Professional Documents
Culture Documents
RESUME
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah
Hukum Acara Pidana I
Dosen pengampu Ibu Briliyan Ernawati, S. H, M. Hum.
Oleh:
Ismail Fahmi (072211010)
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITU AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2009
PEMBUNUHAN BERANTAI
I. PENDAHULUAN.
Dalam sejarah islam, pembunuhan bermula dari putra nabi Adam, Qabil
dan Habil. Sebagaimana tersirat dalam surat Al-Maaidah ayat 30.
Artinya: Maka hawa nafsu Qabil menjadikannya menganggap mudah
membunuh saudaranya, sebab itu dibunuhnyalah, Maka jadilah ia seorang
diantara orang-orang yang merugi.
Kemudian Allah juga menjelaskan di surat yang sama ayat 32, sbb:
Artinya: Oleh karena itu kami tetapkan (suatu hukuman) bagi Bani Israil,
bahwa barang siapa yang membunuh seseorang manusia, bukan karena
orang itu (membunuh orang lain), atau bukan karena mambuat kerusakan di
muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan
barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-
olah dia telah memelihara anusia seluruhnya.
Sebagaimana cuplikan ayat diatas tindak pidana atas jiwa, yakni
pembunuhan termasuk tindak pidana berat karena sama dengan membunuh
semua orang. Islam telah ditegaskan bahwa ketika seseorang menghilangkan
nyawa seseorang maka qishas berlaku padanya. Dalam surat Al-maaidah pula
diterangkan yakni dalam ayat 45 bahwa hukuman bagi pembunuh adalah
dibunuh pula, sbb:
Artinya: Dan kami Telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat)
bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan
hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada
1
qishasnya. barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan
hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. barangsiapa tidak memutuskan
perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-
orang yang zalim.
II. PERMASALAHAN.
Peristiw-peristiwa yang belum pernah atau jarang terjadi merupakan
persoalan tersendiri bagi penegak hokum, dari itu diperlukan pikiran ekstra
untuk memecahkannya. pembahasan kali ini pemakalah akan sedikit
menjelaskan tentang:
a. Pengertian pembunuhan berantai.
b. Syarat-syarat terjadinya pembunuhan berantai.
c. Hukuman Pembunuhan Pembunhan berantai.
III. PEMBAHASAN.
A. Pengertian dan Dasar Hukum Pembunuhan Berantai.
Dalam literatur bahasa arab pembunuhan disebut dengan kata القتل
1
Abd Al-Qadir Audah, At-tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islamiy, Juz II hlm. 6
2
“Qatl” means doing of an act by a person due to which the death of
a human being occurs and includes qatl-i-amd, qatl shibh al-amd, qatl-
i-khata’ and qatl bil sabab.2
"Qatl" berarti suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang
hingga menyebabkan terjadinya kematian orang lain dan termasuk
diantaranya qatl-i-’amd, qatl-i-shibh 'amd, qatl-i-khata dan qatl bil-
sabab.
Tidak ada batasan umum untuk definisi pembunuhan berantai.
Definisi Egger ialah sebagai berikut; “Pembunuhan berantai terjadi
bila satu atau lebih individu melakukan pembunuhan kedua dan/atau
melakukan pembunuhan secara berturut-turut dimana tidak ada
hubungan antara korban dan pelaku pembunuhan (dimana korban tidak
mengenal pelaku); terjadi pada saat yang berbeda dan tidak ada
hubungannya dengan pembunuhan sebelumnya; dan ini seringkali
terjadi pada lokasi atau tempat yang berbeda.
Meskipun dalam definisi mencantumkan bahwa 2 kali
pembunuhan berantai, sudah cukup memenuhi syarat pembunuhan
berantai, kebanyakan sumber menggunakan angka kejadian
pembunuhan yang lebih tinggi, yaitu dari 4-5 atau lebih banyak lagi.
Ada yang menyebutkan pembunhan berantai berbeda dengan
pembunuhan massal, yang membedakan keduanya adalah soal waktu
terjadinya pembunuhan.3 Namun kebayakan para ahli tidak
mempersoalkan lah tersebut.
Dari uraian dia atas dapat memperoleh definisi pembunuhan
berantai adalah menghikangkan nyawa manusia yang dilakukan
seseorang secara sengaja maupun tidak dengan jumlah korban lebih
dari satu, dua, tiga dan seterusnya.
3
Syarat-syarat pelaku pembunuhan.
Sebagaimana terdapat dalam kitab Ibnu Rsyd, sbb.
4
Ibnu Rsyd, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtasid, Juz I, Darul Fikr, tanpa tahun, Hal. 296
4
Di atas telah sedikit menyinggung mengenai hukuman bagi
seorang yang melakukan tidak pidana pembunuhan yakni Qishas.
Tetapi perlu dipelajari lebih lanjut mengenai hukman yang berkaitan
dengan pembunuhan berantai.
