You are on page 1of 97

Oleh : Akhmad Sudrajat, *))

A. Pengertian Budaya Organisasi

Pemahaman tentang budaya organisasi sesungguhnya tidak lepas dari


konsep dasar tentang budaya itu sendiri, yang merupakan salah satu terminologi yang banyak
digunakan dalam bidang antropologi.  Dewasa ini, dalam pandangan antropologi sendiri, konsep
budaya ternyata telah mengalami pergeseran makna. Sebagaimana dinyatakan oleh C.A. Van
Peursen (1984) bahwa dulu orang berpendapat budaya meliputi segala manifestasi dari
kehidupan manusia yang berbudi luhur dan yang bersifat rohani, seperti : agama, kesenian,
filsafat, ilmu pengetahuan, tata negara dan sebagainya. Tetapi pendapat tersebut sudah sejak
lama disingkirkan. Dewasa ini budaya diartikan sebagai manifestasi kehidupan setiap orang dan
setiap kelompok orang-orang. Kini budaya dipandang sebagai sesuatu yang lebih dinamis, bukan
sesuatu yang kaku dan statis. Budaya tidak tidak diartikan sebagai sebuah kata benda, kini lebih
dimaknai sebagai sebuah kata kerja yang dihubungkan dengan kegiatan manusia.Dari sini timbul
pertanyaan, apa sesungguhnya budaya itu ? Marvin Bower seperti disampaikain oleh Alan
Cowling dan Philip James (1996), secara ringkas memberikan pengertian budaya sebagai “cara
kita melakukan hal-hal di sini”.

Menurut Vijay Santhe sebagaimana dikutip oleh Taliziduhu Ndraha (1997)_budaya adalah : “
The set of important assumption (often unstated) that members of community share in common”.
Secara umum namun operasional, Edgar Schein (2002) dari MIT dalam tulisannya tentang
Organizational Culture & Leadership mendefinisikan budaya sebagai:

“A pattern of shared basic assumptions that the group learned as it solved its problems of
external adaptation and internal integration, that has worked well enough to be considered valid
and, therefore, to be taught to new members as the correct way you perceive, think, and feel in
relation to those problems”.

Dari Vijay Sathe dan Edgar Schein, kita temukan kata kunci dari pengertian budaya yaitu shared
basic assumptions atau menganggap pasti terhadap sesuatu. Taliziduhu Ndraha mengemukakan
bahwa asumsi meliputi beliefs (keyakinan) dan value (nilai). Beliefs merupakan asumsi dasar
tentang dunia dan bagaimana dunia berjalan. Duverger sebagaimana dikutip oleh Idochi Anwar
dan Yayat Hidayat Amir (2000) mengemukakan bahwa belief (keyakinan) merupakan state of
mind (lukisan fikiran) yang terlepas dari ekspresi material yang diperoleh suatu komunitas.

Value (nilai) merupakan suatu ukuran normatif yang mempengaruhi manusia untuk
melaksanakan tindakan yang dihayatinya. Menurut Vijay Sathe dalam Taliziduhu (1997) nilai
merupakan “ basic assumption about what ideals are desirable or worth striving for.” Sementara
itu, Moh Surya (1995) memberikan gambaran tentang nilai sebagai berikut :

“…setiap orang mempunyai berbagai pengalaman yang memungkinkan dia berkembang dan
belajar. Dari pengalaman itu, individu mendapatkan patokan-patokan umum untuk bertingkah
laku. Misalnya, bagaimana cara berhadapan dengan orang lain, bagaimana menghormati orang
lain, bagimana memilih tindakan yang tepat dalam satu situasi, dan sebagainya. Patokan-patokan
ini cenderung dilakukan dalam waktu dan tempat tertentu.”

Pada bagian lain dikemukakan pula bahwa nilai mempunyai fungsi : (1) nilai sebagai standar; (2)
nilai sebagai dasar penyelesaian konflik dan pembuatan keputusan; (3) nilai sebagai motivasi; (4)
nilai sebagai dasar penyesuaian diri; dan (5) nilai sebagai dasar perwujudan diri. Hal senada
dikemukakan oleh Rokeach yang dikutip oleh Danandjaya dalam Taliziduhu Ndraha (1997)
bahwa : “ a value system is learned organization rules to help one choose between alternatives,
solve conflict, and make decision.”

Dalam budaya organisasi ditandai adanya sharing atau berbagi nilai dan keyakinan yang sama
dengan seluruh anggota organisasi. Misalnya berbagi nilai dan keyakinan yang sama melalui
pakaian seragam. Namun menerima dan memakai seragam saja tidaklah cukup. Pemakaian
seragam haruslah membawa rasa bangga, menjadi alat kontrol dan membentuk citra organisasi.
Dengan demikian, nilai pakaian seragam tertanam menjadi basic. Menurut Sathe dalam
Taliziduhu Ndraha (1997) bahwa shared basic assumptions meliputi : (1) shared things; (2)
shared saying, (3) shared doing; dan (4) shared feelings.

Pada bagian lain, Edgar Schein (2002) menyebutkan bahwa basic assumption dihasilkan
melalui : (1) evolve as solution to problem is repeated over and over again; (2) hypothesis
becomes reality, dan (3) to learn something new requires resurrection, reexamination, frame
breaking.

Dengan memahami konsep dasar budaya secara umum di atas, selanjutnya kita akan berusaha
memahami budaya dalam konteks organisasi atau biasa disebut budaya organisasi
(organizational culture). Adapun pengertian organisasi di sini lebih diarahkan dalam pengertian
organisasi formal. Dalam arti, kerja sama yang terjalin antar anggota memiliki unsur visi dan
misi, sumber daya, dasar hukum struktur, dan anatomi yang jelas dalam rangka mencapai tujuan
tertentu.

Sejak lebih dari seperempat abad yang lalu, kajian tentang budaya organisasi menjadi daya tarik
tersendiri bagi kalangan ahli maupun praktisi manajemen, terutama dalam rangka memahami dan
mempraktekkan perilaku organisasi.
Edgar Schein (2002) mengemukakan bahwa budaya organisasi dapat dibagi ke dalam dua
dimensi yaitu :

Dimensi external environments; yang didalamnya terdapat lima hal esensial yaitu: (a) mission
and strategy; (b) goals; (c) means to achieve goals; (d) measurement; dan (e) correction.

Dimensi internal integration yang di dalamnya terdapat enam aspek utama, yaitu : (a) common
language; (b) group boundaries for inclusion and exclusion; (c) distributing power and status;
(d) developing norms of intimacy, friendship, and love; (e) reward and punishment; dan (f)
explaining and explainable : ideology and religion.

Pada bagian lain, Edgar Schein mengetengahkan sepuluh karateristik budaya organisasi,
mencakup : (1) observe behavior: language, customs, traditions; (2) groups norms: standards
and values; (3) espoused values: published, publicly announced values; (4) formal philosophy:
mission; (5) rules of the game: rules to all in organization; (6) climate: climate of group in
interaction; (7) embedded skills; (8) habits of thinking, acting, paradigms: shared knowledge for
socialization; (9) shared meanings of the group; dan (10) metaphors or symbols.

Sementara itu, Fred Luthan (1995) mengetengahkan enam karakteristik penting dari budaya
organisasi, yaitu : (1) obeserved behavioral regularities; yakni keberaturan cara bertindak dari
para anggota yang tampak teramati. Ketika anggota organisasi berinteraksi dengan anggota
lainnya, mereka mungkin menggunakan bahasa umum, istilah, atau ritual tertentu; (2) norms;
yakni berbagai standar perilaku yang ada, termasuk di dalamnya tentang pedoman sejauh mana
suatu pekerjaan harus dilakukan; (3) dominant values; yaitu adanya nilai-nilai inti yang dianut
bersama oleh seluruh anggota organisasi, misalnya tentang kualitas produk yang tinggi, absensi
yang rendah atau efisiensi yang tinggi; (4) philosophy; yakni adanya kebijakan-kebijakan yang
berkenaan dengan keyakinan organisasi dalam memperlakukan pelanggan dan karyawan (5)
rules; yaitu adanya pedoman yang ketat, dikaitkan dengan kemajuan organisasi (6) organization
climate; merupakan perasaan keseluruhan (an overall “feeling”) yang tergambarkan dan
disampaikan melalui kondisi tata ruang, cara berinteraksi para anggota organisasi, dan cara
anggota organisasi memperlakukan dirinya dan pelanggan atau orang lain

Dari ketiga pendapat di atas, kita melihat adanya perbedaan pandangan tentang karakteristik
budaya organisasi, terutama dilihat dari segi jumlah karakteristik budaya organisasi. Kendati
demikian, ketiga pendapat tersebut sesungguhnya tidak menunjukkan perbedaan yang prinsipil.

Budaya organisasi dapat dipandang sebagai sebuah sistem. Mc Namara (2002) mengemukakan
bahwa dilihat dari sisi in put, budaya organisasi mencakup umpan balik (feed back) dari
masyarakat, profesi, hukum, kompetisi dan sebagainya. Sedangkan dilihat dari proses, budaya
organisasi mengacu kepada asumsi, nilai dan norma, misalnya nilai tentang : uang, waktu,
manusia, fasilitas dan ruang. Sementara dilihat dari out put, berhubungan dengan pengaruh
budaya organisasi terhadap perilaku organisasi, teknologi, strategi, image, produk dan
sebagainya.

Dilihat dari sisi kejelasan dan ketahanannya terhadap perubahan, John P. Kotter dan James L.
Heskett (1998) memilah budaya organisasi menjadi ke dalam dua tingkatan yang berbeda.
Dikemukakannya, bahwa pada tingkatan yang lebih dalam dan kurang terlihat, nilai-nilai yang
dianut bersama oleh orang dalam kelompok dan cenderung bertahan sepanjang waktu bahkan
meskipun anggota kelompok sudah berubah. Pengertian ini mencakup tentang apa yang penting
dalam kehidupan, dan dapat sangat bervariasi dalam perusahaan yang berbeda : dalam beberapa
hal orang sangat mempedulikan uang, dalam hal lain orang sangat mempedulikan inovasi atau
kesejahteraan karyawan. Pada tingkatan ini budaya sangat sukar berubah, sebagian karena
anggota kelompok sering tidak sadar akan banyaknya nilai yang mengikat mereka bersama. Pada
tingkat yang terlihat, budaya menggambarkan pola atau gaya perilaku suatu organisasi, sehingga
karyawan-karyawan baru secara otomatis terdorong untuk mengikuti perilaku sejawatnya.
Sebagai contoh, katakanlah bahwa orang dalam satu kelompok telah bertahun-tahun menjadi
“pekerja keras”, yang lainnya “sangat ramah terhadap orang asing dan lainnya lagi selalu
mengenakan pakaian yang sangat konservatif. Budaya dalam pengertian ini, masih kaku untuk
berubah, tetapi tidak sesulit pada tingkatan nilai-nilai dasar. Untuk lebih jelasnya lagi mengenai
tingkatan budaya ini dapat dilihat dalam bagan 1.

Tak Tampak —————————————————Sulit berubah

Nilai yang dianut bersama : Keyakinan dan tujuan penting yang dimiliki bersama
oleh kebanyakan orang dalam kelompok yang cenderung membentuk perilaku
kelompok, dan sering bertahan lama, bahkan walaupun sudah terjadi perubahan
dalam anggota kelompok.
Contoh: para manajer yang mempedulikan pelanggan; eksekutif yang suka dengan
pertimbangan jangka panjang.
Norma perilaku kelompok : cara bertindak yang sudah lazim atau sudah meresap
yang ditemukan dalam satu kelompok dan bertahan karena anggota kelompok
cenderung berperilaku dengan cara mengajarkan praktek-praktek (juga- nilai-nilai
yang mereka anut bersama) kepada para anggota baru memberi imbalan kepada
mereka yang menyesuaikan dirinya dan menghukum yang tidak.
Contoh: para karyawan cepat menanggapi permintaan pelanggan; para menajer
yang sering melibatkan karyawan tingkat bawah dalam pengambilan keputusan.

Tampak —————————————————Mudah berubah

Bagan 1. Budaya dalam Sebuah Organisasi

(sumber : John P. Kotter. & James L. Heskett, 1998. Corporate Culture and Performance. (terj Benyamin Molan). Jakarta:
PT Prehalindo, h.5)

Pada bagian lain, John P. Kotter dan James L. Heskett (1998) memaparkan pula tentang tiga
konsep budaya organisasi yaitu : (1) budaya yang kuat; (2) budaya yang secara strategis cocok;
dan (3) budaya adaptif.

Organisasi yang memiliki budaya yang kuat ditandai dengan adanya kecenderungan hampir
semua manajer menganut bersama seperangkat nilai dan metode menjalankan usaha organisasi.
Karyawan baru mengadopsi nilai-nilai ini dengan sangat cepat. Seorang eksekutif baru bisa saja
dikoreksi oleh bawahannya, selain juga oleh bossnya, jika dia melanggar norma-norma
organisasi. Gaya dan nilai dari suatu budaya yang cenderung tidak banyak berubah dan akar-
akarnya sudah mendalam, walaupun terjadi penggantian manajer. Dalam organisasi dengan
budaya yang kuat, karyawan cenderung berbaris mengikuti penabuh genderang yang sama.
Nilai-nilai dan perilaku yang dianut bersama membuat orang merasa nyaman dalam bekerja, rasa
komitmen dan loyalitas membuat orang berusaha lebih keras lagi. Dalam budaya yang kuat
memberikan struktur dan kontrol yang dibutuhkan, tanpa harus bersandar pada birokrasi formal
yang mencekik yang dapat menekan tumbuhnya motivasi dan inovasi.

Budaya yang strategis cocok secara eksplisit menyatakan bahwa arah budaya harus
menyelaraskan dan memotivasi anggota, jika ingin meningkatkan kinerja organisasi. Konsep
utama yang digunakan di sini adalah “kecocokan”. Jadi, sebuah budaya dianggap baik apabila
cocok dengan konteksnya. Adapun yang dimaksud dengan konteks bisa berupa kondisi obyektif
dari organisasinya atau strategi usahanya.

Budaya yang adaptif berangkat dari logika bahwa hanya budaya yang dapat membantu
organisasi mengantisipasi dan beradaptasi dengan perubahan lingkungan, akan diasosiasikan
dengan kinerja yang superiror sepanjang waktu. Ralph Klimann menggambarkan budaya adaptif
ini merupakan sebuah budaya dengan pendekatan yang bersifat siap menanggung resiko,
percaya, dan proaktif terhadap kehidupan individu. Para anggota secara aktif mendukung usaha
satu sama lain untuk mengidentifikasi semua masalah dan mengimplementasikan pemecahan
yang dapat berfungsi. Ada suatu rasa percaya (confidence) yang dimiliki bersama. Para
anggotanya percaya, tanpa rasa bimbang bahwa mereka dapat menata olah secara efektif masalah
baru dan peluang apa saja yang akan mereka temui. Kegairahan yang menyebar luas, satu
semangat untuk melakukan apa saja yang dia hadapi untuk mencapai keberhasilan organisasi.
Para anggota ini reseptif terhadap perubahan dan inovasi. Rosabeth Kanter mengemukakan
bahwa jenis budaya ini menghargai dan mendorong kewiraswastaan, yang dapat membantu
sebuah organisasi beradaptasi dengan lingkungan yang berubah, dengan memungkinkannya
mengidentifikasi dan mengeksploitasi peluang-peluang baru. Contoh perusahaan yang
mengembangkan budaya adaptif ini adalah Digital Equipment Corporation dengan budaya yang
mempromosikan inovasi, pengambilan resiko, pembahasan yang jujur, kewiraswastaan, dan
kepemimpinan pada banyak tingkat dalam hierarki.

B. Proses Pembentukan Budaya Organisasi

Selanjutnya, kita akan membicarakan tentang proses terbentuknya budaya dalam organisasi.
Munculnya gagasan-gagasan atau jalan keluar yang kemudian tertanam dalam suatu budaya
dalam organisasi bisa bermula dari mana pun, dari perorangan atau kelompok, dari tingkat
bawah atau puncak. Taliziduhu Ndraha (1997) menginventarisir sumber-sumber pembentuk
budaya organisasi, diantaranya : (1) pendiri organisasi; (2) pemilik organisasi; (3) Sumber daya
manusia asing; (4) luar organisasi; (4) orang yang berkepentingan dengan organisasi (stake
holder); dan (6) masyarakat. Selanjutnya dikemukakan pula bahwa proses budaya dapat terjadi
dengan cara: (1) kontak budaya; (2) benturan budaya; dan (3) penggalian budaya. Pembentukan
budaya tidak dapat dilakukan dalam waktu yang sekejap, namun memerlukan waktu dan bahkan
biaya yang tidak sedikit untuk dapat menerima nilai-nilai baru dalam organisasi.

Setelah mapan, budaya organisasi sering mengabadikan dirinya dalam sejumlah hal. Calon
anggota kelompok mungkin akan disaring berdasarkan kesesuaian nilai dan perilakunya dengan
budaya organisasi. Kepada anggota organisasi yang baru terpilih bisa diajarkan gaya kelompok
secara eksplisit. Kisah-kisah atau legenda-legenda historis bisa diceritakan terus menerus untuk
mengingatkan setiap orang tentang nilai-nilai kelompok dan apa yang dimaksudkan dengannya.
Para manajer bisa secara eksplisit berusaha bertindak sesuai dengan contoh budaya dan gagasan
budaya tersebut. Begitu juga, anggota senior bisa mengkomunikasikan nilai-nilai pokok mereka
secara terus menerus dalam percakapan sehari-hari atau melalui ritual dan perayaan-perayaan
khusus.

Orang-orang yang berhasil mencapai gagasan-gagasan yang tertanam dalam budaya ini dapat
terkenal dan dijadikan pahlawan. Proses alamiah dalam identifikasi diri dapat mendorong
anggota muda untuk mengambil alih nilai dan gaya mentor mereka. Barangkali yang paling
mendasar, orang yang mengikuti norma-norma budaya akan diberi imbalan (reward) sedangkan
yang tidak, akan mendapat sanksi (punishment). Imbalan (reward) bisa berupa materi atau pun
promosi jabatan dalam organisasi tertentu sedangkan untuk sanksi (punishment) tidak hanya
diberikan berdasar pada aturan organisasi yang ada semata, namun juga bisa berbentuk sanksi
sosial. Dalam arti, anggota tersebut menjadi isolated di lingkungan organisasinya.

Dalam suatu organisasi sesungguhnya tidak ada budaya yang “baik” atau “buruk”, yang ada
hanyalah budaya yang “cocok” atau “tidak cocok” . Jika dalam suatu organisasi memiliki budaya
yang cocok, maka manajemennya lebih berfokus pada upaya pemeliharaan nilai-nilai- yang ada
dan perubahan tidak perlu dilakukan. Namun jika terjadi kesalahan dalam memberikan asumsi
dasar yang berdampak terhadap rendahnya kualitas kinerja, maka perubahan budaya mungkin
diperlukan.

Karena budaya ini telah berevolusi selama bertahun-tahun melalui sejumlah proses belajar yang
telah berakar, maka mungkin saja sulit untuk diubah. Kebiasaan lama akan sulit dihilangkan.
Walaupun demikian, Howard Schwartz dan Stanley Davis dalam bukunya Matching Corporate
Culture and Business Strategy yang dikutip oleh Bambang Tri Cahyono mengemukakan empat
alternatif pendekatan terhadap manajemen budaya organisasi, yaitu : (1) lupakan kultur; (2)
kendalikan disekitarnya; (3) upayakan untuk mengubah unsur-unsur kultur agar cocok dengan
strategi; dan (4) ubah strategi. Selanjutnya Bambang Tri Cahyono (1996) dengan mengutip
pemikiran Alan Kennedy dalam bukunya Corporate Culture mengemukan bahwa terdapat lima
alasan untuk membenarkan perubahan budaya secara besar-besaran : (1) Jika organisasi memiliki
nilai-nilai yang kuat namun tidak cocok dengan lingkungan yang berubah; (2) Jika organisasi
sangat bersaing dan bergerak dengan kecepatan kilat; (3) Jika organisasi berukuran sedang-
sedang saja atau lebih buruk lagi; (4) Jika organisasi mulai memasuki peringkat yang sangat
besar; dan (5) Jika organisasi kecil tetapi berkembang pesat.

Selanjutnya Kennedy mengemukakan bahwa jika tidak ada satu pun alasan yang cocok dengan
di atas, jangan lakukan perubahan. Analisisnya terhadap sepuluh kasus usaha mengubah budaya
menunjukkan bahwa hal ini akan memakan biaya antara 5 sampai 10 persen dari yang telah
dihabiskan untuk mengubah perilaku orang. Meskipun demikian mungkin hanya akan
didapatkan setengah perbaikan dari yang diinginkan. Dia mengingatkan bahwa hal itu akan
memakan biaya lebih banyak lagi. dalam bentuk waktu, usaha dan uang.

C. Pengembangan Budaya Organisasi di Sekolah

Dengan memahami konsep tentang budaya organisasi sebagaimana telah diutarakan di atas,
selanjutnya di bawah ini akan diuraikan tentang pengembangan budaya organisasi dalam konteks
persekolahan. Secara umum, penerapan konsep budaya organisasi di sekolah sebenarnya tidak
jauh berbeda dengan penerapan konsep budaya organisasi lainnya. Kalaupun terdapat perbedaan
mungkin hanya terletak pada jenis nilai dominan yang dikembangkannya dan karakateristik dari
para pendukungnya. Berkenaan dengan pendukung budaya organisasi di sekolah Paul E.
Heckman sebagaimana dikutip oleh Stephen Stolp (1994) mengemukakan bahwa “the commonly
held beliefs of teachers, students, and principals.”

Nilai-nilai yang dikembangkan di sekolah, tentunya tidak dapat dilepaskan dari keberadaan
sekolah itu sendiri sebagai organisasi pendidikan, yang memiliki peran dan fungsi untuk
berusaha mengembangkan, melestarikan dan mewariskan nilai-nilai budaya kepada para
siswanya. Dalam hal ini, Larry Lashway (1996) menyebutkan bahwa “schools are moral
institutions, designed to promote social norms,…” .

Nilai-nilai yang mungkin dikembangkan di sekolah tentunya sangat beragam. Jika merujuk pada
pemikiran Spranger sebagaimana disampaikan oleh Sumadi Suryabrata (1990), maka setidaknya
terdapat enam jenis nilai yang seyogyanya dikembangkan di sekolah. Dalam tabel 1 berikut ini
dikemukakan keenam jenis nilai dari Spranger beserta perilaku dasarnya.

Tabel 1. Jenis Nilai dan Perilaku Dasarnya menurut Spranger

No Nilai Perilaku Dasar


1 Ilmu Pengetahuan Berfikir
2 Ekonomi Bekerja
3 Kesenian Menikmati keindahan
4 Keagamaan Memuja
5 Kemasyarakatan Berbakti/berkorban
6 Politik/kenegaraan Berkuasa/memerintah

Sumber : Modifikasi dari Sumadi Suryabrata. 1990. Psikologi Kepribadian. Jakarta: Rajawali.

Dengan merujuk pada pemikiran Fred Luthan, dan Edgar Schein, di bawah ini akan diuraikan
tentang karakteristik budaya organisasi di sekolah, yaitu tentang (1) obeserved behavioral
regularities; (2) norms; (3) dominant value. (4) philosophy; (5) rules dan (6) organization
climate.

1. Obeserved behavioral regularities budaya organisasi di sekolah ditandai dengan adanya


keberaturan cara bertindak dari seluruh anggota sekolah yang dapat diamati. Keberaturan
berperilaku ini dapat berbentuk acara-acara ritual tertentu, bahasa umum yang digunakan
atau simbol-simbol tertentu, yang mencerminkan nilai-nilai yang dianut oleh anggota
sekolah.
2. Norms; budaya organisasi di sekolah ditandai pula oleh adanya norma-norma yang berisi
tentang standar perilaku dari anggota sekolah, baik bagi siswa maupun guru. Standar
perilaku ini bisa berdasarkan pada kebijakan intern sekolah itu sendiri maupun pada
kebijakan pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Standar perilaku siswa terutama
berhubungan dengan pencapaian hasil belajar siswa, yang akan menentukan apakah
seorang siswa dapat dinyatakan lulus/naik kelas atau tidak. Standar perilaku siswa tidak
hanya berkenaan dengan aspek kognitif atau akademik semata namun menyangkut
seluruh aspek kepribadian. Jika kita berpegang pada Kurikulum Berbasis Kompetensi,
secara umum standar perilaku yang diharapkan dari tamatan Sekolah Menengah Atas,
diantaranya mencakup : (1) Memiliki keyakinan dan ketaqwaan sesuai dengan ajaran
agama yang dianutnya; (2)Memiliki nilai dasar humaniora untuk menerapkan
kebersamaan dalam kehidupan; (3) Menguasai pengetahuan dan keterampilan akademik
serta beretos belajar untuk melanjutkan pendidikan; (4) Mengalihgunakan kemampuan
akademik dan keterampilan hidup dimasyarakat local dan global; (5) Berekspresi dan
menghargai seni; (6) Menjaga kebersihan, kesehatan dan kebugaran jasmani; (7)
Berpartisipasi dan berwawasan kebangsaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara secara demokratis. (Depdiknas, 2002). Sedangkan berkenaan dengan
standar perilaku guru, tentunya erat kaitannya dengan standar kompetensi yang harus
dimiliki guru, yang akan menopang terhadap kinerjanya. Dalam perspektif kebijakan
pendidikan nasional, pemerintah telah merumuskan empat jenis kompetensi guru
sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Peraturan Pemerintah No 14 Tahun 2005
tentang Standar Nasional Pendidikan, yaitu : (1) Kompetensi pedagogik yaitu merupakan
kemampuan dalam pengelolaan peserta didik yang meliputi: (a) pemahaman wawasan
atau landasan kependidikan; (b) pemahaman terhadap peserta didik; (c) pengembangan
kurikulum/ silabus; (d) perancangan pembelajaran; (e) pelaksanaan pembelajaran yang
mendidik dan dialogis; (f) evaluasi hasil belajar; dan (g) pengembangan peserta didik
untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya; (2) Kompetensi
kepribadian yaitu merupakan kemampuan kepribadian yang: (a) mantap; (b) stabil; (c)
dewasa; (d) arif dan bijaksana; (e) berwibawa; (f) berakhlak mulia; (g) menjadi teladan
bagi peserta didik dan masyarakat; (h) mengevaluasi kinerja sendiri; dan (i)
mengembangkan diri secara berkelanjutan; (3) Kompetensi sosial yaitu merupakan
kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk : (a) berkomunikasi lisan dan
tulisan; (b) menggunakan teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional; (c)
bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan,
orangtua/wali peserta didik; dan (d) bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar; dan
(4) Kompetensi profesional merupakan kemampuan penguasaan materi pembelajaran
secara luas dan mendalam yang meliputi: (a) konsep, struktur, dan metoda
keilmuan/teknologi/seni yang menaungi/koheren dengan materi ajar; (b) materi ajar yang
ada dalam kurikulum sekolah; (c) hubungan konsep antar mata pelajaran terkait; (d)
penerapan konsep-konsep keilmuan dalam kehidupan sehari-hari; dan (e) kompetisi
secara profesional dalam konteks global dengan tetap melestarikan nilai dan budaya
nasional.
3. Dominant values; jika dihubungkan dengan tantangan pendidikan Indonesia dewasa ini
yaitu tentang pencapaian mutu pendidikan, maka budaya organisasi di sekolah
seyogyanya diletakkan dalam kerangka pencapaian mutu pendidikan di sekolah. Nilai
dan keyakinan akan pencapaian mutu pendidikan di sekolah hendaknya menjadi hal yang
utama bagi seluruh warga sekolah. Adapun tentang makna dari mutu pendidikan itu
sendiri, Jiyono sebagaimana disampaikan oleh Sudarwan Danim (2002) mengartikannya
sebagai gambaran keberhasilan pendidikan dalam mengubah tingkah laku anak didik
yang dikaitkan dengan tujuan pendidikan. Sementara itu, dalam konteks Manajemen
Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (Depdiknas, 2001), mutu pendidikan meliputi aspek
input, proses dan output pendidikan. Pada aspek input, mutu pendidikan ditunjukkan
melalui tingkat kesiapan dan ketersediaan sumber daya, perangkat lunak, dan harapan-
harapan. Makin tinggi tingkat kesiapan input, makin tinggi pula mutu input tersebut.
Sedangkan pada aspek proses, mutu pendidikan ditunjukkan melalui pengkoordinasian
dan penyerasian serta pemanduan input sekolah dilakukan secara harmonis, sehingga
mampu menciptakan situasi pembelajaran yang menyenangkan (enjoyable learning),
mampu mendorong motivasi dan minat belajar, dan benar-benar mampu memberdayakan
peserta didik. Sementara, dari aspek out put, mutu pendidikan dapat dilihat dari prestasi
sekolah, khususnya prestasi siswa, baik dalam bidang akademik maupun non akademik.
Berbicara tentang upaya menumbuh-kembangkan budaya mutu di sekolah akan
mengingatkan kita kepada suatu konsep manajemen dengan apa yang dikenal dengan
istilah Total Quality Management (TQM), yang merupakan suatu pendekatan dalam
menjalankan suatu unit usaha untuk mengoptimalkan daya saing organisasi melalui
prakarsa perbaikan terus menerus atas produk, jasa, manusia, proses kerja, dan
lingkungannya. Berkaitan dengan bagaimana TQM dijalankan, Gotsch dan Davis
sebagaimana dikutip oleh Sudarwan Danim (2002) mengemukakan bahwa aplikasi TQM
didasarkan atas kaidah-kaidah : (1) Fokus pada pelanggan; (2) obsesi terhadap kualitas;
(3) pendekatan ilmiah; (4) komitmen jangka panjang; (5) kerjasama tim; (6) perbaikan
kinerja sistem secara berkelanjutan; (7) diklat dan pengembangan; (8) kebebasan
terkendali; kesatuan tujuan; dan (10) keterlibatan dan pemberdayaan karyawan secara
optimal. Dengan mengutip pemikiran Scheuing dan Christopher, dikemukakan pula
empat prinsip utama dalam mengaplikasikan TQM, yaitu: (1) kepuasan pelanggan, (2)
respek terhadap setiap orang; (3) pengelolaan berdasarkan fakta, dan (4) perbaikan secara
terus menerus.(Sudarwan Danim, 2002). Selanjutnya, dalam konteks Manajemen
Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Depdiknas (2001) telah memerinci tentang elemen-
elemen yang terkandung dalam budaya mutu di sekolah, yakni : (a) informasi kualitas
harus digunakan untuk perbaikan; bukan untuk mengadili/mengontrol orang; (b)
kewenangan harus sebatas tanggung jawab; (c) hasil harus diikuti penghargaan (reward)
atau sanksi (punishment); (d) kolaborasi dan sinergi, bukan kompetisi, harus merupakan
basis kerja sama; (e) warga sekolah merasa aman terhadap pekerjaannya; (f) atmosfir
keadilan (fairness) harus ditanamkan; (g) imbal jasa harus sepadan dengan nilai
pekerjaannya; dan (h) warga sekolah merasa memiliki sekolah. Di lain pihak, Jann E.
Freed et. al. (1997) dalam tulisannya tentang A Culture for Academic Excellence:
Implementing the Quality Principles in Higher Education. dalam ERIC Digest
memaparkan tentang upaya membangun budaya keunggulan akademik pada pendidikan
tinggi, dengan menggunakan prinsip-prinsip Total Quality Management, yang
mencakup : (1) vision, mission, and outcomes driven; (2) systems dependent; (3)
leadership: creating a quality culture; (4) systematic individual development; (4)
decisions based on fact; (5) delegation of decision making; (6) collaboration; (7)
planning for change; dan (8) leadership: supporting a quality culture. Dikemukakan pula
bahwa “when the quality principles are implemented holistically, a culture for academic
excellence is created. Dari pemikiran Jan E.Freed et. al. di atas, kita dapat menarik
benang merah bahwa untuk dapat membangun budaya keunggulan akademik atau budaya
mutu pendidikan betapa pentingnya kita untuk dapat mengimplementasikan prinsip-
prinsip Total Quality Management, dan menjadikannya sebagai nilai dan keyakinan
bersama dari setiap anggota sekolah.
4. Philosophy; budaya organisasi ditandai dengan adanya keyakinan dari seluruh anggota
organisasi dalam memandang tentang sesuatu secara hakiki, misalnya tentang waktu,
manusia, dan sebagainya, yang dijadikan sebagai kebijakan organisasi. Jika kita
mengadopsi filosofi dalam dunia bisnis yang memang telah terbukti memberikan
keunggulan pada perusahaan, di mana filosofi ini diletakkan pada upaya memberikan
kepuasan kepada para pelanggan, maka sekolah pun seyogyanya memiliki keyakinan
akan pentingnya upaya untuk memberikan kepuasan kepada pelanggan. Dalam konteks
Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Depdiknas (2001) mengemukakan
bahwa : “pelanggan, terutama siswa harus merupakan fokus dari semua kegiatan di
sekolah. Artinya, semua in put – proses yang dikerahkan di sekolah tertuju utamanya
untuk meningkatkan mutu dan kepuasan peserta didik . Konsekuensi logis dari ini semua
adalah bahwa penyiapan in put, proses belajar mengajar harus benar-benar mewujudkan
sosok utuh mutu dan kepuasan yang diharapkan siswa.”
5. Rules; budaya organisasi ditandai dengan adanya ketentuan dan aturan main yang
mengikat seluruh anggota organisasi. Setiap sekolah memiliki ketentuan dan aturan main
tertentu, baik yang bersumber dari kebijakan sekolah setempat, maupun dari pemerintah,
yang mengikat seluruh warga sekolah dalam berperilaku dan bertindak dalam organisasi.
Aturan umum di sekolah ini dikemas dalam bentuk tata- tertib sekolah (school
discipline), di dalamnya berisikan tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh
warga sekolah, sekaligus dilengkapi pula dengan ketentuan sanksi, jika melakukan
pelanggaran. Joan Gaustad (1992) dalam tulisannya tentang School Discipline yang
dipublikasikan dalam ERIC Digest 78 mengatakan bahwa : “ School discipline has two
main goals: (1) ensure the safety of staff and students, and (2) create an environment
conducive to learning.
6. Organization climate; budaya organisasi ditandai dengan adanya iklim organisasi. Hay
Resources Direct (2003) mengemukakan bahwa “oorganizational climate is the
perception of how it feels to work in a particular environment. It is the “atmosphere of
the workplace” and people’s perceptions of “the way we do things here

Di sekolah terjadi interaksi yang saling mempengaruhi antara individu dengan lingkungannya,
baik lingkungan fisik maupun sosial. Lingkungan ini akan dipersepsi dan dirasakan oleh individu
tersebut sehingga menimbulkan kesan dan perasaan tertentu. Dalam hal ini, sekolah harus dapat
menciptakan suasana lingkungan kerja yang kondusif dan menyenangkan bagi setiap anggota
sekolah, melalui berbagai penataan lingkungan, baik fisik maupun sosialnya. Moh. Surya (1997)
menyebutkan bahwa:

Lingkungan kerja yang kondusif baik lingkungan fisik, sosial maupun psikologis dapat
menumbuhkan dan mengembangkan motif untuk bekerja dengan baik dan produktif. Untuk itu,
dapat diciptakan lingkungan fisik yang sebaik mungkin, misalnya kebersihan ruangan, tata letak,
fasilitas dan sebagainya. Demikian pula, lingkungan sosial-psikologis, seperti hubungan antar
pribadi, kehidupan kelompok, kepemimpinan, pengawasan, promosi, bimbingan, kesempatan
untuk maju, kekeluargaan dan sebagainya. “

Dalam konteks Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS, Depdiknas (2001)
mengemukakan bahwa salah satu karakterististik MPMBS adalah adanya lingkungan yang aman
dan tertib, dan nyaman sehingga proses belajar mengajar dapat berlangsung dengan nyaman
(enjoyable learning).

D. Arti Penting Membangun Budaya Organisasi di Sekolah

Pentingnya membangun budaya organisasi di sekolah terutama berkenaan dengan upaya


pencapaian tujuan pendidikan sekolah dan peningkatan kinerja sekolah. Sebagaimana
disampaikan oleh Stephen Stolp (1994) tentang School Culture yang dipublikasikan dalam ERIC
Digest, dari beberapa hasil studi menunjukkan bahwa budaya organisasi di sekolah berkorelasi
dengan peningkatan motivasi dan prestasi belajar siswa serta kepuasan kerja dan produktivitas
guru. Begitu juga, studi yang dilakukan Leslie J. Fyans, Jr. dan Martin L. Maehr tentang
pengaruh dari lima dimensi budaya organisasi di sekolah yaitu : tantangan akademik, prestasi
komparatif, penghargaan terhadap prestasi, komunitas sekolah, dan persepsi tentang tujuan
sekolah menunjukkan survey terhadap 16310 siswa tingkat empat, enam, delapan dan sepuluh
dari 820 sekolah umum di Illinois, mereka lebih termotivasi dalam belajarnya dengan melalui
budaya organisasi di sekolah yang kuat. Sementara itu, studi yang dilakukan, Jerry L. Thacker
and William D. McInerney terhadap skor tes siswa sekolah dasar menunjukkan adanya pengaruh
budaya organisasi di sekolah terhadap prestasi siswa. Studi yang dilakukannya memfokuskan
tentang new mission statement, goals based on outcomes for students, curriculum alignment
corresponding with those goals, staff development, and building level decision-making. Budaya
organisasi di sekolah juga memiliki korelasi dengan sikap guru dalam bekerja. Studi yang
dilakukan Yin Cheong Cheng membuktikan bahwa “ stronger school cultures had better
motivated teachers. In an environment with strong organizational ideology, shared
participation, charismatic leadership, and intimacy, teachers experienced higher job satisfaction
and increased productivity”.

Upaya untuk mengembangkan budaya organisasi di sekolah terutama berkenaan tugas kepala
sekolah selaku leader dan manajer di sekolah. Dalam hal ini, kepala sekolah hendaknya mampu
melihat lingkungan sekolahnya secara holistik, sehingga diperoleh kerangka kerja yang lebih
luas guna memahami masalah-masalah yang sulit dan hubungan-hubungan yang kompleks di
sekolahnya. Melalui pendalaman pemahamannya tentang budaya organisasi di sekolah, maka ia
akan lebih baik lagi dalam memberikan penajaman tentang nilai, keyakinan dan sikap yang
penting guna meningkatkan stabilitas dan pemeliharaan lingkungan belajarnya.

Daftar Pustaka

Alan Cowling & Philip James. 1996 .The Essence of Personnel Management and Industrial Relations (terj. Xavier
Quentin Pranata). Yogyakarta: ANDI.

CarterMcNamara.“Organizational Culture” The Management Assistance Program for Nonprofits.


(http://www.mapnp.org/library/orgthry/culture/culture.htm)

Depdiknas. 2001. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah; Buku 1 Konsep dan Pelaksanaan. Jakarta :
Direktorat SLTP Dirjen Dikdasmen,

Fred Luthan. 1995. Organizational Behavior. Singapore: McGraw-Hill,Inc.


Hay Group. 2003,. “Intervention: Managerial Style & Organizational Climate Assessment”. (http://
hayresourcesdirect. haygroup.com/ Misc/style_climate_intervention.asp.)

Jann E. Freed. et.al. “A Culture for Academic Excellence: Implementing the Quality Principles in Higher
Education”. (http://www.ed.gov/databases/ERICDigests/ed406962.html).

Joan Gaustad. “School Discipline” (http://eric.uoregon.edu/publications/ digests/digest078.html). ERIC Digest 78.


December 1992

John P. Kotter. & James L. Heskett, 1998. Corporate Culture and Performance. (terj Benyamin Molan). Jakarta: PT
Prehalindo.

Idochi Anwar dan Yayat Hidayat Amir,. 2000. Administrasi Pendidikan : Teori, Konsep & Issu, Bandung : Program
Pasca Sarjana UPI Bandung.

Larry Lashway. “Ethical Leadership”. ERIC Digest. Number 106. June 1996.
(http://eric.uoregon.edu/publications/digests/digest107.html ).

