Professional Documents
Culture Documents
Oleh :
Asim Sulistyo, S.Pd.
NIP : 132 171 633
Segala puji kami panjatkan Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Karena dengan
Dengan disusunya buku ini semoga berguna bagi siapa saja yang membacanya
mengunjungi www.estib3.blogspot.com.
Kami selalu mengharapkan kritik dan saran dari siswa, teman dan siapa saja.
Kritik dan saran akan kami terima dengan senang hati dan kami perhatikan untuk
HALAMAN PENGESAHAN
HALAMAN SAMPUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
Halaman
Kepala Sekolah,
Aksi guru di depan kelas dengan memukulkan penghapus kayu di papan tulis hingga siswa kaget, memukulkan
penggaris kayu di meja hingga hancur berkepin-keping, mendobrak meja siswa hingga siswa seluruh kelas
terperanjat, membentak siswa dengan kata-kata kasar, mebenturkan pintu kelas, memukul siswa dengan buku,
menempeleng muka siswa, mengusir siswa keluar kelas, menghukum siswa dengan hukuman phisik, dan menghina
keadaan siswa baik hinaan phisisk maupun non phisik.
Di bulan pebruari 2009, telah beredar video kekerasan pelajar di 3 daerah yaitu perkelaian siswa SMP di Jawa-Barat,
perkelaian dua siswa SLTA di Gorontalo dan yang terakhir perkelaian 2 siswi di Timika Papua yang difasilitasi oleh
gurunya. Namun kita tentu masih ingat perkelaian siswi-siswi SLTA di Pati yang terkenal dengan nama Geng Nero.
Kondisi ekonomi Negara yang morat-marit, memicu orang tua siswa untuk kerja keras dan dalam rangka emansipasi
bagi seorang ibu, menjadikan orang tua siswa menyerahkan sepenuhnya pendidikan kepada pihak sekolah. Seakan
yang menentukan watak dan sikap adalah sekolah. Siswa disekolah hanya beberapa jam, sementara orang tua
dirumah jarang ketemu anaknya. Rumah tak terlalu beda dengan halte bus, tempat bertemu dan bercengkrama
sementara antara bapak, ibu dan anaknya.
Tak dipungkiri bahwa kemajauan teknologi informasi seperti HP, TV, Internet dan media masa lainnya sangat
mempengaruhi perubahan watak pelajar. Pelajar metropolitan dan pelajar daerah terpencil tak ada bedanya.
Kecepatan media informasi begitu mudah menyebar ke segala lapisan masyarakat, dan tingkat kemampuan filter
sangat beragam. Hal ini menjadikan hasil terjemahan informasi yang berbeda-beda. Orang tua yang mestinya
membantu menterjemahkan informasi, malahan orang tua menyerahkan sepenuhnya kepada anaknya sendiri atau
kepada pembantunya.
Menurut Prof. Kurt Singer dari Universitas Munchen Jerman, fenomena ini sebagai “Sekolah Sakit”. Sekolah sebagai
alat sensor, guru selalu mengawasi dengan tanpa batas etika-psikologis, perintah sekolah menjadi dictator dan
mematikan bakat, sekolah menjadi pengadilan yang penuh hukuman, sehingga siswa menjadi ketakutan dan penuh
ancaman. fenomena ini disebut Kurt Singer sebagai Schwarzer Paedagogik atau Pedagogi Hitam (Sindhunata,
2001). (Suara Merdeka, 19 Juni 2008).
Guru yang belum bisa menikmati kesejahteraannya sebagai guru, namun beban kerja sangat berat. Guru yang
mendapat tugas dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dengan membentuk watak, mengajari membaca,
mengajari berpikir, melatih kreativitas, namun belum mendapatkan penghargaan layak secara materi. Bahkan guru
yang masih honor, penghasilannya sangat jauh di banding upah UMR buruh pabrik. Gaji yang sangat kecil, masih
ada potongan-potongan yang tidak jelas peruntukannya. Penghargaan yang lebih mulia bagi guru adalah gelar
“Pahlawan Tanpa Tanda Jasa”, tetapi penghargaan ini tidak membuat perut guru dan keluarganya menjadi kenyang.
Pemerintah menyelenggarakan suatu sistim pendidikan nasional sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang No.
20 Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional. Pendidikan Nasional harus mampu menjamin pemerataan
kesempatan pendidikan atau pemerataan akses, peningkatan mutu relevansi serta efisiensi managemen pendidikan,
akuntabilitas dan pencitraan publik.
Implementasi dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional dijabarkan ke dalam
sejumlah peraturan pemerintah antara lain Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional
Pendidikan. Dalam Peraturan Pemerintah ini memuat delapan standar nasional pendidikan, yaitu : Standar isi,
Standar proses, Standar kompetensi lulusan, Standar pengelolaan, Standar pembiayaan dan Standar penilaian
pendidikan.
Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP ) yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun
2005 telah mengembangkan standar-standar tersebut dan telah diterbitkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
Nomor 22 tentang Standar Isi, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 tentang Standar Kompetensi
Lulusan dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 24 tentang Pedoman Pelaksanaan.
Diskripsi diatas yang mendasari lembaga pendidikan dan pelaku pendidikan untuk di implementasikan dalam
pembelajaran di dalam kelas. Dengan dasar UU Sisdiknas tersebut diharapkan akan tercipta peserta didik yang
cerdas dan bermartabat. Oleh sebab itu semua pelaku pendidikan harus bisa memahami, mengamalkan dan
mengimplementasikan dalam dunia pendidikan.
Guru bergelar sarjana pendidikan dan sudah 22 tahun mengajar dengan golongan IV A, ketika ditanya tentang 8
Standard Pendidikan Nasional, guru tersebut tak bisa menjawab. Bahkan yang lebih memalukan guru tersebut balik
bertanya “Standard Pendidikan Nasional itu apa, aku belum pernah dengar “. Inilah profil guru Indonesia yang setiap
hari melaksanakan pembelajaran tetapi tidak tahu dasar hukum pendidikan. Jutaan guru Indonesia dengan gagah
dan berwibawa serta dianggap orang yang peling pintar dikampungnya, tetapi sebenarnya mereka tidak tahu jati
dirinya yang guru.
Dua bulan sebelum PPD (Penerimaan Peserta Didik), ada tamu perempuan dengan mobil mewah masuk ke suatu
sekolah. Entah apa maksudnya, tamu tersebut ingin ketemu kepala sekolah. Melihat penempilannya, perempuan
tersebut adalah seorang pedagang yang akan menawarkan dagangannya.
Satu bulan sebelum PPDB, datanglah mobil boks dan menurunkan ratusan potong seragam siswa. Belum dilakukan
penerimaan siswa baru, distributor kain sudah berani mengirim kain seragam sementara pihak sekolah berani
menerima karena jumlah siswa baru yang akan diterima sudah jelas jumlahnya dan semua siswa baru diharuskan
membeli seragam tersebut.
Segelintir oknum di sekolah tersebut tentu juga menikmati keuntungan bisnis ini. Namun keuntungan itu bukanlah
membuat proses belajar mengajar menjadi lebih baik, karena lembaga pendidikan tidak diuntungkan. Fenomena
yang terjadi, guru-guru yang lain tidak berani protes karena takut dengan atasannya (lebih baik diam, yang penting
selamat).
Kalau sudah seperti ini, maka peran dewan komite sekolah perlu dipertanyakan keberadaanya. Sebagai lembaga
kontrol di sekolah mestinya peran dewan komite sekolah berpihak kepada masyarakat. Namun kenyataanya
dilapangan bahwa dewan komite sekolah selalu meng-Amini pihak sekolah. Amin...Amin…Amin…
Bergembiralah mereka seorang guru yang mendapat kesempatan untuk mengikuti seleksi sertifikasi portofolio, guna
mendapatkan tambahan tunjangan profesi setara satu kali gaji pokok (Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sisdiknas dan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen). Dengan demikian
diharapkan guru yang sudah dianggap profesional tersebut bisa lebih meningkatkan kinerjanya.
Berawal dari surat panggilan ikut seleksi sertifikasi, guru tersebut mulai menyusun materi fortofolio. Dengan batas
minimal nilai fortofoilio, guru mulai mencoba mencari celah untuk melakukan berbagai cara supaya batas nilai
minimal bisa terpenuhi. Cara-cara yang yang kurang terpuji terbesit dibenak para guru yang nilainya kurang
memenuhi batas minimal. Ada yang membuat surat tugas Aspal (asli tapi palsu) dan ada yang memalsu sertifikat
punya orang lain. Bahkan ada yang mengganti nama pada karya tulis atau buku modul yang bukan karyanya.
Sementara kepala sekolah tak bisa menolak untuk mengesahkan surat-surat tersebut. Guru tak pernah ikut berbagai
kegiatan di sekolah, tetapi dalam surat tugas Aspal tersebut selalu tercantum, dengan cara membuat surat tugas
baru, seakan-akan guru tersebut aktif pada berbagai kegiatan di sekolah. Bagi yang belum sarjana S-1 atau D4,
mereka mulai ikut kuliah lagi walau di perguruan tinggi yang belum terakreditasi baik. Sehingga muncul sarjana-
sarjana pendidikan karbitan yang hanya sebatas sarjana hitam diatas putih. Karena sarjana-sarjana semacam ini
tidak jauh berbeda ketika mereka belum sarjana.
Ramai-ramai mengikuti seminar dimana-mana, yang tentunya hanya ingin mendapatkan sertifikat semata. Ada yang
hanya mendaftar tetapi tidak ikut seminar, bahkan ada sejumlah oknum yang mencoba menjual sertifikat dengan
harga yang bervariasi antara Rp 50.000 sampai Rp 100.000 tergantung jumlah jam seminar dan tingkatan seminar
tersebut (tingkat Lokal atau Nasional).
Bagi yang lulus portofolio tentunya sangat lega dan dianggap sudah profesional, sementara yang belum harus
mengikuti Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) di wilayah kerja masing-masing. Dalam pelaksanaan PLPG
inilah muncul berbagai persoalan. Guru yang sudah berumur diatas 50 tahun tidak mungkin lagi bisa mengikuti
pelatihan sepanjang hari dengan baik . Ada guru kena penyakit darah tinggi, rematik, diabetis, asam urat dan lain
sebagainya, fenomena seperti ini tentunya program pemerintah tidak begitu berarti. Dimana guru-guru banyak di luar
sekolah sehingga jam mengajar sering ditinggalkan.
Setelah menjalani PLPG yang menguras tenaga dan pikiran, selanjutnya mengikuti ujian praktek dan tertulis. Ujian
inilah yang benar-benar terlihat mereka guru profesional atau bukan. Karena di beberapa wilayah tempat PLPG rata-
rata 50% lebih peserta PLPG tidak lulus ujian. Ironis sekali seorang guru yang selalu manganjurkan siswanya untuk
belajar giat agar lulus ujian, ternyata gurunya sendiri tidak lulus ujian.
PLPG di wilayah Surakarta banyak yang tidak lulus dan akhirnya perserta melakukan demonstrasi menuntut pihak
pengelola PLPG agar diadakan ujian ulang dan minta diluluskan. Padahal yang melakukan demonstrasi tersebut
sudah melakukan ujian ulang sampai 3 kali. Bahkan sampai menghadap ketua PGRI Provinsi dan Badan Perwakilan
Daerah (BPD) Jawa-Tengah di Semarang (Suara Merdeka).
Setalah dinyatakan lulus fortofolio atau PLPG, timbul masalah lagi di sekolah tempatnya mengajar yaitu guru tersebut
harus mempunyai beban kerja sekurang-kurangnya 24 jam tatap muka dan sebanyak-banyak 40 jam tatap muka
dalam 1 minggu (UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen). Masalah ini timbul karena sebelumnya
seorang guru hanya mempunyai beban kerja 12 – 18 jam tatap muka, terutama pada tingkat SLTP dan SLTA yang
jumlah rombongan belajarnya sedikit tetapi gurunya banyak. Sehingga guru di beberapa sekolah melakukan
manipulasi data pada SK Kepala Sekolah, yaitu SK Pembagian tugas mengajar dan jadual mata pelajaran.
Menipulasi ini sekedar untuk dilaporkan ke tingkat institusi yang lebih atas. Setelah dilakukan manipulasi data
tersebut, seorang guru tersebut tetap hanya melaksanakan beban kerja 12 – 18 jam tatap muka per-minggu, bahkan
guru-guru tersebut tidak menunjukan kinerja yang lebih baik.
