You are on page 1of 26

DIMENSI SEJARAH TEKNOLOGI KEAIRAN DAN

PERSPEKTIF PEMBELAJARAN EMPIRIS MODERN®

Oleh: A. Hafied A. Gany©


gany@hafied.org; hafiedgany@gmail.com

ABSTRACT

S
ince earlier at the the beginning of Industrial Revolution in Europe,
at the time of the invention of technique for transformation of
energy into mechanical force, the advancement of technology has
been accelerating remarkably. The latter technology has even trigged the
era of new revolution in the field of technology toward the 20th Century till
up today’s modern era. Approaching the 21st century, the exceptionally
rapid electronic revolution has even brought about amazing
transformations in the entire development segments, including
communication, computer, and not excepting the technology on
development and management of water resources.
Referring to a number of archeological studies, the human
civilization could presently be traced back as far as seven millenniums.
Nevertheless, in the field of applied technology, such as in the
development and management of water resources, a number of
archeological discoveries in the Middle East has unveiled that the human
civilization had been acquainted with water resources technolgy since the
Fift Millennium. Under such a long span of time, the human civilization has
been quite familiar with the basic application principles of water resources
technology for irrigation practices.
The remaining constraint that continuously hampers the water
resources development today, has been adhered to the capability of the
people to regulate the available water to meet the demands, including the
capacity to mitigate the water related disasters, which by nature are
associated with probabilistic events rather than deterministic, that could
be controlled by technological application. In other words, it is plausible
that the measures for mitigating the water resources related disasters in
the one hand, and provision of water security on the other has yet been
able to fully control by human technology, except in the limited scope of
spatial and volume of water.
In attempting to find resolutions on the demands for water
resources development technology – that has yet fully controllable in the
®
Makalah ini disiapkan oleh A. Hafied A. Gany, Ph.D, P.Eng., dalam rangka Orasi Ilmiah
Widyaiswara Utama, Pusat Pendidikan dan Pelatihan, Sekretariat Jenderal Departemen
Pekerjaan Umum, Juli 2006 bertempat di Ruang Sidang Sapta Taruna Departemen PU,
Jalan Pattimura No. 20/Perc No 7, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
1
so called “modern-world” today – toward sustainable future, it is always
very important prerequisite to pause a while, looking back to the past as
long as possible for obtaining remarkable empirical-lessons from ancient
technology, and subsequently to take into consideration of the positive
lessons, as well as develop or avoid of the negative experiences. This
paper is intending to explore the hisorical dimensions of human
technology in water resources development and management, scrutinize
them from the modern empirical perspectives – taking into consideration
of the unearthed archeological evidences in the entire parts of the globe,
as wel as the historical evidences of Ancient Indonesian’s per-se’.

Key Words: Ancient History of Water; Empirical Lessons;


Water Technology.

I. PENDAHULUAN

D
ari berbagai studi tentang arkheologi, saat ini sejarah peradaban
manusia dapat ditelusuri sampai sejauh 7000-an tahun yang lalu.
Khusus di bidang peradaban teknologi keairan beberapa temuan
arkheologi di kawasan Timur Tengah mengungkapkan bahwa manusia
sudah menerapkannya sejak 5000-an tahun yang lalu sejalan dengan
pengembangan “tulisan paku” (cuneiform). Peradaban manusia di
kawasan Teluk Persia, misalnya, sudah menerapkan budaya cocok
tanam, penyediaan air bersih dan penyehatan lingkungan sejak 5000-an
tahun yang silam. Bahkan Bangsa Iraq (purba), telah mengembangkan
sistem pengelolaan sumber daya air (SDA) terpadu di lembah Sungai
Tigris dan Eupurate pada Tahun 2500-an sebelum tarikh Masehi (SM).
Tulisan ini mencoba menelusuri misteri lorong panjang perjalanan
peradaban manusia di bidang teknologi keairan dan lingkungan
sepanjang bukti-bukti arkheologi yang dapat ditemukan di berbagai
belahan bumi, antara lain seperti peradaban Bangsa Mesir (kuno), Persia,
Yaman, dan berbagai budaya purba di Timut tengah, Turki, Yunani, Asia,
Budaya Maya di Amerika Tengah, dan peradaban pengairan di Nusantara
Indonesia sendiri berikut pembelajaran yang dapat dipetik, serta
perspektif penyelenggaraan ke depan.

II. BUKTI PENINGGALAN PERADABAN TEKNOLOGI


1 KEAIRAN
2.1. Budaya Air di Lembah Sungai Nil
Berkaitan dengan peradaban manusia di
bidang teknologi keairan, Herodotus
Halikamassos yang sangat pupuler sebagai
Bapak Sejarah Purba, seorang pengembara
dan penulis bangsa Yunani, yang hidup

2
antara Tahun 484 dan 425 SM, telah menyatakan ribuan tahun yang lalu
bahwa Sungai Nil merupakan suatu hadiah tak ternilai bagi Bangsa Mesir.
Betapa tidak, dengan kenyataan bahwa tinggi curah hujan tahunan di
Kairo dan sekitarnya hanya berkisar 20-an mm, ternyata bahwa budaya
pertanian di lembah Sungai Nil sudah berlangsung sekitar 5100-an tahun
SM sampai sekitar 3000 tahun SM, dengan melibatkan intervensi
teknologi irigasi yang spektakuler, pada masa itu (Lihat Gambar 1, Peta
Lembah Sungai Nil purba).

Di Lembah Sungai Nil tersebut, ternyata


2 bahwa budaya pertanian sudah melibatkan
intervensi teknologi irigasi yang relatif
signifikan, pada masa itu. Kita mengenal
pertama kali adanya budaya pertanian
dengan sistem "kolmatasi" yaitu dengan
mengendapkan lumpur aliran Sungai Nil
sebagai lahan bercocok tanam yang subur,
dan Pengangkatan air dengan sistem
“Shadoof” (Lihat Gambar 2.), Magenis,
Alice, 1959.
Bukti
peninggalan budaya cocok 3 tanam paling
tua (sekitar Tahun 3100 tahun SM, atau
sekitar 5100-an tahun yang lalu)
tergambar secara jelas pada relief kuno
(Lihat Gambar 3.) yang
mengilustrasikan Bagaimana Raja
Scorpion meresmikan suatu proyek
irigasi di Masir (Butzer, 1976, dalam
Farhangi, 2004. P. 33). Dari ilustrasi ini,
tidak dijelaskan adanya peresmian
pembangunan bangunan utama seperti
bendung atau bendungan, meskipun
Herodotus telah menyinggung
mengenai hal ini. Namun demikian, dari
bukti peninggalan yang ada, diketahui
adanya pembangunan tanggul banjir di sepanjang bantaran Sungai Nil
sekitar 20 km sebelah Selatan Kota Kairo pada abad-abad dahulu kala
tersebut.

2.2. Peninggalan Peradaban Yunani


Budaya teknologi bangsa Yunani (Kuno) sejak lama sampai era
kepahlawanan Mycenacan, Bangsa Yunani sudah banyak berkecimpung
dalam bidang teknik hidraulik sejak sekitar Tahun 1500 SM. Misalnya,
pembangunan bendungan pembagi air Tiryns berlokasi sekitar empat km

3
sebelah timur kota Tiryns dibangun dengan tujuan utama untuk
pengendalian banjir, di samping tujuan penting lainnya untuk penyediaan
air. Bendungan tersebut – dari pasangan batu dari campuran kapur dan
tanah liat – sampai saat ini masih dalam bentuk sebagaimana seperti saat
dibangunnya pada Tahun 1260 SM.

