You are on page 1of 43

PENEGAKAN HUKUM DI WILAYAH LAUT INDONESIA

(Farida Puspitasari, SH, M.Hum)

1. Pendahuluan
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan negara
kepulauaan (archipelagic state) terbesar di dunia yang memiliki 17.508
pulau (dua pulau telah menjadi bagian negara Timor Leste, yaitu pulau
Atauro dan pulau Yako serta pulau Sipadan dan pulau Ligitan yang oleh
International Court of Justice pada tahun 2002 diputuskan menjadi milik
Malaysia), dengan luas lautnya mencapai 5,8 juta km² dan garis pantai
sepanjang ± 81.000 km.1 Wilayah NKRI terletak pada posisi silang dunia
di antara dua benua dan dua samudera. Posisi geografis yang demikian
ini menyebabkan laut di antara pulau-pulau menjadi laut yang sangat
penting artinya bagi lalu lintas pelayaran internasional, selain itu di dalam
laut yang luas tersebut terkandung potensi sumber daya laut yang
melimpah dan memiliki nilai strategis bagi kesinambungan pembangunan
nasional bahkan kemudian memancing pihak-pihak tertentu untuk
memanfaatkannya secara illegal. Hal ini tidak saja menganggu stabilitas
keamanan di laut, namun juga merupakan potensi konflik dengan negara-
negara lain.
Seluruh bangsa Indonesia memiliki kepentingan yang sama
terhadap laut, yaitu terwujudnya kondisi laut yang aman dan terkendali
dalam rangka menjamin integritas wilayah guna menjamin kepentingan
nasional. Guna mewujudkan kondisi keamanan di laut, diperlukan adanya
upaya penegakan kedaulatan dan penegakan hukum. Masalah
penegakan hukum di laut menjadi satu isu nasional yang penting,
mengingat kerugian yang dialami negara sangat besar akibat berbagai
pelanggaran hukum yang terjadi di laut. Pelanggaran hukum tersebut
1
Pokok-pokok Pikiran TNI Angkatan Laut Tentang Keamanan Di Laut, 2002, Jakarta: Mabes AL,
hlm.1

1
meliputi perompakan (armed robbery), pembajakan (piracy),
penyelundupan manusia (imigran gelap), penyelundupan barang (seperti
kayu, gula, beras, BBM, senjata api, narkotika, psikotropika), illegal
fishing, pencemaran laut, eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam
secara illegal, serta pelanggaran lain di wilayah laut Indonesia
Secara faktual, penegakan keamanan di laut memiliki dua dimensi
yaitu penegakan kedaulatan dan penegakan hukum, sehingga diperlukan
suatu perspektif baru bahwa kedua dimensi tersebut saling terkait satu
dengan lainnya. Jika dipandang sebagai suatu sistem, maka keamanan
laut merupakan rangkaian mulai dari persepsi atau pemahaman segenap
komponen bangsa, struktur organisasi serta prosedur dan mekanisme
penyelenggaraan keamanan di laut yang melibatkan berbagai instansi
yang memiliki kewenangan dalam penegakan kedaulatan dan penegakan
hukum di laut.2 Sistem keamanan laut harus dibangun dengan prinsip
mensinergikan kekuatan yang dimiliki oleh berbagai instansi
penyelenggara penegakan keamanan di laut tersebut. Sinergi kedua
aspek tersebut diwujudkan dengan kesatuan yang tercermin dalam
struktur organisasi, mekanisme dan prosedur aparat penyelenggara
keamanan di laut. Penegakan kedaulatan di laut mempunyai dua dimensi
pemahaman, yaitu kedaulatan (sovereignity) dan hak berdaulat (sovereign
right) di laut suatu negara yang telah diatur secara universal dalam
UNCLOS 1982.3
Pengelolaan sumber kekayaan laut memerlukan suatu
kebijaksanaan pemerintah yang bersifat makro dan terpadu, dan ditopang
oleh perangkat hukum yang kuat. Hukum berfungsi sebagai perlindungan
kepentingan manusia. Agar kepentingan manusia terlindungi, maka
hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan hukum selain dapat berlangsung
secara normal dan damai, juga dapat dilaksanakan manakala terjadi
pelanggaran hukum, dalam hal inilah hukum yang telah dilanggar itu harus

2
Ibid, hlm.2
3
Ibid, hlm.16

2
ditegakkan. Melalui penegakan hukum tersebut, hukum kemudian menjadi
kenyataan.4
Obyek ilmu hukum adalah kumpulan peraturan-peraturan hukum
yang tidak berdiri sendiri. Arti pentingnya suatu peraturan hukum adalah
karena hubungannya yang sistematis dengan peraturan-peraturan hukum
lain. Jadi, hukum merupakan suatu sistem. F. Sugeng Istanto5 sependapat
dengan Black yang merumuskan bahwa sistem adalah an orderly
combination or arrangement of particular part of elements into a whole.
6
Hukum merupakan susunan yang teratur dari elemen-elemen yang
membentuk satu kesatuan. Kesatuan tersebut diterapkan terhadap
kompleks elemen-elemen yuridis seperti peraturan hukum, asas hukum,
dan pengertian hukum. Penegakan hukum juga harus merupakan suatu
sistem.
Penegakan hukum di laut, khususnya hukum laut internasional
hanya akan efektif apabila diterapkan secara universal dan apabila
terdapat kekuatan yang menegakkan hukum tersebut. Sebagai akibat
sulitnya menyusun hukum laut dan kurang terpadunya kekuatan yang
diperlukan untuk menegakkannya, maka timbul peluang tindakan-tindakan
seperti pembajakan, perompakan, penyelundupan segala macam barang,
pencemaran laut, pencurian ikan dan lain-lain. Fakta-fakta hukum yang
mendasar tersebut menimbulkan konsekuensi akan munculnya faktor-
faktor baru. Faktor pertama, karena hukum laut itu pada hakikatnya lemah,
maka ukuran serta hubungan relatif antar kekuatan-kekuatan di laut itu
secara berkelanjutan memainkan peranan yang penting. Cara terbaik
untuk mengatasi kelemahan hukum laut tersebut adalah memelihara
tingkat kehadiran di laut dan menciptakan penggunaan laut secara rutin
sebagai preseden hukum yang valid. Faktor baru kedua adalah, bahwa
batas antara keadaan damai, keadaan krisis, dan keadaan perang di laut

4
Sudikno Mertokusumo, 1996, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty, hlm.140
5
F. Sugeng Istanto, 2004, Bahan Kuliah Politik Hukum, Yogyakarta: Sekolah Pasca Sarjana
UGM, hlm.20
6
HC.Black, 1990, Black’s Law Dictionary: Sixht Edition, St.Paul Minn, West Publisihing co.

3
tidak begitu tegas, dan lebih merupakan kontinum (rangkaian) dari apa
yang terjadi di darat.7 Kecenderungan negara-negara pantai untuk
menyusun hukum laut nasional yang memadai untuk menjamin keamanan
dan kesejahteraan rakyatnya dapat menimbulkan peluang dan resiko
konflik dengan negara lain apabila tidak dilaksanakan menurut konvensi
hukum laut internasional dengan semangat persahabatan dan saling
menghargai.
Menyadari pentingnya keamanan laut, perlu kiranya menyamakan
persepsi karena tanpa disadari dapat menggiring kita dalam suatu polemik
berkepanjangan yang berdampak negatif, yang justru akan menghambat
upaya membangun persatuan dan kesatuan bangsa. Keamanan laut bisa
diwujudkan dengan penegakan kedaulatan dan penegakan hukum di laut,
tapi selain dua aspek tersebut, keamanan laut juga mengandung
pengertian bahwa laut bisa dikendalikan dan aman digunakan oleh
pengguna dan bebas dari ancaman atau gangguan terhadap aktivitas
pemanfaatan laut, yaitu:8
1. Laut bebas dari ancaman kekerasan, yaitu ancaman dengan
kekuatan bersenjata yang teroganisir dan memiliki kemampuan
untuk menganggu serta membahayakan personel atau negara.
Ancaman tersebut dapat berupa, pembajakan, perompakan,
sabotase maupun aksi teror bersenjata;
2. Laut bebas dari ancaman navigasi, yang ancaman yang ditimbulkan
oleh kondisi geografi dan hidrografi serta kurang memadainya
sarana bantu navigasi sehingga membahayakan keselamatan
pelayaran;
3. Laut bebas dari ancaman terhadap sumber daya laut berupa
pencemaran dan perusakan ekosistem laut serta konflik
pengelolaan sumber daya laut;

7
Soewarso, Kumpulan Karangan Tentang Evolusi Pemikiran Masalah Keangkatan Lautan,
Jakarta: Penerbit SESKOAL, hlm.378.
8
Pokok-pokok Pikiran TNI Angkatan Laut Tentang Keamanan Di Laut, op.cit, hlm.15.

4
4. Laut bebas dari ancaman pelanggaran hukum, yaitu tidak
dipatuhinya hukum nasional maupun hukum internasional seperti
illegal fishing, illegal logging, illegal migrant, penyelundupan dan
lain-lain.
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas timbul masalah yang kompleks
dilaut, karena bertemunya dua kepentingan yang saling mengikat, yaitu
kepentingan nasional dan internasional sehingga menyebabkan tegaknya
keamanan di laut tidak dilaksanakan oleh satu institusi secara mandiri.
Penegakan hukum di laut di Indonesia saat ini masih bersifat sektoral, ada
beberapa instansi yang di beri wewenang oleh undang-undang untuk
penegakan hukum di laut, yaitu Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut
(TNI AL), Kepolisian Negara Republik Indonesia, Ditjen Imigrasi, Ditjen
Bea Cukai, Ditjen Perhubungan Laut, Ditjen Perikanan, Ditjen Kehutanan.
Stabilitas keamanan di laut diperlukan dalam upaya untuk
menghadapi segala bentuk gangguan dan ancaman di laut dengan
mengerahkan kekuatan berbagai instansi yang berwenang melaksanakan
penegakan kedaulatan dan hukum di laut. Penegakan hukum di laut tidak
hanya ditangani satu instansi saja, karena undang-undang memberikan
mandat kepada beberapa instansi pemerintah yang diberi wewenang
untuk melaksanakan penegakan hukum tersebut. Aparat penegak hukum
di laut terkotak-kotak dalam sistem yang tidak terintegrasi dengan baik
karena bersifat sektoral. Sifat sektoral menimbulkan beberapa
permasalahan hukum, diantaranya tumpang tindih wewenang yang
menimbulkan konflik antar penegak hukum. Sampai saat ini belum ada
usaha pemerintah atau lembaga yang berwenang membuat undang-
undang, untuk mengatasi tumpang tindih wewenang dalam penegakan
hukum di laut. Seharusnya penegakan hukum di laut di lakukan secara
terpadu oleh berbagai instansi dan tunduk pada undang-undang tersendiri.
Salah satu upaya keterpaduan dalam rangka penegakan hukum di
laut sebenarnya sudah dilaksanakan melalui operasi bersama antar
berbagai instansi dalam rangka penegakan hukum di laut melalui Surat

