You are on page 1of 10

ASAL USUL: Tanjidor

Rabu, 22 Oktober 2008


Tanjidor

JAKARTA, MEDIA INDONESIA — Not sumbang, alat musik penyok di sana-sini, dan
belasan pemusik uzur. Debutan ini khas betul dengan tanjidor. Sebuah orkes rakyat
milik orang Betawi.

Menurut cerita, aliran musik begini dulu dibawakan para budak Belanda. Versi lain
mengatakan bahwa tanjidor adalah perkawinan budaya antara Betawi dan China
peranakan.

Simpang siur memang. Karena itu sejarah meluruskannya. Adalah Portugis yang
sesungguhnya mengenal orker serupa tanjidor. Tujuh abad lalu, bangsa tersebut
singgah ke Batavia. Sebenarnya bukan tanjidor namanya. Tetapi tanger, yang dalam
bahasa Portugis berarti bermain alat musik, sedangkan pemainnya punya nama
tangedor. Ada lagi tangedores, sebuah istilah yang muncul untuk musisi dengan alat
musik berbahan kuningan. Mereka sering muncul dalam pawai militer dan pawai
agama di Portugal.

Sejarawan Belanda Dr F De Haan berpendapat kesenian tersebut memang dimulai


dari orkes budak. Seperti halnya musik blues. Bedanya di Betawi, orkes ini masih
bersisa sampai sekarang. Entah dipakai sebagai musik pengantar pengantin. Kalau
beruntung masih bertemu tanjidor bermain di sejumlah gang sempit Ibu Kota.

Yang pasti, orkes ini mudah dinikmati di suatu tempat yang akan dihadiri banyak
masyarakat Betawi. Lazimnya sebuag orkestra.

Ketika itu lagu berbau Belanda dan lagu gambang kromong banyak dipesan. Sebut
saja judul-judul berikut, Jali-jali, Surilang, Cente Manis, Kicir-kicir, dan Sirih Kuning.

Kalau dirunut penyebarannya, tanjidor banyak berkembang di pinggiran Ibu Kota.

Tempat di mana dulunya terdapat banyak perkebunan dan vila. Mulai dari Depok,
Cibinong, Citeureup, Cilengsi, Jonggol, Parung, Bogor, Bekasi, dan Tengerang.
Kesenian ini menjadi imitasi serupa dari polah etnik Betawi yang jenaka, sederhana,
dan meriah.

Di tempat lain, seperti Kalimantan Selatan, tanjidor pernah ada, tetapi sekarang
punah. Sebagian kecil bertahan sebagai kesenian di Kalimantan Barat.

