Professional Documents
Culture Documents
ABSTRACT
S
ince earlier at the the beginning of Industrial Revolution in Europe,
at the time of the invention of technique for transformation of
energy into mechanical force, the advancement of technology has
been accelerating remarkably. The latter technology has even trigged the
era of new revolution in the field of technology toward the 20th Century till
up today’s modern era. Approaching the 21st century, the exceptionally
rapid electronic revolution has even brought about amazing
transformations in the entire development segments, including
communication, computer, and not excepting the technology on
development and management of water resources.
Referring to a number of archeological studies, the human
civilization could presently be traced back as far as seven millenniums.
Nevertheless, in the field of applied technology, such as in the
development and management of water resources, a number of
archeological discoveries in the Middle East has unveiled that the human
civilization had been acquainted with water resources technolgy since the
Fift Millennium. Under such a long span of time, the human civilization has
been quite familiar with the basic application principles of water resources
technology for irrigation practices.
The remaining constraint that continuously hampers the water
resources development today, has been adhered to the capability of the
people to regulate the available water to meet the demands, including the
capacity to mitigate the water related disasters, which by nature are
associated with probabilistic events rather than deterministic, that could
be controlled by technological application. In other words, it is plausible
that the measures for mitigating the water resources related disasters in
the one hand, and provision of water security on the other has yet been
able to fully control by human technology, except in the limited scope of
spatial and volume of water.
In attempting to find resolutions on the demands for water
resources development technology – that has yet fully controllable in the
®
Makalah ini disiapkan oleh A. Hafied A. Gany, Ph.D, P.Eng., dalam rangka Orasi Ilmiah
Widyaiswara Utama, Pusat Pendidikan dan Pelatihan, Sekretariat Jenderal Departemen
Pekerjaan Umum, Juli 2006 bertempat di Ruang Sidang Sapta Taruna Departemen PU,
Jalan Pattimura No. 20/Perc No 7, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
1
so called “modern-world” today – toward sustainable future, it is always
very important prerequisite to pause a while, looking back to the past as
long as possible for obtaining remarkable empirical-lessons from ancient
technology, and subsequently to take into consideration of the positive
lessons, as well as develop or avoid of the negative experiences. This
paper is intending to explore the hisorical dimensions of human
technology in water resources development and management, scrutinize
them from the modern empirical perspectives – taking into consideration
of the unearthed archeological evidences in the entire parts of the globe,
as wel as the historical evidences of Ancient Indonesian’s per-se’.
I. PENDAHULUAN
D
ari berbagai studi tentang arkheologi, saat ini sejarah peradaban
manusia dapat ditelusuri sampai sejauh 7000-an tahun yang lalu.
Khusus di bidang peradaban teknologi keairan beberapa temuan
arkheologi di kawasan Timur Tengah mengungkapkan bahwa manusia
sudah menerapkannya sejak 5000-an tahun yang lalu sejalan dengan
pengembangan “tulisan paku” (cuneiform). Peradaban manusia di
kawasan Teluk Persia, misalnya, sudah menerapkan budaya cocok
tanam, penyediaan air bersih dan penyehatan lingkungan sejak 5000-an
tahun yang silam. Bahkan Bangsa Iraq (purba), telah mengembangkan
sistem pengelolaan sumber daya air (SDA) terpadu di lembah Sungai
Tigris dan Eupurate pada Tahun 2500-an sebelum tarikh Masehi (SM).
Tulisan ini mencoba menelusuri misteri lorong panjang perjalanan
peradaban manusia di bidang teknologi keairan dan lingkungan
sepanjang bukti-bukti arkheologi yang dapat ditemukan di berbagai
belahan bumi, antara lain seperti peradaban Bangsa Mesir (kuno), Persia,
Yaman, dan berbagai budaya purba di Timut tengah, Turki, Yunani, Asia,
Budaya Maya di Amerika Tengah, dan peradaban pengairan di Nusantara
Indonesia sendiri berikut pembelajaran yang dapat dipetik, serta
perspektif penyelenggaraan ke depan.
2
antara Tahun 484 dan 425 SM, telah menyatakan ribuan tahun yang lalu
bahwa Sungai Nil merupakan suatu hadiah tak ternilai bagi Bangsa Mesir.
