You are on page 1of 15

Pentingnya Penyempurnaan UU No.

5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria


14 Desember 2007 oleh : Irvan Surya Hartadi, SH

Lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) pada tanggal 24 September 1960


merupakan peristiwa penting di bidang agraria dan pertanahan di Indonesia. Dengan
lahirnya UU No. 5 Tahun 1960 tentang UUPA tersebut kebijakan-kebijakan pertanahan
di era pemerintahan kolonial belanda mulai ditinggalkan. Undang-undang yang disusun
di era pemerintahan Presiden Soekarno ini menggantikan Agrarische Wet 1870 yang
terkenal dengan prinsip domein verklaringnya (semua tanah jajahan yang tidak dapat
dibuktikan kepemilikannya berdasarkan pembuktian hukum barat, maka tanah tersebut
dinyatakan sebagai tanah milik negara/ milik penjajah belanda). UUPA merupakan
produk hukum pada era Orde Lama yang menghendaki adanya perubahan dan
pembaharuan di bidang agraria dan pertanahan serta menghendaki terwujudnya
pembangunan yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Kebijakan pemerintahan pada
saat itu lebih diupayakan untuk mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat
sebagaimana telah digariskan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, bahwa Bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat

Untuk mewujudkan hal tersebut diatas dilakukan suatu upaya reformasi di bidang
pertanahan (Landreform) yang pada waktu itu dikenal dengan Panca Program Agrarian
Reform Indonesia, meliputi :

1. Pembaharuan Hukum Agraria, melalui unifikasi hukum yang berkonsepsi nasional


dan pemberian jaminan kepastian hukum.

2. Penghapusan hak-hak asing dan konsesi-konsesi kolonial atas tanah.

3. Mengakhiri penghisapan feodal secara berangsur-angsur.

4. Perombakan pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan-hubungan hukum


yang bersangkutan dengan penguasaan tanah dalam mewujudkan pemerataan
kemakmuran dan keadilan.

5. Perencanaan persediaan dan peruntukan bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya serta penggunaannya secara terencana, sesuai dengan
daya dukung dan kemampuannya.

Dengan adanya Panca Program Agraria Reform Indonesia yang merupakan suatu
perwujudan kebijakan pemerintahan Orde Lama sebagaimana dituangkan di dalam
UUPA tersebut diharapkan dapat mengatasi permasalahan-permasalahan mengenai
agraria maupun pertanahan. Akan tetapi dalam perkembangannya muncul berbagai
permasalahan baru yang kurang begitu diakomodir di dalam UUPA itu sendiri.
Pelaksanaan pembangunan nasional yang berkelanjutan merupakan permasalahan penting
yang mengketerkaitkan hubungan antara pemerintah sebagai penguasa, pemilik modal
(investor) dan rakyat. Karena di dalam pembangunan tersebut tidak tertutup
kemungkinan adanya suatu pola hubungan yang saling menguntungkan (simbiosis
mutualisme) antara penguasa dengan pemilik modal (investor) yang tidak memperhatikan
kepentingan rakyat dan bahkan dapat merugikan kepentingan rakyat.

Distorsi yang memungkinkan terbangunnya hubungan simbiosis antara pemodal dan


kekuasaan, yang karena kekentalan dan kekuatannya meminggirkan rakyat sesungguhnya
dapat dilacak melalui tekad kekuasaan Orde Baru yang mempanglimakan ekonomi di
awal rezim ini. Pada periode Orde Baru kebijakan pertanahan lebih diarahkan untuk
mendukung kebijakan makro ekonomi. Kebijakan pertanahan lebih merupakan bagian
dari pembangunan, tidak sebagai dasar pembangunan. Kebijakan pertanahan lebih
ditujukan untuk memfasilitasi kebutuhan pembangunan dan eksploitasi sumber daya
alam. Pada masa kekuasaan rezim Orde Baru telah terjadi suatu pergolakan orientasi
terhadap pembangunan. Yang tadinya bersumber pada sektor pertanian maka orientasinya
kemudian menjadi industrialisasi dengan menekankan kebutuhan ekonomi berbasis pada
investasi asing dan juga eksploitasi SDA (sektor ekstraktif).

Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 tahun 1960 dianggap oleh sejumlah
pengamat sebagai suatu produk hukum yang paling populis (lebih bernuansa pro kepada
rakyat kecil atau petani) di bandingkan dengan produk-produk hukum lainnya yang
dibuat di masa Orde Lama, Orde Baru maupun sampai sekarang ini. Di dalam
perkembangannya, UUPA dianggap sebagai undang-undang payung (umbrella act) dari
peraturan-peraturan lain yang mengatur mengenai agraria dan pertanahan. Lahirnya
undang-undang baru yang berkaitan dengan agraria dan pertanahan diharapkan dapat
meneruskan semangat UUPA yang lebih populis (berpihak pada rakyat kecil terutama
para petani). Akan tetapi dalam kenyataannya telah terjadi ketidaksinkronan antara
UUPA yang dianggap sebagai undang-undang payung (umbrella act) dengan undang-
undang sektoral yang berkaitan pula dengan agraria dan pertanahan. Banyak ketentuan-
ketentuan dari berberapa Undang-Undang sektoral tersebut yang tidak sesuai dengan apa
yang telah digariskan di dalam UUPA.

