You are on page 1of 18

BAB II

PEMBAHASAN
A. Ijarah
1. Pengertian Ijarah
Menurut etimologi, ijarah adalah : menjual manfaat . demikian pula artinya menurut
etimologi syarat . untuk lebih jelasnya, dibawah ini dikmukakan beberapa definisi ijarah menurut
pendapat beberapa ulama fiqih.

a). Ulama hanafiah


Artinya akad atas suatu kemanfaatan dengan pengganti.
b). Ulama Asy-Syafi’iya
Artinya akad atas suatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu dan mubah, srta
menerima pengganti atau kebolhan dengan penganti tertentu.
c). Ulama Malikiah dan Hanabilah
Artinya: Menjadikan milik suatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu dengan
pengganti.

Ada yang menerjemahkan sebagai upah mengupah. Menurut penulis keduanya benar, sebab
penulis membagi ijarah menjadi dua bagian, yaitu ijarah atas jasa dan ijarah atas benda.
Landasan syara’Jumhr ulama berpendapat bahwa ijarah disyariatkan berdasarkan AL-Qur’an,
AS-sunah, dan Ijma’
 Al-qur’an

Artinya “jika mereka menyusukan anak- anakmu untukmu, maka berikanlah upahnya.”

 As-sunah

Artinya “berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering”


(HR. Ibu Majah dari ibnu Umar)

1
 Ijma’
Umat islam pada masa sahabat telah berijma’ bahwa ijarah dibolehkan sebab bermanfaat
bagi manusia.

2. Syarat Ijarah
a) Syarat terjadinya akad

Syarat ini berkaitan dengan aqid, zat akad, dan tempat akad. Syarat ini sering disebut
“inqad..menurut Ulama Hanafiah ,’aqid disyaratkan harus berakal dan mumayyiz (minimal 7
tahun), serta tidak syaratkan tidak baliq. Akan tetapi, jika bukan barang miliknya sendiri, akad
ijarah anak mumayyiz, dipandang sah, tetapi bergantung atas keridhoan walinya.

b) Syarat pelaksanaan Ijarah (An-Nafadz)


Agar izarah terlaksana, barang harus dimiliki oleh Aqid atau ia memiliki kekuasaan penuh
untuk akad (ahliah).

c) Syarat sah Ijarah


Keabsahan ijarah sangat berkaitan dengan aqid (orang yang aqad), ma’qud’alaih (barang
yang menjadi objek akad), ujrah (upah) dan zat akad (nafs Al-‘Akad), yaitu :
 Adanya keridhaan dari kedua pihak yang akad.
 Ma’qud ‘alaih bermamfaat dengan jelas.
 Ma;qud ‘alaih harus memenuhi secara syara.
 Kemamfaatan benda dibolehkan menurut syara tidak menyewa untuk pekerjaan
yang di wajibkan kepadanya.
 Tidak mengambil manfaat bagi diri orang disewa. Manfaat ma’qud ‘alaih sesuai
dengan keadaan yang umum.
d) Syarat barang sewaan.
e) Syarat ujrah.
 Berupa harta tetap yang dapat diketahui.

2
 Tidak boleh sejenis dengan barang manfaat dari ijarah, seperti upah menyewa rumah
untuk ditempati dengan menempati rumah tersebut.
f) Syaratyang kembali pada rukun akad.
g) Syarat kelaziman
 Ma’qud ‘alaih terhindar dari cacat.
 Tidak ada ujur yang dapat membatahkan akad.

3. Rukun Ijarah
Menurut Ulama hanafiah, rukun Ijarah adalah Ijab dan Qobul, antara lain dengan
menggunakan kalimat al-ijarah, alistigfar, al-ikhtiar, dan al-ikra.
Menurut Jumhur Ulama, rukun Ijarah ada 4, yaitu:
 Aqid
 Shighat akad
 Ujrah(upah)
 Manfaat

