You are on page 1of 18

MEMBEDAH KONSEP AL-HULUL DAN AL-ITTIHAD

DALAM DUNIA TASAWUF


(Studi Tentang Konsep Ketuhanan Husain Ibn Manshur al-Hallaj dan Abu
Yazid al-Bustami)

A. Prolog
Manusia adalah makhluk yang paling sempurna bila dibandingkan
dengan makhluk lain. Sejak lahir, manusia telah dibekali dengan berbagai
kemampuan. Kemampuan untuk mendengarkan, melihat dan memahami
berbagai fenomena alam berdasarkan kecerdasan dengan sarana panca indera
yang sempurna. Bahkan dalam kronologi penciptaannya, sengaja Allah
memilihkan dengan prosedur (cara) yang berbeda.
Secara umum, dalam diri manusia terdapat dua dimensi yang antara
keduanya saling mendukung. Pertama, dimensi jasmaniyah (jasad) yang
dalam kronologi penciptaannya berasal dari tanah.1 Fenomena ini membangun
sebuah argumentsi yang kokoh bahwa secara jasmaniyah manusia berasal dari
tanah dan yang memuaskannya, semua berasal dari tanah serta ketika matipun,
jasad dikembalikan ke tanah. Kedua, dimensi ruhani (ruh) yang berasal dari
Allah.2 Konsekuensi logisnya, bahwa ruh berasal dari Allah dan yang bisa
memuaskannya juga sesuatu yang berasal dari Allah serta ketika manusia
dinyatakan mati, maka ruh kembali kepada Allah.
Dimensi jasad, mengantarkan manusia memiliki fitrah
(kecenderungan) membutuhkan sesuatu yang bersifat materi. Sebaliknya,
dimensi ruh mengantarkan manusia memiliki fitrah insting keberagaman3,
yang cenderung bernuansa spiritualis. Antara keduanya menjadi satu kesatuan
yang utuh dalam diri manusia. Perspektif manusia seperti ini memberikan
pilihan yang bersifat probability bahwa manusia bisa terjerumus ke dalam
jurang kenistaan yang jauh dari perikemanusiaan atau bahkan mampu

1
Lihat : al-Qur’an al-Karim Surat al-Mukminun (23) : 12-14.
2
LIhat : al-Qur’an al-Karim surat al-Hijr (15) : 29 dan lihat juga dalam surat Shaad (38) :
72.
3
M. Quraish Shihab, Menyingkap Tabir Ilahi, Al-Asma’ al-Husna Dalam Perspektif al-
Qur’an, Jakarta, Lentera Hati, Cetakan VIII, 2006, hal. XVII.

Konsepal- Hulul Mansur al-Hallaj & al-Ittihat al-Bustami oleh MujibZunun@lmisri 1


memahami secara komprehensif dan mengantarkannya mendapat derajat yang
tinggi baik dihadapan Allah maupun dihadapan sesama manusia.
Manusia yang mampu memahami dirinya secara utuh, maka akan
sampai pada pengetahuan kedekatannya tentang Tuhan. Artinya, manusia
yang mampu mengenal dirinya sendiri, maka sungguh ia telah mengetahui dan
mengenal Tuhannya.4 Pada tataran ini, tidak ada batas dan tidak ada sesuatu
yang dapat menghalangi hubungan langsung antara manusia dengan Allah.5
Menurut Harun Nasution “Intisari dari mistisme, termasuk didalamnya
sufisme adalah kesadaran adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia
dengan Tuhannya dengan mengasingkan diri dan berkontemplasi. Kesadaran
berada dekat dengan Tuhan itu dapat mengambil bentuk ittihad bersatu dengan
Tuhan.6
Manshur al-Hallaj dalam pengalaman spiritualnya, menemukan sebuah
formulasi komunikasi ideal antara manusia dengan Tuhannya. Formulasi ini
dibangun berdasarkan persepsinya yang utuh bahwa antara manusia dan
Tuhan memiliki dua sifat yang sama, yaitu al-Lahut dan al-Nasut. Apabila
kedua sifat ini melebur jadi satu, maka berarti antar manusia dengan Allah
sebagai Tuhannya bisa menyatu. Momentum menyatunya antara al-Lahut dan
al-Nusut ini dalam teori tasawufnya Mansur al-Hallaj disebut al-Hullul.
Abu Yazid al-Bustami dalam pengalaman spiritualnya menemukan
sebuah formulasi yang dikenal dengan istilah fana’, baqa’, dan ittihad, istilah
ini lahir setelah beliau mengungkapkan perkataan ganjilnya yang seolah-olah
bertentangan dengan kebiasaan sehari-hari pada pengalaman banyak orang

B. Konsep al-Hulul dalam teorinya Mansur al-Hallaj

4
M. Amin Syukur, Zikir Menyembuhkan Kankerku : Pengalaman Kesembuhan
Seseorang Penderita Kanker Ganas yang Divonis Memiliki Hidup Hanya Tiga Bulan, Jakarta,
Hikmah (PT Mizan Publika), Cetakan II, 2007, hal. 57.
5
Yusuf Qardawi, Al-Iman wa al-Hayat, (terj. Jaziratul Islamiyah), Jakarta, Mitra
Pustaka, Cetakan V, 2002, hal. 65.
6
Harun Nasution, Falsafah dan Mistisme dalam Islam (Jakarta Bulan Bintang, 1973),
56.