TANJIDOR

28Oct07
(dari www.bamu.dikmentidki.go.id )
OrkesTanjidor sudah tumbuh sejak abad ke 19, berkembang di daerah pinggiran.
Menurut beberapa keterangan, orkes itu berasal dari orkes yang semula dibina
dalarn lingkungan tuan-tuan tanah, seperti tuan tanah Citeureup, dekat Cibinong.
Pada umumnya alat-alat musik pada orkes Tanjidor terdiri dari alat musik tiup
seperti piston (cornet a piston), trombon, tenor, klarinet, bas, dilengkapi dengan alat
musik pukul membran yang biasa disebut tambur atau genderang. Dengan peralatan
tersebut cukup untuk mengiringi pawai atau mengarak pengantin.
Untuk pergelaran terutama yang ditempat dan tidak bergerak alat-alatnya sering kali
ditambah dengan alat gesek seperti tehyan, dan beberapa membranfon seperti
rebana, bedug dan gendang, ditambah pula dengan beberapa alat perkusi seperti
kecrek, kempul dan gong.
Lagu-lagu yang biasa dibawakan orkes tanjidor, menurut istilah setempat
adalah “Batalion”, “Kramton” “Bananas”, “Delsi”, “Was Tak-tak”,
“Cakranegara”, dan “Welmes”. Pada perkembangan kemudian lebih banyak
membawakan lagu-lagu rakyat Betawi seperti Surilang “Jali-jali dan
sebagainya, serta lagu-lagu yang menurut istilah setempat dikenal dengan
lagu-lagu Sunda gunung, seperti “Kangaji”, “Oncomlele” dan sebagainya.
Grup-grup Tanjidor yang berada di wilayah DKI Jakarta antara lain dari
Cijantung pimpinan Nyaat, Kalisari pimpinan Nawin, Pondokranggon
pimpinan Maun, Ceger pimpinan Gejen.
Daerah penyebaran Tanjidor, kecuali di daerah pinggiran kota Jakarta,
adalah di sekitar Depok, Cibinong, Citeureup, Cileungsi, Jonggol, Parung
dalam wilayah Kabupaten Bogor, di beberapa tempat di wilayah Kabupaten
Bekasi dan Kabupaten Tangerang.
Sebagai kesenian rakyat, pendukung orkes Tanjidor terutama para petani di daerah
pinggiran. Pada umumnya seniman Tanjidor tidak dapat rnengandalkan nafkahnya
dari hasil yang diperoleh dari bidang seninya. Kebanyakan dari mereka hidup dari
bercocok tanam, atau berdagang kecil-kecilan.
Oleh masyarakat pendukungnya Tanjidor biasa digunakan untuk memeriahkan
hajatan seperti pernikahan, khitanan dan sebagainya, atau pesta-pesta umum
seperti untuk merayakan ulang tahun Proklamasi Kemerdekaan. Sampai tahun lima
puluhan rombongan-rombongan Tanjidor biasa mengadakan pertunjukan keliling,
istilahnya “Ngamen”. Pertunjukan keliling demikian itu terutama dilakukan pada
waktu pesta Tahun Baru, baik Masehi maupun Imlek.

Perlu dikemukakan, bahwa sesuai dengan perkembangan jaman dan selera


masyarakat pendukungnya, Tanjidor dengan biasa pula membawakan lagu-lagu
dangdut. Ada pula yang secara khusus membawakan lagu-lagu Sunda Pop yang
dikenal dengan sebutan “Winingan tanji”.
Musik Tanjidor

