You are on page 1of 12

Strategi Manajemen Pemerintahan Menuju Pelayanan Publik

M. Nur Alamsyah α

Abstrak
Pelayanan publik sebagai salah satu tujuan organisasi pemerintahan, merupakan
problem pemerintahan yang tidak pernah dapat memperoleh pertautan secara maksimal
dengan tingkat penerimaan dari masyarakat. Perkembangan masyarakat yang terpengaruh
dari dalam karakter pergaulan dunia global yang dimotori oleh paradigma Anglo Saxxon
dan Continental ataupun pergulatan sudut pandang secara ideologis antara mashab
positivis dengan Marxis.
Pergulatan perkembangan akan kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan
masyarakat tersebut, menjadi paradigma yang silih berganti saling mempengaruhi.
Ekspektasi masyarakat yang dibangun oleh kuatnya sistem globalisasi mencengkram
berbagai aspek kehidupan masyarakat bangsa diseluruh dunia, menjadi duplikasi
pengelolaan manajemen peemerintahan yang dijadikan sebuah orientasi. Akibatnya
paradigma yang berkembang menjadi sebuah arah pengembangan, sementara dilema
birokrasi pemerintahan yang hierarkis mengakibatkan tidak tersimpulnya antara harapan
masyarakat dan kenyataan yang dihasilkan dari kehidupan budaya strukturalisme
birokrasi yang masih tercengkram dengan model Weberian.
Fenomena pelayanan publik di Indonesia, juga terpengaruh oleh hal diatas. Dalam
era otonomi daerah yang kian maju, maka problematika pelayanan tidak dengan serta
merta terselesiakan oleh kebijakan politik tersebut. pergeseran ke arah penciptaan
birokrasi yang semakin tidak jelas terutama dalam manajemen pengelolaan yang
dibutuhkan masyarakat, semakin disulitkan oleh fenomena latah-latahan yang
dikembangkan oleh birokrasi yang terjebak dalam tindakan inefisiensi yang dalam
keadaan berbagai kendala keterbatasan untuk penciptaan pelayanan publik yang baik,
dimana terpaut kuat pada masalah klasik dengan keterbatasan dana daerah.
Kata kunci: Paradigma, Manajemen, Pemerintahan, Pelayanan Publik
A. Pendahuluan
Setiap disiplin ilmu memiliki suatu standarisasi yang mencakup fokus dan lokus.
Focus mempersoalkan tentang “what of the field” atau metode dasar yang digunakan

Staf Pengajar Pada Program Studi Ilmu Pemerintahan FISIP UNIV. Tadulako Palu, Sulteng
atau cara-cara ilmiah apa yang dapat digunakan untuk memecahkan suatu persoalan.
Sedangkan Lokus mencakup “where of the field” atau medan atau tempat dimana metode
tersebut digunakan atau diimplementasikan (Keban, 2004). Dengan dua kategoorisasi
standar yang dimiliki sebuah disiplin ilmu tersebut maka setiap ilmu akan mengalami
sebuah “anomalies”.
Perkembangan suatu kajian, adalah perwujudan dari respons terhadap kondisi
kebutuhan masyarakat sebagai suatu fenoemna kajian ilmu pemerintahan yang semakin
diperhadapkan oleh kompleksitas permasalahan yang terjadi oleh perkembangan yang
terdapat dalam masyarakat. Ilmu pemerintahan yang merupakan kajian ilmu yang
memadukan kajian ilmu murni yang diharapkan dapat diimplementasikan sebagai reaksi
terhadap kondisi kemasyarakatan yang terdapat dalam kajian formal Ilmu Pemerintahan.
Ini mengharuskan birokrasi dan pengkaji pemerintahan memiliki perhatian dan komitmen
terhadap berbagai sudut pandang yang memungkinkan berbagai hal yang dapat
ditimbulkannya sebagai konsekwensi implementasi kebijakan dalam masyarakat terbaca.
Hal ini dimungkinkan dengan metode dan cara yang tentunya dapat secara dini dapat
mengetahui eksesnya secara komprehensif.
Fenomena prinsipil yang terjadi dalam kajian keilmuan yang terkait dengan
pelayanan publik, juga mengalami hal tersebut. Seperti dalam kajian administrasi yang
banyak dipinjam dalam beberapa metode yang digunakan oleh Ilmu Pemerintahan.
Paradigma sederhana yang hanya menekankan kepada Government Bureaucratic sebagai
locus, berubah kearah yang semakin kompleks sehingga memiliki kedua hal tersebut
sampai kepada paradigma kekinian yang telah memasuki paradigma postmodernisme.
Sangat cepatnya perkembangan tersebut, menjadi tantangan bagi institusi
pemerintahan untuk tampil mengikuti lahirnya berbagai paradigma secara global.
Keterbatasan pendanaan dan sumber daya manusia yang memiliki tingkat inovasi yang
berorientasi kepada pelayanan masyarakat dalam tubuh birokrasi negara dunia ketiga
khususnya Indonesia, realitas tersebut merupakan sesuatu yang menjadi kondisi empirik
yang tidak dapat dihindari. Sementara, kautnya perkembangan paradigma tersebut juga
terjadi dimasyarakat dan menjadi harapan masyarakat Indonesia yang semakin tinggi.
Ini dapat dipahami sebagai sebuah kesuksesan dari kelompok menengah Indonesia
memposisikan diri dalam dilematika kehidupan kebangsaan, dimana pada umumnya
ditandai dengan keberhasilan advokasi dari berbagai kelompok NGOs, Civil Society yang

