Professional Documents
Culture Documents
G. QIRO’AT AL-QUR’AN
Qiro’at adalah ilmu yng mempelajari cara-cara mengucapkan kata-kata al-qur’an dan
perbedaan-perbedaannya dengan cara menisbatkan kepada penukilnya.
Macam-macam qiro’at:
1. Qiro’at Sab’ah ( Qiro’at tujuh ) adalah imam-imam qiro’at ada tujuh orang, yaitu:
a. ‘Abdullah bin Katsir Ad-Dari (w.120 H ) dari Mekkah.
b. Nafi’ bin ‘Abdurrahman bin Abu Na’im (w .169 H ).dari madinah
c. ‘Abdullah Al-yashibi (w.118 H ) dari Syam
d. Abu Amar (w.154 H ) dari Irak
e. Ya’kub (w.205 H ) dari Irak
f. Hamzah (w.188 )
g. ‘Ashim (w.127 H )
2. Qiro’ah Asyiroh adalah qiro’ah sab’ah ditambah dengan 3 imam yaitu: Abu Ja’far,
Ya’kub bin Ishaq, kalaf bin hisyam
3. Qiro’ah Arba Asyiroh (qiro’ah empat belas) yaitu qiro’ah sepuluh ditambah dengan 4
imam yaitu Al-hasan al basri, muhammad bin abdul rohman,yahya bin mubarok,Abu fajr
muhammad bin ahmad.
Dari segi kualitas qiro’ah dapat dibagi menjadi
1. Qiro’ah Mutawwatir yaitu qiro’ah yang disampakan kelompok orang yang sanatnya
tidak berbuat dusta
2. Qiro’ah Mashur yaitu qiro’ah yang memiliki sanad sahih dan mutawatir
3. Qiro’ah ahad yaitu memiliki sanad sahih tapi menyalahi tulisan mushaf usmani dan
kaidah bahasa Arab
4. Qiro’ah Maudhu yaitu palsu
5. Qiroah Syadz Yaitu menyimpang
6. Qiro’ah yang menyerupai hadist mudroj (sisipan)
Khulafaur Rasyidin ( 11-40 H / 632-660 M)
Mukadimah
Khilafah Rasyidah merupakan pemimpin umat Islam setelah Nabi Muhammad SAW
wafat, yaitu pada masa pemerintahan Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan
dan Ali bin Abi Thalib, dimana sistem pemerintahan yang diterapkan adalah
pemerintahan yang demokratis.
Nabi Muhammad SAW tidak meninggalkan wasiat tentang siapa yang akan
menggantikan beliau sebagai pemimpin politik umat Islam setelah beliau wafat. Beliau
nampaknya menyerahkan persoalan tersebut kepada kaum muslimin sendiri untuk
menentukannya. Karena itulah, tidak lama setelah beliau wafat; belum lagi jenazahnya
dimakamkan, sejumlah tokoh Muhajirin dan Anshar berkumpul di balai kota Bani
Sa’idah, Madinah. Mereka memusyawarahkan siapa yang akan dipilih menjadi
pemimpin. Musyawarah itu berjalan cukup alot karena masing-masing pihak, baik
Muhajirin maupun Anshar, sama-sama merasa berhak menjadi pemimpin umat Islam.
Namun, dengan semangat ukhuwah Islamiyah yang tinggi, akhirnya, Abu Bakar terpilih.
Rupanya, semangat keagamaan Abu Bakar mendapat penghargaan yang tinggi dari umat
Islam, sehingga masing-masing pihak menerima dan membaiatnya.
Referensi :
Su’ud, Abu, Islamologi, Jakarta, PT. Rineka Cipta, 2003.
Syalabi, A., Sejarah dan Kebudayaan Islam Jilid 3, Jakarta: Al-Husna Dzikra, 1997.
Makkah adalah suatu nama kota suci di jazirah Arabia. Yang menjadi pusat peribadatan
oleh manusia yang berasal dari negeri timur. Kota kecil ini tak memiliki sungai yang
mengalir. Tidak pula hutan yang menjaga keseimbangan ekosistem alamnya. Yang ada
hanya hamparan gurun pasir terbentang luas menyelimuti kota yang religius ini.
Adapun pesisirnya dalah pita yang mengitari. Mereka bertahan hidup dengan berniaga
untuk menghidupi diri sendiri dan keluarganya. Berpindah-pindah dari suatu tempat ke
tempat yang lainnya, dengan mendirikan tenda-tenda yang berukuran kecil di atas
hamparan gurun Sahara.
Namun, hal yang menyayat hati. Kota suci yang menjadi tempat berdirinya Ka’bah. Suatu
kubus besar yang didirikan oleh Nabi Ibrahim dan putranya Ismail ialah akhlak
manusianya yang berada dalam jurang kebobrokan. Karena komunitas masyarakat yang
berada di bantaran kota itu memiliki tabi’at yang mendarah daging dalam diri mereka,
yakni peperangan antar suku/kabilah, perjudian, perampokan, penganiayaan, perbudakan,
perzinahan hingga pembunuhan mereka lakoni, bahkan menjadi suatu rutinitas yang tidak
dapat mereka tinggalkan.
Satu lagi, dalam pandangan mereka, wanita adalah satu sosok yang tidak ada harganya.
Wanita hanya sebagai alat pemuas hasrat seksual mereka. Yang dibuang ketika mereka
tak lagi membutuhkannya. Bahkan memiliki keturunan perempuan adalah satu hal yang
hinayang dapat menurunkan harkat dan martabat di hadapan kabilah mereka. Hingga
meskipun tega mengubur bayi perempuannya hidup-hidup. Kekerasan mereka tidak sama
sekali mencerminkan bagaimana agungnya tempat suci yang mereka tinggali.
Dalam kondisi yang seperti ini, Allah mengutus seorang utusan yang adil dan bijaksana.
Pemilik kekuasaan dan kehormatan tertinggi di kalangan utusannya. Dialah Muhammad,
manusia legendaris, pemimpin para Nabi, orang nomor satu di jagad raya. Dialah
pengukir sejarah kemajuan peradaban islam. Cahaya keimanannya melebihi 7x terangnya
matahari yang menyinari bumi. Ketinggian akhlaknya mampu mengalahkan 7x tingginya
gunung Himalaya, luas pengetahuannya tak dapat ditoreh meski 7x luas lautan menjadi
tinta baginya. Kasih sayangnya 7x lebih luas dibanding langit biru. Cintanya pada
ummatnya 7x lebih besar di banding dunia dan isinya.
Sekilas potret kepribadian manusia paling mulya yang namanya bersanding indah dengan
nama Pencipta, pemilik kita semua. Muhammad Rasulullah.
Kala itu tepat hari senin tanggal 12 Robiul Awal / 20 Agustus 570 M. Telah lahir dari
rahim seorang janda yang ditinggal suaminya (Abdullah) pembesar kaum Quraisy yang
dihormati dan disegani. Janda itu bernama siti Aminah.
Pada malam menjelang, Siti Aminah melahirkan bayinya , kejadian peristiwa luar biasa
yang mengandung tanda-tanda dan alamat yang pada saat itu diartikan oleh sebagian
besar orang membawa pengharapan yang baik. Dalam cuaca yang terang benderang,
malam itu meledak dan menggoncang-goncang bumi dengan hebatnya, sehingga patung-
patung yang bergantungan di dinding Ka’bah berjatuhan dari tempatnya.
Namun, sebelum tentara Abisinia berhasil menghancurkan tempat suci ini, Allah telah
mengutus sekawanan burung Ababil. Yang dipercaya membawa batu-batu kecil atau
yang biasa disebut dengan kerikir dari neraka dan dijatuhkan tepat diatas mereka, hingga
mereka terserng wabah penyakit kolera. Hingga akhirnya sang raja menarik kembali
ekspansi yang mereka luncurkan atas mekkah tanpa membawa keberhasilan atas
tujuannya.
Peristiwa besar ini juga dilukis dengan indahnya dalam Al-Qur’an surat fiil (1-5)
Nasab Muhammad, baik dari garis ayah maupun ibunya bertemu pada kakeknya yang
bernama Kilab. Jadi, baik dari garis ayah maupun ibunya adalah sama-sama keturunan
Ibrahim A.S melalui anaknya Nabi Ismail dan sampai pada manusia pertama yakni bapak
pertama yaitu Nabi Adam A.S. garis nasab itu disebut sebagai berikut :
Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ai bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin Nadhar bin
Kinanah bin Khozaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Nadar bin Nazar bin Ma’ad bin
Adnan bin ’Ud bin Muqawwin bin Nahur bin Tairah bin Ya’rab bin Yasy Jub bin Nabit
bin Ismail A.S bin Ibrahim AS bin Azar bin Nahur bin Nahur bin Sarugh bin Ra’u bin
Falikh bin Aibar bin Syalikh bin Afrakh bin Sam bin Nuh A.S bin Yard bin Mukhil bin
Qainan bin Kanis bin Syits A.S bin Adam A.S.
Nama Muhammad adalah nama pemberian kakeknya Abdul Muthollib. Karena dia
mengharapkan agar cucunya kelak menjadi orang yang terpuji di sisi Allah, di langit dan
di sisi manusia di muka bumi ini.
Muhammad diasuh pertama kali oleh Ummu Aiman, budak wanita milik ayahnya dan
disusui pertama kali oleh Tsuaibah, budak perempuan milik pamannya Abu Lahab.
Kemudian diserahkan kepada Ibu asuhannya Halimatussa’diyah, wanita dari suku badui.
Diserahkan pada wanita itu untuk diasuh dan disusui di daerah pegunungan agar bayi itu
mendapat udara yang bersih dan segar juga dapat berbicara bahasa Arab yang asli yang
tidak bercampur seperti bahasa yang dipergunakan di perkotaan.
Pada masa Muhammad berada dalam asuhan Halimah, sekitar berusia 4 tahun
Muhammad pernah dibelah dadanya oleh malaikat Jibril dan Mika’il. Pembedahan dada
itu dimulai dari kerongkongan leher sampai kebawah perutnya, untuk disucikan hatinya
dan dilapangkan dadanya. Sesudah itu dada Muhammad diisi dengan kesabaran,
keyakinan serta keislaman.
Setelah masa aasuhan Halimah selesai, Muhammad kecil kembali kepangkuan ibunda
tercinta. Namun, kebahagiaan Muhammad kecil tidak berlangsung lama, setelah 2 tahun
berada dalam pelukan sang bunda. Ia harus rela kehilangan bundanya untuk selama-
lamanya. Sehingga Muhammad kecilpun menjadi yatim piatu seakan-akan Allah ingin
melaksanakan sendiri Pendidikan Muhammad, orang yang persiapkan untuk membawa
risalahnya yang terakhir. Allah berfirman :
?wÎ) tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=ÏHxåur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# óOßgn=sù í ヘ ô_r& ç?ö ヘ xî
5bqãYøÿxE ÇÏÈ $yJsù y7ç/Éj?s3ã? ß?÷èt/ ÈûïÏe$!$$Î/ ÇÐÈ
6. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; Maka bagi mereka
pahala yang tiada putus-putusnya.
7. Maka apakah yang menyebabkan kamu mendustakan (hari) pembalasan sesudah
(adanya keterangan-keterangan) itu?
Setelah Aminah meninggal, Abdul Muthollib mengambil alih tanggung jawab merawat
Muhammad. Namun 2 tahun kemudian Abdul Muthollib meninggal dunia karena renta.
Tanggung jawab selanjutnya beralih kepada pamannya, Abu Tholib. Seperti juga Abdul
Muthollib, dia sangat disegani dan dihormati orang Quraisy dan penduduk Mekkah
secara keseluruhan, tetapi dia miskin.
Dalam usia muda Muhammad hidup sebagai pengembala kambing keluarganya dan
kambing penduduk Mekkah. Melalui kegiatan pengembalaan ini dia menemukan tempat
untuk berpikir dan merenung. Dalam suasana yang demikian, dia ingin melihat sesuatu di
balik semuanya. Pemikiran dan perenungan ini membuatnya jauh dari segala pemikiran
nafsu duniawi, sehingga ia terhindar dari berbagai macam noda yang dapat merusak
namanya, karena itu sejak muda ia dijuluki Al-’amin, orang yang terpercaya.
Nabi Muhammad ikut untuk pertama kali dalam kafilah dagang ke syiria (syam) dalam
usia baru 12 tahun. Kafilah itu dipimpin oleh Abu Tholib, dalam perjalanan ini, di Basroh
sebelah selatan syiria ia bertemu dengan pendeta kristen bernama Buhairoh. Pendeta ini
melihat tanda-tanda kenabian pada Muhammad sesuai dengan petunjuk cerita-cerita
kristen. Sebagian sumber menceritakan bahwa pendeta itu menassehati Abu Tholib agar
jangan terlalu jauh memasuki daerah syiria. Sebab dikhawatirkan orang-orang Yahudi
yang mengetahui tanda-tanda itu akan berbaut jahat terhadapnya.
Pada usia yang ke – 25, Muhammad berangkat ke syiria membawa barang dagangan
saudagar wanita kaya raya yang telah lama menjanda, Khadijah. Dalam perdagangan ini,
Muhammad memperoleh laba yang besar. Khadijah kemudian melamarnya. Lamaran itu
diterima dan perkawinan segera dilaksanakan. Ketika itu Muhammad berusia 25 tahun
dan Khadijah 40 tahun. Dalam perkembangan selanjutnya, Khadijah adalah wanita
pertama yang masuk islam dan banyak membantu Nabi dalam perjuangan menyebarkan
islam. Perkawinan bahagia dan saling
Mencintait itu dikaruiai enam orang anak;.dua Putera dan empat puteri: Qasim, Abdullah,
Zainab, Ruqayah, Ummu Kulsum, ,dan Fatimah. Kedua puteranya meninggal waktu
kecil. Nabi Muhammad tidak kawin lagi sampai Khadijah meninggal ketika Muhammad
berusia 50 tahun.
Menjelang usianya yang keempat puluh, dia sudah terlalu biasa memisahkan diri dari
keramaian masyarakat, berkontemplasi ke gua Hira, beberapa, kilo meter di utara Mekah.
Di sana Munammad mula-mula ber jam-jam kemudian berlari-lari bertafakkur. Pada
tanggal 17 Ramadhan tahun 611 M, Malaikat Jibril muncul di hadapannya,
menyampaikan wahyu Alloh yang pertama: "Bacalah dengan nama Tuhanmu yang telah
mencipta. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmu
itu Maha Mulia. Dia telah mengajar dengan Qalam. Dia telah mengajar manusia apa yang
tidak mereka ketahui" (QS 96: 1-5). Dengan turunnya wahyu pertama itu, berarti
Muhammad telah dipilih Tuhan sebagai Nabi. Dalam wahyu pertama ini, dia belum
diperintahkan untuk menyeru manusia kepada suatu agama.
Setelah wahyu pertama itu datang, Jibril tidak muncul lagi untuk beberapa lama,
sementara Nabi Muhammad menantikannya dan selalu datang ke gua Hira'. Dalam
keadaan menanti itulah turun wahyu yang membawa perintah kepadanya. Wahyu itu
berbunyi sebagai berikut: "Hai orang yang berselimut, bangun dan beri ingatlah.
Hendaklah engkau besarkan Tuhanmu, dan bersihkanlah pakaianmu, tinggalkanlah
perbuatan dosa, dan janganlah engkau memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan)
yang lebih banyak, dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu bersabarlah" (al-
Muddatstsir: 1-7).
Setelah beberapa lama dakwah tersebut dilaksanakan secara individual, turunlah perintah
agar Nabi menjalankan dakwah secara terbuka. Mula-mula ia mengundang dan menyeru
kerabat karibnya dari Bani Abdul Muthalib. Ia mengatakan kepada mereka, "Saya tidak
melihat seorangpun di kalangan Arab yang dapat membawa sesuatu ke tengah-tengah
mereka lebih baik, dari apa yang saya bawa kepada kalian. Kubawakan kepadamu dunia
dan akhirat yang terbaik. Tuhan memerintahkan saya mengajak kalian semua. Siapakah
di antara kalian yang mau mengdukung saya dalam hal ini? Mereka semua menolak
kecuali Ali.
Banyak cara yang ditempuh para pemimpin Quraisy untuk mencegah dakwah Nabi
Muhammad. Pertama-tama mereka mengira bahwa kekuatan Nabi terletak pada
perlindungan dan pembelaan Abu Thalib yang amat disegani itu. Karena itu mereka
menyusun siasat bagaimana melepaskan hubungan Nabi dengan Abu Thalib dan
mengancam dengan mengatakan: "Kami minta anda memilih satu di antara dua:
Memerintahkan Muhammad berhenti dari dakwahnya atau Anda menyerahkannya
kepada kami. Dengan demikian, Anda akan terhindar dati kesulitan yang tidak
diinginkan". Nampaknya Abu Thalib cukup terpengaruh dengan ancaman tersebut
sehingga ia mengharapkan Muhammad menghentikan dakwahnya. Nmnun, Nabi
menolak dengan mengatakan: "Demi Allah saya tidak akan berhenti memperjuangkan
amanat Allah ini, walaupun seluruh anggota keluarga dan sanak saudara akan
mengucilkan saya". Abu Thalib sangat terharu mendengar jawaban kemenakannya itu,
kemudian berkata: "Teruskanlah, demi Allah aku akan terus membelamu".
