You are on page 1of 66

C.

Pancasila Sebagai Ideologi Bangsa Indonesia

Sejak negeri ini diproklamasikan sebagai negara merdeka, telah sepakat menjadikan
Pancasila sebagai dasar negara dan pedoman hidup berbangsa dan bernegara.
Konsekuensinya, Pancasila harus terus hidup dalam kehidupam masyarakat, lebih
optimal sebagai kekuatan pemersatu bangsa. Pancasila harus menjadi perekat perbedaan
kultur yang terbangun dalam masyarakat plural. Menjadi ideologi bersama oleh semua
kelompok masyarakat, bisa juga dimaknai sebagai identitas nasional yang bisa menjadi
media dalam menjembatani perbedaan yang muncul.
Sayangnya, eksistensi Pancasila sebagai ideologi negara tidak difungsikan secara
maksimal, Pancasila tidak lagi mewarnai setiap aktivitas yang berlangsung di tengah
masyarakat. Pancasila bahkan tidak lagi ramai dipelajari oleh generasi muda. Pengaruh
kekuasaan orde baru yang menjadikan Pancasila sekedar sebagai ”simbol, ” dan upaya
memperkuat kekuasaannya. Hanya mampu menghasilkan generasi cerdas penghafal nilai-
nilai Pancasila dan para penatar ahli. Selain tidak mampu mengamalkannya, justru
mereka sendiri yang mencedrainya.
Tidak jauh beda dengan perilaku pemerintahan era reformasi. Pancasila dibiarkan
tenggelam dari kehidupan masyarakat. Bukan hanya jauh dari wacana publik, Pancasila
dianggap sebagai simbol orde baru semakin dilupakan oleh penguasa termasuk elit politik
kita. Eforia demokrasi yang tidak terkendali juga semakin mengaburkan nilai-nilai
Pancasila.
Realitas tersebut tentu sangat kontraproduktif dengan upaya penguatan Pancasila sebagai
dasar negara. Lebih khusus lagi bagi upaya menjaga lestarinya NKRI di bumi persada.
Kehadiran Pancasila tidak sekedar sebagai ideologi atau patron setiap warga negara,
landasan bersama (common platform) atau sering juga disebut ‘kalimatun sawa’.
Pancasila merupakan ”national identity” yang berperan mewadahi berbagai peredaan
maupun konflik yang seringkali muncul dalam sub budaya nasional.
Indonesia dan Pancasila adalah realitas historis dari hasil perjuangan rakyat yang
melepaskan diri dari penjajahan dan penindasan, untuk hidup sebagai bangsa yang lebih
bermartabat dan lebih sejahtera. Pancasila sebagai ideologi bangsa mempunyai makna
fungsional sebagai penopang solidaritas nasional dan sekaligus sebagai sumber inspirasi
pembangunan untuk mewujudkan keadilan sosial yang merata bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Komitmen kita pada eksistensi Pancasila sebagai dasar Negara sudah final. Simbol
pemersatu dan identitas nasional yang bisa diterima berbagai kalangan harus terus di
jaga. Mengharuskan tidak ada pilihan lain, kecuali Pancasila mesti terus di suarakan,
memulihkan nama baiknya. Dengan membumikan susbstansi dan nilai yang
dikandungnya. Sebagai konsep dan nilai-nilai normatif, tentu jauh dari kekeliruan.
Menghidupkan kembali wacana publik tentang Pancasila harus didasari suatu fakta riil
akan pentingnya identitas nasional
Demokrasi yang sedang kita jalankan, harus diarahkan untuk menjaga dan melindungi
keberlangsungan NKRI. Demokrasi harus sesuai dengan kultur bangsa, tidak perlu
berkiblat kepada Amerika Serikat, Eropa dan negara demokrasi lainnya. Demokrasi di
negeri ini tetap berdasarkan ideologi negara Pancasila, yang sangat menghargai
kebersamaan, perbedaan dan nilai-nilai gotong royong yang selama menjadi ke-khasan
budaya bangsa. Demokrasi yang dilaksanakan sebisa mungkin menghargai kearifan lokal
dan kultur masyarakat yang sudah mengakar dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat,
selama itu bermanfaat buat pembangunan bangsa dan kesejahteraan masyarakat.

• (PKN KELAS XII SMT 1)

Standar Kompetensi :

1. Menampilkan sikap positif terhadap Pancasila sebagai ideologi terbuka.

Kompetensi Dasar :

1.1. Mendeskripsikan Pancasila sebagai ideologi terbuka.

1.2. Menganalisis Pancasila sebagai sumber nilai dan paradigma pembangunan.

1.3. Menampilkan sikap positif terhadap Pancasila sebagai ideologi terbuka.

A. PENDAHULUAN

Pemahaman mendalam terhadap latar belakang historis, dan konseptual tentang Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945 bagi setiap warga negara, merupakan suatu bentuk
kewajiban sebelum kita dapat melaksanakan nilai-nilainya dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kewajiban tersebut merupakan konsekuensi
formal dan konsekuensi logis dalam kedudukan kita sebagai warga negara. Karena
kedudukan Pancasila sebagai Dasar Negara (Filsafat Negara), maka setiap warga negara
wajib loyal (setia) kepada dasar negaranya.

Perjalanan hidup suatu bangsa sangat tergantung pada efektivitas


penyelenggaraan negara. Pancasila sebagai dasar negara merupakan dasar dalam
mengatur penyelenggaraan negara disegala bidang, baik bidang ideologi, politik,
ekonomi, sosial-budaya dan hankam. Era global menuntut kesiapan segenap
komponen bangsa untuk mengambil peranan sehingga dampak negatif yang
kemungkinan muncul, dapat segera diantisipasi.

Kesetiaan, nasionalisme (cinta tanah air) dan patriotisme (kerelaan berkorban) warga
negara kepada bangsa dan negaranya dapat diukur dalam bentuk kesetiaan (loyalitas)
mereka terhadap filsafat negaranya yang secara formal diwujudkan dalam bentuk
Peraturan perundang-undangan (Undang-Undang Dasar 1945, Ketetapan MPR, Undang-
Undang, dan Peraturan Perundangan lainnya). Kesetiaan warga negara tersebut akan
nampak dalam sikap dan tindakan, yakni menghayati, mengamalkan dan mangamankan.
Kesetiaan ini akan semakin mantap jika mengakui dan meyakini kebenaran, kebaikan dan
keunggulan Pancasila sepanjang masa.

Pancasila dalam kedudukannya sebagai Ideologi negara, diharapkan mampu menjadi


filter dalam menyerap pengaruh perubahan jaman di era globalisasi ini. Keterbukaan
ideologi Pancasila terutama ditujukan dalam penerapannya yang berbentuk pola pikir
yang dinamis dan konseptual. Suatu ideologi negara, merupakan hasil refleksi manusia
berkat kemampuanya mengadakan distansi (menjaga jarak) terhadap dunia
kehidupannya. Antara keduanya, yaitu ideologi dan kenyataan hidup masyarakat terjadi
hubungan dialektis, sehingga berlangsung pengaruh timbal balik yang terwujud dalam
interaksi yang disatu pihak memacu ideologi makin realistis dan dilain pihak mendorong
masyarakat makin mendekati bentuk yang ideal. Ideologi mencerminkan cara berfikir
masyarakat, namun juga membentuk masyarakat menuju cita-cita.

B. PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI TERBUKA

1. Pancasila Kesepakatan Bangsa Indonesia

Sebelum pembahasan lebih lanjut tentang Pancasila sebagai idelogi terbuka,


terlebih dahulu yang harus kita pahami adalah bahwa “Pancasila telah menjadi
kesepakatan bangsa Indonesia” sejak berdirinya Negara (Proklamasi) Kesatuan
Republik Indonesia tahun 1945. Dengan demikian, siapapun yang menjadi warga
negara Indonesia hendaknya menghargai dan menghormati kesepakatan yang telah
dibangun oleh para pendiri negara (founding fathers) tersebut dengan berupaya terus
untuk menggali, menghayati dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari baik
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Pancasila yang sila-silanya diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang


Dasar 1945, telah menjadi kesepakatan nasional sejak ditetapkan tanggal 18 Agustus
1945, dan akan terus berlanjut sepanjang sejarah Negara Republik Indonesia.
Kesepakatan tersebut merupakan perjanjian luhur atau kontrak sosial bangsa yang
mengikat warga negaranya untuk dipatuhi dan dilaksanakan dengan semestinya.
Untuk membuktikan bahwa Pancasila merupakan hasil kesepakatan bangsa
Indonesia dengan legalitas yang kuat, kiranya perlu dilengkapi dengan justifikasi
yuridik, filsafat dan teoritik serta sosiologik dan historik.

 Justifikasi Juridik

Bangsa Indonesia telah secara konsisten untuk selalu berpegang kepada Pancasila
dan UUD 1945, sebagaimana telah diamanatkan adanya rumusan Pancasila ke dalam
undang-undang dasar yang telah berlaku di Indonesia dan beberapa Ketetapan MPR
Republik Indonesia.

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

................ dalam suatu susunan negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan


rakyat dengan berdasar kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang
adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, serta dengan
mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

b. Konstitusi Republik Indonesia Serikat (1949)

.................... Maka demi ini kami menyusun kemerdekaan kami itu dalam suatu
Piagam negara yang berbentuk republik federasi, berdasarkan pengakuan ke-
Tuhanan Yang Maha Esa, perikemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan dan
keadilan sosial. ....................................

c. Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia (1950)

.................... Maka demi ini kami menyusun kemerdekaan kami itu dalam suatu
Piagam negara yang berbentuk republik-kesatuan, berdasarkan pengakuan ke-
Tuhanan Yang Maha Esa, perikemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan dan
keadilan sosial, untuk mewujudkan kebahagiaan, kesejahteraan, perdamaian dan
kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia Merdeka yang
berdaulat sempurna.

d. Ketetapan MPR RI No.XVII/MPR/1998 tentang HAK ASASI MANUSIA

Pasal 2
Menugaskan kepada Presiden Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia untuk meratifikasi berbagai instrumen Perserikatan Bangsa
Bangsa tentang Hak Asasi Manusia, sepanjang tidak bertentangan dengan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

e. Ketetapan MPR RI No.V/MPR/2000 tentang PEMANTAPAN PERSATUAN


DAN KESATUAN NASIONAL

Arah Kebijakan

(2) Menjadikan Pancasila sebagai ideologi negara yang terbuka dengan


membuka wacana dan dialog terbuka di dalam masyarakat sehingga dapat
menjawab tantangan sesuai dengan visi Indonesia masa depan.

f. Ketetapan MPR RI No.V/MPR/2000 tentang PEMANTAPAN PERSATUAN


DAN KESATUAN NASIONAL

Pengertian

Etika kehidupan berbangsa merupakan rumusan yang bersumber dari ajaran


agama, khususnya yang bersifat, universal, dan nilai-nilai luhur budaya bangsa
yang tercermin dalam Pancasila sebagai acuan dasar dalam berpikir, bersikap dan
bertingkah laku dalam kehidupan berbangsa.

 Justifikasi Teoritik - Filsafati

Yaitu merupakan usaha manusia untuk mencari kebenaran Pancasila dari sudut
olah pikir manusia, dari konstruksi nalar manusia secara logik. Pada umumnya olah
pikir filsafati dimulai dengan suatu aksioma, yakni suatu kebenaran awal yang tidak
perlu dibuktikan lagi, karena hal tersebut dipandang suatu kebenaran yang hakiki.
Para pendiri negara dalam membuktikan kebenaran Pancasila dimulai dengan suatu
aksioma bahwa :”Manusia dan alam semesta ini adalah ciptaan Tuhan Yang Maha
Esa dalam suatu partalian yang selaras atau harmoni”. Aksioma ini dapat ditemukan
rumusannya dalam Pembukaan UUD 1945 pada aline kedua, keempat dan pasal 29,
sebagai berikut :

Alinea Kedua,
Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan didorongkan oleh keinginan luhur,
supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan
dengan ini kemerdekaannya.

Alinea Keempat,

............, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang
berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada : Ketuhanan Yang Maha
Esa, .................

Pasal 29 ayat (1)

Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.

 Justifikasi Sosiologik – Historik

Menurut penggagas awal (Ir. Soekarno), bahwa Pancasila digali dari bumi
Indonesia sendiri dan dikristalisasikan dari nilai-nilai yang berkembang dalam
kehidupan rakyat Indonesia yang beraneka ragam. Nilai-nilai tersebut dapat diamati
pada kelompok masyarakat yang tersebar di seluruh Indonesia yang dalam
implementasinya sangat disesuaikan dengan kultur masyarakat yang bersangkutan.
Dengan demikian, nampak jelas bahwa sesungguhnya Pancasila telah menjadi living
reality (kehidupan nyata) jauh sebelum berdirinya negara republik Indonesia.
Beberapa contoh nilai-nilai Pancasila yang telah berkemang di dalam kehidupan
masyarakat antara lain :
No Asal Daerah Nilai-nilai/Ungkapan YangKeterangan
Berkembang
1. Jawa a. tepo seliro (tenggang rasa), Adanya konsep hu-
manitas yang sudah
b. sepi ing pamrih rame ing gawe (maumenjiwai bangsa
bekerja keras tanpa pamrih), Indonesia.

c. gotong royong (berat ringan


ditanggung bersama)
2. Minangkabau 1) Bulat air oleh pembuluh, bulat kata Konsep sovereinitas.
oleh mufakat
2) Adat basandi syarak, syarak Konsep religiositas
basandi Kitabullah
c. Penghulu beraja ke mufakat, Konsep humanitas
mufakat beraja pada kebenaran.
3. Minahasa a. Pangilikenta waja si Empung si Konsep religiositas
Rumer reindeng rojor (Sekalian kita
maklum bahwa yang memberikan
rahmat yakni Tuhan Yang Maha Esa)
b. Tia kaliuran si masena Konsep religiositas
impalampangan (Jangan lupa
kepada “Dia” yang memberi terang.
4. Lampung  Tebak cotang di serambi, mupakat Konsep sovereinitas.
dilemsesat (Simpang siur di luar,
mufakat di dalam balai).
5. Bolaang  Na’buah pinayung (Tetap bersatu danKonsep nasionalitas/
Mangondow rukun). persatuan
6. Madura  Abantal sadat, sapo’iman, payung Konsep religiositas
Allah (Iman dan takwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa)
7. Bugis/ Makasar  Tak sakrakai allowa ritang ngana Konsep religiositas
langika (Matahari tak akan tenggelam
di tengah langit).
8. Bengkulu  Kalau takut dilambur pasang, jangan Konsep humanitas
berumah di pinggir pantai.
9. Maluku  Kaulete mulowang lalang walidase Konsep humanitas
nausavo sotoneisa etolomai dan persatuan
kukuramese upasasi netane
kwelenetane ainetane (Mari kita
bersatu baik dilaut maupun di darat
untuk menentang kezaliman).
10. Batak (Manda- Songon siala sampagul rap tuginjang Konsep persatuan dan
iling) rap tu roru (Berat sama dipanggul,kebersamaan
ringan sama dijinjing).
11. Batak (Toba)  Sai masia minaminaan songon Konsep persatuan
lampak ni pisang, masitungkol
tungkolan songon suhat dirobean
(Biarlah kita bersatu seperti batang
pisang dan mendukung seperti pohon
tales di kebun).

Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, jelaslah bahwa bagi bangsa Indonesia


tidak perlu diragukan lagi tentang kebenaran Pancasila sebagai dasar negara, ideologi
nasional maupun pandangan hidup bangsa dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa
dan bernegara. Hal ini terbukti setelah kita analisis dari sudut justifikasi yuridik,
filsafati dan teoritik serta sosiologik dan historik. Untuk itu, semakin jelaslah bahwa
Pancasila merupakan kesepakatan bangsa, suatu perjanjian luhur yang memiliki
legalitas, kebenaran dan merupakan living reality yang selama ini telah diterapkan
dalam kehidupan sehari-hari.

Berdasarkan sudut pandang justifikasi filsafati dan teoritik inilah bangsa


Indonesia yang memiliki beraneka ragam suku, agama, ras dan antar golongan
(SARA) mampu hidup berdampingan secara damai, rukun dan sejahtera dalam
semboyan Bhinneka Tunggal Ika serta dalam bingkai Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Sebagai perwujudan tersebut, maka bangsa Indonesia dikenal oleh bangsa-
bangsa manca negara sebagai bangsa yang memiliki sifat khas kepribadian (unik)
antara lain : ramah tamah, religius, suka membantu sesama (solideritas), dan
mengutamakan musyawarah mufakat.

2. Pengertian Pancasila

Dalam rangka lebih memahami tentang Pancasila sebagai idelogi terbuka, maka
perlu dijelaskan lebih dahulu apa itu Pancasila. Banyak tokoh nasional yang telah
merumuskan konsep Pancasila sesuai dengan sudut pandang masing-masing. Namun
jika dicermati, secara umum definisi konsep tersebut relatif sama. Berikut adalah
beberapa pengertian tentang Pancasila yang dikemukakan oleh para ahli.

a. Muhammad Yamin.

Pancasila berasal dari kata Panca yang berarti lima dan Sila yang berarti sendi,
atas, dasar atau peraturan tingkah laku yang penting dan baik. Dengan demikian
Pancasila merupakan lima dasar yang berisi pedoman atau aturan tentang
tingkah laku yang penting dan baik.

b. Ir. Soekarno

Pancasila adalah isi jiwa bangsa Indonesia yang turun-temurun sekian abad
lamanya terpendam bisu oleh kebudayaan Barat. Dengan demikian, Pancasila
tidak saja falsafah negara, tetapi lebih luas lagi, yakni falsafah bangsa Indonesia.

c. Notonegoro

Pancasila adalah Dasar Falsafah Negara Indonesia. Berdasarkan pengertian ini


dapat disimpulkan Pancasila pada hakikatnya merupakan dasar falsafah dan
Ideologi negara yang diharapkan menjadi pendangan hidup bangsa Indonesia
sebagai dasar pemersatu, lambang persatuan dan kesatuan serta sebagai
pertahanan bangsa dan negara Indonesia.

d. Berdasarkan Terminologi.

Pada 1 juni 1945, dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan


kemerdekaan Indonesia (BPUKI), Pancasila yang memiliki arti lima asas dasar
digunakakn oleh Presiden Soekarno untuk memberi nama pada lima prinsip dasar
negara Indonesia yang diusulkannya. Perkataan tersebut dibisikan oleh temannya
seorang ahli bahasa yang duduk di samping Ir. Soekarno, yaitu Muhammad
Yamin.
Pada tanggal, 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia merdeka dan keesokan harinya
(18 Agustus 1945) salah satunya disahkan Undang Undang Dasar Negara
Republik Indonesia yang di dalamnya memuat isi rumusan lima prinsip dasar
negara yang diberi nama Pancasila. Sejak saat itulah perkataan Pancasila menjadi
bahasa Indonesia dan dijadikan istilah yang sudah umum.

3. Proses Perumusan Pancasila sebagai Dasar Negara.

Keterlibatan Jepang dalam perang dunia ke 2 membawa sejarah baru dalam


kehidupan bangsa Indonesia yang di jajah Belanda ratusan tahun lamanya. Hal ini
disebabkan bersamaan dengan masuknya tentara Jepang tahun 1942 di Nusantara,
maka berakhir pula suatu sistem penjajahan bangsa Eropa dan kemudian digantikan
dengan penjajahan baru yang secara khusus diharapkan dapat membantu mereka yang
terlibat perang.

