You are on page 1of 35

KATA PENGANTAR

Rasa syukur yang dalam Penyusun sampaikan ke hadiran Tuhan Yang Maha Pemurah,
karena berkat kemurahanNya makalah ini dapat Penyusun selesaikan sesuai yang
diharapkan.Dalam makalah ini kami membahas “Sepuluh Ringkasan dan Ulasan Novel
Indonesia” ini dapat diselesaikan dengan baik. Shalawat serta salam tak lupa kita haturkan
kepada Nabi Besar Muhammad saw, keluarga sahabat serta para pengikutnya yang senantiasa
istiqamah dalam mengemban risalahnya.
Penyusun menyadari bahwa makalah ini dapat diselesaikan berkat bantuan berbagai

pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, pada kesempatan ini

penulis menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang setinggi-

tingginya kepada Bapak Drs. Eddy Rosadi, M,M.Pd.

Tak ada gading yang tak retak, begitu kata pepatah. Demikian juga dengan Penyusun,
sekalipun Makalah ini telah selesai melalui proses dan review yang cukup lama, namun masih
terbuka kemungkinan adanya beberapa kekurangan di dalamnya. Oleh karena itu, masukan, kritik
dan saran sangat kami harapkan untuk lebih menyempurnakan isi Makalah ini pada kesempatan
mendatang.

Mudah-mudahan sedikit yang kami bisa sumbangkan ini, akan dicatat oleh Allah SWT
sebagai bagian dari amal sholeh Penyusun dan akan menjadi ilmu yang bermanfaat, yang
senantiasa akan mengalirkan pahala bagi orang-orang yang mengajarkannya.

Garut, November 2009

Penyusun

Daftar Isi

Kata Pengantar .................................................................................................... i


Daftar Isi ............................................................................................................. ii
Pembahasan
1. Bako ......................................................................................................... 1
2. Olenka ...................................................................................................... 6
3. Anak Tanah Air ........................................................................................ 11
4. Pertemuan Dua Hati ................................................................................. 16
5. Di Simpang Jalan ..................................................................................... 20
6. Siti Nurbaya ............................................................................................. 24
7. Darah Muda ............................................................................................. 29
8. Salah Asuhan ........................................................................................... 32
9. Di Bawah Lindungan Kabah .................................................................... 37
10. Karena Anak Kandung ............................................................................. 41
Daftar Pustaka ..................................................................................................... 44

1. BAKO
Pengarang : Darman Moenir (27 Juli 1952)
Penerbit : Balai Pustaka
Tahun : 1983; Cetakan III, 1988

B iola tua itu kini kian hari kian berdebu. la diletakkan di atas lemari" (hlm. 11). Alat
musik itu memang sudah hampir sepuluh tahun lamanya dibiarkan tak tcrawat.
Padahal, dulu si bocah laki-laki yang biasa dipanggil Man itu, sering meiihat ayahnya
memainkannya, la belum juga mengerti, mengapa ayahnya kini tak lagi mau mcnjamah benda
itu. Dan sesungguhnya ia ingin sekali mengetahui alasan ayahnya menghentikan
kebiasaannya. memainkan biola itu.
Suatu ketika ayahnya bercerita tentang pengalaman masa mudanya. Dari cerita itulah si
bocah sedikit banyak mengetahui bahwa ayahnya pernah gagal menamatkan sekolahnya di
SMA. Kegagalan itulah yang mendorong ayahnya pulang ke kampung halaman. Walaupun
begitu, semangat untuk menuntut ilmu sama sekaii belum pudar. Ayahnya kemudian
memasuki SGB (Sekolah Guru Bawah) di PP. Diceritakan pula bahwa sewaktu di SMA, sang
ayah menjalin hubungan cinta dengan seorang wanita, putri sulung seorang polisi. Hubungan
cinta itu terus berlanjut lama, walaupun orang-orang di kampungnya menentang hubungan
itu. Diceritakannya pula bahwa wanita itu sudah tidak gadis lagi. la seorang janda dengan dua
orang anak. Dan, bukan orang sekampungnya. Namun, cinta lebih kuat dari semua itu.
Perkawinan itu pun terjadi hingga lahir seorang anak laki-laki yang kemudian disusul oleh
adik-adiknya. Olch karena itulah, si bocah di bawa ke rumah bako, yakni keluarga sepertalian
darah dengan ayah.
Belakangan, setelah anak laki-laki itu beranjak dewasa, ia mengetahui bahwa ibunya
menjadi gila karena ditinggal lama oleh sang ayah. Meskipun begitu, ia masih belum
mengerti mengapa ibunya sampai menjadi giia. Tidak adakah penyebab lain yang membuat
pikiran ibunya sampai tak waras begitu. Itulah pertanyaan yang selalu ia coba jawab atas
dasar cerita-cerita ayahnya kemudian, dan keterangan dari neneknya.
Satu hal yang jelas adalah keadaan dirinya yang cacat. Penyakit poliolah yang membuat
kakinya cacat. Namun, itu tidak menjadikan lelaki itu putus harapan. la tetap bertekad untuk
terus melanjutkan sekoiahnya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Paling tidak, ia
berhasil merasakan pendidikan di Sekolah Seni Rupa Indonesia Negcn.
Setamat pendidikan di salah satu akademi, pemuda itu tidak langsung bekerja. Ayahnya
sebenarnya berharap agar ia dapat bekerja sebagai pegawai negeri. Namun, pemuda itu justru
berpikiran lain, Menuntut ilmu bukanlah untuk bekerja sebagai pegawai negeri, demikian
pendiriannya. Meskipun adik-adiknya membutuhkan uluran tangannya untuk membiayai
sekoiah mereka, ia tctap ingin bekcrja sesuai dengan kehendak hatinya.
Mungkin sikap tersebut tidak terlepas dari pendidikannya sewaktu tinggal bersama
uminya—kakak pcrempuan ayahnya. Pada diri uminya, pemuda itu banyak belajar agama
dan mendekatkan dirinya kepada Tuhan. Pada saat itu mulai tumbuh sikap ingin mandiri atau
sedikitnya bertanggung jawab pada did sendiri. Walaupun begitu, ia harus mengakui bahwa
biaya sewaktu kuliah lebih banyak diterima dari uminya. Menyadari hal itu, ia tidak mau
menyia-nyiakan waktu; ia banyak belajar dan mem-baca. Ia juga mulai mengenal para
pengarang terkenal. Semua itu memberi pengaruh cukup kuat pada dirinya. Paling tidak, ia
mulai membiasakan diri untuk membuat karangan atau mulai rajin berkecimpung dalam keg
ia tan tulis-menulis. Memang, dunia itulah yang hendak ia jadikan pekerjaannya.
Sementara itu, sejalan dengan penyadaran dirinya untuk menentukan masa depan-nya,
lelaki itu mencoba bercermin pada orang-orang yang ada di sekelilingnya. Ibunya, misalnya,
yang tak waras lagi, sama sekali tak dapat diharapkan lagi. Ayahnya, dengan gaji yang pas-
pasan sebagai seorang guru, masih tctap repot mengurusi anak-anaknya, sementara pemuda
itu tak dapat membantu apa-apa. Pemuda itu juga tak dapat terus menggantungkan hidup
pada uminya, meskipun pcrempuan itu memiliki sawah dan ladang yang cukup luas. Seorang
lagi, Bak Tuo—yang masih sekerabat dengan uminya—sungguh merupakan kepala keluarga
yang tak patut dijadikan contoh teladan. Kebiasaan berjudi dan menghabiskan uang
pensiunannya hanya untuk judi, telah menyebabkan keluarganya telantar. Bahkan, Bak Tuo
mulai berani pula mencuri uang ayah pemuda itu. Akibatnya, kedua orang tua yang
sebenarnya sudah berumur itu, berkelahi.
Bagi si pemuda, kehidupan Bak Tuo memberi ny a kesadaran betapa pen ting ke-
hidupan masa muda. Kehidupan masa muda Bak Tuo, sampai ia menghabiskan masa
pensiunnya, hampir tak pernah lepas dari kebiasaan berjudi. Dari situlah si pemuda
mengambil sikap seperti ini: "aku menyimak dan menarik pelajaran dari apa yang dialami
Bak Tuoku. la adalah contoh yang amat tepat untuk dijadikan sebagai manusia yang sia-sia di
masa tua sesudah mengabaikan masa dan hari mudanya" (hlm. 83).
Seorang lagi yang ikut mempengaruhi sikap hidup si pemuda adalah seorang petani
sejati yang biasa disebut Gaek. "Mempunyai tempat di hatiku, rasanya ia adalah laki-laki
seribu dongeng. Setiap dongeng yang ia ceritakan selalu mengena di hatiku, di benakku. la
adalah laki-laki yang mengisi masa kanak-kanakku secara lebih sempurna" (hlm. 93). Lebih
dari itu, si pemuda—betapapun ia hidup cacat—makin menyadari bahwa sesungguhnya
hidup adalah kerja. Ternyata Gaek mampu hidup dan meng-hidupi masa depannya karena ia
mencintai kerja. Lelaki itu benar-benar telah berhasil memberi makna dalam hidupnya.
Pemaknaan bagi kehidupan inilah yang kin! di-temukan si pemuda dalam diri orang-orang
sekitarnya. Kelak ia akan berusaha untuk menjalani kehidupan ini dengan penuh rnakna.
Itulah yang menjadi tekad si pemuda.
***

N ovel Bako ini sesungguhnya lebih menyerupai catatan biografis sebuah keluarga.
Ceritanya disampaikan lewat tokoh "aku" yang sejak kecilnya mencoba me
mahami keberadaan dirinya dalam sebuah keluarga dan masyarakat. Bentuk pen-ceritaannya
cukup rumit; rumit karena setiap tokoh yang diceritakan selalu dihubung-kan dengan tokoh
"aku". Dengan demikian, bentuk flashback atau sorot balik terjadi di sana-sini. Hal itu
dimungkinkan karena pemaparannya mirip cuplikan peristiwa-peristiwa yang bersifat
fragmentaris. Hanya lewat tokoh "aku" itulah berbagai peristiwa menjadi saling berkaitan.
Dalam hal ini, novel Bako cukup menarik. Secara keseluruhan, peristiwa-peristiwa
fragmentaris sangat menonjol dalam novel ini. Di dalamnya ter-ungkap pula tradisi dan adat-
istiadat yang berlaku dalam masyarakat matrilineal. Dalam beberapa hal, terungkap pula sisi
positif dan negarif masyarakat yang menganut tradisi tersebut.
Sebagai karya sastra, dalam hal bentuk, novel ini boleh dikatakan menampilkan
pembaharuan. Boleh jadi karena itulah novel ini dinyatakan sebagai pemenang hadiah utama
Sayembara Mengarang Roman Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 1980.