Merasa gagal dengan cara ini, kaum Quraisy kemudian mengutus Walid ibn Mughirah
dengan membawa Umarah ibn Walid, seorang pemuda yang gagah dan tampan, untuk
dipertukarkan dengan Nabi Muhammad. Walid bin Mughirah berkata kepada Abu Thalib:
"Ambillah dia menjadi anak Saudara, tetapi serahkan Muhammad kepada kami untuk
kami bunuh". Usul ini langsung ditolak keras oleh AbuThalib.
Untuk kali berikutnya mereka langsung kepada Nabi Muhammad. Mereka mengutus
Utbah ibn Rabiah, seorang ahli retorika, untuk membujuk Nabi. Mereka menawarkan
tahta, wanita dan harta asal Nabi Muhammad bersedia menghentikan dakwahnya. Semua
tawaran itu ditolak Muhammad dengan mengatakan: "Demi Allah, biarpun mereka
meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku, aku tidak akan
berhenti melakukan ini, hingga agama ini menang atau aku binasa karenanya”.
Setelah cara-cara diplomatic dan bujuk rayu yang dilakukan 0leh kaum Quraisy gagal,
tindakan-tindakan kekerasan secara fisik yang sebelumnya sudah dilakukan kini semakin
ditingkatkan. Tindakan kekerasan itu lebih intensif dilaksanakan setelah mereka
mengetahui bahwa di lingkungan rumah tangga mereka sendiri sudah ada yang masuk
Islam. Buda-budak yang selama ini mereka anggap sebagai harta, sekarang sudah ada
yang masuk Islam. Dan mempunyai kepercayaan yang berbeda dengan tuan mereka.
Budak-budak itu disiksa tuannya dengan sangat kejam. Para pemimpin Quraisy juga
mengharuskan setiap keluarga untuk menyiksa anggota keluarganya yang masuk Islam
sampai dia murtad kembali.
Kekejaman yang dilakukan oleh penduduk Mekah terhadap kaum muslimin itu,
mendorong Nabi Muhammad untuk mengungsikan sahabat-sahabatnya ke luar Mekah.
Pada tahun kelima kerasulannya Nabi menetapkan Habsyah (Ethiopia) sebagai negeri
tempat pengungsian karena Negus (raja) negeri itu adalah seorang yang adil. Rombongan
pertama sejumlah sepuluh orang dan rombongan kedua hampir seratus orang.
Menguatnya posisi umat Islam memperkeras reaksi kaum musyrik Quraisy. Mereka
menempuh cara baru dengan melumpuhkan kekuatan Muhammad yang bersandar pada
perlindungan Bani Hasyim.
Pemboikotan itu baru berhenti setelah beberapi pemimpin Quraisy menyadari bahwa apa
yang mereka lakukan sungguh tindakan yang keterlaluan. Namun, tidak lama kemudian
Abu Thalib Paman Nabi meninggal dunia di usia 87 tahun. Tiga hari setelah itu, istri Nabi
Khadijah mninggal juga. Peristiwa ini terjadi pada tahun kesepuluh kenabian. Tahun ini
merupakan tahun kesedihan bagi Nabi Muhammad Saw.
Untuk menghibur Nabi yang sedang ditimpa duka, Allah mengisra’ dan memi’rajkan
beliau pada tahun kesepuluh kenabian itu. Berita tentang Isra’ Mi’raj ini menggemparkan
masyarakat Mekkah. Bagi orang kafir ini merupakan propaganda untuk mendustakan
Nabi. Sedangkan bagi orang yang beriman, ini merupakan ujian keimanan.
Setelah peristiwa Isra' dan Mikraj, suatu perkembangan besar bagi kemajuan dakwah
Islam muncul. Perkembangan mana datang dari sejumlah penduduk Yatsrib yang berhaji
ke Mekah. Mereka, yang terdiri dari suku 'Aus dan Khazraj, masuk Islam dalam tiga
gelombang. Pertama, pada tahun kesepuluh kenabian. beberapa orang Khazraj berkata
kepada Nabi : "Bangsa kami telah lama terlibat dalam permusuhan, yaitu antara suku
Khazraj dan ’Aus. Mereka benar-benar merindukan perdamaian. KiranyaTuhan
mempersatukan mereka kembali dengan perantaraan engkau dan ajaran-ajaran yang
engkau bawa. Oleh karena itu, kami akan berdakwah agar mereka mengetahui agama
yang kami terima dari engkau ini". Mereka giat mendakwahkan Islam di Yatsrib. Kedua,
pada tahun keduabelas kenabian delegasi Yatsrib, terdiri dari sepuluh orang suku Khazraj
dan dua orang suku ’Aus serta seorang wanita menemui Nabi di suatu tempat bernama
Aqabah. Di hadapan Nabi mereka menyatakan ikrar kesetiaan. Rombongan ini kemudian
kembali ke Yastrib sebagai juru dakwah dengan ditemani oleh Mus'ab bin Umair yang
sengaja diutus Nabi atas permintaan mereka. Ikrar ini disebut dengan perjanjian "Aqabah
Pertama". Pada musim haji berikutnya, jamaah haji yang dating dari Yastrib berjumlah 73
orang. Atas nama penduduk Yatsrib, mereka meminta pada Nabi agar berkenan pindah ke
Yatsrib. Mereka berjanji akan membela Nabi dari segala ancaman. Nabi pun menyetujui
usul yang mereka ajukan. Perjanjian ini disebut perjanjian 'Aqabah kedua.
Setelah kaum musyrikin Quraisy mengetahui adanya perjanjian antara Nabi dan orang-
orang Yatsrib itu, mereka kian gila melancarkan intimidasi terhadap kaum muslimin. Hal
ini membuat Nabi segera memerintahkan para sahabatnya untuk hijrah ke Yatsrib. Dalam
waktu dua bulan, hampir semua kaum muslimin, kurang lebih 150 orang, telah
meninggalkan kota Mekah. Hanya Ali dan Abu Bakar yang tetap tinggal di Mekah
bersama Nabi. Keduanya membela dan menemani Nabi sampai iapun berhijrah ke
Yatsrib kerena kafir Quraisy sudah merencanakan akan membunuhnya.
Setelah tiba dan diterima penduduk Yatsrib (Madinah), Nabi resmi menjadi pemimpin
penduduk kota itu. Babak baru dalam islampun dimulai. Berbeda dengan periode Mekah,
pada periode Madinah, islam merupakan keuatan politik. Nabi Muhammad mempunyai
kedudukan bukan saja sebagai kepala agama, tetapi juga sebagai kepala negara.
Dalam rangka memperkokoh masyarakat dan negara baru itu, ia segera meletakkan dasar-
dasar kehidupan bermasyarakat. Dasar pertama, pembangunan mesjid, selain untuk
tempat salat, juga sebagai sarana penting untuk mempersatukan kaum muslimin dan
mempertalikan jiwa mereka, di samping sebagai tempat bermusyawarah merundingkan
masalah-masalah yang dihadapi. Mesjid pada masa Nabi bahkan juga berfungsi sebagai
pusat pemerintahan.
Dasar ketiga, hubungan persahabatan dengan pihak-pihak lain yang tidak beragama
Islam. Di Madinah, di samping orang-orang Arab Islam, juga terdapat golongan
masyarakat Yahudi dan orang-orang Arab yang masih menganut agama nenek moyang
mereka. Agar stabilitas masyarakat dapat diwujudkan, Nabi Muhammad mengadakan
ikatan perjanjian dengan mereka. Sebuah piagam yang menjamin kebebasan beragama
orang-orang Yahudi sebagai suatu komunitas dikeluarkan. Setiap golongan masyarakat
memiliki hak tertentu dalam bidang politik dan keagamaan. Kemerdekaan beragama
dijamin, dan seluruh anggota masyarakat berkewajiban mempertahankan keamanan
negeri itu dari serangan luar. Dalam perjanjian itu jelas disebutkan bahwa Rasulullah
menjadi kepala pemerintahan karena sejauh menyangkut peraturan dan tata tertib umum,
otoritas mutlak diberikan kepada beliau. Dalam bidang sosial, dia juga meletakkan dasar
persamaan antar sesama manusia. Perjanjian ini, dalam pandangan ketatanegaraan
sekarang, sering disebut dengan Konstitusi Madinah.
Perang pertama yang sangat menentukan adalah perang badar, perang antara kaum
muslimin dengan kaum musyrik Quraisy. Pada tanggal 8 ramadhan tahun kedua Hijriah.
Tidak lama setelah perang tersebut, Nabi menandatangani sebuah piagam, perjanjian
dengan beberapa suku Badui yang kuat. Suku Badui ini, ingin sekali, menjalin hubungan
dengan Nabi setelah melihat kekuatan Nabi semakin meningkat.
Bagi kaum Quraisy Mekah, kekalahan mereka dalam perang Badar merupakan pukulan
berat. Mereka bersumpah akan membalas denddam. Pada tahun ke 3 Hijriah, mereka
berangkat menuju madinah dengan membawa 3000 pasukan berkendaraan unta, 200
pasukan berkuda yang dipimpin oleh Khalid bin Walid. Beberapa kilo meter dari kota
Madinah, tepatnya di bukit Uhud, kedua pasukan bertemu dan terjadilah pertempuran
antara pasukan kaum Muslimin dengan pasukan kaum Quraisy. Dalam pertempuran
tersebut dimenangkan oleh kaum Musyrik, karena pasukan pemanah islam yang tidak
disiplin dalam menjalankan perintah Nabi Saw.
Pada tahun 6 Hijriah, ketika ibadah haji sudah disyariatkan, Nabi memimpin sekitar
seribu kaum muslimin berangkat ke Mekah, bukan untuk berperang, melainkan untuk
melakukan ibadah umrah. Karena itu, mereka menggunakan pakaian ihram tanpa
membawa senjata. Sebelum tiba di Mekah, mereka berkemah di Hudaibiyah, beberapa
kilometer dari Mekah. Penduduk Mekah tidak mengizinkan mereka masuk kota.
Akhirnya, diadakan perjanjian yang dikenal dengan nama Perjanjian Hudaibiyah yang
isinya antara lain: (I) kaum muslimin belum boleh mengunjungi Ka'bah tahun ini tetapi
ditangguhkan sampai tahun depan, (2) lama kunjungan dibatasi sampai tiga hari saja (3)
kaum muslimin wajib mengembalikan orang-orang Mekah yang melarikan diri ke
Madinah, sedang sebaliknya pihak Quraisy tidak harus menolak orang-orang Madinah
yang kembali ke Mekah, (4) selama sepuluh tahun diberlakukan genjatan senjata antara
masyarakat Madinah dan Mekah, dan (5) tiap Kabilah yang ingin masuk ke dalam
persekutuan kaum Quraisy atau kaum muslimin, bebas melakukannya tanpa mendapat
rintangan. Kesediaan orang-orang Mekah untuk berunding dan membuat perjanjian
dengan kaum muslimin itu benar-benar merupakan kemenangan diplomatik yang besar
bagi umat Islam. Dengan perjanjian ini, harapan untuk mengambil alih Ka'bah dan
menguasai Mekah sudah makin terbuka. Nabi memang sudah sejak lama berusaha
merebut dan menguasai Mekah agar dapat menyiarkan Islam ke daerah-daerah lain. Ini
merupakan target utama beliau. Ada dua faktor pokok yang mendorong kebijaksanaan
ini: Pertama, Mekah adalah pusat keagamaan bangsa Arab dan melalui konsolidasi
bangsa Arab dalam Islam, Islam bisa tersebar keluar. Kedua, apabila suku Nabi sendiri
dapat diislamkan, Islam akan memperoleh dukungan yang kuat karena orang-orang
Quraisy mempunyai kekuasaan dan pengaruh yang besar. Setahun kemudian ibadah haji
ditunaikan sesuai dengan rencana. Banyak orang Quraisy yang masuk Islam setelah
menyaksikan kemajuan-kemajuan yang dicapai oleh masyarakat Islam Madinah.
Genjatan senjata telah memberi kesempatan kepada Nabi untuk menoleh berbagai negeri
lain sambil memikirkan bagaimana cara mengislamkan mereka. Salah satu cara yang
ditempuh Nabi adalah mengirim utusan dan surat kepada kepala-kepala negara dan
pemerintahan.
Selama dua tahun perjanjian hudaibiyah berlangsung, dakwah islam sudah menjangkau
seluruh Jazirah Arab dan mendapat tanggapan yang positif. Perjanjian Hudaibiyah
ternyata menjadi senjata bagi umat islam untuk memperkuat dirinya. Oleh karena itu,
secara sepihak orang-orang kafir Quraisy membatalkan perjanjian tersebut. Melihat
kenyataan itu, Rasulullah bertolak ke Mekkah dengan sepuluh ribu orang tentara untuk
melawan mereka. Nabi Muhammad tidak mengalami kesukaran apa-apa memasuki kota
Mekah tanpa perlawanan. Sejak itu Mekah berada di bawah kekuasaan Nabi.
Pada tahun 9 dan 10 H, banyak suku dari berbagai pelosok Arab mengutus delegeasinya
kepada Nabi Muhammad menyatakan ketundukan mereka. Masuknya orang Mekah ke
dalam agama islam rupanya mempunyai pengaruh yang amat besar pada penduduk
padang pasir yang liar itu. Tahun ini disebut dengan tahun perutusan.
Dalam kesempatan menunaikan ibadah haji yang terakhir, haji Wada’, tahun 10 H, 631
M), Nabi Muhammad menyampaikan khotbahnya yang sangat bersejarah. Isi khotbah itu
antara lain : larangan menumpahkan darah kecuali dengan haq dan larangan mengambil
harta orang lain dengan batil, karena nyawa dan harta benda adalah suci; larangan riba
dan larangan larangan menganiaya; perintah untuk memperlakuakn para istri dengan baik
dan lemah lembut dan perintah menjauhi dosa; semua pertengkaran antara mereka di
zaman jahiliyah harus saling dimaafkan; balas dendam dengan tebusan darah
sebagaimana berlaku di zaman jahiliyah tidak lagi dibenarkan; persaudaraan dan
persamaan di antara manusia harus ditegakkan; hamba sahaya harus diperlakukan dengan
baik, mereka makan seperti apa yang dimakan tuannya dan memakai seperti apa yang
dipakai tuannya dan yang terpenting adalah bahwa umat islam harus selalu berpegang
kepada dua sumber yang tak pernah usang, Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Isi khotbah ini
merupakan prinsip-prinsip yang mendasari gerakan islam. Selanjutnya, prinsip-prinsip itu
bila disimpulkan adalah kemanusiaan, persamaan, keadilan sosial, keadilan ekonomi,
kebajikan dan solidaritas.
Setelah itu nabi Muhammad segera kembali ke Madinah. Beliau mengatur organisasi
masyarakat kabilah yang telah memeluk agama islam. Petugas keagamaan dan para da’i
dikirim ke berbagai daerah dan kabilah untuk mengajarkan ajaran-ajaran islam, mengatur
peradilan dan memungut zakat. Pada hari senin tanggal 12 Rabi’ul Awal 11 H / 8 Juni
632 M., Nabi Muhammad wafat di rumah istrinya Aisyah.
Dari perjalanan sejarah Nabi ini, dapat disimpulkan bahwa Nabi Muhammad Saw.,
disaming sebagai pemimpin agama, juga seorang negarawan, pemimpin politik dan
administrasi yang cakap. Hanya dalam waktu sebelas tahun menjadi pemimpin politik,
beliau berhasil menundukkan seluruh Jazirah Arab ke dalam kekuasaannya.
Masa Prakelahiran
Al-Quran menegaskan bahwa para nabi telah pernah diangkat janjinya untuk percaya dan
membela Nabi Muhammad saw
"Dan ingatlah ketika Allah mengambil perjanjian dan para Nabi, 'Sungguh apa saja yang
Aku berikan kepadamu berupa kitab dan hikmah, kemudian datang kepadamu seorang
Rasul (Muhammad) yang membenarkan kamu, niscaya kamu sungguh-sungguh akan
beriman kepadanya dan menolongnya.' Allah berfirman, 'Apakah kamu mengakui dan
menerima perjanjian-Ku yang demikian itu?' Mereka menjawab, 'Kami mengakui.'" (QS
Ali'Imran [3]: 81)
Allah SWT telah merencanakan sesuatu untuk Nabi Muhammad saw, jauh sebelum
kelahiran beliau. Karena itu pula sementara pakar menyatakan bahwa kematian ayah
beliau sebelum kelahiran, kepergiannya ke pedesaan menjauhi ibunya, serta
ketidakmampuannya membaca dan menulis merupakan strategi yang dipersiapkan Tuhan
kepada beliau untuk dijadikan utusan-Nya kepada seluruh umat manusia kelak.
Bahkan ulama lain meyakini bahwa pemilihan hal-hal tertentu berkaitan dengan
beliau bukanlah kebetulan. Misalnya bulan lahir, hijrah, dan wafatnya pada bulan
Rabi'ul Awal (musim bunga). Nama beliau Muhammad (yang terpuji), ayahnya
Abdullah (hamba Allah), ibunya Aminah (yang memberi rasa aman), kakeknya
yang bergelar Abdul Muththalib bernama Syaibah (orang tua yang bijaksana),
sedangkan yang membantu ibunya melahirkan bernama Asy-Syifa' (yang sempurna
dan sehat), serta yang menyusukannya adalah Halimah As-Sa'diyah (yang lapang
dada dan mujur). Semuanya mengisyaratkan keistimewaan berkaitan dengan Nabi
Muhammad saw Makna nama-nama tersebut memiliki kaitan yang erat dengan
kepribadian Nabi Muhammad saw
Al-Quran surat Al-A'raf (7): 157 juga menginformasikan bahwa Nabi Muhammad
saw pada hakikatnya dikenal oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani. Hal ini antara
lain disebabkan mereka mendapatkan (nama)-nya tertulis di dalam Taurat dan
Injil (QS Al-A'raf [7]: 157).