Pengaruh Eropa yang kuat pada salah satu bentuk musik rakyat Betawi, tampak jelas
pada orkes Tanjidor, yang biasa menggunakan klarinet, trombon, piston, trompet
dan sebagainya. Alat-alat musik tiup yang sudah berumur lebih dari satu abad masih
banyak digunakan oleh grup-grup Tanjidor. Mungkin bekas alat-alat musik militer pada
masa jayanya penguasa kolonial tempo doeloe.Dengan alat-alat setua itu, Tanjidor biasa
digunakan untuk mengiringi perhelatan atau arak-arakan pengantin. Membawakan lagu-
lagu barat berirama 'mars' dan [Waltz] yang susah sulit dilacak asal-usulnya, karena telah
disesuaikan dengan selera dan kemampuan ingatan panjaknya dari generasi ke
generasi.Orkes Tanjidor mulai timbul pada abad ke 18 VaIckenier, salah seorang
Gubernur Jenderal Belanda pada jaman itu tercatat memiliki sebuah rombongan yang
terdiri dari 15 orang pemain alat musik tiup, digabungkan dengan pemain gamelan,
pesuling China dan penabuh tambur Turki, untuk memeriahkan berbagai pesta. Karena
biasa dimainkan oleh budak-budak, orkes demikian itu dahulu disebut Slaven-orkes.
Dewasa ini tanjidor sering ditampilkan untuk menyambut tamu-tamu dan untuk
memeriahkan arak-arakan.Di Tangerang, dalam setiap perayaan Cap Go Meh ini orang-
orang kaya merayakannya dengan menanggap musik Tanjidor atau gambang kromong
lengkap dengan penarinya di muka halaman rumahnya. Tanjidor juga kerap dimainkan di
dalam Kelenteng Boen San Bio, di Pasar Baru. Sebagian lainnya mengadakan pentas
keliling kesenian musik Tanjidor atau gambang kromong lengkap dengan beberapa orang
penarinya.Rombongan musik keliling ini berada dalam lingkaran tambang. Orang-orang
yang tertarik boleh masuk ke dalam lingkaran tambang untuk turut berjoget sambil
keliling mengikuti rombongan musik tersebut. Rom-bongan ini berjalan mengikuti arah
tambang ditarik, sehingga kalau ada dua kelompok atau lebih berada dalam satu
lingkaran tambang mereka bisa saling tarik-menarik ujung tambang untuk mengarahkan
jalannya rombongan.Kalau sudah tarik-menarik, maka kelompok yang mendapat
dukungan besar lebih unggul, karena dengan kekuatan tenaga banyak orang mereka bisa
memimpin jalannya rombongan. Sedangkan yang kalah tidak menjadi marah, melainkan
ikut arus. Tetapi, pada saat lain arah rombongan bisa berubah lagi karena dorongan orang
banyak.Arak-arakan musik ini bukan hanya satu rombongan saja, tetapi beberapa
rombongan sekaligus turun keliling di jalan-jalan, sehingga kalau bertemu di tengah jalan
mereka saling bertabrakan. Tetapi ini pun tidak menimbulkan keributan, karena mereka
sama-sama tertawa lepas.Berbagai seni pertunjukan tradisional telah berkembang sesuai
dengan perkembangan zaman dan masyarakat pendukungnya serta merupakan daya
pesona tersendiri pada wajah Kota Tangerang. Untuk dapat menikmati dan menilainya
tiada cara lain yang lebih tepat kecuali menyaksikannya sendiri.
Salah satu suku yang hidup di jakarta adalah suku betawi. Kata Betawi berasal dari kata
"Batavia" yang merupakan nama Jakarta terdahulu. Suku Betawi lahir pada tahun 1923
yang diawali dengan pendirian Perkoempoelan Kaoem Betawi. Hal ini diketahui karena
semasa penjajahan, Belanda termasuk bangsa yang rajin melakukan sensus, namun pada
saat itu keberadaan Suku Betawi masih belum terdaftar di dalam sensus. Ternyata
sebenarnya Suku Betawi sudah ada sebelumnya, namun belum terorganisir. Maka dengan
ada nya Perkoempoelan Kaoem Betawi, keberadaaan Suku Betawi mulai diakui. Sejak
saat itu Kesenian Orkes Tanjidor mulai berkembang seiring dengan eksistensi
Perkoempoelan Kaoem Betawi. Suku Betawi adalah perpaduan dari berbagai etnis seperti
Jawa, Sunda, Melayu, Sumbawa, Ambon dan Tionghoa. Perpaduan tersebut terlihat jelas
dalam dielek Betawi dan berbagai macam kesenian Betawi. Kesenian Betawi antara lain
Gambang Kromong, Rebana, Keroncong Tugu dan Tanjidor. Gambang Kromo adalah
seni musik yang masih memiliki kaitan dengan tradisi Tiongkok sedangkan Rebana
berkaitan dengan seni musik Arab. Keterikatan ini ditunjukkan dalam bentuk instrument
music dan nada yang kelurkan oleh instrument music tersebut. Kesenian Portugis adalah
latar belakang munculnya Keroncong Tugu.

Tanjidor adalah Salah satu kekayaan Budaya Indonesia yang dimiliki secara khusus
orang suku Betawi yang masih bernuansa Belanda. Namun ada pula pendapat yang
mengatakan bahwa Kesenian Portugal adalah yang melatar belakangi munculnya
Tanjidor.Namun apabila kita mempertanyakan kapan sebenarnya Kesenian Tanjidor ini
lahir? Maka jawabannya adalah pada saat penjajahan Belanda.Ternyata Kesenian
Tanjidor lahir sebelum perbudakan dihapuskan sekitar akhir abad 18. Tanjidor awalnya
dimainkan oleh Budak-budak Belanda. Ketika Belanda berkuasa, para pejabatnya
memiliki rumah yang tersebar di sekitar Batavia. Maka para budak juga turut di tugaskan
di sana. Dalam waktu senggang nya, para budak tersebut sering memainkan sebuah music
di dalam sebuah kelompok.