2. OLENKA
Pengarang : Dudi Darma
Penerbit : Balai Pustaka
Tahun : 1983; Cetakan III, 1986

P ertemuan antara Fanton Drummond dan Olenka hanya secara kebetulan. Mereka
bertemu di lift apartemen Tulip Tree, tempat tinggal mereka. Pertemuan yang terus-
menerus membuat Fanton tidak bisa melupakan bayangan Olenka dari pikiran-nya. Setiap
saat Fanton selalu membayangkan wajah dan tubuh Olenka, sekaligus ingin memperistrinya.
Meskipun Fanton akhirnya mengetahui bahwa Olenka sudah bersuami dan mem-punyai
anak, ia tidak terlalu mempedulikannya- Bahkan ia terkadang merasa cemburu pada Wayne
Danton, seorang pengarang amatir, yang bisa memperistri Olenka.
Sebelum Fanton Drummond hadir dalam kehidupan Olenka, keadaan keluarga Wayne-
Olenka sedang guncang walaupun belum sampai pada tahap perceraian. Keadaan itu
disebabkan suami-istri itu mempunyai gaya hidup yang berbeda; Wayne seorang pengarang
dan Olenka seorang pelukis. Di antara mereka tidak ada kecocokan. Wayne sering
menempelkan sobekan-sobekan kertas, yang berisi kata-kata yang akan digunakannya dalam
pembuatan cerpen atau novel, di dinding kamar; sedangkan Olenka sering membaca buku
yang seolah-olah tidak mau ditegur orang lain.
Tingkah laku Fanton yang menunjukkan bahwa ia menginginkan Olenka dapat
ditangkap oleh wanita itu. Mungkin karena Fanton sering memuji-muji hasil karyanya,
Olenka menjadi akrab dengan pria itu. Bahkan, hubungan mereka semakin intim seperti
layaknya suami-istri.
Fanton dan Olenka sudah berjanji bahwa pada suatu waktu mereka harus berpisah.
Lalu, memang demikianlah nyatanya. Mereka berpisah. Namun, kenyataannya Fanton tak
bisa melupakan Olenka setelah mereka berpisah. Untuk menghilangkan kegelisah-annya,
Fanton berusaha melupakan dan menghilangkan bayangan Olenka dart pikirannya, tetapi
justru terjerat pada bayangan tubuh Olenka. Akhirnya, ia berkelana mencari jejak wanita itu
ke Indiana, Kentucky, dan kembali ke Illinois.
Di Chicago Fanton berkenalan dengan Mary Carson di hotel La Salle. Perkenalan
singkat ini dimanfaatkan oleh Fanton untuk melenyapkan bayangan Olenka yang » sering
berkelebat dalam pikirannya. Tanpa pikir panjang, ia langsung menyatakan cintanya kepada
Mary. Namun, ditolak secara halus oleh wanita itu karena ia belum berpikir untuk kawin.
Melihat kenyataan seperti ini, Fanton merasakan diri seperti melayang. Akhirnya, ia menulis
surat-surat masturbasi; menulis surat untuk Mary, tapi tidak dikirim, melainkan disimpan
beberapa hari, kemudian dibaca sendiri suratnya. Setelah itu, ia bertindak seakan-akan seperti
Mary yang membalas suratnya—padahal ia sendiri yang menulis surat jawaban itu—, lalu
disimpannya surat itu untuk beberapa lama, kemudian ia baca surat itu, demikian seterusnya.
Tak berapa lama setelah kejadian itu, Fanton mendapat surat yang sangat panjang dari
Olenka. Dalam surat itu Olenka menceritakan asal-usulnya secara menyeluruh. Juga tentang
rasa kasihannya kepada Wayne, tentang cintanya yang sesungguhnya kepada Fanton, barikan
kisah hidupnya sebagai lesbian dengan seorang wanita yang dinamainya Winifred.
Kisah hidupnya ini mirip dengan kisah hidup Ursula dan Winifred dalam novel The
Rainbow karya D.H. Lawrence. Olenka juga mengatakan bahwa perkawinannya dengan
Wayne hanyalah karena keterpaksaan, yakni agar ia dapat hidup normal sebagai seorang
wanita. Meskipun Olenka mencintai Fanton, ia sadar bahwa bagaimanapun Wayne adalah
suaminya dan Steven adalah anaknya, ia akan menolong hidup kedua orang itu.
Surat Olenka tersebut justru membuat Fanton semakin tergila-gila pada wanita itu. Ia
kemudian mencarter pesawat terbang untuk mengelilingi Bloomington sekadar melupakan
Olenka. la masih tetap berharap agar Olenka mengirimkan surat untuknya lagi, tetapi sia-sia,
Olenka tidak pernah menulis surat lagi.
Fanton akhirnya dapat bertemu dengan Mary Carson lagi, yang kini sudah cacat akibat
kecelakaan pesawat terbang yang ditumpanginya. Meskipun Mary cacat, Fanton masih
bersedia mengawininya. Mary tetap menolak karena ia tak mau nantinya lelaki itu hanya akan
berperaM sebagai juru rawat saja. Padahal, dalam hati wanita itu sebenarnya ia sangat
mencintai Fanton semenjak pertemuan mereka dulu di Chicago, tetapi pada waktu itu Mary
dalam keadaan bimbang, sehingga tidak dapat mem-berikan suatu putusan.
Sepulangnya Fanton dari Alicjuippa—dari rumah Mary—, ia membaca berita di surat
kabar yang berisi tentang pemalsuan lukisan oleh Olenka Danton—yang kemudian ditemui
pingsan di kamar hotelnya karena terlalu banyak menelan obat tidur.
Selanjutnya, Fanton berusaha menemui Olenka di rumah sakit. Namun, "menurut Loket
Penerangan Rumah Sakit, Olenka sudah meninggalkan rumah sakit lebih kurang seperempat
jam yang lalu melalui pintu samping. Saya tidak menyesal, tidak kecewa. Yang saya pendam
dalam hati hanyalah kekosongan" (hlm. 213).
Begitulah, ketidakhadiran Olenka kali ini sama sekali tak membuatnya bersedih. la
sudah tidak lagi memikirkan Olenka. Yang dipikirkannya kali ini adalah dirinya sendiri yang
tak pernah ia mengerti siapa dirinya, mau ke mana, dan akan berhenti di mana perjalanannya.
la kini sadar bahwa apa yang ada dalam hati nuraninya, dan apa yang ada dalam pikirannya
harus dapat dipertanggungjawabkan. "Dan saya harus mempertanggungjawabkannya. Maka,
dalam usaha saya untuk menjadi pemeluk teguh, saya menggumam, 'Tuhanku, dalam
termangu, aku ingin menyebut nama-MU'" (hlm. 215). Inilah kesadaran Fanton akan
keberadaan dirinya sebagai makhluk-Nya yang tak mempunyai kekuasaan apa-apa
dibandingkan kekuasaan-Nya.
***

N ovel karya Budi Darma ini sebenarnya mempergunakan bentuk pencerita akuan (first
person narrator)—dengan tokoh Fanton yang bertindak sebagai pencerita dan
sekaligus tokoh utama—, tetapi disampaikan melalui surat Lewat surat-surat itulah,
baik yang ditulis oleh Fanton maupun oleh Olenka, pembaca dapat mengetahui pikiran
dan perasaan tokoh-tokoh tersebut. Memang demikianlah, lewat pikiran dan perasaan tokoh-
tokoh itulah novel ini dikembangkan, penuh dengan berbagai pernyataan yang tak jarang
saling bertentangan atau ambivalensi satu dengan lainnya. Kadang-kadang juga bertumpang-
tindih, bercampur-aduk, dan silih berganti tidak hanya antara lakuan dan pikiran atau
perasaan tokoh tertentu, tetapi juga jakuan antartokohnya. Jadi, di dalamnya sering kita hanya
menjumpai lompatan-lompatan pikiran yang beraneka ragam. Untuk memberi keterangan
lebih lanjut, pengarangnya sengaja menyertakan catatan tambahan yang penjelasannya
ditempatkan pada bagian halaman belakang novel. Sebelumnya, dipaparkan juga asal-usul
proses penulisan Olenka, yang sedikit banyak sangat membantu pemahaman pembaca
terhadap novel ini.
Sambutan para kritikus sastra — yang terungkap lewat sejumlah resensi — umumnya
memberi tanggapan yang memuji sebagai karya pembaharuan atau sebagai karya
dalam Olenka, termasuk teknik penceritaan kolase. Di bagian lain, Panuti Sudjiman
juga mengulas beberapa teknik penceritaan yang dipergunakan pengarang dalam novel-novel
inkonvensional sebagai hasil usaha melepaskan diri dari konvensi teknik penceritaan yang
terasa membelenggu.
Novel Olenka sebelunnnya adalah pemenang hadiah pertama Sayembara Mengarang
Roman yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 1980. Setelah diter-bitkan
sebagai buku pada tahun 1983, novel ini berhasil memperoleh hadiah Sastra Dewan Kesenian
Jakarta pada tahun yang sama.