4. Sifat dan Hukum Ijarah


1. Sifat Ijarah
Menurut ulama hanafiyah, ijarah adalah akad lazim yang didasarkan pada firman Allah
SWT : , yang boleh dibatalkan, pembatalan tersebut dikaitkan
pada asalnya bukan didasarkan pada pemenuhan akad.
2. Hukum Ijarah
Hukum ijarah sahih adalah tetapnya kemamfaatan bagi penyewa, dan tetapnya upah bagi
pekerja atau orang yang menyewakan ma’qud ‘alaih sebab ijarah termasuk jual beli pertukaran
hanya saja dengan kemamfaatan.
Hukum ijarah rusak, menurut ulama hanafiyah, jika penyewa telah mendapatkan manfaat
tetapi orang yang menyewakan atau yang bekerja dibayar lebih kecil dari kesepakatan pada
waktu akad, ini bila kerusakan tersebut terjadi pada syarat. Akan tetapi, jika kerusakan
disebabkan penyewa tidakmemberi tahukan jenis pekerjaan perjanjiannya upah harus diberikan
semestinya.

3
5. Pembagian dan Hukum Ijarah
Ijarah terbagi dua, yaitu ijarah terhadap benda atau sewa-menyewa dan ijarah atas
pekerjaan atau upah mengupah.
a. Hukum Sewa-menyewa
Dibolehkan ijarah atas barang mubah, seperti rumah kamar, dan lain-lain, tetapi, dilarang
ijarah terhadap benda-benda yang diharamkan.
 Ketetapan hokum akad dalam ijarah
 Cara memanpaatkan barang sewaan.
 Perbaikan barang sewaan.
 Kewajiban penyewa setelah hais masa sewa
b. hukum upah-mengupah
Upah mengupah atau ijrah ‘ala al’a’mal yakni jual beli jasa, biasanya berlaku dalam
beberapa hal seperti menjahitkan pakaian, membangun rumah dan lain-lain. Ijarah ‘alal-a’mal
terbagi dua yaitu:
 Ijarah khusus
Ijarah yang dilakukan oleh seorang pekerja. Hukumnya, orang yang bekerjatidak boleh
bekerja selain dengan orang yang telah memberikan upah.
 Ijarah musytarik
Ijarah yang dilakukan secara bersama-sama atau melalui kerja sama. Hukumnya
dibolehkan bekerja sama dengan orang lain.

B. Pinjam-meminjam (‘Ariyah)
1. PENGERTIAN ‘ARIYAH
Para ahli fiqih mendefinisikan ‘ariyah adalah seorang pemilik barang membolehkan orang lain
memanfaatkan barang itu tanpa ada imbalan.
2. HUKUM ‘ARIYAH
Hukum ‘ariyah sangat dianjurkan, berdasarkan firman Allah swt:

4
“Dan bertolong-tolonglah kalian dalam kebajikan dan takwa.” (QS Al-Maidah: 2)

Rasulullah saw bersabda:


“Dan Allah selalu menolong hamba-Nya, selama ia menolong saudaranya.” (Shahih: Shahihul
Jami’us Shaghir no: 6577)
Allah swt telah mengecam:
“Orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya’, dan enggan
(menolong dengan) barang berguna.” (QS Al-Maa’uun: 5-7).

3) Landasan ariyah
a)As-Sunah ariyah
Secara bahasa berarti “pinjaman”.kata ini sudah menjadi satu istilah teknis dalam ilmu pikih
untuk menyebutkan perbuatan pinjam-meminjam sebagai salah satu aktivitas antara manusia.
Dalam pelaksanaan ,Ariyah diartikan sebagaiperbuatan pemberian milik untuk sementara waktu
oleh seseorang kepada pihak lain, pihak yang menerima pemilikan itu diperbolehkan
memanfaatkan serta mengambil manfaat dari harta yang diberikan itu tanpa harus memberi
imbalan , dan pada waktu tertentu penerima harta itu wajib mengembalikan harta yang
diterimanya itu kepada para pihak pemberi. Oleh sebab itu para ulama mendefinisikan ‘aritah itu
sebagai pembolehan oleh seorang untuk dimamfaatkan harta miliknya oleh orang lain tanpa
diharuskan imbalan.
b)Landasan ‘ariyah ,
Dasar hukum ‘ariyah adalah anjuran agama supaya manusia hidup tolong-menolong serta
saling Bantu-membantu dan lapangan kebajikan. Yang didasarkan pada Al’Qur’an dan As-
Sunah.
• Al-Qur’an (Al-Maidah)

Artinya : dan saling tolong menolonglah kamu dalam kebajikan dan ketaqwaan, serta janganlah
Bantu-membantu dalam perbuatan dosa dan permusuhan.

