Professional Documents
Culture Documents
Menurut Vijay Santhe sebagaimana dikutip oleh Taliziduhu Ndraha (1997)_budaya adalah : “
The set of important assumption (often unstated) that members of community share in common”.
Secara umum namun operasional, Edgar Schein (2002) dari MIT dalam tulisannya tentang
Organizational Culture & Leadership mendefinisikan budaya sebagai:
“A pattern of shared basic assumptions that the group learned as it solved its problems of
external adaptation and internal integration, that has worked well enough to be considered valid
and, therefore, to be taught to new members as the correct way you perceive, think, and feel in
relation to those problems”.
Dari Vijay Sathe dan Edgar Schein, kita temukan kata kunci dari pengertian budaya yaitu shared
basic assumptions atau menganggap pasti terhadap sesuatu. Taliziduhu Ndraha mengemukakan
bahwa asumsi meliputi beliefs (keyakinan) dan value (nilai). Beliefs merupakan asumsi dasar
tentang dunia dan bagaimana dunia berjalan. Duverger sebagaimana dikutip oleh Idochi Anwar
dan Yayat Hidayat Amir (2000) mengemukakan bahwa belief (keyakinan) merupakan state of
mind (lukisan fikiran) yang terlepas dari ekspresi material yang diperoleh suatu komunitas.
Value (nilai) merupakan suatu ukuran normatif yang mempengaruhi manusia untuk
melaksanakan tindakan yang dihayatinya. Menurut Vijay Sathe dalam Taliziduhu (1997) nilai
merupakan “ basic assumption about what ideals are desirable or worth striving for.” Sementara
itu, Moh Surya (1995) memberikan gambaran tentang nilai sebagai berikut :
“…setiap orang mempunyai berbagai pengalaman yang memungkinkan dia berkembang dan
belajar. Dari pengalaman itu, individu mendapatkan patokan-patokan umum untuk bertingkah
laku. Misalnya, bagaimana cara berhadapan dengan orang lain, bagaimana menghormati orang
lain, bagimana memilih tindakan yang tepat dalam satu situasi, dan sebagainya. Patokan-patokan
ini cenderung dilakukan dalam waktu dan tempat tertentu.”
Pada bagian lain dikemukakan pula bahwa nilai mempunyai fungsi : (1) nilai sebagai standar; (2)
nilai sebagai dasar penyelesaian konflik dan pembuatan keputusan; (3) nilai sebagai motivasi; (4)
nilai sebagai dasar penyesuaian diri; dan (5) nilai sebagai dasar perwujudan diri. Hal senada
dikemukakan oleh Rokeach yang dikutip oleh Danandjaya dalam Taliziduhu Ndraha (1997)
bahwa : “ a value system is learned organization rules to help one choose between alternatives,
solve conflict, and make decision.”
Dalam budaya organisasi ditandai adanya sharing atau berbagi nilai dan keyakinan yang sama
dengan seluruh anggota organisasi. Misalnya berbagi nilai dan keyakinan yang sama melalui
pakaian seragam. Namun menerima dan memakai seragam saja tidaklah cukup. Pemakaian
seragam haruslah membawa rasa bangga, menjadi alat kontrol dan membentuk citra organisasi.
Dengan demikian, nilai pakaian seragam tertanam menjadi basic. Menurut Sathe dalam
Taliziduhu Ndraha (1997) bahwa shared basic assumptions meliputi : (1) shared things; (2)
shared saying, (3) shared doing; dan (4) shared feelings.
Pada bagian lain, Edgar Schein (2002) menyebutkan bahwa basic assumption dihasilkan
melalui : (1) evolve as solution to problem is repeated over and over again; (2) hypothesis
becomes reality, dan (3) to learn something new requires resurrection, reexamination, frame
breaking.
Dengan memahami konsep dasar budaya secara umum di atas, selanjutnya kita akan berusaha
memahami budaya dalam konteks organisasi atau biasa disebut budaya organisasi
(organizational culture). Adapun pengertian organisasi di sini lebih diarahkan dalam pengertian
organisasi formal. Dalam arti, kerja sama yang terjalin antar anggota memiliki unsur visi dan
misi, sumber daya, dasar hukum struktur, dan anatomi yang jelas dalam rangka mencapai tujuan
tertentu.
Sejak lebih dari seperempat abad yang lalu, kajian tentang budaya organisasi menjadi daya tarik
tersendiri bagi kalangan ahli maupun praktisi manajemen, terutama dalam rangka memahami dan
mempraktekkan perilaku organisasi.
Edgar Schein (2002) mengemukakan bahwa budaya organisasi dapat dibagi ke dalam dua
dimensi yaitu :
Dimensi external environments; yang didalamnya terdapat lima hal esensial yaitu: (a) mission
and strategy; (b) goals; (c) means to achieve goals; (d) measurement; dan (e) correction.
Dimensi internal integration yang di dalamnya terdapat enam aspek utama, yaitu : (a) common
language; (b) group boundaries for inclusion and exclusion; (c) distributing power and status;
(d) developing norms of intimacy, friendship, and love; (e) reward and punishment; dan (f)
explaining and explainable : ideology and religion.
Pada bagian lain, Edgar Schein mengetengahkan sepuluh karateristik budaya organisasi,
mencakup : (1) observe behavior: language, customs, traditions; (2) groups norms: standards
and values; (3) espoused values: published, publicly announced values; (4) formal philosophy:
mission; (5) rules of the game: rules to all in organization; (6) climate: climate of group in
interaction; (7) embedded skills; (8) habits of thinking, acting, paradigms: shared knowledge for
socialization; (9) shared meanings of the group; dan (10) metaphors or symbols.
Sementara itu, Fred Luthan (1995) mengetengahkan enam karakteristik penting dari budaya
organisasi, yaitu : (1) obeserved behavioral regularities; yakni keberaturan cara bertindak dari
para anggota yang tampak teramati. Ketika anggota organisasi berinteraksi dengan anggota
lainnya, mereka mungkin menggunakan bahasa umum, istilah, atau ritual tertentu; (2) norms;
yakni berbagai standar perilaku yang ada, termasuk di dalamnya tentang pedoman sejauh mana
suatu pekerjaan harus dilakukan; (3) dominant values; yaitu adanya nilai-nilai inti yang dianut
bersama oleh seluruh anggota organisasi, misalnya tentang kualitas produk yang tinggi, absensi
yang rendah atau efisiensi yang tinggi; (4) philosophy; yakni adanya kebijakan-kebijakan yang
berkenaan dengan keyakinan organisasi dalam memperlakukan pelanggan dan karyawan (5)
rules; yaitu adanya pedoman yang ketat, dikaitkan dengan kemajuan organisasi (6) organization
climate; merupakan perasaan keseluruhan (an overall “feeling”) yang tergambarkan dan
disampaikan melalui kondisi tata ruang, cara berinteraksi para anggota organisasi, dan cara
anggota organisasi memperlakukan dirinya dan pelanggan atau orang lain
Dari ketiga pendapat di atas, kita melihat adanya perbedaan pandangan tentang karakteristik
budaya organisasi, terutama dilihat dari segi jumlah karakteristik budaya organisasi. Kendati
demikian, ketiga pendapat tersebut sesungguhnya tidak menunjukkan perbedaan yang prinsipil.
Budaya organisasi dapat dipandang sebagai sebuah sistem. Mc Namara (2002) mengemukakan
bahwa dilihat dari sisi in put, budaya organisasi mencakup umpan balik (feed back) dari
masyarakat, profesi, hukum, kompetisi dan sebagainya. Sedangkan dilihat dari proses, budaya
organisasi mengacu kepada asumsi, nilai dan norma, misalnya nilai tentang : uang, waktu,
manusia, fasilitas dan ruang. Sementara dilihat dari out put, berhubungan dengan pengaruh
budaya organisasi terhadap perilaku organisasi, teknologi, strategi, image, produk dan
sebagainya.
Dilihat dari sisi kejelasan dan ketahanannya terhadap perubahan, John P. Kotter dan James L.
Heskett (1998) memilah budaya organisasi menjadi ke dalam dua tingkatan yang berbeda.
Dikemukakannya, bahwa pada tingkatan yang lebih dalam dan kurang terlihat, nilai-nilai yang
dianut bersama oleh orang dalam kelompok dan cenderung bertahan sepanjang waktu bahkan
meskipun anggota kelompok sudah berubah. Pengertian ini mencakup tentang apa yang penting
dalam kehidupan, dan dapat sangat bervariasi dalam perusahaan yang berbeda : dalam beberapa
hal orang sangat mempedulikan uang, dalam hal lain orang sangat mempedulikan inovasi atau
kesejahteraan karyawan. Pada tingkatan ini budaya sangat sukar berubah, sebagian karena
anggota kelompok sering tidak sadar akan banyaknya nilai yang mengikat mereka bersama. Pada
tingkat yang terlihat, budaya menggambarkan pola atau gaya perilaku suatu organisasi, sehingga
karyawan-karyawan baru secara otomatis terdorong untuk mengikuti perilaku sejawatnya.
Sebagai contoh, katakanlah bahwa orang dalam satu kelompok telah bertahun-tahun menjadi
“pekerja keras”, yang lainnya “sangat ramah terhadap orang asing dan lainnya lagi selalu
mengenakan pakaian yang sangat konservatif. Budaya dalam pengertian ini, masih kaku untuk
berubah, tetapi tidak sesulit pada tingkatan nilai-nilai dasar. Untuk lebih jelasnya lagi mengenai
tingkatan budaya ini dapat dilihat dalam bagan 1.
Nilai yang dianut bersama : Keyakinan dan tujuan penting yang dimiliki bersama
oleh kebanyakan orang dalam kelompok yang cenderung membentuk perilaku
kelompok, dan sering bertahan lama, bahkan walaupun sudah terjadi perubahan
dalam anggota kelompok.
Contoh: para manajer yang mempedulikan pelanggan; eksekutif yang suka dengan
pertimbangan jangka panjang.
Norma perilaku kelompok : cara bertindak yang sudah lazim atau sudah meresap
yang ditemukan dalam satu kelompok dan bertahan karena anggota kelompok
cenderung berperilaku dengan cara mengajarkan praktek-praktek (juga- nilai-nilai
yang mereka anut bersama) kepada para anggota baru memberi imbalan kepada
mereka yang menyesuaikan dirinya dan menghukum yang tidak.
Contoh: para karyawan cepat menanggapi permintaan pelanggan; para menajer
yang sering melibatkan karyawan tingkat bawah dalam pengambilan keputusan.
(sumber : John P. Kotter. & James L. Heskett, 1998. Corporate Culture and Performance. (terj Benyamin Molan). Jakarta:
PT Prehalindo, h.5)
Pada bagian lain, John P. Kotter dan James L. Heskett (1998) memaparkan pula tentang tiga
konsep budaya organisasi yaitu : (1) budaya yang kuat; (2) budaya yang secara strategis cocok;
dan (3) budaya adaptif.
Organisasi yang memiliki budaya yang kuat ditandai dengan adanya kecenderungan hampir
semua manajer menganut bersama seperangkat nilai dan metode menjalankan usaha organisasi.
Karyawan baru mengadopsi nilai-nilai ini dengan sangat cepat. Seorang eksekutif baru bisa saja
dikoreksi oleh bawahannya, selain juga oleh bossnya, jika dia melanggar norma-norma
organisasi. Gaya dan nilai dari suatu budaya yang cenderung tidak banyak berubah dan akar-
akarnya sudah mendalam, walaupun terjadi penggantian manajer. Dalam organisasi dengan
budaya yang kuat, karyawan cenderung berbaris mengikuti penabuh genderang yang sama.
Nilai-nilai dan perilaku yang dianut bersama membuat orang merasa nyaman dalam bekerja, rasa
komitmen dan loyalitas membuat orang berusaha lebih keras lagi. Dalam budaya yang kuat
memberikan struktur dan kontrol yang dibutuhkan, tanpa harus bersandar pada birokrasi formal
yang mencekik yang dapat menekan tumbuhnya motivasi dan inovasi.
Budaya yang strategis cocok secara eksplisit menyatakan bahwa arah budaya harus
menyelaraskan dan memotivasi anggota, jika ingin meningkatkan kinerja organisasi. Konsep
utama yang digunakan di sini adalah “kecocokan”. Jadi, sebuah budaya dianggap baik apabila
cocok dengan konteksnya. Adapun yang dimaksud dengan konteks bisa berupa kondisi obyektif
dari organisasinya atau strategi usahanya.
Budaya yang adaptif berangkat dari logika bahwa hanya budaya yang dapat membantu
organisasi mengantisipasi dan beradaptasi dengan perubahan lingkungan, akan diasosiasikan
dengan kinerja yang superiror sepanjang waktu. Ralph Klimann menggambarkan budaya adaptif
ini merupakan sebuah budaya dengan pendekatan yang bersifat siap menanggung resiko,
percaya, dan proaktif terhadap kehidupan individu. Para anggota secara aktif mendukung usaha
satu sama lain untuk mengidentifikasi semua masalah dan mengimplementasikan pemecahan
yang dapat berfungsi. Ada suatu rasa percaya (confidence) yang dimiliki bersama. Para
anggotanya percaya, tanpa rasa bimbang bahwa mereka dapat menata olah secara efektif masalah
baru dan peluang apa saja yang akan mereka temui. Kegairahan yang menyebar luas, satu
semangat untuk melakukan apa saja yang dia hadapi untuk mencapai keberhasilan organisasi.
Para anggota ini reseptif terhadap perubahan dan inovasi. Rosabeth Kanter mengemukakan
bahwa jenis budaya ini menghargai dan mendorong kewiraswastaan, yang dapat membantu
sebuah organisasi beradaptasi dengan lingkungan yang berubah, dengan memungkinkannya
mengidentifikasi dan mengeksploitasi peluang-peluang baru. Contoh perusahaan yang
mengembangkan budaya adaptif ini adalah Digital Equipment Corporation dengan budaya yang
mempromosikan inovasi, pengambilan resiko, pembahasan yang jujur, kewiraswastaan, dan
kepemimpinan pada banyak tingkat dalam hierarki.
Selanjutnya, kita akan membicarakan tentang proses terbentuknya budaya dalam organisasi.
Munculnya gagasan-gagasan atau jalan keluar yang kemudian tertanam dalam suatu budaya
dalam organisasi bisa bermula dari mana pun, dari perorangan atau kelompok, dari tingkat
bawah atau puncak. Taliziduhu Ndraha (1997) menginventarisir sumber-sumber pembentuk
budaya organisasi, diantaranya : (1) pendiri organisasi; (2) pemilik organisasi; (3) Sumber daya
manusia asing; (4) luar organisasi; (4) orang yang berkepentingan dengan organisasi (stake
holder); dan (6) masyarakat. Selanjutnya dikemukakan pula bahwa proses budaya dapat terjadi
dengan cara: (1) kontak budaya; (2) benturan budaya; dan (3) penggalian budaya. Pembentukan
budaya tidak dapat dilakukan dalam waktu yang sekejap, namun memerlukan waktu dan bahkan
biaya yang tidak sedikit untuk dapat menerima nilai-nilai baru dalam organisasi.
Setelah mapan, budaya organisasi sering mengabadikan dirinya dalam sejumlah hal. Calon
anggota kelompok mungkin akan disaring berdasarkan kesesuaian nilai dan perilakunya dengan
budaya organisasi. Kepada anggota organisasi yang baru terpilih bisa diajarkan gaya kelompok
secara eksplisit. Kisah-kisah atau legenda-legenda historis bisa diceritakan terus menerus untuk
mengingatkan setiap orang tentang nilai-nilai kelompok dan apa yang dimaksudkan dengannya.
Para manajer bisa secara eksplisit berusaha bertindak sesuai dengan contoh budaya dan gagasan
budaya tersebut. Begitu juga, anggota senior bisa mengkomunikasikan nilai-nilai pokok mereka
secara terus menerus dalam percakapan sehari-hari atau melalui ritual dan perayaan-perayaan
khusus.
Orang-orang yang berhasil mencapai gagasan-gagasan yang tertanam dalam budaya ini dapat
terkenal dan dijadikan pahlawan. Proses alamiah dalam identifikasi diri dapat mendorong
anggota muda untuk mengambil alih nilai dan gaya mentor mereka. Barangkali yang paling
mendasar, orang yang mengikuti norma-norma budaya akan diberi imbalan (reward) sedangkan
yang tidak, akan mendapat sanksi (punishment). Imbalan (reward) bisa berupa materi atau pun
promosi jabatan dalam organisasi tertentu sedangkan untuk sanksi (punishment) tidak hanya
diberikan berdasar pada aturan organisasi yang ada semata, namun juga bisa berbentuk sanksi
sosial. Dalam arti, anggota tersebut menjadi isolated di lingkungan organisasinya.
Dalam suatu organisasi sesungguhnya tidak ada budaya yang “baik” atau “buruk”, yang ada
hanyalah budaya yang “cocok” atau “tidak cocok” . Jika dalam suatu organisasi memiliki budaya
yang cocok, maka manajemennya lebih berfokus pada upaya pemeliharaan nilai-nilai- yang ada
dan perubahan tidak perlu dilakukan. Namun jika terjadi kesalahan dalam memberikan asumsi
dasar yang berdampak terhadap rendahnya kualitas kinerja, maka perubahan budaya mungkin
diperlukan.
Karena budaya ini telah berevolusi selama bertahun-tahun melalui sejumlah proses belajar yang
telah berakar, maka mungkin saja sulit untuk diubah. Kebiasaan lama akan sulit dihilangkan.
Walaupun demikian, Howard Schwartz dan Stanley Davis dalam bukunya Matching Corporate
Culture and Business Strategy yang dikutip oleh Bambang Tri Cahyono mengemukakan empat
alternatif pendekatan terhadap manajemen budaya organisasi, yaitu : (1) lupakan kultur; (2)
kendalikan disekitarnya; (3) upayakan untuk mengubah unsur-unsur kultur agar cocok dengan
strategi; dan (4) ubah strategi. Selanjutnya Bambang Tri Cahyono (1996) dengan mengutip
pemikiran Alan Kennedy dalam bukunya Corporate Culture mengemukan bahwa terdapat lima
alasan untuk membenarkan perubahan budaya secara besar-besaran : (1) Jika organisasi memiliki
nilai-nilai yang kuat namun tidak cocok dengan lingkungan yang berubah; (2) Jika organisasi
sangat bersaing dan bergerak dengan kecepatan kilat; (3) Jika organisasi berukuran sedang-
sedang saja atau lebih buruk lagi; (4) Jika organisasi mulai memasuki peringkat yang sangat
besar; dan (5) Jika organisasi kecil tetapi berkembang pesat.
Selanjutnya Kennedy mengemukakan bahwa jika tidak ada satu pun alasan yang cocok dengan
di atas, jangan lakukan perubahan. Analisisnya terhadap sepuluh kasus usaha mengubah budaya
menunjukkan bahwa hal ini akan memakan biaya antara 5 sampai 10 persen dari yang telah
dihabiskan untuk mengubah perilaku orang. Meskipun demikian mungkin hanya akan
didapatkan setengah perbaikan dari yang diinginkan. Dia mengingatkan bahwa hal itu akan
memakan biaya lebih banyak lagi. dalam bentuk waktu, usaha dan uang.
Dengan memahami konsep tentang budaya organisasi sebagaimana telah diutarakan di atas,
selanjutnya di bawah ini akan diuraikan tentang pengembangan budaya organisasi dalam konteks
persekolahan. Secara umum, penerapan konsep budaya organisasi di sekolah sebenarnya tidak
jauh berbeda dengan penerapan konsep budaya organisasi lainnya. Kalaupun terdapat perbedaan
mungkin hanya terletak pada jenis nilai dominan yang dikembangkannya dan karakateristik dari
para pendukungnya. Berkenaan dengan pendukung budaya organisasi di sekolah Paul E.
Heckman sebagaimana dikutip oleh Stephen Stolp (1994) mengemukakan bahwa “the commonly
held beliefs of teachers, students, and principals.”
Nilai-nilai yang dikembangkan di sekolah, tentunya tidak dapat dilepaskan dari keberadaan
sekolah itu sendiri sebagai organisasi pendidikan, yang memiliki peran dan fungsi untuk
berusaha mengembangkan, melestarikan dan mewariskan nilai-nilai budaya kepada para
siswanya. Dalam hal ini, Larry Lashway (1996) menyebutkan bahwa “schools are moral
institutions, designed to promote social norms,…” .
Nilai-nilai yang mungkin dikembangkan di sekolah tentunya sangat beragam. Jika merujuk pada
pemikiran Spranger sebagaimana disampaikan oleh Sumadi Suryabrata (1990), maka setidaknya
terdapat enam jenis nilai yang seyogyanya dikembangkan di sekolah. Dalam tabel 1 berikut ini
dikemukakan keenam jenis nilai dari Spranger beserta perilaku dasarnya.
Sumber : Modifikasi dari Sumadi Suryabrata. 1990. Psikologi Kepribadian. Jakarta: Rajawali.
Dengan merujuk pada pemikiran Fred Luthan, dan Edgar Schein, di bawah ini akan diuraikan
tentang karakteristik budaya organisasi di sekolah, yaitu tentang (1) obeserved behavioral
regularities; (2) norms; (3) dominant value. (4) philosophy; (5) rules dan (6) organization
climate.
Di sekolah terjadi interaksi yang saling mempengaruhi antara individu dengan lingkungannya,
baik lingkungan fisik maupun sosial. Lingkungan ini akan dipersepsi dan dirasakan oleh individu
tersebut sehingga menimbulkan kesan dan perasaan tertentu. Dalam hal ini, sekolah harus dapat
menciptakan suasana lingkungan kerja yang kondusif dan menyenangkan bagi setiap anggota
sekolah, melalui berbagai penataan lingkungan, baik fisik maupun sosialnya. Moh. Surya (1997)
menyebutkan bahwa:
Lingkungan kerja yang kondusif baik lingkungan fisik, sosial maupun psikologis dapat
menumbuhkan dan mengembangkan motif untuk bekerja dengan baik dan produktif. Untuk itu,
dapat diciptakan lingkungan fisik yang sebaik mungkin, misalnya kebersihan ruangan, tata letak,
fasilitas dan sebagainya. Demikian pula, lingkungan sosial-psikologis, seperti hubungan antar
pribadi, kehidupan kelompok, kepemimpinan, pengawasan, promosi, bimbingan, kesempatan
untuk maju, kekeluargaan dan sebagainya. “
Dalam konteks Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS, Depdiknas (2001)
mengemukakan bahwa salah satu karakterististik MPMBS adalah adanya lingkungan yang aman
dan tertib, dan nyaman sehingga proses belajar mengajar dapat berlangsung dengan nyaman
(enjoyable learning).
Upaya untuk mengembangkan budaya organisasi di sekolah terutama berkenaan tugas kepala
sekolah selaku leader dan manajer di sekolah. Dalam hal ini, kepala sekolah hendaknya mampu
melihat lingkungan sekolahnya secara holistik, sehingga diperoleh kerangka kerja yang lebih
luas guna memahami masalah-masalah yang sulit dan hubungan-hubungan yang kompleks di
sekolahnya. Melalui pendalaman pemahamannya tentang budaya organisasi di sekolah, maka ia
akan lebih baik lagi dalam memberikan penajaman tentang nilai, keyakinan dan sikap yang
penting guna meningkatkan stabilitas dan pemeliharaan lingkungan belajarnya.
Daftar Pustaka
Alan Cowling & Philip James. 1996 .The Essence of Personnel Management and Industrial Relations (terj. Xavier
Quentin Pranata). Yogyakarta: ANDI.
Depdiknas. 2001. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah; Buku 1 Konsep dan Pelaksanaan. Jakarta :
Direktorat SLTP Dirjen Dikdasmen,
Jann E. Freed. et.al. “A Culture for Academic Excellence: Implementing the Quality Principles in Higher
Education”. (http://www.ed.gov/databases/ERICDigests/ed406962.html).
John P. Kotter. & James L. Heskett, 1998. Corporate Culture and Performance. (terj Benyamin Molan). Jakarta: PT
Prehalindo.
Idochi Anwar dan Yayat Hidayat Amir,. 2000. Administrasi Pendidikan : Teori, Konsep & Issu, Bandung : Program
Pasca Sarjana UPI Bandung.
Larry Lashway. “Ethical Leadership”. ERIC Digest. Number 106. June 1996.
(http://eric.uoregon.edu/publications/digests/digest107.html ).
Moh. Surya .1995. Nilai-Nilai Kehidupan (makalah) . Kuningan : PGRI PD II Kuningan h. 3-8
Pusat Kurikulum, Balitbang Depdiknas. 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta : Depdiknas,
Edgar H Schein,. “Organizational Culture & Leadership”. MIT Sloan Management Review.
(http://www.tnellen.com/ted/tc/schein.html)
Stephen Stolp. Leadership for School Culture. ERIC Digest, Number 91. Tahun 1994
(http://www.ed.gov/databases/ERIC_Digests/ ed370198.html).
Van Peursen. 1984. Strategi Kebudayaan. (terjemahan Dick Hartoko). Jakarta: Yayasan Kanisius,
Dwi Irawati
Universitas Muhammadiyah Purworejo
This article describes the significant impacts of promoting corporate culture for employees especially new
recuits in their understanding of corporate culture or corporate values. Promoting corporate culture and /
or corporate values is often used by many organizations to help their employees recognizing the
organization's condition and surroundings. The success of this process depends on the role of the
manager as well as the employess's involvement in achieving "person-culture fit", degrees of efficacy in
reaching according to organizational culture, and accuracy of selected socialization method and weared.