Moh. Surya .1995.  Nilai-Nilai Kehidupan (makalah) . Kuningan : PGRI PD II Kuningan h. 3-8

Pusat Kurikulum, Balitbang Depdiknas. 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta : Depdiknas,

Edgar H Schein,. “Organizational Culture & Leadership”. MIT Sloan Management Review.
(http://www.tnellen.com/ted/tc/schein.html)

Stephen Stolp. Leadership for School Culture. ERIC Digest, Number 91. Tahun 1994
(http://www.ed.gov/databases/ERIC_Digests/ ed370198.html).

Sumadi Suryabrata. 1990. Psikologi Kepribadian. Jakarta : CV Rajawali.

Taliziduhu Ndraha. 1997. Budaya Organisasi. Jakarta : PT Rineka Cipta,

Van Peursen. 1984. Strategi Kebudayaan. (terjemahan Dick Hartoko). Jakarta: Yayasan Kanisius,

IMPLEMENTASI NILAI-NILAI BUDAYA ORGANISASI MELALUI SOSIALISASI BUDAYA ORGANISASI

Dwi Irawati
Universitas Muhammadiyah Purworejo

This article describes the significant impacts of promoting corporate culture for employees especially new
recuits in their understanding of corporate culture or corporate values. Promoting corporate culture and /
or corporate values is often used by many organizations to help their employees recognizing the
organization's condition and surroundings. The success of this process depends on the role of the
manager as well as the employess's involvement in achieving "person-culture fit", degrees of efficacy in
reaching according to organizational culture, and accuracy of selected socialization method and weared.

Keywords: organization, corporate culture, person-culture fit, corporate values.

Pendahuluan

Kecenderungan sifat persaingan menuju persaingan global mesti disikapi dengan cepat dan tepat karena
persaingan yang bersifat global tersebut biasanya menuntut perubahan manajemen atau pun struktur
organisasi yang pada akhirnya akan berdampak pula pada budaya organisasi, dan sebaliknya. Namun,
perubahan manajemen dan restrukturisasi tidak akan membawa hasil yang optimal tanpa disertai adanya
budaya yang kondusif terhadap perubahan tersebut.

Organisasi sebagai sistem yang terbuka, dapat dipandang sebagai homogeneous culture dan
heterogeneous

culture. Homogeneous culture menekankan pada proffesional culture dan corporate culture yang secara
bersama-sama membentuk suatu komitmen jangka panjang terhadap kemajuan organisasi, sedangkan
heterogeneous culture dibentuk dan dikembangkan oleh subkultur yang tumbuh dalam unit yang berbeda
dalam suatu organisasi.

Dalam berbagai penelitian yang telah dilakukan diperoleh indikasi bahwa budaya organisasi akan dapat
dipahami dan diterima dengan baik oleh anggota (karyawan) hanya apabila di antara keduanya terdapat
kesesuaian / kecocokan, yaitu antara budaya yang tumbuh dan berkembang dalam organisasi dengan
budaya yang tumbuh dalam setiap individu (person-culture fit). Semakin tinggi kesesuaian di antara
keduanya, maka semakin rendah tingkat turnover karyawan (Bass & Avolio, 1993; Vestal, 1997). Salah
satu cara yang dapat dipakai untuk mewujudkan kesesuaian antara budaya organisasi dengan budaya
setiap individu anggota adalah proses sosialisasi budaya organisasi.

Proses sosialisasi diperlukan anggota untuk menjadikan mereka sebagai anggota organisasi yang baik,
sehingga anggota tidak merasa asing dengan situasi dan budaya yang telah dimiliki organisasi. Biasanya,
karyawan yang untuk pertama kalinya bergabung dengan perusahaan akan merasa asing dan diliputi
ketidakmengertian yang mendalam tentang prosedur-prosedur ataupun kebijakan-kebijakan serta nilai-
nilai yang terdapat dalam organisasi.

Salah satu tujuan sosialisasi adalah memperkenalkan nilai-nilai budaya organisasi secara total sehingga
diharapkan karyawan akan berperilaku sesuai dengan budaya organisasi. Proses sosialisasi budaya
membutuhkan waktu lama di samping juga memerlukan perhatian serius. Program sosialisasi pada
akhirnya diharapkan mampu memberikan gambaran yang tepat kepada karyawan tentang lingkungan
pekerjaan dan budaya organisasi tempatnya bekerja.

Untuk menciptakan proses sosialisasi yang benar, diperlukan keterlibatan karyawan, organisasi itu
sendiri, dan pemimpin yang dapat memberikan dukungan serta melakukan koordinasi yang tepat selama
proses sosialisasi.

Pentingnya Memahami Budaya Organisasi

Setiap organisasi tentunya memiliki definisi yang berbeda-beda mengenai budaya organisasi. Menurut
Robins (1999) budaya organisasi adalah sistem nilai bersama dalam suatu organisasi yang menentukan
tingkat bagaimana para karyawan melakukan kegiatan untuk mencapai tujuan organisasi. Budaya
organisasi juga didefinisikan sebagai suatu nilai-nilai yang memedomani sumber daya manusia dalam
menghadapi permasalahan eksternal dan usaha penyesuaian integrasi ke dalam perusahaan, sehingga
masing-masing anggota organisasi harus memahami nilai-nilai yang ada serta mengerti bagaimana
mereka harus bertindak dan bertingkah laku (Susanto, 1997).

Semua sumber daya manusia harus dapat memahami dengan benar budaya organisasinya, karena
pemahaman ini sangat berkaitan dengan setiap langkah ataupun kegiatan yang dilakukan, baik
perencanaan yang bersifat strategis dan taktikal maupun kegiatan implementasi perencanaan, dimana
setiap kegiatan tersebut harus berdasar pada budaya organisasi.

Nilai-nilai yang Terkandung Dalam Budaya Organisasi

Hasil penelitian yang dilakukan O'Reilly, Chatman dan Caldwell (1991) dan Sheridan (1992)
menunjukkan arti pentingnya nilai budaya organisasi dalam mempengaruhi perilaku dan sikap individu.
Hasil penelitian tersebut memberikan indikasi bahwa terdapat hubungan antara person-organization fit
dengan tingkat kepuasan kerja, komitmen dan turnover karyawan, dimana individu yang sesuai dengan
budaya organisasi memiliki kecenderungan untuk mempunyai kepuasan kerja dan komitmen tinggi pada
organisasi, dan juga memiliki intensitas tinggi untuk tetap tinggal dan bekerja di organisasi, sebaliknya,
individu yang tidak sesuai dengan budaya organisasi cenderung untuk mempunyai kepuasan kerja dan
komitmen rendah, akibatnya kecenderungan untuk meninggalkan organisasi tentu saja lebih tinggi
(tingkat turnover karyawan tinggi). Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa nilai budaya secara
signifikan mempengaruhi efektifitas organisasi melalui peningkatan kualitas output dan mengurangi biaya
pengadaan tenaga kerja.

Dengan memahami dan menyadari arti penting budaya organisasi bagi setiap individu, akan mendorong
para manajer menciptakan kultur yang menekankan pada interpersonal relationship (yang lebih menarik
bagi karyawan) dibandingkan dengan kultur yang menekankan pada work task. Menurut Robbins (1993)
ada sepuluh karakteristik kunci yang merupakan inti budaya organisasi, yakni :

1) Member identity, yaitu identitas anggota dalam organisasi secara keseluruhan, dibandingkan dengan
identitas dalam kelompok kerja atau bidang profesi masing-masing,

2) Group emphasis, yaitu seberapa besar aktivitas kerja bersama lebih ditekankan dibandingkan kerja
individual,

3) People focus, yaitu seberapa jauh keputusan manajemen yang diambil digunakan untuk
mempertimbangkan keputusan tersebut bagi anggota organisasi,

4) Unit integration, yaitu seberapa jauh unit-unit di dalam organisasi dikondisikan untuk beroperasi secara
terkoordinasi,

5) Control, yaitu banyaknya / jumlah peraturan dan pengawasan langsung digunakan untuk mengawasi
dan mengendalikan perilaku karyawan,

6) Risk tolerance, yaitu besarnya dorongan terhadap karyawan untuk menjadi lebih agresif, inovatif, dan
berani mengambil risiko,

7) Reward criteria, yaitu berapa besar imbalan dialokasikan sesuai dengan kinerja karyawan
dibandingkan alokasi berdasarkan senioritas, favoritism, atau faktor-faktor nonkinerja lainnya, 8) Conflict
tolerance, yaitu besarnya dorongan yang diberikan kepada karyawan untuk bersikap terbuka terhadap
konflik dan kritik,

9) Means-ends orientation, yaitu intensitas manajemen dalam menekankan pada penyebab atau hasil,
dibandingkan pada teknik dan proses yang digunakan untuk mengembangkan hasil,

10) Open-system focus, yaitu besarnya pengawasan organisasi dan respon yang diberikan untuk
mengubah lingkungan eksternal.

Manfaat Budaya Organisasi

Kesinambungan organisasi sangat tergantung pada budaya yang dimiliki. Susanto (1997)
mengemukakan bahwa budaya perusahaan dapat dimanfaatkan sebagai daya saing andalan organisasi
dalam menjawab tantangan dan perubahan. Budaya organisasi pun dapat berfungsi sebagai rantai
pengikat dalam proses menyamakan persepsi atau arah pandang anggota terhadap suatu permasalahan,
sehingga akan menjadi satu kekuatan dalam pencapaian tujuan organisasi.

Beberapa manfaat budaya organisasi dikemukakan oleh Robbins (1993), yaitu:

1) membatasi peran yang membedakan antara organisasi yang satu dengan organisasi lain karena setiap
organisasi mempunyai peran yang berbeda, sehingga perlu memiliki akar budaya yang kuat dalam sistem
dan kegiatan yang ada di dalamnya,
2) menimbulkan rasa memiliki identitas bagi anggota; dengan budaya yang kuat anggota organisasi akan
merasa memiliki identitas yang merupakan ciri khas organisasinya,
3) mementingkan tujuan bersama daripada mengutamakan kepentingan individu,
4) menjaga stabilitas organisasi; komponen-komponen organisasi yang direkatkan oleh pemahaman
budaya yang sama akan membuat kondisi internal organisasi relatif stabil.

Keempat fungsi tersebut menunjukkan bahwa budaya dapat membentuk perilaku dan tindakan karyawan
dalam menjalankan aktivitasnya. Oleh karena itu, nilai-nilai yang ada dalam oragnisasi perlu ditanamkan
sejak dini pada diri setiap anggota.

Sosialisasi Budaya Organisasi

Definisi Sosialisasi

Budaya organisasi yang homogen dapat diciptakan melalui kegiatan sosialisasi budaya organisasi.
Dalam hal ini perusahaan melakukan tindakan manipulasi budaya/persepsi. Hal-hal yang dianggap
membawa pengaruh buruk pada anggota akan diarahkan agar memberi pengaruh baik, sehingga
tindakan ini diharapkan dapat menciptakan kondisi yang paling ideal yang harus dilakukan seluruh
anggota.

Sosialisasi dapat diartikan sebagai proses di mana individu ditransformasikan pihak luar untuk
berpartisipasi sebagai anggota organisasi yang efektif (Greenberg, 1995). Gibson (1994) memandang
sosialisasi sebagai suatu aktivitas yang dilakukan oleh organisasi untuk mengintegrasikan tujuan
organisasional maupun individual. Dalam pengertian ini terdapat dua kepentingan yaitu kepentingan
organisasional dan kepentingan individual. Dengan kata lain, di dalam prosesnya, sosialisasi akan
berhasil bila ada partisipasi karyawan selain adanya dukungan organisasi yang bersangkutan.

Sosialisasi mencakup kegiatan di mana anggota mempelajari seluk beluk organisasi serta bagaimana
mereka harus berinteraksi dan berkomunikasi antaranggota organisasi untuk menjalankan seluruh
aktivitas organisasi. Umumnya, sosialisasi menyangkut dua masalah yaitu masalah makro dan masalah
mikro. Masalah makro berkaitan dengan pekerjaan yang dihadapi karyawan, sedangkan masalah mikro
lebih menyangkut pada kebijakan, struktur dan budaya organisasi.

Keberhasilan proses sosialisasi budaya tergantung pada dua hal utama (Susanto, 1997), yakni:
1) derajat keberhasilan mencapai kesesuaian nilai-nilai yang dimiliki karyawan baru dengan organisasi,
2) metode sosialisasi yang dipilih manajemen puncak dalam mengimplementasikan budayanya. Oleh
sebab itu organisasi harus mampu mengajak anggotanya, terutama anggota baru, untuk menyesuaiakan
dengan budaya organisasi yang menjadi pedoman pencapaian kinerja yang baik.

Di samping itu, organisasi (dibantu oleh manajemen puncak) juga harus mampu melaksanakan kegiatan
sosialisasi budaya pada sumber daya manusianya, agar hasil proses sosialisasi memberi dampak positif
pada produktivitas, komitmen, serta turnover sumber daya manusia tersebut. Pada akhirnya implemetasi
sosialisasi budaya organisasi akan mendukung dan mendorong sumber daya manusia untuk mencapai
sasaran yang diinginkan.

Tujuan dan Manfaat Sosialisasi Budaya Organisasi

Tujuan sosialisasi budaya organisasi adalah:


1) membentuk suatu sikap dasar, kebiasaan dan nilai-nilai yang dapat memupuk kerja sama, integritas,
dan komunikasi dalam organisasi,
2) memperkenalkan budaya organisasi pada anggota,
3) meningkatkan komitmen dan daya inovasi anggota.

Sosialisasi budaya selain bermanfaat bagi anggota tentu saja juga membawa manfaat pada organisasi.
Bagi anggota sosialisasi budaya memberikan gambaran yang jelas mengenai organisasi yang
dimasukinya, sehingga anggota baru terbantu dalam membuat keputusan yang tepat, sesuai dengan
situasi yang dihadapi. Selain itu, sosialisasi budaya juga memudahkan anggota dalam menyesuaikan diri
dengan lingkungan, pekerjaan, dan anggota lain intraorganisasi. sehingga menumbuhkan komitmen
karyawan yang pada akhirnya diharapkan meningkatkan kinerja organisasi secara keseluruhan.

Bagi organisasi, sosialisasi budaya bermanfaat sebagai alat komunikasi untuk semua hal yang
berhubungan dengan aktivitas dan budaya organisasi sehingga hasilnya dapat dimanfaatkan anggota
untuk memahami segala sesuatu mengenai organisasi. Proses sosialisasi dapat dilakukan dalam proses
perekrutan karyawan yang sesuai dengan organisasi dan yang mempunyai potensi besar untuk lebih
berkembang. Pemilihan karyawan yang sesuai dengan budaya organisasi akan memperkuat budaya
organisasi yang telah ada.

Proses Sosialisasi Budaya Organisasi

Proses sosialisasi budaya khususnya ditujukan bagi calon karyawan baru yang akan bergabung dengan
perusahaan dan / atau anggota yang baru saja diterima menjadi anggota, karena mereka belum
mengenal budaya organisasi secara komprehensif. Luthan (1995) menjelaskan bahwa proses sosialisasi
budaya organisasi dapat dilakukan melalui tahap-tahap berikut ini:

1) Seleksi calon karyawan perusahaan; sejak awal pemilihan calon karyawan, organisasi dapat
mempertimbangkan berbagai kemungkinan apakah calon karyawan tertentu akan dapat menerima kultur
yang ada atau justru akan merusak kultur yang telah terbangun,

2) Penempatan karyawan pada suatu pekerjaan tertentu, dengan tujuan menciptakan kohesivitas di
antara karyawan,

3) Pendalaman bidang pekerjaan; tahap ini dimaksudkan agar seseorang anggota semakin mengenal
dengan baik dan menyatu dengan bidang tugasnya serta memahami apa yang menjadi tugas dan
tanggung jawab masing-masing,

4) Penilaian kinerja dan pemberian penghargaan, dimaksudkan agar karyawan dapat melaksanakan
pekerjaannya sesuai dengan ketentuan organisasi sebagai salah satu norma budaya serta dapat lebih
intensif menerapkannya di masa datang,

5) Menanamkan kesetiaan pada nilai-nilai luhur yang dimiliki organisasi,

6) Memperluas cerita dan berita tentang berbagai hal berkaitan dengan budaya organisasi, misalnya
cerita tentang pemutusan hubungan kerja kepada seseorang karyawan karena menyalahgunakan
kekuasaan/wewenang untuk kepentingan pribadi meskipun karyawan tersebut sangat potensial. Hal
tersebut menekankan betapa pentingnya moral bagi setiap karyawan, dan nilai moral ini tidak dapat
ditebus hanya dengan potensi yang dimiliki,

7) Pengakuan atas kinerja dan promosi, diberikan kepada karyawan yang mampu melaksanakan tugas,
kewajiban, dan tanggung jawabnya dengan baik serta dapat menjadi teladan karyawan lain, khususnya
karyawan yang baru bergabung.

Untuk dapat memberikan pengakuan, organisasi harus memiliki kriteria/ukuran baku yang dapat
diterapkan secara konsisten serta dapat diikuti dengan transparan oleh karyawan lain. Beberapa hal yang
dapat dijadikan tolok ukur, misalnya:

1) kemampuan teknik,

2) human relation skill / team work,

3) kepribadian,

4) potentiality, dan

5) managerial skill (bagi manajer / supervisor).

Sumber: Fred Luthans (1995:506)

Penutup

Tercapainya tujuan organisasi tergantung pada adanya kesesuaian antara individu sebagai anggota
organisasi dengan budaya organisasinya. Sosialisasi merupakan salah satu strategi yang dapat
dilaksanakan untuk memberikan pemahaman nilai-nilai budaya organisasi kepada anggota yang dapat
mendukung tercapainya tujuan individu dan tujuan organisasi.

Proses sosialisasi dilakukan melalui tujuh langkah, yaitu:

1) seleksi calon karyawan perusahaan,

2) penempatan karyawan dalam suatu pekerjaan tertentu,

3) pendalaman bidang pekerjaan,


4) penilaian kinerja dan pemberian penghargaan,

5) penanaman kesetiaan kepada nilai-nilai luhur yang dimiliki organisasi,

6) memperluas cerita dan berita mengenai berbagai hal yang berhubungan dengan budaya organisasi,

7) pengakuan atas kinerja dan memberikan promosi.

Proses sosialisasi yang dilakukan perusahaan dimaksudkan untuk meningkatkan produktivitas dan
kinerja serta meningkatkan komitmen anggota. Ketika tingkat komitmen karyawan tinggi secara otomatis
tingkat turnover karyawan rendah. Namun hal yang tidak boleh dilupakan adalah keberhasilan proses
sosialisasi budaya sangat bergantung pada derajat keberhasilan dalam mencapai kesesuaian dengan
budaya organisasi, ketepatan metode sosialisasi yang dipilih dan dipakai, serta peran pemimpin dalam
mengarahkan dan mendorong pemahaman, pengakuan, dan pencapaian kesesuaian budaya organisasi
dengan individu (anggota) baru.

Akhirnya, proses sosialisasi diharapkan memberikan kepuasan yang resiprokal organisasi-anggota,


artinya organisasi dapat memberikan kepuasan kepada anggotanya, dan sebaliknya, anggota dapat
memberikan kepuasan kepada organisasi melalui kreativitas dan kegiatan inovatif yang berdampak pada
tingginya kinerja organisasi secara keseluruhan. @

Daftar Pustaka

Bass, B. M. Avolio, B. J., 1993, Transformational Leadership and Organizational Culture, PAQ, Spring,
pp. 112-121.

Gibson, J. L., Ivancevich, J. M., & Donnelly, J. H., Jr., 1994, Organizations: Behavior, Structure, and
Process, 8th Ed., Boston: Irwin.

Greenberg, J., & Robert, A.B., 1995, Behavior in Organizational: Understanding and Managing The
Human Side of Work, 5th Ed., New Jersy: Prentice-Hall International, Inc.

Luthans, F., 1995, Organizational Behavior, 7th Ed., McGraw-Hill International Edition.

O'Reilly, C. A., Chatman, J., & Caldwell, D. F., 1991, People and Organizational Culture: A Profile
Comperison Approach to Assesing Person-Organization Fit, 34(3), pp. 487-516.

Robbins, S. P., 1993, Organizational Behavior Concepts Controversies, and Applications, New Jersy:
Prentice Hall International, Inc.

Sheriden, J. E., 1992, Organizational Culture and Employee Retention, Academy of Management
Journal, 35(3), pp. 1036-1056.

Susanto, A. B., 1997, Budaya Perusahaan, Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.

Vandenberg, C., 1999, Organizational Culture: Person-Culture Fit and Turnover: A Replication in The
Health Care Industry, The Journal of Organizational Behavior, 20, pp. 175-184.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam dunia pendidikan guru mempunyai peranan yang sangat penting
dalam pengembangan sumber daya manusia melalui pendidikan. Profesi guru
mampunyai tugas untuk mendidik, mengajar dan melatih. Mendidik berarti
meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup, mengajar berarti meneruskan
dan mengembangkan ilmu pengetahuan, melatih berarti mengembangkan
keterampilan-keterampilan pada siswa. Dalam melaksanakan tugas dan tanggung
jawab tersebut, seorang guru dituntut memiliki beberapa kemampuan dan
keterampilan tertentu. Kemampuan dan keterampilan tersebut sebagai bagian dari
kompetensi profesionalisme guru. Kompetensi merupakan suatu kemampuan yang
mutlak dimiliki oleh guru agar tugasnya sebagai pendidik dapat terlaksana dengan
baik.
Menurut Djamarah (2002), guru adalah salah satu unsur manusia dalam
proses pendidikan Dalam proses pendidikan di sekolah, guru memegang tugas
ganda yaitu sebagai pengajar dan pendidik. Sebagai pengajar guru bertugas
menuangkan sejumlah bahan pelajaran ke dalam otak anak didik, sedangkan
sebagai pendidik guru bertugas membimbing dan membina anak didik agar
menjadi manusia susila yang cakap, aktif, kreatif, dan mandiri. Disamping itu
Djamarah juga berpendapat bahwa baik mengajar maupun mendidik merupakan
tugas dan tanggung jawab guru sebagai tenaga profesional. Oleh sebab itu, tugas
yang berat dari seorang guru ini pada dasarnya hanya dapat dilaksanakan oleh
guru yang memiliki kompetensi profesional yang tinggi.
Guru memegang peranan sentral dalam proses belajar mengajar, untuk itu
mutu pendidikan di suatu sekolah sangat ditentukan oleh kemampuan yang
dimiliki seorang guru dalam menjalankan tugasnya. Menurut Aqib (2002) guru
adalah faktor penentu bagi keberhasilan pendidikan di sekolah, karena guru
merupakan sentral serta sumber kegiatan belajar mengajar. Lebih lanjut
dinyatakan bahwa guru merupakan komponen yang berpengaruh dalam
peningkatan mutu pendidikan di sekolah. Hal ini menunjukkan bahwa
kemampuan atau kompetensi profesional dari seorang guru sangat menentukan
mutu pendidikan.
Masyarakat menempatkan guru pada suatu tempat yang lebih terhormat di
dalam lingkungannya. Karena dari seorang guru masyarakat diharapkan agar
dapat memperoleh ilmu pengetahuan, terlebih bagi kelangsungan hidup bangsa di
tengah-tengah lintasan kemajuan perkembangan teknologi yang makin canggih
dengan segala perubahan serta pergeseran nilai yang cenderung memberikan
nuansa kepada kehidupan yang menuntut ilmu dan seni dalam kadar dinamik
untuk mengadaptasikan diri.
Kepala Sekolah sebagai pemimpin dalam pendidikan formal perlu
memiliki wawasan kedepan. Menurut Soebagio (2000) kepemimpinan pendidikan
1
© www.guruvalah.20m.com
persepsi guru terhadap kepemimpinan kepala sekolah dengan motivasi kerja
dan kepuasan kerja
2
memerlukan perhatian yang utama, karena melalui kepemimpinan yang baik kita
harapkan akan lahir tenaga–tenaga berkualitas dalam berbagai bidang sebagai
pemikir, pekerja yang pada akhirnya dapat meningkatkan sumber daya manusia
yang berkualitas. Hal yang terpenting bahwa melalui pendidikan kita menyiapkan
tenaga-tenaga yang terampil, berkualitas, dan tenaga yang siap pakai memenuhi
kebutuhan masyarakat bisnis dan industri serta masyarakat lainnya.
Sementara itu Kusmintarjo dan Burhanudin (1997) menyatakan bahwa
dasarnya Kepala Sekolah melakukan tiga fungsi sebagai berikut yaitu: membantu
para guru memahami, memilih, dan merumuskan tujuan pendidikan yang akan
dicapai, menggerakkan para guru, para karyawan, para siswa, dan anggota
masyarakat untuk mensukseskan program-program pendidikan di sekolah,
menciptakan sekolah sebagai lingkungan kerja yang harmonis, sehat, dinamis,
nyaman sehingga segenap anggota dapat bekerja dengan penuh produktivitas dan
memperoleh kepuasan kerja yang tinggi.
Dari pendapat tersebut menunjukkan betapa pentingnya Kepala Sekolah
sebagai sosok pimpinan yang diharapkan dapat mewujudkan harapan bangsa.
Oleh Karena itu diperlukan seorang Kepala Sekolah yang mempunyai wawasan
kedepan dan kemampuan yang memadai dalam menggerakkan organisasi
sekolah.
Wahyusumidjo (2000) menjelaskan tentang peranan Kepala Sekolah
sebagai pendidik. Sebagai seorang pendidik, Kepala Sekolah harus mampu
menanamkan, memajukan, dan meningkatkan nilai mental, moral, fisik dan
artistik kepada para guru atau tenaga fungsional yang lainnya, tenaga administrasi
(staf) dan kelompok para siswa atau peserta didik. Untuk menanamkan
peranannya ini Kepala Sekolah harus menunjukkan sikap persuasif dan
keteladanan. Sikap persuasif dan keteladanan inilah yang akan mewarnai
kepemimpinan termasuk didalamnya pembinaan yang dilakukan oleh Kepala
Sekolah terhadap guru yang ada di sekolah tersebut. Kepala Sekolah sebagai
edukator, supervisor, motivator yang harus melaksanakan pembinaan kepada para
karyawan, dan para guru di sekolah yang dipimpinnya karena faktor manusia
merupakan faktor sentral yang menentukan seluruh gerak aktivitas suatu
organisasi, walau secanggih apapun teknologi yang digunakan tetap faktor
manusia yang menentukannya.
Dalam fungsinya sebagai penggerak para guru, Kepala Sekolah harus
mampu menggerakkan guru agar kinerjanya menjadi meningkat karena guru
merupakan ujung tombak untuk mewujudkan manusia yang berkualitas. Guru
akan bekerja secara maksimum apabila didukung oleh beberapa faktor diantaranya
adalah kepemimpinan Kepala Sekolah.
Menjadi guru tanpa motivasi kerja akan cepat merasa jenuh karena tidak
adanya unsur pendorong. Motivasi mempersoalkan bagaimana caranya gairah
kerja guru, agar guru mau bekerja keras dengan menyumbangkan segenap
kemampuan, pikiran, keterampilan untuk mewujudkan tujuan pendidikan. Guru
menjadi seorang pendidik karena adanya motivasi untuk mendidik. Bila tidak
punya motivasi maka ia tidak akan berhasil untuk mendidik atau jika dia mengajar
karena terpaksa saja karena tidak kemauan yang berasal dari dalam diri guru.
Menurut Winardi (2001) Motivasi merupakan suatu kekuatan potensial yang ada
© www.guruvalah.20m.com
persepsi guru terhadap kepemimpinan kepala sekolah dengan motivasi kerja
dan kepuasan kerja
3
pada diri seseorang manusia, yang dapat dikembangkannya sendiri, atau
dikembangkan oleh sejumlah kekuatan luar yang pada intinya sekitar imbalan
moneter, dan imbalan non moneter, yang dapat mempengaruhi hasil kinerjanya
secara positif atau negative, hal mana tergantung pada situasi dan kondisi yang
dihadapi orang yang bersangkutan.
Para guru mempunyai cadangan energi potensial, bagaimana energi
tersebut akan dilepaskan atau digunakan tergantung pada kekuatan dorongan
motivasi seseorang dan situasi serta peluang yang tersedia. Menurut McClelland
sebagaimana dikutip Hasibuan (2000) energi yang dilepaskan karena didorong
oleh : 1) kekuatan motif dan kebutuhan dasar yang terlibat, 2) harapan
keberhasilannya, dan 3) nilai insentif yang terlekat pada tujuan.
Dengan demikian bagi Kepala Sekolah dalam memotivasi guru hendaknya
menyediakan peralatan, membuat suasana kerja yang menyenangkan, dan
memberikan kesempatan promosi/kenaikan pangkat, memberi imbalan yang layak
baik dari segi moneter maupun non moneter. Disamping guru sendiri harus
mempunyai daya dorong yang berasal dari dalam dirinya untuk berprestasi dalam
karirnya sebagai pendidik, pengajar dan pelatih agar tujuan sekolah (tujuan
pendidikan) dapat tercapai.
Dalam aktivitas kegiatan sehari-hari, guru sebagai individu dapat
merasakan adanya kepuasan dalam bekerja. Menurut Hoppeck dalam As’ad
(1999), bahwa kepuasan kerja merupakan penilaian dari pekerjaan yaitu seberapa
jauh pekerjaannya secara keseluruhan memuaskan kebutuhannya. Kepuasan dan
ketidakpuasan guru bekerja dapat berdampak baik pada diri individu guru yang
bersangkutan, maupun kepada organisasi dimana guru melakukan aktivitas.
Kepuasan kerja bagi guru sebagai pendidik diperlukan untuk
meningkatkan kinerjanya. Kepuasan kerja berkenaan dengan kesesuaian antara
harapan seseorang dengan imbalan yang disediakan. Kepuasan kerja Guru
berdampak pada prestasi kerja, disiplin, kualitas kerjanya. Pada guru yang puas
terhadap pekerjaanya kemungkinan akan membuat berdampak positif terhadap
perkembangan organisasi sekolah. Demikian sebaliknya, jika kepuasan kerja guru
rendah maka akan berdampak negatif terhadap perkembangan organisasi sekolah.
Guru yang membolos, mengajar tidak terencana, malas, mogok kerja, sering
mengeluh merupakan tanda adanya adanya kepuasan guru rendah. Guru menjadi
balas dendam atas ketidak nyamanan yang diberikan sekolah/kantor dengan
keinginan/harapannya.
Ekawarna (1995) menyatakan bahwa, guru sebagai individu yang bekerja
didalam suatu organisasi pendidikan akan melakukan tugas pekerjaan ataupun
memberikan konstribusi kepada organisasi yang bersangkutan, dengan harapan
akan mendapat timbal balik berupa imbalan (rewards) ataupun intensif dari
organisasi tersebut.
Guru dalam melakukan aktivitas kegiatan proses belajar mengajar, yaitu
berupa mempersiapkan materi pengajaran, mengajar di kelas, ataupun melakukan
evaluasi dari hasil belajar siswa, dengan harapan akan mendapatkan imbalan dari
pihak sekolah yang menyelenggarakan kegiatan pendidikan. Guru dalam hal ini
akan merasa puas apa bila kinerja yang telah di lakukannya terbalas dengan
imbalan yang sesuai.
© www.guruvalah.20m.com
persepsi guru terhadap kepemimpinan kepala sekolah dengan motivasi kerja
dan kepuasan kerja
4
Kepuasan kerja (job satisfaction) guru merupakan sasaran penting dalam
manajemen sumber daya manusia, karena secara langsung maupun tidak langsung
akan mempengaruhi produktivitas kerja. Suatu gejala yang dapat membuat
rusaknya kondisi organisasi sekolah adalah rendahnya kepuasan kerja guru
dimana timbul gejala seperti kemangkiran, malas bekerja, banyaknya keluhan
guru, rendahnya prestasi kerja, rendahnya kualitas pengajaran, indisipliner guru
dan gejala negatif lainnya. Sebaliknya kepuasan yang tinggi dinginkan oleh
Kepala Sekolah karena dapat dikaitkan dengan hasil positif yang mereka
harapkan. Kepuasan kerja yang tinggi menandakan bahwa sebuah organisasi
sekolah telah dikelola dengan baik dengan manajemen yang efektif. Kepuasan
kerja yang tinggi menunjukkan kesesuaian antara harapan guru dengan imbalan
yang disediakan oleh organisasi.
Meningkatkan kepuasan kerja bagi guru merupakan hal yang sangat
penting, karena menyangkut masalah hasil kerja guru yang merupakan salah satu
langkah dalam meningkatkan mutu pelayanan kepada siswa.
Ada beberapa alasan mengapa kepuasan kerja guru dalam tugasnya sebagai
pendidik perlu untuk dikaji lebih lanjut .
Pertama : Guru memainkan peranan yang begitu besar di dalam sebuah
negara. Tugas mereka bukan hanya sekedar memberikan pelajaran seperti yang
terkandung di dalam garis besar pengajaran dalam kurikulum formal, malah
meliputi seluruh aspek kehidupan yang lain mungkin tidak tercantum dalam mata
pelajaran secara nyata, tetapi meliputi pelajaran-pelajaran yang terkandung
dalam kurikulum yang tersembunyi dalam sistem pendidikan negara. Kemajuan
suatu bangsa punya kaitan erat dengan pendidikan. Pendidikan di sini bukan
sekedar sebagai media (perantara) dalam menyampaikan kebudayaan dari
generasi ke generasi, melainkan suatu proses yang diharapkan akan dapat
mengubah dan mengembangkan kehidupan berbangsa yang baik. Bagi suatu
bangsa yang sedang membangun terlebih-lebih bagi keberlangsungan hidup
bangsa di tengah-tengah lintasan perjalanan zaman dengan teknologi yang kian
canggih. Semakin akurat para guru melaksanakan fungsinya, semakin terjamin,
tercipta, dan terbinanya kesiapan dan keandalan sebagai manusia pembangunan.
Oleh karena itu peningkatan kepuasan kerja yang diperoleh para guru akan
mendorong guru untuk melaksanakan fungsinya sebaik mungkin.
Kedua : adanya fenomena mengenai penurunan kinerja guru, hal ini dapat
terlihat dari guru yang mangkir dari tugas, guru yang mengajar saja tapi fungsi
mendidiknya berkurang.
Ketiga : Peningkatkan mutu pendidikan secara formal aspek guru
mempunyai peranan penting dalam mewujudkannya, disamping aspek lainnya
seperti sarana/prasarana, kurikulum, siswa, manajemen, dan pengadaan buku.
Guru merupakan kunci keberhasilan pendidikan, sebab inti dari kegiatan
pendidikan adalah belajar mengajar yang memerlukan peran dari guru di
dalamnya.
Menurut Wahjosumidjo (2002), kepuasan kerja guru banyak dipengaruhi
beberapa faktor antara lain adalah faktor dari pemimpin atau Kepala Sekolah dan
motivasi kerja guru. Keberhasilan suatu sekolah pada hakikatnya terletak pada
efisiensi dan efektivitas penampilan seorang Kepala Sekolah. Sedangkan Sekolah
© www.guruvalah.20m.com
persepsi guru terhadap kepemimpinan kepala sekolah dengan motivasi kerja
dan kepuasan kerja
5
sebagai lembaga pendidikan bertugas menyelenggarakan proses pendidikan dan
proses belajar mengajar dalam usaha untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Dalam hal ini Kepala Sekolah sebagai seseorang yang diberi tugas untuk
memimpin sekolah, Kepala Sekolah bertanggung jawab atas tercapainya tujuan
sekolah. Kepala Sekolah diharapkan menjadi pemimpin dan inovator di sekolah.
Oleh sebab itu, kualitas kepemimpinan Kepala Sekolah adalah signifikan bagi
keberhasilan sekolah. Wahjosumidjo juga mengemukakan bahwa penampilan
kepemimpinan Kepala Sekolah adalah prestasi atau sumbangan yang diberikan
oleh kepemimpinan seorang Kepala Sekolah, baik secara kualitatif maupun
kuantitatif yang terukur dalam rangka membantu tercapainya tujuan sekolah.
Penampilan kepemimpinan Kepala Sekolah ditentukan oleh faktor kewibawaan,
sifat dan keterampilan, perilaku maupun fleksibilitas pemimpin.
Menurut Wahjosumidjo (2002), agar fungsi kepemimpinan Kepala
Sekolah berhasil memberdayakan segala sumber daya sekolah untuk mencapai
tujuan sesuai dengan situasi, diperlukan seorang Kepala Sekolah yang memiliki
kemampuan profesional yaitu: kepribadian, keahlian dasar, pengalaman, pelatihan
dan pengetahuan profesional, serta kompetensi administrasi dan pengawasan.
Kemampuan profesional Kepala Sekolah sebagai pemimpin pendidikan
yaitu bertanggung jawab dalam menciptakan suatu situasi belajar mengajar yang
kondusif, sehingga guru-guru dapat melaksanakan pembelajaran dengan baik dan
peserta didik dapat belajar dengan tenang. Disamping itu Kepala Sekolah dituntut
untuk dapat bekerja sama dengan bawahannya, dalam hal ini guru. Kepemimpinan
Kepala Sekolah yang terlalu berorientasi pada tugas pengadaan sarana dan
prasarana dan kurang memperhatikan guru dalam melakukan tindakan, dapat
menyebabkan guru sering melalaikan tugas sebagai pengajar dan pembentuk nilai
moral. Hal ini dapat menumbuhkan sikap yang negatif dari seorang guru terhadap
pekerjaannya di sekolah, sehingga pada dapat mengakibatkan tertundanya
keberhasilan prestasi siswa di sekolah.
Kepala Sekolah adalah pengelola pendidikan di sekolah secara
keseluruhan, dan Kepala Sekolah adalah pemimpin formal pendidikan di
sekolahnya. Dalam suatu lingkungan pendidikan di sekolah, Kepala Sekolah
bertanggung jawab penuh untuk mengelola dan memberdayakan guru-guru agar
terus meningkatkan kemampuan kerjanya. Dengan peningkatan kemampuan atas
segala potensi yang dimilikinya itu, maka dipastikan guru-guru yang juga
merupakan mitra kerja Kepala Sekolah dalam berbagai bidang kegiatan
pendidikan dapat berupaya menampilkan sikap positif terhadap pekerjaannya dan
meningkatkan kompetensi profesionalnya
Berdasarkan latar belakang tersebut maka penelitian ini berjudul : persepsi
terhadap kepemimpinan Kepala Sekolah dengan motivasi kerja dan kepuasan
kerja guru SMK Negeri di kota Samarinda.
1. Perumusan Masalah
Masalah yang muncul berkenaan dengan hubungan kepemimpinan Kepala
Sekolah dan motivasi kerja guru dengan kepuasan kerja guru, diidentifikasikan
sebagai berikut :
© www.guruvalah.20m.com
persepsi guru terhadap kepemimpinan kepala sekolah dengan motivasi kerja
dan kepuasan kerja
6
a. Apakah terdapat hubungan antara persepsi guru terhadap kepemimpinan
Kepala Sekolah dengan motivasi kerja guru?
b. Apakah terdapat hubugan antara persepsi guru terhadap kepemimpinan Kepala
Sekolah dengan kepuasan kerja guru?
2. Keaslian Penelitian
Penelitian mengenai kepemimpinan, motivasi kerja dan kepuasan kerja
sudah banyak dilakukan baik oleh lembag-lembaga penelitian, konsultankonsultan
dan individu-individu. Oleh karena itu untuk memperluas pandangan
dan tinjauan pustaka dan teori-teori, penulis kemukakan penelitian terdahulu.
Penelitian yang duajukan oleh Satriyo (1997) dengan judul pengaruh
perilaku pemimpin, iklim organisasi dan kinerja terhadap motivasi kerja yang
studinya dilakukan pada kantor dinas pendapatan daerah proponsi daerah tingkat I
Jawa Timur cabang Malang, menyimpulkan bahwa : 1) Perilaku pimpinan
berpengaruh terhadap motivasi kerja pegawai (Beta=0,0153, p-value=<0,01), 2)
Secara bersama-sama perilaku pimpinan, iklim organisasi berpengaruh terhadap
motivasi kerja pegawai (R=0,6233, p=<0,01)
Penelitian yang diajukan oleh Falah Yunus (2004) dengan judul pengaruh
persepsi pada kepemimpinan Kepala Sekolah terhadap kepuasan kerja, komitmen,
kinerja dan kompetensi profesional guru SMA di kota Samarinda, menyimpulkan
bahwa persepsi guru pada kepemimpinan Kepala Sekolah berpengaruh terhadap
kepuasan kerja guru (t hitung=2,248, p-value=0,015<0,01)
Penelitian yang diajukan oleh Meter (2003) dengan judul hubungan antara
perilaku kepemimpinan Kepala Sekolah, iklim sekolah, dan profesionalisme guru
dengan motivasi kerja guru, menyimpulkan bahwa : 1) Persepsi guru pada
perilaku kepemimpinan Kepala Sekolah berhubungan langsung dengan motivasi
kerja guru (ry1 = 0,52) , 2) Secara bersama-sama perilaku perilaku kepemimpinan
Kepala Sekolah, iklim sekolah, dan profesionalisme guru dengan motivasi kerja
guru (ry1.2.3 = 0,56).
Dari kajian penelitian yang terdahulu maka dalam kesempatan penyusunan
tesis ini penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang persepsi terhadap
kepemimpinan Kepala Sekolah hubungannya dengan kepuasan kerja dan motivasi
kerja. Penulis berupaya untuk melakukan penelitian ini kepada guru-guru di SMK
Negeri se kota Samarinda untuk memperoleh data untuk diteliti dimana hasilnya
dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi dunia pendidikan.
3. Manfaat Penelitian
Manfaat atau kegunaan dari penelitian yaitu untuk mengetahui kepuasan
dan motivasi kerja guru dengan melihatnya dari aspek persepsi terhadap
kepemimpinan Kepala Sekolah.
Dengan mengetahui hubungan tersebut, hasil penelitian diharapkan
bermanfaat :
a. Secara teoretis hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan ilmu
pengetahuan tentang kaitan antara persepsi terhadap kepemimpinan Kepala
Sekolah, kepuasan kerja dan motivasi kerja guru.
b. Secara praktis hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi :
© www.guruvalah.20m.com
persepsi guru terhadap kepemimpinan kepala sekolah dengan motivasi kerja
dan kepuasan kerja
7
b.1. Manajer pendidikan (Kepala Sekolah) agar dapat memperoleh informasi
dari hasil penelitian ini sebagai alat untuk introspeksi diri dalam
melaksanakan kepemimpinan.
b.2. Guru agar hasil penelitian sebagai masukan agar dapat meningkatkan
motivasi kerjanya sehingga dapat meningkat pula kepuasan kerja yang
juga meningkatkan kinerjanya untuk menjadi guru yang professional.
b.3. Stakeholder agar hasil penelitian agar dapat dijadikan pertimbangan
untuk ikut meningkatkan mutu pendidikan melalui peningkatan SDM
guru
b.4. Pihak terkait (Diknas kota Samarinda) agar dapat menindaklanjuti hasil
penelitian untuk menetapkan langkah-langkah strategis untuk
meningkatkan kepemimpinan Kepala Sekolah dan cara memberikan
kepuasan kerja guru untuk meningkatkan motivasi kerja guru yang akan
pula meningkatkan kinerja guru.
B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan membuktikan bahwa sikap guru terhadap
kepemimpinan Kepala Sekolah berhubungan dengan motivasi kerja dan kepuasan
kerja. Sikap guru terhadap kepemimpinan Kepala Sekolah sebagai variabel bebas
sedangkan motivasi kerja dan kepuasan kerja sebagai variabrl tergantung yang
diukur dengan skala yang disusun oleh peneliti yang telah dilakukan uji validitas
butir dan uji reliabilitas.
Subyek penelitian ini meliputi 84 guru SMK Negeri di Samarinda yang
diambil secara random. Data penelitian dianalisis dengan analisis regresi (anareg)
untuk membuktikan hipotesis penelitian.

