You are on page 1of 24

1.

MENGAPA PEMBANGUNAN HUKUM DI INDONESIA MENGHADAPI


BERBAGAI KENDALA DALAM MEWUJUDKAN TATANAN HUKUM
SEBAGAI SUPREMASI DALAM MEMECAHKAN PERSOALAN BANGSA
DAN NEGARA ?

Dalam banyak buku tentang Ilmu Hukum, pembahasan mengenai tujuan


hukum sering dipisahkan dari pembahasan tentang fungsi hukum. Hal
seperti ini menurut Achmad Ali (1990:95) kurang tepat, sebab
bagaimanapun pertalian antara tujuan hukum dengan fungsi hukum adalah
suatu pertalian yang sangat erat. Yang pertama‐tama yang perlu
diketahui, tentu saja adalah tujuan hukum, sebab hanya telah
ditetapkannya apa yang menjadi tujuan dari hukum itu, kita dapat
menentukan pula fungsi yang harus dijalankan hukum agar dapat
mencapai tujuannya.

Apakah yang merupakan tujuan hukum ?. Jawaban atas pertanyaan


ini sama sulitnya dengan jawaban terhadap pertanyaan‐pertanyaan lain
yang menyangkut hakikat hukum, seperti apakah hukum itu, apakah ilmu
hukum itu ?. Berbagai pakar di bidang hukum maupun bidang ilmu sosial
lainnya, mengemukakan pandangannya masing‐masing tentang tujuan
hukum, sesuai dengan titik tolak serta sudut pandang mereka,
diantaranya (R.Soeroso, 1996: 56‐57);

Wirjono Prodjodikoro, dalam bukunya “Perbuatan Melanggar Hukum”


mengemukakan bahwa tujuan hukum adalah mengadakan keselamatan,
kebahagiaan dan tata tertib dalam masyarakat.

Subekti, dalam bukunya “Dasar‐dasar Hukum dan Pengadilan”


mengemukakan bahwa hukum itu mengabdi pada tujuan negara yang intinya
ialah mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan rakyatnya, dengan cara
menyelenggarakan “keadilan” dan “ketertiban”.
Apeldoorn. dalam bukunya “Inleiden tot de studie van het
Nederlandse recht” menyatakan bahwa tujuan hukum adalah mengatur tata
tertib dalam masyarakat secara damai dan adil.

Aristoteles, dalam bukunya “Rhetorica”, mencetuskan teorinya


bahwa, tujuan hukum
menghendaki semata‐mata dan isi dari pada hukum ditentukan oleh
kesadaran etis mengenai apa yang dikatakan adil dan apa yang tidak
adil.

Jeremy Bentham, dalam bukunya “Introduction to the morals and


legislation” mengatakan bahwa hukum bertujuan semata‐mata apa yang
berfaedah bagi orang.

Van Kan. berpendapat bahwa hukum bertujuan menjaga kepentingan


tiap‐tiap manusia supaya kepentingan‐kepentingan itu tidak dapat
diganggu. Rusli Effendy (1991:79) mengemukakan bahwa tujuan hukum
dapat dapat dikaji melalui tiga sudut pandang, yaitu :

1. Dari sudut pandang ilmu hukum normatif, tujuan hukum dititik


beratkan pada segi kepastian hukum.
2. Dari sudut pandang filsafat hukum, maka tujuan hukum
dititikberatkan pada segi keadilan.
3. Dari sudut pandang sosiologi hukum, maka tujuan hukum
dititikberatkan pada segi kemanfaatan.
Adapun tujuan hukum pada umumnya atau tujuan hukum secara
universal, dapat dilihat dari tiga aliran konvensional :

1. Aliran Etis
Aliran ini menganggap bahwa pada asasnya tujuan hukum adalah
semata mata untuk mencapai keadilan. Hukum ditentukan oleh keyakinan
yang etis tentang adil dan yang tidak adil, dengan perkataan lain
hukum menurut aliran ini bertujuan untuk merealisir atau mewujudkan
keadilan. Pendukung aliran ini antara lain, Aristoteles, Gery Mil,
Ehrliek, Wartle. Salah satu pendukung aliran ini adalah Geny.
Sedangkan penetang aliran ini pun cukup banyak, antara lain pakar
hukum Sudikno Mertokusumo: “Kalau dikatakan bahwa hukum itu bertujuan
mewujudkan keadilan, itu berarti bahwa hukum itu identik atau tumbuh
dengan keadilan, hukum tidaklah identik dengan keadilan. Dengan
demikian berarti teori etis itu berat sebelah” (Achmad Ali, 1996:86).