Betapa tidak, dengan kenyataan bahwa tinggi curah hujan tahunan di
Kairo dan sekitarnya hanya berkisar 20-an mm, ternyata bahwa budaya
pertanian di lembah Sungai Nil sudah berlangsung sekitar 5100-an tahun
SM sampai sekitar 3000 tahun SM, dengan melibatkan intervensi
teknologi irigasi yang spektakuler, pada masa itu (Lihat Gambar 1, Peta
Lembah Sungai Nil purba).
3
sebelah timur kota Tiryns dibangun dengan tujuan utama untuk
pengendalian banjir, di samping tujuan penting lainnya untuk penyediaan
air. Bendungan tersebut – dari pasangan batu dari campuran kapur dan
tanah liat – sampai saat ini masih dalam bentuk sebagaimana seperti saat
dibangunnya pada Tahun 1260 SM.
4
Pada Gambar 5. disajikan detail
ilustrasi pintu dan inlet pemasokan air
5 dari saluran air bersih kuno (yang
dibangun pada sekitar 3256 tahun
yang lalu), menggunakan prinsip
bejana berhubungan.
Patut dicatat bahwa fasilitas publik
yang disediakan pada kompleks Situs
Chogha Zambil ini, bukan hanya
menekankan perlunya jaringan
distribusi air bersih, namun juga sudah
dilengkapi dengan sistem drainase
perkotaan berupa jaringan pembuangan air limbah.
7
Menyusul beberapa lokasi yang serupa lainnya, orang-orang
Nabaten membangun check dam yang dimaksudkan juga untuk menahan
laju erosi, di mana endapan yang terkumpul dijadikan lahan untuk
bercocok tanam. Langkah-langkah tersebut merupakan awal-awal
”teknololgi konservasi lahan, air dan lingkungan” yang banyak dikenal di
era modern sekarang ini.
Untuk penyimpanan air, orang Nabatean lebih menyenangi sistem
penyimpanan tertutup (bawah tanah), yang diperkirakan untuk
pendinginan dan mengurangi kehilangan air akibat penguapan, dibangun
dengan menggunakan konstruksi pasangan batu dengan mortar yang
terbuat dari campuran kapur dan sejenis tanah lempung yang ternyata
mampu bertahan sampai saat ini.
9
air permukaan yang tidak merata sepanjang tahun, komunitas petani
tradisional masa lalu (yang sudah ada sebelum budaya Zapotecs, Toltecs,
Maya, Anazasi dan Aztec) telah mampu membangun bendungan untuk
menyimpan air selama musim hujan untuk dimanfaatkan dalam musim
kemarau.
Bendungan tertua semacam tersebut yang masih bisa diketemukan
sampai saat ini adalah Bendungan tipe urugan tanah Purron dekat San
Jose' Tilapa di ujung paling selatan Lembah Tehchuacan, sekitar 260 km
sebelah selatan Kota Mexico.
Bendung Xoxocotlan dan Suplai Air Monte Alban: Sebuah bendung
yang lebih kecil peninggalan abat ke tujuh SM ditemukan dekat
Xoxocotlan, sebelah barat daya Oaxaca, sekitar 370 km sebelah barat
daya Kota Mexico. Bangunan tersebut dibuat dari susunan batu besar
yang direkat dengan mortar dari bahan kapur.
Patut dicatat bahwa lahan irigasi yang mendapatkan air dari
Bendungan Xoxocotlan, tidaklah memberikan kontribusi produksi pangan
yang signifikan terhadap pusat budaya di sekitarnya, namun lebih
terhadap pemenuhan kebutuhan air bersih, yakni untuk kawasan
permukiman Monte Alban. Juga dikenal sebagai pusat budaya maju dalam
penampungan dan penyimpanan air hujan untuk memenuhi kebutuhan
air minum. Pada masa jayanya, sekitar 250-650 Masehi (M), Monte Alban
berpenduduk sekitar 25 ribu jiwa, sudah menggunakan saluran tertutup
dari pasangan batu, dengan tangki air berganda.
Bangsa Maya di Yukatan, pada mulanya membangun waduk-waduk
hanya untuk memberikan suplai air penduduk domestik ketimbang untuk
pemberian air untuk kepentingan irigasi bagi lahan pertanian, yang justru
dibutuhkan di kawasan tropis. Waduk semacam tersebut dikembangkan
di Kawasan Tikal, Guatemala, yang mencapai puncak kejayaannya di
sekitar tahun 600 sampai 900 M. Sementara beberapa waduk dibangun,
beberapa kawasan justru tergenang oleh bendungan-bendungan berdaya
tampung kecil misalnya dengan volume sekitar 50.000 m3 untuk waduk-
waduk yang berlokasi di sekitar istana.