5
Keputusan Bersama (SKB) antara Menhankam/Pangab, Menhub,
Menkeu, Menkeh, dan Jaksa Agung No. Kep/B/45/XII/1972, SK-
901/M/1972, Kep/779/MK/III/12/1972, J.S.B/72/1 dan
Kep/085/J.A/12/1972, tanggal 19 Desember 1972 tentang Pembentukan
Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) dan Komando
Pelaksanaan Operasi (Kolaksops) Bersama Keamana Laut (Kamla).
Operasi bersama dalam rangka penegakan hukum di laut yang diatur
melalui SKB ini, belumlah kuat untuk menggunakan kewenangan atau
tidak menggunakan kewenangan dalam rangka penegakan hukum di laut
secara terpadu, sehingga SKB tidak dapat di jadikan ukuran untuk menilai
tindakan aparat penegak hukum di laut untuk bertindak sewenang-wenang
atau bertindak menyalahgunakan kewenangannya.
Penelitian dalam karya tulis ini diharapkan dapat mengkaji secara
analitis mengenai penegakan hukum di wilayah laut Indonesia. Penelitian
karya tulis ini menggunakan metode penelitian normatif atau kepustakaan.
Penelitian normatif adalah penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti
bahan-bahan kepustakaan seperti buku, makalah, peraturan perundang-
undangan, perjanjian internasional, majalah, dan surat kabar yang
berkaitan dengan obyek yang diteliti. Sistematika karya tulis ini adalah
sebagai berikut:

1. Pendahuluan
2. Penegakan Hukum
a. Pengertian Penegakan Hukum
b. Faktor-faktor Dalam Penegakan Hukum
c. Mekanisme Penegakan Hukum
3. Wilayah Laut Indonesia
a. Wilayah Laut Di Bawah Kedaulatan Republik Indonesia
b. Wilayah Laut Dibawah Yurisdiksi Republik Indonesia
4. Implementasi Penegakan Hukum Di Wilayah Laut Indonesia
5. Kesimpulan

6
2. Penegakan Hukum
a. Pengertian Penegakan Hukum
Hukum menurut David Berker dan Collin Padfield seperti yang
dikutip Sidik Sunaryo adalah: as a rule of human conduct imposed upon
and enforced among the members of a given state.9 Pendapat David
Berker dan Collin Padfiel di atas memberikan pemahaman bahwa hukum
merupakan kumpulan aturan, baik tertulis maupun tidak tertulis sebagai
pedoman tingkah laku manusia yang mempunyai daya paksa oleh badan
yang diberi otoritas sehingga memiliki daya eksekusi. Otoritas yang dimiliki
memberikan legitimasi kepada badan tesebut untuk melakukan
penegakan hukum.
Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk
tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai
pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan–hubungan hukum
dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ditinjau dari subyeknya,
penegakan hukum dapat dilakukan oleh subyek yang luas dan dapat pula
diartikan sebagai upaya penegakan hukum yang melibatkan semua
subyek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang
menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak
melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum
yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum.
Penegakan hukum dalam arti sempit, dari segi subyeknya dapat diartikan
sebagai upaya aparatur penegak hukum untuk menjamin dan memastikan
tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu
diperkenankan untuk menggunakan daya paksa.10
Pengertian penegakan hukum dapat ditinjau dari sudut obyeknya,
yaitu dari segi hukumnya, dalam hal ini pengertiannya juga mencakup
makna yang luas dan sempit. Penegakan hukum dalam arti luas
9
Sidik Sunaryo,2005, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Malang: UMM Press, hlm.3.
10
Jimmly Asshiddiqie, 2006, Penegekan Hukum, diakses dari www.solusihukum.com pada
tanggal 12 Agustus 2006

7
mencakup nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalam aturan formal
maupun nilai-nilai keadilan yang hidup di masyarakat. Penegakan hukum
dalam arti sempit hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal
dan tertulis saja. Pembedaan antara aturan formal hukum yang tertulis
dengan cakupan nilai keadilan yang dikandungnya juga muncul dalam
bahasa inggris, yaitu dengan dikembangkannya istilah “the rule of law”
atau dalam istilah “ the rule of law and not of a man” versus istilah “ the
rule by law” yang berarti “the rule of man by law” . Istilah “ the rule of law”
mengandung makna pemerintahan oleh hukum, tetapi bukan dalam arti
formal, melainkan mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di
dalamnya. Istilah “the rule of law and not of man”, dimaksudkan untuk
menegaskan bahwa pada hakikatnya pemerintahan suatu negara hukum
modern itu dilakukan oleh hukum, bukan oleh orang. Istilah sebaliknya
adalah “the rule by law” yang dimaksudkan sebagai pemerintahan oleh
orang yang menggunakan hukum sekedar sebagai alat kekuasaan
belaka.11
Uraian di atas menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan penegakan
hukum merupakan upaya yang dilakukan untuk menjadikan hukum, baik
dalam arti formil yang sempit maupun dalam arti materil yang luas,
sebagai pedoman perilaku dalam setiap perbuatan hukum, baik oleh para
subyek hukum yang bersangkutan maupun oleh aparatur penegak hukum
yang resmi diberi tugas dan kewenangan oleh undang-undang untuk
menjamin berfungsinya norma-norma hukum yang berlaku dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

b. Faktor-faktor Dalam Penegakan Hukum


1.) Faktor Aparat Penegak Hukum
Faktor ini meliputi bagian-bagian yang bergerak dalam mekanisme
penegakan hukum. Bagian-bagian itu adalah aparatur penegak hukum
yang diharapkan mampu memberikan kepastian, keadilan, dan

11
Ibid

8
kemanfaatan hukum secara proporsional. Aparatur penegak hukum
mencakup pengertian mengenai institusi penegak hukum dan aparat
(orangnya) penegak hukum. Aparatur penegak hukum dalam arti sempit,
dimulai dari polisi, jaksa, hakim, penasehat hukum dan petugas-petugas
sipir lembaga pemasyarakatan. Setiap aparat dan aparatur yang terkait
mencakup pula pihak-pihak yang bersangkutan dengan tugas atau
perannya, yaitu terkait dengan kegiatan pelaporan atau pengaduan,
penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pembuktian, penjatuhan vonis dan
pemberian sanksi, serta upaya pemasyarakatan kembali (resosialisasi)
terpidana. 12
Ada 3 (tiga) elemen penting yang mempengaruhi mekanisme
bekerjanya aparatur penegak hukum, yaitu: (i) institusi penegak hukum
beserta berbagai perangkat sarana dan prasarana pendukung dan
mekanisme kerja kelembagaannya; (ii) budaya kerja yang terkait dengan
aparatnya, termasuk mengenai kesejahteraan aparatnya, dan (iii)
perangkat peraturan yang mendukung baik kinerja kelembagaannya
maupun yang mengatur materi hukum yang dijadikan standar kerja, baik
hukum materilnya maupun hukum acaranya. Upaya penegakan hukum
secara sistematik haruslah memperhatikan ketiga aspek itu secara
simultan, sehingga proses penegakan hukum dan keadilan secara internal
dapat diwujudkan secara nyata.13
Secara sosiologis, setiap aparat penegak hukum tersebut
mempunyai kedudukan (status) dan peranan (role). Kedudukan (sosial)
merupakan posisi tertentu di dalam struktur kemasyarakatan. Kedudukan
tersebut merupakan wadah, yang isinya hak dan kewajiban tertentu. Hak
dan kewajiban tadi merupakan peranan atau role, oleh karena itu maka
seseorang yang mempunyai kedudukan tertentu, lazimnya mempunyai
peranan. Suatu hak merupakan wewenang untuk berbuat dan tidak

12
Ibid
13
Ibid

9
berbuat, sedangkan kewajiban adalah beban atau tugas. Suatu peranan
tertentu dapat dijabarkan dalam unsur-unsur sebagai berikut:14
- Peranan yang ideal (ideal role);
- Peranan yang seharusnya (expected role);
- Peranan yang dianggap oleh diri sendiri
(perceived role);
- Peranan yang sebenarnya dilakukan (actual
role)
Peranan yang ideal dan peranan yang seharusnya berasal dari pihak-
pihak lain yang telah dirumuskan dalam beberapa undang-undang dan
peraturan hukum lainnya., sedangkan peranan yang dianggap oleh diri
sendiri dan peranan yang sebenarnya dilakukan berasal dari diri pribadi
yang kemudian menimbulkan diskresi. Diskresi menyangkut pengambilan
keputusan yang tidak terikat oleh hukum, karena penilaian pribadi lah
yang memegang peranan.
2.) Faktor Hukum
Faktor ini meliputi ketentuan-ketentuan dan aturan-aturan hukum,
baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Untuk mengetahui suatu
ketentuan merupakan ketentuan hukum yang berlaku atau bukan harus
dilihat dari ajaran atau teori sumber hukum. Sumber hukum merupakan
suatu teori atau ajaran tentang ukuran yang digunakan untuk menentukan
apakah suatu ketentuan merupakan ketentuan hukum atau bukan.
Adapun ukuran yang digunakan adalah:15
• Ukuran isi atau materi ketentuan hukum;
• Ukuran proses pembentukan atau pembuatan ketentuan
hukum.
Dengan menggunakan dua ukuran ini, maka sumber hukum menurut
pengertian diatas dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
a.) Sumber hukum materiil
14
Soerjono Soekanto, 2002, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, hlm.14.
15
F.Sugeng Istanto, Op.Cit, hlm.17-18.

10
Sumber hukum materiil adalah prinsip yang menetukan isi
ketentuan hukum yang berlaku. Suatu ketentuan yang isinya sesuai
dengan isi prinsip yang berlaku atau diterima dalam kehidupan
masyarakat yang bersangkutan adalalah ketentuan hukum. Sebaliknya,
jika suatu ketentuan hukum tidak sesuai dengan prinsip-prinsip yang
berlaku atau diterima umum di dalam masyarakat maka ketentuan yang
bersangkutan bukan merupakan ketentuan hukum.
b.) Sumber hukum formil
Sumber hukum formil adalah suatu proses yang menjadikan suatu
ketentuan menjadi ketentuan hukum positif. Suatu ketentuan merupakan
ketentuan hukum jika proses pembentukan atau pembuatannya sesuai
dengan proses yang berlaku dalam masyarakat. Proses pembentukan
hukum yang berlaku dalam dalam suatu masyarakat pada umumnya ada
dua macam, yaitu:
• Perundang-undangan (wetgeving atau legislation) merupakan
proses pembentukan hukum yang harus memenuhi dua syarat,
yaitu dilakukan oleh organ negara yang berwenang dan melalui
prosedur yang telah ditentukan.
• Kebiasaan (custom) merupakan proses pembentukan hukum yang
tidak memenuhi salah satu atau dua syarat di atas. Proses
pembentukan hukum berupa kebiasaan ini juga harus memenuhi
dua syarat, yaitu sebagai berikut:
- Syarat materiil, yaitu adanya suatu pengulangan
perbuatan yang sama yang dilakukan secara
berulang-ulang atau terus menerus sehingga
menimbulkan suatu kebiasaan.
- Syarat psikologis, yaitu adanya opinion juris sive
necessitates yaitu adanya kesadaran dari masyarakat
bahwa pengulangan itu merupakan akibat dari suatu
keharusan sehingga masyarakat menerima kebiasaan
itu sebagai kaidah yang mengikat.