3. ANAK TANAH AIR


Pengarang : Ajip Rosidi (31 Januari 1938)
Penerbit : Gramedia
Tahun : 1985

B ersekolah di Jakarta!... Tentu lain belajar di kota besar daripada di sebuah kota kecil
kabupaten..." (hlm. 10). Inilah salah satu alasan mengapa Ardi menyambut gembira
tawaran pamannya, Abdulmanan, untuk ikut dan bersekolah di Jakarta. Maka, walaupun
perjalanan ke ibu kota cukup melelahkan, terutama mengingat penuhnya kendaraan
sebagaimana biasanya selepas Lebaran, Ardi dengan senang hati menurut saja apa yang
dikatakan pamannya.
Setelah di Jakarta, Ardi baru mengetahui, ternyata tempat tinggal pamannya lebih mirip
gubuk daripada rumah. Itupun ternyata sudah ditempati bertiga; pamannya, Muhammad
siswa SMA yang juga bekerja di Departemen Keuangan, dan Rusmin, siswa Taman Dewasa.
Kini, ditambah dengan Ardi. Jadi, gubuk kecil itu ditempati berempat.
Meskipun penghasilan pamannya tidak besar, niat menyekolahkan Ardi tetap ia lak-
sanakan. Ardi dimasukkan di Taman Dewasa supaya dapat berangkat bersama-sama dengan
Rusmin. Selepas sekolah Ardi lebih banyak rnengobrol dengan Muhammad yang usianya
hampir sebaya dengan paman Abdulmanan, daripada dengan Rusmin yang usianya tidak jauh
berbeda dengan Ardi.
Jarak dari rumah ke sekolah yang cukup jauh dan ditempuh anak tanggung itu dengan
berjalan kaki, cukup membuarnya sengsara. Paling tidak, itu menyangkut soal kakinya yang
belum terbiasa bersepatu. Namun, keadaan yang tak enak itu tidak mengurangi niatnya untuk
bersekolah. Belakangan, ia juga bergaul dengan siswa Taman Madya yang setingkat dengan
SLTA. Ardi mulai tertarik pada kesenian. la juga mulai mencoba membuat beberapa sketsa
yang ternyata berhasil dimuat di majalah Mimbar Indonesia. Pengaruhnya ternyata cukup
besar. Anak tanggung itu makin giat melatih melukis dan kegiatan kesenian lainnya.
Lulus Taman Dewasa, Ardi masuk Taman Madya. Kegiatannya makin bertambah.
"Ardi juga bersekolah sore hari sekarang. Maka, waktu pagi digunakannya untuk berkunjung
ke rumah kawannya untuk bercakap-cakap atau melukis" (hlm. 103). Dalam pada itu, suhu
politik menjelang pemilu sedikit banyak telah mendapat per-hatian juga, walaupun hanya
sebatas mendengarkan cerita-cerita, mengikuti beritanya atau diskusi tentang itu.
Pada saat yang demikian, tiba-tiba saja daerah tempat tinggal Ardi dilanda ke-bakaran,
yang memakan banyak rumah. "Mungkin saja ada orang melepas api untuk membakari
rumah rakyat, agar pemerintah dapat main dengan orang-orang berduit. Tetapi mungkin pula
sebabnya. Oxang-oraug melepas api membakari rumah rakyat untuk membuat rakyat makin
tidak puas kepada pemerintah. Bukankah sekarang menghadapi pemilihan umum?"
(hlm. 115).
Selepas Taman Madya, Ardi tidak mclanjutkan pendidikannya. la juga tidak lagi tinggal
bersama pamannya, la kini tinggai bersama Ahmad, sesama pelukis, yang kegiatannya akhir-
akhir ini banyak tercurahkan pada organisasi pemuda. Organisasi seperti itu memang ramai
bermunculan sejalan dengan meningkatnya suhu politik. Namun, Ardi lebih menekuni
kegiatan melukis.
Dalam sebuah pameran tunggal karya Hasan, teman sesama pelukis, Ardi ber-kenalan
dengan Rini dan Hermin. Atas usul Rini yang ingin agar dirinya dijadikan model, Hasan dan
Ardi kemudian datang ke rumah gadis itu. Dari sini hubungan mereka makin rapat,
khususnya Ardi dan Hermin. Sampai pada suatu saat sepasang anak manusia yang berlainan
jenis itu bersepakat untuk menumbuhkan perasaan cinta masing-masing. "Kukira cinta itu
tumbuh, seperti benih, kalau menemukan tanah yang subur. Cintaku menemukan persemaian
dalam dirirnu. Tidakkah itu cukup?" (hlm. 173). Begitulah, keduanya tenggelam dalam lautan
cinta.
Malamnya, tanpa diduga Ardi ditawari untuk bekerja pada sebuah majalah. "Aku
merasa takjub. Sore itu aku memperoleh cinta dan malam ini mcmperoleh pekerjaan" (hlm.
178).
Setelah merasa mempunyai penghasilan tetap, Ardi pindah dari rumah Ahmad. la
menyewa sebuah rumah kecil di bilangan Setiabudi. Hubungan dengan kekasihnya makin
rapat, bahkan tidak jarang melakukan hubungan intim layaknya suami-istri.
Sementara itu, kelompok seniman Lekra/PKI dengan cara-cara halus dan terselubung,
berhasil metibatkan Ardi datam suatu penandatanganan Konscpsi Presiden. Sebagai seniman,
pelukis muda itu tidak tahu-menahu perihal maksud dan tujuan konsepsi tersebut. la juga
tidak menduga jika tanda tangannya—yang menurut Suryo, anggota PKI, hanya urusan
administrasi—akan dipublikasikan secara luas dan dimuat di media massa. Akibatnya'sangat
fatal! Ardi dipandang sebagai orang yang sudah menjadi anggota komunis. Ayah Hermin
yang antikomunis, tentu saja tidak mau anaknya bergaul dengan anggota partai yang
dibencinya. Hermin dilarang berhubung-an dengan Ardi. Belakangan, diketahui pula bahwa
Hermin ternyata; lebih mengingin-kan pemuda lain.
Pelukis muda yang sebenarnya berbakat itu, masih juga belum menyadari masalah yang
sedang dihadapinya. la terlalu polos. Maka, ketika Ahmad, sahabatnya, juga menjauhi, Ardi
masih menganggapnya sebagai alasan yang dicari-cari. Lebih dari itu, sketsa-sketsanya yang
dikirim ke beberapa majalah juga tak ada satu pun yang dimuat. Ardi dikucilkan oleh
pacarnya dan sahabat-sahabatnya.
Dalam kesendirian yang menyakitkan, dalam keterpencilan dan kedukaannya, tiba-tiba
datanglah Suryo mendesak agar Ardi menyelenggarakan pameran tunggal. Suryo juga
menawarkan pekerjaan. Lebih dari itu, kader PKI yang lihai itu menyelipkan selembar ribuan
yang waktu itu benar-benar dibutuhkan pelukis malang itu. Dalam keadaan seperti itulah,
tanpa minta pertimbangan sahabat-sahabatnya, Ardi menyata-kan kesediaannya.
Pameran tunggal karya pelukis Ardi jadi dilaksanakan dengan pengunjung yang luar
biasa ramainya. Korari-koran memujinya setinggi langit Sejak itulah, pelukis yang masih
juga belum mengerti intrik-intrik politik, aktif mengikuti berbagai kegiatan yang
diselenggarakan Lekra/PKL Seniman lugu itu benar-benar sufcsts, baik ma tori
popularitasnya.
Setelah beberapa kali ia dikirim ke luar negeri, tanpa sengaja ia bertemu dengan
sahabatnya, Hasan. Temannya yang satu ini sama sekalt tidak mau terlibat urusan politik. la
merasa senang ketika Ardi menyatakan niatnya akan keluar dari anggota Lekra/PKl. Pemuda
itu baru menyadari kekeliruannya. Tetapi belum sempat niat itu dilaksanakan, terjadi tragedi
nasional: pengkhianatan PKI 30 September 1965. Ardi menyelamatkan diri ke Jawa Tengah,
tetapi tak diketahui nasibnya. Begitu juga Hasan, sahabatnya, entah berada di mana. Hanya
Hasan memiliki keteguhan hati untuk tidak ikut terlibat dalam kegiatan politik. "Menurut
hematku, komunisme adalah paham yang akan selalu dapat tumbuh subur datam setiap
masyarakat yang mempunyai kondisi tertentu. Maka, yang penting adalah kita harus
mengusahakan agar masyarakat kita jangan sampai mempunyai kondisi yang dapat menjadi
bumi yang subur bagi tumbuhnya paham itu" (hlm. 312-313).
***

N ovel Anak Tanah Air: Secercah Kisah ini, konon ditulis dalam dua versi: versi pertama
ditulis di Iwakura, Kyoto, November 1980; versi kedua (final) ditulis di
Hashimotocho, Osaka, Agustus 1983, Lengkapnya, novel ini terdiri dari tiga bagian: bagian
pertama, "Kilasan-kilasan" menceritakan tokoh Ardi semasa sekolah di Taman Dewasa dan
Taman Madya; bagian kedua, "Helai-helai Kehidupan" menceritakan masa dewasa Ardi
hingga terpedaya kelompok Lekra/PKI; dan bagian terakhir, "Surat-surat Dini Hari" memuat
surat-surat Hasan yang ditujukan entah kepada siapa.
Dilihat dari sudut pencerita, novel ini mempergunakan tiga bentuk pencerita, yaitu
diaan (bagian pertama), akuan (bagian kedua), dan bentuk surat (bagian ketiga). Secara
tematik, keseluruhan novel ini ingin menceritakan/mengangkat masalah politik yang terjadi
antara tahun 50-an sampai dengan 1965. Deskripsinya yang cukup terinci mengenai cara-cara
PKI menyebarkan pengaruhnya, terkesan semacam dokumen se-jarah yang terjadi pada
waktu itu. Demikian pula gambaran kehidupan para seniman waktu itu, banyak melibatkan
nama dan peristiwa yang memang ada secara faktual. Dalam hal tersebut itulah kekuatan
novel ini.
4. PERTEMUAN DUA HATI

Pengarang : Nh. Dini


Penerbit : Gramedia
Tahun : 1986

K epindahan suami Bu Suci ke Semarang, memaksa guru sekolah dasar itu juga ikut
pindah ke sana. Beruntung ada salah satu sekolah yang menerimanya sehingga Bu
Suci tidak terlalu lama menganggur. Bahkan "ada kemungkinan aku akan mengajar lebih dini
dari yang telah direncanakan semula" (hlm. 18). Menurut kepala sekolah, ada seorang guru
yang mcngalami kecelakaan. Bu Suci menggantikan tempat guru yang mendapat kecelakaan
itu, yakni mengajar dua kelas.
Pada awal menjalankan tugasnya sebagai guru yang memegang dua kelas, keduanya
kelas riga, Bu Suci menjalankan tugasnya dengan baik. Semua berjalan lancar. Begitu pula
urusan rumah tangganya tak menemui masalah. Namun, pada hari keempat, Bu Suci, yang
telah mempunyai sepasang putra, memperoleh keterangan bahwa salah seorang muridnya,
Waskito, belum juga masuk kelas. la heran, sebab semua murid yang sekelas dengan Waskito
tak satu pun yang mengetahui mengapa murid itu belum juga masuk kelas. Ternyata, di
kalangan teman-temannya, Waskito dikenal sebagai murid yang bengal. Begitu pula guru-
guru menyebutnya sebagai murid yang nakal, murid yang sering membuat kekacauan.
Itulah masalah yang dihadapi oleh Bu Suci. la bertekad untuk mengembalikan Waskito
menjadi murid yang wajar. Bersamaan dengan itu, masalah lain datang pula, Itu menyangkut
anaknya sendiri. Si Bungsu ternyata mengidap penyakit ayan. Itu berarti anaknya harus
memperoleh perawatan intensif seorang neorolog, ahli saraf. Berarti pula perhatian khusus
harus diberikan demi kesembuhan anak keduanya itu. Dengan demikian, dua masalah
sekaligus datang menimpa Bu Suci. Saat itu terbersit keraguannya dalam menyelesaikan
masalah ini. Sebagai ibu, ia tak ingin masa depan anaknya suram; dan sebagai guru, ia juga
berharap agar semua muridnya menjadi anak yang baik, anak yang berguna bagi sesamanya.
Pernah pula terlintas dalam pikiran Bu Suci untuk lebih memperhatikan anaknya
sendiri; "sepintas laru, tentu saja aku mementingkan anakku daripada muridku. Tetapi
benarkah sikap itu?" (hlm. 46). Di lain pihak, ia juga menyadari profesinya sebagai guru;
sebagai orang tua bagi murid-muridnya. Maka, keputusan Bu Suci adalah tidak memilih salah
satu dari persoalan itu, melainkan memilih keduanya. "Anak dan Murid. Bukan anak atau
murid. Ya, akhirnya itulah yang harus kupilih;, keduanya" (hlm. 47).
Sementara Bu Suci terus memperhatikan anak bungsunya, ia berusaha mencari
keterangan perihal latar belakang kehidupan Waskito. Dari sejumlah informasi, akhirnya ia
menyimpulkan bahwa kenakalan Waskito sesungguhnya hanya semacam kom-pensasi anak
yang merasa kurang mendapat perhatian kedua orang tuanya. "Jenis anak-anak lain tidak
akan memandang hal itu sebagai satu masalah. Namun, bagi Waskito, yang sedari kecil
merasa ditolak, tidak diperhatikan, hal itu merupakan beban yang mengganjal di hatinya"
(hlm. 52).
Kesimpulan tersebut telah memperkuat tekad Bu Suci untuk mengembalikan Waskito
menjadi murid yang wajar, sama seperti murid yang lain. Waskito pada mulanya
menanggapinya secara baik. Murid-murid lainnya juga mulai menerima Waskito se-
bagaimana biasanya hubungan sesama murid.
Sungguhpun demikian, beberapa rekan sejawat Bu Suci ada yang menanggapinya
secara lain. Beberapa guru, ada yang kurang mendukung itikad baik Bu Suci, yang menurut
mereka berlebihan. Mereka juga beranggapan bahwa anak macam Waskito yang sudah
terbiasa dimanja dengan harta, tak bakal dapat disembuhkan lagi. Anggapan itu kemudian
seolah-olah memperoleh pembenaran, ketika suatu hari Waskito mengamuk.
Tenru saja peristiwa itu sangat memukul hati Bu Suci. Ja mulai meragukan kemam-
puannya untuk menyadarkan murid bengal itu. Di samping itu, peristiwa itu juga telah
"menggoncangkan kepercayaan sekolah kepada Waskito" (hlm. 69). Bu Suci kemudian diberi
waktu sebulan dalam usahanya menyadarkan Waskito. Bagaimana-pun, idealismenya sebagai
seorang guru memberi keyakinan yang kuat pada dtrinya bahwa dengan pendekatan dan cara
yang tepat, pastilah murid bengal itu akan kembali menjadi murid yang wajar. Keyakinan Bu
Suci ternyata benar. Pada akhir tahun pelajaran, Waskito naik kelas. Tidak hanya itu, ia juga
menjadi murid yang baik.
Tentu saja Bu Suci merasa senang. Terlebih lagi, kesehatan anak bungsunya juga makin
baik dan tidak lagi memperlihatkan tanda-tanda kambuh.
***