5
• As-sunah

Dalam hadis Bukhari dan Muslim dari Annas, dinyatakan bahwa Rasullulah Saw telah
meminjam dari Abu talhah kemudian beliau mengendarainya.

4). Rukun dan Syarat Ariyah

1. Rukun Ariyah
Menurut ulama Syafiyah, dalam ariyah di syaratkan adanya lafatz shigat akad, yakni
ucapan ijab dan Kabul dari peminjam dan yang meminjamkan barang pada waktu transaksi
sebab memamfaatkan milik barang tergantung pada adanya izin. Secara umum Jumhur ulama
fiqh menyatakan bahwa rukun aryah ada 4 yaitu :
a. Mu’ir (peminjam)
b. Musta’ir (yang meminjamkan )
c. Mu’ar (barang yang dipinjam)
d. Shighat, yakni sesuatu yang menujukkan kebolehan untuk mengambil
mamfaat, baik dengan ucapan maupun perbuatan.
2. Syarat Ariyah
Ulama fiqh mensyaratkan dalam akad ariyah sebagai berikut :
a) Mu’ir berakal sehat, dengan demikian, orang gila dan anak kecil yang tidak
berakal tidak akan dapat meminjamkan barang.
b) Pemegang barang oleh peminjam ariyah adalah transaksi dalam berbuat
kebaikan, yang dianggap sah memegang barang adalah peminjam, seperti
halnya dalam hibah.
c) Barang (musta’ar) dapat dimamfaatkan tampa merusak zatnya, jika must’ar
tidak dapat dimamfaatkan, akad tidak syah .
3. Hukum (ketetapan) akad Aiyah.
a) Dasar hukum ariyah
Menurut kebiasaan ariyah dapat diartiksn dengan dua cara, yaitu secara hakikat dan secar

6
majaz.

a)Secara hakikat
Secara hakikat ariyah adalah meminjamkan barang yang dapat diambil manfaatnya tanpa
merusak zatnya. Menurut malikiyah dan hanapiyah, hukumnya adalah manfaat bagi peminjam
tanpa ada penganti apapun, atau peminjam memiliki sesuatu yang semasa dengan manfaat
menurut kebiasaan.Al-kurki,ulama syafi’iyah,dan hanabilah berpendapat bahwa yang dimaksud
Ariyah adalah kebolehan untuk mengambil manpaat suatu benda. Dari perbedan pandangan
diatas,dapat ditetapkan bahwa menurut golongan pertama, barang yang dipinjam (musta’ar)
boleh dipinjamkan kepada orang lain, bahkan menurut imam malik, sekalipun tidak diijinkan
oleh pemilknya asalkan digunakan sesuai dengan fungsiynya.akan tetapi, ulama malikiyah
melarang nya jika peminjam tidak mengizinkanya.
Alasanya ulama Hanafiyah antara lain bahwa yang memberi pinjaman (mu’ir) telah
membrikan hak penguasaan barag kepada peminjam untuk mengambil manfaat barang
kekuasaan seperti itu berarti kepemilikan dengan demikian, peminjaman berkuasa penuh untuk
mengambil manfaat barang tersebut, baikoleh dirinya maupun orang lain.
Menurut golongan kedua, pinjam-meminjam hanyasebatas pengambilan manfaat maka
tidak boleh meminjamkan lagi kepada orang lai, seperti halnya tamu yang tidak boleh
meminjamkan makanan yang dihidangkan untuk kepada orang lain.
b) Secara Mazazi
Ariyah secara majazi adalah pinjam-meminjam benda-benda yang berkaitan dengan
takaran, timbangan, hitungan, dan lain-lain, seperti telur, uang dan segala benda yang dapat
diambil manfaatnya, tanpa merusak zatnya. Ariyah pada benda-benda tersebut harus diganti
dengan benda yang serupa atau senilai.