Konsepal- Hulul Mansur al-Hallaj & al-Ittihat al-Bustami oleh MujibZunun@lmisri 2


1. Sketsa Biografi dan Bangunan Pemikiran Keagamaan Mansur al-
Hallaj.
Manshur al-Hallaj lahir di Persia (Iran) pada tahun 224 H/858 M.
Nama lengkapnya adalah Abu al-Mughist al-Husain ibn Mansur ibn
Mahma al-Baidlawi al-Hallaj.7 Ayahnya bekerja sebagai pemital kapas.
Kakeknya yang bernama Mahma adalah seorang Majusi.8 Ketika masih
kecil, ayahnya pindah ke Tustar, kota kecil dikawasan Wasith, dekat
Baghdad.
Masa kecilnya banyak dihabiskan untuk belajar ilmu keagamaan.
Sejak kecil, al-Hallaj mulai belajar membaca al-Qur’an, sehingga berhasil
menjadi penghafal al-Qur’an (hafidz). Pemahaman tasawuf pertama kali ia
kenal dan pelajari dari seorang sufi yang bernama Sahl al-Tustari.9 Karena
pengembaraannya yang intens, maka ia dikenal sebagai seorang sufi yang
berkelana ke berbagai daerah. Berkelananya ke berbagai daerah,
mengantarkan ia dapat berkelana, bertmu, berteman dan bahkan berguru
kepada para sufi kenamaan pada masa itu.
Menginjak usia 20 tahun, al-Hallaj meninggalkan Tustar menuju
kota Basra dan berguru kepada Amr Makki. Untuk memperdalam
keilmuannya, seterusnya pindah ke kota Bagdad untuk menemui sekaligus
berguru kepada tokoh sufi modern yang termasyhur, yaitu al-Junaid al-
Baghdadi. Ia digelari al-Hallaj karena penghidupannya yang dia peroleh
dari memintal wol.10 Dalam sumber lain dijelaskan, bahwa disebut al-
Hallaj karena dapat membaca pikiran-pikiran manusia yang rahasia, maka
terkenal dengan Hallaj al-Asror, penenun ilmu ghaib.11

7
Azyumardi Azra, et. Al., Ensiklopedia Islam, Jakarta, PT Ichtiar Baru van Hoeve,
Cetakan X, 2002, hal. 74.
8
Kamil Musthafa al-Syaiby, Syarah al-Diwan li al-Hallaj (Beirut : Maktabah An-
Nahdhoh, 1974), 19
9
Azyumardi Azra, I b i d.
10
M. Abd. Hadi W., dalam pengantar Saleh Abdul Sabur, Tragedi al-Hallaj, Pustaka,
Bandung, 1976, viii.
11
Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam (Jakarta, Raja Grafindo, 1997),
144.

Konsepal- Hulul Mansur al-Hallaj & al-Ittihat al-Bustami oleh MujibZunun@lmisri 3


Selanjutnya, al-Hallaj muda pergi ke kota Makkah. Di kota suci ini,
ia menetap selama kurang lebih satu tahun. Selama di kota suci ini ia
tinggal dan bermukim di pelataran Masjid al-Haram sambil melakukan
praktek kesufiannya. Pada situasi dan kondisi seperti inilah, ia mengalami
dan merasakan sebuah pengalaman spiritual yang tiada tara bandingannya.
Dalam sebuah pengakuannya, ia telah mengalami pengalaman mistik yang
luar biasa, yang pada wacana berikutnya kemudian terkenal dengan istilah
hulul.12
Pada ujung proses merasakan dan mengalami pengalaman spiritual
yang luar bisa tersebut, al-Hallaj memutuskan untuk kembali ke kota
Baghdad dan menetap di kota ini sambil terus menyebarkan ajaran
tasawufnya. Namun demikian, keadaan menentukan lain dan memaksanya
menjadi rakyat yang tertindas dari kekejaman penguasa saat itu. Pada
tanggal 18 Dzulkaidah 309 H / 922 M ia ditangkap dan dijatuhi hukuman
mati oleh pengusa Dinasti Abbasiyah (Khalifah Al-Muktadir Billah).
Motive dan latar belakang penangkapan dan vonis hukuman mati ini
adalah bermuara dari tuduhan membawa paham hulul yang dianggap
menyesatkan ummat. Sisi lain, al-Hallaj juga dituduh mempunyai
hubungan dengan Syiah Qaramitah.13

2. Konsep al-Hullul Mansur al-Hallaj


Konsep yang diusung oleh Mansur al-Hallaj dalam praktek
pengalaman tasawufnya sebenarnya berpijak dari kedekatannya dengan
Tuhan. Kedekatan berikut dengan segala atribut nuansa spiritualnya
bertumpu pada konsep teologi yang masih dalam koridor spiritualitas
Islam (Islamic Spirituality). Spiritualitas Islam14 yang senantiasa identik

12
Ibid
13
Syiah Qaramitah adalah sebuah kelompok Syiah beraliran garis keras yang dipimpin
oleh Hamdan bin Qarmat yang menentang dan memusuhi pemerintah Dinasti Abbasiyah sejak
abad kesepuluh sampai dengan abad ke sebelas, Lihat : Azyumardi Azra, et.al., Ibid., hal. 74-75.
14
Spiritualis Islam (Islamic Sprirituality) sebagaimana dijelaskan secara khusus oleh
Sayyed Hossein Nasr adalah sebuah pengalaman dan pengetahuan akan keesaan Allah dan
realisasinya dalam pemikiran, perkataan, sikap, dan perbuatan, serta berangkat dari kemauan, jiwa,