2
secara intens melibatkan diri dalam kehidupan kemasyarakatan meskipun dengan
berbagai agenda kepentingan masing-masing.

B. Perubahan Paradigma Pelayanan Publik


Prinsip-prinsip yang hanya mengedepankan kepada perkenalan prinsip
POSDCORB (Planning, Organizing, Staffing, Directing, Coordinating, Reporting And
Budgeting) kemajuan paradigma terjadi ditahun 1983an dimana terjadi revisi dalam
prinsip POSDCORB diatas menjadi PAHFRIER (Policy Analysis, Financial, Human
Resources, Information Dan External Relations) yang menjadi perhatian utama
manajemen publik (Garson & Overman,1991). Perkembangan tercanggih kemudian yang
menjadi orientasi pembentukan paradigma pemerintahan di dunia adalah terjadi di era
tahun 90an dimana lahir konsep wira usaha dan pemangkasan birokrasi dari Osborne dan
Gaebler, atau paradigma “Post Bureucratic Paradigm” dimana paradigma birokratik lama
menekankan kepada kepentingan publik, efisiensi, administrasi dan kontrol maka
paradigma ini berubah penekanan kepada hasil guna bagi masyarakat, kualitas dan nilai,
produk.
Untuk keterkaitan terhadap norma paradigma lama menekankan fungsi, otoritas
dan struktur paradigma baru lebih kepada misi pelayanan dan hasil akhir (out come),
terkait dengan biaya maka birokratik menekankan kepada tanggung jawab
(responsibility), post birokratik kepada pemberian nilai bagi masyarakat, Sedangkan
untuk membangun akuntabilitas dan memperkuat hubungan kerja, birokratik
mengutamakan ketaatan kepada aturan dan prosedur, paradigma post menekankan kepada
pemahaman dan penerapan norma-norma, tentang hal terkait dengan identifikasi dan
pemecahan masalah serta proses perbaikan yang berkesinambungan, paradigma birokratik
mengutamakan berlangsungnya sistem-sistem administrasi, post lebih kepada pemisahan
antara pelayanan dengan kontrol, membangun dukungan terhadap norma-norma,
memperluas pilihan pelanggan, mendorong kegiatan kolektif, memberikan insentif,
mengukur dan menganalisis hasil dan memperkaya umpan balik (Barzelay & Armajani,
1997)
Perkembangan terbaru dalam penyelenggaraan pelayanan publik hadir di Tahun
2003 (Keban, 2004) yang dibawa oleh J.V. Denhardt dan R.B. Denhardt yang secara
mengejutkan, menyarankan untuk meninggalkan prinsip administrasi klasik dan

