Professional Documents
Culture Documents
Puji serta syukur kita panjaktan kepada Tuhan semesta alam, Allah SWT,
yang dengan segala karuniaNya, makalah Tentang “Sepuluh Ringkasan dan
Ulasan Novel Indonesia” ini dapat diselesaikan dengan baik. Shalawat serta salam
tak lupa kita haturkan kepada Nabi Besar Muhammad saw, keluarga sahabat serta
para pengikutnya yang senantiasa istiqamah dalam mengemban risalahnya.
Tak ada gading yang tak retak, begitu kata pepatah. Demikian juga dengan
Penyusun, sekalipun Makalah ini telah selesai melalui proses dan review yang cukup
lama, namun masih terbuka kemungkinan adanya beberapa kekurangan di dalamnya.
Oleh karena itu, masukan, kritik dan saran sangat kami harapkan untuk lebih
menyempurnakan isi Makalah ini pada kesempatan mendatang.
Mudah-mudahan sedikit yang kami bisa sumbangkan ini, akan dicatat oleh
Allah SWT sebagai bagian dari amal sholeh Penyusun dan akan menjadi ilmu yang
bermanfaat, yang senantiasa akan mengalirkan pahala bagi orang-orang yang
mengajarkannya.
Penyusun
Daftar Isi
P enyakit TBC yang diidap Aki menyebabkannya seperti orang yang sudah
tua. Dalam usia yang baru berumur 29 tahun, lelaki kurus kering ini tampak
seperti berumur 42 tahun. Biasanya, keadaan orang seperti itu disebabkan masa
mudanya yang habis dengan main perempuan jahat. Selain itu, bentuk tubuhnya
yang bongkok membuat Aki menjadi bahan tertawaan yang mengasyikkan. Akan
tetapi, ternyata hal itu tak dilakukan teman-temannya di kantor. Bahkan, mereka
sangat hormat kepada orang yang di mata mereka adalah orang yang berhati lurus
dan bertingkah wajar.
Penyakit TBC yang diderita Aki itu suatu ketika mencapai titik kritis.
Puncaknya adalah ketidak bernafasan Aki untuk beberapa saat. Sebagai istri setia,
Sulasmi terkejut melihat kenyataan yang menimpa suaminya. la kalap. Akan
tetapi, tak lama kemudian suaminya siuman, bahkan sebuah senyum tersungging
di bibirnya. Di antara senyuman itu, Aki mengatakan dengan pasti bahwa ia akan
mati pada tanggal 16 Agustus tahun depan. la berharap Sulasmi mau menyediakan
segala perlengkapan yang diperlukan untuk menghadapi hari kematiannya itu.
Rekan-rekan Aki di kantor menganggap lelaki itu sudah gila. Tidak
terkecuali anggapan kepala kantornya. la yang sudah merencanakan kenaikan
pangkat dan gaji Aki, tidak percaya kepada omongan pegawai kesayangannya itu.
Diselidikinya tingkah laku lelaki itu, tetapi Aki memang tidak gila. "Di sini
didapatinya Aki sedang bercakap-cakap dengan seorang bawahannya tentang
pekerjaan. Sep itu seketika lamanya memperhatikan cakap Aki, tapi satu kata pun
tiada menandakan bahwa Aki telah gila. la pergi ke meja Aki, diperhatikannya
pekerjaan Aki yang sedang terbentang di atas meja. Pekerjaan itu tiada cacatnya"
(hlm. 17).
Hari kematian yang dikatakan Aki telah tiba. Semua orang bersiap-siap.
Akbar dan Lastri, anak-anak Aki, meminta izin tidak bersekolah. Pegawai-
pegawai kantor menghiasi mobil kantor dengan bunga-bungaan. Kepala kantor
berlatih menghapalkan pidato yang kelak akan dibacakan di kubur Aki. Lelaki itu
sendiri memakai pakaian terbagus yang dimilikinya untuk menyambut Malaikatul
maut yang akan menjumpainya pukul tiga sore nanti.
