sesuatu yang dibutuhkan anak. Jika kebutuhan fisik dan psikisnya dapat terpenuhi, maka
anak akan dapat mengembangkan seluruh potensinya. Kemampuannya itu dapat
digunakan untuk kemajuan dan kesejahteraan umat manusia di dunia.

Partisipasi anak memerlukan dorongan dan upaya untuk memampukan mereka dalam
menyatakan pandangannya terhadap masalah-masalah yang mempengaruhi kehidupan
mereka. Dalam praktek, partisipasi memiliki makna bahwa orang dewasa mendengar apa
yang diinginkan anak melalui cara komunikasi yang sangat beragam, menjamin
kebebasan mereka untuk mengekspresikan diri dan mempertim¬bangkan pandangan
mereka ketika harus mengambil keputusan mengenai hal-hal yang mempengaruhi
kehidupan mereka. Partisipasi berhubungan langsung dengan persoalan harga diri; ia
adalah software yang akan menggerakkan keseluruhan cipta, rasa dan karsa anak, yang
akan mempengaruhi seluruh kehidupannya. Anak yang terganggu kebutuhan
partisipasinya, akan merasa tidak berguna, yang akan mempengaruhi keseluruhan
processing-system di dalam dirinya. Menilik sangat vitalnya peran kebutuhan partisipasi
terhadap perkembangan anak hingga dewasa, kalangan LSM pemerhati anak sangat giat
melakukan advokasi dan penyadaran public, sebanding dengan advokasi sadar gizi dan
perlindungan terhadap eksploitasi dan kekerasan. Sehingga Forum Anak Jawa Timur dan
Kongres Anak Indonesia (KAI) 2001 –-yang juga difasilitasi oleh anak— yang didukung
LSM nasional dan internasional, Komnas Perlindungan Anak, UNICEF, PLAN
International, World Vision, Save The Children, dll mengusung tema nasional “Dengar
Suara Kami”. Bahkan isu partisipasi anak yang dikawal PLAN Internasional, dengan
program-program Forum Anak, Dewan Anak, Parlemen Anak, telah mengantarkan anak
mampu berkolaborasi dan berkedudukan sejajar dengan orang dewasa serta
memperjuangkan kepentingannya (WAHANA, arsip kegiatan KAI, 2001).
Prinsip bahwa anak harus diajak berunding mengenai hal-hal yang mempengaruhi hidup
mereka seringkali ditentang oleh mereka yang melihat prinsip itu sebagai tindakan yang
dapat mengurangi pengaruh dan wibawa orang dewasa dalam keluarga, sekolah dan
masyarakat. Tetapi, mendengar pendapat anak tidak lalu berarti mendukung semua
pandangan mereka. Makna sesungguhnya adalah mengajak mereka untuk berdialog dan
bertukar pendapat serta memberi mereka kesempatan untuk belajar mempengaruhi dunia
di sekitar mereka secara konstruktif. Dalam hal ini diharapkan orangtua, wali hukum dan
pengasuh lain memiliki peran dan tanggungjawab utama atas kesejahteraan anak, dan
harus dibantu melaksanakan tanggung jawab mereka dalam pengasuhan anak; demikian
harapan Millenium Development Goals, Dokumen “Special Session on Children”. Makna
social dari proses memberi dan menerima dalam konsep partisipasi adalah mendorong
anak untuk mengambil tanggungjawab dalam proses pendidikan dan pembentukan
dirinya selaku anggota masyarakat dan warga negara yang aktif, toleran dan demokratis.
Intinya, adalah komunikasi setara antara orangtua/ dewasa dan anak, yang daripadanya
akan terbangun suatu peneladanan, pembiasaan, pembudayaan dan transfer nilai-nilai
sosial, kepribadian, demokrasi. Itulah pendidikan yang hakiki (Kuswandoro, Komunikasi,
Kunci Sukses Pendidikan, 2002, artikel).