C. Jialah
1. Pengertian Ji’alah
Menurut bahasa ji’alah berarti upah atas suatu prestasi, baik prestasi itu tercapai karena
sesuatu tugas tertentu yang diberikan kepadanya atau prestasi karena ketangkasan yang
ditunjukkan dalam suatu perlombaan. Dalam istilah lain ji’alah selalu diartikan dengan ‘sembara’
contoh : suatu benda milik seseorang, benda itu hilang, ia menawarkan kepada sejumlah orang

7
yang berminat bahwa ia akan memberikan hadiah (upah) kepada siapa saja yang mendapatkan
kembali benda yang hilang itu.
2. Hukum melakukan Ji’alah
Ji’alah termasuk salah satu jenis akad yang hukumnya jaiz (dibolehkan) oleh sebagian
ulama, tetapi sebagian ada pula yang tidak mengijinkan akad jenis ini perbedaan pandagan ini
dapat diterima, karena akad dalam lapangan ji’alah tidak sama dengan pelaksanaan akad ijarah
yang murni merupakan upah tanpa ada unsure untung-untungan.
Para ulama yang berpendirian, bahwa transaksi ji’alah itu diperbolehkan berargumentasi
bahwa secara histories Rasulullah memerbolehkan menerima upah atas pengobatan kepada
seseorang dengan mempergunakan ayat-ayat al’quran, seperti dalam aya-ayat dalam surah Al-
Fatihah. Namun yang perlu dicatat disini adalah bahwa kebolehan itu hanya belaku jika
diperlukan, didalam arti bahwa kebolehan itu mutlak sebagai mana kebolehan dalam lapangan
ijarah. Alas an lain yang mereka pakai ialah firman Allah dalam surah Yusuf : 72 yang berbunyi

Artinya:
“dan siapa yang dapat mengembalikannya maka ia akan memperoleh bahan makanan (seberat)
beban unta dan aku menjaminnya.”
Namun yang perlu dapat perhatian disini adalah bahwa pelaksanaan ji’alah. Termasuk
macam-macam sembara dan pertandingan di zaman sekarang, haruslah dilihat dan dilaksanakan
dalam suatu kegiatan yang bebas dari unsure penipuan, penganiayaan, dan saling merugikan.
Didalam pelaksanaan ji’alah, penekanan pemberian imbalan haruslah didasarkan atas prestasidan
usaha yang jauh dari unsur-unsur judi. Kenapa, dikatan ji’alah dikatakan beda dengan judi ?
sebab, kalau dikatakan bahwa semua bentuk perlombaan termasuk judi maka berarti amat
banyak sekali pebuatan-perbuatan yang sudah umum dilakukan perlu diharamkan, seperti MTQ
sekali pun. Namun, apa bila disadari bahwa di zaman sekarang banyak orang yang bergerak
dalam kegiatan propesional seperti keahlian menulis ataupun olahraga, yang mencari lapangan
hidup nanti dengan propesi tersebut yang selalu pula dilaksanakan dalam bentuk kompetisi,
tentulah kita tidak akan terlalu terburu-buru menilai semua bentuk sembara tergolong judi. Oleh
Karena itu, amatlah tepat bila Sayyid Sabiq mengatakan bahwa ji’alah itu diprbolehkan lantaran
amat diperlukan pada kondisi-kondisi tertentu.

8
Sehubungan dengan aktivitas yang berkaitan dengan ji’alah ini, adalah beberapa hal yang
perlu mendapatkan perhatian, yakni :
 Harus ada unsur ja’il (pelaksanaan yang memberikan tugas) untuk melakukan ji’alah.
Pihak ja’il ini bisa perorang yang mempunai suatu hubungan langsung dengan objek
yang di ji’alahkan, seperti seseorang yang kehilangan suatu benda, dan bisa pula
pihak lain yang tidak punya hubungan pemilkan terhadap sesuatu objek yang d
ij’lahkan
 Pihak yang melakukan ji’alah, yakni orang-oarang aktif sebagai peserta, disesuaikan
dengan kondisi yang ada.
 Objek ji’alah mestilah berupa kegiatan yang mubah, seperti mencari barang yang
hilang, dan tidak boleh melakukan ji’alah kepada lapangan yang tidak dibolehkan
agama.
 Upah dalam berji’alah bagi pihak yang menang haruslah berbentuk materi maupun
jasa.
 Akad dalam ber ji’alah tidaklah disyaratkan harus dengan lafadz tertentu.