Pendahuluan
Kecenderungan sifat persaingan menuju persaingan global mesti disikapi dengan cepat dan tepat karena
persaingan yang bersifat global tersebut biasanya menuntut perubahan manajemen atau pun struktur
organisasi yang pada akhirnya akan berdampak pula pada budaya organisasi, dan sebaliknya. Namun,
perubahan manajemen dan restrukturisasi tidak akan membawa hasil yang optimal tanpa disertai adanya
budaya yang kondusif terhadap perubahan tersebut.
Organisasi sebagai sistem yang terbuka, dapat dipandang sebagai homogeneous culture dan
heterogeneous
culture. Homogeneous culture menekankan pada proffesional culture dan corporate culture yang secara
bersama-sama membentuk suatu komitmen jangka panjang terhadap kemajuan organisasi, sedangkan
heterogeneous culture dibentuk dan dikembangkan oleh subkultur yang tumbuh dalam unit yang berbeda
dalam suatu organisasi.
Dalam berbagai penelitian yang telah dilakukan diperoleh indikasi bahwa budaya organisasi akan dapat
dipahami dan diterima dengan baik oleh anggota (karyawan) hanya apabila di antara keduanya terdapat
kesesuaian / kecocokan, yaitu antara budaya yang tumbuh dan berkembang dalam organisasi dengan
budaya yang tumbuh dalam setiap individu (person-culture fit). Semakin tinggi kesesuaian di antara
keduanya, maka semakin rendah tingkat turnover karyawan (Bass & Avolio, 1993; Vestal, 1997). Salah
satu cara yang dapat dipakai untuk mewujudkan kesesuaian antara budaya organisasi dengan budaya
setiap individu anggota adalah proses sosialisasi budaya organisasi.
Proses sosialisasi diperlukan anggota untuk menjadikan mereka sebagai anggota organisasi yang baik,
sehingga anggota tidak merasa asing dengan situasi dan budaya yang telah dimiliki organisasi. Biasanya,
karyawan yang untuk pertama kalinya bergabung dengan perusahaan akan merasa asing dan diliputi
ketidakmengertian yang mendalam tentang prosedur-prosedur ataupun kebijakan-kebijakan serta nilai-
nilai yang terdapat dalam organisasi.
Salah satu tujuan sosialisasi adalah memperkenalkan nilai-nilai budaya organisasi secara total sehingga
diharapkan karyawan akan berperilaku sesuai dengan budaya organisasi. Proses sosialisasi budaya
membutuhkan waktu lama di samping juga memerlukan perhatian serius. Program sosialisasi pada
akhirnya diharapkan mampu memberikan gambaran yang tepat kepada karyawan tentang lingkungan
pekerjaan dan budaya organisasi tempatnya bekerja.
Untuk menciptakan proses sosialisasi yang benar, diperlukan keterlibatan karyawan, organisasi itu
sendiri, dan pemimpin yang dapat memberikan dukungan serta melakukan koordinasi yang tepat selama
proses sosialisasi.
Setiap organisasi tentunya memiliki definisi yang berbeda-beda mengenai budaya organisasi. Menurut
Robins (1999) budaya organisasi adalah sistem nilai bersama dalam suatu organisasi yang menentukan
tingkat bagaimana para karyawan melakukan kegiatan untuk mencapai tujuan organisasi. Budaya
organisasi juga didefinisikan sebagai suatu nilai-nilai yang memedomani sumber daya manusia dalam
menghadapi permasalahan eksternal dan usaha penyesuaian integrasi ke dalam perusahaan, sehingga
masing-masing anggota organisasi harus memahami nilai-nilai yang ada serta mengerti bagaimana
mereka harus bertindak dan bertingkah laku (Susanto, 1997).
Semua sumber daya manusia harus dapat memahami dengan benar budaya organisasinya, karena
pemahaman ini sangat berkaitan dengan setiap langkah ataupun kegiatan yang dilakukan, baik
perencanaan yang bersifat strategis dan taktikal maupun kegiatan implementasi perencanaan, dimana
setiap kegiatan tersebut harus berdasar pada budaya organisasi.
Hasil penelitian yang dilakukan O'Reilly, Chatman dan Caldwell (1991) dan Sheridan (1992)
menunjukkan arti pentingnya nilai budaya organisasi dalam mempengaruhi perilaku dan sikap individu.
Hasil penelitian tersebut memberikan indikasi bahwa terdapat hubungan antara person-organization fit
dengan tingkat kepuasan kerja, komitmen dan turnover karyawan, dimana individu yang sesuai dengan
budaya organisasi memiliki kecenderungan untuk mempunyai kepuasan kerja dan komitmen tinggi pada
organisasi, dan juga memiliki intensitas tinggi untuk tetap tinggal dan bekerja di organisasi, sebaliknya,
individu yang tidak sesuai dengan budaya organisasi cenderung untuk mempunyai kepuasan kerja dan
komitmen rendah, akibatnya kecenderungan untuk meninggalkan organisasi tentu saja lebih tinggi
(tingkat turnover karyawan tinggi). Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa nilai budaya secara
signifikan mempengaruhi efektifitas organisasi melalui peningkatan kualitas output dan mengurangi biaya
pengadaan tenaga kerja.
Dengan memahami dan menyadari arti penting budaya organisasi bagi setiap individu, akan mendorong
para manajer menciptakan kultur yang menekankan pada interpersonal relationship (yang lebih menarik
bagi karyawan) dibandingkan dengan kultur yang menekankan pada work task. Menurut Robbins (1993)
ada sepuluh karakteristik kunci yang merupakan inti budaya organisasi, yakni :
1) Member identity, yaitu identitas anggota dalam organisasi secara keseluruhan, dibandingkan dengan
identitas dalam kelompok kerja atau bidang profesi masing-masing,
2) Group emphasis, yaitu seberapa besar aktivitas kerja bersama lebih ditekankan dibandingkan kerja
individual,
3) People focus, yaitu seberapa jauh keputusan manajemen yang diambil digunakan untuk
mempertimbangkan keputusan tersebut bagi anggota organisasi,
4) Unit integration, yaitu seberapa jauh unit-unit di dalam organisasi dikondisikan untuk beroperasi secara
terkoordinasi,
5) Control, yaitu banyaknya / jumlah peraturan dan pengawasan langsung digunakan untuk mengawasi
dan mengendalikan perilaku karyawan,
6) Risk tolerance, yaitu besarnya dorongan terhadap karyawan untuk menjadi lebih agresif, inovatif, dan
berani mengambil risiko,
7) Reward criteria, yaitu berapa besar imbalan dialokasikan sesuai dengan kinerja karyawan
dibandingkan alokasi berdasarkan senioritas, favoritism, atau faktor-faktor nonkinerja lainnya, 8) Conflict
tolerance, yaitu besarnya dorongan yang diberikan kepada karyawan untuk bersikap terbuka terhadap
konflik dan kritik,
9) Means-ends orientation, yaitu intensitas manajemen dalam menekankan pada penyebab atau hasil,
dibandingkan pada teknik dan proses yang digunakan untuk mengembangkan hasil,
10) Open-system focus, yaitu besarnya pengawasan organisasi dan respon yang diberikan untuk
mengubah lingkungan eksternal.
Kesinambungan organisasi sangat tergantung pada budaya yang dimiliki. Susanto (1997)
mengemukakan bahwa budaya perusahaan dapat dimanfaatkan sebagai daya saing andalan organisasi
dalam menjawab tantangan dan perubahan. Budaya organisasi pun dapat berfungsi sebagai rantai
pengikat dalam proses menyamakan persepsi atau arah pandang anggota terhadap suatu permasalahan,
sehingga akan menjadi satu kekuatan dalam pencapaian tujuan organisasi.
1) membatasi peran yang membedakan antara organisasi yang satu dengan organisasi lain karena setiap
organisasi mempunyai peran yang berbeda, sehingga perlu memiliki akar budaya yang kuat dalam sistem
dan kegiatan yang ada di dalamnya,
2) menimbulkan rasa memiliki identitas bagi anggota; dengan budaya yang kuat anggota organisasi akan
merasa memiliki identitas yang merupakan ciri khas organisasinya,
3) mementingkan tujuan bersama daripada mengutamakan kepentingan individu,
4) menjaga stabilitas organisasi; komponen-komponen organisasi yang direkatkan oleh pemahaman
budaya yang sama akan membuat kondisi internal organisasi relatif stabil.
Keempat fungsi tersebut menunjukkan bahwa budaya dapat membentuk perilaku dan tindakan karyawan
dalam menjalankan aktivitasnya. Oleh karena itu, nilai-nilai yang ada dalam oragnisasi perlu ditanamkan
sejak dini pada diri setiap anggota.
Definisi Sosialisasi
Budaya organisasi yang homogen dapat diciptakan melalui kegiatan sosialisasi budaya organisasi.
Dalam hal ini perusahaan melakukan tindakan manipulasi budaya/persepsi. Hal-hal yang dianggap
membawa pengaruh buruk pada anggota akan diarahkan agar memberi pengaruh baik, sehingga
tindakan ini diharapkan dapat menciptakan kondisi yang paling ideal yang harus dilakukan seluruh
anggota.
Sosialisasi dapat diartikan sebagai proses di mana individu ditransformasikan pihak luar untuk
berpartisipasi sebagai anggota organisasi yang efektif (Greenberg, 1995). Gibson (1994) memandang
sosialisasi sebagai suatu aktivitas yang dilakukan oleh organisasi untuk mengintegrasikan tujuan
organisasional maupun individual. Dalam pengertian ini terdapat dua kepentingan yaitu kepentingan
organisasional dan kepentingan individual. Dengan kata lain, di dalam prosesnya, sosialisasi akan
berhasil bila ada partisipasi karyawan selain adanya dukungan organisasi yang bersangkutan.
Sosialisasi mencakup kegiatan di mana anggota mempelajari seluk beluk organisasi serta bagaimana
mereka harus berinteraksi dan berkomunikasi antaranggota organisasi untuk menjalankan seluruh
aktivitas organisasi. Umumnya, sosialisasi menyangkut dua masalah yaitu masalah makro dan masalah
mikro. Masalah makro berkaitan dengan pekerjaan yang dihadapi karyawan, sedangkan masalah mikro
lebih menyangkut pada kebijakan, struktur dan budaya organisasi.
Keberhasilan proses sosialisasi budaya tergantung pada dua hal utama (Susanto, 1997), yakni:
1) derajat keberhasilan mencapai kesesuaian nilai-nilai yang dimiliki karyawan baru dengan organisasi,
2) metode sosialisasi yang dipilih manajemen puncak dalam mengimplementasikan budayanya. Oleh
sebab itu organisasi harus mampu mengajak anggotanya, terutama anggota baru, untuk menyesuaiakan
dengan budaya organisasi yang menjadi pedoman pencapaian kinerja yang baik.
Di samping itu, organisasi (dibantu oleh manajemen puncak) juga harus mampu melaksanakan kegiatan
sosialisasi budaya pada sumber daya manusianya, agar hasil proses sosialisasi memberi dampak positif
pada produktivitas, komitmen, serta turnover sumber daya manusia tersebut. Pada akhirnya implemetasi
sosialisasi budaya organisasi akan mendukung dan mendorong sumber daya manusia untuk mencapai
sasaran yang diinginkan.
Sosialisasi budaya selain bermanfaat bagi anggota tentu saja juga membawa manfaat pada organisasi.
Bagi anggota sosialisasi budaya memberikan gambaran yang jelas mengenai organisasi yang
dimasukinya, sehingga anggota baru terbantu dalam membuat keputusan yang tepat, sesuai dengan
situasi yang dihadapi. Selain itu, sosialisasi budaya juga memudahkan anggota dalam menyesuaikan diri
dengan lingkungan, pekerjaan, dan anggota lain intraorganisasi. sehingga menumbuhkan komitmen
karyawan yang pada akhirnya diharapkan meningkatkan kinerja organisasi secara keseluruhan.
Bagi organisasi, sosialisasi budaya bermanfaat sebagai alat komunikasi untuk semua hal yang
berhubungan dengan aktivitas dan budaya organisasi sehingga hasilnya dapat dimanfaatkan anggota
untuk memahami segala sesuatu mengenai organisasi. Proses sosialisasi dapat dilakukan dalam proses
perekrutan karyawan yang sesuai dengan organisasi dan yang mempunyai potensi besar untuk lebih
berkembang. Pemilihan karyawan yang sesuai dengan budaya organisasi akan memperkuat budaya
organisasi yang telah ada.
Proses sosialisasi budaya khususnya ditujukan bagi calon karyawan baru yang akan bergabung dengan
perusahaan dan / atau anggota yang baru saja diterima menjadi anggota, karena mereka belum
mengenal budaya organisasi secara komprehensif. Luthan (1995) menjelaskan bahwa proses sosialisasi
budaya organisasi dapat dilakukan melalui tahap-tahap berikut ini:
1) Seleksi calon karyawan perusahaan; sejak awal pemilihan calon karyawan, organisasi dapat
mempertimbangkan berbagai kemungkinan apakah calon karyawan tertentu akan dapat menerima kultur
yang ada atau justru akan merusak kultur yang telah terbangun,
2) Penempatan karyawan pada suatu pekerjaan tertentu, dengan tujuan menciptakan kohesivitas di
antara karyawan,
3) Pendalaman bidang pekerjaan; tahap ini dimaksudkan agar seseorang anggota semakin mengenal
dengan baik dan menyatu dengan bidang tugasnya serta memahami apa yang menjadi tugas dan
tanggung jawab masing-masing,
4) Penilaian kinerja dan pemberian penghargaan, dimaksudkan agar karyawan dapat melaksanakan
pekerjaannya sesuai dengan ketentuan organisasi sebagai salah satu norma budaya serta dapat lebih
intensif menerapkannya di masa datang,
6) Memperluas cerita dan berita tentang berbagai hal berkaitan dengan budaya organisasi, misalnya
cerita tentang pemutusan hubungan kerja kepada seseorang karyawan karena menyalahgunakan
kekuasaan/wewenang untuk kepentingan pribadi meskipun karyawan tersebut sangat potensial. Hal
tersebut menekankan betapa pentingnya moral bagi setiap karyawan, dan nilai moral ini tidak dapat
ditebus hanya dengan potensi yang dimiliki,
7) Pengakuan atas kinerja dan promosi, diberikan kepada karyawan yang mampu melaksanakan tugas,
kewajiban, dan tanggung jawabnya dengan baik serta dapat menjadi teladan karyawan lain, khususnya
karyawan yang baru bergabung.
Untuk dapat memberikan pengakuan, organisasi harus memiliki kriteria/ukuran baku yang dapat
diterapkan secara konsisten serta dapat diikuti dengan transparan oleh karyawan lain. Beberapa hal yang
dapat dijadikan tolok ukur, misalnya:
1) kemampuan teknik,
3) kepribadian,
4) potentiality, dan
Penutup
Tercapainya tujuan organisasi tergantung pada adanya kesesuaian antara individu sebagai anggota
organisasi dengan budaya organisasinya. Sosialisasi merupakan salah satu strategi yang dapat
dilaksanakan untuk memberikan pemahaman nilai-nilai budaya organisasi kepada anggota yang dapat
mendukung tercapainya tujuan individu dan tujuan organisasi.
6) memperluas cerita dan berita mengenai berbagai hal yang berhubungan dengan budaya organisasi,
Proses sosialisasi yang dilakukan perusahaan dimaksudkan untuk meningkatkan produktivitas dan
kinerja serta meningkatkan komitmen anggota. Ketika tingkat komitmen karyawan tinggi secara otomatis
tingkat turnover karyawan rendah. Namun hal yang tidak boleh dilupakan adalah keberhasilan proses
sosialisasi budaya sangat bergantung pada derajat keberhasilan dalam mencapai kesesuaian dengan
budaya organisasi, ketepatan metode sosialisasi yang dipilih dan dipakai, serta peran pemimpin dalam
mengarahkan dan mendorong pemahaman, pengakuan, dan pencapaian kesesuaian budaya organisasi
dengan individu (anggota) baru.
Daftar Pustaka
Bass, B. M. Avolio, B. J., 1993, Transformational Leadership and Organizational Culture, PAQ, Spring,
pp. 112-121.
Gibson, J. L., Ivancevich, J. M., & Donnelly, J. H., Jr., 1994, Organizations: Behavior, Structure, and
Process, 8th Ed., Boston: Irwin.
Greenberg, J., & Robert, A.B., 1995, Behavior in Organizational: Understanding and Managing The
Human Side of Work, 5th Ed., New Jersy: Prentice-Hall International, Inc.
Luthans, F., 1995, Organizational Behavior, 7th Ed., McGraw-Hill International Edition.
O'Reilly, C. A., Chatman, J., & Caldwell, D. F., 1991, People and Organizational Culture: A Profile
Comperison Approach to Assesing Person-Organization Fit, 34(3), pp. 487-516.
Robbins, S. P., 1993, Organizational Behavior Concepts Controversies, and Applications, New Jersy:
Prentice Hall International, Inc.
Sheriden, J. E., 1992, Organizational Culture and Employee Retention, Academy of Management
Journal, 35(3), pp. 1036-1056.
Susanto, A. B., 1997, Budaya Perusahaan, Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.
Vandenberg, C., 1999, Organizational Culture: Person-Culture Fit and Turnover: A Replication in The
Health Care Industry, The Journal of Organizational Behavior, 20, pp. 175-184.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam dunia pendidikan guru mempunyai peranan yang sangat penting
dalam pengembangan sumber daya manusia melalui pendidikan. Profesi guru
mampunyai tugas untuk mendidik, mengajar dan melatih. Mendidik berarti
meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup, mengajar berarti meneruskan
dan mengembangkan ilmu pengetahuan, melatih berarti mengembangkan
keterampilan-keterampilan pada siswa. Dalam melaksanakan tugas dan tanggung
jawab tersebut, seorang guru dituntut memiliki beberapa kemampuan dan
keterampilan tertentu. Kemampuan dan keterampilan tersebut sebagai bagian dari
kompetensi profesionalisme guru. Kompetensi merupakan suatu kemampuan yang
mutlak dimiliki oleh guru agar tugasnya sebagai pendidik dapat terlaksana dengan
baik.
Menurut Djamarah (2002), guru adalah salah satu unsur manusia dalam
proses pendidikan Dalam proses pendidikan di sekolah, guru memegang tugas
ganda yaitu sebagai pengajar dan pendidik. Sebagai pengajar guru bertugas
menuangkan sejumlah bahan pelajaran ke dalam otak anak didik, sedangkan
sebagai pendidik guru bertugas membimbing dan membina anak didik agar
menjadi manusia susila yang cakap, aktif, kreatif, dan mandiri. Disamping itu
Djamarah juga berpendapat bahwa baik mengajar maupun mendidik merupakan
tugas dan tanggung jawab guru sebagai tenaga profesional. Oleh sebab itu, tugas
yang berat dari seorang guru ini pada dasarnya hanya dapat dilaksanakan oleh
guru yang memiliki kompetensi profesional yang tinggi.
Guru memegang peranan sentral dalam proses belajar mengajar, untuk itu
mutu pendidikan di suatu sekolah sangat ditentukan oleh kemampuan yang
dimiliki seorang guru dalam menjalankan tugasnya. Menurut Aqib (2002) guru
adalah faktor penentu bagi keberhasilan pendidikan di sekolah, karena guru
merupakan sentral serta sumber kegiatan belajar mengajar. Lebih lanjut
dinyatakan bahwa guru merupakan komponen yang berpengaruh dalam
peningkatan mutu pendidikan di sekolah. Hal ini menunjukkan bahwa
kemampuan atau kompetensi profesional dari seorang guru sangat menentukan
mutu pendidikan.
Masyarakat menempatkan guru pada suatu tempat yang lebih terhormat di
dalam lingkungannya. Karena dari seorang guru masyarakat diharapkan agar
dapat memperoleh ilmu pengetahuan, terlebih bagi kelangsungan hidup bangsa di
tengah-tengah lintasan kemajuan perkembangan teknologi yang makin canggih
dengan segala perubahan serta pergeseran nilai yang cenderung memberikan
nuansa kepada kehidupan yang menuntut ilmu dan seni dalam kadar dinamik
untuk mengadaptasikan diri.
Kepala Sekolah sebagai pemimpin dalam pendidikan formal perlu
memiliki wawasan kedepan. Menurut Soebagio (2000) kepemimpinan pendidikan
1
© www.guruvalah.20m.com
persepsi guru terhadap kepemimpinan kepala sekolah dengan motivasi kerja
dan kepuasan kerja
2
memerlukan perhatian yang utama, karena melalui kepemimpinan yang baik kita
harapkan akan lahir tenaga–tenaga berkualitas dalam berbagai bidang sebagai
pemikir, pekerja yang pada akhirnya dapat meningkatkan sumber daya manusia
yang berkualitas. Hal yang terpenting bahwa melalui pendidikan kita menyiapkan
tenaga-tenaga yang terampil, berkualitas, dan tenaga yang siap pakai memenuhi
kebutuhan masyarakat bisnis dan industri serta masyarakat lainnya.
Sementara itu Kusmintarjo dan Burhanudin (1997) menyatakan bahwa
dasarnya Kepala Sekolah melakukan tiga fungsi sebagai berikut yaitu: membantu
para guru memahami, memilih, dan merumuskan tujuan pendidikan yang akan
dicapai, menggerakkan para guru, para karyawan, para siswa, dan anggota
masyarakat untuk mensukseskan program-program pendidikan di sekolah,
menciptakan sekolah sebagai lingkungan kerja yang harmonis, sehat, dinamis,
nyaman sehingga segenap anggota dapat bekerja dengan penuh produktivitas dan
memperoleh kepuasan kerja yang tinggi.
Dari pendapat tersebut menunjukkan betapa pentingnya Kepala Sekolah
sebagai sosok pimpinan yang diharapkan dapat mewujudkan harapan bangsa.
Oleh Karena itu diperlukan seorang Kepala Sekolah yang mempunyai wawasan
kedepan dan kemampuan yang memadai dalam menggerakkan organisasi
sekolah.
Wahyusumidjo (2000) menjelaskan tentang peranan Kepala Sekolah
sebagai pendidik. Sebagai seorang pendidik, Kepala Sekolah harus mampu
menanamkan, memajukan, dan meningkatkan nilai mental, moral, fisik dan
artistik kepada para guru atau tenaga fungsional yang lainnya, tenaga administrasi
(staf) dan kelompok para siswa atau peserta didik. Untuk menanamkan
peranannya ini Kepala Sekolah harus menunjukkan sikap persuasif dan
keteladanan. Sikap persuasif dan keteladanan inilah yang akan mewarnai
kepemimpinan termasuk didalamnya pembinaan yang dilakukan oleh Kepala
Sekolah terhadap guru yang ada di sekolah tersebut. Kepala Sekolah sebagai
edukator, supervisor, motivator yang harus melaksanakan pembinaan kepada para
karyawan, dan para guru di sekolah yang dipimpinnya karena faktor manusia
merupakan faktor sentral yang menentukan seluruh gerak aktivitas suatu
organisasi, walau secanggih apapun teknologi yang digunakan tetap faktor
manusia yang menentukannya.
Dalam fungsinya sebagai penggerak para guru, Kepala Sekolah harus
mampu menggerakkan guru agar kinerjanya menjadi meningkat karena guru
merupakan ujung tombak untuk mewujudkan manusia yang berkualitas. Guru
akan bekerja secara maksimum apabila didukung oleh beberapa faktor diantaranya
adalah kepemimpinan Kepala Sekolah.
Menjadi guru tanpa motivasi kerja akan cepat merasa jenuh karena tidak
adanya unsur pendorong. Motivasi mempersoalkan bagaimana caranya gairah
kerja guru, agar guru mau bekerja keras dengan menyumbangkan segenap
kemampuan, pikiran, keterampilan untuk mewujudkan tujuan pendidikan. Guru
menjadi seorang pendidik karena adanya motivasi untuk mendidik. Bila tidak
punya motivasi maka ia tidak akan berhasil untuk mendidik atau jika dia mengajar
karena terpaksa saja karena tidak kemauan yang berasal dari dalam diri guru.
Menurut Winardi (2001) Motivasi merupakan suatu kekuatan potensial yang ada
© www.guruvalah.20m.com
persepsi guru terhadap kepemimpinan kepala sekolah dengan motivasi kerja
dan kepuasan kerja
3
pada diri seseorang manusia, yang dapat dikembangkannya sendiri, atau
dikembangkan oleh sejumlah kekuatan luar yang pada intinya sekitar imbalan
moneter, dan imbalan non moneter, yang dapat mempengaruhi hasil kinerjanya
secara positif atau negative, hal mana tergantung pada situasi dan kondisi yang
dihadapi orang yang bersangkutan.
Para guru mempunyai cadangan energi potensial, bagaimana energi
tersebut akan dilepaskan atau digunakan tergantung pada kekuatan dorongan
motivasi seseorang dan situasi serta peluang yang tersedia. Menurut McClelland
sebagaimana dikutip Hasibuan (2000) energi yang dilepaskan karena didorong
oleh : 1) kekuatan motif dan kebutuhan dasar yang terlibat, 2) harapan
keberhasilannya, dan 3) nilai insentif yang terlekat pada tujuan.
Dengan demikian bagi Kepala Sekolah dalam memotivasi guru hendaknya
menyediakan peralatan, membuat suasana kerja yang menyenangkan, dan
memberikan kesempatan promosi/kenaikan pangkat, memberi imbalan yang layak
baik dari segi moneter maupun non moneter. Disamping guru sendiri harus
mempunyai daya dorong yang berasal dari dalam dirinya untuk berprestasi dalam
karirnya sebagai pendidik, pengajar dan pelatih agar tujuan sekolah (tujuan
pendidikan) dapat tercapai.