Partisipasi anak dalam pembangunan bangsa memiliki arti yang sangat penting.
Keikutsertaannya perlu diutamakan karena anak adalah fondasi yang paling utama dalam
membangun sebuah peradaban. Kekuatan terbesarnya bertumpu pada dimensi spiritual
yang telah dianugerahkan oleh Tuhan YME. Jika anak dapat terdidik dengan nilai-nilai
spiritualnya yang tinggi dari orang tua, maka anak juga akan memiliki semangat yang
tinggi pula. Daya juang anak dalam mempertahankan hidup menjadi sebuah kebutuhan
utama ketika anak sudah beranjak dewasa. Anak akan mengetahui apa yang harus
dilakukan¬nya sebagai anggota keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Secara
sederhana, dalam skala individual yang berdimensi dunia-akhirat, dapat dijelaskan bahwa
anak adalah investasi bagi orangtuanya. Ialah “penyelamat” tatkala si orangtua telah
meninggal: …bilamana telah meninggal seseorang, maka putuslah segala amalnya,
kecuali 3 perkara… (salah satunya adalah) … anak sholeh yang mendoakan orangtuanya.
Bagaimana anak akan menjadi sholeh dan mendoakan orangtuanya, kalau si anak
ditumbuhkan dalam suasana keluarga yang tidak menguntungkan dan berpihak pada
anak.

Sebagai anggota keluarga, anak dapat membantu orang tua dalam pekerjaan rumah
tangga, menjadi teman diskusi dan membantu mengatasi segala persoalan keluarga.
Orangtua hendaknya dapat menjadi motivator, fasilitator, mediator, teman, pelindung,
penyelamat anak dalam keluarga. Jika ia terbiasa terdidik untuk mengatasi segala
persoalan dalam keluarga secara mandiri atau dengan kematangan/ kedewasaannya, maka
ia juga akan dapat mengatasi semua persoalan yang ada dalam masyarakat. Anak dapat
memberikan sumbangan berupa ide/ gagasan, hasil karya, budi dan dayanya kepada
masyarakat. Bahkan amat banyak hal dapat dipecahkan malah dengan merunutnya
berdasarkan logika pemikiran anak-anak! (Kuswandoro, Belajar Dari Anak-anak, Bunga
Rampai Catatan Pengalaman Pribadi). Bagian dari partisipasi adalah anak berkewajiban
menghormati orang tua, wali dan guru; mencintai keluarga, masyarakat dan menyayangi
teman, mencintai tanah air, bangsa dan negara, menunaikan ibadah sesuai dengan
agamanya, melaksanakan etika dan akhlak yang mulia (Pasal 19 Undang Undang No. 23
tahun 2002).

Untuk mewujudkan hal tersebut diatas. keluarga perlu menanamkan nilai-nilai moral
sebagai makhluk tuhan, individu, sosial, dan biologis. Sebagai makhluk tuhan, nilai yang
harus ditanamkan contohnya : nilai keimanan, ketaatan, dan kebaikan. Nilai individu
contohnya ; Anak memahami perbedaan karakteristiknya dengan orang lain (sifat
kepribadian ; pemalu, pemarah, pendiam, dsb ; gaya belajarnya; kebiasaannya, dsb). Nilai
social dan biologis misalnya anak memahami bahwa ia bagian dari dirinya, keluarga,
masyarakat, bangsa dan Negara. Untuk berhubungan dengan orang lain, anak perlu
mengenal nilai-nilai : kejujuran, keberanian, cinta damai, keandalan diri dan potensi,
disiplin diri dan tahu batas, kemurnian dan kesucian, setia dan dapat dipercaya, hormat,
cinta dan kasih sayang, peka dan tidak egois, baik hati dan ramah, adil dan murah hati,
dsb (Linda dan Richard Eyre, 1993 dalam buku Mengajarkan Nilai-nilai Kepada Anak).
Hal yang sama juga dikatakan oleh Pam Sciller dan Tamera Bryan, 1998 dalam buku The
Values Book for Children mengenai nilai-nilai yang perlu ditanamkan pada anak, yaitu
nilai kepedulian dan empati, kerjasama, berani, keteguhan dan komitmen, adil, suka
menolong, kejujuran dan integritas, humor, mandiri dan percaya diri, loyalitas, sabar, rasa
bangga, banyak akal, sikap respek, tanggung jawab dan toleransi.