A gak berbeda dengan novel-novel Nh. Dini lainnya, Pertemuan Dua Hati
memperlihatkan minat sastrawati yang produktif ini kepada persoalan dunia
pendidikan. Kisah seorang guru sekolah dasar ini, tampaknya sengaja hendak menempatkan
peran dan tanggung jawab seorang guru. Di lain pihak, terkesan juga hendak menggam-
barkan betapa tugas seorang guru tidak ringan. Bu Suci yang harus menghadapi kenyataan
bahwa anaknya sakit ayan, muridnya bengal, dan rekan sejawatnya kurang memberi
dukungan, ternyata tetap menjunjung tinggi idealisme profesinya sebagai guru. Dengan
keyakinan itu, betapapun beratnya, akhirnya dapat pula ia jalankan dengan baik. la berhasil
melaksanakan kewajibannya, baik sebagai ibu rumah tangga maupun sebagai ibu guru.
Sekitar lebih dari sepuluh resensi yang mengulas buku ini, umumnya memberi pujian
pada tema ceritanya. Sesungguhnya, memang dalam hal tema itulah, novel ini
memperlihatkan kekuatannya. Sebagai bahan pengajaran untuk menanamkan pen-tingnya
hubungan baik antara guru dan murid, novel ini kiranya sesuai untuk dijadikan salah satu
bahan acuan.
Studi yang cukup mendalam mengenai novel ini pernah dilakukan oleh Oktaviani
(FSU1, 1991) sebagai bahan penelitian skripsi sarjananya.
Tahun 1989, novel ini diangkat menjadi sinetron TVRI, dengan Titiek Sandhora
sebagai pemeran utamanya.
5. DI SIMPANG JALAN

Pengarang : Ras Siregar (10 Juni 1936)


Penerbit : Pustaka Karya Grafika Utama
Tahun : 1988

M ulanya pertemuan Bahrum dan Anita Rahman berlangsung biasa-biasa saja dan
wajar, Bahrum yang oleh kantornya diberi kesempatan untuk mengikuti kursus
manajemen, berkenalan dengan Anita yang juga ditugaskan oleh kantornya unluk mengikuti
pendidikan yang sama. Pertemuan mereka di tempat kursus yang makin kerap, lambat-laun
menumbuhkan rasa simpati pada diri keduanya, sungguhpun sebenarnya rnasing-masing
sudah berkeluarga. Malahan Bahrum sudah mempunyai lima orang anak, sedangkan Anita
belum.
Hidup berkeluarga tanpa anak, rupanya belum membuat Anita merasa bahagia. Apalagi
perkawinannya dengan Rahman, suaminya, sesungguhnya tidak didasari oleh perasaan saling
mencintai, melainkan karena kehendak kedua orang tua yang masih famili. Konon, Rahman
berasal dari keluarga berkecukupan. Di Malang, ayahnya mempunyai perusahaan kopi.
Kendati demikian, Rahman tidak melanjutkan sekolah-nya ke perguruan tinggi. la hanya
tamat SMA dan kemudian bekerja di P dan K Jakarta. Sebaliknya, Anita dapat menyelesaikan
studinya hingga tamat perguruan tinggi. Dengan pendidikannya itu, ia bekerja di perusahaan
swasta dan menduduki jabatan di bagian personalia.
Kepada Bahrum jualah Anita dapat menceritakan segala keluhannya. Bagi Anita,
Bahrum memang mcnyenangkan. Hal ini merupakan sesuatu yang tidak ia dapatkan dari
suaminya, Anita tak merasa risih mengutarakan hal-hal yang sangat pribadi sifatnya,
misalnya dalam hubungan intimnya dengan Rahman, la merasa diperlakukan sebagai tempat
pemuas nafsu suaminya belaka. "Ya, jika dia ingin campur, tengah malam ia datang ke
tempat tidurku dan ...!" (hlm. 40),
Rumah tangga yang tak" lagi harmonis itu, akhirnya berpuncak pada pertengkaran saat
seminggu setelah ayah Rahman meninggal. Malam ketujuh itu Anita tidak datang ke rumah
merruanya. Ketika Rahman menanyakan mengapa tidak datang, Anita menjawab, bahwa ia
pergi nonton bersama teman-temannya. Anita begitu tak peduli dengan kematian mertuanya.
Hal itulah yang menyebabkan suaminya naik pitam dan menampar Anita dua kali. Anita
kemudian minta diceraikan. Rahman meninggalkan Anita, yang lalu dibalas istrinya dengan
meninggalkan rumahnya. Anita menyewa sebuah kamar di pondokan. Pemilik pondok itu
adalah seorang wanita yang senang menghabiskan waktu dengan bermain bridge. la
mempunyai seorang keponakan ber-nama Yanto yang masih kuliah di Universitas "I". Di
pondokan itu ada lima orang wanita yang menyewa kamar, termasuk Anita. Salah seorang
bernama Tini yang doyan berkencan dengan lelaki berduit. Anita pun pernah diajaknya.

Rahman pernah pula datang ke pondokan tempat Anita tinggal. la membujuk istrinya
agar mau pulang ke rumah mereka di Cilandak, namun Anita menolaknya. Rahman terpaksa
pulang dengan tangan hampa.
Suatu saat istri Bahrum pulang ke rumah orang tuanya di Lampung yang menurut kabar
sedang sakit. Bahrum sendiri sengaja tidak ikut. la lebih senang menjaga anak-anaknya yang
sekolah dan sekaligus ingin mengetahui Anita selanjutnya.
Sementara itu, Anita mengambil cuti dari pekerjaannya. Kesempatan itu tentu saja
dimanfaatkan Bahrum untuk mengajaknya jalan-jalan; melepaskan perasaan masing-masing.
Pada saat-saat seperti itu, hubungan mereka laksana sepasang sejoli yang sedang memadu
kasih.
Suatu malam, .Bahrum mengantar Anita pulang ke pondokannya agak larut malam.
Sepulangnya Bahrum, Anita merasakan keadaan pondokannya begitu sepi. Penghuni lainnya
entah sedang pergi ke mana. Hanya Yanto yang tinggal. Tanpa curiga Anita masuk ke
kamarnya untuk berganti pakaian. Saat itulah, Yanto mengikutinya dari belakang. Tanpa
diduga Anita, tiba-tiba saja pemuda itu mendekapnya; bermaksud hendak memperkosanya.
Perbuatan rnesum itu nyaris saja terjadi kalau Anita tidak berusaha keras mclakukan
perlawanan. la segera kabur meninggalkan pondokannya, pergi menuju rumah Bahrum.
Tentu saja lelaki yang sedang ditinggal istrinya itu kaget melihat kedatangan Anita. Seteiah
mendengar ketcrangan Anita, Bahrum mengusulkan agar kekasih gelapnya itu tinggal di
rumahnya, sekalian untuk mengenal kelima orang anaknya.
Seteiah dua hari Anita tinggal dan mulai mengenal anak-anak Bahrum, datang
interlokal dari Lampung yang menyuruh agar Bahrum menjemput istrinya ke sana, karena
istrinya akan segera kembali ke Jakarta. Bahrum terpaksa meninggalkan Anita di rumahnya.
Anita sendiri merasa senang dapat mengenal anak-anak Bahrum. De-mikian juga sebaliknya,
kelima anak Bahrum dapat cepat akrab.
Suatu hari Rahman datang menemui Anita di rumah Bahrum. la tetap mengajak Anita
kembali bersamanya. Anak-anak Bahrum ternyata senang juga kepada Rahman. Mereka teiah
berjanji untuk sama-sama pergi bertamasya ke Cibodas. Mulanya, Anita menolak pergi
dengan mereka, tetapi akhirnya mau juga.
Sepulang dari Cibodas, Bahrum dan istrinya telah menanti mereka di rumah. Bahrum
memperkenalkan Anita dan Rahman kepada istrinya. Kemudian, istri Bahrum mengatakan
bahwa ia dan anak-anak akan berkunjung ke rumah Anita dan Rahman di Cilandak.
Anita dan Rahman berjanji akan menyambut keluarga Bahrum. Tak lama kemudian,
mereka berpamitan. Setibanya di rumah, Rahman merangkul Anita. Mereka bersatu kembali
demi terwujudnya rumah tangga yang ceria dan bahagia.
***

N ovel Ras Siregar ini semula merupakan cerita bersambung yang dimuat harian
Kompas. Seteiah mengalami revisi seperlunya, barulah diterbitkan sebagai buku.
Begitulah keterangan yang terdapat di dalam pengantar novel ini.
Di Simpang Jalan adalah novel kedua Ras Siregar. Novel pertamanya, Terima Kasih
terbit tahun 1969 yang menurut Pamusuk Eneste (1990: 149), terbit tahun 1968.
Cerita novel Di Simpang Jalan sebenarnya lebih menyerupai gambaran kehidupan
seorang istri yang bekerja, sebagaimana yang diperankan oleh tokoh Anita. Sedangkan
hubungannya dengan Banning walaupun baru sebatas kencan dan tidak lebih dari itu,
dimungkinkan oleh sikap Anita sendiri yang banyak memberi "angin" kepada lelaki yang
sudah beranak-istri itu. Jadi, kalau saja Anita bersikap wajar, rasanya Bahrum juga akan tetap
menjaga hubungannya dengan Anita secara wajar. Begitulah, pe-ngarang terkesan hendak
menekankan, bahwa terjadinya berbagai penyelewengan atau skandal yang terjadi pada para
pegawai berbagai perusahaan, sebenarnya lebih banyak disebabkan oleh sikap para pegawai
wanitanya yang sering bersikap tak wajar.
Beruntung, bahwa balk Bahrum maupun Rahman, suami Anita, lebih mementingkan
urusan rumah tangga daripada kesenangan pribadinya, sehingga tak sampai terjadi hubungan
yang dapat menghancurkan rumah tangga masing-masing.
6. SITI NURBAYA
(Kasih Tak Sampai)
Pengarang : Marah Rusli (7 Agustus 1889-17 Januari 1968)
Penerbit : Balai Pustaka
Tahun : 1922; Cetakan XX, 1990