Menurut pakar agama Islam, yang ditegaskan oleh Al-Quran itu, dapat terbaca antara lain
dalam Pertanjian Lama, Kitab Ulangan 33 ayat 2:
"... bahwa Tuhan telah datang dari Torsina, dan telah terbit untuk mereka itu dari Seir,
kelihatanlah ia dengan gemerlapan cahayanya dari gunung Paran."
Karena itu pula wajar jika Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 146 menyatakan bahkan
mereka itu mengenalnya (Muhammad saw), sebagaimana mereka mengenal anak-anak
mereka, bahkan salah seorang penganut agama Yahudi yang kemudian masuk Islam,
yaitu Abdullah bin Salam pernah berkata, "Kami lebih mengenal dan lebih yakin tentang
kenabian Muhammad saw daripada pengenalan dan keyakinan kami tentang anak-anak
kami. Siapa tahu pasangan kami menyeleweng."
Masa Prakenabian
Ada beberapa ayat Al-Quran yang berbicara tentang Nabi Muhammad saw sebelum
kenabian beliau. Antara lain,
"Bukankah Dia (Tuhan) mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu,
dan Dia mendapatimu bimbang, lalu Dia memberi petunjuk kepadamu, dan Dia
mendapatimu dalam keadaan kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan?" (QS Al-
Dhuha [93]: 6-8)
Beliau yatim sejak di dalam kandungan, kemudian dipelihara dan dilindungi oleh paman
dan kakeknya. Beliau hidup di dalam keresahan dan kebimbangan melihat sikap
masyarakatnya, lalu Allah memberinya petunjuk, dan mengangkatnya sebagai Nabi dan
Rasul. Beliau hidup miskin karena ayahnya tidak meninggalkan warisan untuknya,
kecuali beberapa ekor kambing dan harta lainnya yang tidak berarti. Tetapi Allah
memberinya kecukupan, khususnya menjelang dan saat hidup berumah tangga
dengan istrinya, Khadijah a.s.
Ayat lain yang oleh ulama dianggap berbicara tentang Nabi Muhammad saw pada masa
kanak-kanaknya, adalah surat Alam Nasyrah ayat pertama:
"Bukankah Kami (Tuhan) telah melapangkan dada untukmu?"
Sebagian ulama mengartikan kata nasyrah dengan "memotong/membedah." Memang,
bila dikaitkan dengan sesuatu yang bersifat materi, artinya demikian. Apabila dikaitkan
dengan sesuatu yang bersifat nonmateri, kata itu mengandung arti membuka, memberi
pemahaman, menganugerahkan ketenangan dan semaknanya. Yang mengaitkan dengan
hal-hal materi berpendapat bahwa ayat ini berbicara tentang "pembedahan" yang pernah
dilakukan oleh para malaikat terhadap Nabi Muhammad saw kala beliau remaja.
Pendapat ini antara lain dikemukakan oleh mufasir An -Naisaburi.
Tetapi sepanjang penelitian Prof. Dr. M. Quraish Shihab, kata tersebut dengan berbagai
bentuknya terulang sebanyak 5 kali, dan tidak satu pun yang digunakan dengan arti
harfiah, apalagi bermakna pembedahan. Akan lebih jelas lagi jika hal itu disejajarkan
dengan ayat yang berbicara tentang doa Nabi Musa a.s. di dalam Al-Quran.
Selanjutnya Al-Quran menegaskan bahwa Nabi Muhammad saw tidak pernah membaca
satu kitab atau menulis satu kata sebelum datangnya wahyu Al-Quran.
"Engkau tidak pernah membaca satu kitab pun sebelumnya (Al-Quran), tidak juga
menulis satu tulisan dengan tanganmu, (andai kata kamu pernah membaca dan menulis)
pasti akan benar-benar ragulah orang yang mengingkari-(mu)" (QS Al-'Ankabut [29]:
48).
Ayat ini secara pasti menyatakan bahwa beliau saw adalah orang yang tidak pandai
membaca dan menulis. Banyak ulama yang memahami bahwa kendatipun kemudian Nabi
saw menganjurkan umatnya belajar membaca dan menulis, namun beliau sendiri tidak
melakukannya, karena Allah SWT ingin menjadikan beliau sebagai bukti bahwa
informasi yang diperolehnya benar-benar bukan bersumber dari manusia, melainkan dari
Allah SWT
Ada juga ulama yang memahami bahwa ketidakmampuan beliau membaca hanya terbatas
sampai sebelum terbukti kebenaran ajaran Islam. Setelah kebenaran Islam terbukti
-setelah hijrah ke Madinah- beliau telah pandai membaca. Menurut pendukungnya ide ini
dikuatkan antara lain oleh kata "sebelumnya" yang terdapat pada ayat di atas.
Memang, kata ummi hanya ditemukan dua kali dalam Al-Quran (QS Al-A'raf [7] 157 dan
158), dan keduanya menjadi sifat Nabi Muhammad saw Memang kedua ayat itu turun di
Makkah, meskipun ada juga ayat lain yang turun di Madinah menyatakan,
"Dia (Allah) yang mengutus kepada masyarakat ummiyyin (buta huruf), seorang Rasul di
antara mereka" (QS Al-Jum'ah [62]: 2)
Di sisi lain, harus disadari bahwa masyarakat beliau ketika itu menganggap kemampuan
menulis sebagai bukti kelemahan seseorang.
Pada masa itu sarana tulis-menulis amat langka, sehingga masyarakat amat
mengandalkan hafalan. Seseorang yang menulis dianggap tidak memiliki kemampuan
menghafal, dan ini merupakan kekurangan. Penyair Zurrummah pernah ditemukan
sedang menulis, dan ketika ia sadar bahwa ada orang yang melihatnya, ia bermohon:
"Jangan beri tahu siapa pun, karena ini (kemampuan menulis) bagi kami adalah aib."
Memang, nilai-nilai dalam masyarakat berubah, sehingga apa yang dianggap baik pada
hari ini, boleh jadi sebelumnya dinilai buruk. Pada masa kini kemampuan menghafal
tidak sepenting masa lalu, karena sarana tulis-menulis dengan mudah diperoleh.
Masa Kenabian
Pada usia 40 tahun, yang disebut oleh Al-Quran surat Al-Ahqaf ayat 15 sebagai usia
kesempurnaan, Muhammad saw diangkat menjadi Nabi. Ditandai dengan turunnya
wahyu pertama Iqra' bismi Rabbik.
Sebelumnya beliau tidak pernah menduga akan mendapat tugas dan kedudukan yang
demikian terhormat. Karena itu ditemukan ayat-ayat Al-Quran yang menguraikan sikap
beliau terhadap wahyu dan memberi kesan bahwa pada mulanya beliau sendiri "ragu" dan
gelisah mengenai hal yang dialaminya. QS Yunus (10): 94 mengisyaratkan bahwa,
"Kalau engkau ragu terhadap apa yang Kami turunkan kepadamu, maka tanyakanlah
kepada orang-orang yang membaca Kitab Suci sebelum kamu (QS Yunus [10]: 94)
Kegelisahan itu bertambah besar pada saat wahyu yang beliau nanti-nantikan tidak
kunjung datang, hingga menurut beberapa riwayat beliau sedemikian gelisah, sampai-
sampai konon beliau hampir saja mencelakakan dirinya. Rupanya Allah SWT bermaksud
menjadikan beliau lebih merindukan lagi "sang kekasih dan firman-firman-Nya" agar
semakin mantap cinta beliau kepada-Nya.
Kenabian Muhammad saw bukan merupakan hal yang baru bagi umat manusia. Nabi
Muhammad secara tegas diperintahkan untuk menyatakan hal itu,
"Katakanlah, 'Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul. Aku tidak
mengetahui yang diperbuat terhadapku, tidak juga terhadapmu. Aku tidak lain hanya
mengikuti yang diwahyukan kepadaku dan aku tidak lain seorang pemberi peringatan
yang menjelaskan.'" (QS Al-Ahqaf [46]: 9)
Namun demikian kenabian Muhammad saw berbeda dengan kenabian utusan Tuhan yang
lain. Sebelum beliau, para Nabi dan Rasul diutus untuk masyarakat dan waktu tertentu,
tetapi Nabi Muhammad saw diutus untuk seluruh manusia di setiap waktu dan tempat,
Ada sementara orientalis yang menduga bahwa pada mulanya Nabi Muhammad saw
hanya bermaksud mengajarkan agamanya kepada orang-orang Arab, tetapi setelah beliau
berhasil di Madinah, beliau memperluas dakwahnya untuk seluruh manusia.
Pendapat ini sungguh keliru, karena sejak di Makkah beliau telah menegaskan
bahwa beliau diutus untuk seluruh manusia.
Ayat ini turun ketika Nabi saw sedang berada di Makkah, bahkan menurut sementara
ulama, semua ayat Al-Quran yang dimulai dengan panggilan "Wahai seluruh manusia,"
semuanya turun di Makkah kecuali beberapa ayat.
Ketika masyarakat Arab Quraisy meminta bukti-bukti yang bersifat suprarasional, Nabi
Muhammad saw diperintahkan untuk menyampaikan kalimat-kalimat berikut:
"Katakanlah, 'Sesungguhnya bukti-bukti itu bersumber dari Allah, sedang aku hanya
pembawa peringatan yang menjelaskan.'" (QS Al-'Ankabut [29]: 50)
Memang Nabi Muhammad saw tidak mengandalkan hal-hal yang bersifat suprarasional
sebagai bukti kebenaran ajarannya.
Bukti kebenaran kenabian dan kerasulannya adalah Al-Quran dan diri beliau sendiri yang
ummi (tidak pandai membaca dan menulis). Para pakar bersepakat dengan menggunakan
berbagai tolok ukur untuk mengakui beliau sebagai manusia teragung yang pernah
dikenal oleh sejarah kemanusiaan
"Wahai seluruh manusia, telah datang kepada kamu bukti yang sangat jelas dan Tuhanmu
(yakni Muhammad saw), dan Kami telah (pula) menurunkan cahaya yang terang
benderang (Al-Quran)" (QS Al-Nisa' [4]: 174)
"Sesungguhnya engkau (Muhammad) berada di atas akhlak yang agung" (QS Al-Qalam
[68]: 4)
Kata "di atas" tentu mempunyai makna yang sangat dalam, melebihi kata lain, misalnya,
pada tahap/dalam keadaan akhlak mulia
Seperti dikemukakan di atas, Al-Quran surat Al-An'am ayat 90 menyebutkan dalam
rangkaian ayat-ayatnya 18 nama Nabi/Rasul. Setelah kedelapan belas nama disebut,
Allah berpesan kepada Nabi Muhammad saw, "Mereka itulah yang telah memperoleh
petunjuk dari Allah, maka hendaknya kamu meneladani petunjuk yang mereka
peroleh." Karena itu pula sebagian ulama tafsir menyimpulkan, bahwa pastilah Nabi
Muhammad saw telah meneladani sifat-sifat terpuji para nabi sebelum beliau
Nabi Nuh a.s. dikenal sebagai seorang yang gigih dan tabah dalam berdakwah. Nabi
Ibrahim a.s. dikenal sebagai seorang yang amat pemurah, serta amat tekun bermujahadah
mendekatkan diri kepada Allah. Nabi Daud a.s. dikenal sebagai nabi yang amat
menonjolkan rasa syukur serta penghargaannya terhadap nikmat Allah. Nabi Zakaria a.s.,
Yahya a.s., dan Isa a.s., adalah nabi-nabi yang berupaya menghindari kenikmatan dunia
demi mendekatkan diri kepada Allah SWT. Nabi Yusuf a.s. terkenal gagah, dan amat
bersyukur dalam nikmat dan bersabar menahan cobaan. Nabi Yunus a. s. diketahui
sebagai nabi yang amat khusyuk ketika berdoa, Nabi Musa terbukti sebagai nabi yang
berani dan memiliki ketegasan, Nabi Harun a.s. sebaliknya, adalah nabi yang penuh
dengan kelemahlembutan. Demikian seterusnya, dan Nabi Muhammad saw meneladani
semua keistimewaan mereka itu.
Ada beberapa sifat Nabi Muhammad saw yang ditekankan oleh Al-Quran, antara lain,
"Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa
olehnya penderitaanmu (umat manusia), serta sangat menginginkan kebaikan untuk kamu
semua, lagi amat tinggi belas kasihannya serta penyayang terhadap orang-orang mukmin"
(QS Al-Tawbah [9]: 128)
Rahmat dan kasih sayang yang dicurahkannya sampai pula pada benda-benda tak
bernyawa. Susu, gelas, cermin, tikar, perisai, pedang, dan sebagainya, semuanya beliau
beri nama, seakan-akan benda-benda tak bernyawa itu mempunyai kepribadian yang
membutuhkan uluran tangan, rahmat, kasih sayang, dan persahabatan.
Beliau adalah manusia seperti manusia yang lain dalam naluri, fungsi fisik, dan
kebutuhannya, tetapi bukan dalam sifat-sifat dan keagungannya, karena beliau mendapat
bimbingan Tuhan dan kedudukan istimewa di sisi-Nya, sedang yang lain tidak demikian.
Seperti halnya permata adalah jenis batu yang sama jenisnya dengan batu yang di jalan,
tetapi ia memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh batu-batu lain. Dalam bahasa
tafsir Al-Quran, "Yang sama dengan manusia lain adalah basyariyah bukan pada
insaniyah." Perhatikan bunyi firman tadi: basyarun mitslukum bukan insan mitslukum.
Atas dasar sifat-sifat yang agung dan menyeluruh itu, Allah SWT menjadikan beliau
sebagai teladan yang baik sekaligus sebagai syahid (pembawa berita gembira dan
pemberi peringatan)
"Sesungguhnya terdapat dalam diri Rasul teladan yang baik bagi yang mengharapkan
(ridha) Allah dan ganjaran di hari kemudian." (QS Al-Ahzab [33]: 2l)
Keteladanan tersebut dapat dilakukan oleh setiap manusia, karena beliau telah memiliki
segala sifat terpuji yang dapat dimiliki oleh manusia.
Dalam konteks ini, Abbas Al-Aqqad, seorang pakar Muslim kontemporer menguraikan
bahwa manusia dapat diklasifikasikan ke dalam empat tipe: seniman, pemikir, pekerta,
dan yang tekun beribadah.
Sejarah hidup Nabi Muhammad saw membuktikan bahwa beliau menghimpun dan
mencapai puncak keempat macam manusia tersebut. Karya-karyanya, ibadahnya, seni
bahasa yang dikuasainya, serta pemikiran-pemikirannya sungguh mengagumkan setiap
orang yang bersikap objektif. Karena itu pula seorang Muslim akan kagum berganda
kepada beliau, sekali pada saat memandangnya melalui kacamata ilmu dan kemanusiaan,
dan kedua kali pada saat memandangnya dengan kacamata iman dan agama.
Banyak fungsi yang ditetapkan Allah bagi Nabi Muhammad saw, antara lain sebagai
syahid (pembawa berita gembira dan pemberi peringatan) (QS Al-Fath [48]: 8), yang
pada akhirnya bermuara pada penyebarluasan rahmat bagi alam semesta.
Demikian itulah Kami jadikan kamu umat pertengahan, agar kamu menjadi saksi
terhadap manusia, dan agar Rasul (Muhammad saw) menjadi saksi terhadap kamu ... (QS
Al-Baqarah [2]: 143
Kata syahid/syahid antara lain berarti "menyaksikan," baik dengan pandangan mata
maupun dengan pandangan hati (pengetahuan). Ayat itu menjelaskan keberadaan umat
Islam pada posisi tengah, agar mereka tidak hanyut pada pengaruh kebendaan, tidak pula
mengantarkannya membubung tinggi ke alam ruhani sehingga tidak berpijak lagi di
bumi. Mereka berada di antara keduanya (posisi tengah), sehingga mereka dapat menjadi
saksi dalam arti patron/teladan dan skala kebenaran bagi umat-umat yang lain, sedangkan
Rasulullah saw yang juga berkedudukan sebagai syahid (saksi) adalah patron dan teladan
bagi umat Islam.
Tingkat syahadat (persaksian) hanya diraih oleh mereka yang menelusuri jalan lurus
(shirath al-mustaqim), sehingga mereka mampu menyaksikan yang tersirat di balik yang
tersurat. Mereka yang menurut Ibnu Sina disebut "orang yang arif," mampu memandang
rahasia Tuhan yang terbentang melalu qudrat-Nya. Tokoh dari segala saksi adalah
Rasulullah Muhammad saw yang secara tegas di dalam ayat ini dinyatakan "diutus untuk
menjadi syahid (saksi)."
Peringatan hari Mab’ats atau hari kenabian tanggal 27 Rajab sudah berlalu. Namun masih
ada banyak hal yang perlu diungkap dan dibacakan mengenainya. Sebab, kenabian
Rasulullah Muhammad SAW adalah kenabian terakhir yang berarti bahwa beliau adalah
duta Allah terakhir yang membawa risalah paling lengkap dan abadi sepanjang masa.
Kenabian Muhammad SAW adalah awal dari sebuah perubahan besar dalam sejarah umat
manusia, yang sampai sekarang dan akan selamanya mempengaruhi proses kehidupan ini.
Tak syak, misi besar yang diembannya membuktikan bahwa nabi terakhir ini adalah
manusia yang paling agung di sisi Allah swt.