Munculnya Undang-Undang sektoral tersebut lebih menitikberatkan pada arah kebijakan


pembangunan yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat kecil dan hanya berpihak
pada para pemilik modal saja (baik investor asing maupun domestik). Misalnya kelahiran
Undang-Undang No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, dengan adanya UU
ini maka terlihat jelas adanya suatu pergerseran pola orientasi pembangunan menuju ke
arah industrialisasi dan investasi yang dirasa tidak berpihak pada rakyat kecil. Kemudian
muncul Undang-Undang No. 5 tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Kehutanan sebagaimana
telah diperbaharui dengan Undang-Undang No. 41 tahun 1999 dan Undang-Undang No.
11 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. Dalam peraturan
tersebut, pengelolaan hutan dan eksploitasi pertambangan banyak yang bertentangan
dengan kebijakan hak atas tanah sebagaimana yang telah diatur di dalam UUPA.
Ketentuan dalam Undang-Undang kehutanan tersebut, masih memunculkan suatu sifat
kepemilikan hutan negara yang mirip dengan Domein Verklaring pada masa
pemerintahan kolonial Belanda. Yang paling diperdebatkan pada pertengahan tahun 2005
ialah munculnya Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Dengan adanya peraturan
tersebut akan lebih mempermudah masuknya investasi pemodal asing ke Indonesia.
Sehingga kekuatan-kekuatan modallah yang akan bermain dalam penguasaan tanah di
Indonesia, hal ini tentunya akan berimplikasi rusaknya kemakmuran rakyat terutama
rakyat tani, khususnya pencabutan hak atas tanah. Dalam pengertian pengadaan tanah
untuk kepentingan umumpun juga belum ada penjelasan secara detail siapa yang akan
mengelola : negara, swasta atau rakyat. Sehingga dikhawatirkan semua yang mengatur
tentang pengadaan tanah ini lebih difokuskan pada kepentingan swasta, bukan
kepentingan rakyat. Sebagai contoh konkritnya, setelah berlakunya Peraturan Presiden
tersebut makin banyak kasus penggusuran yang dilakukan oleh penguasa terhadap
pemukiman warga yang terjadi di Ibu Kota Jakarta dan berbagai daerah lainnya di
Indonesia. Maraknya berbagai kasus penggusuran tersebut menyebabkan terjadinya
konflik kepentingan (Conflict of Interest) antara kelompok-kelompok tertentu, dimana
yang selalu menjadi korban adalah rakyat kecil.

Ketidaksinkronan materi muatan yang terkandung di dalam Undang-Undang sektoral


dengan materi muatan UUPA sebagaimana telah dijelaskan di atas, dapat menyebabkan
terjadinya konflik hukum (Conflict of Law). Hal tersebut tidak hanya terjadi antara
Undang-Undang sektoral dan UUPA, akan tetapi konflik hukum (Conflict of Law) juga
terjadi antara Undang-Undang sektoral itu sendiri. Salah satu penyebab utama kegagalan
UUPA sebagai undang-undang payung (umbrella act) ataupun sebagai ¿pohon¿ peraturan
perundang-undangan disebabkan karena materi muatan UUPA lebih dominan mengatur
masalah pertanahan, sehingga menimbulkan kesan bahwa UUPA lebih tepat disebut
sebagai ¿Undang-Undang Pertanahan¿ daripada Undang-Undang yang mengatur secara
komprehensif dan proporsional tentang ¿agraria¿. Meskipun harus diakui bahwa UUPA
sesungguhnya juga mengatur tentang kehutanan, pertambangan, minyak dan gas bumi,
penataan ruang, sumber daya air, dan lingkungan hidup. Namun pengaturan-pengaturan
masalah tersebut belum jelas dan tegas sebagaimana halnya UUPA mengatur masalah
pertanahan. Selain hal tersebut, UUPA dirasakan belum dapat mengikuti perkembangan
yang ada serta mengandung beberapa kekurangan, diantaranya adalah :

1. UUPA belum memuat aspek perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) bagi
masyarakat, khususnya petani dan pemilik tanah serta masyarakat adat;

2. UUPA tidak mampu merespon perkembangan global, khususnya perkembangan


yang menuju ke arah industrialisasi yang menghendaki perubahan dalam
pengaturan pertanahan;

3. UUPA belum menjelaskan secara tegas institusi mana yang harus mengkoordinir
pengelolaan dan pengurusan tanah, dan lain sebagainya

Sebenarnya apa yang telah dipaparkan di atas hanya merupakan sebagian kecil masalah
yang dihadapi dalam upaya penegakan UUPA, masih banyak permasalahan-
permasalahan lain yang timbul di dalam bidang agraria khususnya bidang pertanahan.
Permasalahan-permasalahan tersebut antara lain :
1. Munculnya berbagai Undang-undang sektoral yang tidak taat / tidak sesuai dengan
asas-asas yang termuat di dalam UUPA.

2. Kurangnya pengakuan kedudukan masyarakat adat / penduduk asli setempat


(indigenous people) sebagai pemilik tanah adat di era pembangunan. Sehingga
banyak dari mereka yang menjadi korban pembebasan tanah dalam upaya untuk
mewujudkan pembangunan;

3. Kurangnya pensertifikatan tanah di Indonesia, dari kurang lebih 85 juta bidang


tanah yang ada di Indonesia, baru 25 juta bidang tanah yang telah bersertifikat
(baru sekitar 30 % dari keseluruhan bidang tanah yang ada di Indonesia). Selain
itu juga permasalahan munculnya sertifikat ganda dalam satu bidang tanah yang
diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Hal tersebut merupakan salah
satu penyebab terjadinya sengketa pertanahan di Indonesia;

4. Timbulnya konflik kewenangan dalam hal pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA)
antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah setelah munculnya Undang-
Undang Otonomi Daerah. Selain itu juga terjadi konflik antar
departemen/instansi, karena muncul berbagai macam peraturan-peraturan sektoral
yang saling bertentangan dan lebih cenderung mengutamakan kepentingan
masing-masing departemen/instansinya. Sehingga hal tersebut sangat potensial
mendatangkan ¿ego-sektoral¿ dalam hal pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA);
dan lain sebagainya.

Dari beberapa uraian permasalahan diatas, maka perlu dilakukan suatu penataan kembali
kebijakan-kebijakan untuk mengatasi segala permasalahan mengenai agraria maupun
pertanahan dalam upaya untuk meneruskan cita-cita Reformasi Agraria (Agrarian
Reform) maupun Reformasi dalam bidang pertanahan (Land Reform). Beberapa alternatif
penyelesaian permasalahan tersebut diantaranya penyempurnaan aturan-aturan mengenai
agraria maupun pertanahan sehingga terjadi keselarasan antara UUPA dengan beberapa
Undang-Undang sektoral, perbaikan kinerja departemen / instansi yang bergerak di
bidang agraria khususnya di bidang pertanahan, Salah satu upaya penting guna
mewujudkan hal tersebut adalah dilakukannya penyempurnaan (perubahan maupun
amandemen) UUPA.