S utan Mahmud Syah termasuk salah seorang bangsawan yang cukup terkenal di Padang.
Penghulu yang sangat disegani dan dihormati penduduk di sekitarnya itu, mempunyai
putra bernama Samsulbahri, anak tunggal yang berbudi dan berperilaku baik. Bersebelahan
dengan rumah Sutan Mahmud Syah, tinggal seorang saudagar kaya bernama Baginda
Sulaiman. Putrinya, Sitti Nurbaya, juga merupakan anak tunggal keluarga kaya-raya itu.
Sebagaimana umumnya kehidupan bertetangga, hubungan antara keluarga Sutan
Mahmud Syah dan keluarga Baginda Sulaiman, berjalan dengan baik. Begitu pula hubungan
Samsulbahri dan Sitti Nurbaya. Sejak anak-anak sampai usia mereka menginjak remaja,
persahabatan mereka makin erat. Apalagi, keduanya belajar di sekolah yang sama. Hubungan
kedua remaja itu berkembang menjadi hubungan cinta. Perasaan tersebut baru mereka sadari
ketika Samsulbahri akan berangkat ke Jakarta untuk melanjutkan sekolahnya.
Sementara itu, Datuk Meringgih, salah seorang saudagar kaya di Padang, berusaha
untuk menjatuhkan kedudukan Baginda Sulaiman. la menganggap Baginda Sulaiman sebagai
saingannya yang harus disingkirkan, di samping rasa iri hatinya melihat harta kekayaan ayah
Sitti Nurbaya itu. "Aku sesungguhnya tidak senang melihat perniagaan Baginda Sulaiman,
makin hari makin bertambah maju, sehingga berani ia bersaing dengan aku. Oleh sebab itu,
hendaklah ia dijatuhkan," demikian Datuk Meringgih berkata (hlm. 92). la kemudian
menyuruh anak buahnya untuk membakar dan menghancurkan bangunan, toko-toko, dan
semua harta kekayaan Baginda Sulaiman.
Akal busuk Datuk Meringgih berhasil. Baginda Sulaiman kini jatuh miskin. Namun,
sejauh itu, ia belum menyadari bahwa sesungguhnya, kejatuhannya akibat perbuatan licik
Datuk Meringgih. Oleh karena itu, tanpa prasangka apa-apa, ia meminjam uang kepada orang
yang sebenarnya akan mencelakakan Baginda Sulaiman.
Bagi Datuk Meringgih kedatangan Baginda Sulaiman itu ibarat "Pucuk dicinta ulam
tiba", karena memang hal itulah yang diharapkannya. Rentenir kikir yang tamak dan licik itu,
kemudian meminjamkan uang kepada Baginda Sulaiman dengan syarat harus dapat dilunasi
dalam waktu tiga bulan. Pada saat yang telah ditetapkan, Datuk Meringgih pun datang
menagih janji.
Malang bagi Baginda Sulaiman. la tak dapat melunasi utangnya. Tentu saja Datuk
Meringgih tidak mau rugi. Tanpa belas kasihan, ia mengancam akan memenjarakan Baginda
Sulaiman jika utangnya tidak segera dilunasi, kecuali apabila Sitti Nurbaya diserahkan untuk
dijadikan istri mudanya.
Malang bagi Baginda Sulaiman. la tak dapat melunasi utangnya. Tentu saja Datuk
Meringgih tidak mau rugi. Tanpa belas kasihan, ia mengancam akan memenjarakan Baginda
Sulaiman jika utangnya tidak segera dilunasi, kecuali apabila Sitti Nurbaya diserahkan untuk
dijadikan istri mudanya.
Baginda Sulaiman tentu saja tidak mau putri tunggalnya menjadi korban lelaki hidung
belang itu walaupun sebenarnya ia tak dapat berbuat apa-apa. Maka, ketika ia sadar bahwa
dirinya tak sanggup untuk membayar utangnya, ia pasrah saja digiring polisi dan siap
menjalani hukuman. Pada saat itulah, Sitti Nurbaya keluar dari kamarnya dan menyatakan
bersedia menjadi istri Datuk Meringgih asalkan ayahnya tidak dipenjarakan. Suatu keputusan
yang kelak akan menceburkan Sitti Nurbaya pada penderitaan yang berkepanjangan.
Samsulbahri, mendengar peristiwa yang menimpa diri kekasihnya itu lewat surat Sitti
Nurbaya, juga ikut prihatin. Cintanya kepada Sitti Nurbaya tidak mudah begitu saja ia
lupakan. Oleh karena itu, ketika liburan, ia pulang ke Padang, dan menyempatkan diri
menengok Baginda Sulaiman yang sedang sakit. Kebetulan pula, Sitti Nurbaya pada saat
yang sama sedang menjenguk ayahnya. Tanpa sengaja, keduanya pun bertemu lalu saling
menceritakan pengalaman masing-masing.
Ketika mereka sedang asyik mengobrol, datanglah Datuk Meringgih. Sifat Meringgih
yang culas dan selalu berprasangka itu, tentu saja menyangka kedua orang itu telah
melakukan perbuatan yang tidak pantas. Samsulbahri yang merasa tidak melakukan hal yang
tidak patut, berusaha membela diri dari tuduhan keji itu. Pertengkaran pun tak dapat
dihindarkan.
Pada saat pertengkaran terjadi, ayah Sitti Nurbaya berusaha datang ke tempat
kejadian. Namun, karena kondisinya yang kurang sehat, ia jatuh dari tangga hingga menemui
ajalnya.
Ternyata ekor perkelahian itu tak hanya sampai di situ. Ayah Samsulbahri yang
merasa malu atas tuduhan yang ditimpakan kepada anaknya, kemudian mengusir
Samsulbahri. Pemuda itu terpaksa kembali ke Jakarta. Sementara Sitti Nurbaya, sejak
ayahnya meninggal merasa dirinya telah bebas dan tidak perlu lagi tunduk dan patuh kepada
Datuk Meringgih. Sejak saat itu ia tinggal menumpang bersama salah seorang familinya yang
bernama Aminah.
Sekali waktu, Sitti Nurbaya bermaksud menyusul kekasihnya ke Jakarta. Namun,
akibat tipu muslihat dan akal licik Datuk Meringgih yang menuduhnya telah mencuri harta
perhiasan bekas suaminya itu, Sitti Nurbaya terpaksa kembali ke Padang. Oleh karena Sitti
Nurbaya tidak bersalah, akhirnya ia bebas dari tuduhan. Namun, Datuk Meringgih masih juga
belum puas. la kemudian menyuruh seseorang untuk meracun Sitti Nurbaya. Kali ini,
perbuatannya berhasil. Sitti Nurbaya meninggal karena keracunan.
Rupanya, berita kematian Sitti Nurbaya membuat sedih ibu Samsulbahri. la kemudian
jatuh sakit, dan tidak berapa lama kemudian meninggal dunia.
Berita kematian Sitti Nurbaya dan ibu Samsulbahri, sampai juga ke Jakarta.
Samsulbahri yang merasa amat berduka, mula-mula mencoba bunuh diri. Beruntung, teman-
nya, Arifin, dapat menggagalkan tindakan nekat Samsulbahri. Namun, lain lagi berita yang
sampai ke Padang. Di kota ini, Samsulbahri dikabarkan telah meninggal dunia.
Sepuluh tahun berlalu. Samsulbahri kini telah menjadi serdadu kompeni dengan
pangkat letnan. la juga sekarang lebih dikenal dengan nama Letnan Mas. Sebenarnya, ia
menjadi serdadu kompeni bukan karena ia ingin mengabdi kepada kompeni, melainkan
terdorong oleh rasa frustrasinya mendengar orang-orang yang dicintainya telah meninggal.
Oleh karena itu, ia sempat bimbang juga ketika mendapat tugas harus memimpin pasukannya
memadamkan pemberontakan yang terjadi di Padang. Bagaimanapun, ia tak dapat begitu saja
melupakan tanah leluhurnya itu. Ternyata pemberontakan yang terjadi di Padang itu didalangi
oleh Datuk Meringgih.
Dalam pertempuran melawan pemberontak itu, Letnan Mas sempat mendapat
perlawanan cukup sengit. Namun, akhirnya ia berhasil menumpasnya, termasuk juga
menembak Datuk Meringgih, hingga dalang pemberontak itu tewas. Namun, Letnan Mas
luka parah terkena sabetan pedang Datuk Meringgih.
Rupanya, kepala Letnan Mas yang terluka itu, cukup parah. la terpaksa dirawat di
rumah sakit. Pada saat itulah, timbul keinginan Letnan Mas untuk berjumpa dengan ayahnya.
Ternyata, pertemuan yang mengharukan antara "Si anak yang hilang" dan ayahnya itu
merupakan pertemuan terakhir sekaligus akhir hayat kedua orang itu. Oleh karena setelah
Letnan Mas menyatakan bahwa ia Samsulbahri, ia mengembuskan napas di depan ayahnya
sendiri. Adapun Sutan Mahmud Syah, begitu tahu bahwa Samsulbahri yang dikiranya telah
meninggal beberapa tahun lamanya tiba-tiba kini tergolek kaku menjadi mayat akhirnya pun
meninggal dunia pada keesokan harinya.

***

H ampir semua kritikus sastra Indonesia menempatkan novel Sitti Nurbaya ini. sebagai
karya penting dalam sejarah kesusastraan Indonesia. Secara tematik, seperti yang
disinggung H.B. Jassin, Zuber Usman, Ajip Rosidi, Sapardi Djoko Damono, maupun Teeuw,
novel ini tidak hanya menampilkan latar sosial lebih jelas, tetapi juga mengandung kritik
yang tajam terhadap adat-istiadat dan tradisi kolot yang membelenggu. Novel ini pula yang
pertama kali menampilkan masalah perkawinan dalam hubungannya dengan persoalan adat,
yang kemudian banyak diikuti oleh pengarang-pengarang Indonesia sesudahnya.
Pada tahun 1969, novel ini memperoleh hadiah penghargaan dari pemerintah
Indonesia sebagai hadiah tahunan yang diberikan setiap tanggal 17 Agustus—kini Hadiah
Tahunan Pemerintah ini tidak dilanjutkan lagi—.
Berbagai artikel maupun makalah yang membahas novel ini sudah banyak ditulis oleh
para pengamat sastra Indonesia, baik dalam maupun luar negeri. Hingga kini, ulasannya
masih terus banyak dilakukan, baik dalam konteks sejarah kesusastraan Indonesia modern,
maupun dalam konteks sosial dan emansipasi wanita.
Di Malaysia, novel ini terbit pula dalam edisi bahasa Melayu. Pada tahun 1963 saja, di
Malaysia itu, Sitti Nurbaya sudah mengalami cetak ulang ke-11. Untuk pengajaran sastra di
tingkat sekolah lanjutan, novel ini merupakan salah satu novel wajib.
Tahun 1991, TVRI menyiarkan sinetron Sitti Nurbaya dengan pemeran utamanya
Novia Kolopaking (sebagai Sitti Nurbaya) dan Gusti Randa (sebagai Samsulbahri).
7. DARAH MUDA
Pengarang : Adinegoro (1904-1966)
Penerbit : Balai Pustaka
Tahun : 1927; Cetakan XX, 1931

