You are on page 1of 6

Tentang Seni Ukir di Indonesia

Added: Saturday, March 29th 2008 at 3:54am by artbloggue


Category: Sports & Recreation > Martial Arts
Related Tags: art

2.5 / 0 ratings

Sebelum membahas tentang seni ukir terlebih dahulu akan di bahas apa itu ukir dan
pengertiannya secara umum
UKIR

Ukir ~ Juru ( pandai, tukang )Contoh: Tukang Ukir : Orang yang pekerjaannya
mengukirMengukir : Menoreh ( menggores, memahat ) dsb.
untuk membuat lukisan ( gambar ) pada kayu, batu, logam,dsb.
Ukiran : ( ukiran-ukiran ) hiasan yang terukir.
Seni Ukir : seni pahat
PEMAHAMAN TENTANG SENI UKIR INDONESIA
Seni ukir atau ukiran merupakan gambar hiasan dengan bagian-bagian cekung (kruwikan) dan
bagian-bagian cembung (buledan) yang menyusun suatu gambar yang indah. Pengertian ini
berkembang hingga dikenal sebagai seni ukir yang merupakan seni membentuk gambar pada
kayu, batu, atau bahan-bahan lain.
Bangsa Indonesia mulai mengenal ukir sejak zaman batu muda (Neolitik), yakni sekitar tahun
1500 SM. Pada zaman itu nenekmoyang bangsa Indonesia telahmembuat ukiran pada kapak
batu, tempaan tanah liat atau bahan lain yang ditemuinya. Motif dan pengerjaan ukiran pada
zaman itu masih sangat sederhana. Umumnya bermotif geometris yang berupa garis, titik, dan
lengkungan, dengan bahan tanah liat, batu, kayu, bambu, kulit, dan tanduk hewan Pada zaman
yang lebih dikenal sebagai zaman perunggu, yaitu berkisar tahun 500 hingga 300 SM. Bahan
untuk membuat ukiran telah mengalami perkembangan yanitu menggunakan bahan perunggu,
emas, perak dan lain sebagainya. Dalam pembuatan ukirannya adalah menggunakan teknologi
cor. Motif-motif yang di gunakanpada masa zaman perunggu adalah motif meander, tumpal,
pilin berganda, topeng, serta binatang maupun manusia. Motif meander ditemukan pada nekara
perunggu dari Gunung merapi dekat Bima. Motif tumpal ditemukan pada sebuah buyung
perunggu dari kerinci Sumatera Barat, dan pada pinggiran sebuah nekara (moko dari Alor,
NTT. Motif pilin berganda ditemukan pada nekara perunggu dari Jawa Barat dan pada bejana
perunggu darikerinci, Sumatera. Motif topeng ditemukan pada leher kendi dari Sumba. Nusa
Tenggara, dan pada kapak perunggu dari danau Sentani, Irian Jaya. Motif ini menggambarkan
muka dan mata orang yang memberi kekuatan magis yang dapat menangkis kejahatan. Motif
binatang dan manusia ditemukan pada nekara dari Sangean.
Setelah agama Hindu, Budha, Islam masuk ke Indonesia, seni ukir mengalami perkembangan
yang sangat pesat, dalam bentuk desain produksi, dan motif. Ukiran banyak ditemukan pada
badan-badancandi dan prasasti-prasasti yang di buat orang pada masa itu untuk memperingati
para raja-raja. Bentuk ukiran juga ditemukan pada senjata-senjata, seperti keris dan tombak,
batu nisan, masjid, keraton, alat-alat musik, termasuk gamelan dan wayang. Motif ukiran, selain
menggambarkan bentuk, kadang-kadang berisi tentang kisah para dewa, mitos kepahlawanan,
dll. Bukti-bukti sejarah peninggalan ukiran pada periode tersebut dapat dilihat pada relief candi
Penataran di Blitar, candi Prambanan dan Mendut di Jawa Tengah.
Saat sekarang ukir kayu dan logam mengalami perkembangan pesat. Dan fungsinyapun sudah
bergeser dari hal-hal yang berbau magis berubah menjadi hanya sebagai alat penghias saja.pada
ukiran kayu meliputi motif Pejajaran, Majapahit, Mataram, Pekalongan, Bali, Jepara, Madura,
Cirebon, Surakarta, Yogyakarta, dan berbagai macam motif yang berasal dari luarJawa. Motif-
motif
KERAJINAN

Rajin : suka dan giat bekerja, selalu berusaha, getol.