Dalam aktivitas kegiatan sehari-hari, guru sebagai individu dapat
merasakan adanya kepuasan dalam bekerja. Menurut Hoppeck dalam As’ad
(1999), bahwa kepuasan kerja merupakan penilaian dari pekerjaan yaitu seberapa
jauh pekerjaannya secara keseluruhan memuaskan kebutuhannya. Kepuasan dan
ketidakpuasan guru bekerja dapat berdampak baik pada diri individu guru yang
bersangkutan, maupun kepada organisasi dimana guru melakukan aktivitas.
Kepuasan kerja bagi guru sebagai pendidik diperlukan untuk
meningkatkan kinerjanya. Kepuasan kerja berkenaan dengan kesesuaian antara
harapan seseorang dengan imbalan yang disediakan. Kepuasan kerja Guru
berdampak pada prestasi kerja, disiplin, kualitas kerjanya. Pada guru yang puas
terhadap pekerjaanya kemungkinan akan membuat berdampak positif terhadap
perkembangan organisasi sekolah. Demikian sebaliknya, jika kepuasan kerja guru
rendah maka akan berdampak negatif terhadap perkembangan organisasi sekolah.
Guru yang membolos, mengajar tidak terencana, malas, mogok kerja, sering
mengeluh merupakan tanda adanya adanya kepuasan guru rendah. Guru menjadi
balas dendam atas ketidak nyamanan yang diberikan sekolah/kantor dengan
keinginan/harapannya.
Ekawarna (1995) menyatakan bahwa, guru sebagai individu yang bekerja
didalam suatu organisasi pendidikan akan melakukan tugas pekerjaan ataupun
memberikan konstribusi kepada organisasi yang bersangkutan, dengan harapan
akan mendapat timbal balik berupa imbalan (rewards) ataupun intensif dari
organisasi tersebut.
Guru dalam melakukan aktivitas kegiatan proses belajar mengajar, yaitu
berupa mempersiapkan materi pengajaran, mengajar di kelas, ataupun melakukan
evaluasi dari hasil belajar siswa, dengan harapan akan mendapatkan imbalan dari
pihak sekolah yang menyelenggarakan kegiatan pendidikan. Guru dalam hal ini
akan merasa puas apa bila kinerja yang telah di lakukannya terbalas dengan
imbalan yang sesuai.
© www.guruvalah.20m.com
persepsi guru terhadap kepemimpinan kepala sekolah dengan motivasi kerja
dan kepuasan kerja
4
Kepuasan kerja (job satisfaction) guru merupakan sasaran penting dalam
manajemen sumber daya manusia, karena secara langsung maupun tidak langsung
akan mempengaruhi produktivitas kerja. Suatu gejala yang dapat membuat
rusaknya kondisi organisasi sekolah adalah rendahnya kepuasan kerja guru
dimana timbul gejala seperti kemangkiran, malas bekerja, banyaknya keluhan
guru, rendahnya prestasi kerja, rendahnya kualitas pengajaran, indisipliner guru
dan gejala negatif lainnya. Sebaliknya kepuasan yang tinggi dinginkan oleh
Kepala Sekolah karena dapat dikaitkan dengan hasil positif yang mereka
harapkan. Kepuasan kerja yang tinggi menandakan bahwa sebuah organisasi
sekolah telah dikelola dengan baik dengan manajemen yang efektif. Kepuasan
kerja yang tinggi menunjukkan kesesuaian antara harapan guru dengan imbalan
yang disediakan oleh organisasi.
Meningkatkan kepuasan kerja bagi guru merupakan hal yang sangat
penting, karena menyangkut masalah hasil kerja guru yang merupakan salah satu
langkah dalam meningkatkan mutu pelayanan kepada siswa.
Ada beberapa alasan mengapa kepuasan kerja guru dalam tugasnya sebagai
pendidik perlu untuk dikaji lebih lanjut .
Pertama : Guru memainkan peranan yang begitu besar di dalam sebuah
negara. Tugas mereka bukan hanya sekedar memberikan pelajaran seperti yang
terkandung di dalam garis besar pengajaran dalam kurikulum formal, malah
meliputi seluruh aspek kehidupan yang lain mungkin tidak tercantum dalam mata
pelajaran secara nyata, tetapi meliputi pelajaran-pelajaran yang terkandung
dalam kurikulum yang tersembunyi dalam sistem pendidikan negara. Kemajuan
suatu bangsa punya kaitan erat dengan pendidikan. Pendidikan di sini bukan
sekedar sebagai media (perantara) dalam menyampaikan kebudayaan dari
generasi ke generasi, melainkan suatu proses yang diharapkan akan dapat
mengubah dan mengembangkan kehidupan berbangsa yang baik. Bagi suatu
bangsa yang sedang membangun terlebih-lebih bagi keberlangsungan hidup
bangsa di tengah-tengah lintasan perjalanan zaman dengan teknologi yang kian
canggih. Semakin akurat para guru melaksanakan fungsinya, semakin terjamin,
tercipta, dan terbinanya kesiapan dan keandalan sebagai manusia pembangunan.
Oleh karena itu peningkatan kepuasan kerja yang diperoleh para guru akan
mendorong guru untuk melaksanakan fungsinya sebaik mungkin.
Kedua : adanya fenomena mengenai penurunan kinerja guru, hal ini dapat
terlihat dari guru yang mangkir dari tugas, guru yang mengajar saja tapi fungsi
mendidiknya berkurang.
Ketiga : Peningkatkan mutu pendidikan secara formal aspek guru
mempunyai peranan penting dalam mewujudkannya, disamping aspek lainnya
seperti sarana/prasarana, kurikulum, siswa, manajemen, dan pengadaan buku.
Guru merupakan kunci keberhasilan pendidikan, sebab inti dari kegiatan
pendidikan adalah belajar mengajar yang memerlukan peran dari guru di
dalamnya.
Menurut Wahjosumidjo (2002), kepuasan kerja guru banyak dipengaruhi
beberapa faktor antara lain adalah faktor dari pemimpin atau Kepala Sekolah dan
motivasi kerja guru. Keberhasilan suatu sekolah pada hakikatnya terletak pada
efisiensi dan efektivitas penampilan seorang Kepala Sekolah. Sedangkan Sekolah
© www.guruvalah.20m.com
persepsi guru terhadap kepemimpinan kepala sekolah dengan motivasi kerja
dan kepuasan kerja
5
sebagai lembaga pendidikan bertugas menyelenggarakan proses pendidikan dan
proses belajar mengajar dalam usaha untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Dalam hal ini Kepala Sekolah sebagai seseorang yang diberi tugas untuk
memimpin sekolah, Kepala Sekolah bertanggung jawab atas tercapainya tujuan
sekolah. Kepala Sekolah diharapkan menjadi pemimpin dan inovator di sekolah.
Oleh sebab itu, kualitas kepemimpinan Kepala Sekolah adalah signifikan bagi
keberhasilan sekolah. Wahjosumidjo juga mengemukakan bahwa penampilan
kepemimpinan Kepala Sekolah adalah prestasi atau sumbangan yang diberikan
oleh kepemimpinan seorang Kepala Sekolah, baik secara kualitatif maupun
kuantitatif yang terukur dalam rangka membantu tercapainya tujuan sekolah.
Penampilan kepemimpinan Kepala Sekolah ditentukan oleh faktor kewibawaan,
sifat dan keterampilan, perilaku maupun fleksibilitas pemimpin.
Menurut Wahjosumidjo (2002), agar fungsi kepemimpinan Kepala
Sekolah berhasil memberdayakan segala sumber daya sekolah untuk mencapai
tujuan sesuai dengan situasi, diperlukan seorang Kepala Sekolah yang memiliki
kemampuan profesional yaitu: kepribadian, keahlian dasar, pengalaman, pelatihan
dan pengetahuan profesional, serta kompetensi administrasi dan pengawasan.
Kemampuan profesional Kepala Sekolah sebagai pemimpin pendidikan
yaitu bertanggung jawab dalam menciptakan suatu situasi belajar mengajar yang
kondusif, sehingga guru-guru dapat melaksanakan pembelajaran dengan baik dan
peserta didik dapat belajar dengan tenang. Disamping itu Kepala Sekolah dituntut
untuk dapat bekerja sama dengan bawahannya, dalam hal ini guru. Kepemimpinan
Kepala Sekolah yang terlalu berorientasi pada tugas pengadaan sarana dan
prasarana dan kurang memperhatikan guru dalam melakukan tindakan, dapat
menyebabkan guru sering melalaikan tugas sebagai pengajar dan pembentuk nilai
moral. Hal ini dapat menumbuhkan sikap yang negatif dari seorang guru terhadap
pekerjaannya di sekolah, sehingga pada dapat mengakibatkan tertundanya
keberhasilan prestasi siswa di sekolah.
Kepala Sekolah adalah pengelola pendidikan di sekolah secara
keseluruhan, dan Kepala Sekolah adalah pemimpin formal pendidikan di
sekolahnya. Dalam suatu lingkungan pendidikan di sekolah, Kepala Sekolah
bertanggung jawab penuh untuk mengelola dan memberdayakan guru-guru agar
terus meningkatkan kemampuan kerjanya. Dengan peningkatan kemampuan atas
segala potensi yang dimilikinya itu, maka dipastikan guru-guru yang juga
merupakan mitra kerja Kepala Sekolah dalam berbagai bidang kegiatan
pendidikan dapat berupaya menampilkan sikap positif terhadap pekerjaannya dan
meningkatkan kompetensi profesionalnya
Berdasarkan latar belakang tersebut maka penelitian ini berjudul : persepsi
terhadap kepemimpinan Kepala Sekolah dengan motivasi kerja dan kepuasan
kerja guru SMK Negeri di kota Samarinda.
1. Perumusan Masalah
Masalah yang muncul berkenaan dengan hubungan kepemimpinan Kepala
Sekolah dan motivasi kerja guru dengan kepuasan kerja guru, diidentifikasikan
sebagai berikut :
© www.guruvalah.20m.com
persepsi guru terhadap kepemimpinan kepala sekolah dengan motivasi kerja
dan kepuasan kerja
6
a. Apakah terdapat hubungan antara persepsi guru terhadap kepemimpinan
Kepala Sekolah dengan motivasi kerja guru?
b. Apakah terdapat hubugan antara persepsi guru terhadap kepemimpinan Kepala
Sekolah dengan kepuasan kerja guru?
2. Keaslian Penelitian
Penelitian mengenai kepemimpinan, motivasi kerja dan kepuasan kerja
sudah banyak dilakukan baik oleh lembag-lembaga penelitian, konsultankonsultan
dan individu-individu. Oleh karena itu untuk memperluas pandangan
dan tinjauan pustaka dan teori-teori, penulis kemukakan penelitian terdahulu.
Penelitian yang duajukan oleh Satriyo (1997) dengan judul pengaruh
perilaku pemimpin, iklim organisasi dan kinerja terhadap motivasi kerja yang
studinya dilakukan pada kantor dinas pendapatan daerah proponsi daerah tingkat I
Jawa Timur cabang Malang, menyimpulkan bahwa : 1) Perilaku pimpinan
berpengaruh terhadap motivasi kerja pegawai (Beta=0,0153, p-value=<0,01), 2)
Secara bersama-sama perilaku pimpinan, iklim organisasi berpengaruh terhadap
motivasi kerja pegawai (R=0,6233, p=<0,01)
Penelitian yang diajukan oleh Falah Yunus (2004) dengan judul pengaruh
persepsi pada kepemimpinan Kepala Sekolah terhadap kepuasan kerja, komitmen,
kinerja dan kompetensi profesional guru SMA di kota Samarinda, menyimpulkan
bahwa persepsi guru pada kepemimpinan Kepala Sekolah berpengaruh terhadap
kepuasan kerja guru (t hitung=2,248, p-value=0,015<0,01)
Penelitian yang diajukan oleh Meter (2003) dengan judul hubungan antara
perilaku kepemimpinan Kepala Sekolah, iklim sekolah, dan profesionalisme guru
dengan motivasi kerja guru, menyimpulkan bahwa : 1) Persepsi guru pada
perilaku kepemimpinan Kepala Sekolah berhubungan langsung dengan motivasi
kerja guru (ry1 = 0,52) , 2) Secara bersama-sama perilaku perilaku kepemimpinan
Kepala Sekolah, iklim sekolah, dan profesionalisme guru dengan motivasi kerja
guru (ry1.2.3 = 0,56).
Dari kajian penelitian yang terdahulu maka dalam kesempatan penyusunan
tesis ini penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang persepsi terhadap
kepemimpinan Kepala Sekolah hubungannya dengan kepuasan kerja dan motivasi
kerja. Penulis berupaya untuk melakukan penelitian ini kepada guru-guru di SMK
Negeri se kota Samarinda untuk memperoleh data untuk diteliti dimana hasilnya
dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi dunia pendidikan.
3. Manfaat Penelitian
Manfaat atau kegunaan dari penelitian yaitu untuk mengetahui kepuasan
dan motivasi kerja guru dengan melihatnya dari aspek persepsi terhadap
kepemimpinan Kepala Sekolah.
Dengan mengetahui hubungan tersebut, hasil penelitian diharapkan
bermanfaat :
a. Secara teoretis hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan ilmu
pengetahuan tentang kaitan antara persepsi terhadap kepemimpinan Kepala
Sekolah, kepuasan kerja dan motivasi kerja guru.
b. Secara praktis hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi :
© www.guruvalah.20m.com
persepsi guru terhadap kepemimpinan kepala sekolah dengan motivasi kerja
dan kepuasan kerja
7
b.1. Manajer pendidikan (Kepala Sekolah) agar dapat memperoleh informasi
dari hasil penelitian ini sebagai alat untuk introspeksi diri dalam
melaksanakan kepemimpinan.
b.2. Guru agar hasil penelitian sebagai masukan agar dapat meningkatkan
motivasi kerjanya sehingga dapat meningkat pula kepuasan kerja yang
juga meningkatkan kinerjanya untuk menjadi guru yang professional.
b.3. Stakeholder agar hasil penelitian agar dapat dijadikan pertimbangan
untuk ikut meningkatkan mutu pendidikan melalui peningkatan SDM
guru
b.4. Pihak terkait (Diknas kota Samarinda) agar dapat menindaklanjuti hasil
penelitian untuk menetapkan langkah-langkah strategis untuk
meningkatkan kepemimpinan Kepala Sekolah dan cara memberikan
kepuasan kerja guru untuk meningkatkan motivasi kerja guru yang akan
pula meningkatkan kinerja guru.
B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan membuktikan bahwa sikap guru terhadap
kepemimpinan Kepala Sekolah berhubungan dengan motivasi kerja dan kepuasan
kerja. Sikap guru terhadap kepemimpinan Kepala Sekolah sebagai variabel bebas
sedangkan motivasi kerja dan kepuasan kerja sebagai variabrl tergantung yang
diukur dengan skala yang disusun oleh peneliti yang telah dilakukan uji validitas
butir dan uji reliabilitas.
Subyek penelitian ini meliputi 84 guru SMK Negeri di Samarinda yang
diambil secara random. Data penelitian dianalisis dengan analisis regresi (anareg)
untuk membuktikan hipotesis penelitian.
Perkembangan dalam dunia usaha di Indonesia saat ini yang semakin cepat dan pesat berakibat juga
pada berubahnya budaya. Sehingga organisasi dituntut untuk mempunyai budaya yang membedakan
dengan organisasi lain yang sejenis. Percepatan perubahan lingkungan berakibat pada perubahan
budaya perusahaan. Bagaimana karyawan berperilaku dan apa yang seharusnya mereka lakukan banyak
di pengaruhi oleh budaya organisasi tersebut. Sikap yang dibentuk antara lain oleh budaya organisasi
erat kaitannya dengan kepuasan kerja yaitu sikap umum individu terhadap pekerjaannya. Kepuasan
kerja yang tinggi merupakan salah satu indikator efektivitas manajemen yang berarti budaya organisasi
telah dikelola dengan baik. Kesuksesan sebuah organisasi tidak hanya didukung oleh budaya
organisasinya saja tetapi juga bagaimana organisasi tersebut menumbuhkan komitmen organisasi yang
dipahami sebagai ikatan kejiwaan individu terhadap organisasi. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh budaya organisasi yang ada di Rumah sakit Muhammadiyah Lamongan guna
meningkatkan komitmen terhadap organisasi melalui kepuasan kerja.
Budaya Organisasi
Ditulis oleh rastodio pada August 30th, 2009 No Comments »
DEWASA ini istilah budaya tidak hanya jadi trend dan mempesonakan, tetapi juga dipandang
membantu kebanyakan orang dalam membuat perbandingan antara aspek-aspek simbolik suatu
budaya dan aspek-aspek simbolik sebuah organisasi. Menurut Suryadi (2003:109) munculnya
perhatian yang tinggi terhadap konsep budaya organisasi (organizational culture) tampaknya
dilatarbelakangi oleh perasaan kecewa para ahli terhadap teori-teori rasional (objektif) dalam
meramalkan perilaku. Teori-teori tersebut dipandang hanya menjelaskan kulit luar organisasi
tetapi tidak menyinggung jiwa organisasi (aspek simbolik di dalam organisasi). Reaksi terhadap
teori-teori rasional tradisional akhirnya mendorong suatu perubahan ke arah konsep budaya.
Namun demikian, pendekatan kebudayaan tidak dipandang sebagai bentuk perlawanan terhadap
dominasi objectivistic, positivistic, dan functionalistic dalam teori organisasi dan manajemen.
Kehadirannya semata-mata sebagai pelengkap (salah satu variabel) dalam rangka memprediksi
dan pengendalian organisasi disamping pendekatan yang ada selama ini.
Pace dan Faules, (1994:91) menjelaskan, dalam diskursus teori-teori ilmu sosial, fenomena
budaya dapat ditelaah dalam perspektif objektif maupun subjektif. Asumsi sederhananya adalah
bahwa manusia mengalami keberadaan objek-objek yang bersifat fisik yang membentuk realitas,
namun diyakini juga bahwa manusia menciptakan pengalaman yang dimilikinya bersama orang
lain dan objek-objek. Jika ditelaah dalam perspektif objektif, kebudayaan sebagai realitas sosial
dipandang sebagai suatu komponen dari sistem sosial, dimana kedua-duanya terintegrasi ke
dalam suatu sistem “sosio-budaya” . Perspektif ini melahirkan kebudayaan sebagai suatu yang
bersifat fisik dan konkret yang melekat pada sistem sosial masyarakat sebagai sebuah struktur
dengan batas-batas yang pasti dalam sistem sosial. Sebaliknya jika ditelaah dari perspektif
subjektif, kebudayaan tersusun atas teori-teori dunia para anggotanya, yakni makna, lambang dan
nilai-nilai yang dimiliki bersama. Dunia kebudayaan dan dunia sosial dilihat sebagai sesuatu
yang berbeda tetapi berinterelasi. Artinya dimensi kebudayaan suatu masyarakat dapat
berkembang secara tidak serasi dengan dimensi struktur dan proses formalnya. Inti kajiannya
terpusat pada upaya mengungkap sifat simbolik dari struktur dan peristiwa dalam masyarakat.
Yang dicari adalah makna yang bersifat mendalam dari peristiwa, tindakan, dan segala sesuatu
yang menjadi latar belakang disamping yang bersifat instrumental.
Adanya dikotomi perspektif budaya sebagaimana diuraikan di atas, menurut Alvesson dan Berg
(1988) yang dikutip Poespadibrata (1993:160), seringkali menimbulkan kerancuan dalam studi
dan pembahasan tentang budaya organisasional. Karena itu, dalam konteks penelitian
pemahaman terhadap pendekatan atau teori mana yang akan digunakan menjadi penting.
Mengingat, bagaimana budaya organisasi dikonsepsikan akan berpengaruh kepada bagaimana
budaya organisasi didefinisikan.
Menurut Sackman (1991:90) terdapat tiga perspektif utama dalam memandang budaya
organisasi, yaitu 1) perspektif holistik, 2) perspektif variabel, dan 3) perspektif kognitif.
Perspektif holistik memandang budaya sebagai cara-cara terpola mengenai berpikir,
menggunakan perasaan dan bereaksi. Perspektif variabel penekanannya pada pengekpresian
budaya. Sedangkan perspektif kognitif memberi penekanan kepada keyakinan, nilai-nilai, dan
norma-norma, pengetahuan yang diorganisasikan yang ada dalam pikiran orang-orang untuk
memahami realitas. Dalam perspektif kognitif ini, esensi budaya adalah konstruksi bersama
mengenai realitas sosial.
Menurut Suryadi (2003:112), ada tiga implikasi penting yang dapat ditangkap dari pendekatan
budaya terhadap teori-teori organisasi dan manajemen. Pertama, munculnya paradigma baru
dalam memandang fungsi-fungsi manajemen, khususnya yang berkaitan dengan fungsi
kepemimpinan (manajer). Dimana, kepemimpinan harus dipahami sebagai orang yang
mendefinisikan makna dan menciptakan pandangan tentang realitas organisasi melalui
pengikutsertaan anggota organisasi dalam pemberian makna tersebut pada kegiatan organisasi.
Karena itu, seyogianya pemimpin yang baik itu tidak hanya menciptakan profit bagi organisasi,
tetapi menciptakan pula makna bagi para anggota organisasi. Sayang sekali para manajer sering
lupa untuk menggandengkan kedua-duanya dalam porsi yang seimbang. Kedua, berkaitan
dengan pertanyaan heuristik mengenai apa yang dapat dipelajari tentang organisasi melalui
pendekatan budaya yang luput dari perhatian teori-teori tradisional (objektif) tentang organisasi
dan manajemen. Ketiga berkaitan dengan pertanyaan pragmatis tentang fungsi budaya yang
diperkirakan dapat memberikan sumbangan positif terhadap kehidupan organisasi. Karena itu,
sejauhmana nilai guna dan sumbangan pendekatan budaya dalam memahami kehidupan
organisasi masih perlu diuji secara empirik. Kenyataannya di Indonesia pada umumnya
menunjukkan bahwa berbagai perubahan untuk menciptakan strategi bisnis baru sesuai dengan
tuntutan perubahan, apabila sudah menyentuh dimensi sistem nilai, asumsi dasar, kepercayaan,
dan konsepsi, seringkali sistem nilai, asumsi, kepercayaan, dan konsepsi lama masih dominan.
Menurut Robbins (2001:525), budaya organisasi merupakan sistem makna bersama terhadap
nilai-nilai primer yang dianut bersama dan dihargai organisasi, yang berfungsi menciptakan
pembedaan yang jelas antara satu organisasi dengan organisasi lainnya, menciptakan rasa
identitas bagi para anggota organisasi, mempermudah timbulnya komitmen kolektif terhadap
organisasi, meningkatkan kemantapan sistem sosial, serta menciptakan mekanisme pembuat
makna dan kendali yang memandu membentuk sikap dan perilaku para anggota organisasi. Deal
dan Kennedy sebagaimana dikutip Robbins (2001:479) menjelaskan budaya organisasi sebagai
nilai-nilai dominan yang didukung organisasi.
Berdasarkan uraian di atas, meskipun konsep budaya organisasi memunculkan perspektif yang
beragam, terdapat kesepakatan di antara para ahli budaya dalam hal mendefinisikan budaya
organisasi. Intinya bahwa budaya organisasi berkaitan dengan sistem makna bersama yang
diyakini oleh anggota organisasi (refers to a system of shared meaning held by members).
Hofstede (1991:143) menyatakan bahwa budaya organisasi secara mendasar memiliki sifat-sifat
berikut: (1) holistic (menyeluruh dan menjangkau dimensi waktu yang panjang), (2) historically
determined (ditentukan atau mencerminkan catatan historis perusahaan), (3) berhubungan
dengan sesuatu yang bersifat ritual dan simbolik, (4) dihasilkan dan dipertahankan oleh
kelompok-kelompok yang bersama-sama membentuk organisasi (socially constructed), (5) halus
(soft) dan (6) sukar berubah.
Riset paling mutakhir dari Robbins (2001:510-511) mengemukakan ada tujuh karakteristik
primer yang secara bersama-sama menangkap hakikat budaya suatu organisasi apapun bentuk
organisasinya. Ketujuh karakteristik tersebut, yaitu :
(1) Innovation and risk taking. The degree to which employees are encouraged to be innovative
and take risk. (2) Attention to detail. The degree to which employees are expected to exhibit
precision, analysis, and attention to detail. (3) Outcome orientation. The degree to which
management focuses on results or out comes rather than on the techniques and processes used to
achieve the outcomes. (4) People orientation. The degree to which management decisions take
into consideration the effect of outcomes on people within the organization. (5) Team
orientation. The degree to which work activities are organized around teams rather than
individuals. (6) Aggressiveness. The degree to which work people are aggressive and
competitive rather than easygoing.(7) Stability. The degree to which organizational activities
emphasize maintaining the status quo in contrast to growth.
Masing-masing karakteristik tersebut, berlangsung pada suatu kontinum dari rendah ke tinggi.
Karena itu, dengan menilai organisasi berdasarkan tujuh karakteristik tersebut, akan diperoleh
gambaran majemuk dari budaya suatu organisasi. Gambaran tersebut menjadi dasar untuk
perasaan pemahaman bersama para anggota mengenai organisasi, bagaimana urusan
diselesaikan, dan cara anggota diharapkan berperilaku
Semua karakteristik budaya organisasi sebagaimana dikemukakan di atas tidak dapat dipisahkan
satu dengan yang lainnya, artinya unsur-unsur tersebut mencerminkan budaya yang berlaku
dalam suatu jenis organisasi, baik yang berorientasi pada pelayanan jasa atau organisasi yang
menghasilkan produk barang.