3
reinventing government atau new public management dan beralih kepada prinsip New
Public Service. Bagi mereka, pelayanan publik harus : 1). Serve citizen no customers
(melayani warga masyarakat bukan pelanggan, 2). Seek the public interest
(Mengutamakan kepentingan publik), 3). Value citizenship over enterpreneurship (lebih
menghargai warga negara daripada kewirausahaan), 4.). Think strategically, act
democratically (berpikir strategis, dan bertindak demokratis), 5). Recognize that
accountability is not simple (menyadari bahwa akuntabilitas bukan merupakan suatu yang
mudah), 6). Serve rather than steer (melayani daripada mengendalikan), 7). Value people
not just productivity (menghargai orang bukan hanya karena tingkat produktifitasnya
semata).
Bagaimana fokus ini dapat diimplementasikan dalam Lokus birokrasi negara,
yang secara ril dikatakan memiliki sistem dan struktur organisasi patronage yang kaku
dengan budaya demokrasi masyarakat yang belum tumbuh dengan subur. Ini karena
terkait dengan sangat kuatnya dominasi kebijakan politik dalam pengambilan kebijakan
strategis dalam sebuah wilayah negara dari sebuah sistem autoritarian birookrasi masa
lalu. Tetapi, secara singkat kita dapat katakan bahwa, terdapat satu sudut pandang utama
(core) yang dapat dijadikan stressing point dalam tiap paradigma diatas.
Perubahan dari 20 tahun terakhir diatas, dimana tiap paradigma membawa
kesadarnnya sendiri, dimana kelahirannya bagi saya, merupakan sesuatu proses yang
dengan tendensi ideologis yang kuat. Ini sebagai puncak untuk meredam gerakan sistem
pasar yang mengglobal yang menggunakan instrumen ilmu pengetahuan dan kekuatan
ekonomi untuk penguasaan dan dipandang banyak menimbulkan kesenjangan.
Terciptanya paradigma tersebut akan menjadi alat perlawanan terhadap sistem pasar
sebagai satu-satunya sistem terbaik yang secara global telah merusak batas-batas wilayah
ideologi negara bangsa menjadi sebatas satu ruang yang sempit dimana seluruh
komunitas dapat berinteraksi yang penting memiliki alat untuk itu, yang didukung oleh
kemajuan sistem informasi dan tekhnologi yang mengglobal. Kecemasan tersebut,
kemudian melahirkan sebuah paradigma baru seperti yang telah digambarkan diatas.

C. Sosok Pelayanan Publik Di Indonesia


Pertanyaannya kemudian adalah, apa relevansi dari perkembangan paradigma
pelayanan tersebut atau secara khusus inti prinsip-prinsip manajemen pelayanan tersebut

4
terhadap kehidupan sistem pemerintahan di Indonesia dan masyarakat?. Mungkin sudah
tidak pantas lagi untuk mengemukakan pertanyaan seperti itu, jika setiap hari kita
mendengarkan berbagai problematika sistem pemerintahan yang rasa-rasanya tidak
pernah dapat terselesaikan secara utuh. Selalu terdapat ganjalan dan problematika dalam
setiap penerapan strategi tertentu dalam mewujudkan sistem pelayanan pemerintahan
yang baik.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Pusat Studi Kependudukan Dan Kebijakan
(PSKK) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tahun 2001 yang dilakukan pada 3 Provinsi
yang mewakili 3 wilayah kawasan Indonesia yaitu Indonesia bagian Barat, Tengah dan
Timur yaitu masing-masing Sumatera Barat, Yogyakarta dan Sulawesi Selatan, maka
diperoleh hasil tentang kondisi pelayanan menurut pengguna pelayanan seperti pada tabel
dibawah:
Tabel 1
Efisiensi Palayanan Menurut Pengguna
Pelayanan Publik di Indonesia
No. Provinsi Tanggapan Prosentase %
1. Sulawesi Selatan Buruk 62 %
Baik 38 %
2. DI Yogyakarta Buruk 44 %
Baik 56 %
3. Sumatera Barat Buruk 66 %
Baik 34 %
Sumber : Pusat Studi Kependudukan Dan Kebijakan (PSKK)
UGM Yogyakarta, 2001

Dari tampilan image publik atas wajah penyelenggaraan pelayanan diatas, maka
nampak bahwa harapan untuk terciptanya pelayanan yang berorientasi kepada kepuasan
masyarakat masih sangat jauh dari yang diharapkan. Hal ini menjadi kontroversial jika
melihat pelayanan sebagai tujuan dari penciptaan manajemen organisasi pemerintahan.
Fakta yang ditampilkan diatas, terlihat bahwa dari 3 (tiga) daerah yang dijadikan sampel
penelitian. Maka hanya didaerah Yogyakarta terlihat pelayanan kepada publik direspons
dengan tanggapan baik oleh masyarakat. Ini terbukti dengan 56 % responden menyatakan
baik.

