Professional Documents
Culture Documents
Disusun oleh :
Kelompok 9
Kelas A
Disusun oleh :
Kelompok 9 / Kelas Perikanan A
Ahmad tabroni 230110070009
Radityo Nur Hardono 230110070019
Ocky Herlambang 230110070029
Rioaldy Sughandi 230110070039
Danies Sadyarta Pratama 230110070049
Alexander Burhani Marda 230110070059
Mugni Triyadzi 230110070069
Disusun Oleh,
Kelompok : 9
Kelas : A
Acc :
Jatinangor, 13 Januari 2010
Pembimbing
KATA PENGANTAR
Syukur kehendak Allah SWT yang selalu berada di samping kita dalam
segala segi kehidupan. Dengan bimbinganNya lah kami dapat menyelesaikan
laporan praktikum ekotoksikologi ini. Tanpa bimbinganNya saya pasti tidak
mampu menyelesaikan makalah ini. Setelah mengalami beberapa kali refisi dari
team dosen pembimbing praktikum dan diselingi oleh kegiatan kuliah, UAS, juga
kesibukan dari masing-masing anggota kelompok, syukur alhamdulilah akhirnya
laporan praktikum ini dapat kami selesaikan dan kami beri judul “Laporan Akhir
Praktikum Ekotoksikologi Perairan (Uji Toksisitas Lethal, Uji Toksisitas
Sub-Lethal, Pengamatan Preparat Histologi)”
Penulis menyadari laporan praktikum ini jauh dari sempurna, karena
kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT. Oleh karena itu kritik dan saran yang
membangun diharapkan untuk memperbaiki kesalahan yang ada. Penulis
mengucapkan banyak terima kasih kepada teman, dosen, dan orang tua yang
selalu membantu dalam kegiatan perkuliahaan
Akhir kata, penulis berharap laporan praktikum ini dapat memberi
pengetahuan kepada pembaca, dan menambah wawasan mengenai hal yang
penulis paparkan.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Halaman
BAB I. PENDAHULUAN
BAB I. PENDAHULUAN
BAB I. PENDAHULUAN
DAFTAR TABLE
DAFTAR GAMBAR
BAB I
PENDAHULUAN
Ada beberapa macam uji toksisitas, diantaranya uji toksisitas akut, uji
toksisitas lethal dan uji toksisitas sublethal. Pada praktikum kali ini yang
dilakukan adalah uji toksisitas akut dengan bahan uji (herbisida, methyelen blue
dan ekstrak nimba).
Tujuan dari praktikum uji toksisitas akut ini adalah untuk menghitung nilai
LC50 dari bahan toksik herbisida, methylen blue dan ekstra nimba, dengan begitu
dapat diketahui pada konsentrasi berapa bahan toksik dapat mematikan 50%
organime uji (Artemia dan Daphnia).
Manfaat dari diadakannya praktikum uji toksisitas akut yang ialah untuk
mengetahui respon kematian hewan uji artemia dan daphnia selama 24 jam
dengan konsentrasi pemaparan yang diberikan yaitu :
1. Herbisida 48.6 µg/mL, 4.86 µg/mL, dan 0.486 µg/mL.
2. Methylen Blue 20 µg/mL, 2 µg/mL, 0.2 µg/mL.
3. Ekstrak Nimba 10 µg/mL, 1 µg/mL, 0.1 µg/mL.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Toksisitas akut adalah efek total yang didapat pada dosis tunggal/multipel
dalam 24 jam pemaparan. Toksisitas akut sifatnya mendadak, waktu singkat,
biasanya reversibel, yang secara statistik dapat menyebabkan kematian 50% dari
hewan percobaan, dinyatakan dengan LC50 (Lu, 1995). Nilai LC50 sangat berguna
untuk menentukan klasifikasi zat kimia sesuai dengan toksisitas relatifnya.
Klasifikasi lazim adalah sebagai berikut (Lu, 1994) :
Kategori LC 50
Supertoksik 5 mg / kg atau kurang
Amat sangat toksik 5 – 50 mg / kg
Sangat toksik 50 – 500 mg / kg
Toksik sedang 0,5 – 5 g / kg
Toksik ringan 5 – 15 g / kg
Praktis tidak toksik > 15 g / kg
Kegunaan dari uji toksisitas akut adalah untuk mengetahui dosis yang
aman dari sebuah penggunaan bahan kimia terhadap organisme uji. Uji toksisitas
akut adalah uji yang dapat menunjukan tentang dosis yang sebaiknya digunakan
dalam pengujian/penelitian selanjutnya (uji pendahuluan). Uji toksisitas akut ini
biasanya menggunakan organisme uji yang memiliki umur pendek seperti artemia
atau lebih dikenal dengan BST(Brine shrimp letality test). BST menggunakan
artemia sebagai bioassay.
4
2.2.1 Artemia
1. Siklus Hidup
Siklus hidup artemia bisa dimulai dari saat menetasnya kista atau telur.
Setelah 15-20 jam pada suhu 25°C kista akan menetas manjadi embrio. Dalam
waktu beberapa jam embrio ini masih akan tetap menempel pada kulit kista. Pada
fase ini embrio akan menyelesaikan perkembangannya kemudian berubah menjadi
naupli yang sudah akan bisa berenang bebas. Pada awalnya naupli akan berwarna
orange kecoklatan akibat masih mengandung kuning telur. Artemia yang baru
menetas tidak akan makan, karena mulut dan anusnya belum terbentuk dengan
sempurna. Setelah 12 jam menetas mereka akan ganti kulit dan memasuki tahap
larva kedua. Dalam fase ini mereka akan mulai makan, dengan pakan berupa
mikro alga, bakteri, dan detritus organik lainnya. Pada dasarnya mereka tidak
akan peduli (tidak pemilih) jenis pakan yang dikonsumsinya selama bahan
tersebut tersedia diair dengan ukuran yang sesuai. Naupli akan berganti kulit
sebanyak 15 kali sebelum menjadi dewasa dalam waktu 8 hari. Artemia dewasa
rata-rata berukuran sekitar 8 mm, meskipun demikian pada kondisi yang tepat
mereka dapat mencapai ukuran sampai dengan 20 mm. Pada kondisi demikian
Biomasnya akan mencapi 500 kali dibandingakan biomas pada fase naupli.
