You are on page 1of 21

PENELUSURAN SUMBER DAYA HAYATI LAUT (ALGA) SEBAGAI

BIOTARGET INDUSTRI

(MAKALAH)

Oleh :
Nama : Eri Bachtiar
NIP : 132317992

UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
JATINANGOR
2007
Lembar Pengesahan

Judul : Penelusuran Sumber Daya Hayati Laut : Alga sebagai Biotarget Industri

Nama Eri Bachtiar, S.Si., M.Si


NIP 132317992
Tempat dan Tanggal Lahir Cianjur, 08 Oktober 1978
Jenis Kelamin Pria
Pendidikan Tertinggi S2
Pangkat dan Golongan Penata muda TK.I (IIIb) / 01 April 2006
Ruang/TMT
Jabatan Fungsional/TMT Asisten Ahli
Fakultas/Jurusan Perikanan dan Ilmu Kelautan

Jatinangor, September 2007

Menyetujui :

Ketua Program Studi Ilmu Kelautan


Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran

Prof. Dr. H. Dulmi’ad Iriana, Ir


NIP. 130354281
Kata Pengantar

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas

karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul ”Penelusuran

Sumber Daya Hayati Laut (Alga) sebagai Biotarget Industri”.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, sehingga

kritik dan saran yang bersifat membangun sangatlah diharapkan. Akhirnya penulis

berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu

pengetahuan.

Jatinangor, 10 September 2007

Eri Bachtiar
Pendahuluan

Dua pertiga luas wilayah Indonesia adalah lautan yang mempunyai potensi

sumberdaya alam yang sangat penting bagi kehidupan bangsa. Potensi tersebut

perlu dikelola secara tepat agar dapat dimanfaatkan secara optimal dan lestari bagi

kesejahteraan rakyat.

Indonesia merupakan negara kepulauan yang membentang mulai dari

6oLU sampai 10oLS dan dari 95oBT sampai 142oBT, mempunyai 17.508 buah

pulau besar dan kecil dengan garis pantai sepanjang 80.791 km. Indonesia

merupakan salah satu anggota Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai

keanekaragaman hayati dan salah satu dari tujuh negara yang mempunyai ”Mega

Biodiversitas” yang dikenal sebagai puisat konsentrasi keanekaragaman hayati

dunia. Walaupun kepulauan Indonesia hanya mewakili 1,3 % dari luas daratan

dunia, tetapi memiliki 25 % jenis ikan dunia, 17 % jenis burung, 16 % reptil dan

amphibi, 12 % mamalia, 10 % tumbuhan dan sejumlah inverterbrata, fungia dan

mikroorganisme (Gautam et al., 2000)

Keragaman sumberdaya hayati laut sering kali dijadikan argumen untuk

menggambarkan betapa besarnya kekayaan laut Indonesia. Kekayaan keragaman

hayati laut ingin segera dimanfaatkan, sesuai peran laut sebagai salah satu sumber

kehidupan masyarakat, bukan lagi tergantung pada daratan, dapat segera terwujud.

Oleh karena itu dalam menyikapi hal ini perlu landasan pemahaman yang

lebih jelas dimana letak keungulan keragaman hayati tersebut. Keragaman yang

tinggi dari suatu sumberdaya tidak akan selamanya terkait dengan keunggulan

baik kuantitatif maupun kualitatif. Di laut tropika pada umumnya dicirikan dengan
keragaman yang tinggi dari segi jumlah jenis, namun masing-masing

kelimpahannya kecil. Sebaliknya di negara beriklim sub tropis jumlah jenis relatif

sedikit, namun masing-masing kelimpahannya besar.

Lingkungan laut Indonesia dengan berbagai macam habitat yang ada di

dalamnya tersebar luas di antara dua wilayah laut, wilayah paparan dan wilayah

laut dalam. Terdapatnya dua paparan luas di bagian barat dan bagian timur

Indonesia yang dipisahkan oleh laut yang dalam memberikan gambaran akan

terdapatnya berbagai ragam jenis biota dan habitat (Tabel I).