Disinilah letak dimana guru melakukan tindakan yang kurang terpuji yaitu melakukan kebohongan-kebohongan. Tidak
tanggung-tanggung jam mengajar guru lain diambil tanpa dilakukan musyawarah, sehingga terjadilah konflik internal
di sekolah. Inilah potret guru Indonesia yang sudah dianggap profesional.
Selanjutnya kapan pemerintah (Dedpdiknas) akan melakukan investigasi ke sekolah-sekolah untuk memantau kinerja
guru-guru yang sudah dianggap profesional tersebut ?.
Benarkah harga diri sekolah dan nama baik kepala sekolah ada pada tingkat kelulusan Ujian Nasional siswanya ?.
Dibeberapa sekolah guru melakukan kecurangan-kecurangan dalam pelaksanaan UN/UNAS. Bentuk kecurangan itu
antara lain : Guru membantu mengerjakan soal siswanya, guru memberi kunci jawaban kepada siswanya, guru
membiarkan siswanya mencontek, guru membiarkan siswanya bekerja sama sesama teman dalam satu ruang
bahkan kepala sekolah memberikan instruksi kepada pengawas ujian agar siswanya diberi kebebasan seluas-
luasnya dalam mengerjakan soal-soal ujian.
Caranya adalah : pertama, setelah panitia UNAS mengambil naskah soal, selanjutnya salah satu soal diambil dari
dalam amplop. Kemudian guru yang dianggap mampu disuruh mengerjakan soal dan membuat kunci jawaban.
Setelah itu kunci jawaban di distribusikan ke salah satu siswa, lalu siswa menyebarkan pada teman-temannya
sebelum ujian dimulai. Kedua, membuat pemetakan anak yang dianggap mampu mengerjakan soal ujian dan anak
yang kurang mampu mengerjakan soal ujian. Dalam satu ruang diisi 20 peserta dan minimal diisi 2 siswa yang
mampu. Siswa dengan soal A membantu temamnya yang mendapat soal A, siswa dengan soal B membantu
temannya yang mendapat soal B. Selanjutnya pengawas telah dihimbau oleh kepala sekolah setempat untuk
memberikan kebebasan siswa bekerja sama dan pengawas pura-pura tidak tahu atau pengawas disuruh minum dulu
di kantor. Ketiga, siswa disuruh tidak menghitamkan lembar jawaban atau tidak dijawab. Setelah lembar jawab
dikumpulkan, tindakan selanjutnya adalah guru-guru melakukan perbaikan di kantor dalam ruang tertutup. Jawaban
yang salah dirubah dengan jawaban yang betul dan jawaban yang masih kosong langsung dihitamkan yang betul
oleh guru-guru tersebut. Keempat, guru memberikan membocorkan kunci jawaban dengan menggunakan alat
komunikasi seperti Hand Pone (HP). Tentunya model keempat ini, siswa telah di himbau untuk membawa HP
kedalam ruang ujian.
Model kecurangan semacam ini dipastikan siswanya lulus 100%. Sekolah yang lulus 100% bisa membanggakan
kepala sekolah, guru, siswa dan orang tua siswa. Dengan demikian nama baik sekolah mendapat apresiasi positif
oleh institusi yang lebih tinggi dan masyarakat sekitarnya.
Kegiatan di dalam kelas yang membosankan siswa antara lain : mencatat, mendengarkan ceramah guru,
mengerjakan soal-soal, membaca buku dan mendengarkan kesombongan guru yang menceritakan kehebatan dirinya
serta melihat raut muka guru yang selalu cemberut dan marah.
Proses terjadinya transfer ilmu pengetahuan dari guru ke siswa bisa berjalan optimal kalau suasana Kegiatan Belajar
Mengajar (KBM) di kelas menyenangkan. Beberapa factor yang bisa membuat siswa senang belajar adalah : siswa
senang dengan mata pelajaran, senang dengan guru pengajar, siswa dalam keadaan sehat dan lingkungan belajar
yang kondusif.
Berdasarkan hasil jajak pendapat bahwa yang paling disenangi adalah dalam KBM perlu diselingi dengan humor-
humor segar. Sehingga perasaan siswa dalam belajar tidak selalu tegang dan suasana menjadi nyaman. Kalau perlu
dalam KBM dihentikan 3 – 5 menit untuk melakukan kegiatan-kegiatan di luar materi pelajaran. Misalnya menyanyi
bersama, berncanda, ngobrol atau makan-makanan ringan.
Keterbatasan kemampuan seorang guru untuk membuat susana kelas menjadi segar, kadang guru bercanda sampai
melebihi batas-batas norma. terkadang guru ber-humor dengan kata-kata yang mengarah ke hal-hal yang bersifat
porno, menghina salah satu siswa bahkan menceritakan hal-hal yang bersifat pribadi. Kalau sudah demikian, siswa
laki-laki bersorak-sorak sementara siswa perempuan diam, senyum-senyum dan pura-pura tidak mendengar.
Dampak humor porno sangat tidak etis, tidak santun, tidak senonoh dan merusak mental siswa. Karena siswa bisa
ikut-ikutan berkata porno tanpa ada rasa bersalah. Terbukti di suatu sekolah ada seorang guru yang selalu ber-humor
porno, akibatnya siswa laki-laki dan perempuan bebas berkata porno, walau yang diajak bicara itu adalah seorang
guru atau orang tua siswa sendiri. Ketika di tegur, siswa tersebut menjawab bahwa kata-kata porno itu berasal dari
seorang guru yang diajarkan di depan kelasnya.
Buat para guru yang terhormat, janganlah ber-humor porno di depan siswa, karena selain merusak mental, siswa
beranggapan bahwa guru tersebut tidak bermoral alias bermental bejad.
Setiap 5 bulan sebelum UNAS di laksanakan dan 1 bulan setelah UNAS di laksanakan, semua orang menbiacarakan
tentang UNAS. Guru, karyawan sekolah, siswa dan orang tua siswa menghabiskan sebagian besar waktunya untuk
mensukseskan UNAS. Orang tua siswa di kumpulkan di sekolah untuk membicarakan UNAS, guru-guru sering rapat
dengan agenda UNAS bahkan pejabat politis menghimbau semua jajarannya untuk berperan aktif mengsuksekan
UNAS.
Kegiatan belajar di optimalkan, siswa di beri pelajaran tambahan/les UNAS, lembaga-lembaga pendidikan non formal
di penuhi pelajar yang akan menempuh UNAS, siswa di ajak untuk mengerjakan soal-soal, kegiatan-kegiatan religius
(do’a bersama, tirakatan dan meminta dukungan para normal), jam pelajaran di tambah bahkan jam mata pelajaran
yang bukan materi UNAS bisa dipakai untuk jam pelajaran UNAS.. Disini timbul permasalahan, bahwa mata
pelajaran yang bukan materi UNAS dipandang sebagai pelajaran yang tidak penting.
Bagi orang tua yang kurang percaya dengan guru di sekolah, mereka akan membawa anaknya masuk pada lembaga
pendidikan non formal. Ikut les tambahan pada lembaga pendidikan non formal adalah salah satu jurus yang paling
diminati untuk mensukseskan UNAS.
Setiap guru di depan siswa, selalu membicarakan tentang UNAS. Kepala sekolah sampai tidak bisa tidur dengan
nyenyak karena memikirkan UNAS. Sementara siswa lebih suka merenung dan berdiam diri membayangkan
seandainya dirinya tidak lulus. Ketika diadakan uji coba UNAS dan siswa yang tidak lulus menjadi bingung, putus
asa, stres dan akhirnya menangis tanpa ada sebab yang jelas.
Kemampuan intelegensi siswa pastilah beragam, tetapi dalam menghadapi UNAS semua siswa di paksa untuk bisa
mengerjakan soal yang sama. Sehingga dalam pelaksanaan UNAS tidak ada perbedaan antara sekolah kota dan
desa, anatara anak orang kaya dan anak orang miskin. Namun betapa sulit dan berat, mau tidak mau UNAS harus
dihadapi semua siswa di seluruh Indonesia.
Lebih mengherankan lagi bahwa guru-guru yang mengajar materi mata pelajaran UNAS, tidak boleh mengawasi
pelaksanaan UNAS, tidak boleh masuk atau mendekati ruang UNAS, tidak boleh mengkoreksi hasil UNAS dan tidak
boleh menilai hasil UNAS siswanya. Berarti guru-guru tersebut hanya boleh mengajar dan harus menanggung resiko
apabila ada siswanya yang tidak lulus, serta harus mempertanggungjawabkan selama mengajar kepada kepala
sekolah, siswa, orang tua siswa dan masayarakat sekitarnya.
Inilah berhala zaman baru yang sedang di puja-puja kaum intelektual dan calon-calon Intelektual Indonesia. Semoga
berhala ini cepat sirna dan kaum intelektual tersadar untuk kembali pada pendidikan yang membumi.
Syukur Alhamdulillah, mulai Tahun Ajaran 2009/2010 SMP Negeri 3 Bayat di tingkatkan kualitasnya menjadi SSN
(Sekolah Standard Nasional). Unsur apa yang membuat SMP Negeri 3 Bayat di tingkatkan menjadi SSN ?. Tentunya
ada beberapa unsur yang menjadi pertimbangan dalam menentukan standard tersebut. Namun disini akan di
paparkan gambaran singkat mengenai unsur-unsur yang menjadikan SMP Negeri 3 bayat menjadi SSN. Unsur-
unsurnya adalah sebagai berikut :
1. Disiplin
2. Lingkungan
3. Hubungan dengan masyarakat sekitar
4. Animo pendaftar siswa baru
5. Administrasi
6. Fasilitas pendukung KBM
7. Pelaksanaan KBM
8. Prosentase tingkat kelulusan
9. Peningkatan kualitas dari tahun ke tahun
10. Kualitas SDM
1. Disiplin – unsur ini yang paling mendasar untuk terciptanya KBM yang baik. SMP Negeri 3 Bayat tidak perlu diragukan lagi
dalam disiplin. Jam 05.45 WIB siswa, guru dan karyawan sudah siap untuk melaksakan KBM. Prosentasi siswa tidak
masuk sekolah hanya 0,002% dan prosentase guru dan karyawan hanya 0,001%. Artinya siswa, guru dan karyawan
mempunyai tingkat disiplin yang sangat tinggi.
2. Lingkungan – lokasi yang jauh dari keramaian memang sangat mendukung KBM bisa berjalan optimal. SMP N 3 Bayat ini
berlokasi di bekas sawah dan berdampingan dengan kampung yang tidak terlalu padat penduduk. Sehingga suasana KBM
sangat tenang dan kondusif.
3. Hubungan dengan masyarakat sekitar – seringnya diadakan pertemuan antara keluarga sekolah, orang tua siswa dan
tokoh-tokoh masyarakat sekitar, menjadikan hubungan sangat harmonis. Hubungan yang harmonis dan dukungan
masyarakat yang tinggi memungkinkan KBM menjadi terarah dan tenang.
4. Animo pendaftar siswa baru – untuk tahun ajaran 2008/2009 jumlah pendaftar 258 calon siswa dan yang diterima 160
siswa (pendaftar melebihi kuota). fenomena ini pertanda bahwa SMP Negeri 3 Bayat berkualitas bagus. Karena banyaknya
pendaftar menunjukan bahwa sekolah ini sudah mejadi suatu pilihan utama di bandingkan dengan sekolah-sekolah lainnya.
Karena sekolah lain yang terdekat terjadi kekurangan pendaftar dari kuota yang di sediakan.
5. Peningkatan kualitas secara umum dari tahun ke tahun – kalau dilihat secara umum sekolah ini berkembang cukup pesat.
Sekolah yang baru berumur 5 tahun sudah menyabet beberapa kejuaraan, antara lain : Juara I KIR SMP tingkat Kabupaten
klaten, Juara I melukis Kaligrafi tingkat Kawedanan Pedan dan peringkat 16 dar 110 peserta Olympiade Komputer tingkat
kabupaten Klaten.
6. Administrasi – dengan bimbingan kepala sekolah yang pengalaman, administrasi sekolah ini cukup baik. Tetapi dalam hal
peng-arsipan tentu perlu ditingkatkan. Karena sering hilangnya surat-surat di bidang Tata Usaha dan guru-guru kurang
peduli terhadap surat-surat. Apabila butuh surat selalu kebingungan mencari arsip.