S etelah sepuluh tahun lamanya Nurdin menuntut ilmu di Sekolah Dokter (Stovia),
akhirnya pemuda asal Minangkabau itu berhasil juga menyelesaikannya dengan baik.
Resmilah ia menjadi seorang dokter. Segera ia bermaksud menjumpai orang tuanya,
sebagaimana yang diharapkan kedua orang tuanya.
Dalam perjalanan ke kampung halamannya itu, ia bertemu dengan seorang gadis asal
Sunda, bernama Rukmini. Gadis yang telah menjadi guru HIS itu, bersama ibunya,
bermaksud ke Bangkahulu. Bagi Nurdin, pertemuannya dengan Rukmini di kapal, punya arti
yang sangat mendalam. Setidak-tidaknya telah membuat sifat Nurdin—yang tadinya pendiam
jika berhadapan dengan wanita—jadi berubah. la pun berusaha untuk dapat berkenalan
dengan gadis itu.
Seperti rencananya semula, Nurdin tidak lama tinggal di rumah orang tuanya di
Padang. la segera kembali ke Betawi, kemudian bekerja di CBZ, sebuah rumah sakit besar.
Setahun kemudian, ia dipindah tugaskan ke Bukit tinggi. Tentu saja, Nurdin senang dengan
kepindahannya itu karena" di sana ia akan merasa lebih bebas melaksanakan tugas-tugasnya.
Terlebih lagi orang tuanya yang berharap agar anaknya itu segera mendapatkan jodohnya.
"Hanya pengharapan mereka, mudah-mudahan anak mereka, ...jangan hendaknya jatuh ke
tangan seorang bangsa asing lain." (hlm. 29).
Suatu hari, ketika Nurdin tinggal di rumah pamannya di Padang, ia diajak pamannya
ke sebuah rapat yang merencanakan mendirikan sekolah swasta: Pada saat itulah, ia
mendengar bahwa ada seorang guru perempuan yang melamar pekerjaan di sekolah itu.
Ternyata, guru yang dimaksud tidak lain adalah Rukmini. Rapat itu kemudian secara bulat
menyetujui penerimaan Rukmini menjadi guru sekolah itu.
Dalam pada itu, pamannya punya rencana lain. la ingin agar Nurdin bersedia
dijodohkan dengan putrinya. Secara tersirat, hal itu dikemukakannya kepada Nurdin.
Sebaliknya, dokter muda itu punya pikiran lain dalam memandang soal perjodohan. Bahkan,
ia mengecam adat perkawinan Minangkabau—terutama yang membolehkan poligami—yang
menurutnya harus segera dihilangkan.
Seminggu menjelang Nurdin mengawali pekerjaannya di Bukittinggi, tanpa diduga, ia
berjumpa lagi dengan Rukmini di stasiun Padang. Mereka kemudian mengobrol berbagai hal
yang membuat sepasang manusia itu semakin akrab. Bagi Nurdin, pertemuan itu justru
membuatnya selalu digoda perasaannya yang tak mudah melupakan gadis Sunda itu.
Demikian juga Rukmini. la mulai tertarik dan punya perasaan lain terhadap dokter yang
masih lajang itu. Maka, sudah dapat diduga, hubungan mereka pun semakin erat, teristimewa
ketika ibu Rukmini jatuh sakit. Hal itu pula yang memungkinkan Nurdin punya kesempatan
lebih sering datang ke rumah Rukmini. Nurdin kemudian berketetapan had untuk melamar
gadis Priangan itu ketika yakin bahwa cintanya berbalas.
Sernentara itu, ibu Nurdin yang melihat hubungan anaknya dengan Rukmini semakin
erat, merasa kurang senang. Menurutnya, sesuai dengan adat yang berlaku, ibu Rukmini yang
mestinya datang kepadanya meminta Nurdin menjadi suami putrinya. Sebab, dalam anggapan
ibu Nurdin, anaknya termasuk seorang terpandang yang berpangkat tinggi. Jika ia datang ke
rumah ibu Rukmini, hal itu dianggap sebagai perbuatan yang tercela. Di samping itu,
perbuatan demikian juga berarti anaknya dianggap sebagai lelaki yang sudah tidak laku.
Demikianlah, atas pertimbangan itu, jalan yang harus dilakukan adalah memutuskan
hubungan anaknya dengan Rukmini. Ibu Nurdin kemudian datang ke rumah Rukmini, tetapi
bukan untuk membicarakan soal perkawinan anaknya dengan Rukmini, melainkan
menyampaikan berita bahwa Nurdin akan segera dikawinkan dengan seorang gadis anak
mamaknya. Sesungguhnya, ini hanya siasat ibu Nurdin agar Rukmini tak lagi berhubungan
dengan anaknya.
Malam harinya, datang pula rekan sejawat Rukmini, guru Harun. Lelaki yang menurut
pengakuannya baru menceraikan istrinya itu, menceritakan perihal Nurdin; bahwa dokter itu
bulan depan akan melangsungkan perkawinan dengan seorang gadis yang kini masih berada
di Betawi. Dalam kesempatan itu, diutarakan pula keinginan Harun untuk memperistri
Rukmini.
Dalam usaha memutuskan hubungan Rukmini dengan Nurdin, Harun masih meng-
gunakan tipu muslihat lain. la mencuri foto Rukmini dari rumah Gafur, sahabat (Rukmini.
Esoknya, ia pura-pura sakit dan kemudian memanggil dokter Nurdin. Nurdin tentu tidak tahu
akal buruk Harun. Yang jelas, begitu ia selesai memeriksa Harun, ia melihat foto gadis
pujaannya itu, tergeletak di atas meja di samping tempat tidur pasiennya. Tentu saja Nurdin
kaget dibuatnya dan kemudian bertanya tentang foto itu. Kesempatan inilah yang
dipergunakan Harun untuk membuat cerita bohong tentang Rukmini. Tanpa diselidiki dahulu,
Nurdin percaya pada cerita Harun. la pun segera memutuskan hubungan dengan Rukmini
sungguhpun dengan perasaan berat.
Melihat perkembangan itu, ibu Nurdin tentu sangat gembira. la merasa tipu mus-
lihatnya telah berhasil. Sebaliknya, Nurdin yang begitu kecewa, tidak peduli lagi dengan
keadaan di sekelilingnya. Begitu pula Nurdin, tidak lagi memperhatikan ke-sehatannya.
Timbullah penyesalan dalam diri orang tua Nurdin sampai akhirnya ia sakit. Penyesalan yang
berkepanjangan itu rupanya tak dapat ditahan-tahan lagi. Ibunya lalu mengakui kesalahannya,
telah berusaha memutuskan hubungan anaknya dengan Rukmini. Tidak berapa lama setelah
itu, ibunya meninggal dunia.
Belakangan, datang pula kabar tentang Harun. Lelaki itu ternyata telah melakukan
berbagai kejahatan hingga dijebloskan ke penjara. Di penjara Harun menghabisi nyawa-nya
sendiri dengan cara mengganhmg diri.
Pengakuan ibunya dan berita bunuh diri Harun, telah menyadarkan Nurdin bahwa
sesungguhnya hubungannya yang putus dengan Rukmini, tidak hanya perbuatan ibunya
semata-mata, tetapi juga karena akal jahat Harun. Namun, keadaan demikian itu justru
membuat Nurdin amat menderita; suatu penyakit yang ia sendiri tak tahu obatnya.
Nurdin begitu menyesali perbuatan yang telah dilakukan almarhumah ibunya. Lebih
dari itu, kini perasaan rindunya kepada Rukmini makin tak tertahankan, apalagi mengingat
bahwa Rukmini sama sekali tidak berdosa. Kini, Nurdin benar-benar sakit; demam, panas,
dari mulutnya meluncur terus nama Rukmini. Maka, segera ia me-nyuruh seseorang untuk
menjemput Rukmini dan menyatakan penyesalannya.
Petang harinya Rukmini datang memenuhi panggilan Nurdin. Sepasang anak manusia
itu pun bertemu kembali. "Waktu mereka mula-mula bertemu muka, mereka bertentang-
tentangan sejurus lamanya, dan yang sejurus itu cukuplah akan menyatakan kepada mereka
masing-masing, bahwa api percintaan, yang ada di dalam hati mereka masing-masing,
belumlah padam, sungguhpun selama ini tidak kelihatan keluar." (hLm. 73).
Belakangan, setelah Nurdin membaca buku harian Rukmini, ia tambah yakin akan
kesetiaan gadis Sunda itu. Maka, tak ada alasan bagi Dokter Nurdin, selain segera
membangun rumah tangga bersama Rukmini.
***