2. Partisipasi anak dalam pendidikan

Dalam bidang pendidikan, partisipasi yang dapat diperoleh dan dilakukan anak mulai dari
usia dini. Keluarga merupakan tempat anak-anak pertama kali belajar berpartisipasi dan
forum yang ideal untuk belajar mengekspresikan pandangan-pandangan mereka dan pada
saat yang sama menghargai sudut pandang orang lain. Untuk mengoptimalkan partisipasi
anak maka peran orang tua sangat diperlukan yaitu dengan mendorong anak untuk
mengembangkan dan meningkatkan kemampuan¬nya dan nilai-nilai demokrasi harus
dipraktekkan. Demokrasi adalah sebuah cara yang efektif dari kehidupan yang didasarkan
atas cita-cita yang fundamental dan abadi. Individu dihormati, memiliki harga diri
membuat pilihan dan keputusan, memikul dan melepas tanggung jawab, memakai dan
memelihara hak-hak yang tidak bisa dipisahkan, dan memiliki peluang-peluang untuk
bekerja dengan orang lain dalam mencapai tujuan bersama. Jika nilai-nilai demokrasi
sungguh-sungguh akan dipelajari oleh anak-anak, mereka harus hidup didalam fase-fase
program sekolah.

Keberhasilan partisipasi anak dalam kehidupan tahun-tahun selanjutnya bergantung pada


dorongan untuk berpartisipasi pada masa awal hidupnya. Bila orangtua, pengasuh dan
keluarganya mengikuti keinginan bayi dalam tahun-tahun pertama hidupnya, maka akan
timbul saling pemahaman yang dapat membawa pada kedekatan hubungan yang sehat
dengan anak. Sebaliknya, bila proses pengembangan kedekatan yang sehat ini diganggu
oleh kesewenangan, pengabaian atau penggantian pengasuh yang terus menerus, maka
kurangnya kepercayaan anak pada orang dewasa akan selalu dilihat sebagai mempunyai
kuasa, ketidak mampuan untuk memberi dan menerima rasa sayang dan kegagalan untuk
mengembangkan rasa empati, kesadaran atau rasa belas kasihan pada orang lain. Seperti
yang disebutkan oleh Benyamin Spock dalam Raising Children in a Difficult Time, 1957,
bahwa untuk membina sikap anak bermula dari pembentukan wataknya, memberikan
kasih sayang, sikap ramah tamah, kreatif dan imajinatif, menyesuaikan diri atau
memberontak, keprihatinan yang patut dirasakan dan diungkapkan, menghargai anak.

Sekolah merupakan salah satu dari sekian banyak tempat anak mempelajari berbagai
pengetahuan dan keterampilan, dan juga merupakan tempat mereka bersosialisasi,
bermasyarakat, tempat mereka belajar memahami apa yang diharapkan masyarakat dari
mereka pada masa mendatang. Ketika anak belajar di sekolah, banyak aturan tanpa
mereka ketahui maknanya. Disini anak dapat berpikir secara kritis, belajar tentang hak-
hak dan kewajibannya, dan secara aktif mempersiapkan diri untuk dapat mengambil
peran masing-masing sebagai warga masyarakat.

Menurut Olson yang dikutip Havighurst, R. J, dan Neugater, B. L. (Society and


Education, 1982) sekolah yang berpusat pada masyarakat (community-centered school)
berkisar pada kegiatan sebagai berikut:

a). Memusatkan tujuan-tujuan pada perhatian dan kebutuhan masyarakat.


b). Mempergunakan bahan-bahan dan sumber-sumber dari masyarakat sebanyak-
banyaknya.
c). Mempraktekkan dan menghargai paham demokrasi dalam segala kesibukan sekolah.
d). Menyusun kurikulum berdasarkan proses-proses utama dalam kehidupan manusia.
e). Memupuk jiwa pemimpin dalam lapangan kehidupan bermasyarakat.
f). Mendorong peserta didik untuk aktif bekerjasama dengan dasar saling pengertian.