5
Secara reflektif maka kondisi ketiga daerah, memang memiliki kesenjangan
terutama dalam hal pemilikan sumber daya manusia yang memadai. Maka Yogyakarta
memang tidak diragukan lagi memiliki kapasitas dalam pengertian jumlah dan kualitas
cendekiawan yang sangat tersedia. Dampaknya adalah gesekan yang diciptakan oleh
pengaruh lingkungan illmiah yang memperoleh pengaruh respon perubahan paradigma
terkait dengan pelayanan publik tersebut terbukti dapat mempengaruhi kinerja birokrasi
pemerintah di daerah Yogyakarta, disamping adanya keinginan (good will) dari
pemerintah untuk dapat mengimplementasikan sebuah paradigma perubahan yang
berkembang di dunia.
Bagi daerah lain seperti yang nampak dalam tabel diatas (Sulsel dan Sumbar)
maka nampak bahwa tingkat kepuasan yang ditandai dengan tanggapan masyarakat akan
pelayanan buruk pada tataran 62% dan 66%. Sangat tidak mengherankan jika terjadi
kesenjangan dengan daerah pertama yang dikemukakan diatas tadi. Ini merupakan sebuah
konsekwensi yang memang sangat berat yang harus dialami oleh para state apparatus
sebuah bangsa, karena mereka mengelola bukan barang atau benda, tetapi mengelola
manusia. Dan secara utuh dikatakan tidak terdapat satu sistempun yang dapat berfungsi
secara baik dan tepat untuk individu, komunitas atau bangsa yang berbeda.
Untuk itu, maka organisasi pemerintahan yang hidup dalam sebuah lingkungan
tentunya harus berinteraksi dengan sistem tersebut untuk dapat memperoleh sebuah
model yang terbaik yang dapat digunakan untuk implementasi pelayanan kepada
masyarakat dalam lingkungan tersebut. Lingkungan internal yang mempenaruhi ini, akan
terdiri dari structure, culture dan resources (Wheeler dan Hunger, 1992).
Faktor-faktor tersebut, memang rasanya akan sangat sulit diberlakukan untuk
sebuah model birokrasi negaraa yang dilaksanakan secara terpusat seperti Indonesia saat
ini, yang mestipun dengan keluarnya Kebijakan Politik tentang Otonomi daerah tetapi
secara adminsitratip kenegaraan, sistem pengelolaan pelayanan pengorganisasian
terhadap masyarakat, masih terpusat. Ini terbukti dengan masih dikleuarkannya berbagai
juklak dan juknis tentang hal ini.
Fenomena tersebut, merupakan bukti kuat masih berlakunya sistem pelayanan
birokrasi ketergantungan di Indonesia yang dogerakkan oleh aturan (rule driven).
Pemberlakuan sistem pelayanan publik yang tidak terkomunikasikan dengan baik dengan
masyarakat, menjadi kendala yang timbul. Hasilnya adalah penerimaan masyarakat

6
(Society Acceptance) terhadap kebijakan tersebut menjadi beragam. Realitas tersebut
memaksa masyarakat membaca kebijakan tersebut secara terpisah-pisah sesuai kebutuhan
tiap-tiap individu, sehingga membangun asumsi sendiri terhadap sebuah terminologi
pelayanan publik atas mereka.
Realitas akan akuntabilitas pelayanan publik tersebut secara empirik masih sangat
kuat terjadi dimasyarakat. Dari data hasil penelitian PSKK UGM kembali terlihat bahwa
budaya lama yang selama ini dijadikan trend mark yang dijadikan acuan dalam pelayanan
publik tetap masih bertumpu pada tingkatan aturan secara formal. Hal ini sangat bertolak
belakang dengan kenyataan bahwa perubahan paradigma manajemen pemerintahan yang
dikembangkan saat ini adalah paradigma pemerintahan yang lebih berorientasi kepala
pelayanan, yang mana telah menghabiskan beratus-ratus uang rakyat untuk pelaksanaan
sosialisasi metode dan tata cara pelayanan yang menempatkan masyarakat sebagai tujuan
pelayanan. Data tentang acuan tugas yang dijadikan pegangan pelaksanaan pelayanan
kepada masyarakat di Indonesia adalah seperti nampak pada tabel dibawah:

Tabel 2
Acuan Petugas dalam Pelayanan Publik Di Indonesia
No. Acuan Pelayanan %
1. Peraturan (juklak) 80%
2. Kepuasan Masyarakat 16%
3. Insisiatif Sendiri 3%
4. Visi-Misi 1%
Sumber : Pusat Studi Kependudukan Dan Kebijakan (PSKK)
UGM Yogyakarta, 2001

Kemampuan dan keinginan masyarakat yang berbeda dalam menerima dan


menangkap sebuah perubahan menjadi pernagkap baru bagi birokrasi itu sendiri. Tipe
perbedaan penerimaan masyarakat tersebut dapat dikelompokkan dengan: Defender,
Proaktif, Reaktif, Analyzer dan Challenger. Semua karakter tersebut, akan dihadapi oleh
para penyelenggara jasa pelayanan publik dalam hal ini aparatur pemerintah dalam
berbagai jenjang dan tingkatan pemerintahan.
Birokrasi yang stagnan dan hidup dalam kekakuannya, merupakan bentuk
birokrasi autoritarian yang telah lama ditinggalkan. Saat ini, birokrasi dituntut untuk

7
senantiasa dapat berubah, seperti dengan sangat cepatnya perubahan paradigma yang
berkembang sebagai wujud reaksi atas realitas yang terjadi di masyarakat. Perbaikan
terus menerus (Continous Improvement) menjadi kebutuhan dan keharusan yang dimiliki
oleh sebuah institusi birokrasi yang terdiri dari seluruh sistem organisasinya.
Kenyataan tersebut, juga sangat terkait dengan bagaimana mentalitas pelaksana
pelayanan publik memperlakukan dan memandang aktivitasnya untuk memposisikan diri
terhadap masyarakat sebagai pengguna jasa dalam pelayanan yang dilaksanakan. Hal ini
terlihat dari data penelitian yang dperoleh oleh PSKK UGM,2001 seperti yang tampil
dibawah ini menunjukkan

Tabel 3
Posisi pengguna jasa dalam pelayanan Publik di Indonesia
No. Pandangan Petugas %
Terhadap Pengguna Jasa
1. Obyek Pelayanan 72%
2. Mitra Petugas 6%
3. Raja yang harus dilayani 6%
4. Lain-Lain 16%
Sumber : Pusat Studi Kependudukan Dan Kebijakan (PSKK)
UGM Yogyakarta, 2001

Kenyataan diatas, merupakan indikator pelayanan publik yang akan melahirkan


pelayanan yang tidak prima atau dari konteks masyarakat, hal ini menghasilkan
diskriminasi pelayanan terhadap masyarakat. Pendorong terjadinya hal tersebut tentunya
tidak akan lepas dari beberapa hal seperti masalah struktural dengan adanya
ketergantungan diats tadi atau paternalisme dalam birokrasi yang menempatkan parat
pemerintah sebagai pelaksana tunggal terhadap pelayanan. Pendorong lain adalah terkait
dengan budaya atau kultural dimana dalam kondisi kemasyarakatan di Indonesia yang
ditandai masih eratnya ikatan kekerabatan, maka sangat memungkinkan terjadinya
semacam dilema psikologis yang berdampak terhadap ketidakprofesionalan pelaksanaan
sebuah proses pelayanan. Bahkan terkadang hal ini mendorong suatu upaya ke arah
Honest Graft (korupsi jujur).

8
Adapun faktor ketiga yang mendorong dan menciptakan diskriminasi pelayanan
adalah keadaan ekonomi. Ini terkait dengan sangat rendahnya pendapatan yang diperoleh
seorang tenaga pelayanan jasa pada institusi pemerintahan. Akibatnya adalah petugas
mencari alternatif lain, yang memungkinkan dirinya untuk dapat survive dalam
kehidupannya. Ditambah pula dengan tidak adanya reward yang diberikan atas prestasi
yang dicapai tenaga pelaksana menejemen pemerintahan, baik dari institusinya sebagai
penyelenggara maupun dari masyarakat sebagai pengguna pelayanan.
Hal ini tentunya kenyataan yang tidak kemudian menjadi kondisi yang mudah
bagi manajemen pemerintah dalam melakukan upaya perbaikan secara terus menerus
sebagai sebuah kebutuhan. Banyak kendala yang akan dihadapi dalam mencapai kearah
tersebut, unutk itu sebuah sistem manajemen pemerintahan mesti memiliki orientasi dlam
pencapaian tujuan organisasi. Salah satu alat manajemen yang digunakan saat ini
katakanlah benchmarking.