Ketika pukul tiga telah lewat, Sulasmi memberanikan diri untuk melihat
suaminya. Dilihatnya mata suaminya yang tertutup rapat. Lalu, dipanggilnya
nama Aki berulang-ulang, tetapi tak ada jawaban. Dengan diiringi tangis, Sulasmi
berlari ke luar kamar untuk menemui orang-orang yang menungguinya. Tahulah
para penunggu itu bahwa Aki telah meninggal. Saling berebut mereka masuk ke
kamar Aki. Akan tetapi, mereka terkejut dan berlarian dari kamar ketika melihat
Aki sedang merokok. "Tiada seorang pun yang berani mengatakan, apa yang
dilihat mereka dalam kamar itu. Mereka puntang-panting lari meninggalkan
rumah Aki. Dan yang belum masuk kamar, karena keinginan hendak tahu yang
amat besar, menjulurkan kepalanya juga, tapi segera pun mereka lari puntang-
panting keluar. Sehingga akhirnya semua pegawai itupun meninggalkan rumah
Aki secepat datangnya" (hlm. 36).
Sulasmi bersyukur bahwa Aki tidak mati. Ternyata, Aki hanya tertidur dan
tebangun karena keributan pegawai-pegawai teman sekantornya.
Entah mengapa, sejak peristiwa itu Aki selalu terlihat sehat. la tampak lebih
muda dari usia yang 42 tahun. Lalu, sebagai pengganti kepala kantor yang telah
meninggal tiga tahun yang lalu, ia terlihat atraktif. Bahkan, Aki kembali
bersekolah di fakultas lukum, bergabung dengan mahasiswa-mahasiswa yang
usianya jauh di bawah Aki. Tentang hidup? Lelaki yang telah sembuh dari TBC
ini ingin hidup lebih lama lagi. la mgin hidup seratus tahun lagi. Separuh
hidupnya akan diabdikan sebagai pegawai dan separuh hidupnya lagi akan
dipergunakan sebagai akademikus.
***
4. SENJA DI JAKARTA
Pengarang : Muchtar Lubis
Penerbit : Pustaka Jaya
Tahun : 1970; Cetakan II, 1981
S enja di Jakarta pertama kali terbit dalam bahasa Indonesia tahun 1970 oleh
penerbit Badan Penerbit Indonesia Raya. Sejak tahun 1981 (cetakan kedua)
hingga sekarang diterbitkan oleh penerbit Dunia Pustaka Jaya. Semula novel ini
berjudul Yang Terinjak dan Melawan, sebuah karya Mochtar Lubis yang
ditulisnya ketika ia masih berstatus tahanan rumah. Ketika pertama kali novel ini
terbit di London tahun 1963, hasil terjemahan ke dalam bahasa Inggris oleh Claire
Holt, judulnya diganti menjadi Twilight in Jakarta. Setelah terbit edisi bahasa
Belanda, berjudul Schemer over Djakarta hasil terjemahan P.H. Fruithof dari edisi
bahasa Inggris. Dua tahun kemudian, penerbit Pustaka Antara di Kuala Lumpur
menerbitkannya pula dalam bahasa Melayu dengan judul Sendja di Djakarta.
Barulah pada tahun 1970 terbit dalam edisi asli bahasa Indonesianya. Sebelum itu,
Senja di Jakarta juga sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Italia, Spanyol, dan
Korea. Belakangan, novel ini diterjemahkan pula ke dalam bahasa Jepang.
Ceritanya sendiri berkisar pada gambaran yang terjadi pada masyarakat
ibukota Jakarta, termasuk para pejabat pemerintah dan politikus pada
pertengahan tahun 50-an. Merajalelanya korupsi, penyalahgunaan kekuasaan,
kebobrokan moral, dan pe-nyelewengan telah menyebabkan kemiskinan di mana-
mana. Keadaan perekonomian makin mencekik rakyat. Dalam keadaan demikian,
meningkatnya suhu politik makin melengkapi penderitaan rakyat menjadi
berkepanjangan. Gambaran itulah yang di-angkat Mochtar Lubis dalam novelnya
Senja di Jakarta ini. Jadi, semacam potret tentang keadaan masyarakat—dan
aparat pemerintah termasuk politikus—pada dasawarsa ta-hun 50-an.