2.3. Peninggalan Peradaban Bangsa Iran (Persia)


Diantara 57 Warisan dunia bagi budaya manusia yang terdaftar oleh
UNESCO, di Iran tercatat empat buah situs purbakala, salah satunya
adalah suatu pusat politik dan budaya dan keagamaan masa purba yang
dikenal dengan nama Kompleks Chogha Zambil, dan selanjutnya, adalah
bendung di kota Shushtar yang dibangun dalam kurun waktu yang sama,
mengkombinasikan antara irigasi, air bersih dan sanitasi perkotaan serta
tenaga kincir air.
Kompleks Chogha Zambil dibangun pada tahun 1250 SM, oleh Raja
Elamite. Bangunan tersebut dimanfaatkan sebagai pusat kegiatan politik
kebudayaan dan agama, dibangun dengan ketinggian 50 m
menggunakan bahan bangunan batu bata ukuran besar, dilengkapi
jaringan suplai air modern pada waktu itu, yang mana sumber airnya
diambilkan dari kota Dur-Untash sejarak 50 km.
Dari sumber pengambilan di sungai, air terlebih dahulu dialirkan ke
waduk tampungan sementara yang dibuat secara khusus melalui
pembendungan lembah dengan bendungan yang mampu menampung
sementara volume air sebesar 350 m3. Air diendapkan pada waduk
tersebut sebelum dialirkan ke Kompleks Chogha Zambil.
Gambar 4. Skhema tanpa skala
4 bangunan penjernih air untuk Kompleks
Choga Zambil (Peninggalan tahun 1250
SM).
Teknologi pengaliran air pada saat itu
sudah lama menerapkan hukum “bejana
berhubungan”, untuk mengalirkan air
dengan saluran air tertutup, mengikuti
lekuk-lekuk permukaan bumi sampai ke
tempat tujuan konsumen sejauh 45 km,
dengan panjang pipa keseluruhan 50
km. Airnya sebelum dikonsumsi, terlebih dahulu diproses melalui
bangunan penjernihan di ujung akhir pipa. (Lihat Gambar 2.) Dari denah
tanpa skala dari bangunan penjernih air, tergambar mekanisme dari
sistem penjernihan air dengan menggunakan prinsip pengendapan
sedimen pada kolam penenang, dan disalurkan melalui lubang berfilter
pasir dan kerikil sampai airnya cukupr bersih untuk dipakai.

4
Pada Gambar 5. disajikan detail
ilustrasi pintu dan inlet pemasokan air
5 dari saluran air bersih kuno (yang
dibangun pada sekitar 3256 tahun
yang lalu), menggunakan prinsip
bejana berhubungan.
Patut dicatat bahwa fasilitas publik
yang disediakan pada kompleks Situs
Chogha Zambil ini, bukan hanya
menekankan perlunya jaringan
distribusi air bersih, namun juga sudah
dilengkapi dengan sistem drainase
perkotaan berupa jaringan pembuangan air limbah.

Gambar 6. Temuan arkheologi


terbaru, yakni salah satu bagian dari
6
saluran drainase perkotaan Kompleks
Chogha Zambil ((Peninggalan tahun
1250 SM).
Hal yang menarik bagi penulis
adalah, bahwa sebuah temuan terbaru
berupa artifak saluran air limbah kuno
(yang dibuat pada 3256 tahun yang
lalu) di lokasi kompleks Chogha
Zambil, ditemukan team arkheologi
Iran hanya empat hari (21-02- 2006) sebelum penulis berkunjung ke
tempat tersebut (Lihat Gambar 6).

Hal ini memperkuat dugaan betapa masih banyaknya hal yang


belum diketahui oleh manusia modern terhadap misteri kehidupan nenek
moyangnya di sepanjang lorong waktu peradaban manusia yang masih
sangat sedikit terungkap hingga masa kini. Tidaklah mustahil bahwa Bumi
Nusantara Indonesia juga banyak menyimpan misteri, khususnya dalam
bidang teknologi keairan purbakala, yang kini masih menunggu gilirannya
untuk diungkapkan oleh pakar-pakar kepurbakalaan kita di bidang ini.
Jaringan Irigasi dan SDA Terpadu: Di Provinsi Khozestan, Iran barat
daya, jaringan sungai-sungai Dez, Karkheh, Mazun, Bahman-Shir dan
Krung, telah dimanfaatakan secara terintegrasi untuk jaringan irigasi
Monoo (Mian-Ab) yang sistem inter-koneksinya cukup kompleks. Dari
artifak yang ada, dapat disimpulkan saat ini bagaimana kompleksnya
jaringan yang dimanfaatkan secara terpadu untuk berbagai kepentingan
kehidupan dan penghidupan pada ribuan tahun sebelum Tarikh Masehi di
kawasan tersebut.

2.4. Peninggalan Peradaban Bangsa Turki


5
Di sekitar abad ke 17 SM Kaum Hittites mendirikan negara Indo-Eropa
yang pertama di tengah-tengah wilayah Turki, dengan ibu kota Hattusa
(Sekarang bernama Kota Boazkale), sekitar 150 km sebelah timur kota
Angkara. Pada saat itu sebuah waduk dengan konstruksi primitif dibangun
pada lokasi sekitar 30 km sebelah barat laut ibu kota tersebut di lokasi
Golpunar. Juga, sebuah waduk yang berlokasi di dekat Karakuya, sekitar
370 km sebelah timur Angkara, dibangun pada abad ke 13 SM. Pada
masa itu, di Turki banyak dibangun bendungan tipe "hafirs" dibangun
pada era Meroitik Muda, di mana debiet air yang dialirkan melalui pintu
sluis dimanfaatkan untuk mengairi daerah padang gembala di sekitarnya.
Pada sebuah kaki bukit di hulu sumber air, di permukiman masyarakat
Eflatun Pinar yang berlokasi sekitar 260 km sebelah barat daya kota
Angkara, terdapat sebuah waduk genangan air dengan bendung kecil
melintang lembah untuk memenuhi kebutuhan air yang cukup efektif
untuk memenuhi kebutuhan air di kawasan sekitarnya.

2.5. Peninggalan Peradaban Bangsa Iraq


Berbeda dengan kondisi SDA yang berpotensi besar di lembah sungai Nil,
ada dua sungai yang secara periodik membawa banjir tahunan di Iraq,
yakni sungai Tigris dan Euphrates. Untuk mengatasi masalah terkait,
pengembangan kedua sungai ini memerlukan kombinasi antara
pengendalian banjir dan pengaturan pemberian air bagi tanaman
pertanian, serta kebutuhan air dan pelestarian lingkungan. Sungai Tigris
pada saat tersebut dimanfaatkan sepenuhnya untuk pemberian air irigasi
dengan membangun bendungan Marduk dan Nimrud di dekat Samarra
pada periode sekitar 2500 SM (sekitar 4500 tahun yang lalu). Bendungan
tersebut berlokasi sekitar 100 km sebalah barat laut kota Baghdad, dan
tetap menjadi sebuah legenda bagi pembangunan prasarana keairan bagi
ummat manusia sampai masa kini. Malahan diketahui belakangan
jaringan irigasi Kisrawi, Tamara, Nahrawan sudah menerapkan sistem
terintegrasi (Integrated Water Resources Management) pada saat itu.
Bendungan Suplai Air Nineveh: Sebuah bukti fisik lain mengagumkan
dari upaya Bangsa Iraq membangun infrastruktur penyediaan air di
bawah Raja Assyria, Sennacherib (704-681 SM) untuk suplai air ibu kota
negara, Nineveh – pada saat itu, sekitar 355 km sebelah utara Baghdad.
Seorang putra mahkota kerajaan Assyria yang bernama Urartu, juga
seorang ahli dalam pekerjaan bangunan air melaksanakan pkerjaan
pembuatan bendungan untuk suplai air bagi penduduk melalui penerapan
penggunaan air sungai secara integral dan terpadu.

2.6. Peninggalan Peradaban di Kawasan Padang Pasir Barat Daya


Asia
Sepanjang bukti dokumentasi sejarah sampai saat ini, bendungan tertua
di dunia diketahui berlokasi sekitar 100 km sebelah barat daya Amman,
Ibu kota Kerajaan Jordania. Bendungan tersebut merupakan bagian yang
6
menyeluruh dari sistem distribusi air dari Kota Jawa (dengan jumlah
penduduk sekitar 2000 jiwa pada saat itu) yang sudah mencapai tingkat
kejayaannya pada tahun 3000 SM. (Lihat Skema sistem suplai air untuk
Kota Jawa pada Gambar 7.).
Gambar 7. Peta skhematis sistem
7 suplai air kota Jawa (kuno) 100 km
barat daya Kota Amman (saat ini) –
Peninggalan Tahun 3000 Sebelum
Tarikh Masehi.
Diketahui belakangan bahwa Kota
Jawa tersebut dibangun bersamaan
dengan pembangunan Sistem
Distribusi air No. 1 pada awal musim
penghujan, agar kebutuhan air bagi
para pelaksana dan koloni ternaknya
dapat bertahan menghadapi musim
kemarau berikutnya.
Dari bukti yang ada, Kota Jawa
tidaklah dibangun oleh penduduk asli yang bermukim berpindah-pindah di
sekitar daerah tersebut. Besar kemungkinan bahwa pembangunan sistem
distribusi air perkotaan tersebut dibangun secara cermat dan terorganisir
oleh komunitas pendatang yang mengunsi dari kawasan permukiman
perkotaan yang lebih tinggi peradabannya.