Perkembangan dalam dunia usaha di Indonesia saat ini yang semakin cepat dan pesat berakibat juga
pada berubahnya budaya. Sehingga organisasi dituntut untuk mempunyai budaya yang membedakan
dengan organisasi lain yang sejenis. Percepatan perubahan lingkungan berakibat pada perubahan
budaya perusahaan. Bagaimana karyawan berperilaku dan apa yang seharusnya mereka lakukan banyak
di pengaruhi oleh budaya organisasi tersebut. Sikap yang dibentuk antara lain oleh budaya organisasi
erat kaitannya dengan kepuasan kerja yaitu sikap umum individu terhadap pekerjaannya. Kepuasan
kerja yang tinggi merupakan salah satu indikator efektivitas manajemen yang berarti budaya organisasi
telah dikelola dengan baik. Kesuksesan sebuah organisasi tidak hanya didukung oleh budaya
organisasinya saja tetapi juga bagaimana organisasi tersebut menumbuhkan komitmen organisasi yang
dipahami sebagai ikatan kejiwaan individu terhadap organisasi. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh budaya organisasi yang ada di Rumah sakit Muhammadiyah Lamongan guna
meningkatkan komitmen terhadap organisasi melalui kepuasan kerja.

Budaya Organisasi
Ditulis oleh rastodio pada August 30th, 2009 No Comments »

1. Perspektif Budaya Organisasi

DEWASA ini istilah budaya tidak hanya jadi trend dan mempesonakan, tetapi juga dipandang
membantu kebanyakan orang dalam membuat perbandingan antara aspek-aspek simbolik suatu
budaya dan aspek-aspek simbolik sebuah organisasi. Menurut Suryadi (2003:109) munculnya
perhatian yang tinggi terhadap konsep budaya organisasi  (organizational culture) tampaknya
dilatarbelakangi oleh perasaan kecewa para ahli terhadap teori-teori rasional (objektif) dalam
meramalkan perilaku. Teori-teori tersebut dipandang hanya menjelaskan kulit luar organisasi
tetapi tidak menyinggung jiwa organisasi (aspek simbolik di dalam organisasi). Reaksi terhadap
teori-teori rasional tradisional akhirnya mendorong suatu perubahan ke arah konsep budaya.
Namun demikian, pendekatan kebudayaan tidak dipandang sebagai bentuk perlawanan terhadap
dominasi objectivistic, positivistic, dan functionalistic dalam teori organisasi dan manajemen.
Kehadirannya semata-mata sebagai pelengkap (salah satu variabel) dalam rangka  memprediksi
dan pengendalian organisasi disamping pendekatan yang ada selama ini.

Pace dan Faules, (1994:91) menjelaskan, dalam diskursus teori-teori ilmu sosial, fenomena
budaya dapat ditelaah dalam perspektif objektif maupun subjektif. Asumsi sederhananya adalah
bahwa manusia mengalami keberadaan objek-objek  yang bersifat fisik yang membentuk realitas,
namun diyakini juga bahwa manusia menciptakan pengalaman yang  dimilikinya bersama orang
lain dan objek-objek. Jika ditelaah dalam perspektif objektif, kebudayaan sebagai realitas sosial
dipandang sebagai suatu komponen dari sistem sosial, dimana kedua-duanya terintegrasi ke
dalam suatu sistem “sosio-budaya” . Perspektif  ini melahirkan kebudayaan sebagai suatu yang
bersifat fisik dan konkret yang melekat pada sistem sosial masyarakat sebagai sebuah struktur
dengan batas-batas yang pasti dalam sistem sosial. Sebaliknya jika ditelaah dari perspektif
subjektif, kebudayaan tersusun atas teori-teori dunia para anggotanya, yakni makna, lambang dan
nilai-nilai yang dimiliki bersama. Dunia kebudayaan dan dunia sosial dilihat sebagai sesuatu
yang berbeda tetapi berinterelasi. Artinya dimensi kebudayaan suatu masyarakat dapat
berkembang secara tidak serasi dengan dimensi struktur dan proses formalnya. Inti kajiannya
terpusat pada upaya mengungkap sifat simbolik dari struktur dan peristiwa dalam masyarakat.
Yang dicari adalah makna yang bersifat mendalam dari peristiwa, tindakan, dan segala sesuatu
yang menjadi latar belakang disamping yang bersifat instrumental.

Adanya dikotomi perspektif budaya sebagaimana diuraikan di atas, menurut Alvesson dan Berg
(1988) yang dikutip Poespadibrata (1993:160), seringkali menimbulkan kerancuan dalam studi
dan pembahasan tentang budaya organisasional. Karena itu, dalam konteks penelitian
pemahaman terhadap pendekatan atau teori mana yang akan digunakan menjadi penting.
Mengingat, bagaimana budaya organisasi dikonsepsikan akan berpengaruh kepada bagaimana
budaya organisasi didefinisikan.

Menurut Sackman (1991:90) terdapat tiga perspektif utama dalam memandang budaya
organisasi, yaitu 1) perspektif holistik, 2) perspektif variabel, dan 3) perspektif kognitif.
Perspektif holistik memandang budaya sebagai cara-cara terpola mengenai berpikir,
menggunakan perasaan dan bereaksi. Perspektif variabel penekanannya pada pengekpresian
budaya. Sedangkan perspektif kognitif memberi penekanan kepada keyakinan, nilai-nilai, dan
norma-norma, pengetahuan yang diorganisasikan yang ada dalam pikiran orang-orang untuk
memahami realitas. Dalam perspektif kognitif ini, esensi budaya adalah konstruksi bersama
mengenai realitas sosial.

Menurut Suryadi (2003:112),  ada tiga implikasi penting yang dapat ditangkap dari pendekatan
budaya terhadap teori-teori organisasi dan manajemen. Pertama, munculnya paradigma baru
dalam memandang fungsi-fungsi manajemen, khususnya yang berkaitan dengan fungsi
kepemimpinan (manajer). Dimana, kepemimpinan harus dipahami sebagai orang yang
mendefinisikan makna dan menciptakan pandangan tentang realitas organisasi melalui
pengikutsertaan anggota organisasi dalam pemberian makna tersebut pada kegiatan organisasi.
Karena itu, seyogianya pemimpin yang baik itu tidak hanya menciptakan profit bagi organisasi,
tetapi menciptakan pula makna bagi para anggota organisasi. Sayang sekali para manajer sering
lupa untuk menggandengkan kedua-duanya dalam porsi yang seimbang. Kedua, berkaitan
dengan pertanyaan  heuristik mengenai apa yang dapat dipelajari tentang organisasi melalui
pendekatan budaya yang luput dari perhatian teori-teori tradisional (objektif) tentang organisasi
dan manajemen. Ketiga berkaitan dengan pertanyaan pragmatis tentang fungsi budaya yang
diperkirakan dapat memberikan sumbangan positif terhadap kehidupan organisasi. Karena itu,
sejauhmana nilai guna dan sumbangan pendekatan budaya dalam memahami kehidupan
organisasi masih perlu diuji secara empirik. Kenyataannya di Indonesia pada umumnya
menunjukkan bahwa  berbagai perubahan untuk menciptakan strategi bisnis baru sesuai dengan
tuntutan perubahan, apabila sudah menyentuh dimensi sistem nilai, asumsi dasar, kepercayaan,
dan konsepsi, seringkali sistem nilai, asumsi, kepercayaan, dan konsepsi lama masih dominan.

2. Pengertian Budaya Organisasi

Menurut Robbins (2001:525), budaya organisasi merupakan sistem makna bersama terhadap
nilai-nilai primer yang dianut bersama dan dihargai organisasi, yang berfungsi menciptakan
pembedaan yang jelas antara satu organisasi dengan organisasi lainnya, menciptakan rasa
identitas bagi para anggota organisasi, mempermudah timbulnya komitmen kolektif terhadap
organisasi, meningkatkan kemantapan sistem sosial, serta menciptakan mekanisme pembuat
makna dan kendali yang memandu membentuk sikap dan perilaku para anggota organisasi. Deal
dan Kennedy sebagaimana dikutip Robbins (2001:479) menjelaskan budaya organisasi sebagai
nilai-nilai dominan yang didukung organisasi.

Gibson et.al. (1996:77) merumuskan: “kultur organisasi mengandung bauran nilai-nilai,


kepercayaan, asumsi, persepsi, norma, kekhasan dan pola perilaku”.  Kreitner dan Kinicki
(2003:68-75) memberi batasan budaya organisasi sebagai nilai dan keyakinan bersama yang
mendasari identitas organisasi yang berfungsi sebagai pemberi rasa identitas kepada anggota,
mempromosikan komitmen kolektif, meningkatkan stabilitas sistem sosial, serta mengendalikan
perilaku para anggota. Luthans (1998:213) mengemukakan, budaya organisasi merupakan
norma-norma dan nilai-nilai yang mengarahkan perilaku anggota organisasi. Setiap anggota akan
berperilaku sesuai dengan budaya yang berlaku agar diterima oleh lingkungannya. Sharplin
(1995:225) menyatakan bahwa budaya organisasi merupakan suatu sistem nilai, kepercayaan,
dan kebiasaan dalam suatu organisasi yang saling berinteraksi dengan struktur sistem formalnya
untuk menghasilkan norma-norma perilaku organisasi. Stoner et.al (1996:246) mendefinisikan
budaya organisasi sebagai suatu cognitive framework yang meliputi sikap, nilai-nilai, norma
perilaku dan harapan-harapan yang disumbangkan oleh anggota organisasi.  Davis (1984:198)
menyatakan bahwa budaya organisasi merupakan pola keyakinan dan nilai-nilai (values)
organisasi yang dipahami, dijiwai dan dipraktekkan oleh organisasi sehingga pola tersebut
memberikan arti tersendiri dan menjadi dasar aturan berperilaku dalam organisasi. Schein
(1992:221) mendefinisikan budaya organisasi sebagai suatu pola dari asumsi-asumsi dasar yang
ditemukan, diciptakan atau dikembangkan oleh suatu kelompok tertentu dengan maksud agar
organisasi belajar mengatasi atau menanggulangi masalah-masalahnya yang timbul akibat
adaptasi eksternal dan integrasi internal yang sudah berjalan dengan cukup baik, sehingga perlu
diajarkan kepada anggota-anggota baru sebagai cara yang benar untuk memahami, memikirkan
dan merasakan berkenaan dengan masalah-masalah tersebut. Menurut Noe dan Mondy
(1993:235), budaya organisasi adalah sistem dari shared values, keyakinan dan kebiasaan-
kebiasaan dalam suatu organisasi yang saling berinteraksi dengan struktur formalnya untuk
mendapatkan norma-norma perilaku. Budaya organisasi juga mencakup nilai-nilai dan standar-
standar yang mengarahkan perilaku pelaku organisasi dan menentukan arah organisasi secara
keseluruhan.

Berdasarkan uraian di atas, meskipun konsep budaya organisasi memunculkan perspektif yang
beragam, terdapat kesepakatan di antara para ahli budaya dalam hal mendefinisikan  budaya
organisasi. Intinya bahwa budaya organisasi  berkaitan dengan sistem makna bersama yang
diyakini oleh anggota organisasi (refers to a system of shared meaning held by members).

3. Karakteristik Budaya Organisasi

Budaya organisasi memiliki sejumlah karakteristik. Susanto (1997:17) mengemukakan 10


karakteristik budaya organisasi, yaitu (1) Inisiatif individu. Yaitu seberapa jauh inisiatif
seseorang dikehendaki dalam perusahaan. Hal ini meliputi tanggung jawab, kebebasan dan
independensi dari masing-masing anggota organisasi, dalam artian seberapa besar seseorang
diberi wewenang dalam melaksanakan tugasnya, seberapa berat tanggung jawab yang  harus
dipikul sesuai dengan kewenangannya dan seberapa luas kebebasan mengambil keputusan. (2)
Toleransi terhadap resiko. Menggambarkan seberapa jauh sumber daya manusia didorong untuk
lebih agresif, inovatif dan mau menghadapi resiko dalam pekerjaannya. (3) Pengarahan.
Berkenaan dengan kejelasan sebuah organisasi dalam menentukan objek dan harapan terhadap
sumber daya manusia terhadap hasil kerjanya. Harapan tersebut dapat dituangkan dalam bentuk
kuantitas, kualitas dan waktu. (4) Integrasi, yaitu seberapa jauh keterkaitan dan kerja sama yang 
ditekankan dalam melaksanakan tugas dari masing-masing unit di dalam suatu organisasi dengan
koordinasi yang  baik. (5) Dukungan manajemen, dalam hal ini seberapa jauh para manajer
memberikan komunikasi yang  jelas, bantuan, dan dukungan terhadap bawahannya dalam
melaksanakan tugasnya. (6) Pengawasan, meliputi peraturan-peraturan dan supervisi langsung
yang  digunakan untuk melihat secara keseluruhan dari perilaku karyawan. (7) Identitas,
menggambarkan pemahaman anggota organisasi yang  loyal kepada organisasi secara penuh dan
seberapa jauh loyalitas karyawan tersebut terhadap organisasi. (8) Sistem penghargaan pun akan
dilihat dalam budaya organisasi, dalam arti pengalokasian “reward” (kenaikan gaji, promosi)
berdasarkan kriteria hasil kerja karyawan yang  telah ditentukan. (9) Toleransi terhadap konflik,
menggambarkan sejauhmana usaha untuk mendorong karyawan agar bersikap kritis terhadap
konflik yang  terjadi. (10) Pola komunikasi, yang terbatas pada hierarki formal dari setiap
perusahaan.

Luthans (1998:223) mengidentifikasi ada enam karakteristik penting. Pertama, observed


behavioral regularities, yaitu apabila para partisipan organisasi saling berinteraksi satu dengan
yang lain, maka mereka akan menggunakan bahasa, terminologi dan ritual-ritual yang sama yang
berhubungan dengan rasa hormat dan cara bertindak. Kedua, norms, yaitu standar-standar
perilaku yang ada, mencakup pedoman tentang berapa banyak pekerjaan yang harus
dilaksanakan dan perbuatan-perbuatan apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Ketiga,
dominant values, yaitu ada sejumlah values utama yang organisasi anjurkan dan mengharapkan
kepada para anggota organisasi untuk menyumbangkannya, misalnya kualitas produk yang
tinggi, absensi yang rendah dan efisiensi yang tinggi. Keempat, philosophy, yaitu ada sejumlah
kebijakan yang menyatakan keyakinan organisasi tentang bagaimana para karyawan dan atau
para pelanggan diperlakukan. Kelima, rules, yaitu ada sejumlah pedoman yang pasti yang
berhubungan dengan kemajuan atau cara berhubungan dengan kemajuan atau cara berhubungan
yang baik dalam organisasi. Para karyawan baru (newcomers) harus mempelajari “ikatan” atau
rules yang telah ada sehingga mereka dapat diterima sebagai full-fled get anggota kelompok.
Keenam, organizational climate, yaitu ada suatu “feeling” yang menyeluruh yang dibawa oleh
physical layout, cara para anggota organisasi berinteraksi, dan cara para anggota organisasi
memperlakukan dirinya menghadapi pihak pelanggan dan pihak luar lainnya. Menurut Luthans,
keenam karakteristik tersebut tidak dimaksudkan menjadi all-inclusive.

Hofstede (1991:143) menyatakan bahwa budaya organisasi secara mendasar memiliki sifat-sifat
berikut: (1) holistic (menyeluruh dan menjangkau dimensi waktu yang panjang), (2) historically
determined (ditentukan atau mencerminkan catatan historis perusahaan), (3) berhubungan
dengan sesuatu yang bersifat ritual dan simbolik, (4) dihasilkan dan dipertahankan oleh
kelompok-kelompok yang bersama-sama membentuk organisasi (socially constructed), (5) halus
(soft) dan (6) sukar berubah.

Riset paling mutakhir dari Robbins (2001:510-511) mengemukakan ada tujuh karakteristik
primer  yang secara bersama-sama menangkap hakikat budaya suatu organisasi apapun bentuk
organisasinya. Ketujuh karakteristik tersebut,  yaitu :

(1) Innovation and risk taking. The degree to which employees are encouraged to be innovative
and take risk. (2) Attention to detail. The degree to which employees are expected to exhibit
precision, analysis, and attention to detail. (3) Outcome orientation. The degree to which
management focuses on results or out comes rather than on the techniques and processes used to
achieve the outcomes. (4) People orientation. The degree to which management decisions take
into consideration the effect of outcomes on people within the organization. (5) Team
orientation. The degree to which work activities are organized around teams rather than
individuals. (6) Aggressiveness. The degree to which work people are aggressive and
competitive rather than easygoing.(7) Stability. The degree to which organizational activities
emphasize maintaining the status quo in contrast to growth.

Masing-masing karakteristik tersebut, berlangsung pada suatu kontinum dari rendah ke tinggi.
Karena itu, dengan menilai organisasi berdasarkan tujuh karakteristik tersebut, akan diperoleh
gambaran majemuk dari budaya suatu organisasi. Gambaran tersebut menjadi dasar untuk
perasaan pemahaman bersama para anggota mengenai organisasi, bagaimana urusan
diselesaikan, dan cara anggota diharapkan berperilaku

Semua karakteristik budaya organisasi sebagaimana dikemukakan di atas tidak dapat dipisahkan
satu dengan yang  lainnya, artinya unsur-unsur tersebut mencerminkan budaya yang  berlaku
dalam suatu jenis organisasi, baik yang  berorientasi pada pelayanan jasa atau organisasi yang
menghasilkan produk barang.

4. Tipe Budaya Organisasi

Kotter dan Heskett (1992:15-49), berdasarkan hasil serangkaian penelitian yang dilakukannya,
mengemukakan tiga tipe budaya organisasi, yaitu budaya kuat dan budaya lemah, budaya yang
secara strategis cocok, dan budaya yang adaptif dan tidak adaptif.

Budaya kuat dan budaya lemah. Kotter dan Heskett (1992:16) menyatakan bahwa nilai-nilai,
norma-norma dan asumsi-asumsi yang terinternalisasi dan dipegang teguh oleh para anggota
organisasi dapat melahirkan perasaan tenang, committed, loyalitas, memacu kerja lebih keras,
kohesivitas,  keseragaman sasaran (goal alignment), dan mengendalikan perilaku anggota
organisasi, serta produktivitas. Logika tentang cara kekuatan budaya berhubungan dengan
kinerja meliputi tiga gagasan, yaitu 1) penyatuan tujuan. Dalam organisasi dengan budaya yang
kuat, pegawai cenderung melakukan tindakan ke arah yang sama. 2) menciptakan motivasi,
komitmen, dan loyalitas luar biasa dalam diri pegawai, dan 3) memberikan struktur dan kontrol
yang dibutuhkan tanpa harus bersandar pada birokrasi formal yang dapat menekan tumbuhnya
motivasi dan inovasi.

Budaya yang secara strategis cocok. Kotter dan Heskett (1992:22) menjelaskan pentingnya
kandungan budaya yang cocok dan serasi dengan kondisi objektif perusahaan dimana perusahaan
itu berada. Artinya, suatu budaya dikatakan baik apabila serasi dan selaras dengan konteks bisnis
dalam karakteristik lingkungan industrinya, dan segmen industrinya yang dispesifikasikan oleh
strategi perusahaan atau strategi bisnisnya. Semakin besar kecocokan dengan lingkungan, maka
semakin baik kinerjanya, sebaliknya semakin kurang kecocokannya dengan lingkungan, maka
semakin jelek kinerjanya. Dengan demikian, tidak ada kriteria umum untuk menyatakan seperti
apa hakikat budaya yang baik dan bersifat satu ukuran untuk semua, dan berfungsi baik dalam
organisasi apapun.

Kritik terhadap tipe budaya organisasi ini adalah bahwa lingkungan organisasi tidak pernah
stabil, melainkan selalu berubah, sehingga budaya yang dianggap cocok pada kurun waktu
tertentu, mungkin tidak akan cocok di waktu yang lain. Implikasinya budaya organisasi harus
selalu mengadaptasikan dirinya dengan tuntutan perubahan dari lingkungan. Karena itulah,
Kotter dan Heskett mengajukan tipe budaya adaptif dan tidak adaptif.

Budaya yang adaptif dan tidak adaptif. Kotter dan Heskett (1992:33) menjelaskan bahwa hanya
budaya  yang dapat membantu organisasi mengantisipasi dan beradaptasi dengan perubahan
lingkungan (adaptif), yang diasosiasikan dengan kinerja tinggi dalam periode waktu yang
panjang. Teori ini mengarahkan budaya organisasi untuk senantiasa bersikap adaptif dan inovatif
sesuai dengan perubahan lingkungan yang terjadi. Makna terpenting dari hasil penelitian pada
teori ketiga ini adalah bahwa perusahaan yang budayanya adaptif secara ideal para manajer pada
seluruh tingkatan organisasinya menampakkan kepemimpinan yang mempelopori perubahan
dalam strategi dan taktik kapan saja diperlukan untuk memuaskan kepentingan para pemegang
saham, pelanggan, dan para pegawainya. Sedangkan  perusahaan yang budayanya tidak adaptif
para manajer pada seluruh tingkatan organisasinya cenderung berperilaku secara hati-hati dan
politis untuk melindungi atau memajukan diri sendiri, produknya, atau kelompoknya. Perbedaan
budaya adaptif dan tidak adaptif dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 1
Budaya Organisasi yang Adaptif dan Tidak Adaptif

Budaya Adaptif Budaya Tidak Adaptif


Nilai Kebanyakan manajer sangat peduli Kebanyakan manajer
Inti akan pelanggan, pemegang saham, memperdulikan terutama diri
dan pegawainya. Mereka juga sangat mereka sendiri, kelompok kerja
menghargai orang dan proses yang terdekat mereka, atau beberapa
dapat menciptakan perubahan yang produk (teknologi) yang
bermanfaat (misalnya kepemimpinan berhubungan dengan kelompok
ke atas dan ke bawah pada hirarki kerja tersebut. Mereka menilai
manajemen) proses manajemen yang teratur dan
kurang resikonya jauh lebih tinggi
daripada inisiatif kepemimpinan
Perilaku Manajer memberi perhatian yang Para manajer cenderung
Umum cermat terhadap semua konstituensi berperilaku agak picik, politis, dan
mereka, khususnya pelanggan, birokratis. Akibatnya, mereka tidak
memprakarsai perubahan bila cepat mengubah strategi mereka
dibutuhkan untuk melayani untuk menyesuaikan diri dengan
kepentingan mereka yang sah, atau mengambil keuntungan dari
bahkan walaupun menuntut perubahan-perubahan dalam
pengambilan beberapa resiko. lingkungan bisnis mereka.

Sumber:  Kotter, John P., James L. Heskett, (1992), Corporate Culture and Performance, The
Free Press, New York.

Secara umum gambaran karakteristik budaya adaptif tercermin dari kualitas seperti
kepemimpinan, kewiraswastaan, penanggung resiko yang bijaksana, pembahasan yang jujur,
fleksibel, proaktif terhadap kehidupan organisasi dan kehidupan individu, para anggota
organisasi aktif mendukung usaha satu sama lain untuk mengidentifikasi semua masalah dan
mengimplementasikan pemecahan masalah yang dapat berfungsi, rasa percaya diri (confidence)
yang dimiliki bersama, tanpa rasa bimbang, bahwa mereka dapat menata olah secara efektif
masalah baru dan peluang apa saja yang akan mereka temui, kegairahan yang menyebar luas,
semangat dalam mencapai keberhasilan organisasi, serta para anggota organisasi reseptif
terhadap perubahan dan inovasi.

Sebagaimana halnya tipe budaya organisasi sebelumnya, tipe budaya organisasi ketigapun masih
memiliki kelemahan-kelemahan. Kelemahan yang menonjol dari teori budaya adaptif adalah
bahwa perubahan budaya dapat mendorong anggota organisasi (pemimpin) untuk mengubah
sesuatu ke arah yang salah.

Noe dan Mondy (1996:237) membedakan tipe budaya organisasi dalam dua kelompok, yaitu: 1)
open and participative culture, dan 2) closed and autocratic culture. Open and participative
culture ditandai oleh adanya kepercayaan terhadap bawahan, komunikasi yang terbuka,
kepemimpinan yang suportif dan penuh perhatian, penyelesaian masalah secara kelompok,
adanya otonomi pekerja, sharing informasi dan pencapaian tujuan yang outputnya tinggi. Closed
and autocratic culture ditandai oleh pencapaian tujuan output yang tinggi, namun pencapaian
tersebut mungkin lebih dinyatakan dan dipaksakan pada organisasi dengan para pemimpin yang
otokrasi dan kuat. Semakin besar rigiditas dalam budaya ini, yang merupakan hasil kepatuhan
yang ketat terhadap suatu mata rantai komando formal, semakin sempit pula rentang manajemen
dan akuntabilitas individual. Selain itu, karakteristik ini lebih menekankan pada individual
daripada teamwork.

Handy dalam Suryadi (2003:126) mengembangkan tipe budaya organisasi berdasarkan tingkat
formalisasi dan sentralisasi. Atas dasar konfigurasinya itu, budaya organisasi dikelompokkan
menjadi empat tipe, yaitu: 1) formalisasi tinggi, sentralisasi tinggi, 2) formalisasi rendah,
sentralisasi tinggi, 3) formalisasi tinggi, sentralisasi rendah, 4) formalisasi rendah, sentralisasi
rendah.

Formalisasi tinggi, sentralisasi tinggi. Budaya tipe ini adalah budaya birokrasi dimana semua
pekerjaan sudah diatur secara sistematis melalui berbagai macam prosedur, kalau perlu dengan
time and motion study yang cermat. Dengan demikian porsi pekerjaan anggota organisasi sudah
ditetapkan dan bersifat rutin. Formalisasi rendah, sentralisasi tinggi. Budaya  seperti ini, tidak
banyak terdapat peraturan atau prosedur. Kekuasaan tertinggi berada di tangan satu orang atau
sebuah kelompok kecil yang memberi komando dari pusat, seperti seekor laba-laba yang berada
di tengah jaringnya. Formalisasi tinggi, sentralisasi rendah. Budaya ini terdapat pada kelompok-
kelompok kerja interdisipliner yang diorganisir berdasarkan suatu tugas atau proyek. Budaya
seperti ini, cara kerja para anggota  sangat independen tetapi mereka terikat oleh berbagai
prosedur yang ketat. Formalisasi rendah, sentralisasi rendah. Budaya tipe ini sangat
decentralized dan informal. Para anggota organisasi mempunyai tujuan atau kepentingan yang
sama tetapi masih menikmati kebebasan individu yang tinggi. Budaya organisasi ini ditandai
oleh bergabungnya para ahli yang berdiri sendiri untuk bekerjasama berdasarkan kesamaan
minat dan kesenangan, seperti konsultan.

Deal dan  Kennedy (1982:330) mengemukakan empat jenis budaya perusahaan. (1) Macho
culture. Perusahaan menganut budaya ini, anggotanya harus berani mengambil risiko yang tinggi
dan akan segera menerima umpan dari manajemen mengenai tindakannya. Tampaknya budaya
ini menimbulkan persaingan internal dan menganggap konflik internal sesuatu yang wajar. (2)
Work hard – play hard. Budaya perusahaan ini ditandai oleh risiko rendah dan umpan balik yang
cepat namun budaya ini menekankan pada “keriangan” dalam bekerja serta lebih berorientasi
pada masa kini. (3) Bet – your – company. Budaya ini cenderung dianut perusahaan yang berada
pada risiko tinggi namun umpan balik terhadap pekerjaan biasanya relatif sama. Perusahaan
minyak merupakan salah satu contoh organisasi yang mungkin cocok dengan budaya ini. Budaya
ini menghargai kewenangan, kompetensi teknis, kerja sama dan tahan stress. (4) Process culture.
budaya ini tercermin pada risiko rendah dan umpan balik lambat. Nilai-nilai yang dianut adalah
protektif, dan keberhati-hatian. Perusahaan asuransi banyak menganut budaya ini.

Harrison (1972) dalam Poespadibrata (1983:222) membedakan empat orientasi budaya


organisasi yang terpisah dan bertentangan satu sama lain, yaitu (1) orientasi kekuasaan (power
orientation), (2) orientasi peran (role orientation), (3) orientasi tugas (task orientation), dan (4)
orientasi person (person orientation).

Orientasi kekuasaan.  Budaya ini menekankan kepada bagaimana lingkungan eksternal  dikuasai
dan ditundukkan dan dicirikan oleh norma-norma: bersaing untuk menjaga wilayah
kekuasaannya, berusaha memperluas kekuasaannya dengan merugikan orang lain, membeli dan
menjual organisasi dan atau orang seperti barang komoditi, tidak memperdulikan nilai-nilai
kemanusiaan dan kesejahteraan anggota, hukum rimba masih berlaku, mengejar keuntungan
pribadi diantara para eksekutif organisasi.

Budaya organisasi yang berorientasi kekuasaan memiliki beberapa kelemahan. Pertama, tidak
adaptif terhadap lingkungan yang perubahannya sangat dinamis dan menuntut respons yang
fleksibel. Hal ini antara lain disebabkan oleh keputusan yang diambil pada tingkat top
manajemen harus disalurkan melalui hirarki organisasi untuk menjaring informasi yang “tidak
sesuai”. Proses penyaringan informasi itu, biasanya akan memperlambat respons organisasi pada
perubahan lingkungan yang sangat cepat. Dapat juga terjadi “pemutarbalikan” informasi untuk
kepentingan pribadi. Kedua, biasanya  hanya sejumlah kecil anggota organisasi yang agresiflah
yang mendapat kesempatan untuk mengembangkan kariernya ke tingkat yang paling tinggi.
Ketiga, tidak memberikan peluang kepada para anggota lainnya untuk mengembangkan dan
memanfaatkan kontribusi internal, inisiatif atas dasar pertimbangan anggota itu sendiri.
Keempat, pada saat organisasi semakin besar dan kompleks, biasanya pengendalian dari
pimpinan tertinggi akan semakin sulit.

Di samping memiliki kekurangan, budaya organisasi yang berorientasi kekuasaan juga memiliki
beberapa kelebihan. Pertama, struktur dan proses pengambilan keputusan  pada organisasi
semacam ini, biasanya sangat efektif  bagi pemecahan masalah yang menuntut keputusan segera
dan berisiko tinggi.  Dalam situasi seperti itu, biasanya pula akan muncul pemimpin-pemimpin
agresif dan dapat memimpin organisasi dalam lingkungan yang penuh resiko dan persaingan
tinggi. Kedua, jika permasalahan yang muncul dapat dipecahkan oleh satu atau sekelompok kecil
orang di pucuk pimpinan, maka budaya yang berorientasi kekuasaan akan berjalan lancar.
Ketiga, dapat berfungsi efektif bagi para anggota organisasi yang hanya sekedar ingin hidup dan
mengutamakan keselamatan.
Orientasi peran. Budaya organisasi semacam ini sering disebut juga sebagai budaya birokrasi
yang merupakan reaksi terhadap budaya yang berorientasi kekuasaan. Orientasi budaya ini
ditandai antara lain oleh persaingan dan konflik diatur atau diganti oleh kesepakatan atau
perjanjian; adanya peraturan dan prosedur; hak dan kewajiban diberikan dan ditaati secara
cermat; keterikatan yang besar pada hierarki/status/kedudukan diubah menjadi keterikatan pada
keabsahan kewenangan dan peraturan; kemantapan dan kehormatan sering dinilai setara dengan
kemampuan; respons yang benar cenderung lebih dihargai dari pada respons yang efektif;
prosedur untuk perubahan cenderung tidak praktis dan lambat untuk menyesuaikan dengan
perubahan lingkungan. Dengan demikian, esensi budaya semacam ini didasarkan kepada
keinginan untuk berpikir secara rasional dan setertib mungkin atas dasar hukum, keabsahan,
kewenangan, hak, dan kewajiban yang dapat dipertanggungjawabkan. Implikasinya, tidak ada
pilihan bagi anggota organisasi, khalayak atau klien ketika berhubungan dengan organisasi
semacam ini. Contoh fenomena budaya semacam ini dapat dijumpai pada organisasi-organisasi
perbankan, asuransi dan organisasi-organisasi non profit.

Terdapat beberapa kelemahan budaya berorientasi peran.  Pertama, sebagaimana halnya budaya
orientasi kekuasaan, budaya orientasi peran juga dipandang tidak fleksibel dalam mengantisipasi
perubahan lingkungan. Alasannya bahwa ketertiban, keteraturan, kemantapan dan keamanan
(prosedur) yang merupakan nilai-nilai yang dianut dalam orientasi budaya peran, lebih
diandalkan sehingga secara otomatis akan melahirkan peran-peran dan struktur yang kaku dan
hubungan birokratis. Akibatnya akan terbentuk stabilitas yang kaku sehingga para pemimpin
yang memiliki kekuasaan pun tidak  akan berdaya untuk menghasilkan perubahan yang
dibutuhkan dengan cepat. Kedua, kurang mampu beradaptasi dalam menghadapi ancaman yang
mendadak dan meningkat, akibat terlalu mengandalkan prosedur operasional yang sudah mapan.
Sedangkan kelebihannya adalah pertama, sangat efektif untuk organisasi yang sudah besar dan
kompleks. Kedua, memudahkan pimpinan tertinggi untuk melakukan pengendalian secara
efektif. Ketiga, memberikan pedoman kerja yang jelas berupa peraturan dan prosedur, yang
memberikan kemungkinan terbentuknya integrasi internal tanpa intervensi aktif dari pimpinan
tertinggi.

Orientasi tugas. Budaya organisasi semacam ini didasarkan kepada asumsi bahwa pencapaian
tujuan yang paling tinggi (super ordinate goals) merupakan prioritas utama dan dinilai tinggi.
Karena itu, struktur organisasi, fungsi dan kegiatan selalu dinilai  berdasarkan signifikansinya
terhadap pencapaian tujuan yang gradasinya paling tinggi. Budaya semacam ini antara lain
ditandai oleh tidak ada yang boleh menghalangi penyelesaian tugas dalam rangka pencapaian
tujuan; mekanisme organisasi (peraturan, struktur, prosedur) yang tidak efektif bagi pemecahan
masalah selalu diubah untuk memenuhi kebutuhan akan tugas dan fungsi yang dijalankan;
wewenang dianggap sah hanya jika didasarkan pada pengetahuan dan kompetensi yang tepat;
tidak ada sifat kompetitif yang melekat pada budaya orientasi tugas; fleksibilitas organisasi
sangat tinggi  dalam merespon perubahan-perubahan lingkungan; pencapaian tujuan dan
kesamaan nilai-nilai yang dianut selalu menjadi acuan dalam setiap proses kerjasama.

Budaya semacam ini biasanya akan cocok bila dihadapkan kepada lingkungan yang tidak hanya
kompleks dan dinamis tetapi perubahannya sangat cepat. Strategi yang diterapkan  biasanya
dengan cara membentuk satuan-satuan tugas atau tim-tim kecil yang terdiri atas para ahli yang
kompeten dalam bidangnya masing-masing. Satuan tugas atau tim yang dibentuk tidak bersifat
permanen melainkan bergantung kepada kebutuhan. Karena itu, ketika satuan tugas sudah selesai
menjalankan misinya, biasanya satuan tugas tersebut dibubarkan dan para anggotanya bergabung
dengan satuan-satuan tugas yang baru untuk memecahkan masalah-masalah yang baru pula.
Persoalan yang dihadapi budaya organisasi berorientasi peran biasanya terlalu mengandalkan
komitmen penuh dari para anggota organisasi di semua jenjang organisasi.

Kelebihan dari orientasi budaya tugas antara lain, pertama, sangat  fleksibel dalam menghadapi
dinamika perubahan lingkungan yang kompleks dan cepat. Kedua, menciptakan sistem
pengendalian yang lentur, sehingga memudahkan peralihan dengan cepat bila sumber daya yang
berbeda diperlukan atas dasar masalah-masalah eksternal. Sedangkan kelemahannya adalah 
pertama, mengandalkan komitmen penuh dari para anggota organisasi di semua tingkatan,
sehingga terkadang memerlukan waktu yang lama untuk merespon suatu perubahan. Kedua, sulit
membina kohesi internal, akibat oleh sifat kesementaraan dari satuan-satuan tugas atau tim yang
dibentuk. Sementara itu, kohesi internal memerlukan koordinasi kegiatan dan struktur yang
berkesinambungan dan stabil.