Sebelum novel ini diterbitkan di Indonesia, masyarakat Indonesia justru
lebih dulu mengenalnya lewat film dengan judul yang sama, hasil garapan
sutradara Nico Pe-lamonia dan perusahaan film Tuti Mutia Film Production tahun
1967.
Berbagai tanggapan atas novel Senja di Jakarta umumnya bernada
memberi sambutan yang baik. Teeuw (198U: 264 265) mengatakan bahwa Senja
di Jakarta merupakan karya Mochtar Lubis yang agung, yang menurut Ajip Rosidi
(1976: 112) telah mendapat sambutan yang hangat dari pers dunia.
Mcngenai lot..r beiakang proses perierbitan Senja di Jakarta dinyatakan
sendiri oleh Mochtar Lubis dalam Catalan Subversif (1980: 151). Adapun studi
terhadap novel ini pernah dilakukan oleh Endo Senggono (FS UI, 1985) yang
melihatnya secara sosiologis Jan lengkap rnemberikan banyak informasi
mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan novel Sen fa di Jakarta. Studi
lainnya mengenai novel ini, berikut karya Mochtar Lubis lainnya, penksa ulasan
pada ringkasan novel Jalan Tak Ada Ujung (hlm. 135).
5. Telepon
D aud bekerja pada sebuah toko di Jakarta. Sebetulnya ia sudah sangat bosan
dengan pekerjaannya. Namun, karena tak ada pekerjaan lain, ia terpaksa
melakukannya juga. Daud mempunyai hobi yang tak biasa, ia gemar sekali
menelepon. Kegemaran yang dimulai dari iseng-iseng itu lama-kelamaan menjadi
semacam kebutuhan. Ia tak peduli kapan, di mana, dan kepada siapa ia
menelepon. Yang penting, apabila hasrat hatinya untuk menelepon sudah
terpenuhi, ia akan segera senang. la seakan terbebas dari beban yang
mengimpitnya.
Demikianlah, telepon yang seharusnya dipergunakan untuk hal-hal yang
baik, berubah fungsinya di tangan Daud. Ia menggunakan telepon untuk
mengancam, menakut-nakuti orang yang diteleponnya walaupun dalam hatinya
tak ada niat jahat. la hanya ingin melampiaskan keinginan—yang tak dapat
dihindarinya—yang timbul sesaat.
Orang yang pertama kali ditakut-takutinya adalah Tajudin, direktur
perusahaan yang telah memecat Burhan, teman Daud. Lalu Ibu Suroso, pelanggan
tetap toko buku tempat Daud bekerja. Daud sangat puas setelah menakut-nakuti
mereka dengan ancaman atau omongan yang sama sekali tak ada faktanya. Pada
malam hari setelah Daud menakut-nakuti mangsanya, ia akan membayangkan
keadaan orang yang menjadi korbannya itu. Kadang-kadang terbersit rasa sesal di
hatinya, apalagi bila yang ditakut-takutinya itu adalah orang yang baik, seperti Ibu
Suroso.
Demikianlah, perbuatan itu dilakukan berulang-ulang, sampai pada suatu
ketika, Lisa—kekasihnya—memergokinya. Daud terpaksa mengakui perbuatan
yang telah dilarang pacarnya itu. Akibatnya, Lisa mengancam akan memutuskan
hubungan mereka. Ancaman Lisa membuat Daud takut dan berjanji sekali lagi
untuk tidak mengulangi perbuatan yang merugikan orang lain itu. Namun, untuk
menghentikan kegemarannya itu, ternyata tidaklah semudah seperti waktu
mengucapkannya; ia tetap menelepon orang-orang yang menurutnya harus
diancam.