N ovel pertama Adinegoro ini sebenarnya masih mempersoalkan perkawinan dalam hal
hubungannya dengan adat-istiadat, terutama adat yang berlaku di masyarakat
Minangkabau. Hanya, secara jelas pengarang terlihat lebih berpihak pada generasi niuda, Di
samping itu, ia tidak lagi mempersoalkan kesukuan. Perkawinan antarsuku sebagaimana yang
digambarkan pada tokoh Nurdin (Minang) dan Rukmini (Sunda), sesungguhnya tidak perlu
lagi dipermasalahkan, kecuali perkawinan antarbangsa (Cor-rie dan Hanafi dalam Salah
Asuhari). Hal itu disebabkan, suku-suku bangsa itu ter-masuk bangsa Indonesia juga. Hal lain
yang hendak ditonjolkan Adinegoro adalah pentingnya pendidikan bagi bangsa Indonesia
agar bangsa Indonesia tidak tertinggal oleh bangsa lain.
8. SALAH ASUHAN
Pengarang : Abdul Muis (1886-17 Juli 1959)
Penerbit : Balai Pustaka
Tahun : 1928; Cetakan XX, 1980
H anafi adalah pemuda pribumi asal Minangkabau. Sesungguhnya, ia termasuk orang
yang sangat beruntung dapat bersekolah di Betawi sampai tamat HBS (Hoogere
Burger School). Ibunya yang sudah janda, memang berusaha agar anaknya kelak menjadi
orang pandai, melebihi sanak keluarganya yang lain. Oleh karena itu, ia tidak segan-scgan
menitipkan Hanafi pada keluarga Belanda walaupun untuk pembiayaannya ia harus meminta
bantuan mamaknya, Sutan Batuah. Setamat HBS, Hanafi kembali ke Solok dan bekerja
sebagai klerek di kantor Asisten Residen Solok. Tak lama kemudian, ia diangkat menjadi
komis (hlm. 27).
Pendidikan dan pergaulan yang serba Belanda, memungkinkan Hanafi berhubungan
erat dengan Corrie Du Busse, gadis Indo-Perancis. Hanafi kini merasa telah bebas dari
kungkungan tradisi dan adat istiadat negerinya. Sikan, pemikiran, dan cara hidupnya, juga
sudah kebarat-baratan. Tidaklah heran jika hubungannya dengan Corri ditafsirkan lain oleh
Hanafi karena ia kini sudah bukan lagi sebagai orang "inlander". oleh arena itu, ketika Corrie
datang ke Solok dalam rangka mengisi liburan sekolahnya, bukan main senangnya hati
Hanafi. Ia dapat berjumpa kembali dengan sahabat dekatnya.
Hanafi mulai merasakan tumbuhnya perasaan asmara. Sikap Corrie terhadapnya juga
dianggap sebagai "gayung bersambut kata berjawab". Maka, betapa terkejutnya Hanafi ketika
ia membaca surat dari Corrie. Corrie mengingatkan bahwa perkawinan campuran bukan
hanya tidak lazim untuk ukuran waktu itu, tetapi juga akan mendatangkan berbagai masalah.
"...Timur tinggal Timur, Barat tinggal Barat, tak akan dapat ditimbuni jurang yang membatasi
kedua bahagian itu" (hlm. 59). Perasaan Corrie sendiri sebenarnya mengatakan lain. Namun,
mengingat dirinya yang Indo—dan dengan sendirinya perilaku dan sikap hidupnya juga
berpijak pada kebudayaan Barat— serta Hanafi yang pribumi, yang tidak akan begitu saja
dapat melepaskan akar budaya leluhurnya.
Dalam surat Corrie selanjutnya, ia meminta agar Hanafi mau memutuskan pertalian
hubungannya itu (hlm. 61). Surat itu membuat Hanafi patah semangat. la pun kemudian sakit.
Ibunya berusaha menghibur agar anak satu-satunya itu, sehat kembali. Di saat itu pula ibunya
menyarankan agar Hanafi bersedia menikah dengan Rapiah, anak mamaknya, Sutan Batuah.
Ibunya menerangkan bahwa segala biaya selama ia bersekolah di Betawi, tidak lain karena
berkat uluran tangan mamaknya, Sutan Batuah. Hanafi dapat mengerti dan ia menerima
Rapiah sebagai istrinya.
Kehidupan rumah tangga Hanafi dan Rapiah, rupanya tak berjalan lempang. Hanafi
tidak merasa bahagia, sungguhpun dari hasil perkawinannya dengan Rapiah, mereka
dikaruniai seorang anak laki-laki, Syafei. Lagi pula, semua teman-temannya menjauhi
dirinya. Dalam anggapan Hanafi, penyebab semua itu tak lain adalah Rapiah. Rapiah
kemudian menjadi tempat segala kemarahan Hanafi. Walaupun diperlakukan begitu oleh
Hanafi, Rapiah tetap bersabar.
Suatu ketika, setelah mendamprat Rapiah, ia duduk termenung seorang diri di kebun.
Ibunya menghampiri anaknya dan berusaha menyadarkan kembali kelakuan anaknya yang
sudah lewat batas itu. Nanrtun, Hanafi justru menanggapinya dengan cara cemooh. Di saat
yang sama, tiba-tiba seekor anjing gila menggigit tangan Hanafi.
Dokter segera memeriksa gigitan anjing gila pada tangan Hanafi. Dokter
menyarankan agar Hanafi berobat ke Betawi. Anjuran dokter itu sangat menyenangkan
hatinya. Sebab, bagaimanapun, kepergiannya ke Betawi itu sekaligus memberi kesempatan
kepadanya untuk bertemu kembali dengan Corrie.
Suatu peristiwa yang sangat kebetulan terjadi. Dalam suatu kecelakaan yang dialami
Corrie, Hanafi yang sedang berada di Betawi, justru menjadi penolong Corrie. Pertemuan itu
sangat menggembirakan keduanya. Corrie yang sudah ditinggal ayahnya, mulai menyadari
bahwa sebenarnya ia memerlukan sahabat. Pertemuan itu telah membuat Hanafi mengambil
suatu keputusan. Ia bermaksud tetap tinggal di Betawi. Untuk itu, ia telah pula mengurus
kepindahan pekerjaannya. Setelah itu, ia mengurus surat persamaan hak sebagai bangsa
Eropa. Dengan demikian, terbukalah jalan untuk segera menceraikan Rapiah, sekaligus
meluruskan jalan baginya untuk mengawini Corrie.
Semua rencana Hanafi berjalar. lancar. Namun, kini justru Corrie yang menghadapi
berbagai persoalan. Tekadnya untuk menikah dengan Hanafi mendapat antipati dari teman-
teman sebangsanya. Akhirnya, dengan cara diam-diam mereka melangsungkan pernikahan.
Sementara itu, Rapiah yang resmi dicerai lewat surat yang dikirim Hanafi, tetap
tinggal di Solok bersama anaknya, Syafei, dan ibu Hanafi.
Adapun kehidupan rumah tangga Hanafi dan Corrie tidaklah seindah yang mereka
bayangkan. Teman-teman mereka yang mengetahui perkawinan itu, mulai menjauhi. Di satu
pihak menganggap Hanafi besar kepala dan angkuh; tidak menghargai bangsanya sendiri. Di
lain pihak, ia menganggap Corrie telah menjauhkan diri dari pergaulan dan kehidupan Barat.
Jadi, keduanya tidak lagi mempunyai status yang jelas; tidak ke Barat, tidak juga ke Timur.
Inilah awal malapetaka dalam kehidupan rumah tangga mereka.
Kehidupan rumah tangga mereka kini terasa bagai bara api neraka dunia. Corrie yang
semula supel dan lincah, kini menjadi nyonya yang pendiam. Kemudian Hanafi, kembali
menjadi suami yang kasar dan bengis. Bahkan, Hanafi selalu diliputi perasaan syak wasangka
dan curiga. Lebih-lebih lagi, Corrie sering dikunjungi Tante Lien, seorang mucikari.
Puncak bara api itu pun terjadi. Tanpa diselidiki terlebih dahulu, Hanafi telah
menuduh istrinya berbuat serong. Tentu saja, Corrie tidak mau dituduh dan diperlakukan
sekehendak hati suaminya. Maka, dengan ketetapan hati, Corrie minta diceraikan. "Sekarang
kita bercerai, buat seumur hidup.... Bagiku tidak menjadi kependngan, karena aku tidak sudi
menjadi istri lagi dan habis perkara" (hlm. 183).
Setelah itu, Corrie meninggalkan Betawi dan berangkat ke Semarang. la bekerja di
sebuah panti asuhan.
Segala kejadian itu membuat Hanafi menyadari bahwa sebenarnya istrinya tidak
bersalah. la menyesal dan mencoba menyusul Corrie. Namun, sia-sia. Corrie tetap pada
pendiriannya.
Perasaan berdosa makin menambah beban penderitaan Hanafi. Di tambah lagi, teman-
temannya makin menjauhi. Hanafi dipandang sebagai seorang suami yang kejam dan tidak
bertanggung jawab. Dalam keadaan demikian, barulah ia menyesal sejadi-jadinya. la juga
ingat kepada ibu, istri, dan anaknya di Solok.
Akibat tekanan batin yang berkelanjutan, Hanafi jatuh sakit. Pada saat itu datang
seorang temannya yang mengatakan tentang pandangan orang terhadapnya. Ia sadar dan
menyesal., la kembali bermaksud minta maaf kepada Corrie dan mengajaknya rujuk kembali.
la pergi ke Semarang. Namun rupanya, pertemuannya dengan Corrie di Semarang merupakan
pertemuan terakhir. Corrie terserang penyakit kolera yang kronis. Sebelum mengembuskan
napasnya, Corrie bersedia memaafkan kesalahan Hanafi. Perasaan sesal dan berdosa tetap
membuat Hanafi sangat menderita. Batinnya goncang. ia jatuh sakit kembali.
Setelah sembuh, Hanafi bermaksud pulang ke kampungnya. la ingin minta maaf
kepada ibunya dan Rapiah, istrinya. Di samping itu, ia juga ingin melihat keadaan anaknya
sekarang. la berharap agar anaknya kelak tidak mengikuti jejak ayahnya yang sesat.
Dengan kebulatan hatinya, berangkatlah Hanafi kembali ke tanah kelahirannya.

***
Novel pertama Abdul Muis ini, secara tematik tidak lagi memasalahkan adat kolct
yang sering sudah tidak sejalan lagi dengan kemajuan zaman, melainkan je'.as r.endak
mempertanyakan kawin campur antarbangsa. Dilihac dari perkembangannya sejak Sitti
Nurbaya, tampak jelas adanya pergeseran tema; persoalannya tidak lagi kawin adat (Marah
Rusli), kawin antarsuku (Adinegoro), tetapi kawin antarbangsa. Ternyata, persoalannya tidak
sederhana; ia menyangkut perbedaan adat-istiadat, tradisi, agama, budaya, serta sikap hidup
yang tidak gampang begitu saja ditinggalkan.
Pada tahun 1969, novel ini memperoleh Hadiah Tahunan Pemerintah, bersama tiga
novel lainnya, yaitu Sitti Nurbaya, Belenggu, dan Atheis. Tahun 1972, novel ini diangkat ke
layar perak oleh Asrul Sani dengan Dicky Zulkarnaen sebagai pemeran Hanafi.
Kajian dan penelitian terhadap novel ini pernah dilakukan oleh Djajanto Supra (FS
"JI, 1969), sedangkan Pamusuk Eneste (FS UI, 1977) meneliti dalam kaitannya dengan
ekranisasi (Karya Sastra dalam Film) yang secara mendalam membandingkannya pula jengan
novel Anak Perawan di Sarong Penyamun (1941) karya Sutan Takdir Alisjahbana, dan novel
Aiheis (1949) karya Achdiat Karta Mihardja. Peneliti lain adalah Jamil Bakar, dan kawan-
kawan (Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1985) yang khusus membicarakan
novel ini. Adapun Sri H. Wijayanti (FS UI, 1989), membandingkan Salah Asuhan dengan
novel Malaysia, Mencari Istri.
Menurut Liang Liji (1988), Salah Asuhan sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Cina, dan
merupakan novel terjemahan Lris di Tiongkok. Adapun menurut Morimura Shigeru (1988),
mahaguru Osaka University of Foreign Studies, Jepang, Salah Asuhan juga sudah
diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang.

9. DI BAWAH LINDUNGAN KABAH


Pengarang : Hamka
Penerbit : Bulan Bintang
Tahun : 1938; Cetakan XIII, 1978

T anpa memberi tahu siapa pun, Hamid meninggalkan kampungnya menuju Siantar,
Medan. Kepergiannya kali ini bukan lagi untuk menuntut ilmu di sekolah, seperti yang
ia lakukan beberapa tahun yang lalu. Hamid, ibarat orang sudah "jatuh tertimpa tangga pula".
Setelah Haji Jafar, orang yang selama ini banyak menolongnya, berpulang ke Rahmatullah,
tak lama kemudian ibu kandung yang dicintainya menyusul pula ke alam baka. Hamid kini
tinggal sebatang kara. Ayahnya telah meninggal ketika ia berusia empat tahun. Dalam
kemalangannya itu, mamak Asiah dan anaknya, Zainab, tetap menganggapnya sebagai
keluarga sendiri. Oleh karena itu, Mak Asiah begitu yakin terhadap Hamid untuk dapat
membujuk Zainab agar mau dikawinkan dengan saudara dari pihak mendiang suaminya.
Dengan berat hati, Hamid mengutarakan maksud itu walaupun yang sebenarnya, ia sangat
mencintai Zainab. Namun, karena Zainab anak orang kaya di kampung itu, ia tak berani
mengutarakan rasa cintanya itu.
Setibanya di Medan, Hamid sempat menulis surat kepada Zainab. Isi surat itu
mengandung arti yang sangat dalam tentang perasaan hatinya. Namun, apa mau dikata, ibarat
bumi dengan langit; rasanya tak mungkin keduanya dapat bersatu. Meninggalkan kampung
halamannya berikut orang yang dicintainya adalah salah satu jalan terbaik. Begitu menurut
pikiran Hamid.
Dari Medan, Hamid meneruskan perjalanan ke Singapura dan akhirnya sampailah ia
di tanah suci, Mekah. Di Mekah ia tinggal pada seorang Syekh, yang pekerjaannya
menyewakan tempat bagi orang-orang yang akan menunaikan ibadah haji.
Telah setahun Hamid tinggal di kota suci itu. Pada musim Haji, banyaklah orang
datang dari berbagai penjuru. Tanpa diduganya, teman sekampungnya, menyewa pula tempat
Syekh itu. Orang yang baru datang itu bernama Saleh, suami Rosna, yang hendak menuntut
ilmu agama di Mesir setelah ibadah haji selesai.
Dari pertemuan yang tak disangka-sangka itu, ternyata banyak sekali berita dari
kampung halaman—terutama berita tentang Zainab—yang sejak ditinggalkan Hamid dan
tidak jadi dikawinkan dengan saudara ayahnya itu, kini sedang dalam keadaan sakit-sakitan.
Hamid sangat senang hatinya mendengar kabar itu, tetapi ia harus menyelesaikan ibadah
hajinya yang tinggal beberapa hari. la bermaksud segera pulang ke kampung. Sementara itu
Saleh, teman Hamid, segera mengirim surat kepada istrinya. Surat Saleh diterima istrinya
yang segera pula memberitahukannya kepada Zainab. Alangkah senang hati Zainab
mengetahui bahwa orang yang dicintainya ternyata masih ada. Namun, penyakit yang diderita
Zainab makin hari makin parah. Dengan segala kekuatan tenaganya ia menulis surat untuk
orang yang dikasihinya (hlm. 71).
Surat yang dikirim Zainab diterima Hamid. Namun, rupanya isi surat itu sangat
mempengaruhinya. Dua hari setelah itu, bersamaan dengan keberangkatan para jemaah haji
ke Arafah guna mengerjakan wukuf, kesehatan Hamid terganggu. Walaupun demikian,
Hamid tetap menjalankan perintah suci itu.
Sekembalinya Hamid dari Arafah, suhu badannya semakin tinggi. Apalagi di Arafah,
udaranya sangat panas. Hamid tak mau menyentuh makanan sehingga badannya menjadi
lemah. Pada saat yang sama, surat dari Rosna diterima Saleh yang menerangkan bahwa
Zainab telah wafat. Kendati Hamid dalam keadaan lemah, ia mengetahui bahwa ada surat
dari kampungnya. Firasatnya begitu kuat pada berita surat yang disembunyikan Saleh. Hamid
menanyakan isi surat itu. Dengan berat hati Saleh menerangkan musibah kematian Zainab.
"O, jadi Zainab telah dahulu dari kita?" tanyanya pula (hlm. 77).
Ketika akan berangkat ke Mina, Hamid tak sadarkan diri. Temannya, Saleh, terpaksa
mengupah orang Badui untuk membawa Hamid ke Mina. Dari situ mereka menuju Masjidil
Haram—kemudian mengelilingi Kabah sebanyak tujuh kali. Tepat di antara pintu Kabah
dengan Batu Hitam, kedua orang Badui itu diminta berhenti. Hamid mengulurkan tangannya,
memegang kiswah sambil memanjatkan doa yang panjang: "Ya Rabbi, Ya Tuhanku, Yang
Maha Pengasih dan Penyayang!" Semakin lama suara Hamid semakin terdengar pelan. Sesaat
kemudian, Hamid menutup matanya untuk selama-lamanya.
***