Nabi Muhammad SAW menjalankan tugas kenabian dan menyampaikan risalah ilahiyah
selama 23 tahun. Perjuangan beliau dalam menyebarkan dan mengajarkan agama Allah
ini sangat mengagumkan. Tak ada peluang yang disia-siakan oleh beliau. Pantas bila
Allah memerintahkan umat manusia untuk meneladani Rasulullah. Dalam surah Al
Ahzab ayat 21 Allah swt berfirman, “Sesungguhnya pada diri Rasulullah teladan yang
baik bagi mereka yang berharap Allah dan hari akhir serta banyak mengingat Tuhan.”
Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa siapa saja yang ingin mengenal Islam dan
mengamalkannya dengan benar, hendaknya ia mencontoh perilaku, tata krama dan tutur
kata Rasulullah SAW. Dalam banyak ayatnya, Al Qur’an memerintahkan umat Islam
untuk menaati Allah dan Rasul, supaya mereka selamat dan memperoleh rahmat dari
Allah. Rasulullah SAW sebagai pembawa risalah ini telah banyak melakukan perjuangan
dan pengorbanan untuk penyebaran Islam dan penguatan sendi-sendi agama. Karena itu,
beliau pasti berharap dari umatnya untuk melakukan beberapa hal yang dapat
menghadiahkan kemajuan, kemuliaan dan kebahagiaan bagi agama dan umat Islam.
Bisa dikatakan, harapan paling utama dari Rasulullah SAW adalah persatuan dan
persaudaraan di antara umat Islam. Sejarah telah membuktikan bahwa perselisihan yang
ada di tengah umat sejak dahulu telah melemahkan kaum muslimin sehingga mereka
terjebak ke dalam perangkap musuh. Negeri mereka dijajah, kekayaan dirampas dan
kebebasan dipasung. Semua itu terjadi tanpa dan perlawanan berarti dari kaum muslimin
yang sudah dilemahkan oleh pertikaian dan perselisihan di antara mereka, padahal agama
Islam adalah agama yang mengajak kepada persatuan.
Dalam agama Islam, banyak hal yang sebenarnya membawa pesan persatuan, salah
satunya adalah sosok pribadi Muhammad SAW sebagai nabi bagi umat ini. Semua orang
muslim mengakui bahwa beliau adalah nabi terakhir yang diutus Allah kepada umat
manusia. Beliaulah teladan ketaqwaan dan kesucian. Karena itu sudah semestinya, di
zaman yang diwarnai oleh kemelut dan konflik besar ini, umat Islam khususnya para
pemimpin di negara-negara Islam menjadikan Nabi Muhammad SAW sebagai simbol
persatuan. Surah Al Anfal ayat 46 menegaskan, “Taatilah Allah dan RasulNya dan jangan
sampai kalian berselisih sehingga kalian menjadi lemah dan kehilangan kekuatan.
Bersabarlah sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.”
Salah satu ajaran Nabi Muhammad SAW adalah melawan kezaliman. Sebagaimana Islam
melarang umatnya untuk berbuat zalim, Islam juga memerintahkan umat ini untuk
melawan kezaliman. Jika kita menelaah seluruh lembar kehidupan Nabi SAW, akan kita
dapat bahwa beliau adalah orang yang berdiri di front terdepan dalam melawan
kezaliman. Perang melawan kezaliman akan memberikan kebesaran dan kemuliaan
kepada umat Islam. Nabi SAW tentunya mengharapkan umatnya untuk tidak tunduk
terhadap kezaliman.
Amat disayangnya bahwa sejak beberapa abad lalu, dunia Islam selalu menghadapi
kezaliman yang dilakukan kaum imperialis yang menguasai negeri-negeri Islam dan
merampok kekayaannya. Di abad modern ini, imperlisme tetap berjalan namun dikemas
dalam bentuk yang telah disesuaikan. AS dengan berbagai alasan menyerang dan lantas
menduduki Afganistan dan Irak, sementara negeri Palestina sejak tahun 1948 dikuasai
oleh rezim Zionis Israel. Bukankah Allah swt telah mengingatkan hal ini dan berfirman
dalam surah Al Nisa ayat 141, “Allah tidak akan memberikan kesempatan kepada kaum
kafir untuk menguasai kaum mukminin.”
Selama 13 tahun pertama masa kenabian, Rasulullah SAW menghadapi gangguan dan
penyiksaan yang dilakukan kaum kafir Quresy di Mekah terhadap diri beliau dan para
pengikut agama Islam. Namun semua itu tak mampu meredam tekad beliau untuk
mengajarkan kebenaran. Setelah berhijrah ke Madinah, beliau membentuk pemerintahan
dan bangkit melawan kezaliman. Jika kaum muslimin meneladani perilaku Rasul, dan
bangkit melawan kaum tiran, tentu mereka akan memperoleh kembali kemuliaan dan
kehormatan. Apa yang dilakukan para pejuang Hezbollah di Lebanon adalah contoh
nyata dari kemuliaan yang didapatkan melalui perlawanan terhadap kaum agresor.
Salah satu kelebihan yang dimiliki Nabi Muhammad SAW adalah perjuangannya untuk
menegakkan dan membela kebenaran. Pengorbanan besar yang ditunjukkan Nabi SAW
dalam membela Islam karena Islam adalah agama kebenaran. Sudah menjadi tugas bagi
setiap pemeluk agama ilahi untuk tampil sebagai pembela kebenaran. Apalagi saat ini,
media-media massa dunia yang berada dalam genggaman imperialis Barat tak segan
menghujat dan menghina Islam. Salah satu dari penghinaan itu ditunjukkan oleh media
Barat yang memuat karikatur hujatan terhadap Nabi Muhammad SAW bulan September
tahun lalu. Untuk itu, umat Islam dituntut arif dan berani untuk tidak membiarkan
penghinaan seperti ini terulang kembali.
Islam seperti difahami dari asal kata silm yang berarti damai, adalah agama yang
menyeru kepada perdamaian. Meski demikian, Islam memerintahkan para pemeluknya
untuk bersikap tegas dan keras terhadap segala upaya yang berusaha merusak dan
menyimpangkan umat manusia dari cita-cita luhur insani. Islam yang mengizinkan
perang disaat ada tuntutan, mengajarkan sederet kesusilaan dalam medan pertempuran.
Islam tidak mengizinkan pembunuhan terhadap warga sipil bahkan binatang dan tumbuh-
tumbuhan. Dalam memimpin pemerintahan Islam, Nabi SAW mengadakan perjanjian
damai dengan berbagai kelompok dan pemeluk agama lain. Saat menaklukkan kota
Mekah setelah terjadi pelanggaran perjanjian Hudaibiyah oleh kaum Kafir Quresy,
Rasulullah SAW memasuki kota itu tanpa pertumpahan darah, lalu memaafkan musuh-
musuhnya. Karena itu, dapat dikatakan bahwa Islam adalah agama perdamaian,
persahabatan dan pemaaf. Meski demikian, hal itu tidak bertentangan dengan sikap tegas
dan keras Islam terhadap kezaliman dan kaum durjana.
Di Madinah, Nabi SAW membentuk pemerintahan yang berlandaskan pada ajaran Islam.
Dalam perspektif Rasulullah SAW, agama tidak dapat dipisahkan dari politik dan
pemerintahan. Untuk itu, kaum muslimin sudah sewajarnya berusaha menegakkan
pemerintahan yang sesuai dengan ajaran agama Islam. Dengan demikian, akan tercapai
kebahagiaan dunia dan akhirat bagi kaum muslimin. Ide pemisahan agama dari politik
dan pemerintahan muncul di dunia Barat, karena mereka menyadari akan kekurangan dan
ketidakmampuan agama Kristen dalam mengatur kehidupan duniawi para pemeluknya.
Berbeda halnya dengan Islam, yang merupakan agama kebenaran dan risalah ilahi yang
terakhir. Islam memiliki konsep-konsep yang jitu dalam mengatur pemerintahan dan
negara untuk memberikan kebahagiaan dan kesejahteraan bagi umat manusia.
Islam mengajarkan kepada umatnya untuk memerhatikan sisi kehidupan duniawi. Tetapi
ini tidak berarti bahwa Islam melupakan sisi spiritual. Rasulullah SAW dalam banyak
hadisnya menganjurkan kita untuk selalu mengingat Allah dan menyibukkan diri dengan
beribadah. Ibadah yang diajarkan Nabi SAW bukan berarti mengasingkan diri di sebuah
mihrab untuk beribadah dan tak acuh kepada lingkungan sekitar. Nabi Muhammad SAW
sebagai teladan dalam kehidupan spiritual, adalah seorang suami bagi istri-istrinya, ayah
bagi anak-anaknya, dan pemimpin bagi umatnya. (Irib)
Nabi Muhammad SAW adalah anggota Bani Hasyim, sebuah kabilah yang paling mulia
dalam suku Quraisy yang mendominasi masyarakat Arab. Ayahnya bernama Abdullah
Muttalib, seorang kepala suku Quraisy yang besar pengaruhnya. Ibunya bernama Aminah
binti Wahab dari Bani Zuhrah. Baik dari garis ayah maupun garis ibu, silsilah Nabi
Muhammad SAW sampai kepada Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS.
Tahun kelahiran Nabi Muhammad SAW dikenal dengan nama Tahun Gajah, karena pada
tahun itu terjadi peristiwa besar, yaitu datangnya pasukan gajah menyerbu Mekah dengan
tujuan menghancurkan Ka'bah. Pasukan itu dipimpin oleh Abrahah, gubernur Kerajaan
Habsyi di Yaman. Abrahah ingin mengambil alih kota Mekah dan Ka'bahnya sebagai
pusat perekonomian dan peribadatan bangsa Arab. Ini sejalan dengan keingin Kaisar
Negus dari Ethiopia untuk menguasai seluruh tanah Arab, yang bersama-sama dengan
Kaisar Byzantium menghadapi musuh dari timur, yaitu Persia (Irak).
Dalam penyerangan Ka'bah itu, tentara Abrahah hancur karena terserang penyakit yang
mematikan yang dibawa oleh burung Ababil yang melempari tentara gajah. Abrahah
sendiri lari kembali ke Yaman dan tak lama kemudian meninggal dunia.
Peristiwa ini dikisahkan dalam Al-Qur'an surat Al-Fîl: 1-5.
Beberapa bulan setelah penyerbuan tentara gajah, Aminah melahirkan seorang bayi laki-
laki, yang diberi nama Muhammad. Ia lahir pada malam menjelang dini hari Senin, 12
Rabiul Awal Tahun Gajah, bertepatan dengan 20 April 570 M. Saat itu ayah Muhammad,
Abdullah, telah meninggal dunia.
Nama Muhammad diberikan oleh kakeknya, Abdul Muttalib. Nama itu sedikit ganjil di
kalangan orang-orang Quraisy, karenanya mereka berkata kepada Abdul Muttalib,
"Sungguh di luar kebiasaan, keluarga Tuan begitu besar, tetapi tak satu pun yang
bernama demikian." Abdul Muttalib menjawab, "Saya mengerti. Dia memang berbeda
dari yang lain. Dengam nama ini saya ingin agar seluruh dunia memujinya."
Masa pengasuhan Haliman binti Abi Du'aib as-Sa'diyah
Adalah suatu kebiasaan di Mekah, anak yang baru lahir diasuh dan disusui oleh wanita
desa dengan maksud supaya ia bisa tumbuh dalam pergaulan masyarakat yang baik dan
udara yang lebih bersih. Saat Muhammad lahir, ibu-ibu dari desa Sa'ad datang ke Mekah
menghubungi keluarga-keluarga yang ingin menyusui anaknya. Desa Sa'ad terletak kira-
kira 60 km dari Mekah, dekat kota Ta'if, suatu wilayah pegunungan yang sangat baik
udaranya.
di antara ibu-ibu tsb terdapat seorang wanita bernama Halimah binti Abu Du'aib as
Sa'diyah. Keluarga Halimah tergolong miskin, karenanya ia sempat ragu untuk mengasuh
Muhammad karena keluarga Aminah sendiri juga tidak terlalu kaya. Akan tetapi entah
mengapa bayi Muhammad sangat menawan hatinya, sehingga akhirnya Halimah pun
mengambil Muhammad SAW sebagai anak asuhnya.
Ternyata kehadiran Muhammad SAW sangat membawa berkah pada keluarga Halimah.
Dikisahkan bahwa kambing peliharaan Haris, suami Halimah, menjadi gemuk-gemuk
dan menghasilkan susu lebih banyak dari biasanya. Rumput tempat menggembala
kambing itu juga tumbuh subur. Kehidupan keluarga Halimah yang semula suram
berubah menjadi bahagia dan penuh kedamaian. Mereka yakin sekali bahwa bayi dari
Mekah yang mereka asuh itulah yang membawa berkah bagi kehidupan mereka.
Tanda-tanda kenabian
Sejak kecil Muhammad SAW telah memperlihatkan keistimewaan yang sangat luar biasa.
Usia 5 bulan ia sudah pandai berjalan, usia 9 bulan ia sudah mampu berbicara. Pada usia
2 tahun ia sudah bisa dilepas bersama anak-anak Halimah yang lain untuk menggembala
kambing. Saat itulah ia berhenti menyusu dan karenanya harus dikembalikan lagi pada
ibunya. Dengan berat hati Halimah terpaksa mengembalikan anak asuhnya yang telah
membawa berkah itu, sementara Aminah sangat senang melihat anaknya kembali dalam
keadaan sehat dan segar.
Namun tak lama setelah itu Muhammad SAW kembali diasuh oleh Halimah karena
terjadi wabah penyakit di kota Mekah. Dalam masa asuhannya kali ini, baik Halimah
maupun anak-anaknya sering menemukan keajaiban di sekitar diri Muhammad SAW.
Anak-anak Halimah sering mendengar suara yang memberi salam kepada Muhammad
SAW, "Assalamu 'Alaika ya Muhammad," padahal mereka tidak melihat ada orang di
situ.
Dalam kesempatan lain, Dimrah, anak Halimah, berlari-lari sambil menangis dan
mengadukan bahwa ada dua orang bertubuh besar-besar dan berpakaian putih menangkap
Muhammad SAW. Halimah bergegas menyusul Muhammad SAW. Saat ditanyai,
Muhammad SAW menjawab, "Ada 2 malaikat turun dari langit. Mereka memberikan
salam kepadaku, membaringkanku, membuka bajuku, membelah dadaku, membasuhnya
dengan air yang mereka bawa, lalu menutup kembali dadaku tanpa aku merasa sakit."
Halimah sangat gembira melihat keajaiban-keajaiban pada diri Muhammad SAW, namun
karena kondisi ekonomi keluarganya yang semakin melemah, ia terpaksa mengembalikan
Muhammad SAW, yang saat itu berusia 4 tahun, kepada ibu kandungnya di Mekah.
Dalam usia 6 tahun, Nabi Muhammad SAW telah menjadi yatim-piatu. Aminah
meninggal karena sakit sepulangnya ia mengajak Muhammad SAW berziarah ke makam
ayahnya. Setelah kematian Aminah, Abdul Muttalib mengambil alih tanggung jawab
merawat Muhammad SAW. Namun kemudian Abdul Muttalib pun meninggal, dan
tanggung jawab pemeliharaan Muhammad SAW beralih pada pamannya, Abi Thalib.
Ketika berusia 12 tahun, Abi Thalib mengabulkan permintaan Muhammad SAW untuk
ikut serta dalam kafilahnya ketika ia memimpin rombongan ke Syam (Suriah). Usia 12
tahun sebenarnya masih terlalu muda untuk ikut dalam perjalanan seperti itu, namun
dalam perjalanan ini kembali terjadi keajaiban yang merupakan tanda-tanda kenabian
Muhammad SAW.
Segumpal awan terus menaungi Muhammad SAW sehingga panas terik yang membakar
kulit tidak dirasakan olehnya. Awan itu seolah mengikuti gerak kafilah rombongan
Muhammad SAW. Bila mereka berhenti, awan itu pun ikut berhenti. Kejadian ini
menarik perhatian seorang pendeta Kristen bernama Buhairah yang memperhatikan dari
atas biaranya di Busra. Ia menguasai betul isi kitab Taurat dan Injil. Hatinya bergetar
melihat dalam kafilah itu terdapat seorang anak yang terang benderang sedang
mengendarai unta. Anak itulah yang terlindung dari sorotan sinar matahari oleh segumpal
awan di atas kepalanya. "Inilah Roh Kebenaran yang dijanjikan itu," pikirnya.
Pendeta itu pun berjalan menyongsong iring-iringan kafilah itu dan mengundang mereka
dalam suatu perjamuan makan. Setelah berbincang-bincang dengan Abi Thalib dan
Muhammad SAW sendiri, ia semakin yakin bahwa anak yang bernama Muhammad
adalah calon nabi yang ditunjuk oleh Allah SWT. Keyakinan ini dipertegas lagi oleh
kenyataan bahwa di belakang bahu Muhammad SAW terdapat sebuah tanda kenabian.
Saat akan berpisah dengan para tamunya, pendeta Buhairah berpesan pada Abi Thalib,
"Saya berharap Tuan berhati-hati menjaganya. Saya yakin dialah nabi akhir zaman yang
telah ditunggu-tunggu oleh seluruh umat manusia. Usahakan agar hal ini jangan diketahui
oleh orang-orang Yahudi. Mereka telah membunuh nabi-nabi sebelumnya. Saya tidak
mengada-ada, apa yang saya terangkan itu berdasarkan apa yang saya ketahui dari kitab
Taurat dan Injil. Semoga tuan-tuan selamat dalam perjalanan."