Tanjidor adalah kesenian musik yang dimainkan oleh sekelompok orang. Maka sering
disebut Orkes Tanjidor. Orkes Tanjidor berkembang sejak abad ke-19 di dalam setelah
munculnya Perkoempolan Kaoen Betawi.

Tanjidor terdiri dari piston, trombon, tenor, klarinet, bas, dan tambur. Piston,
tombon, tenor, klarinet dan bas adalah alat musik tiup, sendangkan tambur adalah
alar musik pukul. Bila kita berkunjung ke Jakarta, khusus nya di daerah pemukiman
suku Betawi, kita akan mendapati upacara perkawinan Betawi yang diiringi dengan
Orkes Tanjidor.

Orkes tanjdor sering memainkan lagu-lagu rakyat seperti jali-jali. Selain perkawinan,
beberapa acara yang umumnya dimeriahan oleh Orkes Tanjidor adalah khitanan, acara
umum seperti memperingati kemerekaan Indonesia dan Tahun baru baik Masehi maupun
Imlek. Pada acara tersebut Orkes tanjidor umumnya berkeliling sambil bermain musik
yang sering disebut ngamen. Ngamen dilakukan dengan berjalan kaki tanpa alas kaki.

TANJIDOR KINI

Pada zamannya, musik Tanjidor merupakan iringan wajib dalam setiap perhelatan
masyarakat Betawi. Itu dulu, kini masa keemasan seniman tanjidor mulai suram karena
tak ada generasi yang meneruskan. Sekarang ada beberapa grup musik tanjidor yang
mencoba bertahan. Para seniman tanjidor itu kini terpinggirkan di kawasan Bekasi,
Tangerang, dan Depok.

Ada yang menarik dalam pelaksanaan pilpres yang baru lalu di salah satu TPS
Warungbuncit, Jakarta Selatan. Para pemilih, dihibur satu grup musik tanjidor yang sudah
jarang ditemui. Sebagian pemilih yang sedang menunggu mencontreng terhibur dan
sebagian lagi acuh. Hanya beberapa lelaki dan wanita renta saja yang menikmati alunan
musik yang dimainkan delapan orang itu.

Beberapa anak-anak sedikit terpukau dengan alat musik yang dimainkan. Ukuran alat
musik yang besar, menjadi perhatian anak-anak yang penasaran dengan musik yang baru
kali ini didengar. Sebagian anak-anak lagi, menikmati dengan berlenggok mengikuti
alunan musik.

Lenggokan pinggul anak-anak akhirnya berhenti karena napas pemain tanjidor itu sudah
tersengal-sengal. Maklum saja, musik tanjidor yang didominasi alat tiup ini mayoritas
dimainkan oleh seniman yang sudah renta. Namun guratan semangat di wajah pemain
tanjidor dari Grup Lestari Jaya, Warung Buncit, Jakarta Selatan ini terlihat dari upayanya
menyelesaikan setiap lagu yang dimainkan.

Musik tanjidor, adalah salah satu kesenian musik tradisional adat Betawi yang
berkembang beriringan dengan musik keroncong. Kedua musik ini mendapat pengaruh
dari kebudayaan Eropa seperti Belanda dan Portugis. Karena perkembangannya di tengah
kaum elite pada masa itu, maka kebudayaan Cina turut campur dalam perkembangan
musik tanjidor. Saat itu atau sekitar abad XVIII dan XIX, penghasilan seniman tanjidor
berasal dari saweran penonton dalam hajatan besar tuan tanah atau bangsawan Eropa.

Nasib seniman tanjidor dulu dan sekarang juga tak jauh berbeda. Sekarang, mereka hanya
mengandalkan panggilan bermain di beberapa acara saja. Itupun sudah jarang didapat.
Terompet, trombone, saksophone, klarinet, tambur, siklopone, dan sebuah gendang atau
bedug lebih banyak menjadi hiasan di sanggar Grup Lestari Jaya warung Buncit. Hanya
sesekali seniman tanjidor ini berkumpul memainkan alat musik yang sudah menua, setua
umur mereka.
Ironis memang. Sebagai musik tradisional Betawi, seniman tanjidor kebingungan
mencari penerus yang mau mencoba musik warisan nenek moyangnya ini. Hal ini yang
cukup dikhawatirkan oleh para musisi group tanjidor. Para seniman dihantui perasaan,
alat musik tanjidor menjadi koleksi museum. "Jika tidak yang muda, siapa lagi," kata
Soleh, salah satu pemain tanjidor, beberapa waktu lalu.