Tegasnya keadilan atau apa yang dipandang sebagai adil sifatnya


sangat relatif, abstrak dan subyektif. Ukuran adil bagi tiap‐tiap
orang bisa berbeda beda. Olehnya itu tepat apa yang pernah
diungkapkan oleh N.E. Algra bahwa : “Apakah sesuatu itu adil
(rechtvaardig), lebih banyak tergantung pada Rechtmatig heid
(kesesuaian dengan hukum) pandangan pribadi seseorang penilai.
Kiranya lebih baik tidak mengatakan “itu adil”, tetapi itu mengatakan
hal ini saya anggap adil memandang sesuatu itu adil, terutama
merupakan sesuatu pendapat mengenai nilai secara pribadi. Achmad Ali
(1990:97).

2. Aliran Utilistis
Menurut aliran ini mengaggap bahwa pada asasnya tujuan hukum
adalah sematamata untuk menciptakan kemanfaatan atau kebahagiaan yang
sebsar‐besarnya bagi manusia dalam jumlah yang sebanyak‐banyaknya.
Jadi pada hakekatnya menurut aliran ini, tujuan hukum adalah manfaat
dalam mengahasilkan kesenangan atau kebahagiaan yang terbesar bagi
jumlah orang yang terbanyak. aliran utilistis ini mempunyai pandangan
bahwa tujuan hukum tidak lain adalah bagaiamana memberikan manfaat
yang sebesar‐besarnya bagi warga masyarakat (ajaran moral praktis).

3. Aliran Yuridis Dogmatik


Menurut aliran ini menganggap bahwa pada asasnya tujuan hukum
adalah sematamata untuk menciptakan kepastian hukum, karena dengan
adanya kepastian hukum, fungsi hukum dapat berjalan dan mampu
mempertahankan ketertiban. Penganut aliran yuridis dogmatik ini bahwa
adanya jaminan hukum yang tertuang dari rumusan aturan perundang‐
undangan adalah sebuah kepastian hukum yang harus diwujudkan.
Kepastian hukum adalah syarat mutlak setiap aturan, persoalan
keadilan dan kemanfaatan hukum bukan alasan pokok dari tujuan hukum
tetapi yang penting adalah kepastian hukum. Bagi penganut aliran ini,
janji hukum yang tertuang dalam rumusan turan tadi merupakan
kepastian yang harus diwujudkan, penganut aliran ini melupakan bahwa
sebenarnya janji hukum itu bukan suatu yang harus, tetapi hanya suatu
yang seharusnya. Dari ketiga aliran tujuan hukum di atas tidaklah
bersifat baku, dalam artian masih ada pendapat‐pendapat lain tentang
tujuan hukum yang bisa dilambangkan dengan melihat latar belakang
konteks sosial masyarakat yang selalu berubah.

Analisis Pembahasan mengenai tujuan hukum tidak lepas dari sifat


hukum dari masingmasing masyarakat yang memiliki karakteristik atau
kekhususan karena pengaruh falsafah yang menjelma menjadi ideologi
masyarakat atau bangsa yang sekaligus berfungsi sebagai cita hukum.

Dari landasan teori yang dikemukakan di atas terlihat dengan


jelas perbedaanperbedaan pendapat dari para ahli tentang tujuan
hukum, tergantung dari sudut pandang para ahli tersebut melihatnya,
namun semuanya tidak terlepas dari latar belakang aliran pemikiran
yang mereka anut sehingga dengannya lahirlah berbagai pendapat yang
tentu saja diwarnai oleh aliran serta faham yang dianutnya. Adapun
tujuan hukum pada umumnya atau tujuan hukum secara universal menurut
Gustav Radbruch yaitu menggunakan asas prioritas sebagai tiga nilai
dasar hukum atau sebagai tujuan hukum, masing‐masing: keadilan,
kemanfaatan dan kepastian hukum sebagai landasan dalam mencapai
tujuan hukum yang diharapkan.

Secara khusus masing‐masing jenis hukum mempunyai tujuan


spesifik, sebagai contoh hukum pidana tentunya mempunyai tujuan
spesifik dibandingkan dengan hukum perdata, demikian pula hukum
formal mempunyai tujuan spesifik jika dibandingkan dengan hukum
materil, dan lain sebagainya. Kalau dikatakan bahwa tujuan hukum
adalah sekaligus keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum, apakah
ini tidak menimbulkan masalah dalam kenyataan (komentar Rusli Effendy
dkk terhadap Gustav Radbruch). Sebagaimana diketahui, di dalam
kenyataanya sering sekali antara kepastian hukum terjadi benturan
dengan kemanfaatan, atau antara keadilan dengan kepastian hukum,
antara keadilan terjadi benturan dengan kemanfaatan.

Sebagai contoh dalam kasus‐kasus hukum tertentu, kalau hakim


menginginkan keputusannya adil (menerut persepsi keadilan yang dianut
oleh hukum tersebut tentunya) bagi si penggugat atau tergugat atau
bagi si terdakwa, maka akibatnya sering merugikan kemanfaatan bagi
masyarakat luas, sebaliknya kalau kemanfaatan masyarakat luas
dipuaskan, perasaan keadilan bagi orang tertentu terpaksa
dikorbankannya. Oleh karena itu bagaimana keadilan, kemanfaatan dan
kepastian hukum. Olehnya itu asas prioritas yang dikemukakan Gustav
Radbruch pertama‐tama kita harus memprioritaskan keadilan barulah
kemanfaatan dan terakhir adalah kepastian hukum.