7. Input-Output dan Prosentase tingkat kelulusan – sekolah ini baru meluluskan 3 kali dan hasilnya adalah : Tahun Pelajaran
2005/2006 Lulus 96% nilai rata-rata 7,16. Tahun Pelajaran 2006/2007 Lulus 100% nilai rata-rata 7,75. Tahun Pelajaran
2007/2008 Lulus 95,6% nilai rata-rata 7,68. Dengan melihat data tersebut berarti sekolah ini belum stabil, karena grafik
kelulusan masih naik turun, tetapi nilai rata-rata cukup baik. Berarti input yang minim bisa menciptakan output yang cukup
baik. Hal inilah yang membuat sekolahan ini mempunyai nilai plus.
8. Fasilitas pendukung KBM – fasilitas sekolah ini masih sangat minim, karena belum terpenuhinya fasilitas-fasilitas di
beberapa mata pelajaran. Laboratorium MIPA, IPS, Bahasa, Komputer, Kesenian belum ada. Bahkan ada mata pelajaran
yang tidak mempunyai alat peraga praktek sama sekali. Sementara fasilitas yang tercukupi hanyalah buku-buku pelajaran.
Tentunya fasilitas pendukung semua mata pelajaran perlu di adakan agar KBM bisa berjalan optimal.
9. Pelaksanaan KBM – di sekolah ini KBM masih konvensional, artinya guru-guru mengajar masih menggunakan metode
yang sudah ketinggalan jaman. Metode mencatat, ceramah dan mengerjakan soal-soal masih mendominasi KBM.
Pembelajaran dengan metode CTL (Contextual Teaching and Learning) hampir tidak pernah diterapkan, sehingga siswa
menjadi bosan, ngantuk dan cepat capek. Sementara guru-guru masih senang memberi hukuman dari pada memberi
sanjungan/penghargaan.
10. Kualitas SDM – sekolah ini perlu diadakan peningkatan mutu untuk guru dan karyawan. Walaupun guru-guru sudah
pengalaman mengajar diatas 15 tahun, tetapi kualitasnya masih minim (malas membaca dan tidak mngikuti perkembangan
dunia pendidikan). Terlihat dalam KBM masih menggunakan pola-pola lama/kuno. Bahkan hanya 5% guru yang bisa
mengoperasikan komputer. Sebab SSN adalah sekolah yang berbasis TI (Teknologi Informatika).
Dengan mengkaji paparan tersebut diatas, bahwa SMP Negeri 3 Bayat hanya memenuhi 7 unsur yaitu unsur nomor 1
sampai nomor 7. Untuk unsur nomor 8 sampai nomor 10 belum memenuhi syarat sebagai SSN. Jadi apabila benar-
benar di tetapkan menjadi SSN, maka unsur nomor 8, 9 dan 10 harus di tingkatkan sebelum tahun ajaran baru
2009/2010.
Laboratorium Komputer SMPN 3 Bayat Klaten 12
Artikel ini diterbitkan di situs www.estib3.blogspot.com
“10 Oktober 2003” Puisi Kisah Nyata di SMP Negeri 2 Pugung, Tanggamus, Lampung
Aku dibangunkan
Aku dibawa lari seekor harimau
Aku tinggalkan tempat itu
Aku tinggalkan anak-anakku
Mereka menangis mengantar kepergianku
Kutinggalkan rumput-rumput dan tiang bendera membisu
Kucing-kucing memukul tiang bendera
Kucing-kucing berteriak
Mereka akan merobek-robek kulitku
Mereka akan membelah dadaku
Dan menghisap darahku
Kisah Nyata ini terjadi di Desa Sumanda, Kec. Pugung, Kab. Tanggamus, Lampung pada tanggal 10 Oktober 2003
hari Jum’ at jam 15.00 WIB. Ketika aku bersama temanku (Jamsani) sedang melatih pramuka siswa SMP Negeri 2
Pugung, Kab. Tanggamus, tiba-tiba aku diserang/dikeroyok kurang lebih 50 orang secara anarkis oleh alumni SMP
(muridku sendiri) dan warga sekitar sekolahan (warga Dusun Sumanda, Kec. Pugung, Kab. Tanggamus).
Laboratorium Komputer SMPN 3 Bayat Klaten 13
Artikel ini diterbitkan di situs www.estib3.blogspot.com
Alhamdulillah aku tidak cedera sedikitpun, karena aku masih dilindungi Allah SWT. Salam buat keluarga besar SMP
Negeri 2 Pugung, Tanggamus, Lampung.
Di Suatu Sekolah Tahun Ajaran 2008/2009 jumlah anak pada suatu sekolah 480 siswa dengan perbandingan 250
laki-laki dan 230 perempuan. Berdasarkan data tingkat kemampuan ekonomi, rata-rata siswa dari keluarga yang
kurang mampu. Dari jumlah 480 siswa diantaranya 120 siswa mendapat beasiswa/subsidi dari pemerintah daerah
dan 30 siswa dibebaskan dari uang iuran komite.
Sementara siswa yang tidak mendapatkan uang subsidi, mereka sebagian besar juga masih kesulitan untuk
membayar iuran komite setiap bulannya. Sebab berdasarkan data pada bendahara iuran komite, siswa-siswa
tersebut selalu terlambat membayar iuran setiap bulannya. Setelah kami lakukan wawancara pada beberapa siswa
dan orang tua siswa, mereka mengaku dari keluarga yang kurang mampu/miskin.
Namun sebaliknya ketika kami amati setiap istirahat pertama dan kedua, hampir separuh jumlah siswa berjubel di
depan kantin untuk jajan. Kantin sekolahan yang hanya satu sangat terlihat jelas bahwa siswa-siswa tersebut berebut
untuk jajan sesuai dengan keinginannya.
Setelah dilakukan pengamatan di lapangan dan wawancara langsung dengan siswa, bahwa siswa menghabiskan
uang jajan setiap hari di sekolah rata-rata 2000 rupiah. Hasil pengamatan pada bulan Januari 2009, rata-rata setiap
istirahat ke 1 yang jajan 150 siswa dan istirahat ke 2 rata-rata 75 siswa. Jika di hitung secara matematis 225 siswa X
2000 rupiah X 25 hari, maka rata-rata setiap bulan 11,250,000,- rupiah. Apabila dalam satu tahun ada 10 bulan
efektif, maka 11,250,000 rupiah X 10 bulan = 112,500,000 rupiah setiap tahunnya.
Dengan melihat data hasil survey tersebut bahwa data ini menunjukan angka yang fantastis yaitu Siswa tersebut
adalah siswa konsumtif (boros). Siswa yang konsumtif tersebut sangat bertolak belakang dengan pengakuan orang
tua siswa yang mengaku miskin.
Siapa lagi yang ingin mengaku miskin, daftar dan beri komentar tulisan ini. Terimakasih…
Seiring diluncurkannya program WAJAR (Wajib Belajar) Sembilan Tahun, selanjutnya pemerintah mendasari
dengan pemerataan tempat dan sarana belajar di seluruh Indonesia. Salah satu pemerataan tempat dan sarana
belajar adalah program USB (Unit Sekolah Baru).
Wilayah Kecamatan Bayat yang begitu luas dengan jumlah penduduk yang besar, namun Kecamatan Bayat baru
memiliki 2 SMP, yaitu SMP Negeri 1 dan SMP Negeri 2. untuk wilayah Bayat bagian utara belum ada SMP,
sementara anak sekolah terlalu jauh untuk sekolah ke SMPN 1 dan SMPN 2 Bayat. Oleh karena itu pemerintah
meluncurkan program sarana SMP untuk Bayat bagian utara.
Dalam peluncuran USB SMP tersebut tidak semudah membalikan tangan, karena terjadi perebutan tempat USB.
Perebutan dilakukan oleh warga Desa Gununggajah dan warga Desa Wiro Kecamatan Bayat bagian utara. Sehingga
terjadi tarik ulur antara warga dan tokoh masyarakat kedua desa tersebut. Selama kurang lebih 2 tahun terjadi
perdebatan hingga masing-masing warga desa melakukan demontrasi besar-besaran ke kantor kecamatan Bayat, ke
kantor Kabupaten Klaten dan sampai demontrasi ke tingkat Provinsi (Semarang).
Warga kedua desa saling mengklaim, bahwa desanya yang paling berhak untuk tempat pembangunan USB SMP
Negeri 3 Bayat. Mereka sama-sama melakukan demontrasi dengan mengumpulkan ratusan warga sebanyak-
banyaknya dengan kendaraan truk, mini bus dan sepeda motor. Siang-malam kedua desa saling melakukan loby-
loby ke beberapa pejabat instansi terkait, agar dimenangkan untuk tempat USB.
Akhirnya dengan berbagai pertimbangan pada awal tahun 2003, pemerintah memutuskan USB di tempatkan di desa
Wiro, Kecamatan Bayat dengan menempati tanah kas Desa Wiro. Setelah pembangunan USB selesai, selanjutnya
dilakukan peresmian dengan penandatanganan sebuah prasasti oleh Gubernur Jawa-Tengah H. Mardiyanto pada
Tanggal 31 Desember 2003.
Tokoh-tokoh masyarakat yang terlibat langsung dalam memperjuangkan pembangunan USB SMPN 3 Bayat adalah :
Suharlan (Kepala Desa Wiro), Subari, S.Pd, Drs.Supardi, Ibnu Widodo, Suharjo, Tri Winarno, Supriyadi, Supono,
Joko Marhanto serta tokoh masyarakat lainnya.
Sebelum pembangunan gedung selesai, SMP Negeri 3 Bayat sudah mencari siswa baru dengan menempati atau
numpang di SD Wiro 2 selama kurang lebih 5 bulan. Kemudian dilakukan KBM (Kegiatan Belajar Mengajar) mulai
bulan Juli 2003 dengan Kepala Sekolah pertama di jabat Drs. Suramlan dan Wakil Kepala Sekolah Subiman S.Pd..
Selanjutnya dikeluarkanlah Surat Keputusan Bupati Klaten tertanggal 2 Oktober 2003 sebagai tanda dimulainya
KBM. Maka Tanggal 2 Oktober selalu diperingati sebagai hari lahirnya SMP Negeri 3 Bayat Klaten.
Perjalanan SMPN 3 Bayat yang berliku-liku itu akhirnya membuahkan hasil yang luar biasa. SMPN 3 bayat sebagai
sekolah percontohan seluruh Indonesia untuk golongan USB. Sekolah yang berdiri tahun 2003 dan pada tahun 2008
telah meningkat setatusnya menjadi SSN (sekolah Standard Nasional). Inilah satu-satunya sekolah di Jawa-Tengah
yang baru berumur 5 tahun sudah menjadi SSN. Ingin lebih jelas cerita sejarahnya, silahkan berkunjung ke SMPN 3
Bayat, Desa Wiro, Kabupaten Klaten, Jawa-Tengah.
Nara sumber Ibnu Widodo salah satu tokoh pemuda Desa Wiro, Kec. Bayat, Klaten.
Disahkannya UU BHP Desember 2008, Pemerintah Kabupaten Klaten menggelontorkan dana pendamping BOS
(Biaya Operasional Sekolah) SMP dan sederajat sebesar Rp 4.344 miliar. Alokasi dana BOS dari APBN yang hanya
Rp 570.000 per siswa pertahun, dirasa masih kurang. Menurut Pemkab Klaten, setiap siswa membutuhkan dana Rp
650.000 pertahun. Sehingga Pemkab Klaten menambah dana pendamping BOS Rp 80,000 persiswa pertahun.
Komponen yang dibiayai meliputi : alat tulis kantor, rapat, perjalanan dinas, penilaian dan evaluasi, daya dan jasa,
pemeliharaan sarana dan prasarana, dan pendukung pembinaan siswa.
Menurut data dari Dinas P dan K Klaten, siswa SMP dan sederajat berjumlah 54.583 anak. Dengan dana sebesar itu,
sekolah tidak boleh lagi menarik uang operasional sekolah dari orang tua siswa, kecuali SMP yang berstandard
Internasional. Namun sekolah masih diperbolehkan menarik biaya pembangunan sekolah, kecuali bagi siswa dari
keluarga miskin. Alasannya, pendidikan bukan hanya tanggungjawab pemerintah saja, tetapi orang tua juga harus
ikut berpartisipasi (Suara Merdeka, 9 Pebruari 2009).