Tabel 1. Keanekaragaman hayati dari perairan Indonesia (Moosa, 1999)

Kelompok Kelompok Jumlah Sumber


Taksa Utama Jenis
Tumbuhan Alga Hijau 196 Van Bosse, 1928
Alga Coklat 134 Van Bosse, 1928
Alga Merah 452 Van Bosse, 1928
Lamun 13 Den Hartog, 1970
Mangrove 38 Soegiarto & Polunin, 1981
Karang Scleractinia 461 Tomascik et al (1997)
Karang Lunak 210 Hermanlimianto, T.H.
Gorgonia 350 Hermanlimianto, T.H.
Spons Desmospongia 850 Van Soest
Moluska Gastropoda 1500 Kastoro, W.
Bivalvia 1000 Valentine, 1971
Krustasea Stomatopoda 112 Moosa, M.K.
Brachura 1400 Moosa, M.K.
Ekhinodermata Crinoidea 91 Clark & Rowe, 1971
Asteroidea 87 Clark & Rowe, 1971
Ophiuroidae 142 Clark & Rowe, 1971
Echhinoidae 284 Clark & Rowe, 1971
Holothuroidae 141 Clark & Rowe, 1971
Ikan Ikan Laut 2140 Fishbase, 1996
Reptilia Penyu 6 Rene Marquez, 1990
Buaya 1 Suwelo, 1998
Ular Laut 31 Tomascik et al, 1997
Burung Burung Laut 148 Van Balen
Mamalia Paus & Lumba-lumba 29 Suwelo, 1998
Duyung 1 Soegiarto & Polunin, 1981
Pengelolaan sumberdaya hayati laut telah didefinisikan sebagai penerapan

IPTEK kelautan terhadap permasalahan pemanfatan sumberdaya untuk

memperoleh hasil optimum dalam kegiatan perikanan komersial. Untuk itu

pengelolaan suatu sumberdaya hayati laut memerlukan pengetahuan yang

mendasari prinsip-prinsip biologi, ekologi dari sumberdaya tersebut. Selama ini

pengelolaan sumberdaya hayati laut pada umumnya hanya ditekankan pada

pengertian yang sempit yaitu berapa kelimpahan dan ukuran biota yang akan

dipanen. Akibat sempitnya pemahaman ini, mungkin dalam jangka pendek belum

dapat dilihat dampaknya, namun dalam waktu jangka panjang akan menghadapi

permasalahan yang sangat serius.

Alga

Didalam lautan terdapat bermacam-macam mahluk hidup baik berupa

tumbuhan air maupun hewan air. Salah satu mahluk hidup yang tumbuh dan

berkembang di laut adalah alga. Ada tiga divisi alga laut yaitu Cholorophyta (900

spesies), Phaeophyta (1000 spesies), dan Rhodophyta (2500 spesies).

Istilah alga pertama kali diperkenalkan oleh Linnaeus pada tahun 1754.

pada mulanya penjelasan dijalankan berdasarkan warna. Penjelasan alga

berdasarkan kepada ciri-ciri berikut :

1. Pigmen fotosintesis seperti klorofil dan karotenoid.

2. Komponen dinding sel

Bahan dinding sel terdiri dri polisakarida, lipid dan bahan protein.

Komponen khusus yang mencirikan dinding sel termasuk asam poliuronat,


asam alginat (Phaeophyta), asam fusinat (banyak terdapat pada

Phaeophyta) dan komponen mukopeptida (Cynophyta). Ciri khas yang

terdapat pada Chrysophyta ialah mempunyai dinding sel yang bersilika.

3. Aspek struktur sel

- Ketiadaan membran yang memisahkan nukleus

- Pembagian nukleus tidak berlaku secara mitosis seperti yang

berlaku pada eukariot.

- Adanya dinding sel yang melindungi mukopeptida tertentu sebagai

komponen yang menguatkannya.