Bendungan untuk Irigasi di Yaman: Suatu kejadian spektakuler yang


tercatat dalam hikayat Nabi Sulaiman (Solomon) dalam Kitab Injil adalah
peristiwa kunjungan Ratu Biliqis dari Saba di Yaman yang berjarak sekitar
2000 km arah selatan dari kota Jarusalem. Tersebut bahwa ibu kota Saba
pada waktu itu adalah Kota Magrib sekitar 120 km dari kota Sana. Negeri
yang mencapai tingkat kemakmuran yang tinggi tersebut adalah berkat
pengembangan dan pengelolaan irigasi selama lebih dari seribu tahun.
Tercatat bahwa sejak Tahun 1500 SM Orang-orang Saba’ telah mampu
membendung sungai utama di daerah tersebut yakni Sungai Danah.
Bendungan Kaum Nabatean: Pada sekitar Abad ke Dua Sebelum
Masehi, Kaum Nabatean mendirikan kerajaan dengan ibu kota Petra,
sekitar 185 km sebelah selatan Amman. Mengingat lokasi kota tersebut
terletak pada lembah anak sungai di padang pasir, maka dalam tahap
selanjutnya, kota tersebut hanya dapat bertahan berkat keandalan
bangunan air yang dibangun untuk hal tersebut, Salah satu bangunan
yang sangat penting pada waktu itu adalah untuk mengendalikan banjir
bandang yang berulang kali terjadi pada lembah padang pasir tersebut.
Konstruksi bendungan tersebut dilengkapi dengan terowongan yang
panjangnya sekitar 400 m menyeberang ke lembah sekunder di
sebelahnya untuk pengaliran air diwaktu banjir.

7
Menyusul beberapa lokasi yang serupa lainnya, orang-orang
Nabaten membangun check dam yang dimaksudkan juga untuk menahan
laju erosi, di mana endapan yang terkumpul dijadikan lahan untuk
bercocok tanam. Langkah-langkah tersebut merupakan awal-awal
”teknololgi konservasi lahan, air dan lingkungan” yang banyak dikenal di
era modern sekarang ini.
Untuk penyimpanan air, orang Nabatean lebih menyenangi sistem
penyimpanan tertutup (bawah tanah), yang diperkirakan untuk
pendinginan dan mengurangi kehilangan air akibat penguapan, dibangun
dengan menggunakan konstruksi pasangan batu dengan mortar yang
terbuat dari campuran kapur dan sejenis tanah lempung yang ternyata
mampu bertahan sampai saat ini.

2.7. Peninggalan Peradaban Bangsa Sri-Lanka


Sri Lanka (Ceylon), negara pulau yang terletak di
8 ujung selatan India mempunyai luas 66.000 km2.
Sementara itu, pegunungan yang membentang di
sepanjang barat daya, senantiasa menerima curah
hujan yang cukup besar. Kawasan yang lebih
kering lainnya sangat baik untuk dikembangkan
untuk kawasan pertanian (Lihat Gambar 8, Peta
Sri-Lanka). Curah hujan tahunan rata-rata berkisar
antara satu sampai dua meter merupakan besaran
yang cukup signifikan, namun kebanyakannya
terkonsentrasi pada tiga bulan, yakni dari
Desember sampai Februari setiap tahunnya.
Di samping itu, lapisan muka tanah yang
tipis kebanyakannya bertumpu menumpang
pada lapisan subsoil pada batu karang keras.
Dengan demikian kapasitas daya tampungnya
sangat terbatas dan aliran permukaan cepat sekali menghilang. Untuk
membangun daerah pertanian di kawasan tersebut telah dimulai oleh
masyarakat petani di bagian utara dan timur Sri Lanka, hal ini dapat
diketahui dari sisa-sisa reruntuhan bendungan primitif di banyak
tempat di kawasan tersebut.

Waduk Besar Singhalese: Pada tahun 544-543 Masehi Pengembara


Indo Eropa Putra Mahkota Vijaya dari Bengali (Timur India) bersama 700
pengikutnya membangun Dinasti Singhalese dari kerajaan di Sri Lanka.
Pemerintahan ini memerintahkan membangun waduk-waduk dengan
tidak sampai menenggelamkan waduk-waduk kecil perdesaan di
sekitarnya, sekaligus memberikan suplemen kepada waduk-waduk
tersebut untuk pengembangan daerah pertanian. Salah satu waduk yang
paling tua adalah Waduk Panada di pantai barat negara pulau tersebut.
Bendungan tersebut dibangun sekitar tahun 370 SM yang mampu
menampung air sekitar sembilan juta m3. Konstruksi bendungnya
8
dibangun dengan sumbu yang tidak lurus mengikuti lekuk topografi untuk
menghindari permukaan yang rendah. Bangunan ini juga memberikan
suatu ciri khusus dari bendungan Singhalese, yakni lebar permukaan
bendungan yang cukup besar. Dengan lebar permukaan atas bendung 2,4
m lebar tubuh bendung masih sedikit agak sempit dengan kemiringan
lereng 1:2,5 pada kedua sisinya masih termasuk curam.
2.8. Peninggalan Peradaban Bangsa China
Dalam konteks iklim basah di kawasan daerah subtropis, prioritas
pembangunan prasarana SDA di China termasuk rendah, lebih banyak
mengkonsentrasikan diri pada penanggulan tepi sungai dan pengendalian
sungainya sendiri, yang terbukti dari penerapan teknik transportasi air
yang telah lama berkembang untuk menghubungkan pusat-pusat
peradaban tersebar di China.
Namun demikian Bangsa China tetap mencatat sebuah bendungan
yang tersohor pada zamannya yakni bendungan Anfengtang atau Shao
yang dibangun antara tahun 402-221 SM. Bendungan tersebut tercatat
sebagai bendungan yang tertua untuk menunjang pertanian sekaligus
untuk navigasi sungai di China.
Waduk-waduk penyimpanan air: Sepanjang catatan yang ada sejak
awal periode Tiongkok Purba, diketahui adanya pembangunan tujuh buah
waduk penyimpanan air, yang berlokasi di tengah-tengah pusat negara
tersebut, di sebelah barat dan di sekitar Shanghai. Bendungan tertua
sebagaimana tersebut terdahulu adalah Waduk Afengtang yang dibangun
dari tahun 589 s/d 581 SM di bawah pengawasan Sun Shauo, seorang
menteri yang tersohor dari Raja Ting (606-586 SM). Bendungan tersebut
sampai hari ini masih beroperasi dengan baik dengan daya tampung
sekitar 100 juta m3 air. Waduk serupa yang dipakai untuk penampungan
air irigasi adalah Waduk Hongxi yang dibangun pada sekitar tahun 100
SM di sekitar Sungai Huai.
Dengan adanya laju peningkatan jumlah penduduk, kemudian
disadari betapa semakin sulitnya membangun waduk di kawasan
pedataran Hongxi, sehingga malahan terjadi sebaliknya, justru
dikeringkan untuk penampungan permukiman. Pada tahapan
pembangunan selanjutnya, pembangunan waduk berpindah ke kawasan
pegunungan yang umumnya memerlukan bendungan yang tipenya lebih
pendek. Waduk Dongquian misalnya, yang masih ada sampai saat ini
sebenarnya terbangun pada periode abad ke tiga Masehi dan mampu
menampung 40 juta m3 dan merupakan sumber air utama bagi kawasan
di sekitarnya.