Untuk sekolah pinggiran seperti salah satu SMP Negeri di Klaten, dengan dana Rp 774.000 persiswa pertahun, di
rasa masih sangat minim. Dana Rp 774.000 ini di himpun dari dana BOS Rp 354.000 persiswa pertahun dan Iuran
Komite (SPP) Rp 420.000 persiswa pertahun. Sementara sekolah harus menggratiskan 30 siswa selama 6 bulan
mulai bulan Juli sampai Desember 2009.
Dana operasional sebesar Rp 774.00 persiswa pertahun di sekolah tersebut, mulai Januari 2009 seluruh dana
operasional sekolah di tanggung pemerintah pusat dan daerah, tetapi hanya sebesar Rp 650.000 persiswa pertahun,
sehingga sekolah tersebut kekurangan dana Rp 124.000 persiswa pertahun. Apabila sekolah tersebut memiliki 480
siswa, setelah dihitung Rp 124.000 dikalikan 480 siswa, maka sekolah kekurangan dana sebesar Rp 59.520.000
pertahun.
Dana sebesar atau sekecil apapun bisa dilaksanakan untuk operasional sekolah. Namun di sisi lain akan timbul
permasalahan yang berkaitan dengan kinerja tenaga kependidikan dan di hapusnya beberapa kegiatan dan
pembinaan siswa. Akibatnya, proses KBM (Kegiatan Belajar Mengajar) terganggu atau bahkan akan turun drastis.
Proses KBM yang terganggu, akan berakibat menurunnya hasil akhir dari proses pendidikan. Untuk itu mestinya
Pemkab Klaten tidak hanya menambah dana Rp 80.000 persiswa pertahun, tetapi menambah dana pendamping
BOS minimal antara Rp 250.000 sampai Rp 350.000 persiswa pertahun. Dengan tambahan dana pendamping BOS
sebesar itu dipastikan dunia pendidikan khususnya siswa SMP di Klaten bisa berkembang pesat seiring kemajuan
zaman di era global seperti ini.
Setiap awal Tahun Pelajaran Baru, semua SMP di seluruh Indonesia selalu sibuk dengan beberapa orang personel
sebagai panitiya penerimaan siswa baru. Untuk SMP yang dianggap bermutu baik atau vaforit, pastilah menjadi
pilihan utama dan menjadi serbuan calon siswa baru dari berbagai wilayah disekitar sekolah tersebut.
Pada penerimaan calon siswa baru Tahun Pelajaran 2008/2009, Depdiknas telah membuat aturan baru yaitu : seleksi
PCPD (Penerimaan Calon Peserta Didik) hanya menggunakan nilai hasil UAN SD. Aturan ini memang mudah dan
praktis untuk dilaksanakan bahkan bisa menekan pembiayaan. Sehingga dalam waktu yang sangat singkat, panitiya
langsung bisa mengumumkan dengan model jurnal. Apabila calon siswa baru tersebut nilai UAN nya tidak mencukupi
batas minimal yang dialokasikan, calon siswa langsung bisa mencabut dan mencari sekolah alternatif lainnya.
Sehingga bagi SMP yang menjadi pilihan utama dipastikan mendapat calon siswa baru dengan nilai yang baik.
Sementara SMP yang menjadi pilihan kedua dan seterusnya, hanya mendapat calon siswa dengan nilai yang
rendah-rendah.
Namun yang terjadi di lapangan bisa berbeda dengan nilai yang tertulis di lembar hasil UAN SD. Karena setelah
siswa mengikuti pembelajaran di SMP kurang lebih 6 bulan, siswa-siswa tersebut akan kelihatan berdasarkan
pengamatan tingkah laku di kelas/sekolahan dan hasil penilaian ulangan harian.
Menurut survey yang dilakukan pada salah satu SMP Negeri di Klaten, bahwa 30% siswa yang mempunyai nilai UAN
rata-rata 7,5 keatas, siswa-siswa tersebut kesulitan mengikuti pembelajaran yang diajarkan di SMP. Siswa–siswa
tersebut menjadi bulan-bulanan temannya, olok-olokan dan akhirnya bisa berakibat fatal yaitu siswa menjadi rendah
diri (Minder).
Kemudian dilakukan survey dengan wawancara terhadap siswa tersebut, bahwa ketika mengerjakan Soal UAN SD
siswa-siswa tersebut :
1. Mengerjakan soal UAN dengan bekerjasama sesama teman peserta ujian,
2. Pengawas UAN membantu mengerjakan soal yang dianggap sulit,
3. Siswa boleh bertanya kepada pengawas UAN,
4. Salah satu guru di sekolah tersebut memberikan kunci jawaban kepada salah satu siswa dalam bentuk catatan
kecil, kemudian kunci jawaban tersebut diberikan temannya secara bergiliran,
Kalau kualitas nilai UAN terus dinodai seperti ini, mungkin kualitas pendidikan di Indonesia tidak ber-anjak dari
peringkat 39 dari 41 negara-negara berkembang. Tetapi dari beberapa pihak sekolah melakukan penodaan, karena
ada tuntutan yang harus dipenuhi. Karena memenuhi tuntutan merasa tidak mampu, akhirnya semua pihak
menghalalkan segala cara.
Sebuah rumah yang tak layak huni, berlantai tanah, berdinding bambu dan apabila turun hujan genting bocor dimana-
mana. Disinilah lahir bocah yang diberi nama Muhammad Ponari. Layaknya seorang bocah yang baru kelas III SD,
Ponari ini bermain sambil berhujan-hujan. Ditengah permainan itu Ponar tersambar petir kemudian menemukan
sebuah batu sebesar telur ayam kampung yang oleh Ponari dianggap aneh, kemudian dibawa pulang. Kakek
Buyutnya berpesan kepada Ponari agar batu tersebut dirawat baik-baik dan dijadikan sebagai jimat. Karena batu
tersebut bisa untuk menyembuhkan segala penyakit.
Awalnya dicoba untuk menyembuhkan beberapa pasien diantara tetangganya, setelah terbukti manjur, maka berita
tersebut tersebar dari mulut-kemulut sampai keseluruh daerah Jombang dan sekitarnya, bahkan sampai Solo, Yogya,
Semarang dan Jakarta. Sehingga masyarakat berduyun-duyun sampai mencapai puluhan ribu perhari untuk meminta
penyembuhan panyakit.
Metode penyembuhan yang sangat sederhana ini sangat diminati masyarakat, karena pasien hanya membawa air.
Air dalam gelas tersebut dicelupi batunya Ponari satu kali. Air yang sudah dicelup batu itu bisa diminum dan
dioleskan pada bagian yang sakit. Selanjutnya pasien hanya diminta memberikan imbalan seikhlasnya.
Begitu ramai dan meluas berita penyembuhan itu, sampai Ponari dibantu lebih dari 300 panitiya, baik dari unsur
masyarakat setempat, sampai pada jajaran Kepolisian dan TNI. Karena dalam satu hari bisa mencapai puluhan ribu
pasien. Sehingga perlu dipasang tenda, kursi, meja, pagar pengamanan, nomor pendaftaran dan tempat parkir.
Panitiya sudah dibagi-bagi tugasnya, dan yang paling medapat perhatian adalah bagian kotak uang imbalan yang
dijaga Polisi dan TNI.
Masyarakat sekitar rumah Ponari juga diuntungkan, karena munculnya warung-warung dadakan, pedagang asongan
dadakan dan penginapan-penginapan bagi pasien yang belum mendapatkan giliran. Sontak desa dimana Ponari
tinggal, benar-benar manjadi desa bak metropolitan. Masyarakat yang tadinya berkebun, berladang, berdagang
dipasar, tiba-tiba menghentikan kegiatannya dan beralih profesi sebagai panitiya dan ada yang berdagang di sekitar
rumah Ponari. Ponari sang dukun cilik yang bisa memberikan kesembuhan orang sakit dan memberikan rejeki
banyak orang.
Padat, ramai, panas, berjubel, lelah dan sakit adalah fenomena yang terjadi dalam antrian tersebut. Sehingga timbul
masalah, karena pasien berdesak-desakan tak teratur, akhirnya banyak pasien yang terijak-injak, pingsan bahkan 4
orang tewas sebelum mendapat giliran celupan batu Ponari.
Akibat 4 orang tewas, Pemerintah Daerah Jombang beserta jajarannya turun tangan untuk mengambil langkah-
langkah yang terbaik. Akhirnya Ponari menghentikan sementara kegiatannya dan di ungsikan di Rumah Dinas
Bupati Jombang. Selanjutnya pasien yang belum mendapatkan giliran celupan batu Ponari, dihimbau untuk pulang
kerumah masing-masing, karena Ponari sudah tidak buka praktek penyembuhan lagi. Dengan rasa menyesal, ribuan
pasien pulang sambil ngomel-ngomel dan mencemooh para pejabat Daerah Kabupaten Jombang.
Fenomena seperti ini sudah membudaya bagi sebagian bangsa Indonesia. Berjubelnya pasien pada penyembuhan
alternatif ini, menunjukan bahwa Paramedis Indonesia sudah kurang bisa dipercaya lagi kemampuannya untuk
menyembuhkan penyakit. Disamping harga obat-obatan yang tidak terjangkau lagi, terutama masyarakat ekonomi
lemah. Sementara Pemerintah setengah hati untuk memberikan Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat).
Batu tetaplah sebuah batu, tetapi yang tidak bisa kita pungkiri adalah fakta. Batu Ponari sudah menunjukan fakta
dijaman modern ini, dimana sebagian bangsa Indonesia lebih percaya dengan hal-hal yang bersifat mistis. Dengan
keyakinannya, suatu penyakit bisa sembuh hanya dengan air yang dicelupi sebuah batu. Batu bukan sembarang
batu, tetapi kali ini “Batunya Ponari Sang Dukun Cilik dari Jombang”.
Kapan dan dimana Ponari akan buka praktek lagi, tentunya masyarakat akan mendatangi lagi dan berjubel seperti
semula. Tetapi yang lebih penting semoga Ponari bisa melanjutkan sekolahnya untuk meniti masa depan yang lebih
konkrit dan bisa menikmati masa anak-anaknya untuk bermain dengan teman sebayanya.
Insiden pencurian sepeda motor di tempat parkir sebuah gedung pemerintahan di Sumatra. Setelah diselidiki selama
satu minggu, komplotan pencuri motor telah tertangkap, dan pencurinya adalah 2 siswa di salah satu SMP yang
masih dekat dengan gedung pemerintahan tersebut.
Perkelaian dan pengeroyokan hingga tewasnya siswa SMP, terjadi di salah satu kota kecil di Jawa. Pelaku
pengeroyokan digelandang ke Mapolres setempat, dan pelakunya adalah teman sekelasnya sendiri. Pengeroyokan
dilatar belakangi rebutan pacar, dan siswi yang jadi rebutan adalah juga teman sekelasnya.
Bunga adalah nama samaran anak perempuan yang baru berumur 8 tahun. Bunga tersebut menjadi korban
pemerkosaan siang bolong digubuk tengah sawah yang sepi di salah satu desa di Sulawesi. Setelah di periksa polisi,
bunga mengaku yang memperkosa adalah tetangganya sendiri. Bunga diperkosa 3 siswa salah satu SMP di kota
kecil tersebut.
Rumah kosong yang lama tak berpenghuni digerebek polisi. Dalam rumah tersebut ditemukan 5 siswa SMA dan 5
siswi SMP. Siswa siswi tersebut melakukan pesta miras dan pesta sex. Setelah diperiksa Polisi, mereka semua dari
keluarga yang terpandang di kota tersebut. Mereka melakukan kegiatan seperti itu sudah 4 kali.
Beberapa siswa memukuli gurunya di depan kepala sekolahnya. Kejadian tersebut mengemparkan masyarakat di
salah satu kota di NTT. Pemukulan dilatarbelakangi dendam karena siswa –siswa tersebut tidak lulus UN (Ujian
Nasional).
Di salah satu kota besar di Jawa ada pembajakan Bus Kota. Setelah pembajak meminta uang dan barang-barang
penumpang, mereka melukai sopir dan salah satu penumpang. Namun sebelum pembajak turun dari bus, mereka
keburu ditangkap Polisi. Setelah di periksa di Kantor Polisi, komplotan pembajak tersebut adalah siswa salah satu
SMP di kota tersebut.