Pada dasarnya upaya untuk melakukan penyempurnaan, baik berupa perubahan maupun
amandemen terhadap ketentuan-ketentuan UUPA sudah menjadi pembahasan sejak dulu.
Amandemen maupun perubahan terhadap UUPA telah diamanatkan dalam TAP MPR
No. IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam
serta dalam Keputusan Presiden No. 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di
Bidang Pertanahan. Dalam upaya untuk menyempurnakan UUPA hendaknya perlu
diperhatikan beberapa pertimbangan sebagai berikut :

1. Pertimbangan naskah akademis sebagai dasar penyempurnaan UUPA untuk


kedepannya. Agar amandemen maupun perubahan UUPA tersebut mampu
menjadi instrumen hukum yang efektif, responsive, dan antisipatif dengan
zamannya, maka diperlukan naskah akademis amandemen yang rasional
komprehensif.

2. Penguatan dan penghormatan Hak Ulayat, untuk kedepannya harus ada suatu
penguatan terhadap hak ulayat sebagaimana yang telah diatur di dalam UUPA.
karena hal tersebut merupakan suatu upaya untuk mengakui eksistensi keberadaan
masyarakat adat / penduduk asli setempat (indigenous people).

3. Penegasan pengaturan mengenai pembatasan tanah pertanian dan tanah non-


pertanian, karena dirasakan adanya kesenjangan pemeliharaan dan pemanfaatan
tentang tanah adat serta semakin jauh jarak dan rentang antara miskin dengan
kaya.

4. Penegasan pengaturan mengenai pembebasan tanah, sehingga di era industrialisasi


pada masa sekarang ini pemerintah tidak hanya mengutamakan kepentingan para
investor saja. Pemerintah juga harus memperhatikan kepentingan rakyat yang
menjadi korban dari pembangunan, misalnya, dengan memberikan kompensasi /
uang ganti rugi yang layak serta relokasi bagi warga.

5. Penyerasian UUPA dengan Undang-Undang sektoral lainnya, sehingga tidak


terjadi suatu pertentangan antara peraturan yang mengatur masalah agraria
maupun pertanahan.

6. Guna mengatasi permasalahan yang timbul di bidang agraria dan pertanahan,


berkaitan dengan kelembagaan maka perlu dibentuknya Departemen Agraria yang
akan membawahi berbagai urusan seperti : urusan kehutanan, tata ruang,
pertambangan, lingkungan hidup, minyak dan gas bumi serta lain-lain yang
urusan tersebut bisa diserahkan kewenangannya setingkat Direktorat Jendral
(Dirjen).

SEJARAH HUKUM PERDATA

1. HUKUM PERDATA BELANDA


Hukum perdata Belanda berasal dari hukum perdata Perancis (Code
Napoleon). Code Napoleon sendiri disusun berdasarkan hukum Romawi
(Corpus Juris Civilis) yang pada waktu itu dianggap sebagai hukum yang
paling sempurna. Hukum Privat yang berlaku di Perancis dimuat dalam dua
kodifikasi (pembukuan suatu lapangan hukum secara sistematis dan teratur
dalam satu buku) yang bernama code civil (hukum perdata) dan code de
commerce (hukum dagang). Sewaktu Perancis menguasai Belanda (1806-
1813), kedua kodifikasi itu diberlakukan di negeri Belanda. Bahkan sampai 24
tahun sesudah negeri Belanda merdeka dari Perancis tahun 1813, kedua
kodifikasi itu masih berlaku di negeri Belanda. Jadi, pada waktu pemerintah
Belanda yang telah merdeka belum mampu dalam waktu pendek
menciptakan hukum privat yang bersifat nasional (berlaku asas konkordansi).
Kemudian Belanda menginginkan Kitab Undang–Undang Hukum
Perdata tersendiri yang lepas dari kekuasaan Perancis. Maka berdasarkan
pasal 100 Undang-Undang Dasar Negeri Belanda, tahun 1814 mulai disusun
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Sipil) atau KUHS Negeri Belanda,
berdasarkan rencana kodifikasi hukum Belanda yang dibuat oleh MR.J.M.
KEMPER disebut ONTWERP KEMPER. Sebelum selesai KEMPER meninggal
dunia [1924] & usaha pembentukan kodifikasi dilanjutkan NICOLAI, Ketua
Pengadilan Tinggi Belgia [pada waktu itu Belgia dan Belanda masih
merupakan satu negara]. Keinginan Belanda tersebut direalisasikan dengan
pembentukan dua kodifikasi yang bersifat nasional, yang diberi nama :
1. Burgerlijk Wetboek yang disingkat BW [atau Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata-Belanda] – Dalam praktek kitab ini akan disingkat dengan
KUHPdt.
2. Wetboek van Koophandel disingkat WvK [atau yang dikenal dengan Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang] - Dalam perkuliahan, kitab ini akan
disingkat dengan KUHD.
Pembentukan hukum perdata [Belanda] ini selsai tanggal 6 Juli 1830
dan diberlakukan tanggal 1 Pebruari 1830. Tetapi bulan Agustus 1830 terjadi
pemberontakan di bagian selatan Belanda [kerajaan Belgia] sehingga
kodifikasi ditangguhkan dan baru terlaksanan tanggal 1 Oktober 1838.
Meskipun BW dan WvK Belanda adalah kodifikasi bentukan nasional Belanda,
isi dan bentuknya sebagian besar serupa dengan Code Civil dan Code De
Commerse Perancis. Menurut Prof Mr J, Van Kan BW adalah saduran dari
Code Civil hasil jiplakan yang disalin dari bahasa Perancis ke dalam bahasa
nasional Belanda.