Alga Hijau

Hanya kira-kira 10% dari 7000 spesies alga hijau (Divisi Chlorophyta)

ditemukan dilaut, selebihnya diair tawar. Dikenali dengan warna hijau rumput

yang dihasilkan adanya klorofil a dan b yang lebih dominan dibanding pigmen

lain. Pigmen-pigmen terdapat dalam plastid dan sangat tahan terhadap cahaya

panas. Dinding sel lapisan luar terbentuk dari bahan pektin sedangkan lapisan

dalam dari selulosa. Contohnya : Entermorpha, Caulerpa, Halimeda dan

Spirulina.

Spirulina adalah salah satu jenis alga hijau biru, seringkali ditemukan pada

air payau yang bersifat alkalis. Berdasarkan tempat asalnya, terdapat dua jenis

Spirulina yaitu Spirulina yang tumbuh di Meksiko dikenal dengan Spirulina

maxima dan Spirulina yang tumbuh di Afrika dikenal dengan Spirulina platensis.
Menurut Tseng (1987) Spirulina platensis termasuk alga hijau biru yang

mempunyai panjang 50-500 mikiron dan lebar 8-10 mikron. Alga S.platensis

berbentuk spiral dan memiliki sel yang tipis serta tidak berselaput inti. Sel

S.platensis mengandung kloroplas, kromatophora dan pigmen yang tersebar dalam

sitoplasma. Jenis alga S.platensis yang berukuran kecil mempunyai diameter sel

1-3 mikron dengan sitoplasma homogen.

Tubuh Spirulina disebut trichome uniseluler, kemudian potongan kecil

trichome yang terlepas dari filamen yang baru (Fogg et al. 1973). Proses

reproduksi yang terjadi pada alga Spirulina adalah dengan cara aseksual.

Filamen yang telah masak putus beberapa bagian membentuk sel baru

yang bentuknya biconcave selanjutnya bagian ini membentuk koloni sel yang

terdiri dari 2-4 sel dan memisahkan diri dari filamen induk menjadi filamen baru.

Sel-sel dalam filamen baru kemudian bertambah jumlahnya, sitoplasma menjadi

granular, warna sel menjadi hijau biru cerah dan ukuran filamen bertambah

panjang (Ciferri. 1983).

Menurut Santilan (1982) dalam budidaya Spirulina diperlukan

penambahan mineral seperti karbon, nitrogen, sulfur, potassium, posfor,

magnesium, dan kalsium. Menurut Venkataraman (1984), Spirulina dapat

ditumbuhkan dengan menggunakan larutan hasil pembusukan kotoran hewan atau

hasil buangan dari proses pembuatan biogas dengan bahan baku kotoran hewan

sebagai sumber nutrien anorganik.

Pemanenan alga Spirulina platensis dapat dilakukan dengan cara meyaring

alga tersebut dengan menggunakan saringan kain nylon yang berukuran 60-70
mesh. Air hasil penyaringan dapat digunakan lagi untuk budidaya Spirulina

platensis dengan penggunaan ulang sebanyak 2-3 kali.

Alga Spirulina platensis yang diperoleh dari hasil pemanenan dapat

dikeringkan dengan cara penjemuran dibawah sinar matahari pada suhu 32-35oC

selama 6-8 jam, atau dengan alat pengering modern misalnya oven pada suhu 80-

90 oC selama 4-6 jam.

Protein dari S.platensis kering dapat mencapai lebih dari 60% (Tabel.2).

kandungan vitaminnya tinggi terutama vitamin B12 (Suhartono. 2000).

Tabel 2. Komposisi alga Spirulina platensis dan Spirulina maxima

Komposisi ( %) Spirulina platensis Spirulina maxima


Air 6-10 4-7
Abu 4-5 6-9
Lemak kasar 9-14 9-14
Serat kasar 3-8 1
Karbohidrat kasar 10-18 8-13
Protein kasar 56-77 60-71
Alga Spirulina yang dibudidayakan di laboratorium mempunyai

kandungan protein lebih tinggi dibandingkan alga yang dibudidayakan di kolam

(Tabel. 3), (Ciferri. 1983).

