Professional Documents
Culture Documents
WORKSHOP
Memperkuat Justisiabilitas
Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya :
Prospek dan Tantangan
Yogyakarta, 13 - 15 November 2007
Oleh :
Prof. Soetandyo Wignjosoebroto
(Guru Besar Emeritus UNAIR)
HAK-HAK MANUSIA YANG ASASI
UNTUK MEMPEROLEH JAMINAN RASA`AMAN DAN SEJAHTERA
DALAM KEHIDUPAN EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA,
DI TENGAH PELAKSANAAN PROGRAM PEMBANGUNAN NASIONAL
YANG SERING TAK BERKIBLAT KE KEPENTINGAN RAKYAT
Soetandyo Wignjosoebroto
Perluasan konsep hak-hak manusia yang asasi itu secara tersirat sebenarnya
juga mengandung kritik pada kegagalan laissez-faire liberalism dari abad 18.
Liberalisme klasik ini meyakini kebenaran premis tentang adanya apa yang disebut
homo equalis, ialah adanya manusia-manusia individual yang dikatakan selalu
rasional dalam segala tindakan dan putusan akalnya. Inilah konsep yang pada kuartal
akhir abad 18 itu memperoleh pembenaran etik-ekonomiknya oleh pemikir liberal
seperti Adam Smith, yang pada gilirannya meyakini terwujudnya the wealth of
nations sebagai hasil realisasi yang konsekuen atas seluruh premis dan asas etika
macam itu.
Akan tetapi, sudah pada belahan akhir abad 19 konsep dan teori kaum liberalis
– yang juga individualis -- seperti itu sudah memperoleh cabaran dari teoretisi
sosialis, seperti Karl Marx (dalam bukunya Das Kapital, 1848), berikut realisasinya
2
sebagai ideologi yang berkulminasi pada pecahnya revolusi Bolsewik di Rusia pada
tahun 1917). Krisis-krisis ekonomi di negara-negara industri (yang memuncak pada
dasawarsa kedua-ketiga abad 20) kian membuktukan pula secara faktual kelemahan
konsep liberalisme yang bertumpu pada konsep individualisme yang terlalu percaya
akan adanya equality, in all situations, among all individuals. Krisis kian nyata
tatkala konsep dan paham individual liberty and equality among individuals yang
dimaknakan secara mutlak seperti itu – kalaupun mendatangkan pertumbuhan
kemakmuran untuk suatu bangsa (seperti yang diyakini oleh Adam Smith), nyatanya
juga mengundang kesenjangan yang kian lama kian parah antar-sesama manusia dan
kehidupan nasional.
*)
Kovenan yang berkenaan dengan pengakuan hak-hak asasi manusia di bidang kehidupan ekonomi,
sosial dan budaya ini ialah The International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights yang
diterima lewat resolusi sidang umum PBB pada tahun 1966, di samping kovenan internasional serupa
tentang hak-hak sipil dan hak-hak politik.
3
Dikatakan, bahwa yang lebih gampang dipahami oleh massa awam di negeri-
negeri ini (khususnya oleh yang masih berkedudukan marjinal dan belum diuntungkan
dalam kehidupan nasionalnya) ialah, bahwasanya kesejahteraan itu – entah tinggi
entah rendah tingkatnya – bukanlah pertama-tama merupakan hasil upaya individual
yang dikerjakan atas dasar hak individual warga. Dalam kehidupan yang masih pula
secara kuat-kuat dihegemoni oleh tradisi patrimonialisme, yang lebih populer adalah
paham bahwa kesejahteraan rakyat itu sudah semestinya kalau digantungkan pada --
dan ditentukan oleh -- kemampuan para pemimpin dan penguasa untuk memberikan
rasa “ayom dan ayem” kepada para pendukung dan pengikutnya. Amal sedekah --
pemberian bantuan (paringan!) atau subsidi -- itulah yang cenderung lebih banyak
ditunggu-tunggu sebagai sumber asal kesejahteraan daripada hasil usaha atas dasar
tanggungjawab pribadi yang berdasarkan hak-hak yang asasi.