2. HUKUM PERDATA INDONESIA


Karena Belanda pernah menjajah Indonesia, maka KUHPdt.-Belanda ini
diusahakan supaya dapat berlaku pula di wilayah Hindia Belanda. Caranya
ialah dibentuk B.W. Hindia Belanda yang susunan dan isinya serupa dengan
BW Belanda. Untuk kodifikasi KUHPdt. di Indonesia dibentuk sebuah panitia
yang diketuai oleh Mr. C.J. Scholten van Oud Haarlem. Kodifikasi yang
dihasilkan diharapkan memiliki kesesuaian antara hukum dan keadaan di
Indonesia dengan hukum dan keadaan di negeri Belanda. Disamping telah
membentuk panitia, pemerintah Belanda mengangkat pula Mr. C.C.
Hagemann sebagai ketua Mahkamah Agung di Hindia Belanda
(Hooggerechtshof) yang diberi tugas istimewa untuk turut mempersiapkan
kodifikasi di Indonesia. Mr. C.C. Hagemann dalam hal tidak berhasil, sehingga
tahun 1836 ditarik kembali ke negeri Belanda. Kedudukannya sebagai ketua
Mahkamah Agung di Indonesia diganti oleh Mr.C.J. Scholten van Oud
Haarlem.
Pada 31 Oktober 1837, Mr.C.J. Scholten van Oud Haarlem di angkat
menjadi keua panitia kodifikasi dengan Mr. A.A. Van Vloten dan Mr. Meyer
masing-masing sebagai anggota. Panitia tersebut juga belum
berhasil.Akhirnya dibentuk panitia baru yang diketuai Mr.C.J. Scholten van
Oud Haarlem lagi,tetapi anggotanya diganti yaitu Mr. J.Schneither dan Mr. A.J.
van Nes. Pada akhirnya panitia inilah yang berhasil mengkodifikasi KUHPdt
Indonesia maka KUHPdt. Belanda banyak menjiwai KUHPdt. Indonesia karena
KUHPdt. Belanda dicontoh untuk kodifikasi KUHPdt. Indonesia. Kodifikasi
KUHPdt. Indonesia diumumkan pada tanggal 30 April 1847 melalui Staatsblad
No. 23 dan berlaku Januari 1948.
Setelah Indonesia Merdeka berdasarkan aturan Pasal 2 aturan
peralihan UUD 1945, KUHPdt. Hindia Belanda tetap dinyatakan berlaku
sebelum digantikan dengan undang-undang baru berdasarkan Undang –
Undang Dasar ini. BW Hindia Belanda disebut juga Kitab Undang – Undang
Hukun Perdata Indonesia sebagai induk hukum perdata Indonesia.
Pasal 2 ATURAN PERALIHAN UUD 1945
Segala Badan Negara dan Peraturan yang ada masih langsung berlaku,
selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini.
Yang dimaksud dengan Hukum perdata Indonesia adalah hukum perdata
yang berlaku bagi seluruh Wilayah di Indonesia. Hukum perdata yang berlaku
di Indonesia adalah hukum perdata barat [Belanda] yang pada awalnya
berinduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang aslinya berbahasa
Belanda atau dikenal dengan Burgerlijk Wetboek dan biasa disingkat dengan
B.W. Sebagaian materi B.W. sudah dicabut berlakunya & sudah diganti
dengan Undang-Undang RI misalnya mengenai Perkawinan, Hipotik,
Kepailitan, Fidusia sebagai contoh Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun
1974, Undang-Undang Pokok Agraria No.5 Tahun 1960.
3. B.W./KUHPdt SEBAGAI HIMPUNAN TAK TERTULIS
B.W. di Hindia Belanda sebenarnya diperuntukkan bagi penduduk
golongan Eropa & yang dipersamakan berdasarkan pasal 131 I.S jo 163 I.S.
Setelah Indonesia merdeka, keberlakuan bagi WNI keturunan Eropa & yang
dipersamakan ini terus berlangsung. Keberlakuan demikian adalah formal
berdasakan aturan peralihan UUD 1945. Bagi Negara Indonesia, berlakunya
hukum perdata semacam ini jelas berbau kolonial yang membedakan WNI
berdasarkan keturunannya [diskriminasi]. Disamping itu materi yang diatur
dalam B.W. sebagian ada yang tidak sesuai lagi dengan Pancasila dasar
negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia serta tidak sesuai dengan
aspirasi negara dan bangsa merdeka. Berdasarkan pertimbangan situasi,
kondisi sebagai negara dan bangsa yang merdeka, maka dalam rangka
penyesuaian hukum kolonial menuju hukum Indonesia merdeka, pada tahun
1962 [Dr. Sahardjo, SH.-Menteri Kehakiman RI pada saat itu] mengeluarkan
gagasan yang menganggap B.W ( KUHPdt ) Indonesia sebagai himpunan
hukum tak tertulis. Maka B.W. selanjutnya dipedomani oleh semua Warga
Negara Indonesia. Ketentuanyg sesuai boleh diikuti dan yang tidak sesuai
dapat ditinggalkan.
4. SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG RI NO. 3 TAHUN 1963
Berdasarkan gagasan Menteri Kehakiman Dr. Sahardjo, S.H. ini MA-RI
tahun 1963 mengeluarkan Surat Edaran No. 3 tahun 1963 yang ditujukan
kepada semua Ketua Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia. Isi Surat
Edaran tersebut, yaitu MA-RI menganggap tidak berlaku lagi ketentuan di
dalam KUHPdt. antara lain pasal berikut :
1. Pasal 108 & 110 BW tetang wewenang seorang isteri untuk melakukan
perbuatan hukum & untuk menghadap dimuka pengadilan tanpa izin
atau bantuan suaminya. Dengan demikian tentang hal ini tidak ada
lagi perbedaan antara semua WNI.
2. Pasal 284 [3] KUHPdt. mengenai pengakuan anak yang lahir diluar
perkawinan oleh perempuan Indonesia asli. Dengan demikian
pengakuan anak tidak lagi berakibat terputusnya hubungan hukum
antara ibu dan anak, sehingga tentang hal ini juga tidak ada lagi
perbedaan antara semua WNI.
3. Pasal 1682 KUHPdt. yang mengharuskan dilakukannya suatu
penghibahan dengan akta notaris.
4. Pasal 1579 KUHPdt. yang menentukan bahwa dalam hal sewa
menyewa barang, pemilik barang tidak dapat menghentikan
penyewaan dengan mengatakan bahwa ia akan memakai sendiri
barangnya, kecuali apabila pada watu membentuk persetujuan sewa
menyewa ini dijanjikan diperbolehkan
5. Pasal 1238 KUHPdt. yang menimyimpulkan bahwa pelaksanaan suatu
perjanjian hanya dapat diminta dimuka Hakim, apabila gugatan ini
