Professional Documents
Culture Documents
Sejak negeri ini diproklamasikan sebagai negara merdeka, telah sepakat menjadikan
Pancasila sebagai dasar negara dan pedoman hidup berbangsa dan bernegara.
Konsekuensinya, Pancasila harus terus hidup dalam kehidupam masyarakat, lebih
optimal sebagai kekuatan pemersatu bangsa. Pancasila harus menjadi perekat perbedaan
kultur yang terbangun dalam masyarakat plural. Menjadi ideologi bersama oleh semua
kelompok masyarakat, bisa juga dimaknai sebagai identitas nasional yang bisa menjadi
media dalam menjembatani perbedaan yang muncul.
Sayangnya, eksistensi Pancasila sebagai ideologi negara tidak difungsikan secara
maksimal, Pancasila tidak lagi mewarnai setiap aktivitas yang berlangsung di tengah
masyarakat. Pancasila bahkan tidak lagi ramai dipelajari oleh generasi muda. Pengaruh
kekuasaan orde baru yang menjadikan Pancasila sekedar sebagai ”simbol, ” dan upaya
memperkuat kekuasaannya. Hanya mampu menghasilkan generasi cerdas penghafal nilai-
nilai Pancasila dan para penatar ahli. Selain tidak mampu mengamalkannya, justru
mereka sendiri yang mencedrainya.
Tidak jauh beda dengan perilaku pemerintahan era reformasi. Pancasila dibiarkan
tenggelam dari kehidupan masyarakat. Bukan hanya jauh dari wacana publik, Pancasila
dianggap sebagai simbol orde baru semakin dilupakan oleh penguasa termasuk elit politik
kita. Eforia demokrasi yang tidak terkendali juga semakin mengaburkan nilai-nilai
Pancasila.
Realitas tersebut tentu sangat kontraproduktif dengan upaya penguatan Pancasila sebagai
dasar negara. Lebih khusus lagi bagi upaya menjaga lestarinya NKRI di bumi persada.
Kehadiran Pancasila tidak sekedar sebagai ideologi atau patron setiap warga negara,
landasan bersama (common platform) atau sering juga disebut ‘kalimatun sawa’.
Pancasila merupakan ”national identity” yang berperan mewadahi berbagai peredaan
maupun konflik yang seringkali muncul dalam sub budaya nasional.
Indonesia dan Pancasila adalah realitas historis dari hasil perjuangan rakyat yang
melepaskan diri dari penjajahan dan penindasan, untuk hidup sebagai bangsa yang lebih
bermartabat dan lebih sejahtera. Pancasila sebagai ideologi bangsa mempunyai makna
fungsional sebagai penopang solidaritas nasional dan sekaligus sebagai sumber inspirasi
pembangunan untuk mewujudkan keadilan sosial yang merata bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Komitmen kita pada eksistensi Pancasila sebagai dasar Negara sudah final. Simbol
pemersatu dan identitas nasional yang bisa diterima berbagai kalangan harus terus di
jaga. Mengharuskan tidak ada pilihan lain, kecuali Pancasila mesti terus di suarakan,
memulihkan nama baiknya. Dengan membumikan susbstansi dan nilai yang
dikandungnya. Sebagai konsep dan nilai-nilai normatif, tentu jauh dari kekeliruan.
Menghidupkan kembali wacana publik tentang Pancasila harus didasari suatu fakta riil
akan pentingnya identitas nasional
Demokrasi yang sedang kita jalankan, harus diarahkan untuk menjaga dan melindungi
keberlangsungan NKRI. Demokrasi harus sesuai dengan kultur bangsa, tidak perlu
berkiblat kepada Amerika Serikat, Eropa dan negara demokrasi lainnya. Demokrasi di
negeri ini tetap berdasarkan ideologi negara Pancasila, yang sangat menghargai
kebersamaan, perbedaan dan nilai-nilai gotong royong yang selama menjadi ke-khasan
budaya bangsa. Demokrasi yang dilaksanakan sebisa mungkin menghargai kearifan lokal
dan kultur masyarakat yang sudah mengakar dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat,
selama itu bermanfaat buat pembangunan bangsa dan kesejahteraan masyarakat.
Standar Kompetensi :
Kompetensi Dasar :
A. PENDAHULUAN
Pemahaman mendalam terhadap latar belakang historis, dan konseptual tentang Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945 bagi setiap warga negara, merupakan suatu bentuk
kewajiban sebelum kita dapat melaksanakan nilai-nilainya dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kewajiban tersebut merupakan konsekuensi
formal dan konsekuensi logis dalam kedudukan kita sebagai warga negara. Karena
kedudukan Pancasila sebagai Dasar Negara (Filsafat Negara), maka setiap warga negara
wajib loyal (setia) kepada dasar negaranya.
Kesetiaan, nasionalisme (cinta tanah air) dan patriotisme (kerelaan berkorban) warga
negara kepada bangsa dan negaranya dapat diukur dalam bentuk kesetiaan (loyalitas)
mereka terhadap filsafat negaranya yang secara formal diwujudkan dalam bentuk
Peraturan perundang-undangan (Undang-Undang Dasar 1945, Ketetapan MPR, Undang-
Undang, dan Peraturan Perundangan lainnya). Kesetiaan warga negara tersebut akan
nampak dalam sikap dan tindakan, yakni menghayati, mengamalkan dan mangamankan.
Kesetiaan ini akan semakin mantap jika mengakui dan meyakini kebenaran, kebaikan dan
keunggulan Pancasila sepanjang masa.
Justifikasi Juridik
Bangsa Indonesia telah secara konsisten untuk selalu berpegang kepada Pancasila
dan UUD 1945, sebagaimana telah diamanatkan adanya rumusan Pancasila ke dalam
undang-undang dasar yang telah berlaku di Indonesia dan beberapa Ketetapan MPR
Republik Indonesia.
.................... Maka demi ini kami menyusun kemerdekaan kami itu dalam suatu
Piagam negara yang berbentuk republik federasi, berdasarkan pengakuan ke-
Tuhanan Yang Maha Esa, perikemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan dan
keadilan sosial. ....................................
.................... Maka demi ini kami menyusun kemerdekaan kami itu dalam suatu
Piagam negara yang berbentuk republik-kesatuan, berdasarkan pengakuan ke-
Tuhanan Yang Maha Esa, perikemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan dan
keadilan sosial, untuk mewujudkan kebahagiaan, kesejahteraan, perdamaian dan
kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia Merdeka yang
berdaulat sempurna.
Pasal 2
Menugaskan kepada Presiden Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia untuk meratifikasi berbagai instrumen Perserikatan Bangsa
Bangsa tentang Hak Asasi Manusia, sepanjang tidak bertentangan dengan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Arah Kebijakan
Pengertian
Yaitu merupakan usaha manusia untuk mencari kebenaran Pancasila dari sudut
olah pikir manusia, dari konstruksi nalar manusia secara logik. Pada umumnya olah
pikir filsafati dimulai dengan suatu aksioma, yakni suatu kebenaran awal yang tidak
perlu dibuktikan lagi, karena hal tersebut dipandang suatu kebenaran yang hakiki.
Para pendiri negara dalam membuktikan kebenaran Pancasila dimulai dengan suatu
aksioma bahwa :”Manusia dan alam semesta ini adalah ciptaan Tuhan Yang Maha
Esa dalam suatu partalian yang selaras atau harmoni”. Aksioma ini dapat ditemukan
rumusannya dalam Pembukaan UUD 1945 pada aline kedua, keempat dan pasal 29,
sebagai berikut :
Alinea Kedua,
Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan didorongkan oleh keinginan luhur,
supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan
dengan ini kemerdekaannya.
Alinea Keempat,
............, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang
berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada : Ketuhanan Yang Maha
Esa, .................
Menurut penggagas awal (Ir. Soekarno), bahwa Pancasila digali dari bumi
Indonesia sendiri dan dikristalisasikan dari nilai-nilai yang berkembang dalam
kehidupan rakyat Indonesia yang beraneka ragam. Nilai-nilai tersebut dapat diamati
pada kelompok masyarakat yang tersebar di seluruh Indonesia yang dalam
implementasinya sangat disesuaikan dengan kultur masyarakat yang bersangkutan.