11
Sumber hukum formil dalam bentuk peraturan perundang-undangan di
negara Republik Indonesia diatur dalam Tap MPR Nomor III/ MPR/ 2000
tentang Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, yaitu:
1. UUD 1945
2. Ketetapan MPR
3. Undang-undang
4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU)
5. Peraturan Pemerintah
6. Keputusan Presiden
7. Peraturan Daerah.

3.) Faktor fasilitas pendukung


Fasiltas pendukung secara sederhana dapat dirumuskan sebagai
sarana untuk mencapai tujuan. Ruang lingkupnya terutama adalah sarana
fisik yang berfungsi sebagai faktor pendukung. Fasilitas pendukung
mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi
yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup dan
sebagainya. Jika faktor fasilitas pendukung tidak dipenuhi maka mustahil
penegakan hukum akan mencapai tujuannya. Kepastian dan kecepatan
penyelesaian perkara tergantung pada fasilitas pendukung yang ada
dalam bidang-bidang pencegahan dan pemberantasan kejahatan.
4.) Faktor masyarakat
Penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk
mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Masyarakat mempunyai
pendapat-penadapat tertentu mengenai hukum. Ada beberapa pengertian
atau arti yang diberikan pada hukum, yaitu sebagai berikut:16
• Hukum diartikan sebagai ilmu pengetahuan;
• Hukum diartikan sebagai disiplin, yakni sistem ajaran tentang
kenyataan;

16
Soerjono Soekanto, Op. Cit, hlm.35

12
• Hukum diartikan sebagai norma atau kaidah, yakni pedoman
perilaku baik yang diharapkan;
• Hukum diartikan sebagai tata hukum;
• Hukum diartikan sebagai petugas atau pejabat;
• Hukum diartikan sebagai keputusan pejabat atau penguasa;
• Hukum diartikan sebagai proses pemerintahan;
• Hukum diartikan sebagai perilaku teratur dan unik;
• Hukum diartikan sebagai jaminan nilai;
Berbagai pengertian tersebut diatas timbul karena masyarakat
hidup dalam konteks yang berbeda sehingga yang seharusnya
dikedepankan adalah keserasiannya supaya ada titik tolak yang sama.
Masyarakat juga mempunyai kecenderungan yang besar untuk
mengartikan hukum dan bahkan mengidentifikasikannya dengan petugas
(dalam hal ini adalah penegak hukum sebagai pribadi). Salah satu
akibatnya adalah bahwa baik buruknya hukum senantiasa dikaitkan
dengan pola perilaku penegak hukum tersebut yang menurut pendapatnya
merupakan pencerminan dari hukum sebagai struktur dan proses.
Keadaan tersebut juga dapat memberikan pengaruh baik, yakni bahwa
penegak hukum akan merasa bahwa perilakunya senantiasa mendapat
perhatian dari masyarakat.
Masalah lain yang timbul sebagai akibat anggapan masyarakat
tersebut diatas adalah mengenai segi penerapan perundang-undangan.
Jika penegak hukum menyadari dirinya dianggap hukum oleh masyarakat,
maka kemungkinan penafsiran mengenai pengertian perundang-
undangan bisa terlalu luas atau bahkan sempit. Selain itu mungkin timbul
kebiasaan untuk kurang menelaah bahwa perundang-undangan
kadangkala tertinggal dengan perkembangan di dalam masyarakat.
Anggapan-anggapan masyarakat tersebut harus mengalami perubahan
dalam kadar tertentu. Perubahan tersebut dapat dilakukan melalui
penerangan atau penyuluhan hukum yang berkesinambungan dan
senantiasa dievaluasi hasil-hasilnya, untuk kemudian dikembangkan lagi.
13
Kegiatan-kegiatan tersebut nantinya akan dapat menempatkan hukum
pada kedudukan dan peranan yang semestinya.17

c. Mekanisme Penegakan Hukum


Berbicara mengenai masalah penegakan hukum sebenarnya tidak
dapat dilepaskan dari pemikiran-pemikiran tentang efektivitas hukum yang
mampu menjamin bahwa hukum ditegakkan secara proporsional.
Penegakan hukum yang mengandung prinsip proporsional adalah
penegakan hukum yang mampu menegakkan tidak saja aturan normatif
(aspek kepastian hukum), tapi juga aspek filosofinya (aspek dan nilai
keadilan). Untuk menuju terwujudnya penegakan hukum secara
proporsional dimaksud, sangat diperlukan adanya media dan perangkat
yang disebut sistem peradilan.18 Terkait dengan fokus kajian ini adalah
sistem peradilan pidana. Sistem peradilan pidana di dalamnya selalu
melibatkan dan mencakup sub-sistem dengan ruang lingkup masing-
masing tahap proses peradilan pidana seperti yang diungkapkan oleh
Martiman Prodjohamidjojo, yaitu sebagai berikut:19
• Tahap penyidikan dilakukan oleh Kepolisian Republik
Indonesia;
• Tahap penuntutan yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut
Umum;
• Tahap pemeriksaan di sidang pengadilan yang dipimpin oleh
Hakim;
• Tahap pelaksanaan putusan pengadilan yang dilaksanakan
oleh Jaksa dan Lembaga Pemasyarakatan dengan
pengawasan Ketua Pengadilan.
Sistem peradilan memuat sub-sistem yang di dalamnya mengatur
mekanisme dan prosedur penegakan hukum yang kemudian dikenal

17
Ibid, hlm.42-43
18
Sidik Sunaryo, Op.Cit,hlm.217.
19
M.Karyadi& R.Soesilo, 1997, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Bogor:Politea,
hlm.23

14
dengan hukum acara pidana. Menurut Wiryono Prodjodikoro seperti yang
dikutip oleh Andi Hamzah menyatakan bahwa hukum acara pidana
berhubungan erat dengan adanya hukum pidana, oleh karena itu
merupakan suatu rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara
bagaimana badan-badan pemerintah yang berkuasa, yaitu Kepolisian,
Kejaksaan, dan Pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan negara
dengan mengadakan hukum pidana.20
Simon merumuskan bahwa hukum acara pidana disebut juga
hukum pidana formal untuk membedakannya dengan hukum pidana
material. Hukum pidana material berisi petunjuk dan uraian tentang delik,
peraturan tentang syarat-syarat dapat dipidananya suatu perbuatan,
petunjuk tentang orang yang dapat dipidana, dan aturan tentang
pemidanaan: mengatur kepada siapa dan bagaimana pidana itu dapat
dijatuhkan. Hukum pidana formal, mengatur bagaimana negara melalui
alat-alatnya melaksanakan haknya untuk memidana dan menjatuhkan
pidana.21
Serangkaian sub-sistem sebagaimana tersebut di atas, untuk
negara Indonesia mengacu pada kodifikasi hukum pidana formil, yakni
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang diberlakukan
dengan UU RI No.8 Tahun 1981. KUHAP menjadi dasar pijakan
penegakan hukum pidana materiil. Ketentuan mengenai proses beracara
untuk kasus-kasus pidana di Indonesia harus mengacu pada ketentuan
KUHAP. Berdasarkan KUHAP penegakan hukum mencakup proses tahap
penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
pengadilan. Berikut ini adalah penjelasan mekanisme penegakan hukum
yang meliputi proses tahap seperti tersebut di atas.
1. Penyelidikan
Pasal 1 butir 5 KUHAP memberi definisi penyelidikan sebagai
berikut:

20
Andi Hamzah,2001, Hukum Acara Pidana Indonesia , Jakarta: Sinar Grafika, hlm.7.
21
Ibid,hlm.4.

15
Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari
dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak
pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan
menurut cara yang diatur undang-undang ini.
Penyelidikan merupakan tindakan tahap pertama permulaan “penyidikan”.
Sebelum dilakukan tindakan penyidikan, dilakukan terlebih dahulu
penyelidikan oleh pejabat penyelidik, dengan maksud dan tujuan
mengumpulkan bukti permulaan atau bukti yang cukup agar dapat
dilakukan tindak lanjut penyidikan. Penyelidikan merupakan bagian yang
tak terpisahkan dari fungsi penyidikan. Penyelidikan dapat juga disamakan
dengan pengertian tindakan pengusutan sebagai usaha mencari dan
menemukan jejak berupa keterangan dan bukti-bukti sesuatu peristiwa
yang di duga merupakan tindak pidana.22
Pihak yang berwenang melakukan penyelidikan diatur dalam Pasal
1 butir 4 KUHAP, yaitu sebagai berikut:
Penyelidik adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia yang
diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan
penyelidikan.

Pasal di atas menegaskan bahwa yang berwenang melaksanakan fungsi


penyelidikan adalah hanya pejabat polisi Negara Republik Indonesia, tidak
dibenarkan adanya campur tangan dari instansi atau pejabat lain. Fungsi
dan wewenang penyelidik meliputi ketentuan yang diatur dalam Pasal 5
KUHAP, yang dapat dipisahkan dan ditinjau dari beberapa segi, yaitu: 23
a. Fungsi dan wewenang berdasar hukum, meliputi:
- Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang
tentang adanya tindak pidana;
- Mencari keterangan dan barang bukti;
- Menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan
menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;

22
M.Yahya Harahap, 2000, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan
Penuntutan, Jakarta:Sinar Grafika, hlm.101
23
Ibid, hlm.103-108

16
- Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang
bertanggung jawab.
b. Kewenangan berdasarkan Perintah Penyidik, meliputi:
- Penangkapan, larangan meninggalkan tempat,
penggeledahan dan penyitaan;
- Pemeriksaan dan penyitaan surat;
- Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
- Membawa dan menghadapkan seseorang pada penyidik.
c. Kewajiban penyelidik membuat dan menyampaikan
laporan.
2. Penyidikan
Pasal 1 butir 2 KUHAP memberikan definisi penyidikan sebagai
berikut:
Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari
serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang
tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan
tersangkanya.

Tindakan penyidikan titik berat tekanannya diletakkan pada tindakan


mencari serta mengumpulkan bukti supaya tindak pidana yang ditemukan
dapat menjadi terang serta agar dapat menemukan dan menentukan
pelakunya. Pihak yang berwenang melakukan penyidikan diatur dalam
Pasal 1 butir 1 KUHAP, yaitu sebagai berikut:
Penyidik adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia atau
pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenangn
khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.