Secara umum budaya yang berorientasi tugas ini akan mudah ditemukan pada organisasi-
organisasi kecil, dimana para anggotanya terhimpun karena adanya nilai, tugas, atau tujuan
bersama. Sedangkan pada organisasi besar yang berteknologi tinggi biasanya banyak ditemukan
pada organisasi-organisasi industri (manufaktur).

Orientasi orang. Orientasi budaya ini didasarkan kepada asumsi bahwa organisasi dipandang atau
dinilai sebagai sarana bagi para anggotanya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka yang
tak dapat dipenuhi jika dilakukan secara sendiri-sendiri. Karena itu, dapat dikatakan bahwa
keberadaannya dibentuk secara khusus untuk orang-orang dengan motif dan kebutuhan akan
kemandirian yang mampu mengekspresikan dirinya sendiri. Kebutuhan-kebutuhan pribadi
biasanya akan terpenuhi dalam organisasi yang orientasi budayanya pada person. Ciri budaya
organisasi yang berorientasi pada person ditandai oleh: kewenangan bila diperlukan dapat
diserahkan kepada seseorang selama dinilai cakap dan ahli untuk menjalankan kewenangannya,
sebagai gantinya para anggota diharapkan akan saling mempengaruhi lewat keteladanan, sikap
saling menolong dan kepedulian; metode musyawarah untuk mufakat lebih disukai dalam
pengambilan keputusan: secara umum, para anggota organisasi tidak diharapkan melakukan hal-
hal yang bertentangan dengan tujuan dan nilai mereka sendiri; aturan diberlakukan atas dasar
kesukaan pribadi dan kebutuhan untuk belajar dan berkembang; beban tugas yang tidak
memberikan imbalan dan tak menyenangkan ditanggung bersama.

Organisasi yang berorientasi pada budaya semacam ini, pada kenyataannya sangat jarang.
Kalaupun ada, biasanya muncul dalam bentuk biro-biro konsultan atau bantuan yang relatif kecil
dan biasanya bergerak di bidang arsitektur, hukum, dan sosial.  Kelebihan organisasi yang
berorientasi person diantaranya: pertama, mampu beradaptasi terhadap dinamika perubahan.
Mengingat, struktur  pada organisasi budaya seperti ini memiliki struktur yang lentur dan jalur
komunikasi serta pengendalian yang pendek. Kedua, para anggota organisasi cenderung
mempunyai komitmen dan tingkat kepedulian yang tinggi terhadap organisasi. Sedangkan
kelemahannya biasanya kesulitan dalam mengerahkan dan mengarahkan kegiatan para
anggotanya secara bersama-sama untuk menghadapi resiko.
5. Fungsi Budaya Organisasi

Para ahli sepakat bahwa secara pragmatis budaya organisasi memiliki fungsi yang sangat
strategis bagi kehidupan organisasi.  Kreitner dan Kinicki (2003:72-75) mengemukakan
pentingnya budaya organisasi atas dasar empat alasan, yaitu: “(1) give members an
organizational identity, (2) facilitate collective commitment, (3) promote social system stability,
(4) shape behavior by helping members make sense of their surroundings.

Budaya organisasi menurut Noe dan Mondy (1996:145), berfungsi untuk (1) memberikan sense
of identity kepada para anggota organisasi untuk memahami visi, misi, serta menjadi bagian
integral dari organisasi, (2) menghasilkan dan meningkatkan komitmen terhadap misi organisasi,
(3) memberikan arah dan memperkuat standar perilaku untuk mengendalikan pelaku organisasi
agar melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya secara efektif dan efisien untuk mencapai
tujuan dan sasaran organisasi yang telah disepakati bersama.

Siagian (2002:199) memaparkan lima fungsi penting budaya organisasi, yaitu (1) penentu batas-
batas berperilaku, (2) menumbuhkan kesadaran tentang identitas sebagai organisasi, (3)
penumbuhan komitmen, (4) pemeliharaan stabilitas organisasional, dan (5) mekanisme
pengawasan.

Robbins (2001:294) mengemukakan fungsi budaya dalam suatu organisasi yaitu (1) budaya
mempunyai suatu peran menetapkan tapal batas, artinya budaya menciptakan perbedaan yang 
jelas antara suatu organisasi dengan organisasi lainnya; (2) budaya membawa suatu rasa identitas
bagi anggota-anggota organisasi; (3) budaya mempermudah timbulnya komitmen pada sesuatu
yang  lebih luas dari kepentingan diri individu seseorang; (4) budaya untuk meningkatkan
kemantapan sistem sosial; dan (5) budaya berfungsi sebagai mekanisme pembuat makna dan
kendali yang  memandu dan membentuk sikap serta perilaku para pegawai.

Dengan demikian dapat dikatakan, fungsi budaya organisasi adalah normatif, etis, dan ideologis
yang membantu para anggota organisasi tentang bagaimana berpikir, merasakan, dan berperilaku
secara benar dan tepat.

Daftar Rujukan

1. Davis, A., (1984). Managing Corporate Culture. Cambridge, MA : Belinger.


2. Gibson, James L., John M. Ivancevich dan James H. Donnelly, Jr. (1996). Organisasi,
Perilaku, Struktur, Proses, (Alih Bahasa Nunuk Adiarni), Penerbit Binarupa Aksara,
Jakarta.
3. Hofstede, G., (1991), Cultures and Organizations: Software of The Mind, McGraw-Hill
Book Company, London.
4. Kennedy, Allan A. & Deal Terrence. E, (1982), Strong Cultures : The New “Old Rule”
for Bussiness Success, Wesley Publishing Company, P: 327-335.
5. Kotter, John P., James L. Heskett, (1992), Corporate Culture and Performance, The Free
Press, New York.
6. Kreitner, Robert & Kinicki, Angelo. (2003). Perilaku Organisasi. Edisi Bahasa
Indonesia, Jakarta : Salemba Empat.
7. Luthans, Fred. (1998). Organization Behavior. International Edition, Sixth Edition, Mc
Graw-Hill, Singapore.
8. Mondy, R. Wayne, Robert M. Noe, (1993). Human Resources Management. Allyn and
Bacon Inc, USA.
9. Pace, R. Wayne & Faules, Don F. (1994). Organizational Communication. Third Edition.
New Jersey:  Prentice Hall, Englewood Clifs.
10. Poespadibrata, Sidharta. (1993). Sistem Nilai, Kepercayaan dan Gaya Kepemimpinan
Manajer Madya dalam Konteks Budaya organisasional. Disertasi. Bandung: Program
Pascasarjana UNPAD
11. Robbins, Stephen P., (2001), Organizational Behavior, New Jersey: Pearson Education
International
12. Sackman, Sonja. (1991). Culture Knowledge In Organization. Newbury Park. Calif.
Sage.
13. Schein, Edgar H. (1992). Organizational Culture and Leadership. San Francisco: Jossey
Bass, Pub.
14. Sharplin, A., (1995), Strategic Management, McGraw-Hill, New York.
15. Siagian, Sondang, P. (1992). Kerangka Dasar Ilmu Administrasi. Jakarta: PT Rineka
Cipta
16. Stoner, James A. F. & Edward Freeman, Daniel R. Gilbert, Jr. (1996). Manajemen. Edisi
Indonesia, Alih Bahasa Alexander Sindoro, PT. Prehallindo, Jakarta.
17. Suryadi, Edi. (2003). Pengaruh Sistem Komunikasi Organisasi terhadap Efektivitas
Organisasi. Disertasi. Bandung: Program Pascasarjana UNPAD
18. Susanto A. B.  (1997). Budaya Perusahaan: Manajemen dan Persaingan Bisnis. Jakarta:
PT. Elex Media Komputindo.

19. Penelitian ini dilakukan terhadap 75 karyawan PT. EWS Oilfield Services, dengan tujuan
untuk mengetahui pengaruh budaya organisasi dan komitmen organisasional (dalam hal
ini disebut variabel bebas) terhadap kepuasan kerja karyawan (variabel terikat). Analisis
data pada penelitian ini menggunakan regresi ganda. Hasil penelitian menunjukkan
adanya pengaruh yang signifikan dari variabel bebas terhadap variabel terikat.
Berdasarkan perhitungan, diketahui pula bahwa rerata skor empirik dari tiap skala yang
dibagikan pada subjek menunjukkan bahwa subjek memiliki skor diatas rata-rata pada
tiap variabel yang diteliti. Baik budaya organisasi, komitmen organisasional maupun
kepuasan kerja dikategorikan cukup tinggi.

20. Kata Kunci : budaya organisasi, komitmen organisasional, kepuasan kerja, regresi ganda.

21. BAB I
PENDAHULUAN

22. A. Latar Belakang Masalah

23. Dalam organisasi industri, dikenal berbagai sumber daya yang dapat digunakan untuk
mencapai tujuan organisasi seperti manusia atau tenaga kerja, material, mesin, metode,
uang dan pasar. Sebelum ilmu pengetahuan maupun teknologi berkembang dengan pesat,
terutama manajemen, para pekerja dipandang sebagai alat produksi semata. Namun akhir-
akhir ini, pekerja telah dipandang sebagai sumber dayayang sangat penting dan perlu
mendapat perhatian khusus serta mendalam. Bagaimanapun baiknya organisasi,
lengkapnya sarana dan fasilitas kerja, semuanya tidak akan mempunyai arti tanpa adanya
manusia yang mengatur, menggunakan dan memeliharanya. Oleh karena itu, manusia
merupakan salah satu unsur pokok yang menentukan tercapainya tujuan organisasi
(Syaifudi, 1988).
Organisasi sebagai wadah bagi sumber daya manusia, terbentuk karena adanya
koordinasi dari sejumlah kegiatan manusia. Organisasi perusahaan terdiri dari kelompok-
kelompok tenaga kerja yang bekerja saling berinteraksi dalam suatu struktur tertentu.
Interaksi antar kelompok-kelompok kerja ini adalah untuk mencapai tujuan perorangan
dalam organisasi, yaitu tercapainya hasil.
Dalam organisasi perusahaan, tidak semua pekerja atau karyawan bekerja secara optimal.
Hal ini tampak bahwa tidak semua karyawan dapat melaksanakan tugasnya dengan baik
sepertiyang diharapkan oleh perusahaan. Oleh karena itu penting bagi perusahaan untuk
meningkatkan kepuasan kerja agar karyawan dapat bekerja secara optimal sehingga
tujuan-tujuan organisasi dapat tercapai.
Kondisi kepuasan kerja yang rendah dapat menyebabkan karyawan bosan dengan tugas-
tugasnya, cepat atau lambat tidak dapat diandalkan, menjadi mangkir atau buruk prestasi
kerjanya (Kussriyanto, 1991). Jhons (2001) juga mengemukakan hal serupa apabila
karyawan merasa tidak puas, konsekuensinya, merekaakan berpikir untuk berhenti
bekerja, mengevaluasi perlunya mencari pekerjaan baru dan mengevalusi kerugian-
kerugian apabila berhentidari pekerjaan, berniat untuk mencari alternatif pekerjaan lain,
sampai pada akhirnya mengambil tindakan untuk berhenti dari pekerjaan mereka.
Sebaliknya, apabila karyawan memperoleh kepuasan kerja maka akan mempengaruhi
kondisi kerja yang positif dan dinamis. Kondisi kerja yang dinamis ditunjukkan pada
pekerjaan yang memberi kesempatan bagi individu untuk berpikir kreatif, memiliki
kebebasan dalam bekerja dan memiliki kontrol terhadap pekerjaannya.
Salah satu hal yang menjadi indikator rendahnya kepuasan kerja adalah kemangkiran.
Menurut Robbins (2003) masuk akal bahwa karyawan yang tidak puas besar
kemungkinannya untuk tidak masuk kerja. Perilaku terlambat datang ketempat kerja dan
tidak masuk kerja dianggap sebagai perilakuyang tidak efisien bagi perusahaan, hal ini
tentu saja menimbulkan kerugian bagi perusahaan.
Kepuasan kerja merupakan sikap karyawan terhadap pekerjaan yang didasarkan pada
aspek-aspek pekerjaan. Smith, Kendall dan Hulin (dalam Luthans, 1992) menyebutkan
dimensi kerja yang mempengaruhi kepuasan kerja dapat dikelompokkan menjadi lima,
yaitu pekerjaan itu sendiri, kesempatan promosi, pengawasan, dan rekan kerja.
Kepuasan karyawan berhubungan dengan sistem nilai dari masyarakat tempat perusahaan
itu berada. Seorang manajer sebuah perusahaan bisa saja gagal total, kalau tidak mengerti
nilai budaya masyarakat kerjayang menjadi patnernya dalam bekerja (Amir, 2002). Oleh
karena itu, keberhasilan suatu organisasi mencapai tujuannya tidak hanya ditentukan oleh
hal-halyang kasat mata (tangible), seperti struktur organisasi, laporan keuangan, aset,
gedung dan sebagainya, melainkan juga oleh hal-hal yang tidak kasat mata (intangible)
(Moeljono, 2003). Salah satu hal yang tidak kasat mata tersebut adalah budaya
organisasi.
Budaya organisasi merupakan apa yang dipersepsikan oleh para karyawan dan bagaimana
persepsi ini menciptakan pola-pola kepercayaan, nila-nilai, dan harapan-harapan
(Ivancevich dan Matteson, 1999). Karyawan sebagai bagiandari organisasi perusahaan
akan mempersepsikan nilai-nilai budaya organisasi yang ada di perusahaan, apakah nilai-
nilai perusahaan sesuai dengan nilai-nilai individu.
Adanya kesesuaian antara nilai pribadi dengan nilai perusahaan akan menimbulkan
kepuasaan kerja. Lebih jauh diungkapkan bahwa budaya organisasi membantu
perkembangan pemberdayaan karyawan dan rasa percaya pada pihak manajemen
sehingga berhubungan dengan kepuasan kerjayang tinggi dan besarnya komitmen
organisasional (Laschinger, Finegan, Shamian dan Casier; Laschinger et al. dalam
Simmons, 2005). Hal ini juga diungkapkan oleh Locke (dalam Riyono, 1996) yang
menyatakan bahwa kepuasan kerja sangat berkaitan dengan nilai-nilai yang
dipresentasikan melalui budaya organisasi yang dimiliki perusahaan.
Beberapa penelitian mengemukakan bahwa komitmen karyawan pada organisasi
berkorelasi positif dengan kepuasan kerja. Dalam suatu studi meta-analisis ditemukan
bahwa rata-rata korelasi antara kepuasan kerja dan komitmen organisasional sebesar 0.59.
Korelasi yang tinggi ini mengindikasikan bahwa kepuasan kerja merupakan prediktor
yang kuat terhadap komitmen organisasional dari para pekerjanya dalam aneka ragam
industri dan lingkungan kerja (Mathieu dan Zajac dalam Simmons, 2005).
Kepuasan kerja berpengaruh terhadap komitmen organisasional, yang selanjutnya akan
mempengaruhi produktivitas, kualitas, dan pelayanan. Apabila karyawan berkomitmen
pada organisasi, para karyawan mungkin akan bekerja lebih produktif. Karyawan yang
berkomitmen terhadap organisasi lebih mungkin untuk mendapatkan kepuasan yang lebih
besar. Karyawan yang tidak puas akan pekerjaannya atau kurang berkomitmen pada
organisasi akan terlihat menarik diri dari organisasi melalui ketidakhadiran dan turnover
(tingkat keluar masuknya karyawan) (Mathis dan Jackson, 2001).
Komitmen organisasional merupakan tingkat kepercayaan dan penerimaan tenaga kerja
terhadap tujuan organisasi dan mempunyai keinginan untuk tetap ada di dalam organisasi
tersebut. Pengukuran komitmen organisasional, biasanya berdasarkan pada komponen-
komponen komitmen afektif (affective commitment), komitmen kontinuan (continuance
commitment), dan komitmen normatif (normative commitment) (Meyer dan Allen dalam
Baron dan Greenberg, 1997).
Penelitian tentang kepuasan kerja telah banyak dilakukan. Akan tetapi, pada penelitian ini
peneliti tertarik meneliti pada perusahaan tambang, yaitu perusahaan minyak bumi.
Perusahaan minyak lokal di Indonesia sedikit jumlahnya. Selain itu, karyawanyang
bekerja di perusahaan minyak lekat dengan citra kepuasan kerja yang tinggi. Hal ini
dikarenakan citra yang melekat adalah bahwa karyawan digaji tinggi oleh perusahaan,
jaminan kesehatan yang memadai, cuti 30 hari dalam setahun, dan lain sebagainya. Hal-
hal inilah yang menjadi ketertarikan penelitian ini dilakukan.
Berdasarkan hal-hal diatas, peneliti tertarik untuk menguji :
Apakah terdapat pengaruh antara budaya organisasi dan komitmen organisasional
terhadap kepuasan kerja?

24. B. Tujuan Penelitian

25. Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh budaya organisasi dan komitmen
organisasional terhadap kepuasan kerja.
26. C. Manfaat Penelitian

27. Penelitian ini diharapkan memiliki dua manfaat, yaitu:


1. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan strategis untuk menentukan
kebijakan yang berlaku dan pola pendekatan bagi organisasi industri atau perusahaan
mengenai budaya organisasi dan komitmen organisasional sehingga dapat meningkatkan
kepuasan kerja karyawan.
2. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan yang bermanfaat bagi
perkembangan ilmu psikologi industri dan organisasi serta dapat digunakan sebagai
pedoman didalam penelitian lebih lanjut terutama untuk mengkaji variabel-variabel lain
yang berhubungan dengan budaya organisasi, komitmen organisasional dan kepuasan
kerja.

. Latar Belakang Masalah


Penyelenggarakan pendidikan secara baik, tertata dan sistimatis hingga proses yang terjadi didalamnya
dapat menjadi suatu sumbangan besar bagi kehidupan sosial masyarakat. Dalam hal ini sekolah sebagai
suatu institusi yang melaksanakan proses pendidikan dalam tataran mikro menempati posisi penting,
karena di lembaga inilah setiap anggota masyarakat dapat mengikuti proses pendidikan dengan tujuan
mempersiapkan mereka dengan berbagai ilmu dan keterampilan agar lebih mampu berperan dalam
kehidupan masyarakat.
Sekolah sebagai institusi pendidikan merupakan tempat proses pendidikan dilakukan yang memiliki
sistem yang komplek dan dinamis. Dalam kaitannya, sekolah adalah tempat yang bukan hanya sekedar
tempat untuk berkumpul guru dan murid serta civitas yang lainnya, melainkan berada pada suatu
tatanan yang rumit dan saling berkaitan. Oleh karena itu sekolah dipandang sebagai suatu Oraganisasi
yang memerlukan pengelolaan yang lebih sungguh-sungguh dan lebih baik sehingga tujuan dapat dapat
tercapai dengan mutu yang baik.
Penyelenggara pendidikan yang berkualitas atau bermutu dapat ditunjukkan oleh kemampuan dalam
menciptakan proses pendidikan atau proses manejemen sekolah yang efektif dan efisien, oleh karena itu
sumber daya yang ada harus betul-betul professional, sehingga sumber daya manusia pendidikan dapat
diberdayakan secara optimal.
Salah satu usaha untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia ialah melalui proses pembelajaran
di sekolah. Dalam usaha meningkatkan kualitas sumber daya pendidikan, guru merupakan komponen
sumber daya manusia yang harus dibina dan dikembangkan terus-menerus.
Atas dasar tujuan dan alasan di atas, maka kebijakan pemerintah tentang manajemen berbasis sekolah
membawa angin segar bagi para guru untuk melakukan kebebasan akademis dalam meningkatkan
kualitas pembelajaran di kelas. Permasalahan yang timbul sekarang adalah bahwa iklim kerja guru
merupakan kontribusi terhadap proses pembelajaran yang kurang dikembangkan, bahkan guru belum
mengenalnya.
Apabila guru/pendidik bekeinginan untuk meningkatkan kualitas pendidikan, maka dapat dimulai
dengan memperbaiki iklim kelasnya dan untuk itu telah terbuka kesempatan bagi guru dan kepala
sekolah untuk mengkreasi suasana yang lebih intensif dalam sistem yang lebih “demokratis”.
Menurut Bloom dalam Hadiyanto mendefinisikan iklim dengan kondisi, pengaruh dan rangsangan dari
luar yang meliputi pengaruh fisik sosial dan intelektual yang dipengaruhi peserta didik. Iklim kelas adalah
aspek sosial informal dan aktivitas guru kelas yang secara spontan mempengaruhi tingkah laku. Iklim
dapat juga dikatakan seperti hanya “kepribadian” pada manusia. Artinya, masing-masing kelas
mempunyai ciri (kepribadian) yang tidak sama dengan kelas-kelas yang lain meskipun kelas itu dibangun
dengan fisik dan bentuk atau arsitektur yang sama,
Jadi yang dimaksud dengan iklim kerja adalah segala situasi yang muncul akibat hubungan antara guru
dengan guru, peserta didik dengan peserta didik atau hubungan antara peserta didik dengan guru yang
menjadi ciri khusus dari kelas dan mempengaruhi proses belajar mengajar. Situasi dalam hal ini dapat
dibagi menjadi beberapa skala yaitu kekompakan, kepuasan, kecepatan, formalitas, kesulitan dan
demokrasi dari kelas.
Selanjutnya produktivitas kerja guru bukan semata-mata ditujukan untuk mendapatkan hasil kerja
sebanyak-banyaknya, melainkan kualitas unjuk kerja juga penting di perhatikan. Kinerja guru dapat
dilihat dari apa yang dilakukannya tersebut dalam kerjanya, yakni bagaimana guru melakukan pekerjaan
atau unjuk kerjanya.
Dalam hal ini, prodiktivitas kerja guru dapat ditinjau berdasarkan tingkatannya dengan tolak ukur
masing-masing, yang dilihat dari kinerja tenaga kependidikan. Kinerja dapat diartikan sebai prestasi
kerja, pelaksanaan kerja, pencapaian kerja hasil kerja atau unjuk kerja. Mengapa dewasa ini sekolah
tertinggal dari lembaga lainnya Padahal sekolah sebagai institusi sosial merupakan agen perubahan di
masyarakat.
Apakah karena adanya ketidakmampuan pendidikan untuk mengantisipasi perubahan sosial yang bakal
terjadi. Bagaimanapun, lembaga pendidikan perlu sekali untuk mampu mengelola perubahan. Jika tidak,
lembaga pendidikan akan tergilas oleh perubahan yang ada, lalu tertinggal dan diabaikan konstituennya.
Para pemimpin lembaga yang ingin mengarahkan organisasi mereka kedalam dunia baru harus
memahami dinamika perubahan dan dapat menyediakan keterampian untuk mengelola perubahan
karena itu perubahan pengetahuan manajemen adalah teknologi kunci yang berguna bagi pemimpin
pendidikan untuk mengarahkan perubahan kualitatif yang berhasil di sekolah.
Tak ada alasan lain untuk mengabaikan pengelolaan lembaga pendidikan di abad ke-21 ini. Dengan kata
lain pendidikan sebagai satu kegiatan fundamental manusia benar-benar memerlukan upaya
pengelolaan terencana, terarah, terorganisir dan terpadu. Hal ini penting dilakukan karena pendidikan
merupakan kegiatan yang berorientasi ke arah masa depan.
Untuk itu diperlukan sikap proaktif dan progresif para pengelola pendidikan agar mau menerapkan
prinsip-prinsip dan teori-teori manajemen dalam aktivitas pengelolaan pendidikan yang dilaksanakan di
setiap sekolah sebagai salah satu ciri profesionalismenya. Lalu apakah yang dapat mendukung
keberhasilan restrukturisasi ?, Salah satu variabel penting adalah tersedianya iklim kerja yang baik dalam
pendidikan. Para guru perlu meningkatkan kinerjanya dengan manajemen yang efektif.
Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa kinerja itu sendiri mencakup penyusunan rencana pembelajaran,
pelaksanaan interaksi belajar mengajar, penilaian prestasi belajar didik, pelaksanaan tindak lanjut hasil
penilaian peserta didik, pengembangan propesi, pemahaman wawasan penguasaan bahan kajian
akademik.
Sekolah juga merupakan sarana yang sangat penting dalam upaya menciptakan suberdaya manusia yang
andal dan terampil. Melalui pendidikan diharapkan manusia mengalami perubahan pengetahuan,
keterampilan, dan perilaku sebagai modal dalam menjalani kehidupannya. Sekolah sebagai lembaga
pendidikan formal mengemban tugas yang tidak ringan dalam menyiapkan sumberdaya manusia yang
diharapkan. “Namun, kini sekolah mengalami tantangan besar yakni adanya sikap apriori masyarakat
yang menganggap hasil pendidikan kurang bermutu” (Permadi, 2001: 49). Menurut Mulyasa (2004: 5)
“Berbagai faktor menunjukan bahwa pendidikan yang ada belum mampu menghasilkan sumberdaya
manusia yang sesuai dengan perkembangan masyarakat, dan kebutuhan pembangunan, meskipun
kondisi yang ada sekarang belum sepenuhnya kesalahan pendidikan”.
Sekolah merupakan sebuah organisasi yang tidak bisa lepas dari budaya yang diciptakannya. Sekolah
yang berprestasi merupakan dambaan setiap komponen masyarakat, dan menaruh perhatian besar
terhadap kuantitas dan kualitas output sekolah yang dihasilkan. Dalam kondisi seperti ini jelas sulit
diharapkan untuk mewujudkan sekolah berprestasi, banyak masalah yang diidentifikasi oleh Mukhtar
dkk (2003) yang harus dihadapi oleh organisasi sekolah. Pertama adalah guru, dalam hal ini yang
memiliki kecerdasan dan intelegensi, emosional spiritual, dan moral dalam mendidik, akan menghadapi
kendala dalam melaksanakan tugasnya disebabkan karena kurangnya perhatian sekolah terhadap
kesejahteraan guru. Kedua kurangnya fasilitas pengajaran yang mendukung guru melakukan inovasi
pada aktivitas pembelajarannya. Ketiga, kurangnya kejelasan tugas-tugas yang diemban, atau mungkin
terlalu banyaknya tugas yang diberikan kepadanya, sementara tenaga yang tersedia sangatlah terbatas.
Keempat, adalah biaya. Kelima adalah kurang tersedianya sarana fasilitas pendukung seperti tenaga
administrasi, laboratorium dan perpustakaan.
Berkaitan dengan terwujudnya sekolah berprestasi, hal itu tidak terlepas dari efektifnya kinerja guru
yang berada di organisasi sekolah tersebut. Kinerja guru pada dasarnya terfokus pada perilaku guru di
dalam melaksanakan program kerja untuk mencapai tujuan tersebut. Sedangkan perihal Kinerja guru
dapat dilihat sejauh mana kinerja tersebut dapat memberikan pengaruh kepada anak didik. Secara
spesifik tujuan kinerja juga mengharuskan para guru membuat keputusan khusus dimana tujuan
pembelajaran dinyatakan dengan jelas dalam bnetuk tingkah laku yang kemudian ditransfer kepada
peserta didik.
Pada konteks guru sebagai anggota organisasi sekolah akan lebih mudah mencapai kinerja yang tinggi
jika ia mempunyai perilaku dan komitmen. Menyadari bahwa dirinya tidak hanya sebagai anggota dari
organisasi sekolah tetapi juga paham terhadap tujuan organsiasi sekolah tersebut. Dengan demikian
seorang guru akan dapat memahami sasaran dan kebijaksanaan organisasi yang pada akhirnya dapat
berbuat dan bekerja sepenuhnya untuk keberhasilan program kerja organisasi sekolah. Apabila seorang
individu dapat memahami sasaran dan kebijaksanaan organisasi, dengan kata lain pengembangan
budaya organisasi diharapkan dapat menimbulkan komitmen guru untuk tujuan dimaksud.
Peran budaya organisasi sekolah adalah untuk menjaga dan memelihara komitmen sehingga
kelangsungan mekanisme dan fungsi yang telah disepakati oleh organisasi dapat merealisasikan tujuan-
tujuannya. Budaya organisasi yang kuat akan mempengaruhi setiap perilaku. Hal itu tidak hanya
membawa dampak pada keuntungan organisasi sekolah secara umum, namun juga akan berdampak
pada perkembangan kemampuan dan kinerja guru itu sendiri. Nilai-nilai budaya yang ditanamkan
pimpinan akan mampu meningkatkan kemauan, kesetiaan, dan kebanggaan serta lebih jauh terciptanya
Produktivitas kerja guru.
Di sekolah terjadi interaksi yang saling mempengaruhi antara individu dengan lingkungannya, baik
lingkungan fisik maupun sosial. Lingkungan ini akan dipersepsi dan dirasakan oleh individu tersebut
sehingga menimbulkan kesan dan perasaan tertentu. Dalam hal ini, sekolah harus dapat menciptakan
suasana lingkungan kerja yang kondusif dan menyenangkan bagi setiap anggota sekolah, melalui
berbagai penataan lingkungan, baik fisik maupun sosialnya. Moh. Surya (1997) menyebutkan bahwa:
“Lingkungan kerja yang kondusif baik lingkungan fisik, sosial maupun psikologis dapat menumbuhkan
dan mengembangkan motif untuk bekerja dengan baik dan produktif. Untuk itu, dapat diciptakan
lingkungan fisik yang sebaik mungkin, misalnya kebersihan ruangan, tata letak, fasilitas dan sebagainya.
Demikian pula, lingkungan sosial-psikologis, seperti hubungan antar pribadi, kehidupan kelompok,
kepemimpinan, pengawasan, promosi, bimbingan, kesempatan untuk maju, kekeluargaan dan
sebagainya“.
Dalam konteks Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS, Depdiknas (2001)
mengemukakan bahwa salah satu karakterististik MPMBS adalah adanya lingkungan yang aman dan
tertib, dan nyaman sehingga proses belajar mengajar dapat berlangsung dengan nyaman (enjoyable
learning).
Pentingnya membangun budaya organisasi di sekolah terutama berkenaan dengan upaya pencapaian
tujuan pendidikan sekolah dan peningkatan kinerja sekolah. Sebagaimana disampaikan oleh Stephen
Stolp (1994) tentang School Culture yang dipublikasikan dalam ERIC Digest, dari beberapa hasil studi
menunjukkan bahwa budaya organisasi di sekolah berkorelasi dengan peningkatan motivasi dan prestasi
belajar siswa serta kepuasan kerja dan produktivitas kerja guru. Begitu juga, studi yang dilakukan Leslie
J. Fyans, Jr. dan Martin L. Maehr tentang pengaruh dari lima dimensi budaya organisasi di sekolah yaitu :
tantangan akademik, prestasi komparatif, penghargaan terhadap prestasi, komunitas sekolah, dan
persepsi tentang tujuan sekolah. Budaya organisasi di sekolah juga memiliki korelasi dengan sikap guru
dalam bekerja.
Upaya untuk mengembangkan budaya organisasi di sekolah terutama berkenaan tugas kepala sekolah
selaku leader dan manajer di sekolah. Dalam hal ini, kepala sekolah hendaknya mampu melihat
lingkungan sekolahnya secara holistik, sehingga diperoleh kerangka kerja yang lebih luas guna
memahami masalah-masalah yang sulit dan hubungan-hubungan yang kompleks di sekolahnya. Melalui
pendalaman pemahamannya tentang budaya organisasi di sekolah, maka ia akan lebih baik lagi dalam
memberikan penajaman tentang nilai, keyakinan dan sikap yang penting guna meningkatkan stabilitas
dan pemeliharaan lingkungan sekolah.
Berdasarkan pernyataan tersebut di atas penulis lebih lanjut tertarik untuk melakukan penelitian yang
diformulasikan dalam sebuah judul penelitian yaitu “Pengaruh Budaya Organisasi dan Iklim Organisasi
terhadap Produktivitas Kerja Guru di Sekolah Potensial ( Penelitian pada SMP Potensial Se Wilayah
Sukaraja Kabupaten Tasikmalaya )”.

1.2. Identifikasi Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, menunjukan bahwa budaya organisasi
dan iklim organisasi mempengaruhi terhadap peningkatan Produktivitas kerja guru pada sekolah
potensial di Wilayah Sukaraja.

1.3. Rumusan Masalah


Pokok masalah yang diungkap dalam penelitian ini adalah Pengaruh Budaya Organisasi dan iklim
organisasi terhadap Produktivitas Kerja Guru di Sekolah Potensial.
Selanjutnya pokok masalah tersebut penulis perinci ke dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimana pengaruh Budaya Organisasi terhadap Produktivitas kerja guru pada Sekolah Potensial di
Wilayah Sukaraja ?
2. Bagaimana pengaruh Iklim Organisasi terhadap Produktivitas Kerja Guru Sekolah Potensial di Wilayah
Sukaraja ?
3. Bagaimana korelasi Budaya Organisasi dan Iklim Organisasi terhadap Produktivitas kerja guru pada
Sekolah Potensial di Wilayah Sukaraja.

1.4. Tujuan Penelitian


Maksud dari penelitian ini adalah untuk menggali dan mendapatkan informasi tentang budaya
organisasi dan iklim organisasi serta pengaruhnya terhadap Produktivitas kerja guru di Sekolah
Potensial. Mengacu pada inti permasalahan yang telah diperinci di atas maka tujuan penelitian ini
adalah :
1. Untuk mengetahui sampai sejauhmana pengaruh Budaya Organisasi terhadap Produktivitas Kerja
Guru di Sekolah Potensial.
2. Untuk mengetahui sampai sejauhmana pengaruh iklim organisasi terhadap Produktivitas Kerja Guru di
Sekolah potensial.

1.5. Kegunaan Penelitian


1.5.1 Kegunaan Praktis
Dengan memperhatikan tujuan dan maksud penelitian di atas maka kegunaan penelitian ini adalah :
1. Hasil penelitian ini bermanfaat dalam pengembangan ilmu, khususnya kajian tentang semangat guru,
iklim organisasi dan juga budaya organisasi sehingga dapat dijadikan sebagai landasan dalam
pencapaian target program kerja sekolah dan tujuan pendidikan.
2. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi instansi terkait khususnya di
Sekolah Potensial dalam usaha meningkatkan pencapaian target program kerja sekolah dan peningkatan
mutu pendidikan melalui peningkatan Produktivitas kerja guru di sekolah.

1.5.2. Kegunaan Ilmiah


Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai penambah wawasan, referensi akademik dan bahan
perbandingan dalam melaksanakan penelitian “Pengaruh Budaya Organisasi dan Iklim Organisasi
terhadap Produktivitas Kerja guru di sekolah Potensial se Wilayah Sukaraja”.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

2.1. Kajian Pustaka


2.1.1. Kajian Tentang Budaya Organisasi
A. Pengertian Budaya Organisasi
Pemahaman tentang budaya organisasi sesungguhnya tidak lepas dari konsep dasar tentang budaya itu
sendiri, yang merupakan salah satu terminologi yang banyak digunakan dalam bidang antropologi.
Dewasa ini, dalam pandangan antropologi sendiri, konsep budaya ternyata telah mengalami pergeseran
makna. Sebagaimana dinyatakan oleh C.A. Van Peursen (1984) bahwa dulu orang berpendapat budaya
meliputi segala manifestasi dari kehidupan manusia yang berbudi luhur dan yang bersifat rohani, seperti
: agama, kesenian, filsafat, ilmu pengetahuan, tata negara dan sebagainya. Tetapi pendapat tersebut
sudah sejak lama disingkirkan. Dewasa ini budaya diartikan sebagai manifestasi kehidupan setiap orang
dan setiap kelompok orang-orang. Kini budaya dipandang sebagai sesuatu yang lebih dinamis, bukan
sesuatu yang kaku dan statis. Budaya tidak tidak diartikan sebagai sebuah kata benda, kini lebih
dimaknai sebagai sebuah kata kerja yang dihubungkan dengan kegiatan manusia. Dari sini timbul
pertanyaan, apa sesungguhnya budaya itu ? Marvin Bower seperti disampaikain oleh Alan Cowling dan
Philip James (1996), secara ringkas memberikan pengertian budaya sebagai “cara kita melakukan hal-hal
di sini”. Menurut Vijay Santhe sebagaimana dikutip oleh Taliziduhu Ndraha (1997)_budaya adalah : “ The
set of important assumption (often unstated) that members of community share in common”.
Secara umum namun operasional, Edgar Schein (2002) dari MIT dalam tulisannya tentang Organizational
Culture & Leadership mendefinisikan budaya sebagai berikut :
“ A pattern of shared basic assumptions that the group learned as it solved its problems of external
adaptation and internal integration, that has worked well enough to be considered valid and, therefore,
to be taught to new members as the correct way you perceive, think, and feel in relation to those
problems”.

Dari Vijay Sathe dan Edgar Schein, kita temukan kata kunci dari pengertian budaya yaitu shared basic
assumptions atau menganggap pasti terhadap sesuatu. Taliziduhu Ndraha mengemukakan bahwa
asumsi meliputi beliefs (keyakinan) dan value (nilai). Beliefs merupakan asumsi dasar tentang dunia dan
bagaimana dunia berjalan. Duverger sebagaimana dikutip oleh Idochi Anwar dan Yayat Hidayat Amir
(2000) mengemukakan bahwa belief (keyakinan) merupakan state of mind (lukisan fikiran) yang terlepas
dari ekspresi material yang diperoleh suatu komunitas.
Value (nilai) merupakan suatu ukuran normatif yang mempengaruhi manusia untuk melaksanakan
tindakan yang dihayatinya. Menurut Vijay Sathe dalam Taliziduhu (1997) nilai merupakan “ basic
assumption about what ideals are desirable or worth striving for.” Sementara itu, Moh Surya (1995)
memberikan gambaran tentang nilai sebagai berikut :
“ …setiap orang mempunyai berbagai pengalaman yang memungkinkan dia berkembang dan belajar.
Dari pengalaman itu, individu mendapatkan patokan-patokan umum untuk bertingkah laku. Misalnya,
bagaimana cara berhadapan dengan orang lain, bagaimana menghormati orang lain, bagimana memilih
tindakan yang tepat dalam satu situasi, dan sebagainya. Patokan-patokan ini cenderung dilakukan dalam
waktu dan tempat tertentu.”

Pada bagian lain dikemukakan pula bahwa nilai mempunyai fungsi : (1) nilai sebagai standar; (2) nilai
sebagai dasar penyelesaian konflik dan pembuatan keputusan; (3) nilai sebagai motivasi; (4) nilai sebagai
dasar penyesuaian diri; dan (5) nilai sebagai dasar perwujudan diri. Hal senada dikemukakan oleh
Rokeach yang dikutip oleh Danandjaya dalam Taliziduhu Ndraha (1997) bahwa : “ a value system is
learned organization rules to help one choose between alternatives, solve conflict, and make decision.”
Dalam budaya organisasi ditandai adanya sharing atau berbagi nilai dan keyakinan yang sama dengan
seluruh anggota organisasi. Misalnya berbagi nilai dan keyakinan yang sama melalui pakaian seragam.
Namun menerima dan memakai seragam saja tidaklah cukup. Pemakaian seragam haruslah membawa
rasa bangga, menjadi alat kontrol dan membentuk citra organisasi. Dengan demikian, nilai pakaian
seragam tertanam menjadi basic. Menurut Sathe dalam Taliziduhu Ndraha (1997) bahwa shared basic
assumptions meliputi : (1) shared things; (2) shared saying, (3) shared doing; dan (4) shared feelings.
Pada bagian lain, Edgar Schein (2002) menyebutkan bahwa basic assumption dihasilkan melalui : (1)
evolve as solution to problem is repeated over and over again; (2) hypothesis becomes reality, dan (3) to
learn something new requires resurrection, reexamination, frame breaking.
Dengan memahami konsep dasar budaya secara umum di atas, selanjutnya kita akan berusaha
memahami budaya dalam konteks organisasi atau biasa disebut budaya organisasi (organizational
culture). Adapun pengertian organisasi di sini lebih diarahkan dalam pengertian organisasi formal. Dalam
arti, kerja sama yang terjalin antar anggota memiliki unsur visi dan misi, sumber daya, dasar hukum
struktur, dan anatomi yang jelas dalam rangka mencapai tujuan tertentu.
Sejak lebih dari seperempat abad yang lalu, kajian tentang budaya organisasi menjadi daya tarik
tersendiri bagi kalangan ahli maupun praktisi manajemen, terutama dalam rangka memahami dan
mempraktekkan perilaku organisasi.
Edgar Schein (2002) mengemukakan bahwa budaya organisasi dapat dibagi ke dalam dua dimensi yaitu :
(1) Dimensi external environments; yang didalamnya terdapat lima hal esensial yaitu: (a) mission and
strategy; (b) goals; (c) means to achieve goals; (d) measurement; dan (e) correction.
(2) Dimensi internal integration yang di dalamnya terdapat enam aspek utama, yaitu : (a) common
language; (b) group boundaries for inclusion and exclusion; (c) distributing power and status; (d)
developing norms of intimacy, friendship, and love; (e) reward and punishment; dam (f) explaining and
explainable : ideology and religion.
Pada bagian lain, Edgar Schein mengetengahkan sepuluh karateristik budaya organisasi, mencakup :
(1) observe behavior: language, customs, traditions; (2) groups norms: standards and values; (3)
espoused values: published, publicly announced values; (4) formal philosophy: mission; (5) rules of the
game: rules to all in organization; (6) climate: climate of group in interaction; (7) embedded skills; (8)
habits of thinking, acting, paradigms: shared knowledge for socialization; (9) shared meanings of the
group; dan (10) metaphors or symbols.