Dengan demikian, nampak jelas bahwa sesungguhnya Pancasila telah menjadi living
reality (kehidupan nyata) jauh sebelum berdirinya negara republik Indonesia.
Beberapa contoh nilai-nilai Pancasila yang telah berkemang di dalam kehidupan
masyarakat antara lain :
No Asal Daerah Nilai-nilai/Ungkapan YangKeterangan
Berkembang
1. Jawa a. tepo seliro (tenggang rasa), Adanya konsep hu-
manitas yang sudah
b. sepi ing pamrih rame ing gawe (maumenjiwai bangsa
bekerja keras tanpa pamrih), Indonesia.
2. Pengertian Pancasila
Dalam rangka lebih memahami tentang Pancasila sebagai idelogi terbuka, maka
perlu dijelaskan lebih dahulu apa itu Pancasila. Banyak tokoh nasional yang telah
merumuskan konsep Pancasila sesuai dengan sudut pandang masing-masing. Namun
jika dicermati, secara umum definisi konsep tersebut relatif sama. Berikut adalah
beberapa pengertian tentang Pancasila yang dikemukakan oleh para ahli.
a. Muhammad Yamin.
Pancasila berasal dari kata Panca yang berarti lima dan Sila yang berarti sendi,
atas, dasar atau peraturan tingkah laku yang penting dan baik. Dengan demikian
Pancasila merupakan lima dasar yang berisi pedoman atau aturan tentang
tingkah laku yang penting dan baik.
b. Ir. Soekarno
Pancasila adalah isi jiwa bangsa Indonesia yang turun-temurun sekian abad
lamanya terpendam bisu oleh kebudayaan Barat. Dengan demikian, Pancasila
tidak saja falsafah negara, tetapi lebih luas lagi, yakni falsafah bangsa Indonesia.
c. Notonegoro
d. Berdasarkan Terminologi.
Menjelang akhir tahun 1944 bala tentara Jepang secara terus menerus menderita
kekalahan perang dari sekutu. Hal ini kemudian membawa perubahan baru bagi
pemerintah Jepang di Tokyo dengan janji kemerdekaan yang di umumkan Perdana
Mentri Kaiso tanggal 7 september 1944 dalam sidang istimewa Parlemen Jepang
(Teikoku Gikai) ke 85. Janji tersebut kemudian diumumkan oleh Jenderal
Kumakhichi Haroda tanggal 1 maret 1945 yang merencanakan pembentukan Badan
Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Sebagai realisasi janji tersebut pada tanggal 29 April 1945 kepala pemerintahan
Jepang untuk Jawa (Gunseikan) membentuk BPUPKI dengan Anggota sebanyak 60
orang yang merupakan wakill atau mencerminkan suku/golongan yang tersebar di
wilaya Indonesia. BPUPKI diketuai oleh DR Radjiman Wedyodiningrat sedangkan
wakil ketua R.P Suroso dan Penjabat yang mewakili pemerintahan Jepang “Tuan
Hchibangase”. Dalam melaksanakan tugasnya di bentuk beberapa panitia kecil,
antara lain panitia sembilan dan panitia perancang UUD. Inilah langkah awal dalam
sejarah perumusan pancasila sebagai dasar negara. Secara ringkas proses perumusan
tersebut adalah sebagai berikut.
1. Peri Kebangsaan
2. Peri Kemanusiaan
3. Peri Ketuhanan
4. Peri Kerakyatan
5. Kesejahteraan Rakyat.
4. Sosialisasi Negara
5. Hubungan antar Bangsa
Catatan :
c. Ir. Soekarno, dalam sidang BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945 mengusulkan
rumusan dasar negara adalah sebagai berikut :
1. Kebangsaan Indonesia
4. Kesejahteraan Sosial
Catatan :
Konsep dasar negara yang diajukan oleh Ir. Soekarno tersebut, dapat
diperas menjadi Tri Sila, yaitu : Sila Kebangsaan dan Sila Internasionalisme
diperas menjadi Socio Nationalisme; Sila Mufakat atau Demokratie dan Sila
Ketuahanan yang berkebudayaan. Kemudian Tri Sila tersebut dapat diperas lagi
menjadi Eka Sila, yaitu Gotong Royong.
d. Panitia Kecil pada sidang PPKI tanggal 22 Juni 1945, memberi usulan rumusan
dasar negara adalah sebagai berikut :
1. Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-
pemeluknya.
3. Persatuan Indonesia
Catatan :
Selanjutnya, dalam sidang yang dihadiri oleh 38 orang tersebut telah membentuk
lagi satu Panitia Kecil yang anggota-anggotanya terdiri dari : Drs. Mohammad
Hatta, Mr. Muhammad Yamin, Mr. A. Subardjo, Mr. A.A. Maramis, Ir.
Soekarno, Kiai Abdul Kahar Moezakkir, K.H.A. Wachid Hasjim, Abikusno
Tjokrosujoso, dan H. Agus Salim. Panitia Kecil inilah yang sering disebut
sebagai panita 9 (sembilan) yang pada akhirnya menghasilkan Piagam Jakarta
(Jakarta Charter).
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam
permusyawaratan /perwakilan
Pancasila sering disebut sebagai dasar falsafah negara (dasar filsafat negara) dan
ideologi negara. Pancasila dipergunakan sebagai dasar untuk mengatur pemerintahan
dan mengatur penyelenggaraan negara. Konsep-konsep Pancasila tentang kehidupan
bernegara yang disebut cita hukum (staatsidee), merupakan cita hukum yang harus
dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pancasila juga mempunyai fungsi dan kedudukan sebagai pokok atau kaidah
negara yang mendasar (fundamental norma). Kedudukan Pancasila sebagai dasar
negara bersifat tetap, kuat, dan tidak dapat diubah oleh siapapun, termasuk oleh
MPR-DPR hasil pemilihan umum. Mengubah Pancasila berarti membubarkan Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Pancasila sebagai kaidah negara yang fundamental berarti bahwa hukum dasar
tertulis (UUD), hukum tidak tertulis (konvensi), dan semua hukum atau peraturan
perundang-undangan yang berlaku dalam negara Republik Indonesia harus bersumber
dan berada dibawah pokok kaidah negara yang fundamental tersebut.
(ideologi terbuka? hmm.. mungkin yang lebih tepat ideologi universal ya.. jadi bisa
diterima setiap ajaran-bangsa-paham, dan bukannya menerima ajaran-bangsa-paham
kecuali untuk mengadaptasikannya)
Khazzana’s blog
Makna ideologi di Indonesia tercermin pada falsafah hidup dan kepribadian bangsa
Indonesia, yaitu Pancasila. Karena, Pancasila mengandung nilai-nilai dan norma-norma
yang oleh bangsa Indonesia di yakini paling benar. Pancasila sebagai ideologi negara
tercantum dalam pembukaan UUD 1945, walaupun UUD 1945 telah mengalami
beberapa kali perubahan (amandemen), Pancasila tetap menduduki posisi sebagai
ideologi nasional dalam UUD 1945.
A. Pengertian Ideologi
Ideologi berasal dari Kata Yunani Idein artinya melihat dan logia yang berarti kata,
ajaran. Ideologi secara praktis diartikan sebagai sistem dasar seseorang tentang nilai- nilai
dan tujuan- tujuan serta sarana- sarana pokok untuk mencapainya.
Jika diterapkan untuk negara, maka ideologi diartikan sebagai kesatuan gagasan- gagasan
dasar yang disusun secara sistematis dan dianggap menyeluruh tentang manusia dan
kehidupannya, baik sebagai individu, sosial maupun dalam kehidupan bernegara.
B. Pancasila sebagai ideologi terbuka
Pancasila dilihat dari sifat- sifat dasarnya, dapat dikatakan sebagai ideologi terbuka.
Pancasila Sebagai ideologi terbuka memiliki dimensi- dimensi idealitas, normatif dan
realitas. Rumusan- rumusan pancasila sebagai ideologi terbuka bersifat umum, universal,
sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUd 1945.