Di tengah kenyataan dan kepahaman seperti itu pula, massa awam bahkan
tidak pernah terkesan merisaukan soal apakah jaminan kesejahteraan yang datang
langsung dari pemerintah itu harus dibayar mahal dalam wujud terambil-alihnya
sebagian dari hak-hak mereka yang asasi untuk terkonversi menjadi kewenangan-
kewenangan negara beserta para pejabatnya. Hak-hak ‘ekosob’ lalu kian dimengerti
sebagai hak-hak untuk diberi bantuan pemerintah. Yang pada gilirannya justru
terkonversi menjadi kewajiban-kewajiban untuk menaati pembinaan yang dilakukan
pemerintah. Berihwal seperti itu, dapatlah dimengerti mengapa protes-protes massa
yang tengah ramai berlangsung dewasa ini pada umumnya tertengarai bersebab dari
tiadanya lagi kemampuan dan/atau niat pemerintah untuk meneruskan pemberian
bantuan dan subsidi kepada rakyat. Protes-protes tidaklah berhakikat sebagai tuntutan
dipenuhinya hak-hak asasi rakyat untuk memperoleh situasi yang kondisif untuk
berusaha secara bebas dan mandiri, untuk kemudian menikmati hasil-hasilnya tanpa
banyak mengalami intervensi para pejabat.
4
Maka, gampang atau tak gampang, penegakan atau pemenuhan hak rakyat
yang asasi untuk memperoleh peningkatan kualitas hidup mereka di bidang ekonomi,
sosial dan kultural harus dimulai dari “dalam”. Prosesnya adalah proses pendidikan,
walaupun tidaklah ini berarti bahwa proses politik untuk mengkritiki setiap produk
legislatif yang tidak menguntungkan massa awam tidak serta merta perlu dihentikan.
Inilah proses pendidikan menuju ke kesadaran hak untuk melepaskan diri dari rasa
ketergantungan, yang dalam khazanah wacana hukum dikenal dengan kata istilah
proses – atau tepatnya gerakan – menuju ke arah terwjudnya legal literacy, ialah
situasi kesadaran akan pemilikan hak di kalanagan khalayak awam.
Gerakan sadar hukum perlu dimarakkan kembali, namun dengan strategi dan
pengorganisasian yang lain. Bukan lagi strategi untuk menyadarkan rakyat akan
kewajiban-kewajiban (semata) seperti yang dikerjakan sebagai “gerakan sadarkum”
oleh lembaga-lembaga pemerintahan pada era rezim Orde Baru (yang sekarang sudah
tidak berbau baru lagi itu). Alih-alih, gerakan ini harus mengambil strategi baru.
Ialah strategi untuk menyadarkan para warga negara, khususnya yang selama ini
masih awam dan tak pernah tersapa oleh para lawyers yang terbilang selibriti, agar
menyadari hak-hak dan batas-batas hak mereka. Strategi ‘sadarkum’ sebagai gerakan
kesadaran hak daripada sebagai gerakan kesadaran kewajibaninilah yang kini harus
lebih banyak dikerjakan oleh organisasi-organisasi non-pemerintah yang sejak lama
memang ditengarai menganut kebijakan populis.
Sekali lagi di sini diakui kebenaran doktrin baru dalam hukum, khususnya
yang diadvokasi para teoretisi hukum dari aliran kritik (yang dikenal dengan
panggilan the Crits), bahwa demi terealisasinya hak-hak ‘ekososbud’ yang asasi,
hukum tidaklah harus berparadigma netral, melainkan harus memihak. Ialah
memihak ke kepentingan mereka yang miskin, yang termarjinalisasi dan yang belum
diuntungkan. Itulah hukum yang berkarakter populis, dan jauh dari kecenderungan-
kecenderungannya yang tak pantas ke arah karakternya yang terlalu elitis. Hukum
yang terlalu elitis malah cenderung mengundang ketidakpuasan mereka yang
berposisi rawan dan merasa diperlakukan tak adil dan dipermiskin, yang akhirnya
hanya mengundang protes-protes dan demonstrasi massa yang rusuh dan pula tak
produktif.
Kebijakan baru seperti ini sebenarnya tak hanya bersanksi nasional melainkan
juga bersanksi internasional. Di bawah sanksi-sanksi seperti itu keberhasilan para
pejabat pemerintahan tak lagi akan semata-mata ditentukan oleh kinerja dan
prestasinya di bidang-bidang kamtibmas seperti yang terjadi pada masa-masa lalu di
negeri ini.. Pelaksanaan upaya merealisasi hak-hak ekonomi (berikut hak-hak sosial
dan hak-hak budaya) yang asasi ini – khususnya bagi mereka yang masih
6
Apa yang disebut state parties ini wajib mengupayakan langkah-langkah guna
menjamin terlaksananya pembebasan sesiapapun dari bahaya kelaparan dan
kekurangan sumberdaya lainnya. .Konvenan on economic, social and cultural rights
inipun telah mewajibkan pemerintah-pemerintah nasional di negeri manapun untuk
mengupayakan terangkatnya taraf hidup manusia ke tingkatnya yang layak, yang
terwujud dalam bentuk tercukupinya sandang, pangan dan papan manusia-manusia
penduduk negeri. Kegagalan seperti itu boleh dibilangkan sebagai pelanggaran hak-
hak asasi manusia, sekalipun tidak hendak dikatakan sebagai pelanggaran yang
dilakukan on commission melainkan on ommission.