D. GADAI (RAHN)
1 Arti, Landasan, dan hukum Gadai Ariyah
a. Pengertian Gadai
Secara etimologi, rahn berarti (tetap dan lama), yakni tetap atau
berarti (pengekangan dan keharusan).
Menurut terminology syara; ranh berarti :

Artinya :
“penahanan terhadap suatu barang dengan hak sehingga dapat dijadikan sebagai pembayaran
dari barang tersebut”.
b. Sifat rahn
Secara umum rahn dikategorikn sebagai aqad yang bersifat derma sebab apa yang
diberikan pengadai (rahin) kepada penerima gadai (murtahin) tidak ditukar dengan sesuatu. Yang
diberikan murtahin kepada rahin adalah utang, bukan penukar atas barang yang digadaikan.

9
c. Landasan rahn
Rahn disyariatkan berdasarkanAl-quran,dan al- sunah.

 Al-Quran

Artinya
Apabila kamu dalam perjalanan ( dan bermuamalah tidak secara tunai), sedangkan kamu tidak
memperoleh seoran penulis, hendaklah ada barang tanggunan yang dipegang.”
(QS.Al-baqarah:283)
 As-sunah

Artinya :
“Dari siti aisyah r.a. bahwa rasulullah SAW. Pernah membeli makanan dengan mengadaikan
baju besi.”
(HR.Bukhari dan muslim)
d. Hukum rahn
Para ulama sepakat bahwa rahn dibolehkan, tetapi tidak diwajibkan sebab gadai hanya
jaminan saja jika kedua pihak tidak saling mempercayai. Firman Allah SWT.: pada
ayat diatas adalah irsyad (anjuran baik) saja kepada orang beriman sebab dalam anjuran ayat
tersebut dinyatakan :

Artinya
“akan tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah dipercaya
itumenunaikan amanatnya (utangnya)
(QS.Al-Baqarah:283)
2. Syarat-syarat Rahn

10
Dalam rahn disyaratkan beberapa syarat sebagai berikut :
a)Persyaratan Aqid
Kedua orang yang akan akad harus memenuhi kriteria al’ahliah menurut ulama syafi’iyah
ahliyah adalah orang yang telah syah jual beli, yakni berakal dan mumaiyid, tetapi tidak
disyaratkan untuk harus balik.
b)Syarat Shighat
Menurut ulama selain hanafi’yah syarat dalam rahn ada yang sahih dan yang rusak.
Urainnya adalah sebagai berikut
Ulama Syafi’yah berpendapat bahwa syarat dam rah ada tiga
1) Syarat sahih, seperti mensyaratkan agar murtahin cepat membayar
sehingga jaminan tidk disita
2) Mensyaratkan sesuatu yang tidak bermamfaat, seperti mensyaratkan
agar hewan yang dijadikan jaminannyadiberi makanan tertentu,
syarat seperti itu batal, tetapi akadnya sah.
3) Syarat yang merusak akad,seperti mensyaratkan sesuatu yang akan
merugikanmurtahin.
Ulama malikiyah berpendapat bahwa syarat rahn terbagi dua, yaitu rahn sahih dan rahn
fasid. Rahn fasid adalah rahn yang didalamnya mengandung persyaratan yang tidak sesuai
dengan kebutuhan atau dipalingkan terhadap ssuatu yang haram, seperti, mensyaratkan barang
harus berada dibawah tanggung jawab rahin.
Ulama hanabilah berpendapat seperti pendapat ulama malikiyah di atas , yakni rahn
terbagi dua yaitu sahih dan fasid. Rahn sahih adalah rahn yang mengandung unsure kemuslihatan
dan sesuai dengan kebutuhan.

c)Syarat Marhun Bih (utang)


Marhun bih adalah hak diberikan ketika rahn. Ulama hanafiyah memberikan bebebrapa
syarat, yaitu :
 Marhin bih hendaklah barang yang wajib diserahkan.
 Marhun bih memungkinkan dapat dibayarkan.
 Hak atas marhun bih harus jelas.
d)Syarat marhun (Borg)