didahului oleh suatu penagihan tertulis. Mahkamah Agung pernah
memutuskan antara dua orang Tionghoa, bahwa pengiriman turunan
surat gugat kepada tergugat dapat dianggap sebagai penagihan oleh
karena tergugat masih dapat menghindarkan terkabulannya gugatan
dengan membayar hutangnya sebelum hari sidang pengadilan.
6. Pasal 1460 KUHPdt. tetang resiko seorang pembeli barang, yang
menentukan bahwa suatu barang tertentu yang sudah dijanjikan dijual.
Sejak saat itu adalah atas tanggungan pembeli, meskipun penyerahan
barang itu belum dilakukan . Dengan tidak lagi berlakunya pasal ini,
maka harus ditinjau dari setiap keadaan, apakah tidak sepantasnya
pertangungjawaban atau resiko atas musnahnya barang yang sudah
dijanjikan dijual tetapi belum diserahkan harus dibagi antara kedua
belah pihak ; dan kalau YA sampai dimana pertanggung-jawaban
dimaksud.
7. Pasal 1603 x ayat 1 dan 2 KUHPdt. yang mengadakan diskriminasi
antara orang Eropa disatu pihak dan orang bukan Eropa dilain pihak
mengenai perjanjian perburuhan
5. HUKUM PERDATA NASIONAL
Hukum perdata Indonesia adalah hukum perdata yang berlaku dan
diberlakukan di Indonesia. Hukum perdata yang berlaku di Indonesia meliputi
juga hukum perdata barat dan hukum perdata nasional. Hukum perdata
barat adalah hukum bekas peninggalan kolonia Belanda yang berlaku di
Indonesia berdasarkan Pasal 2 aturan peralihan UUD 1945, mis. BW/KUHPdt.
Hukum perdata nasional adalah hukum perdata yang diciptakan Pemerintah
Indonesia yang sah dan berdaulat. Kriteria bahwa hukum perdata dikatakan
nasional, yaitu :
a. Berasal dari hukum perdata Indonesia. Hukum perdata barat
sebagian sesuai dengan sistem nilai budaya Pancasila. Hukum
perdata barat yang sesuai dengan sistem nilai budaya Pancasila
dapat dan bahkan telah diresepsi oleh bangsa Indonesia.Oleh
karena itu ia dapat diambil alih dan dijadikan bahan hukum perdata
nasional. Disamping Hukum perdata barat, juga hukum perdata tak
tertulis yang sudah berkembang sedemikian rupa sehingga
mempunyai nilai yang dapat diikuti dan dipedomani oleh seluruh
rakyat Indonesia. Dapat diambil dan dijadikan bahan hukum
perdata nasional. Untuk mengetahui hal ini tentunya dilakuan
penelitian lebih dahulu terutama melalui Yurisprudensi. Dalam
Ketetapan MPR No.IV/MPR/1978 Jo. Ketetapan MPR No.II/MPR/1988
tentang GBHN, terutama pembangunan di bidang hukum antara
lain dinyatakan bahwa pembinaan hukum nasional didasarkan pada
hukum yang hidup didalam masyarakat . Hukum yang hidup dalam
masyarakat dapat diartikan antara lain hukum perdata barat yang
sesuai dengan sistem nilai budaya Pancasila, hukum perdata
tertulis buatan Hakim atau yurisprudensi dan hukum adat.
b. Berdasarkan Sistem Nilai Budaya Pancasila. Hukum perdata
nasional harus didasarkan pada sistem nilai budaya Pancasila,
maksudnya adalah konsepsi tentang nilai yang hidup dalam alam
pikiran sebagian besar anggota masyarakat. Apabila nilai yang
dimaksud adalah nilai Pancasila maka sistem nilai budaya disebut
sitem nilai budaya Pancasila. Sistem nilai budaya demkian kuat
meresap dalam jiwa anggota masyarakat sehingga sukar diganti
dengan nilai budaya lain dalam waktu singkat. Sistem nilai budaya
Pancasila berfungsi sebagai sumber dan pedoman tertinggi bagi
peraturan hukum & perilaku anggota masyarakat bangsa Indonesia.
Dengan demikian dapat diuji benarkah peraturan hukum perdata
barat. Hukum perdata tidak tertulis, buatan hakim/yurisprudensi &
peraturan hukum adat yang akan diambil sebagai bahan hukum
perdata nasional bersumber, berpedoman, apakah sudah sesuai
dengan sistem nilai budaya Pancasila? Jika jawabnya YA benarkah
peraturan hukum perdata yang diuraikan tadi dijadikan hukum
perdata nasional.
c. Produk Hukum Pembentukan Undang – Undang Indonesia.
Hukum perdata nasional harus produk hukum pembuat Undang-
Undang Indonesia. Menurut UUD 1945 pembuat Undang-Undang
adalah Presiden bersama dengan DPR [pasal 5 ayat 1 UUD 1945].
Dalam GBHN-pun digariskan bahwa pembinaan & pembentukan
hukum nasional diarahkan pada bentuk tertulis. Ini dapat diartikan
bahwa pembentukan hukum perdata nasional perlu dituangkan
dalam bentuk Undang-Undang bahkan diusahakan dalam bentuk
kondifikasi. Jika dalam bentuk Undang-Undang maka hukum
perdata nasional harus produk hukum pembentukan Undang-
Undang Indonesia. Contoh Undang-Undang Perkawinan No.1/1974,
Undang-Undang Pokok Agraria No. 5/1960.
d. Berlaku Untuk Semua Warga Negara Indonesia. Hukum
perdata nasional harus berlaku untuk semua Warga Negara
Indonesia, tanpa terkecuali dan tanpa memandang SARA. Warga
Negara Indonesia adalah pendukung hak dan kewajiban yang
secara keseluruhan membentuk satu bangsa merdeka yaitu
Indonesia. Keberlakuan hukum perdata nasional untuk semua WNI
berarti menciptakan unifikasi hukum sesuai dengan GBHN. Dan
melenyapkan sifat diskriminatif sisa politik hukum kolonia Belanda.
Unifikasi hukum tertulis yang ada sekarang sudah dikenal, diikuti
dan berlaku umum dalam masyarakat.
e. Berlaku Untuk Seluruh Wilayah Indonesia. Hukum perdata
nasional harus berlaku bagi seluruh wilayah Indonesia. Wilayah
Indonesia adalah wilayah negara RI termasuk perwakilan Indonesia
di luar negeri. Keberlakuan hukum perdata nasional untuk semua
WNI di seluruh wilayah Indonesia merupakan unifikasi hukum
perdata sebagai pencerminan sistem nilai budaya Pancasila
terutama nilai dalam sila ke tiga “ Persatuan Indonesia” Hal ini
sesuai dengan GBHN mengenai pembinaan hukum nasional.