Waduk Toltec untuk Irigasi dan Air Bersih: Paralel dengan
pembangunan yang dilakukan oleh peradaban Kaum Zapotek dan Maya,
diperkirakan salah satu kelompok peradaban Toltec mencapai
kejayaannya antara tahun 500 sampai 1100 M. Untuk memfasilitasi irigasi
dan air bersih, juga diketemukan waduk yang terbesar di kawasan
tersebut berupa waduk memanjang (long storage) dilengkapi dengan
fasilitas waduk untuk pengamanan sungai (river-training dam) dan
bangunan bagi air (diversion structure) di sebelah hilirnya.
Jaringan Waduk Anasazi: Secara terpisah dari pembangunan yang
dilaksanakan di Mexico, khususnya di barat laut Amerika Serikat,
beberapa kelompok komunitas tradisional agaknya secara terpisah telah
mengembangkan teknik hidraulik yang cukup maju dalam upaya
mempertahankan kelestarian lingkungannya yang relatif bercuaca kering.
10
Beberapa waduk khusus telah dibangun oleh Kaum Anasazi di sebelah
selatan Colorado dan lainnya di New Mexico, yang kemudian menjadi
terkenal dengan sistem huniannya yang bertingkat banyak, kemudian
tercatat sebagai tempat kelahiran pencakar langit yang pertama di dunia
modern.
Bendungan dan Tanggul Peninggalan Bangsa Aztec: Beberapa abad
sebelum pendudukan bangsa Spanyol pada Tahun 1518 M, Bangsa Aztec
sudah mencapai tingkat supermasi yang tinggi di Mexico. Pada masa itu,
mereka membangun ibu kotanya Tenochtitlan di tengah-tengah kota
Mexico yang dikenal dewasa ini. Pusat pemerintahan tersebut berbentuk
enklave (pulau) dilokasi sebelah barat Danau Texcoco, sebuah danau
yang menutupi sebagian besar lembah Kota Mexico. Disebelah timur hilir,
bagian dari airnya mengandung asam nitrat yang berbahaya bagi
pertumbuhan tanaman pada pulau buatan manusia yang terdiri dari
endapan lumpur dan tanaman aquatik, terkenal dengan sebutan "Kebun
Gantung" (Floating Gardens), yang sampai saat ini masih dapat
disaksikan di Xochimileo sebelah selatan Kota Mexico.
9 10
14
Disebutkan pada prasasti tersebut bahwa Raja Purnawaman
mendekritkan untuk menggali saluran terobosan di Sungai Candrabhaga
untuk mengalirkan air langsung ke laut, sepanjang Istana Candara Bhaga
(Sungai Bekasi). Sementara itu analisis geo-morphologi memperkirakan
bahwa Lokasi Candra Bhaga adalah Sungai Cakung yang dikenal saat ini.
Batu bertulis ini menyebutkan bahwa sejak abad ke Lima Masehi dataran
rendah yang menjadi lokasi Kota Jakarta yang dikenal saat ini sudah
terlanda masalah banjir. Hal ini memberikan bukti baru bahwa bangunan
air tertua di Indonesia yang semula diketahui yakni Tanggul Harinjing
(804 M) ditepis dengan keterangan pada batu bertulis Tugu yang
mengungkapkan Saluran Chandra Bhaga di sungai Cakung, dibangun
pada abad ke Lima Masehi (sekitar 200-an tahun sebelum pembangunan
Candi Borobudur).
Hipotesis tentang Misteri Artifak Purba: Dalam kaitannya dengan
bukti peninggalan sejarah di bidang pengembangan dan Pengelolaan
SDA, ada kalangan yang bependapat bahwa Indonesia sebagai negara
tropis akan sangat sulit menyimpan situs-situs artifak bangunan yang
relatif kecil dan dengan bahan bangunan organik dalam kurun waktu yang
panjang tanpa mengalami pelapukan. Dengan demikian bekas
peninggalan artifak semacam bukti sejarah tersebut di atas tidak akan
tertinggal atau sulit ditemukan setelah ribuan tahun berselang. Kalau
hipotesis itu benar, maka diperkirakan banyak bukti-aktivitas peradaban
manusia purba tersebut di bumi Nusantara yang tetap menjadi misteri
dan tidak bisa ditelusuri, setelah berlangsung ribuan tahun.
