You are on page 1of 10

DAMPAK DESENTRALISASI, KEUNTUNGAN DAN KERUGIANNYA

(Studi Kasus Kota Surabaya)

Dalam makalah ini dibahas mengenai keuntungan dan kerugian akibat


diberlakukannya desentralisasi pada pemerintahan dari pemerintah pusat ke pemerintah
daerah/kota. Dalam hal ini, perlu kita ketahui terlebih dahulu arti dari istilah ”desentralisasi”
dimana hal ini berbeda dengan istilah ”dekonsentrasi” maupun ”otonomi”. Desentralisasi
adalah penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk
mengurusi urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan prakarsa dan aspirasi dari rakyatnya
dalam Republik Indonesia. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh
pemerintah daerah kepada gubernur dan atau instansi vertikal lain, sedangkan Dekonsentrasi
adalah pelimpahan wewenang oleh pemerintah kepada gubernur dan atau instansi vertikal
tertentu, dan Otonomi adalah lebih kepada power arrangement atau power sharing
(Pemerintah Provinsi Jawa Timur, 2008).
Paradigma pembangunan di daerah mengalami perubahan nilai-nilai pada
perkembangannya dari sentralistik menjadi desentralistik, dari top-down menjadi bottom-up,
dan sebagainya. Perubahan paradigma pembangunan di daerah pada era otonomi daerah
tersebut dapat ditunjukkan pada skema berikut ini.
Skema 1.
Perubahan Paradigma Dalam Era Otonomi Daerah

Sumber: Pemerintah Kota Surabaya, diolah.

Desentralisasi membawa dampak positif maupun negatif pada berbagai sektor, seperti
kebijakan lokal, perdagangan, kependudukan, pajak daerah dan sebagainya. Makalah ini akan
membahas mengenai dampak-dampak akibat desentralisasi tersebut.
Dengan adanya desentralisasi maka munculah otonomi bagi suatu pemerintahan
daerah. Munculnya daerah otonom tersebut dapat memberikan keuntungan pada daerah
tersebut yaitu pemberian kewenangan untuk mengatur rumah tangganya sendiri, mungkin
dalam hal membuat keputusan yang terbaik bagi masyarakatnya dan nantinya dapat
melahirkan masyarakat yang inofatif dan kreatif tanpa ada kekurangan dari pemerintah pusat.
Dari skema berikut dapat dilihat mengenai otonomi daerah dalam kerangka negara kesatuan
republik Indonesia.
Skema 2.
Otonomi Daerah Dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia

Sumber: Pemerintah Kota Surabaya, diolah.


Perubahan mendasar yang terjadi dalam struktur tersebut adalah:
– Dati I & II menjadi Propinsi dan Kabupaten/Kota
– Pemerintah daerah (KDH+DPRD) menjadi Badan Eksekutif Daerah (Kepala
daerah+Perangkat Daerah Otonom). Implikasinya, keterpisahan eksekutif &
legislatif.
– Memperpendek jangkauan asas dekonsentrasi (hanya sampai dengan Propinsi).
Implikasinya:
• Gubernur tetap wakil pusat & KDH
• Kabupaten & Kota bebas dari intervensi pusat (Kandep tak ada lagi)
Desentralisasi sebenarnya merupakan istilah dalam keorganisasian secara sederhana
didefinisikan sebagai penyerahan kewenangan. Akhir-akhir ini desentralisasi seringkali
dikaitkan dengan sistem pemerintahan karena mengandung policy making dan policy
executing. Sehingga desentralisasi membawa pengaruh dalam perubahan paradigma lama
pembangunan dari top down ke bottom up untuk pemilihan kepala daerah yang dilaksanakan
dengan cara yang demokratis oleh seluruh lapisan masyarakat, seperti yang ditunjukkan pada
gambar berikut ini.

Gambar 1.
Skema Realitas Perencanaan Pembangunan Daerah
Sumber: Pemerintah Kota Surabaya, diolah.