Dengan kata lain sekolah-sekolah memiliki sifat life-centered orientation. Sekolah


dipandang sebagai tempat anak belajar, menyelidiki, dan ikut serta dalam usaha-usaha
masyarakat yang mengandung unsur-unsur pendidikan.

3. Partisipasi anak dalam masyarakat

Partisipasi anak dapat terjadi melalui berbagai bentuk pelibatan, pengajakan dan
pembentukan komitmen. Akan tetapi, tidak semua partisipasi anak bersifat aktif, social,
bertujuan, bermakna ataupun konstruktif. Partisipasi yang otentik dimulai dari diri anak
itu sendiri, dimana merekalah yang menetapkan persyaratan dan kondisinya berdasarkan
realitas mereka dalam upayanya untuk mewujudkan visi, mimpi, harapan dan juga
keprihatinan mereka. Anak-anak memerlukan informasi, dukungan dan kondisi yang
mendukung mereka untuk dapat berpartisipasi secara benar dan dengan cara yang dapat
meningkatkan martabat dan keyakinan dirinya.

Anak yang melibatkan diri dalam berbagai kegiatan sosial akan memperoleh manfaat
yang akan mempengaruhi kehidupan pada masa dewasanya yaitu secara sosial membaur
dengan masyarakat, sedangkan untuk pribadinya memperoleh pembelajaran dan
pengalaman, termasuk bekerja (umur 15 tahun sampai dengan 18 tahun dapat bekerja,
dan pekerjaan yang dilakukan adalah pekerjaan yang ringan sesuai tingkat usianya,
Konvensi ILO).
“Membangun demokrasi” adalah hal yang sangat penting bagi perdamaian. Nilai-nilai
demokratis seperti rasa hormat akan hak dan martabat setiap manusia, untuk keaneka
ragamannya dan hak mereka untuk mengambil bagian dalam keputusan-keputusan yang
mempunyai pengaruh pada diri mereka, sebaiknya telah dipelajari sejak masa kanak-
kanak. Maka, dalam hal ini dapat dijelaskan bahwa, demokrasi mustahil akan tumbuh
pada masyarakat yang tidak menumbuhkan nilai-nilai demokratis dalam keluarga-
keluarganya dan tidak membudayakannya pada perilaku mereka dan anak-anak mereka
dalam keluarga dan masyarakat. Dan, hati-hati, perilaku koruptif juga dapat disemai dan
ditumbuhkembangkan disini! (Kuswandoro, Pendidikan Demokrasi Menuju Demokrasi
Pendidikan, 2002, artikel).

Ketika anak beranjak dewasa, anak baru akan mengerti tugasnya di masyarakat. Hasil
pendidikan yang diberikan sejak kecil baru dapat terlihat kelebihan dan kekurangannya.
Jika anak dididik secara optimal dari dalam rumah, maka hasilnya akan memberikan
dampak yang luas bagi dirinya dan masyarakat sekitarnya. Di sini peran ilmu
pengetahuan dan teknologi sangat berarti bagi kemajuan suatu bangsa. Anak dibekali
ilmu pengetahuan dan teknologi sejak kecil sesuai dengan tahap perkembangannya.
Mereka dididik untuk menjadi ilmuwan kecil yang dapat mengubah dunia sekitarnya
menjadi cemerlang.