Konsepal- Hulul Mansur al-Hallaj & al-Ittihat al-Bustami oleh MujibZunun@lmisri 4


dengan upaya menyaksikan Yang Satu, mengungkap Yang Satu, dan
mengenali Yang Satu, Tuhan dalam kemutlakan Realitas-Nya yang
melampaui segala manifestasi dan determinasi, Sang Tunggal yang
ditegaskan dalam al-Qur’an dengan nama Allah.15
Ajaran tasawuf al-Hallaj yang terkenal adalah konsep hulul. Tuhan
dipahami mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu setelah
manusia tersebut betul-betul berhasil melenyapkan sifat kemanusiaan yang
ada dalam tubuhnya.
Menurut al-Hallaj bahwa Tuhan mempunyai dua sifat dasar, yaitu
al-lahut (sifat ketuhanan) dan al-nasut (sifat kemanusiaan).16 Demikian
juga manusia juga memiliki dua sifat dasar yang sama. Oleh karena itu,
antara Tuhan dan manusia terdapat kesamaan sifat. Argumentasi
pemahaman ini dibangun berdasarkan kandungan makna dari sebuah
hadits yang mengatakan bahwa : “Sesungguhnya Allah menciptakan
Adam sesuai dengan bentukNya” sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari,
Muslim, dan Ahamad bin Hambal atau Imam Hambali. Hadits ini
memberikan wawasan bahwa di dalam diri Adam as terdapat bentuk
Tuhan yang disebut al-lahut. Sebaliknya di dalam diri Tuhan terdapat
bentuk manusia yang disebut al-nasut.
Berdasarkan pemahaman adanya sifat antara Tuhan dan manusia
tersebut, maka integrasi atau persatuan antara Tuhan dan manusia sangat
mungkin terjadi. Proses bersatunya antara Tuhan dn manusia dalam
pemahaman ini adalah dalam bentuk hulul.17
Bersatunya antara Tuhan dan manusia harus melalui proses
bersyarat, dimana manakala manusia berkeinginan menyatu dengan

dan kecerdasan yang pada puncaknya adalah menjalani hidup dan melakukan perbuatan yang
senantiasa sejalan kehendak Ilahi, mencintainya dengan segenap wujud, dan akhirnya mengenal-
Nya melalui pengetahuan integrative dan iluminatif, yang realisasinya tidak akan pernah dapat
terpisahkan dari cinta, dan tidak akan mungkin tanpa kehadiran perbuatan yang benar. Lihat :
Sayyed Hossein Nasr (ed.), Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam : Manifestasi, (tim
penerjemah Mizan), Bandung, Mizan, 2003, hal. Xxiii.
15
Sulaiman Al-Kumayi, Kearifan Spiritual dari Hamka ke Aa Gym, Semarang, Pustaka
Nuun, 2004, hal. 4.
16
Azyumardi Azra, et.al., op.cit, hal. 75
17
Ibid.

Konsepal- Hulul Mansur al-Hallaj & al-Ittihat al-Bustami oleh MujibZunun@lmisri 5


Tuhannya, maka ia harus mampu melenyapkan sifat al-nasutnya.
Lenyapnya sifat al-nasut, maka secara otomatis akan dibarengi dengan
munculnya sifat al-lahut dan dalam keadaan seperti inilah terjadi
pengalaman hulul.18
Untuk melenyapkan sifat al-nasut, seorang hamba harus
memperbanyak ibadah. Dengan membersihkan diri melalui ibadah dan
berhasil usahanya melenyapkan sifat ini, maka yang tinggal dalam dirinya
hanya sifat al-lahut. Pada saat itulah sifat al-nasut Tuhan turun dan masuk
ke dalam tubuh seorang Sufi, sehingga terjadilah hulul19, dan peristiwa ini
terjadi hanya sesaat.

Pernyataan al-Hallaj bahwa dirinya tetap ada, yang terjadi adalah


bersatunya sifat Tuhan di dalam dirinya, sebagaimana ungkapan syairnya :

 ‫   هــــــ ا‬  ‫ن  أ‬

‫ "رة ا آ وارب‬#$ ‫ــــــــ ه ا‬%&' ‫* )(ا‬+

“Maha suci zat yang sifat kemanusiaan-Nya membukakan rahasia


ketuhanan-Nya yang gemilang. Kemudian kelihatan bagi makhluknya
dengan nyata dalam bentuk manusia yang makan dan minum”.20

Dalam syair di atas tampak Tuhan mempunyai dua sifat dasar ke-
Tuhanan, yaitu “Lahut” dan “Nasut”. Dua istilah ini oleh al-Hallaj diambil
dari falsafah Kristen yang mengatakan bahwa Nasut Allah mengandung
tabiat kemanusiaan di dalamnya.21 Dalam konsep hulul al-Hallaj dimana
Tuhan dengan sifat ketuhanan menyatu dalam dirinya, berbaur sifat Tuhan
itu dengan sifat kemanusiaan.

18
M. Amin Syukur, Menggugat Tasawuf, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999, hal. 57.
19
Azyumardi Azra, et.al., op.cit., hal. 75
20
Kamil Musthafa al-Syaiby, Syarah al-Diwan al-Hallaj, (Beirut, Maktabah, an-
Nahdhoh, 1974), 18
21
Abdul Kadir Mahmud, al-Fikr al-Islami wa al-Falsafat al-Muaridlah fi al-Qadim wa
al-Hadits (Mesir : Hajah al-Misriyah al-Ammah li al-Kitab, 1986), 78

Konsepal- Hulul Mansur al-Hallaj & al-Ittihat al-Bustami oleh MujibZunun@lmisri 6


Penyatuan antara roh Tuhan dengan roh manusia dilukiskan oleh
al-Hallaj di dalam syairnya sebagai berikut :