Ketika salah satu SMP di Jawa melakukan UN (Ujian Nasional), 45% siswanya tidak lulus Ujian Nasional. Kemudian
dilakukan survey pada SMP tersebut bahwa 47% dari 200 siswa, setiap hari dirumahnya tidak pernah belajar.
Polisi melakukan patroli/operasi khusus menjaring pelajar keluyuran pada jam belajar di salah satu kota besar di
Jawa. Dalam operasai tersebut terjaring 176 siswa dan 74 siswi. Siswa-siswi tersebut terjaring di tempat-tempat
wisata, Mall, Warnet dan PS (Ply Station).
Salah satu kota kecil di Kalimantan, dalam satu tahun ada 17 siswi SLTA dan 6 Siswi SLTP drop out. Siswi-siswi
tersebut drop out karena hamil diluar nikah. Sementara lelaki yang menghamili adalah teman sekolahnya masing-
masing.
Beredarnya video perkelaian antar geng di salah satu kota keci di Jawa, membuat geram para pejabat Pemerintah
Daerah setempat. Setelah dilakukan peyelidikan oleh aparat yang berwenang, pelakunya adalah pelajar SLTA di kota
kecil tersebut.
Video syur dengan bintang film amatir yang berdurasi 2 menit telah beredar hangat di salah satu kota kecil di NTB.
Video tersebut dibintangi oleh siswa-siswi yang menggunakan seragam sekolah salah satu SLTA di kota tersebut.
Dalam pembuatan film dilakukan di salah satu tempat wisata pantai yang cukup terkenal di kota itu.
Dari hasil pengamatan, bahwa fenomena tersebut diatas dilakukan pelajar-pelajar Indonesia, karena dipengaruhi
tayangan TV. 90% pelajar Indonesia menghabiskan waktunya di depan TV atau rata-rata menonton TV selama 7 jam
perhari.
Tetapi seberapa besar dampak negatif tayangan TV terhadap pelajar Indonesia, tentunya pemerintah atau lembaga
terkait perlu meninjau kembali Tata Aturan atau UU Pertelevisian. Dalam hal ini perlu dirumuskan kembali bahwa TV
sebagai tuntunan atau hanya sebagai tontonan saja. Mungkin yang lebih ekstrem lagi bahwa tayangan TV sebagai
penghasut pemirsa, sehingga tayangan TV semakin jelas akan merusak moral Bangsa Indonesia.
Sebagian siswa SMP tidak mau diajari Internet, setelah di tanya gurunya, anak tersebut tidak boleh belajar Intenet
oleh orang tuanya. Sehingga anak tersebut malahan menjadi bulan-bulanan temannya, karena siswa itu dianggap
Gaptek (gagap teknologi) dan kurang gaul.
Seorang guru IPA disalah satu SMP di Kabupaten Klaten, melarang guru komputer yang akan mengajari siswanya
untuk belajar Internet. Maklum guru tersebut tidak kenal komputer apalagi Internet. Setelah diberi penjelasan, guru
IPA tersebut tidak melarang lagi. Setelah mengetahui tentang Internet, guru IPA tersebut menyuruh istrinya untuk
belajar Internet.
Kepala Sekolah di salah satu SMP di Kabupaten Klaten, melarang siswanya belajar Internet. Kepala Sekolah itu
merasa kawatir, kalau siswanya mengakses Internet. Kekawatiran itu akibat ketidaktahuan tentang dunia Internet.
Setelah Kepala Sekolah tersebut diajari Internet, akhirya memberikan izin siswanya untuk belajar Internet.
Bagi sebagian masyarakat desa, Internet adalah sesuatu yang jorok, porno, saru bahkan bisa dibilang Internet itu
menyesatkan. Pendapat ini didapat berdasarkan hasil survey di masyarakat pedesaan. Sehingga mereka melarang
anaknya belajar Internet, apalagi pergi ke Warnet. Akhirnya anak-anak pergi ke Warnet dengan cara sembunyi-
sembunyi.
Tak ada yang bisa menghalangi pesatnya kemajuan Teknologi Informasi dalam kehidupan kita. Abad teknologi
informasi telah merambah dalam segala aspek pergaulan, bahkan sudah masuk kedalam pos ronda di kampung-
kampung Indonesia. Hingga di sebagian masyarakat merasa kawatir dengan kehadiran Internet ini. Memang perlu di
apresiasi kekawatiran itu, karena berbagai pemberitaan media masa yang selalu mempublikasikan kejadian-kejadian
negatif. Seperti siswa-siswi melakukan hal-hal yang tidak senonoh di Warnet (Warung Internet), perjudian, chatting
negatif dan sampai pada tindakan prostitusi lewat Internet.
Fenomena kekawatiran masyarakat tersebut cukup beralasan, karena Bangsa Indonesia termasuk urutan ke 5
terbanyak di dunia dan urutan ke 2 di Asia sebagai pengakses situs porno.
Internet bisa di akses lewat jaringan kabel telephon atau tanpa kabel seperti Hot Spot dan HP (Hand Phone). Orang
bisa mencari apa saja dan melakukan apa saja, baik itu mencari buku, diskusi, belanja barang, promosi, konsultasi
kesehatan dan lain sebagainya kecuali di suruh mencari ayam tetangga yang hilang. Bagi mereka yang ingin berbuat
negatif, lewat Internet pun bisa dilakukan. Warnet yang pada umumnya disediakan ruang/bilik tertutup,
memungkinkan pengguna warnet bebas berbuat apa saja tanpa ada pihak lain yang tahu.
Pada dasarnya HP lebih berbahaya dari pada Warnet. Kalau Warnet berada di suatu tempat tertentu yang banyak
orang dan ada penjaganya, sementara HP fungsinya juga bisa untuk mengakses Internet dan bisa dibawa kemana-
mana. Bahkan HP bisa dibawa bersembunyi di kamar, WC, Kebun dan dimana saja.
Untuk menghindari pelajar mengakses situs-situs negatif, dengan cara pembinaan mental. Sehingga ketika pelajar
mengkases Internet, mereka menempatkan diri pada posisi dimana, tergantung dari modal mental masing-masing
individu. Bagi pelajar yang bermental baik, dipastikan tidak akan mengakses situs-situs porno, tetapi pelajar yang
bermental jelek, biasanya ke Warnet hanya akan mengakses situs porno. Jadi, kontrol dan kendali Teknologi
Informasi dan Komunikasi ini ada pada si penggunanya, bukan ditangan si pencipta.
Maka perlu dibangun benteng pertahanan sejak dini, agar para pelajar terhindar dari virus yang merusak mental.
Benteng pertahanan yang paling kuat adalah mental masing-masing individu. Dimana mental tersebut dibangun dari
dalam keluarganya. Lingkungan keluarga adalah tempat dan waktu yang paling leluasa untuk membina mental.
Pelajar yang tak pernah mendapatkan pembinaan mental dengan baik, tentu saja tidak bisa berinteraksi sosial dan
hanya akan membuat keresahan di masyarakat.
Indonesia akan memiliki menara tertinggi di dunia. Proyek pembangunan menara yang menelan biaya Rp 3 triliun itu
pondasi yang telah selesai, tetapi sempat terhenti karena dampak krisis moneter tahun 1998. Pembangunan
ditargetkan selesai tahun 2012. Ide pembangunan menara ini berawal dari mantan Presiden Soeharto tahun 1994,
sebagai menara telekomunikasi dan multimedia yang didukung fasilitas Mal, kantor, pariwisata dan Ikon Nasional
lainnya.
Sebelumnya, tahun 1996 diadakan sayembara desain yang dimenangkan Murphi/Iohn dari Amerika Serikat. Namun
karena desainnya terlalu mahal untuk dikembangkan, akhirnya pemerintah memilih desain dari pemenang kedua
yaitu karya East Chine Architecture Design & Research Institut (ECADI), karena desain kedua ini dianggap lebih
sederhana dan benuansa Asia.
Peresmian pembangunan dilakukan tahun1997 oleh Gubernur Jakarta Soerjadi Soedirdja dan Mensesneg
Moerdiono, setelah disetujui Presiden Soeharto di Bina Graha, Jakarta. Presiden mengusulkan agar Menara Jakarta
diganti menjadi Menara Trilogi.
Pembangunan dimulai pada masa Gubernur Soerjadi Soedirdja, setelah terhenti karena krisis maka dilanjutkan pada
masa Gubernur Sutiyoso, namun perkembangannya sangat lamban. Baru pada masa Gubernur Fauzi Bowo,
pembangunan mulai di kerjakan lagi dengan Visi “Sentra Gaya Hidup”. Menara dibangun diatas tanah seluas 306,810
m2, luas gedung 40,550 m2 dan tinggi 558 meter.
(Suara Merdeka, 19 Pebruari 2009).
Seandainya Menara Jakarta benar-benar terwujud, Indonesia semakin lengkap dalam hal “TertinggI”. Bidang-bidang
yang masuk lavel 5 tertinggi didunia adalah : Jumlah rakyat miskin tertinggi, jumlah TKI/TKW keluar negeri tertinggi,
jumlah rakyat buta aksara dan buta huruf tertinggi, jumlah kerusuhan tertinggi, jumlah pulau tertinggi, jumlah pabrik
narkoba tertinggi, jumlah penduduk tertinggi, jumlah pengangguran tertinggi, jumlah pengguna situs porno tertinggi,
jumlah kendaraan tertinggi, jumlah haji tertinggi dan jumlah koruptor tertinggi.
Sementara yang terendah adalah kualitas pendidikan, yaitu kemampuan membaca siswa SD menduduki urutan ke
26 dari 27 negara yang di survey, serta kemampuan matematika siswa SMP menduduki urutan ke 34 dari 39 negara
yang di survey (Suara Merdeka, 2 April 2009).
Sungguh ironis, dimana rakyat antri berebut sedekah, infaq, zakat dan beras raskin hingga terjadi korban tewas,
sementara pemerintah menggelontorkan dana 3 triliun hanya untuk menanam besi beton di tengah-tengah
metropolitan. Dengan terwujudnya Menara Jakarta, tentunya rakyat miskin hanya bisa menikmati lewat media masa
dan melihat dari kejauhan, dan dipastikan rakyat miskin tidak merasakan bangga sedikitpun dengan adanya Menara
Jakarta. Karena, dengan perasaan bangga tidak akan membuat perut menjadi kenyang, bahkan mungkin sebaliknya
perut menjadi mual, mules dan keroncongan.
Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) sebagai pengkoordinasian dan penyerasian sumberdaya
yang dilakukan secara mandiri oleh sekolah dengan melibatkan semua kelompok kepentingan yang terkait dengan
sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan mutu sekolah atau untuk
mencapai tutjuan dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional. Sekolah memiliki kewenangan lebih besar untuk
mengelola dan pengambilan keputusan partisipatif.
MPMBS bertujuan memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui pemberian kewenangan, keluwesan, dan
sumberdaya untuk meningkatkan mutu output sekolah. Sehingga masing-masing sekolah mempunyai karakteristik
yang berbeda-beda dalam hal input dan output.
(Depdiknas, 2000).
Karakteristik MPMBS adalah program pendidikan dengan kurikulum yang berbasis kedaerahan, dimana setiap
sekolah dituntut untuk meningkatkan kualitas pendidikan dengan berdasar pada keunggulan lokal. Lingkungan dan
potensi daerah perlu dimasukan dalam kurikulum pembelajaran, sehingga siswa bisa belajar dan mengembangkan
potensi diri dan daerahnya, sesuai keadaan dan kemampuan yang didasarkan pada keunggulan lokal.
MPMBS ini memungkinkan lembaga pendidikan memasukan kurikulum yang berbasis kinerja dan ketrampilan bagi
siswa. Dengan program ini diharapkan siswa di daerah/desa akan berbeda dengan siswa di perkotaan. Kurikulum
pembelajaran dituntut untuk menyesuaikan keadaan, dimana kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik siswa
akan berkembang berdasarkan kebutuhan di daerahnya masing-masing. Sehingga siswa setelah lulus sekolah, tidak
harus mencari pekerjaan ke kota, tetapi cukup di daerahnya sendiri untuk bisa mengembangkan dan memanfaatkan
hasil pembelajaran dari sekolahnya.