11
Marhun adalah barang yang dijadikan jaminan oleh rahin.para ulama fiqh sepakat
mensyaratkan marhun sebagaimana persyaratan barang dalam jual beli, sehingga barang tersebut
dapat dijual untuk memenuhi hak murtahin.
Ulama hanafiyah mensyaratkan marhun, anatara lain sebagai berikut :
 Dapat di perjual belikan .
 Bermamfaat.
 Jelas.
 Milik rahin.
 Bisa diserahkan .
 Tidak bersatu dengan harta lain.
 Dipegang (dikuasai) oleh rahin.
 Harta yang tetap atau dapat dipindahkan.
e). Syarat kesempurnaan rahn (memegang barang) .
secara umum, ulama fiqh berpendapat bahwa memegang atau menerima barang adalah
syarat dalam rahn, yang dididasrkan firman Allah SWT :

Artinya :
“ jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai), sedangkan kamu tidak
memperoleh seorang penulis, hendaklah ada barang yang tanggungan yang dipegang “.
(QS. Al-Baqarah : 283)

f). Beberapa hal yang berkaitan dengan syarat rahn


Beberapa hal yang berkaitan dengan syarat rahn, anatara lain sebagai berikut ini:
 Borg harus utuh.
 Borg yang berkaiatan dengan benda lainnya.
 Gadai utang.
 Gadai barang yang di dagangkan atau di pinjam .
 Menggadaikan barang pinjaman.
 Gadai tirkah (harta peninggalan jenazah).

12
 Gadai barang yang cepat rusak.
 Menggadaikan kitab.

3). Rukun rahn dan unsur-unsurnya


Rahn memiliki empat unsur, yaitu rahin (orang yang memberikan jaminan), Al-murthin
(orang yang menerima), al-marhim (jaminan) dan Al-Marhunih (utung). Menurut ulama
Hanafiyah rukun rahn adalah ijab dan Kabul dari rahin dan al’murtahin, sebagai mana pada akad
yang lain. Akan tetapi, akad dalam rahn tidak akan sempurna sebelum adanya penyerahan
barang.

3. Hukum Rahn dan Dampaknya


Hukum rahn secara umum terbagi dua, yaitu : sahih dan ghair sahih (fasid). Rahn sahih
adalah rahn yang memenuhi persyaratan sebagai dijlaskan diatas, sedangkan rahn fasid
sebaliknya.
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rahn ghair sahih terbagi menjadi dua, yaitu :
sebagai berikut :
 Batal, tidak memenuhi persyaratan pada asal akad, seperti aqid tidak ahli
 Fasid, tidak terpenuhinya persyaratan pada sifat akad, seperti borg berkaitan dengan
barang lain.
a)Hukum Rahn Sahih/Rahn Lazim
Kelaziman rahn tergantung pada rahin, bukan murtahin. Rahn tida memiliki kekuasaan
untuk membatalkannya, sedangkan murtahin berhak membatalkannya kapan saja dia mau.
Selain itu, menurut para jumhur ulama , rahn baru dipandang sah bila borg dipegang oleh
murtahin .sedangkan menurut ulama malikiyah cukup dengan adanya ijab dan qabul. Kemudian
meminta rahin untuk menyerahkan borg.
b) Dampak rahn sahih
Jika syarat rahn telah sempurna, yakni rahin menyerah kan borg kepada murtahin, terjadi
lah beberapa hukum berikut:
 Adanya utang untuk rahin
 Hak menguasai borg
 Menjaga barang gadaian.