Kotter dan Heskett (1992:15-49), berdasarkan hasil serangkaian penelitian yang dilakukannya,
mengemukakan tiga tipe budaya organisasi, yaitu budaya kuat dan budaya lemah, budaya yang
secara strategis cocok, dan budaya yang adaptif dan tidak adaptif.
Budaya kuat dan budaya lemah. Kotter dan Heskett (1992:16) menyatakan bahwa nilai-nilai,
norma-norma dan asumsi-asumsi yang terinternalisasi dan dipegang teguh oleh para anggota
organisasi dapat melahirkan perasaan tenang, committed, loyalitas, memacu kerja lebih keras,
kohesivitas, keseragaman sasaran (goal alignment), dan mengendalikan perilaku anggota
organisasi, serta produktivitas. Logika tentang cara kekuatan budaya berhubungan dengan
kinerja meliputi tiga gagasan, yaitu 1) penyatuan tujuan. Dalam organisasi dengan budaya yang
kuat, pegawai cenderung melakukan tindakan ke arah yang sama. 2) menciptakan motivasi,
komitmen, dan loyalitas luar biasa dalam diri pegawai, dan 3) memberikan struktur dan kontrol
yang dibutuhkan tanpa harus bersandar pada birokrasi formal yang dapat menekan tumbuhnya
motivasi dan inovasi.
Budaya yang secara strategis cocok. Kotter dan Heskett (1992:22) menjelaskan pentingnya
kandungan budaya yang cocok dan serasi dengan kondisi objektif perusahaan dimana perusahaan
itu berada. Artinya, suatu budaya dikatakan baik apabila serasi dan selaras dengan konteks bisnis
dalam karakteristik lingkungan industrinya, dan segmen industrinya yang dispesifikasikan oleh
strategi perusahaan atau strategi bisnisnya. Semakin besar kecocokan dengan lingkungan, maka
semakin baik kinerjanya, sebaliknya semakin kurang kecocokannya dengan lingkungan, maka
semakin jelek kinerjanya. Dengan demikian, tidak ada kriteria umum untuk menyatakan seperti
apa hakikat budaya yang baik dan bersifat satu ukuran untuk semua, dan berfungsi baik dalam
organisasi apapun.
Kritik terhadap tipe budaya organisasi ini adalah bahwa lingkungan organisasi tidak pernah
stabil, melainkan selalu berubah, sehingga budaya yang dianggap cocok pada kurun waktu
tertentu, mungkin tidak akan cocok di waktu yang lain. Implikasinya budaya organisasi harus
selalu mengadaptasikan dirinya dengan tuntutan perubahan dari lingkungan. Karena itulah,
Kotter dan Heskett mengajukan tipe budaya adaptif dan tidak adaptif.
Budaya yang adaptif dan tidak adaptif. Kotter dan Heskett (1992:33) menjelaskan bahwa hanya
budaya yang dapat membantu organisasi mengantisipasi dan beradaptasi dengan perubahan
lingkungan (adaptif), yang diasosiasikan dengan kinerja tinggi dalam periode waktu yang
panjang. Teori ini mengarahkan budaya organisasi untuk senantiasa bersikap adaptif dan inovatif
sesuai dengan perubahan lingkungan yang terjadi. Makna terpenting dari hasil penelitian pada
teori ketiga ini adalah bahwa perusahaan yang budayanya adaptif secara ideal para manajer pada
seluruh tingkatan organisasinya menampakkan kepemimpinan yang mempelopori perubahan
dalam strategi dan taktik kapan saja diperlukan untuk memuaskan kepentingan para pemegang
saham, pelanggan, dan para pegawainya. Sedangkan perusahaan yang budayanya tidak adaptif
para manajer pada seluruh tingkatan organisasinya cenderung berperilaku secara hati-hati dan
politis untuk melindungi atau memajukan diri sendiri, produknya, atau kelompoknya. Perbedaan
budaya adaptif dan tidak adaptif dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 1
Budaya Organisasi yang Adaptif dan Tidak Adaptif
Sumber: Kotter, John P., James L. Heskett, (1992), Corporate Culture and Performance, The
Free Press, New York.
Secara umum gambaran karakteristik budaya adaptif tercermin dari kualitas seperti
kepemimpinan, kewiraswastaan, penanggung resiko yang bijaksana, pembahasan yang jujur,
fleksibel, proaktif terhadap kehidupan organisasi dan kehidupan individu, para anggota
organisasi aktif mendukung usaha satu sama lain untuk mengidentifikasi semua masalah dan
mengimplementasikan pemecahan masalah yang dapat berfungsi, rasa percaya diri (confidence)
yang dimiliki bersama, tanpa rasa bimbang, bahwa mereka dapat menata olah secara efektif
masalah baru dan peluang apa saja yang akan mereka temui, kegairahan yang menyebar luas,
semangat dalam mencapai keberhasilan organisasi, serta para anggota organisasi reseptif
terhadap perubahan dan inovasi.
Sebagaimana halnya tipe budaya organisasi sebelumnya, tipe budaya organisasi ketigapun masih
memiliki kelemahan-kelemahan. Kelemahan yang menonjol dari teori budaya adaptif adalah
bahwa perubahan budaya dapat mendorong anggota organisasi (pemimpin) untuk mengubah
sesuatu ke arah yang salah.
Noe dan Mondy (1996:237) membedakan tipe budaya organisasi dalam dua kelompok, yaitu: 1)
open and participative culture, dan 2) closed and autocratic culture. Open and participative
culture ditandai oleh adanya kepercayaan terhadap bawahan, komunikasi yang terbuka,
kepemimpinan yang suportif dan penuh perhatian, penyelesaian masalah secara kelompok,
adanya otonomi pekerja, sharing informasi dan pencapaian tujuan yang outputnya tinggi. Closed
and autocratic culture ditandai oleh pencapaian tujuan output yang tinggi, namun pencapaian
tersebut mungkin lebih dinyatakan dan dipaksakan pada organisasi dengan para pemimpin yang
otokrasi dan kuat. Semakin besar rigiditas dalam budaya ini, yang merupakan hasil kepatuhan
yang ketat terhadap suatu mata rantai komando formal, semakin sempit pula rentang manajemen
dan akuntabilitas individual. Selain itu, karakteristik ini lebih menekankan pada individual
daripada teamwork.
Handy dalam Suryadi (2003:126) mengembangkan tipe budaya organisasi berdasarkan tingkat
formalisasi dan sentralisasi. Atas dasar konfigurasinya itu, budaya organisasi dikelompokkan
menjadi empat tipe, yaitu: 1) formalisasi tinggi, sentralisasi tinggi, 2) formalisasi rendah,
sentralisasi tinggi, 3) formalisasi tinggi, sentralisasi rendah, 4) formalisasi rendah, sentralisasi
rendah.
Formalisasi tinggi, sentralisasi tinggi. Budaya tipe ini adalah budaya birokrasi dimana semua
pekerjaan sudah diatur secara sistematis melalui berbagai macam prosedur, kalau perlu dengan
time and motion study yang cermat. Dengan demikian porsi pekerjaan anggota organisasi sudah
ditetapkan dan bersifat rutin. Formalisasi rendah, sentralisasi tinggi. Budaya seperti ini, tidak
banyak terdapat peraturan atau prosedur. Kekuasaan tertinggi berada di tangan satu orang atau
sebuah kelompok kecil yang memberi komando dari pusat, seperti seekor laba-laba yang berada
di tengah jaringnya. Formalisasi tinggi, sentralisasi rendah. Budaya ini terdapat pada kelompok-
kelompok kerja interdisipliner yang diorganisir berdasarkan suatu tugas atau proyek. Budaya
seperti ini, cara kerja para anggota sangat independen tetapi mereka terikat oleh berbagai
prosedur yang ketat. Formalisasi rendah, sentralisasi rendah. Budaya tipe ini sangat
decentralized dan informal. Para anggota organisasi mempunyai tujuan atau kepentingan yang
sama tetapi masih menikmati kebebasan individu yang tinggi. Budaya organisasi ini ditandai
oleh bergabungnya para ahli yang berdiri sendiri untuk bekerjasama berdasarkan kesamaan
minat dan kesenangan, seperti konsultan.
Deal dan Kennedy (1982:330) mengemukakan empat jenis budaya perusahaan. (1) Macho
culture. Perusahaan menganut budaya ini, anggotanya harus berani mengambil risiko yang tinggi
dan akan segera menerima umpan dari manajemen mengenai tindakannya. Tampaknya budaya
ini menimbulkan persaingan internal dan menganggap konflik internal sesuatu yang wajar. (2)
Work hard – play hard. Budaya perusahaan ini ditandai oleh risiko rendah dan umpan balik yang
cepat namun budaya ini menekankan pada “keriangan” dalam bekerja serta lebih berorientasi
pada masa kini. (3) Bet – your – company. Budaya ini cenderung dianut perusahaan yang berada
pada risiko tinggi namun umpan balik terhadap pekerjaan biasanya relatif sama. Perusahaan
minyak merupakan salah satu contoh organisasi yang mungkin cocok dengan budaya ini. Budaya
ini menghargai kewenangan, kompetensi teknis, kerja sama dan tahan stress. (4) Process culture.
budaya ini tercermin pada risiko rendah dan umpan balik lambat. Nilai-nilai yang dianut adalah
protektif, dan keberhati-hatian. Perusahaan asuransi banyak menganut budaya ini.
Orientasi kekuasaan. Budaya ini menekankan kepada bagaimana lingkungan eksternal dikuasai
dan ditundukkan dan dicirikan oleh norma-norma: bersaing untuk menjaga wilayah
kekuasaannya, berusaha memperluas kekuasaannya dengan merugikan orang lain, membeli dan
menjual organisasi dan atau orang seperti barang komoditi, tidak memperdulikan nilai-nilai
kemanusiaan dan kesejahteraan anggota, hukum rimba masih berlaku, mengejar keuntungan
pribadi diantara para eksekutif organisasi.
Budaya organisasi yang berorientasi kekuasaan memiliki beberapa kelemahan. Pertama, tidak
adaptif terhadap lingkungan yang perubahannya sangat dinamis dan menuntut respons yang
fleksibel. Hal ini antara lain disebabkan oleh keputusan yang diambil pada tingkat top
manajemen harus disalurkan melalui hirarki organisasi untuk menjaring informasi yang “tidak
sesuai”. Proses penyaringan informasi itu, biasanya akan memperlambat respons organisasi pada
perubahan lingkungan yang sangat cepat. Dapat juga terjadi “pemutarbalikan” informasi untuk
kepentingan pribadi. Kedua, biasanya hanya sejumlah kecil anggota organisasi yang agresiflah
yang mendapat kesempatan untuk mengembangkan kariernya ke tingkat yang paling tinggi.
Ketiga, tidak memberikan peluang kepada para anggota lainnya untuk mengembangkan dan
memanfaatkan kontribusi internal, inisiatif atas dasar pertimbangan anggota itu sendiri.
Keempat, pada saat organisasi semakin besar dan kompleks, biasanya pengendalian dari
pimpinan tertinggi akan semakin sulit.
Di samping memiliki kekurangan, budaya organisasi yang berorientasi kekuasaan juga memiliki
beberapa kelebihan. Pertama, struktur dan proses pengambilan keputusan pada organisasi
semacam ini, biasanya sangat efektif bagi pemecahan masalah yang menuntut keputusan segera
dan berisiko tinggi. Dalam situasi seperti itu, biasanya pula akan muncul pemimpin-pemimpin
agresif dan dapat memimpin organisasi dalam lingkungan yang penuh resiko dan persaingan
tinggi. Kedua, jika permasalahan yang muncul dapat dipecahkan oleh satu atau sekelompok kecil
orang di pucuk pimpinan, maka budaya yang berorientasi kekuasaan akan berjalan lancar.
Ketiga, dapat berfungsi efektif bagi para anggota organisasi yang hanya sekedar ingin hidup dan
mengutamakan keselamatan.
Orientasi peran. Budaya organisasi semacam ini sering disebut juga sebagai budaya birokrasi
yang merupakan reaksi terhadap budaya yang berorientasi kekuasaan. Orientasi budaya ini
ditandai antara lain oleh persaingan dan konflik diatur atau diganti oleh kesepakatan atau
perjanjian; adanya peraturan dan prosedur; hak dan kewajiban diberikan dan ditaati secara
cermat; keterikatan yang besar pada hierarki/status/kedudukan diubah menjadi keterikatan pada
keabsahan kewenangan dan peraturan; kemantapan dan kehormatan sering dinilai setara dengan
kemampuan; respons yang benar cenderung lebih dihargai dari pada respons yang efektif;
prosedur untuk perubahan cenderung tidak praktis dan lambat untuk menyesuaikan dengan
perubahan lingkungan. Dengan demikian, esensi budaya semacam ini didasarkan kepada
keinginan untuk berpikir secara rasional dan setertib mungkin atas dasar hukum, keabsahan,
kewenangan, hak, dan kewajiban yang dapat dipertanggungjawabkan. Implikasinya, tidak ada
pilihan bagi anggota organisasi, khalayak atau klien ketika berhubungan dengan organisasi
semacam ini. Contoh fenomena budaya semacam ini dapat dijumpai pada organisasi-organisasi
perbankan, asuransi dan organisasi-organisasi non profit.
Terdapat beberapa kelemahan budaya berorientasi peran. Pertama, sebagaimana halnya budaya
orientasi kekuasaan, budaya orientasi peran juga dipandang tidak fleksibel dalam mengantisipasi
perubahan lingkungan. Alasannya bahwa ketertiban, keteraturan, kemantapan dan keamanan
(prosedur) yang merupakan nilai-nilai yang dianut dalam orientasi budaya peran, lebih
diandalkan sehingga secara otomatis akan melahirkan peran-peran dan struktur yang kaku dan
hubungan birokratis. Akibatnya akan terbentuk stabilitas yang kaku sehingga para pemimpin
yang memiliki kekuasaan pun tidak akan berdaya untuk menghasilkan perubahan yang
dibutuhkan dengan cepat. Kedua, kurang mampu beradaptasi dalam menghadapi ancaman yang
mendadak dan meningkat, akibat terlalu mengandalkan prosedur operasional yang sudah mapan.
Sedangkan kelebihannya adalah pertama, sangat efektif untuk organisasi yang sudah besar dan
kompleks. Kedua, memudahkan pimpinan tertinggi untuk melakukan pengendalian secara
efektif. Ketiga, memberikan pedoman kerja yang jelas berupa peraturan dan prosedur, yang
memberikan kemungkinan terbentuknya integrasi internal tanpa intervensi aktif dari pimpinan
tertinggi.
Orientasi tugas. Budaya organisasi semacam ini didasarkan kepada asumsi bahwa pencapaian
tujuan yang paling tinggi (super ordinate goals) merupakan prioritas utama dan dinilai tinggi.
Karena itu, struktur organisasi, fungsi dan kegiatan selalu dinilai berdasarkan signifikansinya
terhadap pencapaian tujuan yang gradasinya paling tinggi. Budaya semacam ini antara lain
ditandai oleh tidak ada yang boleh menghalangi penyelesaian tugas dalam rangka pencapaian
tujuan; mekanisme organisasi (peraturan, struktur, prosedur) yang tidak efektif bagi pemecahan
masalah selalu diubah untuk memenuhi kebutuhan akan tugas dan fungsi yang dijalankan;
wewenang dianggap sah hanya jika didasarkan pada pengetahuan dan kompetensi yang tepat;
tidak ada sifat kompetitif yang melekat pada budaya orientasi tugas; fleksibilitas organisasi
sangat tinggi dalam merespon perubahan-perubahan lingkungan; pencapaian tujuan dan
kesamaan nilai-nilai yang dianut selalu menjadi acuan dalam setiap proses kerjasama.
Budaya semacam ini biasanya akan cocok bila dihadapkan kepada lingkungan yang tidak hanya
kompleks dan dinamis tetapi perubahannya sangat cepat. Strategi yang diterapkan biasanya
dengan cara membentuk satuan-satuan tugas atau tim-tim kecil yang terdiri atas para ahli yang
kompeten dalam bidangnya masing-masing. Satuan tugas atau tim yang dibentuk tidak bersifat
permanen melainkan bergantung kepada kebutuhan. Karena itu, ketika satuan tugas sudah selesai
menjalankan misinya, biasanya satuan tugas tersebut dibubarkan dan para anggotanya bergabung
dengan satuan-satuan tugas yang baru untuk memecahkan masalah-masalah yang baru pula.
Persoalan yang dihadapi budaya organisasi berorientasi peran biasanya terlalu mengandalkan
komitmen penuh dari para anggota organisasi di semua jenjang organisasi.
Kelebihan dari orientasi budaya tugas antara lain, pertama, sangat fleksibel dalam menghadapi
dinamika perubahan lingkungan yang kompleks dan cepat. Kedua, menciptakan sistem
pengendalian yang lentur, sehingga memudahkan peralihan dengan cepat bila sumber daya yang
berbeda diperlukan atas dasar masalah-masalah eksternal. Sedangkan kelemahannya adalah
pertama, mengandalkan komitmen penuh dari para anggota organisasi di semua tingkatan,
sehingga terkadang memerlukan waktu yang lama untuk merespon suatu perubahan. Kedua, sulit
membina kohesi internal, akibat oleh sifat kesementaraan dari satuan-satuan tugas atau tim yang
dibentuk. Sementara itu, kohesi internal memerlukan koordinasi kegiatan dan struktur yang
berkesinambungan dan stabil.
Secara umum budaya yang berorientasi tugas ini akan mudah ditemukan pada organisasi-
organisasi kecil, dimana para anggotanya terhimpun karena adanya nilai, tugas, atau tujuan
bersama. Sedangkan pada organisasi besar yang berteknologi tinggi biasanya banyak ditemukan
pada organisasi-organisasi industri (manufaktur).
Orientasi orang. Orientasi budaya ini didasarkan kepada asumsi bahwa organisasi dipandang atau
dinilai sebagai sarana bagi para anggotanya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka yang
tak dapat dipenuhi jika dilakukan secara sendiri-sendiri. Karena itu, dapat dikatakan bahwa
keberadaannya dibentuk secara khusus untuk orang-orang dengan motif dan kebutuhan akan
kemandirian yang mampu mengekspresikan dirinya sendiri. Kebutuhan-kebutuhan pribadi
biasanya akan terpenuhi dalam organisasi yang orientasi budayanya pada person. Ciri budaya
organisasi yang berorientasi pada person ditandai oleh: kewenangan bila diperlukan dapat
diserahkan kepada seseorang selama dinilai cakap dan ahli untuk menjalankan kewenangannya,
sebagai gantinya para anggota diharapkan akan saling mempengaruhi lewat keteladanan, sikap
saling menolong dan kepedulian; metode musyawarah untuk mufakat lebih disukai dalam
pengambilan keputusan: secara umum, para anggota organisasi tidak diharapkan melakukan hal-
hal yang bertentangan dengan tujuan dan nilai mereka sendiri; aturan diberlakukan atas dasar
kesukaan pribadi dan kebutuhan untuk belajar dan berkembang; beban tugas yang tidak
memberikan imbalan dan tak menyenangkan ditanggung bersama.
Organisasi yang berorientasi pada budaya semacam ini, pada kenyataannya sangat jarang.
Kalaupun ada, biasanya muncul dalam bentuk biro-biro konsultan atau bantuan yang relatif kecil
dan biasanya bergerak di bidang arsitektur, hukum, dan sosial. Kelebihan organisasi yang
berorientasi person diantaranya: pertama, mampu beradaptasi terhadap dinamika perubahan.
Mengingat, struktur pada organisasi budaya seperti ini memiliki struktur yang lentur dan jalur
komunikasi serta pengendalian yang pendek. Kedua, para anggota organisasi cenderung
mempunyai komitmen dan tingkat kepedulian yang tinggi terhadap organisasi. Sedangkan
kelemahannya biasanya kesulitan dalam mengerahkan dan mengarahkan kegiatan para
anggotanya secara bersama-sama untuk menghadapi resiko.
5. Fungsi Budaya Organisasi
Para ahli sepakat bahwa secara pragmatis budaya organisasi memiliki fungsi yang sangat
strategis bagi kehidupan organisasi. Kreitner dan Kinicki (2003:72-75) mengemukakan
pentingnya budaya organisasi atas dasar empat alasan, yaitu: “(1) give members an
organizational identity, (2) facilitate collective commitment, (3) promote social system stability,
(4) shape behavior by helping members make sense of their surroundings.
Budaya organisasi menurut Noe dan Mondy (1996:145), berfungsi untuk (1) memberikan sense
of identity kepada para anggota organisasi untuk memahami visi, misi, serta menjadi bagian
integral dari organisasi, (2) menghasilkan dan meningkatkan komitmen terhadap misi organisasi,
(3) memberikan arah dan memperkuat standar perilaku untuk mengendalikan pelaku organisasi
agar melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya secara efektif dan efisien untuk mencapai
tujuan dan sasaran organisasi yang telah disepakati bersama.
Siagian (2002:199) memaparkan lima fungsi penting budaya organisasi, yaitu (1) penentu batas-
batas berperilaku, (2) menumbuhkan kesadaran tentang identitas sebagai organisasi, (3)
penumbuhan komitmen, (4) pemeliharaan stabilitas organisasional, dan (5) mekanisme
pengawasan.
Robbins (2001:294) mengemukakan fungsi budaya dalam suatu organisasi yaitu (1) budaya
mempunyai suatu peran menetapkan tapal batas, artinya budaya menciptakan perbedaan yang
jelas antara suatu organisasi dengan organisasi lainnya; (2) budaya membawa suatu rasa identitas
bagi anggota-anggota organisasi; (3) budaya mempermudah timbulnya komitmen pada sesuatu
yang lebih luas dari kepentingan diri individu seseorang; (4) budaya untuk meningkatkan
kemantapan sistem sosial; dan (5) budaya berfungsi sebagai mekanisme pembuat makna dan
kendali yang memandu dan membentuk sikap serta perilaku para pegawai.
Dengan demikian dapat dikatakan, fungsi budaya organisasi adalah normatif, etis, dan ideologis
yang membantu para anggota organisasi tentang bagaimana berpikir, merasakan, dan berperilaku
secara benar dan tepat.
Daftar Rujukan
19. Penelitian ini dilakukan terhadap 75 karyawan PT. EWS Oilfield Services, dengan tujuan
untuk mengetahui pengaruh budaya organisasi dan komitmen organisasional (dalam hal
ini disebut variabel bebas) terhadap kepuasan kerja karyawan (variabel terikat). Analisis
data pada penelitian ini menggunakan regresi ganda. Hasil penelitian menunjukkan
adanya pengaruh yang signifikan dari variabel bebas terhadap variabel terikat.
Berdasarkan perhitungan, diketahui pula bahwa rerata skor empirik dari tiap skala yang
dibagikan pada subjek menunjukkan bahwa subjek memiliki skor diatas rata-rata pada
tiap variabel yang diteliti. Baik budaya organisasi, komitmen organisasional maupun
kepuasan kerja dikategorikan cukup tinggi.
20. Kata Kunci : budaya organisasi, komitmen organisasional, kepuasan kerja, regresi ganda.
21. BAB I
PENDAHULUAN
23. Dalam organisasi industri, dikenal berbagai sumber daya yang dapat digunakan untuk
mencapai tujuan organisasi seperti manusia atau tenaga kerja, material, mesin, metode,
uang dan pasar. Sebelum ilmu pengetahuan maupun teknologi berkembang dengan pesat,
terutama manajemen, para pekerja dipandang sebagai alat produksi semata. Namun akhir-
akhir ini, pekerja telah dipandang sebagai sumber dayayang sangat penting dan perlu
mendapat perhatian khusus serta mendalam. Bagaimanapun baiknya organisasi,
lengkapnya sarana dan fasilitas kerja, semuanya tidak akan mempunyai arti tanpa adanya
manusia yang mengatur, menggunakan dan memeliharanya. Oleh karena itu, manusia
merupakan salah satu unsur pokok yang menentukan tercapainya tujuan organisasi
(Syaifudi, 1988).
Organisasi sebagai wadah bagi sumber daya manusia, terbentuk karena adanya
koordinasi dari sejumlah kegiatan manusia. Organisasi perusahaan terdiri dari kelompok-
kelompok tenaga kerja yang bekerja saling berinteraksi dalam suatu struktur tertentu.
Interaksi antar kelompok-kelompok kerja ini adalah untuk mencapai tujuan perorangan
dalam organisasi, yaitu tercapainya hasil.
Dalam organisasi perusahaan, tidak semua pekerja atau karyawan bekerja secara optimal.
Hal ini tampak bahwa tidak semua karyawan dapat melaksanakan tugasnya dengan baik
sepertiyang diharapkan oleh perusahaan. Oleh karena itu penting bagi perusahaan untuk
meningkatkan kepuasan kerja agar karyawan dapat bekerja secara optimal sehingga
tujuan-tujuan organisasi dapat tercapai.
Kondisi kepuasan kerja yang rendah dapat menyebabkan karyawan bosan dengan tugas-
tugasnya, cepat atau lambat tidak dapat diandalkan, menjadi mangkir atau buruk prestasi
kerjanya (Kussriyanto, 1991). Jhons (2001) juga mengemukakan hal serupa apabila
karyawan merasa tidak puas, konsekuensinya, merekaakan berpikir untuk berhenti
bekerja, mengevaluasi perlunya mencari pekerjaan baru dan mengevalusi kerugian-
kerugian apabila berhentidari pekerjaan, berniat untuk mencari alternatif pekerjaan lain,
sampai pada akhirnya mengambil tindakan untuk berhenti dari pekerjaan mereka.