Dalam tingkat salinitas rendah dan dengan pakan yang optimal, betina
Artemia bisa mengahasilkan naupli sebanyak 75 ekor perhari. Selama masa
hidupnya (sekitar 50 hari) mereka bisa memproduksi naupli rata-rata sebanyak 10-
11 kali. Dalam kondisi super ideal, Artemia dewasa bisa hidup selama 3 bulan dan
memproduksi nauplii atau kista sebanyak 300 ekor (butir) per 4 hari. Kista akan
terbentuk apabila lingkungannya berubah menjadi sangat salin dan bahan pakana
sangat kurang dengan fluktuasi oksigen sangat tinggi antara siang dan malam hari.
Artemia dewasa toleran terhadap selang suhu -18 hingga 40°C. Sedangkan
tempertur optimal untuk penetasan kista dan pertubuhan adalah 25-30°C.
Meskipun demikian hal ini akan ditentukan oleh strain masing-masing. Artemia
menghendaki kadar salinitas antara 30-35 ppt, dan mereka dapat hidup dalam air
tawar salama 5 jam sebelum akhirnya mati.
Variable lain yang penting adalah pH, cahaya dan oksigen. pH dengan
selang 8-9 merupakan selang yang paling baik, sedangkan pH di bawah 5 atau
lebih tinggi dari 10 dapat membunuh Artemia. Cahaya minimal diperlukan dalam
proses penetasan dan akan sangat menguntungkan bagi pertumbuhan mereka.
Lampu standar grow-lite sudah cukup untuk keperluan hidup
2. Penetasan Kista Artemia
Kista artemia dapat ditetaskan secara optimal, apabila sarat-sarat yang
diperlukannya dapat dipenuhi. Beberapa syarat tersebut adalah:
a) Salinitas antara 20-30 ppt (parts per thousand) atau 1-2 sendok teh
garam per liter air tawar. Untuk buffer bisa ditambahkan magnesium
sulfate (20 % konsentrasi) atau 1/2 sendok teh per liter air.
b) Suhu air 26-28°C.
c) Disarankan untuk memberikan sinar selama penetasan untuk
merangsang proses.
d) Aerasi yang cukup; untuk menjaga oksigen terlarut sekitar 3 ppm
e) pH 8.0 atau lebih, apabila pH drop dibawah 7.0 dapat ditambahkan
soda kue untuk menaikkan pH.
f) Kepadatan sekitar 2 gram per liter.
7
2.2.2 Dhapnia
Daphnia seringkali dikenal sebagai kutu air karena kemiripn bentuk dan
cara bergeraknya yang menyerupai seekor kutu. Pada kenyataannya daphnia
termasuk dalam golongan udang-udangan dan tidak ada hubugannya dengan kutu
secara taxonomi. Daphnia merupakan udang-udangan renik air tawar dari
golongan brachiopoda. Mereka bisa dikatakan masih saudara dengan artemia,
meskipun gerakannya tampak meloncat seperti seekor kutu sebenarnya binatang
ini berenang dengan menggunakan kakinya (sering disebut antena).
Daphnia merupakan sumber pakan bagi ikan kecil, burayak dan juga ikan
kecil lainnya. Kandungan proteinnya bisa mencapai lebih dari 70% kadar bahan
kering. Secara umum dapat dikatakan terdiri dari 95% air, 4% protein, 0.54%
lemak, 0.67% karbohidrat, dan 0.15% abu. Kepopulerannya sebagai pakan ikan
selain karena kandungan gizi serta ukurannya adalah karena kemudahannya
dibudidayakan sehingga dapat tersedia dalam jumlah mencukupi setiap saat.
Adapun klasifikasi dari daphnia (menurut Müller, 1785), antara lain :
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Subfilum : Crustacea
Klass : Branchiopoda
Ordo : Cladocera
Famili : Daphniidae
Genus : Daphnia
Spesies : Daphnia sp
Gambar 3 : Daphnia
(Wikimedia, 2005)
8
1 Siklus Hidup
Daphnia merupakan udang-udangan yang telah beradaptasi pada
kehidupan badan perairan yang secara periodik mengalami kekeringan. Oleh
karena itu, dalam perkembangbiakannya (seperti halnya Artemia) dapat dihasilkan
telur berupa kista maupun anak yang "dilahirkan". Telur berupa kista ini dapat
bertahan sedemikian rupa terhadap kekeringan dan dapat tertiup angin kemana-
mana, sehingga tidak mengherankan kalau tiba-tiba dalam genangan air disekitar
rumah kita ditemukan Daphnia.
Dalam keadaan normal, dimana kualitas air sesuai dan jumlah pakan
cukup maka daphnia akan menghasilkan keturunannya tanpa perkawinan
(aseksual/parternogenesis). Dalam kondisi demikian hampir semua Daphnia yang
ada adalah betina. Telur yang tidak dibuahi ini berkembang sedemikian rupa
dalam kantung telur di tubuh induk, kemudian berubah menjadi larva. Seekor
Daphnia betina bisa menghasilkan larva setiap 2 atau 3 hari sekali. Dalam waktu
60 hari/ekor betina bisa menghasilkan 13 milyar keturunan, yang semuanya
betina. Tentu saja tidak semua jumlah ini bisa sukses hidup hingga dewasa,
keseimbangan alam telah mengaturnya sedemikian rupa dengan diciptakannya
berbagai musuh alami Daphnia untuk mengendalikan populasi mereka. Daphnia
muda mempunyai bentuk mirip dengan bentuk dewasanya tetapi belum dilengkapi
dengan "antena" yang panjang.
Apabila kondisi lingkungan hidup tidak memungkinkan dan cadangan
pakan menjadi sangat berkurang, beberapa Daphnia akan memproduksi telur
berjenis kelamin jantan. Kehadiran jantan ini diperlukan untuk membuahi telur,
yang selanjutnya akan berubah menjadi telur tidur (kista/aphippa). Seekor jantan
bisa membuahi ratusan betina dalam suatu periode. Telur hasil pembuahan ini
mempunyai cangkang tebal dan dilindungi dengan mekanisme pertahanan
terhadap kondisi buruk sedemikian rupa. Telur tersebut dapat bertahan dalam
lumpur, dalam es, atau bahkan kekeringan. Telur ini bisa bertahan selama lebih
dari 20 tahun dan menetas setelah menemukan kondisi yang sesuai. Selanjutnya
mereka hidup dan berkembang biak secara aseksual. Dan begitu seterusnya.