13
 Pembiyayaan atas borg
 Pemanpaatan gadai
 Tasyaruf(mengusahakan) rahn

E. HIWALAH
1. Pengertian Hiwalah
Secara etimologi Hiwalah bearti pengalihan, pemindahan, perubhan warna kulit,
memikul sesuatu diatas pundak.
Secara terminologi hiwalah adalah: Memindahkan hutang dari tanggungan Muhil
menjadi tanggungan Muhal alaih( orang yang berhutang lainnya, sedangkan jumhur ulama
mendefinisikan dengan: Akad yang menghendaki pengalihan utang dari tanggung jawab
seseorang kepada tanggungjawab orang yang lainnya
Contoh. Apabila ada hutang pada seseorang, sedangkan orang tersebut mempunyai harta pada
orang lain. Lalu ketika orang yang meminjamkan pinjaman menagih, sipeminjam mengatakan"
aku persilahkan tuan mengambil pada siAnu, karena dia mempunya hutang kepada saya
sebanyak hutang saya kepada tuan" jika orang yang meeminjamkan rela dengan hal itu maka si
peminjam bebas dari tanggung jawab.
Muhil (sebagai yang berhutang)
Muhal (orang yang menghutangkan)
Muhal alaih (orang yang melakukan pembayara hutang)

2. Landasan Hukum
Islam membenarkan Hiwalah dan membolehkannya, karena ai diperlukan.
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa rasulullah saw bersabda:
"menunda pembayaran bagi orang yang mampu adalah kezaliman. Dan jika salah seseorang
kamu dikutkan (dihiwalahkan) kepada orang yang kaya yang mampu, maka turutlah"
Mazhab Hanafi membagi Hiwalah kepada beberapa bagian[10], yaitu:
a. Al-Hiwalah al-Muqayyadah (pemindahan bersyarat) yaitu pemindahan sebagai ganti dari

14
pembayaran utang dari pihak pertama kepada pihak kedua.
Contoh: Syarif berpiutang kepada basuki sebesar satu juta rupiah, sedangkan basuki juga
berpiutang pada rahman satu juta rupiah. Basuki kemudian memindahkan haknya untuk
untuk menagih piutangnya yang terdapat pada rahman, kepada Syarif.
b. Al-Hiwalah al-Muthlaqah (pemindahan mutlak) yaitu pemindahan yang tidak ditegaskan
sebagai ganti pembayaran utang pihak pertama kepada pihak keua.
Contoh: Ahmad berutang kepada Burhan sebesar satu juta rupiah. Karena Karna juga berhutang
kepada Ahmad sebesar satu rupiah. Ahmad mengalihkan utangnya kepada Karna shingga Karna
berkewajiban membayar utang Ahmad kepada Burhan, tanpa menyebutkan bahwa pemindahan
utang itu sebagai ganti utang Karna kepada Ahmad

3. Syarat-Syarat Hiwalah
Syarat-syarat yang diperlukan pihak pertama, yaitu:
a. Cakap melakukan tindakan hukm dalam bentuk akad, yaitu balig dan berakal
b. Ada pernyataan persetujuan. Jika pihak pertama dipaksa melakukan hiwalah mak hiwalah
tidak sah
Syarat-syarat yang diperlukan pihak kedua, yaitu:
a. Cakap melakukan tindakan hukm dalam bentuk akad, yaitu balig dan berakal sebagaiman
pihak pertama
b. Mazhab Hanafi, sebagian besar Mazhab Malik dan Mazhab Syafi'I mensyaratkan ada
persetujuan pihak kedua terhadap pihak yang pertama dalam melakukan hiwalah.
Syarat-syarat yang diperlukan pihak ketiga, yaitu:
a. Cakap melakukan tindakan hukm dalam bentuk akad, yaitu balig dan berakal sebagaiman
pihak pertama
b. Ulama hanafi mensyaratkan adanya persetujuan dari pihak ketiga. Sedangkan ketiga
Mazhab yang lainnya tidak mensyaratkan hal yang itu
Syarat-syarat utang yang dialihkan
1. Sama kedua halnya baik jenis maupun kadarnya, penyelesaian tempo waktu, mutu baik
dan buruknya.
2. Utang yang berada ditangan peminjam adalah utang yang sudah jelas menjadi tanggung
jawab pihak pemberi pinjaman yang hendak memindahkah pinjaman kepadanya.