Kini ini, kekuasaan dan kewenangan – dari perspektif hak-hak asasi manusia
(yang telah menjadi unsur penting dalam setiap hukum konstitusi – hanya akan
memperoleh dasar legitimasinya manakala diefektifkan untuk menjamin terwujudnya
hak rakyat untuk memperoleh freedom from want. Tak pelak lagi, state parties akan
terus diseru untuk mendukung beban kewajiban yang asasi untuk menjamin hak-hak
rakyat jelata untuk memperoleh kesejahteraan lewat upaya-upaya bersama yang
disebut ‘pembangunan’. Dalam konsep ini, pembangunan bukan lagi sebatas
definisinya sebagai program -- apalagi sebagai ideologi -- pemerintah, melainkan
sebagai bagian dari kegiatan nasional yang demokratik untuk memperjuangkan
terwujudnya freedom from wants itu. Pembangunan bukan lagi program-program
yang menjadi bagian dari siasat pejabat-pejabat elit pemerintah untuk bertahan pada
posisinya yang terkini lewat suatu proses trade-off (yang hendak mengorbankan
sesuatu dalam porsi sedikit, untuk difungsikan sebagai umpan yang dilemparkan
kepada mereka yang miskin, demi terpertahankannya dan bahkan demi diperolehnya
hasil yang lebih banyak).
Dengan kebijakan seperti itu, besar kemungkinan bahwa akses rakyat dalam
masyarakat-masyarakat hukum adat untuk ikut mengelola kekayaan sumber agraria di
lingkungannya akan menjadi tertutup. Pembangunan yang diprogramkan pun tak
akan mungkin merupakan pembangunan yang partisipatif, yang mengakui hak-hak
rakyat atas perannya dalam pembangunan berikut hasil-hasilnya.
Akan tetapi, dalam persoalan ini, yang dimaksudkan dengan bertindak aktif itu
tak sekali-kali boleh diartikan sebagai peniadaan hak rakyat untuk, berbekalkan modal
kekayaan alam dan modal sosial-kulturalnya, membangun diri dan masyarakatnya
sendiri. The right to/of (self-)development sebagai bagian dari the right to/of self-
determination yang bernilai asasi itu tetap harus dihormati, dan tak sekali-kali boleh
berarah ke terjadinya pengingkaran atas prinsip yang menyatakan bahwa hak-hak
asasi manusia itu sesungguhnya inalienable.
**
David Korten menyebutkan tiga paradigma politik pembangunan: Paradigma pertumbuhan yang
mementingkan industrialisasi, paradigma kesejahteraan yang mementingkan pemberian layanan dan
amalan, dan paradigma kerakyatan yang mementingkan human dsevelopment (yang harus
diterjemahkan ‘pengembangan manusia’, dan bukan ‘pembangunan atau pembinaan manusia’).
Paradigma kerakyatan adalah paradigma yang berselaras dengan paham yang mengakui pentingnya
hak-hak asasi dalam setiap proses pembangunan. Paradima kerakyatan memposisikan modal sosial dan
komitmen warga sebagai sumberdaya utama dalam pembangunan, dam bukan modal finansial atau
anggaran belanja negara yang didalilkan oleh paradigma pertumbuhan dan paradigma kesejahteraan
8
Soetandyo Wignjosoebroto
PERLUASAN KONSEP HAM
Pada asasnya:
00000
HAK-HAK APA SAJA ITU?
z Hak-Hak Ekonomi, a. l. hak untuk:
z mempunyai kekayaan dan perlindungan akan
miliknya itu;
z memperoleh kehidupan yang layak lewat
kesempatan kerja yang layak pula;
z memperoleh kesehatan dan lingkungan yang
sehat;
z Berpartisipasi dalam kegiatan pembangunan
dan untuk ikut menikmati hasil-hasilnya
HAK-HAK APA SAJA ITU?
z Hak-Hak Sosial, a. l. hak untuk:
z Bergaul dan berkawan dalam suatu
perhimpunan;
z Berkeluarga;
z Bermukim dalam suatu satuan permukiman
dalam suasana damai;
z Diperlakukan sama dalam kehidupan sehari-
hari dalam masyarakatnya
HAK-HAK APA SAJA ITU?
KITA DISKUSIKAN!