Kerajinan : hal ( sifat ) rajin, kegetolan
Contoh :
Barang-barang kerajinan yaitu barang-barang hasil pekerjaan tangan.
Jadi dengan demikian yang dimaksud dengan Kerajinan Ukir adalah barang-barang
ukiran atau hiasan yang dihasilkan oleh seseorang yang dalamperwujudannya
memerlukan ketekunan, keterampilan, dan perasaan seni dengan cara di toreh / dipahat
di atas kayu, batu, logam, gading, dsb. Sedangkan yang dimaksud dengan kerajinan ukir
kayu adalah jenis kerajinan yang menggunakan teknik ukir pada bahan kayu.
Sedangkan teknik ukir adalah teknik pembuatan hiasan yang menggunakan alat berupa
tatah / pahat ukir.
Seni Ukir merupakan gubahan dari bentuk-bentuk visual yang dalam pengolahannya
mempunyai sifat kruwikan ( Jawa ) dengan susunan yang harmonis, sehingga memikiki
nilai estetis. Seni ukir diujudkan melalui bahan kayu, logam, gading , batu dan bahan-
bahan lain yang memungkinkan untuk dikerjakan. Adapun bentuk-bentuk gubahan
tersebut merupakan stilisasi dari bentuk alam yang meliputi tumbuh-tumbuhan,
binatang, awan, air, manusia, dsb.
Selanjutnya yang dimaksud dengan kerajinan adalah jenis kesenian yang menghasilkan
berbagai macam perabot, hiasan atau barang-barang yang artistik, terbuat dari kayu, besi,
porselin, emas, gading, kain tenunan, dsb. Hasil dari suatu kerajinan tangan juga di sebut “seni
guna”

Seni Ukir Jepara


LEGENDA
Dikisahkan seorang ahli seni pahat dan lukis bernama Prabangkara yang hidup pada masa Prabu
Brawijaya dari Kerajaan Majapahit, pada suatu ketika sang raja menyuruh Prabangkara untuk
membuat lukisan permaisuri raja sebagai ungkapan rasa cinta beliau pada permaisurinya yang sangat
cantik dan mempesona.
Lukisan permaisuri yang tanpa busana itu dapat
diselesaikan oleh Prabangkara dengan sempurna
dan tentu saja hal ini membuat Raja Brawijaya
menjadi curiga karena pada bagian tubuh tertentu
dan rahasia terdapat tanda alami/khusus yang
terdapat pula pada lukisan serta tempatnya/posisi
dan bentuknya persis. Dengan suatu tipu muslihat,
Prabangkara dengan segala peralatannya dibuang
dengan cara diikat pada sebuah laying-layang yang
setelah sampai di angkasa diputus talinya.
Dalam keadaan melayang-layang inilah pahat
Prabangkara jatuh di suatu desa yang dikenal
dengan nama Belakang Gunung di dekat kota
Jepara.
Di desa kecil sebelah utara kota Jepara tersebut sampai sekarang memang banyak terdapat pengrajin
ukir yang berkualitas tinggi. Namun asal mula adanya ukiran disini apakah memang betul disebabkan
karena jatuhnya pahat Prabangkara, belum ada data sejarah yang mendukungnya.