Sementara itu, Fred Luthan (1995) mengetengahkan enam karakteristik penting dari budaya organisasi,
yaitu : (1) obeserved behavioral regularities; yakni keberaturan cara bertindak dari para anggota yang
tampak teramati. Ketika anggota organisasi berinteraksi dengan anggota lainnya, mereka mungkin
menggunakan bahasa umum, istilah, atau ritual tertentu; (2) norms; yakni berbagai standar perilaku
yang ada, termasuk di dalamnya tentang pedoman sejauh mana suatu pekerjaan harus dilakukan; (3)
dominant values; yaitu adanya nilai-nilai inti yang dianut bersama oleh seluruh anggota organisasi,
misalnya tentang kualitas produk yang tinggi, absensi yang rendah atau efisiensi yang tinggi; (4)
philosophy; yakni adanya kebijakan-kebijakan yang berkenaan dengan keyakinan organisasi dalam
memperlakukan pelanggan dan karyawan (5) rules; yaitu adanya pedoman yang ketat, dikaitkan dengan
kemajuan organisasi (6) organization climate; merupakan perasaan keseluruhan (an overall “feeling”)
yang tergambarkan dan disampaikan melalui kondisi tata ruang, cara berinteraksi para anggota
organisasi, dan cara anggota organisasi memperlakukan dirinya dan pelanggan atau orang lain
Dari ketiga pendapat di atas, kita melihat adanya perbedaan pandangan tentang karakteristik budaya
organisasi, terutama dilihat dari segi jumlah karakteristik budaya organisasi. Kendati demikian, ketiga
pendapat tersebut sesungguhnya tidak menunjukkan perbedaan yang prinsipil.
Budaya organisasi dapat dipandang sebagai sebuah sistem. Mc Namara (2002) mengemukakan bahwa
dilihat dari sisi in put, budaya organisasi mencakup umpan balik (feed back) dari masyarakat, profesi,
hukum, kompetisi dan sebagainya. Sedangkan dilihat dari proses, budaya organisasi mengacu kepada
asumsi, nilai dan norma, misalnya nilai tentang : uang, waktu, manusia, fasilitas dan ruang. Sementara
dilihat dari out put, berhubungan dengan pengaruh budaya organisasi terhadap perilaku organisasi,
teknologi, strategi, image, produk dan sebagainya.
Dilihat dari sisi kejelasan dan ketahanannya terhadap perubahan, John P. Kotter dan James L. Heskett
(1998) memilah budaya organisasi menjadi ke dalam dua tingkatan yang berbeda. Dikemukakannya,
bahwa pada tingkatan yang lebih dalam dan kurang terlihat, nilai-nilai yang dianut bersama oleh orang
dalam kelompok dan cenderung bertahan sepanjang waktu bahkan meskipun anggota kelompok sudah
berubah. Pengertian ini mencakup tentang apa yang penting dalam kehidupan, dan dapat sangat
bervariasi dalam perusahaan yang berbeda : dalam beberapa hal orang sangat mempedulikan uang,
dalam hal lain orang sangat mempedulikan inovasi atau kesejahteraan karyawan. Pada tingkatan ini
budaya sangat sukar berubah, sebagian karena anggota kelompok sering tidak sadar akan banyaknya
nilai yang mengikat mereka bersama. Pada tingkat yang terlihat, budaya menggambarkan pola atau gaya
perilaku suatu organisasi, sehingga karyawan-karyawan baru secara otomatis terdorong untuk mengikuti
perilaku sejawatnya. Sebagai contoh, katakanlah bahwa orang dalam satu kelompok telah bertahun-
tahun menjadi “pekerja keras”, yang lainnya “sangat ramah terhadap orang asing dan lainnya lagi selalu
mengenakan pakaian yang sangat konservatif. Budaya dalam pengertian ini, masih kaku untuk berubah,
tetapi tidak sesulit pada tingkatan nilai-nilai dasar. Untuk lebih jelasnya lagi mengenai tingkatan budaya
ini dapat dilihat dalam bagan 1.

Tak Tampak Sulit berubah


Nilai yang dianut bersama : Keyakinan dan tujuan penting yang dimiliki bersama oleh kebanyakan orang
dalam kelompok yang cenderung membentuk perilaku kelompok, dan sering bertahan lama, bahkan
walaupun sudah terjadi perubahan dalam anggota kelompok.
Contoh : para manajer yang mempedulikan pelanggan; eksekutif yang suka dengan pertimbangan jangka
panjang.

Norma perilaku kelompok : cara bertindak yang sudah lazim atau sudah meresap yang ditemukan dalam
satu kelompok dan bertahan karena anggota kelompok cenderung berperilaku dengan cara
mengajarkan praktek-praktek (juga- nilai-nilai yang mereka anut bersama) kepada para anggota baru
memberi imbalan kepada mereka yang menyesuaikan dirinya dan menghukum yang tidak.
Contoh : para karyawan cepat menanggapi permintaan pelanggan; para menajer yang sering melibatkan
karyawan tingkat bawah dalam pengambilan keputusan.
Tampak Mudah berubah

Pada bagian lain, John P. Kotter dan James L. Heskett (1998) memaparkan pula tentang tiga konsep
budaya organisasi yaitu : (1) budaya yang kuat; (2) budaya yang secara strategis cocok; dan (3) budaya
adaptif. Organisasi yang memiliki budaya yang kuat ditandai dengan adanya kecenderungan hampir
semua manajer menganut bersama seperangkat nilai dan metode menjalankan usaha organisasi.
Karyawan baru mengadopsi nilai-nilai ini dengan sangat cepat. Seorang eksekutif baru bisa saja dikoreksi
oleh bawahannya, selain juga oleh bossnya, jika dia melanggar norma-norma organisasi.
Gaya dan nilai dari suatu budaya yang cenderung tidak banyak berubah dan akar-akarnya sudah
mendalam, walaupun terjadi penggantian manajer. Dalam organisasi dengan budaya yang kuat,
karyawan cenderung berbaris mengikuti penabuh genderang yang sama. Nilai-nilai dan perilaku yang
dianut bersama membuat orang merasa nyaman dalam bekerja, rasa komitmen dan loyalitas membuat
orang berusaha lebih keras lagi. Dalam budaya yang kuat memberikan struktur dan kontrol yang
dibutuhkan, tanpa harus bersandar pada birokrasi formal yang mencekik yang dapat menekan
tumbuhnya motivasi dan inovasi.
Budaya yang strategis cocok secara eksplisit menyatakan bahwa arah budaya harus menyelaraskan dan
memotivasi anggota, jika ingin meningkatkan kinerja organisasi. Konsep utama yang digunakan di sini
adalah “kecocokan”. Jadi, sebuah budaya dianggap baik apabila cocok dengan konteksnya. Adapun yang
dimaksud dengan konteks bisa berupa kondisi obyektif dari organisasinya atau strategi usahanya.
Budaya yang adaptif berangkat dari logika bahwa hanya budaya yang dapat membantu organisasi
mengantisipasi dan beradaptasi dengan perubahan lingkungan, akan diasosiasikan dengan kinerja yang
superiror sepanjang waktu. Ralph Klimann menggambarkan budaya adaptif ini merupakan sebuah
budaya dengan pendekatan yang bersifat siap menanggung resiko, percaya, dan proaktif terhadap
kehidupan individu. Para anggota secara aktif mendukung usaha satu sama lain untuk mengidentifikasi
semua masalah dan mengimplementasikan pemecahan yang dapat berfungsi. Ada suatu rasa percaya
(confidence) yang dimiliki bersama. Para anggotanya percaya, tanpa rasa bimbang bahwa mereka dapat
menata olah secara efektif masalah baru dan peluang apa saja yang akan mereka temui. Kegairahan
yang menyebar luas, satu semangat untuk melakukan apa saja yang dia hadapi untuk mencapai
keberhasilan organisasi. Para anggota ini reseptif terhadap perubahan dan inovasi. Rosabeth Kanter
mengemukakan bahwa jenis budaya ini menghargai dan mendorong kewiraswastaan, yang dapat
membantu sebuah organisasi beradaptasi dengan lingkungan yang berubah, dengan memungkinkannya
mengidentifikasi dan mengeksploitasi peluang-peluang baru. Contoh perusahaan yang mengembangkan
budaya adaptif ini adalah Digital Equipment Corporation dengan budaya yang mempromosikan inovasi,
pengambilan resiko, pembahasan yang jujur, kewiraswastaan, dan kepemimpinan pada banyak tingkat
dalam hierarki.

B. Proses Pembentukan Budaya Organisasi


Selanjutnya, kita akan membicarakan tentang proses terbentuknya budaya dalam organisasi. Munculnya
gagasan-gagasan atau jalan keluar yang kemudian tertanam dalam suatu budaya dalam organisasi bisa
bermula dari mana pun, dari perorangan atau kelompok, dari tingkat bawah atau puncak. Taliziduhu
Ndraha (1997) menginventarisir sumber-sumber pembentuk budaya organisasi, diantaranya : (1) pendiri
organisasi; (2) pemilik organisasi; (3) Sumber daya manusia asing; (4) luar organisasi; (4) orang yang
berkepentingan dengan organisasi (stake holder); dan (6) masyarakat. Selanjutnya dikemukakan pula
bahwa proses budaya dapat terjadi dengan cara: (1) kontak budaya; (2) benturan budaya; dan (3)
penggalian budaya. Pembentukan budaya tidak dapat dilakukan dalam waktu yang sekejap, namun
memerlukan waktu dan bahkan biaya yang tidak sedikit untuk dapat menerima nilai-nilai baru dalam
organisasi. Lebih jelasnya, proses pembentukan budaya ini dapat diragakan dalam bagan 2 berikut ini :

Bagan 2. Pola Umum Munculnya Budaya Organisasi


(sumber : John P. Kotter. & James L. Heskett, 1998. Corporate Culture and Performance. (terj Benyamin
Molan). Jakarta: PT Prehalindo, h.9)

Setelah mapan, budaya organisasi sering mengabadikan dirinya dalam sejumlah hal. Calon anggota
kelompok mungkin akan disaring berdasarkan kesesuaian nilai dan perilakunya dengan budaya
organisasi. Kepada anggota organisasi yang baru terpilih bisa diajarkan gaya kelompok secara eksplisit.
Kisah-kisah atau legenda-legenda historis bisa diceritakan terus menerus untuk mengingatkan setiap
orang tentang nilai-nilai kelompok dan apa yang dimaksudkan dengannya.
Para manajer bisa secara eksplisit berusaha bertindak sesuai dengan contoh budaya dan gagasan budaya
tersebut. Begitu juga, anggota senior bisa mengkomunikasikan nilai-nilai pokok mereka secara terus
menerus dalam percakapan sehari-hari atau melalui ritual dan perayaan-perayaan khusus. Orang-orang
yang berhasil mencapai gagasan-gagasan yang tertanam dalam budaya ini dapat terkenal dan dijadikan
pahlawan. Proses alamiah dalam identifikasi diri dapat mendorong anggota muda untuk mengambil alih
nilai dan gaya mentor mereka. Barangkali yang paling mendasar, orang yang mengikuti norma-norma
budaya akan diberi imbalan (reward) sedangkan yang tidak, akan mendapat sanksi (punishment).
Imbalan (reward) bisa berupa materi atau pun promosi jabatan dalam organisasi tertentu sedangkan
untuk sanksi (punishment) tidak hanya diberikan berdasar pada aturan organisasi yang ada semata,
namun juga bisa berbentuk sanksi sosial. Dalam arti, anggota tersebut menjadi isolated di lingkungan
organisasinya.
Dalam suatu organisasi sesungguhnya tidak ada budaya yang “baik” atau “buruk”, yang ada hanyalah
budaya yang “cocok” atau “tidak cocok” . Jika dalam suatu organisasi memiliki budaya yang cocok, maka
manajemennya lebih berfokus pada upaya pemeliharaan nilai-nilai- yang ada dan perubahan tidak perlu
dilakukan. Namun jika terjadi kesalahan dalam memberikan asumsi dasar yang berdampak terhadap
rendahnya kualitas kinerja, maka perubahan budaya mungkin diperlukan.
Karena budaya ini telah berevolusi selama bertahun-tahun melalui sejumlah proses belajar yang telah
berakar, maka mungkin saja sulit untuk diubah. Kebiasaan lama akan sulit dihilangkan. Walaupun
demikian, Howard Schwartz dan Stanley Davis dalam bukunya Matching Corporate Culture and Business
Strategy yang dikutip oleh Bambang Tri Cahyono mengemukakan empat alternatif pendekatan terhadap
manajemen budaya organisasi, yaitu : (1) lupakan kultur; (2) kendalikan disekitarnya; (3) upayakan untuk
mengubah unsur-unsur kultur agar cocok dengan strategi; dan (4) ubah strategi. Selanjutnya Bambang
Tri Cahyono (1996) dengan mengutip pemikiran Alan Kennedy dalam bukunya Corporate Culture
mengemukan bahwa terdapat lima alasan untuk membenarkan perubahan budaya secara besar-besaran
: (1) Jika organisasi memiliki nilai-nilai yang kuat namun tidak cocok dengan lingkungan yang berubah;
(2) Jika organisasi sangat bersaing dan bergerak dengan kecepatan kilat; (3) Jika organisasi berukuran
sedang-sedang saja atau lebih buruk lagi; (4) Jika organisasi mulai memasuki peringkat yang sangat
besar; dan (5) Jika organisasi kecil tetapi berkembang pesat.
Selanjutnya Kennedy mengemukakan bahwa jika tidak ada satu pun alasan yang cocok dengan di atas,
jangan lakukan perubahan. Analisisnya terhadap sepuluh kasus usaha mengubah budaya menunjukkan
bahwa hal ini akan memakan biaya antara 5 sampai 10 persen dari yang telah dihabiskan untuk
mengubah perilaku orang. Meskipun demikian mungkin hanya akan didapatkan setengah perbaikan dari
yang diinginkan. Dia mengingatkan bahwa hal itu akan memakan biaya lebih banyak lagi. dalam bentuk
waktu, usaha dan uang.

C. Penerapan Budaya Organisasi di Sekolah


Dengan memahami konsep tentang budaya organisasi sebagaimana telah diutarakan di atas, selanjutnya
di bawah ini akan diuraikan tentang penerapan budaya organisasi dalam konteks persekolahan. Secara
umum, penerapan konsep budaya organisasi di sekolah sebenarnya tidak jauh berbeda dengan
penerapan konsep budaya organisasi lainnya. Kalaupun terdapat perbedaan mungkin hanya terletak
pada jenis nilai dominan yang dikembangkannya dan karakateristik dari para pendukungnya. Berkenaan
dengan pendukung budaya organisasi di sekolah Paul E. Heckman sebagaimana dikutip oleh Stephen
Stolp (1994) mengemukakan bahwa "the commonly held beliefs of teachers, students, and principals."
Nilai-nilai yang dikembangkan di sekolah, tentunya tidak dapat dilepaskan dari keberadaan sekolah itu
sendiri sebagai organisasi pendidikan, yang memiliki peran dan fungsi untuk berusaha mengembangkan,
melestarikan dan mewariskan nilai-nilai budaya kepada para siswanya. Dalam hal ini, Larry Lashway
(1996) menyebutkan bahwa “schools are moral institutions, designed to promote social norms,…” .
Nilai-nilai yang mungkin dikembangkan di sekolah tentunya sangat beragam. Jika merujuk pada
pemikiran Spranger sebagaimana disampaikan oleh Sumadi Suryabrata (1990), maka setidaknya
terdapat enam jenis nilai yang seyogyanya dikembangkan di sekolah. Dalam tabel 1 berikut ini
dikemukakan keenam jenis nilai dari Spranger beserta perilaku dasarnya.

Tabel 1. Jenis Nilai dan Perilaku Dasarnya menurut Spranger


No Nilai Perilaku Dasar
1 Ilmu Pengetahuan Berfikir
2 Ekonomi Bekerja
3 Kesenian Menikmati keindahan
4 Keagamaan Memuja
5 Kemasyarakatan Berbakti/berkorban
6 Politik/kenegaraan Berkuasa/memerintah

Dengan merujuk pada pemikiran Fred Luthan, dan Edgar Schein, di bawah ini akan diuraikan tentang
karakteristik budaya organisasi di sekolah, yaitu tentang (1) obeserved behavioral regularities; (2)
norms; (3) dominant value. (4) philosophy; (5) rules dan (6) organization climate.
(1) Obeserved behavioral regularities; budaya organisasi di sekolah ditandai dengan adanya keberaturan
cara bertindak dari seluruh anggota sekolah yang dapat diamati. Keberaturan berperilaku ini dapat
berbentuk acara-acara ritual tertentu, bahasa umum yang digunakan atau simbol-simbol tertentu, yang
mencerminkan nilai-nilai yang dianut oleh anggota sekolah.
(2) Norms; budaya organisasi di sekolah ditandai pula oleh adanya norma-norma yang berisi tentang
standar perilaku dari anggota sekolah, baik bagi siswa maupun guru. Standar perilaku ini bisa
berdasarkan pada kebijakan intern sekolah itu sendiri maupun pada kebijakan pemerintah daerah dan
pemerintah pusat. Standar perilaku siswa terutama berhubungan dengan pencapaian hasil belajar siswa,
yang akan menentukan apakah seorang siswa dapat dinyatakan lulus/naik kelas atau tidak. Standar
perilaku siswa tidak hanya berkenaan dengan aspek kognitif atau akademik semata namun menyangkut
seluruh aspek kepribadian.

Jika kita berpegang pada Kurikulum Berbasis Kompetensi, secara umum standar perilaku yang
diharapkan dari tamatan Sekolah Menengah Atas, diantaranya mencakup :

(a) Memiliki keyakinan dan ketaqwaan sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya.
(b) Memiliki nilai dasar humaniora untuk menerapkan kebersamaan dalam kehidupan.
(c) Menguasai pengetahuan dan keterampilan akademik serta beretos belajar untuk melanjutkan
pendidikan.
(d) Mengalihgunakan kemampuan akademik dan keterampilan hidup dimasyarakat local dan global.
(e) Berekspresi dan menghargai seni.
(f) Menjaga kebersihan, kesehatan dan kebugaran jasmani.
(g) Berpartisipasi dan berwawasan kebangsaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara secara demokratis. (Depdiknas, 2002)

Sedangkan berkenaan dengan standar perilaku guru, tentunya erat kaitannya dengan standar
kompetensi yang harus dimiliki guru, yang akan menopang terhadap kinerjanya. Dalam perspektif
kebijakan pendidikan nasional, pemerintah telah merumuskan empat jenis kompetensi guru
sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Peraturan Pemerintah No 14 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan, yaitu :
(a) Kompetensi pedagogik yaitu merupakan kemampuan dalam pengelolaan peserta didik yang meliputi:
(a) pemahaman wawasan atau landasan kependidikan; (b) pemahaman terhadap peserta didik;
(c)pengembangan kurikulum/ silabus; (d) perancangan pembelajaran; (e) pelaksanaan pembelajaran
yang mendidik dan dialogis; (f) evaluasi hasil belajar; dan (g) pengembangan peserta didik untuk
mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
(b) Kompetensi kepribadian yaitu merupakan kemampuan kepribadian yang: (a) mantap; (b) stabil; (c)
dewasa; (d) arif dan bijaksana; (e) berwibawa; (f) berakhlak mulia; (g) menjadi teladan bagi peserta didik
dan masyarakat; (h) mengevaluasi kinerja sendiri; dan (i) mengembangkan diri secara berkelanjutan.
(c) Kompetensi sosial yaitu merupakan kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk : (a)
berkomunikasi lisan dan tulisan; (b) menggunakan teknologi komunikasi dan informasi secara
fungsional; (c) bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan,
orangtua/wali peserta didik; dan (d) bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar.
(d) Kompetensi profesional merupakan kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan
mendalam yang meliputi: (a) konsep, struktur, dan metoda keilmuan/teknologi/seni yang
menaungi/koheren dengan materi ajar; (b) materi ajar yang ada dalam kurikulum sekolah; (c) hubungan
konsep antar mata pelajaran terkait; (d) penerapan konsep-konsep keilmuan dalam kehidupan sehari-
hari; dan (e) kompetisi secara profesional dalam konteks global dengan tetap melestarikan nilai dan
budaya nasional.
(3) Dominant values; jika dihubungkan dengan tantangan pendidikan Indonesia dewasa ini yaitu tentang
pencapaian mutu pendidikan, maka budaya organisasi di sekolah seyogyanya diletakkan dalam kerangka
pencapaian mutu pendidikan di sekolah. Nilai dan keyakinan akan pencapaian mutu pendidikan di
sekolah hendaknya menjadi hal yang utama bagi seluruh warga sekolah. Adapun tentang makna dari
mutu pendidikan itu sendiri, Jiyono sebagaimana disampaikan oleh Sudarwan Danim (2002)
mengartikannya sebagai gambaran keberhasilan pendidikan dalam mengubah tingkah laku anak didik
yang dikaitkan dengan tujuan pendidikan. Sementara itu, dalam konteks Manajemen Peningkatan Mutu
Berbasis Sekolah (Depdiknas, 2001), mutu pendidikan meliputi aspek input, proses dan output
pendidikan. Pada aspek input, mutu pendidikan ditunjukkan melalui tingkat kesiapan dan ketersediaan
sumber daya, perangkat lunak, dan harapan-harapan. Makin tinggi tingkat kesiapan input, makin tinggi
pula mutu input tersebut. Sedangkan pada aspek proses, mutu pendidikan ditunjukkan melalui
pengkoordinasian dan penyerasian serta pemanduan input sekolah dilakukan secara harmonis, sehingga
mampu menciptakan situasi pembelajaran yang menyenangkan (enjoyable learning), mampu
mendorong motivasi dan minat belajar, dan benar-benar mampu memberdayakan peserta didik.
Sementara, dari aspek out put, mutu pendidikan dapat dilihat dari prestasi sekolah, khususnya prestasi
siswa, baik dalam bidang akademik maupun non akademik.
Berbicara tentang upaya menumbuh-kembangkan budaya mutu di sekolah akan mengingatkan kita
kepada suatu konsep manajemen dengan apa yang dikenal dengan istilah Total Quality Management
(TQM), yang merupakan suatu pendekatan dalam menjalankan suatu unit usaha untuk mengoptimalkan
daya saing organisasi melalui prakarsa perbaikan terus menerus atas produk, jasa, manusia, proses
kerja, dan lingkungannya. Berkaitan dengan bagaimana TQM dijalankan, Gotsch dan Davis sebagaimana
dikutip oleh Sudarwan Danim (2002) mengemukakan bahwa aplikasi TQM didasarkan atas kaidah-kaidah
: (1) Fokus pada pelanggan; (2) obsesi terhadap kualitas; (3) pendekatan ilmiah; (4) komitmen jangka
panjang; (5) kerjasama tim; (6) perbaikan kinerja sistem secara berkelanjutan; (7) diklat dan
pengembangan; (8) kebebasan terkendali; kesatuan tujuan; dan (10) keterlibatan dan pemberdayaan
karyawan secara optimal.
Dengan mengutip pemikiran Scheuing dan Christopher, dikemukakan pula empat prinsip utama dalam
mengaplikasikan TQM, yaitu: (1) kepuasan pelanggan, (2) respek terhadap setiap orang; (3) pengelolaan
berdasarkan fakta, dan (4) perbaikan secara terus menerus.(Sudarwan Danim, 2002)
Selanjutnya, dalam konteks Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Depdiknas (2001) telah
memerinci tentang elemen-elemen yang terkandung dalam budaya mutu di sekolah, yakni : (a)
informasi kualitas harus digunakan untuk perbaikan; bukan untuk mengadili/mengontrol orang; (b)
kewenangan harus sebatas tanggung jawab; (c) hasil harus diikuti penghargaan (reward) atau sanksi
(punishment); (d) kolaborasi dan sinergi, bukan kompetisi, harus merupakan basis kerja sama; (e) warga
sekolah merasa aman terhadap pekerjaannya; (f) atmosfir keadilan (fairness) harus ditanamkan; (g)
imbal jasa harus sepadan dengan nilai pekerjaannya; dan (h) warga sekolah merasa memiliki sekolah.
Di lain pihak, Jann E. Freed et. al. (1997) dalam tulisannya tentang A Culture for Academic Excellence:
Implementing the Quality Principles in Higher Education. dalam ERIC Digest memaparkan tentang upaya
membangun budaya keunggulan akademik pada pendidikan tinggi, dengan menggunakan prinsip-prinsip
Total Quality Management, yang mencakup : (1) vision, mission, and outcomes driven; (2) systems
dependent; (3) leadership: creating a quality culture; (4) systematic individual development; (4)
decisions based on fact; (5) delegation of decision making; (6) collaboration; (7) planning for change; dan
(8) leadership: supporting a quality culture. Dikemukakan pula bahwa “when the quality principles are
implemented holistically, a culture for academic excellence is created.. Dari pemikiran Jan E.Freed et. al.
di atas, kita dapat menarik benang merah bahwa untuk dapat membangun budaya keunggulan
akademik atau budaya mutu pendidikan betapa pentingnya kita untuk dapat mengimplementasikan
prinsip-prinsip Total Quality Management, dan menjadikannya sebagai nilai dan keyakinan bersama dari
setiap anggota sekolah.
(4) Philosophy; budaya organisasi ditandai dengan adanya keyakinan dari seluruh anggota organisasi
dalam memandang tentang sesuatu secara hakiki, misalnya tentang waktu, manusia, dan sebagainya,
yang dijadikan sebagai kebijakan organisasi. Jika kita mengadopsi filosofi dalam dunia bisnis yang
memang telah terbukti memberikan keunggulan pada perusahaan, di mana filosofi ini diletakkan pada
upaya memberikan kepuasan kepada para pelanggan, maka sekolah pun seyogyanya memiliki keyakinan
akan pentingnya upaya untuk memberikan kepuasan kepada pelanggan. Dalam konteks Manajemen
Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Depdiknas (2001) mengemukakan bahwa :
“ pelanggan, terutama siswa harus merupakan fokus dari semua kegiatan di sekolah. Artinya, semua in
put - proses yang dikerahkan di sekolah tertuju utamanya untuk meningkatkan mutu dan kepuasan
peserta didik . Konsekuensi logis dari ini semua adalah bahwa penyiapan in put, proses belajar mengajar
harus benar-benar mewujudkan sosok utuh mutu dan kepuasan yang diharapkan siswa.”

(5) Rules; budaya organisasi ditandai dengan adanya ketentuan dan aturan main yang mengikat seluruh
anggota organisasi. Setiap sekolah memiliki ketentuan dan aturan main tertentu, baik yang bersumber
dari kebijakan sekolah setempat, maupun dari pemerintah, yang mengikat seluruh warga sekolah dalam
berperilaku dan bertindak dalam organisasi. Aturan umum di sekolah ini dikemas dalam bentuk tata-
tertib sekolah (school discipline), di dalamnya berisikan tentang apa yang boleh dan tidak boleh
dilakukan oleh warga sekolah, sekaligus dilengkapi pula dengan ketentuan sanksi, jika melakukan
pelanggaran. Joan Gaustad (1992) dalam tulisannya tentang School Discipline yang dipublikasikan dalam
ERIC Digest 78 mengatakan bahwa : “ School discipline has two main goals: (1) ensure the safety of staff
and students, and (2) create an environment conducive to learning.
(6) Organization climate; budaya organisasi ditandai dengan adanya iklim organisasi. Hay Resources
Direct (2003) mengemukakan bahwa “organizational climate is the perception of how it feels to work in
a particular environment. It is the "atmosphere of the workplace" and people’s perceptions of "the way
we do things here.”
Di sekolah terjadi interaksi yang saling mempengaruhi antara individu dengan lingkungannya, baik
lingkungan fisik maupun sosial. Lingkungan ini akan dipersepsi dan dirasakan oleh individu tersebut
sehingga menimbulkan kesan dan perasaan tertentu. Dalam hal ini, sekolah harus dapat menciptakan
suasana lingkungan kerja yang kondusif dan menyenangkan bagi setiap anggota sekolah, melalui
berbagai penataan lingkungan, baik fisik maupun sosialnya. Moh. Surya (1997) menyebutkan bahwa:
“ Lingkungan kerja yang kondusif baik lingkungan fisik, sosial maupun psikologis dapat menumbuhkan
dan mengembangkan motif untuk bekerja dengan baik dan produktif. Untuk itu, dapat diciptakan
lingkungan fisik yang sebaik mungkin, misalnya kebersihan ruangan, tata letak, fasilitas dan sebagainya.
Demikian pula, lingkungan sosial-psikologis, seperti hubungan antar pribadi, kehidupan kelompok,
kepemimpinan, pengawasan, promosi, bimbingan, kesempatan untuk maju, kekeluargaan dan
sebagainya. “

C. Arti Penting Membangun Budaya Organisasi di Sekolah


Pentingnya membangun budaya organisasi di sekolah terutama berkenaan dengan upaya pencapaian
tujuan pendidikan sekolah dan peningkatan kinerja sekolah. Sebagaimana disampaikan oleh Stephen
Stolp (1994) tentang School Culture yang dipublikasikan dalam ERIC Digest, dari beberapa hasil studi
menunjukkan bahwa budaya organisasi di sekolah berkorelasi dengan peningkatan motivasi dan prestasi
belajar siswa serta kepuasan kerja dan produktivitas guru. Begitu juga, studi yang dilakukan Leslie J.
Fyans, Jr. dan Martin L. Maehr tentang pengaruh dari lima dimensi budaya organisasi di sekolah yaitu :
tantangan akademik, prestasi komparatif, penghargaan terhadap prestasi, komunitas sekolah, dan
persepsi tentang tujuan sekolah menunjukkan survey terhadap 16310 siswa tingkat empat, enam,
delapan dan sepuluh dari 820 sekolah umum di Illinois, mereka lebih termotivasi dalam belajarnya
dengan melalui budaya organisasi di sekolah yang kuat. Sementara itu, studi yang dilakukan, Jerry L.
Thacker and William D. McInerney terhadap skor tes siswa sekolah dasar menunjukkan adanya
pengaruh budaya organisasi di sekolah terhadap prestasi siswa. Studi yang dilakukannya memfokuskan
tentang new mission statement, goals based on outcomes for students, curriculum alignment
corresponding with those goals, staff development, and building level decision-making. Budaya
organisasi di sekolah juga memiliki korelasi dengan sikap guru dalam bekerja. Studi yang dilakukan Yin
Cheong Cheng membuktikan bahwa “ stronger school cultures had better motivated teachers. In an
environment with strong organizational ideology, shared participation, charismatic leadership, and
intimacy, teachers experienced higher job satisfaction and increased productivity”.
Upaya untuk mengembangkan budaya organisasi di sekolah terutama berkenaan tugas kepala sekolah
selaku leader dan manajer di sekolah. Dalam hal ini, kepala sekolah hendaknya mampu melihat
lingkungan sekolahnya secara holistik, sehingga diperoleh kerangka kerja yang lebih luas guna
memahami masalah-masalah yang sulit dan hubungan-hubungan yang kompleks di sekolahnya. Melalui
pendalaman pemahamannya tentang budaya organisasi di sekolah, maka ia akan lebih baik lagi dalam
memberikan penajaman tentang nilai, keyakinan dan sikap yang penting guna meningkatkan stabilitas
dan pemeliharaan lingkungan belajarnya.

2.1.2. Iklim Organisasi


A. Pengertian Iklim Organisasi
Perilaku karyawan dapat diketahui dalam tabiat dan karakteristik tertentu merupakan pencerminan dari
kepribarian orang yang bersangkutan. Kepribadian seseorang itu biasanya ditempa oleh beberapa
faktor, salah satunya faktor lingkungan (Mangkunegara, 2004: 35).
Salah satu faktor yang berkaitan dengan kinerja karyawan dalam suatu organisasi adalah lingkungan
kerja terutama lingkungan di tempat para stakeholders hidup dan berada. Lingkungan kerja yang
dimaksud merupakan elemen-elemen atau kelompok-kelompok yang berpengaruh langsung pada
organisasi dan pada gilirannya akan dipengaruhi oleh organisasi (Hunger dan Whelen, 2001: 113).
Iklim organisasi adalah iklim kerja yang diciptakan dan dikembangkan secara sengaja, terjamin dan
mendapat perlindungan dalam bekerja (Nawawi, 2001: 244). Siagian (2001: 63) menjelaskan iklim
organisasi sebagai kondisi kerja yang bersifat fisik dan non fisik dari lingkungan kerja yang turut
berpengaruh terhadap perilaku dan yang menjadi faktor motivasional yang perlu mendapat perhatian
setiap pemimpin dalam organisasi.
Dengan demikian, dapat disimpulkan mengenai iklim organisasi adalah kondisi lingkungan kerja, baik
yang bersifat material/ fisik maupun non material/ non fisik yang dapat mempengaruhi perilaku/ kinerja
karyawan di dalam suatu organisasi.
B. Komponen-komponen Iklim Organisasi
Lingkungan kerja yang dihadapi oleh setiap menejer tidak hanya bersifat fisik dan alamiah semata-mata.
Namun, pada umumnya apabila berbicara dengan lingkungan yang dimaksud adalah totalitas keadaan
dan faktor yang mempunyai dampak tertentu terhadap organisasi. Dengan perkataan lain, komponen-
komponen lingkungan itu biasanya terdiri dari paling sedikit lima hal, yaitu: (a) faktor ekenomi; (b) faktor
social; (c) faktor fisik; (d) faktor politik; (e) factor teknologi (Siagian, 1988: 31). Lingkungan kerja
merupakan elemen-elemen atau kelompok yang berpengaruh langsung pada organisasi (sekolah) dan
pada gilirannya akan dipengaruhi oleh organisasi (sekolah) (Huger dan Whelen, 1996: 113). Kelompok ini
terdiri dari pemerintah, komunitas local, pemasok, pesaing, pelanggan, kreditur, tenaga kerja, kelompok
kepentingan khusus dan asosiasi perdagangan. Lingkungan kerja perusahaan pada umumnya adalah
industri tempat perusahaan tersebut dioprasikan.
Secara garis besar, iklim organisasi dapat dikelompokan menjadi dua bagian yaitu kondisi kerja yang
bersifat fisik/ material dan kondisi kerja yang bersifat non fisik/ non material. Untuk kondisi kerja yang
bersifat kerja meliputi kelompok-kelompok sebagai berikut:
“(a) penerangan/ cahaya di tempat kerja; (b) temperature/ suhu udara di tempat kerja; (c) kelembaban
di tempat kerja ; (d) sirkulasi udara di tempat kerja; (e) kebisingan di tempat kerja; (f) getaran mekanis di
tempat kerja; (g) bau tidak sedap di lingkungan kerja; (h) tata warna di tempat kerja; (i) dekorasi di
tempat kerja; (j) musik di tempat kerja; (k) keamanan di tempat kerja” (Sedarmayanti, 2000: 23)
Berikut ini akan di uraikan masing-masing faktor tersebut berkaitan dengan kemampuan manusia.
a. Penerangan/ cahaya ditempat kerja
Cahaya atau penerangan sangat besar manfaatnya bagi pegawai untuk mendapatkan keselamatan dan
kelancaran kerja. Oleh karena itu, perlu diperhatikan adanya penerangan yang terang, tetapi tidak
menyilaukan. Cahaya yang kurang jelas mengakibatkan penglihatan menjadi kurang jelas sehingga
pekerjaan akan terlambat, banyak mengalami kesalahan, dan pada akhirnya kurang efisien dalam
melaksanakan pekerjaan sehingga tujuan organisasi sulit di capai.
b. Temperatur/ suhu udara di tempat kerja
Dalam keadaan normal, setiap tubuh manusia mempunyai temperatur yang berbeda. Tubuh manusia
selain berusaha untuk mempertahankan keadaan normal dengan suatu sistem tubuh yang sempurna
sehingga dapat menyesuikan diri dengan perubahan yang terjadi di luar tubuh, tetapi untuk
menyesuaikan diri tersebut ada batasnya yaitu tubuh manusia masih dapat menyesuaikan dirinya
dengan temperatur luar jika perubahan temperatur luar tubuh lebih dari 20% untuk kondisi panas dan
35% untuk kondisi dingin dari keadaan normal tubuh.
c. Kelembaban ditempat kerja
Kelembaban adalah banyaknya air yang terkandung dalam udara, biasanya dinyatakan dengan
persentase. Kelembaban ini berhubungan atau dipengaruhi oleh temperatur udara, dan bersama-sama
antara temperatur, kelebaban, kecepatan udara bergerak dan radiasi panas dari udara tersebut akan
mempengaruhi keadan tubuh manusia pada saat menerima atau melepaskan panas dari tubuhnya.
Suatu keadaan dengan suhu udara panas dan kelembaban tinggi akan menimbulkan pengurangan panas
dari tubuh secara besar-besaran, karena sitem penguapan. Pengaruh lain adalah semakin cepatnya
darah untuk memenuhi kebutuhan semakin aktif pula pendarahan untuk memenuhi kebutuhan oksigen
dan tubuh manusia selalu berusaha untuk mencapai keseimbangan antara panas tubuh dengan suhu di
sekitarnya.

d. Sirkulasi udara di tempat kerja


Oksigen merupakan gas yang dibutuhkan oleh makhluk hidup untuk menjaga kelangsungan hidup yaitu
untuk proses metabolisme. Udara di sekitar dikatakan kotor apabila kadar oksigen dalam udara tersebut
telah berkurang dan telah bercampur gas amoniak atau bau-bauan berbahaya bagi kesehatan tubuk.
Kotornya udara dapat dirasakan dengan sesek napas dan hal ini tidak boleh dibiarkan nerlangsung
terlalu lama, karena akan mempengaruhi kesehatan tubuh dan akan mempercepat proses kelelahan.
e. Kebisingan di tempat kerja
Salah satu penyebab polusi yang cukup menyibukan para pakar untuk mengatasinya adalah kebisingan,
yaitu bunyi yang tidak dikehendaki oleh telinga. Tidak dikehendaki karena terutama jangka panjang
bunyi tersebut dapat mengganggu ketenangan bekerja, merusak pendengaran dan dapat menimbulkan
kesalahan komunikasi. Bahkan menurut penelitian, kebisingan yang serius dapat menyebabkan
kematian. Karena pekerjaan membutuhkan konsentrasi, maka suara bising hendaknya dihindarkan agar
pelaksanaan pekerjaan dapat dilakukan dengan efisien sehingga Produktivitas kerja meningkat.

f. Getaran mekanis di tempat kerja


Getaran mekanis artinya getaran yang ditimbulkan oleh alat mekanis, yang sebagian dari getaran ini
sampai ke tubuh pegawai dan dapat menimbulkan akibat yang tidak diinginkan. Besarnya getaran
ditentukan oleh intensitas dan frekuensi getarannya. Getaran mekanis pada umumnya sangat
mengganggu tubuh karena ketidak teraturannya, baik tidak teratur dalam intensitas maupun
frekuensinya. Sedangkan alat yang ada dalam tubuh mempunyai prekuensi alami, di mana alat yang satu
berbeda frekuensi alaminya dengan alat yang lain. Gangguan terbesar terhadap suatu alat dalam tubuh
terjadi apabila frekuensi alam ini beresonansi dengan frekuensi dari getaran mekanis.
g. Bau tidak sedap di tempat kerja
Adanya bau-bauan disekitar tempat kerja dapat dianggap sebagai pencemaran, karena dapat
mengganggu kosentrasi bekerja dan bau-bauan yang terjadi terus menerus dapat mempengaruhi
kepekaan penciuman. Pemakaian AC yang telah merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk
menghilangkan bau tak sedap yang mengganggu disekitar tempat kerja.