Rupanya perasaan Daud tidak selamanya tenang. Hal itu terjadi ketika ia
iseng-iseng menelepon seseorang. Orang yang menerima telepon itu mengaku
sebagai orang yang dimaksud Daud, padahal ia menyebutkan sekadar nama yang
tiba-tiba terlintas begitu saja di kepalanya.
Sejak peristiwa itu Daud mulai dihinggapi rasa gelisah; dan kegelisahan itu
memuncak ketika tanpa diduga ia menerima telepon dari sekretaris Tajudin yang
memberitahukan bahwa Tajudin telah mengetahui siapa yang mengancamnya,
yaitu Daud. Lebih jauh bahkan telah meminta polisi untuk rnenangkap Daud
dengan alasan melakukan ancaman pembunuhan disertai bukti-bukti berupa
rekaman pembicaraan telepon.
Daud mulai menduga-duga bahwa telah terjadi pengkhianatan terhadap
dirinya. la menduga Lisa dan Burhanlah yang melakukannya, karena hanya kedua
orang tersebut yang mengetahui kegemaran Daud. Namun, ternyata bukan
mereka. Lalu siapa?
Dalam kegelisahan itu, Daud mulai menimbang-nimbang untuk
menghentikan ancaman-ancaman lewat telepon, seperti yang disarankan Lisa dan
Situmeang, teman seperantauan Daud. Usaha yang dilakukannya adalah tidak
melakukan kontak telepon dengan siapa pun. Di dalam dirinya telah timbul rasa
ngeri jika melihat telepon. la juga sudah berpikir untuk meminta maaf kepada
orang-orang yang telah menjadi korbannya.
Hal yang tak diduga sama sekali oleh Daud adalah ketika Simangunsong
datang ke rumah kontrakannya di Kebon Kacang. Yang lebih mengejutkan lagi
ketika tiba-tiba ia dipukuli sahabat seperantauannya itu. Simangunsong berang
karena perayaan pernikahan adik sepupunya berantakan akibat ulah seorang
penelepon gelap yang me-ngatakan bahwa di tempat pesta itu terdapat bom yang
sewaktu-waktu dapat meledak. Para undangan tentu saja bubar begitu mendengar
berita yang kemudian terbukti hanya omong kosong itu. Simangunsong
berkesimpulan bahwa penelepon gelap itu tak lain adalah Daud. Padahal bukan.
Kalau bukan Daud, lalu siapa?
Simangunsong lalu mencari informasi siapa pengacau itu. Terungkaplah
bahwa pelakunya seorang wanita yang kehilangan anak yang sedang
dikandungnya. la kesepian di rumahnya yang besar, dan untuk membunuh rasa
sepinya, setiap hari ia menelepon siapa saja. Kegemaran yang sudah menjadi
semacam penyakit itu, kabarnya akan hilang jika wanita itu dikaruniai seorang
anak lagi.
Akan halnya Daud, ia terpaku mendengar cerita Simangunsong itu. Di
dalam benaknya terlintas telepon dari seorang wanita yang nada suaranya begitu
kesepian. Timbul rasa takutnya: apakah dirinya seperti wanita itu? Daud
membayangkan, jangan-jangan dia tidak waras seperti wanita itu. "Daud
merangkul Simangunsong, membenamkan wajahnya ke dada sahabatnya itu dan
tersedu di sana.
... Di tengah-tengah keheningan ruangan itu, suara Simangunsong
terdengar jelas. Tidak. Kau tidak sakit, Daud. Kau tidak sakit'" (him. 96).
***
6. BAKO
B iola tua itu kini kian hari kian berdebu. la diletakkan di atas lemari" (hlm.