9
2 Persyaratan hidup
Daphnia hidup pada selang suhu 18-240C, selang suhu ini merupakan suhu
optimal bagi pertumbuhan dan perkembangan daphnia. Diluar selang tersebut
daphnia akan cenderung dorman. Daphnia membutuhkan PH sedikit alkalin yaitu
antara 6.7 sampai 9.2. Seperti halnya hewan akuatik lainnya, pH tinggi dan
kandunan ammonia tinggi akan menyebabkan daphnia mengalami kematian, oleh
karena itu tingkat ammonia perlu dijaga dengan baik dalam suatu system
budidaya. Seluruh spesies daphnia diketahui sangat sensitive terhadap ion-ion
logm seperti Mn, Zn dan Cu, dan bahan beracun terlarut lain seperti pestisida,
bahan pemutih dan deterjen.
Daphnia merupakan filter feeder, artinya mereka "memfilter" air untuk
medapatkan pakannya berupa mahluk-mahluk bersel tunggal seperti algae, dan
jenis protozoa lain serta detritus organik. Selain itu, mereka juga membutuhkan
vitamin dan mineral dari dalam air. Mineral yang harus ada dalam air adalah
Kalsium, unsur ini sangat dibutuhkan dalam pembentukan "cangkang"nya. Oleh
karena itu, dalam wadah pembiakan akan lebih baik apabila di tambahkan
potongan batu kapur, karang (koral) batu apung dan sejenisnya. Selain dapat
meningkatkan pH bahan tersebut akan memberikan suplai kalsium yang cukup
bagi Daphnia. Beberapa jenis kotoran hewan yang sering dijadikan "media"
10
lama tentunya merupakan hal yang tidak diinginkan dan harus dihindari karena
akan mencemari lingkungan sekitar.
Herbisida merupaan pestisida kationik dengan kelarutan di dalam air sangat
tinggi. Bahan aktif yang terkandung dalam herbisida merupakan pestisida kationik
(divalent), sehingga berpotensi mengalami pertukaran kation di dalam tanah. Ion
paraquat dapat bereaksi dengan lebih dari satu ion COO- koloid organic tanah.
Paraquat akan bereaksi dan diikat oleh dua gugus reaktif koloid organic tanah,
mungkin oleh ion COO-, fenolat O-, kombinasi keduanya, atau kombinasi salah
satu ion tersebut dengan radikal bebas.
Penggunaan herbisida pada dasarnya untuk mengendalikan gulma yang
tumbuh dipermukaan tanah, akan tetapi dalam aplikasinya dapat mengalami
beberapa proses salah satunya teradsorpsi oleh partikel tanah. Hal ini
menyebabkan herbisida tersebut tidak optimal dalam mengendalikan gulma, jika
herbisida paraquat tersebut terakumulasi dalam tanah dalam jumlah yang besar
dapat mencemari lingkungan. Adsorpsi herbisida di dalam tanah di pengaruhi oleh
sifat tanah seperti jenis tanah, kandungan bahan organik, suhu, kelembaban, pH
tanah serta macam kandungan mineral liat tanah. Keberadaan herbisida di dalam
tanah dapat di deteksi dengan menggunakan metode Batch. Dari hasil penelitian
menunjukkan bahwa semakin besar konsentrasi herbisida paraquat yang
diberikan, adsorpsi herbisida pada tanah dystrudept, dystrandept dan psamment
juga semakin meningkat dan adsorpsi herbisida paraquat cendrung meningkat
seiring dengan menurunnya pH tanah. Aplikasi herbisida pada suatu tanah bila
melebihi kemampuan adsorpsi maksimum dapat mencemari lingkungan.
Senyawa kimia yang terkandung dalam Herbisida yang meresap ke dalam
tanah ada yang tidak dapat terurai. Dan ini dapat membentuk senyawa baru yang
bisa berbahaya mencemari tanah dan air (Dr. Ir. Dermiyati, M.Agr.Sc, 2007)
2.3.1.1 Roundup
Roundup adalah nama merek sistematik, spectrum luas herbisida yang
dihasilkan oleh perusahaan Monsanto di US. Mengandung banyak bahan aktif
glifosfat. Glifosfat merpakan herbisida yang paling banyak digunakan di Amerika
13
Serikat, dan Roundup adalah herbisida yang nomor satu diseluruh dunia,
setidaknya sejak tahun1980.
Bahan utama yang aktif dari Roundup adalah isopropylamine garam dari
glifosat. Unsur penting lain Roundup adalah surfaktan POEA (polyethoxylated
tallow amine), yang dikenal dengan keracunan satwa liar. Ini akan meningkatkan
penetrasi herbisida dalam tanaman dan sel binatang.
Efek yang terjadi pada perairan akan menyebabkan Ikan dan
air invertebrata lebih sensitif terhadap Roundup dari organisme darat. Glifosat
umumnya kurang persisten dalam air daripada di tanah, dengan 12-60 hari
persitensi Kanada diamati dalam air kolam, namun kegigihan dari lebih dari satu
tahun telah diamati di kolam sedimen di Michigan dan Oregon.
Uni Eropa mengklasifikasikan R51/53 Roundup sebagai “Beracun untuk
organisme akuatik, dapat menyebabkan jangka panjang efek dalam lingkungan
perairan.”