SUMBER-SUMBER HUKUM PERDATA


1. Arti Sumber Hukum. Yang dimaksud dengan sumber hukum
perdata adalah asal mula hukum perdata, atau tempat dimana hukum
perdata ditemukan . Asal mula menunjukank kepada sejarah asal dan
pembentukanya. Sedangan tempat menunjukan kepada rumusan
dimuat dan dapat dibaca .
2. Sumber dalam arti formal. Sumber dalam arti sejarah asal nya
hukum perdata adalah hukum perdata buatan pemerintah kolonia
Belanda yang terhimpun dalam B.W ( KUHPdt ) . Berdasarkan aturan
peralihan UUD 1945 B. W ( KUHPdt ) dinyatakan tetap berlaku
sepanjang belum diganti dengan undang – undang baru berdasarkan
UUD 1945. Sumber dalam arti pembentukannya adalah pembentukan
undang – undang berdasarkan UUD 1945. UUD 1945 ditetapkan oleh
rakyat Indonesia yang didalamnya termasuk juga aturan
peralihan.Atas dasar aturan peralihan B.W ( KUHPdt ) dinyatakan tetap
berlaku. Ini berarti pembentukan UUD Indonesia ikut dinyatakan
berlakunya B. W ( KUHPdt ). Sumber dalam arti asal mula disebut
sumber hukum dalam arti formal.
3. Sumber dalam Arti Material. Sumber dalam arti “tempat” adalah
Lembaran Negara atau dahulu dikenal dengan istilah Staatsblad,
dimana dirumuskan ketentuan Undang-Undang hukum perdata dapat
dibaca oleh umum. Misalnya Stb.1847-23 memuat B.W/KUHPdt. Selain
itu juga termasuk sumber dalam arti tempat dimana hukum perdata
pembentukan Hakim . Misalnya yurisprudensi MA mengenai warisan,
badan hukum, hak atas tanah. Sumber dalam arti tempat disebut
sumber dalam arti material. Sumber Hukum perdata dalam arti
material umumnya masih bekas peninggalan zaman kolonia, terutama
yang terdapat di dalam Staatsblad. Sedang yang lain sebagian besar
berupa yurisprudensi MA-RI & sebagian kecil saja dalam Lembaran
Negara RI.