Menjelang akhir tahun 1944 bala tentara Jepang secara terus menerus menderita
kekalahan perang dari sekutu. Hal ini kemudian membawa perubahan baru bagi
pemerintah Jepang di Tokyo dengan janji kemerdekaan yang di umumkan Perdana
Mentri Kaiso tanggal 7 september 1944 dalam sidang istimewa Parlemen Jepang
(Teikoku Gikai) ke 85. Janji tersebut kemudian diumumkan oleh Jenderal
Kumakhichi Haroda tanggal 1 maret 1945 yang merencanakan pembentukan Badan
Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).

Sebagai realisasi janji tersebut pada tanggal 29 April 1945 kepala pemerintahan
Jepang untuk Jawa (Gunseikan) membentuk BPUPKI dengan Anggota sebanyak 60
orang yang merupakan wakill atau mencerminkan suku/golongan yang tersebar di
wilaya Indonesia. BPUPKI diketuai oleh DR Radjiman Wedyodiningrat sedangkan
wakil ketua R.P Suroso dan Penjabat yang mewakili pemerintahan Jepang “Tuan
Hchibangase”. Dalam melaksanakan tugasnya di bentuk beberapa panitia kecil,
antara lain panitia sembilan dan panitia perancang UUD. Inilah langkah awal dalam
sejarah perumusan pancasila sebagai dasar negara. Secara ringkas proses perumusan
tersebut adalah sebagai berikut.

a. Mr. Muhammad Yamin, pada sidang BPUPKI tanggal 29 Mei 1945


menyampaikan rumus asas dan dasar degara sebagai berikut:

1. Peri Kebangsaan

2. Peri Kemanusiaan

3. Peri Ketuhanan

4. Peri Kerakyatan

5. Kesejahteraan Rakyat.

Setelah menyampaikan pidatonya, Mr. Muhammad Yamin menyampaikan usul


tertulis naskah Rancangan Undang-Undang Dasar. Di dalam Pembukaan
Rancangan UUD itu, tercantum rumusan lima asas dasar negara yang berbunyi
sebagai berikut :

1. Ketuhanan Yang Maha Esa

2. Kebangsaan Persatuan Indonesia

3. Rasa Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab

4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam


permusyawaratan Perwakilan

5. Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

b. Mr Soepomo, pada tanggal 31 Mei 1945 antara lain dalam pidatonya


menyampaikan usulan lima dasar negara, yaitu sebagai berikut :

1. Paham Negara Kesatuan

2. Perhubungan Negara dengan Agama

3. Sistem Badan Permusyawaratan

4. Sosialisasi Negara
5. Hubungan antar Bangsa

Catatan :

Mr. Soepomo dalam pidatonya selain memberikan rumusan tentang Pancasila,


juga memberikan pemikiran tentang paham integralistik Indonesia. Hal ini
tertuang di dalam salah satu pidatonya ..................................., bahwa jika kita
hendak mendirikan Negara Indonesia yang sesuai dengan keistimewaan sifat
dan corak masyarakat Indonesia, maka negara kita harus berdasar atas aliran
pikiran (staatsidee) negara yang integralistik, negara yang bersatu dengan
seluruh rakyatnya, yang mengatasi seluruh golongan-golongannya dalam
lapangan apapun.

c. Ir. Soekarno, dalam sidang BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945 mengusulkan
rumusan dasar negara adalah sebagai berikut :

1. Kebangsaan Indonesia

2. Internasionalisme atau peri kemanusiaan

3. Mufakat atau demokrasi

4. Kesejahteraan Sosial

5. KeTuhanan yang berkebudayaan.

Catatan :

Konsep dasar negara yang diajukan oleh Ir. Soekarno tersebut, dapat
diperas menjadi Tri Sila, yaitu : Sila Kebangsaan dan Sila Internasionalisme
diperas menjadi Socio Nationalisme; Sila Mufakat atau Demokratie dan Sila
Ketuahanan yang berkebudayaan. Kemudian Tri Sila tersebut dapat diperas lagi
menjadi Eka Sila, yaitu Gotong Royong.

d. Panitia Kecil pada sidang PPKI tanggal 22 Juni 1945, memberi usulan rumusan
dasar negara adalah sebagai berikut :
1. Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-
pemeluknya.

2. Kemanusiaan yang adil dan beradab

3. Persatuan Indonesia

4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam


permusyawaratan perwakilan

5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Catatan :

Paniti kecil mempunyai tugas untuk menggolong-golongkan dan memeriksa


catatan-catatan tertulis selama sidang. Rapat Panitia Kecil telah diadakan
bersama-sama dengan 38 anggota BPUPKI di kantor Besar Jawa Hookookai
dengan susunan sebagai berikut :

Ketua : Ir. Soekarno

Anggota : 1) K.H.A Wachid Hasjim, 2) Mr. Muhammad Yamin, 3) Mr. A.A.


Maramis, 4) M. Soetardjo Kartohadikoesoemo, 5) R. Otto Iskandar Dinata, 6)
Drs. Mohammad Hatta, 7) K. Bagoes H. Hadikoesoemo.

Selanjutnya, dalam sidang yang dihadiri oleh 38 orang tersebut telah membentuk
lagi satu Panitia Kecil yang anggota-anggotanya terdiri dari : Drs. Mohammad
Hatta, Mr. Muhammad Yamin, Mr. A. Subardjo, Mr. A.A. Maramis, Ir.
Soekarno, Kiai Abdul Kahar Moezakkir, K.H.A. Wachid Hasjim, Abikusno
Tjokrosujoso, dan H. Agus Salim. Panitia Kecil inilah yang sering disebut
sebagai panita 9 (sembilan) yang pada akhirnya menghasilkan Piagam Jakarta
(Jakarta Charter).

e. Rumusan Akhir Pancasila yang di tetapkan tanggal 18 Agustus 1945, dalam


sidang PPKI memberi rumusan Pancasila sebagai berikut :

1. Ketuhanan Yang Maha Esa

2. Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab

3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam
permusyawaratan /perwakilan

5. Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia

Rumusan inilah yang kemudian dijadikan dasar negara, hingga sekarang


bahkan hingga akhir perjalanan Bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia bertekad
bahwa Pancasila sebagai dasar negara tidak dapat dirubah oleh siapapun,
termasuk oleh MPR hasil pemilu. Jika merubah dasar negara Pancasila sama
dengan membubarkan negara hasil proklamasi (Tap MPRS No. XX/MPRS/1966).

Kedudukan Pancasila Bagi Bangsa Indonesia.

 Pancasila Sebagai Dasar Negara Republik Indonesia.

Pancasila sering disebut sebagai dasar falsafah negara (dasar filsafat negara) dan
ideologi negara. Pancasila dipergunakan sebagai dasar untuk mengatur pemerintahan
dan mengatur penyelenggaraan negara. Konsep-konsep Pancasila tentang kehidupan
bernegara yang disebut cita hukum (staatsidee), merupakan cita hukum yang harus
dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pancasila juga mempunyai fungsi dan kedudukan sebagai pokok atau kaidah
negara yang mendasar (fundamental norma). Kedudukan Pancasila sebagai dasar
negara bersifat tetap, kuat, dan tidak dapat diubah oleh siapapun, termasuk oleh
MPR-DPR hasil pemilihan umum. Mengubah Pancasila berarti membubarkan Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945.

Pancasila sebagai kaidah negara yang fundamental berarti bahwa hukum dasar
tertulis (UUD), hukum tidak tertulis (konvensi), dan semua hukum atau peraturan
perundang-undangan yang berlaku dalam negara Republik Indonesia harus bersumber
dan berada dibawah pokok kaidah negara yang fundamental tersebut.

a. Dasar Hukum Pancasila Sebagai Dasar Negara


Pengertian pancasila sebagai dasar negara, sesuai dengan bunyi Pembukaan
UUD 1945 pada alinea keempat ”…....., maka disusunlah kemerdekaan
kebangsaan Indonesia dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia
yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada; Ketuhanan Yang Maha
Esa; kemanusia yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta
dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Di dalam Pembukaan UUD 1945 tersebut meskipun tidak tercantum kata


Pancasila, namun bangsa Indonesia sudah bersepakat bahwa lima prinsip yang
menjadi dasar Negara Republik Indonesia disebut Pancasila. Kesepakatan
tersebut, tercantum pula dalam berbagai Ketetapan MPR-RI diantaranya sebagai
berikut :

1) Ketetapan MPR – RI No.XVIII/MPR/1998, pada pasal 1 menyebutkan bahwa


“Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar
1945 adalah dasar negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia harus
dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan bernegara”.

2) Ketetapan MPR No. III/MPR/2000, diantaranya menyebutkan : Sumber


Hukum dasar nasional yang tertulis dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar
1945, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa; kemanusia yang adil dan beradab,
persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

b. Pancasila Memenuhi Syarat Sebagai Dasar Negara

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dasar negara Pancasila perlu


difahami konsep, prinsip dan nilai yang terkandung di dalamnya agar dapat
dengan tepat mengimplementasikannya. Namun sebaiknya perlu diyakini terlebih
dahulu bahwa Pancasila memenuhi syarat sebagai dasar negara dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia dengan beragam suku, agama, ras dan antar
golongan yang ada.

Pancasila memenuhi syarat sebagai dasar negara bagi Negara Kesatuan


Republik Indonesia dengan alasan sebagai berikut.

1) Pancasila memiliki potensi menampung keadaan pluralistik masyarakat


Indonesia yang beraneka ragam suku, agama, ras dan antar golongan. Pada
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, menjamin kebebasan untuk beribadah sesuai
agama dan keyakinan masing-masing. Kemudian pada Sila Persatuan
Indonesia, mampu mengikat keanekaragaman dalam satu kesatuan bangsa
dengan tetap menghormati sifat masing-masing sepert apa adanya.
2) Pancasila memberikan jaminan terealisasinya kehidupan yang pluralistik,
dengan menjunjung tinggi dan menghargai manusia sesuai dengan harkat
dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan secara berkeadilan yang
disesuaikan dengan kemampuan dan hasil usahanya. Hal ini ditunjukkan
dengan Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab.
3) Pancasila memiliki potensi menjamin keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang terbentang dari Sabang sampai Merauke, yang terdiri atas
ribuan pulau sesuai dengan Sila Persatuan Indonesia.
4) Pancasila memberikan jaminan berlangsungnya demokrasi dan hak-hak asasi
manusia sesuai dengan budaya bangsa. Hal ini, selaras dengan Sila
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan.
5) Pancasila menjamin terwujudnya masyarakat yang adil dan sejahtera sesuai
dengan Sila Keadilan sosial bagi seluruh rakyat sebagai acuan dalam
mencapai tujuan tersebut.

(ideologi terbuka? hmm.. mungkin yang lebih tepat ideologi universal ya.. jadi bisa
diterima setiap ajaran-bangsa-paham, dan bukannya menerima ajaran-bangsa-paham
kecuali untuk mengadaptasikannya)
Khazzana’s blog

Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka


Pancasila merupakan ideologi nasional negara Indonesia. Secara umum ideologi
merupakan kumpulan gagasan, ide, keyakinan, kepercayaan yang menyeluruh serta
sistematis yang menyangkut dan mengatur tingkah laku sekelompok manusia tertentu
dalam berbagai bidang kehidupan politik, pertahanan, kemanan, sosial, kebudayaan, dan
keagamaan.

Makna ideologi di Indonesia tercermin pada falsafah hidup dan kepribadian bangsa
Indonesia, yaitu Pancasila. Karena, Pancasila mengandung nilai-nilai dan norma-norma
yang oleh bangsa Indonesia di yakini paling benar. Pancasila sebagai ideologi negara
tercantum dalam pembukaan UUD 1945, walaupun UUD 1945 telah mengalami
beberapa kali perubahan (amandemen), Pancasila tetap menduduki posisi sebagai
ideologi nasional dalam UUD 1945.

A. Pengertian Ideologi

Ideologi berasal dari Kata Yunani Idein artinya melihat dan logia yang berarti kata,
ajaran. Ideologi secara praktis diartikan sebagai sistem dasar seseorang tentang nilai- nilai
dan tujuan- tujuan serta sarana- sarana pokok untuk mencapainya.

Jika diterapkan untuk negara, maka ideologi diartikan sebagai kesatuan gagasan- gagasan
dasar yang disusun secara sistematis dan dianggap menyeluruh tentang manusia dan
kehidupannya, baik sebagai individu, sosial maupun dalam kehidupan bernegara.
B. Pancasila sebagai ideologi terbuka

Pancasila dilihat dari sifat- sifat dasarnya, dapat dikatakan sebagai ideologi terbuka.
Pancasila Sebagai ideologi terbuka memiliki dimensi- dimensi idealitas, normatif dan
realitas. Rumusan- rumusan pancasila sebagai ideologi terbuka bersifat umum, universal,
sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUd 1945.

C. Perbandingan antara Ideologi Liberalisme, Komunisme dan pancasila

1. LIBERALISME

Ciri- ciri Liberalisme adalah sebagai berikut :

- Memiliki kecenderungan untuk mendukung perubahan

- Mempunyai kepercayaan terhadap nalar manusiawi

- Bersedia menggunakan pemerintah untuk meningkatkan kondisi manusiawi

- Mendukung kebebasan individu

- Bersikap ambivalen terhadap sifat manusia

Kelemahannya :

- Liberalisme buta terhadap kenyataan bahwa tidak semua orang kuat kedudukannnya

- Dan tidak semua orang kuat cita- citanya.

- Liberalisme melahirkan “Binatang Ekonomi” yaitu manusia yang hanya mementingkan


keuntungan ekonomisnya sendiri.

2. KOMUNISME

Ada 3 ciri negara komunisme yaitu :

- Berdasarkan ideologi Marxisme- Laninisme, artinya bersifat materialis, ateis dan


kolektivistik.

- Merupakan sistem kekuasaan satu partai atas seluruh rakyat

- Ekonomi komuis bersifat etatisme.

Ideologi komunisme bersifat absolutilasi dan determinisme, karena memberi perhatian


yang sangat besar kepada kolektivitas atau masyarakat, kebebasan individu, hak milik
pribadi tidak diberi tempat di negara komunis.
Setelah membandingkan kedua ciri di atas dengan paham negara RI yaitu Pancasila,
amaka dapat disimpulkan bahwa pancasila sebagai ideologi memberi kedudukan
seimbang kepada manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial.

RELEVANSI PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI TERBUKA DI ERA


REFORMASI
““
I.PENDAHULUAN

Apakah sesungguhnya Pancasila itu ? Adanya kekurang pastian mengenai arti


sesungguhnya Pancasila terlihat yaitu ada yang menterjemahkan sebagai filsafat, filsafat
negara, filsafat nasional, ajaran Bung Karno dan apakah juga tepat jika diperingati tiap 1
Juni ?. Dikarenakan pada tanggal tersebut, pada tahun 1945 yang lalu dalam rapat
Dokuritzu Zyunbi Tyoosakai Ir. Soekarno mengemukakan ide pikirannya yang lima dasar
itu ?. Apakah bukan Mr. M. Yamin yang seharusnya kita sebut sebagai penemu Pancasila
?. Terlepas dari polemik diatas, Pancasila sebagai dasar negara telah banyak mengalami
lika-liku sebagai suatu Staatside bangsa yang besar ini. Sebagai inti dari jiwa dan
semangat bangsa Indonesia yang sejak ratusan tahun telah ada dan sempat tenggelam
selama 350 tahun akibat penjajahan.
Pancasila, sebagaimana tercantum dalam Pembukaaan UUD 1945 dalam perjalanan
sejarah kemerdekaan bangsa Indonesia telah mengalami persepsi dan interpretasi sesuai
dengan kepentingan zaman, yaitu sesuai dengan kepentingan rezim yang berkuasa.
Pancasila telah digunakan sebagai alat untuk memaksa rakyat setia kepada pemerintah
yang berkuasa dengan menempatkan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Masyarakat tidak diperbolehkan
menggunakan asas lain, walaupun tidak bertentangan dengan Pancasila. Sehingga
contohnya secara nyata pada era reformasi ini setelah rezim Soeharto jatuh maka
Pancasila ikut jatuh dan tenggelam. Dikarenakan teori politik Pancasila kita tidak sesuai
dengan teori politik secara umum. Bahkan sekarang pun (2004) saat Megawati berkuasa
tidak ada cahaya sedikit pun dari Pancasila kita.
Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945 adalah dasar negara dari
negara kesatuan Republik Indonesia yang harus dilaksanakan secara konsisten dalam
kehidupan bernegara.
Ideologi adalah gabungan dari dua kata eidos dan logos yang secara sederhana berarti
suatu gagasan yang berdasarkan pemikiran yang sedalam-dalamnya dan merupakan
pemikiran filsafat. Dalam arti kata luas atau terbuka istilah ideologi dipergunakan untuk
seluruh kelompok cita-cita, nilai - nilai dasar dan keyakinan -keyakinan yang mau
dijunjung tinggi sebagai pedoman normatif.
Ideologi juga diartikan sebagai ilmu, doktrin atau teori yang diyakini kebenarannya, yang
disusun secara sistematis dan diberi petunjuk pelaksanaannya. Suatu pandangan hidup
akan meningkat menjadi falsafah hidup apabila telah mendapat landasan berfikir maupun
motivasi yang lebih jelas. Sedangkan kristalisasinya kemudian membentuk suatu
ideologi.

II.PERMASALAHAN

Pancasila sebagai ideologi nasional mengandung nilai-nilai budaya bangsa Indonesia,


yaitu cara berpikir dan cara kerja perjuangan. Pancasila perlu dipahami dengan latar
belakang konstitusi proklamasi atau hukum dasar kehidupan berbangasa, bernegara dan
bermasyarakat yaitu Preambule, Batang Tubuh serta Penjelasan UUD 1945.
Pancasila sebagai ideologi nasional dapat diartikan sebagai suatu pemikiran yang memuat
pandangan dasar dan cita-cita mengenai sejarah, manusia, masyarakat, recht dan negara
Indonesia, yang bersumber dari kebudayaan Indonesia.
Pancasila bersifat integralistik, yaitu paham tentang hakikat negara yang dilandasi dengan
konsep kehidupan bernegara. Pancasila yang melandasi kehidupan bernegara menurut Dr.
Soepomo adalah dalam kerangka negara integralistik, untuk membedakan dari paham-
paham yang digunakan oleh pemikir kenegaraan lain. Masih cocokkah pandangan
integralistik ini ?.
Pancasila seperti ideologi dunia lainnya terlebih dahulu lahir sebagai pemikiran filosofis,
yang kemudian dituangkan dalam rumusan ideologi dan setelahnya baru diwujudkan
dalam konsep-konsep politik. Jangka waktu tersebut bisa puluhan bahkan ratusan tahun.
Proses yang dilalui Pancasila sedikit berbeda karena belum ada konsep masa depan atau
tujuan yang hendak dicapai.
Era reformasi sebagai era pembaharuan di segala bidang, menuntut kita untuk berbuat
lebih baik, lebih arif dan bijaksana. Dan pemahaman akan interpretasi Pancasila sekarang
ini sudah berbeda jauh dari zaman orde lama maupun orde baru. Timbul pertanyaan ?
Apakah Pancasila memang pantas dianggap sebagai ideologi terbuka ?. Masih
sesuaikah ? bertitik tolak dari pertanyaan tersebut marilah kita kaji Relevansi Ideologi
Pancasila sebagai Ideologi Terbuka di Jaman Reformasi ini.