‫ل‬-‫ء ا‬/) ‫ ة‬/0 ‫ج‬-/ /‫ آ‬#2‫ رو‬#$ 32‫ رو‬45-

‫ـــل‬2 ‫ آ‬#$ ‫ ا‬4‫ذا ا‬7$ #‫ــــــــــــــ‬8 9:; 38 ‫ذا‬7$

“JiwaMu disatukan dengan jiwaku, sebagaimana anggur dicampur


dengan air suci. Dan jika ada sesuatu yang menyentuh Engkau, ia
menyentuh aku pula dan ketika itu dalam setiap keadaaan Engkau adalah
aku”.22

Bahkan didalam syairnya yang lain, al-Hallaj melukiskan dengan


sangat jelas bahwa :

(‫&& )ــ‬2 ‫ن‬2‫ رو‬ ‫ا  أهى و أهى ا‬

 ‫واذا ا)=  ا)=ـــ‬ ‫ ا)= ــــــــ‬# =)‫ذا ا‬$

“Aku adalah Dia yang kucintai dan Dia yang kucinta adalah aku.
Kami adalah dua roh yang bersatu dalam satu tubuh. Jika engkau lihat
aku, engkau lihat Dia, dan jika engkau lihat Dia, engkau lihat kami”.23

Tatkala peristiwa hulul sedang berlangsung, keluarlah syatahat


(kata-kata aneh) dari lidah al-Hallaj yang berbunyi Ana al-Haqq (Aku
adalah Yang Maha Benar). Kata al-Haq dalam istilah tasawuf, berarti
Tuhan. Sebagian masyarakat saat itu menganggap al-Hallaj telah kafir,
karena ia mengaku dirinya sebagai Tuhan. Padahal yang sebenarnya,
dengan segala kearifan dan kerendahan hati spiritualnya, al-Hallaj tidak
mengaku demikian. Perspektif ini dibangun berdasarkan ungkapan
syairnya yang lain dengan mengatakan bahwa :

22
Ajoeb Joebar, dalam pengantar Ibrahim Gazur I-Ilahi, The Secret of Ana L-Haqq,
(Jakarta : Rajawali, 1986), 21
23
Nasution, Falsafah dan Mistisme dalam Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1973), 90.
Lihat juga Ajoeb Joebar, dalam pengantar Ibrahim Gazur I-Ilahi, Op. Cit., 23

Konsepal- Hulul Mansur al-Hallaj & al-Ittihat al-Bustami oleh MujibZunun@lmisri 7


‫ــــــــ‬:) ‫? ق‬$ @2 ‫) أ‬ ‫أ  ا@  اــ@ أ‬

“Aku adalah Rahasia Yang Maha Benar, dan bukanlah Yang Maha
Benar itu aku, aku hanya satu dari yang benar, dibedakanlah antara kami
atau aku dan Dia Yang Maha Benar”. 24

Dalam pengertian lain dapat diungkapkan bahwa syatahat yang


keluar dari mulut al-Hallaj tidak lain adalah ucapan Tuhan melalui
lidahnya.25
Dengan ungkapan ini, semakin tidak mungkin untuk memahami
bahwa maksud al-Hallaj dengan hululnya dalam berbagai syairnya adalah
dirinya al-Haq. Jadi karena sangat cintanya kepada Allah menjadikan tidak
ada pemisah antara dirinya dengan kehendak Allah, seolah-olah dirinya
dan Tuhan adalah satu. Sebagaimana diungkapkan dalam syairnya : “Aku
adalah Dia yang kucintai dan Dia yang kucintai adalah aku”.26
Seandainya apa yang dikemukakan oleh Harun Nasution, tentang
tafsiran al-Hallaj mengenai perintah Tuhan agar sujud kepada Adam (QS.
2 : 34) adalah pendapat yang sebenarnya yang dimaksud oleh al-Hallaj,
tentu ini pandangan yang sesat. Karena apabila masuk ke jiwa seseorang
misalnya Isa, maka jadilah Tuhan semisal Isa, ini bertentangan dengan
firman Allah “Laisa kamitslihi syaiun”. Apabila dengan masuknya Tuhan
ke dalam diri manusia tidak dengan tidak mengurangi keberadaan Tuhan,
maka berarti ada dua Tuhan atau sekurang-kurangnya belahan Tuhan yang
dapat dinamakan dengan anak Tuhan sebagaimana yang disebut penganut
Kristen sekarang, tentu ini sangat bertentangan dengan Al-Qur’an Surat
Al-Ikhlash.
Namun pendapat al-Hallaj bahwa dalam diri manusia terdapat sifat
ketuhanan itu akan masuk ke dalam diri manusia dengan jalan fana’ yaitu
dengan menghilangkan sifat kemanusiaan, hal ini dapat diterima.

24
Ibid
25
Azyumardi Azra, et.al., Log.cit, hal. 75
26
Kamil Musthafa al-Syaiby, Syarah al-Diwan al-Hallaj, (Beirut, Maktabah, an-
Nahdhoh, 1974), 27

Konsepal- Hulul Mansur al-Hallaj & al-Ittihat al-Bustami oleh MujibZunun@lmisri 8


Sebagaimana menurut al-Hallaj ia bukanlah Yang Maha Benar, tetapi
hanyalah satu dari yang benar. Jadi menurutnya, ia bukan Tuhan. Oleh
karena itu yang lebih tepat dalam manafsirkan atau memahami ajaran al-
Hallaj adalah bahwa menurutnya, Tuhan mengisi diri manusia-manusia
tertentu dengan sifat ketuhanan, maka jadilah manusia itu satu dari yang
benar, dialah manusia yang memiliki / dikaruniai sifat Tuhan.