SEJARAH
1. Pada masa pemerintahan Ratu Kalinyamat, terdapat seorang patih bernama Sungging Badarduwung
yang berasal dari Campa (Kamboja) ternyata seorang ahli memahat pula. Sampai kini hasil karya Patih
tersebut masih bisa dilihat di komplek Masjid Kuno dan Makam Ratu Kalinyamat yang dibangun pada
abad XVI.
2. Keruntuhan Kerajaan Majapahit telah menyebabkan tersebarnya para ahli dan seniman hindu ke
berbagai wilayah paruh pertama abad XVI. Di dalam pengembangannya, seniman-seniman tersebut
tetap mengembangkan keahliannya dengan menyesuaikan identitas di daerah baru tersebut sehingga
timbulah macam-macam motif kedaerahan seperti : Motif Majapahit, Bali, Mataram, Pajajaran, dan
Jepara yang berkembang di Jepara hingga kini.
I Wayan Seriyoga Parta
Seni kriya adalah cabang seni yang menekankan pada ketrampilan tangan yang tinggi dalam proses
pengerjaannya. Seni kriya berasal dari kata “Kr” (bhs Sanskerta) yang berarti ‘mengerjakan’, dari akar
kata tersebut kemudian menjadi karya, kriya dan kerja. Dalam arti khusus adalah mengerjakan sesuatu
untuk menghasilkan benda atau obyek yang bernilai seni” (Prof. Dr. Timbul Haryono: 2002).
Dalam pergulatan mengenai asal muasal kriya Prof. Dr. Seodarso Sp dengan mengutif dari kamus,
mengungkapkan “perkataan kriya memang belum lama dipakai dalam bahasa Indonesia; perkataan
kriya itu berasal dari bahasa Sansekerta yang dalam kamus Wojowasito diberi arti; pekerjaan;
perbuatan, dan dari kamus Winter diartikan sebagai ‘demel’ atau membuat”. (Prof. Dr. Soedarso Sp,
dalam Asmudjo J. Irianto, 2000)
Sementara menurut Prof. Dr. I Made Bandem kata “kriya” dalam bahasa indonesia berarti pekerjaan
(ketrampilan tangan). Di dalam bahasa Inggris disebut craft berarti energi atau kekuatan. Pada
kenyataannya bahwa seni kriya sering dimaksudkan sebagai karya yang dihasilkan karena skill atau
ketrampilan seseorang”. (Prof. Dr. I Made Bandem, 2002)
Dari tiga uraian ini dapat ditarik satu kata kunci yang dapat menjelaskan pengertian kriya adalah; kerja,
pekerjaan, perbuatan, yang dalam hal ini bisa diartikan sebagai penciptaan karya seni yang didukung
oleh ketrampilan (skill) yang tinggi.
Seperti telah disinggung diawal bahwa istilah kriya digali khasanah budaya Indonesia tepatnya dari
budaya Jawa tinggi (budaya yang berkembang di dalam lingkup istana pada sistem kerajaan). Denis
Lombard dalam bukunya Nusa Jawa: Silang budaya, menyatakan ‘istilah kriya yang diambil dari kryan
menunjukkan pada hierarki strata pada masa kerajaan Majapahit, sebagai berikut; “Pertama-tama
terdapat para mantri, atau pejabat tinggi serta para arya atau kaum bangsawan, lalu para kryan yang
berstatus kesatriya dan para wali atau perwira, yang tampaknya juga merupakan semacam golongan
bangsawan rendah’. (Denis Lombard dalam Prof. SP. Gustami, 2002)
Menyimak pendapat Prof. SP. Gustami yang menguraikan bahwa; seni kriya merupakan warisan seni
budaya yang adi luhung, yang pada zaman kerajaan di Jawa mendapat tempat lebih tinggi dari
kerajinan. Seni kriya dikonsumsi oleh kalangan bangsawan dan masyarakat elit sedangkan kerajinan
didukung oleh masyarakat umum atau kawula alit, yakni masyarakat yang hidup di luar tembok
keraton. Seni kriya dipandang sebagai seni yang unik dan berkualitas tinggi karena didukung oleh
craftmanship yang tinggi, sedangkan kerajinan dipandang kasar dan terkesan tidak tuntas. Bedakan
pembuatan keris dengan pisau baik proses, bahan, atau kemampuan pembuatnya.