` h. Tata warna di tempat kerja


Menata warna di tempat kerja perlu dipelajari dan direncanakkan dengan sebaik-baiknya. Pada
kenyataanya tata warna tidak dapat dipisahkan dengan penataan dekorasi. Hal ini dapat dimaklumi
karena warna mempunyai pengaruh terhadap perasaan. Sifat dan pengaruh warna kadang-kadang
menimbulkan rasa senang, sedih, dll. Karena sifat warna dapat merangsang perasaan manusia.
i. Dekorasi di tempat kerja
Dekorasi ada hubungannya dengan tata warna yang baik, karena itu dekorasi tidak hanya berkaitan
dengan hiasan ruangan kerja saja, tetapi berkaitan juga dengan cara mengatur tata letak, tata warna,
perlengkapan dan lainnya untuk bekerja.
j. Musik di tempat kerja
Menurut para pakar, musik yang nadanya lembut sesuai dengan suasana, waktu dan tempat dapat
membangkitkan dan merangsang pegawai untuk bekerja. Oleh karena itu, lagu-lagu perlu dipilih dengan
selektif untuk dibunyikan di tempat kerja. Tidak sesuainya musik yang diperdengarkan di tempat kerja
akan mengganggu kosenrasi kerja.

k. Keamanan di tempat kerja


Untuk menjaga tempat dan kondisi lingkungan kerja tetap dalam keadaan aman, maka perlu
diperhatikan adanya keamanan dalam bekerja. Oleh karena itu faktor keamanan perlu diwujudkan
keberadaannya. Salah satu upaya untuk menjaga keamanan di tempat kerja, dapat memanfaatkan jasa
satuan petugas keamanan (satpam). Sejalan dengan pendapat tersebut, Siagian (2001: 63-64)
mengkaitkan iklim organisasi dengan hal-hal yang bersifat fisik dari lingkungan kerja.
Komponen-komponen fisik iklim organisasi yang dimaksud adalah:
a. Bangunan tempat bekerja yang di samping menarik untuk dipandang juga dibangun dengan
mempertimbangan keselamatan kerja.
b. Ruangan kerja yang “lega” dalam arti penempatan orang dalam suatu ruangan tidak mengakibatkan
timbulnya perasaan sempit dan para karyawan disusun seperti “sardencis dalam kaleng”.
c. Ventilasi untuk keluar masuk udara yang segar.
d. Tersedianya peralatan kerja yang memadai.
e. Tersedianya tempat istirahat untuk melepas lelah, seperti
f cafeteria dan restoran, baik dalam lingkungan organisasi sekitarnya yang mudah dicapai para
karyawan.
g. Tersedianya tempat melakukan ibadah keagamaan, seperti mushola atau mesjid, baik di komplek
organisasi yang bersangkutan maupun disekitarnya.
H. Tersedianya sarana angkutan, baik yang khusus diperuntukan bagi karyawan maupun angkutan
umum yang nyaman, murah dan mudah diperoleh.
Iklim organisasi yang bersifat non fisik / non material antar lain mengenai: (1) hubungan kerja antara
atasan dengan bawahan, antara sesama karyawan / pegawai, (2) pembidangandan pembagian
pekerjaan, (3) pembinaan dan pengembangan kerjasama serta persaingan yang sehat, (4) perilaku
pimpinan yang bebas dari diskriminasi, kolusi korupsi dan nepotisme, dll (Nawawi 2000:259).
C. Aspek-aspek Iklim Organisasi
Pengembangan organisasi pada umumnya bergerak pada ruang lingkup peningkatan, penyempurnaan,
perbaikan dan pengembangan kemampuan, sikap, nilai-nilai dan wawasan SDM dalam bekerja termasuk
manajer puncak dan para manejer pembantunya agar lebih efektif, efesien, produktif dan berkualitas
dalam melaksanakan tugas pokonya masing-masing di dalam suatu organisasi.
Pada prinsipnya pengembangan organisasi berfokus pada peningkatan, perbaikan dan penyempurnaan
kemampuan SDM dalam melaksanakan tugas-tugas pokoknya di lingkungan organisasi, akan
berlangsung efektif dan efisien apabila diiringi dengan penciptaan iklim lingkungan kerja yang
berkualitas bagi setiap dan semua SDM di lingkungannya. Berdasarkan prinsip tersebut menurut Wayne
Cascio (dalam Nawawi, 2000:252) terdapat beberapa aspek iklim lingkungan kerja terdiri dari:
1. Pemberian upah / gaji dan insentif lainnya yang layak (good pay and benefits) baik untuk memenuhu
kebutuhan fisik minimal maupun untuk kebutuhan hidup minimal. Tanpa upah/gaji yang layak sulit
untuk mengharapkan atau bahkan memaksa SDM agar memberikan kontribusi maksimal dalam
melaksanakan tugas pokoknya. Kebutuhan fisik minimal sama pada semua manusia termasuk juga bagi
SDM yang bekerja dilingkungan organisasi non profit. Untuk itu gaji atau upah sebagai penghargaan atau
pembanyaran atas jasa-jasanya dalam bekerja, jumlahnya harus mencukupi kebutuhan fisik atau
biologis, seperti makan untuk mendapatkan energi dalam bekerja, pakaian dan perumahan untuk
perlindungan dalam menjalani kehidupan.
2. Supervisi yang baik (good supervision)
Supervisi sebagai kegiatan mengamati, menilai dan membantu SDM agar bekerja secara efektif dan
efisien, merupakan salah satu kegiatan pengembangan organisasi (PO), karena bertujuan untuk terus-
menerus memperbaiki, meningkatkan menyempurnakan keterampilan dalam bekerja.

3. Pekerjaan yang menyenangkan


Teori motivasi tentang perilaku manusia secara prinsip bertolak dari asumsi dasar bahwa “seseorang
hanya akan mengerjakan sesuatu yang menyenangkan, dan tidak akan mengerjakan sesuatu yang tidak
menyenangkan”. Asumsi dasar itu sangat penting dalam melaksanakan kegiatan PO di lingkungan
organisasi sebagai hasil pengimplementasian iklim lingkungan kerja yang berkualitas. Pekerjaan yang
menyenangkan adalah bebas dari tekanan dan paksaan, disamping mudah atau tudak rumit
melaksanakannya. Namun pekerjaan yang berat dan kompleks juga akan menyenangkan jika dalam
suasana kerja yang saling membantu dalam suasana kerja yang efektif dan efisien. Selanjutnya
pekerjaan juga akan menyenangkan jika sarana dan prasarana untuk melaksanakannya tersedia dalam
jumlah yang cukup dan selau siap untuk digunakan.
Susana kerja atau pekerjaan yang menyenangkan tidak saja akan memberikan rasa puas dalam bekerja,
tetapi juga akan menimbulkan motivasi yang tinggi untuk memperbaiki, mengembangkan dan
mengingkatkan keterampilan atau keahlian kerja sebagai wujud pelaksanaan PO.
4. Pekerjaan yang menantang
Motivasi kerja tidak saja timbul karena pekerjaan yang menyenangkan, tetapi juga yang menangtang
untuk mencapai suatu prestasi sebagai bentuk kesuksesan kerja yang diinginkan olen setiap pekerja.
Dalam kata lain pekerjaan yang menantang cenderung akan menimbulkan motivasi berprestasi melalui
kemampuan berkompetisi secara sehat dalam arti jujur dan sportif sejalan dengan kemampuan bekerja
sama yang efektif dan efisien. Kompetisi dan kerjasama di lingkungan organisasi yang sehat ibarat dua
sisi pada mata uang yang sama.
5. Pekerjaan yang menarik
Setiap SDM akan menyenangi Pekerjaan dalam bidang yang sesuai dengan potensi, latar belakang
pengalaman, pendidikan, keterampilan dan keahlian atau profesionalisme yang dikuasainya. Kesesuaian
itu membuat pekerjaannya dirasakan menarik, karena mencakup sesuatu yang sudah dikenal dan
dipahaminya
6. Kondisi kerja yang baik
Perasaan puas dan senang dalam bekerja di lingkungan organisasi sangat dipengaruhi oleh kondisi kerja,
baik yang bersifat fisik / material maupun psikis/ non material. Kondisi kerja yang bersifat fisik
menyangkut faktor sarana dan prasarana seperti luas ruangan, penerangan, pengturan pentilasi udara,
penataan ruangan termasuk penataan peralatan, warna dinding, ketersediaan perlengkapan dan
peralatan kerja baik. Faktor psikis antara lain mengenai hubungan kerja antara atasan dengan bawahan,
antara sesama karyawan/ pegawai, pembidangan dan pembagian pekerjaan, pembinaan dan
pengembangan kerja sama dan perdaingan yang sehat, perilaku pimpinan yang bebas dari deskriminasi,
kolusi, korupsi, nepotisme dll. Kondisi kerja yang baik berkenaan kedu faktor tersebut diatas merupakan
faktor yang mendukung dalam memberikan kontribusi untuk mewujudkan eksistansi organisasi melalui
pelaksanaan tugas masing-masing secara efektif dan efisien. Dengan kata lain kondisi kerja yang baik
merupakan wujud dari eksistansi organisasi yang baik atau sehat akan berdampak terhadap
produktivitas kerja

2.1.3. Produktivitas Kerja


A. Pengertian produktivitas kerja
Konsep produktivitas pada awalnya dilakukan oleh seorang ekonom berkebangsaan Prancis bernama
Quesney pada tahun 1776 (Akhmad, 2000: 34). Oleh karena itu, sangat wajar apabila pengertian
produktivitas senantiasa dikaitkan dengan perolehan nilai ekonomis dari suatu kegiatan yakni
bagaimana upaya untuk mencapai hasil sebesar mungkin dengan menggunakan sumberdaya sekecil-
kecilnya. Dalam Ensyclopedia Britania (dalam Akhmad, 2000: 34) pengertian produktivitas dikemukakan
sebagai berikut: “Produktivitas dalam kegiatan ekonomi berarti rasio dari hasil yang dicapai dengan
pengorbanan yang dikeluarkan untuk menghasilkan sesuatu”.
Ravianto (1999: 14) mendefinisikan pengertian produktivitas sebagai berikut: “(1) Derajat efisiensi dan
efektivitas dari penggunaan elemen produksi; dan (2) Di atas segalanya, merupakan sikap netral yang
senantiasa mencari perbaikan terhadap apa yang telah ada”.
Dalam perkembangan selanjutnya, produktivitas diartikan sangat beragam bergantung pada fokus
tujuannya. Kuper (dalam Safuri, 1999: 68) menyatakan bahwa “Produktivitas adalah perpaduan antara
efektivitas dan efesiensi”.
Pernyataan tersebut di atas dijabarkan lebih rinci oleh Sumath (1989: 2) yang menyatakan: Produktivity
is measure of the use of the resources of an organizational and is usually expressed as ratio of: the
output abtained by the us of resources the amount of resources employed.
Sumant menegaskan dalam pernyataan di atas bahwa produktivitas adalah pengukuran terhadap
pengaruh sumberdaya dalam suatu organisasi dan biasanya menjelaskan perbandingan dari hasil yang
diperoleh dari penggunaan sumberdaya dengan jumlah sumberdaya yang diperlukan.
Nawawi dan Martini (2000:36) mengemukakan pengertian produktivitas sebagai berikut:
(1) Produktivitas kerja adalah perbandingan antara hasil yang diperoleh (output) dengan sumberdaya
yang digunakan (input). Produktivitas kerja dinyatakan tinggi jika hasil yang diperoleh lebih tinggi
daripada sumberdaya yang dipergunakan. Hasil yang dicapai tidak saja sekedar dihitung dengan jumlah
dan mutu sesuatu yang dihasilkan, tetapi juga dari segi banyaknya manfaat dari pihak lain; dan
(2) Produktivitas kerja yang diukur dari daya guna penggunaan personal sebagai tenaga kerja.
Produktivitas ini digambarkan dari ketepatan penggunaan metode atau cara kerja dan alat-alat yang
tersedia, sehingga volume dan beban kerja dapat diselesaikan sesuai dengan waktu yang tersedia. Dari
produktivitas kerja ini juga diperoleh gambarannya dari dedikasi, loyalitas, kesungguhan, disiplin,
ketepatan penggunaan metode,dan sebagainya yang tampak selama pegawai melaksanakan volume dan
beban kerjanya.

Manulang (dalam Cahyono, 1999: 5) mengungkapkan produktivitas kerja sebagai berikut: “Produktivitas
kerja adalah suatu sikap mental yang selalu mempunyai pandangan bahwa mutu kehidupan hari ini
harus lebih baik dari hari kemarin dan hari esok harus lebih baik dari hari ini”.
Pandangan lain dikemukakan Engkoswara (1995: 25) produktivitas kerja dari dua sudut pandang yang
berbeda, yakni “Efektivitas dalam pelaksanaan kerja dan efesiensi dalam penggunaan sumberdaya yang
tersedia”. Untuk lebih jelasnya perhatikan kutipan dibawah ini:
1) Sudut pandang pertama berkaitan dengan pencapaian unjuk kerja yang maksimal dalam arti
pencapaian target yang berkaitan dengan kualitas, kuantitas dan waktu. Dan
2) Sudut pandang kedua merujuk pada upaya membandingkan masukan dengan realitas penggunaan
atau bagaimana pekerjaan itu dilakukan.
Demikian pula Gomes (1999: 159) mendefinisikan pengertian produktivitas sebagai berikut:
Produktivitas kerja merupakan fungsi perkalian dari usaha pegawai (effort) yang didukung dengan
motivasi yang tinggi dengan kemampuan pegawai (ability) yang diperoleh melalui pelatihan.
Produktivitas kerja yang meningkatkan berarti berformasi yang baik, akan menjadi umpan balik
(feedback) bagi usaha atau motivasi pegawai pada tahapan berikutnya.

Sedarmayanti, (2002: 56-57) merumuskan tentang produktivitas yaitu “Sikap mental yang mempunyai
semangat untuk melakukan peningkatan perbaikan”. Peningkatan berbaikan akan menimbulkan sikap
produktif yang meliputi: (a) motivasi, (b) disiplin, (c) kreatif, (d) inovatif, (e) dinamis, (f) professional, dan
(g) berjiwa besar.
Berdasrkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa produktivitas kerja merupakan rasio antara
efetivitas dan efesiensi dari berbagai sumberdaya yang ditunjukan untuk mencapai keluaran organisasi
semaksimal mungkin dengan biaya seminimal mungkin dalam suatu satuan waktu tertentu dan memiliki
kualitas hasil tertentu pula. Produktivitas kerja individu adalah perbandingan dari efektivitas keluaran
(pencapaian unjuk kerja yang maksimal) dengan efisiensi salah satu masukan (tenaga kerja) yang
mencakup kuantitas dan kualitas dalam satu waktu tertentu.
B. Produktivitas kerja guru
Apabila produktivitas merupakan tujuan, maka perlu dipahami makna produiktivitas kerja itu sendiri.
Sutermeister (1976: 10) membatasi produkitivitas sebagai ukuran “Kuantitas kualitas kinerja dengan
mempertimbangkan kemanfaatan sumber daya. Produktivitas itu sendiri dipengaruhi perkembangan
bahan, teknologi dan kemampuan manusia”. Penertian produktivitas dalam arti teknis mengacu kepada
derajat keefektifan, efisiensi dalam penggunaan suber daya. Dalam pengertian perilaku, produktivitas
merupakan sikap mental yang senantiasa berusaha untuk terus berkembang.
Berdasarkan pengertian teknis produktivitas dapat diukur dengan dua standar utama, yaitu
produktivitas fisik dan produktivitas nilai. Secara fisik produktivitas diukur secara kuantitatif seperti
banyaknya keluaran (panjang, berat, lamanya waktu dan jumlah). Berdasarkan nilai, produktivitas diukur
atas dasar nilai-nilai kemampuan, sikap, perilaku disiplin, motivasi dan komitmen terhadap pekerjaan
atau tugas. Oleh karena itu mengukur produktivitas tidak mudah di samping banyaknya varibel juga
ukuran yang digunakan sangat bervariasi.
Mali (dalam Moekijat, 1999: 15) misalnya mengukur produktivitas berdasarkan kombinasi antara
efektivitas dan efisiensi. Efektivitas dikaitkan dengan perfonmance dan efisiensi dikaitkan dengan
penggunaan sumber-sumber. Indek produktivitas diukur berdasarkan perbandingan atau rasio antara
pencapaian performance dengan sumber-sumber yang dialokasikan.
Indek – Produktivitas =
Vroom (dalam Fattah, 2002: 16) hampir sejalan dengan Sutermeister dalam menggunakan formula di
man produktivitas diartikan sebagai prestasi kerja. Formula yang digunakan adalah sebagai berikut:
P = f (M x K)
P : Prestasi kerja
M : Motivasi berpretasi
K : Kemampuan
Jadi, menurut Vroom, produktivitas kerupakan fungsi dari motivasi dikalikan kemampuan, artinya tinggi
rendahnya produktivitas dipengruhi oleh faktor motivasi dan kemampuan.
Secara khusus di bidang pendidikan formal, Thomas (1976: 12) mengartukan produktivitas sekolah
ditentukan oleh tiga fungsi utama, yaitu: “(1) Fungsi administrasi, (2) Fungsi psikologi, (3) Fungsi
ekonomi”. Ke tiga fungsi tersebut secara linier menentukan tinggi rendahnya tingkat produktivitas
sekolah.
Dengan demikian, produktivitas organisasi (total productivity) secara lebih luas mengidentifikasikan
keberhasilan dan atau kegagalan dalam menghasilkan suatu produk tertentu (barang atau jasa) secara
kuantitas dan kualitas dengan memanfaatkan sumber-sumber yang benar. Produktivitas berkaitan
dengan pelaksanaan tugas-tugas dengan cara terbaik. Produktivitas merupakan kriteria, pencapaian
kerja yang diterapkan kepada individu, kelompok atau organisasi. Sebaliknya produktivitas tidak hanya
memerlukan kreativitas. Tetapi menurut Gilmore, (dalam Fattah, 2002: 15) dalam produktivitas terdapat
tiga aspek , yaitu: prestasi akademis, kreativitas dan kepemimpinan. Seseorang yang intelegensinya
tinggi mempunyai kecenderungan kreatif, berprestasi dan akhirnya akan produktif.
Dalam dunia pendidikan produktivitas sekolah banyak ditentukan oleh kemampuan manajerial tenaga
kependidikan atau manajemen personalia pendidikan. Manajemen personalia itu sendiri bertujuan
untuk mendayagunakan tenaga kepandidikan secara efektif dan efisien untuk mencapai hasil yang
optimal, namun dalam kondisi yang menyengkan. Fungsi personalia yang harus dilaksanakan pimpinan
yaitu: dengan cara menarik, mengembangkan, mengkaji dan memotivasi personil guna mencapai tujuan.
Produktivitas berkaitan erat dengan kinerja sebagai wujud perilaku atau kegiatan yang dilaksanakan
sesuai dengan harapan dan kebutuhan yang hendak dicapai secara efektif dan efisien. Standar kinerja
perlu dirumuskan sebagai acuan dalam mengadakan perbandingan terhadap apa yang akan dicapai
dengan apa yang diharapka. Adapun yang menjadi patokan adalah:
a. Produksi yang mengacu pada ukuran
b. Efisiensi mengacu kepada penggunaan sumberdaya
c. Kepuasan mengacu kepada keberhasilan dalam memenuhi kebutuhan karyawa atau anggota
organisasi.
d. Keadaptasian mengacu kepada ukuran tanggapan terhadap perubahan
Hasil produk atau output dari produktivitas lembaga pendidikan sebagai berikut: Kriteria keberhasilan
dalam administrari pendidikan dapat dilihat dari efektivitas dan efesiensi terhadap produktivitas
pendidikan efektivitas yaitu: kesepadanan antara masukan yang merata dan keluaran yang banyak dan
bermutu tinggi atau keluaran yang relevan dengan kebutuhan pembangunan bangsa. Efesiensi adalah
menunjuk pada motivasi belajar yang tinggi, semangat belajar, kepercayaan berbagai pihak dan
pembayaran, waktu dan tenaga, yang sekecil mungkin dengan hasil yang sebesar-besarnya.
Berkaitan dengan analisis penelitian ini secara aplikatif kriteria keberhasilan produktivitas pendidikan
akan menjadi standar ukuran sebagai wujud produktivitas kinerja guru.
Dalam dunia pendidikan, produktivitas kerja sangat berhubungan dengan keseluruhan proses penataan
dan penggunaan sumberdaya untuk mencapai tujuan pendidikan secara efektif dan efisien. Penataan
sumberdaya ini secara jelas dikemukakan Allan (1971: 12-23) sebagai berikut:
Produktivitas kerja dalam pendidikan mencakup tiga fungsi yaitu:
1) The Administrator Production Function (PFI), yakni suatu fungsi manajerial yang berhubungan dengan
pelbagai pelayanan untuk kebutuhan siswa dan guru. Masukan diidetifikasi sebagai perlengkapan
mengajar, ruangan, buku dan kualifikasikan mengajar yang memungkinkan tercapainya pelaksanaan
pendidikam yang baik. Sedangkan keluarnya antara lain meliputi lama tahun dan lama jam mengajar,
2) The Psychologist’s Production Function (PPF), yakni suatu fungsi perilaku (behavioral) yang
keluarannya mengacu pada fungsi pelayanan yang dapat mengubah perilaku siswa dalam kemampuan
kognisi, keterampilan, dan sikap. Masukannya diidentifikasikan antara lain waktu mengajar, sakap dan
kecakapan guru serta fasilitas, dan
3) The Ekonomic Production Funtion (EPF), yakni suatu fungsi ekonomi yang keluarnya diidentifikasikan
sebagai lulusan yang memiliki kompetensi tinggi, sehingga apabila siswa sudah bekerja dapat
memperoleh penghasilan yang tinggi melebiki biaya pendidikan yang dikeluarkannya. Masukannya
adalah semua biaya yang dikeluarkan selama pendidikan.

Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa produktivitas kerja pendidikan dapat ditinjau dari
sudut fungsi administrasi, fungsi psikologis maupun fungsi ekomomis . produktivitas kerja dalam dunia
pendidikan tentu akan sangat berbeda dengan produktivitas kerja bidang kegiatan lain yang mudah
untuk dihitung dan dikalkulasikan. Produktivitas kerja pendidikan ditentukan oleh bayak faktor, antara
lain: lingkungan sosial budaya, kemampuan pendanaan pemerintah, daya serap dunia usaha atau dunia
kerja, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, sesungguhnya sangat sulit dan rumit untuk mengukur tingkat
produktivitas kerja dalam dunia pendidikan terutama apabila ingin mengukur kualitasnya.
Engkoswara (1998: 19) menyatakan bahwa:
Dalam dunia pendidikan produktivitas kerja, khususnya produktivitas kerja guru tidak harus
berhubungan dengan rasio output dan input seperti halnya sering terlihat pada produktivitasnya kerja
karyawan perusahaan. Produktivitas kerja guru adalah unjuk kerja dalam melaksanakan tugas pokoknya
sebagai tenaga pendidikan uang bertanggungjawab terhadap bangsa dan negara.
Pendapat di atas sejalan denga pernyataan Iskandar (1998: 1) sebagai berikut:
Produktivitas kerja guru sebagai pendidik mengandung arti yang luas, tidak sebatas memberikan bahan-
bahan pengajaran secara optimal saja, tetapi menjangkau etika dan estetika perilaku siswa kelak dalam
menghadapi tantangan kehidupan di masyarakat. Tugas dan tanggungjaawab guru hendaknya dapat
mempertanggungjawabkan secara Hablumminallah dan Hablumminannas. Pertanggungjawaban secara
Hablumminallah adalah pertanggungjawaban guru terhadap sang Pencipta (Allah), sedangkan
pertanggungjawaban Hablumminannas merupakan pertanggungjawaban guru terhadap manusia
(pemerintah, masyarakat dan orang tua siswa).
Sedangkan untuk mengukur sampai sejauh mana tinglat kroduktivitas kerja guru dalam melaksanakan
tugasnya sebagai tenaga yang bekerja di bidang pendidikan dalam upaya mencerdaskan kehidupan
bangsanya. Yaitu mencetak dan menghasilkan SDM Indonesia yang berkualitas, Iskandar (1998: 7)
mengungkapkan sebagai berikut:
Tingkat produktivitas kerja guru dapat dilihat dari kompetensi dan produktivitas kerja guru dalam:
1) Menerapkan landasan pendidikan, baik filosofi maupun psikologi,
2) Menerapkan teori belajar yang sesuai dengan tingkat perkembangan perilaku peserta didik,
3) Menangani mata pelajaran atau bidang studi yang ditugaskan lepadanya,
4) Menerapkan metode pengajran yang sesuai dengan karakter bahan ajar,
5) Menggunakan berbagai alat pelajaran dan media serta afasilitas belajar,
6) Mengorganisasikan dan melaksanakan program pengajaran,
7) Melksanakan evaluasi belajar, dan
8) Menumbuhkan kepribadian peserta didik.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa produktivitas kerja guru bukanlah semata-mata pada sisi
kuantitas, yakni dapat membentuk atau menghasilkan sisiwa menjadi SDM yang handal sebagaimana
telah ditetapkan dalam tujuan Pendidikan Nasional yang secara esensial merupakan pengejawantahan
dari harapan dan tuntutan orang tua sisiwa, masyarakat, dan pemerintah.
C. Fungsi pengukuran produktivitas kerja guru
Pengukuran terhadap Produktivitas kerja sangat perlu dilakukan secara konsisten dan
berkesinambungan agar dapat diketahui dengan pasti sampai sejauh mana signifikasi tingkat kenaikan
atau kemundurannya. Dengan mengetahui tingkat kenaikan dan kemunduran tersebut, maka dapat
ditentukan segera langkah-langkah yang tepat untuk mengatasinya. Hal ini sejalan dengan pendapat
Ravianto (1999: 31) yang menyatakan bahwa fungsi pengukuran dari pengukuran produktivitas kerja
guru adalah:
1) Untuk melihat tingkat maupun perubahan produktivitas kerja yang terjadi dalam perjalanan waktu
yang telah dilakukan oleh seluruh karyawan (guru),
2) Untuk memberikan penilaian nyata atas unjuk kerja dari para karyawan (guru), dan
3) Untuk membandingkan produktivitas sendiri dengan produktivitas kerja organisasi/ lembaga yang
lain, yakni untuk melihat posisi diri sendiri pada saat ini.

D. Faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas kerja guru


Faktor yang mempengaruhi produktivitas secara umum adalah kemampuan, motivasi dan pretasi
individu pegawai. Faktor yang mempengaruhi bisa berasal dari dalam maupun luar. Faktor dalam adalah
pendidikan, motivasi dan kepuasan kerjasama, komitmen terhadap pekerjaan yang diembannya. Faktor
luar adalah fasilitras tersedia, keeratan hubungan, sistem pengembangan karier, dan kepeminpinan.
Ravianto, (1999: 237) mengemukakan bahwa produktivitas kerja sangat dipengaruhi oleh tiga belas
faktor dominan, faktor-faktor tersebut adalah “(a) pendidikan, (b) keterampilan, (c) disiplin, (d) motivasi,
(e) sikap dan etika, (f) gizi dan kesehatan, (g) tingkat penghasilan, (h) jaminan sosial, (i) teknologi, (j)
lingkungan dan iklim kerja, (k) sarana produksi, (l) manajemen, dan (m) kesempatan berprestasi.
Dengan mengkaji berbagai pendapat di atas, kemudian dikaitkan dengan tugas guru, maka dapat
disimpulkan bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi prodiktivitas kerja guru tersebut terdiri atas
dua kelompok, yaitu: Pertama, kelompok internal yaitu faktor-faktor yang berasal dari dalam diri
individu, yang termasuk kelompok internal adalah pendidikan, keterampilan, disiplin, motivasi intristik,
sikap, etika kerja, dan gizi. Kedua, kelompok eksternal adalah faktor-faktor yang berasal dari luar diri
individu seperti, tingkat penghasilan, jaminan sosial, lingkungan dan iklim kerja, teknologi, sarana
produksi, manajemen, dan kesempatan untuk berpretasi.

2.2. Kerangka Pemikiran


Dalam rangka meningkatkan produktivitas kerja guru sesuai dengan yang diharapkan perlu diciptakan
iklim organisasi yang kondusif dan menyenangkan baik fisik maupun non fisik pada lingkungan sekolah.
Salah satu faktor yang mempengaruhi terhadap produktivitas kerja guru diantaranya adalah
terbentuknya budaya organisasi yang menciptakan suasana kondusip dan menyenangkan, Efek
dominanya adalah kualitas pendidikan para peserta didik juga akan meningkat pesat maka spontan
program kerja sekolahpun akan tercapai sesuai dengan target yang telah ditetapkan, sedangkan jika
yang terjadi sebaliknya, maka sudah dapat diprediksikan guru bekerja tidak akan efektif dan tentu
takkan optimal, bahayanya lagi – kalau ini terjadi – ialah kualitas peserta didik menurun programpun
tidak akan tercapai.
Dengan memperhatikan uraian singkat di atas maka penulis sampaikan bahwa budaya organisasi yang
dapat menciptakan suasana organisasi sekolah kondusip dan nyaman serta mampu menanamkan dan
menjaga komitmen, kesetiaan, kebanggaan dan kemauan akan mempengaruhi terhadap efektivitas
kerja guru begitu pula dengan iklim organisasi yang kondusip akan mempengaruhi terhadap
produktivitas kerja Guru.
Digambarkan dalam sebuah skema sebagai berikut :

Gambar 1
KERANGKA PEMIKIRAN

X1 r x1- y

R. x1. x2 - y

X2

r x2 – y

2.3. Hipotesis
Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka penulis menetapkan hipotesis sebagai berikut :
1. Iklim Organisasi mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap produktivitas kerja guru SMP
Potensial di wilayah sukaraja belum baik.
2. Budaya organisasi mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap produktivitas kerja guru
pada SMP. Potensial di wilayah sukaraja
3. Terdapat korelasi antara Budaya Organisasi dengan Iklim Organisasi terhadap produktivitas kerja
guru.
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Objek Penelitian


Yang menjadi objek dalam penelitian ini kepala sekolah dan guru – guru di SMP Potensial Se Wilayah
Sukaraja. Karena yang penulis teliti tidak lebih dari 100 orang maka tidak menggunakan penelitian
sampel semua responden dijadikan sebagai populsi sebanyak 40 orang termasuk kepala sekolah

3.2. Metode Penelitian


Metode penelitian yang akan digunakan dalam penyusunan tesis ini adalah Metode deskriptif dengan
teknik survey. Yang dimaksud dengan metode deskriptif adalah sebagai prosedur pemecahan masalah
yang diselidiki dengan menggambarkan, melukiskan keadaan subjek dan objek penelitian ( seseorang,
lembaga, masyarakat dan lain-lain ) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau
sebagaimana adanya sedangkan survey pada umumnya merupakan cara pengumpulan data dari
sejumlah unit atau individu dalam waktu yang bersamaan.
Metode deskriptif menurut Nazir (1985: 65) adalah suatu metode untuk meneliti status kelompok
manusia, suatu objek, serta kondisi dan sistem pemikiran pada masa sekarang. Tujuannya adalah untuk
membuat gambaran secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta
hubungan antara fenomena yang diteliti
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini diharapkan dapat mengungkapkan fenomena
yang dikaji secara sistematis untuk mendapatkan kebenaran dari segala permasalahan yang diteliti.
Demikian pula penelitian ini dimaksudkan untuk dapat menggambarkan realita dari permasalahan yang
diteliti secara mendalam dengan cara mencari data yang faktual dari variabel yang diteliti, sehingga
hubungan dari semua variabel tersebut dapat dianalisis secara kuantitatif dan relevan dengan data yang
diperoleh.

3.3. Operasional Variabel


Untuk mengetahui pengaruh Budaya Organisasi dan iklim organisasi terhadap produktivitas kerja guru
pada Sekolah Menengah Pertama potensial di wilayah sukaraja diperlukan operasionalisasi variabel.
Operasionalisasi variabel dimaksudkan untuk mengetahui pengukuran variabel-varibel penelitian. Dalam
penelitian ini yang menjadi varibel bebas atau varibel independent yaitu Budaya organisasi (X1) dan
Iklim Organisasi (X2), sedangkan varibel terikat atau variabel dependent (varibel Y) yaitu produktivitas
kerja guru. Adapun secara operasional varibel-varibel tersebut dapat dijabarkan pada table berikut.

Tabel 3.1
Operasionalisasi variabel penelitian

N0 Variable Aspek Indicator No item ordinal


1 Iklim organisai (X1) 1. lingkungan fisik

2. lingkungan nonfisik 1.1 Kondisi penerangan di tempat kerja


1.2 keadaan suhu udara di tempat kerja
1.3 ventilasi udara di tempat kerja
1.4 layout ruang kantor
1.5 kebersihan ruang kerja
1.6 kebisingan di tempat kerja
1.7 kenyamanan dan keamanan tempat kerja
1.8 kerapihan tempat kerja
1.9 keadaan seragam personil
1.10 tesedianya peralatan kerja yang memadai
1.11 tersedianya tempat istirahat seperti cafeteria
1.12 tersedia tempat ibadah
1.13 keadaan sarana dan prasarana sekolah
1.14 tersedianya sarana angkutan
2.1 hubungan kerja sama antara atasan dengan bawahan atau sesame karyawan
2.2 pembidangan dan pembagian kerja
2.3 pembinaan dan pengembangan kerja sama
2.4 persaingan yang sehat
2.5 prilaku pimpinan yang bebas dari deskriminasi dan KKN, serta lainnya 1
2
3
4
5
6

7-8
9
10
11

12
13

14

15

16-17

18-20

21-23

24-25

26-30

Budaya Organisasi (X1)

1 Nilai

2 Norma
1.1 kenyakinan diri
1.2 Tujuan
1.3 kebanggaan
1.4 persaingan

2.1 menerima tugas


2.2 umpan balik
2.3 tanggungjawab
2.4 Pekerjaan

1-18

19-32
3 Produktivitas kerja guru (Y) 1 Efektivitas

2 Bekerja dengan produktif 1.1 efektif dalam pelaksanaan tugas


2.1 lebih dari memenuhi kualifikasi pendidikan
2.2 motivatif
2.3 propesional
2.4 disiplin
2.5 kreatip dan dinamis
1-4

5-7

8-14

15-29

Keterkaitan antara variabel – variabel tersebut di atas dapat digambarkan melalui diagram berikut :

Keterangan :
X1 : Budaya Organisasi
X2 : Iklim Organisasi
Y : Program Kerja Guru
rx1y : Korelasi antara X1 dengan Y
rx2y : Korelasi antara X2 dengan Y
rx1x2y : Korelasi antara X1, X2 dengan Y

3.4. Sumber Data dan Alat Pengumpulan Data


Berdasarkan gambaran di atas, maka yang menjadi fokus penelitian adalah Budaya Organisasi dan iklim
kerja terhadap produktivitas kerja guru pada Sekolah potensial di Wilayah Sukaraja. Sumber datanya
akan diperoleh dari populasi yang terdiri dari 40.orang , dan semua dijadikan responden (tidak dilakukan
penelitian sampel). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 3.2
Keadaan dan Jumlah Responden

No. Responsen Jumlah Keterangan


1 Guru dan Kepala Sekolah 40
Jumlah 40
Sumber :.Daftar Guru dan TU SMP Potensial Se Wilayah Sukaraja
Selanjutnya, data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder.
Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari responden sesuai dengan kebutuhan informasi yang
dituangkan dalam pernyataan terstruktur, sedangkan data sekunder yaitu data yang diperoleh secara
tidak langsung dari responden yang menunjang pada pembahasan hasil penelitian. Atau denga kata lain
bahwa sumber dan alat pengumpul data diperoleh dari :
1. Data sekunder melalui studi dokumentasi yang berupa laporan, hasil penelitian sejenis, atau dari
dokumen-dokumen yang berkaitan dengan masalah-masalah penelitian.
2. Data primer melalui penelitian lapangan, dengan :
a. Angket/ kuesioner, yang dilakukan dengan cara memberikan formulir berisi jumlah pernyataan secara
tertulis dengan disertai alternatif jawaban kepada responden, sehingga responden tinggal memilih
jawaban sesuai keadaan yang sebenarnya (angket tertutup).
b. Wawancara, yaitu mencari informasi kepada pihak yang dianggap berkompeten dalam masalah
penelitian dengan menggunakan pedoman wawancara.
Alat pengumpul data yang berupa kuesioner terlebih dahulu harus dilakukan uji validitas dan uji
relibilitas. Untuk menguji validitas alat ukur yang berupa angket terlebih dahulu dicari korelasi antara
bagian-bagian dari alat ukur secara keseluruhan , dengan cara mengkorelasi setiap butir alat ukur
dengan skor total yang merupakan jumlah tiap skor butir dengan menggunakan rumus korelasi ”Product
Moment Person” sebagai berikut :

Keterangan :
r = Koefisien korelasi
X = Jumlah sekor tiap item ke-1
Y = Jumlah skor total seluruh item
n = Jumlah responden

Selanjutnya dihitung nilai/ statistik uji t pada tarap signifikan α = 0,05 dan derajat kebebasan (dk) = n-2
dengan rumus :

Keterangan :
t = Nilai t terhitung
r = Koefisien korelasi hasil hitung
n = Jumlah Responden
Kaidah keputusan :
1. Jika t hasil hitung lebih dari t hasil daftar distribusi, maka instrumen tersebut valid
2. Jika t hasil perhitungan kurang dari atau sama dengan t hasil dari distribusi, maka instrumen tersebut
tidak valid.
Selain harus valid, alat ukur penelitian juga harus reliabel atau handal , reliabilitas merupakan indeks
yang menunjukan sejauhmana alat ukur penelitian dapat dipercaya atau diandalkan. Dengan demikian
reliabilitas menunjukan konsistensi alat ukur penelitian dalam mengukur gejala yang sama. Untuk
menguji alat ukur penelitian ini menggunakan rumus “Alfa Crombach” dengan tahapan sebagai berikut :
1. Penentuan nilai korelasi (r) untuk menentukan nilai korelasi digunakan rumus sebagai berikut :
Rumus menghitung Si1 dan ST2

Keterangan :
n = Jumlah responden
Jki = Penjumlahan dari kuadrat seluruh skor tiap atem
Jks = Penjumlahan dari kuadrat jumlah skor tiap item
XT = Skor masing-masing responden
K = Jumlah item

2. Penentuan nilai hitung . rumus yang digunakan untuk mendapatkan nilai t hitung sebagai berikut :

Dimana :
r = Koefisien korelasi
n = Jumlah Responden

3. Pernyataan keputusan nilai t hitung yang dihasilkan kemudian dibandingkan dengan nilai t tabel, pada
tarap nyata sebesar a = 0.05 dan derajat kebbasan sebesar dk = n – 2 setelah dibandingkan kemudian
diambil keputusannya dengan pernyataan sebagai berikut :
a. Jika t hasil hitung > t tabel, maka alat ukur penelitian yang digunakan reliabel
b. Jika t hitung t tabel, maka alat ukur penelitian yang digunakan tersebut tidak reliabel
3.5. Teknik Analisis Data dan Uji Hipotesis
Untuk menganalisis data yang telah terkumpul digunakan cara statistik , baik secara deskriptif inferensial
atau analisis hubungan antar variabel. Adapun analisis ini menggunakan model analisis jalur ( path
analysis ). Dengan langkah langkah sebagai berikut :
E
1. Membuat diagram jalur variabel ryx
ryx1
rx1x2
ryx2
Catatan : X1 : Budaya Organisasi
X2 : Iklim Organisasi
Y : Program Kerja Guru