C. Konsep al-Ittihad dalam teorinya Abu Yazid al-Bustami


1. Sketsa Biografi
Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Taifur bin Isa Surusyan, juga
dikenal dengan Bayazid. Beliau dikenal sebagai salah seorang sufi
kenamaan Persia abad ke-III dari Bistam wilayah Qum,27 lahir pada tahun
874 M dan wafat pada usia 73 tahun.28 Ayahnya seorang pemimpin di
Bistam dan ibunya seorang yang zahid, sedangkan kakeknya seorang
Majusi yang memeluk Islam dan menganut madzhab Hanafi.29
Abu Yazid mengatakan “Dua belas tahun lamanya aku menjadi
penempa besi bagiku. Kulempar diriku dalam tungku riyadhah. Kubakar
dengan api mujahadah. Kuletakkan diatas alas penyesalan diri sehingga
dapatlah kujumpai sebuah cermin diriku sendiri. Lima tahun lamanya aku
menjadi cermin diriku yang selalu kukilapkan dengan bermacam-macam
ibadah dan ketaqwaan. Setahun lamanya aku memandang cermin diriku
dengan penuh perhatian, ternyata diriku kulihat terlilit sabuk takabbur,
kecongkaan, ujub, riya’, ketergantungan kepada ketaatan dan
membanggakan amal. Kemudian aku beramal selama lima tahun sehingga
sabuk itu putus dan aku merasa memeluk Islam kembali. Kupandang para
makhluk dan aku lihat mereka semua mati, sehingga aku kembali dari

27
Team Penyusun Ensiklopedia Islam, Ensiklopedi Islam, Jilid I, Jakarta, Ikhtiar Baru
Van Hoeve : 1994, hal. 262.
28
Harun Nasution, Falsafah dan Mistisme Dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang : 1973,
hal. 81
29
Team Penyusun Ensiklopedia Islam, Op. Cit., hal. 262

Konsepal- Hulul Mansur al-Hallaj & al-Ittihat al-Bustami oleh MujibZunun@lmisri 9


janazah mereka semua. Aku sampai kepada Allah dengan pertolongan-Nya
tanpa perantara makhluk”.30

2. Konsep al-Ittihad Abu Yazid al-Bustami


a. Al-Fana’ dan al-Baqa’
Keadaan fana’-baqa’ dan ittihad sebagaimana yang dialami oleh
Abu Yazid dalam pengalaman tasawwufnya, merupakan tiga aspek dalam
suatu pengalaman sufi yang tejadi setelah tercapainya makam ma’rifat.
Dan hal ini tidak banyak sufi yang mencapai tataran demikian, bahkan
kalaupun ada maka tidak akan pernah lepas dari dijumpainya pro-
kontradari kalangan umat Islam sendiri, terutama dari kalangan
mutakallimun, karena perjalanan para sufi pada maqam yang setelah
mencapai tingkatan ma’rifat hampir selalu dinyatakan sebagai
bertentangan dengan ajaran islam, meskipun upaya demikian dilakukan
dalam rangka mendekatkan diri sedekat mungkin pada Sang Pencipta.
Dalam perspektif sufi hal ini sangat penting, karena salah satu inti
tasawuf adalah perasaan hilangnya seluruh sifat kemanusiaan yang
kmudian diganti dengan sifat-sifat ketuhanan. Kondisi ini tercapai dengan
sebuah keyakinan bahwa seluruh sifat kemakhlukan manusia merupakan
baying semu yang tidak tetap, sedangkan sifat-sifat tuhan adalah
permanen, yang diproses melalui penghilangan kepribadian dan perasaan
terhadap semua yang ada disekitarnya terlebih dahulu. Dengan hilangnya
semua perasaan dan kehendak pada sesuatu itu, akan hilang pula berbagai
keinginan untuk memiliki benda duniawi.
Seorang sufi yang hendak bersatu dengan tuhan;ittihad terlebih
dahulu harus melalui dengan dua keadaan yang tidak dapat dipisahkan,
yaitu keadaan fana’, yakni, kesirnaan-peleburan; penghancuran perasaan
atau kesadaran seseorang tentang dirinya dan makhluk lain disekitarnya,

30
Abu al-A’la al-Afifi, Fi al-Tasawwuf al-Islamiyah wa Tarikhihi, Kairo, Lajnah Taklif
wa al-Tarjamah wa al-Nasyr : 1969, hal. 25

Konsepal- Hulul Mansur al-Hallaj & al-Ittihat al-Bustami oleh MujibZunun@lmisri 10


dan baqa’, tetap, kekal, yakni tetap dalam kebajikan dan kekal dalam sifat
ketuhanan.31
Fana’-baqa’ merupakan pengetahuan atau pengalaman yang tidak
bisa diperoleh melalui pemikiran, tetapi diberikan oleh Tuhan melalaui
penerangan yang merupakan rahasia tuhan. Dikatakan demikian karena
perjalanan ini diidentikan dengan hancurnya sifat jiwa, atau sirnanya sifat-
sifat tercela, maka barang siapa fana’ dari sifat tercela, maka pada dirinya
akan muncul sifat-sifat terpuji.32
Fana’ dan baqa’ merupkn sesuatu yang kembar, karena ia terjadi
dldm waktu yang bersamaan, sehingga jika terjadi fana’, dimana pada
waktu kesadaran dengan diri dan alam sekelilingnya telah hilang maka
bersamaan dengan itu ia mengalami baqa’, yaitu munculnya kesadaran
akan kehadirannya disisi Tuhan.
Abu Yazid mendapatkan pengalaman ini setelah melalui perjalanan
yang sangat berat yaitu ketika beliau melakukan ibadah haji;
Aku pergi ke Makkah dan melihat sebuah rumah berdiri tersendiri,
aku berkata; hajiku tidak diterima karena aku melihat banyak batu
semacam ini, aku pergi lagi dan melihat rumah itu dan juga Tuhan rumah
itu. Aku berkata, ini masih bukan pengesahan yang hakiki. Aku pergi
untuk ketiga kalinya dan aku hanya melihat Tuhan rumah itu, kemudian
suara dalam batinku berbisik; wahai bayazid, jika engkau tidak melihat
dirimu sendiri engkau tidak akan menjadi seorang musyrik walau emgkau
melihat seluruh jagad raya. Karena engkau masih melihat dirimu sendiri,
engkau adalah seorang yang musyrik walaupun engkau buta terhadap
seluruh jagad raya. Maka aku bertobat lagi, dan tobatku kali ini adalah
tobat dari memandang wujudku sendiri.33
Fana’ di kalangan sufi merupakan kejadian yang temporal, tidak
berlangsung secara terus menerus, seandainya kejadian ini berlangsung