15
4. Cara Pelaksanaan Hiwalah
Dalam cara pelaksanaan Hiwalah yang perlu kita perhatikan, antara lain:

a. Pihak yang membayar utang hendaknya orang yang betul-betul mampu memenuhinya.
b. Bila dipersilahkan menagih kepada seseorang, namun ternyata orang tersebut jatuh melarat,
mati atau pergi jauh maka haknya dikembalikan lagi kepada orang yang memerintahkan
untuk menagihnya itu
c. Jika seseorang menyuruh menagih kepada orang lain, namun orang lain itu menyuruh pula
menagih kepada orang lain lagi, maka hiwalah tersebut boleh dilakukan, selama persyaratan
dapat dipenuhi dan tidak merugikan pihak yang menagih.

Akibat hukum Hiwalah


Jka akad Hiwalah terjadi, maka akibat hukum dari akad adalah sebagai berikut:
a. Jumhur ulama berpendapat bahwa kewajiban pihak pertama untuk membayae hutang
kepada pihak kedua menjadi terlepas.
b. Akad Hiwalah menyebabkan lahirnya hak bagi pihak kedua untuk menuntut pembayaran
hutang kepada pihak ketiga.

Berakhirnya akad hiwalah


Para ulama fiqih mengemukakan bahwa akad Hiwalah akan berakhir apabilaSalah satu pihak
yang sedang melakukan akad membatalkan akad
a. Pihak ketiga melunasi utang kepada pihak kedua
b. Pihak kedua wafat, sedangkan pihak ketiga merupakan Ahli waris harta pihak kedua.
c. Pihak kedua mnghibahkan, harta yang merupakan akad Hiwalah kepada pihak ketiga.
d. Pihak kedua membebaskan pihak ketiga dari kewajiban untuk membayar utang dari yang
dialihkan

5. HUKUM MENERIMA HAWALAH


Barangsiapa yang mempunyai hutang namun dia mempunyai piutang pada orang lain yang
mampu, kemudian dia memindahkan kewajiban membayar hutangnya kepada orang lain yang
mampu itu, maka orang yang mampu tersebut wajib menerima kewajiban itu.

16
Nabi saw bersabda: “Penundaan orang yang mampu (melunasi hutang) itu adalah zhalim, dan
apabila seorang di antara kamu menyerahkan (kewajiban pembayaran hutangnya) kepada
orang kaya, maka terimalah.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 5876).

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Dalam makalah ini dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Ijarah adalah upah atau ganti atau imbalan. Pengertian umum ijarah bermakna suatu akad
yang berisi pnukaran manfaat sesuatu dengan jalan memberikan imbalan dalam jumlah
tertentu.
2. Ariyah adalah pinjsm-meminjam. Menurut para ulama mendifinisikan ariyah itu sebagai
pembolehan oleh seoranh untu di mamfaatkan harat miliknya oleh orang lain tanpa harus
membri imbalan.
3. Ji’alah menurut bahasa adalah berarti upah atas suatu prestasi, baik prestasi itu tercapai
karena suatu tugas tertentu yang diberikan kepadanya atau prestasi karena ketangkasan
yang situnjukkan dalam suatu perlombaan.
4. Gadai (Rahn) secara etimologi rhan berarti (tetap dan lama),
yakni tatap atau berarti (pengekangan dan keharusan) menurut
terminology syara ; rahn berarti

Artinya :
Penahanan terhadap suatu barang dengan hak sehingga dapat dijadikan sebagai
pembayarandari barang tersebut”.
5. Secara terminologi hiwalah adalah: Memindahkan hutang dari tanggungan Muhil
menjadi tanggungan Muhal alaih( orang yang berhutang lainnya, sedangkan jumhur
ulama mendefinisikan dengan: Akad yang menghendaki pengalihan utang dari tanggung
jawab seseorang kepada tanggungjawab orang yang lainnya

B. Saran

17
Saran dan kritik yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi kebaikkan
makalah ini di masa yang akan dating semoga bermamfaat bagi kita semua.
DAFTAR PUSTAKA

Syafe’I, frop.Dr. Rachmat.2004.Fiqh Muamalah.CV Pustaka Setia : Bandung.


Suhendi, Hendi, Drs.2002. Fiqh Muamalah.Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Suparta, Drs.1992. Materi Pokok Fiqh I. Universitas Terbuka.
Karim, Helmi, Drs.1993.Fiqh Muamalah. Jakarta : PT Grafindo Persada.

Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal
Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-
Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 704.

18

You might also like