1. LIBERALISME
Kelemahannya :
- Liberalisme buta terhadap kenyataan bahwa tidak semua orang kuat kedudukannnya
2. KOMUNISME
II.PERMASALAHAN
III.PEMBAHASAN
IV.PENUTUP
B.KESIMPULAN
Dari penjabaran pemahaman kerangka berfikir terhadap Pancasila ditinjau dari segi
Ideologi Terbuka diatas, patutlah kiranya diambil kesimpulan sebagai berikut :
1.Pancasila sebagai ideologi nasional dapat diartikan sebagai suatu pemikiran yang
memuat pandangan dasar dan cita-cita mengenai sejarah, manusia, masyarakat, recht dan
negara Indonesia, yang bersumber dari kebudayaan Indonesia.
2.Pancasila merupakan nilai dan cita bangsa Indonesia yang tidak dipaksakan dari luar,
melainkan digali dan diambil dari kekayaan rohani, moral dan budaya masyarakat kita
sendiri.
3.Sumber semangat ideologi terbuka itu sebenarnya terdapat dalam Penjelasan Umum
UUD 1945.
4.Keterbukaan ideologi Pancasila terutama ditujukan dalam penerapannya yang
berbentuk pola pikir yang dinamis dan konseptual dalam dunia modern.
5. Perwujudan atau pelaksanaan nilai-nilai instrumental dan nilai-nilai praktis harus tetap
mengandung jiwa dan semangat yang sama dengan nilai dasarnya.
6. Sungguhpun demikian, keterbukaan ideologi Pancasila ada batas-batasnya yang tidak
boleh dilanggar.
Sehingga ideologi Pancasila sebagai ideologi terbuka sebenarnya sangat relevan dengan
suasana pemikiran di alam reformasi ini yang menuntuk transparansi di segala bidang
namun masih tetap menjunjung kaidah nilai dan norma kita sebagai bangsa timur yang
beradab. Namun dalam kenyatannya di masyarakat masih ada yang berfikir seperti orde
lama atau orde baru dikarenakan masih kuatnya doktrin dari penguasa terdahulu, bahkan
tidak sedikit yang acuh terhadapnya.
B. SARAN
Sebagai suatu pemikiran yang memuat pandangan dasar dan cita-cita mengenai sejarah,
manusia, masyarakat, recht dan negara Indonesia, yang bersumber dari kebudayaan
Indonesia yang digali dan diambil dari kekayaan rohani, moral dan budaya masyarakat
kita sendiri. Alangkah baiknya jika masih tetap menggunakan dan mempertahankannya
sebagai nilai dasar sebagai ciri khas kita sebagai suatu bangsa. Tanpa takut untuk
mengembangkannya secara dimamis sesuai dengan perkembangan jaman.
DAFTAR PUSTAKA
Kartohadiprodjo, S. 1986. Pancasila dan/ dalam Undang-Undang Dasar 1945. Bina Cipta.
Bandung.
Aman, S. 1997. Filsafat Pancasila. ( Dalam Koleksi Pribadi Penulis : Kumpulan Biografi
dan Pidato para Maestro Bangsa Indonesia).
------------
I. Pengertian dan Fungsi Ideologi
Nama ideologi berasal dari kata ideas dan logos. Idea berarti gagasan,konsep, sedangkan
logos berarti ilmu. Pengertian ideologi secara umum adalah sekumpulan ide, gagasan,
keyakinan, kepercayaan yang menyeluruh dan sistematis dalam bidang politik, ekonomi,
sosial, budaya dan keagamaan.
Ciri-ciri ideologi adalah sebagai berikut :
1. Mempunyai derajat yang tertinggi sebagai nilai hidup kebangsaan dan kenegaraan.
2. Oleh karena itu, mewujudkan suatu asas kerohanian, pandanagn dunia, pandangan
hidup, pedoman hidup, pegangan hidup yang dipelihara diamalkan dilestarikan kepada
generasi berikutnya, diperjuangkan dan dipertahankan dengan kesediaan berkorban.
Fungsi ideologi menurut beberapa pakar di bidangnya :
1. Sebagai sarana untuk memformulasikan dan mengisi kehidupan manusia secara
individual. (Cahyono, 1986)
2. Sebagai jembatan pergeseran kendali kekuasaan dari generasi tua (founding fathers)
dengan generasi muda. (Setiardja, 2001)
3. Sebagai kekuatan yang mampu member semangat dan motivasi individu, masyarakat,
dan bangsa untuk menjalani kehidupan dalam mencapai tujuan. (Hidayat, 2001)
Ideologi Terbuka
a. merupakan cita-cita yang sudah hidup dalam masyarakat.
b. Berupa nilai-nilai dan cita-cita yang berasal dari dalam masyarakat sendiri.
c. Hasil musyawarah dan konsensus masyarakat.
d. Bersifat dinamis dan reformis.
Ideologi Tetutup
a. Bukan merupakan cita-cita yang sudah hidup dalam masyarakat.
b. Bukan berupa nilai dan cita-cita.
c. Kepercayaan dan kesetiaan ideologis yang kaku.
d. Terdiri atas tuntutan konkret dan operasional yang diajukan secara mutlak.
Menurut Kaelan, nilai-nilai yang terkandung dalam ideologi Pancasila sebagai ideologi
terbuka adalah sebagai berikut :
a) Nilai dasar, yaitu hakekat kelima sila Pancasila.
b) Nilai instrumental, yang merupakan arahan, kebijakan strategi, sasaran serta lembaga
pelaksanaanya.
c) Nilai praktis, yaitu merupakan realisasi nilai-nilai instrumental dalam suatu realisasi
pengamalan yang bersifat nyata, dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat,
berbangsa dan bernegara.
PERTANYAAN :
1) Mengapa Indonesia menggunakan ideologi terbuka?
2) Bagaimana cara menumbuhkan kadar dan idealism yang terkandung Pancasila
sehingga mampu memberikan harapan optimisme dan motivasi untuk mewujudkan cita-
cita?
JAWABAN :
1) Karena Indonesia adalah sebuah negara dan sebuah negara memerlukan sebuah
ideologi untuk menjalankan sistem pemerintahan yang ada pada negara tersebut, dan
masing-masing negara berhak menentukan ideologi apa yang paling tepat untuk
digunakan, dan di Indonesia yang paling tepat adalah digunakan adalah ideologi terbuka
karena di Indonesia menganut sistem pemerintahan demokratis yang di dalamnya
membebaskan setiap masyarakat untuk berpendapat dan melaksanakan sesuatu sesuai
dengan keinginannya masing-masing. Maka dari itu, ideologi Pancasila sebagai ideologi
terbuka adalah yang paling tepat untuk digunakan oleh Indonesia.
2) Kita harus menempatkan Pancasila dalam pengertian sebagai moral, jiwa, dan
kepribadian bangsa Indonesia. Pancasila sebagai jiwa bangsa Indonesia
keberadaanya/lahirnya bersamaan dengan adanya bangsa Indonesia. Selain itu,Pancasila
juga berfungsi sebagai kepribadian bangsa Indonesia. Artinya, jiwa bangsa Indonesia
mempunyai arti statis dan dinamis. Jiwa ini keluar diwujudkan dalam sikap mental,
tingkah laku, dan amal perbuatan bangsa Indonesia yang pada akhirnya mempunyai cirri
khas. Sehingga akan muncul dengan sendirinya harapan optimisme dan motivasi yang
sangat berguna dalam mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia.
KESIMPULAN :
Jadi, setiap negara berhak dalam memilih sistem pemerintahannya sendiri, Indonesia juga
pernah menerapkan beberapa sistem pemerintahan. Namun, yang paling cocok dengan
kepribadian bangsa Indonesia adalah ideologi terbuka karena sinkron dengan sistem
pemerintahan yang demokratis yang menjamin kebebasan warga negaranya dalam
mengeluarkan pendapat sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 pasal 28.
-------------
Setiap tahun di saat datang peringatan hari lahir Pancasila 1 Juni, banyak kalangan selalu
bertanya “apakah Pancasila masih relevan?” Ini adalah pertanyaan yang tidak sederhana.