Pasal di atas sudah menjelaskan pihak-pihak yang disebut penyidik,


kemudian dipertegas dan diperinci lagi dalam Pasal 6 KUHAP yang
menjelaskan siapa yang berwenang sebagai penyidik ditinjau dari segi

17
instansi maupun kepangkatan. Bertitik tolak dari ketentuan Pasal 6
KUHAP tersebut, yang berhak diangkat sebagai pejabat penyidik adalah:24
1.) Pejabat Penyidik Polri
Ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf a menjelaskan bahwa salah satu
instansi yang berwenang melakukan tindakan penyidikan adalah pejabat
polisi Negara Republik Indonesia. Berdasarkan diferensiasi fungsional,
KUHAP telah meletakkan tanggung jawab fungsi penyidikan kepada
instansi kepolisian, dan agar seorang pejabat polisi dapat diberi jabatan
sebagai penyidik, maka harus memenuhi syarat kepangkatan
sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 6 ayat (2) KUHAP. Penjelasan
Pasal 6 ayat (2) KUHAP tersebut menguraikan kedudukan dan
kepangkatan penyidik yang diatur dalam Peraturan Pemerintah, yang
diselaraskan dan diseimbangkan dengan kedudukan Penuntut Umum dan
Hakim Peradilan Umum.
Berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (1) KUHAP Pejabat Penyidik
Polri karena kewajibannya mempunyai wewenang sebagai berikut:
- Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang
adanya tindak pidana;
- Melakukan tindakan pertama pada saat ditempat kejadian;
- Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda
pengenal diir tersangka;
- Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan
penyitaan;
- Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
- Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
- Memanggil orang untuk di dengar dan diperiksa sebagai
tersangka atau saksi;
- Mendatangkan orang yang ahli yang diperlukan dalam
hubungannya dengan pemeriksaan perkara;

24
Ibid,hlm.109-113.

18
- Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung
jawab.
2.) Penyidik Pegawai Negeri Sipil
Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) diberi wewenang khusus
oleh undang-undang, yang diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b.
Wewenang yang dimiliki oleh PPNS bersumber pada ketentuan undang-
undang pidana khusus, yang telah menetapkan sendiri pemberian
wewenang penyidikan dalam salah satu pasal-pasalnya. Jadi, selain
pejabat penyidik Polri, undang-undang pidana khusus tertentu juga
memberikan wewenang kepada PPNS yang bersangkutan untuk
melakukan penyidikan. Satu hal penting yang perlu diingat bahwa
berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (1) KUHAP, wewenang penyidikan
yang dimiliki oleh PPNS hanya terbatas sepanjang menyangkut tindak
pidana yang diatur dalam undang-undang pidana khusus yang menjadi
dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada
di bawah koordinasi dan pengawasan pejabat penyidik Polri.
3. Penuntutan
Pasal 1 butir 7 KUHAP memberikan definisi penuntutan sebagai
berikut:
Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan
perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam dan
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan
permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang
pengadilan.

Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan kepada siapapun yang


didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan
melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili.25
Penuntutan dilakukan oleh penuntut umum, Pasal 13 KUHAP menjelaskan
bahwa “Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-
undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan putusan

25
Andi Hamzah, Op.Cit,hlm.157-158

19
hakim”. Selain penjelasan arti penuntut umum yang terdapat dalam Pasal
13 KUHAP tersebut di atas, penjelesan definisi penuntut umum terlebih
dahulu telah diuraikan dalam Pasal 1 butir 6 KUHAP, yaitu sebagai
berikut:
a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-
undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta
melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.
b. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh
undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan
melaksanakan penetapan hakim.
Berdasarkan ketentuan Pasal 14 KUHAP, penuntut umum mempunyai
wewenang meliputi:
- Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari
penyidik atau penyidik pembantu;
- Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada
penyidikan dengan memberikan petunjuk dalam rangka
penyempurnaan penyidikan dari penyidik;
- Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan
penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah
status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh
penyidik;
- Membuat surat dakwaan;
- Melimpahkan perkara ke pengadilan;
- Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang
ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai
surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada
saksi untuk datang pada sidang yang telah ditentukan;
- Melakukan penuntutan;

20
- Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan
tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan
undnag-undang ini;
- Melaksanakan penetapan hakim.
4. Pemeriksaan di Sidang Pengadilan
Pelaksanaan sidang pengadilan dipimpin oleh hakim. Pasal 1 butir
8 KUHAP memberikan definisi tentang hakim, yaitu:
Hakim adalah pejabat pengadilan negara yang diberi wewenang
oleh undang-undang untuk mengadili.

Pengertian mengadili juga dirumuskan dalam Pasal 1 ayat 9 KUHAP, yaitu


sebagai berikut:
Mengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima,
memeriksa dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas,
jujur dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
Menurut sistem yang dianut di Indonesia seperti yang telah dikemukan di
atas, sidang di pengadilan di pimpin oleh hakim. Hakim harus aktif
bertanya dan memberi kesempatan kepada pihak terdakwa yang diwakili
oleh penasehat hukumnya untuk bertanya kepada saksi-saksi, begitu pula
kepada penuntut umum. Semua itu dilakukan untuk mencari kebenaran
materiil, karena hakim bertanggung jawab atas segala yang
diputuskannya.26

3. Wilayah Laut Indonesia


Pengaturan tentang kedaulatan dan yurisdiksi negara di laut secara
komprehensif diatur dalam UNCLOS 1982 yang mengakui hak negara-
negara untuk melakukan klaim atas pelbagai macam zona laut dengan
status hukum yang berbeda-beda. Selama ini pengertian wilayah secara
yuridis terbatas pada masalah kedaulatan, sedangkan dalam pengaturan
berdasarkan hukum laut internasional dikenal adanya yurisdiksi negara di
bagian-bagian laut yang bukan wilayah negara, maka pembahasan pada

26
Ibid,hlm.97

21
sub bagian ini tidak dapat dilepaskan dari masalah tersebut diatas.
Kepentingan nasional Indonesia di laut tidak hanya terbatas pada zona-
zona laut yang merupakan wilayah negara, tetapi juga meliputi bagian-
bagian laut di luar wilayah negara dimana Indonesia memiliki kedaulatan
dan yurisdiksi untuk pemanfaatannya.

a. Wilayah Laut Di Bawah Kedaulatan Republik Indonesia


Wilayah laut Indonesia yang berada di bawah kedaulatan RI meliputi:
1. Perairan Pedalaman
Aturan hukum internasional mengatur mengenai pengertian
perairan pedalaman dalam Convention on the Territorial Sea and
Contiguous Zone 1958 yang menyatakan bahwa perairan pedalaman
mencakup “perairan di sisi darat laut wilayah (teritorial)”.27 Sedangkan
dalam UNCLOS 1982, pengertian perairan pedalaman dinyatakan dalam
Pasal 8 ayat (1) “ Kecuali sebagaimana diatur dalam Bagian IV, perairan
pada sisi darat garis pangkal laut teritorial merupakan bagian perairan
pedalaman wilayah negara tersebut”.28
Aturan hukum nasional dalam Pasal 1 ayat (3) UU No.4 Tahun
1960 tentang Perairan Indonesia menyatakan bahwa perairan pedalaman
Indonesia adalah “Semua perairan yang terletak pada sisi dalam
sebagaimana yang dimaksud pada ayat 2”.29 Pasal 3 ayat (4) UU No. 6
Tahun 1966 tentang Perairan Indonesia dinyatakan bahwa “Perairan
Pedalaman Indonesia adalah semua perairan yang terletak pada sisi darat
dari garis air rendah dari pantai-pantai Indonesia, termasuk didalamnya
semua bagian dari perairan yang terletak sisi darat garis penutup
sebagaimana dimaksud pasal 7”.30 Berikut ini adalah ketentuan Pasal 7
tersebut:31

27
Artikel 5 ayat (1) Convention on the Territorial Sea and Contiguous Zone 1958
28
Artikel 8 ayat (1) UNCLOS 1982
29
Pasal 1 ayat (3) UU No.4 Tahun 1960
30
Pasal 3 ayat (4) UU.6 Tahun 1996
31
Pasal 7 UU.No.6 Tahun 1996

22
(1) Di perairan kepulauan, untuk penetapan batas perairan
pedalaman, Pemerintah Indonesia dapat menarik garis-garis
penutup pada mulut sungai, kuala, teluk, anak laut dan pelabuhan.
(2) Perairan pedalaman terdiri atas:
a. Laut pedalaman;
b. Perairan darat.
(3) Laut pedalaman sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a
adalah bagian laut yang terletak pada sisi darat garis penutup,
pada sisi laut garis terendah.
(4) Perairan darat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b
adalah segala perairan yang terletak pada sisi darat garis rendah
kecuali pada mulut sungai.
Daerah dasar laut yang berada dibawah perairan pedalaman,
walaupun secara geografis merupakan bagian landas kontinen, namun
secara yuridis bagian tersebut tidak termasuk landas kontinen, tetapi
masuk rezim laut wilayah.32 Perairan pedalaman dianggap dianggap
sebagai bagian yang merupakan satu kesatuan dengan negara pantai.
Negara pantai mempunyai kedaulatan penuh dalam lingkup perairan
pedalaman termasuk kekayaan-kekayaan alam yang terkandung baik di
permukaan dasar laut maupun dalam tanah dibawahnya. Kedaulatan
penuh yang dimiliki oleh negara pantai atas perairan pedalaman dan
ketiadaan hak umum untuk melintas secara damai di perairan itu
menyebabkan tidak adanya hak bagi kapal asing untuk memasuki
perairan pedalaman tanpa ijin, apalagi ikut mengambil kekayaan hayati
maupun kekayaan mineral yang terdapat di perairan pedalaman
2. Perairan Kepulauan
Perairan kepulauan (ArchpelagicWaters) sebenarnya berasal dari
konsep negara kepulauan (Archpelagic States) yang dihasilkan oleh pakar
hukum laut internasional baik yang berasal dari negara-negara kepulauan
maupun bukan negara-negara kepulauan. Berdasarkan hasil pemikiran

32
Hasjim Djalal, 1979, Perjuangan Indonesia di Bidang Hukum Laut, Jakarta: BPHN, hlm.39.

23
pakar-pakar hukum laut internasional tersebut, pada sidang-sidang United
Nations Sea-Bed Committee, empat negara kepulauan yaitu Indonesia,
Filiphina, Fiji, Mauritius berhasil menyusun dan memperkenalkan
Rancangan Pasal-Pasal tentang negara kepulauan yang kemudian
dimasukkan dalam naskah perundingan konferensi. Perundingan
konferensi tersebut menghasilkan naskah Rancangan keempat negara
kepulauan yang ternyata mendapat dukungan yang positif dari negara
peserta. Namun, karena dalam penerapan garis pangkal kepulauan
diketahui akan mengakibatkan terjadinya perubahan laut yang
sebelumnya merupakan laut lepas menjadi perairan teritorial33 maka
sebagian besar negara-negara peserta konferensi mengusulkan agar
tetap diakuinya prinsip kebebasan pelayaran, penerbangan, perlunya
penetapan tentang penetapan garis pangkal, perlunya rumusan definsi
negara kepulauan secara obyektif dan status hukum perairan kepulauan
tersebut.
Menurut Mochtar Kusumaatmadja, perairan kepulauan adalah
perairan yang terletak di sisi dalam garis-garis pangkal kepulauan. Garis
pangkal kepulauan yang dimaksud adalah garis pangkal lurus kepulauan
yang menghubungkan titik terluar pulau-pulau dan karang kering terluar
negara kepulauan tersebut.34 Sedangkan menurut UNCLOS 1982,
perairan kepulauan adalah perairan yang ditutup oleh garis pangkal
kepulauan yang ditarik sesuai dengan ketentuan Pasal 47 tanpa
memperhatikan kedalaman atau jarak pantai.35 Rezim perairan kepulauan
menggunakan prinsip kedaulatan. Meskipun demikian, pelaksanaannya
dibatasi oleh ketentuan-ketentuan hukum internasional. Pembatasan
tersebut meliputi:
• Jaminan hak lintas damai bagi pelayaran kapal asing;36