Ilmu pengetahuan dan teknologi atau dapat disebut sebagai sains hendaknya sudah
diberikan sejak kecil sesuai dengan taraf berpikirnya. Menurut Conny Setiawan, 2002
dalam bukunya Belajar Pembelajaran dalam Taraf Usia Dini; hal. 105-107, sains harus
diajarkan sebagai suatu cara berpikir. Pelajaran itu harus membangun struktur kognitif
dan merupakan tangga intelektual yang dinaiki dalam meraih tingkat berpikir dan tingkat
pengetahuan yang lebih tinggi (eskalasi). Body of knowledge harus saling terkait satu
sama lain, dan menerobos pada setiap kehidupan sehari-hari. Jadi suatu ilmu pengetahuan
itu hendaknya berguna atau mempunyai unsur pragmatis dalam kehidupan sehari-hari,
misalnya anak usia SD kelas tinggi, mereka telah mampu membuat saluran air dengan
bahan yang sederhana untuk membuktikan air mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat
yang rendah. Dan agar tidak terjadi banjir atau tergenangnya air, anak akan
mengaplikasikannya dalam kehidupan bermasyarakat. Ia akan mengingat kembali apa
yang diajarkan oleh orangtuanya atau gurunya ketika terjadi banjir misalnya, sehingga ia
dapat membantu masyarakat dalam mengatasi banjir. Menilik trend banjir yang semakin
sering terjadi di beberapa daerah, termasuk Kota Probolinggo, maka perlu ada upaya
memasukkan ide partisipasi anak dalam “pengendalian banjir” di lingkungan anak, ke
dalam proses pendidikan di sekolah (Tim WAHANA, Memanfaatkan Sampah Sekolah
dan Mengatasi Banjir di Lingkunganku, dalam “Pendidikan Lingkungan untuk Sekolah/
PLUS”, 2003).

Untuk perluasan pendidikan sains ke masyarakat dapat dikembangkan sesuai dengan


potensi suatu daerah, misalnya jika terdapat anak-anak usia prasekolah, mereka dapat
dilatih dalam sanggar kreativitas, seni, bahasa, dsb; Jika terdapat anak usia sekolah dasar,
mereka dididik belajar berkelompok untuk membuat suatu yang berguna. Jika ada anak
usia remaja, mereka dapat diajarkan bermasyarakat dalam karang taruna, kegiatan
olahraga RT/ RW, pengadaan acara-acara masyarakat: peringatan 17 Agustus, forum
rapat RT/ RW, pembinaan organisasi sosial/ keagamaan, dsb. Hendaknya mereka dapat
diajak untuk musyawarah dalam berbagai forum kegiatan. Bahkan telah ada kelembagaan
yang memberikan naungan bagi anak remaja yaitu, Organisasi Siswa Intra Sekolah
(OSIS), Pramuka, Dokter Kecil, Palang Merah Remaja (PMR), dan mulai ada Forum-
forum anak, Dewan Anak, Parlemen Anak yang berbasis partisipasi anak (Rekomendasi
Anak Indonesia dalam Kongres Anak Indonesia 2001, bendel kegiatan KAI Jakarta 2001,
arsip Yayasan WAHANA, 2001). Hasil pendampingan PLAN International di Philipina
telah menghasilkan Parlemen Anak sebagai wahana partisipasi anak secara konkret.
Mungkin bahasan ini belum dapat berlaku di tanah air, menilik budaya setempat. Ide
penulis tentang Dewan Anak (Child Council) masih belum mendapat sambutan yang
memuaskan.

Dengan demikian partisipasi anak adalah persoalan yang tidak boleh dianggap sepi dan
remeh oleh masyarakat (termasuk anak-anak dan remaja itu sendiri), dan orang-orang
serta lembaga-lembaga yang bergerak dalam isu partisipasi. Bahkan berbagai kalangan
berpendapat bahwa apabila pendapat anak tidak diindahkan, maka sesungguhnya sebuah
resiko sedang mengancam, tidak hanya sekedar berpengaruh buruk pada hidup mereka
kini maupun di masa datang, tetapi juga beresiko terhadap hilangnya perspektif dan
inovasi yang ditawarkan anak. Bila ini sampai terjadi, ancaman lost of generation dalam
arti luas akan terjadi.