III.PEMBAHASAN

1.ARTI IDEOLOGI TERBUKA


Ciri khas ideologi terbuka ialah bahwa nilai-nilai dan cita-citanya tidak dipaksakan dari
luar, melainkan digali dan diambil dari kekayaan rohani, moral dan budaya
masyarakatnya sendiri. Dasarnya dari konsensus masyarakat, tidak diciptakan oleh
negara, melainkan ditemukan dalam masyarakatnya sendiri. Oleh sebab itu, ideologi
terbuka adalah milik dari semua rakyat dan masyarakat dapat menemukan dirinya di
dalamnya. Ideologi terbuka bukan hanya dapat dibenarkan melainkan dibutuhkan. Nilai-
nilai dasar menurut pandangan negara modern bahwa negara modern hidup dari nilai-
nilai dan sikap-sikap dasarnya.
Ideologi terbuka adalah ideologi yang dapat berinteraksi dengan perkembangan zaman
dan adanya dinamika secara internal. Sumber semangat ideologi terbuka itu sebenarnya
terdapat dalam Penjelasan Umum UUD 1945, yang menyatakan, “... terutama bagi negara
baru dan negara muda, lebih baik hukum dasar yang tertulis itu hanya memuat aturan-
aturan pokok, sedangkan aturan-aturan yang menyelenggarakan aturan pokok itu
diserahkan kepada undang-undang yang lebih mudah cara membuatnya, mengubahnya
dan mencabutnya“.
Selanjutnya dinyatakan, “... yang sangat penting dalam pemerintahan dan dalam
hidupnya bernegara ialah semangat, semangat para penyelenggara negara, semangat para
pemimpin pemerintahan“. Sehingga Hatta pernah berpendapat bahwa elite bangsa sendiri
akan bisa lebih kejam daripada penjajah bila tidak dikontrol dengan demokrasi. Apakah
di Indonesia sudah berjalan demokrasi yang kita dambakan ?.
Suatu ideologi yang wajar ialah bersumber dan berakar pada pandangan hidup bangsa
dan falsafah hidup bangsa. Dengan demikian, ideologi tersebut akan dapat berkembang
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan kecerdasan kehidupan bangsa. Hal ini
adalah suatu prasyarat bagi suatu ideologi. Berbeda halnya dengan ideologi yang
diimpor, yang akan bersifat tidak wajar (artifisial) dan sedikit banyak memerlukan
pemaksaan oleh sekelompok kecil manusia (minoritas) yang mengimpor ideologi
tersebut. Dengan demikian, ideologi tersebut menjadi bersifat tertutup.
Pancasila berakar pada pandangan hidup bangsa dan falsafah bangsa, sehingga memenuhi
prasyarat sebagai suatu ideologi terbuka. Sekalipun suatu ideologi itu bersifat terbuka,
tidak berarti bahwa keterbukaannya adalah sebegitu rupa sehingga dapat memusnahkan
atau meniadakan ideologi itu sendiri, yang merupakan suatu yang tidak logis. Suatu
ideologi sebagai suatu rangkuman gagasan-gagasan dasar yang terpadu dan bulat tanpa
kontradiksi atau saling bertentangan dalam aspek-aspeknya. Pada hakikatnya berupa
suatu tata nilai, dimana nilai dapat kita rumuskan sebagai hal ikhwal buruk baiknya
sesuatu. Yang dalam hal ini ialah apa yang dicita-citakan.

2.FAKTOR PENDORONG KETERBUKAAN IDEOLOGI PANCASILA


Faktor yang mendorong pemikiran mengenai keterbukaan ideologi Pancasila adalah
sebagai berikut :
a.Kenyataan dalam proses pembangunan nasional dan dinamika masyarakat yang
berkembang secara cepat.
b.Kenyataan menunjukkan, bahwa bangkrutnya ideologi yang tertutup dan beku
dikarenakan cenderung meredupkan perkembangan dirinya.
c.Pengalaman sejarah politik kita di masa lampau.
d.Tekad untuk memperkokoh kesadaran akan nilai-nilai dasar Pancasila yang bersifat
abadi dan hasrat mengembangkan secara kreatif dan dinamis dalam rangka mencapai
tujuan nasional.
Keterbukaan ideologi Pancasila terutama ditujukan dalam penerapannya yang berbentuk
pola pikir yang dinamis dan konseptual dalam dunia modern. Kita mengenal ada tiga
tingkat nilai, yaitu nilai dasar yang tidak berubah, nilai instrumental sebagai sarana
mewujudkan nilai dasar yang dapat berubah sesuai keadaan dan nilai praktis berupa
pelaksanaan secara nyata yang sesungguhnya. Nilai-nilai Pancasila dijabarkan dalam
norma - norma dasar Pancasila yang terkandung dan tercermin dalam Pembukaan UUD
1945. Nilai atau norma dasar yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 ini tidak
boleh berubah atau diubah. Karena itu adalah pilihan dan hasil konsensus bangsa yang
disebut kaidah pokok dasar negara yang fundamental (Staatsfundamentealnorm).
Perwujudan atau pelaksanaan nilai-nilai instrumental dan nilai-nilai praktis harus tetap
mengandung jiwa dan semangat yang sama dengan nilai dasarnya.
Kebenaran pola pikir seperti yang terurai di atas adalah sesuai dengan ideologi yang
memiliki tiga dimensi penting yaitu Dimensi Realitas, Dimensi Idealisme dan Dimensi
Fleksibilitas.

3.BATAS-BATAS KETERBUKAAN IDEOLOGI PANCASILA


Sungguhpun demikian, keterbukaan ideologi Pancasila ada batas-batasnya yang tidak
boleh dilanggar, yaitu sebagai berikut :
a.Stabilitas nasional yang dinamis.
b.Larangan terhadap ideologi marxisme, leninisme dan komunisme.
c.Mencegah berkembangnya paham liberal.
d.Larangan terhadap pandangan ekstrim yang mengelisahkan kehidupan masyarakat.
e.Penciptaan norma yang baru harus melalui konsensus.

IV.PENUTUP

B.KESIMPULAN
Dari penjabaran pemahaman kerangka berfikir terhadap Pancasila ditinjau dari segi
Ideologi Terbuka diatas, patutlah kiranya diambil kesimpulan sebagai berikut :
1.Pancasila sebagai ideologi nasional dapat diartikan sebagai suatu pemikiran yang
memuat pandangan dasar dan cita-cita mengenai sejarah, manusia, masyarakat, recht dan
negara Indonesia, yang bersumber dari kebudayaan Indonesia.
2.Pancasila merupakan nilai dan cita bangsa Indonesia yang tidak dipaksakan dari luar,
melainkan digali dan diambil dari kekayaan rohani, moral dan budaya masyarakat kita
sendiri.
3.Sumber semangat ideologi terbuka itu sebenarnya terdapat dalam Penjelasan Umum
UUD 1945.
4.Keterbukaan ideologi Pancasila terutama ditujukan dalam penerapannya yang
berbentuk pola pikir yang dinamis dan konseptual dalam dunia modern.
5. Perwujudan atau pelaksanaan nilai-nilai instrumental dan nilai-nilai praktis harus tetap
mengandung jiwa dan semangat yang sama dengan nilai dasarnya.
6. Sungguhpun demikian, keterbukaan ideologi Pancasila ada batas-batasnya yang tidak
boleh dilanggar.
Sehingga ideologi Pancasila sebagai ideologi terbuka sebenarnya sangat relevan dengan
suasana pemikiran di alam reformasi ini yang menuntuk transparansi di segala bidang
namun masih tetap menjunjung kaidah nilai dan norma kita sebagai bangsa timur yang
beradab. Namun dalam kenyatannya di masyarakat masih ada yang berfikir seperti orde
lama atau orde baru dikarenakan masih kuatnya doktrin dari penguasa terdahulu, bahkan
tidak sedikit yang acuh terhadapnya.

B. SARAN
Sebagai suatu pemikiran yang memuat pandangan dasar dan cita-cita mengenai sejarah,
manusia, masyarakat, recht dan negara Indonesia, yang bersumber dari kebudayaan
Indonesia yang digali dan diambil dari kekayaan rohani, moral dan budaya masyarakat
kita sendiri. Alangkah baiknya jika masih tetap menggunakan dan mempertahankannya
sebagai nilai dasar sebagai ciri khas kita sebagai suatu bangsa. Tanpa takut untuk
mengembangkannya secara dimamis sesuai dengan perkembangan jaman.
DAFTAR PUSTAKA
Kartohadiprodjo, S. 1986. Pancasila dan/ dalam Undang-Undang Dasar 1945. Bina Cipta.
Bandung.

Syarbaini, S. 2003. Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi. Penerbit Ghalia Indonesia.


Jakarta.

Aman, S. 1997. Filsafat Pancasila. ( Dalam Koleksi Pribadi Penulis : Kumpulan Biografi
dan Pidato para Maestro Bangsa Indonesia).

------------
I. Pengertian dan Fungsi Ideologi
Nama ideologi berasal dari kata ideas dan logos. Idea berarti gagasan,konsep, sedangkan
logos berarti ilmu. Pengertian ideologi secara umum adalah sekumpulan ide, gagasan,
keyakinan, kepercayaan yang menyeluruh dan sistematis dalam bidang politik, ekonomi,
sosial, budaya dan keagamaan.
Ciri-ciri ideologi adalah sebagai berikut :
1. Mempunyai derajat yang tertinggi sebagai nilai hidup kebangsaan dan kenegaraan.
2. Oleh karena itu, mewujudkan suatu asas kerohanian, pandanagn dunia, pandangan
hidup, pedoman hidup, pegangan hidup yang dipelihara diamalkan dilestarikan kepada
generasi berikutnya, diperjuangkan dan dipertahankan dengan kesediaan berkorban.
Fungsi ideologi menurut beberapa pakar di bidangnya :
1. Sebagai sarana untuk memformulasikan dan mengisi kehidupan manusia secara
individual. (Cahyono, 1986)
2. Sebagai jembatan pergeseran kendali kekuasaan dari generasi tua (founding fathers)
dengan generasi muda. (Setiardja, 2001)
3. Sebagai kekuatan yang mampu member semangat dan motivasi individu, masyarakat,
dan bangsa untuk menjalani kehidupan dalam mencapai tujuan. (Hidayat, 2001)

II. Pancasila sebagai Ideologi Bangsa


Pancasila sebagai ideologi bangsa adalah Pancasila sebagai cita-cita negara atau cita-cita
yang menjadi basis bagi suatu teori atau sistem kenegaraan untuk seluruh rakyat dan
bangsa Indonesia, serta menjadi tujuan hidup berbangsa dan bernegara Indonesia.
Berdasarkan Tap. MPR No. XVIII/MPR/1998 tentang Pencabutan Ketetapan MPR
tentang P4, ditegaskan bahwa Pancasila adalah dasar NKRI yang harus dilaksanakan
secara konsisten dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

III. Pancasila sebagai Ideologi Terbuka


Makna dari ideologi terbuka adalah sebagai suatu sistem pemikiran terbuka.
Ciri-ciri ideologi terbuka dan ideologi tertutup adalah :

Ideologi Terbuka
a. merupakan cita-cita yang sudah hidup dalam masyarakat.
b. Berupa nilai-nilai dan cita-cita yang berasal dari dalam masyarakat sendiri.
c. Hasil musyawarah dan konsensus masyarakat.
d. Bersifat dinamis dan reformis.

Ideologi Tetutup
a. Bukan merupakan cita-cita yang sudah hidup dalam masyarakat.
b. Bukan berupa nilai dan cita-cita.
c. Kepercayaan dan kesetiaan ideologis yang kaku.
d. Terdiri atas tuntutan konkret dan operasional yang diajukan secara mutlak.

Menurut Kaelan, nilai-nilai yang terkandung dalam ideologi Pancasila sebagai ideologi
terbuka adalah sebagai berikut :
a) Nilai dasar, yaitu hakekat kelima sila Pancasila.
b) Nilai instrumental, yang merupakan arahan, kebijakan strategi, sasaran serta lembaga
pelaksanaanya.
c) Nilai praktis, yaitu merupakan realisasi nilai-nilai instrumental dalam suatu realisasi
pengamalan yang bersifat nyata, dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat,
berbangsa dan bernegara.

PERTANYAAN :
1) Mengapa Indonesia menggunakan ideologi terbuka?
2) Bagaimana cara menumbuhkan kadar dan idealism yang terkandung Pancasila
sehingga mampu memberikan harapan optimisme dan motivasi untuk mewujudkan cita-
cita?

JAWABAN :
1) Karena Indonesia adalah sebuah negara dan sebuah negara memerlukan sebuah
ideologi untuk menjalankan sistem pemerintahan yang ada pada negara tersebut, dan
masing-masing negara berhak menentukan ideologi apa yang paling tepat untuk
digunakan, dan di Indonesia yang paling tepat adalah digunakan adalah ideologi terbuka
karena di Indonesia menganut sistem pemerintahan demokratis yang di dalamnya
membebaskan setiap masyarakat untuk berpendapat dan melaksanakan sesuatu sesuai
dengan keinginannya masing-masing. Maka dari itu, ideologi Pancasila sebagai ideologi
terbuka adalah yang paling tepat untuk digunakan oleh Indonesia.
2) Kita harus menempatkan Pancasila dalam pengertian sebagai moral, jiwa, dan
kepribadian bangsa Indonesia. Pancasila sebagai jiwa bangsa Indonesia
keberadaanya/lahirnya bersamaan dengan adanya bangsa Indonesia. Selain itu,Pancasila
juga berfungsi sebagai kepribadian bangsa Indonesia. Artinya, jiwa bangsa Indonesia
mempunyai arti statis dan dinamis. Jiwa ini keluar diwujudkan dalam sikap mental,
tingkah laku, dan amal perbuatan bangsa Indonesia yang pada akhirnya mempunyai cirri
khas. Sehingga akan muncul dengan sendirinya harapan optimisme dan motivasi yang
sangat berguna dalam mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia.

KESIMPULAN :
Jadi, setiap negara berhak dalam memilih sistem pemerintahannya sendiri, Indonesia juga
pernah menerapkan beberapa sistem pemerintahan. Namun, yang paling cocok dengan
kepribadian bangsa Indonesia adalah ideologi terbuka karena sinkron dengan sistem
pemerintahan yang demokratis yang menjamin kebebasan warga negaranya dalam
mengeluarkan pendapat sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 pasal 28.

-------------
Setiap tahun di saat datang peringatan hari lahir Pancasila 1 Juni, banyak kalangan selalu
bertanya “apakah Pancasila masih relevan?” Ini adalah pertanyaan yang tidak sederhana.
Kalau setiap orang diminta membuat uraian dari sudut pandang dan pengalaman masing-
masing, penjelasan yang muncul mungkin akan sebanyak jumlah kepala orang. Tetapi
saya akan menduga bentuk jawabannya hanya ada dua; Ya dan Tidak! Baiklah saya
mulai dengan kemungkinan penjelasan kenapa Tidak.

Kenapa Pancasila dianggap tidak relevan? Jangan salah! Ini tidak ada hubungannya
dengan sikap anti-Pancasila. Benar, mungkin saja, sebagian orang Indonesia ada yang
terang-terangan menolak Pancasila, tetapi orang-orang ini tidak mewakili pandangan
mayoritas. Ada indikasi untuk percaya bahwa banyak orang Indonesia tidak memiliki
pandangan negatif terhadap Pancasila. Sebagian sebabnya tentu saja karena fakta bahwa
Pancasila sudah menjadi bagian dari sejarah Indonesia. Lebih dari itu, Pancasila juga
membuat Indonesia ada, dan besar kemungkinan dapat membantu bangsa yang majemuk
ini tetap bertahan dan berkembang sampai waktu yang lama. Pengetahuan sejarah dapat
menyadarkan generasi sekarang tentang besarnya jasa para pendiri negara, terutama Bung
Karno, yang telah mewariskan gagasan tentang Pancasila sebagai dasar negara.

Tetapi apa makna yang lebih dalam dari sejarah Pancasila? Masih menjadi pertanyaan
menarik, kenapa pidato Pancasila Sukarno 1 Juni 1945 dan bukan alternatif lain yang
waktu itu juga ditawarkan dalam sidang BPUPK yang akhirnya diterima dan bahkan
mendapat sambutan tepuk tangan sangat meriah dari para anggota sidang? Pada hemat
saya itu terjadi bukan terutama karena lima sila dari Pancasila, yang memang menarik,
atau karena ketrampilan berpidato Bung Karno, yang diakui sangat memukau. Sebab,
jangan lupa, Bung Karno tidak hanya berbicara Pancasila dalam pengertian sebagai lima
sila. Dia juga menawarkan kepada para anggota sidang Badan Penyelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) pada 1 Juni 1945 bahwa kelima sila bisa diperas
menjadi tiga sila, yang disebutnya sebagai trisila, dan bahkan, menurut Bung Karno, jika
masih dipandang terlalu banyak, trisila itu juga bisa diperas menjadi satu saja, yaitu eka
sila, berupa Gotong Royong. Karena itu, penjelasan paling masuk akal dari pertanyaan
mengapa usulan Pancasila Bung Karno yang akhirnya diterima adalah karena waktu itu
Bung Karno mempraktekkan dengan sempurna apa yang dalam istilah filsafat politik
kontemporer disebut sebagai nalar-publik (public reason).

Praktek nalar publik selalu mengandung sedikitnya tiga pengertian (bandingkan Rawls,
2002). Pertama, ada kriteria kesetaraan dan kebebasan yang sama, artinya pelakunya
menyadari bahwa dirinya adalah anggota dari warga negara yang bebas (free) dan setara
(equal), dan menganggap orang lain juga bebas dan setara. Kedua, ada kriteria
resiprositas, artinya ketika si pelaku mengajukan usulan kepada pihak lain dalam rangka
menentukan persyaratan untuk kerjasama (yang dalam konteks sejarah BPUPK adalah
kerjasama dalam membentuk sebuah negara merdeka yang baru) yang pertama-tama
dipertimbangkan adalah bahwa usulannya akan masuk akal di mata orang lain, yang juga
merupakan warga negara yang bebas dan setara, sehingga mereka menerima kesepakatan
bukan karena dominasi atau manipulasi, atau karena tekanan paksa akibat posisi sosial
dan politik yang lebih rendah (inferior). Dan ketiga, ada kriteria kebaikan bersama,
artinya pokok masalah (subject) yang dibicarakan dalam usulan kerjasama itu adalah
tentang kebaikan bersama (public good) atau keadilan politik fundamental, yang
mempermasalahkan dua hal, yaitu inti penting konstitusi (constitutional essentials) dan
masalah keadilan dasar.

Sejarah lahirnya Pancasila adalah contoh sempurna dari penerapan nalar publik itu. Sebab
berbeda dengan proposal lain yang juga diusulkan dalam sidang BPUPK pada 1945,
Pancasila Soekarno merupakan sintesis dari berbagai pengaruh pemikiran yang disajikan
sedemikian rupa, tetapi bukannya dengan menafikan, usulannya dirumuskan dalam
pengertian yang menjunjung tinggi pengertian kebebasan dan kesetaraan, resiprositas,
dan kebaikan bersama. Inilah rahasianya mengapa Pancasila Sukarno yang akhirnya
diterima dengan suara bulat, meskipun dalam konstitusi rumusan itu kemudian
mengalami perubahan urutan dan modifikasi.
Kini, kembali pada pertanyaan awal kita, mengapa ada anggapan bahwa Pancasila tidak
relevan, jawabannya bisa dijelaskan dengan kalimat negatif, yaitu karena makna
Pancasila yang paling mendasar dan sangat penting sebagai nalar publik sudah semakin
sulit dikenali. Orang melihat banyak ajaran yang baik dan luhur dari Pancasila tetapi
semua itu tidak ada hubungannya dengan realitas hidup mereka sehari-hari.
Di masa pemerintah Orde Baru, yang berkuasa hampir selama 32 tahun, telah dilakukan
usaha untuk menempa identitas ideologis yang secara historis otentik sekaligus berbeda
dengan identitas ideologis regim Sukarno, yaitu dengan cara mengklaim kembali dan
membentuk ulang Pancasila. Namun, negara Pancasila yang dikembangkan oleh regim
Orde Baru lebih bertitik tolak dari ajaran Integralisme atau Organisisme yang
sesungguhnya berasal dari usulan Supomo pada sidang BPUPK tahun 1945, dan bukan
dikembangkan berdasarkan Pancasila sesuai dengan makna awalnya, yaitu sebagai nalar
publik.