2. Menghitung korelasi antara variabel independen (X1) dan variabel independen (X2) dengan variabel
dependen Y.
3. Menyusun matrik Korelasi RX dan vektor RY

4. Menghitung inver s matrik RX yaitu RX1

5. Menghitung koefisien jalur RYX1 yaitu :


PYX1 = RX RY : 1 = 12
6. Koefisien determinan R2Y (X1X2)

7. Mengkaji koefisien jalur secara simultan


F = (N-K-1) R2Y(X1X2)
8. Mengkaji secara parsial masing-masing koefisien jalur

9. Menentukan keputusan
a. Jika t hitung > t (α, n – k – 1), maka H0 ditolak dan H2 diterima artinya terdapat perbedaan tentang
besarnya pengaruh diantara dua variabel.
b. Jika t hitung < t (α, n – k – 1), maka H0 diterima dan H1 ditolak artinya besarnya pengaruh diantara
dua variabel sama.
3.1 Tempat/Lokasi dan Jadwal Penelitian
Penelitian ini penulis lakukan di SMP Potensial Se Wilayah Sukaraja Kabupaten Tasikmalaya . dengan
jadwal sebagai berikut :
JADWAL KEGIATAN
No Uraian Kegiatan Waktu Kegiatan
2009/2010
Okt Nop Des Jan Peb Mar Apr Mei
1) Persiapan Penelitian V V
2) Observasi V
3) Membuat Usulan Penelitian V
4) Seminar Usulan Penelitian V
5) Pelaksanaan Penelitian Lapangan V V V
6) Pengolahan Data V V V
7) Penulisan/Penyusunan Tesis V V
8) Pelaksanaan Ujian Sidang v

assalamu'alaikum,mba ini ni data-datanya semoga bermanfaat. 'afwan ya ga bisa bantu banyak:


1) Komitmen Organisasi
a. Pengertian Komitmen Organisasi
Cascio dalam Yulianie, dkk (2003: 261) mengartikan komitmen organisasi sebagai derajat identifikasi
individu terhadap organisasi dan keinginan untuk melanjutkan pertisipasi aktifnya di dalam organisasi.
Adanya keinginan seseorang untuk turut aktif dalam organisasi karena pemahaman atau pengetahuan
yang dimilikinya tentang organisasi yang dimilikinya. Seberapa besar tahu hal-hal yang terdapat dalam
organisasi yang dimiliki. Jadi artinya yang membedakan kemampuan atau sikap komitmen individu
didalam organisasi tersebut tergantung dari tingkat pemahaman individu mengenai organisasi yang
dijalaninya.
Kemudian Sheldon (Sitat dalam Yulianie,dkk (2003: 261) mengartikan komitmen organisasi sebagai suatu
sikap atau orientasi terhadap organisasi yang mengaitkan identitas pribadi orang tersebut terhadap
organisasi. Artinya seseorang masuk dalam organisasi itu karena masih ada kaitannya dengan latar
belakang dari individu yang bersangkutan. Dengan kata lain, seseorang masuk dalam organisasi karena
adanya kesamaan pikiran di dalamnya. Dengan kesamaan pikir seseorang tetap setia dengan organisasi
yang di jalaninya.
Hall (Sitat dalam Yulianie, dkk (2003: 261) mengartikan komitmen organisasi sebagai suatu proses
terintegrasi atau kongruennya tujuan organisasi dengan individu. Penjelasan ini hampir sama dengan
para ahli lain, yaitu adanya kecocokan antara visi dan misi individu dengan tujuan organisasi. Dengan
kata lain komitmen individu di pengaruhi dari apakah tujuan organisasi sama dengan visi dan misinya.
Kanter (Sitat dalam Yulianie, dkk (2003: 261) mengartikan komitmen organisasi sebagai suatu kerelaan
dari perilaku sosial untuk memberikan usaha serta kesetiaannya terhadap sistem sosial. Kalau pendapat
ahli yang satu ini mengatakan bahwa kesetiaan seseorang muncul ketika individu mau dengan sukarela
menyumbangkan tenaganya demi kepentingan dalam ruang lingkup sosial. Hal ini cenderung melihat
dari sisi luarnya. Jadi bukan adanya kesamaan tujuan diri tapi karena adanya kerelaan untuk bisa ikut
serta dalam sistem sosial.
Porter dalam Kuntjoro (e-psikologi: 2002 ) menyebutkan bahwa komitmen organisasi merupakan yang
bersifat relatif dari individu dalam mendentifikasikan keterlibatan individu kedalam bagian organisasi.
Hal ini dapat di tandai dengan tiga hal yaitu : penerimaan terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi,
kesiapan dan kesesediaan untuk berusaha dengan sungguh-sungguh atas nama organisasi serta
keinginan untuk mempertahankan keanggotaan di dalam organisasi (menjadi bagian dalam organisasi).
Dalam hal ini Steers dalam Kuntjoro (e-psikologi.com: 2002) menyatakan bahwa komitmen organisasi
organisasi sebagai rasa identifikasi (kepercayaan terhadap nilai – nilai organisasi ), keterlibatan
(kesediaan untuk berusaha sebaik mungkin demi kepentingan organisasi), dan loyalitas (keinginan untuk
tetap menjadi anggota organisasi bersangkutan) yang dinyatakan oleh seorang anggota terhadap
organisasinya.
Secara singkat, Carell (1997: 140) menyatakan bahwa “komitmen organisasi adalah suatu sikap anggota
terhadap mempertahankan keberadaannya pada suatu organisasi dan mempunyai keinginan untuk
tetap setia pada organisasinya“. Miner (1992: 124), menyatakan bahwa komitmen organisasi adalah
suatu kekuatan relatif individu dalam mengidentifikasi dan terlibat dalam organisasi.
(www.info.stieperbanas.ac.id/makalah/K+pengaruh+trust+terhadap+komitmen+organisasi&hl=id&ct=cl
nk&cd=18&gl=id).
Dari beberapa pendapat di atas, penulis menyimpulkan definisi komitmen organisasi adalah wujud
kesetiaan untuk tetap berada dalam organisasi apapun yang terjadi, kemudian juga identifikasi terhadap
hal – hal berkaitan erat dalam dunia organisasi, dan keterlibatan anggota untuk tetap tinggal dalam
organisasi demi mencapai tujuan dari organisasi.
b. Aspek-aspek Komitmen Organisasi
Ada beberapa macam aspek-aspek yang mempengaruhi setiap individu untuk bisa komitmen dalam
organisasi diantaranya :
Menurut Luthans (1998) dalam Yulianie, dkk (2003: 262) mengemukakan aspek komitmen organisasi,
yaitu:
1) Keinginan yang kuat untuk tetap menjadi anggota dalam organisasinya
2) Kerelaan untuk sungguh-sungguh berusaha demi kepentingan organisasi
3) Keyakinan yang kuat dan menerima nilai dan tujuan organisasi
Komitmen organisasi menurut Kuntjoro (e-psikologi. com: 2002 ) , memiliki tiga aspek utama, yaitu :
1) Identifikasi
Identifikasi yang berwujud dalam bentuk kepercayaan anggota terhadap organisasi. Guna
menumbuhkan identifikasi dilakukan dengan memodifikasi tujuan organisasi/organisasi, sehingga
mencakup beberapa tujuan pribadi para anggota atau dengan kata lain organisasi memasukan pula
kebutuhan dan keinginan anggotan dalam tujuan organisasi atau organisasi. Hal ini akan menumbuhkan
suasana saling mendukung di antara para anggota dengan organisasi. Lebih lanjut membuat anggota
dengan rela menyumbangkan tenaga, waktu, dan pikiran bagi tercapainya tujuan organisasi.
2) Keterlibatan
Keterlibatan atau partisipasi anggota dalam aktivitas-aktivitas kerja penting untuk diperhatikan karena
adanya keterlibatan anggota menyebabkan mereka bekerja sama, baik dengan pimpinan atau rekan
kerja. Cara yang dapat dipakai untuk memancing keterlibatan anggota adalah dengan memasukan
mereka dalam berbagai kesempatan pembuatan keputusan yang dapat menumbuhkan keyakinan pada
anggota bahwa apa yang telah diputuskan adalah keputusan bersama. Juga anggota merasakan bahwa
mereka diterima sebagai bagian dari organisasi, dan konsekuensi lebih lanjut, mereka merasa wajib
untuk melaksanakan bersama apa yang telah mereka putuskan, karena adanya rasa keterikatan dengan
apa yang mereka ciptakan. Hasil yang dirasakan bahwa tingkat kehadiran anggota yang memiliki rasa
keterlibatan tinggi umumnya akan selalu disiplin dalam bekerja.
3) Loyalitas
Loyalitas anggota terhadap organisasi memiliki makna ksesediaan seseorang untuk bisa melanggengkan
hubungannya dengan organisasi kalau perlu dengan mengorbankan kepentingan pribadinya tanpa
mengharapkan apa pun. Keinginan anggota untuk mempertahankan diri bekerja dalam organisasi adalah
hal yang dapat menunjang komitmen anggota terhadap organisasi di mana mereka bekerja. Hal ini di
upayakan bila anggota merasakan adanya keamanan dan kepuasan dalam tempat kerjanya.
Miner (1992: 124) menyatakan bahwa komitmen organisasi mempunyai tiga aspek penting yaitu :
1) Kepercayaan dan penerimaan terhadap tujuan dan nilai-nilai organisasi.
2) Kemauan untuk berusaha demi kepentingan organisasi.
3) Keinginan yang kuat untuk memelihara keanggotaannya terhadap organisasi.
Di sisi lainnya Luthan dalam Martini dan Rostiana (2003: 22), mengemukakan bahwa komitmen
organisasi meliputi tiga aspek yaitu :
1) Memiliki keinginan kuat untuk menjadi anggota organisasi.
2) Mempunyai kemauan berusaha semaksimal mungkin demi kepentingan organisasi.
3) Memiliki kepercayaan penuh terhadap tujuan dan nilai-nilai organisasi.
Allen dan Meyer dalam Temaluru (2001: 457-458), Martini dan Rostiana (2003: 23-24) mengemukakan
tiga komponen model komitmen organisasi, yaitu:
1) Affective commitment, merupakan keikatan emosional, identifikasi dan keterlibatan dalam suatu
organisasi. Anggota menetap dalam suatu organisasi berdasarkan kesesuaian dengan pemikiran , tujuan,
serta nilai organisasi. Komitmen ini muncul dan berkembang oleh dorongan adanya kenyamanan,
keamanan, dan manfaat lain yang dirasakan dalam suatu organisasi tempat anggota bekerja.
2) Continuance commitment, komitmen anggota yang didasarkan pada pertimbangan tentang apa yang
yang harus dikorbankan bila akan meninggalkan organisasi. Pertimbangan ini di dasarkan pada biaya
yang akan ditanggung bila anggota keluar dari organisasi. Anggota memutuskan untuk menetap pada
suatu organisasi karena menganggap sebagai suatu pemenuhan kebutuhan dan juga ada tidaknya
peluang pekerjaan di luar organisasi. Anggota akan cenderung memiliki daya tahan atau komitmen yang
tinggi dalam keanggotaan jika pengorbanan akibat keluar organisasi semakin tinggi.
3) Normative commitment, keyakinan individu tentang tanggungjawab moral terhadap organisasi.
Individu tetap tinggal pada suatu organisasi karena merasa wajib untuk loyal kepada organisasi tersebut.
Sesuatu yang mendorong anggota untuk tetap berada dan memberikan sumbangan pada keberadaan
suatau organisasi, baik itu materi maupun non-materi, adalah adanya kewajiban moral, yang mana
seseorang akan merasa tidak nyaman dan bersalah jika tidak melakukan sesuatu.
Berdasarkan bebrapa pendapatpara ahli di atas selaku penulis dalam penelitian ini akan menggunakan
teori yang dikemukakan oleh Allen dan Meyer bahwa komitmen organisasi memiliki tiga komponen
penting, yaitu : afektif, normatif dan continuance. Ketiga komponen tersebut dapat merefleksikan
pengertian komitmen organisasi secara lengkap dan juga memang komponen ini lebih banyak bisa
menggambarkan dari variabel komitmen organisasi. Indikator-indikator komitmen organisasi yang akan
di gunakan di antaranya antara lain :
1) Memiliki keinginan yang kuat untuk menjadi anggota organisasi
2) Mempunyai kemampuan untuk beruasaha semaksimal mungkin demi kepentingan organisasi
3) Memiliki kepercayaan penuh terhadap tujuan dan nilai-nilai organisasi
c. Jenis-jenis Komitmen Organisasi
Kemudian untuk jenis-jenis dari bentuk komitmen orrganisai tersebut penemu menemukan ada tiga
jenis komitmen organisasi yang dikemukakan Allen dan Meyer (Sitat dalam Hariyanto,1996) dalam
Yulianie,dkk (2003: 261), yaitu:
1) Komitmen Afektif (affective commitment)
Jenis ini berkaitan dengan keterikatan emosional yang dipunyai seseorang dengan organisasi. Seseorang
yang memiliki komitmen afektif akan menunjukan kinerja yang lebih baik. Individu yang memiliki
komitmen afektif, berarti individu tersebut melakukan identifikasi nilai maupun aktivitas organisasi.
Semakin kuat identifikasi yang dilakukan, akan terjadi internalisasi nilai organisasi yang semakin intensif
sehingga dirinya akan semakin terlibat dengan apa yang dilakukan oleh organisasi. Salah satu akibat dari
proses tersebut akan terlihat dari kinerjanya.
2) Komitmen Berkelanjutan (continuance commitment)
Jenis ini bermakna keberlanjutan keanggotaan individu terhadap suatu organisasi setelah
mempertimbangkan kerugian-kerugian dan resiko-resiko yang akan dialaminya kalau meninggalkan
organisasi.
3) Komitmen Normatif (normative commitment)
Komitmen yang mengandung dimensi moral dan didasarkan pada kesadaran akan kewajiban yang
dirasakan serta tanggungjawab yang dipikul oleh seseorang terhadap organisasi. Semakin individu bisa
menerima nilai-nilai organisasi dan semakin sesuai nilai pribadi individu dengan nilai organisasi, akan
semakin tumbuh kesadaran bahwa ia telah menerima hak-hak tertentu yang diberikan oleh organisasi.
Jenis jenis inilah yang nantinya akan memberikan gambaran pada individu mengenai bentuk komitmen
yang sudah dilaksanakannya. Dan juga kerena jenis-jenis tersebut sangat berkaitan dengan aspek - aspek
dan juga indikator-indikator yang akan digunakan penulis.
d. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Komitmen Organisasi
Ada berbagai faktor – faktor yang menjadikan seseorang untuk mau tetap komitmen dalam menjalankan
perannya dalam suatu organisasi yang di jalaninya. Di antaranya menurut Steers dan Porter dalam
Temaluru (2001: 458), yang menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi komitmen organisasi
yaitu :
1) Karakteristik personal atau pribadi, berkaitan dengan kebutuhan berprestasi, masa kerja, usia,
pendidikan, dan jenis kelamin anggotanya.
2) Karakteristik pekerjaan atau peranan, berkaitan dengan umpan balik, identitas, tugas, kesempatan
berinteraksi, dan komunikasi. Karakteristik ini merupakan tantangan pekerjaan yang harus di hadapi
anggota dalam bekerja. Bilamana anggota menerima tantangan tersebut, maka secara otomatis anggota
akan lebih berkomitmen terhadap organisasi.
3) Karakteristik struktural, berkaitan dengan lingkungan kerja seperti tersedianya fasilitas yang
mendukung setiap pelaksanaan kerja.
4) Sifat dan pengalaman kerja, merupakan keterandalan organisasi, perasaan dipentingkan oleh
organisasi, relialisasi harapan anggotadi organisasi, persepsi terhadap rekan kerja, dan persepsi
terhadap perilaku atasan. Bilamana anggota merasakan adanya pengalaman tersebut di organisasi,
maka anggota akan mudah untuk lebih komitmen terhadap organisasi.
Chusmir dalam Jewell (1998: 512-520) memasukan varibel komitmen kerja yang mempengaruhi
seseorang untuk mau berkomitmen dalam suatu organisasi antara lain:
1) Pengaruh pribadi meliputi, jenis kelamin, latar belakang (usia, tingkat pendidikan, urutan kelahiran,
kelas sosial orang tua), sikap dan nilai, dan kebutuhan intrinsik.
2) Pengaruh moderat dari luar meliputi, karakteristik keluarga, keadaan pekerjaan (kepuasan kerja,
penggunaan keterampilan, faktor psikologis pekerjaan, faktor kerja bukan motivasi).
3) Persepsi moderat, sikap dan perilaku peran yang diperkirakan meliputi, konflik peran dan jenis
kelamin, kepuasan kebutuhan komitmen kerja.
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi komitmen
organisasi yaitu karakteristik pekerjaan, karakteristik personal, karakteristik struktural, dan sifat dan
pengalaman kerja.
e. Wujud Komitmen Organisasi
Komitmen organisasi menurut Modway, dkk (Kuntjoro dalam e-psikologi.com: 2002) mempunyai dua
komponen penting yaitu sikap dan kehendak untuk bertingkah laku. Sikap meliputi :
1) Identifikasi terhadap organisasi, hal ini berarti anggota mempunyai kesamaan tujuan dengan
organisasinya dan ada rasa bangga menjadi bagian dari organisasi.
2) Keterlibatan sesuai dengan peran dan tanggungjawab pekerjaan, anggota yang memiliki komitmen
organisasi tinggi akan menerima semua tugas dan tanggung jawab akan tugas tersebut.
3) Kehangatan, afeksi dan loyalitas terhadap organisasi, adanya ikatan emosional dan keterikatan antara
organisasi dengan anggota .
Kehendak bertingkah laku dalam hal ini meliputi :
1) Kesediaan untuk memajukan usaha, dalam hal ini anggota ikut memperhatikan nasib organisasi atau
organisasi.
2) Keinginan untuk tetap tinggal dalam organisasi, anggota yang memiliki komitmen organisasi yang
tinggi tidak mempunyai alasan untuk keluar dari organisasi mereka akan ikut bergabung dengan
organisasi tersebut.
Menurut Dunham, Grube dan Castaneda dalam Martini dan Rostiana (2003: 23-24) mengatakan bahwa
dari ketiga macam komitmen tersebut diatas, perilaku berkomitmen nampak jelas pada affective
commitment dan normative commitment, daripada continuance commitment.
Etzioni dalam Temaluru (2001: 456-457), mengemukakan tiga bentuk keterikatan terhadap organisasi,
yaitu :
1) Moral involvement, orientasi yang positif dan kuat terhadap organisasi karena ada internalisasi
terhadap tujuan, nilai, dan norma organisasi dan identifikasi pada pemegang otoritas. Individu memiliki
komitmen terhadap organisasi sejauh mana konsistensi identitas pribadinya dengan tujuan organisasi.
2) Calculative involvement, keinginan individu untuk menetap pada suatu organisasi karena kepentingan
timbal – balik dengan organisasi tersebut.
3) Alienative involvement, orientasi yang negatif terhadap organisasi, terutama pada situasi saat
individu merasa terpaksa untuk berperilaku tertentu.
Sumber Referensi Jurnal dan Internet :
1) Partina, Anna. 2005. Menjaga Komitmen Organisasional Pada Saat Downsizing. Dalam Jurnal Telaah
Bisnis Vol 6. No 2. (Desember) hal 151-159.
2).
www.damandiri.or.id/file/luvikurniasariunairbab1.pdf+pengaruh+trust+terhadap+komitmen+organisasi
&hl=id&ct=clnk&cd=11&gl=id. Diunduh tanggal 24 Desember 2008

3)
www.info.stieperbanas.ac.id/makalah/K+pengaruh+trust+terhadap+komitmen+organisasi&hl=id&ct=cln
k&cd=18&gl=id. Diunduh tanggal 24 Desember 2008

4) Yuliane, Natarie, Sutyas Prihatno, Frikson C.Sinambela. 2003. Rasa Percaya, Komitmen Organisasi, dan
Rasa Berdaya Tim (Empowered Team) Pada Karyawan Instansi Pemerintah di Surabaya. Dalam jurnal
Anima Vol 18. No 3. hal 255-273.

KOMITMEN ORGANISASI, SUDAHKAH MENJADI BAGIAN DARI KITA?

Oleh : Kolonel Ckm dr. Soegiarto Soekidjan, Sp. KJ

Kasubditbindukkes Ditkesad

      Komitmen adalah kemampuan dan kemauan untuk menyelaraskan perilaku pribadi dengan
kebutuhan, prioritas dan tujuan organisasi. Hal ini mencakup cara-cara mengembangkan tujuan
atau memenuhi kebutuhan organisasi yang intinya mendahulukan misi organisasi dari pada
kepentingan pribadi. Menurut Meyer dan Allen (1991), Komitmen dapat juga berarti
penerimaan yang kuat individu terhadap tujuan dan nilai-nilai organisasi, dan individu berupaya
serta berkarya dan memiliki hasrat yang kuat untuk tetap bertahan di organisasi tersebut.
Menurut Quest (1995) komitmen merupakan nilai sentral dalam mewujudkan soliditas
organisasi.

Penelitian Quest tersebut juga mendapatkan :

1. Komitmen tinggi dari anggota organisasi berkorelasi positif dengan tingginya motivasi
dan meningkatnya kinerja.
2. Komitmen tinggi berkorelasi positif dengan kemandirian dan “Self Control”.
3. Komitmen tinggi berkorelasi positif dengan kesetiaan terhadap organisasi.
4. Komitmen tinggi berkorelasi dengan tidak terlibatnya anggota dengan aktifitas kolektif
yang mengurangi kualitas dan kuantitas kontribusinya.

Secara umum komitmen kuat terhadap organisasi terbukti, meningkatkan kepuasan kerja,
mengurangi absensi dan meningkatkan kinerja.

  Didalam komitmen dapat kita uraikan indikator-indikator perilakunya :

1. Melakukan upaya penyesuaian, dengan cara agar cocok di organisasinya dan melakukan
hal-hal yang diharapkan, serta menghormati norma-norma organisasi, menuruti peraturan
dan ketentuan yang berlaku.
2. Meneladani kesetiaan, dengan cara membantu orang lain, menghormati dan menerima
hal-hal yang dianggap penting oleh atasan, bangga menjadi bagian dari organisasi, serta
peduli akan citra organisasi.
3. Mendukung secara aktif, dengan cara bertindak mendukung misi dan tujuan organisasi,
serta membuat pilihan dan prioritas untuk memenuhi kebutuhan/misi organisasi dan
menyesuaikan diri dengan misi organisasi.
4. Melakukan pengorbanan pribadi, dengan cara menempatkan kepentingan organisasi
diatas kepentingan pribadi, pengorbanan dalam hal pilihan pribadi, serta mendukung
keputusan yang menguntungkan organisasi walaupun keputusan tersebut tidak disenangi.

Meyer dan Allen membagi komitmen organisasi menjadi 3 macam atas dasar sumbernya :

1. “Affective commitment”, Berkaitan dengan keinginan secara emosional terikat dengan


organisasi, identifikasi serta keterlibatan berdasarkan atas nilai-nilai yang sama.
2. “Continuance Commitment”, Komitmen didasari oleh kesadaran akan biaya-biaya
yang akan ditanggung jika tidak bergabung dengan organisasi. Disini juga didasari oleh
tidak adanya alternatif lain.
3. “Normative Commitment”, Komitmen berdasarkan perasaan wajib sebagai
anggota/karyawan untuk tetap tinggal karena perasaan hutang budi. Disini terjadi juga
internalisasi norma-norma.

     Dari ketiga jenis komitmen diatas tentu saja yang tertinggi tingkatannya adalah ”Affective
Commitment”, anggota/karyawan dengan ”Affective Commitment” tinggi akan memiliki
motivasi dan keinginan untuk berkontribusi secara berarti terhadap organisasi. Sedangkan
tingkatan terendah adalah ”Continuance Commitment”, anggota/karyawan yang terpaksa
menjadi anggota/karyawan untuk menghindari kerugian financial atau kerugian lain, akan
kurang/tidak dapat diharapkan berkontribusi berarti bagi organisasi. Untuk ”Normative
Commitment”, tergantung seberapa jauh internalisasi norma agar anggota/karyawan bertindak
sesuai dengan tujuan dan keinginan organisasi.

      Komponen normatif akan menimbulkan perasaan kewajiban atau tugas yang memang sudah
sepantasnya dilakukan atas keuntungan-keuntungan yang telah diberikan organisasi.

 
     Dari pengamatan dan pengalaman berdinas di TNI-AD khususnya Kesehatan Angkatan
Darat, nampaknya tidak banyak yang memiliki Affective Commitment, tidak sedikit yang hanya
mencapai taraf Continuance Commitment dan tentu saja yang kita harapkan adalah prosentase
yang cukup besar mampu mencapai Normative Commitment,artinya setelah sekian lama
berdinas, secara pribadi maupun terprogram oleh organisasi para anggota/pegawai diarahkan
mempunyai Normative Commitment.

Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap komitmen organisasi.

Menurut Van Dyne dan Graham (2005) faktor-faktor yang mempengaruhi komitmen adalah :
Personal, Situasional dan Posisi.

1. Karakteristik Personal. Ciri-ciri kepribadian tertentu yaitu, teliti, ektrovert, berpandangan


positif (optimis), cenderung lebih komit. Demikian juga individu yang lebih berorientasi kepada
tim dan menempatkan tujuan kelompok diatas tujuan sendiri serta individu yang altruistik
(senang membantu) akan cenderung lebih komit. Ciri-ciri karakteristik lain :

 Usia dan masa kerja, berhubungan positif dengan komitmen organisasi.


 Tingkat pendidikan, makin tinggi semakin banyak harapan yang mungkin tidak dapat di
akomodir, sehingga komitmennya semakin rendah.
 Jenis kelamin, wanita pada umumnya menghadapi tantangan lebih besar dalam
mencapai kariernya, sehingga komitmennya lebih tinggi.
 Status perkawinan, yang menikah lebih terikat dengan organisasinya.
 Keterlibatan kerja (job involvement), tingkat keterlibatan kerja individu berhubungan
positif dengan komitmen organisasi.

2. Situasional.

 Nilai (Value) Tempat kerja. Nilai-nilai yang dapat dibagikan adalah suatu komponen
kritis dari hubungan saling keterikatan. Nilai-nilai kualitas, Inovasi, Kooperasi,
partisipasi dan “Trust” akan mempermudah setiap anggota/karyawan untuk saling
berbagi dan memba- ngun hubungan erat. Jika para anggota/karyawan percaya bahwa
nilai organisasinya adalah kualitas produk jasa, para anggota/karyawan akan terlibat
dalam perilaku yang memberikan kontribusi untuk mewujudkan hal itu.
 Keadilan organisasi. Keadilan organisasi meliputi : Keadilan yang berkaitan dengan
kewajaran alokasi sumber daya (Distributive Justice), keadilan dalam proses pengambilan
keputusan (Procedural Justice), serta keadilan dalam persepsi kewajaran atas
pemeliharaan hubungan antar pribadi (Interactional Justice).
 Karakteristik pekerjaan. Meliputi pekerjaan yang penuh makna, otonomi dan umpan
balik dapat merupakan motivasi kerja yang internal. Jerigan, Beggs menyatakan kepuasan
atas otonomi, status dan kebijakan merupakan prediktor penting dari komitmen.
Karakteristik spesifik dari pekerjaan dapat meningkatkan rasa tanggung jawab, serta rasa
keterikatan terhadap organisasi.
 Dukungan organisasi. Dukungan organisasi mempunyai hubungan yang positif dengan
komitmen organisasi. Hubungan ini didefinisikan sebagai sejauh mana anggota/karyawan
mempersepsi bahwa organisasi (lembaga, atasan, rekan) memberi dorongan,respek,
menghargai kontribusi dan memberi apresiasi bagi individu dalam pekerjaannya. Hal ini
berarti jika organisasi peduli dengan keberadaan dan kesejahteraan personal
anggota/karyawan dan juga menghargai kontribusinya, maka anggota/karyawan akan
menjadi komit.

3. Positional.

 Masa kerja. Masa kerja yang lama akan semakin membuat anggota/karyawan komit, hal
ini disebabkan oleh karena : semakin memberi peluang anggtoa/karyawan untuk
menerima tugas menantang, otonomi semakin besar, serta peluang promosi yang lebih
tinggi. Juga peluang investasi pribadi berupa pikiran, tenaga dan waktu yang semakin
besar, hubungan sosial lebih bermakna, serta akses untuk mendapat informasi pekerjaan
baru makin berkurang.
 Tingkat pekerjaan. Berbagai penelitian menyebutkan status sosioekonomi sebagai
prediktor komitmen paling kuat. Status yang tinggi cenderung meningkatkan motivasi
maupun kemampun aktif terlibat. 

Membangun komitmen organisasi.

Menurut Martin dan Nicholss (1991) 3 pilar komitmen yang perlu dibangun adalah :

1. Rasa memiliki (a sense of belonging)


2. Rasa bergairah terhadap pekerjaannya
3. Kepemilikan terhadap organisasi (ownership)

     Rasa memiliki dapat dibangun dengan menumbuhkan rasa yakin anggota bahwa apa yang
dikerjakan berharga, rasa nyaman dalam organisasi , cara mendapat dukungan penuh dari
organisasi berupa misi dan nilai-nilai yang jelas yang berlaku di organisasi. Rasa bergairah
terhadap pekerjaan ditimbulkan dengan cara memberi perhatian, memberi delegasi wewenang,
serta memberi kesempatan serta ruang yang cukup bagi anggota/karyawan untuk menggunakan
ketrampilan dan keahliannya secara maksimal. Rasa kepemilikan dapat ditimbulkan dengan
melibatkan anggota/karyawan dalam membuat keputusan-keputusan.

Menurut Susatyo (2002) ada 5 faktor kunci untuk mengembangkan komitmen organisasi .

1. ”Fairness”. Lakukan penilaian kerja secara adil, keberpihakan aturan organisasi berlaku
seimbang terhadap individu dan organisasi, implementasi peraturan organisasi dilakukan
secara adil dan merata, gaji diberikan sesuai kontribusinya.
2. ”Trust” - Berikan kepercayaan terhadap anggota untuk menggunakan dan menguasai
aset organisasi untuk tujuan yang tepat. - Berikan keleluasaan dalam mengatur diri
sendiri serta mengambil keputusan yang menjadi kewenangannya.
3. Sediakan sumber daya yang memadai . Berupa jumlah personal dan kualifikasinya
serta alat peralatan.
4. Berikan perhatian dan kepedulian yang tulus terhadap karier dan
kesejahteraannya.
5. Pekerjaan yang terdefinisi dengan jelas. - Deskripsi kerja, target jangka pendek serta
perintah yang tegas dan jelas.

Ringkasan

     Komitmen organisasi merupakan nilai sentral untuk solidaritas organisasi serta peningkatan
kinerja organisasi.
Menurut asal usulnya komitmen organisasi dibagi menjadi 3 tingkatan: Affective Commitment,
Normative Commitment dan Continuance Commitment.
Diperlukan upaya-upaya dari organisasi terutama jajaran pimpinan untuk menumbuhkan
komitmen berupa : Pembudayaan misi dan nilai-nilai organisasi yang jelas, perhatian dan
kepedulian, pendelegasian wewenang, penerapan keadilan, penyediaan sumber daya yang
memadai, serta pendefinisian pekerjaan. Sudahkah kita lakukan?

Pengaruh budaya organisasi dan kepuasan insentif terhadap komitmen organisasi, organizational
citizenship behaviors dan kepuasan kerja karyawan pusat penelitian kelapa sawit sumatera utara/
- 2009

Analysis of Organizational Culture Influence and Incentive Satisfaction toward


Organizational Commitment, Job Satisfaction, and Organizational Citizenship Behaviors
of Employees In International Oil Palm Research Institute, North Sumatera

Master Theses from MBIPB / 2009-12-03 12:05:21


Oleh : Siti Rafika Hasibuan. , MB-IPB
Dibuat : 2009-12-03, dengan 0 file

Keyword : Budaya Organisasi, Kepuasan Insentif, Kepuasan Kerja, Komitmen Organisasi dan
Organizational Citizenship Behaviors
Subjek : MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA
Nomor Panggil (DDC) : 12(39) Has p

SITI RAFIKA HASIBUAN, 2009. Pengaruh Budaya Organisasi dan Kepuasan Insentif terhadap
Komitmen Organisasi, Organizational Citizenship Behaviors dan Kepuasan Kerja Karyawan
Pusat Penelitian Kelapa Sawit Sumatera Utara. Di Bawah Bimbingan Tb.SJAFRI
MANGKUPRAWIRA dan AJI HERMAWAN

Krisis di era global yang kini telah menjadi sebuah tantangan bagi Indonesia merupakan suatu
hal yang akan menyulitkan dunia usaha dalam rangka mewujudkan perusahaan yang kompetitif.
Hal ini tidak terlepas dari para pelaku pasar bisnis yang bergerak dalam bidang perkebunan
kelapa sawit. Mereka harus menghadapi persaingan bisnis yang semakin kompleks, baik untuk
persaingan dalam negeri maupun luar negeri dalam penyediaan kecambah kelapa sawit (PPKS,
2003). Perusahaan harus dapat meningkatkan daya saingnya untuk dapat tetap bertahan dan
mengembangkan eksistensi. Untuk meningkatkan daya saing tersebut diperlukan peningkatan
produktivitas baik kuantitas maupun kualitas serta kemampuan dalam memberikan pelayanan
terbaik yang memenuhi keinginan dan kepuasan konsumen. Peningkatan produktivitas dengan
peningkatan kinerja karyawan suatu organisasi, harus didahului dengan peningkatan komitmen
organisasi, organizational citizenship behaviors, dan kepuasan kerja sumber daya manusianya.
Untuk meningkatkan komitmen organisasi, organizational citizenship behaviors, dan kepuasan
kerja sumber daya manusia perlu memperhatikan faktor-faktor pendorong diantaranya adalah
budaya organisasi dan kepuasan insentif.
Budaya organisasi merupakan landasan yang digunakan dalam bekerja dan dapat menunjang
kinerja karyawan dan organisasi. Insentif merupakan kompensasi yang diberikan pihak
manajemen PPKS kepada individu. Permasalahan yang teridentifikasi berkaitan dengan budaya
organisasi dan insentif adalah agenda PPKS menuju ISO 9001:2008. Semua divisi melaksanakan
program benah diri termasuk divisi bagian SDM. Karyawan di bagian produksi yang
berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan pelanggan akan dievaluasi untuk menjadikan PPKS
sebagai perusahaan yang good corporate governance. Salah satu sub permasalahan yang
teridentifikasi adalah complaint dari pelanggan mengenai bibit asli tapi palsu (aspal). Hal ini
membahayakan konsumen karena bibit asli tapi palsu tersebut mutu dan kualitas
produktivitasnya tak bisa dipertanggungjawabkan di kemudian hari. Penelitian ini menjadi
penting karena maraknya peredaran benih kelapa sawit palsu membuat PPKS selayaknya
berhati-hati untuk menjaga kualitas produk. Selain itu juga terjadi penurunan produksi selama
tiga tahun belakangan dibandingkan tahun 2005. Produksi sangat rendah dibandingkan dengan
kapasitas produksi yang bisa mencapai 50 juta benih. Dengan demikian maka perumusan
masalah adalah 1) Bagaimana kondisi penerapan budaya organisasi, kepuasan sistem insentif dan
komitmen organisasi, organizational citizenship behaviors, dan kepuasan kerja karyawan PPKS,
2) Apakah terdapat pengaruh budaya organisasi terhadap kepuasan insentif, 3) Apakah terdapat
pengaruh kepuasan sistem insentif terhadap komitmen organisasi, organizational citizenship
behaviors, dan kepuasan kerja karyawan PPKS, 4) Apakah terdapat pengaruh budaya organisasi
terhadap komitmen organisasi, organizational citizenship behaviors, dan kepuasan kerja
karyawan PPKS, 5) Bagaimana usaha PPKS untuk meningkatkan komitmen organisasi,
organizational citizenship behaviors, dan kepuasan kerja karyawan melalui insentif dan budaya
organisasi.
Tujuan penelitian adalah 1) Menganalisis penerapan budaya organisasi, kepuasan sistem insentif,
dan komitmen organisasi, organizational citizenship behaviors, dan kepuasan kerja karyawan
PPKS, 2) Menganalisis pengaruh budaya organisasi terhadap kepuasan sistem insentif, 3)
Menganalisis pengaruh kepuasan sistem insentif terhadap komitmen organisasi, organizational
citizenship behaviors, dan kepuasan kerja karyawan PPKS, 4) Apakah terdapat pengaruh budaya
organisasi terhadap komitmen organisasi, organizational citizenship behaviors, dan kepuasan
kerja karyawan PPKS, 5) Merumuskan usaha untuk meningkatkan komitmen organisasi,
organizational citizenship behaviors, dan kepuasan kerja karyawan melalui kepuasan sistem
insentif dan budaya organisasi karyawan PPKS.
Penelitian dilakukan di PPKS Sumatera Utara dengan metode deskriptif dan studi kasus. Jumlah
sampel yang berhasil diambil sebanyak 175 responden dari kantor PPKS Medan dan Marihat
selama penelitian berlangsung. Teknik pengambilan sampling adalah convinience sampling.
Data dianalisis dengan analisis rataan skor, Confirmatory Factor Analisys (CFA) dan Structural
Equation Modelling (SEM). Analisis rataan skor digunakan untuk mengetahui persepsi
responden terhadap budaya organisasi, kepuasan insentif, komitmen organisasi, kepuasan kerja
dan organizational citizenship behaviors. CFA digunakan untuk melakukan uji validitas dan
reliabilitas. SEM digunakan untuk melihat seberapa besar pengaruh budaya organisasi dan
kepuasan insentif terhadap komitmen organisasi, kepuasan kerja dan Organizational Citizenship
Behaviors.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan budaya organisasi pada PPKS sumatera utara
sudah baik yang terlihat dari analisis rataan skor yang menunjukkan bahwa pada umumnya
responden menganggap penerapan budaya organisasi sudah baik. Karyawan juga
mempersepsikan puas terhadap insentif. Hal tersebut juga sama dengan kepuasan kerja
karyawan. Komitmen organisasi karyawan PPKS dinilai kuat dan penerapan OCB oleh karyawan
juga tinggi berdasarkan hasil analisis rataan skor. Hasil CFA juga menunjukkan validitas dan
tingkat reliabilitas yang baik pada setiap model. Analisis SEM menunjukkan bahwa variabel
budaya organisasi (saling percaya dan jujur) memiliki nilai loading factor yang paling besar,
sehingga variabel tergolong kategori sangat kuat berperan dalam membentuk budaya organisasi
yang baik. Dalam rangka menciptakan budaya organisasi yang lebih baik lagi, maka hubungan
saling percaya antar pimpinan, perusahaan dan rekan sekerja dalam bekerja sangat perlu
ditingkatkan dengan selalu mengedepankan integritas agar trust dapat dibangun untuk
meningkatkan komitmen, OCB dan kepuasan kerja.
Analisis SEM juga menunjukan bahwa variabel kepuasan insentif (kenaikan insentif) memiliki
nilai loading factor yang paling besar dan sangat berperan dalam membentuk kepuasan insentif.
Hasil analisis SEM juga memperlihatkan adanya pengaruh yang signifikan dan positif dari
variabel budaya organisasi khususnya saling percaya dan jujur terhadap kepuasan insentif yaitu
kepuasan akan kenaikan insentif. Variabel budaya organisasi juga berpengaruh signifikan dan
positif terhadap komitmen organisasi, kepuasan kerja dan OCB. Secara tidak langsung variabel
budaya organisasi di mediasi kepuasan insentif sehingga berpengaruh terhadap komitmen
organisasi, kepuasan kerja dan OCB. Semakin baik menerapkan budaya organisasi maka akan
semakin tinggi tingkat kepuasan kerja, komitmen organisasi dan OCB karyawan. Akan tetapi,
pengaruh langsung kepuasan insentif terhadap komitmen organisasi dan OCB tidak berpengaruh
secara signifikan kecuali pada kepuasan kerja walaupun pengaruh yang timbulkan sedang tidak
begitu kuat. Semakin puas terhadap kenaikan insentif maka semakin puas karyawan khususnya
aspek pengakuan.
Sebagai rekomendasi untuk meningkatkan kepuasan kerja, komitmen dan OCB karyawan
melalui budaya organisasi dan insentif, perusahaan dapat mengingatkan karyawan tentang
budaya organisasi melalui media-media dan mengawasi serta menghimbau untuk selalu
menjalankan budaya organisasi yang telah ada. Untuk meningkatkan kepuasan akan insentif
perusahaan dapat membina hubungan kepercayaan antara karyawan dengan organisasi dengan
transparansi sehingga akan meningkatkan kepuasan karyawan terhadap organisasi.
Kesimpulan yang diperoleh adalah budaya organisasi secara langsung berpengaruh signifikan
dan positif terhadap kepuasan insentif, dan secara tidak langsung berpengaruh terhadap kepuasan
kerja, komitmen organisasi dan OCB. Kepuasan sistem insentif secara langsung tidak
berpengaruh signifikan terhadap komitmen organisasi dan OCB tetapi berpengaruh secara positif
dan signifikan terhadap kepuasan kerja.