33
Rebecca M.M Wallace, 1986, Hukum Internasional: Penerjemah Bambang Armunadi,
Semarang: Penerbit Ikip Semarang Press, hlm.148.
34
Mochtar Kusumaatmadja & Etty R.Agoes, 2003, Pengantar Hukum Internasional, Bandung:
PT.Alumni, hlm.179.
35
Artikel 49 ayat (1) UNCLOS 1982
36
Artikel 17 UNCLOS 1982

24
• Jaminan lintas alur laut kepualauan;
• Jaminan lintas transit; 37
• Jaminan dan penghormatan terhadap hak perikanan tradisional dan
kabel laut yang ada.38
3. Laut Teritorial
Beberapa literatur hukum laut menyebutkan istilah laut teritorial
dalam berbagai istilah. Browlie menggunakan istilah the maritime belt,
marginal sea, dan territorial water. Brierly menggunakan istilah territorial
sea atau internal water. Laut teritorial harus dibedakan dengan perairan
pedalaman (internal water atau national water).39 Tetapi secara umum
istilah yang digunakan adalah laut teritorial (territorial sea).
Aturan hukum internasional yang mengatur pengertian tentang laut
teritorial, dinyatakan dalam Konvensi Den Haag 1930 bahwa “Wilayah
negara meliputi suatu jalur laut yang dalam konvensi ini dinamakan laut
territorial dan kedaulatan negara pantai meliputi ruang udara diatas
teritorial, demikian pula dasar laut dari laut teritorial dan tanah
dibawahnya”.40 Konvensi ini belum menetapkan lebar laut teritorial yang
menjadi hak negara pantai. Sedangkan Konvensi Jenewa 1958 mengenai
Laut Teritorial dan Jalur Tambahan merumuskan bahwa laut teritorial
merupakan suatu jalur yang terletak sepanjang pantai suatu negara yang
berada di bawah kedaulatan negara”.41 Konvensi ini juga belum
bersepakat mengenai lebar laut teritorial, tapi negara-negara peserta
mengemukakan berbagai klaim mengenai lebar laut teritorial, yakni mulai
dari 3 mil – 6 mil, bahkan sampai muncul pendapat bahwa negara-negara
dapat menentukan batas laut teritorialnya sendiri. UNCLOS 1982
mengatur bahwa “Kedaulatan suatu negara pantai, selain wilayah daratan
dan perairan pedalamannya, dan dalam hal suatu negara kepulauan,

37
Artikel 38 UNCLOS 1982
38
Artikel 51 UNCLOS 1982
39
Chairul Anwar, 1982, Hukum Internasional: Horizon Baru Hukum Laut Internasional,
Jakarta:Djambatan, hlm.15.
40
Artikel 1 dan 2 Konvensi Den Haag 1930
41
Artikel Konvensi Jenewa 1958 tentang Laut Teritorial dan Jalur Tambahan

25
perairan kepulauannya, meliputi pula suatu jalur laut yang berbatasan
dengannya yang dinamakan laut teritorial.”42 Konvensi ini berhasil
menetapkan batas laut teritorial yaitu 12 mil laut diukur dari garis pangkal
pantai.
Aturan hukum nasional yang mengatur mengenai laut teritorial
adalah UU No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia yang
menetapkan bahwa lebar laut teritorial Indonesia adalah 12 mil laut yang
diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia.43 Mengenai status hukum
Laut Teritorial berlaku prinsip kedaulatan negara, yang dalam
pelaksanaannya dibatasi oleh ketentuan-ketentuan hukum internasional.

b. Wilayah Laut Di Bawah Yurisdiksi Republik Indonesia


Wilayah laut Indonesia yang berada di bawah yurisdiksi Republik
Indonesia meliputi:
1. Zona Tambahan
Starke berpendapat bahwa zona tambahan adalah suatu jalur
perairan yang berdekatan dengan batas jalur maritim, tidak termasuk
kedaulatan negara pantai, tetapi dalam zona itu negara pantai dapat
melaksanakan hak-hak pengawasan tertentu untuk tujuan kesehatan atau
peraturan-peraturan lainnya.44
Aturan hukum internasional yang mengatur tentang zona tambahan
adalah UNCLOS 1982 yaitu “Dalam suatu zona yang berbatasan dengan
laut teritorialnya, yang dinamakan zona tambahan, Negara pantai dapat
melaksanakan pengawasan yang diperlukan untuk mencegah
pelanggaran peraturan perundang-undangannya, bea cukai, fiskal,
imigrasi dan saniter di wilayah laut teritorialnya, serta menghukum
pelanggar peratuan perundang-undangan tersebut diatas yang dilakukan

42
Artikel 2 ayat (1) UNCLOS 1982
43
Pasal 3 ayat (2) UU. No.6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia
44
J.G.Starke, 2001, Pengantar Hukum Internasional I, Edisi Kesepuluh, Jakarta: Sinar Grafika,
hlm.328.

26
di dalam wilayah atau laut tertorialnya.”45 Sedangkan lebar zona
tambahan ditetapkan maksimal 24 mil laut dari garis pangkal laut
teritorial.46 Karena lebar zona tambahan diukur 24 mil laut dari garis
pangkal laut teritorial diukur, maka harus dikurangi 12 mi laut yang
merupakan bagian laut teritorial itu. Sehingga, sebenarnya lebar zona
tambahan adalah hanya 12 mil laut.
Mengenai aturan hukum nasional, sampai sekarang Indonesia
belum membuat Undang-undang yang secara khusus mengatur tentang
zona tambahan. Untuk itu, peraturan perundangan yang dapat dijadikan
sebagai pedoman dalam mengklaim atau menetapkan zona tambahan
adalah UU No. 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan Konvensi Hukum
Laut 1982, UU No. 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian, UU No.10 Tahun
1995 tentang Kepabeanan, UU No.23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, UU
No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, UU No.22 Tahun 1997 tentang
Narkotika dan lainnya.
Dalam rezim zona tambahan tidak berlaku kedaulatan negara
sebagaimana di laut teritorial, melainkan hanya berlaku yurisdiksi negara.
Di luar yurisdiksi tersebut, maka zona tambahan tetap merupakan laut
lepas kecuali jika negara pantai menetapkan Zona Ekonomi Eksklusif.
2. Zona Ekonomi Eksklusif
Zona ekonomi eksklusif diartikan sebagai suatu daerah di luar laut
teritorial yang lebarnya tidak boleh melebihi 200 mil laut diukur dari garis
pangkal yang digunakan untuk mengukur lebar laut teritorial, yang tunduk
pada rezim hukum khusus berdasarkan hak dan yurisdiksi negara pantai
serta hak dan kebebasan negara lain. Berdasarkan pengertian tersebut,
maka unsur-unsur zona ekonomi eksklusif meliputi:
1. Zona ekonomi eksklusif adalah bagian laut yang terletak di luar laut
teritorial;

45
Artikel 33 ayat (1) UNCLOS 1982
46
Artikel 33 ayat (2) UNCLOS 1982

27
2. Keberadaannya di luar laut teritorial tidak diselingi oleh bagian laut
lain tetapi langsung berdampingan dengan laut teritorial itu sendiri;
3. Zona ekonomi eksklusif diatur oleh rezim hukum khusus karena
UNCLOS 1982 menetapkan hak dan yurisdiksi Negara pantai dan
sekarang juga diakui hak serta kebebasan negara lain.
Lebar zona ekonomi eksklusif ditetapkan 200 mil laut diukur dari
garis pangkal tempat mengukur lebar laut teritorial. Garis pangkal yang
dimaksud adalah suatu garis awal yang menghubungkan titik-titik terluar
yang diukur pada kedudukan garis air rendah (low water line), dimana
batas-batas kea rah laut baik laut teritorial, jalur tambahan, zona eknomi
eksklusif maupun landas kontinen.
Penetapan batas zona ekonomi eksklusif antara dua negara yang
saling berhadapan atau berdampingan harus ditetapkan berdasarkan
perjanjian internasional. Namun, apabila tidak tercapai kesepakatan di
antara kedua negara tersebut, maka perselisihan mengenai zona ekonomi
eksklusif harus diselesaikan melalui jalur penyelesaian secara damai.
Sebaliknya apabila telah tercapai kesepakatan mengenai zona ekonomi
eksklusif, maka kedua negara yang telah menetapkan batas itu memiliki
kewajiban sebagai berikut:
(1) Penarikan garis batas luar zona ekonomi eksklusif dan garis
penetapan batas harus dicantumkan pada peta atau daftar
koordinat geografis batas zona eknomi eksklusif tersebut;
(2) Harus mengumumkan peta atau daftar koordinat geografis batas
zona ekonomi eksklusif;
(3) Harus mendepositkan satu copy atau salinan dari setiap peta atau
daftar koordinat itu pada Sekretaris Jenderal PBB.
Letak zona ekonomi eksklusif berada di luar laut teritorial,
sedangkan ruang lingkupnya mencakup permukaan air (floor), kolom air
(colloum), dasar laut (seabed) dan tanah dibawahnya (subsoil). Oleh
karena letaknya di luar laut teritorial maka status zona ekonomi eksklusif
tidak tunduk pada kedaulatan negara melainkan tunduk pada dua rezim

28
hukum yaitu sumber daya alam yang terkandung di dalamnya tunduk pada
hak berdaulat negara pantai dan status perairan laut serta tanah di
bawahnya tunduk pada rezim hukum laut bebas.
Hak negara pantai di zona ekonomi eksklusif berupa hak berdaulat
dan yurisdiksi. Hak berdaulat itu meliputi:
(1) Melakukan eksplorasi yaitu kegiatan inventarisasi sumber daya
alam di zona ekonomi eksklusif;
(2) Melakukan eksploitasi yaitu kegiatan untuk mengelola atau
memanfaatkan sumber daya alam di zona ekonomi eksklusif;
(3) Melakukan konservasi yaitu kegiatan yang bersifat perlindungan
demi tersedianya cadangan sumber daya alam hayati di zona
ekonomi eksklusif.
Sumber daya alam yang merupakan obyek dari hak berdaulat
tersebut mencakup sumber daya alam yang terdapat pada perairan, dasar
laut, dan tanah di bawah dasar laut, termasuk pemanfaatan tenaga air,
arus dan angin yang ada di zona ekonomi eksklusif. Berkenaan dengan
pengelolaan dasar laut dan tanah di bawahnya, Pasal 56 ayat (3)
UNCLOS 1982 menetapkan tunduk pada ketentuan landas kontinen yang
diatur dalam Bab VI UNCLOS ini. Yurisdiksi negara pantai di zona
ekonomi eksklusif meliputi:
(1) Pembuatan dan pemakaian pulau buatan, instalasi dan bangunan;
(2) Riset ilmiah kelautan;
(3) Perlindungan dan pelestarian lingkungan laut.
Selain itu, negara pantai juga memiliki hak untuk melakukan
penegakan hukum terhadap peraturan perundang-undangan sebagai
berikut:
(1) Menaiki, melakukan inspeksi, menahan, dan mengajukan ke
pengadilan kapal-kapal beserta awaknya;
(2) Kapal-kapal dan awaknya yang ditahan akan dibebaskan segera
setelah dilakukan pembayaran uang jaminan;

29
(3) Negara pantai dalam melakukan penahanan kapal-kapal asing
harus segera memberitahu perwakilan negara bendera kapal atas
tindakan yang diambil dan denda yang dikenakan;
(4) Dalam hal tidak terdapat suatu perjanjian internasional, negara
pantai atas pelanggaran hukum dan perundangan penangkapan
ikan dari zona ekonomi eksklusif tidak diperkenankan melakukan
hukuman penjara.