Sekolah yang bertempat di desa, maka harus mengembangkan potensi daerahnya melalui pembelajaran di kelas.
Misalnya sekolah desa yang mempunyai keunggulan lokal bidang pertanian, maka sekolah tersebut harus
memasukan kurikulum pertanian melalui mata pelajaran Muatan Lokal Pertanian. Tentu program ini sangat
bermanfaat bagi siswa yang tinggal di daerah yang mayoritas penduduknya bertani. Sehingga, apabila siswa hanya
mampu sekolah pada tingkat SLTP dan tidak bisa melanjutkan ke SLTA, siswa tersebut sudah mempunyai bekal
untuk bertani yang baik dan benar.
Dalam pelaksanaan pembelajaran, tentu perlu pembimbing yang sesuai dengan bidangya. Oleh karena itu sekolah
dengan dana yang cukup, pembimbing tidak harus guru yang mengajar setiap harinya, tetapi bisa bekerja sama
dengan instansi terkait, tokoh masyarakat dan para ahli professional di bidangnya. Apabila yang menjadi keunggulan
lokal bidang pertanian, maka bisa meminta bantuan dari Dinas Pertanian untuk bisa membimbing serta memberikan
pelatihan siswa di sekolah dan apabila yang menjadi keunggulan lokal adalah bidang garment, maka sekolah bisa
meminta tokoh masyarakat yang bisa membuat pakaian (penjahit), untuk bisa membantu membimbing siswa dalam
hal ketrampilam membuat pakaian (menjahit).
Untuk itu pemerintah perlu menggelontorkan dana dalam bentuk program kontrak kerja Biaya Operasional
Manajemen Mutu (BOMM). Agar bisa berjalan maksimal, satu program kerja (satu mata pelajaran) minimal di
alokasikan dana pendamping sebesar Rp 30.000.000’-.
Jadi, siswa sekolah pinggiran/daerah terpencil/desa, tidak perlu mempelajari jenis mata pelajaran yang berifat umum.
Siswa tidak harus belajar materi UN/UNAS sampai menghabiskan energi yang berlebihan. Sebab, materi UN/UNAS
SLTP akan menjadi limbah bagi siswa yang tidak melanjutkan ke SLTA, begitu juga materi UN/UNAS SLTA tak
begitu berguna bagi siswa yang tidak akan melanjutkan ke perguruan tinggi.
Siswa di salah satu SMP di Klaten, pergi sekolah tanpa sarapan dan tanpa uang saku. Sesampai di sekolah, siswa
tersebut meminta uang temannya dengan paksa (memalak). Puluhan temannya telah menjadi korban pemalakan.
Setiap teman diminta antara Rp 500,- sampai Rp 1000,-. Setiap hari ada dua anak yang dimintai uang, dan hari
berikutnya meminta teman yang lain. Dalam meminta uang, memilih teman laki-laki yang dianggap penakut secara
bergiliran dan dengan ancaman tertentu. Apabila temanya tidak memberi uang, mereka diancam akan dipukuli atau
di keroyok teman-temannya.
Ada beberapa teman yang menjadi langganan untuk dimintai uang. Sehingga, anak yang menjadi langganan tersebut
harus menyembunyikan uangnya di dalam sepatu, agar si-pemalak tidak tahu. Sebab, kalau sedang meminta dan
dijawab tidak punya, si-pemalak tidak percaya lalu menggeledah saku baju dan celana calon korbannya.
Dalam satu tahun, si-pemalak berhasil memalak teman-temannya ± Rp 750.000,-. Namun, uang pamalakan itu tidak
semuanya di pakai sendiri. Sebab, ada beberapa teman sekelasnya yang juga diajak untuk menikmati uang tersebut.
Karena uang tersebut tidak selalu dihabiskan untuk jajan di kantin sekolah, tetapi untuk jajan di warung kucing dekat
rumah si-pemalak.
Kasus ini terungkap setelah ada laporan salah satu orang tua siswa yang menjadi korban pemalakan kepada pihak
sekolah. Selanjutnya pihak sekolah melakukan klarifikasi ke beberapa pihak. Dan ternyata, pemalakan ini telah
dilakoni selama 2 tahun, sejak si-pemalak baru kelas VII dan baru terungkap setelah si-pemalak kelas VIII.
Profil si-Pemalak.
Si-pemalak adalah dari keluarga miskin di Kecamatan Trucuk, Kabupaten Klaten. Setiap harinya, tinggal di rumah
sederhana bersama adik perempunnya yang baru kelas VI SD. Bapaknya berdagang es di kota Cilacap, Ibu dan
Kakaknya mencari nafkah di Kalimantan. Praktis dua anak ingusan ini hidup sendiri tanpa pengawasan dan
bimbingan orang tuanya. Sementara sanak famili dan tetangganya, tak pernah peduli dengan anak-anak ini.
Dalam setiap bulanya, kedua anak ini dikirimi uang dari orang tuanya untuk biaya hidupnya. Menurut pengakuannya,
uang kiriman tidak cukup untuk biaya hidup satu bulan. Setiap pagi berangkat ke sekolah, kedua anak ini tidak
pernah sarapan dan ketika pulang sekolah ± pukul 13.00 WIB, kedua anak ini tidak bisa langsung makan tetapi harus
memasak dulu. Setelah ± pukul 14.30 WIB, kedua anak ini baru bisa makan. Jenis menu makannyapun, setiap hari
hanya nasi, kerupuk dan mie instant.
Berangkat ke sekolah sering terlambat, dan baru pukul 09.00 WIB, anak ini sudah mengantuk dan tidur, kepalanya
ditaruh diatas meja belajar. Pekerjaan rumah (PR dari sekolah) tidak pernah dikerjakan. Didalam kelas tidak bisa
mengikuti pelajaran dengan baik, sehingga selalu menjadi bulan-bulanan guru yang sedang mengajar. Sering
dikeluarkan dari kelas karena anak ini tidak membawa buku pelajaran, tidak mengerjakan tugas dari guru dan tidak
memperhatikan gurunya yang sedang mengajar. Setiap ulangan selalu mendapatkan nilai yang jelek/dibawah rata-
rata kelas, sehingga saat pembagian raport nilanya selalu ranking terbawah di kelasnya.
Setiap di panggil ke kantor guru atau Bimbingan Konseling (BP), anak ini selalu menunjukan sikap penyesalannya,
sambil menangis. Selalu berjanji untuk tidak melakukan pelanggaran tata tertib sekolah, tetapi di lain waktu selalu
mengulang-ulang pelanggaran tata tertib. Badan kurus, muka pucat, baju kumal dan seperti tidak pernah mandi dan
anak ini sepintas kelihatan kurang sehat. Dalam pergaulan, anak ini kelihatan kurang percaya diri, mudah
tersinggung dan marah.
UUD 1945 Bab XIII, pasal 31, Ayat 1…(Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran).
UUD 1945 Bab XIV, pasal 34…(Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh Negara).
Fenomena ini hanyalah salah satu contoh profil pelajar Indonesia di tahun 2008. Sementara kisah nyata yang mirip
dengan fenomena ini jumlahnya jutaan pelajar, bahkan tersebar di seluruh wilayah Indonesia tak terkecuali di kota
metropolitan, Jakarta.
Pemanasan Global (Global Warming) adalah dimana manusia sebagai makluk social dan sekaligus makluk Tuhan,
telah melakukan tindakan-tindakan yang menyimpang dari akhidah agama. Manusia berbuat tanpa memperhitungkan
dampak yang akan terjadi, sehingga perbuatan manusia tersebut merusak alam. Segala kehidupan sudah tidak lagi
nyaman, dimana-mana terjadi perusakan dan pembunuhan makluk hidup. Ekosistem telah hancur, jaringan
kehidupan sudah putus dan kehidupan tak lagi mampu melakukan regenerasi. Dengan demikian segala kehidupan
spesies akan teracam punah, dan yang tersisa hanyalah bermacam-macam penyakit. Sementara lapisan ozzon
mulai menipis yang akhirnya sinar matahari dengan mudah membakar bumi dan seisinya.
Koordinator Kopertis Wilayah V DIY Budi Santoso Wignyo Sukarto menyatakan pihaknya telah mengambil tindakan
tegas, terkait dengan perpanjangan penyelenggaraan izin Program Studi Bimbingan Konseling STKIP (Sekolah
Tinnggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan) Catur Sakti yang berada di Kabupaten Bantul, provinsi DIY (Daerah Istimewa
Yogyakrta). Progarm Studi itu telah terbukti menerbitkan 1.463 ijazah illegal dan transkrip palsu selama tahun 2002 –
2008.
(Suara Merdeka, 4 Maret 2009).
Dunia pendidikan tercoreng dengan ulah oknum-oknum pendidik. Karena sebagian besar penerima ijazah palsu
adalah guru. Begitu mudah dan cepat dalam mendapatkan ijazah tersebut, menjadikan perguruan tinggi yang
bersangkutan menjadi alternatif para guru yang kemampuannya akademiknya lemah. Tanpa dituntut untuk wajib
hadir dalam setiap perkulihan dan tak ada tuntutan penulisan karya ilmiah yang bertele-tele, mereka dengan mudah
mendapatkan ijazah hanya dengan menyediakan sejumlah uang kepada pihak-pihak tertentu.
Bagaimana mungkin, mahasiswa tidak pernah ikut kuliah, tidak ikut ujian, tidak pernah membuat karya tulis tiba-tiba
terbit transkrip nilai. Entah nilainya baik atau buruk, yang pasti mereka bisa lulus. Selanjutmya mereka dengan
perasaan senang atau terkejut bahkan terheran-heran, karena mendapat undangan wisuda. Setelah diwisuda,
mereka benar-benar seorang guru yang sudah sarjana/S1/D4. Tanpa dipungkiri lagi, bahwa mereka yang habis
diwisuda sangat puas dengan gelarnya yang baru, walau sebenarnya didalam benak hatinya adalah tersimpan
kemunafikan yang mendalam.
Dibalik animo pencarian ijazah sarjana tersebut tak lepas dari program peningkatan kesejahteraan guru yang
dicanangkan oleh pemerintah. Dengan ijazah sarjana/S1/D4, bisa untuk syarat kenaikan pangkat dan syarat
portofolio untuk mendapatkan tunjangan profesi guru. Besarnya tunjangan profesi, menjadikan guru-guru
menghalalkan segala cara, walau cara-cara tersebut tidak pantas ditiru oleh peserta didiknya.
Menurut Budi Santoso WS, ada sejumlah perguruan tinggi swasta (PTS) DIY yang terindikasi melakukan praktik
penerbitan ijazah palsu. Bahkan tidak hanya di DIY tetapi PTS yang tersebar diseluruh Indonesia. Ada sejumlah PTS
diluar DIY yang meluluskan mahasiswanya dengan waktu yang sangat singkat. Sehingga, mahasiswa ini bisa
dikategorikan menerima ijazah aspal (asli tapi palsu). Ijazah aspal ini banyak dicari bagi mereka yang sudah bekerja
di instansi tertentu. Kebanyakan mereka sudah pernah kuliah, tetapi belum sarjana. Jadi mereka mengikuti kuliah
penyetaraan dari jenjang D1/D2/D3 ke jenjang S1/D4, atau mereka sudah sarjana program ilmu Non Kependidikan
kemudian mengambil program Ilmu Kependidikan untuk mendapatkan Akta IV sebagai syarat mengajar atau menjadi
guru.
Bagaimana dengan kinerja pendidik yang jahat, hal ini perlu diwaspadai secara serius. Karena dikawatirkan akan
menciptakan peserta didik yang juga jahat. Sebab, pendidik adalah garda terdepan Negara untuk menciptakan
kondisi bangsa.
Tetapi dengan alasan apapun, seorang pendidik harus bisa memberikan tauladan tidak hanya kepada siswanya,
tetapi juga kepada semua orang. Dimana seorang guru tinggal di kampungnya, selalu menjadi rujukan segala
masalah yang timbul di kampungnya tersebut. Masyarakat memandang guru adalah pekerjaan yang paling mulia.
Tugas berat untuk mencerdaskan bangsa dan ujung penentu pembentukan sikap bangsa Indonesia.