2.9. Era Peninggalan Peradaban Meso-Amerika Pra Columbia


Keadaan iklim kawasan Meso-Amerika tidak termasuk Amerika Serikat,
umumnya kering di tengah-tengah dataran tinggi namun lembab dan
dengan kondisi tropis sepanjang pantai. Dengan curah hujan dan aliran

9
air permukaan yang tidak merata sepanjang tahun, komunitas petani
tradisional masa lalu (yang sudah ada sebelum budaya Zapotecs, Toltecs,
Maya, Anazasi dan Aztec) telah mampu membangun bendungan untuk
menyimpan air selama musim hujan untuk dimanfaatkan dalam musim
kemarau.
Bendungan tertua semacam tersebut yang masih bisa diketemukan
sampai saat ini adalah Bendungan tipe urugan tanah Purron dekat San
Jose' Tilapa di ujung paling selatan Lembah Tehchuacan, sekitar 260 km
sebelah selatan Kota Mexico.
Bendung Xoxocotlan dan Suplai Air Monte Alban: Sebuah bendung
yang lebih kecil peninggalan abat ke tujuh SM ditemukan dekat
Xoxocotlan, sebelah barat daya Oaxaca, sekitar 370 km sebelah barat
daya Kota Mexico. Bangunan tersebut dibuat dari susunan batu besar
yang direkat dengan mortar dari bahan kapur.
Patut dicatat bahwa lahan irigasi yang mendapatkan air dari
Bendungan Xoxocotlan, tidaklah memberikan kontribusi produksi pangan
yang signifikan terhadap pusat budaya di sekitarnya, namun lebih
terhadap pemenuhan kebutuhan air bersih, yakni untuk kawasan
permukiman Monte Alban. Juga dikenal sebagai pusat budaya maju dalam
penampungan dan penyimpanan air hujan untuk memenuhi kebutuhan
air minum. Pada masa jayanya, sekitar 250-650 Masehi (M), Monte Alban
berpenduduk sekitar 25 ribu jiwa, sudah menggunakan saluran tertutup
dari pasangan batu, dengan tangki air berganda.
Bangsa Maya di Yukatan, pada mulanya membangun waduk-waduk
hanya untuk memberikan suplai air penduduk domestik ketimbang untuk
pemberian air untuk kepentingan irigasi bagi lahan pertanian, yang justru
dibutuhkan di kawasan tropis. Waduk semacam tersebut dikembangkan
di Kawasan Tikal, Guatemala, yang mencapai puncak kejayaannya di
sekitar tahun 600 sampai 900 M. Sementara beberapa waduk dibangun,
beberapa kawasan justru tergenang oleh bendungan-bendungan berdaya
tampung kecil misalnya dengan volume sekitar 50.000 m3 untuk waduk-
waduk yang berlokasi di sekitar istana.
Waduk Toltec untuk Irigasi dan Air Bersih: Paralel dengan
pembangunan yang dilakukan oleh peradaban Kaum Zapotek dan Maya,
diperkirakan salah satu kelompok peradaban Toltec mencapai
kejayaannya antara tahun 500 sampai 1100 M. Untuk memfasilitasi irigasi
dan air bersih, juga diketemukan waduk yang terbesar di kawasan
tersebut berupa waduk memanjang (long storage) dilengkapi dengan
fasilitas waduk untuk pengamanan sungai (river-training dam) dan
bangunan bagi air (diversion structure) di sebelah hilirnya.
Jaringan Waduk Anasazi: Secara terpisah dari pembangunan yang
dilaksanakan di Mexico, khususnya di barat laut Amerika Serikat,
beberapa kelompok komunitas tradisional agaknya secara terpisah telah
mengembangkan teknik hidraulik yang cukup maju dalam upaya
mempertahankan kelestarian lingkungannya yang relatif bercuaca kering.

10
Beberapa waduk khusus telah dibangun oleh Kaum Anasazi di sebelah
selatan Colorado dan lainnya di New Mexico, yang kemudian menjadi
terkenal dengan sistem huniannya yang bertingkat banyak, kemudian
tercatat sebagai tempat kelahiran pencakar langit yang pertama di dunia
modern.
Bendungan dan Tanggul Peninggalan Bangsa Aztec: Beberapa abad
sebelum pendudukan bangsa Spanyol pada Tahun 1518 M, Bangsa Aztec
sudah mencapai tingkat supermasi yang tinggi di Mexico. Pada masa itu,
mereka membangun ibu kotanya Tenochtitlan di tengah-tengah kota
Mexico yang dikenal dewasa ini. Pusat pemerintahan tersebut berbentuk
enklave (pulau) dilokasi sebelah barat Danau Texcoco, sebuah danau
yang menutupi sebagian besar lembah Kota Mexico. Disebelah timur hilir,
bagian dari airnya mengandung asam nitrat yang berbahaya bagi
pertumbuhan tanaman pada pulau buatan manusia yang terdiri dari
endapan lumpur dan tanaman aquatik, terkenal dengan sebutan "Kebun
Gantung" (Floating Gardens), yang sampai saat ini masih dapat
disaksikan di Xochimileo sebelah selatan Kota Mexico.

2.10. Peninggalan Masa Kejayaan Romawi


Menjelang Abad ke lima SM, Bangsa Romawi membangun jaringan
drainase perkotaan untuk Kota Forum dengan jaringan sanitasi Cloaca
Maxima. Dalam kurun waktu yang sama, mereka juga membangun
saluran drainase lembah Aricca dengan trowongan sepanjang 607 m yang
terletak sekitar 30 km sebelah tenggara Kota Roma. Pada Tahun 396 SM,
mereka menurunkan muka air danau Albano melalui terowongan
sepanjang 1200 m untuk mendapatkan tambahan lahan pertanian. Dari
Tahun 312 SM sampai Tahun 52 M Bangsa Romawi juga membangun
sembilan talang air dengan panjang total 423 km untuk mensuplai air
bersih bagi kota-kotanya. Pada pertengahan abad pertama sebelum
Masehi, Bangsa Romawi mengembangkan pembangunan waduk di
kawasan Timur Dekat dan kemudian diperkenalkan dengan Teknologi
bendungan Israelite, Nabatean dan Bendungan Ptolmatic.
Selama periode awal pembangunan oleh Bangsa Romawi, mereka
sudah menggunakan berbagai peralatan ukur tanah dan penyipat datar
untuk uitzet bangunan, penggunaan abacus untuk menghitung, juga
penggunaan mistar dan pita ukur, serta peralatan pertukangan, benang
sipat, unting-unting dan semacamnya – yang hingga era modern saat ini
masih masih banyak dipergunakan.

2.11. Peninggalan Peradaban Islam Lama


Belajar dari pengalaman Bangsa-bangsa Arab generasi terdahulu dengan
pemberdayaan lebih lanjut melalui peradaban Islam, bangsa-bangsa Arab
sangat cepat berkembang dalam waktu hanya sekitar satu abad,
terutama di Kawasan Afrika Utara dan Spanyol, juga di Kawasan Barat
11
Daya Asia sampai ke kawasan Sungai Indus dan Uzbekistan. Diperkirakan
bahwa sebagai keberjanjutan tradisi lama, oleh pendahulu Bangsa
Yamani, mereka membangun beberapa bendungan untuk irigasi di sekitar
Pusat peradaban Islam di Kota Mekkah dan Medina.
Bendungan Abbasid di Sungai Adhaim dan Bendungan Bujid di
Sungai Kur: Pada abad ke sembilan Masehi, Raja Abbasid dari Baghdad
membangun sebuah bendungan di Sungai Adhaim dengan bentang 130
m, yang berlokasi sekitar 150 km sebelah utara Kota Baghdad.
Sekitar satu abad kemudian, rangkaian sistem irigasi di Sungai Kur
sebelah selatan Shiraz di sebelah selatan Iran dibangun serangkaian
bendungan untuk pembangkit tenaga kincir air (bendungan tersebut
melayani sekitar 30 kincir air). Demikian juga dengan pembangunan
bendungan untuk mengoperasikan kincir air “Penggilingan Aruban” pada
abad ke dua Masehi di Israel, juga hal yang sama sebelumnya dibangun di
Deh Luran, Iran.
Permasalahan umum yang dihadapi pada masa itu adalah tingginya
tingkat pengangkutan sedimen akibat proses erosi – terutama karena
terbatasnya penutupan permukaan bumi secara vegetatif. Banyak di
antaranya malahan waduk penampungan airnya penuh dengan endapan
sedimen, namun dari segi konstruksi, sekitar sepertiganya cukup mantap
terhadap gaya guling.