Meskipun Roundup tidak terdaftar untuk menggunakan air dan studi tentang
dampaknya pada amfibi menunjukkan hal itu adalah racun bagi mereka, para
ilmuwan telah menemukan bahwa hal itu mungkin angin di rawa-rawa kecil di
mana kecebong hidup, karena kurang hati-hati penyemprotan selama
aplikasi. Sebuah penelitian baru menemukan bahwa bahkan pada konsentrasi
sepertiga dari konsentrasi maksimum yang diharapkan dalam alam, roundup
masih membunuh hingga 71 persen dari kecebong dibesarkan di luar tank.
telur ikan. Metil biru biasanya tersedia sebagai larutan jadi di toko-toko akuarium,
dengan konsenrasi 1 - 2 persen. Selain itu tersedia pula dalam bentuk serbuk.
daging buah yang berasa manis menyeliputi biji. Bagian yang paling banyak
dimanfaatkan dari pohon Nimba adalah daun dan biji (kernel). Bagian biji banyak
mengandung minyak dan bahan aktif pestisida yang disebut azadirakhtin.
Kandungan azadirakhtin biji Nimba berkisar antara 0,1 hingga 0,5% dari bobot
keringnya. Azadirakhtin termasuk kelompok senyawa tripenoid dengan kerangka
struktur limonoid.
Adapun klasifikasi dari daun nimba adalah sebagai berikut :
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Ordo : Rutales
Famili : Meliaceae
Genus : Azadirachta
Spesies : Azadirachta Indica A. Juss
BAB III
METODOLOGI PRAKTIKUM
3.2.2 Bahan
3.3.2 Pengenceran
1. Herbisida
Konsentrasi Awal : 486 g/l = 486 000µg/mL
1 ml V1N1 = V2N2
(486.000)(1) = (X1)(100)
V1N1 = V2N2
1 ml
100 mL
(486)(1) = (X2)(10)
X2 = 48.6 µg/mL
48.6
µg/mL
1 ml V1N1 = V2N2
10 ml
(48.6)(1) = (X2)(10)
4.86
µg/mL X2 = 4.86 µg/mL
10 ml 1 ml V1N1 = V2N2
(4.86)(1) = (X2)(10)
0.486
µg/mL X2 = 0.486 µg/mL
10 ml
21
2. Methylen Blue
Konsentrasi Awal = 20.000 ppm
1 ml V1 N1 = V 2 N2
(486.000)(1) = (X1)(100)
V1 N1 = V 2 N2
1 ml
100 mL
(V1)(200) = (10)(20)
V1 = 1 µg/mL
20
µg/mL
1 ml V1 N1 = V2 N2
10 ml
(V1)(20) = (10)(2)
2 µg/mL
V1 = 1 µg/mL
10 ml 1 ml V1 N1 = V2 N2
(V1)(2) = (10)(0.2)
0.2
µg/mL V1 = 1 µg/mL
10 ml
22
3. Ekstrak nimba
Konsentrasi Awal : 10 g/l = 10.000 µg/mL
1 ml V1N1 = V2N2
(V1)(10.000) = (100)(100)
V1 = 1 mL
100
µg/mL
V1N1 = V2N2
1 ml
100 mL
(V1)(100) = (10)(10)
V1 = 1 mL
10 µg/mL
1 ml V1N1 = V2N2
10 ml
(V1)(100) = (10)(1)
1 µg/mL V1 = 1 mL
10 ml 1 ml V1N1 = V2N2
(V1)(100) = (10)(0.11)
0.1 V1 = 1 mL
µg/mL
23
Analisis data yang digunakan untuk menentukan nilai LC50-24 jam adalah
analisis probit yang mengacu pada Hubert (1979) yaitu, sebagai berikut :
Hubungan nilai logaritma konsentrasi bahan toksik uji dan nilai probit dari
persentase mortalitas hewan uji merupakan fungsi linear Y= a + bX. Nilai LC50-
24 jam diperoleh dari anti log m, dimana m merupakan logaritma konsentrasi
klorin pada Y = 5, yaitu nilai probit 50% hewan uji.
Nilai m diperoleh dari :
y ax bx
bx y a
y a
x
b
Dimana x = m dan y = 5, jadi persamaan regresinya menjadi :
5a
m
b
Nilai a dan b dapat diperoleh berdasarkan persamaan berikut :
XY 1
n X Y
b
X
2
1
n X
2
1
a Y b X
n
Keterangan :
Y = Nilai probit mortalitas
X = Logaritma konsentrasi bahan uji
n = Banyaknya perlakuan
a = Konstanta
b = Slope/ kemiringan
m = Nilai X pada Y = 5
BAB IV
4.1 Hasil
4.1.1 Artemia
Kelompok : 4,5,dan 6
Bahan Toksik : Methylen Blue
Konsentrasi 20 ppm 2 ppm 0,2 ppm
Waktu 1 2 3 1 2 3 1 2 3
15’ - - - - - - - - -
30’ - - - - - - - - -
1 - - - - - - - 1 1
2 - - - 1 1 - - - -
4 - - - - 1 - - 1 -
6 1 1 - - - 1 - 1 2
8 - - - - 1 - - - 1
16 1 - 2 3 5 6 1 - 1
24 1 2 - 2 1 - - 2 1
Jumlah 3 3 2 6 9 7 1 5 6
LC50-24 jam artemia herbisida = anti log m = anti log -1.69 = 0.02 ppm
28
29
30
5-a
m = m = 5 – 5.15
b 0.53
= - 0.28
LC50-24 jam artemia ekstrak nimba = anti log m = anti log -0.28 = 0.53 ppm
34
35
36
4.1.2 Daphnia
LC50-24 jam daphnia herbisida = anti log m = anti log 0.73 = 5.32 ppm
37
38
39
m = 5-a m = 5 – 4.92
b 0.57
LC50-24 jam daphnia methylen blue = anti log m = anti log 0.14 = 1.39 ppm
40
41
42
LC50-24 jam daphnia ekstrak nimba = anti log m = anti log -0.26 = 0.55 ppm
43
44
45
4.2 Pembahasan
4.2.1 Artemia
ini juga dapat disebabkan oleh faktor manusia dan juga daya tahan tubuh artemia
tersebut.
Pada toksik ekstrak nimba dengan pemberian konsentrasi sebesar 10
µg/mL, 1 µg/mL, dan 0.1 µg/mL, didapatkan hasil yang juga tidak stabil. Pada
konsentrasi 10 µg/mL rerata yang didapat ialah 66.67%, pada konsentrasi 1
µg/mL rerata yang didapat ialah 73.33%, dan pada konsentrasi 0.1 µg/mL rerata
yang didapat ialah 26.67%. Ini juga merupakan hasil yang tidak stabil. Hasil yang
diperoleh menunjukkan bahwa konsentrasi 1 µg/mL menunjukkan angka
mortalitas yang terbesar.