Idealnya diusahakan agar setiap putusan hukum, baik yang


dilakukan oleh hakim, jaksa, pengacara maupun aparat hukum lainnya,
seyogyanya ketiga nilai dasar hukum itu dapat diwujudkan secara
bersama‐sama, tetapi manakala tidak mungkin, maka haruslah
diprioritaskan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Dengan
penerapan asas prioritas ini, sisten hukum kita dapat tetap tegak
terhindar dari konflik intern yang dapat menghancurkan. Untuk
mencapai tujuan yang dapat menciptakan kedamaian, ketentraman dan
ketertiban dalam masyarakat, terutama masyarakat yang kompleks dan
mejemuk seperti di Indonesia, maka penulis untuk sementara menerima
pandangan yang dikemukakan baik Rusli Effendy maupun Achmad Ali yang
menganggap sangat realistis kalau kita menganut asas prioritas yang
kasuistis yang ketika tujuan hukum diprioritaskan sesuai kasus yang
dihadapi dalam masyarakat, sehingga pada kasus tertentu dapat
diprioritaskan salah satu dari ketiga asas tersebut sepanjang tidak
mengganggu ketenteraman dan kedamaian merupakan tujuan akhir dari
hukum itu sendiri.

Kesimpulan :
Tujuan hukum secara umum ialah arah atau sasaran yang hendak
dicapai hukum dalam mengatur masyarakat.

1. Dalam rumusan tentang tujuan hukum masih terdapat perbedaan


pendapat antara para ahli hukum. Hal ini disebabkan karena
sifatnya yang universal, adanya faktor penyebab lain yaitu dari
masing-masing masyarakat atau bangsa yang memiliki karakteristik
yang menjelma menjadi ideologi bangsa yang sekaligus berfungsi
sebagai cita hukum.

2. Bagi pemula atau siapa saja yang akan mempelajari filsafat hukum
perlu mengkaji lebih mendalam tentang tujuan hukum agar dapat
menambah wawasan berfikir yang lebih luas dan pijakan yang lebih
mendalam serta memiliki komitmen moral yang baik.
Berkenaan dengan kekuasaan yang menentukan kaidah hukum, terdapat
beberapa aliran pemikiran dalam hukum, yaitu:

1.1. Aliran Hukum Alam

Menurut ajaran ini kaidah hukum hasil dari titah tuhan dan
langsung berasal dari tuhan. Oleh karena itu, aliran ini mengakui
adanya suatu hukum yang benar dan abadi, sesuai dengan ukuran kodrat,
serta selaras dengan alam. Dalam ajaran ini, ada dua unsur yang
menjadi pusat perhatian, yaitu unsur agama dan unsur akal. Pada
dasarnya hukum alam bersumber pada tuhan, yang menyingkari akal
manusia dan sebaliknya hukum alam bersumber pada akal atau pikiran
manusia.

1.2. Teori Perjanjian Masyarakat

Teori ini berpendapat bahwa hukum adalah perwujudan kemauan


orang dalam masyarakat yang bersangkutan yang ditetapkan oleh negara,
yang mereka bentuk karena suatu perjanjian dan orang mentaati hukum
karena perjanjian tersebut.

1.3. Aliran Sejarah

Menurut Aliran Culture Historische School

Pokok pikiran aliran ini, manusia di dunia ini terbagi atas


beberapa bangsa dan bangsa ini mempunyai sifat dan semangat yang
berbeda-beda. Oleh karena itu, hukum berlainan dan berubah sesuai
dengan tempat dan zaman, karena hukum ditentukan oleh sejarah. Hukum
yang dibuat oleh manusia masih ada kebaikan yang lebih tinggi
nilainya yaitu keadilan menjadidasar dari setiap hukum yang diperbuat
oleh manusia. Dengan begitu golongan atau aliran yang bertentangan
dengan aliran tersebut ialah berpendapat bahwa hukum tertulis buatan
manusia itulah yang tertinggi dan tidak dapat diatasi oleh apapun.

Aliran demikiran disebut aliran positivisme atau legisme, yang


sangat menghargai secara berlebih-lebihan terhadap hukum tertulis.

1.4. Teori kedaulatan negara

Menurut Madhzab Kedaulatan Negara

Menurut madhzab ini, isi kaidah-kaidah hukum itu ditentukan dan


bersumber pada kehendak negara. Menurut hans kelsen, isi kaidah-
kaidah hukum adalah wille des staates.

1.5. Teori kedaulatan hukum

H. Krabbe Dan Madhzabnya

Kedaulatan hukum tidak sependapat dengan kedaulatan negara.