Dulu, kata Sholeh, di masa keemasan kesenian tanjidor merupakan musik iringan upacara
besar. Tak jarang para musisi memainkannya dari rumah ke rumah. Menurutnya dulu
masyarakat dengan bangga memainkan musik khas Betawi ini. Begitu juga dengan
generasi muda yang begitu antusias mempelajari alat musik tanjidor ini. "Waktu gue
mude pengen banget belajar mainin musik tanjidor," kata peniup terompet dengan logat
Betawi yang kental ini.

Mengenai penghasilan, Sholeh mengaku cukup puas dengan pendapatan main musik kala
itu. Layaknya pengamen, penghasilan musisi orkes tanjidor dulu tergantung dari saweran
penonton, ditambah bayaran dari yang punya hajatan. Maka tak heran jika di abad ke-18
dan ke-19, permainan tanjidor selalu dilakukan keliling mencari tempat-tempat strategis
yang dirasa dapat menghasilkan uang banyak.

Namun keberadaan kesenian tanjidor saat ini begitu memprihatinkan. Kurang minatnya
generasi muda dalam mendalami kesenian tanjidor menjadi alasan mengapa kesenian
adat setempat ini menjadi begitu kritis. Tak jarang untuk mempertahankannya para
musisi tanjidor usia lanjut harus berjuang sendiri dalam merawat dan memainkannya.
"Ibarat kate, anak mude sekarang lebih milih dangdut daripade tanjidor," tutur Sholeh.

Ditambahkan Sholeh, saat ini group tanjidor hanya tersisa beberapa group. Itupun
terdapat di pinggiran kota Jakarta, seperti Bekasi, Tangerang, Banten, dan Depok. "Dulu
sih banyak, tapi karena nggak ada penerusnya mereka lama-lama bubar dan tinggal
beberapa group aja," kata pria yang mulai menekuni tanjidor mulai umur 16 tahun.

Para seniman tanjidor kini berharap, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI turun tangan
melestarikan salah satu budaya Betawi ini. Mereka tidak menginginkan, tanjidor berakhir
dalam dokumen penting perjalanan kota Jakarta yang berusia lebih dari empat abad.
`Tangan dingin` eksekutif di jajaran Pemprov DKI kini seperti menjadi penentu, apakah
peninggalan budaya Betawi akan dilestarikan atau dibiarkan tenggelam digerus zaman.

TANJIDOR

Liburan kemarin jalan-jalan ke PRJ (Pekan Raya Jakarta), ikut memeriahkan Ulang
Tahun Jakarta. Eh ngeliat si Babeh maenin trompet besar, jadi terinspirasi untuk nulis.
Kali ini bukan alat musik modern yang saya review, melainkan alat musik tradisional
Tanjidor.
Untuk warga Betawi, mungkin tidak asing lagi dengan alat musik Tanjidor. Alat musik
berukuran besar seperti terompet ini diduga berasal dari bangsa Portugis yang datang ke
Betawi pada abad ke-14 sampai 16. Menurut sejarawan, dalam bahasa Portugis ada kata
tanger. Kata tanger artinya memainkan alat musik. Memainkan alat musik ini dilakukan
pada pawai militer atau upacara keagamaan. Kata tanger itu sendiri itu kemudian
diucapkan menjadi Tanjidor.

Ahli musik dari Belanda bernama Erns Heinz berpendapat bahwa Tanjidor asalnya dari
para budak yang ditugaskan memainkan musik untuk tuannya.