4. Implementasi Penegakan Hukum Di Wilayah Laut Indonesia


Penegakan hukum dilaut secara umum diartikan sebagai suatu
kegiatan negara atau aparatnya berdasarkan kedaulatan negara dan atau
berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum internasional. Penegakan
hukum di laut menjamin agar supaya peraturan hukum yang berlaku di
laut baik aturan hukum nasional maupun internasional ditaati oleh setiap
orang dan atau badan hukum termasuk negara sebagai subyek hukum
sehingga dengan demikian dapat tercipta ketertiban dan kepastian hukum
diwilayah laut. Penegakan hukum di wilayah laut oleh negara atau
aparatnya pada hakekatnya adalah terselenggaranya penegakan
kedaulatan negara itu sendiri, karena kewenangan dan kemampuan
penyelenggaraan hukum pada dasarnya bersumber pada kedaulatan
negara dan merupakan pengejawantahan kedaulatan.
Kepemilikan wilayah laut yang luas dan kaya membawa
konsekuensi akan mengundang pihak asing untuk mencoba mengambil
kekayaan yang terkandung di dalamnya. Untuk menjelaskan tentang
kewenangan penegakan hukum Indonesia di wilayah lautnya menurut
perspektif hukum internasional, maka digunakan prinsip yurisdiksi teritorial
dan prinsip yurisdiksi teritorial yang diperluas. UNCLOS 1982 yang telah
diratifikasi Indonesia dengan UU RI Nomor 17 Tahun 1985 memberikan
kewenangan negara pantai untuk menegakkan hukumnya pada tiap rezim
perairan Indonesia baik di wilayah perairan yang masuk dalam

30
kedaulatannya maupun dalam wilayah dimana Indonesia mempunyai
yurisdiksi.
Menurut teori, kekuasaan negara pantai di dalam pelabuhan dan
perairan pedalamannya sangat luas, tapi pertimbangan praktis telah
membawa sebagian besar negara-negara dalam menggunakan
kekuasaannya dengan bijak terhadap kapal-kapal asing yang melintas di
pelabuhannya. Jadi, suatu praktek telah di bangun sebagai satu
penghormatan pelaksanaaan yurisdiksi atas peristiwa-peristiwa yang
terjadi di atas kapal asing ketika berlabuh di pelabuhannya.
Untuk mengetahui kewenangan Indonesia sebagai negara pantai
dalam menegakkan hukumnya di wilayah laut di bawah kedaulatannya,
maka penting untuk diketahui mengenai yurisdiksi yang
merepresentasikan hak dan kewenangan negara tersebut atas penerapan
hukum nasionalnya. Penegakan hukum di wilayah laut Indonesia
menggunakan yurisdiski yang berasaskan teritorial. Asas teritorial
menetapkan bahwa yurisdiksi negara berlaku bagi orang, perbuatan, dan
benda yang ada di wilayahnya. Berlakunya yurisdiksi teritorial berdasarkan
kedaulatan negara yang bersangkutan atas wilayahnya.Yuridiksi teritorial
juga diartikan sebagai kekuasaan negara secara geografis yang
menggambarkan bagian permukaan bumi dan ruang angkasa di atasnya
serta tanah di bawahnya yang merupakan kedaulatan atas wilayahnya
baik meliputi orang maupun benda di dalamnya.
Prinsip yurisdiksi teritorial digunakan untuk menentukan
kewenangan negara pantai sebagai existing powers untuk menanggulangi
tindak pidana yang terjadi di wilayah lautnya. Penerapan yurisdiksi
teritorial dalam upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana yang
terjadi di Indonesia memberikan pemahaman bahwa prinsip ini
menganggap hukum pidana Indonesia berlaku dalam wilayah Republik
Indonesia bagi siapapun yang melakukan tindak pidana.

31
Selain darat, wilayah negara juga meliputi wilayah laut dan udara
yang diatur oleh hukum internasional. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 2
KUHP yang menyatakan bahwa:47
Aturan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi
setiap orang yang melakukan tindak pidana di wilayah negara
Indonesia.

Sesuai rumusan pasal di atas, maka terwujud kedaulatan negara


Indonesia di dalam wilayahnya. Prinsip ini kemudian diperluas oleh Pasal
3 KUHP yang menyatakan bahwa:
Ketentuan pidana perundang-undangan Indonesia berlaku bagi
setiap orang yang berada di luar Indonesia melakukan tindak
pidana di dalam kapal Indonesia.

Maka, dengan demikian siapa saja, juga orang-orang asing, dalam kapal-
kapal laut Indonesia meskipun sedang berada atau berlayar dalam
wilayah negara lain takluk pada hukum pidana Indonesia. Ini berarti bahwa
siapa saja yang melakukan tindak pidana di dalam atau di atas suatu
kapal Indonesia meskipun dalam laut wilayah negara lain dapat dituntut
dan dihukum oleh pengadilan negara Indonesia. Hal ini tidak mengurangi
kemungkinan bahwa dalam negara asing tersebut, menurut peraturan
hukum negara asing tersebut, seseorang yang melakukan tindak pidana
tadi juga dapat dipidana oleh pengadilan negara asing itu.
Hak-hak berdaulat dan yurisdiksi khusus yang dimiliki Indonesia
atas wilayah laut di bawah yurisdiksi mengandung arti bahwa Indonesia
berhak mengatur segalanya tanpa mengesampingkan hukum
internasional, terutama hukum laut. Untuk mengetahui yurisdiksi Indonesia
dalam penegakan hukum tindak pidana di laut, Indonesia dapat
menerapkan yurisdiksi dengan asas teritorial yang diperluas, yang tunduk
pada pembatasan-pembatasan yang ditentukan oleh hukum kebiasaan
internasional, perjanjian, dan prinsip-prinsip umum yang diakui oleh
bangsa-bangsa beradab. Asas teritorial yang diperluas menetapkan

47
Pasal 2 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia

32
bahwa yurisdiksi negara kecuali berlaku bagi orang, perbuatan dan benda
yang ada di wilayahnya, juga berlaku bagi orang, perbuatan dan benda
yang ada atau terjadi di luar wilayahnya. Negara mempunyai yurisdiksi
atas orang, perbuatan, dan benda tersebut, kecuali bila orang, perbuatan,
dan benda itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan negara tadi. Asas
teritorial yang diperluas digunakan Indonesia sebagai negara pantai untuk
menentukan hak berdaulatnya atas wilayah-wilayah laut di luar wilayahnya
sendiri.
Tindakan aparat penegak hukum tindak pidana di laut dalam
mengambil langkah pengamanan maupun hal-hal lainnya yang dianggap
penting harus memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang
Republik Indonesia No.8 Tahun 1981 tentang KUHAP. KUHAP mengatur
tentang mekanisme dan prosedur bagi aparat penegak hukum dalam
melaksanakan tugasnya.
Guna mewujudkan stabilitas keamanan di laut diperlukan upaya
untuk menghadapi segala bentuk gangguan dan ancaman di laut dengan
mengerahkan kekuatan dari berbagai instansi yang berwenang
melaksanakan penegakan hukum di laut. Oleh karena itu, prioritas yang
perlu dikedepankan adalah bagaimana kegiatan operasional di laut dapat
dilaksanakan secara efektif dengan semua kekuatan aparat negara
dikerahkan secara sinergis. Bila ditinjau dari pembagian rezim laut
berdasarkan wilayah laut yang berada di bawah kedaulatan dan yurisdiksi
Republik Indonesia, maka di bawah ini dapat dimatrikulasikan peran
aparat penegak hukum, khususnya di bidang penyidikan yaitu sebagai
berikut:48

NO Jenis Tindak Pidana Perairan Perairan Zona ZEEI > 200


Pedalaman Kepulauan/ Laut Tambahan mil
Teritorial
1 Pembajakan (TZMKO TNI AL/ POLRI TNI AL / POLRI TNI AL TNI AL TNI AL
Tahun 1939)
2 Perikanan (UU No.31 PPNS DKP TNI AL / PPNS TNI AL TNI AL -

48
Pokok-pokok Pikiran TNI AL Tentang Keamanan Di Laut, Op.Cit, hlm.19.

33
Tahun 2004) DKP
3 Cagar Budaya (UU No PPNS DIKNAS/TNI PPNS DIKNAS/TNI TNI AL TNI AL -
5 Tahun 1992) AL AL
4 Konservasi Sumber POLRI/PPNS POLRI/PPNS -
Daya Alam (UU No.5 KEHUTANAN/PPN KEHUTANAN/PPN TNI AL TNI AL
Tahun 1990) S PERIKANAN S PERIKANAN/TNI
AL
5 Lingkungan Hidup (UU PPNS PPNS - - -
No.23 Tahun 1997) LH/POLRI/TNI AL LH/POLRI/TNI AL
6 Kehutanan (UU No.41 POLRI/PPNS POLRI/PPNS - - -
Tahun 1999) KEHUTANAN/TNIA KEHUTANAN/TNI
AL AL
7 Pelayaran (UU No.21 TNI TNI - - -
Tahun 1992) AL/POLRI/PPNS AL/POLRI/PPNS
HUBLA HUBLA
8 Bahan Bakar Minyak POLRI POLRI - - -
9 Kepabeanan (UU PPNS BEA CUKAI PPNS BEA CUKAI PPNS BEA - -
No.10 Tahun 1995) CUKAI
10 Keimigrasian (UU No.9 POLRI/PPNS POLRI/PPNS POLRI / - -
Tahun 1992) IMIGRASI IMIGRASI PPNS
IMIGRASI
11 Narkotika dan POLRI/PPNS POLRI/PPNS POLRI / - -
Psikotropika (UU No. KESEHATAN KESEHATAN PPNS
22 Tahun 1997 dan UU KESEHAT
No.5 Tahun 1997) AN/ BEA
CUKAI
12 Senjata POLRI POLRI - - -
Api/Amunisi/Bahan
Peledak ( UU No.12 Drt
Tahun 1951)