Kalau setiap orang diminta membuat uraian dari sudut pandang dan pengalaman masing-
masing, penjelasan yang muncul mungkin akan sebanyak jumlah kepala orang. Tetapi
saya akan menduga bentuk jawabannya hanya ada dua; Ya dan Tidak! Baiklah saya
mulai dengan kemungkinan penjelasan kenapa Tidak.
Kenapa Pancasila dianggap tidak relevan? Jangan salah! Ini tidak ada hubungannya
dengan sikap anti-Pancasila. Benar, mungkin saja, sebagian orang Indonesia ada yang
terang-terangan menolak Pancasila, tetapi orang-orang ini tidak mewakili pandangan
mayoritas. Ada indikasi untuk percaya bahwa banyak orang Indonesia tidak memiliki
pandangan negatif terhadap Pancasila. Sebagian sebabnya tentu saja karena fakta bahwa
Pancasila sudah menjadi bagian dari sejarah Indonesia. Lebih dari itu, Pancasila juga
membuat Indonesia ada, dan besar kemungkinan dapat membantu bangsa yang majemuk
ini tetap bertahan dan berkembang sampai waktu yang lama. Pengetahuan sejarah dapat
menyadarkan generasi sekarang tentang besarnya jasa para pendiri negara, terutama Bung
Karno, yang telah mewariskan gagasan tentang Pancasila sebagai dasar negara.
Tetapi apa makna yang lebih dalam dari sejarah Pancasila? Masih menjadi pertanyaan
menarik, kenapa pidato Pancasila Sukarno 1 Juni 1945 dan bukan alternatif lain yang
waktu itu juga ditawarkan dalam sidang BPUPK yang akhirnya diterima dan bahkan
mendapat sambutan tepuk tangan sangat meriah dari para anggota sidang? Pada hemat
saya itu terjadi bukan terutama karena lima sila dari Pancasila, yang memang menarik,
atau karena ketrampilan berpidato Bung Karno, yang diakui sangat memukau. Sebab,
jangan lupa, Bung Karno tidak hanya berbicara Pancasila dalam pengertian sebagai lima
sila. Dia juga menawarkan kepada para anggota sidang Badan Penyelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) pada 1 Juni 1945 bahwa kelima sila bisa diperas
menjadi tiga sila, yang disebutnya sebagai trisila, dan bahkan, menurut Bung Karno, jika
masih dipandang terlalu banyak, trisila itu juga bisa diperas menjadi satu saja, yaitu eka
sila, berupa Gotong Royong. Karena itu, penjelasan paling masuk akal dari pertanyaan
mengapa usulan Pancasila Bung Karno yang akhirnya diterima adalah karena waktu itu
Bung Karno mempraktekkan dengan sempurna apa yang dalam istilah filsafat politik
kontemporer disebut sebagai nalar-publik (public reason).
Praktek nalar publik selalu mengandung sedikitnya tiga pengertian (bandingkan Rawls,
2002). Pertama, ada kriteria kesetaraan dan kebebasan yang sama, artinya pelakunya
menyadari bahwa dirinya adalah anggota dari warga negara yang bebas (free) dan setara
(equal), dan menganggap orang lain juga bebas dan setara. Kedua, ada kriteria
resiprositas, artinya ketika si pelaku mengajukan usulan kepada pihak lain dalam rangka
menentukan persyaratan untuk kerjasama (yang dalam konteks sejarah BPUPK adalah
kerjasama dalam membentuk sebuah negara merdeka yang baru) yang pertama-tama
dipertimbangkan adalah bahwa usulannya akan masuk akal di mata orang lain, yang juga
merupakan warga negara yang bebas dan setara, sehingga mereka menerima kesepakatan
bukan karena dominasi atau manipulasi, atau karena tekanan paksa akibat posisi sosial
dan politik yang lebih rendah (inferior). Dan ketiga, ada kriteria kebaikan bersama,
artinya pokok masalah (subject) yang dibicarakan dalam usulan kerjasama itu adalah
tentang kebaikan bersama (public good) atau keadilan politik fundamental, yang
mempermasalahkan dua hal, yaitu inti penting konstitusi (constitutional essentials) dan
masalah keadilan dasar.
Sejarah lahirnya Pancasila adalah contoh sempurna dari penerapan nalar publik itu. Sebab
berbeda dengan proposal lain yang juga diusulkan dalam sidang BPUPK pada 1945,
Pancasila Soekarno merupakan sintesis dari berbagai pengaruh pemikiran yang disajikan
sedemikian rupa, tetapi bukannya dengan menafikan, usulannya dirumuskan dalam
pengertian yang menjunjung tinggi pengertian kebebasan dan kesetaraan, resiprositas,
dan kebaikan bersama. Inilah rahasianya mengapa Pancasila Sukarno yang akhirnya
diterima dengan suara bulat, meskipun dalam konstitusi rumusan itu kemudian
mengalami perubahan urutan dan modifikasi.
Kini, kembali pada pertanyaan awal kita, mengapa ada anggapan bahwa Pancasila tidak
relevan, jawabannya bisa dijelaskan dengan kalimat negatif, yaitu karena makna
Pancasila yang paling mendasar dan sangat penting sebagai nalar publik sudah semakin
sulit dikenali. Orang melihat banyak ajaran yang baik dan luhur dari Pancasila tetapi
semua itu tidak ada hubungannya dengan realitas hidup mereka sehari-hari.
Di masa pemerintah Orde Baru, yang berkuasa hampir selama 32 tahun, telah dilakukan
usaha untuk menempa identitas ideologis yang secara historis otentik sekaligus berbeda
dengan identitas ideologis regim Sukarno, yaitu dengan cara mengklaim kembali dan
membentuk ulang Pancasila. Namun, negara Pancasila yang dikembangkan oleh regim
Orde Baru lebih bertitik tolak dari ajaran Integralisme atau Organisisme yang
sesungguhnya berasal dari usulan Supomo pada sidang BPUPK tahun 1945, dan bukan
dikembangkan berdasarkan Pancasila sesuai dengan makna awalnya, yaitu sebagai nalar
publik.
Sementara nalar publik pada dasarnya sejalan dengan demokrasi konstitusional dengan
kriteria berupa persamaan dan kesetaraan, resiprositas, dan orientasi pada kebaikan
bersama, ajaran integralism memiliki konsepsi tentang negara yang hampir bertolak
belakang dengan konsepsi yang dikenal dalam pengertian demokrasi konstitusional. Kita
tahu, dalam perdebatan pembentukan negara, baik BPUPK maupun PPKI, telah terjadi
pertarungan antara berbagai pengaruh pemikiran ini. Integralisme mengajarkan konsepsi
tentang negara yang menolak pemisahan negara dan masyarakat sipil, dan juga menolak
doktrin politik modern seperti pemisahan kekuasaan (separation of power) dan
pengawasan dan keseimbangan (check and balances) dalam kekuasaan. Implikasi dari
Pancasila yang dipahami dalam pengertian integralisme sangat jelas. Doktrin Orde Baru
mengatakan bahwa demokrasi Pancasila tidak mengenal oposisi, sebab sebagaimana
keyakinan integralisme, pemerintah pada dasarnya akan selalu baik hati, dan tidak pernah
menyengsarakan rakyatnya. Tidak boleh ada pandangan yang membedakan antara
pemerintah dan rakyat, dan karena itu sistem politik harus dikembangkan sedemikian
rupa untuk memastikan masyarakat sipil di bawah kontrol negara.