Menurut krabbe, negara adalah suatu konstruksi yuridis, karena
tidak mempunyai kehendak sendiri. Kehendak tersebut pada
hakikatnya adalah kehendak dari pemerintah, sedangkan yang disebut
pemerintah itu sendiri dari orang-orang tertentu.

Berdasarkan teori hukum dan ajaran hukum tersebut diatas maka


timbul aliran-aliran hukum, sebagai berikut:

a. Aliran legisme, yang menganggap bahwa hukum terdapat dalam


undang-undang. Yang berarti hukum identik dengan undang-undang,
sehingga hakim dalam melakukan tugasnya terikat pada undang-
undang. Bahwa undang-undang itu sebagai sumber hukum formal, dalam
hal undang-undang itu dapat digolongkan menjadi dua golongan,
yaitu :

· Undang-undang dalam arti formal adalah setiap keputusan


pemerintah yang karena bentuknya disebut undang-undang

· Undang-undang dalam bentuk materiel adalah keputusan pemerintah


yang karena isinya langsung mengikat masyarakat

b. Aliran freie rechsbeweging, yang beranggapan bahwa didalam


melaksanakan tugasnya seorang hakim bebas untuk melakukan menurut
undang-undang atau tidak. Ini disebabkan pekerjaan hakim ialah
menciptakan hukum. Dengan demikian, yurisprudensi merupakan hal
yang penting yang dianggap primer, sedangkan undang-undang
merupakan hal yang sekunder.

c. Aliran rechtsvinding, yang beranggapan bahwa hakim terikan pada


unfang-undang, akan tetapi tidak seketat menurut paham aliran
legisme. Karena hakim juga memiliki kebebasan, namun kebebasan
hakim tidak seperti faham freie rechgtsbeweging. Karena dalam
melaksanakan tugasnya hakim mempunyai kebebasan yang terikat.

d. Aliran sicoilogishe rechtschuke, pada dasarnya tidak setuju


dengan adanya kebebasan bagi para pejabat hukum untuk
menyampingkan undang-undang sesuai dengan perasaanya. Oleh karena
itu, aliran ini hendak menahan dan menolak kemungkinan sewenang-
wenang dari hukum, sehubungan dengan adanya freieserhessen dalam
aliran rechtsschule. Pada akhirnya aliran ini mengimbau suatu
masyarakat bagi pejabat-pejabat hukum dipertinggi berkenaan dengan
pengetahuan tentang ekonomi, sosiologi dan lain-lain, supaya
kebebasan dari hakim ditetapkan batas-batasnya dan supaya putusan-
putusan hakim dapat diuji oleh public opinion.

e. Aliran sistem hukum terbuka (open system), berpendapat bahwa


hukum itu merupakan suatu sistem, bahwa semua peraturan-peraturan
itu saling berhubungan yang satu ditetapkan oleh yang lain; bahwa
peraturan-peraturan tersebut dapat disusun secara mantik dan untuk
yang bersifat khusus dapat dicari aturan-aturan umumnya, sehingga
sampailah pada asas-asas. Sistem hukum adalah suatu susunan atau
tatanan yang diatur dalam keseluruhan yang terdiri atas bagian-
bagian yang berkaitan satu sama lain, tersusun menurut suatu
rencana atau pola, hasil dari suatu pemikiran untuk mencapai suatu
tujuan. (Prof. R Subekti, SH.)

Sebelum dikenal hukum tertulis, maka satu-satunya sumber hukum


adalah hukum kebiasaan. Oleh karena hukum kebiasaan itu sifatnya
tidak tertullis, maka dapat dibayangkan bahwa tidak ada kepastian
atau keseragaman hukum. Kemudian lahirlah aliran-aliran penemuan
hukum, yang pada dasarnya bertitik tolak pada pandangan mengenai apa
yang merupakan sumber hukum. Jadi aliran-aliran itu merupaka aliran-
aliran tentang ajaran sumber hukum.

· Legisme

Sebagai reaksi terhadap ketidakpastian dan ketidakseragaman hukum


kebiasaan timbullah pada abad ke-19 di eropa untuk penyeragaman hukum
dengan jalan kodifikasi dengan menuangkan semua sumber hukum secara
lengkap dan sistematis dalam kitab undang-undang. Pandangan dalam
abad ke-19 ini ialah bahwa satu-satunya sumber hukum adalah undang-
undang, yang dianggap cukup jelas dan lengkap, yang berisi semua
jawaban terhadap semua persoalan hukum, sehingga hakim hanyalah
berkewajiban menerapkan peraturan hukum pada peristiwa konkritnya
dengan bantuan metode penafsiran terutama penafsiran gramatikal,
dengan prasyaratnya:

- Undang-undang harus bersifat umum

- Ketentuan-ketentuan yang ada di dalamnya harus dirumuskan secara


abstrak

− Sistem peraturannya harus lengkap, sehingga tidak ada


kekosongan

Di eropa, legisme berkuasa dalam abad ke-19 (1830-1880). Perlu


diketahui bahwa inggris dan amerika serikat tidak pernah beralih ke
kodifikasi. Di sini judge-made-law dan hukum kebiasaan mempunyai
peranan yang lebih penting daripada di eropa.