Di sisi lain, ada juga sementara kalangan yang mengetengahkan
argumentasi bahwa mengingat Nusantara Indonesia secara alamiah
sudah terbentuk menjadi kumpulauan kepulauan tropis dengan beragam
kesatuan budaya masyarakat yang terpencar dalam wujud kelompok-
kelompok kecil, maka di sisi pembangunan infrastruktur pengairan,
manusia pada waktu itu tidaklah dituntut dengan pengembangan waduk
besar atau infrastruktur yang permanen untuk memenuhi hajat hidup
warganya. Apalagi kalau dikaitkan dengan karunia keberlimpahan air
yang dimiliki Kawasan Nusantara, sehingga kebanyakan budaya tanaman
bisa dilakukan tanpa infrastruktur pengairan yang besar atau permanen.
Kalaupun seandainya bangunan sederhana tersebut dihanyutkan
banjir pada setiap musim hujan, mereka akan mampu memperbaikinya
tanpa upaya konstruksi yang rumit. Mereka akan lebih senang
meluangkan waktu dan tenaga untuk melaksanakan perbaikan tahunan
bangunan sederhana yang ada secara “gotong-royong” ketimbang
memelihara bangunan (infrastruktur) yang permanen sepanjang tahun.
Dengan argumentasi ini, dapat difahami kalau peradaban teknologi
keairan dengan system infrastruktur sederhana, yang meskipun sudah
dilaksanakan selama ribuan tahun, tidak pernah dapat tertinggal
reruntuhannya sebagai artifak untuk berbicara kepada generasi
penerusnya, tanpa lapuk di telan masa.
15
2.15. Sistem Irigasi Sederhana
Bila dikaitkan dengan budaya
12 pertanian sederhana
(tradisional), Kepulauan
Nusantara Indonesia banyak
menyimpan contoh warisan
nenek moyang, baik yang
berbentuk perangkat keras,
maupun system dan
kelembagaan pertanian
beririgasi yang masih
berfungsi di era modern ini.
Misalnya sawah bertingkat di
Pulau Bali, Lombok, Jawa,
Sumatra, Sulawesi, serta berbagai system pertanian tradisional beririgasi
yang tersebar di Nusantara. Sayangnya bahwa budaya pertanian
tradisional tersebut diturungkan secara lisan dari generasi ke generasi
tanpa ada bukti sejak kapan teknologi tersebut diterapkan untuk pertama
kalinya (belum menerapkan budaya melestarikan catatan sejarah). Dalam
kaitannya dengan sistem irigasi sederhana, sepanjang air masih tersedia
maka petani akan bercocok tanam dengan dengan infrastruktur
pengairan yang paling sederhana sekalipun, misanya pembangunan
bendung di sungai dengan konstruksi sederhana dengan memanfaatakan
bahan bangunan yang dapat diperoleh disekitarnya, misalnya dengan
“bendung bambu” sederhanya yang cukup efektif membendung sungai-
sungai berukuran kecil dan sedang (Lihat Gambar 12., 13, dan 14).
13 14
16
”kesederhanaan” sedemikian rupa sehingga para petani bagaimanapun
rendahnya pendidikannya, akan tetap mampu memahami dan
menerapkan teknologi sederhana tersebut dalam kehidupannya sehari
hari tanpa melibatkan wawasan dan teknologi canggih, atau prasarana
keairan permanen dan spektakuler. Bahkan teknologi sederhana tersebut
dapat diturunkan turun-temurun dari generasi ke generasi selama ratusan
bahkan ribuan tahun sampai di Era Modern saat ini. Lihat Gambar 15,
Bangunan pewngukur air sederhana (tektek) oleh Subak di Bali, Dan
Gambar 16., Alat ukur tanah sederhana terbuat dari kayu, namun
derngan akurasi yang baik.
15 16
Meskipun bukti-bukti teknologi yang ada di Indonesia hingga saat ini jauh
lebih muda usianya, nampaknya nenek moyang kita sudah cukup lama
dan sudah cukup berpengalaman dalam teknologi air dan lingkungan di
Bumi Nusantara. Nenek moyang kita, rupanya sudah berusaha untuk
mengkomunikasikan pengalaman dan kepiawaiannya dalam teknologi
keairan dan lingkungan, dengan mengukirkannya pada dinding-dinding
candi yang tersebar di beberapa tempat di Pulau Jawa bahkan di luar Jawa
yang mungkin sebagiannya belum diketemukan.