Apa yang dikatakan oleh pendeta Kristen itu membuat Abi Thalib segera mempercepat
urusannya di Suriah dan segera pulang ke Mekah.
Gelar al-Amin
Pada usia 20 tahun, Muhammad SAW mendirikan Hilful-Fudûl, suatu lembaga yang
bertujuan membantu orang-orang miskin dan teraniaya. Saat itu di Mekah memang
sedang kacau akibat perselisihan yang terjadi antara suku Quraisy dengan suku Hawazin.
Melalui Hilful-Fudûl inilah sifat-sifat kepemimpinan Muhammad SAW mulai tampak.
Karena aktivitasnya dalam lembaga ini, disamping ikut membantu pamannya berdagang,
namanya semakin terkenal sebagai orang yang terpercaya. Relasi dagangnya semakin
meluas karena berita kejujurannya segera tersiar dari mulut ke mulut, sehingga ia
mendapat gelar Al-Amîn, yang artinya orang yang terpercaya.
Selain itu ia juga terkenal sebagai orang yang adil dan memiliki rasa kemanusiaan yang
tinggi. Suatu ketika bangunan Ka'bah rusak karena banjir. Penduduk Mekah kemudian
bergotong-royong memperbaiki Ka'bah. Saat pekerjaan sampai pada pengangkatan dan
peletakan Hajar Aswad ke tempatnya semula, terjadi perselisihan. Masing-masing suku
ingin mendapat kehormatan untuk melakukan pekerjaan itu. Akhirnya salah satu dari
mereka kemudian berkata, "Serahkan putusan ini pada orang yang pertama memasuki
pintu Shafa ini."
Mereka semua menunggu, kemudian tampaklah Muhammad SAW muncul dari sana.
Semua hadirin berseru, "Itu dia al-Amin, orang yang terpercaya. Kami rela menerima
semua keputusannya."
Pada usia 25 tahun, atas permintaan Khadijah binti Khuwailid, seorang saudagar kaya
raya, Muhammad SAW berangkat ke Suriah membawa barang dagangan saudagar wanita
yang telah lama menjanda itu. Ia dibantu oleh Maisaroh, seorang pembantu lelaki yang
telah lama bekerja pada Khadijah. Sejak pertemuan pertama dengan Muhammad SAW,
Khadijah telah menaruh simpati melihat penampilan Muhammad SAW yang sopan itu.
Kekagumannya semakin bertambah mengetahui hasil penjualan yang dicapai Muhammad
SAW di Suriah melebihi perkiraannya.
Pernikahan bahagia itu dikaruniai 6 orang anak, terdiri dari 2 anak lelaki bernama Al-
Qasim dan Abdullah, dan 4 anak perempuan bernama Zainab, Ruqayyah, Ummu
Kalsum, dan Fatimah. Kedua anak lelakinya meninggal selagi masih kecil. Nabi
Muhammad SAW tidak menikah lagi sampai Khadijah meninggal, saat Muhammad
SAW berusia 50 tahun.
Wahyu pertama
Menjelang usianya yang ke-40, Nabi Muhammad SAW sering berkhalwat (menyendiri)
ke Gua Hira, sekitar 6 km sebelah timur kota Mekah. Ia bisa berhari-hari bertafakur dan
beribadah disana. Suatu ketika, pada tanggal 17 Ramadhan/6 Agustus 611, ia melihat
cahaya terang benderang memenuhi ruangan gua itu. Tiba-tiba Malaikat Jibril muncul di
hadapannya sambil berkata, "Iqra' (bacalah)." Lalu Muhammad SAW menjawab, "Mâ
anâ bi qâri' (saya tidak dapat membaca)." Mendengar jawaban Muhammad SAW, Jibril
lalu memeluk tubuh Muhammad SAW dengan sangat erat, lalu melepaskannya dan
kembali menyuruh Muhammad SAW membaca. Namun setelah dilakukan sampai 3 kali
dan Muhammad SAW tetap memberikan jawaban yang sama, Malaikat Jibril kemudian
menyampaikan wahyu Allah SWT pertama, yang artinya:
Saat itu Muhammad SAW berusia 40 tahun 6 bulan 8 hari menurut perhitungan tahun
kamariah (penanggalan berdasarkan bulan), atau 39 tahun 3 bulan 8 hari menurut
perhitungan tahun syamsiah (penanggalan berdasarkan matahari). Dengan turunnya 5
ayat pertama ini, berarti Muhammad SAW telah dipilih oleh Allah SWT sebagai rasul.
Setelah pengalaman luar biasa di Gua Hira tsb, dengan rasa ketakutan dan cemas Nabi
Muhammad SAW pulang ke rumah dan berseru pada Khadijah, "Selimuti aku, selimuti
aku." Sekujur tubuhnya terasa panas dan dingin berganti-ganti. Setelah lebih tenang,
barulah ia bercerita kepada istrinya. Untuk lebih menenangkan hati suaminya, Khadijah
mengajak Nabi Muhammad SAW datang pada saudara sepupunya, Waraqah bin Naufal,
yang banyak mengetahui kitab-kitab suci Kristen dan Yahudi. Mendengar cerita yang
dialami Nabi Muhammad SAW, Waraqah pun berkata, "Aku telah bersumpah dengan
nama Tuhan, yang dalam tangan-Nya terletak hidup Waraqah, Tuhan telah memilihmu
menjadi nabi kaum ini. An-Nâmûs al-Akbar (Malaikat Jibril) telah datang kepadamu.
Kaummu akan mengatakan bahwa engkau penipu, mereka akan memusuhimu, dan
mereka akan melawanmu. Sungguh, sekiranya aku dapat hidup pada hari itu, aku akan
berjuang membelamu."
Dengan turunnya surat Al-Muddatsir ini, mulailah Rasulullah SAW berdakwah. Mula-
mula ia melakukannya secara sembunyi-sembunyi di lingkungan keluarga dan rekan-
rekannya. Orang pertama yang menyambut dakwahnya adalah Khadijah, istrinya. Dialah
yang pertama kali masuk Islam. Menyusul setelah itu adalah Ali bin Abi Thalib, saudara
sepupunya yang kala itu baru berumur 10 tahun, sehingga Ali menjadi lelaki pertama
yang masuk Islam. Kemudian Abu Bakar, sahabat karibnya sejak masa kanak-kanak.
Baru kemudian diikuti oleh Zaid bin Haritsah, bekas budak yang telah menjadi anak
angkatnya, dan Ummu Aiman, pengasuh Nabi SAW sejak ibunya masih hidup.
Abu Bakar sendiri kemudian berhasil mengislamkan beberapa orang teman dekatnya,
seperti, Usman bin Affan, Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin Auf, Sa'd bin Abi
Waqqas, dan Talhah bin Ubaidillah. Dari dakwah yang masih rahasia ini, belasan orang
telah masuk Islam.
Setelah beberapa lama Nabi SAW menjalankan dakwah secara diam-diam, turunlah
perintah agar Nabi SAW menjalankan dakwah secara terang-terangan. Mula-mula ia
mengundang kerabat karibnya dalam sebuah jamuan. Pada kesempatan itu ia
menyampaikan ajarannya. Namun ternyata hanya sedikit yang menerimanya. Sebagian
menolak dengan halus, sebagian menolak dengan kasar, salah satunya adalah Abu Lahab.
Langkah dakwah seterusnya diambil Nabi Muhammad SAW dalam pertemuan yang lebih
besar. Ia pergi ke Bukit Shafa, sambil berdiri di sana ia berteriak memanggil orang
banyak. Karena Muhammad SAW adalah orang yang terpercaya, penduduk yakin bahwa
pastilah terjadi sesuatu yang sangat penting, sehingga mereka pun berkumpul di sekitar
Nabi SAW.
Untuk menarik perhatian, mula-mula Nabi SAW berkata, "Saudara-saudaraku, jika aku
berkata, di belakang bukit ini ada pasukan musuh yang siap menyerang kalian,
percayakah kalian?"
Dengan serentak mereka menjawab, "Percaya, kami tahu saudara belum pernah
berbohong. Kejujuran saudara tidak ada duanya. Saudara yang mendapat gelar al-Amin."
Kemudian Nabi SAW meneruskan, "Kalau demikian, dengarkanlah. Aku ini adalah
seorang nazir (pemberi peringatan). Allah telah memerintahkanku agar aku
memperingatkan saudara-saudara. Hendaknya kamu hanya menyembah Allah saja. Tidak
ada Tuhan selain Allah. Bila saudara ingkar, saudara akan terkena azabnya dan saudara
nanti akan menyesal. Penyesalan kemudian tidak ada gunanya."
Tapi khotbah ini ternyata membuat orang-orang yang berkumpul itu marah, bahkan
sebagian dari mereka ada yang mengejeknya gila. Pada saat itu, Abu Lahab berteriak,
"Celakalah engkau hai Muhammad. Untuk inikah engkau mengumpulkan kami?"
Sebagai balasan terhadap ucapan Abu Lahab tsb turunlah ayat Al-Qur'an yang artinya:
Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa. Tidaklah
berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan. Kelak dia akan masuk ke
dalam api yang bergejolak. Dan (begitu pula) isterinya, pembawa kayu bakar. yang di
lehernya ada tali dari sabut. (QS. 111: 1-5)
Reaksi-reaksi keras menentang dakwah Nabi SAW bermunculan, namun tanpa kenal
lelah Nabi Muhammad SAW terus melanjutkan dakwahnya, sehingga hasilnya mulai
nyata. Hampir setiap hari ada yang menggabungkan diri dalam barisan pemeluk agama
Islam. Mereka terutama terdiri dari kaum wanita, budak, pekerja, dan orang-orang miskin
serta lemah. Meskipun sebagian dari mereka adalah orang-orang yang lemah, namun
semangat yang mendorong mereka beriman sangat membaja.
Tantangan dakwah terberat datang dari para penguasa Mekah, kaum feodal, dan para
pemilik budak. Mereka ingin mempertahankan tradisi lama disamping juga khawatir jika
struktur masyarakat dan kepentingan-kepentingan dagang mereka akan tergoyahkan oleh
ajaran Nabi Muhammad SAW yang menekankan pada keadilan sosial dan persamaan
derajat. Mereka menyusun siasat untuk melepaskan hubungan keluarga antara Abi Thalib
dan Nabi Muhammad SAW dengen cara meminta pada Abu Thalib memilih satu di
antara dua: memerintahkan Muhammad SAW agar berhenti berdakwah, atau
menyerahkannya kepada mereka. Abi Thalib terpengaruh oleh ancaman itu, ia meminta
agar Muhammad SAW menghentikan dakwahnya. Tetapi Muhammad SAW menolak
permintaannya dan berkata, "Demi Allah saya tidak akan berhenti memperjuangkan
amanat Allah ini, walaupun seluruh anggota keluarga dan sanak saudara mengucilkan
saya."
Mendengar jawaban ini, Abi Thalib pun berkata, "Teruskanlah, demi Allah aku akan
terus membelamu".
Gagal dengan cara pertama, kaum Quraisy lalu mengutus Walid bin Mugirah menemui
Abi Thalib dengan membawa seorang pemuda untuk dipertukarkan dengan Muhammad
SAW. Pemuda itu bernama Umarah bin Walid, seorang pemuda yang gagah dan tampan.
Walid bin Mugirah berkata, "Ambillah dia menjadi anak saudara, tetapi serahkan kepada
kami Muhammad untuk kami bunuh, karena dia telah menentang kami dan memecah
belah kita".
Usul Quraisy itu ditolak mentah-mentah oleh Abi Thalib dengan berkata, "Sungguh jahat
pikiran kalian. Kalian serahkan anak kalian untuk saya asuh dan beri makan, dan saya
serahkan kemenakan saya untuk kalian bunuh. Sungguh suatu penawaran yang tak
mungkin saya terima."
Setelah gagal dengan cara-cara diplomatik dan bujuk rayu, kaum Quraisy mulai
melakukan tindak kekerasan. Budak-budak mereka yang telah masuk Islam mereka siksa
dengan sangat kejam. Mereka dipukul, dicambuk, dan tidak diberi makan dan minum.
Salah seorang budak bernama Bilal, mendapat siksaan ditelentangkan di atas pasir yang
panas dan di atas dadanya diletakkan batu yang besar dan berat.
Setiap suku diminta menghukum anggota keluarganya yang masuk Islam sampai ia
murtad kembali. Usman bin Affan misalnya, dikurung dalam kamar gelap dan dipukul
hingga babak belur oleh anggota keluarganya sendiri. Secara keseluruhan, sejak saat itu
umat Islam mendapat siksaan yang pedih dari kaum Quraisy Mekah. Mereka dilempari
kotoran, dihalangi untuk melakukan ibadah di Ka'bah, dan lain sebagainya.
Rombongan pertama terdiri dari 10 orang pria dan 5 orang wanita. di antara rombongan
tsb adalah Usman bin Affan beserta istrinya Ruqayah (putri Rasulullah SAW), Zubair bin
Awwam, dan Abdur Rahman bin Auf. Kemudian menyusul rombongan kedua yang
dipimpin oleh Ja'far bin Abi Thalib. Beberapa sumber menyatakan jumlah rombongan ini
lebih dari 80 orang.
Berbagai usaha dilakukan oleh kaum Quraisy untuk menghalangi hijrah ke Habasyah ini,
termasuk membujuk raja negeri tsb agar menolak kehadiran umat Islam disana. Namun
berbagai usaha itu pun gagal. Semakin kejam mereka memperlakukan umat Islam, justru
semakin bertambah jumlah yang memeluk Islam. Bahkan di tengah meningkatnya
kekejaman tsb, dua orang kuat Quraisy masuk Islam, yaitu Hamzah bin Abdul Muthalib
dan Umar bin Khattab. Dengan masuk Islamnya dua orang yang dijuluki "Singa Arab"
itu, semakin kuatlah posisi umat Islam dan dakwah Muhammad SAW pada waktu itu.
Hal ini membuat reaksi kaum Quraisy semakin keras. Mereka berpendapat bahwa
kekuatan Nabi Muhammad SAW terletak pada perlindungan Bani Hasyim, maka mereka
pun berusaha melumpuhkan Bani Hasyim dengan melaksanakan blokade. Mereka
memutuskan segala macam hubungan dengan suku ini. Tidak seorang pun penduduk
Mekah boleh melakukan hubungan dengan Bani Hasyim, termasuk hubungan jual-beli
dan pernikahan. Persetujuan yang mereka buat dalam bentuk piagam itu mereka tanda-
tangani bersama dan mereka gantungkan di dalam Ka'bah. Akibatnya, Bani Hasyim
menderita kelaparan, kemiskinan, dan kesengsaraan. Untuk meringankan penderitaan itu,
Bani Hasyim akhirnya mengungsi ke suatu lembah di luar kota Mekah.
Tindakan pemboikotan yang dimulai pada tahun ke-7 kenabian Muhammad SAW dan
berlangsung selama 3 tahun itu merupakan tindakan yang paling menyiksa. Pemboikotan
itu berhenti karena terdapat beberapa pemimpin Quraisy yang menyadari bahwa tindakan
pemboikotan itu sungguh keterlaluan. Kesadaran itulah yang mendorong mereka
melanggar perjanjian yang mereka buat sendiri. Dengan demikian Bani Hasyim akhirnya
dapat kembali pulang ke rumah masing-masing.
Setelah Bani Hasyim kembali ke rumah mereka, Abi Thalib, paman Nabi SAW yang
merupakan pelindung utamanya, meninggal dunia dalam usia 87 tahun. Tiga hari
kemudian, Khadijah, istrinya, juga meninggal dunia. Tahun ke-10 kenabian ini benar-
benar merupakan Tahun Kesedihan ('Âm al-Huzn) bagi Nabi Muhammad SAW. Telebih
sepeninggal dua pendukungnya itu, kaum Quraisy tidak segan-segan melampiaskan
kebencian kepada Nabi SAW. Hingga kemudian Nabi SAW berusaha menyebarkan
dakwah ke luar kota, yaitu ke Ta'if. Namun reaksi yang diterima Nabi SAW dari Bani
Saqif (penduduk Ta'if), tidak jauh berbeda dengan penduduk Mekah. Nabi SAW diejek,
disoraki, dilempari batu sampai ia luka-luka di bagian kepala dan badannya.
Pada tahun ke-10 kenabian, Nabi Muhammad SAW mengalami peristiwa Isra Mi'raj.
Isra, yaitu perjalanan malam hari dari Masjidilharam di Mekah ke Masjidilaksa di
Yerusalem.
Mi'raj, yaitu kenaikan Nabi Muhammad SAW dari Masjidilaksa ke langit melalui
beberapa tingkatan, terus menuju Baitulmakmur, sidratulmuntaha, arsy (takhta Tuhan),
dan kursi (singgasana Tuhan), hingga menerima wahyu di hadirat Allah SWT.
Hijrah
Harapan baru bagi perkembangan Islam muncul dengan datangnya jemaah haji ke Mekah
yang berasal dari Yatsrib (Madinah). Nabi Muhammad SAW memanfaatkan kesempatan
itu untuk menyebarkan agama Allah SWT dengan mendatangi kemah-kemah mereka.
Namun usaha ini selalu diikuti oleh Abu Lahab dan kawan-kawannya dengan
mendustakan Nabi SAW.