· Mahzab historis

Kemudian dalam abad ke-20 disadari bahwa undang-undang tidaklah


lengkap. Nilai-nilai yang dituangkan dalam undang-undang tidak lagi
sesuai dengan perkembangan kehidupan bersama. Perkembangan ini di
nerderland dimulai pada akhir abad ke-19. Judge-made-law dan hukum
kebiasaan dapat melengkapi undang-undang. Mahzab historis berpendapat
bahwa hukum itu ditentukan secara historis, hukum tumbuh dari
kesadaran hukum bangsa di suatu tempat dan pada waktu tertentu.

· Begriffsjurisprudenz

Di pertengahan abad ke-19 lahirlah aliran yang dipelopori oleh


rudolf vin jhering (1818-1890) yang menekankan pada sistemik hukum.
Berdasarkan kesatuan yang dibentuk oleh sistem hukum, maka setiap
ketentuan undang-undang harus dijelaskan dalam hubungannya dengan
ketentuan undang-undang yang lain, sehingga ketentuan-ketentuan
undang-undang itu merupakan satu kesatua yang utuh. Kekhasan dari
aliran begriffjurisprudenz ini ialah bahwa hukum dilihat sebagai satu
sistem tertutup yang mencakup segala-galanya yang mengatur semua
perbuatan sosial. Begriffjurisprudenz ini lebih memebrikan kebebasan
kepada hakim daripada legisme. Hakim tidak perlu terikat pada bunyi
undang-undang, tetapi dapat mengambil argumentasinya dari peraturan-
peraturan hukum yang tersirat dalam undang-undang.

· Interessenjurisprudenz
Sebagai reaksi terhadap begriffjurisprudenz lahirlah pada abad ke-
19 di jerman, interessenjurisprudenz, yang dipelopori oleh rudolf von
jhering (1818-1892), suatu aliran yang menitikberatkan pada
kepentingan-kepentingan yang difiksikan. Aliran ini berpendapat bahwa
peraturan hukum tidak boleh dilihat oleh hakim sebagai formil-logis
belaka, tetapi harus dinilai menurut tujuannya. Yang menentukan
tertutama adalah selalu penilaian oleh pembentuk undang-undang. Hakim
dalam putusannya harus bertannya kepentingan-kepentingan manakah yang
diatur atau dimaksudkan oleh pembentuk undang-undang.

· Freirechtbewegung

Reaksi yang tajam terhadap legisme baru muncul sekitar 1900 di


jerman. Reaksi itu dimulai oleh kantorowicz (1877-1940) yang
disebutnya ‘frierechtlich’ dan dari situlah timbu istilah
‘freirechtbewegung’. Pengikut-pengikut aliran ini menentang pendapat
bahwa kodifikasi itu lengkap dan bahwa hakim dalam proses penemuan
hukum tidak mempunyai sumbangan kreatif. Tidak seluruh hukum terdapat
dalam undang-undang. Disamping undang-undang masih terdapat sumber-
sumber lain yang dapat digunakan oleh hakim untuk menemukan hukumnya.

Freirechtbewegung mencoba mengarahkan perhatiannya kepada sifat-


sifat yang khusus pada peristiwa konkrit dan kepentingan yang
berkaitan. Hakim memang harus menghormati undang-undang, tetapi ia
dapat tidak hanya sekedar tunduk dan mengikuti undang-undang,
melainkan menggunakan undang-undang sebagai sarana untuk menentukan
pemecahan peristiwa konkrit yang dapat diterima. Disini hakim tidak
dapat berperan sebagai penafsir undang-undang, tetapi sebagai
pencipta hukum. Freirechtbewegung berpendapat bahwa hakim terikat
pada batas-batas yang dapat dijabarkan dari sistem. Ini menuju pada
pemecahan masalah yang mendasarkan pada sistem.

· Penemuan Hukum Modern


Sesudah perang dunia ke-2, timbul lagi kritik terhadap pandangan
hakim sebagai subsumptie automaat. Ini terjadi di bawah pengaruh
pandangan existensialisme. Kritik mendasar terhadap positivisme
undang-undang atau legisme terletak pada pandangan bahwa model
subsumptie itu tidak dapat dipertahankan. Sebagai penemu hukum tidak
dapat menetapkan secara obyektif apa peristiwanya, apa peraturannya
dan kemudian menghubungkannya secara logis. Salah satu pokok
pandangan modersn ini ialah bahwa bukan sistem perundang-undangan
yang merpakan titik tolak, tetapi masalah kemasyarakatan yang konkrit
yang harus dipecahkan.