Sementara nalar publik pada dasarnya sejalan dengan demokrasi konstitusional dengan
kriteria berupa persamaan dan kesetaraan, resiprositas, dan orientasi pada kebaikan
bersama, ajaran integralism memiliki konsepsi tentang negara yang hampir bertolak
belakang dengan konsepsi yang dikenal dalam pengertian demokrasi konstitusional. Kita
tahu, dalam perdebatan pembentukan negara, baik BPUPK maupun PPKI, telah terjadi
pertarungan antara berbagai pengaruh pemikiran ini. Integralisme mengajarkan konsepsi
tentang negara yang menolak pemisahan negara dan masyarakat sipil, dan juga menolak
doktrin politik modern seperti pemisahan kekuasaan (separation of power) dan
pengawasan dan keseimbangan (check and balances) dalam kekuasaan. Implikasi dari
Pancasila yang dipahami dalam pengertian integralisme sangat jelas. Doktrin Orde Baru
mengatakan bahwa demokrasi Pancasila tidak mengenal oposisi, sebab sebagaimana
keyakinan integralisme, pemerintah pada dasarnya akan selalu baik hati, dan tidak pernah
menyengsarakan rakyatnya. Tidak boleh ada pandangan yang membedakan antara
pemerintah dan rakyat, dan karena itu sistem politik harus dikembangkan sedemikian
rupa untuk memastikan masyarakat sipil di bawah kontrol negara.

Pancasila sebagai nalar publik lebih dekat dengan demokrasi konstitusional, ketimbang
dengan ajaran organisisme atau integralisme. Pandangan dasar tentang negara dalam
demokrasi konstitusional adalah bahwa kekuasaan di manapun bisa bersalah guna. Para
pendukung demokrasi konstitusional meyakini bahwa kekuasaan cenderung korup, dan
kekuasaan yang absolut akan korup secara absolut pula. Maka tentu saja sangat
berbahaya jika satu orang diberi kekuasaan sekaligus untuk membuat hukum,
melaksanakan hukum, dan mengadili pelaksanaan hukum. Orang semacam ini memiliki
kekuasaan absolut, dan dia nyaris menjalankan fungsi seperti yang dijalankan Tuhan atau
Dewa. Padahal manusia bukan Tuhan atau Dewa, dan juga bukan malaikat yang selalu
baik, patuh pada perintah Tuhan dan tidak pernah lupa. Karena itu demokrasi
konstitusional menyarankan bahwa dalam merancang sebuah pemerintahan yang diatur
oleh manusia terhadap manusia, kesulitan terbesar akan terletak dalam dua hal, pertama,
bagaimana memberikan kemungkinan pemerintah mengontrol yang diperintah, dan
kedua, bagaimana menentukan kewajiban pemerintah untuk mengontrol dirinya sendiri.
Ketika praktek bernegara, dalam negara yang mengakui berdasarkan Pancasila, tidak
banyak memperhatikan persyaratan untuk membatasi kekuasaan pemerintah agar bisa
mengontrol dirinya sendiri, maka hal ini pasti menimbulkan skeptisisme dan bahkan
sinisme yang meluas tentang relevansi Pancasila untuk mengatur kehidupan bersama.

Tetapi, persoalan politik akhirnya juga berhubungan dengan masalah ekonomi. Di masa
Orde Baru diajarkan secara luas baik dalam penataran P4 maupun dalam buku-buku
pelajaran di sekolah bahwa bahwa ekonomi Pancasila adalah khas, Indonesia menolak
sistem ekonomi komando, yang menentukan bahwa negara mengontrol baik produksi
maupun distribusi, tetapi Indonesia juga menolak ekonomi pasar bebas yang pada intinya
menyerahkan semua transaksi ekonomi pada pihak swasta dan negara hanya menjadi
semacam wasit. Di telinga, ini terdengar seperti rumusan yang ideal. Dalam praktek,
situasinya sangat berbeda. Bukan pada tempatnya di sini untuk menjelaskan secara
panjang lebar kenapa ada perbedaan antara yang ideal dan kenyataan yang dihadapi. Poin
yang ingin saya katakan adalah bahwa anggapan tentang Pancasila yang tidak relevan
kemungkinan juga terkait dengan ketidakjelasan pemahaman banyak pemimpin kita
menyangkut hubungan antara Pancasila dengan masalah ekonomi.

Dalam praktek, tidak ada negara yang murni menganut ekonomi pasar bebas, atau murni
menganut sistem ekonomi komando. Kecenderungan globalisasi dan interdependensi
dunia dewasa ini juga memperlihatkan beragam aktor dan kekuatan saling berinteraksi
dengan cara yang sangat cepat dan tak dapat dikendalikan. Pancasila, dan juga banyak
masyarakat di seluruh dunia sama-sama mendambakan tatanan kehidupan yang lebih adil
dan bermartabat. Cara kita menterjemahkan keadilan dan martabat dalam kehidupan
kongkrit politik dan ekonomi menentukan seperti apa bentuk negara Pancasila yang kita
bayangkan.
Karena itu salah satu masalah yang terkait dengan pertanyaan tentang apakah Pancasila
masih relevan, juga terletak pada kemampuan kita menafsirkan kembali arti Pancasila
dan terutama menterjemahkan dengan lebih baik hubungan antara negara dan masyarakat
sipil atau rakyatnya. Di bawah Orde Baru, Pancasila diyakini sebagai sistem ideologi dan
sistem nilai yang komprehensif, lengkap dan menyeluruh, mengatur bukan hanya
kehidupan publik dan politik, tetapi juga kehidupan privat. Akibatnya, Pancasila juga
dikembangkan dalam bentuk usaha menjabarkan nilai-nilai yang terdapat dalam masing-
masing sila Pancasila (dengan cara mencongkel-congkelnya, menurut Almarhum
Profesor Umar Kayam), seperti yang pernah kita temui dalam butir-butir P4. Nilai-nilai
inilah yang kemudian dicoba disosialisasikan ke masyarakat oleh negara. Ke depan,
pemahaman tentang moral Pancasila semacam ini perlu dikaji ulang, mengingat
kenyataan bahwa negara sering tidak mampu, dan kalaupun mampu biasanya menuntut
harga dan resiko mahal yang harus dibayar ketika mencoba menentukan berbagai
kebenaran metafisik (misalnya apakah dibalik realitas ini sesungguhnya roh atau materi),
yang sesungguhnya lebih baik diserahkan pada pilihan privat dan menjadi hak warga
negara untuk menentukannya sendiri secara bebas.

Kembali pada pertanyaan tentang apakah Pancasila masih relevan, karena itu orang juga
bisa dengan sangat optimis memberikan jawaban Ya, karena kita memang harus
menyelesaikan berbagai masalah mendasar politik, ekonomi dan moral yang sedang kita
hadapi dengan cara yang lebih cerdas, namun pendekatannya bukan dengan mengulang
Pancasila seperti yang pernah dikembangkan oleh regim Orde Baru, karena visi politik,
ekonomi, dan moral Orde Baru nampaknya tidak memadai untuk menjawab relevansi
Pancasila untuk masa kini. Jadi, kemungkinan cara yang dapat dilakukan adalah dengan
mengembangkan Pancasila sebagai nalar-publik yang merupakan makna penting dan
mendasar dari sejarah lahirnya Pancasila yang sudah lama terlupakan.

• Globalisasi adalah suatu proses tatanan masyarakat yang mendunia dan tidak
mengenal batas wilayah.
• Globalisasi pada hakikatnya adalah suatu proses dari gagasan yang dimunculkan,
kemudian ditawarkan untuk diikuti oleh bangsa lain yang akhirnya sampai pada
suatu titik kesepakatan bersama dan menjadi pedoman bersama bagi bangsa-
bangsa di seluruh dunia. (Menurut Edison A. Jamli dkk.Kewarganegaraan.2005)
Menurut pendapat Krsna (Pengaruh Globalisasi Terhadap Pluralisme Kebudayaan
Manusia di Negara Berkembang.internet.public jurnal.september 2005). Sebagai proses,
globalisasi berlangsung melalui dua dimensi dalam interaksi antar bangsa, yaitu dimensi
ruang dan waktu. Ruang makin dipersempit dan waktu makin dipersingkat dalam
interaksi dan komunikasi pada skala dunia. Globalisasi berlangsung di semua bidang
kehidupan seperti bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan keamanan
dan lain- lain. Teknologi informasi dan komunikasi adalah faktor pendukung utama
dalam globalisasi. Dewasa ini, perkembangan teknologi begitu cepat sehingga segala
informasi dengan berbagai bentuk dan kepentingan dapat tersebar luas ke seluruh
dunia.Oleh karena itu globalisasi tidak dapat kita hindari kehadirannya.

Kehadiran globalisasi tentunya membawa pengaruh bagi kehidupan suatu negara


termasuk Indonesia. Pengaruh tersebut meliputi dua sisi yaitu pengaruh positif dan
pengaruh negatif. Pengaruh globalisasi di berbagai bidang kehidupan seperti kehidupan
politik, ekonomi, ideologi, sosial budaya dan lain- lain akan mempengaruhi nilai- nilai
nasionalisme terhadap bangsa.

• Pengaruh positif globalisasi terhadap nilai- nilai nasionalisme


1. Dilihat dari globalisasi politik, pemerintahan dijalankan secara terbuka
dan demokratis. Karena pemerintahan adalah bagian dari suatu negara,
jika pemerintahan djalankan secara jujur, bersih dan dinamis tentunya
akan mendapat tanggapan positif dari rakyat. Tanggapan positif tersebut
berupa rasa nasionalisme terhadap negara menjadi meningkat.
2. Dari aspek globalisasi ekonomi, terbukanya pasar internasional,
meningkatkan kesempatan kerja dan meningkatkan devisa negara. Dengan
adanya hal tersebut akan meningkatkan kehidupan ekonomi bangsa yang
menunjang kehidupan nasional bangsa.
3. Dari globalisasi sosial budaya kita dapat meniru pola berpikir yang baik
seperti etos kerja yang tinggi dan disiplin dan Iptek dari bangsa lain yang
sudah maju untuk meningkatkan kemajuan bangsa yang pada akhirnya
memajukan bangsa dan akan mempertebal rasa nasionalisme kita terhadap
bangsa.

• Pengaruh negatif globalisasi terhadap nilai- nilai nasionalisme


1. Globalisasi mampu meyakinkan masyarakat Indonesia bahwa liberalisme
dapat membawa kemajuan dan kemakmuran. Sehingga tidak menutup
kemungkinan berubah arah dari ideologi Pancasila ke ideologi liberalisme.
Jika hal tesebut terjadi akibatnya rasa nasionalisme bangsa akan hilang
2. Dari globalisasi aspek ekonomi, hilangnya rasa cinta terhadap produk
dalam negeri karena banyaknya produk luar negeri (seperti Mc Donald,
Coca Cola, Pizza Hut,dll.) membanjiri di Indonesia. Dengan hilangnya
rasa cinta terhadap produk dalam negeri menunjukan gejala berkurangnya
rasa nasionalisme masyarakat kita terhadap bangsa Indonesia.
3. Mayarakat kita khususnya anak muda banyak yang lupa akan identitas diri
sebagai bangsa Indonesia, karena gaya hidupnya cenderung meniru
budaya barat yang oleh masyarakat dunia dianggap sebagai kiblat.
4. Mengakibatkan adanya kesenjangan sosial yang tajam antara yang kaya
dan miskin, karena adanya persaingan bebas dalam globalisasi ekonomi.
Hal tersebut dapat menimbulkan pertentangan antara yang kaya dan
miskin yang dapat mengganggu kehidupan nasional bangsa.
5. Munculnya sikap individualisme yang menimbulkan ketidakpedulian
antarperilaku sesama warga. Dengan adanya individualisme maka orang
tidak akan peduli dengan kehidupan bangsa.

Pengaruh- pengaruh di atas memang tidak secara langsung berpengaruh terhadap


nasionalisme. Akan tetapi secara keseluruhan dapat menimbulkan rasa nasionalisme
terhadap bangsa menjadi berkurang atau hilang. Sebab globalisasi mampu membuka
cakrawala masyarakat secara global. Apa yang di luar negeri dianggap baik memberi
aspirasi kepada masyarakat kita untuk diterapkan di negara kita. Jika terjadi maka akan
menimbulkan dilematis. Bila dipenuhi belum tentu sesuai di Indonesia. Bila tidak
dipenuhi akan dianggap tidak aspiratif dan dapat bertindak anarkis sehingga mengganggu
stabilitas nasional, ketahanan nasional bahkan persatuan dan kesatuan bangsa.

• Pengaruh Globalisasi Terhadap Nilai Nasionalisme di Kalangan Generasi


Muda

Arus globalisasi begitu cepat merasuk ke dalam masyarakat terutama di kalangan muda.
Pengaruh globalisasi terhadap anak muda juga begitu kuat. Pengaruh globalisasi tersebut
telah membuat banyak anak muda kita kehilangan kepribadian diri sebagai bangsa
Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan gejala- gejala yang muncul dalam kehidupan
sehari- hari anak muda sekarang.

Dari cara berpakaian banyak remaja- remaja kita yang berdandan seperti selebritis yang
cenderung ke budaya Barat. Mereka menggunakan pakaian yang minim bahan yang
memperlihatkan bagian tubuh yang seharusnya tidak kelihatan. Pada hal cara berpakaian
tersebut jelas- jelas tidak sesuai dengan kebudayaan kita. Tak ketinggalan gaya rambut
mereka dicat beraneka warna. Pendek kata orang lebih suka jika menjadi orang lain
dengan cara menutupi identitasnya. Tidak banyak remaja yang mau melestarikan budaya
bangsa dengan mengenakan pakaian yang sopan sesuai dengan kepribadian bangsa.

Teknologi internet merupakan teknologi yang memberikan informasi tanpa batas dan
dapat diakses oleh siapa saja. Apa lagi bagi anak muda internet sudah menjadi santapan
mereka sehari- hari. Jika digunakan secara semestinya tentu kita memperoleh manfaat
yang berguna. Tetapi jika tidak, kita akan mendapat kerugian. Dan sekarang ini, banyak
pelajar dan mahasiswa yang menggunakan tidak semestinya. Misal untuk membuka situs-
situs porno. Bukan hanya internet saja, ada lagi pegangan wajib mereka yaitu handphone.
Rasa sosial terhadap masyarakat menjadi tidak ada karena mereka lebih memilih sibuk
dengan menggunakan handphone.

Dilihat dari sikap, banyak anak muda yang tingkah lakunya tidak kenal sopan santun dan
cenderung cuek tidak ada rasa peduli terhadap lingkungan. Karena globalisasi menganut
kebebasan dan keterbukaan sehingga mereka bertindak sesuka hati mereka. Contoh
riilnya adanya geng motor anak muda yang melakukan tindakan kekerasan yang
menganggu ketentraman dan kenyamanan masyarakat.

Jika pengaruh-pengaruh di atas dibiarkan, mau apa jadinya genersi muda tersebut? Moral
generasi bangsa menjadi rusak, timbul tindakan anarkis antara golongan muda.
Hubungannya dengan nilai nasionalisme akan berkurang karena tidak ada rasa cinta
terhadap budaya bangsa sendiri dan rasa peduli terhadap masyarakat. Padahal generasi
muda adalah penerus masa depan bangsa. Apa akibatnya jika penerus bangsa tidak
memiliki rasa nasionalisme?

Berdasarkan analisa dan uraian di atas pengaruh negatif globalisasi lebih banyak daripada
pengaruh positifnya. Oleh karena itu diperlukan langkah untuk mengantisipasi pengaruh
negatif globalisasi terhadap nilai nasionalisme.

• Antisipasi Pengaruh Negatif Globalisasi Terhadap Nilai Nasionalisme

Langkah- langkah untuk mengantisipasi dampak negatif globalisasi terhadap nilai- nilai
nasionalisme antara lain yaitu :

1. Menumbuhkan semangat nasionalisme yang tangguh, misal semangat mencintai


produk dalam negeri.
2. Menanamkan dan mengamalkan nilai- nilai Pancasila dengan sebaik- baiknya.
3. Menanamkan dan melaksanakan ajaran agama dengan sebaik- baiknya.
4. Mewujudkan supremasi hukum, menerapkan dan menegakkan hukum dalam arti
sebenar- benarnya dan seadil- adilnya.
5. Selektif terhadap pengaruh globalisasi di bidang politik, ideologi, ekonomi, sosial
budaya bangsa.

Dengan adanya langkah- langkah antisipasi tersebut diharapkan mampu menangkis


pengaruh globalisasi yang dapat mengubah nilai nasionalisme terhadap bangsa. Sehingga
kita tidak akan kehilangan kepribadian bangsa.