2.12. Perpaduan teknologi Zaman Romawi dan Zaman Kejayaan


Islam
Pada Tahun 711 Masehi, orang-orang Islam dalam upaya penyiaran
agama menyeberang selat Gibraltar dan bergerak terus menuju ke
sebelah barat daya Spanyol melewati Kerajaan Visigothic Spanyol sampai
ke perbatasan Perancis Selatan. Di kawasan Valencia, sekirat 300 km
sebelah tenggara Kota Madrid, mereka melaksanakan pekerjaan
rekonstruksi bangunan irigasi, termasuk bangunan bagi yang
membentang di Sungai Turia. Pada Abad ke 11 Masehi, Orang-orang Islam
membangun sekitar sembilan bangunan bagi pada kawasan sejarak 12
km keliling dari lokasi Sungai Turia tersebut.
Bendungan Besar Parada: Pada sekitar Tahun 970 M, bendungan besar
Parada dibangun pada sungai Segura di sebelah hulu Murcia, sekitar 350
m sebelah barat daya Kota Madrid. Kawasan tersebut pada waktu itu
diduduki oleh Orang-orang Yamani yang membawa dan memperkenalkan
budayanya dalam pembangunan irigasi dan bendungan pengairan selama
lebih dari seribu tahun.

2.13. Peninggalan Peradaban Pengairan di Indonesia


Sepanjang catatan sejaran di Indonesia, ada tiga titik tolak yang dapat
memberikan bukti konkret tentang pengembangan dan pengelolaan SDA
di Nusantara Indonesia. Maing-masing berturut-turut adalah temuan batu
12
bertulis Harinjing yang ditemukan di desa Kepung , Kecamatan Pare,
dalam Kawasan Wilayah Sungai Brantas, Provinsi Jawa Timur. Penemuan
tersebut bertanggal 726 Tahun Caka, atau 808 Masehi. Temuan kedua
bertanggal 843 Tahun Caka, atau 921 Masehi. Temuan batu bertulis ke
tiga pada 849 Tahun Caka atau 927 Masehi (Angoedi, 1984., p.25).
Lihat Gambar 9.
Ketiga batu bertulis tersebut menyebutkan bahwa pada awalnya
seorang tokoh masyarakat yang bernama Bhogawanta Bori dari Desa
Culunggi telah dianugerahi oleh Raja Warok Dyah Manarah berupa
pembebasan pajak karena jasanya yang besar membangun tanggul
Harinjing untuk memfasilitasi pengambilan air untuk pertanian dan
sekaligus untuk pencegahan banjir bagi permukiman di salah satu anak
sungai Brantas. Lihat Gambar 10 (Statuet pada Monumen Harinjing
menggambarkan pembangunan bendung secara “gotong-royong”.
Dari bukti-bukti yang ada, mengungkapkan adanya tiga anak sungai
Brantas yang berulang kali dilanda banjir lahar dingin dari Gunung Kelud,
Tanggul Harinjing tercatat mengalami beberapa kali jebol, dan pada saat
ini tinggal dua batu besar dari fondasi tanggul tersebut yang masih dapat
dilihat pada saat ini.
Batu bertulis lain yang memuat informasi yang hampir serupa
adalah Batu Gurit, yang tertulis dalam Bahasa Sansekerta, juga
ditemukan disekitar daerah temuan di atas. Dari bertulis tersebut yang
bertanggal 907 M, disebutkan bahwa pada Tahun 823 M, Kerajaan
Mataram Kuno di bawah pemerintahan Raja Pikatan, tersebut bahwa
daerah pemerintahannya meliputi juga daerah Jawa Tengah dan Jawa
Timur yang dikenal saat ini. Mengingat bahwa kedua kawasan termasuk
dalam pemerintahan Mataram Kuno, pengembangan pertanian beririgasi
di kedua kawasan tersbut masih merupakan yang terkemuka di Indonesia
hingga saat ini.

9 10

Gambar 9. Duplikat Batu Bertulis Harinjing dekat kota Jombang (Pare) di


Desa Siman Krajan. Situs aslinya disimpan di Musium Nasional dengan
Registrasi No. N. D.173; dan Gambar 10. Statuet pada Monumen
Harinjing, menggambarkan pelaksanaan dengan sistem gotong-royong.
13
Gambar 11. Batu bertulis Tugu, Situs
11 aslinya saat ini disimpan di Musium Nasional
dengan Registrasi No. D.124. (Angoedi,
1984, p.28).
2.14. Bangunan Air Tertua di Indonesia
Sepanjang catatan sejarah yang ditemukan
buktinya sampai saat ini, diketahui dari batu
bertulis Tugu bahwa bangunan pengairang
yang pertama (tertua) di Indonesia sampai
saat ini adalah Saluran Chandra Baga
disekitar sungai Cilincing. Batu bertulis Tugu
ditemukan di Desa Tugu dekat Sungai
Cilincing. Untuk pengamanan, batu bertulis
tersebut disimpan di Musium Nasional
dengan regiserasi No. D.124 (Angoedi, 1984., p.28). Lihat Gambar 11.
Berdasarkan interpertasi yang diterjemahkan oleh Prof. Dr. R Ng.
Purbatjaraka disebutkan bahwa Raja Purnawaman mendekritkan untuk
menggali saluran terobosan di Sungai Candrabhaga untuk mengalirkan air
langsung ke laut, sepanjang Istana Candara Bhaga (Sungai Bekasi).
Sementara itu analisis geo-morphologi memperkirakan bahwa Lokasi
Candra Bhaga adalah Sungai Cakung yang dikenal saat ini. Batu bertulis
ini menyebutkan bahwa sejak abad ke Lima Masehi dataran rendah yang
menjadi lokasi Kota Jakarta yang dikenal saat ini sudah terlanda masalah
banjir. Hal ini selanjutnya memberikan bukti baru bahwa bangunan air
tertua di Indonesia yang semula diketahui yakni Tanggul Harinjing (804
M) pada saat ini ditepis dengan keterangan pada batu bertulis Tugu yang
mengungkapkan Saluran Chandra Bhaga di sungai Cakung, dibangun
pada abad ke Lima Masehi (Tahun 500 Masehi), atau sekitar 1.500 yang
lalu.
Dibandingkan dengan peradaban teknologi air dan lingkungan yang
terungkap pada komunitas purba di berbagai belahan bumi, bukti-bukti
artifak purba di Indonesia tergolong jauh lebih muda. Sepanjang catatan
sejaran di Indonesia, ada tiga titik tolak yang dapat memberikan bukti
konkret tentang pengembangan dan pengelolaan SDA. Masing-masing
berturut-turut adalah temuan batu bertulis Harinjing yang ditemukan di
desa Kepung , Kecamatan Pare, dalam Kawasan Wilayah Sungai Brantas,
Provinsi Jawa Timur. Penemuan tersebut berupa prasasti yang bertanggal
726 Tahun Caka, atau 808 Masehi. Temuan kedua juga berupa prasasti
bertanggal 843 Tahun Caka, atau 921 Masehi. Temuan batu bertulis ke
tiga bertanggal 849 Tahun Caka atau 927 Masehi. Namun, sepanjang
catatan sejarah yang ditemukan buktinya sampai saat ini, diketahui dari
batu bertulis Tugu bahwa bangunan pengairan yang pertama (tertua) di
Indonesia sampai saat ini adalah Saluran Chandra Baga di sekitar Sungai
Cilincing.