Berdasarkan hasil pengamatan bahwa 90% guru tidak bisa membuat karya tulis ilmiah. Yang mereka bicarakan
sehari-hari adalah harga sebuah karya tulis, pesan kepada siapa dan berapa harga satu buah karya tulis. Biro jasa
menawarkan dengan harga paket, artinya satu karya tulis dengan harga tertentu. Apabila ada kesalahan tulis atau
revisi isi tulisan, maka biro jasa siap melakukan perbaikan hingga karya tulis tersebut benar-benar diterima tim
penilai karya tulis pada instansi terkait.
Mengapa banyak guru yang tidak bisa membuat karya tulis ilmiah…?
Bagi pemalsu SK tidak hanya diturunkan pangkatnya, tetapi harus diberikan sanksi sesuai dengan hukum yang
berlaku. Pihak pengguna SK dan pihak pembuat SK harus mempertanggungjawabkan perbuatannya, karena tidak
pantas lagi ditiru peserta didik dan akan merusak moral bangsa. Dengan kejadian tersebut, akan muncul konplik
saling menyalahkan antara pihak pendidik dengan pihak instansi terkait. Kenyataannya, memang kedua belah pihak
sudah cukup mengkhawatirkan dunia pendidikan Indonesia.
Yang pasti, penjahat dunia pendidikan Indonesia.
HP-ku tiba-tiba berbunyi tanda ada SMS (Short Massage Sevice) masuk. Setelah kubuka ternyata ada
tulisan “Mas tolong, Aku Jatuh” artinya temanku meminta pertolongan karena terkena kecelakaan. Setelah
aku minta konfirmasi, temanku memberi penjelasan mengenai tempat kejadian dan apa yang harus aku
lakukan untuk menolongnya. Setelah aku mengetahui tempat kejadian kecelakaan, selanjutnya aku dan
kakakku membawa mobil bak terbuka meluncur kelokasi kejadian. Selanjutnya temanku yang sakit masuk
mobil dan sepedanya juga dinaikan diatas bak mobil. Teman yang sakit diantar ke rumah sakit, lalu sepeda
diantar kerumahnya sekaligus memberitahu keluarganya.
Cerita tersebut diatas merupakan kisah yang benar-benar terjadi pada hari minggu tanggal 10 Mei 2009.
Saat itu aku sedang mencari artikel materi pelajaran biologi di Warung Internet. Begitu aku dapat SMS dari
temanku yang minta tolong karena terkena kecelakaan, maka aku cepat-cepat pulang selanjutnya meluncur
menuju lokasi dimana temanku terkena kecelakaan. Dalam waktu 15 menit, aku sudah sampai lokasi
kejadian dan langsung melakukan pertolongan.
Setelah selesai melakukan pertolongan dan memberi khabar keluarganya, aku istirahat sambil merenungi
insiden yang baru saja terjadi pada temanku. Dalam renunganku, aku memuji orang yang menciptakan alat
telekomunikasi. Begitu ada kejadian dan memerlukan pertolongan, maka alat komunikasi itulah sebagai
senjata utama untuk mencari bala bantuan. Dengan biaya yang cukup murah namun bisa digunakan secara
efektif.
HP di Sekolah…
Beberapa sekolah setingkat SD dan SLTP melarang siswanya untuk membawa HP ke sekolah. Karena
sekolah khawatir kalau HP tersebut mengganggu dalam KBM (Kegiatan Belajar Mengajar) di kelas.
Disamping itu banyak siswa yang menggunakan HP untuk kegiatan yang negatif, misalnya tukar menukar
gambar porno. Namun tidak sedikit yang menggunakan HP untuk kegiatan positif seperti menolong teman
sekolah yang kecelakaan ketika baru pulang sekolah. Bahkan pernah terjadi ketika temanku baru berangkat
sekolah mangalami kecelakaan di jalan. Lalu temanku itu SMS gurunya dan selanjutnya guru tersebut
memberikan pertolongan.
Teknologi diciptakan untuk memberikan kemudahan bagi umat manusia. Begitu praktis dan efektifnya suatu
alat, maka hampir semua orang bisa menggunakan dengan leluasa. Ada yang menggunakan untuk
kepentingan positif, namun tidak sedikit yang menyalahkangunakan teknologi. Hal ini terjadi pada alat
telekomunikasi yang mendunia seperti HP. Manusia sebagai makhluk individu sekaligus sebagai makhluk
sosial, seharusnya menggunakan HP untuk kepentingan sosial. Dengan demikian pengguna HP akan lebih
menghargai dan memahami suatu benda dari segi positif.
Fenomena ini bisa sebagai inspirasi bagi penulis dan sekaligus masyarakat umum untuk bisa
memanfaatkan HP secara S2M (Sopan Santun Menolong).
Standard Pengelolaan Pendidikan, Bidang Keuangan dan Pembiayaan untuk satuan pendidikan dasar dan
menengah (Permendiknas No. 19 Tahun 2007) yaitu :
Butir b, 4 bahwa “pembukuan semua penerimaan dan pengeluaran serta penggunaan anggaran, untuk dilaporkan
kepada komite sekolah/madrasah, serta institusi di atasanya”.
Butir d bahwa “ pedoman pengelolaan biaya investasi dan operasional sekolah/madrasah disosialisasikan kepada
seluruh warga sekolah/madrasah untuk menjamin tercapainya pengelolaan dana secara transparan dan akuntabel”.
Kurang transparannya pengelolaan keuangan sekolah, berpotensi terjadinya penyalahgunaan dana investasi sekolah
untuk kepentingan pribadi atau oknum-oknum tertentu dalam lingkungan lembaga pendidikan. Oknum-oknum
tersebut adalah kepala sekolah, bendahara sekolah dan komite sekolah. Sementara warga sekolah yang lain seperti
guru, karyawan, siswa dan masyarakat tidak bisa berbuat banyak. Sehingga sering mendapatkan kritik pedas dari
warga masyarakat yang peduli dengan dunia pendidikan. Namun kritikan tersebut membuat oknum tidak menjadi
gentar, tetapi malahan semakin merajalela karena masyarakat dianggapnya bodoh dan tidak tahu manajemen
keuangan.
Guru-guru Indonesia belum mampu berkompetensi dalam era pengetahuan. Guru lebih banyak menjadi konsumen
dari pada produsen, sehingga kualitas pembelajaran pada perserta didik tidak siap, ungkap Prof. Amat Mukhadis
pada seminar bertema “Inovasi Pembelajaran pada Pendidikan Dasar untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran
dan Mutu Sertifikasi Guru” (Suara Merdeka, 15 Juni 2009).
Departemen Pendidikan Nasional akan merumuskan 3 kompetensi kunci untuk melengkapi system kurikulum tingkat
satuan pendidikan (KTSP) yang saat ini sedang diimplementasikan di sekolah-sekolah, (Suara Merdeka, 27 Mei
2009).
E-learning adalah model pembelajaran elektronik, yang mengusung teknologi digital sebagai medium utama proses
pembelajarannya. E-learning juga disebut sebagai bentuk pembelajaran yang diperkaya oleh teknologi digital, (Suara
Merdeka, 5 Maret 2009).
Penguasaan Teknologi Informasi tunjang profesionalitas guru. Peran TI sangat strategi untuk menunjang proses
kegiatan belajar mengajar di kelas maupun dalam bidang majemen system pendidikan, (Suara Merdeka, 28 Januari
2009).
Penggalan-penggalan tulisan tersebut menunjukan bahwa baik-buruknya kualitas pendidikan seolah-olah ditentukan
pada metode yang dipakai guru dalam mengajar. Tak henti-hentinya pakar-pakar pendidikan berteriak lantang
menyuarakan pentingnya metode pembelajaran. Guru selalu menjadi obyek penderita bagi dunia pendidikan. Guru
selalu pada pihak yang lemah namun dituntut harus menjadi seorang hero yang mampu merubah bangsa yang
terbelakang menjadi bangsa yang superior.
Kurang transparannya pengelolaan keuangan sekolah, khususnya untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah,
sering diteriakan masyarakat melalui media masa,(Suara Merdeka, 16/1/ 2009).
Tidak transparannya pengelolaan keuangan, berakibat banyak dana investasi pendidikan yang tidak sesuai
peruntukannya. Guru dan karyawan diharuskan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan berat yang tidak diberi uang
imbalan, sehingga guru tersebut manjadi malas bekerja dan tidak produktif. Fasilitas pendidikan dan alat peraga
pembelajaran tidak pernah diadakan, sehingga pembelajaran hanya berkisar tulis-menulis yang monoton dan
membosankan siswa.
Apabila pengelolaan dana investasi sekolah benar-benar sesuai peruntukannya, sekolah-sekolah di Indonesia sudah
lebih maju dan mampu bersaing dengan dunia pendidikan di Negara-negara Eropa. Namun sebaliknya, pelajar
Indonesia sekarang ini sangat jauh ketinggalan alias gaptek (gagap teknologi) dengan negara-negara Eropa. Berarti
salah satu yang menghambat kemajuan pendidikan Indonesia adalah pengelola dana investasi alias bendahara
sekolah dan oknum lainnya.
Masalah penghasilan tambahan berupa kesejahteraan dan lain-lain bagi guru tidak terlepas dari deskripsi Tugas
Guru. Menurut Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN) nomor 84 Tahun 1999 tentang Jabatan
Fungsional Guru dan Angka kreditnya, salah satu tugas pokok guru adalah merencanakan program, melaksanakan
progam, mengevaluasi, menganalisisi hasil evaluasi dan melaksanakan tindak lanjut hasil evalusi, hal ini dinilai
sebagai unsur utama dalam penilaian angka kredit, (Suara Merdeka, 19 Januari 2009).
Guru yang sudah bersertifikat pendidik profesional berhak mendapatkan tunjangan profesi. Tujuan pemberian
tunjangan adalah untuk meningkatkan kinerja sebagai guru yang professional. Namun tunjangan diberikan dengan
syarat guru tersebut harus memenuhi 24 jam tatap muka.
Minimnya jam pada suatu sekolah membuat para guru bersrtifikat profesional saling berebut jam sekedar untuk
memenuhi syarat 24 jam tatap muka. Namun ada tugas-tugas tambahan tertentu yang bisa dipakai untuk memenuhi
syarat tersebut. Antara lain : wali kelas, ketua program studi, guru piket, kepala laboratorium, wakil kepala sekolah,
pembantu kepala sekolah, bendahara BOS dan lain sebagainya.
Tugas-tugas tambahan tersebut bisa diperhitungkan dalam angka kredit kenaikan pangkat dan penilaian portofolio
sertifikasi. Namun tugas tambahan tersebut mengakibatkan sekolah harus memberikan honorarium. Honorarium
pada tugas-tugas tambahan itu dianggap sebagai uang kesejahteraan para guru. Sehingga ada beberapa tugas
tambahan yang menjadi rebutan, selain honornya menggiurkkan juga bisa mengangkat practice jabatan seorang
guru. Akibatnya sering timbul konflik horizontal pada intern sekolah.
Dana yang dipakai untuk honorarium guru-guru tersebut cukup besar dan tidak begitu berpengaruh pada kualitas
pembelajaran. Mestinya dana itu dipakai untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dan langsung bisa dinikmati oleh
yang berhak yaitu siswa. Bagi para guru yang sudah bersertifikat professional dan masih menerima honorarium tugas
tambahan, sebaiknya mencoba untuk bersikap jujur dan adil. Dana BOS adalah dana yang diperuntukan bagi siswa
dari keluarga yang benar-benar miskin.
Pakar pendidikan Said Hamid Husein mengatakan kebijakan Buku Sekolah Elektronik (BSE) sejauh ini tidak efektif
bagi sekolah miskin dan sekolah yang berada didaerah terpencil. BSE hanya bisa diakses oleh sekolah kaya dan
berada dikota, karena untuk mengakses BSE harus dengan fasilitas komputer dan jarinagn internet, (Suara Merdeka,
17 Juni 2009).
Pemerintah melalui Sekretaris Jendral Departemen Pendidikan Nasional menyiapkan Bantuan Opersional Sekolah
(BOS) buku teks pelajaran untuk siswa SD dan SMP senilai Rp 3 triliun. Dana ini untuk pengadaan buku teks lima
mata pelajaran badi siswa SD dan SMP, (Suara Merdeka, 20 Juni 2009).
Pada kenyataan yang terjadi dimasyarakat dewasa ini bahwa pustaka belum dipandang sebagai sesuatu yang
sangat penting keberadaanya. Guru dan siswa lebih senang mendatangi kantin sekolah dari pada datang ke
perpustakaan. Guru lebih tertarik membicarakan cerita sinetron daripada membicarakan jurnal karya ilmiah.