2.Unsur-unsur hukum

Unsur-unsur hukum (gegevens van het recht) terdiri dari unsur


idiel dan riel. Dikatakan unsur idiel, karena hal tersebut terletak
dalam bidang yang sangat abstrak yang tidak dapat diraba dengan panca
indera, namun kehadirannya dapat dirasakan. Unsur ini terdapat dalam
diri setiap pribadi manusia, yang terdiri dari:

a. Unsur cipta, harus diasah yang dilandasi logika dari beraspek


kognitif. Unsur ini menghasilkan ilmu tentang pengertian.

b. Unsur karsa, harus diasah, yang dilandasi etika dan beraspek


konatif.

c. Unsur rasa, harus diasih, yang dilandasi estetika dan


beraspek aspektif

Sedangkan unsur riel terdiri dari manusia, alam dan kebudayaan


yang akan melahirkan ilmu tentang kenyataan. Unsur ini mencakup aspek
ekstern-sosial dalam pergaulan hidup dalam masyarakat.

Gabungan filsafat hukum, dogmatik hukum dan ilmu tentang kenyataan


menghasilkan politik hukum. Politik hukum merupakan disiplin hukum
khusus, yang mencakup teknologi hukum dan disiplin tata hukum.

3.Sumber-sumber hukum

Sumber-sumber hukum adalah kenyataan-kenyataan yang menimbulkan


hukum yang berlaku dan mengikat setiap orang. Sumber hukum dapat
dibedakan menjadi:

a.Sumber hukum dalam arti formal

Mengkaji kepada prosedur atau tata cara pembentukan suatu hukum


atau melihat kepada bentuk lahiriah dari hukum yang bersangkutan,
yang dapat dibedakan secara tertullis dan tidak tertulis. Contohnya :

·Hukum perundang-undangan

·Hukum yurisprudensi

·Hukum traktat/perjanjian

·Hukum doktrin

Sumber hukum dalam arti formal yang tidak tertulis


contohnya adalah hukum kebiasaan.

b.Sumber hukum dalam arti material

Yaitu faktor-faktor/kenyataan-kenyataan yang turut menentukan


isi dari hukum. Isi hukum ditentukan oleh dua faktor, yaitu :

·Faktor idiel

yaitu faktor yang berdasarkan kepada cita-cita masyarakat


akan keadilan

·Faktor sosial masyarakat, antara lain:


1.Stuktur ekonomi

2.Kebiasaan-kebiasaan

3.Tata hukum negara lain

4.Agama dan kesusilaan

5.Kesadaran hukum
2. BAGAIMANA SOLUSI PEMIKIRAN UNTUK MENYELESAIKAN DAN
MEWUJUDKAN SUPREMASI HUKUM DI INDONESIA ?

Menurut kami ada 3 komponen utama dalam penegakan hukum yaitu:


Peraturan Perudangan, Penegak Hukum dan Masyarakat. Jika ketiga
komponen ini berjalan dengan semestinya, kami yakin supremasi hukum
di Indonesia akan baik :

- Peraturan perundangan

Sepertinya sudah cukup banyak walau kadang tidak sampai detail,


misal ada undang-undang tapi belum ada peraturan pemerintah dan
petunjuk teknis atau prosedurnya sehingga sering tidak aplikatif di
lapangan. Saran kami seluruh peraturan harus dibuat aturan-aturan di
bawahnya sampai ke prosedur teknis sehingga tidak salah interprestasi
dalam pelaksanaannya.

- Penegak Hukum

Aparat atau penegak hukum harus menyadari betul fungsinya


sebagai penegak hukum jangan malah menyalahgunakan produk hukum demi
kepentingan pribadi atau kelompok. Perlu disadari pelanggaran hukum
akan berdampak terhadap kelangsungan bernegara dimasa depan. Negara
kita kacau hari ini karena adanya kesalahan-kesalahan dimasa lampau.

- Masyarakat

Kita harus membiasakan diri untuk tidak cari gampang dan jalan
pintas dalam menyelesaikan suatu urusan, apapun alasannya melanggar
hukum adalah perbuatan yang merusak diri sendiri, orang lain dan
negara. Pelanggaran yang sering terjadi adalah antara penegak hukum
dengan masyarakat, hal ini terjadi karena adanya sikap mencari
penyelesaian sesuatu urusan dengan cara gampang dan jalan pintas.
Di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Bab 9
tentang Pembenahan Sistem dan Politik Hukum telah , yang meliputi
substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum.