14
Disebutkan pada prasasti tersebut bahwa Raja Purnawaman
mendekritkan untuk menggali saluran terobosan di Sungai Candrabhaga
untuk mengalirkan air langsung ke laut, sepanjang Istana Candara Bhaga
(Sungai Bekasi). Sementara itu analisis geo-morphologi memperkirakan
bahwa Lokasi Candra Bhaga adalah Sungai Cakung yang dikenal saat ini.
Batu bertulis ini menyebutkan bahwa sejak abad ke Lima Masehi dataran
rendah yang menjadi lokasi Kota Jakarta yang dikenal saat ini sudah
terlanda masalah banjir. Hal ini memberikan bukti baru bahwa bangunan
air tertua di Indonesia yang semula diketahui yakni Tanggul Harinjing
(804 M) ditepis dengan keterangan pada batu bertulis Tugu yang
mengungkapkan Saluran Chandra Bhaga di sungai Cakung, dibangun
pada abad ke Lima Masehi (sekitar 200-an tahun sebelum pembangunan
Candi Borobudur).
Hipotesis tentang Misteri Artifak Purba: Dalam kaitannya dengan
bukti peninggalan sejarah di bidang pengembangan dan Pengelolaan
SDA, ada kalangan yang bependapat bahwa Indonesia sebagai negara
tropis akan sangat sulit menyimpan situs-situs artifak bangunan yang
relatif kecil dan dengan bahan bangunan organik dalam kurun waktu yang
panjang tanpa mengalami pelapukan. Dengan demikian bekas
peninggalan artifak semacam bukti sejarah tersebut di atas tidak akan
tertinggal atau sulit ditemukan setelah ribuan tahun berselang. Kalau
hipotesis itu benar, maka diperkirakan banyak bukti-aktivitas peradaban
manusia purba tersebut di bumi Nusantara yang tetap menjadi misteri
dan tidak bisa ditelusuri, setelah berlangsung ribuan tahun.
Di sisi lain, ada juga sementara kalangan yang mengetengahkan
argumentasi bahwa mengingat Nusantara Indonesia secara alamiah
sudah terbentuk menjadi kumpulauan kepulauan tropis dengan beragam
kesatuan budaya masyarakat yang terpencar dalam wujud kelompok-
kelompok kecil, maka di sisi pembangunan infrastruktur pengairan,
manusia pada waktu itu tidaklah dituntut dengan pengembangan waduk
besar atau infrastruktur yang permanen untuk memenuhi hajat hidup
warganya. Apalagi kalau dikaitkan dengan karunia keberlimpahan air
yang dimiliki Kawasan Nusantara, sehingga kebanyakan budaya tanaman
bisa dilakukan tanpa infrastruktur pengairan yang besar atau permanen.
Kalaupun seandainya bangunan sederhana tersebut dihanyutkan
banjir pada setiap musim hujan, mereka akan mampu memperbaikinya
tanpa upaya konstruksi yang rumit. Mereka akan lebih senang
meluangkan waktu dan tenaga untuk melaksanakan perbaikan tahunan
bangunan sederhana yang ada secara “gotong-royong” ketimbang
memelihara bangunan (infrastruktur) yang permanen sepanjang tahun.
Dengan argumentasi ini, dapat difahami kalau peradaban teknologi
keairan dengan system infrastruktur sederhana, yang meskipun sudah
dilaksanakan selama ribuan tahun, tidak pernah dapat tertinggal
reruntuhannya sebagai artifak untuk berbicara kepada generasi
penerusnya, tanpa lapuk di telan masa.

15
2.15. Sistem Irigasi Sederhana
Bila dikaitkan dengan budaya
12 pertanian sederhana
(tradisional), Kepulauan
Nusantara Indonesia banyak
menyimpan contoh warisan
nenek moyang, baik yang
berbentuk perangkat keras,
maupun system dan
kelembagaan pertanian
beririgasi yang masih
berfungsi di era modern ini.
Misalnya sawah bertingkat di
Pulau Bali, Lombok, Jawa,
Sumatra, Sulawesi, serta berbagai system pertanian tradisional beririgasi
yang tersebar di Nusantara. Sayangnya bahwa budaya pertanian
tradisional tersebut diturungkan secara lisan dari generasi ke generasi
tanpa ada bukti sejak kapan teknologi tersebut diterapkan untuk pertama
kalinya (belum menerapkan budaya melestarikan catatan sejarah). Dalam
kaitannya dengan sistem irigasi sederhana, sepanjang air masih tersedia
maka petani akan bercocok tanam dengan dengan infrastruktur
pengairan yang paling sederhana sekalipun, misanya pembangunan
bendung di sungai dengan konstruksi sederhana dengan memanfaatakan
bahan bangunan yang dapat diperoleh disekitarnya, misalnya dengan
“bendung bambu” sederhanya yang cukup efektif membendung sungai-
sungai berukuran kecil dan sedang (Lihat Gambar 12., 13, dan 14).

13 14

Gambar 13 dan 14. Contoh Bendung onggokan batu di Sulawesi Selatan


yang dikenal masyarakat sejak dahulu kala dengan istilah teppo’ yang
masih banyak dikembangkan sampai saat ini.

Sebagai ilustrasi, salah satu rahasia keberlanjutan teknologi


pertanian ber irigasi ”Subak” di Bali adalah karena menganut prinsip

16
”kesederhanaan” sedemikian rupa sehingga para petani bagaimanapun
rendahnya pendidikannya, akan tetap mampu memahami dan
menerapkan teknologi sederhana tersebut dalam kehidupannya sehari
hari tanpa melibatkan wawasan dan teknologi canggih, atau prasarana
keairan permanen dan spektakuler. Bahkan teknologi sederhana tersebut
dapat diturunkan turun-temurun dari generasi ke generasi selama ratusan
bahkan ribuan tahun sampai di Era Modern saat ini. Lihat Gambar 15,
Bangunan pewngukur air sederhana (tektek) oleh Subak di Bali, Dan
Gambar 16., Alat ukur tanah sederhana terbuat dari kayu, namun
derngan akurasi yang baik.

15 16

Gambar 15. Bangunan pengukur air sederhana (tektek) dipakai oleh


Subak di Bali.
Gambar 16. Peralatan ukur tanah tradisional terbuat dari kayu dipakai
oleh Subak di Bali.

Dari perspektif teknologi keairan modern, meskipun peralatan ukur


air (tektek) ini sangat sederhana, namun kepekaan mengukur debiet air
tidak kalah dengan instrument ukur modern yang kita kenal sekarang ini.
Sebagai contoh, perhitungan kebutuhan air tanaman padi yang sudah
ratusan bahkan ribuan tahun dipraktekkan oleh petani Subak di Bali,
terbukti sangat kondusif dan sesuai dengan perhitungan “water
requirement” pada tingkat aplikasi irigasi senyatanya di lapangan, yang
melibatkan berbagai parameter agroklimatologi modern. Demikian juga
alat ukur tanah tradisional terbuat dari kayu (Gambar 16) yang hasil
ukurannya tidak kalah dengan alat ukur modern, bahkan sejak ratusan
tahun berselang sudah dipergunakan untuk pengukuran dengan persisi
tinggi pada pembuatan trowongan yang menembus gunung sampai
beberapa kilometer jaraknya.
Kalaupun seandainya alat ukur dan bangunan air (infrastruktur)
keairan sederhana tersebut dihanyutkan banjir pada setiap musim hujan,
mereka akan mampu memperbaikinya tanpa upaya yang rumit. Apalagi
dengan kenyataan bahwa mereka lebih mudah dan senang meluangkan
17
waktu dan tenaga untuk melaksanakan perbaikan tahunan melalui
budaya “gotong-royong” ketimbang memelihara bangunan (infrastruktur)
yang permanen sepanjang tahun, dengan demikian peninggalan
artifaknya dan penanggalannya tidak pernah bisa diketemukan.

2.16. Relief pada Berbagai Candi

Meskipun bukti-bukti teknologi yang ada di Indonesia hingga saat ini jauh
lebih muda usianya, nampaknya nenek moyang kita sudah cukup lama
dan sudah cukup berpengalaman dalam teknologi air dan lingkungan di
Bumi Nusantara. Nenek moyang kita, rupanya sudah berusaha untuk
mengkomunikasikan pengalaman dan kepiawaiannya dalam teknologi
keairan dan lingkungan, dengan mengukirkannya pada dinding-dinding
candi yang tersebar di beberapa tempat di Pulau Jawa bahkan di luar Jawa
yang mungkin sebagiannya belum diketemukan.
Sekalipun belum dapat diketahui secara pasti sejak kapan mulai
dikenalnya peradaban teknologi keairan, namun dari gambaran nyata
pada beberapa relief di Candi Borobudur (yang dibangun pada Abad ke 7-
8 M), jelas terlihat pesan tentang penerapan pemanfaatan air untuk
memasak dan untuk konsumsi air minum (Lihat Gambar 17. dan 18.).