31
Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspek, Op. Cit., hal. 83
32
Abu Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Madkhal ila al-Tasawwuf al-Islam, Terj. Ahmad
Rafi’ Usman, Bandung, Pustaka ; 1985, hal. 106
33
Al-Hujriwi, Kasyf al-Mahjub, Mesir, Lajnah al-Ta’rif bi al-Islam, 1934, hal 524

Konsepal- Hulul Mansur al-Hallaj & al-Ittihat al-Bustami oleh MujibZunun@lmisri 11


secara terus-menerus niscaya akan merusak ibadah lain yang justru
merupakan hal yang dapat mengantar keadaannya kepada tingkatan
demikian, maka dapat dikatakan bahwa hal ini akan bertentangan dengan
ajaran syar’i yang merupakan pantangan pula bagi pelaku sufi.
Abu Yazid dikenal sebagai seorang sufi yang sangat
memperhatikan syariat dan ajaran agama, meskipun beliau hampir selalu
dalam keadaan “mabuk”hingga saat shalat tiba, ketika waktu shalat telah
tiba, beliau kembali kepada kesadaran, seusai melaksanakan shalatnya,
apabila di kehendaki ia kembali kepada fana’.34
Dengan demikian seorang sufi tidak meninggalkan syariat agama,
bahkan ketaatan menjalankan seluruh ajaran akan senantiasa di upayakan
semaksimal mungkin dalam rangka memenuhi standar untuk menjaga
kesucian jiwanya dari sifat-sifat tercela yang akan mengganggu kebersihan
jiwanya.
b. Al-Ittihad
Keadaan ini merupakan suatu tingkatan dalam tasawuf, dimana
seorang sufi merasakan dirinya telah bersatu dengan Tuhan, saat yang
mencintai dan yang dicintai telah menyatu, sehingga salah satu dari
mereka dapat memanggil yang lain dengan kata “hai aku”.
Ittihad tidak muncul dengan begitu saja, tetapi harus setelah
menenpuh tingkatan fana’-baqa’ yang dapat ditempuh dengan menyadari
keadaan dirinya sebagai individu yang terpisah dari Tuhannya, dilanjutkan
dengan memperjuangkan tersingkapnya pembatas yang menghalangi
pandangan mata hatinya, dengan mengikis sifat-sifat tercela, yang
dilakukan secara terus manarus.
Setelah Abu Yazid mengalami ke-fana’an, dengan sirnanya segala
sesuatu yang selain Allah dari pandangannya, saat itu dia tidak lagi
menyaksikan selain hakikat yang satu, yaitu Allah. Bahkan dia tidak lagi
melihat dirinya sendiri karena dirinya telah terlebur dalam Dia yang

34
Abu Bakar al-Kalbadzi, al-Ta’arruf li Madzhab Ahl al-Tasawwuf, Kairo, Maktabah
al-Kulliyah al-Azhariyyah, 1969, hal. 147

Konsepal- Hulul Mansur al-Hallaj & al-Ittihat al-Bustami oleh MujibZunun@lmisri 12


disaksikannya. Dalam keadaan yang seperti ini terjadi penyatuan dengan
Yang Maha Benar. Kondisi seperti itu telah menghilangkan batas antara
sufi dengan Tuhan, antara yang mencintai dan yang dicintai. Pada saat
seperti ini sufi dapat melihat dan merasakan rahasia Tuhan. Ketika sufi
telah menyatu dengan Tuhan, sering terjadi pertukaran peran antara sufi
dengan Tuhan. Saat itu sufi tidak lagi berbicara atas namanya, melainkan
atas nama Tuhan, atau Tuhan berbicara melalui mulut sufi, yang keluar
dari mulutnya ungkapan-ungkapan yang kedengarannya ganjil,
sebagaimana yang pernah diungkapkan Abu Yazid; pada suatu ketika aku
dinaikkan kehadirat Tuhan dan ia berkata “Abu Yazid, makhluk-Ku ingin
melihat engkau”, aku menjawab “kekasihku aku tidak ingin melihat
mereka, tetapi jika itu kehendak-Mu, hiaslah aku dengan keesaan-Mu,
sehingga jika makhluk-Mu melihat aku, mereka akan berkata ‘telah kami
lihat engkau’, tetapi yang mereka lihat sebenarnya adalah Engkau, karena
ketika itu aku tidak ada disana”.35
Ketika terjadi ittihad secara utuh, Abu Yazid mengatakan dalam
syatahatnya : “Tuhan berkata ; semua mereka kecuali engakau adalah
makhluk-Ku”, akupun berkata, “Aku adalah Engkau, Engaku adalah aku
adalah Engkau”, maka pemilahanpun terputus, kata menjadi satu, bahkan
seluruhnya menjadi satu. Dia berkata, “Hai engkau”, aku dengan
perantara-Nya menjawab, “Hai aku”. Dia berkata, “Engkau yang satu”.
Aku menjawab, “Akulah yang satu”. Dia selanjutnya berkata, “Engkau
adalah engaku”. Aku menjawab, “Aku adalah aku”. Kata aku yang
diucapkan Abu Yazid bukanlah sebagai gambaran diri Abu Yazid tetapi
sebagai gambaran Tuhan, karena saat itu Abu Yazid telah bersatu dengan
Tuhan, dengan kata lain, dalam ittihad Abu Yazid berbicara dengan nama
Tuhan atau lebih tepat lagi, Tuhan berbicara melalui lidah Abu Yazid.36
Dalam peristiwa lain, Abu Yazid dikunjungi seseorang, kemudian
ia bertanya : “Siapa yang engkau cari ?”, jawabnya, jawabnya, “Abu
35
Syarah Binti Muhsin ibn Abdullah ibn Jalawi, Nadzariyyah al-Ittishal ‘ind al-
Shufiyyah fi al-dhau’ al-Islam, Jeddah, Dar al-Manarah ; 1991, hal 31.
36
Harun Nasution, Falsafah dan Mistisme Dalam Islam, Op. Cit., hal. 85