Pancasila sebagai nalar publik lebih dekat dengan demokrasi konstitusional, ketimbang
dengan ajaran organisisme atau integralisme. Pandangan dasar tentang negara dalam
demokrasi konstitusional adalah bahwa kekuasaan di manapun bisa bersalah guna. Para
pendukung demokrasi konstitusional meyakini bahwa kekuasaan cenderung korup, dan
kekuasaan yang absolut akan korup secara absolut pula. Maka tentu saja sangat
berbahaya jika satu orang diberi kekuasaan sekaligus untuk membuat hukum,
melaksanakan hukum, dan mengadili pelaksanaan hukum. Orang semacam ini memiliki
kekuasaan absolut, dan dia nyaris menjalankan fungsi seperti yang dijalankan Tuhan atau
Dewa. Padahal manusia bukan Tuhan atau Dewa, dan juga bukan malaikat yang selalu
baik, patuh pada perintah Tuhan dan tidak pernah lupa. Karena itu demokrasi
konstitusional menyarankan bahwa dalam merancang sebuah pemerintahan yang diatur
oleh manusia terhadap manusia, kesulitan terbesar akan terletak dalam dua hal, pertama,
bagaimana memberikan kemungkinan pemerintah mengontrol yang diperintah, dan
kedua, bagaimana menentukan kewajiban pemerintah untuk mengontrol dirinya sendiri.
Ketika praktek bernegara, dalam negara yang mengakui berdasarkan Pancasila, tidak
banyak memperhatikan persyaratan untuk membatasi kekuasaan pemerintah agar bisa
mengontrol dirinya sendiri, maka hal ini pasti menimbulkan skeptisisme dan bahkan
sinisme yang meluas tentang relevansi Pancasila untuk mengatur kehidupan bersama.
Tetapi, persoalan politik akhirnya juga berhubungan dengan masalah ekonomi. Di masa
Orde Baru diajarkan secara luas baik dalam penataran P4 maupun dalam buku-buku
pelajaran di sekolah bahwa bahwa ekonomi Pancasila adalah khas, Indonesia menolak
sistem ekonomi komando, yang menentukan bahwa negara mengontrol baik produksi
maupun distribusi, tetapi Indonesia juga menolak ekonomi pasar bebas yang pada intinya
menyerahkan semua transaksi ekonomi pada pihak swasta dan negara hanya menjadi
semacam wasit. Di telinga, ini terdengar seperti rumusan yang ideal. Dalam praktek,
situasinya sangat berbeda. Bukan pada tempatnya di sini untuk menjelaskan secara
panjang lebar kenapa ada perbedaan antara yang ideal dan kenyataan yang dihadapi. Poin
yang ingin saya katakan adalah bahwa anggapan tentang Pancasila yang tidak relevan
kemungkinan juga terkait dengan ketidakjelasan pemahaman banyak pemimpin kita
menyangkut hubungan antara Pancasila dengan masalah ekonomi.
Dalam praktek, tidak ada negara yang murni menganut ekonomi pasar bebas, atau murni
menganut sistem ekonomi komando. Kecenderungan globalisasi dan interdependensi
dunia dewasa ini juga memperlihatkan beragam aktor dan kekuatan saling berinteraksi
dengan cara yang sangat cepat dan tak dapat dikendalikan. Pancasila, dan juga banyak
masyarakat di seluruh dunia sama-sama mendambakan tatanan kehidupan yang lebih adil
dan bermartabat. Cara kita menterjemahkan keadilan dan martabat dalam kehidupan
kongkrit politik dan ekonomi menentukan seperti apa bentuk negara Pancasila yang kita
bayangkan.
Karena itu salah satu masalah yang terkait dengan pertanyaan tentang apakah Pancasila
masih relevan, juga terletak pada kemampuan kita menafsirkan kembali arti Pancasila
dan terutama menterjemahkan dengan lebih baik hubungan antara negara dan masyarakat
sipil atau rakyatnya. Di bawah Orde Baru, Pancasila diyakini sebagai sistem ideologi dan
sistem nilai yang komprehensif, lengkap dan menyeluruh, mengatur bukan hanya
kehidupan publik dan politik, tetapi juga kehidupan privat. Akibatnya, Pancasila juga
dikembangkan dalam bentuk usaha menjabarkan nilai-nilai yang terdapat dalam masing-
masing sila Pancasila (dengan cara mencongkel-congkelnya, menurut Almarhum
Profesor Umar Kayam), seperti yang pernah kita temui dalam butir-butir P4. Nilai-nilai
inilah yang kemudian dicoba disosialisasikan ke masyarakat oleh negara. Ke depan,
pemahaman tentang moral Pancasila semacam ini perlu dikaji ulang, mengingat
kenyataan bahwa negara sering tidak mampu, dan kalaupun mampu biasanya menuntut
harga dan resiko mahal yang harus dibayar ketika mencoba menentukan berbagai
kebenaran metafisik (misalnya apakah dibalik realitas ini sesungguhnya roh atau materi),
yang sesungguhnya lebih baik diserahkan pada pilihan privat dan menjadi hak warga
negara untuk menentukannya sendiri secara bebas.
Kembali pada pertanyaan tentang apakah Pancasila masih relevan, karena itu orang juga
bisa dengan sangat optimis memberikan jawaban Ya, karena kita memang harus
menyelesaikan berbagai masalah mendasar politik, ekonomi dan moral yang sedang kita
hadapi dengan cara yang lebih cerdas, namun pendekatannya bukan dengan mengulang
Pancasila seperti yang pernah dikembangkan oleh regim Orde Baru, karena visi politik,
ekonomi, dan moral Orde Baru nampaknya tidak memadai untuk menjawab relevansi
Pancasila untuk masa kini. Jadi, kemungkinan cara yang dapat dilakukan adalah dengan
mengembangkan Pancasila sebagai nalar-publik yang merupakan makna penting dan
mendasar dari sejarah lahirnya Pancasila yang sudah lama terlupakan.
• Globalisasi adalah suatu proses tatanan masyarakat yang mendunia dan tidak
mengenal batas wilayah.
• Globalisasi pada hakikatnya adalah suatu proses dari gagasan yang dimunculkan,
kemudian ditawarkan untuk diikuti oleh bangsa lain yang akhirnya sampai pada
suatu titik kesepakatan bersama dan menjadi pedoman bersama bagi bangsa-
bangsa di seluruh dunia. (Menurut Edison A. Jamli dkk.Kewarganegaraan.2005)
Menurut pendapat Krsna (Pengaruh Globalisasi Terhadap Pluralisme Kebudayaan
Manusia di Negara Berkembang.internet.public jurnal.september 2005). Sebagai proses,
globalisasi berlangsung melalui dua dimensi dalam interaksi antar bangsa, yaitu dimensi
ruang dan waktu. Ruang makin dipersempit dan waktu makin dipersingkat dalam
interaksi dan komunikasi pada skala dunia. Globalisasi berlangsung di semua bidang
kehidupan seperti bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan keamanan
dan lain- lain. Teknologi informasi dan komunikasi adalah faktor pendukung utama
dalam globalisasi. Dewasa ini, perkembangan teknologi begitu cepat sehingga segala
informasi dengan berbagai bentuk dan kepentingan dapat tersebar luas ke seluruh
dunia.Oleh karena itu globalisasi tidak dapat kita hindari kehadirannya.
Arus globalisasi begitu cepat merasuk ke dalam masyarakat terutama di kalangan muda.
Pengaruh globalisasi terhadap anak muda juga begitu kuat. Pengaruh globalisasi tersebut
telah membuat banyak anak muda kita kehilangan kepribadian diri sebagai bangsa
Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan gejala- gejala yang muncul dalam kehidupan
sehari- hari anak muda sekarang.
Dari cara berpakaian banyak remaja- remaja kita yang berdandan seperti selebritis yang
cenderung ke budaya Barat. Mereka menggunakan pakaian yang minim bahan yang
memperlihatkan bagian tubuh yang seharusnya tidak kelihatan. Pada hal cara berpakaian
tersebut jelas- jelas tidak sesuai dengan kebudayaan kita. Tak ketinggalan gaya rambut
mereka dicat beraneka warna. Pendek kata orang lebih suka jika menjadi orang lain
dengan cara menutupi identitasnya. Tidak banyak remaja yang mau melestarikan budaya
bangsa dengan mengenakan pakaian yang sopan sesuai dengan kepribadian bangsa.