Lebih lanjut Prof. SP. Gustami menjelaskan perbedaan antara kriya dan kerajinan dapat disimak pada
keprofesiannya, kriya dimasa lalu yang berada dalam lingkungan istana untuk pembuatnya diberikan
gelar Empu. Dalam perwujudannya sangat mementingkan nilai estetika dan kualitas skill. Sementara
kerajinan yang tumbuh di luar lingkungan istana, si-pembuatnya disebut dengan Pandhe. Perwujudan
benda-benda kerajinan hanya mengutamakan fungsi dan kegunaan yang diperuntukkan untuk
mendukung kebutuhan praktis bagi masyarakat (rakyat). (Prof. SP. Gustami, 2002) Pengulangan dan
minimnya pemikiran seni ataupun estetika adalah satu ciri penanda benda kerajinan.
Pemisahan yang berdasarkan strata atau kedudukan tersebut mencerminkan posisi dan eksistensi seni
kriya di masa lalu. Seni kriya bukanlah karya yang dibuat dengan intensitas rajin semata, di dalamnya
terkandung nilai keindahan (estetika) dan juga kualitas skill yang tinggi. Sedangkan kerajinan tumbuh
atas desakan kebutuhan praktis dengan mempergunakan bahan yang tersedia dan berdasarkan
pengalaman kerja yang diperoleh dari kehidupan sehari-hari.
Kembali ditegaskan oleh Prof. SP. Gustami: seni kriya adalah karya seni yang unik dan punya
karakteristik di dalamnya terkandung muatan-muatan nilai estetik, simbolik, filosofis dan sekaligus
fungsional oleh karena itu dalam perwujudannya didukung craftmenship yang tinggi, akibatnya
kehadiran seni kriya termasuk dalam kelompok seni-seni adiluhung (Prof. SP.Gustami, 1992:71).
Uraian tadi menyiratkan bahwa kriya merupakan cabang seni yang memiliki muatan estetik, simbolik
dan filosofis sehingga menghadirkan karya-karya yang adiluhung dan munomental sepanjang jaman.
Praktek kriya pada masa lalu dibedakan dari kerajinan, kriya berada dalam lingkup istana (kerajaan)
pembuatnya diberi gelar Empu. Sedangkan kerajinan yang berakar dari kata “rajin” berada di luar
lingkungan istana, dilakoni oleh rakyat jelata dan pembuatnya disebut pengerajin atau pandhe.
Dari beberapa pendapat yang telah dibahas sebelumnya menjelaskan bahwa wujud awal seni kriya
lebih ditujukan sebagai seni pakai (terapan). Praktek seni kriya pada awalnya bertujuan untuk membuat
barang-barang fungsional, baik ditujukan untuk kepentingan keagamaan (religius) atau kebutuhan
praktis dalam kehidupan manusia seperti; perkakas rumah tangga. Contohnya dapat kita saksikan pada
dari artefak-artefak berupa kapak dan perkakas pada jaman batu serta peninggalan-peninggalan dari
bahan perunggu pada jaman logam berupa; nekara, moko, candrasa, kapak, bejana, hingga perhiasan
seperti; gelang, kalung, cincin. Benda-benda tersebut dipakai sebagai perhiasan, prosesi upacara ritual
adat (suku) serta kegiatan ritual yang bersifat kepercayaan seperti; penghormatan terhadap arwah nenek
moyang.
Masuknya agama Hindu dan Budha memberikan perubahan tidak saja dalam hal kepercayaan, tetapi
juga pada sistem sosial dalam masyarakat. Struktur pemerintahan kerajaan dan sistem kasta
menimbulkan tingkatan status sosial dalam masyarakat. Masuknya pengaruh Hindu–Budha di
Indonesia terjadi akibat asimilasi serta adaptasi kebudayaan Hindu-Budha India yang dibawa oleh para
pedagang dan pendeta Hindu-Budha dari India dengan kebudayaan prasejarah di Indonesia. Kedua
sistem keagamaan ini mengalami akulturasi dengan kepercayaan yang sudah ada sebelumnya di
Indonesia yaitu pengkultusan terhadap arwah nenek moyang, dan kepercayaan terhadap spirit yang ada