Pembahasan dari perbandingan nilai LC50 dari tiap-tiap bahan toksik
adalah sebagai berikut, pada hewan uji artemia nilai LC50 herbisida adalah 0,02
ppm, nilai LC50 methilyen blue adalah 0,69 ppm dan nilai LC50 ekstrak nimba
adalah 0,53 ppm. Jika dilihat dari nilai-nilai tersebut maka herbisida merupakan
bahan yang paling toksik karena pada konsentrasi 0,02 ppm saja sudah membunuh
50% dari hewan uji disbanding dengan methilyen blue dan ekstrak nimba.
4.2.2 Daphnia
Pada hewan uji daphnia nilai LC50 Herbisida adalah 5,32 ppm, nilai LC50
Methilyen blue adalah 1.39 ppm dan nilai LC50 Ekstrak Nimba adalah 0,55 ppm.
Nilai ini hampir berbanding terbalik dengan nilai LC50 yang dipaparkan ke hewan
uji artemia. Pada hewan uji daphnia ekstrak nimba merupakan bahan yang paling
toksik dibandingkan dengan methylen blue dan herbisida.
48
BAB V
5.1 Kesimpulan
Pada hewan uji artemia nilai LC50 herbisida adalah 0,02 ppm, nilai LC50
methilyen blue adalah 0,69 ppm dan nilai LC50 ekstrak nimba adalah 0,53 ppm.
Pada hewan uji daphnia nilai LC50 Herbisida adalah 5,32 ppm, nilai LC50
Methilyen blue adalah 1.39 ppm dan nilai LC50 Ekstrak Nimba adalah 0,55 ppm.
disajikan dalam tabel berikut ini :
Tabel 4 : Nilai Hasil LC50 Praktikum Berdasarkan Metode Hubert
Artemia Daphnia
Herbisida 0,02 5,32
Methylen Blue 0,69 1,39
Ekstrak Nimba 0,53 0,55
5.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2009/04/uji_toksisitas_limbah_cair_
tahu_sumedang.pdf
http://translate.google.co.id/translate?hl=id&sl=en&u=http://www.businessdiction
ary.com/definition/lethal-concentration-50-
LC50.html&ei=h146S5XuL86LkAWakPT3CA&sa=X&oi=translate&ct=resu
lt&resnum=1&ved=0CAwQ7gEwAA&prev=/search%3Fq%3DLethal%2BC
oncentration%2B50%26hl%3Did%26client%3Dfirefox-
a%26rls%3Dorg.mozilla:en-US:official%26hs%3DM0N
http://pencemaran.files.wordpress.com/2008/09/ekotoksikologi-organisme2.ppt
http://elib.iatmi.or.id/uploads/IATMI_3-M3-
1_FP_08_(Uji_Toxicity_Characteristic_Leaching_Pr.pdf
http://www.breederkoi.com/article/article_detail.asp?cat=5&id=28
http://translate.google.co.id/translate?hl=id&sl=en&tl=id&u=http://en.wikipedia.o
rg/wiki/Roundup
http://loveyourearthbaby.blogspot.com/2009/03/tugas-ptat_25.html
51
BAB I
PENDAHULUAN
Bahan toksik dalam suatu perairan biasanya bersifat larut dalam air,
kemudian akan terpapar ke organisme yang berada di perairan tersebut. Toksisitas
bahan toksik ada yang bersifat akut seperti praktikum sebelumnya dan ada yang
bersifat khronis yaitu proses peracunanya tidak langsung mematikan organisme
namun membutuhkan waktu untuk proses peracunanya.
Uji toksisitas sub-lethal (sub khronis) dilakukan selama beberapa hari
untuk mengamati bagaimana kondisi ikan pada saat pemaparan bahan toksik.
Pengamatan dilakukan dengan melihat kondisi fisik ikan seperti bukaan
operculum, lendir, aktfi atau tidaknya ikan.
Uji ini merupakan bagian dari uji toksisitas kuantitatif yang dilakukan
dengan perbedaan larutan kimia/polutan dalam jangka waktu relative lama efek
sublethal dapat terjadi dalam beberapa hari, minggu sampai beberapa bulan.
Parameter yang diamati umunya gejala fisiologis seperti aktifitas gerak
(aktif/pasif), gerak renang, gerak operculum/mulut ikan dalam aktifitas repitasi
gejala klinis(produksi lender pada sisik, keadaan insang).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Uji toksisitas sub lethal merupakan bagian dari uji toksisitas kuantitatif
yang dilakukan dalam jangka waktu yang lama sebagai akibat dari pemaparan
jangka waktu yang lama terhadap suatu bahan kimia. Efek akut dapat terjadi
dalam selang waktu beberapa bulan atau tahun, dengan kata lain uji toksisitas sub
lethal ini bersifat permanen, lama, konstan, kontinu, irreversible. Parameter yang
dapat diamati dalam uji toksisitas sub lethal antara lain keadaan fisiologis
organism uji, tingkah laku, biokimiawi, perubahan biologis hewan uji, dan juga
dapat mengitung nilai hematokritnya.
Tujuan utama :
a. Skrining kedua terhadap mutagenesitas
b. Uji interaksi (sinergisme, antagonisme)
c. Uji farmakokinetika
d. Uji perilaku
Pemaparan bahan toksik dapat dilakukan dengan berbagai cara
diantaranya:
a. Static Test (Uji Statis)
Medium statis (tergenang/ tenang/ stagnan) dalam wadah uji tanpa diganti,
dengan pengenceran bahan toksik.
b. Renewal Test (Semi-Statis)
Hampir sama dengan Uji Statis, namun medium uji diganti secara periodik
dalam selang waktu tertentu.
c. Resirculation Test
Medium uji dan media kontrol dipompa menuju alat filter untuk menjaga
kualitas airnya, dengan tidak mengurangi taraf konsentrasi.