Tabel 3. Perbandingan Nilai Nutrisi alga S. platensis dan S. maxima

Komponen (%) Spirulina platensis Spirulina maxima


Laboratorium Kolam Laboratorium Kolam
Protein kasar 64-74 61 68-77 60
Lemak kasar 9-14 12 9-14 15
Karbohidrat kasar 12-20 19 10-16 16
Abu 4-6 8 4-6 9
Protein S.platensis nialianya masih rendah dibandingkan protein daging

atau susu tetapi lebih tinggi protein nabati termasuk legumes dan beberapa jenis

alga lain seperti Uronema sp. dan Coelasatrum sp. (Ciferri. 1983).

Lipida Spirulina platensis telah dianalisa dan ditemukan kaya akan asam

lemka jenuh. Salah satu jenis yang utama adalah asam linoleat yang mencapai

20% total lipida (Suhartono, 2000). Alga tersebut juga mengandung asam amino

yang cukup lengkap.

Asam amino merupakan komposisi nutrisi penting yang mempengaruhi

tingkat kelangsungan hidup larva ikan laut pada stadia awal hidupnya (Yanti,

2002). Larva ikan mendapatkan suplai asam amino dalam jumlah besar dengan

mengkonsumsi plankton pada saat awal makannya. Pakan alami seperti

fitoplankton dan zooplankton mengandung asam amino meskipun kandungan

spesifiknya bervariasi (Yanti, 2002). Komposisi asam amino Spirulina platensis

dapat dilihat pada tabel 4.

Tabel 4. Komposisi Asam Amino Spirulina platensis

Asam amino Kandungan (%) Asam amino Non Kandungan


Esensial esensial (%)
Isolisin 3,7-4,1 Serin 3,2-4,0
Leusin 5,6-5,8 Alanin 5,0-5,8
Lisin 2,9-4,0 Arginin 4,5-5,9
Metionin 1,6-2,2 Asam aspartat 5,0-6,4
Fenilalanin 2,8-4,0 Sistin 0,6-0,7
Treonin 3,2-4,2 Asam glutamat 8,3-8,9
Triptofan 0,8-1,1 Glisin 3,2-3,5
Valin 4,2-6,0 Histidin 0,9-1,1
Prolin 2,7-3,0
Alga Coklat

Hampir 1000 spesies hidup di laut. Warna kuning dihasilkan oleh pigmen

fukoxantin (xanthos ”coklat”). Pigmen terkandung didalam plastid. Memiliki

dindingh sel lapisan luar dari bahan pektin (terutama alginat) sedangkan lapisan

dalam dari bahan selulosa. Kebanyakan spesies mempunyai kantong udara dan

pembiakannya secara seksual atau aseksual. Contohnya : Ectocarpus, Dictyota,

Padina, Kelpa Laminaria, Nereocystis, Alaria dan Agarum.

Alga Merah

Terdapat 3000 spesies alga merah (divisi Rhodophyta) ditemukan di laut.

Warna merah dihasilkan oleh pigmen merah yang dominan yaitu fikoeritrin.

Memiliki dinding sel selulosa dan sangat peka terhadap cahaya. Pigmen merah

mampu menyerap cahaya biru dan ungu. Kebanyakan ditemui di air dalam dan

berfilamen dengan ketebalan, lebar aturan filamen yang berbeda. Contohnya :

Gigartina, Porphyra.