Suatu ketika Nabi SAW bertemu dengan 6 orang dari suku Aus dan Khazraj yang berasal
dari Yatsrib. Setelah Nabi SAW menyampaikan pokok-pokok ajaran Islam, mereka
menyatakan diri masuk Islam di hadapan Nabi SAW. Mereka berkata, "Bangsa kami
sudah lama terlibat dalam permusuhan, yaitu antara suku Khazraj dan Aus. Mereka
benar-benar merindukan perdamaian. Kiranya kini Tuhan mempersatukan mereka
kembali dengan perantaramu dan ajaran-ajaran yang kamu bawa. Oleh karena itu kami
akan berdakwah agar mereka mengetahui agama yang kami terima dari kamu ini."
Pada musim haji tahun berikutnya, datanglah delegasi Yatsrib yang terdiri dari 12 orang
suku Khazraj dan Aus. Mereka menemui Nabi SAW di suatu tempat bernama Aqabah. Di
hadapan Nabi SAW, mereka menyatakan ikrar kesetiaan. Karena ikrar ini dilakukan di
Aqabah, maka dinamakan Bai'at Aqabah. Rombongan 12 orang tsb kemudian kembali ke
Yatsrib sebagai juru dakwah dengan ditemani oleh Mus'ab bin Umair yang sengaja diutus
oleh Nabi SAW atas permintaan mereka.
Pada musim haji berikutnya, jemaah haji yang datang dari Yatsrib berjumlah 75 orang,
termasuk 12 orang yang sebelumnya telah menemui Nabi SAW di Aqabah. Mereka
meminta agar Nabi SAW bersedia pindah ke Yatsrib. Mereka berjanji akan membela
Nabi SAW dari segala ancaman. Nabi SAW menyetujui usul yang mereka ajukan.
Pada malam hari yang direncanakan, di tengah malam buta Nabi SAW keluar dari
rumahnya tanpa diketahui oleh para pengepung dari kalangan kaum Quraisy. Nabi SAW
menemui Abu Bakar yang telah siap menunggu. Mereka berdua keluar dari Mekah
menuju sebuah Gua Tsur, kira-kira 3 mil sebelah selatan Kota Mekah. Mereka
bersembunyi di gua itu selama 3 hari 3 malam menunggu keadaan aman. Pada malam ke-
4, setelah usaha orang Quraisy mulai menurun karena mengira Nabi SAW sudah sampai
di Yatsrib, keluarlah Nabi SAW dan Abu Bakar dari persembunyiannya. Pada waktu itu
Abdullah bin Uraiqit yang diperintahkan oleh Abu Bakar pun tiba dengan membawa 2
ekor unta yang memang telah dipersiapkan sebelumnya. Berangkatlah Nabi SAW
bersama Abu Bakar menuju Yatsrib menyusuri pantai Laut Merah, suatu jalan yang tidak
pernah ditempuh orang.
Setelah 7 hari perjalanan, Nabi SAW dan Abu Bakar tiba di Quba, sebuah desa yang
jaraknya 5 km dari Yatsrib. Di desa ini mereka beristirahat selama beberapa hari. Mereka
menginap di rumah Kalsum bin Hindun. Di halaman rumah ini Nabi SAW membangun
sebuah masjid yang kemudian terkenal sebagai Masjid Quba. Inilah masjid pertama yang
dibangun Nabi SAW sebagai pusat peribadatan.
Tak lama kemudian, Ali menggabungkan diri dengan Nabi SAW. Sementara itu
penduduk Yatsrib menunggu-nunggu kedatangannya. Menurut perhitungan mereka,
berdasarkan perhitungan yang lazim ditempuh orang, seharusnya Nabi SAW sudah tiba
di Yatsrib. Oleh sebab itu mereka pergi ke tempat-tempat yang tinggi, memandang ke
arah Quba, menantikan dan menyongsong kedatangan Nabi SAW dan rombongan.
Akhirnya waktu yang ditunggu-tunggu pun tiba. Dengan perasaan bahagia, mereka
mengelu-elukan kedatangan Nabi SAW. Mereka berbaris di sepanjang jalan dan
menyanyikan lagu Thala' al-Badru, yang isinya:
Sejak itu nama kota Yatsrib diubah menjadi Madînah an-Nabî (kota nabi). Orang sering
pula menyebutnya Madînah al-Munawwarah (kota yang bercahaya), karena dari sanalah
sinar Islam memancar ke seluruh dunia.
Setelah Nabi SAW tiba di Madinah dan diterima penduduk Madinah, Nabi SAW menjadi
pemimpin penduduk kota itu. Ia segera meletakkan dasar-dasar kehidupan yang kokoh
bagi pembentukan suatu masyarakat baru.
Dasar kedua adalah sarana terpenting untuk mewujudkan rasa persaudaraan tsb, yaitu
tempat pertemuan. Sarana yang dimaksud adalah masjid, tempat untuk melakukan ibadah
kepada Allah SWT secara berjamaah, yang juga dapat digunakan sebagai pusat kegiatan
untuk berbagai hal, seperti belajar-mengajar, mengadili perkara-perkara yang muncul
dalam masyarakat, musyawarah, dan transaksi dagang.
Nabi SAW merencanakan pembangunan masjid itu dan langsung ikut membangun
bersama-sama kaum muslimin. Masjid yang dibangun ini kemudian dikenal sebagai
Masjid Nabawi. Ukurannya cukup besar, dibangun di atas sebidang tanah dekat rumah
Abu Ayyub al-Anshari. Dindingnya terbuat dari tanah liat, sedangkan atapnya dari daun-
daun dan pelepah kurma. Di dekat masjid itu dibangun pula tempat tinggal Nabi SAW
dan keluarganya.
Dasar ketiga adalah hubungan persahabatan dengan pihak-pihak lain yang tidak
beragama Islam. Di Madinah, disamping orang-orang Arab Islam juga masih terdapat
golongan masyarakat Yahudi dan orang-orang Arab yang masih menganut agama nenek
moyang mereka. Agar stabilitas masyarakat dapat diwujudkan, Nabi Muhammad SAW
mengadakan ikatan perjanjian dengan mereka. Perjanjian tsb diwujudkan melalui sebuah
piagam yang disebut dengan Mîsâq Madînah atau Piagam Madinah. Isi piagam itu antara
lain mengenai kebebasan beragama, hak dan kewajiban masyarakat dalam menjaga
keamanan dan ketertiban negerinya, kehidupan sosial, persamaan derajat, dan disebutkan
bahwa Rasulullah SAW menjadi kepala pemerintahan di Madinah.
Masyarakat yang dibentuk oleh Nabi Muhammad SAW di Madinah setelah hijrah itu
sudah dapat dikatakan sebagai sebuah negara, dengan Nabi Muhammad SAW sebagai
kepala negaranya. Dengan terbentuknya Negara Madinah, Islam makin bertambah kuat.
Perkembangan Islam yang pesat itu membuat orang-orang Mekah menjadi resah. Mereka
takut kalau-kalau umat Islam memukul mereka dan membalas kekejaman yang pernah
mereka lakukan. Mereka juga khawatir kafilah dagang mereka ke Suriah akan diganggu
atau dikuasai oleh kaum muslimin.
Untuk memperkokoh dan mempertahankan keberadaan negara yang baru didirikan itu,
Nabi SAW mengadakan beberapa ekspedisi ke luar kota, baik langsung di bawah
pimpinannya maupun tidak. Hamzah bin Abdul Muttalib membawa 30 orang berpatroli
ke pesisir L. Merah. Ubaidah bin Haris membawa 60 orang menuju Wadi Rabiah. Sa'ad
bin Abi Waqqas ke Hedzjaz dengan 8 orang Muhajirin. Nabi SAW sendiri membawa
pasukan ke Abwa dan disana berhasil mengikat perjanjian dengan Bani Damra, kemudian
ke Buwat dengan membawa 200 orang Muhajirin dan Anshar, dan ke Usyairiah. Di sini
Nabi SAW mengadakan perjanjian dengan Bani Mudij.
Ekspedisi-ekspedisi tsb sengaja digerakkan Nabi SAW sebagai aksi-aksi siaga dan
melatih kemampuan calon pasukan yang memang mutlak diperlukan untuk melindungi
dan mempertahankan negara yang baru dibentuk. Perjanjian perdamaian dengan kabilah
dimaksudkan sebagai usaha memperkuat kedudukan Madinah.
Perang Badr
Perang Badr yang merupakan perang antara kaum muslimin Madinah dan kaun
musyrikin Quraisy Mekah terjadi pada tahun 2 H. Perang ini merupakan puncak dari
serangkaian pertikaian yang terjadi antara pihak kaum muslimin Madinah dan kaum
musyrikin Quraisy. Perang ini berkobar setelah berbagai upaya perdamaian yang
dilaksanakan Nabi Muhammad SAW gagal.
Tentara muslimin Madinah terdiri dari 313 orang dengan perlengkapan senjata sederhana
yang terdiri dari pedang, tombak, dan panah. Berkat kepemimpinan Nabi Muhammad
SAW dan semangat pasukan yang membaja, kaum muslimin keluar sebagai pemenang.
Abu Jahal, panglima perang pihak pasukan Quraisy dan musuh utama Nabi Muhammad
SAW sejak awal, tewas dalam perang itu. Sebanyak 70 tewas dari pihak Quraisy, dan 70
orang lainnya menjadi tawanan. Di pihak kaum muslimin, hanya 14 yang gugur sebagai
syuhada. Kemenangan itu sungguh merupakan pertolongan Allah SWT (QS. 3: 123).
Orang-orang Yahudi Madinah tidak senang dengan kemenangan kaum muslimin. Mereka
memang tidak pernah sepenuh hati menerima perjanjian yang dibuat antara mereka dan
Nabi Muhammad SAW dalam Piagam Madinah.
Sementara itu, dalam menangani persoalan tawanan perang, Nabi Muhammad SAW
memutuskan untuk membebaskan para tawanan dengan tebusan sesuai kemampuan
masing-masing. Tawanan yang pandai membaca dan menulis dibebaskan bila bersedia
mengajari orang-orang Islam yang masih buta aksara. Namun tawanan yang tidak
memiliki kekayaan dan kepandaian apa-apa pun tetap dibebaskan juga.
Tidak lama setelah perang Badr, Nabi Muhammad SAW mengadakan perjanjian dengan
suku Badui yang kuat. Mereka ingin menjalin hubungan dengan Nabi SAW karenan
melihat kekuatan Nabi SAW. Tetapi ternyata suku-suku itu hanya memuja kekuatan
semata.
Sesudah perang Badr, Nabi SAW juga menyerang Bani Qainuqa, suku Yahudi Madinah
yang berkomplot dengan orang-orang Mekah. Nabi SAW lalu mengusir kaum Yahudi itu
ke Suriah.
Perang Uhud
Perang yang terjadi di Bukit Uhud ini berlangsung pada tahun 3 H. Perang ini disebabkan
karena keinginan balas dendam orang-orang Quraisy Mekah yang kalah dalam perang
Badr.
Pasukan Quraisy, dengan dibantu oleh kabilah Tihama dan Kinanah, membawa 3.000
ekor unta dan 200 pasukan berkuda di bawah pimpinan Khalid bin Walid. Tujuh ratus
orang di antara mereka memakai baju besi.
Adapun jumlah pasukan Nabi Muhammad SAW hanya berjumlah 700 orang.
Perang pun berkobar. Prajurit-prajurit Islam dapat memukul mundur pasukan musuh yang
jauh lebih besar itu. Tentara Quraisy mulai mundur dan kocar-kacir meninggalkan harta
mereka.
Melihat kemenangan yang sudah di ambang pintu, pasukan pemanah yang ditempatkan
oleh Rasulullah di puncak bukit meninggalkan pos mereka dan turun untuk mengambil
harta peninggalan musuh. Mereka lupa akan pesan Rasulullah untuk tidak meninggalkan
pos mereka dalam keadaan bagaimana pun sebelum diperintahkan. Mereka tidak lagi
menghiraukan gerakan musuh. Situasi ini dimanfaatkan musuh untuk segera melancarkan
serangan balik. Tanpa konsentrasi penuh, pasukan Islam tak mampu menangkis serangan.
Mereka terjepit, dan satu per satu pahlawan Islam berguguran.
Nabi SAW sendiri terkena serangan musuh. Sisa-sisa pasukan Islam diselamatkan oleh
berita tidak benar yang diterima musuh bahwa Nabi SAW sudah meninggal. Berita ini
membuat mereka mengendurkan serangan untuk kemudian mengakhiri pertempuran itu.
Perang Uhuh ini menyebabkan 70 orang pejuang Islam gugur sebagai syuhada.
Perang Khandaq
Perang yang terjadi pada tahun 5 H ini merupakan perang antara kaum muslimin
Madinah melawan masyarakat Yahudi Madinah yang mengungsi ke Khaibar yang
bersekutu dengan masyarakat Mekah. Karena itu perang ini juga disebut sebagai Perang
Ahzab (sekutu beberapa suku).
Pasukan gabungan ini terdiri dari 10.000 orang tentara. Salman al-Farisi, sahabat
Rasulullah SAW, mengusulkan agar kaum muslimin membuat parit pertahanan di bagian-
bagian kota yang terbuka. Karena itulah perang ini disebut sebagai Perang Khandaq yang
berarti parit.
Tentara sekutu yang tertahan oleh parit tsb mengepung Madinah dengan mendirikan
perkemahan di luar parit hampir sebulan lamanya. Pengepungan ini cukup membuat
masyarakat Madinah menderita karena hubungan mereka dengan dunia luar menjadi
terputus. Suasana kritis itu diperparah pula oleh pengkhianatan orang-orang Yahudi
Madinah, yaitu Bani Quraizah, dibawah pimpinan Ka'ab bin Asad.
Perjanjian Hudaibiyah
Pada tahun 6 H, ketika ibadah haji sudah disyariatkan, hasrat kaum muslimin untuk
mengunjungi Mekah sangat bergelora. Nabi SAW memimpin langsung sekitar 1.400
orang kaum muslimin berangkat umrah pada bulan suci Ramadhan, bulan yang dilarang
adanya perang. Untuk itu mereka mengenakan pakaian ihram dan membawa senjata ala
kadarnya untuk menjaga diri, bukan untuk berperang.
Sebelum tiba di Mekah, mereka berkemah di Hudaibiyah yang terletak beberapa
kilometer dari Mekah.
Orang-orang kafir Quraisy melarang kaum muslimin masuk ke Mekah dengan
menempatkan sejumlah besar tentara untuk berjaga-jaga.
Akhirnya diadakanlah Perjanjian Hudaibiyah antara Madinah dan Mekah, yang isinya
antara lain:
1. Kedua belah pihak setuju untuk melakukan gencatan senjata selama 10 tahun.
2. Bila ada pihak Quraisy yang menyeberang ke pihak Muhammad, ia harus
dikembalikan. Tetapi bila ada pengikut Muhammad SAW yang menyeberang ke
pihak Quraisy, pihak Quraisy tidak harus mengembalikannya ke pihak
Muhammad SAW.
3. Tiap kabilah bebas melakukan perjanjian baik dengan pihak Muhammad SAW
maupun dengan pihak Quraisy.
4. Kaum muslimin belum boleh mengunjungi Ka'bah pada tahun tsb, tetapi
ditangguhkan sampai tahun berikutnya.
5. Jika tahun depan kaum muslimin memasuki kota Mekah, orang Quraisy harus
keluar lebih dulu.
6. Kaum muslimin memasuki kota Mekah dengan tidak diizinkan membawa senjata,
kecuali pedang di dalam sarungnya, dan tidak boleh tinggal di Mekah lebih dari 3
hari 3 malam.
Tujuan Nabi SAW membuat perjanjian tsb sebenarnya adalah berusaha merebut dan
menguasai Mekah, untuk kemudian dari sana menyiarkan Islam ke daerah-daerah lain.
Ada 2 faktor utama yang mendorong kebijaksanaan ini:
Setahun kemudian ibadah haji ditunaikan sesuai perjanjian. Banyak orang Quraisy yang
masuk Islam setelah menyaksikan ibadah haji yang dilakukan kaum muslimin, disamping
juga melihat kemajuan yang dicapai oleh masyarakat Islam Madinah.
Gencatan senjata dengan penduduk Mekah memberi kesempatan kepada Nabi SAW
untuk mengalihkan perhatian ke berbagai negeri-negeri lain sambil memikirkan
bagaimana cara mengislamkan mereka. Salah satu cara yang ditempuh oleh Nabi SAW
kemudian adalah dengan mengirim utusan dan surat ke berbagai kepala negara dan
pemerintahan.
di antara raja-raja yang dikirimi surat oleh Nabi SAW adalah raja Gassan dari Iran, raja
Mesir, Abessinia, Persia, dan Romawi. Memang dengan cara itu tidak ada raja-raja yang
masuk Islam, namun setidaknya risalah Islam sudah sampai kepada mereka. Reaksi para
raja itu pun ada yang menolak dengan baik dan simpatik sambil memberikan hadiah, ada
pula yang menolak dengan kasar.
Raja Gassan termasuk yang menolak dengan kasar. Utusan yang dikirim Nabi SAW
dibunuhnya dengan kejam. Sebagai jawaban, Nabi SAW kemudian mengirim pasukan
perang sebanyak 3.000 orang dibawah pimpinan Zaid bin Haritsah. Peperangan terjadi di
Mu'tah, sebelah utara Semenanjung Arab.
Pasukan Islam mendapat kesulitan menghadapi tentara Gassan yang mendapat bantuan
langsung dari Romawi. Beberapa syuhada gugur dalam pertempuran melawan pasukan
berkekuatan ratusan ribu orang itu. di antara mereka yang gugur adalah Zaid bin Haritsah
sendiri, Ja'far bin Abi Thalib, dan Abdullah bin Abi Rawahah.