Referensi

Jamli, Edison dkk.Kewarganegaraan.2005.Jakarta: Bumi Akasara


Krsna @Yahoo.com. Pengaruh Globalisasi Terhadap Pluralisme Kebudayaan Manusia
di Negara Berkembang.2005.internet:Public Jurnal

Pancasila seperti ideologi dunia lainnya terlebih dahulu lahir sebagai pemikiran filosofis,
yang kemudian dituangkan dalam rumusan ideologi dan setelahnya baru diwujudkan
dalam konsep-konsep politik. Jangka waktu tersebut bisa puluhan bahkan ratusan tahun.
Proses yang dilalui Pancasila sedikit berbeda karena belum ada konsep masa depan atau
tujuan yang hendak dicapai. Era reformasi sebagai era pembaharuan di segala bidang,
menuntut kita untuk berbuat lebih baik, lebih arif dan bijaksana. Dan pemahaman akan
interpretasi Pancasila sekarang ini sudah berbeda jauh dari zaman orde lama maupun orde
baru. Timbul pertanyaan ? Apakah Pancasila memang pantas dianggap sebagai ideologi
terbuka ?. Masih sesuaikah ? bertitik tolak dari pertanyaan tersebut marilah kita kaji
Relevansi Ideologi Pancasila sebagai Ideologi Terbuka di Jaman Reformasi ini.

menurut saya, pancasila masih sangat pantas disebut sebagai ideologi terbuka, karena
nilai-nilai pancasila yang selalu dapat bertahan dari segala perkembangan zaman,
walaupun penyesuaian tersebut kerap dimanfaatkan oleh berbagai pihak tapi rumusan
pancasila sampai saat ini masih bisa dipertahankan apalagi jika melihat sila-sila pancasila
secara kasat mata saja, kita pasti sudah bisa menangkap pancasila sebagai ideologi
terbuka

Ideologi adalah suatu bentuk ide atau pikiran yang hidup di masyarakat mengenai
keadaan yang dianggap ideal, sesuatu yang baik atau buruk; benar atau salah, serta cita-
cita masyarakat tersebut di masa mendatang.. Pentingnya ideologi dalam masyarakat
berbangsa dan bernegara adalah sebagai suatu alat pemersatu dan perwujudan dari
kesatuan visi dan misi serta cita-cita bangsa. Selain itu, ideologi juga berfungsi sebagai
ciri yang membedakan antara suatu bangsa dengan bangsa lain Bentuk-bentuk ideologi
ada 2 macam 1. Ideologi Tertutup Ideologi tertutup disusun secara sisematis dan biasanya
digunakan sebagai alat indoktrinasi dari negara atau institusi kepada masyarakat. Ideologi
ini tidak menerima perbedaan dari perbedaan2 yang ada. Pelaksanaan ideologi ini juga
diawasi secara ketat oleh negara atau institusi yang menjalankannya. Contoh : Nazisme
pada amasa Adolf Hitler 2. Ideologi Terbuka Ideologi terbuka adalah ideologi sebagai
bventuk pemikiran terbuka. Ideologi ini mengakui dan menoleransi adanya perbedaan
dalam masyarakat. Ideologi ini bersifat lebih fleksibel terhadap perkembangan zaman.
Contoh : Pancasila Macam2 Ideologi: 1. Liberalisme dan Kapitalisme Menekankan pada
aspek pengembangan individu dalam segala hal. Kebebasan dijunjung tinggi. 2.
Komunisme dan Sosialisme Menekankan pada segi kolektivitas anggota masyarakat yang
diusahakan oleh negara. Hal ini menyebabkan individu tidak dapat berkembang karena
segala sesuatunya diatur negara. Komunisme adalah bentuk sosialisme yang ekstrem
dimana negara berhak menggunakan segala cara untuk mencapai tujuannya membentuk
masyarakat yang setara. 3. Kolonialisme Penguasaan suatu negara atas negara lain. 4.
Nasionalisme Menekankan kepada kebanggaan akan berbangsan dan bernegara. Ingin
mengatur bangsanya sendiri dan mandiri, bebas dari penjajahan. Timbul akibat adanya
Kolonialisme.
paradigma berarti sebuah kerangka atau asumsi dasar yang menjadi landasan suatu
kegiatan pemikiran sehingga menentukan metode. Pancasila menjadi paradigma bangsa
Indonesia, artinya pancasila menjadi pilihan bangsa Indonesia yang memberikan arah
atau pola kehidupan berbangsa dan bernegara dalam berbagai bidang kehidupan. Di
dalam pembukaan UUD 1945, disebutkan tujuan nasional Indonesia. Untuk
mewujudkannya diperlukan kegiatan pembangunan nasional yang berkesinambungan dan
meliputi seluruh kehidupan negara. Hakekat pembangunan nasional adalah pembangunan
manusia indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat indonesia seluruhnya dengan
pancasila menjadi dasar, tujuan dan pedomannya. Ilmu pengetahuan adalah hasil dari
pemikiran manusia yang metodologis, kreatif , dan inovatif. Sementara teknologi adalah
studi tentang keterampilan atau membuat sesuatu yang membutuhkan materi tertentu
untuk tujuan dan maksud tertentu. Penciptaan teknologi merupakan rasa syukur kita
terhadap karunia dan anugerah Tuhan. Tapi, teknologi juga bisa membawa bencana. Oleh
karena itu, kita perlu memanfaatkan kecanggihan teknologi ini secara bijak.
Pembangunan menurut Pancasila: (1)Ketuhanan Yang Maha Esa Manusia itu ciptaan
Tuhan. Penggunaan semua kekayaan alam selain untuk memenuhi kebutuhan hidup, juga
harus digunakan untuk berbakti kepada Tuhan. (2)Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Pengembangan iptek harus digunakan untuk meningkatkan harkat & matrabat manusia.
Pengembangan iptek harus berdasarkan hak asasi manusia. (3)Persatuan Indonesia Dalam
berkembang secara iptek, bangsa Indonesia harus tetap bersatu, tidak boleh memikirkan
kepentingan diri sendiri. (4) Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan
dalam Permusyawaratan/Perwakilan Tetap diperlukan adanya lembaga perwakilan untuk
mewakili aspirasi-aspirasi masyarakat. Pengembangan iptek harus diarahkan untuk
menjamin hak-hak rakyat. (5)Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia Semua
rakyat Indonesia berhak untuk mendapatkan kesempatan ynag sama dalam menuntut ilmu
dan teknologi. KKN harus dihapuskan karena bertentangan.

Apa yg melatarbelakangi pncsl sbg ide ter


Peng
Ap saat ini msh pntas
Peranan pcs
Ap sj pnyimpgan

Dengan mencermati dan menelaah faktor lingkungan strategis tersebut


kita dapat mengidentifikasi dan menginventarisasi berbagai masalah, gangguan
dan hambatan yang sedang dan akan dihadapi bangsa yang setiap saat dapat
berkembang menjadi potensi konflik dan ancaman antara lain:

• Bidang Ideologi
o
 Makin berkembang paham yang bertentangan dengan
Pancasila. Belakangan ini terlihat munculnya kembali
ideologi yang bersifat imperial-global seperti
Neoliberalisme/Kapitalisme, Khilafahisme, American
Evangelism serta New Left. Ideologi ini direspon oleh
menguatnya fenomena fundamentalisme-radikalisme yang
secara ekstrim termanifestasi dalam terorisme. Berbagai
warna ideologis tersebut berpotensi destruktif terhadap
Pancasila, keamanan nasional dan keutuhan bangsa.
 Lunturnya wawasan dan ethos kebangsaan. Setidaknya
berdasarkan hasil penelitian sebuah lembaga konsultan
asing dari AS yang diminta meneliti hal ini, disimpulkan telah
terjadi kelunturan semangat dan wawasan kebangsaan yang
cukup luas khususnya di kalangan generasi muda.
• Bidang Politik

• Transisi demokrasi telah menggeser sistem demokrasi Pancasila dan


mempromosikan sistem demokrasi liberal secara besar-besaran, empat
kali amandemen UUD1945 (yang keabsahannya masih dipertanyakan)
membuat sistem politik kita menjadi ultra liberal, selain tidak sesuai
dengan kultur dasar bangsa Indonesia (kekeluargaan dan gotong-royong),
juga berisiko tinggi bila diterapkan dalam masyarakat yang tingkat
pendidikan dan kesejahteraannya masih rendah atau dengan kata lain
lapisan kelas menengahnya (sebagai syarat berjalan baiknya demokrasi)
masih tipis serta kultur berdemokrasi seperti sikap fairness, egaliter,
appresiatif, toleran masih belum baik. Buah dari pemaksaan sistem
demokrasi ini antara lain; pemilu legislatif/presiden dan pilkada tidak
melahirkan pemimpin yang diharapkan/memenuhi syarat karena rakyat
belum mampu memilih dengan nalar, serta kekisruhan bahkan
anarkhisme sering sekali mewarnai pilkada atau dinamika kepartaian.
Kondisi ini telah menimbulkan keretakan-keretakan dikalangan
masyarakat bahkan bangsa, apabila tidak disadari dan diwaspadai serta
dibiarkan saja berkembang (sesuai pesanan?) maka bangsa ini terancam
oleh perpecahan.


o
 Mengentalnya tendensi feodalisme, termasuk fenomena
berburu kekuasaan dan materi, sehingga interest pribadi
lebih mengedepan daripada kepentingan
golongan/kelompok, apalagi kepentingan nasional.
 Kencangnya kecenderungan fanatisme golongan. Hal ini
merapuhkan soliditas dan solidaritas nasional serta
menggoyahkan bangunan kebangsaan.
 Potensi dan ancaman Separatisme. Hingga kini benih
separatisme belum sepenuhnya padam di negeri ini
terutama di beberapa wilayah rawan seperti Aceh, Papua
dan Maluku. Virus tribalisme serta efek negatif dari
otonomisasi berupa semangat kedaerahan yang berlebihan
(lokalisme overdosis) pun dapat membuka pintu bagi
semangat separatisme.
• Bidang Sosial Budaya
o
 Simptom disorientasi. Kondisi faktual – yang juga
merupakan buah dari globalisasi dan perubahan mondial --
memperlihatkan bangsa kita mengalami disorientasi, tidak
jelas lagi apa yang menjadi Tujuan serta apa yang menjadi
sarana dan cara untuk mencapai tujuan tersebut. Bukan
tidak mungkin, simptom disorientasi ini sengaja direkayasa
dan diinginkan oleh kaum kapitalis asing agar negeri kita
lebih mudah dikendalikan demi kepentingannya.
 Dari aspek mentalitas/moral bangsa, makin merebak
paham materialisme, konsumtivisme, hedonisme dan
permisivisme. Hal ini melemahkan daya tahan bangsa atau
ketahanan nasional kita.
 Semua masalah tadi merupakan muara dari buruknya
Sistem Pendidikan Nasional kita yang tidak
mengutamakan pendidikan/pembentukan karakter, tetapi
lebih mengutamakan pengajaran yang bermuara pada sikap
pragmatisme dan kosmopolitanisme. Sebagai misal,
kurikulum bagi anak TK, SD dan SMP yang lebih dijejali
pelajaran matematika dan bahasa Inggris ketimbang sejarah
nasional dan ilmu bumi (geografi), sehingga lambat-laun
akan memperlemah Nasionalisme dan Patriotisme anak
bangsa dan tentunya menjadi ancaman bagi eksistensi
bangsa Indonesia.
• Bidang Hukum
o
 Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) telah menjadi virus
mematikan yang menjalar hampir ke semua lini kehidupan
bangsa.
 Kejahatan ekonomi terhadap negara berupa
penyelundupan, pencurian ikan, pembabatan hutan,
penggelapan pajak, pencucian uang dan berbagai tindakan
ilegal lainnya mengakibatkan kerugian negara yang sangat
massif.
 Sindikasi Narkoba. Narkotika dan obat-obatan terlarang
(Narkoba) merupakan bahaya serius yang mengancam
masa depan serta peradaban suatu bangsa maupun umat
manusia pada umumnya dengan terlebih dahulu
menghancurkan generasi muda.
 Terorisme merupakan ancaman multiaspek yang
berpotensi”panjang umur” di republik ini terkait rendahnya
tingkat pendidikan, distorsi/misinterpretasi pemahaman
agama yang mudah dibelokkan ke arah radikalisme pada
segelintir umat, dan juga sebagai ”jawaban putus asa”
terhadap paham materialisme dan liberalisme yang
mencengkeram.

• Bidang Ekonomi
o
 Akibat ketergantungan tinggi kepada bantuan ekonomi
asing, kita sangat minus dari segi kemandirian, kian lama
kita semakin lumpuh dalam jeratan utang yang semakin
menumpuk, serbuan modal asing membuat kita tidak lagi
berdaulat dibidang ekonomi, serbuan produk luar negeri
telah mengakibatkan terjadinya deindustrialisasi yang cukup
luas serta tersingkirnya produk-produk dalam negeri
terutama produk pertanian serta industri kecil menengah
(home industry).
 Liberalisasi ekonomi kebablasan sehingga kebijakan dan
perundang-undangan dibidang ekonomi tidak berpihak
kepada rakyat, melainkan kepada korporasi/kapitalis asing
sehingga terjadi eksploitasi kekayaan alam yang tidak
memberi manfaat kepada rakyat.
 Birokrasi yang kental dengan budaya korup dan belum
tersentuh oleh reformasi mengakibatkan ekonomi biaya
tinggi.
 Sebagai konsekwensi dari keadaan diatas, maka terjadi
pertambahan jumlah penduduk miskin dan
meningkatnya angka pengangguran sehingga potensial
terjadinya ledakan sosial.
• Bidang Militer
o
 Separatisme. Persoalan separatisme termasuk isu
multidimensional, terutama politik, ekonomi dan hukum.
Namun manakala sudah berwujud pemberontakan
bersenjata (armed rebellion) atau insurgency masalah
tersebut sudah masuk domain pertahanan.
 Terorisme. Kemiskinan, keterbelakangan, kebebasan-
keterbukaan yang amat luas dan nyaris tidak terkontrol serta
fundamentalisme-radikalisme adalah lahan subur bagi
terorisme. Selama ini masalah terorisme dominan ditangani
oleh Polri, tidak ada keterpaduan dalam penanganan dan
penanggulangannya, padahal untuk menumpas tuntas
terorisme sampai ke akarnya dalam media persemaian yang
luas seperti diungkap di atas, sangat diperlukan kerjasama
antar instansi terkait secara terpadu. Selain itu, setiap
angkatan di TNI serta Polri memiliki satuan anti teror
masing-masing tanpa kerjasama yang memadai. Satuan-
satuan antiteror yang dimiliki TNI tidak pernah didaya-
gunakan di lapangan, padahal untuk membentuk dan
memelihara kemampuan satuan semacam itu diperlukan
biaya yang tidak sedikit. Keadaan ini dapat berakibat umur
panjangnya ancaman terorisme serta terjadinya inefisiensi
dalam keberadaan satuan antiteror.
 Masalah perbatasan. Masih ada potensi gesekan atau
konflik dengan negara-negara tetangga menyangkut
perbatasan, apalagi kalau dikaitkan dengan masih eksisnya
forum pertahanan FPDA. Kasus Ambalat dan Sipadan-
Ligitan merupakan contohnya. Demikian pula persoalan
internal Timor Leste yang masih akan berlarut dalam jangka
panjang.
 Sikap ’over-acting’ negara adikuasa (AS) yang merasa
diri sebagai ”polisi dunia” sehingga secara unilateral ataupun
multilateral dapat melakukan agresi, invasi dan okupasi.. Hal
ini perlu dijadikan ”perhitungan dan pertimbangan strategis”
karena ancaman itu dapat menjadi nyata, sementara
kekuatan pertahana kita masih sangat rapuh.

Dengan demikian, terlihat jelas dan gamblang betapa luas dan lebarnya
potensi konflik dan spektrum ancaman yang bersifat multidimensional (tidak
hanya militer) terhadap kehidupan bangsa-negara kita, sehingga tidak dapat
direspon dengan satu perspektif saja melainkan perlu pendekatan yang bersifat
multidimensional juga.

Sishankamrata

Hakikat sishankamrata adalah pengerahan total seluruh potensi bangsa


yang meliputi aspek geografi, demografi, ideologi, politik, ekonomi, sosial,
budaya, hukum, informasi, diplomasi dan lain sebagainya (semesta). Apabila
seluruh potensi tersebut dikelola dengan benar, efektif-efisien serta dikerahkan
sepenuhnya untuk melindungi kepentingan pencapaian fungsi-fungsi
pemerintahan negara lainnya, niscaya akan menghasilkan kekuatan pertahanan
yang mampu memancarkan ”daya tangkal” yang sangat ampuh. Pertanyaannya
kemudian, mengapa harus menggunakan sishankamrata? Apakah sistem
pertahanan ini sudah tepat untuk kondisi geografis, filosofis dan kultur bangsa,
serta kondisi ekonomi Indonesia?

Landasan logis bagi pemahaman tentang Sishankamrata adalah persepsi


yang komprehensif bahwa sistem kehidupan berbangsa-bernegara atau sistem
nasional (Sisnas), mencakup berbagai dimensi yang fundamental dan
eksistensial seperti ideologi, ekonomi, politik, sosial, budaya serta pertahanan
dan keamanan (Hankam). Oleh karena bersifat saling terkait, maka berbagai
dimensi itu tidak boleh dan tidak dapat saling meniadakan (mutually exclusive)
melainkan bersifat komplementer dan interdependen. Sishankamnas –
sebagaimana sistem lainnya (politik, ekonomi dan sebagainya) – dibangun dan
digerakkan untuk menunjang upaya pembangunan atau transformasi nasional
menuju tercapainya cita-cita atau Tujuan Nasional (Tunas). Namun untuk
mencapai tunas terdapat banyak aspek yang harus dilindungi, dijaga/dikawal dan
diimplementasikan, yakni berbagai Kepentingan Nasional (Kepnas).
Sebagaimana sisnas, kepnas pun bersifat kompleks (luas dan bertali-temali
hubungannya) serta multi dimensi, juga bersifat vital dalam upaya pencapaian
tunas. Dalam dinamika kehidupan berbangsa bernegara, kepnas tersebut pasti
akan menghadapi berbagai ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan yang
bersifat ”multidimensional”. Maka untuk menghadapinya perlu pengerahan total
potensi bangsa, segenap potensi harus dibangun dan didayagunakan secara
efektif. Dengan demikian sishankamrata yang hakikatnya pengerahan total
seluruh potensi bangsa, merupakan konsep yang relevan bagi negara dan
bangsa kita yang secara geografis bercirikan negara kepulauan, amat luas dan
kaya dengan sumber daya alam serta secara demografis memiliki keaneka-
ragaman yang amat lebar. Sishankamrata sangat cocok untuk digunakan
sebagai wadah, isi, dan tata laku pertahanan-keamanan nasional, dengan selalu
mengaktualisasikan nilai instrumentalnya agar tetap relevan dan mutakhir. Perlu
diketahui sistem semacam ini -- lazim dikenal dengan total defense -- juga
dijadikan konsep pertahanan di banyak negara seperti Swiss, Singapura, Israel
dan sebagainya. Jadi konsep ini pada hakikatnya bersifat universal, bukan khas
Indonesia.

Basis logika Sishankamrata dapat digambarkan sekilas dengan mengacu


pada kebiasaan umum (habitus universal) dalam Rekayasa Sishan. Idealnya,
sebuah negara memiliki suatu sistem pertahanan di mana “kekuatan riil” yang
dimilikinya lebih unggul daripada kekuatan yang mengancam (ancaman
potensial). Jika belum dapat mencapai kekuatan ideal tersebut maka biasanya
dibangun aliansi dalam rangka memelihara balance of power. Namun bila hal
itupun tidak dapat dilakukan maka tidak ada pilihan lain selain “Perang Rakyat”.
Bagi Indonesia, membangun kekuatan ideal de facto masih jauh dari mungkin
karena dihadang kendala sangat terbatasnya anggaran; sementara untuk
beraliansi membangun pakta pertahanan pun tidak mungkin karena filosofi politik
luar negeri kita yang “bebas-aktif”. Dengan demikian, langkah realistis yang
merupakan pilihan logis adalah menjadikan Perang Rakyat atau total defense
sebagai konsep pilihan. Pola pikir inilah yang melatar-belakangi adanya
“Sishankamrata”.

Berdasarkan pola pikir tersebut, Hankamrata merupakan doktrin rasional


yang diputuskan melalui konsesus nasional untuk mendayagunakan segenap
potensi dan sumber daya bangsa Indonesia. Terlebih lagi dalam menghadapi
berbagai potensi konflik dan ancaman yang bersifat multidimensional seperti
tergambarkan diatas, konsep Sishankamrata merupakan cara/sarana/konsep
untuk menjawabnya. Sishankamrata yang berbasis pada kesadaran bela
negara yang kuat dan dimiliki oleh seluruh komponen bangsa secara merata,
merupakan sistem atau doktrin yang tepat dan relevan untuk diaplikasikan.
Karenanya segenap komponen bangsa harus menyadari hal ini dan bersama
pemerintah harus melakukan upaya aktualisasi Sishankamrata secara konkrit,
implementatif, terarah dan dilakukan sejak dini, sehingga diperoleh kemampuan
penangkalan, pencegahan dan kesiapan di bidang pertahanan yang bersifat
multi-aspek pula.