Kegunaan alga

Ditinjau secara biologi, alga merupakan kelompok tumbuhan yang

berklorofil yang terdiri dari satu atau banyak sel dan berbentuk koloni. Didalam

alga terkandung bahan-bahan organik seperti polisakarida, hormon, vitamin,

mineral dan juga senyawa bioaktif. Sejauh ini, pemanfaatan alga sebagai komoditi

perdagangan atau bahan baku industri masih relatif kecil jika dibandingkan

dengan keanekaragaman jenis alga yang ada di Indonesia. Padahal komponen


kimiawi yang terdapat dalam alga sangat bermanfaat bagi bahan baku industri

makanan, kosmetik, farmasi dan lain-lain.

Berbagai jenis alga seperti Griffithsia, Ulva, Enteromorpna, Gracilaria,

Euchema, dan Kappaphycus telah dikenal luas sebagai sumber makanan seperti

salad rumput laut atau sumber potensial karagenan yang dibutuhkan oleh industri

gel. Begitupun dengan Sargassum, Chlorela/Nannochloropsis yang telah

dimanfaatkan sebagai adsorben logam berat, Osmundaria, Hypnea, dan Gelidium

sebagai sumber senyawa bioaktif, Laminariales atau Kelp dan Sargassum

Muticum yang mengandung senyawa alginat yang berguna dalam industri

farmasi. Pemanfaatan berbagai jenis alga yang lain adalah sebagai penghasil

bioetanol dan biodiesel ataupun sebagai pupuk organik.

Alga Laut sebagai Sumber Makanan

Kandungan bahan-bahan organik yang terdapat dalam alga merupakan

sumber mineral dan vitamin untuk agar-agar, salad rumput laut maupun agarose.

Agarose merupakan jenis agar yang digunakan dalam percobaan dan penelitian

dibidang bioteknologi dan mikrobiologi. Potensi alga sebagai sumber makanan

(terutama rumput laut), di Indonesia telah dimanfaatkan secara komersial dan

secara intensif telah dibudidayakan terutama dengan tehnik polikultur (kombinasi

ikan dan rumput laut).


Alga Laut Sebagai Adsorben Logam Berat

Berdasarkan data dari United State Environmetal Agency (USEPA), logam

berat yang merupakan polutan perairan yang berbahaya diantaranya adalah

antimon (Sb), arsenik (As), berilium (Be), kadmium (Cd), kromium (Cr), tembaga

(Cu), timbal (pb), merkuri (Hg), nikel (Ni), selenium (Se), kobalt (Co), dan seng

(Zn). Logam berat ini berbahaya karena tidak dapat didegradasi oleh tubuh,

memiliki sifat toksisitas (racun) pada mahluk hidup walaupun pada konsentrasi

yang rendah, dan dapat terakumulasi dalam jangka waktu tertentu. Oleh kartena

itu penting dilakukan pengambilan logam berat pada daerah yang terkontaminasi.

Dari berbagai penelitian diketahui bahwa berbagai spesies alga terutama

dari golongan alga hijau (Chlorophyta), alga coklat (Phaeophyta), dan alga merah

(Rhodophyta) baik dalam keadan hidup (sel hidup) maupun dalam bentuk sel mati

(biomassa) dan biomassa terimmobilisasi telah mendapat perhatian untuk

mengadsorpsi ion logam. Alga dalam keadaan hidup dimanfaatkan sebagai

bioindikator tingkat pencemaran logam berat di lingkungan aquatik (perairan)

sedangkan alga dalam bentuk biomassa dan biomassa terimmobilisasi

dimanfaatkan sebagai biosorben (material biologi penyerap logam berat) dalam

pengolahan air limbah.

Secara umum, keuntungan pemanfaatan alga sebagai bioindikator dan

biosorben adalah :

1. Alga mempunyai kemampuan yang cukup tinggi dalam mengadsorpsi

logam berat karena di dalam alga terdapat gugus fungsi yang dapat

melakukan pengikatan dengan ion logam. Gugus fungsi tersebut terutama


gugus karboksil, hidroksil, amina, sulfudril imadazol, sulfat dan sulfonat

yang terdapat dalam dinding sel dalam sitoplasma.