Berdasarkan gambar tersebut dapat dilihat bahwa dalam merumuskan Anggaran


Penerimaan dan Belanja Daerah dilakukan secara konsisten baik melalui koordinasi secara
bottom-up maupun koordinasi secara top-down. Pendekatan seperti hal tersebut lebih dapat
mencapai sasaran secara efektif walaupun dalam penerapannya perlu dilakukan secara tepat
dan perlu pengawasan yang ketat. Strategi pembanguan fundamental ekonomi daerah dapat
dilakukan melalui cara-cara berikut ini:
1. Strategi Pengembangan Fundamental Ekonomi Daerah
2. Pertumbuhan Ekonomi Dan Ketimpangan Antar Kecamatan
3. Strategi Penanggulangan Kemiskinan
4. Pendekatan Sektoral: Bagaimana Mengembangkan Sektor Industri?
5. Pengembangan Bisnis Daerah
6. Strategi Pengembangan Kawasan Andalan
7. Kawasan Perdagangan Bebas
8. Good Governance dan Korupsi Multitingkat

Gambar 2.
Perencanaan Daerah: Keterkaitan Dokumen Perencanaan
Sumber: Pemerintah Kota Surabaya, diolah.
Catatan:
Propenas: Program Pembangunan Nasional Renstrada: Rencana Strategi Daerah
Repetada: Rencana Pembangunan Tahunan Daerah Propeda: Program Pembangunan Daerah
AKIP: Akuntabilitas Kinerja Institusi Pemerintah Poldas: Pola Dasar

Adapun keuntungan lainnya dari desentralisasi yang ditinjau dari sisi ekonomi yaitu
peningkatan efisiensi dalam penyediaan jasa dan barang publik yang dibutuhkan masyarakat
setempat. Hal ini tentu perlu dilakukan pada aspek pemerataan yang menghindari timbulnya
kegagalan pasar, mengurangi biaya dan meningkatkan output yang lebih efektif dalam
peningkatan sumber daya. Sedangkan ditinjau dari segi politis desentralisasi dapat
memperkuat akuntabilitas, kemampuan politik dan integrasi nasional.
Dalam lingkup Kota Surabaya desentralisasi memberikan wewenang pada kota
surabaya untuk mengatur kebijakan-kebijakan sektoral seperti pendapatan asli daerah,
pengaturan pajak daerah, dan sebagainya. Hal tersebut tentu saja dapat mendorong tiap
daerah untuk mengembangkan sektor-sektor unggulannya, misalnya untuk kota surabaya
dapat meningkatkan kompetensinya dalam memberikan jasa baik pemerintahan, keuangan,
pemasaran, dan sebagainya. Konsep pendapatan kota yang berasal dari pajak dibedakan
berdasarkan daerah/kota tersebut. Misalkan dalam studi empiris kota surabaya perolehan
pajak dapat ditunjukkan melalui skema berikut ini.

Skema 3.
Jenis Pajak Kabupaten/Kota
Sumber: Pemerintah Kota Surabaya, diolah.