Dianggapnya gedung perpustakaan hanyalah seonggok gudang tua yang angker dan buku dianggapnya hanyalah
sampah-sampah. Padahal pustaka adalah jendela dunia, gudangnya ilmu pengetahuan dan merupakan guru yang
paling setia.
Jadi, program BSE dan BOS Buku akan tidak efektif, karena guru dan siswa Indonesia bukanlah pembaca buku yang
baik. Sejarah bangsa Indonesia mempunyai budaya membaca yang sangat rendah. Agar program BSE dan BOS
Buku bisa berhasil, maka yang perlu diprioritaskan adalah program budaya membaca bagi masyarakat, guru dan
pelajar.
Pemandangan baru dalam dunia pendidikan Indonesia setiap tahun pelajaran baru. Saat akan menghadai UNAS
(Ujian Nasional) orang tua selalu berharap nilai NEM anaknya sangat memuaskan, dengan begitu akan mudah
mencari sekolah yang diidamkan. Setelah lulus sekolah orang tua dibikin panik mencarikan sekolah anaknya. Pagi
mendaftar siang atau sore datang lagi kesekolah untuk melihat pengumuman jurnal nilai pendaftar. Harap-harap
cemas dalam melihat jurnal tersebut karena jurnal itu menampilkan semua nilai pendaftar. Dimana posisi nilai
anaknya berdasarkan ranking dari semua pendaftar.
Diskripsi diatas tak ada yang mengarah untuk memberi sanjungan atau pujian kepada seorang guru, tetapi
masyarakat selalu meng-kambinghitamkan profesi guru. Kenyataanya memang guru tidak butuh sanjungan tetapi
guru butuh uang cukup banyak agar bisa mengajar dan mendidik siswanya dengan baik. Penguasa bangsa yang baik
hati, berikan gaji guru yang melimpah agar bisa meningkatkan kinerjanya dan menjadikan siswa cerdas, berprestasi
dan mampu membangun bangsanya sendiri.
Guru atau pendidik yang tak bisa bepacu dengan perkembangan teknologi dipastikan akan mengalami masalah.
Guru bisa kalah dengan siswanya yang aktif meng-apdate pengetahuannya. Ini membuat para guru kehilangan
kharisma dan wibawanya. Contoh seorang guru di Tiongkok tahun 2005 bunuh diri karena pengetahuannya kalah
dengan siswanya yang didapat dari internet. Contoh lagi di Jerman seorang guru mengundurkan diri dari profesinya
karena siswanya lebih pintar dalam mengakses internet pada saat jam istirahat (Ardhie Raditya, Suara Merdeka, 6
Juli 2009).
Diskripsi diatas adalah contoh kenyataan seorang guru yang masih Gaptek (Gagap Teknologi). Guru yang tidak
mengikuti perkembangan amat sangat menghambat perkembangan pendidikan dewasa ini. Idealnya guru harus
menguasai ICT (Information Comunication Teknologi) dengan baik. Dengan demikian proses pembelajaran bisa
berlangsung dengan sempurna. Perkembangan pengetahuan dan teknologi selalu bisa dihadirkan disetiap
pertemuan di depan kelas. Mungkin inilah gagasan saudara Ardhie Raditya yang merunut dari “Revolusi Edukasi
Berbasis Teknologi” gagasan Nicholas Negroponte, ahli komputer dari MIT-AS.
Gagasan tersebut memang sangat bagus untuk pendidikan di Indonesia. Namun yang perlu di pikirkan adalah kapan
dimulai revolusi pendidikan berbasis teknologi. Tentunya guru-guru Indonesia sudah ketinggalan jauh dengan
negara-negara Eropha. Tetapi lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali melakukan revolusi pendidikan.
Revolusi pendidikan obyeknya adalah guru dulu, sehingga kemampuan guru tentang ICT bisa setara dengan
siswanya.
Di SMP tersebut mendapat beberapa guru baru. Guru-guru baru itu sarjana S-1 lulusan antara tahun 2000 sampai
2008. Mestinnya bisa menguasai komputer, tetapi kenyataannya kemampuan mengoperasikan komputer sangat
terbatas. Bahkan masih kalah dengan anak SMP kelas 7. Sebab siswa kelas 7 sudah bisa mengkses internet dan
membuat E-mail sementara guru baru tersebut belum pernah mengakses internet. Hal ini perlu dipertanyakan
kompetensi pengetahuan dan ketrampilan semasa di perguruan tinggi.
Siswa selalu mengikuti perkembangan teknologi karena ada guru yang membimbing, maka siswa di SMP tersebut
merasa gaul dan tidak Gaptek lagi. Pembelajaran seperti ini membuat siswa percaya diri dan tidak canggung untuk
berhubungan dengan dunia maya. Siswa mencari artikel untuk membuat kliping tidak perlu mencari koran bekas,
tetapi tinggal copy paste melalui internet. Sedangkan guru-gurunya tidak tahu istilah “copy paste” seperti yang
dilakukan oleh siswanya.
Kantin Kejujuran di SMU 01 Boyolangu Tulungagung yang di-launching baru 20 hari sudah bangkrut. Kantin dengan
modal awal sebesar Rp 1.500.000, pada hari kedua uang terkumpul di kasir hanya Rp 900.000. Selanjutnya pada
hari ke-20 uang tersisa di kasir hanya Rp 90.000 dan yang terjadi pada Kantin Kejujuran tersebut tutup.
SMP Negeri 5 Parepare melakukan ujicoba Kantin Kejujuran pada akhir tahun 2008. hasil dari ujicoba tersebut belum
menggembirakan karena pada periode Desember- Januari 2009 mengalami kerugia sebesar Rp 88.000 dan pada
periode Pebruari-April 2009 mengalami kerugian sebesar Rp 27.000.
Pemerintah Provinsi Sumatra Utara membina PNS dengan Kantin Kejujuran, namun harapan tersebut kandas karena
Kantin Kejujuran mengalami kerugian. Kantin Kejujuran dengan modal Awal Rp 500.000, dan dalam waktu satu bulan
Kantin Kejujuran tersebut omzetnya tinggal sebesar Rp 250.000.
Kantin Kejujuran yang diprogramkan untuk anak sekolah adalah suatu cara pembentukan karakter jujur sejak dini dan
diharapkan akan menjadi generasi yang mempunyai rasa malu untuk berbuat salah atau curang. Mengingat bangsa
Indonesia termasuk bangsa yang paling korup di dunia, sehingga Jaksa Agung Hendarman Supandji sangat prihatin.
Kerpihatinan Jaksa Agung itu perlu di acungi jempol dengan menggelontorkan program Kantin Kejujuran di sekolah-
sekolah. Program ini sejalan dengan Pasal 30/UU Nomor 16/Tahun 2004 yaitu suatu strategi Kejagung untuk
memberantas korupsi dengan cara preventif, represif dan edukatif.
Gagasan KPK dan Kejaksaan tersebut memang bagus dan bisa untuk membina seseorang untuk berlaku jujur dan
bertanggungjawab. Karena Kantin kejujuran adalah bentuk penjualan yang mana pembeli tinggal mengambil barang
yang diinginkan, membayar dan meletakan uang dikotak yang disediakan sesuai daftar harga serta mengambil
pengembalian uang yang telah disediakan tanpa ada penjaga atau pengawas. Alhasil gagasan KPK dan Kejaksaan
yang di dengungkan Hendarman Supandji hanyalah isapan jempol belaka.
Pendidikan merupakan proses pembelajaran dalam rangka pencapaian kompetensi peserta didik. Proses
pembelajaran yang baik dan benar akan menghasilkan peserta didik yang beraklaq mulia. Dengan alasan ingin
mencapai target kelulusan 100%, maka guru dan kepala sekolah menghalalkan segala cara. Guru ingin naik pangkat
atau lulus fortofolio sertifikasi-pun tidak sedikit yang berbuat curang, sehingga Dr. Baedhowi Dirjen PMPTK
Depdiknas menyatakan prihatin dengan adanya guru yang tidak jujur (Suara Merdeka, 18 Juni 2009).
Kembali pada tema Kantin Kejujuran disekolah yang bangkrut, bahwa untuk membentuk sikap mulia memang perlu
diawali dari sumbernya yaitu melakukan perubahan secara komprehensip. Kurikulum pendidikan nasional perlu
disinergikan dengan pembentukan sikap mulia, guru bisa memberikan contoh jujur pada anak didiknya dan perilaku
pejabat yang adil dan tidak arogan.
Digulirkannya beberapa sebutan/label status sekolah, maka sekolah-sekolah berlomba-lomba meningkatkan kualitas
pembelajaran agar mendapatkan sebutan yang digulirkan pemerintah. Sebutan itu antara lain SSN (Sekolah
Standard Nasional), RSBI (Sekolah Rintisan Bertaraf Internasional) dan SBI (Sekolah Bertaraf Internasional).
Sekolah dengan mendapat sebutan tersebut tentunya menjadi daya tarik bagi masyarakat yang ingin bersekolah.
Secara prestice sekolah tersebut telah terangkat nilai jualnya untuk menawarkan produk-produk kurikulum
pembelajaran dan hasil yang akan dicapai.
Menurut Dekan FMIPA UNES Drs. Kasmadi Imam Supardi MS, (Suara Merdeka, 7 Juli 2009), bahwa keefektifan
sekolah bukan pada sebutan-sebutan tersebut tetapi lebih pada seberapa besar tujuan sekolah yang telah
direncanakan dan hasil yang dicapai. Dana blockgrant ratusan juta yang digelontorkan pemerintah akan sia-sia
apabila majemen pengelolaan keuangan sekolah dan proses pembelajaran tidak efektif.
SBI sudah empat tahun berjalan sampai sekarang dan apabila kualitas sekolah tersebut tidak lebih baik maka
Depdiknas akan menghentikan blockgrant dan status SBI di cabut kemudian dikembalikan menjadi sekolah
reguler/biasa. Kualitas yang dimaksud adalah sesuai 8 Standard Nasional Pendidikan (SNP), akreditasi dan
penjaminan mutu (Suara Merdeka, 21 Juli 2009).
Menurut mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Yoesoef, bahwa pembelajaran menggunakan
pengantar bahasa Inggris menjadikan bangsa Indonesia rendah diri. Matematika yang disampaikan dengan bahasa
Inggris nilainya tidak akan lebih tinggi daripada disampaikan dengan bahasa Indonesia. Orang Amerika bisa maju
bukan karena bahasa Inggris tetapi karena mereka bisa menghayati nilai-nilai kemajuan itu dengan pengembangan
otaknya (Suara Merdeka, 11 Juli 2009).
Orang Jepang adalah kemampuan berbahasa Inggrisnya paling jelek di dunia. Mereka belajar di negerinya sendiri
dan sangat bangga dengan bahasanya itu. Pelajar Jepang tidak suka dengan bahasa Inggris dan sekolah-sekolah di
Jepang menggunakan pengantar bahasa Jepang. Namun hasil pendidikan yang dicapai bangsa Jepang bisa
merambah keseluruh dunia. Orang jepang setelah lulus sekolah mampu menduduki pucuk-pucuk pimpinan
perusahaan beskala Internasional. Mereka lebih kreatif serta mempunyai etos belajar dan bekerja sangat tinggi.
Internasionalisasi lembaga-lembaga pendidikan Indonesia bisa menyesatkan bangsa Indonesia sendiri. Pelajar ber-
asumsi bahwa bahasa Inggri-lah satu-satunya bahasa yang membuat suatu negara menjadi maju. Padahal kualitas
lembaga pendidikan di Jepang menduduki ranking teratas dunia bukan karena bahasa Inggris tetapi lebih pada hasil
pembelajaran yang dicapai dan penghayatan nilai-nilai pendidikan.
Jadi Indonesia perlu belajar dengan bangsa Amerika atau bangsa Jepang. Bahasa Inggris bukanlah bahasa yang
menjadikan bangsa Amerika dan bangsa Jepang menjadi maju. Pelajar Indonesia belajar di Indonesia dan hasil
belajar untuk mambangun Indonesia. Maka sebaiknya pelajar Indonesia harus ditumbuhkan sikap untuk berbangga
dengan bahasanya sendiri sesuai dengan “Sumpah Pemuda”.