D. Mencari Model Alternatif Penciptaan Manajemen Pelayanan Publik


Beberapa ahli memandang bahwa salah satu model alternatif yang baik untuk
digunakan adalah benchmarking. Model ini merupakan salah satu proses pencarian secara
kontinu akan ide-ide baru dan metode-metode baru dalam pelaksanaan manajemen
pemerintahan yang baik. Praktek dan proses dan salah satu metode yang digunakan
adalah dengan mengadopsi berbagai praktek-praktek, atau adaptasi dari features terbaik.
Model ini dapat dikatakan merupakan bentuk pencarian untuk praktek terbaik yang
pernah dilakukan (best practice).
Untuk mendukung bentuk ini, beberapa lembaga penelitian pernah melakukan
sebuah model penilaian pelaksanaan otonomi daerah yang berupaya memperoleh input
dari berbagai daerah di Indonesia tentang best practice yang dilakukan pada daerah
tertentu. Indonesia Rapid And Decentralization Survey (IRDA) merupakan sebuah bentuk
survey yang mencoba memperoleh hal ini (Best Praktis) dengan mewadahi riset ini, yang
mungkin dapat diterapkan di daerah lain atau menjadi sebuah strategi tertentu yang
dimiliki oleh sebuah daerah untuk dapat melakukan pelayaanan terhadap masyarakatnya.
Jenis pencarian best practice seperti ini, dapat dilakukan secara internal maupun secara
competitive.

9
Banyak strategi yang dapat diterapkan oleh pemerintah untuk menciptakan
pelayanan terbaik dan yang terbaik tersebut (creating the best of the best) salah satunya
adalah bentuk benchmarking diatas, sebab tanpa melakukan sebuah perubahan secara
kontinu untuk mengikuti sebuah perubahan sebab mesti diingat bahwa tidak ada yang
abadi kecuali perubahan itu sendiri. Birokrasi yang tidak berubah berarti birokrasi yang
telah membawa dirinya dalam sebuah kehancuran.
Hal terpenting yang mesti senantiasa di lakukan up date terhadap kemampuan
dirinya terkait dengan palayanan publik adalah pemimpin institusi sebagai satu motivator
dalam menjalankan proses pemerintahan. Seorang pemimpin dalam organisasi
manajemen pemerintahan sebagai (publik administration) sebagai salah satu fungsi
pemerintah mestilah (Keban, 2004;21) orang-orang yang menguasai berbagai prinsip,
metode, dan teknik yang dibutuhkan dalam mencapai tujuan organisasi publik. Hal yang
mesti dimiliki pemimpin seperti itu, tentulah harus merupakan sosok yang etis, rasional,
pandai menggunakan prinsip, metode dan teknik-teknik yang ada sesuai kebutuhan
sehingga responsifitas seorang pemimpin menjadi sebuah kemutlakan.
Pendapat yang penting menggambarkan sosok pemeimpin seperti dikemukakan
diatas adalah dikemukakan oleh James L. Perry (Keban, 2004;21) bahwa manajer atau
pemimpin yang baik atau ideal itu, mesti memiliki technical skills, human skills,
conceptual skills, responsif terhadap institusi-institusi demokratis, berorientasi pada hasil,
mampu mengembangkan jaringan kerja dan komunikatif serta dapat menjaga
keseimbangan keputusan dan kegiatan.
Sosok birokrasi pemerintahan seperti dikemukakan Perry ataupun Keban diatas,
menjadi dambaan masyarakat secara luas untuk dapat menemukan nilai hakiki dari salah
satu tugas pelayanan publik yang dilakukan oleh birokrasi. Menjadi seorang pemimpin,
memang menjadi sesuatu yang secara kunatitatif dan kualitatif adalah hal yang teramat
sulit untuk dapat didekati oleh orang-orang yang tidak memiliki prasyarat diatas.
Sehingga perwujudan akan sosok seorang manajer birokrasi adalah benar-benar
merupakan ‘pilihan’ dari sebuah proses yang kompetitive.
Salah satu fungsi pokok dari pemerintah modern yang demokratis adalah menjadi
sebuah motor atau agen bagi perubahan (Agent Of Change). Dengan ditempatkannya
Aparat pemerintah sebagai agen perubahan maka secara langsung memposisikan aparat

10
birokrasi yang senantiasa digerakkan oleh misi dan orientasi terhadap sebuah tujuan
tertentu yaitu pelayanan kepada masyarakat.