Melihat kekuatan yang tidak seimbang itu, Khalid bin Walid, bekas panglima Quraisy
yang sudah masuk Islam, mengambil alih komando dan memerintahkan pasukan Islam
menarik diri dan kembali ke Madinah.
Perang melawan tentara Gassan dan pasukan Romawi ini disebut dengan Perang Mu'tah.
Kembali ke Mekah
"...Kebenaran sudah datang dan yang bathil telah lenyap. Sesungguhnya yang bathil itu
adalah sesuatu yang pasti lenyap."(QS. 17: 81)
Setelah Mekah dapat dikalahkan, masih terdapat suku-suku Arab yang menentang, yaitu
Bani Saqif, Bani Hawazin, Bani Nasr, dan Bani Jusyam. Suku-suku ini berkomplot
membentuk satu pasukan untuk memerangi Islam karena ingin menuntut bela atas
berhala-berhala mereka yang diruntuhkan Nabi SAW dan umat Islam di Ka'bah. Pasukan
mereka dipimpin oleh Malik bin Auf (dari Bani Nasr).
Dalam perjalanan mereka ke Mekah, mereka berkemah di Lembah Hunain yang sangat
strategis.
Kurang lebih 2 minggu kemudian, Nabi SAW memimpin sekitar 12.000 tentara menuju
Hunain. Saat melihat banyak pasukan Islam yang gugur, sebagian pasukan yang masih
hidup menjadi goyah dan kacau balau, sehingga Nabi SAW kemudian memberi semangat
dan memimpin langsung peperangan tsb. Akhirnya umat Islam berhasil menang. Pasukan
musuh yang melarikan diri ke Ta'if terus diburu selama beberap minggu sampai akhirnya
mereka menyerah. Pemimpin mereka, Malik bin Auf, menyatakan diri masuk Islam.
Dengan ditaklukannya Bani Saqif dan Bani Hawazin, kini seluruh Semenanjung Arab
berada di bawah satu kepemimpinan, yaitu kepemimpinan Nabi Muhammad SAW.
Melihat kenyataan itu, Heraclius, pemimpin Romawi, menyusun pasukan besar di Suriah,
kawasan utara Semenanjung Arab yang merupakan daerah pendudukan Romawi. Dalam
pasukan besar itu bergabung Bani Gassan dan Bani Lachmides.
Dalam masa panen dan pada musim yang sangat panas, banyak pahlawan Islam yang
menyediakan diri untuk berperang bersama Nabi SAW. Pasukan Romawi kemudian
menarik diri setelah melihat betapa besarnya pasukan yang dipimpin Nabi SAW. Nabi
SAW sendiri tidak melakukan pengejaran, melainkan ia berkemah di Tabuk. Disini Nabi
SAW membuat beberapa perjanjian dengan penduduk setempat. Dengan demikian daerah
perbatasan itu dapat dirangkul ke dalam barisan Islam.
Perang yang terjadi di Tabuk ini merupakan perang terakhir yang diikuti Rasulullah
SAW.
Pada tahun 9 dan 10 H banyak suku dari seluruh pelosok Arab yang mengutus
delegasinya kepada Nabi Muhammad SAW untuk menyatakan tunduk kepada Nabi
SAW. Masuknya orang Mekah ke dalam agama Islam mempunyai pengaruh yang amat
besar pada penduduk Arab. Oleh karena itu, tahun ini disebut dengan Tahun Perutusan
atau 'Âm al-Bi'sah. Mereka yang datang ke Mekah, rombongan demi rombongan,
mempelajari ajaran-ajaran Islam dan setelah itu kembali ke negeri masing-masing untuk
mengajarkan kepada kaumnya. Dengan cara ini, persatuan Arab terbentuk. Peperangan
antar suku yang berlangsung selama ini berubah menjadi persaudaraan agama. Pada saat
itu turunlah firman Allah SWT:
Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu lihat manusia masuk
agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Rabbmu
dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat.
(QS. 110: 1-3)
Kini apa yang ditugaskan kepada Nabi Muhammad SAW sudah tercapai.
Di tengah-tengah suatu bangsa yang tenggelam dalam kebiadaban, telah lahir seorang
nabi.
Ia telah berhasil membacakan ayat-ayat Allah SWT kepada mereka dan mensucikannya
serta mengajarkan kitab dan hikmah kepada mereka, padahal sebelumnya mereka berada
dalam kegelapan yang pekat.
Pada awalnya Nabi Muhammad SAW mendapati mereka bergelimang dalam ketakhyulan
yang merendahkan derajat manusia, lalu ia mengilhami mereka dengan kepercayaan
kepada satu-satunya Tuhan yang Maha Besar dan Maha Kasih Sayang.
Saat mereka bercerai-berai dan terlibat dalam peperangan yang seolah tak ada habisnya,
dipersatukannya mereka dalam ikatan persaudaraan.
Kalau sebelumnya Semenanjung Arab berada dalam kegelapan rohani, maka ia datang
membawa cahaya terang-benderang untuk menyinari rohani mereka.
Pekerjaannya selesai sudah, dan seluruhnya dikerjakan dengan baik semasa hidupnya.
Disinilah letak keunggulan Nabi Muhammad SAW dibanding dengan nabi-nabi yang
lain.
Pada tahun 10 H, Nabi SAW mengerjakan ibadah haji yang terakhir, yang disebut juga
dengan haji wada'.
Pada tanggal 25 Zulkaidah 10/23 Februari 632 Rasulullah SAW meninggalkan Madinah.
Sekitar seratus ribu jemaah turut menunaikan ibadah haji bersamanya.
Pada waktu wukuf di Arafah, Nabi Muhammad SAW menyampaikan khotbahnya yang
sangat bersejarah. Isi khotbah itu antara lain:
• larangan menumpahkan darah kecuali dengan haq (benar) dan mengambil harta
orang lain dengan bathil (salah), karena nyawa dan harta benda adalah suci.
• larangan riba dan larangan menganiaya
• perintah untuk memperlakukan para istri dengan baik serta lemah lembut
• perintah menjauhi dosa
• semua pertengkaran di antara mereka di zaman Jahiliah harus dimaafkan
• pembalasan dengan tebusan darah sebagaimana yang berlaku di zaman Jahiliyah
tidak lagi dibenarkan
• persaudaraan dan persamaan di antara manusia harus ditegakkan
• hamba sahaya harus diperlakukan dengan baik, yaitu mereka memakan apa yang
dimakan majikannya dan memakai apa yang dipakai majikannya
• dan yang terpenting, bahwa umat Islam harus selalu berpegang teguh pada dua
sumber yang tak akan pernah usang, yaitu Al-Qur'an dan Sunah Nabi SAW.
Setelah itu Nabi SAW bertanya kepada seluruh jemaah, "Sudahkan aku menyampaikan
amanat Allah, kewajibanku, kepada kamu sekalian?"
Jemaah yang ada di hadapannya segera menjawab, "Ya, memang demikian adanya."
Nabi Muhammad SAW kemudian menengadah ke langit sambil mengucapkan, "Ya
Allah, Engkaulah menjadi saksiku."
Dengan kata-kata seperti itu Rasulullah SAW mengakhiri khotbahnya.
Kembali ke Madinah
Setelah upacara haji yang lain disempurnakan, Nabi Muhammad SAW kembali ke
Madinah. Disinilah ia menghabiskan sisa hidupnya. Ia mengatur organisasi masyarakat di
kabilah-kabilah yang telah memeluk Islam dan menjadi bagian dari persekutuan Islam.
Petugas keamanan dan para da'i dikirimnya ke berbagai daerah untuk menyebarkan
ajaran-ajaran Islam, mengatur peradilan Islam, dan memungut zakat. Salah seorang di
antara petugas itu adalah Mu'az bin Jabal yang dikirim oleh Nabi SAW ke Yaman. Ketika
itulah hadist Mu'az yang terkenal muncul, yaitu perintah Nabi SAW agar Mu'az
menggunakan pertimbangan akalnya dalam mengatur persoalan-persoalan agama apabila
ia tidak menemukan petunjuk dalam Al-Qur'an dan hadist Nabi SAW.
Pada saat-saat itu pula wahyu Allah SWT yang terakhir turun:
"... Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan
kepadamu nimat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu ..." (QS. 5: 3)
Mendengar ayat ini, banyak orang yang bergembira karena telah sempurna agama
mereka, tetapi ada pula yang menangis, seperti Abu Bakar, karena mengetahui bahwa
ayat itu jelas merupakan pertanda berakhirnya tugas Rasulullah SAW.
Dua bulan setelah menunaikan ibadah haji wada' di Madinah, Nabi SAW sakit demam.
Meskipun badannya mulai lemah, ia tetap memimpin shalat berjamaah. Baru setelah
kondisinya tidak memungkinkan lagi, yaitu 3 hari menjelang wafatnya, ia tidak
mengimami shalat berjamaah. Sebagai gantinya ia menunjuk Abu Bakar sebagai imam
shalat. Tenaganya dengan cepat semakin berkurang.
Pada tanggal 13 Rabiulawal 11/8 Juni 632, Nabi Muhammad SAW menghembuskan
nafasnya yang terakhir di rumah istrinya, Aisyah binti Abu Bakar, dengan wasiat terakhir,
"Ingatlah shalat, dan taubatlah...".
Ummul Mukminin
Setelah Khadijah meninggal, Nabi Muhammad menikah lagi sebanyak 10 kali, sehingga
jumlah wanita yang menjadi istrinya ada 11 orang. Kesebelas wanita ini disebut sebagai
Ummul Mukminin (ibu dari orang-orang yang beriman). Sebutan tsb menunjukkan bahwa
para istri Nabi SAW adalah wanita-wanita yang terpilih dan dimuliakan Allah SWT.
Nabi SAW menikahi para wanita itu karena beberapa alasan, antara lain untuk
melindungi mereka dari tekanan kaum musyrikin, membebaskannya dari status tawanan
perang, dan mengangkat derajatnya. Tidak jarang pernihakan yang dilakukan Nabi SAW
menciptakan hubungan perdamaian antara dua suku yang sebelumnya saling bermusuhan.
Beberapa dari istri Nabi SAW ini juga menjadi periwayat hadist, yaitu Aisyah, Hafsah,
dan Zainab binti Jahsy.
Ilmu Rasmul Qur’an
Ilmu Rasmul Qur’an adalah ilmu yang mempelajari tentang penulisan Mushaf Al-Qur’an
yang dilakukan dengan cara khusus, baik dalam penulisan lafal-lafalnya maupun bentuk-
bentuk huruf yang digunakan. Rasimul Qur’an dikenal juga dengan nama Rasm Utsmani.
Yang dimaksud dengan Rasm Al-Qur’an atau Rasm Utsmani atau Rasm
Utsman adalah tata cara menuliskan Al-Qur’an yang ditetapkan pada masa khlalifah
bin Affan. Istilah rasm dalam Islam Al-Qur’an diartikan sebagai pola penulisan al-
Qur’an yang digunakan Ustman bin Affan dan sahabat-sahabatnya ketika menulis dan
membukukan Al-Qur’an. Istilah Rasm Ustman lahir bersamaan dengan lahirnya Mus
bin zubair, Said bin Al-Ash, dan Abdurrahman bin Al-harits. Mushaf Utsman ditulis
dengan kaidah tertentu. Para ulama meringkas kaidah itu menjadi enam istilah, yaitu :
e. Washal dan fashl (penyambungan dan pemisahan), seperti kata kul yang diringi
kata ma ditulis dengan disambung ( ).
f. Kata yang dapat dibaca dua bunyi. Penulisan kata yang dapat dibaca dua bunyi
disesuaikan dengan salah satu bunyi. Didalam mushaf Utsmani, penulisan kata
semacam itu ditulis dengan menghilangkan alif (yakni dibaca dua alif), boleh juga
dengan hanya menurut buyi harakat (yakni dibaca satu alif).
Jumbur ulama berpendapat bahwa pola rams Utsmani bersifat dengan alasan
bahwa para penulis wahyu adalah sahabat-sahabat yang ditunjuk dan dipercayai Nabi
saw. Pola penulisan tersebut bukan merupakan ijtihad para sahabat Nabi, dan para
sahabat tidak mungkin melakukan kesepakatan (ijma) dalam hal-hal yang
bertentangan dengan kehendak dan restu Nabi
Sekelompok ulama berpendapat lain, bahwa pola penulisan didalam rams
Ustmani tidak bersifat taufiqi, tetapi hanya ijtihad para sahabat. Tidak pernah
ditemukan riyawat Nabi mengenai ketentuan pola penulisan wahyu. Bahkan sebuah
riwayat Nabi mengenai ketentuan pola penulisan wahyu. Bahkan sebuah riwayat
dikutip oleh Rajab Farjani : “Sesungguhnya Rasulullah saw, memerintahkan menulis
Al-Qur’an, tetapi tidak memberikan petunjuk teknis penulisannya, dan tidak pula
melarang menulisnya dengan pola-pola tertentu.
“Tidak seujung rambutpun dari huruf Qur’ani yang ditulis oleh seorang
sahabat Nabi atau lainnya. Rasm Qur’ani adalah tauqif dari Nabi (yakni atas dasar
petunjuk dan tuntunan langsung dari Rasulullah SAW). Beliaulah yang menyuruh
mereka (para sahabat) menulis rasm qur’ani itu dalam bentuk yang kita kenal,
termasuk tambahan huruf alif dan pengurangannya, untuk kepentingan rahasia yang
tidak dapat dijangkau akal fikiran, yaitu rahasia yang dikhususkan Allah bagi kitab-
kitab suci lainnya”.
Lagi pula, seandainya itu petunjuk Nabi, rasm itu akan disebut rasm Nabawi,
bukannya rasm ‘Utsmani. Belum lagi ummi Nabi diartikan sebagai buta huruf, yang
berarti tidak mungkin petunjuk teknis datang dari Nabi. Tidak pernah ditemukan
suatu riwayat, baik dari Nabi maupun sahabat bahwa pola penulisan Al Qur’an itu
berasal dari Nabi.
Ulama yang tidak mengakui rasm ‘Utsmani sebagai rasm tauqifi, berpendapat
bahwa tidak ada masalah jika Al Qur’an ditulis dengan pola penulisan standar (rasm
imla’i). Soal pola penulisan diserahkan kepada pembaca. Kalau pembaca lebih mudah
dengan rasm imla’i, ia dapat menulisnya dengan pola tersebut, karena pola penulisan
itu hanya simbol pembacaan, dan tidak mempengaruhi makna Al Qur’an.
C. Perkembangan Rasm Al Qur’an
Pada mulanya mushaf para sahabat berbeda antara satu dengan lainnya.
Mereka mencatat wahyu Al Qur’an tanpa pola penulisan standar. Karena umumnya
dimaksudkan hanya untuk kebutuhan pribadi, tidak direncanakan akan diwariskan
kepada generasi sesudahnya. Di antara mereka ada yang menyelipkan catatan-catatan
tambahan dari penjelasan Nabi, ada lagi yang menambahkan simbol-simbol tertentu
dan tulisannya yang hanya diketahui oleh penulisnya.
Al-Dawali memberikan tanda baca baris atas (fathah) berupa sebuah titik di
atas huruf ()ﹿ, sebuah titik di bawah huruf ( ) sebagai tana baris bawah (kasrah),k
tanda dhammah ben pa wawu kecil ( ) diantara dua huruf, dan tanpa apa-apa lagi
huruf konsonan mati.
Adanya kekeliruan (lahn) ini, diakui oleh Ustman sendiri. Ibnu Abi Daud
meriwayatkan bahwa setelah mereka menyelesaikan naskh Al-Mahsahif, mereka
membawa sebuah mushaf kepada Utsman, kemudian beliau melihatnya dan
mengatakan : “Sungguh kalian telah melakukan hal yang baik. Didalamnya aku
melihat ada kekeliruan (lahn) yang lanjutnya Utsman mengatakan : “Seandainya
yang mengimlakan dan Hudzail dan yang menulis dari tsaqif, tentu ini tidak akan
terjadi diatasnya.
Dari uraian diatas dapat kami ambil sebuah simpulan yaitu sebagai berikut :
1. Ilmu Rasmul Qur’an adalah ilmu yang mempelajari tentang penulisan mushaf al-
Qur’an yang dilakukan dengan cara khusus, baik dalam penulisan lafal-lafalnya,
maupun bentuk-bentuk huruf yang digunakan.
2. Orang yang pertama memberikan tanda-tanda pada huruf-huruf yang hampir
sama dan baris harakat adalah Abu Aswad Ad-Duali.
3. Kaidah yang digunakan dalam penulisan mushaf usmani adalah :
a. Al-Hadzf (membuang, menghilangkan atau meniadakan huruf).
b. Al-Jiyadah (penambahan)
c. Al-Hamzah
d. Badal (penggantian)
e. Wasal dan Fasl (penyambungan dan pemisahan)
f. Kata yang dapat dibaca dan bunyi.
4. Dengan adanya Rasm Al-Qur’an dapat memudahkan kita dalam membaca dan
memahami kandungan Al-Qur’an.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar Rosihon, Ulumul Qur’an. Bandung : Pustaka Setia. 2000.
Shihab, Quraish Muhammad, dkk, Sejarah dan Ulum Al-Qur’an, Jakarta : Pustaka
Firdaus. 2000.
As-Shalih, Subhi, Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur’an. Jakarta : Pustaka Firdaus.