53
Phylum : Chordata
Sub phylum : Pisces
Class : Osteichthyes
Sub class : Actinopterygii
Ordo : Cypriniformes
Family : Cyprinidae
Genus : Cyprinus
Spesies : Cyprinus carpio
Hal – hal yang dapat mempengaruhi ikan mas (Cyprinus carpio L.) dalam
fungsinya sebagai Early Warning System adalah sebagai berikut :
- Suhu
Suhu mempengaruhi aktifitas ikan, seperti pernapasan, pertumbuhan dan
reproduksi (Huet, 1970 dalam Lelono, 1986). Suhu air sangat berkaitan erat
dengan konsentrasi oksigen terlarut dan laju konsumsi oksigen hewan air. Pada
perairan umum semakin bertambah kedalaman air maka suhu semakin semakin
menurun (Ahmad dkk, 1998).
- pH
Toksisitas suatu senyawa kimia dipengaruhi oleh derajat keasaman suatu
media. Nilai pH penting untuk menentukan nilai guna suatu perairan. Batas
toleransi organisme air terhadap pH adalah bervariasi tergantung suhu, kadar
oksigen terlarut, adanya ion dan kation, serta siklus hidup organisme tersebut
55
(Pescond, 1973). Sedang titik batsas kematian organisme air tehadap pH adalah
pH 4 dan pH 11. (Caborese, 1969 dalam Boyd, 1988).
- DO (Dissolved Oxigen)
DO merupakan perubahan mutu air paling penting bagi organisme air, pada
konsentrasi lebih rendah dari 50% konsentrasi jenuh, tekanan parsial oksigen
dalam air kurang kuat untuk mempenetrasi lamela, akibatnya ikan akan mati
lemas (Ahmad dkk,1998). Kandungan DO di kolam tergantung pada suhu,
banyaknya bahan organik, dan banyaknya vegetasi akuatik (Huet, 1970 dalam
Lelono, 1986).
- Amoniak (NH3-N)
Sumber utama amoniak adalah bahan organik dalam bentuk sisa pakan,
kotoran ikan, maupun dalam bentuk plankton dan bahan organik tersuspensi.
Pembusukan bahan organik terutama yang banyak mengandung protein
menghasilkan amonium (NH4+) dan amoniak.
Bila proses dilanjutkan dari proses pembusukan (nitrifikasi) tidak berjalan
lancar maka terjadi penumpukan amoniak sampai pada konentrasi yang
membahayakan bagi ikan. Didalam perairan NH3 terdapat dalam bentuk
terionisasi dan tidak terionisasi (Boyd, 1982). Amoniak tidak terionisasi toksik
56
2.2.2 Umum
Cyprinus carpio yang umum dikenal sebagai ikan mas merupakan ikan
omnivora bernilai ekonomis penting yang hidup di air tawar yang
pembudidayaannya telah memasyarakat. Ikan ini mampu beradaptasi dari dataran
tinggi sampai dataran rendah. Ikan mas dibudidayakan terutama untuk pangan
manusia dan ada sebagian kecil yang dipelihara sebagai ikan hias. Ada beberapa
ras ikan mas yang terkenal antara lain ras Majalaya, Punten, dan Sinyonya. Di
Indonesia produksi ikan mas menempati urutan tertinggi di antara ikan-ikan
budidaya lainnya.
merupakan ikan asli yang hidup di negara-negara Asia Tenggara lainnya seperti
Malaysia dan Thailand.
2.2.4 Morfologi
2.2.5 Penyebaran
Ikan mas asal mulanya dari sungai Danube dan Laut Hitam. Karena ikan
ini tahan terhadap lingkungan, maka dengan cepat mudah menyebar ke seluruh
dunia. Ikan mas yang ada di Indonesia berasal dari Cina dan Eropa yang
kemudian berkembang menjadikan budidaya. Karena domestikasinya sudah
sedemikian lama, kini terdapat ras ras atau strain-strain lokal yang terbentuk
secara alami maupun karena campur tangan manusia.
Timbal (Pb) merupakan salah satu logam berat yang banyak terkandung
dalam air buangan industri terutama industri elektroplating atau metalurgi dan
industri yang menggunakan logam sebagai bahan baku proses. Keberadaan logam
Pb di dalam air buangan sangat berpotensi mencemari lingkungan. Dengan
58
mempunyai labirin adalah: ikan gabus dan ikan lele. Untuk menyimpan cadangan
02, selain dengan labirin, ikan mempunyai gelembung renang yang terletak di
dekat punggung.
Stickney (1979) menyatakan salah satu penyesuaian ikan terhadap
lingkungan ialah pengaturan keseimbangan air dan garam dalam jaringan
tubuhnya, karena sebagian hewan vertebrata air mengandung garam dengan
konsentrasi yang berbeda dari media lingkungannya. Ikan harus mengatur tekanan
osmotiknya untuk memelihara keseimbangan cairan tubuhnya setiap waktu.
Insang tidak saja berfungsi sebagai alat pernapasan tetapi dapat pula
berfungsi sebagai alat ekskresi garam-garam, penyaring makanan, alat pertukaran
ion, dan osmoregulator. Beberapa jenis ikan mempunyai labirin yang merupakan
perluasan ke atas dari insang dan membentuk lipatan-lipatan sehingga merupakan
rongga-rongga tidak teratur. Labirin ini berfungsi menyimpan cadangan O2
sehingga ikan tahan pada kondisi yang kekurangan O2. Contoh ikan yang
mempunyai labirin adalah: ikan gabus dan ikan lele. Untuk menyimpan cadangan
O2, selain dengan labirin, ikan mempunyai gelembung renang yang terletak di
dekat punggung.