Konsepal- Hulul Mansur al-Hallaj & al-Ittihat al-Bustami oleh MujibZunun@lmisri 13


Yazid”, Abu Yazid mengatakan : “Pergilah, di rumah ini tak ada kecuali
Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Tinggi”.37
Dengan ucapan-ucapan yang telah dikemukakan, Abu Yazid
terlihat telah bersatu dengan Tuhan. Sehingga dia tidak sadar akan diri dan
lingkungannya karena yang ada saat itu hanya Allah semata. Sebenarnya
Abu Yazid tetap mengakui adanya wujud, Tuhan dan Makhluk, hanya saja
dia merasakan kebersatuan antara keduanya, sedangkan masing-masing
masih tetap dalam esensinya, Tuhan tetap Tuhan, makhluk tetap makhluk.
Ketika terjadinya ittihad, yang dimaksud bersatu adalah dalam arti ruhani,
bukan hakekat jazad.38
Ittihad terjadi dengan perantara fana’-baqa’ sebagaimana telah
dikemukakan, digambarkan sebagai jiwa yang kehilangan semua hasrat,
perhatian dan menjadikan diri sebagai obyek Tuhan, dengan cinta di dalam
batin, pikiran sifat-sifat kebaikan yang menimbulkan kekaguman dalam
dirinya. Sebagaimana diceritakan bahwa Abu Yazid pernah mengatakan
“Aku tidak heran terhadap cintaku pada-Mu, karena aku hanyalah hamba
yang hina, tetapi aku heran terhadap cinta-Mu padaku, karena Engkau
Raya Yang Maha Kuasa”. Dia juga menyatakan, “Manusia bertaubat dari
dosa-dosa mereka, tetapi aku taubat dari ucapanku “Tidak ada Tuhan
selain Allah”, karena dalam hal ini aku memakai alat dan huruf, sedangkan
Tuhan tidak dapat dijangkau dengan alat dan huruf”.39
Semakin larutnya dalam ittihad, di suatu pagi setelah shalat
shubuh, Abu Yazid pernah melafalkan kalimat sampai orang lain
menganggapnya orang gila dan menjauhinya dengan kalimat,
“Sesungguhnya aku adalah Allah, tiada Tuhan selain aku, maka sembahlah
aku, maha suci aku, maha suci aku, maha besar aku”.40
Ungkapan-ungkapan yang dikeluarkan oleh Abu Yazid diatas tidak
dapat dilihat secara harfiah, tetapi harus dipandang sebagai ungkapan

37
Ibid, 86
38
Syarah Binti Muhsin, Op. Cit, hal. 34.
39
Harun Nasution, Op. Cit. , hal. 84.
40
Ibid, 86

Konsepal- Hulul Mansur al-Hallaj & al-Ittihat al-Bustami oleh MujibZunun@lmisri 14


seorang sufi yang sedang dalam keadaan fana’, seluruh pikiran, kehendak
dan tindakannya telah baqa’ dalam Tuhan. Pada dasarnya semua wujud,
selain wujud Tuhan adalah fana’, atau segala sesuatu selain Tuhan,
dipandang dari keberadaan dirinya, sudah tidak ada fana’. Dengan
demikian satu-satunya wujud yang ada hanyalah wujud Tuhan.
Dalam pengalaman tasawuf, keadaan fana’ para sufi berbeda antara
satu dengan yang lain. Ada yang kembali kepada keadaan normal sehingga
dia tetap menganggap dualitas antara Tuhan dan alam, tetapi ada pula yang
betul-betul merasakan fana’ yang kemudian mengantarkan bersatu dengan
Tuhan, sehingga tidak ada perbedaan antara Tuhan, dengan alam, atau
sebaliknya.
Meskipun Abu Yazid di pandang sebagai tokoh terpandang dalam
bidangnya, ternyata juga mendapat kritik, sebagai contoh adalah al-Thusi,
yang memaparkan bahwa ittihad sebagaimana yang di lakukan oleh Abu
Yazid, yang diawali oleh keadaan fana’, patut diwaspadai bahaya-bahaya
yang akan di timbulkannya, karena menurutnya, sifat-sifat kemanusiaan
tidak mungkin sirna dari manusia. Oleh karena itu persangkaan bahwa
manusia bisa fana’, sehingga ia bersifat sebagaimana sifat ketuhanan,
adalah keliru. Akibat ketidak tahuannya, pendapat itu hanya akan
mengantar mereka kepada hulul atau pendapat orang nasrani tentang isa
al-Masih.41
Namun juga tidak kurang dari tokoh sufi lain yang memberikan
dukungan, sebagaimana di sampaikan oleh Al-Junaidi, yang menyatakan
dapat memahami ungkapan yang di keluarkan Abu Yazid. Bahkan Abd al-
Qadir al-Jailani memberikan komentar, “Terhadap apa yang di ucapkan
para sufi, tidak bisa dijatuhkan hukum, kecuali apa yang di ungkapkannya
dalam keadaan sadar”42 karena persoalannya tidak lebih dari psikis yang
sedang dialami oleh masing-masing pelaku sufi yang sedang