Penerapan desentralisasi memberikan dampak positif pada peningkatan pendapatan


daerah, hal ini dapat ditunjukkan dengan meningkatnya pendapatan asli daerah kota surabaya
baik dari sektor pajak dan non-pajak.
Pemerintah kota Surabaya (dengan sumber daya manusia yang memadai) terposisi
secara lebih baik daripada pemerintah pusat untuk dapat mengumpulkan informasi tentang,
dan untuk mengkaji manfaat dari legislasi yang diajukan di area yuridiksinya. Pengawasan
yang lebih dekat akan legislasi pemerintah kota surabaya dapat membantu memastikan
pemenuhan yang lebih baik. Dengan pemerintah kota mengisi peran tingkat bawah dalam
pengawasan kebijakan, pusat tidak akan dibanjiri oleh peraturan daerah untuk ditinjau.
kesempatan yang dibawa oleh desentralisasi untuk perbaikan pemerintahan ekonomi
(economic governance) lewat reformasi regulasi.
Desentralisasi menurut berbagai pakar memiliki segi positif,
diantaranya : secara ekonomi, meningkatkan efisiensi dalam penyediaan
jasa dan barang publik yang dibutuhkan masyarakat setempat, megurangi
biaya, meningkatkan output dan lebih efektif dalam penggunaan sumber
daya manusia. Secara politis, desentralisasi dianggap memperkuat
akuntabilitas, political skills dan integrasi nasional. Desentralisasi lebih
mendekatkan pemerintah dengan masyarakatnya,
memberikan/menyediakan layanan lebih baik, mengembangkan
kebebasan, persamaan dan kesejahteraan (B.C. Smith : 1985).
Desentralisasi/otonomi adalah persoalan yang menyangkut hak
asasi manusia, oleh karena dalam desentralisasi/otonomi individu
diberikan kebebasan untuk berpikir dan bertindak atas dasar aspirasi
masing-masing, tiap individu dipenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara
dan kualitas yang terbaik, berpartisipasi dalam kehidupan sosial, ekonomi
dan politik, dengan tidak ada kontrol langsung dari pemerintah pusat.
Desentralisasi pada bidang perdagangan dapat berdampak pada tingkat pemungutan
pajak daerah sehingga dapat bersifat dentruktif atau sebaliknya. Desentralisasi memang
menjelaskan tantangan-tantangan dan tekanan baru. Misalnya, di bawah tekanan untuk
menaikkan pendapatan asli daerah, Pemkot Surabaya telah menggunakan sejumlah pajak dan
pungutan yang mengganggu jalannya perdagangan, suatu keadaan yang wajar ditemui di
daerah di pertengahan tahun 1990-an, tapi kemudian dihapus melalui tindakan deregulasi
pada tahun 1997/98. Juga di bawah sistim desentralisasi, kebijakan baru tentang pajak dan
pungutan lokal (UU 34/2000) telah mengarah pada aturan yang sub-optimal yang mengatur
pengawasan peraturan lokal. Sebagai hasilnya, pajak dan retribusi lokal yang distortif
diterapkan tanpa tinjauan yang efektif dari dampaknya. Pemkot yang memberlakukan
halangan-halangan dalam hal tarif dan tata niaga dalam perdagangan internal dapat
menghambat aktifitas perniagaan.
Dampak lain yang adalah timbulnya masalah-masalah pada proses penetapan
kebijakan dan implementasi kebijakan tersebut. Hal tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Masalah dalam proses pembuatan kebijakan
 Buruknya Identifikasi Masalah
 Kurangnya pertimbangan alternatif lain terhadap peraturan
 Kurangnya peninjauan efektif terhadap peraturan-peraturan lokal
 Kurangnya partisipasi dalam proses kebijakan
1. Masalah Peraturan Daerah
 Kegunaan Retribusi yang Buruk
Tidak ada layanan nyata yang disediakan.
Kurangnya simpanan (lack of rentention).
Seringkali tidak ada aspek kepentingan publik yang memerlukan
perlindungan.
Peraturan yang dibuat untuk melindungi kepentingan publik malah sering
berdampak sebaliknya
Penetapan harga yang lebih rendah atau lebih tinggi daripada yang diperlukan
untuk mencapai cost-recovery.
 Distorsi Perdagangan
 Masalah dalam memastikan kenetralan persaingan
Namun, terdapat pula beberapa kerugian dari sistem desentralisasi tersebut pada masa
orde baru sering terjadi gap mengenai perebutan kekuasaan antara pemeintah pusat dan
pemerintah daerah terutama berkaitan dengan masalah sumber daya hasil pajak bagi
pemerintahannya, selain itu timbulnya masalah dalam hubungan internal pengelolaan
pemerintah daerah sendiri, hubungan kelembagaan sering memanas dan saling menjatuhkan
antara eksekutif dan legislatif lokal, akibat dari sering munculnya pembahasan laporan
pertanggungjawaban, rancangan PERDA, APBD dan penolakan pimpinan daerah yang
sedang memegang kekuasaan ataupun yang memenangkan pilkada.
Adapula contoh kasus desentralisasi lainnya yaitu di kota Surabaya, di mana Kota
Surabaya sebagai ibukota propinsi jawa timur adalah kota terbesar kedua di Indonesia. Kota
Surabaya memiliki akses pelabuhan jalur kereta api dan bandara internasional yang
mendukung perekonomian propinsi Jawa Timur (Dick,1993b:325-343). Menurut
Tampubolon et al (2002) kota besar seperti Surabaya memiliki potensi besar dalam
kemandirian finansial, akan tetapi data tahun 2000-2002 menunjukkan bahwa kontribusi
Pendapatan Asli Daerah (PAD) kota Surabaya hanya sekitar 25% dari penerimaan kota
Surabaya. Hal ini menunjukkan tingginya ketergantungan fiskal pemerintah kota Surabaya
terhadap Uluran tangan dari Pusat. Selayaknya pemerintah kota Surabaya mengembangkan
sumber daya sendiri dan mengurangi ketergantungan dari Pusat (Bahl, 1999; World Bank,
2003 a; 2003 b). Akan tetapi, beberapa studi empiris yang telah dilakukan menunjukkan
bahwa upaya pemerintah daerah untuk meningkatkan panerimaan daerah telah menimbulkan
distorsi pasar dan high cost economy (Saad, Ilyas., 2003). Selain itu, upaya-upaya yang
dilakukan pemerintah daerah untuk meningkatkan penerimaan daerah kurang diikuti upaya
untuk meningkatkan perlayanan publik (Halim dan Abdullah, 2004). untuk mengetahui
kinerja keuangan pemerintah kota Surabaya dan merumuskan strategi kebijakan dalam
meningkatkan kinerja keuangan pemerintah kota Surabaya agar tercapai pembangunan yang
berkelanjutan di kota Surabaya.
Tabel 1. Realisasi Pengeluaran Kota Surabaya 1998-2002 (Ribuan Rupiah)
1998 1999 2000 2001 2002
Pengeluaran Rutin 197868454 260008209 254207656 644729047 668295952
Pengeluaran Rutin (%) 61% 72% 67% 89% 73%
Pengeluaran Pembangunan 124790464 102926324 125804371 81563011 247917240
Pengeluaran Pembangunan (%) 39% 28% 33% 11% 27%
Total Pengeluaran 322658918 362934533 380012027 726292058 916213192
Sumber: BPS Surabaya dalam angka diolah
Upaya peningkatan perlayanan publik di kota Surabaya dapat dicerminkan dari
realisasi pengeluaran pembangunan Kota Surabaya. Data pada Tabel 1 menunjukkan bahwa
realisasi pengeluaran pengeluaran kota Surabaya masih didominasi oleh pengeluaran Rutin.
Pada era otonomi, seyogyanya alokasi dana pembangunan kota Surabaya lebih ditingkatkan
Selain meningkatnya permintaan untuk investasi infrastruktur kota dan penunjang
perekonomian, Kota Surabaya perlu membangun mekanisme keuangan kota yang
berkelanjutan, sebuah proses yang membutuhkan reformasi pada berbagai tingkatan dan
merupakan kebijakan yang berorientasi kedepan.