63
BAB III
METODOLOGI PRAKTIKUM
3.2.2.1 Alat-Alat
3.2.2.2 Bahan
BAB IV
4.1 Hasil
Kelompok :9
Jenis Bahan toksik : PbO
Konsentrasi bahan : 0,048 µg/ml
Gejala Fisiologis
Waktu Gejala
Gerak Aktifitas Mortalitas Ket
Dedah Klinis
Operculum Gerak
15 menit 157 + + -
1 jam 157 + + -
1 hari 124 + + -
2 hari 154 + + 2 Airasi mati
3 hari 138 + + -
4 hari 102 + + -
5 hari 123 + + -
6 hari 100 + + -
7 hari 131 + + -
67
Gerak Operculum
200
100
0
Gerak Operculum
Data Kelas
Polutan Gejala Fisiologis Gejala Survival
Kel
Jenis Konsentrasi GO Rata AG Rata Klinis Rate (%)
1 Kontrol Kontrol 153 + + 30
2 FeCL2 0,585 233 + + 90
3 FeCl2 0,39 77 + + 60
4 FeCl2 0,195 81 + + 50
GO Rata-rata
250
200
150
100
GO Rata-rata
50
4.2 Pembahasan
PbO yang masuk dalam perairan dalam bentuk limbah akan mengalami
pengendapan yang dikenal dengan istilah sedimen (Palar, 1994). Bakteri mampu
beradaptasi dengan limbah Pb yang terdapat di perairan, dalam metabolismenya
logam berat Pb terakumulasi pada membran sel (ekstraseluler) dan pada
69
BAB V
5.1. Kesimpulan
5.2. Saran
Pada uji toksisitas subletal waktu yang digunakan cukup singkat yaitu
sekitas 6 hari, namun dalam pengamatan uji toksisitas sub-kronis pengamatan
seharusnya sampai 30-96hari.
71
DAFTAR PUSTAKA
http://dhamadharma.wordpress.com/2009/11/21/laporan-praktikum-fisiologi-
hewan-air-operculum-ikan-mas/
http://smk3ae.wordpress.com/2008/07/24/ikan-mas-cyprinus-caprio-l-sebagai-
early-warning-system-pencemaran-lingkungan/
http://techno.okezone.com/index.php/read/2008/08/31/56/141461/ikan-sama-
cerdasnya-dengan-tikus
72
BAB I
PENDAHULUAN
Histologi berasal dari kata Yunani yaitu histos yang berrti jringan dan
logos yang brarti ilmu yang menguraikan struktur dari hewan secara terperinci
dan hubungan antara struktur pengorganisasian sel dan jringan serta fungsi-fungsi
yang mereka lakukan. Jaringan merupakan sekumpulan sel yang tersimpan dalam
satu kerangka struktur atau mortalitas yang mempunyai suatu kerangka organisasi
yang mampu mempertahankan kekutan penyesuaian terhadap lingkungan di luar
batas dirinya ( Bavelender, 1988 ).
Menurut wikipedia (2009) histrologi adalah bidang biologi yang
mempelajari srtuktur jaringan secara detail menggunakan mikroskop pada sediaan
jaringan yang di potong tipis, Histologi dapat juga di sebut sebagai ilmu anatomi
mikroskop.
Histologi adalah bidang biologi yang mempelajari tentang struktur
jaringan secara detail menggunakan mikroskop pada sediaan jaringan yang
dipotong tipis. Histologi dapat juga disebut sebagai ilmu anatomi mikroskopis.
Bidang biologi ini amat berguna dalam keakuratan diagnosis tumor dan berbagai
penyakit lain yang sampelnya memerlukan pemeriksaan histologis. (dalam
praktikum ini digunakan untuk mengamati jaringan pada ikan mas)
Histopatologi adalah cabang biologi yang mempelajari kondisi dan
fungsi jaringan dalam hubungannya dengan penyakit. Histopatologi sangat
penting dalam kaitan dengan diagnosis penyakit karena salah satu pertimbangan
dalam penegakan diagnosis adalah melalui hasil pengamatan terhadap jaringan
yang diduga terganggu.
Zat racun yang masuk ke dalam tubuh organisme dapat menyebabkan
kelainan pada fungsi organ. Kelainan tergantung dari seberapa besar toksisitas zat
racun yang masuk ke dalam tubuh organisme. Untuk mempelajari sejauh apa zat
73
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Hepar
A B
Gambar 7 : a. Hepar kontrol, b. Hepar patologi
Hepar (hati) antara yang kontrol dengan patologi sangat berbeda jelas, dari
segi warna, kenampakan, bentuk dan ukurannya. Warna hepar kontrol terlihan
cerah, sedangkan yang patologi warnanya terlihat gelap atau merah tua. Pada
jarinagn hepar yang patologi terdapat bercak hitam (necrosis) itu menandakan
bahwa jaringan tersebut rusak atau terkena bahan pencemar. Perbandingan ukuran
antara hepar yang tidak terkontaminasi logam berat (kontrol) dengan patologi,
hepar patologi lebih besar atau dengan kata lain mengalami pembengkakan
jarinagn karena kontaminasi tersebut. Karakteristik lain dari hepar patologo
adalah, adanya benjolan-benjolan pada jaringan.
2.1.2 Insang
A B
Gambar 8 : a. Insang kontrol, b. Insang patologi
Dari gambar diatas, nampak jelas antara organ insang ikan mas yang
patologi atau terkontaminasi oleh bahan pencemar denagn yang tidak. Gambar
insang normal/kontrol warnanya merah (cerah) sedangkan yang patologi berwarna
gelap, itu menunjukan insang terkena bahana pencemar. Pada organ insang yang
76
patologi, ukurannya lebih besar atau dengan kata lain insang mengalami
pembengkakan akibat kontaminasi dari lingkungan. Selain itu, ciri dari insang
yang terkena kontaminasi adanya bercak hitam pada bagian lamelanya. Hal lain
yang membedakan antara kontrol dengan patologi adalah dari susunan lamela,
susunan lamela insang kontrol terlihat lebih rapih, sedangkan patologi tidak.
2.1.3 Intestinum
A B
Gambar 9 : a. Intestinum kontrol, b. Intestinum patologi
Organ intestinum yang terkontaminasi baham pencemar seperti logam
berat, mengalami perubahan ukuran. Ukiuran intestinum normal (kontrol)
berbentuk bulat tidak rata, sedangkan yang patologi atau yang terkena
kontaminasi berbentuk oval. Rongga-rongga dalam intestinum kontrol terlihat
lebih renggang, sedangkan yang patologi rapat, dan hampir tidak ada rongga
antara satu dengan yang lainnya. Warna intestinum kontrol nampak lebih cerah
sedangkan yang terkontaminasi/patologi terlihat lebih kusam. Nampak tidak ada
bercak hitam (necrosis) pada jaringan baik yang kontrol maupun patologi.