Sebaliknya, apabila karyawan memperoleh kepuasan kerja maka akan mempengaruhi
kondisi kerja yang positif dan dinamis. Kondisi kerja yang dinamis ditunjukkan pada
pekerjaan yang memberi kesempatan bagi individu untuk berpikir kreatif, memiliki
kebebasan dalam bekerja dan memiliki kontrol terhadap pekerjaannya.
Salah satu hal yang menjadi indikator rendahnya kepuasan kerja adalah kemangkiran.
Menurut Robbins (2003) masuk akal bahwa karyawan yang tidak puas besar
kemungkinannya untuk tidak masuk kerja. Perilaku terlambat datang ketempat kerja dan
tidak masuk kerja dianggap sebagai perilakuyang tidak efisien bagi perusahaan, hal ini
tentu saja menimbulkan kerugian bagi perusahaan.
Kepuasan kerja merupakan sikap karyawan terhadap pekerjaan yang didasarkan pada
aspek-aspek pekerjaan. Smith, Kendall dan Hulin (dalam Luthans, 1992) menyebutkan
dimensi kerja yang mempengaruhi kepuasan kerja dapat dikelompokkan menjadi lima,
yaitu pekerjaan itu sendiri, kesempatan promosi, pengawasan, dan rekan kerja.
Kepuasan karyawan berhubungan dengan sistem nilai dari masyarakat tempat perusahaan
itu berada. Seorang manajer sebuah perusahaan bisa saja gagal total, kalau tidak mengerti
nilai budaya masyarakat kerjayang menjadi patnernya dalam bekerja (Amir, 2002). Oleh
karena itu, keberhasilan suatu organisasi mencapai tujuannya tidak hanya ditentukan oleh
hal-halyang kasat mata (tangible), seperti struktur organisasi, laporan keuangan, aset,
gedung dan sebagainya, melainkan juga oleh hal-hal yang tidak kasat mata (intangible)
(Moeljono, 2003). Salah satu hal yang tidak kasat mata tersebut adalah budaya
organisasi.
Budaya organisasi merupakan apa yang dipersepsikan oleh para karyawan dan bagaimana
persepsi ini menciptakan pola-pola kepercayaan, nila-nilai, dan harapan-harapan
(Ivancevich dan Matteson, 1999). Karyawan sebagai bagiandari organisasi perusahaan
akan mempersepsikan nilai-nilai budaya organisasi yang ada di perusahaan, apakah nilai-
nilai perusahaan sesuai dengan nilai-nilai individu.
Adanya kesesuaian antara nilai pribadi dengan nilai perusahaan akan menimbulkan
kepuasaan kerja. Lebih jauh diungkapkan bahwa budaya organisasi membantu
perkembangan pemberdayaan karyawan dan rasa percaya pada pihak manajemen
sehingga berhubungan dengan kepuasan kerjayang tinggi dan besarnya komitmen
organisasional (Laschinger, Finegan, Shamian dan Casier; Laschinger et al. dalam
Simmons, 2005). Hal ini juga diungkapkan oleh Locke (dalam Riyono, 1996) yang
menyatakan bahwa kepuasan kerja sangat berkaitan dengan nilai-nilai yang
dipresentasikan melalui budaya organisasi yang dimiliki perusahaan.
Beberapa penelitian mengemukakan bahwa komitmen karyawan pada organisasi
berkorelasi positif dengan kepuasan kerja. Dalam suatu studi meta-analisis ditemukan
bahwa rata-rata korelasi antara kepuasan kerja dan komitmen organisasional sebesar 0.59.
Korelasi yang tinggi ini mengindikasikan bahwa kepuasan kerja merupakan prediktor
yang kuat terhadap komitmen organisasional dari para pekerjanya dalam aneka ragam
industri dan lingkungan kerja (Mathieu dan Zajac dalam Simmons, 2005).
Kepuasan kerja berpengaruh terhadap komitmen organisasional, yang selanjutnya akan
mempengaruhi produktivitas, kualitas, dan pelayanan. Apabila karyawan berkomitmen
pada organisasi, para karyawan mungkin akan bekerja lebih produktif. Karyawan yang
berkomitmen terhadap organisasi lebih mungkin untuk mendapatkan kepuasan yang lebih
besar. Karyawan yang tidak puas akan pekerjaannya atau kurang berkomitmen pada
organisasi akan terlihat menarik diri dari organisasi melalui ketidakhadiran dan turnover
(tingkat keluar masuknya karyawan) (Mathis dan Jackson, 2001).
Komitmen organisasional merupakan tingkat kepercayaan dan penerimaan tenaga kerja
terhadap tujuan organisasi dan mempunyai keinginan untuk tetap ada di dalam organisasi
tersebut. Pengukuran komitmen organisasional, biasanya berdasarkan pada komponen-
komponen komitmen afektif (affective commitment), komitmen kontinuan (continuance
commitment), dan komitmen normatif (normative commitment) (Meyer dan Allen dalam
Baron dan Greenberg, 1997).
Penelitian tentang kepuasan kerja telah banyak dilakukan. Akan tetapi, pada penelitian ini
peneliti tertarik meneliti pada perusahaan tambang, yaitu perusahaan minyak bumi.
Perusahaan minyak lokal di Indonesia sedikit jumlahnya. Selain itu, karyawanyang
bekerja di perusahaan minyak lekat dengan citra kepuasan kerja yang tinggi. Hal ini
dikarenakan citra yang melekat adalah bahwa karyawan digaji tinggi oleh perusahaan,
jaminan kesehatan yang memadai, cuti 30 hari dalam setahun, dan lain sebagainya. Hal-
hal inilah yang menjadi ketertarikan penelitian ini dilakukan.
Berdasarkan hal-hal diatas, peneliti tertarik untuk menguji :
Apakah terdapat pengaruh antara budaya organisasi dan komitmen organisasional
terhadap kepuasan kerja?
25. Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh budaya organisasi dan komitmen
organisasional terhadap kepuasan kerja.
26. C. Manfaat Penelitian
Dari Vijay Sathe dan Edgar Schein, kita temukan kata kunci dari pengertian budaya yaitu shared basic
assumptions atau menganggap pasti terhadap sesuatu. Taliziduhu Ndraha mengemukakan bahwa
asumsi meliputi beliefs (keyakinan) dan value (nilai). Beliefs merupakan asumsi dasar tentang dunia dan
bagaimana dunia berjalan. Duverger sebagaimana dikutip oleh Idochi Anwar dan Yayat Hidayat Amir
(2000) mengemukakan bahwa belief (keyakinan) merupakan state of mind (lukisan fikiran) yang terlepas
dari ekspresi material yang diperoleh suatu komunitas.
Value (nilai) merupakan suatu ukuran normatif yang mempengaruhi manusia untuk melaksanakan
tindakan yang dihayatinya. Menurut Vijay Sathe dalam Taliziduhu (1997) nilai merupakan “ basic
assumption about what ideals are desirable or worth striving for.” Sementara itu, Moh Surya (1995)
memberikan gambaran tentang nilai sebagai berikut :
“ …setiap orang mempunyai berbagai pengalaman yang memungkinkan dia berkembang dan belajar.
Dari pengalaman itu, individu mendapatkan patokan-patokan umum untuk bertingkah laku. Misalnya,
bagaimana cara berhadapan dengan orang lain, bagaimana menghormati orang lain, bagimana memilih
tindakan yang tepat dalam satu situasi, dan sebagainya. Patokan-patokan ini cenderung dilakukan dalam
waktu dan tempat tertentu.”
Pada bagian lain dikemukakan pula bahwa nilai mempunyai fungsi : (1) nilai sebagai standar; (2) nilai
sebagai dasar penyelesaian konflik dan pembuatan keputusan; (3) nilai sebagai motivasi; (4) nilai sebagai
dasar penyesuaian diri; dan (5) nilai sebagai dasar perwujudan diri. Hal senada dikemukakan oleh
Rokeach yang dikutip oleh Danandjaya dalam Taliziduhu Ndraha (1997) bahwa : “ a value system is
learned organization rules to help one choose between alternatives, solve conflict, and make decision.”
Dalam budaya organisasi ditandai adanya sharing atau berbagi nilai dan keyakinan yang sama dengan
seluruh anggota organisasi. Misalnya berbagi nilai dan keyakinan yang sama melalui pakaian seragam.
Namun menerima dan memakai seragam saja tidaklah cukup. Pemakaian seragam haruslah membawa
rasa bangga, menjadi alat kontrol dan membentuk citra organisasi. Dengan demikian, nilai pakaian
seragam tertanam menjadi basic. Menurut Sathe dalam Taliziduhu Ndraha (1997) bahwa shared basic
assumptions meliputi : (1) shared things; (2) shared saying, (3) shared doing; dan (4) shared feelings.
Pada bagian lain, Edgar Schein (2002) menyebutkan bahwa basic assumption dihasilkan melalui : (1)
evolve as solution to problem is repeated over and over again; (2) hypothesis becomes reality, dan (3) to
learn something new requires resurrection, reexamination, frame breaking.
Dengan memahami konsep dasar budaya secara umum di atas, selanjutnya kita akan berusaha
memahami budaya dalam konteks organisasi atau biasa disebut budaya organisasi (organizational
culture). Adapun pengertian organisasi di sini lebih diarahkan dalam pengertian organisasi formal. Dalam
arti, kerja sama yang terjalin antar anggota memiliki unsur visi dan misi, sumber daya, dasar hukum
struktur, dan anatomi yang jelas dalam rangka mencapai tujuan tertentu.
Sejak lebih dari seperempat abad yang lalu, kajian tentang budaya organisasi menjadi daya tarik
tersendiri bagi kalangan ahli maupun praktisi manajemen, terutama dalam rangka memahami dan
mempraktekkan perilaku organisasi.
Edgar Schein (2002) mengemukakan bahwa budaya organisasi dapat dibagi ke dalam dua dimensi yaitu :
(1) Dimensi external environments; yang didalamnya terdapat lima hal esensial yaitu: (a) mission and
strategy; (b) goals; (c) means to achieve goals; (d) measurement; dan (e) correction.
(2) Dimensi internal integration yang di dalamnya terdapat enam aspek utama, yaitu : (a) common
language; (b) group boundaries for inclusion and exclusion; (c) distributing power and status; (d)
developing norms of intimacy, friendship, and love; (e) reward and punishment; dam (f) explaining and
explainable : ideology and religion.
Pada bagian lain, Edgar Schein mengetengahkan sepuluh karateristik budaya organisasi, mencakup :
(1) observe behavior: language, customs, traditions; (2) groups norms: standards and values; (3)
espoused values: published, publicly announced values; (4) formal philosophy: mission; (5) rules of the
game: rules to all in organization; (6) climate: climate of group in interaction; (7) embedded skills; (8)
habits of thinking, acting, paradigms: shared knowledge for socialization; (9) shared meanings of the
group; dan (10) metaphors or symbols.
Sementara itu, Fred Luthan (1995) mengetengahkan enam karakteristik penting dari budaya organisasi,
yaitu : (1) obeserved behavioral regularities; yakni keberaturan cara bertindak dari para anggota yang
tampak teramati. Ketika anggota organisasi berinteraksi dengan anggota lainnya, mereka mungkin
menggunakan bahasa umum, istilah, atau ritual tertentu; (2) norms; yakni berbagai standar perilaku
yang ada, termasuk di dalamnya tentang pedoman sejauh mana suatu pekerjaan harus dilakukan; (3)
dominant values; yaitu adanya nilai-nilai inti yang dianut bersama oleh seluruh anggota organisasi,
misalnya tentang kualitas produk yang tinggi, absensi yang rendah atau efisiensi yang tinggi; (4)
philosophy; yakni adanya kebijakan-kebijakan yang berkenaan dengan keyakinan organisasi dalam
memperlakukan pelanggan dan karyawan (5) rules; yaitu adanya pedoman yang ketat, dikaitkan dengan
kemajuan organisasi (6) organization climate; merupakan perasaan keseluruhan (an overall “feeling”)
yang tergambarkan dan disampaikan melalui kondisi tata ruang, cara berinteraksi para anggota
organisasi, dan cara anggota organisasi memperlakukan dirinya dan pelanggan atau orang lain
Dari ketiga pendapat di atas, kita melihat adanya perbedaan pandangan tentang karakteristik budaya
organisasi, terutama dilihat dari segi jumlah karakteristik budaya organisasi. Kendati demikian, ketiga
pendapat tersebut sesungguhnya tidak menunjukkan perbedaan yang prinsipil.
Budaya organisasi dapat dipandang sebagai sebuah sistem. Mc Namara (2002) mengemukakan bahwa
dilihat dari sisi in put, budaya organisasi mencakup umpan balik (feed back) dari masyarakat, profesi,
hukum, kompetisi dan sebagainya. Sedangkan dilihat dari proses, budaya organisasi mengacu kepada
asumsi, nilai dan norma, misalnya nilai tentang : uang, waktu, manusia, fasilitas dan ruang. Sementara
dilihat dari out put, berhubungan dengan pengaruh budaya organisasi terhadap perilaku organisasi,
teknologi, strategi, image, produk dan sebagainya.
Dilihat dari sisi kejelasan dan ketahanannya terhadap perubahan, John P. Kotter dan James L. Heskett
(1998) memilah budaya organisasi menjadi ke dalam dua tingkatan yang berbeda. Dikemukakannya,
bahwa pada tingkatan yang lebih dalam dan kurang terlihat, nilai-nilai yang dianut bersama oleh orang
dalam kelompok dan cenderung bertahan sepanjang waktu bahkan meskipun anggota kelompok sudah
berubah. Pengertian ini mencakup tentang apa yang penting dalam kehidupan, dan dapat sangat
bervariasi dalam perusahaan yang berbeda : dalam beberapa hal orang sangat mempedulikan uang,
dalam hal lain orang sangat mempedulikan inovasi atau kesejahteraan karyawan. Pada tingkatan ini
budaya sangat sukar berubah, sebagian karena anggota kelompok sering tidak sadar akan banyaknya
nilai yang mengikat mereka bersama. Pada tingkat yang terlihat, budaya menggambarkan pola atau gaya
perilaku suatu organisasi, sehingga karyawan-karyawan baru secara otomatis terdorong untuk mengikuti
perilaku sejawatnya. Sebagai contoh, katakanlah bahwa orang dalam satu kelompok telah bertahun-
tahun menjadi “pekerja keras”, yang lainnya “sangat ramah terhadap orang asing dan lainnya lagi selalu
mengenakan pakaian yang sangat konservatif. Budaya dalam pengertian ini, masih kaku untuk berubah,
tetapi tidak sesulit pada tingkatan nilai-nilai dasar. Untuk lebih jelasnya lagi mengenai tingkatan budaya
ini dapat dilihat dalam bagan 1.
Norma perilaku kelompok : cara bertindak yang sudah lazim atau sudah meresap yang ditemukan dalam
satu kelompok dan bertahan karena anggota kelompok cenderung berperilaku dengan cara
mengajarkan praktek-praktek (juga- nilai-nilai yang mereka anut bersama) kepada para anggota baru
memberi imbalan kepada mereka yang menyesuaikan dirinya dan menghukum yang tidak.
Contoh : para karyawan cepat menanggapi permintaan pelanggan; para menajer yang sering melibatkan
karyawan tingkat bawah dalam pengambilan keputusan.
Tampak Mudah berubah
Pada bagian lain, John P. Kotter dan James L. Heskett (1998) memaparkan pula tentang tiga konsep
budaya organisasi yaitu : (1) budaya yang kuat; (2) budaya yang secara strategis cocok; dan (3) budaya
adaptif. Organisasi yang memiliki budaya yang kuat ditandai dengan adanya kecenderungan hampir
semua manajer menganut bersama seperangkat nilai dan metode menjalankan usaha organisasi.
Karyawan baru mengadopsi nilai-nilai ini dengan sangat cepat. Seorang eksekutif baru bisa saja dikoreksi
oleh bawahannya, selain juga oleh bossnya, jika dia melanggar norma-norma organisasi.
Gaya dan nilai dari suatu budaya yang cenderung tidak banyak berubah dan akar-akarnya sudah
mendalam, walaupun terjadi penggantian manajer. Dalam organisasi dengan budaya yang kuat,
karyawan cenderung berbaris mengikuti penabuh genderang yang sama. Nilai-nilai dan perilaku yang
dianut bersama membuat orang merasa nyaman dalam bekerja, rasa komitmen dan loyalitas membuat
orang berusaha lebih keras lagi. Dalam budaya yang kuat memberikan struktur dan kontrol yang
dibutuhkan, tanpa harus bersandar pada birokrasi formal yang mencekik yang dapat menekan
tumbuhnya motivasi dan inovasi.
Budaya yang strategis cocok secara eksplisit menyatakan bahwa arah budaya harus menyelaraskan dan
memotivasi anggota, jika ingin meningkatkan kinerja organisasi. Konsep utama yang digunakan di sini
adalah “kecocokan”. Jadi, sebuah budaya dianggap baik apabila cocok dengan konteksnya. Adapun yang
dimaksud dengan konteks bisa berupa kondisi obyektif dari organisasinya atau strategi usahanya.
Budaya yang adaptif berangkat dari logika bahwa hanya budaya yang dapat membantu organisasi
mengantisipasi dan beradaptasi dengan perubahan lingkungan, akan diasosiasikan dengan kinerja yang
superiror sepanjang waktu. Ralph Klimann menggambarkan budaya adaptif ini merupakan sebuah
budaya dengan pendekatan yang bersifat siap menanggung resiko, percaya, dan proaktif terhadap
kehidupan individu. Para anggota secara aktif mendukung usaha satu sama lain untuk mengidentifikasi
semua masalah dan mengimplementasikan pemecahan yang dapat berfungsi. Ada suatu rasa percaya
(confidence) yang dimiliki bersama. Para anggotanya percaya, tanpa rasa bimbang bahwa mereka dapat
menata olah secara efektif masalah baru dan peluang apa saja yang akan mereka temui. Kegairahan
yang menyebar luas, satu semangat untuk melakukan apa saja yang dia hadapi untuk mencapai
keberhasilan organisasi. Para anggota ini reseptif terhadap perubahan dan inovasi. Rosabeth Kanter
mengemukakan bahwa jenis budaya ini menghargai dan mendorong kewiraswastaan, yang dapat
membantu sebuah organisasi beradaptasi dengan lingkungan yang berubah, dengan memungkinkannya
mengidentifikasi dan mengeksploitasi peluang-peluang baru. Contoh perusahaan yang mengembangkan
budaya adaptif ini adalah Digital Equipment Corporation dengan budaya yang mempromosikan inovasi,
pengambilan resiko, pembahasan yang jujur, kewiraswastaan, dan kepemimpinan pada banyak tingkat
dalam hierarki.
Setelah mapan, budaya organisasi sering mengabadikan dirinya dalam sejumlah hal. Calon anggota
kelompok mungkin akan disaring berdasarkan kesesuaian nilai dan perilakunya dengan budaya
organisasi. Kepada anggota organisasi yang baru terpilih bisa diajarkan gaya kelompok secara eksplisit.
Kisah-kisah atau legenda-legenda historis bisa diceritakan terus menerus untuk mengingatkan setiap
orang tentang nilai-nilai kelompok dan apa yang dimaksudkan dengannya.
Para manajer bisa secara eksplisit berusaha bertindak sesuai dengan contoh budaya dan gagasan budaya
tersebut. Begitu juga, anggota senior bisa mengkomunikasikan nilai-nilai pokok mereka secara terus
menerus dalam percakapan sehari-hari atau melalui ritual dan perayaan-perayaan khusus. Orang-orang
yang berhasil mencapai gagasan-gagasan yang tertanam dalam budaya ini dapat terkenal dan dijadikan
pahlawan. Proses alamiah dalam identifikasi diri dapat mendorong anggota muda untuk mengambil alih
nilai dan gaya mentor mereka. Barangkali yang paling mendasar, orang yang mengikuti norma-norma
budaya akan diberi imbalan (reward) sedangkan yang tidak, akan mendapat sanksi (punishment).
Imbalan (reward) bisa berupa materi atau pun promosi jabatan dalam organisasi tertentu sedangkan
untuk sanksi (punishment) tidak hanya diberikan berdasar pada aturan organisasi yang ada semata,
namun juga bisa berbentuk sanksi sosial. Dalam arti, anggota tersebut menjadi isolated di lingkungan
organisasinya.
Dalam suatu organisasi sesungguhnya tidak ada budaya yang “baik” atau “buruk”, yang ada hanyalah
budaya yang “cocok” atau “tidak cocok” . Jika dalam suatu organisasi memiliki budaya yang cocok, maka
manajemennya lebih berfokus pada upaya pemeliharaan nilai-nilai- yang ada dan perubahan tidak perlu
dilakukan. Namun jika terjadi kesalahan dalam memberikan asumsi dasar yang berdampak terhadap
rendahnya kualitas kinerja, maka perubahan budaya mungkin diperlukan.
Karena budaya ini telah berevolusi selama bertahun-tahun melalui sejumlah proses belajar yang telah
berakar, maka mungkin saja sulit untuk diubah. Kebiasaan lama akan sulit dihilangkan. Walaupun
demikian, Howard Schwartz dan Stanley Davis dalam bukunya Matching Corporate Culture and Business
Strategy yang dikutip oleh Bambang Tri Cahyono mengemukakan empat alternatif pendekatan terhadap
manajemen budaya organisasi, yaitu : (1) lupakan kultur; (2) kendalikan disekitarnya; (3) upayakan untuk
mengubah unsur-unsur kultur agar cocok dengan strategi; dan (4) ubah strategi. Selanjutnya Bambang
Tri Cahyono (1996) dengan mengutip pemikiran Alan Kennedy dalam bukunya Corporate Culture
mengemukan bahwa terdapat lima alasan untuk membenarkan perubahan budaya secara besar-besaran
: (1) Jika organisasi memiliki nilai-nilai yang kuat namun tidak cocok dengan lingkungan yang berubah;
(2) Jika organisasi sangat bersaing dan bergerak dengan kecepatan kilat; (3) Jika organisasi berukuran
sedang-sedang saja atau lebih buruk lagi; (4) Jika organisasi mulai memasuki peringkat yang sangat
besar; dan (5) Jika organisasi kecil tetapi berkembang pesat.
Selanjutnya Kennedy mengemukakan bahwa jika tidak ada satu pun alasan yang cocok dengan di atas,
jangan lakukan perubahan. Analisisnya terhadap sepuluh kasus usaha mengubah budaya menunjukkan
bahwa hal ini akan memakan biaya antara 5 sampai 10 persen dari yang telah dihabiskan untuk
mengubah perilaku orang. Meskipun demikian mungkin hanya akan didapatkan setengah perbaikan dari
yang diinginkan. Dia mengingatkan bahwa hal itu akan memakan biaya lebih banyak lagi. dalam bentuk
waktu, usaha dan uang.
Dengan merujuk pada pemikiran Fred Luthan, dan Edgar Schein, di bawah ini akan diuraikan tentang
karakteristik budaya organisasi di sekolah, yaitu tentang (1) obeserved behavioral regularities; (2)
norms; (3) dominant value. (4) philosophy; (5) rules dan (6) organization climate.
(1) Obeserved behavioral regularities; budaya organisasi di sekolah ditandai dengan adanya keberaturan
cara bertindak dari seluruh anggota sekolah yang dapat diamati. Keberaturan berperilaku ini dapat
berbentuk acara-acara ritual tertentu, bahasa umum yang digunakan atau simbol-simbol tertentu, yang
mencerminkan nilai-nilai yang dianut oleh anggota sekolah.
(2) Norms; budaya organisasi di sekolah ditandai pula oleh adanya norma-norma yang berisi tentang
standar perilaku dari anggota sekolah, baik bagi siswa maupun guru. Standar perilaku ini bisa
berdasarkan pada kebijakan intern sekolah itu sendiri maupun pada kebijakan pemerintah daerah dan
pemerintah pusat. Standar perilaku siswa terutama berhubungan dengan pencapaian hasil belajar siswa,
yang akan menentukan apakah seorang siswa dapat dinyatakan lulus/naik kelas atau tidak. Standar
perilaku siswa tidak hanya berkenaan dengan aspek kognitif atau akademik semata namun menyangkut
seluruh aspek kepribadian.
Jika kita berpegang pada Kurikulum Berbasis Kompetensi, secara umum standar perilaku yang
diharapkan dari tamatan Sekolah Menengah Atas, diantaranya mencakup :
(a) Memiliki keyakinan dan ketaqwaan sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya.
(b) Memiliki nilai dasar humaniora untuk menerapkan kebersamaan dalam kehidupan.
(c) Menguasai pengetahuan dan keterampilan akademik serta beretos belajar untuk melanjutkan
pendidikan.
(d) Mengalihgunakan kemampuan akademik dan keterampilan hidup dimasyarakat local dan global.
(e) Berekspresi dan menghargai seni.
(f) Menjaga kebersihan, kesehatan dan kebugaran jasmani.