E. Kesimpulan
Pemerintahan sebagai sebuah institusi yang melayani kebutuhan publik, sangat
penting untuk senantiasa menciptakan suatu mekanisme-mekanisme baru untuk dapat
menghasilkan kinerja yang maksimal terhadap pelayanannya kepada masyarakat
pengguna jasa. Organisasi yang berubah, menjadi stimulus yang kuat, terkait fungsi
pemerintah sebagai agent yang melakukan fungsi perubahan bagi masyarakat, sekaligus
juga bertugas untuk menerima perubahan yang terdapat dimasyarakat yang merupakan
dampak dari perkembangan paradigma pelayanan akuntabilitas publik yang berkembang
secara global.
Fenomena empirik yang merupakan realitas penerimaan di masyarakat (society
acceptance) dengan beberapa hasil temuan yang ada diatas terkait dengan pelayanan
publik di Indonesia, merupakan kenyataan yang menunjukkan bahwa betapa paradigma
pelayanan publik yang secara luas menjadi wacana dalam penciptaan atmosfir birokrasi
yang modern di Indonesia, masih mengalami masa-masa sulit atau transisi. Akibatnya
adalah kuatnya mentalitas paradigma lama yang mengisi mentalitas pelaksana pelayanan
publik tidak mengalami perubahan.
Penting sebuah komitmen dan konsistensi serta strategi yang jelas dalam upaya
memperoleh model yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, tanpa meninggalkan
perkembangan paradigma pelayanan publik yang terkadang menjadi sesuatu yang jauh
lebih cepat dari kemampuan responsivitas pemerintahan yang memiliki mekanisme dan
sistem yang bersifat hierarkis dan terbatas. Namun dengan demikian orientasi manajemen
pemerintahan dalam melakukan tugas pelayanan publik menjadi suatu hal yang sangat
mutlak untuk senantiasa melakukan inovasi-inovasi yang secara empirik dapat diterima
oleh komunitas masyarakat.

Daftar Pustaka

Abrahamsen, Rita.,2004 (terj). Sudut Gelap Kemajuan Relasi Kuasa Dalam Wacana
Pembangunan, Lafald pustaka, Yogyakarta

11
Bowman, Ann O’M. & Kearney, Richard C.,2000. The Essentials State And Local
Government, Houghton Mifflin Company, Boston

Dhal, Robert., 2001. Perihal Demokrasi Menjelajahi Teori Dan Praktek Demokrasi
Secara Singkat, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta

Etzioni-Halevy, Eva., 1983. Buruecracy And Democracy A Political Dilemma, Routledge


& Kegan Paul, London

Gazpers, Vincent., 1997. Manajemen Bisnis Total Dalam Era Globalisasi, Gramedia
Pustaka utama, Jakarta

Held, David., 2004 (terj). Demokrasi Dan Tatanan Global Dari Negara Modern Hingga
Pemerintahan Kosmopolitan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta

Keban, Yeremias T., 2004, Enam Dimensi Strategis Adminsitrasi Publik Konsep, Teori
Dan Isu, Gaya Media, Yogyakarta

Mochtar, Hilmy, DR. MS., 2004. Politik Lokal dan pembangunan, Pustaka Pelajar
Yogyakarta

Petras, James & Veltmeyer, Henry., 2002. Imperialisme Abad 21, Kreasi Wacana,
Yogyakarta

Philpott, Simon., 2003 (terj). Meruntuhkan Indonesia Politik Postkolonial Dan


Otoritarianisme, LkiS, Yogyakarta

PSKK UGM , 2001. Policy Brief, No. 01/PB/2001, Kinerja Pelayanan Publik,
Yogyakarta

--------------, No. 05/PB/2001, Diskriminasi Dalam Pemberian Pelayanan Publik, PSKK


UGM, Yogyakarta

Smith, B.C., 1988. Buruecracy And Political Power, ST. Martin’s Press, New York

Winarno, Budi., 2004. Globalisasi Wujud Imperialisme Baru Peran Negara Dalam
Pembangunan, Tajidu Press, Yogyakarta

12

You might also like