17 18

Gambar 17. Relief Karmawibangga pada Candi Borobudur


menggambarkan kegiatan penggunaan air masyarakat purba pada saat
itu untuk memasak.
Gambar 18. Relief Karmawibangga pada Candi Borobudur
menggambarkan kegiatan penggunaan air untuk minum.

Dari Gambar 17, jelas terlihat bagaimana memanfaatkan air untuk


memasak makanan mereka sehari-hari, merebus air, sementara seorang
di depannya sedang membersihkan ikan untuk dimasak. Dari Gambar
18, terlihat bagaimana seorang perempuan sedang melayani suguhan
minuman pada suatu kesempatan. Pada relief tersebut jelas terlihat
bagaimana air (minuman) yang tersimpan pada kendi dan

18
menuangkannya ke dalam sebuah mangkok (cangkir) – yang bentuk dan
fungsinya tidak jauh berbeda dengan peralatan dapur yang dikenal dan
dipakai pada era modern sekarang ini.
Memang dari gambar tersebut tidak jelas apakah mereka sudah
menggunakan teknologi air, namun bila kita mencoba
menghubungkannya dengan berbagai artifak yang serupa, di Candi
Prambanan, misalnya, mereka pada zamannya sudah pasti melibatkan
peradaban teknologi air untuk penyediaan air dan pelestarian lingkungan.
Dari beberapa relief yang terpampang pada didinding Candi Prambanan,
terlihat dengan jelas bagaimana peradaban teknologi air sudah
berkembang untuk penyediaan dan pengamanan SDA dan ekosistemnya,
bukan hanya untuk kehidupan manusia, tapi juga untuk flora dan fauna
yang ada (Lihat Gambar 19 dan 20.).

19 20

Dari Gambar 19, jelas terlihat bagaimana upaya manusia


memanfaatkan air dengan pendekatan keterpaduan antara penyediaan
prasarana SDA dan pelestarian ekosistem yang berkelanjutan. Sementara
pada Gambar 20, jelas terlihat bagaimana peranan air dengan
penggunaan teknologi pancuran untuk menunjang air bagi kehidupan,
bukan hanya untuk manusia, tapi juga bagi keberlanjutan hidup fauna
dan flora serta kelestarian ekosistem lingkungan keairan.

19
Pesan nenek moyang tentang budaya dan teknologi irigasi untuk
bertanam padi sawah, misalnya, cukup jelas terbaca pada dua relief yang
tersimpan di musium Trowulan, Jawa Tmur, bagaimana petani sedang
menanam benih padi di sawah. Dari relief tersebut jelas bahwa saat
bertanam padi sawah orang harus menanam benih, yang berbeda dengan
ladang, di mana benih harus disebar, atau ditanam. Jadi yang dimaksud

21 22

dalam relief tersebut pastilah menanam padi dengan


menggunakan medium air sebagai pelunak tanahnya. Bagaimanapun
sederhananya, yang pasti bahwa mereka sudah menggunakan upaya
mendatangkan air atau setidaknya menggali sumur atau menjernihkan air
agar cukup bersih untuk dikonsumsi.

Gambar 21. Relief Candi di Musium Trowulan menggambarkan budaya


bertanam padi di sawah.
Gambar 22. Relief Candi di Musium Trowulan melukiskan pemandangan
petak sawah di pedesaan.

23 24

20
Gambar 23. Relief di Borobudur menggambarkan teknolologi
pengolahan tanah di sawah.
Gambar 24. Relief di Candi Borobudur menggambarkan petani sawah
sedang menanggulangi hama tanaman, burung dan tikus pada saat padi
sedang menguning.
Seandainya relief-relief tersebut, yang jelas dibuat dengan
sempurna dengan relief yang sangat mengagumkan pada era Candi
Borobudur, Perambanan dan lainnya, di abad ke 7-8 Masehi, maka dapat
dipastikan bahwa peradaban teknologi air yang digambarkan dengan
sempurna tersebut, pasti sudah jauh lebih lama dari pembangunan candi
itu sendiri. Sayangnya bahwa sampai saat ini kita belum bisa
mengungkapkan bukti sejarah, sejak kapan Nenek Moyang Bangsa
Indonesia mengenal teknologi keairan dan lingkungan, sebagaimana
dibuktikan oleh Bangsa-bangsa lain di berbagai belahan bumi. Apakah
memang kita lebih belakangan, atau memang belum diketemukan bukti-
bukti arkheologi-nya? Atau barangkali asumsi bahwa peninggalan artifak
dengan konstruksi sederhana sudah hancur terkubur dengan dipacu
proses oksidasi dan pelapukan di iklim tropis? Pertanyaan-pertanyaan
tersebut menyimpan banyk misteri yang merupakan tantangan ke depan
bagi kita untuk dapat mengungkapkan fakta yang sebenarnya.

III. DIMENSI LORONG WAKTU SEJARAH


Meskipun fakta yang tersaji dalam uraian ini belum dapat menjadi
argumentasi yang mewakili kondisi senyatanya secara universal, namun
sepanjang bukti-bukti arkheologi yang sudah terungkap oleh manusia
modern, nampaknya untuk sementara sudah dapat ditarik kesimpulan
tentang asumsi lorong waktu peradaban teknologi keairan sampai ke Era
Modern di mana kita hidup saat ini.
Dari berbagai temuan arkheologi, budaya kehidupan manusia,
dapat ditelusuri sampai sejauh 7000-an tahun yang lalu, namun dari segi
peradaban teknologi keairan dan lingkungan, belum ada fakta yang dapat
membuka tabir misteri mengenai awal mula penerapannya.
Di Nusantara Indonesia, nampaknya sejarah pengembangan
teknologi keairan dan lingkungan sejauh yang dapat diketengahkan bukti
konkretnya, adalah pembanguanan saluran Chandra Bagha pada sekitar
Tahun 500 Masehi, mendahului pembangunan Candi Borobudur yang
berlangsung antara Abad ke tujuh dan Abad ke delapan Tarikh Masehi.
Jadi sepanjang sejarah manusia, sebagaimana tercatat pada bukti-
bukti arkheologi (kepurbakalaan) yang ada, nampaknya terbentang
lorong waktu peradaban teknologi keairan dan lingkungan yang cukup
panjang, yakni sejak Raja Scorpion dari Mesir meresmikan pembangunan
salah satu jaringan irigasinya pada tahun 3100 SM sampai zaman modern
saat ini, atau tidak kurang dari 5100 tahun yang lalu. Tidak ada yang bisa
menyangkal bahwa periode tersebut benar-benar merupakan Misteri
21
Lorong Waktu Sejarah yang cukup panjang ditinjau dari umur peradaban
dan budaya manusia, namun sangat singkat bila diukur dengan dimensi
waktu geologis bumi pijakan kita saat ini, yang parameter waktunya
adalah milinnium dan bukan sekedar abad atau tahun.

IV. PERSPEKTIF PEMBELAJARAN EMPIRIS


MODERN KE DEPAN
Dari bukti-bukti yang ada, banyak pembelajaran empiris modern yang
dapat dipetik mulai dari tahapan perencanaan, pembangunan sampai ke
upaya pengelolaan SDA dan pelestarian lingkungan ekosistem air dari
bukti sejarah masa lampau. Di Bidang Teknologi Perencanaan, misalnya,
banyak dijumpai pengalaman terjadinya under-designed, dan atau over-
designed, di mana under-designed mengakibatkan kecilnya kapasitas
tampung untuk menampung banjir besar, sehingga bangunan tidak
berumur lama – demikian juga sebaliknya terhadap dampak negatif over-
designed.
Pengalaman di Indonesia selama periode beberapa dekade
pembangunan modern di bidang konstruksi, sangat banyak di jumpai
pengulangan kesalahan masa lalu, di mana pada awal-awal
pembangunan prasarana bendungan purba yang tidak difasilitasi dengan
terowongan atau saluran pengelak sehingga mengalami jebol dalam
periode banjir sebelum pelaksanaan konstruksinya selesai.
Dalam bidang pengendalian banjir dan Konservasi SDA, banyak
pengalaman empiris yang dapat di timba dari orang-orang Nabaten, yang
masih relevan dengan teknologi SDA modern, misalnya, dalam
pembangunan check dam untuk menahan laju erosi, di mana endapan
yang terjadi dimanfaatkan sebagai lahan untuk bercocok tanam. Hal ini
sekaligus merupakan teknologi konservasi lahan dan air yang justru
menjadi isu sentral pengembangan dan pengelolaan SDA yang – harus
diakui – masih dalam tahapan penjajakan awal di alam modern sekarang
ini.
Menarik dijadikan renungan untuk bahan pertimbangan ke depan,
bahwa sejak ribuan tahun yang lalu, manusia sudah menerapkan
teknologi pengelolaan SDA terpadu, padahal pada saat tersebut masalah
kependudukan belum begitu mengemuka. Dapat dibayangkan bagaimana
Bangsa Iraq di lembah sungai Tigris dan Eupurate ribuan tahun yang lalu
sudah menerapkan pengelolaan SDA terpadu dalam pengelolaan jaringan
jaringan irigasi terpisah secara fisik, yakni Kisrawi, Tamara, dan
Nahrawan, sehingga penggunaan airnya terintegrasi dan menjadi
berkelanjutan. Sementara itu, ”Pengelolaan Irigasi Terpadu” (Integrated
Water Resources Manajement - IWRM) di Indonesia pada era teknologi
modern saat ini, masih juga tetap sebagai wacana yang menjadi obsesi
para praktisi, dan pakar serta stakeholder bidang pengelolaan sumber
daya air