Untuk itu, maka sesuai dengan amanat Konvensi Hak Anak (KHA) dan Undang Undang
No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, perlu diperhatikan bahwa anak harus:

1. Bebas Menyatakan Pendapat

Anak mempunyai hak untuk secara bebas menyatakan pendapat, hak ini akan mencakup
kebebasan mengusahakan, menerima dan memberi segala macam informasi dan gagasan
terlepas dari perbatasan wilayah, baik secara lisan, tertulis atau cetakan, dalam bentuk
karya seni atau melalui media lain menurut pilihan anak yang bersangkutan. Penggunaan
hak ini dapat disertai pembatasan-pembatasan tertentu, tetapi pemba¬tasan ini hanya
dapat ditetapkan oleh Undang-undang yang diperlukan untuk menghormati hak atau
reputasi orang lain dan/ atau untuk me¬lindungi keamanan nasional atau ketertiban
umum, kesehatan umum, dan moral.

2. Memperoleh Informasi Yang Tepat

Anak berhak untuk memperoleh informasi dan bahan dari berbagai sumber nasional dan
inter¬nasional, terutama sumber-sumber yang dimak¬sudkan untuk meningkatkan
kehidupan sosial, spiritual dan moralnya serta untuk kesehatan rokhani dan jasmaninya.
Untuk kepentingan ini perlu dilakukan upaya mendorong media massa untuk menyebar-
luaskan informasi dan bahan yang bermanfaat dari segi sosial dan budaya yang sesuai
dengan tingkat perkembangan anak. Selain itu, kerjasama internasional juga perlu
dilakukan untuk penga¬daan, pertukaran dan penyebar-luasan informasi dari berbagai
sumber kebu¬dayaan nasional dan internasional. Mendorong pengadaan dan penye¬bar-
luasan buku-buku un¬tuk anak, serta mengu¬payakan perlindungan anak dari informasi
dan bahan-bahan yang berbahaya bagi kehidupannya, baik secara sosial, moral, maupun
fisiknya

3. Memperoleh Kemerdekaan Berserikat dan Kemerdekaan Berkumpul Dengan Damai

Negara mengakui hak anak atas kemerdekaan berserikat dan kemerdekaan berkumpul
dengan damai. Untuk ini, tidak ada pembatasan apapun yang dikenakan untuk melakukan
hak-hak tersebut selain yang ditetapkan undang-undang, demi kepentingan nasional dan
keselamatan umum, ketertiban umum, perlindungan kese¬hatan atau moral masyarakat,
atau untuk melindungi hak dan kebebasan orang.

4.Memperoleh Perlindungan Kehidupan Pribadi

Tidak seorang anakpun akan mengalami gang¬guan tanpa alasan dan secara tidak sah
atas kehidupan pribadinya, keluarga, rumah tang¬ganya, atau serangan-serangan yang
tidak sah atas kehormatan dan reputasinya. Sehubungan dengan hak ini, anak berhak atas
perlindungan hukum terhadap gangguan (campur tangan) atau serangan seperti itu.
Meningkatkan partisipasi anak, termasuk partisipasi dari anak yang menjadi korban,
partisipasi kelompok sebaya anak, ke¬luarga, dan orang lain yang berpotensi menolong
anak-anak, sehingga anak mampu mengekspre¬sikan pandangannya dan mengambil
tindakan untuk mencegah dan melindungi anak dari segala bentuk eksploitasi, dan
membantu anak yang menjadi “korban orang dewasa” untuk berintegrasi kembali ke
dalam masyarakat (Konvensi Hak Anak, UNICEF, 1999).

Penutup

Dari paparan diatas, partisipasi anak sebenarnya bukan barang baru di Indonesia, tetapi
karena berbagai faktor, implementasinya belum berjalan dengan baik. Oleh sebab itu
diperlukan suatu kemauan dan upaya nyata tidak saja oleh sektor/ pemerintah tetapi juga
oleh masyarakat, khususnya keluarga, karena peningkatan partisipasi anak seyogyanya
dimulai dari lingkungan keluarga, kemudian di lingkungan masyarakat (termasuk
sekolah), pemerintah dan Negara.