Sekalipun belum dapat diketahui secara pasti sejak kapan mulai
dikenalnya peradaban teknologi keairan, namun dari gambaran nyata
pada beberapa relief di Candi Borobudur (yang dibangun pada Abad ke 7-
8 M), jelas terlihat pesan tentang penerapan pemanfaatan air untuk
memasak dan untuk konsumsi air minum (Lihat Gambar 17. dan 18.).
17 18
18
menuangkannya ke dalam sebuah mangkok (cangkir) – yang bentuk dan
fungsinya tidak jauh berbeda dengan peralatan dapur yang dikenal dan
dipakai pada era modern sekarang ini.
Memang dari gambar tersebut tidak jelas apakah mereka sudah
menggunakan teknologi air, namun bila kita mencoba
menghubungkannya dengan berbagai artifak yang serupa, di Candi
Prambanan, misalnya, mereka pada zamannya sudah pasti melibatkan
peradaban teknologi air untuk penyediaan air dan pelestarian lingkungan.
Dari beberapa relief yang terpampang pada didinding Candi Prambanan,
terlihat dengan jelas bagaimana peradaban teknologi air sudah
berkembang untuk penyediaan dan pengamanan SDA dan ekosistemnya,
bukan hanya untuk kehidupan manusia, tapi juga untuk flora dan fauna
yang ada (Lihat Gambar 19 dan 20.).
19 20
19
Pesan nenek moyang tentang budaya dan teknologi irigasi untuk
bertanam padi sawah, misalnya, cukup jelas terbaca pada dua relief yang
tersimpan di musium Trowulan, Jawa Tmur, bagaimana petani sedang
menanam benih padi di sawah. Dari relief tersebut jelas bahwa saat
bertanam padi sawah orang harus menanam benih, yang berbeda dengan
ladang, di mana benih harus disebar, atau ditanam. Jadi yang dimaksud
21 22
23 24
20
Gambar 23. Relief di Borobudur menggambarkan teknolologi
pengolahan tanah di sawah.
Gambar 24. Relief di Candi Borobudur menggambarkan petani sawah
sedang menanggulangi hama tanaman, burung dan tikus pada saat padi
sedang menguning.
Seandainya relief-relief tersebut, yang jelas dibuat dengan
sempurna dengan relief yang sangat mengagumkan pada era Candi
Borobudur, Perambanan dan lainnya, di abad ke 7-8 Masehi, maka dapat
dipastikan bahwa peradaban teknologi air yang digambarkan dengan
sempurna tersebut, pasti sudah jauh lebih lama dari pembangunan candi
itu sendiri. Sayangnya bahwa sampai saat ini kita belum bisa
mengungkapkan bukti sejarah, sejak kapan Nenek Moyang Bangsa
Indonesia mengenal teknologi keairan dan lingkungan, sebagaimana
dibuktikan oleh Bangsa-bangsa lain di berbagai belahan bumi. Apakah
memang kita lebih belakangan, atau memang belum diketemukan bukti-
bukti arkheologi-nya? Atau barangkali asumsi bahwa peninggalan artifak
dengan konstruksi sederhana sudah hancur terkubur dengan dipacu
proses oksidasi dan pelapukan di iklim tropis? Pertanyaan-pertanyaan
tersebut menyimpan banyk misteri yang merupakan tantangan ke depan
bagi kita untuk dapat mengungkapkan fakta yang sebenarnya.
22
Dengan segala kepiawaian pakar kepurbakalaan di era modern ini,
ternyata temuan demi temuan masih juga terus terungkap dari waktu ke
waktu. Terkadang temuan terbaru mematahkan hipotesis terdahulu
tentang asal muasal atau rentang waktu bidang-bidang tertentu tentang
peradaban manusia yang kebetulan lebih dahulu terungkap. Ini
membuktikan betapa masih banyaknya misteri kehidupan di sepanjang
dimensi sejarah lorong waktu peradaban manusia yang masih terpendam
di perut bumi dan belum terungkap hingga kini.