Kewenangan penyidikan masing-masing aparat penegak hukum di


laut di atur dalam undang-undang yang masing-masing memberi legitimasi
untuk bertindak sesuai bidangnya. Keseluruhan jenis tindak pidana di laut
pada dasarnya dikategorikan sebagai tindak pidana khusus, jadi dalam hal
ini berlaku asas hukum lex specialis derogate legi generali, atau aturan
hukum yang khusus mengesampingkan aturan hukum yang umum.
Meskipun demikian KUHAP tetap menjadi pedoman dalam mekanisme
beracara setiap tindak pidana.
Tindak pidana di laut yang aparat penyidiknya di laksanakan oleh
Polri, maka setelah melakukan penyidikan, berkas penyidikan langsung
diserahkan kepada Penuntut Umum, hal ini diatur dalam Pasal 8 ayat (2)
KUHAP yang menyatakan bahwa penyidik menyerahkan berkas perkara
kepada penuntut umum. Sedangkan tindak pidana di laut yang aparat

34
penyidiknya dilaksanakan oleh PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil)
kewenangannya secara umum diatur dalam Pasal 6 ayat 1 huruf b
KUHAP yang menyatakan bahwa penyidik adalah pejabat pegawai negeri
sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. Pada
dasarnya wewenang yang dimiliki PPNS bersumber pada ketentuan
undang-undang pidana khusus. Jadi, disamping penyidik Polri, undang-
undang pidana khusus tersebut juga memberikan wewenang kepada
PPNS untuk melakukan penyidikan.
Wewenang penyidikan PPNS hanya terbatas pada sepanjang
menyangkut dengan tindak pidana yang sesuai bidangnya masing-
masing. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 7 ayat (2) KUHAP yang
menyatakan bahwa penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat 1 huruf b mempunyai wewenang sesuai dengan
undang-undang yang menjadi landasan hukumnya masing-masing dan
dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi penyidik Polri.
Jadi, kewenangan PPNS hanya sesuai dengan lingkup yang diberikan
oleh Undang-undang yang menjadi dasar pelaksanaan tugas PNS yang
bersangkutan, di luar itu PNS tersebut tidak berwenang melakukan
penyidikan.
Apabila PPNS telah selesai melakukan penyidikan, maka hasil
penyidikan tersebut harus diserahkan kepada penuntut umum. Cara
penyerahan hasil penyidikan kepada penuntut umum dilakukan PPNS
melalui penyidik Polri. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 107 ayat (3)
KUHAP yang menyatakan bahwa dalam hal tindak pidana telah selesai
disidik oleh PPNS maka ia segera menyerahkan hasil penyidikannya
kepada penuntut umum melalui penyidik Polri.
Penyidik Polri berwenang untuk memeriksa segala kekurangan
yang dilakukan oleh PPNS sebelum meneruskan hasil penyidikan PPNS
tersebut kepada penuntut umum. Wewenang penyidik Polri dalam
pemeriksaan hasil penyidikan PPNS itu dimaksudkan untuk menghindari
pengembalian berkas perkara oleh penuntut umum berdasarkan

35
ketentuan Pasal 110 ayat (2) KUHAP, yakni penuntut umum dapat segera
mengembalikan hasil penyidikan kepada penyidik apabila berpendapat
bahwa hasil penyidikan dianggap kurang lengkap.
Jika hasil penyidikan tersebut sudah lengkap dan diterima oleh
penuntut umum, kemudian penuntut umum dengan segala
kewenangannya melimpahkan berkas perkara tersebut ke Pengadilan
Negeri yang berwenang mengadili pelanggaran dan kejahatan terhadap
ketentuan tentang tindak pidana di laut. Pengadilan yang dimaksud adalah
Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat dimana
dilakukan penahanan kapal dan atau pelakunya. Inilah yang disebut
kompetensi relatif. Pasal 84 KUHAP mengatur mengenai kompentensi
relatif ini yang menyatakan bahwa pengadilan negeri berwenang
mengadili segala perkara mengenai tindak pidana yang dilakukan di
daerah hukumnya.
Legalitas kewenangan Perwira TNI AL untuk melakukan penyidikan
terhadap tindak pidana di laut dari waktu ke waktu mengalami
perkembangan yang cukup signifikan. Bila diurut sesuai perkembangan
zaman, kewenangan tersebut tidak pernah dicabut atau dihapus bahkan
diperkuat dan diatur di dalam berbagai perundang-undangan, dimulai dari
produk hukum jaman pemerintahan Belanda, produk hukum nasional
hingga konvensi hukum laut internasional terkini (UNCLOS 1982).
Kewenangan sebagai penyidik tersebut dicantumkan secara jelas dalam
pasal perundang-undangan dan hingga saat ini masih berlaku sebagai
hukum positif yang dilaksanakan dan diterima dalam praktek proses
peradilan di Indonesia. Berikut ini adalah dasar hukum Perwira TNI AL
sebagai penyidik:
a. Ordonansi (Undang-undang) TZMKO (Territoriale Zee En
Maritime Kringen Ordonantie) Staatsblad 1939 No 442
Undang-undang tentang kelautan jaman Pemerintahan Hindia Belanda ini
masih berlaku walaupun beberapa pasalnya ada yang telah dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku. Ketentuan yang penting mengenai acara

36
pelaksanaan penegakan hukum di laut menurut ordonansi tersebut antara
lain dalam Pasal 13, Pasal 14, dan Pasal 15.
Pasal 13:
1.) Penegakan dan pengawasan atau ditaatinya aturan-aturan ordonansi
ini, dibebankan kepada Panglima Angkatan Laut di Surabaya,
komandan-komandan kapal perang Republik Indonesia dan
pangkalan-pangkalan udara Angkatan Laut, nakhoda-nakhoda kapal-
kapal Direktorat Jendral Perhubungan Laut, orang-orang yang ada di
bawah perintah panglima-panglima, komandan-komandan, nakhoda-
nakhoda ini, yang untuk itu diberi surat perintah dari mereka, perwira-
perwira Direktorat Jenderal Perhubungan Laut yang diserahi pimpinan
atas kapal-kapal daerah, syahbandar-syahbandar dan pejabat-pejabat
yang bertugas sebagai demikian, pandu-pandu, demikian pula
juragan-juragan kapal daerah dan selanjutnya orang –orang yang
ditunjuk oleh Kepala Staf Angkatan Laut.
2.) Sejauh hal demikian diperlukan untuk menjamin pemasukan bea-bea
negara, pejabat-pejabat bea cukai juga diserahi tugas dengan
penegakan dan pengawasan dimaksud dalam pasal satu.

Pasal 14:
Selain dari orang-orang yang pada umumnya, ditugaskan dengan
pengusutan-pengusutan tindak-tindak pidana, maka orang-orang yang
disebut dalam pasal terdahulu berwenang untuk mengusut tindak-tindak
pidana yang ditetapkan dengan atau berdasarkan pada ordonansi ini,
demikian pula pelanggaran-pelanggaran dari ketentuan-ketentuan
larangan mengenai pemasukan, pengeluaran dan pengangkutan melalui
laut, dan tindak-tindak pidana yang diuraikan dalam pasal 167 dan 168,
sejauh pasal-pasal ini mengenai memasuki dengan melawan hukum
kapal-kapal stasion pandu, kapal-kapal suar, dan bangunan mercu suar
pantai, pasal 196 sampai dengan pasal 199, 324 sampai dengan 326,
438 sampai dengan 443, 447 sampai dengan 451, 473 dan 564 sampai
dengan 566 dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Pasal 15:
1. Orang-orang yang ditugaskan dengan pengusutan tindak-tindak
pidana dimaksud dalam pasal terdahulu, dengan memperhatikan
yang ditetapkan dalam pasaal 17, berwenang untuk menahan dan
memeriksa kapal-kapal dan alat-alat penyeberang yang pelayar-
pelayarnya disangka melakukan atau mempersiapkan perbuatan-
perbuatan yang bertentangan dengan aturan-aturan yang
ditetapkan dengan atau berdasarkan ordonansi ini, ataupun
pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan dimaksud
dalam pasal terdahulu. Sejauh menyangkut juragan-juragan kapal-
kapal daerah wewenang ini terbatas pada kapal-kapal nelayan dan

37
alat-alat penyeberang berukuran kurang dari 100 meter kubik isi
kotor.
2. Mereka menuntut, supaya kepada mereka diperhatikan surat-surat
kapal untuk meyakinkan diri mengenai kebangsaan kapal, pemilik
kapal, tempat dimana kapal didaftarkan dan keterangan-keterangan
lainnya yang dapat berguna bagi pemeriksaan.
3. Mereka berwenang untuk menyita benda-benda – di dalamnya
termasuk kapal-kapal atau alat-alat penyeberang – dengan mana
atau dengan bantuan mana, menurut sangkaan telah dilakukan
tindak pidana, demikian pula benda-benda yang menurut sangkaan
telah diperoleh dengan jalan tindak pidana.

b. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1983


tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
Pasal 14 ayat (1) UU NO.5 Tahun 1983
Aparatur penegak hukum di bidang penyidikan di Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia adalah Perwira Tentara Nasional Indonesia
Angkatan Laut yang ditunjuk oleh panglima Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia.

c. UNCLOS 1982
Pemerintah Indonesia telah meratifikasi UNCLOS 1982 melalui UU RI
No.17 Tahun 1985. Berikut ini adalah ketentuan dalam UNCLOS 1982
yang dapat dijadikan dasar hukum bagi tindakan penyidikan yang
dilakukan oleh TNI AL (dalam hal ini Kapal Republik Indonesia) sebagai
pelaksana tugas penegakan kedaulatan dan hukum di laut. Pasal 29
UNCLOS memberikan batasan pengertian kapal perang, yaitu kapal yang
awaknya sebagai aparat penegak kedaulatan dan hukum di laut, batasan
itu adalah sebagai berikut:
Untuk maksud Konvensi ini “Kapal Perang” berarti suatu kapal yang
dimiliki oleh angkatan bersenjata suatu negara yang memakai tanda
luar yang menunjukkan ciri khusus kebangsaan kapal tersebut, di
bawah komando seorang perwira yang diangkat untuk itu oleh
pemerintah negaranya dan yang namanya terdapat di dalam daftar
dinas militer yang tepat atau daftar serupa, dan yang diawaki oleh
awak kapal yang tunduk pada angkatan bersenjata reguler.