Teknologi internet merupakan teknologi yang memberikan informasi tanpa batas dan
dapat diakses oleh siapa saja. Apa lagi bagi anak muda internet sudah menjadi santapan
mereka sehari- hari. Jika digunakan secara semestinya tentu kita memperoleh manfaat
yang berguna. Tetapi jika tidak, kita akan mendapat kerugian. Dan sekarang ini, banyak
pelajar dan mahasiswa yang menggunakan tidak semestinya. Misal untuk membuka situs-
situs porno. Bukan hanya internet saja, ada lagi pegangan wajib mereka yaitu handphone.
Rasa sosial terhadap masyarakat menjadi tidak ada karena mereka lebih memilih sibuk
dengan menggunakan handphone.
Dilihat dari sikap, banyak anak muda yang tingkah lakunya tidak kenal sopan santun dan
cenderung cuek tidak ada rasa peduli terhadap lingkungan. Karena globalisasi menganut
kebebasan dan keterbukaan sehingga mereka bertindak sesuka hati mereka. Contoh
riilnya adanya geng motor anak muda yang melakukan tindakan kekerasan yang
menganggu ketentraman dan kenyamanan masyarakat.
Jika pengaruh-pengaruh di atas dibiarkan, mau apa jadinya genersi muda tersebut? Moral
generasi bangsa menjadi rusak, timbul tindakan anarkis antara golongan muda.
Hubungannya dengan nilai nasionalisme akan berkurang karena tidak ada rasa cinta
terhadap budaya bangsa sendiri dan rasa peduli terhadap masyarakat. Padahal generasi
muda adalah penerus masa depan bangsa. Apa akibatnya jika penerus bangsa tidak
memiliki rasa nasionalisme?
Berdasarkan analisa dan uraian di atas pengaruh negatif globalisasi lebih banyak daripada
pengaruh positifnya. Oleh karena itu diperlukan langkah untuk mengantisipasi pengaruh
negatif globalisasi terhadap nilai nasionalisme.
Langkah- langkah untuk mengantisipasi dampak negatif globalisasi terhadap nilai- nilai
nasionalisme antara lain yaitu :
Referensi
Pancasila seperti ideologi dunia lainnya terlebih dahulu lahir sebagai pemikiran filosofis,
yang kemudian dituangkan dalam rumusan ideologi dan setelahnya baru diwujudkan
dalam konsep-konsep politik. Jangka waktu tersebut bisa puluhan bahkan ratusan tahun.
Proses yang dilalui Pancasila sedikit berbeda karena belum ada konsep masa depan atau
tujuan yang hendak dicapai. Era reformasi sebagai era pembaharuan di segala bidang,
menuntut kita untuk berbuat lebih baik, lebih arif dan bijaksana. Dan pemahaman akan
interpretasi Pancasila sekarang ini sudah berbeda jauh dari zaman orde lama maupun orde
baru. Timbul pertanyaan ? Apakah Pancasila memang pantas dianggap sebagai ideologi
terbuka ?. Masih sesuaikah ? bertitik tolak dari pertanyaan tersebut marilah kita kaji
Relevansi Ideologi Pancasila sebagai Ideologi Terbuka di Jaman Reformasi ini.
menurut saya, pancasila masih sangat pantas disebut sebagai ideologi terbuka, karena
nilai-nilai pancasila yang selalu dapat bertahan dari segala perkembangan zaman,
walaupun penyesuaian tersebut kerap dimanfaatkan oleh berbagai pihak tapi rumusan
pancasila sampai saat ini masih bisa dipertahankan apalagi jika melihat sila-sila pancasila
secara kasat mata saja, kita pasti sudah bisa menangkap pancasila sebagai ideologi
terbuka
Ideologi adalah suatu bentuk ide atau pikiran yang hidup di masyarakat mengenai
keadaan yang dianggap ideal, sesuatu yang baik atau buruk; benar atau salah, serta cita-
cita masyarakat tersebut di masa mendatang.. Pentingnya ideologi dalam masyarakat
berbangsa dan bernegara adalah sebagai suatu alat pemersatu dan perwujudan dari
kesatuan visi dan misi serta cita-cita bangsa. Selain itu, ideologi juga berfungsi sebagai
ciri yang membedakan antara suatu bangsa dengan bangsa lain Bentuk-bentuk ideologi
ada 2 macam 1. Ideologi Tertutup Ideologi tertutup disusun secara sisematis dan biasanya
digunakan sebagai alat indoktrinasi dari negara atau institusi kepada masyarakat. Ideologi
ini tidak menerima perbedaan dari perbedaan2 yang ada. Pelaksanaan ideologi ini juga
diawasi secara ketat oleh negara atau institusi yang menjalankannya. Contoh : Nazisme
pada amasa Adolf Hitler 2. Ideologi Terbuka Ideologi terbuka adalah ideologi sebagai
bventuk pemikiran terbuka. Ideologi ini mengakui dan menoleransi adanya perbedaan
dalam masyarakat. Ideologi ini bersifat lebih fleksibel terhadap perkembangan zaman.
Contoh : Pancasila Macam2 Ideologi: 1. Liberalisme dan Kapitalisme Menekankan pada
aspek pengembangan individu dalam segala hal. Kebebasan dijunjung tinggi. 2.
Komunisme dan Sosialisme Menekankan pada segi kolektivitas anggota masyarakat yang
diusahakan oleh negara. Hal ini menyebabkan individu tidak dapat berkembang karena
segala sesuatunya diatur negara. Komunisme adalah bentuk sosialisme yang ekstrem
dimana negara berhak menggunakan segala cara untuk mencapai tujuannya membentuk
masyarakat yang setara. 3. Kolonialisme Penguasaan suatu negara atas negara lain. 4.
Nasionalisme Menekankan kepada kebanggaan akan berbangsan dan bernegara. Ingin
mengatur bangsanya sendiri dan mandiri, bebas dari penjajahan. Timbul akibat adanya
Kolonialisme.
paradigma berarti sebuah kerangka atau asumsi dasar yang menjadi landasan suatu
kegiatan pemikiran sehingga menentukan metode. Pancasila menjadi paradigma bangsa
Indonesia, artinya pancasila menjadi pilihan bangsa Indonesia yang memberikan arah
atau pola kehidupan berbangsa dan bernegara dalam berbagai bidang kehidupan. Di
dalam pembukaan UUD 1945, disebutkan tujuan nasional Indonesia. Untuk
mewujudkannya diperlukan kegiatan pembangunan nasional yang berkesinambungan dan
meliputi seluruh kehidupan negara. Hakekat pembangunan nasional adalah pembangunan
manusia indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat indonesia seluruhnya dengan
pancasila menjadi dasar, tujuan dan pedomannya. Ilmu pengetahuan adalah hasil dari
pemikiran manusia yang metodologis, kreatif , dan inovatif. Sementara teknologi adalah
studi tentang keterampilan atau membuat sesuatu yang membutuhkan materi tertentu
untuk tujuan dan maksud tertentu. Penciptaan teknologi merupakan rasa syukur kita
terhadap karunia dan anugerah Tuhan. Tapi, teknologi juga bisa membawa bencana. Oleh
karena itu, kita perlu memanfaatkan kecanggihan teknologi ini secara bijak.
Pembangunan menurut Pancasila: (1)Ketuhanan Yang Maha Esa Manusia itu ciptaan
Tuhan. Penggunaan semua kekayaan alam selain untuk memenuhi kebutuhan hidup, juga
harus digunakan untuk berbakti kepada Tuhan. (2)Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Pengembangan iptek harus digunakan untuk meningkatkan harkat & matrabat manusia.
Pengembangan iptek harus berdasarkan hak asasi manusia. (3)Persatuan Indonesia Dalam
berkembang secara iptek, bangsa Indonesia harus tetap bersatu, tidak boleh memikirkan
kepentingan diri sendiri. (4) Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan
dalam Permusyawaratan/Perwakilan Tetap diperlukan adanya lembaga perwakilan untuk
mewakili aspirasi-aspirasi masyarakat. Pengembangan iptek harus diarahkan untuk
menjamin hak-hak rakyat. (5)Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia Semua
rakyat Indonesia berhak untuk mendapatkan kesempatan ynag sama dalam menuntut ilmu
dan teknologi. KKN harus dihapuskan karena bertentangan.