77
2.1.4 Ren
A B
Gambar 10 : a. Ren kontrol, b. Ren patologi
Pada organ ini perbedaan antara paologi denagn kontrol, dimana warna ren
kontrol terlihan lebih cerah dibandingkan dengan patologi. Warna ren patologi
nampak gelap, itu dikarenakan akibat dari kontaminasi bahan pencemar seperti
logam berat yang mempengaruhi ren. Ukuran ren patologi lebih besar atau ren
mengalami pembengkakan akibat dari kontamisnasi bahan pencemar
dibandingkan dengan ren kontrol. Selain itu, bercak hitam yang ada pada ren
patologi menunjukan ren tersebut terkoena kontaminasi bahan pencemar,
sedangkan yang kontrol tidak nampak atau tidak ada bercak hitam.
2.2.1 Hiperplasia
2.2.2 Hipoplasia
2.2.3 Necrosis
2. Fiksasi. Larva atau ikan berukukan kecil difiksasi dengan larutan PFA
4% dalam medium Phosphate buffered saline (PBS). Sampel
dimasukkan ke dalam botol yang sudah berisi larutan fiksatif dengan
perbandingan antara sampel dengan larutan adalah 1:20. kemudian
disimpan selama 24 jam dalam refrigerator. Setelah 24 jam kemudian
sampel diambil dan dicuci dengan PBS selama 5 menit sebanyak 3 kali
untuk menghilangkan sisa-sisa PFA sebelum ke tahap selanjutnya. Ikan
yang berukuran relatif besar difiksasi dengan larutan Bouin’s selama 1
minggu dalam suhu kamar. Selanjutnya sampel dicuci dalam larutan
alkohol 70% hingga warna kuning hilang, kemudian sampel disimpan
dalam alkohol 70% hingga pemrosesan lebih lanjut. Sampel yang
berukuran besar harus melaui prosedur dekalsifikasi dalam larutan 5%
trichloroacetid acid selama 24 jam untuk melunakkan struktur
tulangnya.
3. Dehidrasi. Sampel yang sudah difiksasi kemudian dimasukkan berturut-
turut ke dalam larutan sebagai berikut: Alkohol 70%, Alkohol 80%,
Alkohol 90%, Alkohol Absolut I, Alkohol Absolut II, masing-masing
selama 45 menit, kemudian dilanjutkan ke proses penjernihan.
4. Penjernihan (clearing). Sampel dari proses dehidrasi dimasukkan ke
dalam larutan alkohol:xylol 1:1 dan 1:3 selama 30 menit. kemudian
Xylol I dan Xylol II masing-masing selama 30 menit.
5. Infiltrasi. Sampel yang sudah dijernihkan dalam xylol diinfiltrasi secara
bertahap dalam campuran xylol : paraffin 3:1 ; 1:1 dan 1:3 masing-
masing selama 30 menit, dilanjutkan dengan paraffin murni sebanyak 2
x 60 menit. Seluruh rangkaian infiltrasi dilakukan dalam inkubator pada
temperatur 58-60oC.
6. Penanaman sampel (Embedding). Parafin dicairkan di dalam inkubator
pada temperatur 60oC. Cetakan berukuran 2x2x2 cm diisi dengan
paraffin cair, bagian bawah cetakan didinginkan di atas blok es
sehingga paraffin pada dasar cetakan agak memadat. Sampel diletakkan
di atas paraffin yang agak memadat tersebut sesuai dengan orientasi
80
BAB III
METODOLOGI PRAKTIKUM
Data adalah hasil perbandingan dari preparat organ yang sehat dengan
preparat organ yang telah terpaparkan oleh pestisida
82
BAB IV
4.1 Hasil
4.1.1 Ren
A B
Gambar 11 : a. Ren patologis, b. Ren normal
Kontrol Patologis
Warna Merah Bening
Mengecil ke patologis
Ukuran
Meregang ke patologis
Noktah - -
Karakter Lonjong kecil Lonjong besar
83
4.1.2 Hepar
A B
Gambar 12 : a. Hepar kontrol, b. Hepar patologi
Kontrol Patologis
Merah dengan sedikit
Warna Merah ke unguan
hitam
Ukuran Meregang ke patologis
Noktah - Ada (Merah)
Karakter Meregang ke patologis
84
4.1.3 Insang
A B
Kontrol Patologis
Warna Merah Merah marun / pucat
Ukuran Membesar ke patologis
Noktah - -
Hancur
Karakter Tertata Beberapa tidak ada
lamela
85
4.1.4 Intestinum
A B
Gambar 14 : a. Intestinum kontrol, b. Intestinum patologi
Kontrol Patologis
Warna Merah Bening
Membesar ke patologis
Ukuran
Melonjong ke patologis
Noktah - -
Karakter Bulat Lonjong
4.2 Pembahasan
4.2.1 Ren
Pada ginjal perubahan sel jaringan menjadi abnormal dapat terjadi. Warna
yang awalnya merah berubah menjadi bening. Pada ukuran secara garis luar
ukuran menjadi kecil namun dari segi dalam terlihat bahwa adanya peregangan.
Bentuk yang semula hanya lonjong kecil juga berubah. Masih tetap lonjong
namun membesar.
86
4.2.2 Hepar
Pada hati terjadi perubahan abnormal sel jaringan tubuh. Warna jaringan
memudar dari warna mereah menjadi merah keungan hal ini karena adanya
pemaparan toksik pada suatu organism yang dapat merusak hati orga nisme
tersebut.
4.2.3 Insang
4.2.4 Intestinum
BAB V
5.1 Kesimpulan
5.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
http://www.m3undip.org/ed3/artikel_12_03.htm
http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20080824010617AAQslmP
http://theblues68.blogspot.com/2009/04/ganguan-karena-
penyakit.html?zx=d688f56dca02616e
http://littleaboutmyworld.wordpress.com/2009/07/19/patologi-dan-histologi-gigi-
sulung-yang-resorbsi/
http://afie.staff.uns.ac.id/2008/12/25/beda-apoptosis-dan-nekrosis/