Tabel 2. Realisasi Penerimaan Kota Surabaya 1998-2002 (Ribuan Rupiah)


1998 1999 2000 2001 2002
PAD 122055376 138684846 131115000 207993327 277863171
Bagian Dana Hasil
Perimbangan 72035229 84850145 90197124 178949820 541621330
Sumbangan dan Bantuan 133886213 149961540 178569852 46159742 100781315
Penerimaan Total 327976818 373496531 399881976 433102888 920265816
Sumber: BPS Surabaya dalam angka diolah

Kota Surabaya kekurangan sumber daya yang memadai untuk membiayai seluruh
kebutuhan pengeluarannya, hal ini terlihat dari rendahnya kontribusi PAD dalam penerimaan
Daerah (Tabel 2). Sedangkan dalam Struktur PAD kota Surabaya, masih didominasi oleh
pajak daerah dan retribusi (Tabel 3), hal ini menunjukkan belum optimalnya peran BUMD
dalam Penerimaan kota Surabaya. ), oleh karena itu kota Surabaya perlu meningkatkan
pemasukannya sendiri; meningkatkan trasparansi, akuntabilitas dan pengeluaran umum yang
efisien; serta memperkuat proses-proses penganggaran, pencatatan keuangan, pengadaan dan
pemeriksaan (Kuncoro,M., 2004).
Tabel 3. PAD Surabaya 1998-2002 (Ribuan Rupiah)
1998 1999 2000 2001 2002
Pajak Daerah 69813949 77136860 69185152 116042921 151482937
Retribusi 43614788 46397581 48041068 76056672 96580003
Laba BUMD 2472392 7921410 8859654 6022087.8 11392404
Penerimaan dari Dinas-
dinas 2307730 0 0 0 0
PAD Lainnya 3846517 7228995 5029126 9871646.3 18407827
PAD 122055376 138684846 131115000 207993327 277863171
Sumber: BPS, Surabaya dalam angka. Data diolah