KODIFIKASI DAN SISTEMATIKA


1. Himpunan Undang-Undang & Kodifikasi. Bidang hukum tertentu
dapat dibuat & dihimpun dalam bentuk Undang-Undang biasa dan dapat
pula dalam bentuk kodifikasi. Bidang hukum tertentu bidang misalkan,
hukum perdata, pidana, dagang, acara perdata, acara pidana, tata
negara. Apabila dibuat dan dihimpun dalam bentuk Undang-Undang biasa,
maka Undang-Undang yang telah diundangkan dalam lembaran negara
masih memerlukan peraturan pelaksanaan yang terpisah dalam bentuk
tertentu, mis. PP, PerPres. Dengan demikian Undang-Undang yang dibuat
belum dapat dilaksanakan tanpa dibuat peraturan pelaksananya. Undang-
Undang & peraturan pelaksanaannya dapat dihimpun dalam satu bundle
peraturan perundang-undangan. Himpunan ini disebut “himpunan
peraturan-perundangan” mis. himpunan peraturan agraria, himpunan
peraturan perkawinan, himpunan peraturan. Apabila Undang-Undang
dibuat dalam bentuk kodifikasi, maka unsur-unsur yang perlu dipenuhi
adalah :
 meliputi bidang hukum tertentu
 tersusun secara sistematis
 memuat materi yang lengkap
 penerapannya memberikan penyelesaian tuntas
Bidang hukum tertentu yang bisa dikodifikasikan & sudah pernah
terbentuk misalnya bidang hukum perdata dagang, hukum pidana, hukum
acara perdata dan acara pidana . Materi bidang hukum yang
dikodifikasikan tersusun secara sistematis artinya disusun secara
berurutan, tidak tumpang tindih dari bentuk dan pengertian umum
kepada bentuk & pengertian khusus. Tidak ada pertentangan materi
antara pasal sebelumnya dan pasal berikutnya. Memuat materi yang
lengkap , artinya bidang hukum termuat semuanya. Memberikan
penyelesaian tuntas , artinya tidak lagi memerlukan peratuaran pelaksana
semua ketentuan langsung dapat diterapakan dan diikuti. Kodifikasi
berasal dari kata COPE [Perancis] artinya kitab Undang-Undang. Kodifikasi
artinya penghimpunan ketentuan bidang hukum tertentu dalam kitab
Undang-Undang yang tersusun secara sistematis, lengkap dan tuntas.
Contoh kodifikasi ialah Burgelijk Wetboek, Wetboek van
Koophandel,Failissement Verordening, Wetboek van Strafecht.
2. Sistematika Kodifikasi. Sistematika artinya susunan yang teratur
secara sistematis. Sistematika kodifikasi artinya susunan yang diatur dari
suatu kodifikasi. Sistematika meliputi bentuk dan isi kodifikasi.
Sistematika kodifikasi hukum perdata meliputi bentuk dan isi. Sistematika
bentuk Kitab Undang-Undang Hukum Perdata meliputi urutan bentuk
bagian terbesar sampai pada bentuk bagian terkecil yaitu :
 kitab undang – undang tersusun atas buku – buku
 tiap buku tersusun atas bab – bab
 tiap bab tersusun atas bagian – bagian
 tiap bagian tersusun atas pasal – pasal
 tiap pasal tersusun atas ayat – ayat
Sistematika Kitab Undang-Undang Hukum Perdata meliputi kelompok
materi berdasarkan sitematika fungsi. Sistematika fungsional ada 2
macam yaitu menurut pembentuk Undang-Undang & menurut ilmu
pengetahuan hukum. Sistematika isi menurut pembentukan B.W miliputi
4 kelompok materi sebagai berikut :
I. kelompok materi mengenai orang
II. kelompok materi mengenai benda
III. kelompok nateri mengenai perikatan
IV. kelompok materi mengenai pembuktian
Sedangkan sistematika menurut ilmu pengetahuan hukum ada 4 yaitu :
I. kelompok materi mengenai orang
II. kelompok materi mengenai keluarga
III. kelompok materi mengenai harta kekayaan
IV. kelompok materi mengenai pewarisan
Apabila sistematika bentuk dan isi digabung maka ditemukan bahwa
KUHPdt. Terdiri dari :
I. Buku I mengenai Orang
II. Buku II mengenai Benda
III. Buku II mengenai Perikatan
IV. Buku IV mengenai Pembuktian
SISTEMATIKA KUHPdt.
Mengenai sistematika isi ada perbedaan antara sistematika KUHPdt.
Berdasarkan pembentuk Undang-Undang dan sistematika KUHPdt.
Berdasarkan ilmu pengetahuan hukum. Perbedaan terjadi, karena latar
belakang penyusunannya. Penyusunan KUHPdt. didasarkan pada sistem
individualisme sebagai pengaruh revolusi Perancis. Hak milik adalah hak
sentral, dan tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun. Hak dan kebebasan
setiap individu harus dijamin. Sedangkan sisitematika berdasarkan ilmu
pengetahuan hukum didasarkan pada perkembangan siklus kehidupan
manusia yang selalu melalui proses lahir-dewasa-kawin–cari harta/nafkah
hidup–mati (terjadi pewarisan ). Dengan demikian perbedaan sistematika
tersebut dapat dilihat sebagai berikut :
I. Buku I KUHPdt. memuat ketentuan mengenai manusia pribadi dan
keluarga (perkawinan) sedangkan ilmu pengetahuan hukum memuat
ketetuan mengenai pribadi dan badan hukum, keduanya sebagai
pendukung hak dan kewajiban.
II. Buku II KUHPdt. memuat ketentuan mengenai benda dan waris.
Sedangkan ilmu pengetahuan hukum mengenai keluarga (perkawinan dan
segala akibatnya).
III. Buku III KUHPdt. memuat ketentuan mengenai perikatan. Sedangkan ilmu
pengetahuan hukum memuat ketentuan mengenai harta kekayaan yang
meliputi benda dan perikatan.
IV. Buku IV KUHPdt. memuat ketentuan mengenai bukti dan daluwarsa.
Sedangkan ilmu pengetahuan hukum memuat ketentuan mengenai
pewarisan, sedangkan bukti dan daluarsa termasuk materi hukum perdata
formal (hukum acara perdata).
BERLAKUNYA HUKUM PERDATA
Berlaku artinya diterima untuk dilaksanakan. Berlakunya hukum
perdata artinya diterimanya hukum perdata untuk dilaksanakan . Adapun
dasar berlakunya hukum perdata adalah ketentuan undang – undang ,
perjanjian yang dibuat oleh pihak, dan keputusan hakim. Realisasi
keberlakuan adalah pelaksanaan kewajiban hukum yaitu melaksanakan
perintah dan menjauhi larangan yang ditetapkan oleh hukum. Kewajiban
selalu diimbangi dengan hak.
1. Ketentuan Undang-Undang. Berlakunya hukum perdata karena
ketentuan Undang-Undang artinya Undang-Undang menetapkan
kewajiban agar hukum dilaksanakan. Undang-Undang mengikat semua
orang atau setiap orang wajib mematuhi Undang-Undang, yang jika tidak
patuhi akan disebut sebagai pelanggaran. Berlakunya hukum perdata ada
bersifat memaksa dan bersifat sukarela. Bersifat memaksa artinya