11). Alat musik itu memang sudah hampir sepuluh tahun lamanya dibiarkan
tak tcrawat. Padahal, dulu si bocah laki-laki yang biasa dipanggil Man itu, sering
meiihat ayahnya memainkannya, la belum juga mengerti, mengapa ayahnya kini
tak lagi mau mcnjamah benda itu. Dan sesungguhnya ia ingin sekali mengetahui
alasan ayahnya menghentikan kebiasaannya. memainkan biola itu.
Suatu ketika ayahnya bercerita tentang pengalaman masa mudanya. Dari
cerita itulah si bocah sedikit banyak mengetahui bahwa ayahnya pernah gagal
menamatkan sekolahnya di SMA. Kegagalan itulah yang mendorong ayahnya
pulang ke kampung halaman. Walaupun begitu, semangat untuk menuntut ilmu
sama sekaii belum pudar. Ayahnya kemudian memasuki SGB (Sekolah Guru
Bawah) di PP. Diceritakan pula bahwa sewaktu di SMA, sang ayah menjalin
hubungan cinta dengan seorang wanita, putri sulung seorang polisi. Hubungan
cinta itu terus berlanjut lama, walaupun orang-orang di kampungnya menentang
hubungan itu. Diceritakannya pula bahwa wanita itu sudah tidak gadis lagi. la
seorang janda dengan dua orang anak. Dan, bukan orang sekampungnya. Namun,
cinta lebih kuat dari semua itu. Perkawinan itu pun terjadi hingga lahir seorang
anak laki-laki yang kemudian disusul oleh adik-adiknya. Olch karena itulah, si
bocah di bawa ke rumah bako, yakni keluarga sepertalian darah dengan ayah.
Belakangan, setelah anak laki-laki itu beranjak dewasa, ia mengetahui
bahwa ibunya menjadi gila karena ditinggal lama oleh sang ayah. Meskipun
begitu, ia masih belum mengerti mengapa ibunya sampai menjadi giia. Tidak
adakah penyebab lain yang membuat pikiran ibunya sampai tak waras begitu.
Itulah pertanyaan yang selalu ia coba jawab atas dasar cerita-cerita ayahnya
kemudian, dan keterangan dari neneknya.
Satu hal yang jelas adalah keadaan dirinya yang cacat. Penyakit poliolah
yang membuat kakinya cacat. Namun, itu tidak menjadikan lelaki itu putus
harapan. la tetap bertekad untuk terus melanjutkan sekoiahnya ke jenjang
pendidikan yang lebih tinggi. Paling tidak, ia berhasil merasakan pendidikan di
Sekolah Seni Rupa Indonesia Negcn.
Setamat pendidikan di salah satu akademi, pemuda itu tidak langsung
bekerja. Ayahnya sebenarnya berharap agar ia dapat bekerja sebagai pegawai
negeri. Namun, pemuda itu justru berpikiran lain, Menuntut ilmu bukanlah untuk
bekerja sebagai pegawai negeri, demikian pendiriannya. Meskipun adik-adiknya
membutuhkan uluran tangannya untuk membiayai sekoiah mereka, ia tctap ingin
bekcrja sesuai dengan kehendak hatinya.
Mungkin sikap tersebut tidak terlepas dari pendidikannya sewaktu tinggal
bersama uminya—kakak pcrempuan ayahnya. Pada diri uminya, pemuda itu
banyak belajar agama dan mendekatkan dirinya kepada Tuhan. Pada saat itu mulai
tumbuh sikap ingin mandiri atau sedikitnya bertanggung jawab pada did sendiri.
Walaupun begitu, ia harus mengakui bahwa biaya sewaktu kuliah lebih banyak
diterima dari uminya. Menyadari hal itu, ia tidak mau menyia-nyiakan waktu; ia
banyak belajar dan mem-baca. Ia juga mulai mengenal para pengarang terkenal.
Semua itu memberi pengaruh cukup kuat pada dirinya. Paling tidak, ia mulai
membiasakan diri untuk membuat karangan atau mulai rajin berkecimpung dalam
keg ia tan tulis-menulis. Memang, dunia itulah yang hendak ia jadikan
pekerjaannya.