Peran Intelektual

Banyak peristiwa penting didunia terjadi karena peran kekuatan intelektual,


munculnya kesadaran atau kebangkitan nasional 1908 dan lahirnya bangsa
Indonesia 1928 juga karena kekuatan intelektual, Indonesia merdeka pun karena
sinergi antara kekuatan bersenjata dan Intelektual. Dengan demikian dapat
dikatakan betapa dahsyat kekuatan intelektual dalam melakukan perubahan atau
sebaliknya dalam mempertahankan nilai. Kini Indonesiaan sedang menhadapi
ancaman yang bersifat multidimensional sehingga bangsa dan Negara dalam
keadaan kritis; Pancasila dirong-rong oleh ideologi-ideologi lain yang bersifat
imperial-global sehingga nilai-nilai luhur bangsa menjadi luntur atau merosot,
sistem politik/demokrasi dan ekonomi sudah amat liberal sehingga tidak mampu
membawa rakyat kearah perbaikan, budaya tambah tercerabut dari akarnya,
sistem dan penegakkan hukum lemah, begitu pula aspek hankam, tidak hanya
TNI tetapi juga kekuatan pertahanan lain demikian lemahnya sehingga Indonesia
yang besar dan negaranya kaya ini dengan mudah dilecehkan negara kecil
seperti Malaysia dan Singapur. Dengan demikian sudah saatnya kekuatan
intelektual Indonesia bangkit kembali untuk mempertahankan dan memantapkan
ideologi Pancasila, dengan cara mengambil peran menentukan dalam proses
perubahan atau perbaikan. Hemat saya paling tidak terdapat empat peran
penting yang dapat dimainkan oleh kaum intelektual Indonesia dalam melakukan
restorasi sebagai berikut :


o Kaum intelektual khususnya yang telah memiliki nilai-nilai
kejoangan, wawasan kebangsaan dan ketrampilan bela negara
seperti anggota Menwa, berpeluang besar untuk menjadi pelopor
dalam upaya mengembalikan Roh Mukadimah UUD 1945,
terutama menyangkut sistem politik/demokrasi dan ekonomi kita
yang terlalu individualistik-liberalistik untuk dikembalikan pada nilai-
nilai ke-Indonesiaan yang bercirikan kekeluargaan, gotong-royong
dan musyawarah mufakat dengan cara meninjau kembali hasil
amandemen UUD 1945.


o Kita tidak bisa hanya menyalahkan penetrasi ideologi asing yang
mengakibatkan lunturnya nilai-nilai luhur atau karakter dan jatidiri
bangsa. Kita perlu melakukan introspeksi karena selama 64 tahun
merdeka telah abai dengan “Pembangunan Karakter” atau
Character building yang seharusnya didapatkan dari pendidikan
(dalam arti luas), pengalaman atau penugasan. Dalam konteks ini
peluang peran intelektual sebagai agen perubahan / perbaikan
sangat besar, antara lain untuk memperbaiki sistem pendidikan kita
yang terlalu berorientasi pada kompetensi atau transferof
knowledge/transfer of technology serta kurang beroriantasi pada
pembangunan karakter atau transfer of value.


o Berikutnya kaum intelektual harus ikut mengambil peran dalam
Reformasi Birokrasi dan Partai Politik yang sangat jauh
tertinggal dari reformasi sektor lainnya, seperti reformasi TNI yang
keberhasilannya cukup jauh walaupun masih perlu disempurnakan.
Padahal peran parpol dan birokrasi sangat menentukan dalam
upaya mewudkan tata-kelola pemerintahan yang baik menuju pada
pencapaian tujuan nasional. Adapun caranya, intelektual harus
secara aktif mengkritisi kedua institusi tersebut bahkan bila perlu
masuk kedalam sistem untuk melakukan perbaikan dari dalam.

o Kaum intelektual memiliki potensi besar dalam Pembinaan
Generasi Muda, peran ini amat strategis mengingat generasi muda
merupakan kader pemimpin dan penerus perjoangan bangsa
dimasa dating. Ironinya kini kondisi generasi muda kita sangat
mengkhawatirkan; tawuran, narkoba, minuman keras, cara hidup
hedonistik mewarnai kehidupan sebagian (besar ?) kaum muda
Indonesia. Akibat pola hidup yang demikian itu, niscaya rasa
tanggung jawab, nasionalisme dan kesadaran bela negaranya pun
akan tereduksi sehingga amat berbahaya untuk kelanjutan masa
depan bangsa. Dalam keadaan seperti ini, peran intelektual
terutama yang telah memiliki nilai-nilai kejoangan, wawasan
kebangsaan dan ketrampilan bela Negara terasa menjadi lebih
vital.

Penutup

Demikian kontribusi saya dalam seminar ini, semoga bermanfaat dan tak lupa
saya sampaikan “ Selamat Ulang Tahun” kepeda Resimen Mahasiswa
Mahawarman semoga Mahawarman tetap jaya dan dapat menjadi pelopor bagi
kaum intelektual dalam uaya meraih kejayaan bangsa dimasa datang sesuai
dengan tujuan nasional yaitu menjadi bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat,
adil dan makmur. Semoga ***

Abstrak
Tulisan ini mendiskusikan kontroversi mengenai status
Pancasila, apakah merupakan ideologi atau bukan; dan
mencoba menawarkan jalan keluar dari kontroversi itu.
Kontroversi tentang status Pancasila itu sebenarnya
mudah didamaikan melalui perspektif sejarah pemikiran
atau ideologi. Sejak awal sejarahnya konsep ideologi
memang telah diinterpretasikan dalam dua bentuk
pengertian, sebagai konsepsi netral atau sebagai
konsepsi kritis.
Kontroversi tentang status Pancasila juga menjelaskan
aspek lain, karena kedua pendapat menyarankan hal
yang sama, yaitu perlunya cara pandang baru terhadap
Pancasila. Tulisan ini mengusulkan agar dilakukan
pemisahan pengertian Pancasila sebagai doktrin yang
komprehensif dan sebagai konsepsi politis. Akhirnya
ditunjukkan manfaat mengembangkan Pancasila sebagai
konsepsi politis, daripada sebagai doktrin yang
komprehensif.

Pendahuluan

Status Pancasila, apakah merupakan ideologi atau bukan, masih menimbulkan tanggapan

berbeda di kalangan ilmuwan. Di satu pihak, ada yang berpendapat bahwa Pancasila tidak

seharusnya dianggap sebagai ideologi, seperti terlihat pada pendapat Ongkhokham, Armahedy

Mahzar, Garin Nugroho, dan Franz Magnis Suseno. Menurut Onghokham Pancasila jelas

merupakan ’dokumen politik, bukan falsafah atau ideologi’, dan harus dilihat sebagai kontrak

sosial, yaitu kompromi atau persetujuan sesama warga negara tentang asas-asas negara baru

yang dapat disamakan dengan dokumen-dokumen penting negara lain seperti Magna Carta di

Inggris, Bill of Rights di Amerika Serikat dan Droit del’homme di Perancis (Kompas, 6

Desember 2001).

Armahedy Mahzar melihat Pancasila sebagai ideologi


menyebabkan monointerpretasi terhadap Pancasila oleh
penguasa, sementara Garin menilai bahwa Pancasila
dijadikan alat untuk menciptakan industrialisasi
monokultur yang berakibat terjadinya sentralisasi
(www.mamienrais.com, 20 Oktober 2004). Keduanya
berpendapat bahwa Pancasila tidak bolehlagi menjadi
sekadar ideologi politik negara, melainkan harus
berkembang menjadi paradigma peradaban global
(Kompas, 20 Juni 2003). Franz Magnis Suseno
menyatakan, ‘Pancasila….lebih tepat disebut kerangka
nilai atau cita-cita luhur bangsa Indonesia secara
keseluruhan daripada sebuah ideologi’ (Kompas 28
April 2000).
Di pihak lain, anggapan bahwa Pancasila merupakan
ideologi, baik dalam pengertian ideologi negara, atau
ideologi bangsa masih dipertahankan oleh komentator
lain. Pendapat mereka bukan merupakan tanggapan
langsung terhadap pendapat yang menolak Pancasila
sebagai ideologi. Ini terlihat pada pandangan
Koentowijoyo (Kompas, 13 Juli 1999 ; 20 Februari
2001), Azyumardi Azra, Asvi Warman Adam dan Budiarto
Danujaya (dalam Kompas 23 Juni 2004 ; 9 Juni 2004 ; 1
Juni 2004), James Dananjaya (Kompas, 28 Juni 2002),
dan Asy’ari (Kompas, 12 Juni 2004). Patut dicatat
bahwa pendapat yang bertolak belakang tentang
Pancasila itu muncul sebagai bagian dari kekecewaan
terhadap perkembangan Pancasila selama ini, yaitu
terhadap interpretasi dan pelaksanaan Pancasila di
bawah rezim-rezim pemerintah Indonesia sebelumnya.
Dengan kata lain, kedua kubu yang memberikan
penilaian berbeda tentang status Pancasila tersebut
masing-masing meletakkan analisisnya dalam kerangka
evaluasi terhadap perkembangan Pancasila seperti yang
dipraktekkan pada jaman Orde Lama di bawah kekuasaan
Soekarno dan Orde Baru di bawah kekuasaan Suharto.
Tulisan ini akan menengahi perbedaan pendapat
tersebut. Akan ditunjukkan bahwa memang ada kesalahan
serius dalam cara pemerintah selama ini memahami
ideologi, dan karena itu ada alasan untuk bersimpati
dengan mereka yang menyarankan bahwa Pancasila tidak
seharusnya dianggap sebagai ideologi. Tetapi, mereka
yang mempertahankan pendapat bahwa Pancasila adalah
ideologi juga memiliki pembenaran dan saya akan
memberikan pembelaan terhadap posisi pandangan ini.
Kedua pendapat yang saling bertentangan itu
sebenarnya menyarankan hal yang sama, yaitu perlunya
cara pandang baru terhadap Pancasila, dan saya
mengusulkan pemisahan pengertian Pancasila sebagai
doktrin yang komprehensif dari pengertian Pancasila
sebagai konsepsi politis.
Pada bagian pertama akan dibahas ’Kesalahan Persepsi
tentang Ideologi’ untuk menunjukkan kesalahapahaman
pemerintah selama ini berkenaan dengan ideologi
Pancasila. Pada bagian kedua, akan dibahas ‘Makna
Ideologi dan Ideologi Pancasila’ untuk menjelaskan
mengapa ideologi penting, dan mengapa Pancasila tetap
dapat dianggap sebagai ideologi. Pada akhirnya, ’Cara
pandang baru terhadap Pancasila’ akan diuraikan
dengan membedakan pengertian Pancasila sebagai
konsepsi politis dari pengertian Pancasila sebagai
konsepsi kefilsafatan atau doktrin yang komprehensif.

Kesalahan Persepsi tentang Ideologi


Memang ada kesalahan serius dalam cara pemerintah
selama ini memahami Pancasila. Pancasila telah
ditafsirkan sedemikian rupa sehingga membenarkan dan
memperkuat otoritarianisme negara. Salah satu ciri
kekuasaan yang otoriter dimanapun adalah selalu
menganggap ideologi sebagai maha penting yang
berhubungan erat dengan stabilitas atau kohesi
sosial. Tetapi asumsi bahwa usaha menyeragamkan
ideologi penting demi menciptakan stabilitas dan
memperkuat kohesi masyarakat adalah menyesatkan,
‘ideologi bekerja seperti sejenis semen sosial, yang mengikat kesatuan anggota masyarakat

dengan menyediakan nilai dan norma yang dihayati secara bersama…namun meskipun asumsi

ini diterima luas, asumsi ini sangat bermasalah. Terdapat sedikit bukti yang menyarankan

bahwa kepercayaan dan nilai tertentu dihayati oleh semua (atau bahkan sebagian besar)

anggotamasyarakat industri modern. Sebaliknya, nampak lebih mungkin bahwa masyarakat

kita, sejauh ia merupakan tatanan sosial yang ‘stabil’, distabilkan oleh akibat kemajemukan
nilai dan kepercayaan dan perkembangbiakan dari pembagian individu dan kelompok.

Stabilitas masyarakat kita mungkin bergantung, bukan terutama pada konsensus berkenaan

dengan nilai dan norma yang khusus, tetapi pada ketiadaan konsensus ketika sikap-sikap

oposisi dapa diterjemahkan ke dalam tindakan politik’ (Thompson, 1984, p. 5).

Rezim totalitarian seperti Nazi Jerman, Fasisme


Italia dan Jepang, dan negara-negara komunis pernah
mengembangkan sejenis ideologi sekuler yang merupakan
weltanschaung, yang dianggap mengatasi kehidupan
bersama dan dipaksakan berlakunya melalui aparatur-
aparatur negara. Ideologi itu menjadi landasan
doktrin negara yang ditentukan secara otoritatif,
sebagai pernyataan resmi yang seluruh warga negara
berkewajiban menerimanya (Utley and McLure, 1956, p.
2).
Tetapi pengertian ideologi yang dibangun sebagai
sistem pemikiran bersama (collective thought) bukan
hanya monopoli rezim-rezim totalitarian dengan
ideologinya yang sekuler. Disamping ideologi sekuler,
juga terdapat ideologi non-sekuler, yakni ideologi
keagamaan, yang merupakan konsepsi kefilsafatan atau
doktrin komprehensif, yakni sumber kebenaran dan
kebaikan yang lengkap dan berlaku universal (Rawls
1996, xxxviii). Dalam semua tipe masyarakat yang
diperintah oleh rezim dengan pemahaman ideologi
semacam ini, hak masyarakat untuk berbeda pendapat
dengan pandangan yang dominan ditekan. Tetapi,
sejarah justru membuktikan bahwa dalam masyarakat
yang hak-haknya untuk menentang kekuasaan ditolak
atas nama ketertiban dan stabilitas, hasilnya justru
bukan stabilitas dan kohesi masyarakat yang kuat.
Pemberontakan bersenjata, penyingkiran berdarah,
konspirasi dan kekerasan yang menjalar dari satu
ekstrim ke ekstrim yang lain selalu terjadi—ini
merupakan rekaman politik yang dapat disaksikan
terutama di Jerman dan dalam hal tertentu di Jepang
(Ebenstein, 1960, p. 128).
Di Indonesia, ideologi juga memiliki kecenderungan
untuk dikembangkan sebagai doktrin yang komprehensif.
Dua hal bisa dilihat untuk memahami hal ini, pertama,
pada pemahaman tentang hubungan Pancasila dengan
norma dan nilai, dan kedua, pada anggapan bahwa
Pancasila dapat dikembangkan sebagai ilmu.
Pertama, pandangan dominan yang dipercaya oleh
pemerintah, terutama pemerintah Orde Baru adalah
bahwa Pancasila merupakan sumber norma dan nilai.
Pancasila adalah sistem kepercayaan atau ideologi
yang menentukan bagaimana sesuatu seharusnya. Tipe
sistem politik dan karena itu struktur dominasi juga
dikembangkan dari pemahaman ideologi Pancasila
sebagai doktrin yang komprehensif ini. Dalam ungkapan
Langenberg (1990), Orde Baru adalah negara dan
sekaligus sistem negara (pemerintahan eksekutif,
militer, polisi, parlemen, birokrasi, dan
pengadilan), yang sejak 1965/1966 membangun hegemoni
dengan formulasi ideologi sebagai tiang penyangganya.
Struktur dominasi dan hegemoni negara Orde Baru
sendiri tidak dapat dipahami secara persis kecuali
jika ketotalan ’integralistik’ dari negara—yakni
negara sebagai ’ide’ (ideologi) dan ’instrumen’
(sistem/kebajikan) berinteraksi dengan struktur dan
proses kekuasaan, legitimasi, dan akumulasi itu
sendiri dipahami’. Implikasi dari formulasi ideologi
Pancasila sebagai totalitas organik ini terlihat,
misalnya, sejak 1985 seluruh organisasi sosial
politik digiring oleh hukum untuk menerima Pancasila
sebagai satu-satunya dasar filosofis, sebagai asas
tunggal dan setiap warga negara yang mengabaikan
Pancasila atau setiap organisasi sosial yang menolak
Pancasila sebagai asas tunggal akan dicap sebagai
penghianat atau penghasut, sehingga, “cap durhaka“
itu telah meluas tak hanya tuduhan subversif
sebagaimana kerap dialamatkan pada komunisme atau ide
negara Islam, melainkan mencakup segala hal yang
berbeda pendapat dengan ideologi negara (Van
Langenberg, 1990, p. 123).
Menurut pandangan yang [pernah] berlaku ini, sebagai
sumber nilai dan norma, Pancasila kemudian menjadi
peraturan normatif masyarakat dan diusahakan agar
menjadi konsensus bersama. Nilai moral yang
terinternalisasi dapat menimbulkan dampak yang kuat
dalam menentukan tujuan dan sarana untuk mencapainya.
Pelembagaan Pancasila dalam masyarakat melalui sistem
nilai yang terpusat, misalnya, melalui penataran P4,
dianggap menyumbang kohesi dan stabilitas sosial, dan
pada gilirannya, mengarahkan pada kesepakatan tentang
aturan yang menentukan kekuasaan negara dan
kegunaannya. Tetapi, formulasi bahwa ideologi
Pancasila yang dipahami sebagai doktrin komprehensif
dalam arti ajaran lengkap tentang bagaimana anggota-
anggota masyarakat seharusnya berperilaku adalah
sangat problematis. Memahami nilai dan norma
sedemikian rupa sehingga seolah-olah hal itu harus
ditangani secara terpusat demi menjaga kohesi sosial
mengandung tiga keterbatasan, sebagaimana ditunjukkan
Muthiah Alagappa.
Pertama, formulasi itu melebih-lebihkan peranan norma
dalam mengatur perilaku. Tidak semua perilaku diatur
oleh kepercayaan normatif. Perilaku orang sehari-hari
mungkin didasarkan lebih pada kebiasaan, pragmatisme
dan manfaat daripada komitmen pada tujuan normatif…
Kedua, rumusan itu gagal mempertimbangkan sifat
asimetri kekuasaan dan implikasinya bagi legitimasi.
Kekuasaan memiliki potensi besar untuk mengabsahkan
dirinya sendiri… Ketiga, penekanan pada konsensus
mengaburkan kehadiran konflik dalam masyarakat. Nilai
dan norma yang dialami bersama tidak semata-mata
didapatkan, melainkan harus diciptakan (Alagappa,
1995, p. 15-16)
Kedua, Pancasila dapat dikembangkan sebagai ilmu.
Koentowijoyo merupakan salah satu cendekiawan yang
mempercayai anggapan ini (lihat, Kompas, 21 Februari
2001; Suara Merdeka 26 Januari 2001). Sebagai ilmu
Pancasila adalah filsafat sosial, cara pandang negara
terhadap gejala-gejala sosial, dan dari filsafat
sosial dapat diturunkan menjadi teori sosial, yang
juga memiliki metodologinya. Namun, pandangan semacam
ini bukan tanpa kritik dan saya ingin mempertahankan
inti dari kritik ini, bahwa pandangan ini dapat
memperkuat ideologisasi Pancasila menjadi doktrin
yang komprehensif. Dalam bahasa pengkritiknya, bisa
terjadi bahwa perwujudan gagasan menjadikan
’Pancasila sebagai ilmu’ tidak lain adalah Pancasila
menjadi satu-satunya alam berpikir dan dipaksakan
menyeruak ke segenap aspek kehidupan…(Budiarto
Danujaya, Kompas, 23 Juni 2004). Sebagai tambahan,
ideologisasi ilmu bukan monopoli pemerintah di
Indonesia, karena seorang negarawan Uni Soviet
semacam Lenin juga melakukannya dengan membuat
secorak ideologi komunisme yang kerap disebut sebagai
Marxisme ilmiah sebagai garis resmi Partai Komunis,
yang harus menjadi haluan dan norma terakhir bagi
kebenaran ilmu, politik dan moral. Jadi ’ideologi
Pancasila bukan ilmu dan tidak mungkin dianggap
sebagai ilmu’ (Ibid, Kompas, 23 Juni 2004).
Saya melihat bahwa ini kritik yang penting, meskipun
perlu digarisbawahi bahwa yang dimaksud Koentowijoyo
dengan menjadikan Pancasila sebagai ilmu nampaknya
adalah memperlakukan Pancasila sebagai filsafat
sosial. Masalahnya barangkali karena asal mula
prinsip-prinsip Pancasila sendiri merupakan gabungan
dari berbagai ragam aliran filsafat sosial, dan
prinsip-prinsip Pancasila juga tidak menampakkan
sebagai alternatif baru dari bentuk-bentuk filsafat
sosial yang telah berkembang. Hal ini jelas, meskipun
dalam pidatonya Soekarno menyatakan bahwa Pancasila
bukan kreasi dirinya, melainkan sebuah konsep yang
berakar pada budaya masyarakat Indonesia yang
terkubur selama 350 tahun masa penjajahan, tetapi
sebagian ilmuwan meragukan bahwa Pancasila merupakan
konsep yang benar-benar produk indigenous, dengan
alasan bahwa pidato Pancasila Soekarno terlihat
sebagai hasil kombinasi dari gagasan pemikiran yang
diimpor dari Eropa, yakni humanisme, sosialisme,
nasionalisme, dikombinasikan dengan Islamisme yang
berasal dari gerakan Islam modern di Timur Tengah,
dan dalam konteks politik saat itu, Pancasila
ditawarkan sebagai upaya rekonsiliasi antara kaum
nasionalis-sekuler dan nasionalis-Islamis (Sulfikar
Amir, 2004).
Kecenderungan Pancasila menjadi doktrin yang
komprehensif yang terlihat, pertama, pada anggapan
bahwa ideologi berhubungan erat dengan stabilitas dan
kohesi masyarakat, dan kedua, pada anggapan bahwa
ideologi sebagai sumber nilai dan norma dan karena
itu harus ditangani (melalui upaya indoktrinasi)
secara terpusat, semuanya, pada akhirnya, akan
bermuara pada atau menghasilkan perfeksionisme
negara. Negara perfeksionis adalah negara yang merasa
tahu apa yang benar dan apa yang salah bagi
masyarakatnya dan kemudian melakukan usaha-usaha
sistematis agar ‘kebenaran’ yang dipahami negara itu
dapat diberlakukan dalam masyarakatnya. Munculnya
pemerintahan elit politik yang totaliter, menurut
Franz Magnis Suseno, terjadi karena kategori paham
benar-salah telah diselundupkan ke dalam politik
praktis (Suseno, Kompas, 28 April 2000). Pengertian
negara perfeksionis juga berhubungan dengan dan
memperkuat struktur masyarakat yang paternalistik,
karena negara berperan sebagai patron nilai-nilai
kebaikan, sehingga berkembanglah dalam negara semacam
ini suatu struktur hierarkis yang menyerupai struktur
keluarga, yakni Bapak atau Orang Tua merasa tahu apa
yang terbaik bagi anak-anaknya. Negara komunis
merupakan salah satu contoh dari bentuk
perfeksionisme negara ini, karena rezim komunisme,
seperti semua rezim yang didasarkan pada doktrin-
doktrin komprehensif, memiliki sistem ajaran tentang
apa yang baik dan yang buruk, apa yang boleh
dilakukan dan tidak boleh dilakukan oleh anggota-
anggotanya masyarakatnya. Jika anda hidup dalam rezim
komunis anda akan disarankan untuk menghindari kerja
yang mengalienasi, misalnya, karena kerja semacam ini
bukan merupakan pilihan yang ‘baik’, tetapi justru
sesuatu yang harus dihindari (Kymlicka, 2004, p.
200). Tidak perlu dikatakan bahwa pandangan semacam
ini pada akhirnya akan bermuara pada otoritarianisme
negara. Dan inilah latarbelakang yang menjelaskan
mengapa sebagian orang melihat bahwa Pancasila tidak
seharusnya dianggap sebagai ideologi.