Peningkatan Sumber daya dan penerimaan kota Surabaya ini dapat dicapai dengan
perpajakan dan retribusi daerah, peminjaman, cost recovery dan kemitraan swasta-publik.
Dalam konteks pinjaman daerah, mekanime peminjaman dana kota Surabaya berada dibawah
kebijakan fiskal wilayah pemerintah Indonesia, hal ini juga berdampak pada implementasi
proyek yang dibiayai donor di setiap sektor yang dioperasikan oleh pemerintah daerah
(World Bank, 2003 b). Seharusnya daerah lebih diberi keleluasaan dalam melakukan
pinjaman daerah. dalam pelaksanaan otonomi dalam jangka penjang, perlu ditinjau ulang
Undang-undang 25/1999 dan peraturan 107/1999 serta 109/2000 untuk peminjaman
pemerintah daerah dan pengembangan mekanisme kelembagaan yang tepat untuk membantu
pemerintah daerah.
Dari data yang kami dapatkan juga kami dapat mrenyimpulkan bahwa kota surabaya
masih sangat bergantug dari penerimaan pemrintah puast dalam mas desentralisasinya dan
juga PADnya belum mamapu membiayai pengeluatan ruitinnya amaka si siuni pemerintah
kota surabaya perlu bekerja keras meningkatakan PADnya. Dan oleh karena itu, pemerintah
kota Surabaya perlu meningkatan penerimaan Sumber daya dan penerimaan kota Surabaya
dengan meningkatkan penerimaan dari perpajakan dan retribusi daerah, selain pemerintah
kota Surabaya perlu mengoptimalkan kinerja dari BUMD (Badan Usaha Milik Daerah) agar
dapat lebih menyokong PAD (Pendapatan Asli Daerah).
Selain itu, pemerintah kota Surabaya perlu diberi keleluasaan dalam melakukan
peminjaman untuk pembiayaan pembangunan. Mekanisme Peminjaman ini harus didukung
oleh kelembagaan yang berbasis aspirasi masyarakat, antara lain Forum Kota. Dukungan
kelembagaan ini harus diikuti oleh cost recovery dari BUMD yang profitable sehingga dapat
tercipta mekanisme keuangan kota surabaya yang berkelanjutan.

Dalam mengatur sumber daya substansial dari sektor swasta, membutuhkan pembentukan
kelembagaan dan peraturan lingkungan yang menarik investasi swasta dalam bidang
infrastruktur, merubah hukum dan peraturan; mengenalkan konsep pemberian harga yang
merefleksikan biaya (cost-reflective pricing); dan menyediakan prosedur dan proses
privatisasi dan/atau disinvestasi yang transparan. Selain itu, Partisipasi Swasta yang baik
dapat tercapai dengan adanya kerjasama pemerintah dan swasta kota Surabaya yang
didukung oleh Strategi PEL (Pengembangan Ekonomi Lokal) yang Komprehensif. Dengan
adanya partisipasi swasta yang efisien, Diharapkan dapat membebaskan beban fiskal di
pemerintah daerah dan membebaskan sumber daya umum untuk program-program prioritas.

Referensi
Susilih, Sri. 2002. Desentralisasi Public Service Dalam Era Otonomi Daerah. Jurnal
Administrasi Negara Vol. II No. 02. Maret.
Muluk, M.R.Khairul. 2002. Desentralisasi Teori Cakupan & Elemen. Jurnal
Administrasi Negara Vol. II No. 02. Maret.

Ray, David. 2003. Desentralisasi, Reformasi Peraturan dan Iklim Usaha. Partnership for
Economic Growth (PEG) USAID – Nathan Associates Departemen Perindustrian dan
Perdagangan Jakarta, Indonesia.

Diklat Pengelolaan Pendapatan Asli Daerah Pemerintah Provinsi Jawa Timur Tahun 2005.
Optimalisasi PAD. Surabaya.

Diskusi Internal Persiapan USAID-GIAT Project Tahun 2005. Otonomi dan Pembangunan
Daerah. Surabaya.

You might also like