Sementara itu, sejalan dengan penyadaran dirinya untuk menentukan masa
depan-nya, lelaki itu mencoba bercermin pada orang-orang yang ada di
sekelilingnya. Ibunya, misalnya, yang tak waras lagi, sama sekali tak dapat
diharapkan lagi. Ayahnya, dengan gaji yang pas-pasan sebagai seorang guru,
masih tctap repot mengurusi anak-anaknya, sementara pemuda itu tak dapat
membantu apa-apa. Pemuda itu juga tak dapat terus menggantungkan hidup pada
uminya, meskipun pcrempuan itu memiliki sawah dan ladang yang cukup luas.
Seorang lagi, Bak Tuo—yang masih sekerabat dengan uminya—sungguh
merupakan kepala keluarga yang tak patut dijadikan contoh teladan. Kebiasaan
berjudi dan menghabiskan uang pensiunannya hanya untuk judi, telah
menyebabkan keluarganya telantar. Bahkan, Bak Tuo mulai berani pula mencuri
uang ayah pemuda itu. Akibatnya, kedua orang tua yang sebenarnya sudah
berumur itu, berkelahi.
Bagi si pemuda, kehidupan Bak Tuo memberi ny a kesadaran betapa pen
ting ke-hidupan masa muda. Kehidupan masa muda Bak Tuo, sampai ia
menghabiskan masa pensiunnya, hampir tak pernah lepas dari kebiasaan berjudi.
Dari situlah si pemuda mengambil sikap seperti ini: "aku menyimak dan menarik
pelajaran dari apa yang dialami Bak Tuoku. la adalah contoh yang amat tepat
untuk dijadikan sebagai manusia yang sia-sia di masa tua sesudah mengabaikan
masa dan hari mudanya" (hlm. 83).
Seorang lagi yang ikut mempengaruhi sikap hidup si pemuda adalah
seorang petani sejati yang biasa disebut Gaek. "Mempunyai tempat di hatiku,
rasanya ia adalah laki-laki seribu dongeng. Setiap dongeng yang ia ceritakan
selalu mengena di hatiku, di benakku. la adalah laki-laki yang mengisi masa
kanak-kanakku secara lebih sempurna" (hlm. 93). Lebih dari itu, si pemuda—
betapapun ia hidup cacat—makin menyadari bahwa sesungguhnya hidup adalah
kerja. Ternyata Gaek mampu hidup dan meng-hidupi masa depannya karena ia
mencintai kerja. Lelaki itu benar-benar telah berhasil memberi makna dalam
hidupnya. Pemaknaan bagi kehidupan inilah yang kin! di-temukan si pemuda
dalam diri orang-orang sekitarnya. Kelak ia akan berusaha untuk menjalani
kehidupan ini dengan penuh rnakna. Itulah yang menjadi tekad si pemuda.
***
N ovel Anak Tanah Air: Secercah Kisah ini, konon ditulis dalam dua versi:
versi pertama ditulis di Iwakura, Kyoto, November 1980; versi kedua
(final) ditulis di Hashimotocho, Osaka, Agustus 1983, Lengkapnya, novel ini
terdiri dari tiga bagian: bagian pertama, "Kilasan-kilasan" menceritakan tokoh
Ardi semasa sekolah di Taman Dewasa dan Taman Madya; bagian kedua, "Helai-
helai Kehidupan" menceritakan masa dewasa Ardi hingga terpedaya kelompok
Lekra/PKI; dan bagian terakhir, "Surat-surat Dini Hari" memuat surat-surat Hasan
yang ditujukan entah kepada siapa.