Makna Ideologi dan Ideologi Pancasila


Tetapi mengatakan bahwa Pancasila tidak seharusnya
dianggap sebagai ideologi mengaburkan makna yang
lebih kompleks dari konsep ideologi dan peranannya.
Saya ingin menekankan bahwa yang ditolak adalah bukan
Pancasila sebagai ideologi, melainkan pengertian
ideologi Pancasila yang selama ini memperkuat
otoritarianisme negara. Jadi, ideologi Pancasila
tetap memiliki makna yang penting, dan menganggap
Pancasila sebagai ideologi juga bukan tanpa dasar.
Marilah kita mulai dengan melihat satu fenomena
menarik dalam perkembangan sejarah Pancasila.
Faktanya adalah Pancasila yang dirumuskan dan
dibentuk dalam rangkaian sidang-sidang BPUPKI dan
PPKI menjelang dan setelah diumumkan Proklamasi
Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 memang telah
mengalami perkembangan; Ia diinterpretasikan dan
bahkan diimplementasikan oleh berbagai aktor dan
kekuatan politik untuk mewarnai kehidupan berbangsa
sepanjang sejarah Indonesia dengan caranya masing-
masing. Eka Darmaputra mengatakan sebagai berikut :
Sejak proklamasi kemerdekaan Indonesia…negeri ini
telah mengalami berbagai perubahan penting di dalam
sistem politiknya; dari yang ‘liberal’ kepada bentuk
yang ‘otoriter’ dan diberi nama ‘demokrasi
terpimpin’; dari pemerintah sipil kepada pemerintahan
militer; dari sistem kepartaian yang multi-mayoritas
kepada sistem mayoritas tunggal ; dari ’Orde Lama’ ke
’Orde Baru’. Perubahan-perubahan ini adalah
perubahan-perubahan yang cukup mendasar. Yang menarik
adalah semuanya membenarkan diri atas nama Pancasila
(1997).
Kenyataan ini sering diartikan, seperti dikatakan
Clifford Geertz, bahwa Indonesia merupakan State
Manque, dimana ’aspirasi yang satu ke aspirasi yang
lain tak kunjung terpenuhi’ dan ‘bangsa Indonesia
tetap saja tersandung-sandung dari satu sistem
politik ke sistem politik lainnya’ (Geertz, 1973).
Mochtar Pabotinggi menulis apakah seandainya Geertz
menunggu duapuluh tahun ia akan tetap menempatkan
Indonesia sebagai state manque ? (Pabotinggi, 1995).
Dewasa ini, pada masa yang sering disebut dengan era
reformasi, memang terjadi kembali perubahan yang
meniscayakan transformasi nilai dan penyesuaian
tatanan kelembagaan, meskipun demikian perubahan ini
nampaknya disertai oleh kesadaran kolektif yang lebih
percaya diri berkenaan dengan nilai-nilai yang
melandasinya.
Karena itu, dalam melihat fenomena hubungan antara
Pancasila dan perubahan-perubahan sistem politik
sosial, dan ekonomi di Indonesia selama ini,
penjelasannya, saya kira, sangat sederhana. Ada
banyak cara yang menyebabkan orang bisa sampai pada
kesimpulan yang sama dan kesimpulan yang berbeda-beda
dapat diturunkan dari sumber doktrin atau ajaran yang
sama. Inilah yang sebenarnya terjadi dibalik
munculnya “praktek“ Pancasila yang berbeda-beda di
Indonesia. Tetapi, fenomena semacam ini sebenarnya
berlaku umum, bukan merupakan sesuatu yang khas
Pancasila atau melulu terjadi di Indonesia. T.E.
Utley dan J. Stuart Mclure mencatat kesaksiannya,
seseorang menerima ajaran sosial dan politik kepausan
tidak berarti mengatakan bahwa orang itu niscaya
mengikuti arah tindakan sosial dan politik tertentu
yang diambil langsung dari ajaran itu. Dalam
kenyataannya penerimaan atas ajaran ini nampak
sejalan dengan berbagai pandangan yang luas dan
berbeda-beda berkenaan dengan masalah ekonomi, sosial
dan konstitusional, dan sebaliknya, seseorang
merupakan anggota Partai Buruh di Inggris tidak
dengan sendirinya orang itu menerima semua atau
sebagian besar doktrin-doktrin sosial dan ekonomi
yang abstrak pada Partai itu (1956, p. 3).
Studi Douglas E. Ramage berjudul Politics in
Indonesia : Democracy, Islam and the Ideology of
Tolerance (Routledge, London, 1995) juga memperjelas
kesalahan ilusi bahwa Pancasila dapat disepakati
sebagai sebuah doktrin yang akan menghasilkan
pandangan tunggal tentang tatanan sosial, politik dan
ekonomi. Ramage menunjukkan bahwa sejak Orde Baru
Pancasila sebagai dasar negara tidak lagi
dipersoalkan, dan perdebatan yang berkembang adalah
mengenai makna dan implikasi Pancasila bagi struktur
politik dan partisipasi warga negara dalam proses
politik. Menurut Ramage, Pancasila memiliki fungsi
tertentu, yaitu ’sebagai referensi ideologi yang
potensial untuk [memecahkan] masalah-masalah
fundamental dalam kehidupan nasional’ (dikutip dalam
Ramage, 1994, p. 166).
Tetapi mengapa ideologi penting bagi sebuah
masyarakat? Untuk menjawab pertanyaan ini, dua hal
akan saya diskusikan, pertama, sebagai bahan
perbandingan, ideologi Cina. Meskipun mungkin muncul
keberatan karena ideologi komunis Cina justru
menyarankan otoritarianisme yang tidak sejalan dengan
ideal Pancasila, perbandingan ini berguna, karena ada
kemiripan, yaitu, kedua ideologi berbasis domestik,
dan nampak terancam oleh penetrasi dari luar.
Sebagaimana ditunjukkan oleh para pengamat Cina,
meskipun ideologi Cina mengalami transformasi dan
bahkan mungkin mengalami krisis (sesuatu yang
dirasakan oleh banyak orang juga terjadi pada
Pancasila), ideologi tetap penting dalam sistem
politik Cina. Kebudayaan tradisional menghargai
tinggi kekuatan yang berenergi dan menyatukan dari
nilai-nilai moral dan karena pengejaran atas aturan
partai tunggal yang terpusat dalam sebuah negara
dengan besarnya keragaman dari berbagai kepentingan
yang saling bertentangan memperkuat kebutuhan akan
implementasi aturan yang bersifat mengingatkan.
Steven I. Levin menggarisbawahi pandangan ini dan
mengatakan bahwa ’persepsi dan ideologi memainkan
peranan dalam hubungan luar negeri setiap negara, dan
Cina tentu saja bukan merupakan kekecualian dari
aturan ini (1998, p. 45). Pandangan seperti ini
membantah anggapan yang menyatakan bahwa di luar
liberalisme tidak lagi ada ideologi yang berpengaruh
(Fukuyama, 1989). Pandangan para pengamat Cina yang
lain seperti Doak Barnett dan Lucian Pye menyebutkan
bahwa ideologi…harus diabaikan karena perilaku
internasional Cina ditandai oleh ketiadaan perhatian
akan konsistensi dan pragmatisme (dikutip dari
Levine, 1989, p. 36). Dua contoh terakhir ini memang
merayakan keruntuhan ideologi sebagai penentu nilai-
nilai dan praktek sosial, tetapi kritik mengatakan
bahwa perayaan itu didalam dirinya sendiri juga
bersifat ideologis (Gauthier, 1997, p. 28)
Jadi, mengapa Pancasila sebagai ideologi tidak dapat
ditolak, penjelasannya mirip dengan apa yang terjadi
pada perkembangan ideologi komunis Cina. Seperti
halnya ideologi komunis Cina, ideologi Pancasila (dan
sesungguhnya juga semua ideologi) memiliki daya
hidup. Ideologi penting karena dapat menjelaskan
bagaimana sebuah masyarakat berpikir dan berperilaku
(Hook, 1976). Dengan kata lain, ideologi selalu
memiliki tempat dalam kesadaran, dan arti penting
ideologi dapat dipahami jika kita bisa mengenali
sifat permanen dari kesadaran itu, tanpa komitmen
yang merendahkannya (Gauthier, 1997, p. 28).
Sebagaimana kasus ideologi komunis Cina, kesadaran
ini juga berarti dua hal. Pertama, Pancasila bisa
dilihat sebagai ’ideologi informal’, yaitu ’kompleks
dari nilai-nilai kebudayaan, preferensi, prasangka,
kecenderungan, kebiasaan dan proposisi-proposisi yang
tidak dinyatakan tetapi diterima luas mengenai
realitas yang mengkondisikan cara bagaimana para
aktor politik berperilaku (bandingkan, Foot, 1996, p.
267: see also Levin, 1998, p. 34-). Kedua, Pancasila
juga bisa dilihat sebagai ‘ideologi formal’, yang
jika pada kasus ideologi komunis Cina akan menunjuk
pada pemikiran Marxisme-Leninisme-Mao Zedong, maka
ideologi formal Pancasila juga menunjuk pada ‘bentuk
pemikiran yang sistematis dan eksplisit,
diformulasikan secara masuk akal dan diartikulasikan
secara baik’ (bandingkan, Levine, 1998, p. 33).
Kedua, apa yang dinamakan politik identitas
barangkali juga merupakan sebagian (jika bukan
seluruh) persaingan antara ideologi formal dan
ideologi informal. Peran ideologi formal, misalnya,
akan memperkuat klaim bahwa setiap bangsa pasti
memiliki identitasnya yang unik dan karena itu
identitas ini dianggap bukan ilusi. Seperti halnya
individu yang pada saat tertentu dalam kehidupannya
akan merefleksikan siapa dirinya, setiap masyarakat
juga memiliki identitas seperti yang terkandung dalam
persoalan-persoalan yang dihadapinya.
Tetapi, meskipun refleksi tentang diri sendiri ini
merupakan bagian dari isi kesadaran, ideologi sebuah
bangsa tidak bisa disamakan dengan isi kesadaran
dalam bentuk rumusan ideologi formal, karena ada
pemikiran dan aktivitas lain yang berkembang dalam
masyarakat seperti nampak pada ideologi informal.
Dengan kata lain, ideologi memang memberikan landasan
bagi kesadaran diri seseorang, tetapi hal ini tidak
menghalangi perbedaan, atau bahkan kontradiksi antara
isi sub-struktur ideologi dan isi dari kesadaran yang
dilahirkan (Gauthier, 1997, p. 28). Dengan demikian,
tidak mungkin ada penilaian sederhana mengenai jenis
elemen yang menentukan identitas nasional karena
memang ada keragaman baik antar kebudayaan maupun
dalam kebudayaan. Karena itu pula, identitas nasional
dapat berubah dan merupakan pertentangan politik
(Poole, 1999, p. 16). Meskipun demikian, ada semacam
kerangka etis bagi politik identitas yang juga
menjelaskan bagaimana persaingan antara ideologi
formal dan ideologi formal seharusnya dikembangkan,

‘…Politik identitas tidak sama dengan penyusunan


konsep identitas bangsa yang pemasyarakatannya tidak
membuka ruang bagi masyarakat untuk ikut pada proses
negosiasi dan renegosiasi makna’, sebaliknya,
‘politik identitas adalah refleksi yang berpangkal
pada pertanyaan ‘siapakah aku, namun mengandung
persoalan masyarakat dan budaya. Refleksi pada
politik identitas ini bukan refleksi birokrat
pemerintah atau refleksi beberapa cendikiawan yang
dikumpulkan pemerintah. Refleksi ini merupakan
himpunan ciptaan pada kegiatan budaya masyarakat yang
tampil melalui pemikiran, teori, perdebatan,
kesenian, bahkan komentar-komentar tentang isu besar
di semua sektor’ (Jim Supangkat, Kompas 7 Novemper
2004, p. 17).
Uraian di atas menjelaskan bahwa Pancasila sebagai
ideologi tetap memiliki makna tertentu.
Pada akhirnya, perbedaan pendapat tentang apakah
Pancasila merupakan ideologi atau bukan, sebenarnya
mudah didamaikan jika kita menerima bahwa memang ada
perbedaan pemahaman tentang konsep ideologi sendiri,
yang dapat ditelusuri dari sejarah pemikiran. Sering
disarankan bahwa salah satu cara yang baik untuk
memahami ideologi adalah dengan memahami sejarah
istilah itu, yaitu dengan melihat perkembangan
panjang dan berliku-liku dari istilah atau konsep ini
sejak dikenal pertama kali dua abad yang lalu di
Eropa (lihat misalnya, Jorge Lorrain, 1979; John B,.
Thompson, 1990). Konsep ideologi, menurut sejarah
perkembangannya, dapat dibedakan dalam dua
pendekatan, pertama, pendekatan positif atau netral,
yaitu ketika ideologi dipahami dalam pengertian yang
murni deskriptif ; sebagai sistem pemikiran (system
of thought), system kepercayaan (system of belief) atau
sebagai praktek simbolik (symbolic practises). Ideologi
dalam pengertian ini dianggap hadir dan menggerakkan
tindakan atau rencana politik sehari-hari, tidak
dipersoalkan apakah rencana atau program yang
digerakkan dengan basis ideologi atau ajaran ini akan
mengubah atau mempertahankan tatanan sosial (social
order). Pendekatan kedua adalah pendekatan kritis,
yaitu ketika ideologi dipahami sebagai sesuatu yang
berhubungan dengan proses mempertahankan relasi
kekuasaan yang tidak seimbang atau sebagai proses
mempertahankan dominasi. Dengan demikian, ideologi di
sini dilihat sebagai bukan secara apa adanya, tetapi
selalu dianggap berhubungan dengan realitas sosial
dan relasi kekuasaan.
Pancasila sebagai ideologi merupakan kenyataan yang
tidak bisa ditolak, dan ini bisa menampakkan diri
dalam pengertian formal atau informal. Menolak
Pancasila sebagai ideologi tidak masuk akal, bukan
hanya karena penolakan semacam ini bersifat
ideologis, tetapi juga karena hal ini akan potensial
mempersempit ’keleluasaan berpikir’ yang harus dijaga
berdasarkan prinsip kebebasan, yang menyarankan bahwa
kemauan setiap orang atau kelompok untuk
mengartikulasikan dan merumuskan pemahaman tertentu
tentang kehidupan harus tetap dikembangkan. Kebebasan
berpikir merupakan hak termasuk elit penguasa yang
memang berkepentingan dengan ideologi formal, maupun
warga negara biasa dan masyarakat sipil yang
berkepentingan dengan bagaimana kedua pengertian
ideologi tersebut dalam praktek mempengaruhi
kehidupan mereka. Sekali lagi, ideologi penting dan
merupakan kenyataan yang tidak bisa ditolak karena
dalam setiap masyarakat selalu diharapkan tersedia
keberadaan sebuah struktur bersama yang terbentuk
dari idea-idea dan karena itu, ‘salah satu fungsi
penting dari lembaga sosial adalah mempertahankan dan
menyebarkan ideologi bersama (common ideology)
diantara mereka yang membentuk sebuah masyarakat’
(Gauthier, p. 28)
Masalahnya memang bagaimana mengembangkan ideologi
agar tidak melanggengkan dan memperkuat kekuasaan
negara yang totaliter dan otoritarian. Ini merupakan
pertanyaan yang akan saya bahas selanjutnya, meskipun
perlu ditambahkan juga bahwa masalah yang dihadapi
masyarakat modern dan majemuk seperti di Indonesia
dewasa ini bukan hanya warisan otoritarianisme
negara. Kita juga sedang dan akan dihadapkan pada
masalah bagaimana mengembangkan masyarakat Indonesia
yang adil dan stabil dengan persamaan dan kebebasan
yang besar bagi seluruh warga negara yang masing-
masing memiliki doktrin moral, kefilsafatan dan
keagamaan, yang komprehensif dan masuk akal
(reasonable) tetapi tidak bisa disatukan
(incompatible).