Dari bukti-bukti sejarah yang terungkap dari berbagai relief-relief
peninggalan purbakala di Indonesia – yang jelas dibuat dengan sempurna
dengan relief yang sangat mengagumkan pada era Candi Borobudur,
Perambanan dan lainnya, di abad ke 7-8 Masehi – penulis mengajukan
argumentasi hipotesis dan memastikan bahwa peradaban teknologi air
yang digambarkan dengan sempurna tersebut, pasti sudah jauh lebih
lama dari pembangunan candi itu sendiri, bahkan tidak lebih belakangan
dimensi lorong waktu sejarah purbakalanya dibandingkan dengan bangsa-
bangsa lain di dunia. Sayangnya bahwa sampai saat ini kita belum bisa
mengungkapkan bukti sejarah, sejak kapan Nenek Moyang Bangsa
Indonesia mengenal teknologi keairan dan lingkungan, sebagaimana
dibuktikan oleh Bangsa-bangsa lain di berbagai belahan bumi.
Dalam konteks tidak diketemukannya bukti-bukti arkheologi
teknologi keairan yang lebih tua di Indonesia dibanding belahan bumi lain,
penulis berargumentasi hipotetis bahwa, di samping argumentasi bahwa
peninggalan artifak dengan konstruksi sederhana akan lapuk oleh proses
oksidasi dan pelapukan di iklim tropis, juga karena nenek moyang Bangsa
Indonesia tidak dituntut membangun infrastruktur keairan yang besar-
besar dengan konstruksi permanent, mengingat keberlimpahan air pada
wilayah geografis kepulauan tropis yang berpencar luas. Namun
argumentasi hipotesis ini tidaklah menutup peluang untuk membuktikan
sebaliknya. Masih banyak misteri dimensi lorong waktu sejarah teknologi
keairan yang dapat diungkapkan untuk membenarkan atau mematahkan
argumentasi hipotesis tersebut ke depan.
Adalah hal yang tidak mustahil bahwa di Bumi Nusantara Indonesia,
juga masih banyak memendam misteri kehidupan dan peradaban
manusia, khususnya di bidang teknologi keairan purba. Tinggal
menunggu giliran untuk diungkapkan oleh pakar-pakar kepurbakalaan
kita di bidang yang satu ini. Hal ini merupakan peluang dan sekaligus
tantangan maha berat -- yang terbuka lebar ke depan – pagi para pakar
teknologi dan arkheologi keairan untuk dapat mengungkapkan selubung
fakta sejarah kepurbakalaan yang sebenarnya.
Melanjutkan tuntutan pengembangan dan pengelolaan dan
pelestarian SDA bagi generasi mendatang, di samping masalah
perencanaan, pembangunan, konservasi, dan pelestarian, maka
”Pengelolaan SDA Terpadu” dengan pendekatan partisipatif, merupakan
rangkaian teknologi yang sangat esensial – bahkan mutlak – untuk
diterapkan secara efektif dan efisien. Kesemua hal ini terbukti tidak lain
23
dari bagian menyeluruh dari pengalaman peradaban manusia di
sepanjang lorong waktu sejarah penerapan teknologi keairan dan
lingkungan yang tidak dapat diabaikan oleh manusia modern yang
semakin sesak huniannya di Planet Bumi.
Hal ini tidak akan serta-merta menjadi sederhana manakala kita
menengarai kenyataan bahwa air di bumi sepanjang lorong waktu,
jumlahnya tetap, sementara kualitasnya semakin rentan akibat ulah
manusia itu sendiri. Sebuah tantangan ke depan yang maha berat bagi
semua, tidak terkecuali bagi Indonesia!
BIBLIOGRAFI:
24
Kingfisher, 1995. Science Encyclopedia, British Library Cataloguing-in-
Publication Data, Elsley House, 24-30 Great Titchfield Street, London
WIP 7AD.
Linsley, Ray K., Jr. et.al., 1959. Hydrology for Engineer, Second Edition,
McGraw-Hill, Kogakusha, Ltd. Tokyo, International Student Edition.
Magenis, Alice, and Appel, John Conrad, 1959. A History of the World.
American Book Company, New York, 1959.
UNESCO. 1972. Learning To Be: The World Of Education Today And
Tomorrow, Unesco And Harrap.
25
©
Dr. (Eng) A. Hafied A. Gany, M.Sc., P.Eng., adalah Widyaiswara Utama
Departemen Pekerjaan Umum bidang “Teknologi dan Manajemen
Keairan”; Wakil Ketua KNI-ICID Bidang Hubungan Internasional; Board
of Director, International Networks on Participatory Irrigation
Managemen - INPIM; President Indonesian Chapter of INPIM (INPIM-
INA); dan Anggota Working Group on Irrigation and Drainage History
of the World, ICID, mewakili Indonesia.