(g) Berpartisipasi dan berwawasan kebangsaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara secara demokratis. (Depdiknas, 2002)
Sedangkan berkenaan dengan standar perilaku guru, tentunya erat kaitannya dengan standar
kompetensi yang harus dimiliki guru, yang akan menopang terhadap kinerjanya. Dalam perspektif
kebijakan pendidikan nasional, pemerintah telah merumuskan empat jenis kompetensi guru
sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Peraturan Pemerintah No 14 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan, yaitu :
(a) Kompetensi pedagogik yaitu merupakan kemampuan dalam pengelolaan peserta didik yang meliputi:
(a) pemahaman wawasan atau landasan kependidikan; (b) pemahaman terhadap peserta didik;
(c)pengembangan kurikulum/ silabus; (d) perancangan pembelajaran; (e) pelaksanaan pembelajaran
yang mendidik dan dialogis; (f) evaluasi hasil belajar; dan (g) pengembangan peserta didik untuk
mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
(b) Kompetensi kepribadian yaitu merupakan kemampuan kepribadian yang: (a) mantap; (b) stabil; (c)
dewasa; (d) arif dan bijaksana; (e) berwibawa; (f) berakhlak mulia; (g) menjadi teladan bagi peserta didik
dan masyarakat; (h) mengevaluasi kinerja sendiri; dan (i) mengembangkan diri secara berkelanjutan.
(c) Kompetensi sosial yaitu merupakan kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk : (a)
berkomunikasi lisan dan tulisan; (b) menggunakan teknologi komunikasi dan informasi secara
fungsional; (c) bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan,
orangtua/wali peserta didik; dan (d) bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar.
(d) Kompetensi profesional merupakan kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan
mendalam yang meliputi: (a) konsep, struktur, dan metoda keilmuan/teknologi/seni yang
menaungi/koheren dengan materi ajar; (b) materi ajar yang ada dalam kurikulum sekolah; (c) hubungan
konsep antar mata pelajaran terkait; (d) penerapan konsep-konsep keilmuan dalam kehidupan sehari-
hari; dan (e) kompetisi secara profesional dalam konteks global dengan tetap melestarikan nilai dan
budaya nasional.
(3) Dominant values; jika dihubungkan dengan tantangan pendidikan Indonesia dewasa ini yaitu tentang
pencapaian mutu pendidikan, maka budaya organisasi di sekolah seyogyanya diletakkan dalam kerangka
pencapaian mutu pendidikan di sekolah. Nilai dan keyakinan akan pencapaian mutu pendidikan di
sekolah hendaknya menjadi hal yang utama bagi seluruh warga sekolah. Adapun tentang makna dari
mutu pendidikan itu sendiri, Jiyono sebagaimana disampaikan oleh Sudarwan Danim (2002)
mengartikannya sebagai gambaran keberhasilan pendidikan dalam mengubah tingkah laku anak didik
yang dikaitkan dengan tujuan pendidikan. Sementara itu, dalam konteks Manajemen Peningkatan Mutu
Berbasis Sekolah (Depdiknas, 2001), mutu pendidikan meliputi aspek input, proses dan output
pendidikan. Pada aspek input, mutu pendidikan ditunjukkan melalui tingkat kesiapan dan ketersediaan
sumber daya, perangkat lunak, dan harapan-harapan. Makin tinggi tingkat kesiapan input, makin tinggi
pula mutu input tersebut. Sedangkan pada aspek proses, mutu pendidikan ditunjukkan melalui
pengkoordinasian dan penyerasian serta pemanduan input sekolah dilakukan secara harmonis, sehingga
mampu menciptakan situasi pembelajaran yang menyenangkan (enjoyable learning), mampu
mendorong motivasi dan minat belajar, dan benar-benar mampu memberdayakan peserta didik.
Sementara, dari aspek out put, mutu pendidikan dapat dilihat dari prestasi sekolah, khususnya prestasi
siswa, baik dalam bidang akademik maupun non akademik.
Berbicara tentang upaya menumbuh-kembangkan budaya mutu di sekolah akan mengingatkan kita
kepada suatu konsep manajemen dengan apa yang dikenal dengan istilah Total Quality Management
(TQM), yang merupakan suatu pendekatan dalam menjalankan suatu unit usaha untuk mengoptimalkan
daya saing organisasi melalui prakarsa perbaikan terus menerus atas produk, jasa, manusia, proses
kerja, dan lingkungannya. Berkaitan dengan bagaimana TQM dijalankan, Gotsch dan Davis sebagaimana
dikutip oleh Sudarwan Danim (2002) mengemukakan bahwa aplikasi TQM didasarkan atas kaidah-kaidah
: (1) Fokus pada pelanggan; (2) obsesi terhadap kualitas; (3) pendekatan ilmiah; (4) komitmen jangka
panjang; (5) kerjasama tim; (6) perbaikan kinerja sistem secara berkelanjutan; (7) diklat dan
pengembangan; (8) kebebasan terkendali; kesatuan tujuan; dan (10) keterlibatan dan pemberdayaan
karyawan secara optimal.
Dengan mengutip pemikiran Scheuing dan Christopher, dikemukakan pula empat prinsip utama dalam
mengaplikasikan TQM, yaitu: (1) kepuasan pelanggan, (2) respek terhadap setiap orang; (3) pengelolaan
berdasarkan fakta, dan (4) perbaikan secara terus menerus.(Sudarwan Danim, 2002)
Selanjutnya, dalam konteks Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Depdiknas (2001) telah
memerinci tentang elemen-elemen yang terkandung dalam budaya mutu di sekolah, yakni : (a)
informasi kualitas harus digunakan untuk perbaikan; bukan untuk mengadili/mengontrol orang; (b)
kewenangan harus sebatas tanggung jawab; (c) hasil harus diikuti penghargaan (reward) atau sanksi
(punishment); (d) kolaborasi dan sinergi, bukan kompetisi, harus merupakan basis kerja sama; (e) warga
sekolah merasa aman terhadap pekerjaannya; (f) atmosfir keadilan (fairness) harus ditanamkan; (g)
imbal jasa harus sepadan dengan nilai pekerjaannya; dan (h) warga sekolah merasa memiliki sekolah.
Di lain pihak, Jann E. Freed et. al. (1997) dalam tulisannya tentang A Culture for Academic Excellence:
Implementing the Quality Principles in Higher Education. dalam ERIC Digest memaparkan tentang upaya
membangun budaya keunggulan akademik pada pendidikan tinggi, dengan menggunakan prinsip-prinsip
Total Quality Management, yang mencakup : (1) vision, mission, and outcomes driven; (2) systems
dependent; (3) leadership: creating a quality culture; (4) systematic individual development; (4)
decisions based on fact; (5) delegation of decision making; (6) collaboration; (7) planning for change; dan
(8) leadership: supporting a quality culture. Dikemukakan pula bahwa “when the quality principles are
implemented holistically, a culture for academic excellence is created.. Dari pemikiran Jan E.Freed et. al.
di atas, kita dapat menarik benang merah bahwa untuk dapat membangun budaya keunggulan
akademik atau budaya mutu pendidikan betapa pentingnya kita untuk dapat mengimplementasikan
prinsip-prinsip Total Quality Management, dan menjadikannya sebagai nilai dan keyakinan bersama dari
setiap anggota sekolah.
(4) Philosophy; budaya organisasi ditandai dengan adanya keyakinan dari seluruh anggota organisasi
dalam memandang tentang sesuatu secara hakiki, misalnya tentang waktu, manusia, dan sebagainya,
yang dijadikan sebagai kebijakan organisasi. Jika kita mengadopsi filosofi dalam dunia bisnis yang
memang telah terbukti memberikan keunggulan pada perusahaan, di mana filosofi ini diletakkan pada
upaya memberikan kepuasan kepada para pelanggan, maka sekolah pun seyogyanya memiliki keyakinan
akan pentingnya upaya untuk memberikan kepuasan kepada pelanggan. Dalam konteks Manajemen
Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Depdiknas (2001) mengemukakan bahwa :
“ pelanggan, terutama siswa harus merupakan fokus dari semua kegiatan di sekolah. Artinya, semua in
put - proses yang dikerahkan di sekolah tertuju utamanya untuk meningkatkan mutu dan kepuasan
peserta didik . Konsekuensi logis dari ini semua adalah bahwa penyiapan in put, proses belajar mengajar
harus benar-benar mewujudkan sosok utuh mutu dan kepuasan yang diharapkan siswa.”
(5) Rules; budaya organisasi ditandai dengan adanya ketentuan dan aturan main yang mengikat seluruh
anggota organisasi. Setiap sekolah memiliki ketentuan dan aturan main tertentu, baik yang bersumber
dari kebijakan sekolah setempat, maupun dari pemerintah, yang mengikat seluruh warga sekolah dalam
berperilaku dan bertindak dalam organisasi. Aturan umum di sekolah ini dikemas dalam bentuk tata-
tertib sekolah (school discipline), di dalamnya berisikan tentang apa yang boleh dan tidak boleh
dilakukan oleh warga sekolah, sekaligus dilengkapi pula dengan ketentuan sanksi, jika melakukan
pelanggaran. Joan Gaustad (1992) dalam tulisannya tentang School Discipline yang dipublikasikan dalam
ERIC Digest 78 mengatakan bahwa : “ School discipline has two main goals: (1) ensure the safety of staff
and students, and (2) create an environment conducive to learning.
(6) Organization climate; budaya organisasi ditandai dengan adanya iklim organisasi. Hay Resources
Direct (2003) mengemukakan bahwa “organizational climate is the perception of how it feels to work in
a particular environment. It is the "atmosphere of the workplace" and people’s perceptions of "the way
we do things here.”
Di sekolah terjadi interaksi yang saling mempengaruhi antara individu dengan lingkungannya, baik
lingkungan fisik maupun sosial. Lingkungan ini akan dipersepsi dan dirasakan oleh individu tersebut
sehingga menimbulkan kesan dan perasaan tertentu. Dalam hal ini, sekolah harus dapat menciptakan
suasana lingkungan kerja yang kondusif dan menyenangkan bagi setiap anggota sekolah, melalui
berbagai penataan lingkungan, baik fisik maupun sosialnya. Moh. Surya (1997) menyebutkan bahwa:
“ Lingkungan kerja yang kondusif baik lingkungan fisik, sosial maupun psikologis dapat menumbuhkan
dan mengembangkan motif untuk bekerja dengan baik dan produktif. Untuk itu, dapat diciptakan
lingkungan fisik yang sebaik mungkin, misalnya kebersihan ruangan, tata letak, fasilitas dan sebagainya.
Demikian pula, lingkungan sosial-psikologis, seperti hubungan antar pribadi, kehidupan kelompok,
kepemimpinan, pengawasan, promosi, bimbingan, kesempatan untuk maju, kekeluargaan dan
sebagainya. “
Manulang (dalam Cahyono, 1999: 5) mengungkapkan produktivitas kerja sebagai berikut: “Produktivitas
kerja adalah suatu sikap mental yang selalu mempunyai pandangan bahwa mutu kehidupan hari ini
harus lebih baik dari hari kemarin dan hari esok harus lebih baik dari hari ini”.
Pandangan lain dikemukakan Engkoswara (1995: 25) produktivitas kerja dari dua sudut pandang yang
berbeda, yakni “Efektivitas dalam pelaksanaan kerja dan efesiensi dalam penggunaan sumberdaya yang
tersedia”. Untuk lebih jelasnya perhatikan kutipan dibawah ini:
1) Sudut pandang pertama berkaitan dengan pencapaian unjuk kerja yang maksimal dalam arti
pencapaian target yang berkaitan dengan kualitas, kuantitas dan waktu. Dan
2) Sudut pandang kedua merujuk pada upaya membandingkan masukan dengan realitas penggunaan
atau bagaimana pekerjaan itu dilakukan.
Demikian pula Gomes (1999: 159) mendefinisikan pengertian produktivitas sebagai berikut:
Produktivitas kerja merupakan fungsi perkalian dari usaha pegawai (effort) yang didukung dengan
motivasi yang tinggi dengan kemampuan pegawai (ability) yang diperoleh melalui pelatihan.
Produktivitas kerja yang meningkatkan berarti berformasi yang baik, akan menjadi umpan balik
(feedback) bagi usaha atau motivasi pegawai pada tahapan berikutnya.
Sedarmayanti, (2002: 56-57) merumuskan tentang produktivitas yaitu “Sikap mental yang mempunyai
semangat untuk melakukan peningkatan perbaikan”. Peningkatan berbaikan akan menimbulkan sikap
produktif yang meliputi: (a) motivasi, (b) disiplin, (c) kreatif, (d) inovatif, (e) dinamis, (f) professional, dan
(g) berjiwa besar.
Berdasrkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa produktivitas kerja merupakan rasio antara
efetivitas dan efesiensi dari berbagai sumberdaya yang ditunjukan untuk mencapai keluaran organisasi
semaksimal mungkin dengan biaya seminimal mungkin dalam suatu satuan waktu tertentu dan memiliki
kualitas hasil tertentu pula. Produktivitas kerja individu adalah perbandingan dari efektivitas keluaran
(pencapaian unjuk kerja yang maksimal) dengan efisiensi salah satu masukan (tenaga kerja) yang
mencakup kuantitas dan kualitas dalam satu waktu tertentu.
B. Produktivitas kerja guru
Apabila produktivitas merupakan tujuan, maka perlu dipahami makna produiktivitas kerja itu sendiri.
Sutermeister (1976: 10) membatasi produkitivitas sebagai ukuran “Kuantitas kualitas kinerja dengan
mempertimbangkan kemanfaatan sumber daya. Produktivitas itu sendiri dipengaruhi perkembangan
bahan, teknologi dan kemampuan manusia”. Penertian produktivitas dalam arti teknis mengacu kepada
derajat keefektifan, efisiensi dalam penggunaan suber daya. Dalam pengertian perilaku, produktivitas
merupakan sikap mental yang senantiasa berusaha untuk terus berkembang.
Berdasarkan pengertian teknis produktivitas dapat diukur dengan dua standar utama, yaitu
produktivitas fisik dan produktivitas nilai. Secara fisik produktivitas diukur secara kuantitatif seperti
banyaknya keluaran (panjang, berat, lamanya waktu dan jumlah). Berdasarkan nilai, produktivitas diukur
atas dasar nilai-nilai kemampuan, sikap, perilaku disiplin, motivasi dan komitmen terhadap pekerjaan
atau tugas. Oleh karena itu mengukur produktivitas tidak mudah di samping banyaknya varibel juga
ukuran yang digunakan sangat bervariasi.
Mali (dalam Moekijat, 1999: 15) misalnya mengukur produktivitas berdasarkan kombinasi antara
efektivitas dan efisiensi. Efektivitas dikaitkan dengan perfonmance dan efisiensi dikaitkan dengan
penggunaan sumber-sumber. Indek produktivitas diukur berdasarkan perbandingan atau rasio antara
pencapaian performance dengan sumber-sumber yang dialokasikan.
Indek – Produktivitas =
Vroom (dalam Fattah, 2002: 16) hampir sejalan dengan Sutermeister dalam menggunakan formula di
man produktivitas diartikan sebagai prestasi kerja. Formula yang digunakan adalah sebagai berikut:
P = f (M x K)
P : Prestasi kerja
M : Motivasi berpretasi
K : Kemampuan
Jadi, menurut Vroom, produktivitas kerupakan fungsi dari motivasi dikalikan kemampuan, artinya tinggi
rendahnya produktivitas dipengruhi oleh faktor motivasi dan kemampuan.
Secara khusus di bidang pendidikan formal, Thomas (1976: 12) mengartukan produktivitas sekolah
ditentukan oleh tiga fungsi utama, yaitu: “(1) Fungsi administrasi, (2) Fungsi psikologi, (3) Fungsi
ekonomi”. Ke tiga fungsi tersebut secara linier menentukan tinggi rendahnya tingkat produktivitas
sekolah.
Dengan demikian, produktivitas organisasi (total productivity) secara lebih luas mengidentifikasikan
keberhasilan dan atau kegagalan dalam menghasilkan suatu produk tertentu (barang atau jasa) secara
kuantitas dan kualitas dengan memanfaatkan sumber-sumber yang benar. Produktivitas berkaitan
dengan pelaksanaan tugas-tugas dengan cara terbaik. Produktivitas merupakan kriteria, pencapaian
kerja yang diterapkan kepada individu, kelompok atau organisasi. Sebaliknya produktivitas tidak hanya
memerlukan kreativitas. Tetapi menurut Gilmore, (dalam Fattah, 2002: 15) dalam produktivitas terdapat
tiga aspek , yaitu: prestasi akademis, kreativitas dan kepemimpinan. Seseorang yang intelegensinya
tinggi mempunyai kecenderungan kreatif, berprestasi dan akhirnya akan produktif.
Dalam dunia pendidikan produktivitas sekolah banyak ditentukan oleh kemampuan manajerial tenaga
kependidikan atau manajemen personalia pendidikan. Manajemen personalia itu sendiri bertujuan
untuk mendayagunakan tenaga kepandidikan secara efektif dan efisien untuk mencapai hasil yang
optimal, namun dalam kondisi yang menyengkan. Fungsi personalia yang harus dilaksanakan pimpinan
yaitu: dengan cara menarik, mengembangkan, mengkaji dan memotivasi personil guna mencapai tujuan.
Produktivitas berkaitan erat dengan kinerja sebagai wujud perilaku atau kegiatan yang dilaksanakan
sesuai dengan harapan dan kebutuhan yang hendak dicapai secara efektif dan efisien. Standar kinerja
perlu dirumuskan sebagai acuan dalam mengadakan perbandingan terhadap apa yang akan dicapai
dengan apa yang diharapka. Adapun yang menjadi patokan adalah:
a. Produksi yang mengacu pada ukuran
b. Efisiensi mengacu kepada penggunaan sumberdaya
c. Kepuasan mengacu kepada keberhasilan dalam memenuhi kebutuhan karyawa atau anggota
organisasi.
d. Keadaptasian mengacu kepada ukuran tanggapan terhadap perubahan
Hasil produk atau output dari produktivitas lembaga pendidikan sebagai berikut: Kriteria keberhasilan
dalam administrari pendidikan dapat dilihat dari efektivitas dan efesiensi terhadap produktivitas
pendidikan efektivitas yaitu: kesepadanan antara masukan yang merata dan keluaran yang banyak dan
bermutu tinggi atau keluaran yang relevan dengan kebutuhan pembangunan bangsa. Efesiensi adalah
menunjuk pada motivasi belajar yang tinggi, semangat belajar, kepercayaan berbagai pihak dan
pembayaran, waktu dan tenaga, yang sekecil mungkin dengan hasil yang sebesar-besarnya.
Berkaitan dengan analisis penelitian ini secara aplikatif kriteria keberhasilan produktivitas pendidikan
akan menjadi standar ukuran sebagai wujud produktivitas kinerja guru.
Dalam dunia pendidikan, produktivitas kerja sangat berhubungan dengan keseluruhan proses penataan
dan penggunaan sumberdaya untuk mencapai tujuan pendidikan secara efektif dan efisien. Penataan
sumberdaya ini secara jelas dikemukakan Allan (1971: 12-23) sebagai berikut:
Produktivitas kerja dalam pendidikan mencakup tiga fungsi yaitu:
1) The Administrator Production Function (PFI), yakni suatu fungsi manajerial yang berhubungan dengan
pelbagai pelayanan untuk kebutuhan siswa dan guru. Masukan diidetifikasi sebagai perlengkapan
mengajar, ruangan, buku dan kualifikasikan mengajar yang memungkinkan tercapainya pelaksanaan
pendidikam yang baik. Sedangkan keluarnya antara lain meliputi lama tahun dan lama jam mengajar,
2) The Psychologist’s Production Function (PPF), yakni suatu fungsi perilaku (behavioral) yang
keluarannya mengacu pada fungsi pelayanan yang dapat mengubah perilaku siswa dalam kemampuan
kognisi, keterampilan, dan sikap. Masukannya diidentifikasikan antara lain waktu mengajar, sakap dan
kecakapan guru serta fasilitas, dan
3) The Ekonomic Production Funtion (EPF), yakni suatu fungsi ekonomi yang keluarnya diidentifikasikan
sebagai lulusan yang memiliki kompetensi tinggi, sehingga apabila siswa sudah bekerja dapat
memperoleh penghasilan yang tinggi melebiki biaya pendidikan yang dikeluarkannya. Masukannya
adalah semua biaya yang dikeluarkan selama pendidikan.
Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa produktivitas kerja pendidikan dapat ditinjau dari
sudut fungsi administrasi, fungsi psikologis maupun fungsi ekomomis . produktivitas kerja dalam dunia
pendidikan tentu akan sangat berbeda dengan produktivitas kerja bidang kegiatan lain yang mudah
untuk dihitung dan dikalkulasikan. Produktivitas kerja pendidikan ditentukan oleh bayak faktor, antara
lain: lingkungan sosial budaya, kemampuan pendanaan pemerintah, daya serap dunia usaha atau dunia
kerja, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, sesungguhnya sangat sulit dan rumit untuk mengukur tingkat
produktivitas kerja dalam dunia pendidikan terutama apabila ingin mengukur kualitasnya.
Engkoswara (1998: 19) menyatakan bahwa:
Dalam dunia pendidikan produktivitas kerja, khususnya produktivitas kerja guru tidak harus
berhubungan dengan rasio output dan input seperti halnya sering terlihat pada produktivitasnya kerja
karyawan perusahaan. Produktivitas kerja guru adalah unjuk kerja dalam melaksanakan tugas pokoknya
sebagai tenaga pendidikan uang bertanggungjawab terhadap bangsa dan negara.
Pendapat di atas sejalan denga pernyataan Iskandar (1998: 1) sebagai berikut:
Produktivitas kerja guru sebagai pendidik mengandung arti yang luas, tidak sebatas memberikan bahan-
bahan pengajaran secara optimal saja, tetapi menjangkau etika dan estetika perilaku siswa kelak dalam
menghadapi tantangan kehidupan di masyarakat. Tugas dan tanggungjaawab guru hendaknya dapat
mempertanggungjawabkan secara Hablumminallah dan Hablumminannas. Pertanggungjawaban secara
Hablumminallah adalah pertanggungjawaban guru terhadap sang Pencipta (Allah), sedangkan
pertanggungjawaban Hablumminannas merupakan pertanggungjawaban guru terhadap manusia
(pemerintah, masyarakat dan orang tua siswa).
Sedangkan untuk mengukur sampai sejauh mana tinglat kroduktivitas kerja guru dalam melaksanakan
tugasnya sebagai tenaga yang bekerja di bidang pendidikan dalam upaya mencerdaskan kehidupan
bangsanya. Yaitu mencetak dan menghasilkan SDM Indonesia yang berkualitas, Iskandar (1998: 7)
mengungkapkan sebagai berikut:
Tingkat produktivitas kerja guru dapat dilihat dari kompetensi dan produktivitas kerja guru dalam:
1) Menerapkan landasan pendidikan, baik filosofi maupun psikologi,
2) Menerapkan teori belajar yang sesuai dengan tingkat perkembangan perilaku peserta didik,
3) Menangani mata pelajaran atau bidang studi yang ditugaskan lepadanya,
4) Menerapkan metode pengajran yang sesuai dengan karakter bahan ajar,
5) Menggunakan berbagai alat pelajaran dan media serta afasilitas belajar,
6) Mengorganisasikan dan melaksanakan program pengajaran,
7) Melksanakan evaluasi belajar, dan
8) Menumbuhkan kepribadian peserta didik.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa produktivitas kerja guru bukanlah semata-mata pada sisi
kuantitas, yakni dapat membentuk atau menghasilkan sisiwa menjadi SDM yang handal sebagaimana
telah ditetapkan dalam tujuan Pendidikan Nasional yang secara esensial merupakan pengejawantahan
dari harapan dan tuntutan orang tua sisiwa, masyarakat, dan pemerintah.
C. Fungsi pengukuran produktivitas kerja guru
Pengukuran terhadap Produktivitas kerja sangat perlu dilakukan secara konsisten dan
berkesinambungan agar dapat diketahui dengan pasti sampai sejauh mana signifikasi tingkat kenaikan
atau kemundurannya. Dengan mengetahui tingkat kenaikan dan kemunduran tersebut, maka dapat
ditentukan segera langkah-langkah yang tepat untuk mengatasinya. Hal ini sejalan dengan pendapat
Ravianto (1999: 31) yang menyatakan bahwa fungsi pengukuran dari pengukuran produktivitas kerja
guru adalah:
1) Untuk melihat tingkat maupun perubahan produktivitas kerja yang terjadi dalam perjalanan waktu
yang telah dilakukan oleh seluruh karyawan (guru),
2) Untuk memberikan penilaian nyata atas unjuk kerja dari para karyawan (guru), dan
3) Untuk membandingkan produktivitas sendiri dengan produktivitas kerja organisasi/ lembaga yang
lain, yakni untuk melihat posisi diri sendiri pada saat ini.
Gambar 1
KERANGKA PEMIKIRAN
X1 r x1- y
R. x1. x2 - y
X2
r x2 – y
2.3. Hipotesis
Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka penulis menetapkan hipotesis sebagai berikut :
1. Iklim Organisasi mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap produktivitas kerja guru SMP
Potensial di wilayah sukaraja belum baik.
2. Budaya organisasi mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap produktivitas kerja guru
pada SMP. Potensial di wilayah sukaraja
3. Terdapat korelasi antara Budaya Organisasi dengan Iklim Organisasi terhadap produktivitas kerja
guru.