• Substansi Hukum:

• Tumpang Tindih dan Inkonsistensi Peraturan Perundang-


undangan. Peraturan perundang-undangan yang ada masih
banyak yang tumpang tindih, inkonsisten dan bertentangan
antara peraturan yang sederajat satu dengan lainnya, antara
peraturan tingkat pusat dan daerah, dan antara peraturan
yang lebih rendah dengan peraturan di atasnya.
• Perumusan peraturan perundang-undangan yang kurang jelas,
yang mengakibatkan sulitnya pelaksanaannya di lapangan atau
menimbulkan banyak intepretasi yang mengakibatkan
terjadinya inkonsistensi.
• Implementasi undang-undang terhambat peraturan
pelaksanaannya .
• Tidak adanya Perjanjian Ekstradisi dan Mutual Legal
Assistance (MLA) atau Bantuan Hukum Timbal Balik antara
Pemerintah dengan negara yang berpotensi sebagai tempat
pelarian khususnya pelaku tindak pidana korupsi dan pelaku
tindak pidana lainnya.

• Struktur Hukum:

• Kurangnya independensi kelembagaan hukum


• Akuntabilitas kelembagaan hukum.
• Sumber daya manusia di bidang hukum.
• Sistem peradilan yang tidak transparan dan terbuka.
• Pembinaan Satu Atap oleh Mahkamah Agung merupakan upaya
untuk mewujudkan kemandirian kekuasaan kehakiman dan
menciptakan putusan pengadilan yang tidak memihak
(impartial).
• Budaya Hukum

• Timbulnya degradasi budaya hukum di lingkungan masyarakat.


• Menurunnya kesadaran akan hak dan kewajiban hukum
masyarakat.

Grand design Pembangunan Sistem dan Politik Hukum Nasional


adalah sebuah konsep komprehensif yang menjadi tujuan bersama dari
seluruh stake holders pembangunan hukum, mulai dari lembaga
legislatif, eksekutif, dan yudisial, serta masyarakat pada umumnya.

Substansi di dalamnya, antara lain, mencakup desain struktur


pembangunan hukum secara utuh, pola hubungan antara seluruh stake
holders (berdasar peran, kewenangan, dan tanggung jawab), mekanisme
kerja bersama antara seluruh pelaku dan bentuk koordinasinya,
orientasi produk hukum ideal (bukan sekadar pedoman dan standar
perilaku), pola pelaksanaan aturan-aturan hukum, dan etika untuk
penegakan dan aparatur hukum .

Persoalan mendasar , terkait grand design Pembangunan Sistem dan


Politik Hukum Nasional, yang muncul kemudian adalah bagaimana membuat
struktur sistem hukum ( legal system ) yang kondusif bagi keragaman
sub-sistem, keberagaman substansi, pengembangan bidang-bidang hukum
yang dibutuhkan masyarakat, juga kondusif bagi terciptanya kesadaran
hukum masyarakat dan kebebasan untuk melaksanakan hak-hak dan
kewajiban-kewajiban sesuai dengan aturan yang berlaku. Tegasnya,
harus ada kebijakan hukum ( legal policy ) yang jelas untuk
menciptakan kondisi di atas.
Langkah Menuju Terciptanya Grand design Pembangunan Sistem dan
Politik Hukum Nasional: Dalam merumuskan Grand Design tersebut,
pertama-tama perlu dilakukan inventarisasi terhadap permasalahan-
permasalahan yang perlu diberikan perhatian utama dalam
penanganannya, baik dari aspek materi hukum, aparatur hukum, sarana
dan prasarana hukum maupun budaya hukumnya. Setelah itu, perlu
dilakukan penetapan prioritas tentang unsur-unsur yang harus
didahulukan di dalam upaya pembangunan hukum yang sifatnya menyeluruh
(holistik) tersebut.
3. APAKAH HUKUM SAMA DENGAN KEADILAN ?

Tidak ada yang lebih jahat ketimbang penegakan hukum tanpa


keadilan. Hukum tanpa keadilan ibarat tubuh tak bernyawa. Pasal-pasal
pada secarik kertas tidak bermakna apa-apa. Pasal-pasal mati.

Patut dicatat, keadilan lebih dari sekadar nyawa bagi dokumen


hukum. Institusi penegak hukum pun sepatutnya bernyawakan keadilan.
Semua proses yang terjadi pada institusi itu harus bernapaskan
keadilan. Proses yang terjadi bukan sekadar memenuhi proseduralitas
dan formalitas legal. Kita harus berani mengatakan ini. Formalitas
dan proseduralitas legal sekadar sarana bagi keadilan. Apabila sarana
itu dipakai untuk melukai rasa keadilan, tidak ada pilihan lain:
keputusan politik harus dijatuhkan berdasar doktrin kedaruratan.

Di negeri ini keadilan dilukai berkali-kali. Kriminalisasi KPK


baru pemanasan saja. Belum lagi kasus itu terselesaikan, pers
mendapat perlakuan sama. Dua unsur pimpinan redaksi dipanggil
berdasar laporan pencemaran nama baik oleh Anggodo. Sosok satu ini
sepertinya berkeliaran di ruang hampa hukum, ikut mengendalikan hukum
tanpa dia terjerat hukum.