Deskripsi Alternatif :

Analysis of Organizational Culture Influence and Incentive Satisfaction toward Organizational


Commitment, Job Satisfaction, and Organizational Citizenship Behaviors of Employees In
International Oil Palm Research Institute, North Sumatera

Siti Rafika Hasibuan

The purpose of this study was to analyze Organizational Culture Influence and Incentive
Satisfaction toward Organizational Commitment, Job Satisfaction, and Organizational
Citizenship Behaviors of Employees In International Oil Palm Research Institute. The data were
collected from 175 employees in PPKS Medan and Marihat. Structural Equation Modelling
(SEM) used to analyze the data. The results of this study showed that: there was a positive and
significance influence of organizational culture on incentive satisfaction. Organizational
culture, also has a positive and significance influence on organizational commitment, job
satisfaction, and employee organizational citizenship behaviors. Trust and honesty are
recommended value to improve incentive satisfaction, especially incentive increment. They are
also recommended to improve job satisfaction, organizational commitment, and organizational
citizenship behaviors of employee. Otherwise, the incentive satisfaction especially incentive
increment has only affect on job satisfaction improvement, but has not affect on organizational
commitment and organizational citizenship behaviors of employees.

Keywords : Organizational Culture, Incentive Satisfaction, Organizational Commitment,


Organizational Citizenship Behaviors, Job Satisfaction, Structural Equation Modelling

Copyrights : Copyright @ 2001 by Program Pascasarjana Manajemen dan Bisnis IPB. Verbatim
copying and distribution of this entire article is permitted by author in any medium, provided this
notice is preserved.

Schein (dalam As’ad, 1986) mengartikan organisasi sebagai koordinasi sejumlah kegiatan manusia yang
direncanakan untuk mencapai suatu maksud atau tujuan bersama melalui serangkaian wewenang dan
tanggung jawab. Mulai dari orang yang paling sederhana hingga yang paling kompleks seperti misalnya
organisasi-organisasi, masyarakat dan negara sekalipun. Masing-masing individu dalam organisasi akan
mengadakan interaksi, saling bergantung dan membutuhkan satu sama lain. Scott (dalam Muhyadi,
1989) mengartikan organisasi sebagai suatu mekanisme yang mempunyai tujuan akhir yang hendak
dicapai serta memiliki kemampuan untuk memaksimalkan semangat kerja para anggotanya.Sutarto
(1979) mendefinisikan organisasi sebagai system salng mempengaruhi antara orang dalam kelompok
yang bekerja sama untuk mencapai tujuan tertentu.

Dari telaah para ahli diatas tentang organisasi adalah suatu system yang melibatkan sekelompok
manusia yang bekerja sama untuk mencapai tujuan dimana masing-masing orang diberi peranan
tertentu dalam suatu system kerja melalui jenjang wewenang dan tanggung jawab.

Pengertian Komitmen Organisasi


William dan Lazar (dalam Deni, 2006) mengatakan bahwa komitmen mempunyai dua arti, pertama
komitmen sebagai indikator, kedua komitmen merupakan suatu faktor yang berkaitan dengan rasa
percaya seseorang kepada nilai-nilain tujuan organisasi, keinginan untuk tetap menjadi anggota
organisasi.

Streers dan Porter (1983) mengemukakan bahwa komitmen merupakan suatu keadaan individu dimana
individu menjadi sangat terikat oleh tindakannya. Melalui tindakan ini akan menimbulkan keyakinan
yang menunjang aktivitas dan dan keterlibatannya. Mowday et.al, dalam Cooper dan Robertson, 1986)
mendefinisikan komitmen organisasi sebagai kekuatan yang bersifat relatif dari individu dalam
mengidentifikasi keterlibatan kedalam organisasi. Komitmen organisasi ditandai denagn tiga hal, yaitu
penerimaan terhadap nilai dan tujuan organisasi, kesiapan dan kesediaan untuk berusaha dengan
sungguh-sungguh atas nama organisasi dan keinginan untuk mempertahankan keanggotaan dalam
organisasi.

Robbins (2001) memandang komitmen sebagai salah satu sikap kerja karena merupakan refleksi dari
perasaan seseorang (suka atau tidak suka) terhadap organisasi ditempat individu tersebut bekerja. Lebih
lanjut ia mendefinisikan komitmen organisasi sebagai suatu orienttasi individu terhadap organisasi yang
mencakup loyalitas, identifikasi dan keterlibatan. Jadi komitmen organisasi mendefinisikan unsur
orientasi hubungan antara individu dengan organisasinya. Orientasi hubungan tersebut mengakibatkan
individu bersedia memberikan sesuatu dan sesuatu yang diberikan itu demi merefleksikan hubungan
bagi tercapainya tujuan organisasi.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Komitmen Organisasi


Komitmen organisasi sangat terkait dengan faktor individu dan juga faktor organisasi (Schultz dan Ellen,
1994). Individu yang telah berada dalam suatu organisasi lebih dari dua tahun, dan individu yang
memiliki keinginan untuk berkembang, memiliki komitmen organisasi yang tinggi disbanding dengan
individu yang baru masuk didalam suatu organisasi (Schultz dan Ellen, 1994). Penelitian yang dilakukan
oleh O’ Driscoll (dalam Schultz dan Ellen, 1994) pada 119 karyawan didaerah New Guenia, menunjukkan
bahwa perkembangan komitmen organisasi akan terlihat setelah enam bulan individu bergabung
didalam suatu organisasi, dan selanjutnya penelitian tersebut menemukan hubungan yang positif antara
komitmen organisasi dengan kepuasan kerja.

Schultz dan Ellen (1994) memberikan asumsi bahwa komitmen individu terhadap organisasi merupakan
bagian yang penting dalam proses individu didalam organisasi itu sendiri. Ada hubungan yang sangat
signifikan antara motivasi dan kepuasan kerja yang bisa meningkatkan komitmen pada organisasi.
Meskipun demikian, komitmen organisasi dapat memberikan konsekuensi yang negatif terhadap
mobilitas karyawan dan perasaan kebebasan individu untuk mencari pekerjaan lain.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi komitmen organisasi seseorang, yaitu karakteristik personal,
karakteristik organisasi. Dessler (1995) sendiri mengemukaan bahwatingginya komitmen karyawan
dalam suatu organisasi dipengaruhi oleh :
a. Nilai-nilai kemanusiaan. Pondasi yang utaman dalam membangun komitmen karyawan adalah adanya
kesungguhan dari organisasi untuk bisa memprioritaskan nilai-nilai kemanusiaan.
b. Komunikasi dua arah yang komprehensif. Komitmen organisasi dibangun atas dasar kepercayaan, dan
kepercayaan pasti membutuhkan komunikasi dua arah. Tanpa adanya komunikasi dua arah mustahil
komitmen organisasi dapat dibangun dengan baik.
c. Rasa kebersamaan dan kerukunan. Penelitian yang dilakukan oleh Kantar (dalam Dessler, 1995)
menemukan bahwa seperti dalam masyarakat utopis, organisasi yang ingin meraih kebersamaan,
seluruh faktor ini bersama-sama menciptakan rasa senasip dan kerukunan, yang pada tahap selanjutnya
memberi kontribusi pada komitmen karyawan.
d. Visi dan Misi. Dessler (1995) menyatakan bahwa pwmimpin dapat memberi inspirasi bagi tumbuhnya
performansi dan komitmen karyawan yang tinggi dengan cara memberi kesempatan pada karyawan
untuk dapat mengerti dan memahami visi dan misi bersama dalam sebuah organisasi.
e. Nilai sebagai dasar perekrutan. Nilai personal merupakan dasar kesesuaian seseorang untuk
menunjukkan kesesuaian dengan organisasi.
f. Kestabilan kerja. Karyawan dengan kestabilan yang tinggi akan memperoleh komitmen organisasi yang
tinggi pula.
g. Pengahayatan finansial. Herzberg et.al (1959) menyatakan bahwa faktor hygiene seperti gaji hanya
akan menghasilkan motivasi dalam jangka yang pendek. Oleh karena itu insentif yang diberikan kepada
individu yang telah berhasil melampaui target dari apa yang ditetapkan perlu dihargai jerih payah kerja
kerasnya.
Bishop dan Scott (2000) memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai apa yang mempengaruhi
seseorang untuk memiliki komitmen organisasi yang tinggi, hal ini disebabkan oleh :
a. Kepercayaan yang kuat dan tinggi terhadap organisasi dan penerimaan yang tinggi terhadap nilai dan
tujuan organisasi.
b. Kepercayaan memiliki yang tinggi sebagai bagian dari suatu organisasi.
c. Keyakianan yang tinggi untuk menjadi anggota organisasi.

Schultz dan Ellen (1994) menyatakan bahwa komitmen organisasi dipengaruhi oleh faktor-faktor
personal dan operasional. Faktor personal yang mempengaruhi komitmen organisasi adalah sikap yang
positif terhadap rekan kerja, sedangkan faktor-faktor operasional yang dapat mempengaruhi komitmen
organisasi antara lain pengayaan tugas, pekerjaan, otonomi dan kesempatan untuk menggunakan
kemampuan yang dimiliki. Mereka juga menyatakan ada tiga komponen penting dari komitmen
organisasi, komponen tersebut adalah penerimaan nilai dan tujuan dari organisasi, keinginan untuk
menjadi bagian dari suatu organisasi dan melakukan tugas denagn baik, dan memiliki keinginan kuat
untuk tetap berada didalam organisasi. Studi yang dilakukan oleh Hutchinson dan Sowa (dalam Schultz
dan Ellen, 1994) menunjukkan bahwa tingginya komitmen organisasi yang dimiliki karyawan dipengaruhi
oleh persepsi mereka terhadap seberapa tinggi komitmen yang ditunjukkna organisasi kepada mereka.
Semakin tinggi karyawan merasa harapan mereka dapat dicapai oleh organisasi, semakin patuh pula
mereka terhadap organisasi.
Steers dan Porter (1983) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi komitmen organisasi adalah:
1. Karakteristik personal yang meliputi pendidikan, dorongan berprestasi, masa kerja dan usia.
2. Karakteristik kerja yang didalamnya terdapat tantangan kerja, umpan balik, stres kerja, identifikasi
tugas, kejelasan peran, pengembangan diri, karir dan tanggung jawab.
3. Karakteristik organisasiyang meliputi desentralisasi dan tingkat partipasi dalam pengambilan
keputusan.
4. Sifat dan kualitas pekerjaan.

Tjosvold dan Tjosvold (1995) menyatakan bahwa lebih mudah mengartikan komitmen internal yang
dimiliki individu daripada menciptakan komitmen organisasi pada karyawan. Cara tradisional untuk
membangun komitmen organisasi adalah dengan menawarkan keamanan dalam bekerja dan promosi
yang bersifat regular pada karyawan. Komitmen sendiri akan terbentuk setelah karyawan merasakan
kepuasan kerja, dari berbagai pengalaman kerja yang mereka alami, jenis pekerjaan yang pernah
mereka tekuni, proses pengawasan, serta gaji yang merupakan faktor yang dapat mempengaruhi
komitmen organisasi saat karyawan memulai memasuki organisasi.

Telaah para ahli mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi komitmen organisasi diatas dapat
disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan faktor-faktor yang mempengaruhi komitmen organisasi
dapat dibagi menjadi dua yaitu faktor yang berasal dari dalam individu yaitu faktor personal, dan
berikutnya adalah faktor yang berasal dari luar individu yaitu faktor organisasional. Faktor personal
merupakan faktor yang ada didalam diri individu dalam menyikapi bmacam masalah yang ada didalam
suatu organisasi, hubungan interpersonal diantara individu, pendidikan, dorongan berprestasi, masa
kerja dan usia. Faktor organisasional menyangkut permasalahan eksternal individu yang didalamnya
termasuk pengayaan tugas, tantangan kerja, komunikasi antar individu, kerjasama dan kepercayaan
yang tinggi.

Proses Pembentukan Komitmen Organisasi


Komitmen organisasi merupakan salah satu faktor penting bagi kelanggengan suatu organisasi. Tanpa
adanya komitmen organisasi yang kuat dalam diri individu, tidak akan mungkin suatu organisasi dapat
berjalan dengan maksimal. Banyak sekali penelitian-penelitian yang mengupas dan memahami
permasalahan komitmen ornagisasi. Penelitian yang dilakukan oleh Dunham, Grube dan Castaneda
(1994) mengatakan bahwa adanya komitmen organisasi yang tinggi pada setiap diri individu sangat
berhubungan erat denagn rasa memiliki individu terhadap organisasi.

Miner (1988) menjelaskan bahwa ada tiga tahap proses pembentukan komitmen terhadap organisasi.
Tahap-tahap tersebut merupakan serangkaian waktu yang digunakan oleh individu untuk mencapai
puncak karir. Tahap-tahap ini adalah:
a. Komitmen awal. Ini terjadi karena adanya interaksi antara karakteristik personal dan karakteristik
pekerjaan. Interaksi tersebut akan membentuk harapan karyawan tentang pekerjaannya. Harapan
tentang pekerjaan inilah yang akan mempengaruhi sikap karyawan terhadap tingkat komitmen terhadap
organisasi.
b. Komitmen selama bekerja. Proses ini dimulai setelah individu bekerja. Selama bekerja karyawan
mempertimbangkan mengenai pekerjaan, pengawasan, gaji, kekompakan kerja, serta keadaan
organisasi dan ini akan menimbulkan perasaan tanggung jawab pada diri karyawan tersebut.
c. Komitmen selama perjalanan karir. Proses terbentuknya komitmen pada tahap masa pengabdian
terjadi selama karyawan meniti karir didalam organisasi. Dalam kurun waktu yang lama tersebut,
karyawan telah banyak melakukan berbagai tindakan, seperti investasi, keterlibatan sosial, mobilitas
sosial, mobilitas pekerjaan dan pengorbanan-pengorbanan lainnya.

Aspek-Aspek Komitmen Organisasi


Komitmen berorganisasi ditandai oleh suatu keinginan untuk memelihara anggotanya, terlibat dalam
bekerja dan menyesuaikan nilai-nilai pribadi dengan tujuan-tujuan serta kebijaksanaan organisasi.
Patchen (dalam Cooper & Robertson, 1986) berpendapat komitmen mencakup tiga aspek, yaitu:
a. Perasaan manunggal dengan tujuan organisasi (identifikasi), yang meliputi minat dan tujuan yang
sama dengan anggota organisasi lain.
b. Perasaan terlibat dalam organisasi, dimana perasaan terlibat pada organisasi merupakan perasaan
ikut memiliki dari karyawan terhadap organisasi.
c. Perasaan setia atau loyal pada perusahaan, merupakan kesetiaan individu dengan memberikan
dukungan serta mempertahankan kebijaksanaan organisasi.
Mowday, dkk. (dalam Cooper & Robertson, 1986) mengatakan bahwa komitmen organisasi mempunyai
tiga komponen sebagai cirri-cirinya, yaitu:
a. Penerimaan penuh dan kepercayaan yang kuat pada nilai-nilai dan tujuan organisasi.
b. Kesiapan dan kesediaan untuk berusaha dengan sungguh-sungguh atas nama organisasi.
c. Keinginan untuk mempertahankan keanggotaan didalam organisasi.
Charles O’ Reilly (dalam Coopr & Robertson, 1986) mengatakan bahwa komitmen organisasi adalah
suatu keadaan yang khas, dimana individu dalam hal ini adalah karyawan terikat secara psikologis
terhadap organisasi yang meliputi keterlibatan pekerjaan, loyalitas dan percaya pada nilai-nilai
organisasi. Selain itu ada tiga tahap dalam komitmen, yaitu:
a. Identifikasi, dimana individu menerima pengaruh untuk mendapatkan kepuasan.
b. Kerelaan dan kepuasan, dimana individu bersedia menerima pengaruh dari orang lain dan patuh
terhadap perintah atau tugas organisasi dalam hal ini adalah perusahaan terutama untuk
mempertahankan hubungan dan untuk mendapatkan kepuasan.
c. Internalisasi, dimana individu merasakan nilai-nilai organisasi yang bermanfaat dan sesuai dengan
nilai-nilai pribadinya.

Sementara Etzioni (dalam Cooper & Robertson, 1986) mengemukakan tiga aspek dalam komitmen
organisasi, yaitu:
a.Moral involvement (keterlibatan secara moral), merupakan orientasi yang positif dan kuat terhadap
organisasi karena ada internalisasi internalisasi terhadap organisasi sejauh mana konsistensi identitas
pribadinya dengan tujuan organisasi.
b. Calculative involvement (keterlibatan dengan perhitungan), merupakan keinginan individu untuk
menetap pada suatu organisasi karena kepentingan timbale balik dengan organisasi tempat individu
tersebut bekerja.
c. Alienative involvement (keterlibatan sebagai orang asing), merupakan orientasi yang negative
terhadap organisasi terutama pada situasi saat individu merasa terpaksa untuk berperilaku tertentu.
Allen dan Meyer (dalam Smither, 1998) tidak hanya melihat komitmen organisasi dari segi pertimbangan
untung ruginya karyawan bertahan atau meninggalkan organisasi serta didasarkan pada norma yang ada
dalam diri karyawan. Keduanya menyatakan bahwa ada tiga komponen dalam komitmen organisasi.
Komponen pertama adalah komitmen afektif, yang berkaitan dengan adanya keinginan untuk terikat
pada organisasi. Kata kunci dari komponen afektif adalah want to. Komponen kedua adalah komitmen
yang didasarkan pertimbangan untung rugi yang disebut sebagai continuance commitment atau bisa
juga disebut dengan komitmen rasional, kebutuhan untuk bertahan (need to) adalah kata kunci dari
komitmen rasional ini. Komponen terakhir adalah komitmen yang didasarkan pada norma yang ada
dalam diri karyawan dan disebut sebagai komitmen normatif, kata kunci dari komitmen normatif ini
adalah kewajiban untuk bertahan dalam organisasi (ought to).

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek komitmen organisasi meliputi
kemauan yang kuat untuk mempertahankan keanggotaannya dalam organisasi yang ditandai dengan
kesetiaan pada organisasi atau perusahaan, kemampuan yang kuat berusaha semaksimal mungkin demi
kemajuan dengan ikut mendukung kegiatan-kegiatan yang sesuai dengan sasaran organisasi serta
adanya penerimaan nilai, tujuan dan sasaran organisasi. Aspek-aspek yang akan dijadikan alat ukur
adalah perasaan manunggal dengan organisasi, perasaan terlibat pada organisasi, dan perasaan setia
dan loyal pada perusahaan.

Cari Artikel Disini

IKLAN

ARTIKEL LAINNYA
 Semangat Kerja (Pengertian, Aspek dan faktor)
 Tes Psikologi DAP (Draw A Person)
 Lowongan Kerja Sarjana Psikologi PT. Plaza Indonesia Realty Tbk
 Minat Membeli Dalam Psikologi
 Lowongan Kerja STAFF HRD
 Perkembangan Psikologi Industri Dan Organisasi
 Loyalitas Kerja
 Gangguan Belajar
 Gangguan Perkembangan Pervasif
 Retardasi Mental
 Teori Psikologi: Prestasi Kerja
 Recall Memory dalam Psikologi
 Gaya Hidup Clubbing Remaja
 Komitmen Karyawan Pada Perusahaan
 Lowongan Kerja Management trainee PT. Tiga Serangkai
 Konteks Sosial Dalam Perkembangan Anak
 Persepsi Lingkungan Psikososial Kerja
 Perkembangan Kognitif
 Teori Psikologi: Kepuasan Kerja
 Kajian Psikologi Pendidikan: Kekerasan Dunia Pendidikan di Bandung

Arsip Blog

<a href="http://www4.shoutmix.com/?bowothea29">View shoutbox</a>


Free chat widget @ ShoutMix

Live Traffic Feed


  Jakarta, Jakarta Raya arrived from google.co.id on "Komitmen Organisasi | Situs Belajar
Psikologi"
  Jakarta, Jakarta Raya arrived from google.co.id on "Depresi | Situs Belajar Psikologi"
  Jakarta, Jakarta Raya arrived from google.co.id on "Mengatasi Rasa Cemas | Situs Belajar
Psikologi"
  Jakarta, Jakarta Raya arrived from google.co.id on "Mengatasi Rasa Cemas | Situs Belajar
Psikologi"
  Kuala Lumpur, Wilayah Persekutuan arrived on "Pendekatan Psikoterapi Rational Emotive
therapy | Situs Belajar Psikologi"
  Indonesia arrived from google.co.id on "Kecerdasan Emosional | Situs Belajar Psikologi"
  Oslo arrived from google.com on "Apa itu Persepsi? | Situs Belajar Psikologi"
  Indonesia arrived from google.co.id on "kumpulan kata Mutiara untuk motivasi hidup anda |
Situs Belajar Psikologi"
  Surabaya, Jawa Timur arrived from google.co.id on "Situs Belajar Psikologi"
  Semarang, Jawa Tengah arrived from bengawan.org on "Situs Belajar Psikologi"
Watch in Real-Time
Options>>  

Feedjit Live Blog Stats

Komitmen Organisasi

Rabu, Agustus 12, 2009


Schein (dalam As’ad, 1986) mengartikan organisasi sebagai koordinasi sejumlah kegiatan
manusia yang direncanakan untuk mencapai suatu maksud atau tujuan bersama melalui
serangkaian wewenang dan tanggung jawab. Mulai dari orang yang paling sederhana hingga
yang paling kompleks seperti misalnya organisasi-organisasi, masyarakat dan negara sekalipun.
Masing-masing individu dalam organisasi akan mengadakan interaksi, saling bergantung dan
membutuhkan satu sama lain. Scott (dalam Muhyadi, 1989) mengartikan organisasi sebagai
suatu mekanisme yang mempunyai tujuan akhir yang hendak dicapai serta memiliki kemampuan
untuk memaksimalkan semangat kerja para anggotanya.Sutarto (1979) mendefinisikan organisasi
sebagai system salng mempengaruhi antara orang dalam kelompok yang bekerja sama untuk
mencapai tujuan tertentu.

Dari telaah para ahli diatas tentang organisasi adalah suatu system yang melibatkan sekelompok
manusia yang bekerja sama untuk mencapai tujuan dimana masing-masing orang diberi peranan
tertentu dalam suatu system kerja melalui jenjang wewenang dan tanggung jawab.

Pengertian Komitmen Organisasi


William dan Lazar (dalam Deni, 2006) mengatakan bahwa komitmen mempunyai dua arti,
pertama komitmen sebagai indikator, kedua komitmen merupakan suatu faktor yang berkaitan
dengan rasa percaya seseorang kepada nilai-nilain tujuan organisasi, keinginan untuk tetap
menjadi anggota organisasi.

Streers dan Porter (1983) mengemukakan bahwa komitmen merupakan suatu keadaan individu
dimana individu menjadi sangat terikat oleh tindakannya. Melalui tindakan ini akan
menimbulkan keyakinan yang menunjang aktivitas dan dan keterlibatannya. Mowday et.al,
dalam Cooper dan Robertson, 1986) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai kekuatan yang
bersifat relatif dari individu dalam mengidentifikasi keterlibatan kedalam organisasi. Komitmen
organisasi ditandai denagn tiga hal, yaitu penerimaan terhadap nilai dan tujuan organisasi,
kesiapan dan kesediaan untuk berusaha dengan sungguh-sungguh atas nama organisasi dan
keinginan untuk mempertahankan keanggotaan dalam organisasi.

Robbins (2001) memandang komitmen sebagai salah satu sikap kerja karena merupakan refleksi
dari perasaan seseorang (suka atau tidak suka) terhadap organisasi ditempat individu tersebut
bekerja. Lebih lanjut ia mendefinisikan komitmen organisasi sebagai suatu orienttasi individu
terhadap organisasi yang mencakup loyalitas, identifikasi dan keterlibatan. Jadi komitmen
organisasi mendefinisikan unsur orientasi hubungan antara individu dengan organisasinya.
Orientasi hubungan tersebut mengakibatkan individu bersedia memberikan sesuatu dan sesuatu
yang diberikan itu demi merefleksikan hubungan bagi tercapainya tujuan organisasi.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Komitmen Organisasi


Komitmen organisasi sangat terkait dengan faktor individu dan juga faktor organisasi (Schultz
dan Ellen, 1994). Individu yang telah berada dalam suatu organisasi lebih dari dua tahun, dan
individu yang memiliki keinginan untuk berkembang, memiliki komitmen organisasi yang tinggi
disbanding dengan individu yang baru masuk didalam suatu organisasi (Schultz dan Ellen,
1994). Penelitian yang dilakukan oleh O’ Driscoll (dalam Schultz dan Ellen, 1994) pada 119
karyawan didaerah New Guenia, menunjukkan bahwa perkembangan komitmen organisasi akan
terlihat setelah enam bulan individu bergabung didalam suatu organisasi, dan selanjutnya
penelitian tersebut menemukan hubungan yang positif antara komitmen organisasi dengan
kepuasan kerja.

Schultz dan Ellen (1994) memberikan asumsi bahwa komitmen individu terhadap organisasi
merupakan bagian yang penting dalam proses individu didalam organisasi itu sendiri. Ada
hubungan yang sangat signifikan antara motivasi dan kepuasan kerja yang bisa meningkatkan
komitmen pada organisasi. Meskipun demikian, komitmen organisasi dapat memberikan
konsekuensi yang negatif terhadap mobilitas karyawan dan perasaan kebebasan individu untuk
mencari pekerjaan lain.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi komitmen organisasi seseorang, yaitu karakteristik
personal, karakteristik organisasi. Dessler (1995) sendiri mengemukaan bahwatingginya
komitmen karyawan dalam suatu organisasi dipengaruhi oleh :
a. Nilai-nilai kemanusiaan. Pondasi yang utaman dalam membangun komitmen karyawan adalah
adanya kesungguhan dari organisasi untuk bisa memprioritaskan nilai-nilai kemanusiaan.
b. Komunikasi dua arah yang komprehensif. Komitmen organisasi dibangun atas dasar
kepercayaan, dan kepercayaan pasti membutuhkan komunikasi dua arah. Tanpa adanya
komunikasi dua arah mustahil komitmen organisasi dapat dibangun dengan baik.
c. Rasa kebersamaan dan kerukunan. Penelitian yang dilakukan oleh Kantar (dalam Dessler,
1995) menemukan bahwa seperti dalam masyarakat utopis, organisasi yang ingin meraih
kebersamaan, seluruh faktor ini bersama-sama menciptakan rasa senasip dan kerukunan, yang
pada tahap selanjutnya memberi kontribusi pada komitmen karyawan.
d. Visi dan Misi. Dessler (1995) menyatakan bahwa pwmimpin dapat memberi inspirasi bagi
tumbuhnya performansi dan komitmen karyawan yang tinggi dengan cara memberi kesempatan
pada karyawan untuk dapat mengerti dan memahami visi dan misi bersama dalam sebuah
organisasi.
e. Nilai sebagai dasar perekrutan. Nilai personal merupakan dasar kesesuaian seseorang untuk
menunjukkan kesesuaian dengan organisasi.
f. Kestabilan kerja. Karyawan dengan kestabilan yang tinggi akan memperoleh komitmen
organisasi yang tinggi pula.
g. Pengahayatan finansial. Herzberg et.al (1959) menyatakan bahwa faktor hygiene seperti gaji
hanya akan menghasilkan motivasi dalam jangka yang pendek. Oleh karena itu insentif yang
diberikan kepada individu yang telah berhasil melampaui target dari apa yang ditetapkan perlu
dihargai jerih payah kerja kerasnya.
Bishop dan Scott (2000) memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai apa yang mempengaruhi
seseorang untuk memiliki komitmen organisasi yang tinggi, hal ini disebabkan oleh :
a. Kepercayaan yang kuat dan tinggi terhadap organisasi dan penerimaan yang tinggi terhadap
nilai dan tujuan organisasi.
b. Kepercayaan memiliki yang tinggi sebagai bagian dari suatu organisasi.
c. Keyakianan yang tinggi untuk menjadi anggota organisasi.

Schultz dan Ellen (1994) menyatakan bahwa komitmen organisasi dipengaruhi oleh faktor-faktor
personal dan operasional. Faktor personal yang mempengaruhi komitmen organisasi adalah sikap
yang positif terhadap rekan kerja, sedangkan faktor-faktor operasional yang dapat mempengaruhi
komitmen organisasi antara lain pengayaan tugas, pekerjaan, otonomi dan kesempatan untuk
menggunakan kemampuan yang dimiliki. Mereka juga menyatakan ada tiga komponen penting
dari komitmen organisasi, komponen tersebut adalah penerimaan nilai dan tujuan dari organisasi,
keinginan untuk menjadi bagian dari suatu organisasi dan melakukan tugas denagn baik, dan
memiliki keinginan kuat untuk tetap berada didalam organisasi. Studi yang dilakukan oleh
Hutchinson dan Sowa (dalam Schultz dan Ellen, 1994) menunjukkan bahwa tingginya komitmen
organisasi yang dimiliki karyawan dipengaruhi oleh persepsi mereka terhadap seberapa tinggi
komitmen yang ditunjukkna organisasi kepada mereka. Semakin tinggi karyawan merasa
harapan mereka dapat dicapai oleh organisasi, semakin patuh pula mereka terhadap organisasi.
Steers dan Porter (1983) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi komitmen organisasi
adalah:
1. Karakteristik personal yang meliputi pendidikan, dorongan berprestasi, masa kerja dan usia.
2. Karakteristik kerja yang didalamnya terdapat tantangan kerja, umpan balik, stres kerja,
identifikasi tugas, kejelasan peran, pengembangan diri, karir dan tanggung jawab.
3. Karakteristik organisasiyang meliputi desentralisasi dan tingkat partipasi dalam pengambilan
keputusan.
4. Sifat dan kualitas pekerjaan.

Tjosvold dan Tjosvold (1995) menyatakan bahwa lebih mudah mengartikan komitmen internal
yang dimiliki individu daripada menciptakan komitmen organisasi pada karyawan. Cara
tradisional untuk membangun komitmen organisasi adalah dengan menawarkan keamanan dalam
bekerja dan promosi yang bersifat regular pada karyawan. Komitmen sendiri akan terbentuk
setelah karyawan merasakan kepuasan kerja, dari berbagai pengalaman kerja yang mereka alami,
jenis pekerjaan yang pernah mereka tekuni, proses pengawasan, serta gaji yang merupakan faktor
yang dapat mempengaruhi komitmen organisasi saat karyawan memulai memasuki organisasi.

Telaah para ahli mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi komitmen organisasi diatas dapat
disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan faktor-faktor yang mempengaruhi komitmen
organisasi dapat dibagi menjadi dua yaitu faktor yang berasal dari dalam individu yaitu faktor
personal, dan berikutnya adalah faktor yang berasal dari luar individu yaitu faktor organisasional.
Faktor personal merupakan faktor yang ada didalam diri individu dalam menyikapi bmacam
masalah yang ada didalam suatu organisasi, hubungan interpersonal diantara individu,
pendidikan, dorongan berprestasi, masa kerja dan usia. Faktor organisasional menyangkut
permasalahan eksternal individu yang didalamnya termasuk pengayaan tugas, tantangan kerja,
komunikasi antar individu, kerjasama dan kepercayaan yang tinggi.

Proses Pembentukan Komitmen Organisasi


Komitmen organisasi merupakan salah satu faktor penting bagi kelanggengan suatu organisasi.
Tanpa adanya komitmen organisasi yang kuat dalam diri individu, tidak akan mungkin suatu
organisasi dapat berjalan dengan maksimal. Banyak sekali penelitian-penelitian yang mengupas
dan memahami permasalahan komitmen ornagisasi. Penelitian yang dilakukan oleh Dunham,
Grube dan Castaneda (1994) mengatakan bahwa adanya komitmen organisasi yang tinggi pada
setiap diri individu sangat berhubungan erat denagn rasa memiliki individu terhadap organisasi.

Miner (1988) menjelaskan bahwa ada tiga tahap proses pembentukan komitmen terhadap
organisasi. Tahap-tahap tersebut merupakan serangkaian waktu yang digunakan oleh individu
untuk mencapai puncak karir. Tahap-tahap ini adalah:
a. Komitmen awal. Ini terjadi karena adanya interaksi antara karakteristik personal dan
karakteristik pekerjaan. Interaksi tersebut akan membentuk harapan karyawan tentang
pekerjaannya. Harapan tentang pekerjaan inilah yang akan mempengaruhi sikap karyawan
terhadap tingkat komitmen terhadap organisasi.
b. Komitmen selama bekerja. Proses ini dimulai setelah individu bekerja. Selama bekerja
karyawan mempertimbangkan mengenai pekerjaan, pengawasan, gaji, kekompakan kerja, serta
keadaan organisasi dan ini akan menimbulkan perasaan tanggung jawab pada diri karyawan
tersebut.
c. Komitmen selama perjalanan karir. Proses terbentuknya komitmen pada tahap masa
pengabdian terjadi selama karyawan meniti karir didalam organisasi. Dalam kurun waktu yang
lama tersebut, karyawan telah banyak melakukan berbagai tindakan, seperti investasi,
keterlibatan sosial, mobilitas sosial, mobilitas pekerjaan dan pengorbanan-pengorbanan lainnya.

Aspek-Aspek Komitmen Organisasi


Komitmen berorganisasi ditandai oleh suatu keinginan untuk memelihara anggotanya, terlibat
dalam bekerja dan menyesuaikan nilai-nilai pribadi dengan tujuan-tujuan serta kebijaksanaan
organisasi.
Patchen (dalam Cooper & Robertson, 1986) berpendapat komitmen mencakup tiga aspek, yaitu:
a. Perasaan manunggal dengan tujuan organisasi (identifikasi), yang meliputi minat dan tujuan
yang sama dengan anggota organisasi lain.
b. Perasaan terlibat dalam organisasi, dimana perasaan terlibat pada organisasi merupakan
perasaan ikut memiliki dari karyawan terhadap organisasi.
c. Perasaan setia atau loyal pada perusahaan, merupakan kesetiaan individu dengan memberikan
dukungan serta mempertahankan kebijaksanaan organisasi.
Mowday, dkk. (dalam Cooper & Robertson, 1986) mengatakan bahwa komitmen organisasi
mempunyai tiga komponen sebagai cirri-cirinya, yaitu:
a. Penerimaan penuh dan kepercayaan yang kuat pada nilai-nilai dan tujuan organisasi.
b. Kesiapan dan kesediaan untuk berusaha dengan sungguh-sungguh atas nama organisasi.
c. Keinginan untuk mempertahankan keanggotaan didalam organisasi.
Charles O’ Reilly (dalam Coopr & Robertson, 1986) mengatakan bahwa komitmen organisasi
adalah suatu keadaan yang khas, dimana individu dalam hal ini adalah karyawan terikat secara
psikologis terhadap organisasi yang meliputi keterlibatan pekerjaan, loyalitas dan percaya pada
nilai-nilai organisasi. Selain itu ada tiga tahap dalam komitmen, yaitu:
a. Identifikasi, dimana individu menerima pengaruh untuk mendapatkan kepuasan.
b. Kerelaan dan kepuasan, dimana individu bersedia menerima pengaruh dari orang lain dan
patuh terhadap perintah atau tugas organisasi dalam hal ini adalah perusahaan terutama untuk
mempertahankan hubungan dan untuk mendapatkan kepuasan.
c. Internalisasi, dimana individu merasakan nilai-nilai organisasi yang bermanfaat dan sesuai
dengan nilai-nilai pribadinya.

Sementara Etzioni (dalam Cooper & Robertson, 1986) mengemukakan tiga aspek dalam
komitmen organisasi, yaitu:
a.Moral involvement (keterlibatan secara moral), merupakan orientasi yang positif dan kuat
terhadap organisasi karena ada internalisasi internalisasi terhadap organisasi sejauh mana
konsistensi identitas pribadinya dengan tujuan organisasi.
b. Calculative involvement (keterlibatan dengan perhitungan), merupakan keinginan individu
untuk menetap pada suatu organisasi karena kepentingan timbale balik dengan organisasi tempat
individu tersebut bekerja.
c. Alienative involvement (keterlibatan sebagai orang asing), merupakan orientasi yang negative
terhadap organisasi terutama pada situasi saat individu merasa terpaksa untuk berperilaku
tertentu.

Allen dan Meyer (dalam Smither, 1998) tidak hanya melihat komitmen organisasi dari segi
pertimbangan untung ruginya karyawan bertahan atau meninggalkan organisasi serta didasarkan
pada norma yang ada dalam diri karyawan. Keduanya menyatakan bahwa ada tiga komponen
dalam komitmen organisasi. Komponen pertama adalah komitmen afektif, yang berkaitan
dengan adanya keinginan untuk terikat pada organisasi. Kata kunci dari komponen afektif adalah
want to. Komponen kedua adalah komitmen yang didasarkan pertimbangan untung rugi yang
disebut sebagai continuance commitment atau bisa juga disebut dengan komitmen rasional,
kebutuhan untuk bertahan (need to) adalah kata kunci dari komitmen rasional ini. Komponen
terakhir adalah komitmen yang didasarkan pada norma yang ada dalam diri karyawan dan
disebut sebagai komitmen normatif, kata kunci dari komitmen normatif ini adalah kewajiban
untuk bertahan dalam organisasi (ought to).

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek komitmen organisasi meliputi
kemauan yang kuat untuk mempertahankan keanggotaannya dalam organisasi yang ditandai
dengan kesetiaan pada organisasi atau perusahaan, kemampuan yang kuat berusaha semaksimal
mungkin demi kemajuan dengan ikut mendukung kegiatan-kegiatan yang sesuai dengan sasaran
organisasi serta adanya penerimaan nilai, tujuan dan sasaran organisasi. Aspek-aspek yang akan
dijadikan alat ukur adalah perasaan manunggal dengan organisasi, perasaan terlibat pada
organisasi, dan perasaan setia dan loyal pada perusahaan.

Referensi
As’ad,M.1991. Psikologi Industri. Yogyakarta : Liberty
Steers,R.M, & Porter, L.M.1983.Motivation and Work Behaviour. New York : Mac Graw Hill
Book Inc.
Robbin,S.P.1998.Organization Behaviour. New Jersy : Prentice Hall Inc
Steers,R.M, & Porter, L.M.1983.Motivation and Work Behaviour. New York : Mac Graw Hill
Book Inc.

Schultz,O.P. & Ellen,S. 1994. Psychology at Work Today. An introduction to Industrial and
Organizational Psychology. New York : Mac Millan Publising Company.

You might also like