BAB III
METODE PENELITIAN
Tabel 3.1
Operasionalisasi variabel penelitian
7-8
9
10
11
12
13
14
15
16-17
18-20
21-23
24-25
26-30
1 Nilai
2 Norma
1.1 kenyakinan diri
1.2 Tujuan
1.3 kebanggaan
1.4 persaingan
1-18
19-32
3 Produktivitas kerja guru (Y) 1 Efektivitas
5-7
8-14
15-29
Keterkaitan antara variabel – variabel tersebut di atas dapat digambarkan melalui diagram berikut :
Keterangan :
X1 : Budaya Organisasi
X2 : Iklim Organisasi
Y : Program Kerja Guru
rx1y : Korelasi antara X1 dengan Y
rx2y : Korelasi antara X2 dengan Y
rx1x2y : Korelasi antara X1, X2 dengan Y
Keterangan :
r = Koefisien korelasi
X = Jumlah sekor tiap item ke-1
Y = Jumlah skor total seluruh item
n = Jumlah responden
Selanjutnya dihitung nilai/ statistik uji t pada tarap signifikan α = 0,05 dan derajat kebebasan (dk) = n-2
dengan rumus :
Keterangan :
t = Nilai t terhitung
r = Koefisien korelasi hasil hitung
n = Jumlah Responden
Kaidah keputusan :
1. Jika t hasil hitung lebih dari t hasil daftar distribusi, maka instrumen tersebut valid
2. Jika t hasil perhitungan kurang dari atau sama dengan t hasil dari distribusi, maka instrumen tersebut
tidak valid.
Selain harus valid, alat ukur penelitian juga harus reliabel atau handal , reliabilitas merupakan indeks
yang menunjukan sejauhmana alat ukur penelitian dapat dipercaya atau diandalkan. Dengan demikian
reliabilitas menunjukan konsistensi alat ukur penelitian dalam mengukur gejala yang sama. Untuk
menguji alat ukur penelitian ini menggunakan rumus “Alfa Crombach” dengan tahapan sebagai berikut :
1. Penentuan nilai korelasi (r) untuk menentukan nilai korelasi digunakan rumus sebagai berikut :
Rumus menghitung Si1 dan ST2
Keterangan :
n = Jumlah responden
Jki = Penjumlahan dari kuadrat seluruh skor tiap atem
Jks = Penjumlahan dari kuadrat jumlah skor tiap item
XT = Skor masing-masing responden
K = Jumlah item
2. Penentuan nilai hitung . rumus yang digunakan untuk mendapatkan nilai t hitung sebagai berikut :
Dimana :
r = Koefisien korelasi
n = Jumlah Responden
3. Pernyataan keputusan nilai t hitung yang dihasilkan kemudian dibandingkan dengan nilai t tabel, pada
tarap nyata sebesar a = 0.05 dan derajat kebbasan sebesar dk = n – 2 setelah dibandingkan kemudian
diambil keputusannya dengan pernyataan sebagai berikut :
a. Jika t hasil hitung > t tabel, maka alat ukur penelitian yang digunakan reliabel
b. Jika t hitung t tabel, maka alat ukur penelitian yang digunakan tersebut tidak reliabel
3.5. Teknik Analisis Data dan Uji Hipotesis
Untuk menganalisis data yang telah terkumpul digunakan cara statistik , baik secara deskriptif inferensial
atau analisis hubungan antar variabel. Adapun analisis ini menggunakan model analisis jalur ( path
analysis ). Dengan langkah langkah sebagai berikut :
E
1. Membuat diagram jalur variabel ryx
ryx1
rx1x2
ryx2
Catatan : X1 : Budaya Organisasi
X2 : Iklim Organisasi
Y : Program Kerja Guru
2. Menghitung korelasi antara variabel independen (X1) dan variabel independen (X2) dengan variabel
dependen Y.
3. Menyusun matrik Korelasi RX dan vektor RY
9. Menentukan keputusan
a. Jika t hitung > t (α, n – k – 1), maka H0 ditolak dan H2 diterima artinya terdapat perbedaan tentang
besarnya pengaruh diantara dua variabel.
b. Jika t hitung < t (α, n – k – 1), maka H0 diterima dan H1 ditolak artinya besarnya pengaruh diantara
dua variabel sama.
3.1 Tempat/Lokasi dan Jadwal Penelitian
Penelitian ini penulis lakukan di SMP Potensial Se Wilayah Sukaraja Kabupaten Tasikmalaya . dengan
jadwal sebagai berikut :
JADWAL KEGIATAN
No Uraian Kegiatan Waktu Kegiatan
2009/2010
Okt Nop Des Jan Peb Mar Apr Mei
1) Persiapan Penelitian V V
2) Observasi V
3) Membuat Usulan Penelitian V
4) Seminar Usulan Penelitian V
5) Pelaksanaan Penelitian Lapangan V V V
6) Pengolahan Data V V V
7) Penulisan/Penyusunan Tesis V V
8) Pelaksanaan Ujian Sidang v
3)
www.info.stieperbanas.ac.id/makalah/K+pengaruh+trust+terhadap+komitmen+organisasi&hl=id&ct=cln
k&cd=18&gl=id. Diunduh tanggal 24 Desember 2008
4) Yuliane, Natarie, Sutyas Prihatno, Frikson C.Sinambela. 2003. Rasa Percaya, Komitmen Organisasi, dan
Rasa Berdaya Tim (Empowered Team) Pada Karyawan Instansi Pemerintah di Surabaya. Dalam jurnal
Anima Vol 18. No 3. hal 255-273.
Kasubditbindukkes Ditkesad
Komitmen adalah kemampuan dan kemauan untuk menyelaraskan perilaku pribadi dengan
kebutuhan, prioritas dan tujuan organisasi. Hal ini mencakup cara-cara mengembangkan tujuan
atau memenuhi kebutuhan organisasi yang intinya mendahulukan misi organisasi dari pada
kepentingan pribadi. Menurut Meyer dan Allen (1991), Komitmen dapat juga berarti
penerimaan yang kuat individu terhadap tujuan dan nilai-nilai organisasi, dan individu berupaya
serta berkarya dan memiliki hasrat yang kuat untuk tetap bertahan di organisasi tersebut.
Menurut Quest (1995) komitmen merupakan nilai sentral dalam mewujudkan soliditas
organisasi.
1. Komitmen tinggi dari anggota organisasi berkorelasi positif dengan tingginya motivasi
dan meningkatnya kinerja.
2. Komitmen tinggi berkorelasi positif dengan kemandirian dan “Self Control”.
3. Komitmen tinggi berkorelasi positif dengan kesetiaan terhadap organisasi.
4. Komitmen tinggi berkorelasi dengan tidak terlibatnya anggota dengan aktifitas kolektif
yang mengurangi kualitas dan kuantitas kontribusinya.
Secara umum komitmen kuat terhadap organisasi terbukti, meningkatkan kepuasan kerja,
mengurangi absensi dan meningkatkan kinerja.
1. Melakukan upaya penyesuaian, dengan cara agar cocok di organisasinya dan melakukan
hal-hal yang diharapkan, serta menghormati norma-norma organisasi, menuruti peraturan
dan ketentuan yang berlaku.
2. Meneladani kesetiaan, dengan cara membantu orang lain, menghormati dan menerima
hal-hal yang dianggap penting oleh atasan, bangga menjadi bagian dari organisasi, serta
peduli akan citra organisasi.
3. Mendukung secara aktif, dengan cara bertindak mendukung misi dan tujuan organisasi,
serta membuat pilihan dan prioritas untuk memenuhi kebutuhan/misi organisasi dan
menyesuaikan diri dengan misi organisasi.
4. Melakukan pengorbanan pribadi, dengan cara menempatkan kepentingan organisasi
diatas kepentingan pribadi, pengorbanan dalam hal pilihan pribadi, serta mendukung
keputusan yang menguntungkan organisasi walaupun keputusan tersebut tidak disenangi.
Meyer dan Allen membagi komitmen organisasi menjadi 3 macam atas dasar sumbernya :
Dari ketiga jenis komitmen diatas tentu saja yang tertinggi tingkatannya adalah ”Affective
Commitment”, anggota/karyawan dengan ”Affective Commitment” tinggi akan memiliki
motivasi dan keinginan untuk berkontribusi secara berarti terhadap organisasi. Sedangkan
tingkatan terendah adalah ”Continuance Commitment”, anggota/karyawan yang terpaksa
menjadi anggota/karyawan untuk menghindari kerugian financial atau kerugian lain, akan
kurang/tidak dapat diharapkan berkontribusi berarti bagi organisasi. Untuk ”Normative
Commitment”, tergantung seberapa jauh internalisasi norma agar anggota/karyawan bertindak
sesuai dengan tujuan dan keinginan organisasi.
Komponen normatif akan menimbulkan perasaan kewajiban atau tugas yang memang sudah
sepantasnya dilakukan atas keuntungan-keuntungan yang telah diberikan organisasi.
Dari pengamatan dan pengalaman berdinas di TNI-AD khususnya Kesehatan Angkatan
Darat, nampaknya tidak banyak yang memiliki Affective Commitment, tidak sedikit yang hanya
mencapai taraf Continuance Commitment dan tentu saja yang kita harapkan adalah prosentase
yang cukup besar mampu mencapai Normative Commitment,artinya setelah sekian lama
berdinas, secara pribadi maupun terprogram oleh organisasi para anggota/pegawai diarahkan
mempunyai Normative Commitment.
Menurut Van Dyne dan Graham (2005) faktor-faktor yang mempengaruhi komitmen adalah :
Personal, Situasional dan Posisi.
2. Situasional.
Nilai (Value) Tempat kerja. Nilai-nilai yang dapat dibagikan adalah suatu komponen
kritis dari hubungan saling keterikatan. Nilai-nilai kualitas, Inovasi, Kooperasi,
partisipasi dan “Trust” akan mempermudah setiap anggota/karyawan untuk saling
berbagi dan memba- ngun hubungan erat. Jika para anggota/karyawan percaya bahwa
nilai organisasinya adalah kualitas produk jasa, para anggota/karyawan akan terlibat
dalam perilaku yang memberikan kontribusi untuk mewujudkan hal itu.
Keadilan organisasi. Keadilan organisasi meliputi : Keadilan yang berkaitan dengan
kewajaran alokasi sumber daya (Distributive Justice), keadilan dalam proses pengambilan
keputusan (Procedural Justice), serta keadilan dalam persepsi kewajaran atas
pemeliharaan hubungan antar pribadi (Interactional Justice).
Karakteristik pekerjaan. Meliputi pekerjaan yang penuh makna, otonomi dan umpan
balik dapat merupakan motivasi kerja yang internal. Jerigan, Beggs menyatakan kepuasan
atas otonomi, status dan kebijakan merupakan prediktor penting dari komitmen.
Karakteristik spesifik dari pekerjaan dapat meningkatkan rasa tanggung jawab, serta rasa
keterikatan terhadap organisasi.
Dukungan organisasi. Dukungan organisasi mempunyai hubungan yang positif dengan
komitmen organisasi. Hubungan ini didefinisikan sebagai sejauh mana anggota/karyawan
mempersepsi bahwa organisasi (lembaga, atasan, rekan) memberi dorongan,respek,
menghargai kontribusi dan memberi apresiasi bagi individu dalam pekerjaannya. Hal ini
berarti jika organisasi peduli dengan keberadaan dan kesejahteraan personal
anggota/karyawan dan juga menghargai kontribusinya, maka anggota/karyawan akan
menjadi komit.
3. Positional.
Masa kerja. Masa kerja yang lama akan semakin membuat anggota/karyawan komit, hal
ini disebabkan oleh karena : semakin memberi peluang anggtoa/karyawan untuk
menerima tugas menantang, otonomi semakin besar, serta peluang promosi yang lebih
tinggi. Juga peluang investasi pribadi berupa pikiran, tenaga dan waktu yang semakin
besar, hubungan sosial lebih bermakna, serta akses untuk mendapat informasi pekerjaan
baru makin berkurang.
Tingkat pekerjaan. Berbagai penelitian menyebutkan status sosioekonomi sebagai
prediktor komitmen paling kuat. Status yang tinggi cenderung meningkatkan motivasi
maupun kemampun aktif terlibat.
Menurut Martin dan Nicholss (1991) 3 pilar komitmen yang perlu dibangun adalah :
Rasa memiliki dapat dibangun dengan menumbuhkan rasa yakin anggota bahwa apa yang
dikerjakan berharga, rasa nyaman dalam organisasi , cara mendapat dukungan penuh dari
organisasi berupa misi dan nilai-nilai yang jelas yang berlaku di organisasi. Rasa bergairah
terhadap pekerjaan ditimbulkan dengan cara memberi perhatian, memberi delegasi wewenang,
serta memberi kesempatan serta ruang yang cukup bagi anggota/karyawan untuk menggunakan
ketrampilan dan keahliannya secara maksimal. Rasa kepemilikan dapat ditimbulkan dengan
melibatkan anggota/karyawan dalam membuat keputusan-keputusan.
Menurut Susatyo (2002) ada 5 faktor kunci untuk mengembangkan komitmen organisasi .
1. ”Fairness”. Lakukan penilaian kerja secara adil, keberpihakan aturan organisasi berlaku
seimbang terhadap individu dan organisasi, implementasi peraturan organisasi dilakukan
secara adil dan merata, gaji diberikan sesuai kontribusinya.
2. ”Trust” - Berikan kepercayaan terhadap anggota untuk menggunakan dan menguasai
aset organisasi untuk tujuan yang tepat. - Berikan keleluasaan dalam mengatur diri
sendiri serta mengambil keputusan yang menjadi kewenangannya.
3. Sediakan sumber daya yang memadai . Berupa jumlah personal dan kualifikasinya
serta alat peralatan.
4. Berikan perhatian dan kepedulian yang tulus terhadap karier dan
kesejahteraannya.
5. Pekerjaan yang terdefinisi dengan jelas. - Deskripsi kerja, target jangka pendek serta
perintah yang tegas dan jelas.
Ringkasan
Komitmen organisasi merupakan nilai sentral untuk solidaritas organisasi serta peningkatan
kinerja organisasi.
Menurut asal usulnya komitmen organisasi dibagi menjadi 3 tingkatan: Affective Commitment,
Normative Commitment dan Continuance Commitment.
Diperlukan upaya-upaya dari organisasi terutama jajaran pimpinan untuk menumbuhkan
komitmen berupa : Pembudayaan misi dan nilai-nilai organisasi yang jelas, perhatian dan
kepedulian, pendelegasian wewenang, penerapan keadilan, penyediaan sumber daya yang
memadai, serta pendefinisian pekerjaan. Sudahkah kita lakukan?
Pengaruh budaya organisasi dan kepuasan insentif terhadap komitmen organisasi, organizational
citizenship behaviors dan kepuasan kerja karyawan pusat penelitian kelapa sawit sumatera utara/
- 2009
Keyword : Budaya Organisasi, Kepuasan Insentif, Kepuasan Kerja, Komitmen Organisasi dan
Organizational Citizenship Behaviors
Subjek : MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA
Nomor Panggil (DDC) : 12(39) Has p
SITI RAFIKA HASIBUAN, 2009. Pengaruh Budaya Organisasi dan Kepuasan Insentif terhadap
Komitmen Organisasi, Organizational Citizenship Behaviors dan Kepuasan Kerja Karyawan
Pusat Penelitian Kelapa Sawit Sumatera Utara. Di Bawah Bimbingan Tb.SJAFRI
MANGKUPRAWIRA dan AJI HERMAWAN
Krisis di era global yang kini telah menjadi sebuah tantangan bagi Indonesia merupakan suatu
hal yang akan menyulitkan dunia usaha dalam rangka mewujudkan perusahaan yang kompetitif.
Hal ini tidak terlepas dari para pelaku pasar bisnis yang bergerak dalam bidang perkebunan
kelapa sawit. Mereka harus menghadapi persaingan bisnis yang semakin kompleks, baik untuk
persaingan dalam negeri maupun luar negeri dalam penyediaan kecambah kelapa sawit (PPKS,
2003). Perusahaan harus dapat meningkatkan daya saingnya untuk dapat tetap bertahan dan
mengembangkan eksistensi. Untuk meningkatkan daya saing tersebut diperlukan peningkatan
produktivitas baik kuantitas maupun kualitas serta kemampuan dalam memberikan pelayanan
terbaik yang memenuhi keinginan dan kepuasan konsumen. Peningkatan produktivitas dengan
peningkatan kinerja karyawan suatu organisasi, harus didahului dengan peningkatan komitmen
organisasi, organizational citizenship behaviors, dan kepuasan kerja sumber daya manusianya.
Untuk meningkatkan komitmen organisasi, organizational citizenship behaviors, dan kepuasan
kerja sumber daya manusia perlu memperhatikan faktor-faktor pendorong diantaranya adalah
budaya organisasi dan kepuasan insentif.
Budaya organisasi merupakan landasan yang digunakan dalam bekerja dan dapat menunjang
kinerja karyawan dan organisasi. Insentif merupakan kompensasi yang diberikan pihak
manajemen PPKS kepada individu. Permasalahan yang teridentifikasi berkaitan dengan budaya
organisasi dan insentif adalah agenda PPKS menuju ISO 9001:2008. Semua divisi melaksanakan
program benah diri termasuk divisi bagian SDM. Karyawan di bagian produksi yang
berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan pelanggan akan dievaluasi untuk menjadikan PPKS
sebagai perusahaan yang good corporate governance. Salah satu sub permasalahan yang
teridentifikasi adalah complaint dari pelanggan mengenai bibit asli tapi palsu (aspal). Hal ini
membahayakan konsumen karena bibit asli tapi palsu tersebut mutu dan kualitas
produktivitasnya tak bisa dipertanggungjawabkan di kemudian hari. Penelitian ini menjadi
penting karena maraknya peredaran benih kelapa sawit palsu membuat PPKS selayaknya
berhati-hati untuk menjaga kualitas produk. Selain itu juga terjadi penurunan produksi selama
tiga tahun belakangan dibandingkan tahun 2005. Produksi sangat rendah dibandingkan dengan
kapasitas produksi yang bisa mencapai 50 juta benih. Dengan demikian maka perumusan
masalah adalah 1) Bagaimana kondisi penerapan budaya organisasi, kepuasan sistem insentif dan
komitmen organisasi, organizational citizenship behaviors, dan kepuasan kerja karyawan PPKS,
2) Apakah terdapat pengaruh budaya organisasi terhadap kepuasan insentif, 3) Apakah terdapat
pengaruh kepuasan sistem insentif terhadap komitmen organisasi, organizational citizenship
behaviors, dan kepuasan kerja karyawan PPKS, 4) Apakah terdapat pengaruh budaya organisasi
terhadap komitmen organisasi, organizational citizenship behaviors, dan kepuasan kerja
karyawan PPKS, 5) Bagaimana usaha PPKS untuk meningkatkan komitmen organisasi,
organizational citizenship behaviors, dan kepuasan kerja karyawan melalui insentif dan budaya
organisasi.
Tujuan penelitian adalah 1) Menganalisis penerapan budaya organisasi, kepuasan sistem insentif,
dan komitmen organisasi, organizational citizenship behaviors, dan kepuasan kerja karyawan
PPKS, 2) Menganalisis pengaruh budaya organisasi terhadap kepuasan sistem insentif, 3)
Menganalisis pengaruh kepuasan sistem insentif terhadap komitmen organisasi, organizational
citizenship behaviors, dan kepuasan kerja karyawan PPKS, 4) Apakah terdapat pengaruh budaya
organisasi terhadap komitmen organisasi, organizational citizenship behaviors, dan kepuasan
kerja karyawan PPKS, 5) Merumuskan usaha untuk meningkatkan komitmen organisasi,
organizational citizenship behaviors, dan kepuasan kerja karyawan melalui kepuasan sistem
insentif dan budaya organisasi karyawan PPKS.
Penelitian dilakukan di PPKS Sumatera Utara dengan metode deskriptif dan studi kasus. Jumlah
sampel yang berhasil diambil sebanyak 175 responden dari kantor PPKS Medan dan Marihat
selama penelitian berlangsung. Teknik pengambilan sampling adalah convinience sampling.
Data dianalisis dengan analisis rataan skor, Confirmatory Factor Analisys (CFA) dan Structural
Equation Modelling (SEM). Analisis rataan skor digunakan untuk mengetahui persepsi
responden terhadap budaya organisasi, kepuasan insentif, komitmen organisasi, kepuasan kerja
dan organizational citizenship behaviors. CFA digunakan untuk melakukan uji validitas dan
reliabilitas. SEM digunakan untuk melihat seberapa besar pengaruh budaya organisasi dan
kepuasan insentif terhadap komitmen organisasi, kepuasan kerja dan Organizational Citizenship
Behaviors.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan budaya organisasi pada PPKS sumatera utara
sudah baik yang terlihat dari analisis rataan skor yang menunjukkan bahwa pada umumnya
responden menganggap penerapan budaya organisasi sudah baik. Karyawan juga
mempersepsikan puas terhadap insentif. Hal tersebut juga sama dengan kepuasan kerja
karyawan. Komitmen organisasi karyawan PPKS dinilai kuat dan penerapan OCB oleh karyawan
juga tinggi berdasarkan hasil analisis rataan skor. Hasil CFA juga menunjukkan validitas dan
tingkat reliabilitas yang baik pada setiap model. Analisis SEM menunjukkan bahwa variabel
budaya organisasi (saling percaya dan jujur) memiliki nilai loading factor yang paling besar,
sehingga variabel tergolong kategori sangat kuat berperan dalam membentuk budaya organisasi
yang baik. Dalam rangka menciptakan budaya organisasi yang lebih baik lagi, maka hubungan
saling percaya antar pimpinan, perusahaan dan rekan sekerja dalam bekerja sangat perlu
ditingkatkan dengan selalu mengedepankan integritas agar trust dapat dibangun untuk
meningkatkan komitmen, OCB dan kepuasan kerja.
Analisis SEM juga menunjukan bahwa variabel kepuasan insentif (kenaikan insentif) memiliki
nilai loading factor yang paling besar dan sangat berperan dalam membentuk kepuasan insentif.
Hasil analisis SEM juga memperlihatkan adanya pengaruh yang signifikan dan positif dari
variabel budaya organisasi khususnya saling percaya dan jujur terhadap kepuasan insentif yaitu
kepuasan akan kenaikan insentif. Variabel budaya organisasi juga berpengaruh signifikan dan
positif terhadap komitmen organisasi, kepuasan kerja dan OCB. Secara tidak langsung variabel
budaya organisasi di mediasi kepuasan insentif sehingga berpengaruh terhadap komitmen
organisasi, kepuasan kerja dan OCB. Semakin baik menerapkan budaya organisasi maka akan
semakin tinggi tingkat kepuasan kerja, komitmen organisasi dan OCB karyawan. Akan tetapi,
pengaruh langsung kepuasan insentif terhadap komitmen organisasi dan OCB tidak berpengaruh
secara signifikan kecuali pada kepuasan kerja walaupun pengaruh yang timbulkan sedang tidak
begitu kuat. Semakin puas terhadap kenaikan insentif maka semakin puas karyawan khususnya
aspek pengakuan.
Sebagai rekomendasi untuk meningkatkan kepuasan kerja, komitmen dan OCB karyawan
melalui budaya organisasi dan insentif, perusahaan dapat mengingatkan karyawan tentang
budaya organisasi melalui media-media dan mengawasi serta menghimbau untuk selalu
menjalankan budaya organisasi yang telah ada. Untuk meningkatkan kepuasan akan insentif
perusahaan dapat membina hubungan kepercayaan antara karyawan dengan organisasi dengan
transparansi sehingga akan meningkatkan kepuasan karyawan terhadap organisasi.
Kesimpulan yang diperoleh adalah budaya organisasi secara langsung berpengaruh signifikan
dan positif terhadap kepuasan insentif, dan secara tidak langsung berpengaruh terhadap kepuasan
kerja, komitmen organisasi dan OCB. Kepuasan sistem insentif secara langsung tidak
berpengaruh signifikan terhadap komitmen organisasi dan OCB tetapi berpengaruh secara positif
dan signifikan terhadap kepuasan kerja.
Deskripsi Alternatif :
The purpose of this study was to analyze Organizational Culture Influence and Incentive
Satisfaction toward Organizational Commitment, Job Satisfaction, and Organizational
Citizenship Behaviors of Employees In International Oil Palm Research Institute. The data were
collected from 175 employees in PPKS Medan and Marihat. Structural Equation Modelling
(SEM) used to analyze the data. The results of this study showed that: there was a positive and
significance influence of organizational culture on incentive satisfaction. Organizational
culture, also has a positive and significance influence on organizational commitment, job
satisfaction, and employee organizational citizenship behaviors. Trust and honesty are
recommended value to improve incentive satisfaction, especially incentive increment. They are
also recommended to improve job satisfaction, organizational commitment, and organizational
citizenship behaviors of employee. Otherwise, the incentive satisfaction especially incentive
increment has only affect on job satisfaction improvement, but has not affect on organizational
commitment and organizational citizenship behaviors of employees.
Copyrights : Copyright @ 2001 by Program Pascasarjana Manajemen dan Bisnis IPB. Verbatim
copying and distribution of this entire article is permitted by author in any medium, provided this
notice is preserved.
Schein (dalam As’ad, 1986) mengartikan organisasi sebagai koordinasi sejumlah kegiatan manusia yang
direncanakan untuk mencapai suatu maksud atau tujuan bersama melalui serangkaian wewenang dan
tanggung jawab. Mulai dari orang yang paling sederhana hingga yang paling kompleks seperti misalnya
organisasi-organisasi, masyarakat dan negara sekalipun. Masing-masing individu dalam organisasi akan
mengadakan interaksi, saling bergantung dan membutuhkan satu sama lain. Scott (dalam Muhyadi,
1989) mengartikan organisasi sebagai suatu mekanisme yang mempunyai tujuan akhir yang hendak
dicapai serta memiliki kemampuan untuk memaksimalkan semangat kerja para anggotanya.Sutarto
(1979) mendefinisikan organisasi sebagai system salng mempengaruhi antara orang dalam kelompok
yang bekerja sama untuk mencapai tujuan tertentu.