2. Bahan bakunya mudah didapat dan tersedia dalam jumlah banyak.

3. Biaya operasional yang rendah.

4. Sludge yang dihasilkan sangat minim.

5. Tidak perlu nutrisi tambahan.

Alga dapat dimanfaatkan sebagai bioindikator logam berat karena dalam

proses pertumbuhannya, alga membutuhkan sebagai jenis logam sebagai nutrien

alami, sedangkan ketersediaan logam dilingkungan sangat bervariasi. Suatu

lingkungan yang memiliki tingkat kandungan logam berat yang melebihi jumlah

yang diperlukan, dapat mengakibatkan pertumbuhan alga terhambat, sehingga

dalam keadaan ini eksistensi logam dalam lingkungan adalah polutan bagi alga.

Syarat utama suatu alga sebagai bioindikator adalah harus memiliki daya

tahan tinggi terhadap toksisitas akut maupun toksisitas kronis. Selain memiliki

daya tahan yang tinggi terhadap toksisitas logam berat, persyaratan lain untuk

pemanfaatan alga sebagai bioindikator adalah :

1. Alga yang dipilih mempunyai hubungan geografis dengan lokasi yaitu

berasal dari lokasi setempat, hidup dilokasi tersebut, dan diketahui radius

aktivitasnya.

2. Alga itu terdapat dimana-mana, supaya dapat dibandingkan terhadap alga

yang berasal dari lokasi lain.

3. Komposisi makanannya diketahui.

4. Populasinya stabil.
5. Pengumpulan alga mudah dilakukan.

6. Relatif mudah dikenali di alam.

7. Masa hidupnya cukup lama, sehingga keberadaannya memungkinkan

untuk merekam kualitas lingkungan disekitarnya.

Berikut adalah contoh spesies alga yang potensial sebagai bioindikator logam

berat berdasarkan beberapa rujukan penelitian. (Tabel 5).

Tabel 5. Spesies Alga yang Potensial sebagai Bioindikator

Spesies Alga Logam Berat Teradsorpsi Sumber Rujukan


Cladophoraglomerata Ni, V, Cd, Pb, Cr Chmielewska dan Medved, 2001
Galaxaurarugosa Cu, Zn Rivai dan Supriyanto, 2000
Corallinsp Zn, Pb Siswantoro, 2001
Euchemaisiforme Cr, Fe, Co, Cu, Zn, Cd, Pb Fajarwati, 2003
Fucusvesiculosus Pb, Cu Kautsky, 1998
Padinaboergeseni Pb Mamboya et al., 1999
Sargasum sp. Pb, Cd, Cu Buhani, 2003
Euchema sp. Cd, Cr Martadinata, 2001
Chaetocerus sp. Ni, V, Cd, Pb, Cr Noegrohati, 1995

Menurut Harris dan Ramelow (1990), kemampuan alga dalam menyerap

ion-ion logam sangat dibatasi oleh beberapa kelemahan seperti ukurannya yang

sangat kecil, berat jenisnya yang rendah dan mudah rusak karena degradasi oleh

mikroorganisme lain. Untuk mengatasi kelemahan tersebut berbagai upaya

dilakukan, diantaranya dengan mengimmobilisasi biomassanya. Immobilisasi

biomassa dapat dilakukan dengan menggunakan (1) Matrik polimer seperti

polietilena glikol, akrilat, (2) oksida (oxides) seperti alumina, silika, (3) campuran
oksida (mixed oxides) seperti kristal aluminasilikat, asam polihetero, dan (4)

Karbon.

Berbagai mekanisme yang berbeda telah dipostulasikan untuk ikatan

antara logam dengan alga/biomassa seperti pertukaran ion, pembentukan

kompleks koordinasi, penyerapan secara fisik, dan pengendapan mikro. Tetapi

hasil penelitian akhir-akhir ini menunjukan bahwa mekanisme pertukaran ion

adalah yang lebih dominan. Hal ini dimungkinkan karena adanya gugus aktif dari

alga/biomassa seperti karboksil, sulfat, sulfonat dan amina yang akan berikatan

dengan ion logam.