N ovel kedua Hamka (= Haji Abdul Malik Karim Amarullah) ini pertama kali diterbitkan
Balai Pustaka (1983) hingga cetakan VI. Setelah cetakan VII sampai cetakan terakhir
ini diterbitkan penerbit Bulan Bintang. "Dengan mengambil tempat bermainnya sebagian
cerita di negeri Arab dan dengan memajukan falsafah keislaman, roman Di Bawah
Lindungan Kabah ini menjadi suatu roman yang bercorak dan beraliran keislaman."
Demikian pendapat H.B. Jassin dalam bukunya Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik
dan Esei 7 (Gramedia, 1985; him. 46). Walaupun dalam soal kemurungan, Di Baumh
Lindungan Kal>ah, masih terasa tak berbeda jauh dengan karya pertamanya, Dijemput
Mamaknya (1930). Namun, dalam napas keislaman, Di Bawah Lindungan Kabah jauh lebih
kuat dan bernas. Di samping itu, latar tempat kejadian di Mekah itu, ternyata juga sangat
mendukung suasana murung dan kepedihan jiwa tokoh utamanya, Hamid.
Jika dibandingkan dengan cerpen penjang Al-Manfaluthi, Al-Yatim, novel D; Bawah
Lindungan Kabah pun, tampak—sedikit-banyak—terpengaruh pula oleh karya pengarang
Mesir itu (lihat juga ulasan pada ringkasan Tcnggdamnya Kapal Van Der Wijck. Sungguh-
pun demikian, di dalamnya masih tampak jelas kritik Hamka terhadap adat perkawinan serta
sikap para orang tua, yang mengaku Islam, tetapi sebenarnya tidak berjiwa Islam.
Studi terhadap D; Bawah Lindungan Kabah, antara lain, pernah dilakukan, Soebani
(FS UGM, 1972), Hashim Lambak (FS Unas, 1980), Ismail bin Ibrahim (FS Unas, 1983),
Mohd. Nasohah Haji Sanip (FS Unas, 1978), Sabar Jakaria (FS Unas, 1973) yang semuanya
merupakan penelitian skripsi sarjana muda. Adapun FX Djoko Sarwono (FS UGM, 1990)
melihat struktur novel itu dengan novel Atheis dan Gairah untuk Hidup dan untuk Mali dalam
skripsi sarjananya yang menggunakan pendekatan intertekstualitas.
10. KARENA ANAK KANDUNG
Pengarang : M. Enri (1911-8 Agustus 1948)
Penerbit : Balai Pustaka
Tahun : 1949; Cetakan VII, 1988

A kibat malaise yang berkepanjangan, banyak karyawan kantor di Padang di PHKkan.


Salah scorangnya ialah Khairil. Akibatnya, ia menanggung beban yang cukup berat.
Pada mulanya, ia mencoba tetap bertahan di kota itu sambil mencari pekerjaan baru. Namun,
usaha itu tak bisa terwujud dalam waktu yang singkat, bahkan tidak juga membuahkan hasil.
Keputusan akhir adalah ia bersama istrinya, Rukayah, dan Noviar, anaknya, terpaksa pulang
ke kampungnya di Bukittinggi. "Rukayah", kata Khairil kepada istrinya. "Tak mungkin
rasanya kita juga lama-lama di sini. Segala ikhtiar yang dapat kulakukan sudah kukerjakan,
tapi satu pun tak berbuah. Pendeknya, di sini tak ada rejeki kita lagi. Biarlah kucoba di negeri
lain, mudah-mudahan sampai juga yang kita maksud" (hlm. 12).
Akan tetapi, kepulangan mereka di kampung halaman justru memperburuk keadaan
Khairil. Orang yang selama ini benci dan iri kepada Khiril ialah Sutan Malakewi, suami
Rohana, saudara Rukayah. la merasa gembira mengetahui keadaan Khairil yang akan
menumpang hidup di rumahnya. Hal itu merupakan balas dendamnya atas kejadian masa lalu
tatkala ia berniat meminang Rukayah untuk dijadikan istri Jamali, kemenakannya.
Sejak Khairil tinggal di rumah itu, tak bosan-bosannya Sutan Malakewi mem-
pengaruhi Rukayah agar mau meninggalkan suaminya dan menerima pinangan Jamali.
Sungguhpun demikian, Khairil tetap sabar dan tabah dalam menghadapi hasutan yang begitu
menghina dirinya. Bahkan, ia lebih giat berusaha untuk menambah ilmu pengetahuan.
Dengan uang simpanan yang semula dimaksudkan untuk keperluan Noviar, ia gunakan
sebagai biaya kursus bahasa Inggris dan tatabuku. "Sungguh pun demikian, dan meskipun
uang itu akan habis untuk keperluan belajar, tidaklah diperdulikannya lagi, karena ia percaya
kemudian hari akan dapat menggantikannya kembali, bahkan lebih dari itu" (hlm. 27).
Pengaruh Sutan Malakewi akhirnya merasuk juga dalam diri Rukayah, sampai
akhirnya, perceraian Khairil dengan Rukayah tak dapat dihindarkan lagi. Rukayah menikah
dengan Jamali. Tak lama kemudian, mereka pindah ke Medan. Jamali mem-buka toko di kota
besar itu. Sebenarnya, kepindahan itu hanyalah keinginan Jamali semata karena ia tak suka
pada Noviar, anak tirinya itu.
Sementara itu, Khairil terus berusaha untuk mendapatkan Noviar sebagai haknya.
Namun, Noviar telah berada di Medan bersama ibunya. Semakin bencilah Jamali-melihat
Rukayah yang begitu sayang kepada anaknya itu. Pertengkaran suami-istri itu tak dapat
dielakkan. Rukayah meninggalkan Jamali. la bersama Noviar kembali ke kampungnya. la
benar-benar sadar bahwa selama ini telah terpengaruh oleh harta dan melupakan anak
kandungnya. "...Hanyalah manusia yang tamak... yang loba sebagai aku ini jualah yang
memakan umpanmu, karena disangka enak dan manis. Mulai hari ini aku telah tobat... minta
ampun akan kesalahan terhadap anakku yang dihadiahkan Tuhan sebagai suatu barang yang
amat suci. Anakku tak akan kusia-siakan, tidak akan kubuang sebagai yang selalu menjadi
niatmu ..." (hlm. 113).
Sebagai penebus kesalahan dan dosa yang dilakukannya terhadap bekas suaminya,
Rukayah berkirim suratdan menyatakan permohonan maafnya kepada Khairil. la mohon
ampun atas perbuatannya selama ini. Khairil, yang berbudi luhur dan bijaksana, mau
memaafkan kesalahan bekas istrinya itu. la pun berjanji tak akan beristri lagi.
Berkat ilmu pengetahuan yang dipelajarinya beberapa waktu yang lalu, Khairil
diterima sebagai salah seorang karyawan di Jakarta. Noviar ditinggalkannya bersama
Rukayah. Suatu ketika, saat ia berjalan-jalan di Kebun Raya Bogor, ia bertemu dengan Asni,
kekasihnya dulu. Pertemuan yang tak disangka-sangka itu mengingatkannya pada masa-masa
saat ia bersama Asni. Bagi Khairil, pertemuannya dengan Asni justru membuatnya jadi
tersiksa. Di satu sisi, ia telah berjanji untuk tidak menikah lagi, hanya karena demi kelanjutan
masa depan anaknya. Namun, di sisi lain, Khairil tetap mencintai Asni sebagaimana Asni pun
mencintainya. Oleh karena itu, demi kebaikan Asni sekaligus Noviar di kemudian hari,
Khairil tetap pada pendiriannya, seperti ia katakan, "Segala yang tersebut dalam suratmu
akan kuturut dengan jujur dan sepenuh hatiku," "...Tetapi... hanya sebuah yang tak dapat
kulakukan, yaitu kembali kepada jandaku sebagai yang kau perintahkan ..." (hlm. 162).
***

Y ang patut dicatat tentang buku ini ialah watak si bapak yang, dengan kegigihan yang
tidak sedikit pun bersifat Minangkabau, tidak menghiraukan perasaannya sendiri demi
tanggung jawab terhadap anaknya." Demikian Teeuw (Siiytra Baru Indonesia 1, 1980; him.
91) mengakhiri komentarnya terhadap novel Kurcnu Anak Kandung karya M. Enri. Hal yang
senada juga dikemukakan Zuber Usman {Kesusastraan Baru Indonesia, 1964; him. 104-108)
dan Rusman Sutiasumarga (Ancka Pustaku, 1983; him. 16-20). Memang agak mengherankan
bahwa novel yang hampir sebagian besar meng-ambil latar Minangkabau, menampilkan
tokoh Khairil yang lebih mementingkan anaknya daripada dirinya. Khairil rela tetap menduda
dan tidak mau kawin dengan bekas kekasihnya—yang sebenarnya masih ia cintai—hanya
karena ia tidak mau menjadikan anaknya sebagai anak tiri istrinya. Begitu juga ia tidak mau
rujuk kembali dengan bekas istrinya karena ia tidak mau anaknya dididik oleh ibu yang
materialis.
Novel ini aslinya berjudul Didukung Kewajiban, kemudian atas persetujuan penga-
rangnya diterbitkan dengan judul Karena Anak Kandung.
Hal lain yang menarik dari novel ini adalah gambaran tokoh utama, Khairil, yang menyadari
pentingnya ilmu pengetahuan. la kursus bahasa Inggris dan tatabuku dengan keyakinan
bahwa kelak biaya yang sudah ia keluarkan untuk itu, akan kembali lagi lebih besar daripada
itu. Kenyataannya, di kemudian hari ia dapat bekerja di Jakarta dengan kedudukan dan
penghasilan yang jauh lebih baik daripada ketika ia bekerja di Padang.
Daftar Pustaka

Mahayana M.S, Sofyan O., Dian A. (2000). Ringkasan dan Ulasan Novel Indonesia
Modern. Jakarta : PT Gramedia.

You might also like