di alam sekitar. Kemudian kerap tumpang tindih dan bahkan terpadu ke dalam pemujaan-pemujaan
sinkretisme Hindu-Budha Indonesia. (Claire Holt diterjemahkan oleh RM. Soedarsono, 2000)
Tumbuh dan berkembangnya kebudayan Hindu-Budha di Indonesia kemudian melahirkan kesenian
berupa seni ukir dengan beraneka ragam hias, dan patung perwujudan dewa-dewa. Dalam sistem sosial
kemudian lahir sistem pemerintahan kerajaan yang berdasarkan kepada kepercayaan Hindu seperti
kerajaan Sriwijaya di Sumatra, kerajaan Kutai di Kalimantan, kerajaan Tarumanagara di Jawa Barat,
Mataram Kuno Jawa Tengah. Hingga kerajaan Majapahit di Jawa Timur dengan maha patih Gajah
Mada yang tersohor, yang kemudian membawa pengaruh Hindu ke Bali. Seni ukir tradisional masih
diwarisi hingga saat ini.
Peran seni kriyapun menjadi semakin berkembang tidak saja sebagai komponen dalam hal
kepercayaan/agama, namun juga menjadi konsumsi golongan elit bangsawan yaitu sebagai penanda
status kebangsawanan. Kondisi tersebut menjadikan kriya sebagai seni yang bersifat elitis karena
menduduki posisi terhormat pada masanya, berbeda dengan kerajinan yang cenderung tumbuh pada
kalangan masyarakat biasa atau golongan rendah.
Akan tetapi keadaannya berbeda pada masa modern, dimana tingkatan sosial seperti pada masa
kerajaan yang disebut “kasta” sudah tidak lagi eksis. Kalaupun ada tingkatan sosial kini tidak lagi
berdasarkan “kasta” atau kebangsawanan yang dimiliki oleh seseorang, akan tetapi kemapanan
ekonomi kini menjadi penanda bagi status seseorang. Artinya tarap ekonomi yang dimiliki seseorang
dapat membedakan posisi mereka dari orang lain, secara sederhana kekuasan sekarang ditentukan oleh
kemampuan ekonomi yang dimiliki seseorang. Dalam sistem masyarakat modern kondisinya telah
berubah kaum elit yang dulunya ditempati oleh kaum bangsawan (ningrat), sekarang digantikan
kalangan konglomerat (pemilik modal). Kondisi ini membawa dampak bagi pada posisi kriya, karena
kini kriya mulai kehilangan struktur sosial yang menopang eksistensinya seperti pada masa lalu.
Situasi ini menjadikan kriya tidak lagi menjadi seni yang spesial karena posisi terhormatnya di masa
lalu kini sudah terancam tidak eksis lagi, kriya kini menjadi sebuah artefak warisan masa lalu. Terlebih
lagi dalam industri budaya seperti sekarang kedudukan kriya kini tidak lebih sebagai obyek pasar, yang
diproduksi secara masal dan diperjualbelikan demi kepentingan ekonomi. Kriya kini mengalami
desakralisasi dari posisi yang terhormat di masa lalu, yang adiluhung merupakan artefak yang tetap
dihormati namun sekaligus juga direduksi dan diproduksi secara terus-menerus.
Kehadiran kriya pada jenjang pendidikan adalah sebuah upaya mengangkat kriya dari hanya sebagai
artefak, untuk menjadikannya sebagai seni yang masih bisa eksis dan terhormat sekaligus mampu
menyesuaikan diri dengan perkembangan jaman. Inilah tugas berat insan kriya kini. Dalam
perkembangan selanjutnya sejalan dengan perkembangan jaman, konsep kriyapun terus berkembang.
Perubahan senantiasa menyertai setiap gerak laju perkembangan zaman, praktek seni kriya yang pada
awalnya sarat dengan nilai fungsional, kini dalam prakteknya khususnya di akademis seni kriya
mengalami pergeseran orientasi penciptaan. Kriya kini menjelma menjadi hanya pajangan semata
dengan kata lain semata-mata seni untuk seni. Pergerakan ini kemudian melahirkan kategori-kategori
dalam tubuh kriya, kategori tersebut antara lain kriya seni, dan desain kriya.

You might also like