22
Dengan segala kepiawaian pakar kepurbakalaan di era modern ini,
ternyata temuan demi temuan masih juga terus terungkap dari waktu ke
waktu. Terkadang temuan terbaru mematahkan hipotesis terdahulu
tentang asal muasal atau rentang waktu bidang-bidang tertentu tentang
peradaban manusia yang kebetulan lebih dahulu terungkap. Ini
membuktikan betapa masih banyaknya misteri kehidupan di sepanjang
dimensi sejarah lorong waktu peradaban manusia yang masih terpendam
di perut bumi dan belum terungkap hingga kini.
Dari bukti-bukti sejarah yang terungkap dari berbagai relief-relief
peninggalan purbakala di Indonesia – yang jelas dibuat dengan sempurna
dengan relief yang sangat mengagumkan pada era Candi Borobudur,
Perambanan dan lainnya, di abad ke 7-8 Masehi – penulis mengajukan
argumentasi hipotesis dan memastikan bahwa peradaban teknologi air
yang digambarkan dengan sempurna tersebut, pasti sudah jauh lebih
lama dari pembangunan candi itu sendiri, bahkan tidak lebih belakangan
dimensi lorong waktu sejarah purbakalanya dibandingkan dengan bangsa-
bangsa lain di dunia. Sayangnya bahwa sampai saat ini kita belum bisa
mengungkapkan bukti sejarah, sejak kapan Nenek Moyang Bangsa
Indonesia mengenal teknologi keairan dan lingkungan, sebagaimana
dibuktikan oleh Bangsa-bangsa lain di berbagai belahan bumi.
Dalam konteks tidak diketemukannya bukti-bukti arkheologi
teknologi keairan yang lebih tua di Indonesia dibanding belahan bumi lain,
penulis berargumentasi hipotetis bahwa, di samping argumentasi bahwa
peninggalan artifak dengan konstruksi sederhana akan lapuk oleh proses
oksidasi dan pelapukan di iklim tropis, juga karena nenek moyang Bangsa
Indonesia tidak dituntut membangun infrastruktur keairan yang besar-
besar dengan konstruksi permanent, mengingat keberlimpahan air pada
wilayah geografis kepulauan tropis yang berpencar luas. Namun
argumentasi hipotesis ini tidaklah menutup peluang untuk membuktikan
sebaliknya. Masih banyak misteri dimensi lorong waktu sejarah teknologi
keairan yang dapat diungkapkan untuk membenarkan atau mematahkan
argumentasi hipotesis tersebut ke depan.
Adalah hal yang tidak mustahil bahwa di Bumi Nusantara Indonesia,
juga masih banyak memendam misteri kehidupan dan peradaban
manusia, khususnya di bidang teknologi keairan purba. Tinggal
menunggu giliran untuk diungkapkan oleh pakar-pakar kepurbakalaan
kita di bidang yang satu ini. Hal ini merupakan peluang dan sekaligus
tantangan maha berat -- yang terbuka lebar ke depan – pagi para pakar
teknologi dan arkheologi keairan untuk dapat mengungkapkan selubung
fakta sejarah kepurbakalaan yang sebenarnya.
Melanjutkan tuntutan pengembangan dan pengelolaan dan
pelestarian SDA bagi generasi mendatang, di samping masalah
perencanaan, pembangunan, konservasi, dan pelestarian, maka
”Pengelolaan SDA Terpadu” dengan pendekatan partisipatif, merupakan
rangkaian teknologi yang sangat esensial – bahkan mutlak – untuk
diterapkan secara efektif dan efisien. Kesemua hal ini terbukti tidak lain
23
dari bagian menyeluruh dari pengalaman peradaban manusia di
sepanjang lorong waktu sejarah penerapan teknologi keairan dan
lingkungan yang tidak dapat diabaikan oleh manusia modern yang
semakin sesak huniannya di Planet Bumi.
Hal ini tidak akan serta-merta menjadi sederhana manakala kita
menengarai kenyataan bahwa air di bumi sepanjang lorong waktu,
jumlahnya tetap, sementara kualitasnya semakin rentan akibat ulah
manusia itu sendiri. Sebuah tantangan ke depan yang maha berat bagi
semua, tidak terkecuali bagi Indonesia!

Jakarta, Juni 2006.

BIBLIOGRAFI:

Alisyahbana, Iskandar, 1980, Teknologi dan Perkembangan, Jakarta,


Yayasan Idayu.
Anglin, Gary, 1991, Instructional Technology Past and Future, Englewood,
Librariws Unlimited.
Coopey, Richard, et. al. (ed), 2005. A History of Water Issues. United
Nations University, New York, NY, 10017, USA.
Farhangi, B., et.al. 2004. Water Melody in the Passage of Time: A Review
of Hydro Structures of Iran From the Ancient Era to Present Time.
Iranian National Committee of ICOLD, July 2004.
-------, 1998. Contemporary Dam Construction in Iran. Iranian National
Committee on Large Dams and Ministry of Energy and Water Affairs,
Islamic Republic of Iran., 1998.
Gany, A.H.A , 2005. Sumber Daya Air Memasuki Era Globalisasi: Dari
Perspektif Hidrologi, Desentralisasi dan Demokratisasi di Seputar
Konstalasi Privatisasi dan Hak Guna Air., Jurnal Mahkamah Konstitusi
Volume 2 Nomor 2, September 2005.
-------, et. al., 2004. Irrigation History of Indonesia. Ministry of Settlement
and Regional Infrastructures (Public Works) in Collaboration with The
Indonesian National Committee of ICID. Jakarta August 2004.
-------, 2001. Subak, Irrigation System in Bali: An Ancient Heritage of
Participatory Irrigation Management in Modern Indonesia. Research
Institute for Water Resources, Ministry of Public Works, Republic of
Indonesia. Bandung, West Java, Indonesia. July, 2001.
Kast & Kasen Weight, James E, 1962, Science Technology and
Management, New York, Mc Graw Hill Book Company.

24
Kingfisher, 1995. Science Encyclopedia, British Library Cataloguing-in-
Publication Data, Elsley House, 24-30 Great Titchfield Street, London
WIP 7AD.
Linsley, Ray K., Jr. et.al., 1959. Hydrology for Engineer, Second Edition,
McGraw-Hill, Kogakusha, Ltd. Tokyo, International Student Edition.
Magenis, Alice, and Appel, John Conrad, 1959. A History of the World.
American Book Company, New York, 1959.
UNESCO. 1972. Learning To Be: The World Of Education Today And
Tomorrow, Unesco And Harrap.

25
©
Dr. (Eng) A. Hafied A. Gany, M.Sc., P.Eng., adalah Widyaiswara Utama
Departemen Pekerjaan Umum bidang “Teknologi dan Manajemen
Keairan”; Wakil Ketua KNI-ICID Bidang Hubungan Internasional; Board
of Director, International Networks on Participatory Irrigation
Managemen - INPIM; President Indonesian Chapter of INPIM (INPIM-
INA); dan Anggota Working Group on Irrigation and Drainage History
of the World, ICID, mewakili Indonesia.

You might also like