Dari telaah para ahli diatas tentang organisasi adalah suatu system yang melibatkan sekelompok
manusia yang bekerja sama untuk mencapai tujuan dimana masing-masing orang diberi peranan
tertentu dalam suatu system kerja melalui jenjang wewenang dan tanggung jawab.
Streers dan Porter (1983) mengemukakan bahwa komitmen merupakan suatu keadaan individu dimana
individu menjadi sangat terikat oleh tindakannya. Melalui tindakan ini akan menimbulkan keyakinan
yang menunjang aktivitas dan dan keterlibatannya. Mowday et.al, dalam Cooper dan Robertson, 1986)
mendefinisikan komitmen organisasi sebagai kekuatan yang bersifat relatif dari individu dalam
mengidentifikasi keterlibatan kedalam organisasi. Komitmen organisasi ditandai denagn tiga hal, yaitu
penerimaan terhadap nilai dan tujuan organisasi, kesiapan dan kesediaan untuk berusaha dengan
sungguh-sungguh atas nama organisasi dan keinginan untuk mempertahankan keanggotaan dalam
organisasi.
Robbins (2001) memandang komitmen sebagai salah satu sikap kerja karena merupakan refleksi dari
perasaan seseorang (suka atau tidak suka) terhadap organisasi ditempat individu tersebut bekerja. Lebih
lanjut ia mendefinisikan komitmen organisasi sebagai suatu orienttasi individu terhadap organisasi yang
mencakup loyalitas, identifikasi dan keterlibatan. Jadi komitmen organisasi mendefinisikan unsur
orientasi hubungan antara individu dengan organisasinya. Orientasi hubungan tersebut mengakibatkan
individu bersedia memberikan sesuatu dan sesuatu yang diberikan itu demi merefleksikan hubungan
bagi tercapainya tujuan organisasi.
Schultz dan Ellen (1994) memberikan asumsi bahwa komitmen individu terhadap organisasi merupakan
bagian yang penting dalam proses individu didalam organisasi itu sendiri. Ada hubungan yang sangat
signifikan antara motivasi dan kepuasan kerja yang bisa meningkatkan komitmen pada organisasi.
Meskipun demikian, komitmen organisasi dapat memberikan konsekuensi yang negatif terhadap
mobilitas karyawan dan perasaan kebebasan individu untuk mencari pekerjaan lain.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi komitmen organisasi seseorang, yaitu karakteristik personal,
karakteristik organisasi. Dessler (1995) sendiri mengemukaan bahwatingginya komitmen karyawan
dalam suatu organisasi dipengaruhi oleh :
a. Nilai-nilai kemanusiaan. Pondasi yang utaman dalam membangun komitmen karyawan adalah adanya
kesungguhan dari organisasi untuk bisa memprioritaskan nilai-nilai kemanusiaan.
b. Komunikasi dua arah yang komprehensif. Komitmen organisasi dibangun atas dasar kepercayaan, dan
kepercayaan pasti membutuhkan komunikasi dua arah. Tanpa adanya komunikasi dua arah mustahil
komitmen organisasi dapat dibangun dengan baik.
c. Rasa kebersamaan dan kerukunan. Penelitian yang dilakukan oleh Kantar (dalam Dessler, 1995)
menemukan bahwa seperti dalam masyarakat utopis, organisasi yang ingin meraih kebersamaan,
seluruh faktor ini bersama-sama menciptakan rasa senasip dan kerukunan, yang pada tahap selanjutnya
memberi kontribusi pada komitmen karyawan.
d. Visi dan Misi. Dessler (1995) menyatakan bahwa pwmimpin dapat memberi inspirasi bagi tumbuhnya
performansi dan komitmen karyawan yang tinggi dengan cara memberi kesempatan pada karyawan
untuk dapat mengerti dan memahami visi dan misi bersama dalam sebuah organisasi.
e. Nilai sebagai dasar perekrutan. Nilai personal merupakan dasar kesesuaian seseorang untuk
menunjukkan kesesuaian dengan organisasi.
f. Kestabilan kerja. Karyawan dengan kestabilan yang tinggi akan memperoleh komitmen organisasi yang
tinggi pula.
g. Pengahayatan finansial. Herzberg et.al (1959) menyatakan bahwa faktor hygiene seperti gaji hanya
akan menghasilkan motivasi dalam jangka yang pendek. Oleh karena itu insentif yang diberikan kepada
individu yang telah berhasil melampaui target dari apa yang ditetapkan perlu dihargai jerih payah kerja
kerasnya.
Bishop dan Scott (2000) memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai apa yang mempengaruhi
seseorang untuk memiliki komitmen organisasi yang tinggi, hal ini disebabkan oleh :
a. Kepercayaan yang kuat dan tinggi terhadap organisasi dan penerimaan yang tinggi terhadap nilai dan
tujuan organisasi.
b. Kepercayaan memiliki yang tinggi sebagai bagian dari suatu organisasi.
c. Keyakianan yang tinggi untuk menjadi anggota organisasi.
Schultz dan Ellen (1994) menyatakan bahwa komitmen organisasi dipengaruhi oleh faktor-faktor
personal dan operasional. Faktor personal yang mempengaruhi komitmen organisasi adalah sikap yang
positif terhadap rekan kerja, sedangkan faktor-faktor operasional yang dapat mempengaruhi komitmen
organisasi antara lain pengayaan tugas, pekerjaan, otonomi dan kesempatan untuk menggunakan
kemampuan yang dimiliki. Mereka juga menyatakan ada tiga komponen penting dari komitmen
organisasi, komponen tersebut adalah penerimaan nilai dan tujuan dari organisasi, keinginan untuk
menjadi bagian dari suatu organisasi dan melakukan tugas denagn baik, dan memiliki keinginan kuat
untuk tetap berada didalam organisasi. Studi yang dilakukan oleh Hutchinson dan Sowa (dalam Schultz
dan Ellen, 1994) menunjukkan bahwa tingginya komitmen organisasi yang dimiliki karyawan dipengaruhi
oleh persepsi mereka terhadap seberapa tinggi komitmen yang ditunjukkna organisasi kepada mereka.
Semakin tinggi karyawan merasa harapan mereka dapat dicapai oleh organisasi, semakin patuh pula
mereka terhadap organisasi.
Steers dan Porter (1983) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi komitmen organisasi adalah:
1. Karakteristik personal yang meliputi pendidikan, dorongan berprestasi, masa kerja dan usia.
2. Karakteristik kerja yang didalamnya terdapat tantangan kerja, umpan balik, stres kerja, identifikasi
tugas, kejelasan peran, pengembangan diri, karir dan tanggung jawab.
3. Karakteristik organisasiyang meliputi desentralisasi dan tingkat partipasi dalam pengambilan
keputusan.
4. Sifat dan kualitas pekerjaan.
Tjosvold dan Tjosvold (1995) menyatakan bahwa lebih mudah mengartikan komitmen internal yang
dimiliki individu daripada menciptakan komitmen organisasi pada karyawan. Cara tradisional untuk
membangun komitmen organisasi adalah dengan menawarkan keamanan dalam bekerja dan promosi
yang bersifat regular pada karyawan. Komitmen sendiri akan terbentuk setelah karyawan merasakan
kepuasan kerja, dari berbagai pengalaman kerja yang mereka alami, jenis pekerjaan yang pernah
mereka tekuni, proses pengawasan, serta gaji yang merupakan faktor yang dapat mempengaruhi
komitmen organisasi saat karyawan memulai memasuki organisasi.
Telaah para ahli mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi komitmen organisasi diatas dapat
disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan faktor-faktor yang mempengaruhi komitmen organisasi
dapat dibagi menjadi dua yaitu faktor yang berasal dari dalam individu yaitu faktor personal, dan
berikutnya adalah faktor yang berasal dari luar individu yaitu faktor organisasional. Faktor personal
merupakan faktor yang ada didalam diri individu dalam menyikapi bmacam masalah yang ada didalam
suatu organisasi, hubungan interpersonal diantara individu, pendidikan, dorongan berprestasi, masa
kerja dan usia. Faktor organisasional menyangkut permasalahan eksternal individu yang didalamnya
termasuk pengayaan tugas, tantangan kerja, komunikasi antar individu, kerjasama dan kepercayaan
yang tinggi.
Miner (1988) menjelaskan bahwa ada tiga tahap proses pembentukan komitmen terhadap organisasi.
Tahap-tahap tersebut merupakan serangkaian waktu yang digunakan oleh individu untuk mencapai
puncak karir. Tahap-tahap ini adalah:
a. Komitmen awal. Ini terjadi karena adanya interaksi antara karakteristik personal dan karakteristik
pekerjaan. Interaksi tersebut akan membentuk harapan karyawan tentang pekerjaannya. Harapan
tentang pekerjaan inilah yang akan mempengaruhi sikap karyawan terhadap tingkat komitmen terhadap
organisasi.
b. Komitmen selama bekerja. Proses ini dimulai setelah individu bekerja. Selama bekerja karyawan
mempertimbangkan mengenai pekerjaan, pengawasan, gaji, kekompakan kerja, serta keadaan
organisasi dan ini akan menimbulkan perasaan tanggung jawab pada diri karyawan tersebut.
c. Komitmen selama perjalanan karir. Proses terbentuknya komitmen pada tahap masa pengabdian
terjadi selama karyawan meniti karir didalam organisasi. Dalam kurun waktu yang lama tersebut,
karyawan telah banyak melakukan berbagai tindakan, seperti investasi, keterlibatan sosial, mobilitas
sosial, mobilitas pekerjaan dan pengorbanan-pengorbanan lainnya.
Sementara Etzioni (dalam Cooper & Robertson, 1986) mengemukakan tiga aspek dalam komitmen
organisasi, yaitu:
a.Moral involvement (keterlibatan secara moral), merupakan orientasi yang positif dan kuat terhadap
organisasi karena ada internalisasi internalisasi terhadap organisasi sejauh mana konsistensi identitas
pribadinya dengan tujuan organisasi.
b. Calculative involvement (keterlibatan dengan perhitungan), merupakan keinginan individu untuk
menetap pada suatu organisasi karena kepentingan timbale balik dengan organisasi tempat individu
tersebut bekerja.
c. Alienative involvement (keterlibatan sebagai orang asing), merupakan orientasi yang negative
terhadap organisasi terutama pada situasi saat individu merasa terpaksa untuk berperilaku tertentu.
Allen dan Meyer (dalam Smither, 1998) tidak hanya melihat komitmen organisasi dari segi pertimbangan
untung ruginya karyawan bertahan atau meninggalkan organisasi serta didasarkan pada norma yang ada
dalam diri karyawan. Keduanya menyatakan bahwa ada tiga komponen dalam komitmen organisasi.
Komponen pertama adalah komitmen afektif, yang berkaitan dengan adanya keinginan untuk terikat
pada organisasi. Kata kunci dari komponen afektif adalah want to. Komponen kedua adalah komitmen
yang didasarkan pertimbangan untung rugi yang disebut sebagai continuance commitment atau bisa
juga disebut dengan komitmen rasional, kebutuhan untuk bertahan (need to) adalah kata kunci dari
komitmen rasional ini. Komponen terakhir adalah komitmen yang didasarkan pada norma yang ada
dalam diri karyawan dan disebut sebagai komitmen normatif, kata kunci dari komitmen normatif ini
adalah kewajiban untuk bertahan dalam organisasi (ought to).
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek komitmen organisasi meliputi
kemauan yang kuat untuk mempertahankan keanggotaannya dalam organisasi yang ditandai dengan
kesetiaan pada organisasi atau perusahaan, kemampuan yang kuat berusaha semaksimal mungkin demi
kemajuan dengan ikut mendukung kegiatan-kegiatan yang sesuai dengan sasaran organisasi serta
adanya penerimaan nilai, tujuan dan sasaran organisasi. Aspek-aspek yang akan dijadikan alat ukur
adalah perasaan manunggal dengan organisasi, perasaan terlibat pada organisasi, dan perasaan setia
dan loyal pada perusahaan.
IKLAN
ARTIKEL LAINNYA
Semangat Kerja (Pengertian, Aspek dan faktor)
Tes Psikologi DAP (Draw A Person)
Lowongan Kerja Sarjana Psikologi PT. Plaza Indonesia Realty Tbk
Minat Membeli Dalam Psikologi
Lowongan Kerja STAFF HRD
Perkembangan Psikologi Industri Dan Organisasi
Loyalitas Kerja
Gangguan Belajar
Gangguan Perkembangan Pervasif
Retardasi Mental
Teori Psikologi: Prestasi Kerja
Recall Memory dalam Psikologi
Gaya Hidup Clubbing Remaja
Komitmen Karyawan Pada Perusahaan
Lowongan Kerja Management trainee PT. Tiga Serangkai
Konteks Sosial Dalam Perkembangan Anak
Persepsi Lingkungan Psikososial Kerja
Perkembangan Kognitif
Teori Psikologi: Kepuasan Kerja
Kajian Psikologi Pendidikan: Kekerasan Dunia Pendidikan di Bandung
Arsip Blog
Komitmen Organisasi
Dari telaah para ahli diatas tentang organisasi adalah suatu system yang melibatkan sekelompok
manusia yang bekerja sama untuk mencapai tujuan dimana masing-masing orang diberi peranan
tertentu dalam suatu system kerja melalui jenjang wewenang dan tanggung jawab.
Streers dan Porter (1983) mengemukakan bahwa komitmen merupakan suatu keadaan individu
dimana individu menjadi sangat terikat oleh tindakannya. Melalui tindakan ini akan
menimbulkan keyakinan yang menunjang aktivitas dan dan keterlibatannya. Mowday et.al,
dalam Cooper dan Robertson, 1986) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai kekuatan yang
bersifat relatif dari individu dalam mengidentifikasi keterlibatan kedalam organisasi. Komitmen
organisasi ditandai denagn tiga hal, yaitu penerimaan terhadap nilai dan tujuan organisasi,
kesiapan dan kesediaan untuk berusaha dengan sungguh-sungguh atas nama organisasi dan
keinginan untuk mempertahankan keanggotaan dalam organisasi.
Robbins (2001) memandang komitmen sebagai salah satu sikap kerja karena merupakan refleksi
dari perasaan seseorang (suka atau tidak suka) terhadap organisasi ditempat individu tersebut
bekerja. Lebih lanjut ia mendefinisikan komitmen organisasi sebagai suatu orienttasi individu
terhadap organisasi yang mencakup loyalitas, identifikasi dan keterlibatan. Jadi komitmen
organisasi mendefinisikan unsur orientasi hubungan antara individu dengan organisasinya.
Orientasi hubungan tersebut mengakibatkan individu bersedia memberikan sesuatu dan sesuatu
yang diberikan itu demi merefleksikan hubungan bagi tercapainya tujuan organisasi.
Schultz dan Ellen (1994) memberikan asumsi bahwa komitmen individu terhadap organisasi
merupakan bagian yang penting dalam proses individu didalam organisasi itu sendiri. Ada
hubungan yang sangat signifikan antara motivasi dan kepuasan kerja yang bisa meningkatkan
komitmen pada organisasi. Meskipun demikian, komitmen organisasi dapat memberikan
konsekuensi yang negatif terhadap mobilitas karyawan dan perasaan kebebasan individu untuk
mencari pekerjaan lain.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi komitmen organisasi seseorang, yaitu karakteristik
personal, karakteristik organisasi. Dessler (1995) sendiri mengemukaan bahwatingginya
komitmen karyawan dalam suatu organisasi dipengaruhi oleh :
a. Nilai-nilai kemanusiaan. Pondasi yang utaman dalam membangun komitmen karyawan adalah
adanya kesungguhan dari organisasi untuk bisa memprioritaskan nilai-nilai kemanusiaan.
b. Komunikasi dua arah yang komprehensif. Komitmen organisasi dibangun atas dasar
kepercayaan, dan kepercayaan pasti membutuhkan komunikasi dua arah. Tanpa adanya
komunikasi dua arah mustahil komitmen organisasi dapat dibangun dengan baik.
c. Rasa kebersamaan dan kerukunan. Penelitian yang dilakukan oleh Kantar (dalam Dessler,
1995) menemukan bahwa seperti dalam masyarakat utopis, organisasi yang ingin meraih
kebersamaan, seluruh faktor ini bersama-sama menciptakan rasa senasip dan kerukunan, yang
pada tahap selanjutnya memberi kontribusi pada komitmen karyawan.
d. Visi dan Misi. Dessler (1995) menyatakan bahwa pwmimpin dapat memberi inspirasi bagi
tumbuhnya performansi dan komitmen karyawan yang tinggi dengan cara memberi kesempatan
pada karyawan untuk dapat mengerti dan memahami visi dan misi bersama dalam sebuah
organisasi.
e. Nilai sebagai dasar perekrutan. Nilai personal merupakan dasar kesesuaian seseorang untuk
menunjukkan kesesuaian dengan organisasi.
f. Kestabilan kerja. Karyawan dengan kestabilan yang tinggi akan memperoleh komitmen
organisasi yang tinggi pula.
g. Pengahayatan finansial. Herzberg et.al (1959) menyatakan bahwa faktor hygiene seperti gaji
hanya akan menghasilkan motivasi dalam jangka yang pendek. Oleh karena itu insentif yang
diberikan kepada individu yang telah berhasil melampaui target dari apa yang ditetapkan perlu
dihargai jerih payah kerja kerasnya.
Bishop dan Scott (2000) memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai apa yang mempengaruhi
seseorang untuk memiliki komitmen organisasi yang tinggi, hal ini disebabkan oleh :
a. Kepercayaan yang kuat dan tinggi terhadap organisasi dan penerimaan yang tinggi terhadap
nilai dan tujuan organisasi.
b. Kepercayaan memiliki yang tinggi sebagai bagian dari suatu organisasi.
c. Keyakianan yang tinggi untuk menjadi anggota organisasi.
Schultz dan Ellen (1994) menyatakan bahwa komitmen organisasi dipengaruhi oleh faktor-faktor
personal dan operasional. Faktor personal yang mempengaruhi komitmen organisasi adalah sikap
yang positif terhadap rekan kerja, sedangkan faktor-faktor operasional yang dapat mempengaruhi
komitmen organisasi antara lain pengayaan tugas, pekerjaan, otonomi dan kesempatan untuk
menggunakan kemampuan yang dimiliki. Mereka juga menyatakan ada tiga komponen penting
dari komitmen organisasi, komponen tersebut adalah penerimaan nilai dan tujuan dari organisasi,
keinginan untuk menjadi bagian dari suatu organisasi dan melakukan tugas denagn baik, dan
memiliki keinginan kuat untuk tetap berada didalam organisasi. Studi yang dilakukan oleh
Hutchinson dan Sowa (dalam Schultz dan Ellen, 1994) menunjukkan bahwa tingginya komitmen
organisasi yang dimiliki karyawan dipengaruhi oleh persepsi mereka terhadap seberapa tinggi
komitmen yang ditunjukkna organisasi kepada mereka. Semakin tinggi karyawan merasa
harapan mereka dapat dicapai oleh organisasi, semakin patuh pula mereka terhadap organisasi.
Steers dan Porter (1983) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi komitmen organisasi
adalah:
1. Karakteristik personal yang meliputi pendidikan, dorongan berprestasi, masa kerja dan usia.
2. Karakteristik kerja yang didalamnya terdapat tantangan kerja, umpan balik, stres kerja,
identifikasi tugas, kejelasan peran, pengembangan diri, karir dan tanggung jawab.
3. Karakteristik organisasiyang meliputi desentralisasi dan tingkat partipasi dalam pengambilan
keputusan.
4. Sifat dan kualitas pekerjaan.
Tjosvold dan Tjosvold (1995) menyatakan bahwa lebih mudah mengartikan komitmen internal
yang dimiliki individu daripada menciptakan komitmen organisasi pada karyawan. Cara
tradisional untuk membangun komitmen organisasi adalah dengan menawarkan keamanan dalam
bekerja dan promosi yang bersifat regular pada karyawan. Komitmen sendiri akan terbentuk
setelah karyawan merasakan kepuasan kerja, dari berbagai pengalaman kerja yang mereka alami,
jenis pekerjaan yang pernah mereka tekuni, proses pengawasan, serta gaji yang merupakan faktor
yang dapat mempengaruhi komitmen organisasi saat karyawan memulai memasuki organisasi.
Telaah para ahli mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi komitmen organisasi diatas dapat
disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan faktor-faktor yang mempengaruhi komitmen
organisasi dapat dibagi menjadi dua yaitu faktor yang berasal dari dalam individu yaitu faktor
personal, dan berikutnya adalah faktor yang berasal dari luar individu yaitu faktor organisasional.
Faktor personal merupakan faktor yang ada didalam diri individu dalam menyikapi bmacam
masalah yang ada didalam suatu organisasi, hubungan interpersonal diantara individu,
pendidikan, dorongan berprestasi, masa kerja dan usia. Faktor organisasional menyangkut
permasalahan eksternal individu yang didalamnya termasuk pengayaan tugas, tantangan kerja,
komunikasi antar individu, kerjasama dan kepercayaan yang tinggi.
Miner (1988) menjelaskan bahwa ada tiga tahap proses pembentukan komitmen terhadap
organisasi. Tahap-tahap tersebut merupakan serangkaian waktu yang digunakan oleh individu
untuk mencapai puncak karir. Tahap-tahap ini adalah:
a. Komitmen awal. Ini terjadi karena adanya interaksi antara karakteristik personal dan
karakteristik pekerjaan. Interaksi tersebut akan membentuk harapan karyawan tentang
pekerjaannya. Harapan tentang pekerjaan inilah yang akan mempengaruhi sikap karyawan
terhadap tingkat komitmen terhadap organisasi.
b. Komitmen selama bekerja. Proses ini dimulai setelah individu bekerja. Selama bekerja
karyawan mempertimbangkan mengenai pekerjaan, pengawasan, gaji, kekompakan kerja, serta
keadaan organisasi dan ini akan menimbulkan perasaan tanggung jawab pada diri karyawan
tersebut.
c. Komitmen selama perjalanan karir. Proses terbentuknya komitmen pada tahap masa
pengabdian terjadi selama karyawan meniti karir didalam organisasi. Dalam kurun waktu yang
lama tersebut, karyawan telah banyak melakukan berbagai tindakan, seperti investasi,
keterlibatan sosial, mobilitas sosial, mobilitas pekerjaan dan pengorbanan-pengorbanan lainnya.
Sementara Etzioni (dalam Cooper & Robertson, 1986) mengemukakan tiga aspek dalam
komitmen organisasi, yaitu:
a.Moral involvement (keterlibatan secara moral), merupakan orientasi yang positif dan kuat
terhadap organisasi karena ada internalisasi internalisasi terhadap organisasi sejauh mana
konsistensi identitas pribadinya dengan tujuan organisasi.
b. Calculative involvement (keterlibatan dengan perhitungan), merupakan keinginan individu
untuk menetap pada suatu organisasi karena kepentingan timbale balik dengan organisasi tempat
individu tersebut bekerja.
c. Alienative involvement (keterlibatan sebagai orang asing), merupakan orientasi yang negative
terhadap organisasi terutama pada situasi saat individu merasa terpaksa untuk berperilaku
tertentu.
Allen dan Meyer (dalam Smither, 1998) tidak hanya melihat komitmen organisasi dari segi
pertimbangan untung ruginya karyawan bertahan atau meninggalkan organisasi serta didasarkan
pada norma yang ada dalam diri karyawan. Keduanya menyatakan bahwa ada tiga komponen
dalam komitmen organisasi. Komponen pertama adalah komitmen afektif, yang berkaitan
dengan adanya keinginan untuk terikat pada organisasi. Kata kunci dari komponen afektif adalah
want to. Komponen kedua adalah komitmen yang didasarkan pertimbangan untung rugi yang
disebut sebagai continuance commitment atau bisa juga disebut dengan komitmen rasional,
kebutuhan untuk bertahan (need to) adalah kata kunci dari komitmen rasional ini. Komponen
terakhir adalah komitmen yang didasarkan pada norma yang ada dalam diri karyawan dan
disebut sebagai komitmen normatif, kata kunci dari komitmen normatif ini adalah kewajiban
untuk bertahan dalam organisasi (ought to).
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek komitmen organisasi meliputi
kemauan yang kuat untuk mempertahankan keanggotaannya dalam organisasi yang ditandai
dengan kesetiaan pada organisasi atau perusahaan, kemampuan yang kuat berusaha semaksimal
mungkin demi kemajuan dengan ikut mendukung kegiatan-kegiatan yang sesuai dengan sasaran
organisasi serta adanya penerimaan nilai, tujuan dan sasaran organisasi. Aspek-aspek yang akan
dijadikan alat ukur adalah perasaan manunggal dengan organisasi, perasaan terlibat pada
organisasi, dan perasaan setia dan loyal pada perusahaan.
Referensi
As’ad,M.1991. Psikologi Industri. Yogyakarta : Liberty
Steers,R.M, & Porter, L.M.1983.Motivation and Work Behaviour. New York : Mac Graw Hill
Book Inc.
Robbin,S.P.1998.Organization Behaviour. New Jersy : Prentice Hall Inc
Steers,R.M, & Porter, L.M.1983.Motivation and Work Behaviour. New York : Mac Graw Hill
Book Inc.
Schultz,O.P. & Ellen,S. 1994. Psychology at Work Today. An introduction to Industrial and
Organizational Psychology. New York : Mac Millan Publising Company.