Cara Pandang Baru Terhadap Pancasila


Saya telah menunjukkan bahwa problem ideologi
Pancasila, yang terlihat pada menguatnya kekuasaan
negara yang otoritarian, berhubungan dengan kenyataan
bahwa Pancasila telah berkembang menjadi doktrin yang
komprehensif. Doktrin yang komprehensif merujuk pada
sistem ajaran yang berlaku untuk semua subyek dan
kebajikan dari ajaran ini mencakup seluruh kehidupan
(bandingkan, Rawls, 1996, p. xxxviii). Jadi semua
doktrin yang komprehensif memiliki dua ciri penting;
pertama, ia berlaku menyeluruh, dan kedua, tidak ada
kebenaran lain di luar sebuah doktrin yang
komprehensif yang diyakini.
Bukan pada tempatnya di sini menjelaskan mengapa dan
bagaimana Pancasila berkembang menjadi sebuah doktrin
yang komprehensif, meskipun barangkali perkembangan
ini bisa ditelusuri sejak awal proses perumusan
Pancasila, ketika identitas nasional dianggap sebagai
sesuatu yang unik, seperti terlihat pada idea tentang
negara integralistis yang dirumuskan Soepomo dan
kemudian juga dikembangkan dengan cara tertentu baik
dalam rezim Soekarno maupun Suharto (lihat,
Bourchier,
1996). Terlepas dari masalah ini, jelas ada hubungan
antara doktrin yang komprehensif dan penggunaan
kekuasaan negara yang bersifat memaksa. Nampaknya
memang bisa diterima bahwa jika sebuah masyarakat
menegaskan secara bersama-sama salah satu doktrin
moral, kefilsafatan atau keagamaan yang komprehensif,
maka untuk bisa mempertahankan doktrin komprehensif
itu secara terus menerus dibutuhkan penggunaan
kekuataan memaksa (opresi) dari kekuasaan negara.
Rawls menunjukkan satu contoh,
Pada masyarakat Barat abad pertengahan yang kurang
lebih disatukan oleh kepercayaan Katolik, inkuisi
bukan sesuatu yang kebetulan; dan usaha
mempertahankan kepercayaan agama Katolik pada masa
itu menuntut perlunya penindasan terhadap bid’ah,
begitu juga sangsi kekuasaan negara juga dibutuhkan
untuk bisa mempertahankan masyarakat yang memeluk
doktrin komprehensif yang sekuler (non-keagamaan)
seperti masyarakat yang disatukan oleh bentuk
utilitarianisme atau liberalisme yang dikembangkan
Immanuel Kant
dan John Stuart Mill (1997, p. 274).
Ini tidak berarti bahwa kita harus menolak doktrin-
doktrin yang komprehensif yang hidup dalam masyarakat
kita. Justru dalam semua masyarakat yang majemuk dan
demokratis, keberadaan doktrin-doktrin yang
komprehensif (baik moral, kefilsafatan maupun
keagamaan) sudah menjadi fakta umum yang harus
diterima. ’Fakta pluralisme’ (the fact of pluralism)
ini merupakan ciri permanen dari kebudayaan publik
yang demokratis, bukan semata-mata kondisi historis
yang kemudian akan sirna (Rawls, 1996, 1997). Maka,
yang menjadi masalah bukan bagaimana meniadakan
doktrindoktrin yang komprehensif itu, sebab justru
dalam kondisi sosial dan politik yang melindungi
kebebasan dan hak-hak dasar, keragaman dari doktrin-
doktrin komprehensif yang bertentangan akan muncul
dan bertambah. Masalahnya adalah bagaimana sebuah
ideologi negara dikembangkan dalam sebuah masyarakat
demokratis yang modern dan majemuk yang ditandai
adanya ’fakta pluralisme’ yang terlihat dalam
berbagai bentuk doktrin moral, kefilsafatan dan
keagamaan yang berbeda-beda? Yang diperlukan adalah
sebuah ajaran yang dapat didukung oleh kemajemukan
dari berbagai doktrin moral, kefilsafatan, dan
keagamaan yang komprehensif, masing-masing dari sudut
pandangnya sendiri.
Hal itu hanyalah merupakan indikasi awal dari cara
pandang baru yang perlu kita pertimbangkan, dan kita
perlu melihat bagaimana Pancasila sendiri telah
dipahami para pendukungnya. Sejarah mencatat,
sebagaimana dituturkan Nasution, bahwa dalam
Konstituante terdapat dua kelompok ‘Pendukung
Pancasila’ (dikutip dari Ramage 1995, p. 18); Pertama
melihat Pancasila sebagai forum, titik pertemuan bagi
seluruh kelompok dan partai yang berbeda-beda, sebuah
common denominator dari semua ideologi dan aliran
pemikiran yang ada di Indonesia. Versi pandangan ini
dipertahankan oleh PNI, PKI dan partai-partai Kristen
dan Katolik. Dengan kata lain, kelompok ini melihat
Pancasila dalam pengertian asli sebagai sebuah
kompromi politik. Kedua, menurut Nasution, adalah
yang menekankan Pancasila sebagai ideologi satu-
satunya yang menjamin kesatuan nasional dan cocok
dengan kepribadian Indonesia, dan karena itu menjadi
landasan yang sesuai bagi dasar Negara Indonesia.
Menurut Nasution, pandangan ini hanya didukung oleh
sebagian kecil anggota Konstituante termasuk Prof.
Soepomo, penggagas idea Integralisme.
Contoh ini menjelaskan dua cara pandang tentang
Pancasila, dan dapat dipergunakan untuk memahami
apakah Pancasila harus diterima sebagai konsepsi
politis ataukah sebagai doktrin yang komprehensif.
Jika alasan pengertian Pancasila sebagai doktrin yang
komprehensif harus ditolak, maka pilihannya adalah
menerima Pancasila sebagai konsepsi politis. Namun,
penting dicatat bahwa pengertian Pancasila sebagai
konsepsi politis tidak identik dengan pemahaman
Pancasila sebagai kesepakatan politik (political
agreement), kontrak sosial, atau forum atau common
denominator, (meskipun pemahaman Pancasila sebagai
forum atau common denominator merupakan bagian dari
Pancasila sebagai konsepsi politis), dan pengertian
Pancasila sebagai konsepsi politis juga tidak berarti
menolak Pancasila sebagai dasar negara.
Maka, apakah Pancasila sebagai konsepsi politis?
Pancasila sebagai konsepsi politis merupakan rumpun
dari nilai (moral) yang memperkuat Pancasila pada
status sebagai dasar negara, dan merupakan cara
pandang yang mempertimbangkan ciri khusus hubungan
politik, yang memang dan harus dibedakan dari jenis
hubungan yang lain. Hubungan politik memiliki
sedikitnya dua ciri yang penting:

“Pertama, hubungan politis merupakan hubungan


diantara orang dalam struktur dasar masyarakat…Kedua,
kekuasaan politis yang dijalankan dalam hubungan
politis selalu merupakan kekuasaan yang koersif,
didukung oleh perlengkapan negara dalam memaksakan
hukum-hukumnya… ” (dikutip dari Rawls, 1997, p.277-8)
Pancasila sebagai konsepsi politis, karena itu,
memiliki wilayah (domain) yang terbatas, yaitu domain
politis, yang dapat diindentifikasi oleh ciri-ciri
hubungan politik itu. Pemahaman demikian akan
menyarankan bahwa Pancasila sebagai konsepsi politis
harus dibedakan dari wilayah asosiasi, yang memang
bersifat sukarela, dan harus dibedakan dari kehidupan
pribadi (privat) atau keluarga, yang merupakan
wilayah kasih sayang. Dengan mengambil pengertian
‘yang politis’ sebagai domain Pancasila, konsepsi
politis menerima prinsip-prinsip Pancasila sebagai
satu kesatuan dan tidak dapat dipisahkan satu sama
lain, dan merupakan ’pandangan yang berdiri sendiri’
(free standing view). Prinsip-prinsip ini membentuk
pandangan tentang negara, tetapi pandangan ini
dibentuk secara independen dari nilai-nilai yang
bersifat non-politis atau dengan setiap hubungan
khusus dengan yang non-politis itu.
Maka, sebagai sebuah konsepsi politis, Pancasila
tidak menyangkal nilai-nilai atau paham lain yang
berlaku pada asosiasi (keagamaan, universitas, LSM
dsb), keluarga, atau orang per-orang; Pancasila
sebagai konsepsi politis juga tidak mengatakan bahwa
pengertian yang (bersifat) politis sama sekali
terpisah dari semua nilai atau paham lain yang ada
dalam masyarakat. Tujuan menempatkan Pancasila dalam
domain politis ini, tentu saja, adalah untuk
menentukan bahwa institusi dan struktur kenegaraan
dapat memperoleh dukungan dari konsensus yang saling
melengkapi (overlapping consensus) diantara berbagai
aktor politik dan kekuasaan sosial, sebagaimana
nampak dan pernah terjadi pada penerimaan Pancasila
sebagai ‘titik temu’ (common denominator) dari semua
ideologi dan aliran pemikiran yang ada di Indonesia.
Dalam diskusi sering timbul kesalahpahaman tentang
pengertian Pancasila sebagai konsepsi politis.
Pertama, Pancasila sebagai konsepsi politis tidak
identik dengan Pancasila sebagai konsensus politik,
sebuah pengertian yang oleh Onghokham juga
dipergunakan sebagai justifikasi untuk menyebut
Pancasila sebagai kontrak sosial (Kompas, 6 Desember
2001). Pancasila sebagai konsepsi politis lebih dari
sekadar konsensus politik, karena mewakili rumpun
dari nilai-nilai (moral) politik yang berbeda dengan
Pancasila sebagai doktrin yang komprehensif. Menurut
saya, Pancasila juga tidak tepat disebut sebagai
kontrak sosial, bukan hanya karena teori kontrak
sosial sendiri problematis, tetapi juga pembentukan
Pancasila sama sekali tidak memenuhi syarat-syarat
kontrak sosial.
Kedua, hubungan antara tindakan privat (non-politis)
dan tindakan publik (politis) dalam konteks Pancasila
sebagai konsepsi politis perlu mendapat penjelasan
tersendiri. Karena Pancasila sebagai konsepsi politis
membatasi domain Pancasila hanya pada hubungan-
hubungan politis, maka Pancasila hanya berlaku pada
struktur dasar dari kehidupan kenegaraan, yaitu
lembaga-lembaga politik, ekonomi dan sosial sebagai
kesatuan skema kerjasama dalam hidup berbangsa dan
bernegara. Jikapun Pancasila berlaku pada individu,
maka ini hanya dalam kapasitas publik sebagai warga
negara, bukan dalam kapasitas privat mereka sebagai
individu dengan konsepsi kebaikan komprehensif mereka
sendiri. Untuk memperjelas hal ini, saya ingin
menunjukkan sebuah ilustrasi dengan mengutip
pertanyaan yang diajukan oleh Sidney Hook (Hook,
1976, p. 78) bahwa ’‘sekiranya ada orang Indonesia
berkata: saya tidak percaya bahwa benda ada, saya
kira hanya jiwa yang ada’, maka apa pengaruh dari
konsepsi metafisika realitas terakhir itu atas
tingkah laku politik dan dapatkah dia merupakan
seorang Indonesia yang baik sebagaimana orang lain
yang mempunyai
kepercayaan bahwa bendalah yang merupakan realitas
terakhir’’? Pancasila sebagai konsepsi politis mudah
menjawab pertanyaan ini, karena setiap individu (atau
sesungguhnya juga semua asosiasi (keagamaan,
universitas dan LSM dsb), maupun kehidupan keluarga)
harus dibiarkan bebas memiliki konsepsinya sendiri
tentang kebaikan itu. Pancasila sebagai konsepsi
politis, karena itu, memang dimaksudkan untuk
menghindarkan Pancasila terbawa pada kontroversi yang
dalam dan yang memang selalu ada dalam filsafat dan
agama, serta dalam cakupan teori-teori moral yang
luas yang diharapkan berlaku pada individu maupun
lembaga.
Ketiga, sering juga dipertanyakan bagaimana kemudian
kesepakatan atau konsensus dalam hal-hal fundamental
dalam kehidupan bernegara tercapai. Pertanyaan ini
muncul karena meskipun mudah menegaskan bahwa
Pancasila sebagai konsepsi politis akan memperkuat
status Pancasila sebagai dasar negara, tetapi selalu
terdapat kemungkinan alternatif pilihan bagi
kebijakan yang menentukan bentuk tatanan politik,
sosial dan ekonomi yang berbeda. Di sini, saya hanya
bisa mengutip pendapat yang membedakan dua cara untuk
mencapai pemahaman bersama dan untuk menciptakan
sintesis yang diterima semua warga negara; pertama,
adalah konsensus meta-ontologis, yang terdiri dari
pengakuan atas konsensus yang terbukti secara
keilmuan, dan kedua, konsensus melalui diskursus
rasional, yang terdiri dari kesepakatan berkenaan
dengan ‘makna dan pengertian dari semua pandangan
dunia yang berlainan’ (Jankowski, 2003, p. 168).
Tetapi karena dalam menghadapi isu-isu yang pelik dan
kontroversial selalu ada beban-penalaran (the burden
of reason), yaitu batas kemampuan manusia untuk
menilai kebenaran dan kesimpulan dari berbagai
pandangan yang saling bertentangan, maka jelas tidak
ada cara untuk membuktikan bahwa yang paling masuk
adalah mengadopsi doktrin yang komprehensif yang satu
atau doktrin komprehensif yang lain. Hal ini akan
berarti bahwa, dalam konteks menentukan berbagai
pilihan kebijakan, Pancasila sebagai konsepsi politis
tidak mungkin mengabsolutkan sebuah pilihan kebijakan
hanya berdasarkan pada salah satu filsafat sosial,
melainkan harus membuka diri pada berbagai ragam dan
jenis filsafat sosial lain. Kuncinya mungkin akan
terletak pada kemampuan penalaran publik (public
reason) untuk menilai berbagai pilihan kebijakan, dan
karena itu pendidikan publik yang bebas dari hegemoni
merupakan kebutuhan yang niscaya bagi pendekatan
Pancasila sebagai konsensus
politis. Inilah pengertian penting dari Pancasila
sebagai ideologi terbuka yang harus dikembangkan oleh
penyelenggara negara dalam menjalankan kekuasaan.
Kita sekarang dapat menyebutkan sejumlah manfaat dari
Pancasila sebagai konsepsi politis:
1. Pancasila sebagai konsepsi politis menawarkan
jalan keluar bagi usaha menghindari
otoritarianisme negara, dan usaha mengembangkan
‘pluralisme’ sebagai ciri permanen dari
kebudayaan publik yang demokratis di Indonesia.
(Sebagai konsepsi politis, Pancasila tidak
membuka ruang bagi penggunaan kekuasaan negara
yang bersifat memaksa (koersif) sebagaimana
terjadi pada kasus ideologi sebagai doktrin yang
komprehensif, karena konsepsi politis tidak
beranggapan menerima doktrin komprehensif
tertentu, sebaliknya, sebagai sebuah konsepsi
politis Pancasila menghormati keberadaan
doktrin-doktrin komprehensif, dan ini akan
menghasilkan kesatuan (kohesi) sosial akibat
dukungan yang diperoleh dari keragaman
(diversity) doktrin-doktrin komprehensif yang
ada dalam masyarakat).
2. Pancasila sebagai konsepsi politis memberikan
jalan keluar dari kesulitan yang ada selama ini
tentang jarak (diskrepansi) atau ketidakjelasan
(yang sering dianggap sebagai masalah) antara
ajaran Pancasila dan perkembangan sosial,
politik dan ekonomi. (Pancasila sebagai konsepsi
politis hanya berlaku pada domain politis
(struktur dasar masyarakat) dari kehidupan
bernegara; sementara keyakinan atau nilai lain
yang mungkin ada di luar yang politis
sebagaimana berlaku pada asosiasi, atau keluarga
atau orang-perorang, tetap dibiarkan hidup dan
harus dihormati perkembangannya oleh negara).
3. Pancasila sebagai konsepsi politis dapat
memperkuat kebebasan, persamaan, dan hak-hak
sipil dan politik dasar bagi warga negara yang
hidup dalam sebuah negara, dan bersamaan dengan
itu juga memperkuat gagasan fundamental tentang
Pancasila sebagai dasar negara. (Gagasan
fundamental tentang dasar negara ini tidak lain
adalah gagasan tentang ‘arti penting
konstitusional’ (constitutional essentials),
yaitu prinsip-prinsip fundamental yang
menentukan struktur dari proses politik—
kekuasaan legislatif, eksekutif, dan lembaga
peradilan, dan juga kebebasan, hak-hak sipil dan
politik dasar yang harus dihormati oleh
mayoritas legislatif, seperti hak ikut dalam
pemilihan dan berpartisipasi dalam politik,
kebebasan berpikir dan menyatakan pendapat, dan
juga perlindungan hukum. Jika Pancasila sebagai
konsepsi politis dapat memberikan kerangka
prinsip-prinsip dan nilai yang masuk akal untuk
memecahkan masalahmasalah yang berhubungan
dengan arti penting konstitusional
(constitutional essentials) ini, maka besar
kemungkinan bahwa keragaman dari doktrin-doktrin
komprehensif yang ada dalam masyarakat akan
mendukungnya).

Kesimpulan
Sejumlah hal ingin saya kemukakan untuk menutup
diskusi ini. Pertama, cara saya “mendamaikan“ dua
pendapat yang bertentangan tentang status Pancasila
mungkin akan mendapat tanggapan dari mereka yang
mengenal prinsip logika; setidaknya, menurut logika,
jika ada dua hal yang bertentangan, maka hanya satu
yang mungkin benar; ada kemungkinan keduanya salah
tetapi tidak mungkin kedua-duanya benar.
Namun, dalam kasus pertentangan pendapat tentang
status ideologi Pancasila itu, pendekatan yang saya
kembangkan tidak menentang hukum logika ini, sebab
yang saya lakukan adalah menarik inferensi dari
kekuranglengkapan logika yang melandasi masing-masing
posisi ini. Posisi mereka yang mempertahankan
pendapat bahwa Pancasila bukan ideologi mengandung
kebenaran tetapi kurang lengkap karena mengabaikan
pertimbangan makna positif atau netral dari ideologi,
sebaliknya, posisi mereka yang mempertahankan
pendapat bahwa Pancasila merupakan ideologi
mengabaikan pertimbangan makna negatif atau kritis
dari ideologi.
Kedua, pertentangan pendapat tentang status Pancasila
itu justru penting dan menarik dipahami karena
memberikan petunjuk tentang cara pandang baru
terhadap Pancasila; seperti yang sudah saya jelaskan,
Pancasila sebagai doktrin yang komprehensif yang
pernah berkembang selama ini rupa-rupanya telah
semakin disadari berbahaya karena dapat memperkuat
otoriarianisme negara. Menurut saya, pandangan ini
benar, dan pilihan yang tersedia adalah menjadikan
Pancasila sebagai konsepsi politis. Saya sendiri
merasa bahwa Pancasila sebagai sebuah konsepsi
politis sudah dengan sendirinya sangat bermakna,
yaitu untuk keluar dari kebuntuan selama ini tentang
apa yang harus dilakukan berkenaan dengan Pancasila
yang oleh banyak kalangan dianggap mengalami
kemerosotan makna. [Agus Wahyudi, Kepala Pusat Studi Pancasila dan dosen
Fakultas Filsafat UGM]

You might also like