Berdasarkan ketentuan pasal diatas, UNCLOS 1982 melalui perundang-


undangan nasional secara yuridis formal memberikan kewenangan

38
penegakan hukum bagi kapal perang terhadap setiap bentuk kejahatan,
dalam hal ini adalah tindak pidana di laut.
Berkaitan dengan hasil penyidikan terhadap tindak pidana di laut,
maka Perwira TNI AL langsung menyerahkan kepada penuntut umum,
tidak perlu melalui penyidik Polri seperti halnya PPNS. Ketentuan yang
menjadi dasar hukumnya adalah Pasal 284 KUHAP yang menyatakan
bahwa dalam dua tahun setelah undang-undang ini (KUHAP) ini
diundangkan, maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan
undang-undang ini (KUHAP), dengan pengecualian untuk sementara
mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada
undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan
tidak berlaku lagi. Berdasarkan uraian Pasal 284 KUHAP, maka yang
dimaksud dengan “ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut
pada undang-undang tertentu” adalah ketentuan khusus acara pidana
yang terdapat dalam undang-undang yang mengatur tentang beberapa
tindak pidana di laut.
Hasil penyidikan yang disampaikan kepada penuntut umum jika
kurang lengkap langsung dikembalikan kepada penyidik Perwira TNI AL
untuk dilengkapi disertai dengan petunjuk, tanpa perlu berkoordinasi lagi
seperti penyidik PPNS. Apabila hasil penyidikan dalam berkas perkara
sudah lengkap maka penyidik TNI AL kemudian menyerahkan tersangka
dan barang bukti kepada penuntut umum dilengkapi dengan Berita Acara
Serah Terima. Penuntut umum dengan segala kewenangannya
melimpahkan berkas perkara tersebut ke Pengadilan Negeri yang
berwenang mengadili pelanggaran dan kejahatan terhadap ketentuan
tentang tindak pidana di laut. Pengadilan yang dimaksud adalah
Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat dimana
dilakukan penahanan terhadap kapal dan atau pelakunya.
Aparat penegak hukum yang berwenang menangani tindak pidana
bidang penyidikan di wilayah laut di bawah kedaulatan Indonesia dan di
wilayah laut di bawah yurisdiksi Indonesia berbeda. Prosedur penyerahan

39
hasil penyidikan tiap aparat penegak hukum kepada penuntut umum juga
berbeda. Hasil penyidikan PPNS sebelum disampaikan ke penuntut umum
harus terlebih dahulu disampaikan kepada penyidik Polri, hal ini untuk
menghindari dikembalikannya berkas perkara oleh penuntut umum. Hasil
penyidikan Perwira TNI AL tidak disampaikan kepada penyidik Polri
seperti halnya PPNS, tapi langsung disampaikan kepada penuntut umum.
Pertanggungjawaban hasil penyidikan masing-masing aparat penyidik
kepada satu instansi tertentu tidak ada, karena PPNS hanya berkoordinasi
dengan penyidik Polri, dan penyidik TNI AL berdiri sendiri sehingga
masing-masing menyerahkan berkas perkara penyidikan kepada penuntut
umum. Pertanggungjawaban merupakan hal yang mutlak dari setiap
pelaksanaan tugas, karena berfungsi untuk mengevaluasi atas hasil yang
telah dicapai apakah sesuai dengan tujuan yang ditentukan bersama atau
tidak.
Persoalan yang timbul dalam masalah penegakan hukum di
wilayah laut Indonesia adalah mengenai lemahnya koordinasi antara
aparat penegak hukum yang terjadi karena semangat superioritas dan
merasa mempunyai kewenangan antar mereka, sehingga sikap dan sifat
karakter introvert dan ekslusivitas dari masing-masing aparat penegak
hukum yang mempunyai kewenangan penyidikan tindak pidana di laut
menjadi kendala struktural dari aparat penegak hukum tersebut. Tumpang
tindihnya peraturan perundangan memberikan kewenangan beragam
pada aparat penegak hukum untuk menegakkan hukum di laut, dalam hal
ini pada tahap proses penyidikan.

4. Kesimpulan
Proses penegakan hukum akan berjalan efektif jika ada keserasian
antara 4 (empat) faktor yang mencakup faktor hukum, aparat penegak
hukum, fasilitas atau sarana pendukung, dan masyarakat yang diatur
sebagai subyek hukum. Faktor hukum penting untuk mengetahui suatu
ketentuan merupakan ketentuan hukum yang berlaku atau bukan yang

40
bisa dilihat dari ajaran atau teori sumber hukum. Sumber hukum materiil
adalah prinsip yang menetukan isi ketentuan hukum yang berlaku. Suatu
ketentuan yang isinya sesuai dengan isi prinsip yang berlaku atau diterima
dalam kehidupan masyarakat yang bersangkutan adalalah ketentuan
hukum. Sebaliknya, jika suatu ketentuan hukum tidak sesuai dengan
prinsip-prinsip yang berlaku atau diterima umum di dalam masyarakat
maka ketentuan yang bersangkutan bukan merupakan ketentuan hukum.
Sumber hukum formil adalah suatu proses yang menjadikan suatu
ketentuan menjadi ketentuan hukum positif. Suatu ketentuan merupakan
ketentuan hukum jika proses pembentukan atau pembuatannya sesuai
dengan proses yang berlaku dalam masyarakat. Jika dilihat dari faktor
hukum tersebut, maka peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai penegakan hukum di laut adalah merupakan ketentuan hukum
yang berlaku. Permasalahan muncul yang kemudian berpengaruh pada
faktor aparat penegak hukum adalah karena masing-masing peraturan
perundang-undangan itu memberikan legitimasi yang sama kepada setiap
aparat penegak hukum di laut tersebut, sehingga terjadi tumpang tindih
kewenangan. Kewenangan merupakan hak yang melahirkan peranan.
Peranan yang ideal dan peranan yang seharusnya berasal dari pihak-
pihak lain yang telah dirumuskan dalam beberapa undang-undang dan
peraturan hukum lainnya., sedangkan peranan yang dianggap oleh diri
sendiri dan peranan yang sebenarnya dilakukan berasal dari diri pribadi
yang kemudian menimbulkan diskresi. Diskresi menyangkut pengambilan
keputusan yang tidak terikat oleh hukum, karena penilaian pribadi lah
yang memegang peranan.
Bervariasinya aparat penegak hukum dalam bidang penyidikan
disamping menyebabkan konflik kepentingan antar aparat penegak hukum
dalam menyikapi kewenangan yang melekat kepadanya, juga
menciptakan celah hukum bagi oknum penyidik untuk mempermainkan
hukum itu sendiri. Penyimpangan yang sering terjadi adalah dengan
kewenangan yang melekat pada tiap aparat penegak hukum itu mereka

41
melakukan diskresi atas tindakan-tindakan yang seharusnya merujuk pada
batasan-batasan hukum, dalam hal ini adalah peraturan perundang-
undangan. Ego sektoral masing-masing penyidik masih menjadi dominasi
dari penyebab penyimpangan tersebut. Kenyataan inilah yang menjadi
salah satu faktor kriminogen terhadap timbulnya permasalahan hukum
proses beracara pidana yang disamping secara inheren muncul dari
kelemahan mendasar produk peraturan yang membingkai ketentuan
proses beracara pidana tersebut, tetapi juga menjadi sebab dari
penyimpangan-penyimpangan prosedural yang lahir dari kebijakan dan
diskresi yang dikeluarkan oleh aparat penegak hukumnya.
Faktor fasilitas atau sarana pendukung juga mempunyai peran
yang signifikan dalam upaya penegakan hukum di laut. Bagaimana
mungkin suatu negara mampu mempertahankan kedaulatannya jika tidak
didukung oleh infrastruktur yang baik. Idealnya, untuk mengamankan
wilayah laut Indonesia, termasuk Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, yang
secara keseluruhan seluas 5,8 juta km², dibutuhkan 543 kapal. Dengan
perhitungan adanya pergiliran (employment cycle), yakni 50 persen
beroperasi dan 50 persen perbaikan, maka dibutuhkan sebanyak 1.086
kapal. Saat ini untuk mengawal kawasan seluas itu, armada yang ada
hanya berjumlah 180 kapal. Terdiri dari 114 kapal milik TNI AL, 20 kapal
milik Polri, 37 kapal milik Bea Cukai, dan 9 kapal milik KPLP. Bila dari
unsur yang siap beroperasi sebanyak 50 persen atau sekitar 90 kapal,
maka wilayah patrolinya menjadi sangat terbatas.
Faktor masyarakat juga mempunyai kecenderungan pengaruh yang
besar terhadap upaya penegakan hukum. Masyarakat mengartikan hukum
dan bahkan mengidentifikasikannya dengan petugas (dalam hal ini adalah
aparat penegak hukum sebagai pribadi). Salah satu akibatnya adalah
bahwa baik buruknya hukum senantiasa dikaitkan dengan pola perilaku
penegak hukum tersebut yang menurut pendapatnya merupakan
pencerminan dari hukum sebagai struktur dan proses. Masalah lain yang
timbul sebagai akibat anggapan masyarakat tersebut diatas adalah

42
mengenai segi penerapan perundang-undangan. Jika penegak hukum
menyadari dirinya dianggap hukum oleh masyarakat, maka kemungkinan
penafsiran mengenai pengertian perundang-undangan bisa terlalu luas
atau bahkan sempit.
Berdasarkan hasil penelitian, di bagian akhir tulisan ini penulis
dapat menarik kesimpulan bahwa luasnya wilayah laut Indonesia yang
tidak didukung oleh aparat penegak hukum yang loyal terhadap hukum
dan peraturan perundang-undangan serta tidak didukung oleh infrastruktur
yang memadai membawa akibat tidak efektifnya proses penegakan
hukum di wilayah laut Indonesia.
Saran yang ingin disampaikan dalam naskah karya tulis ini adalah
bahwa tumpang tindih peraturan perundang-undangan di wilayah laut
yang memberikan legitimasi kepada masing-masing aparat penegak
hukum di laut segera dituntaskan. Hal itu bisa dilakukan dengan membuat
keputusan presiden yang dapat dijadikan payung hukum nasional dalam
gerakan pemberantasan tindak pidana atau pelanggaran di wilayah laut
Indonesia. Perlunya melengkapi sarana dan prasarana dalam melakukan
pengawasan dan penegakan hukum, baik dari teknologinya maupun
sumber daya manusianya, karena tidak dapat dipungkiri bahwa luasnya
wilayah laut Indonesia memerlukan sarana dan prasarana yang harus
memadai. Selain itu, oknum-oknum petugas dan aparat penegak hukum
yang sering mempermainkan hukum harus dibenahi dan dibersihkan.
Meski peraturan perundang-undangan di benahi serta sarana dan
prasarana dilengkapi, tapi tanpa diikuti pembenahan mental dan
pembersihan oknum-oknum petugas dan aparat penegak hukum, maka
mustahil penegakan hukum di laut Indonesia dapat efektif dilaksanakan.

43

You might also like