41
Abu Wafa’ al-Ghanimi al-Taflazani, Op. Cit., hal. 109
42
Ibid, 119

Konsepal- Hulul Mansur al-Hallaj & al-Ittihat al-Bustami oleh MujibZunun@lmisri 15


melangsungkan tawajjuh dengan Allah sehingga keadaan alam dan
seisinya benar-benar tertutup dari jangkauan akal mereka.
D. Epilog
Demikianlah dalam perspektif al-Hallaj dan al-Bustami bahwa Tuhan
dan manusia dipahami memiliki dua sifat yang sama. Suatu saat apabila
manusia berhasil menghilangkan sifat kemanusiaannya dengan
membersihkannya lewat berbagai ibadah yang tulus ikhlas hanya mencari
keridlaan Allah, maka dipastikan ia akan bisa bertemu dan menyatu dengan
sifat Allah. Sebaliknya, apabila manusia tanpa mau berusaha menghilangkan
atau melenyapkan sifat kemanusiaannya, maka sulit untuk bisa dipastikan
akan bertemu dan menyatu dengan Allah.

BIBLIOGRAPY

Abd. Hadi, M., W, dalam pengantar Saleh Abdul Sabur, Tragei al-Hallaj,
(Bandung, Pustaka, 1976)
Abdul Kadir Mahmud, al-Fikr al-Islami wa al-Falsafat al-Muaridhoh fi al-
Qodim wa al-Hadits, (Mesir, Hajah al-Misriyah al-Ammah li al-Kitab,
1986)
Abu, Wafa’, al-Ghanimi, al-Taftazani, Madkhal ila al-Tasawwuf al-Islam, Terj.
Ahmad Rafi’ Usman, Bandung, Pustaka ; 1985
Abu Bakar al-Kalbadzi, al-Ta’arruf li Madzhab Ahl al-Tasawwuf, Kairo,
Maktabah al-Kulliyah al-Azhariyyah, 1969,
Abu al-A’la al-Afifi, Fi al-Tasawwuf al-Islamiyah wa Tarikhihi, Kairo, Lajnah
Taklif wa al-Tarjamah wa al-Nasyr : 1969,
Ajoeb Joebar, dalam pengantar Ibrahim Gazur I-Ilahi, The Secret of Ana L-Haqq,
(Jakarta : Rajawali, 1986)
Al-Hujriwi, Kasyf al-Mahjub, Mesir, Lajnah al-Ta’rif bi al-Islam, 1934,

Konsepal- Hulul Mansur al-Hallaj & al-Ittihat al-Bustami oleh MujibZunun@lmisri 16


Amin Syukur, M, Zikir Menyembuhkan Kankerku : Pengalaman Kesembuhan
Seorang Penderita Kanker Ganas yang Divonis Memiliki Hidup Hanya
Tiga Bulan, Jakarta, Hikmah (PT Mizan Publika), Cetakan II, 2007
Amin Syukur, M, Menggugat Tasawuf, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999
Azyumardi Azra, et. Al., Ensiklopedia Islam, Jakarta, PT Ichtiar Baru van Hoeve,
Cetakan X, 2002
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya,
Semarang, CV Toha Putra, 1989.
Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, (Jakarta, Pustaka
Panjimas, 1993)
Harun Nasution, Falsafah dan Mistisme dalam Islam, (Jakarta, Bulan Bintang,
1973)
Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspek,

Kamil Musthafa al-Syaiby, Syarah al-Diwan al-Hallaj, (Beirut, Maktabah, an-


Nahdhoh, 1974)
Quraish Shihab, M, Menyingkap Tabir Ilahi, Al-Asma’ al-Husna Dalam
Perspektif Al-Qur’an, Jakarta, Lentera Hati, Cetakan VIII, 2006
Syarah Binti Muhsin ibn Abdullah ibn Jalawi, Nadzariyyah al-Ittishal ‘ind al-
Shufiyyah fi al-dhau’ al-Islam, Jeddah, Dar al-Manarah ; 1991
Sayyed Hossein Nasr (ed.), Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam :
Manifestasi, (tim penerjemah Mizan), Bandung, Mizan, 2003
Schimmel, Annemaric, Dimensi Mistik Dalam Islam, (Jakarta, Pustaka Firdaus,
1986)
Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, (Jakarta, Raja Grafindo
Persada, 1997)
Sulaiman Al-Kumayi, Kearifan Spiritual dari Hamka ke Aa Gym, Semarang,
Pustaka Nuun, 2004
Team Penyusun Ensiklopedia Islam, Ensiklopedi Islam, Jilid I, Jakarta, Ikhtiar
Baru Van Hoeve : 1994,

Konsepal- Hulul Mansur al-Hallaj & al-Ittihat al-Bustami oleh MujibZunun@lmisri 17


Yusuf Qardawi, Al-Iman wa al-Hayat, (terj. Jazirotul Islamiyah), Jakarta, Mitra
Pustaka, Cetakan V, 2002

Konsepal- Hulul Mansur al-Hallaj & al-Ittihat al-Bustami oleh MujibZunun@lmisri 18

You might also like