Dengan terwujudnya peningkatan partisipasi anak seperti yang diharapkan maka dengan
sendirinya akan terwujud pula pemenuhan hak anak, karena partisipasi anak merupakan
salah satu hak anak yang harus dipenuhi dan merupakan salah satu gerbang untuk
mewujudkan anak yang sejahtera dan terlindungi. Melalui partisipasi anak, akan
diketahui harapan, keinginan dan pendapat/ suara anak sesuai dengan jiwa anak, yang
harus didengar oleh orang dewasa, baik pada kehidupan dalam keluarga, sekolah,
masyarakat, pemerintahan dan Negara. Jika hal itu terwujud maka output persekolahan
dan pendidikan akan lebih mengarah kepada pemenuhan kebutuhan bagi kepentingan
anak, yakni pengembangan-diri anak secara utuh hingga dewasa. Lebih lanjut, kebijakan
pembangunan yang diambilpun akan memperhatikan suara anak, sehingga lahir kebijakan
yang sensitive dan responsive anak. Bukankah, anak-anak adalah pemimpin masa depan?
Atau setidaknya, dunia masa depan adalah dunia milik anak-anak masa kini? Hanya
dengan satu cara: orang dewasa bersedia sedikit terkurangi “rasa-terhormatnya-sebagai-
orang-dewasa” (baca: gengsinya) tatkala bersinggungan dengan dunia anak. Anak-anak
harus mendapatkan manfaat yang pertama dari proses kegiatan orang dewasa
(pembangunan), dan yang terakhir menderita dari dampak buruknya (cuplikan
Pendahuluan Anggaran Dasar Yayasan WAHANA).

Tambahan Bahan Renungan: Renungkan dan Biarkan Pikiran Anda Mengembara

Perlukah (tambahan) les mata pelajaran bagi anak? Kegiatan apakah yang cocok bagi
anak untuk mendorong partisipasi anak? Efektifkah Full-Day School? Proses belajar yang
bagaimanakah yang sesuai dengan upaya mendorong partisipasi anak? Benarkah kegiatan
belajar (bagian dari pendidikan) mirip kegiatan di meja makan, tempat anak –bersama
orangtua— duduk bersama memilih menu makanan yang disukai? Kegiatan anak di
sekolah, sudahkan mencerminkan kebutuhan dan keinginan anak, dan bukan kebutuhan
dan keinginan orangtua? [ Penulis, dengan persetujuan, dan untuk anak-anak –yang
masih duduk di kelas 3 dan 1 SD--, memilih les olahraga, renang dan silat, karena “anak-
anak ingin seperti Batman” dan Pramuka daripada harus les tambahan mata pelajaran].
Kemudian, mengapa kita cenderung menggunakan pendekatan kekuasaan dalam pola
komunikasi kita dengan anak? Mengapa kita memarahi anak? [memarahi, adalah jalan
pintas bagi orangtua/ dewasa agar kehendaknya diikuti tanpa syarat oleh anak secara
cepat dan instant]. Dalam setiap komunikasi kita dengan anak, yang terjadi: kita berusaha
memahami keinginan dan kemauan anak, ataukah kita berusaha agar anak memahami
keinginan dan kemauan kita?