kewajiban hukum harus dilaksanakan baik dengan berbuat atau tidak
berbuat. Pelaksanan kewajiban hukum dengan berbuat misalnya :
a. Dalam perkawinan, kewajiban untuk memenuhi syarat & prosedur
kawin supaya memperoleh hak kehidupan suami isteri;
b. Dalam mendirikan yayasan kewajiabn memenuhi syarat akta
Notaris, supaya memperoleh hak status hukum;
c. Dalam perbuatan melanggar hukum kewajiban membayar kerugian
kepada yang dirugikan.
d. Dalam jual beli kewajiban pembeli membayar harga barang supaya
memperoleh hak atas barang yang dibeli
Pelaksanaan kewajiban hukum untuk tidak berbuat misalnya :
a. Dalam perkawinan, kewajiban tidak mengawini lebih dari seorang
wanita dalam waktu yang sama supaya memperoleh predikat
monogami.
b. Dalam ikatan perkawinan, kewajiban tidak bersetubuh dengan
wanita/pria yang bukan istri/suami sendiri, supaya memperoleh hak
atas status suami atau isteri yang baik, jujur, tidak menyeleweng
c. Dalam karya cipta, kewajiban untuk tidak membajak hak cipta milik
orang lain , sehingga berhak untuk bebas dari penututan.
Sukarela berarti terserah pada kehendak yang bersangkutan apakah
bersedia melaksanakan kewajiban tersebut atau tidak [tidak ada
paksaan], kewajiaban tersebut menyangkut kepentingan sendiri. Dalam
pelaksanaan kewajiban sukarela saksi hukum tidak berperan. Adapun
kewajiban hukum karena adanya hubungan hukum. Hubungan hukum
tersebut ditetapakan oleh undang – undang . Jadi Undang-Undang
menciptakan hubungan hukum antara para pihak. Hubungan
mengandung kewajiban dan hak yang bertimbal balik antara pihak pihak.
Hubungan hukum dapat tercipta karena adanya peristiwa hukum karena :
a. kejadian misalnya kelahiran, kematian;
b. perbuatan misalnya jual beli, sewa menyewa
c. keadaan misalnya letak rumah, batas antara dua pihak
Dalam Undang-Undang ditentukan bila terjadi kelahiran, maka timbul
hubungan hukum antara orang tua dan anak yaitu hubungan timbal balik
adanya hak dan kewajiban
2. Perjanjian antar para pihak. Hukum perdata juga berlaku karena
ditentukan oleh perjanjian. Artinya perjanjian yang dibuat oleh para pihak
menetapkan diterimanya kewajiban hukum untuk dilaksanakan oleh para
pihak. Perjanjian mengikat pihak yang membuatnya. Perjanjian harus
sebagai Undang-Undang bagi para pihak yang membuatnya. Perjanjian
harus dilaksanakan dengan itikat baik (pasal 1338 KUHPdt). Perjanjian
menciptakan hubungan hukum antara pihak–pihak yang membuatnya.
Hubungan hukum mengandung kewajiban dan hak yang bertimbal balik
antara para pihak. Hubungan hukum terjadi karena peristiwa hukum yang
berupa perbuatan perjanjian misalnya, Jual beli, sewa menyewa, hutang
piutang. Ada 2 macam perjanjian yaitu :
1. Perjajian harta kekayaan yaitu perjanjian yang menimbulkan
kewajiban dan hak yang bertimbal balik mengenai harta kekayaan.
Ada 2 jenis :
 perjanjian yang bersifat obligator artinya baru dalam taraf
melahirkan kewajiban dan hak;
 perjanjian yang bersifat zakelijk ( kebendaan ) artinya dalam
taraf memindahkan hak sebagai realisasi perjajian obligator.
2. Perjanjian perkawinan yaitu perjanjian yang menimbulkan
kewajiban dan hak suami isteri secara bertimbal balik dalam
hubungan perkawinan. Perjanjian terletak dalam bidang moral dan
kesusilaan.
Supaya penerimaan kewajiban dan hak yang bertimbal balik lebih mantap
maka pada perjanjian tertentu pembuatannya dilakukan secara tertulis di
depan Notaris.
3. Keputusan Hakim. Hukum perdata berlaku karena ditetapkan oleh
hakim melalui putusan. Hal ini dapat terjadi karena ada perbedaan dalam
hukum perdata. Untuk menyelesaikannya dan menetapkan siapa
sebenarnya berkewajiban dan berhak menuntut hukum perdata, maka
hakim karena jabatanya memutuskan sengketa tersebut. Putusan hakim
bersifat memaksa artinya jika ada pihak yang tidak mematuhinya, hakim
dapat memerintahkan pihak yang bersangkutan supaya
mematuhi dengan kesadaran sendiri. Jika masih tidak mematuhinya
hakim dapat melaksanakan putusannya dengan paksa, bila perlu dengan
bantuan alat negara.
4. Akibat Berlakunya Hukum Perdata. Sebagai akibat berlakunya hukum
perdata, yaitu adanya pelaksanaan pemenuhan [prestasi] dan realisasi
kewajiban hukum perdata. Ada 3 kemungkinan hasilnya yaitu [1]
tercapainya tujuan apabila kedua belah pihak memenuhi kewajiban dan
hak timbal balik secara penuh [2] tidak tercapai tujuan, apabila salah satu
pihak tidak memenuhi kewajiban [3] terjadi keadaan yang bukan tujuan
yaitu kerugian akibat perbuatan melanggar hukum. Apabila kedua belah
pihak tidak memenuhi kewajiban hukum yang telah ditetapkan dalam
perjanjian tidak akan menimbulkan kewajiban. Sebab kewajiban hukum
pada hakekatnya baru dalam taraf diterima untuk dilaksanakan. Jadi
belum dilaksanakan kedua belah pihak . Tetapi apabila salah satu pihak
telah melaksanakan kewajiban hukum sedang pihak lainnya belum/tidak
melaksanakan kewajiban hukum barulah ada masalah wanprestasi yang
mengakibatkan tujuan tidak tercapai, sehingga menimbulkan sanksi
hukum.

Ialah keseluruhan dari ketentuan hukum, yang mengatur hubungan antara orang
yang satu dengan orang yang lain, termasuk Badan Hukum dengan Bumi, Air,
dan Ruang Angkasa dalam seluruh wilayah dan mengatur pula wewenang yang
bersumber pada hubungan tersebut.Hukum agraria secara umum diatur dalam
UU No. 24 tahun 1960 tentang UU Pokok-pokok Agraria. Hukum agraria terdiri
atas :

Hukum agraria terdiri atas :

a.Hukum pertanahan Ialah bidang &nbsphukum yang mengatur hak-hak


pengaturan atas tanah

b.Hukum pengairan Ialah yaitu bidang hukum yang mengatur hak-hak atas air

c.Hukum Pertambangan Ialah bidang hukum yang mengatur hak penguasaan


atas bahan galian.Hukum pertambangan secara khusus diatur dalam UU no. 11
tahun 1967 tentang Pokok-pokok Pertambangan

d.Hukum kehutanan Ialah bidang hukum yang mengatur hak-hak penguasaan


atas hutan da hasil hutan.

e.Hukum Perikanan Ialah bidang hukum yang mengatur hak-hak penguasaan


atas ikan dan lain-lain dan perairan darat lain.

You might also like