• Bidang Ideologi
o
Makin berkembang paham yang bertentangan dengan
Pancasila. Belakangan ini terlihat munculnya kembali
ideologi yang bersifat imperial-global seperti
Neoliberalisme/Kapitalisme, Khilafahisme, American
Evangelism serta New Left. Ideologi ini direspon oleh
menguatnya fenomena fundamentalisme-radikalisme yang
secara ekstrim termanifestasi dalam terorisme. Berbagai
warna ideologis tersebut berpotensi destruktif terhadap
Pancasila, keamanan nasional dan keutuhan bangsa.
Lunturnya wawasan dan ethos kebangsaan. Setidaknya
berdasarkan hasil penelitian sebuah lembaga konsultan
asing dari AS yang diminta meneliti hal ini, disimpulkan telah
terjadi kelunturan semangat dan wawasan kebangsaan yang
cukup luas khususnya di kalangan generasi muda.
• Bidang Politik
•
o
Mengentalnya tendensi feodalisme, termasuk fenomena
berburu kekuasaan dan materi, sehingga interest pribadi
lebih mengedepan daripada kepentingan
golongan/kelompok, apalagi kepentingan nasional.
Kencangnya kecenderungan fanatisme golongan. Hal ini
merapuhkan soliditas dan solidaritas nasional serta
menggoyahkan bangunan kebangsaan.
Potensi dan ancaman Separatisme. Hingga kini benih
separatisme belum sepenuhnya padam di negeri ini
terutama di beberapa wilayah rawan seperti Aceh, Papua
dan Maluku. Virus tribalisme serta efek negatif dari
otonomisasi berupa semangat kedaerahan yang berlebihan
(lokalisme overdosis) pun dapat membuka pintu bagi
semangat separatisme.
• Bidang Sosial Budaya
o
Simptom disorientasi. Kondisi faktual – yang juga
merupakan buah dari globalisasi dan perubahan mondial --
memperlihatkan bangsa kita mengalami disorientasi, tidak
jelas lagi apa yang menjadi Tujuan serta apa yang menjadi
sarana dan cara untuk mencapai tujuan tersebut. Bukan
tidak mungkin, simptom disorientasi ini sengaja direkayasa
dan diinginkan oleh kaum kapitalis asing agar negeri kita
lebih mudah dikendalikan demi kepentingannya.
Dari aspek mentalitas/moral bangsa, makin merebak
paham materialisme, konsumtivisme, hedonisme dan
permisivisme. Hal ini melemahkan daya tahan bangsa atau
ketahanan nasional kita.
Semua masalah tadi merupakan muara dari buruknya
Sistem Pendidikan Nasional kita yang tidak
mengutamakan pendidikan/pembentukan karakter, tetapi
lebih mengutamakan pengajaran yang bermuara pada sikap
pragmatisme dan kosmopolitanisme. Sebagai misal,
kurikulum bagi anak TK, SD dan SMP yang lebih dijejali
pelajaran matematika dan bahasa Inggris ketimbang sejarah
nasional dan ilmu bumi (geografi), sehingga lambat-laun
akan memperlemah Nasionalisme dan Patriotisme anak
bangsa dan tentunya menjadi ancaman bagi eksistensi
bangsa Indonesia.
• Bidang Hukum
o
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) telah menjadi virus
mematikan yang menjalar hampir ke semua lini kehidupan
bangsa.
Kejahatan ekonomi terhadap negara berupa
penyelundupan, pencurian ikan, pembabatan hutan,
penggelapan pajak, pencucian uang dan berbagai tindakan
ilegal lainnya mengakibatkan kerugian negara yang sangat
massif.
Sindikasi Narkoba. Narkotika dan obat-obatan terlarang
(Narkoba) merupakan bahaya serius yang mengancam
masa depan serta peradaban suatu bangsa maupun umat
manusia pada umumnya dengan terlebih dahulu
menghancurkan generasi muda.
Terorisme merupakan ancaman multiaspek yang
berpotensi”panjang umur” di republik ini terkait rendahnya
tingkat pendidikan, distorsi/misinterpretasi pemahaman
agama yang mudah dibelokkan ke arah radikalisme pada
segelintir umat, dan juga sebagai ”jawaban putus asa”
terhadap paham materialisme dan liberalisme yang
mencengkeram.
• Bidang Ekonomi
o
Akibat ketergantungan tinggi kepada bantuan ekonomi
asing, kita sangat minus dari segi kemandirian, kian lama
kita semakin lumpuh dalam jeratan utang yang semakin
menumpuk, serbuan modal asing membuat kita tidak lagi
berdaulat dibidang ekonomi, serbuan produk luar negeri
telah mengakibatkan terjadinya deindustrialisasi yang cukup
luas serta tersingkirnya produk-produk dalam negeri
terutama produk pertanian serta industri kecil menengah
(home industry).
Liberalisasi ekonomi kebablasan sehingga kebijakan dan
perundang-undangan dibidang ekonomi tidak berpihak
kepada rakyat, melainkan kepada korporasi/kapitalis asing
sehingga terjadi eksploitasi kekayaan alam yang tidak
memberi manfaat kepada rakyat.
Birokrasi yang kental dengan budaya korup dan belum
tersentuh oleh reformasi mengakibatkan ekonomi biaya
tinggi.
Sebagai konsekwensi dari keadaan diatas, maka terjadi
pertambahan jumlah penduduk miskin dan
meningkatnya angka pengangguran sehingga potensial
terjadinya ledakan sosial.
• Bidang Militer
o
Separatisme. Persoalan separatisme termasuk isu
multidimensional, terutama politik, ekonomi dan hukum.
Namun manakala sudah berwujud pemberontakan
bersenjata (armed rebellion) atau insurgency masalah
tersebut sudah masuk domain pertahanan.
Terorisme. Kemiskinan, keterbelakangan, kebebasan-
keterbukaan yang amat luas dan nyaris tidak terkontrol serta
fundamentalisme-radikalisme adalah lahan subur bagi
terorisme. Selama ini masalah terorisme dominan ditangani
oleh Polri, tidak ada keterpaduan dalam penanganan dan
penanggulangannya, padahal untuk menumpas tuntas
terorisme sampai ke akarnya dalam media persemaian yang
luas seperti diungkap di atas, sangat diperlukan kerjasama
antar instansi terkait secara terpadu. Selain itu, setiap
angkatan di TNI serta Polri memiliki satuan anti teror
masing-masing tanpa kerjasama yang memadai. Satuan-
satuan antiteror yang dimiliki TNI tidak pernah didaya-
gunakan di lapangan, padahal untuk membentuk dan
memelihara kemampuan satuan semacam itu diperlukan
biaya yang tidak sedikit. Keadaan ini dapat berakibat umur
panjangnya ancaman terorisme serta terjadinya inefisiensi
dalam keberadaan satuan antiteror.
Masalah perbatasan. Masih ada potensi gesekan atau
konflik dengan negara-negara tetangga menyangkut
perbatasan, apalagi kalau dikaitkan dengan masih eksisnya
forum pertahanan FPDA. Kasus Ambalat dan Sipadan-
Ligitan merupakan contohnya. Demikian pula persoalan
internal Timor Leste yang masih akan berlarut dalam jangka
panjang.
Sikap ’over-acting’ negara adikuasa (AS) yang merasa
diri sebagai ”polisi dunia” sehingga secara unilateral ataupun
multilateral dapat melakukan agresi, invasi dan okupasi.. Hal
ini perlu dijadikan ”perhitungan dan pertimbangan strategis”
karena ancaman itu dapat menjadi nyata, sementara
kekuatan pertahana kita masih sangat rapuh.
Dengan demikian, terlihat jelas dan gamblang betapa luas dan lebarnya
potensi konflik dan spektrum ancaman yang bersifat multidimensional (tidak
hanya militer) terhadap kehidupan bangsa-negara kita, sehingga tidak dapat
direspon dengan satu perspektif saja melainkan perlu pendekatan yang bersifat
multidimensional juga.