Para jumhur berbeda pendapat mengenai hukuman pembunuhan,
sbb.
a. Orang yang bersekutu didalam membunuh dengan sengaja maupun
tidak disengaja, mukalaf atau tidak mukalaf, para ulama’ berbeda
pendapat.
وقد يك ون, فقد يك ون القتل عم دا وخط أ,وأماوالمش ارك للقاتل عم دا في القت ل
وأما اذا. وس نذ كر العد عند قتل الجماعة بالواح د,القاتل مكلف وغ ير مكل ف
, مثل عامد وص بي أو مجن و,اش ترك في القتل عامد ومخطئ أو مكلف وغ ير مكل ف
ف ان العلم اء اختلف وا في,أو حر وعبد في قتل عبد عند من ال يقيد من الحر بالعب د
وعلى المخطئ والص بي نصف, على العا مد القص اص: فق ال مالك والش افعي,ذل ك
.الد ية
ان قتل واح دا بعد وا حد قتل ب اال: وق ال الش افعي.عتهم وال يجب عليه شئ آخ ر
ول وللب اقين ال ديات وان قتلهم في حالة واح دة اق رع بين أولي اء المقت ولين فمن
اذا قتل واحد جماعة فحضر: وق ال أحم د,خ رجت قرعته قتل له وللب اقين ال ديات
5
االؤلي اء وطلب وا القص اص قتل لجما عتهم وال دية عليه وان طلب بعض هم القص اص
وبعض هم الدية قتل لمن طلب القص اص ووجبت الدية لمن طلبهما وان طلب وا الدية
5
Abi Abdillah, syekh Abu Abdullah, Shadrudin, Muhammad bin Abdurrahman bin husain ad-
dimsaki al-utsmani asyafi’i. Rahmatul Umah fikhtilafil Aimmah. Darul kutubu Al-Ilmiyah, Birut
Lebanon, 2003), hal 215 - 216
6
terpidana. Ada ketentuan yang harus dipenuhi supaya tindak pidana
tersebut dapat di gabungkan yakni, salah satu dari tindak pidana
tersebut belum mendapat keputusan hukum. Jika salah satu tindak
pidana telah mendapat keputusan dari pengadilan maka tidak disebut
sebagai Gabungan Hukuman, melainkan pengulangan tindak pidana.
Ada teori mengenai gabungan jarimah, yakni: pertama, Terori
Berganda (cumulatie) yang dipegangi oleh hokum pidana inggris.
Dalam hukuman ini mempunyai pengertian bahwa, pelaku
mendapatkan hukuman dari semua perbuatan yang dilakukan. Kedua,
Teori Penyerapan, yakni hukuman berat menghapuskan hukuman yang
ringan. 6
Dari uraian diatas, pemakalah condong pada Imam Syafi’i bahwa
jika hukuman bagi seorang pembunuh berantai adalah Qishas dan
diyat. Qishas ditujukan kepada korban pertama. Dan diyat yang
ditanggungkan olah keluarganya, bagi korban yang kedua dan
seterusnya. Memang dalam hal ini jarang dilaksanakan oleh karena
Imam Syafi’i mempunyai kaunggulan dalam hal teori. Berbeda dengan
Abu Hanifah yang mengambil satu hukuman yakni Qishas. Namun
hukuman menurut Abu Hanifah tidak menumbuhkan keadilan ketika si
pelaku tergolong sebagai orang yang mampu.
IV. PENUTUP.
A. Kesimpulan.
a. Pembunuhan berantai adalah pembunuhan yang dilkukan oleh
seseorang dengan korban lebih dari satu orang, yakni dua, tiga,
emat dan seterusnya. Sehingga hampir terjadi persamaan dengan
pembunuhan masal.
b. Syarat bagi pembunuh adalah: Baligh, dengan, kemauan sendiri,
dan melakukan pembunuhan lebih dari satu orang.
6
Hanafi Ahmad, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1993), hal. 327
7
c. Hukuman bagi pembunuhan berantai adalah Qishas ditujukan
kepada korban pertama dan diyat ditujukan kepada korban kedua
dan seterusnya.
B. Kritik dan Saran
Demikian makalah ini kami buat semoga dapat memberikan sedikit
manfaat bagi saudara. Kritik dan saran sangat kami harapkan demi
membangun kualitas makalah-makalah kami selanjutnya, mengingat
makalah yang kami buat ini masih jauh dari kelayakan. Atas perhatian
saudara kami ucapkan terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Abd Al-Qadir Audah, At-tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islamiy, Juz II
Abi Abdillah, syekh Abu Abdullah, Shadrudin, Muhammad bin Abdurrahman bin
husain ad-dimsaki al-utsmani asyafi’i. Rahmatul Umah fikhtilafil Aimmah.
Darul kutubu Al-Ilmiyah, Birut Lebanon, 2003
Hanafi Ahmad, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1993
Ibnu Rsyd, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtasid, Juz I, Darul Fikr, tanpa
tahun.
Mahmood Tahrir, Criminal Law In Islam And The Muslim World, Jamai Nagar
Delhi: Jogabai Extention, 1996
Source: http://forensikklinik.wordpress.com