Alga Laut Sebagai Sumber Senyawa Bioaktif

Alga hijau, alga merah ataupun alga coklat merupakan sumber potensial

senyawa bioaktif yang sangat bermanfaat bagi pengembangan (1) industri farmasi

seperti sebagai anti bakteri, anti tumor, anti kanker atau sebagai reversal agent dan

(2) industri agrokimia terutama untuk antifeedant, fungisida dan herbisida.

Kemampuan alga untuk memproduksi metabolit sekunder terhalogenasi yang

bersifat sebagai senyawa bioaktif dimungkinkan terjadi, karena kondisi

lingkungan hidup alga yang ekstrem seperti salinitas yang tinggi atau akan

digunakan untuk mempertahankan diri dari ancaman predator. Dalam dekade

terakhir ini, berbagai variasi struktur senyawa bioaktif yang sangat unik dari isolat

alga merah telah berhasil diisolasi. Namun pemanfaatan sumber bahan bioaktif

dari alga belum banyak dilakukan. Berdasarkan proses biosintesisnya, alga laut
kaya akan senyawa turunan dari oksidasi asam lemak yang disebut oxylipin.

Melalui senyawa ini berbagai jenis senyawa metabolit sekunder diproduksi.

Alga Laut Sebagai Sumber Senyawa Alginat

Alginat merupakan konstituen dari dinding sel pada alga yang banyak

dijumpai pada alga coklat (Phaeophycota). Senyawa ini merupakan

heteropolisakarida dari hasil pembentukan rantai monomer mannuronic acid dan

gulunoric acid. Kandungan alginat dalam alga tergantung pada jenis alganya.

Kandungan terbesar alginat (30-40 % berat kering) dapat diperoleh dari jenis

Laminariales sedangkan Sargassum Muticum, hanya mengandung 16-18 % berat

kering.

Pemanfaatan senyawa alginat didunia industri telah banyak dilakukan

seperti natrium alginat dimanfaatkan oleh industri tektil untuk memperbaiki dan

meningkatkan kualitas bahan industri, kalsium alginat digunakan dalam

pembuatan obat-obatan. Senyawa alginat juga banyak digunakan dalam produk

susu dan makanan yang dibekukan untuk mencegah pembentukan kristal es.

Dalam industri farmasi, alginat digunakan sebagai bahan pembuatan pelapis

kapsul dan tablet. Alginat juga digunakan dalam pembuatan bahan biomaterial

untuk tehnik pengobatan seperti micro-encapsulation dan cell transplantation.

Alga Laut Sebagai Penghasil Bioetanol dan Biodesel

Meskipun masih dalam tahap riset yang mendalam, potensi alga laut

sebagai penghasil bioetanol dan biodiesel sangat menjanjikan dimasa mendatang.


Negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang dan Kanada mentargetkan

mulai tahun 2025 bahan bakar hayati (biofuel) bisa diproduksi dari budidaya cepat

alga mikro yang tumbuh diperairan tawar/asin. Keuntungan lebih yang dapat

diperoleh adalah tak butuh traktor seperti didarat, tanpa penyemaian benih, gas

CO2 yang dihasilkan dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar dan panen yang

terus-terusan (continuous) yang dikarenakan waktu tanam alga hanya 1 minggu.

Berikut adalah gambar skenario mekanisme pembuatan bioetanol dan biodiesel

dari alga laut.

Sumber : Tatang H. Soerawidjaja (2005)

Alga Laut Sebagai Pupuk Organik

Dikarenakan kandungan kimiawi yang terdapat dalam alga laut merupakan

nutrien yang sangat penting bagi semua mahluk hidup termasuk tumbuh-
tumbuhan, maka alga laut dapat dimanfaatkan sebagai sumber alternatif penganti

pupuk-pupuk pertanian yang mengandung bahan kimia sintesis.