Sishankamrata
Peran Intelektual
•
o Kaum intelektual khususnya yang telah memiliki nilai-nilai
kejoangan, wawasan kebangsaan dan ketrampilan bela negara
seperti anggota Menwa, berpeluang besar untuk menjadi pelopor
dalam upaya mengembalikan Roh Mukadimah UUD 1945,
terutama menyangkut sistem politik/demokrasi dan ekonomi kita
yang terlalu individualistik-liberalistik untuk dikembalikan pada nilai-
nilai ke-Indonesiaan yang bercirikan kekeluargaan, gotong-royong
dan musyawarah mufakat dengan cara meninjau kembali hasil
amandemen UUD 1945.
•
o Kita tidak bisa hanya menyalahkan penetrasi ideologi asing yang
mengakibatkan lunturnya nilai-nilai luhur atau karakter dan jatidiri
bangsa. Kita perlu melakukan introspeksi karena selama 64 tahun
merdeka telah abai dengan “Pembangunan Karakter” atau
Character building yang seharusnya didapatkan dari pendidikan
(dalam arti luas), pengalaman atau penugasan. Dalam konteks ini
peluang peran intelektual sebagai agen perubahan / perbaikan
sangat besar, antara lain untuk memperbaiki sistem pendidikan kita
yang terlalu berorientasi pada kompetensi atau transferof
knowledge/transfer of technology serta kurang beroriantasi pada
pembangunan karakter atau transfer of value.
•
o Berikutnya kaum intelektual harus ikut mengambil peran dalam
Reformasi Birokrasi dan Partai Politik yang sangat jauh
tertinggal dari reformasi sektor lainnya, seperti reformasi TNI yang
keberhasilannya cukup jauh walaupun masih perlu disempurnakan.
Padahal peran parpol dan birokrasi sangat menentukan dalam
upaya mewudkan tata-kelola pemerintahan yang baik menuju pada
pencapaian tujuan nasional. Adapun caranya, intelektual harus
secara aktif mengkritisi kedua institusi tersebut bahkan bila perlu
masuk kedalam sistem untuk melakukan perbaikan dari dalam.
•
o Kaum intelektual memiliki potensi besar dalam Pembinaan
Generasi Muda, peran ini amat strategis mengingat generasi muda
merupakan kader pemimpin dan penerus perjoangan bangsa
dimasa dating. Ironinya kini kondisi generasi muda kita sangat
mengkhawatirkan; tawuran, narkoba, minuman keras, cara hidup
hedonistik mewarnai kehidupan sebagian (besar ?) kaum muda
Indonesia. Akibat pola hidup yang demikian itu, niscaya rasa
tanggung jawab, nasionalisme dan kesadaran bela negaranya pun
akan tereduksi sehingga amat berbahaya untuk kelanjutan masa
depan bangsa. Dalam keadaan seperti ini, peran intelektual
terutama yang telah memiliki nilai-nilai kejoangan, wawasan
kebangsaan dan ketrampilan bela Negara terasa menjadi lebih
vital.
Penutup
Demikian kontribusi saya dalam seminar ini, semoga bermanfaat dan tak lupa
saya sampaikan “ Selamat Ulang Tahun” kepeda Resimen Mahasiswa
Mahawarman semoga Mahawarman tetap jaya dan dapat menjadi pelopor bagi
kaum intelektual dalam uaya meraih kejayaan bangsa dimasa datang sesuai
dengan tujuan nasional yaitu menjadi bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat,
adil dan makmur. Semoga ***
Abstrak
Tulisan ini mendiskusikan kontroversi mengenai status
Pancasila, apakah merupakan ideologi atau bukan; dan
mencoba menawarkan jalan keluar dari kontroversi itu.
Kontroversi tentang status Pancasila itu sebenarnya
mudah didamaikan melalui perspektif sejarah pemikiran
atau ideologi. Sejak awal sejarahnya konsep ideologi
memang telah diinterpretasikan dalam dua bentuk
pengertian, sebagai konsepsi netral atau sebagai
konsepsi kritis.
Kontroversi tentang status Pancasila juga menjelaskan
aspek lain, karena kedua pendapat menyarankan hal
yang sama, yaitu perlunya cara pandang baru terhadap
Pancasila. Tulisan ini mengusulkan agar dilakukan
pemisahan pengertian Pancasila sebagai doktrin yang
komprehensif dan sebagai konsepsi politis. Akhirnya
ditunjukkan manfaat mengembangkan Pancasila sebagai
konsepsi politis, daripada sebagai doktrin yang
komprehensif.
Pendahuluan
Status Pancasila, apakah merupakan ideologi atau bukan, masih menimbulkan tanggapan
berbeda di kalangan ilmuwan. Di satu pihak, ada yang berpendapat bahwa Pancasila tidak
seharusnya dianggap sebagai ideologi, seperti terlihat pada pendapat Ongkhokham, Armahedy
Mahzar, Garin Nugroho, dan Franz Magnis Suseno. Menurut Onghokham Pancasila jelas
merupakan ’dokumen politik, bukan falsafah atau ideologi’, dan harus dilihat sebagai kontrak
sosial, yaitu kompromi atau persetujuan sesama warga negara tentang asas-asas negara baru
yang dapat disamakan dengan dokumen-dokumen penting negara lain seperti Magna Carta di
Inggris, Bill of Rights di Amerika Serikat dan Droit del’homme di Perancis (Kompas, 6
Desember 2001).
dengan menyediakan nilai dan norma yang dihayati secara bersama…namun meskipun asumsi
ini diterima luas, asumsi ini sangat bermasalah. Terdapat sedikit bukti yang menyarankan
bahwa kepercayaan dan nilai tertentu dihayati oleh semua (atau bahkan sebagian besar)
kita, sejauh ia merupakan tatanan sosial yang ‘stabil’, distabilkan oleh akibat kemajemukan
nilai dan kepercayaan dan perkembangbiakan dari pembagian individu dan kelompok.
Stabilitas masyarakat kita mungkin bergantung, bukan terutama pada konsensus berkenaan
dengan nilai dan norma yang khusus, tetapi pada ketiadaan konsensus ketika sikap-sikap
Kesimpulan
Sejumlah hal ingin saya kemukakan untuk menutup
diskusi ini. Pertama, cara saya “mendamaikan“ dua
pendapat yang bertentangan tentang status Pancasila
mungkin akan mendapat tanggapan dari mereka yang
mengenal prinsip logika; setidaknya, menurut logika,
jika ada dua hal yang bertentangan, maka hanya satu
yang mungkin benar; ada kemungkinan keduanya salah
tetapi tidak mungkin kedua-duanya benar.
Namun, dalam kasus pertentangan pendapat tentang
status ideologi Pancasila itu, pendekatan yang saya
kembangkan tidak menentang hukum logika ini, sebab
yang saya lakukan adalah menarik inferensi dari
kekuranglengkapan logika yang melandasi masing-masing
posisi ini. Posisi mereka yang mempertahankan
pendapat bahwa Pancasila bukan ideologi mengandung
kebenaran tetapi kurang lengkap karena mengabaikan
pertimbangan makna positif atau netral dari ideologi,
sebaliknya, posisi mereka yang mempertahankan
pendapat bahwa Pancasila merupakan ideologi
mengabaikan pertimbangan makna negatif atau kritis
dari ideologi.
Kedua, pertentangan pendapat tentang status Pancasila
itu justru penting dan menarik dipahami karena
memberikan petunjuk tentang cara pandang baru
terhadap Pancasila; seperti yang sudah saya jelaskan,
Pancasila sebagai doktrin yang komprehensif yang
pernah berkembang selama ini rupa-rupanya telah
semakin disadari berbahaya karena dapat memperkuat
otoriarianisme negara. Menurut saya, pandangan ini
benar, dan pilihan yang tersedia adalah menjadikan
Pancasila sebagai konsepsi politis. Saya sendiri
merasa bahwa Pancasila sebagai sebuah konsepsi
politis sudah dengan sendirinya sangat bermakna,
yaitu untuk keluar dari kebuntuan selama ini tentang
apa yang harus dilakukan berkenaan dengan Pancasila
yang oleh banyak kalangan dianggap mengalami
kemerosotan makna. [Agus Wahyudi, Kepala Pusat Studi Pancasila dan dosen
Fakultas Filsafat UGM]