Dari dua peristiwa itu, kita saksikan luka keadilan lain. Minah,
seorang ibu tua, dikenai hukuman percobaan akibat mengambil tiga buah
kakao untuk dijadikan bibit. Rasa keadilan kembali terkoyak. Sang
hakim tahu, dia memutus berdasar hukum tertulis, bukan rasa keadilan.
Dia menjadi hamba secarik kertas, bukan dewi keadilan yang mulia dan
sublim.
Compang-camping praktik penegakan hukum berujung pada
ketidakpercayaan publik. Ini fatal. Ketidakpercayaan publik terhadap
penegakan hukum dipicu absennya keadilan sebagai prinsip dasar sebuah
tertib sosial. Keadilan adalah prinsip hidup bersama dalam sebuah
tertib sosial bernama negara. Keadilan adalah maksud suci kelahiran
negara itu sendiri. Jika maksud suci itu dikhianati aparat negara,
alasan keberadaan negara bisa jadi tak ada lagi. Maka, perilaku
institusional yang melukai keadilan dapat berakibat hilangnya tertib
sosial, bernama negara.

Mungkin hal itu terdengar radikal. Namun, imajinasi kita harus


dapat menerobos rezim aktualitas guna menemukan alasan politik.
Apalagi kita sudah diingatkan filsuf Perancis, Louis Althusser. Rezim
boleh berganti, tetapi aparat ideologis dan represif negara
bergeming. Reformasi boleh berjalan lama, tetapi pengkhianatan
terhadap keadilan berulang kali dilakukan tanpa punitas. Institusi
penegak hukum tetap sama. Itu adalah alat kekuasaan untuk mengamankan
diri secara ideologis dan represif dengan memutarbalikkan rasa
keadilan masyarakat.

Luka keadilan amat sulit disembuhkan. Politik pencitraan pasti


tumpul saat berhadapan dengan rakyat yang terluka rasa keadilannya.
Tim 8 sudah selesai bekerja. Rekomendasinya amat komprehensif dan
untuk sementara meredam amuk politik rakyat. Namun, kita semua masih
berharap, Presiden akan bertindak. Jika tidak (bertindak) dan pasif,
dapat membuat kredibilitas Tim 8 rusak. Tim 8 akan dipersepsi rakyat
sebagai bagian politik pencitraan.
Luka keadilan sudah cukup dalam. Kita ada di pengujung gerakan
sosial yang masif. Rakyat bukan anak kecil yang terdiam setelah
diberi baju baru. Hampir di semua media, rakyat yang anonim menjadi
subyek lugas dan beridentitas. Rakyat bukan lagi ruang kosong dalam
demokrasi. Dia muncul nyata di berbagai forum publik. Rakyat yang
nyata memiliki kekuatan yang tidak kalah nyatanya.

Kita sudah menyaksikan bagaimana kriminalisasi tidak hanya


menyentuh pejabat negara atau pimpinan media. Ketidakadilan sudah
dirasakan rakyat jelata bernama Minah. Minah lebih mudah dijadikan
ikon guna mengidentifikasikan diri. Kejelataan Minah mampu memompa
solidaritas dalam skala besar yang (dapat saja) memiliki konsekuensi
politik serius.

Dalam kondisi abnormal seperti ini bukan saatnya berdebat


tentang hukum tata negara. Konstitusi adalah dokumen yang dihidupkan
keadilan. Konstitusi adalah sarana, bukan keadilan itu sendiri.
Kehendak politik yang menciptakan konstitusi harus diperhatikan. Apa
kehendak politik itu? Kehendak politik adalah penciptaan sebuah
tertib sosial berkeadilan. Kekuasaan terikat pada kehendak politik
itu, bukan pasal-pasal mati konstitusi.

Saat keadilan terluka, kekuasaan dapat mengambil bentuk


mistisnya. Kekuasaan eksekutif dapat melepas ikatan konstitusionalnya
saat keadilan dalam bahaya. Presiden dapat melepaskan diri dari
batas-batas konstitusional dan melakukan intervensi yang diperlukan
atas yudikatif. Dengan demikian, Presiden melakukan dua hal
sekaligus. Pertama, mengembalikan kepercayaan rakyat. Kedua,
meletakkan batu pertama reformasi institusi penegak hukum. Intervensi
yudikatif adalah langkah konkret pertama dalam upaya pemberantasan
mafia peradilan.

PENGANTAR ILMU HUKUM


DISKUSI KELOMPOK
Dosen Pengampu : Dr., SAIFUDIN S.H., M. Hum.

INDRA PRASETYO 09410396


IRMA WASTITYA NINGRUM 09410399
IVAN PRADANA 09410393
ADLEY PRASIDHA PRAMONO 09410395
TOFAN ANGGANA ADI 09410394

Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia
TAHUN AKADEMIK
2009 – 2010

You might also like