1990.
Rahmad, Jalaluddin, dkk, Belajar Mudah Ulum Al-Qur’an. Jakarta : Lentera
Basritama. 2002.
Syadali Ahmad, M.A dan Ahmad Rafi’i. Ulumul Qur’an II, Bandung, CV.
Pustaka Setia. 1997.
JAM`UL QUR`AN
A. JAM`UL QUR`AN
1. Penggagas Pertama Pengumpulan Al Qur`an
a. Pengumpulan al Qur`an pada Masa Nabi
Ali bin Abi Thalib sebagai pengumpul pertama al Qur`an pada masa Nabi berdasarkan
perintah Nabi sendiri. Di kalangan Syi`ah menegaskan Ali bin Abi Thalib sebagai orang
pertama yang mengumpulkan al Qur`an setelah wafatnya Nabi. Sumber-sumber Sunni
juga mengungkapkan bahwa Ali memiliki kumpulan al Qur`an. Di kalangan ortodok
Islam, pengumpula al Qur`an dapat dilakukan secara resmi pada masa pemerintahan Abu
Bakar al- Shiddiq. Al Khatthabi berkata, “ Rasulullah tidak mengumpulkan al Qur`an
dalam satu mushaf karena senantiasa menunggu ayat yang menghapus terhadap sebagian
hukum-hukum atau bacaannya. Sesudah berakhir masa turunnya dengan wafatnya
Rasulullah maka Allah mengilhamkan penulisan mushaf secara lengkap kepada para
Khulafaur Rasyidin sesuai dengan janji-Nya yang benar kepada umat ini tentang jaminan
pemeliharaannya “.
Dengan demikian, jam`ul Qur`an ( pengumpulan al Qur`an ) pada masa Nabi dinamakan
Hifzhan ( hafalan ) dan Kitabatan ( pembukuan ) yang pertama.
Penggagas pertama pengumpulan al Qur`an pada masa itu adalah Umar bin Khattab yang
memberikan usul kepada Abu Bakar al Shiddiq. Abu Bakar yang menjabat sebagai
khalifah yang pertama setelah Rasulullah wafat. Ia dihadapkan pada peristiwa-peristiwa
besar yang berkenaan dengan murtadnya sejumlah orang Arab.
Perang Yamamah yang terjadi pada tahun 12 H, telah mengakibatkan 70 qari` dari para
sahabat gugur. Umar bin Khattab merasa sangat khawatir jika nantinya al Qur`an akan
musnah karena banyaknya qari` yang gugur. Umar bin Khattab mengajukan usul kepada
Abu Bakar agar menumpulkan dan membukukan al Qur`an. Akan tetapi, Abu Bakar
menolak usulan tersebut, dengan alasan Rasulullah SAW tidak pernah memerintahkan hal
tersebut. Namun Umar membujuknya, sehingga Allah SWT membukakan hati Abu Bakar
untuk menerima usulan tersebut.
Abu Bakar memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan dan membukukan al-
Qur`an mengingat kedudukannya dalam masalah qira`at, hafalan, penulisan, pamahaman
dan kecerdasannya serta kehadirannya pada pembacaan al Qur`an yang terakhir di
hadapan Nabi.
Pada mulanya Zaid bin Tsabit menolaknya, kemudian keduanya bertukar pendapat
sampai akhirnya Zaid bin Tsabit dapat menerima dengan lapang dada perintah penulisan
al- Qur`an tersebut. Zaid bin Tsabit memenuhi tugasnya dengan bersandar pada hafalan
para qurra` dan catatan yang ada pada para penulis. Kemudian lembaran-lambaran itu
disimpan Abu Bakar, sestelah ia wafat pada tahun 13 H berpindah kepada tangan Umar
hingga wafat. Kemudian mushaf itu pindah ke tangan Hafshah ( puteri Umar ), Zaid bin
Tsabit bertindak sangat teliti dan hati-hati.
Para ulama berpendapat bahwa penamaan al Qur`an dengan mushaf baru muncul sejak
Abu Bakar mengumpulkan al Qur`an. Kata Ali, “ orang yang paling besar pahalanya
berkenaan dengan mushaf ialah Abu Bakar “. Jam`ul Qur`an ( pengumpulan al Qur`an )
pada masa Abu Bakar dinamakan jam`u al Qur`an ats-tsani ( pengumpulan al Qur`an
kedua ).
Tentang pengumpulan al Qur`an pada masa Abu Bakar, terdapat dua pandangan yaitu
versi mayoritas dan versi minoritas.
1. Versi mayoritas
2. Versi minoritas
• Versi minoritas yang membias tidak memiliki kesatuan pandang tentang pribadi-
pribadi yang bergulat dan terkait secara langsung atau tidak langsung dengan
pengumpulan pertama al Qur`an. Riwayat terpencil mengemukakan Ali bin Abi
Thalib dan Salim bin Ma`qil sebagai pengumpul pertama al Qur`an.
• Dalam versi minoritas terdapat riwayat al Zuhri yang mengungkapkan bahwa,
ketika banyak kaum Muslimin yang terbunuh dalam pertempuran Yamamah, Abu
Bakarlah yang justeru mencemaskan akan musnahnya sejumlah besar qurra`.
• Dalam versi minoritas lainnya bahkan memangkas peran khalifah pertama dan
meletakkan keseluruhan upaya pengumpulan al Qur`an di atas pundak khalifah
kedua. Dalam riwayat ini dikisahkan bahwa suatu ketika Umar bertanya tentang
suatu bagian al Qur`an dan dikatakan bahwa bagian tersebut berada pada
seseorang yang tewas dalam pertempuran Yamamah. Ia mengekspresikan rasa
kehilangan dengan mengucapkan inna n ji`u ilayhi ra hi wa inna
li-lla, lalu ia memerintahkan untuk mengumpulkan al Qur`an, sehingga ia
adalah orang pertama yang mengumpulkan al Qur`an ke dalam mushaf. Secara
implisit, di sini disebutkan bahwa baik proses awal maupun proses akhir
pengumpulan al Qur`an berlangsung pada masa pemerintahan Umar bin Khattab.
• Riwayat lain mengungkapkan bahwa pekerjaan pengumpulan al Qur`an tidak
terselesaikan dengan terbunuhnya khalifah Umar : Umar bin Khattab memutuskan
untuk mengumpulkan al Qur`an. Ia berdiri ditengah manusia dan berkata: “
Barang siapa yang menerima bagian al Qur`an apapun langsung dari
Rasulullah, bawalah kepada kami “. Mereka telah menulis dari apa yang mereka
dengar dari Rasulullah di atas lembaran-lembaran, luh-luh dan pelepah-pelepah
kurma. Umar tidak menerima sesuatupun dari seseorang hingga dua orang
menyaksikan ( kebenarannya ) tetapi ia terbunuh ketika tengah melakukan
pengumpulan al Qur`an. Utsman bin Affan melanjutkannya dan berkata : “
barang siapa yang memiliki sesuatu dari Kitab Allah bawalah kepada kami...”.
• Suatu riwayat minoritas mengungkapkan keterlibatan Ubay dalam pengumpulan
al Qur`an pada masa Abu Bakar. Ketika al Qur`an dikumpulkan ke dalam mushaf
pada masa khalifah Abu Bakar beberapa orang menyalin didikte oleh Ubay.
Ketika mencapai 9:127, beberapa diantaranya memandang bahwa itu merupakan
bagian al Qur`an yang terakhir kali diwahyukan. Tetapi, Ubay menunjukkan
bahwa Nabi telah mengajarkannya 2 ayat lagi ( 9:128-129 ) yang merupakan
bagian terakhir dari wahyu. Versi lain dari riwayat ini mengungkapkan bahwa al
Qur`an itu dikimpulkan dari mushaf Ubay.
• Riwayat lain yang cukup fantastik yang disitir oleh Ya`qubi diunbgkapkan bahwa
Abu- Bakar menolak pengumpulan al Qur`an lantaran Nabi tidak pernah
melakukannya.
• Versi minoritas lainnya berupaya mendamaikan kesimpang siuran antara versi
mayoritas pengumpulan Zaid dan versi minoritas tentang pengumpulan pertama
al- Qur`an yang dilakukan khalifah Umar.Dalam laporan diungkapkan bahwa
Zaid atas perintah Abu Bakar menuliskan wahyu al Qur`an di atas lembaran kulit
dan pelepah kurma. Setelah wafatnya Abu Bakar, pada masa khalifah Umar ia
menyalin teks wahyu itu ke dalam lembaran-lembaran yang disatukan (
dah hi fah wa fi sahi ).
Dengan bentuk laporan tersebut kedua versi tentang pengumpulan pertama al Qur`an
tidak lagi bertabrakan.
Abu Bakar al Shiddiq merupakan orang pertama yang mengumpulkan al Qur`an atas
pertimbangan ususlan dari Umar bin Khattab pada masa Khulafaur Rasyidin. Dengan
menunjuk Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan dan membukukan al Qur`an.
Umar bin Khattab berperan sebagai penggagas intelektual pengumpulan pertama al-
Qur`an pada masa khalifah Abu Bakar. Umar khawatir akan musnahnya al Qur`an karena
perang Yamamah telah banyak menggugurkan para qarri`.
Ali bin Abi Thalib merupakan pengumpul pertama al Qur`an pada masa Nabi
berdasarkan perintah Nabi sendiri. Ia menunjuk kesepakatan atau ijma` akan
kemutawatiran al-Qur`an yang tertulis dalam mushaf.
B. RASM AL QUR`AN
Rasm al Qur`an adalah tulisan al Qur`an, baik dalam hal penulisan lafaz maupun
penulisan bentuk huruf.
Rasm Utsmani adalah penulisan mushaf Utsmani atau metode penulisan al Qur`an yang
disusun oleh Utsman.
a. Ada yang berpendapat bahwa rasm Utsmani untuk al Qur`an bersifat tauqifi yang
wajib digunakan dalam penulisan al Qur`an, dan harus sungguh-sungguh disucikan.
Mereka menisbatkan tauqifi dalam penulisan al Qur`an kepada Nabi.
Mereka menyebutkan, Nabi pernah mengatakan kepada Muawiyah, salah seorang
penulis wahyu, “ Goreskan tinta, tegakkan huruf ya, bedakan sin, jangan kamu
miringkan mim, baguskan tuliskan lafal Allah, panjangkan Ar Rahman, baguskan
Ar Rahim, dan letakkanlah penamu pada telinga kirimu, karena yang demikian akan
lebih dapat mengingatkan kamu “. Ibnu Mubarok dari Syaikh Abdul Aziz ad
Dabbagh, bahwa dia berkata kepadanya, “ Para sahabat dan orang lain tidak campur
tangan seujung rambut pun dalam penulisan al Qur`an karena penulisan al Qur`an
adalah tauqifi, ketentuan dari Nabi. Dialah yang memerintahkan kepada mereka
untuk menuliskannya dalam bentuk seperti yang dikenal sekarang, dengan
menambahkan alif atau menguranginya karena ada rahasia-rahasia yang tidak
terjangkau oleh akal. Ituah sebab satu rahasia Allah yang diberikan kepada kitab-
Nya yang mulia, yang tidak Dia berikan kepada kitab-kitab samawi lainnya.
Sebagaimana susunan al Qur`an adalah mukjizat, maka penulisannya pun mukjizat.
Bagi mereka rasm Utsmani menjadi petunjuk terhadap beberapa makna yang
tersembunyi dan halus, sepereti penambahan “ya” dalam penulisan kata “aydin”
yang terdapat dalam firmanNya, “Dan langit itu Kami bangun dengan tangan Kami
“. (Adz Dzariyat: 47). Penulisan ini merupakan isyarat bagi kehebatan kekuatan
Allah yang dengannya Dia membangun langit, dan bahwa kekuatanNya itu tidak
dapat disamai, ditandingi oleh kekuatan yang manapun ini berdasarkan kaidah yang
masyhur, “ penambahan huruf dalam bentuk kalimat menunjukkan penambahan
makna “. Pendapat ini sama sekali tidak bersumber bahwa rasm itu bersifat tauqifi.
Tetapi sebenarnya para penulislah yang mempergunakan istilah dan cara tersebut
pada masa Utsman atas izinnya, dan bahkan Utsman telah memberikan pedoman
kepada mereka dengan perkatannya kepada tiga orang Quraisy, “ Jika kalian
(bertiga) berselisih pendapat dengan Zaid bin Tsabit mengenai penulisan sebuah
lafal al Qur`an maka tulislah menurut logat Quraisy, karena ia diturunkan dalam
logat mereka”.ketika mereka berselisih pendapat dalam penulisan tabut, Zaid bin
Tsabit mengatakan tabuh, tetapi beberapa kalangan dari golongan Quraisy
mengatakan tabut. Utsman mengatakan, “tulislah tabut, karena al Qur`an
diturunkan dalam bahasa Quraisy”.
b. Menurut kebanyakan ulama, rasm Utsmani itu bukanlah tauqifi dari Nabi melainkan
istilah yang disetujui oleh Utsman dan diterima oleh umat, sehingga menjadi suatu
keharusan yang wajib menjadi pegangan dan tidak boleh dilanggar.
c. Sebagian ulama lain berpendapat, rasm Utsmani hanyalah sebuah istilah, metode
dan tidaklah mengapa berbeda dengannya jika orang te;lah menggunakan satu
model rasm tertentu untuk penulisan, kemudian rasm itu tersiar luas di antara
mereka.
Abu Bakar al Baqilani menyebutkan dalam kitabnya Al Intishar, “ tak ada yang
diwajibkan oleh Allah dalam hal penulisan mushaf. Diperbolehkan menulis al
Qur`an dengan tulisan dan ejaan jaman kuno, dengan tulisan dan ejaan baru serta
dengan tulisan dan ejaan pertengahan.
I`jazul Qur`an berasal dari kata i`jaz dan Qur`an. Menurut bahasa kata i`jaz adalah
mashdar dari kata a`jaza yang berarti melemahkan. Kata a`jaza termasuk fi`il ruba`i
mazid yang berasal dari fi`il tsulatsi mujarrad ajaza yang berarti lemah, lawan dari
qodara yang berarti kuat / mampu.
I`jazul Qur`an ialah melemahkannya al Qur`an. Suatu kata makjud yang terdiri dari
dua kata yang di mudhafkan. Yaitu dimudhafkannya kata mashdar i`jaz kepada
pelakunya yaitu al Qur`an yang berarti melemahkannya al Qur`an. Sedangkan
ma`ulnya ( siapa objek yang dilemahkan ) dibuang atau tersimpan. Jadi, i`jazul
Qur`an bila didatangkan artinya dilemahkan kitab al Qur`an kepada manusia untuk
mendatangkan apa yang telah ditantangkan kepada mereka, yaitu membuat kitab
seperti al Qur`an ini. Sebab kitab al- Qur`an telah menantang pujangga-pujangga
Arab untuk membuat kitab seperti al- Qur`an tetapi dari dulu sampai sekarang tidak
ada yang mampu membuat tandingan itu. Tantangn al Qur`an itu berupa menandingi
seluruh isi al Qur`an dikurangi hanya 10 surat saja sampai terakhir hanya membuat
1 surat saja, tetapi tidak ada yang mampu menandinginya. Oleh karena itu, al
Qur`an betul-betul i`jaz atau melemahkan manusia seluruhnya tak ada seorangpun
yang mampu menandingi tantangannya.
Mukjizat menurut bahasa ialah sesuatu hal yang luar biasa, ajaib, atau
menakjubkan. Menurut istilah mukjizat ialah sesuatu yang luar biasa yang
melemahkan manusia baik sendiri maupun kolektif untuk mendatangkan sesuatu
yang menyerupai atau menyamainya yang hanya diberikan kepada Nabi atau Rasul
Allah.
I`jaz secara bahasa berarti keluputan. Dikatakan A`jazani al Amru artinya perkara itu
luput dariku. Juga berarti “membuat tidak mampu”. Seperti dalam contoh a`jaza akhuhu (
dia telah membuat saudaranya tidak mampu ) manakala dia telah menetapkan ketidak
mampuan saudaranya dalam suatu hal. Berarti juga “ Dia telah menjadikan saudaranya itu
tidak mampu “. Juga berarti “ terwujudnya ketidakmampuan” seperti dalam contoh
a`jazu zaza`an ( aku mendapat Zaid tidak mampu ).
Menurut istilah i`jazul berarti sesuatu yang membuat manusia tidak mampu baik secara
sendiri maupun bersama untuk mendatangkan yang seperti itu. Perbuatan seseorang
mengklaim bahwa ia menjalankan fungsi ilahiah dengan cara yang melanggar ketentuan
hukum alam dan m,embuat orang lain tidak mampu melakukan dan bersaksi akan
kebenaran klaimnya.
b. Aspek-Aspek Kemukjizatan al Qur`an
2. Segi waktu, maksudnya adalah tentang masa untuk melaksanakan pesan yang
dibawanya mencakup segala masa sejak Nabi SAW diangkat menjadi Nabi hingga
hari kiamat. Firman Allah SWT “dan al Qur`an ini diwahyukan kepadaku supaya
dengannya aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang al
Qur`an sampai kepadanya” ( QS al An`am: 19 ).
4. Segi materi, yaitu segi-segi kehidupan manusia yang diaturnya. Al Qur`an datang
sebagai penjelas segala sesuatu. Firman Allah dalam QS al An`am : 38 .”Dan
tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang
dengan kedua sayapnya,melainkan umat-umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami
alpakan sesuatupun di dalam al Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka
dihimpunkan”.