Dilihat dari sudut pencerita, novel ini mempergunakan tiga bentuk
pencerita, yaitu diaan (bagian pertama), akuan (bagian kedua), dan bentuk surat
(bagian ketiga). Secara tematik, keseluruhan novel ini ingin
menceritakan/mengangkat masalah politik yang terjadi antara tahun 50-an sampai
dengan 1965. Deskripsinya yang cukup terinci mengenai cara-cara PKI
menyebarkan pengaruhnya, terkesan semacam dokumen se-jarah yang terjadi
pada waktu itu. Demikian pula gambaran kehidupan para seniman waktu itu,
banyak melibatkan nama dan peristiwa yang memang ada secara faktual. Dalam
hal tersebut itulah kekuatan novel ini.
A gak berbeda dengan novel-novel Nh. Dini lainnya, Pertemuan Dua Hati
memperlihatkan minat sastrawati yang produktif ini kepada persoalan
dunia pendidikan. Kisah seorang guru sekolah dasar ini, tampaknya sengaja
hendak menempatkan peran dan tanggung jawab seorang guru. Di lain pihak,
terkesan juga hendak menggam-barkan betapa tugas seorang guru tidak ringan.
Bu Suci yang harus menghadapi kenyataan bahwa anaknya sakit ayan, muridnya
bengal, dan rekan sejawatnya kurang memberi dukungan, ternyata tetap
menjunjung tinggi idealisme profesinya sebagai guru. Dengan keyakinan itu,
betapapun beratnya, akhirnya dapat pula ia jalankan dengan baik. la berhasil
melaksanakan kewajibannya, baik sebagai ibu rumah tangga maupun sebagai ibu
guru.
Sekitar lebih dari sepuluh resensi yang mengulas buku ini, umumnya
memberi pujian pada tema ceritanya. Sesungguhnya, memang dalam hal tema
itulah, novel ini memperlihatkan kekuatannya. Sebagai bahan pengajaran untuk
menanamkan pen-tingnya hubungan baik antara guru dan murid, novel ini kiranya
sesuai untuk dijadikan salah satu bahan acuan.
Studi yang cukup mendalam mengenai novel ini pernah dilakukan oleh
Oktaviani (FSU1, 1991) sebagai bahan penelitian skripsi sarjananya.
Tahun 1989, novel ini diangkat menjadi sinetron TVRI, dengan Titiek
Sandhora sebagai pemeran utamanya.
N ovel Ras Siregar ini semula merupakan cerita bersambung yang dimuat
harian Kompas. Seteiah mengalami revisi seperlunya, barulah diterbitkan
sebagai buku. Begitulah keterangan yang terdapat di dalam pengantar novel ini.
Di Simpang Jalan adalah novel kedua Ras Siregar. Novel pertamanya,
Terima Kasih terbit tahun 1969 yang menurut Pamusuk Eneste (1990: 149), terbit
tahun 1968.
Cerita novel Di Simpang Jalan sebenarnya lebih menyerupai gambaran
kehidupan seorang istri yang bekerja, sebagaimana yang diperankan oleh tokoh
Anita. Sedangkan hubungannya dengan Banning walaupun baru sebatas kencan
dan tidak lebih dari itu, dimungkinkan oleh sikap Anita sendiri yang banyak
memberi "angin" kepada lelaki yang sudah beranak-istri itu. Jadi, kalau saja Anita
bersikap wajar, rasanya Bahrum juga akan tetap menjaga hubungannya dengan
Anita secara wajar. Begitulah, pe-ngarang terkesan hendak menekankan, bahwa
terjadinya berbagai penyelewengan atau skandal yang terjadi pada para pegawai
berbagai perusahaan, sebenarnya lebih banyak disebabkan oleh sikap para
pegawai wanitanya yang sering bersikap tak wajar.
Beruntung, bahwa balk Bahrum maupun Rahman, suami Anita, lebih
mementingkan urusan rumah tangga daripada kesenangan pribadinya, sehingga
tak sampai terjadi hubungan yang dapat menghancurkan rumah tangga masing-
masing.
Daftar Pustaka
Mahayana M.S, Sofyan O., Dian A. (2000). Ringkasan dan Ulasan Novel
Indonesia Modern. Jakarta : PT Gramedia.