Alga dapat digunakan sebagai pupuk organik karena mengandung bahan-

bahan mineral seperti potasium dan hormon seperti auxin dan sytokinin yang

dapat meningkatkan daya tumbuh tanaman untuk tumbuh, berbunga dan berbuah.

Pemanfaatan alga sebagai pupuk organik ditunjang pula oleh adanya sifat

hydrocolloids pada alga laut yang dapat dimanfaatkan untuk penyerapan air (daya

serap tinggi) dan menjadi substrat yang baik untuk mikroorganisme tanah.

Penutup

Indonesia adalah negara yang mempunyai garis pantai terpanjang di dunia

yaitu ± 80.791,42 Km. Disepanjang garis pantai, tumbuh dan berkembang

berbagai jenis alga laut yang berpotensi sebagai biotarget industri. Berbagai riset

mutlak dilakukan untuk pemanfaatan secara optimal kekayaan hayati ini secara

berkelanjutan. Riset-riset kimiawan terutama dituntut untuk mencari bahan baku

industri, senyawa bioaktif, pengembangan produk-produk turunan berbasis alga,

dan mempelajari misteri dan keunikan-keunikan alga dalam hubungannya sebagai

bagian dari ekosistem.


Daftar Pustaka

1. Ciferri, O. 1983. Spirulina, The Edible Microorganism. Microbiological

Reviews. 47 (4) : 551-578.

2. Fogg, W.D. Stewart., P. Fay, and E. Wolsky. 1973. The Blue Green Alga.

Academic Press. London. 499 pp.

3. Gautam, M,. et al. 2000. Indonesia The Chalenges of World Bank

Involvement in Forest. Evaluation Country Case Study Series. The World

Bank. Washington, D.C. 64 pp.

4. Harris dan Ramelow. 1990. Binding of Metal Ions by Particulate

Quadricauda. Environ. Sci. 627-652

5. Moosa, M.K. 1999. Sumberdaya laut nusantara, keanekaragaman hayati

laut dan pelestariannya. Lokakarya Keanekaragaman Hayati Laut.

Pemanfaatan secara lestari dilandasi penelitian dan penyelamatan. Widya

Graha LIPI, Jakarta 23 Pebruari 1999, 24 hal.

6. Putra, Sinly Evan. 2006. Tinjauan Kinetika dan Termodinamika Proses

Adsorpsi Ion Logam Pb, Cd, dan Cu oleh Biomassa Alga Nannochloropsis

sp. Yang DiImmobilisasi Polietilamina-Glutaraldehid. Laporan Penelitian.

Universitas Lampung. Bandar Lampung

7. Santilan. 1982. Mass Production of Spirulina. Experienties. 38:40-43.

8. Setiawan, Andi. 2004. Potensi Pemanfaatan Alga Laut Sebagai Penunjang

Perkembangan Sektor Industri. Makalah Ilmiah Ketua Jurusan Kimia.

Universitas Lampung. Bandar Lampung


9. Soerawidjaja, Tatang H. 2005. Membangun Industri Biodiesel di

Indonesia. Makalah Ilmiah Forum Biodiesel Indonesia. 16 Desember 2005

Bandung.

10. Suhartono, M.T., Angka, S.L. 2000. Bioteknologi Hasil Laut. Pusat Kajian

Sumberdaya Pesisir dan Lautan. IPB. Cetakan I.

11. Tseng, W.Y. 1987. Shrimp Marine Culture A Practical Manual

Department of Fisheries. The University of Papua New Guinea. Port

Moresby Papua New Guinea. Pp 113-131.

12. Venkataraman, L.V. 1984. Development of Microalgae (Spirulina)

Production. Central Food Technological Research Institute, Mysore, India.

13. Yanti, S. 2002. peranan Asam Amino dalam Fisiologis Nutrisi pada Awal

Kehidupan Ikan. Warta Penelitian Perikanan : Badan Riset Kelautan dan

Perikanan. Hal 11-18.

You might also like