Bahan Renungan 2

“Ketika anak-anak ini bersekolah, semua perhatian guru dan orangtua dipusatkan pada
“ketidakmampuan” anak. Hal ini mengingatkan saya pada cerit abinatang yang
memutuskan untuk menciptakan sebuah sekolah memanjat, terbang, berlari, berenang dan
menggali. Mereka tidak bisa mengambil kata sepakat tentang subyek mana yang paling
penting. Jadi, mereka mengatakan bahwa semua murid harus mengikuti kurikulum yang
sama. Kelinci adalah ahli berlari, tapi hampir tenggelam di kelas berenang. Pengalaman
itu begitu mengguncang sehingga sesudahnya ia tak pernah lagi bisa berlari secepat
sebelumnya. Elang sangat pandai terbang, tentu saja; tetapi ketika mengikuti kelas
menggali, ia sangat tidak mampu menjalani tugas yang diberikan sehingga ia ditugaskan
mengikuti program perbaikan menggali –di luar jam pelajaran, dengan mengikuti les
tambahan--. Tugas itu begitu banyak menghabiskan waktunya, sehingga tak lama
kemudian ia melupakan cara terbang. Para binatang itu tak lagi mempunyai kesempatan
untuk berprestasi dalam bidang keahlian mereka masing-masing, karena semua dipaksa
melakukan hal-hal yang tidak menghargai sifat alami mereka… Elang diciptakan untuk
terbang! (Thomas Armstrong).

Bahan Rujukan

Badan Pusat Statistik, Indikator Kesejahteraan Anak 2001, BPS Jakarta, 2001.
Departemen Sosial RI, Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial, Direktorat
Bina Pelayanan Sosial Anak, Intervensi Psikososial: Intervensi Pekerja Sosial
Profesional. Jakarta Depsos RI, 2003.

DR. Benjamin Spock, Membina Watak Anak, cetakan pertama, Penerbit Gunung Jati,
Jakarta 1982.

Drs. M. Imran Pohan, Masalah Anak dan Anak Bermasalah, cetakan pertama, Jakarta
1986.

DR. Charles Schaefer, Cara Efektif Mendidik dan Mendisiplinkan Anak, cetakan kedua,
alih bahasa: Drs. Tuman Sirait, Jakarta 1996.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan, Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23


Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Jakarta 2002.

Kuswandoro, W.E., Politik Antar Bangsa dan Masalah Anak dalam Studi Hubungan
Internasional, artikel, 2002.

-------------------------, Pendidikan Demokrasi Menuju Demokrasi Pendidikan, artikel,


2002.

-------------------------, Komunikasi, Kunci Sukses Pendidikan, artikel, 2002.

Linda dan Richard Eyre, Mengajar Nilai-nilai pada Anak, edisi ketiga, alih bahasa : Alex
Tri Kantjono, Jakarta, PT. Gramedia Indonesia, 1999.

Maria Hastuti, Belajar Demokrasi, Memahami Anak sebagai Subjek Diri, Surat Kabar
Kompas, Senin 23 Juli 2003.

Pam Schiller Tamera Bryant, 16 Moral Dasar Bagi Anak, cetakan pertama, alih bahasa:
Susi Sensusi, Jakarta 2002.

Prof. Dr. Conny R. Semiawan, Belajar dan Pembelajaran dalam Taraf Usia Dini, Editor:
Dr. Yufiarti, Dr. Theodorus Immanuel Setiawan, Jakarta 2002.

Prof. Dr. Lily I. Rilantono, Partisipasi Anak: Input untuk Kebijakan, Makalah, Jakarta,
2003.

Schaefer, Charles E dan Theresa Foy DiGerenimo, Cara Membicarakan Berbagai Topik
Penting dengan Anak, cetakan pertama, alih bahasa; Haris Munandar, Jakarta 1997
Tim Read Book, Anak-anak Membangun Kesadaran Kritis, cetakan pertama, alih bahasa;
H. Prabowo & Nur Cholis, Yogyakarta 2002.

UNICEF, Dunia yang Layak Bagi Anak-Anak.


UNICEF, Implementation Handbook for Rights of the Child.

UNICEF, Ringkasan Siaran Pers “State of the World’s Children 2003”, Jakarta, 2003
WAHANA, Yayasan, Tim, Memanfaatkan Sampah Sekolah dan Mengatasi Banjir di
Lingkunganku, dalam “Pendidikan Lingkungan untuk Sekolah (Plus)”, 2003.

---------------------------, Rekomendasi Anak Indonesia dalam Kongres Anak Indonesia


2001, bendel kegiatan KAI Jakarta 2001, arsip, 2001).

You might also like