Sejarawan Bernama Dr. F. De Haan juga berpendapat orkes Tanjidor berasal dari orkes
budak pada masa kompeni. Pada abad ke 18, kota Batavia dikelilingi benteng tinggi.
Tidak banyak tanah lapang. Para pejabat tinggi kompeni membangun villa diluar kota
batavia. Villa-villa itu terletak di Cililitan Besar, Pondok Gede, Tanjung Timur, Ciseeng
dan Cimanggis.

Di villa-villa inilah terdapat budak. Budak-budak itu mempunyai keahlian, diantaranya


ada yang mampu memainkan alat musik. Alat musik yang mereka mainkan antara lain :
Klarinet, Piston, Trombon, Tenor, Bas Trompet, Bas Drum, Tambur, Simbal dan
lain-lain. Para budak pemain musik bertugas menghibur tuannya saat pesta dan jamuan
makan.

Perbudakan dihapuskan pada tahun 1860. Pemain musik yang semula menjadi budak
menjadi orang merdeka. Karena keahlian bekas budak itu dalam bermain musik, maka
mereka membentuk perkumpulan musik. Lahirlah perkumpulan musik yang dinamakan
Tanjidor.

Musik Tanjidor sangat jelas dipengaruhi musik Belanda. Lagu-lagu yang dibawakan
antara lain : Batalion, Kramton, Banamas, Delsi, Was Tak-tak, Welmes, Cakranegara.
Judul lagi tersebut berbau Belanda meski dengan ucapan Betawi. Lagu-lagu Tanjidor
bertambah dengan membawakan lagu Betawi. Dapat dimainkan lagu-lagu gambang
kromong, seperti Jali-jali, Surilang Siring Kuning, Kincir-kincir, Cente Manis, Stambul
dan Persi.

Tanjidor berkembang didaerah pinggiran Jakarta, Depok, Cibinong, Citeureup,


Celeungsi, Jonggol, Parung, Bogor, Bekasi dan Tanggerang. Di daerah-daerah itu dahulu
banyak terdapat perkebunan dan villa milik orang Belanda.

Pada tahun 1950-an orkes Tanjidor melakukan pertunjukan ngamen. Khususnya pada
tahun baru Masehi dan tahun baru Cina (Imlek). Dengan telanjang kaki atau bersandal
jepit, mereka ngamen dari rumah ke rumah. Lokasi yang dipilih biasanya kawasan elite,
seperti Menteng, Salemba, Kebayoran Baru. Daerah yang penduduknya orang Belanda.
Atau daerah lain yang penduduknya memeriahkan tahun baru. Pada tahun baru Cina
biasanya Tanjidor ngamen lebih lama. Karena tahun baru Cina dirayakan sampai
perayaan Capgomeh, yaitu pesta hari ke-15 Imlek.

Pada tahun 1954, Pemda Jakarta melarang Tanjidor ngamen ke dalam kota. Alasan
pelarangan tidak diketahui. Pelarangan ngamen membuat seniman Tanjidor kecewa,
sebab pendapatan mereka jadi berkurang. Mereka hanya menunggu panggilan untuk
memeriahkan hajatan atau pesta rakyat.

Tanjidor Musik Jazz Betawi

Betawi sangat kaya dengan ragam kesenian tradisional. Maklum sejak berabad-abad kota
ini sudah didatangi beragam bangsa. Termasuk bangsa Portugis yang datang sebelum
Belanda.

Bangsa di Eropa Selatan itu ikut memasukkan unsur keseniannya dalam bentuk musik
tanjidor. Karena dimainkan oleh sepuluh bahkan sampai belasan orang dengan berbagai
alat musik, sehingga ada yang mengkategorikannya sebagai ''musik jazz Betawi''.

Perkiraan asal muasalnya dari Portugis, karena berasal dari kata ''tanger'', yang berarti
memainkan alat musik--pada pawai militer atau upacara keagamaan. Entah kenapa, kata
''tanger'' kemudian diucapkan jadi tanjidor.

Ngamen di kampung Mungkin generasi sekarang tidak banyak lagi mengenal musik
klasik yang satu ini. Padahal, sampai pertengahan 1950-an, tanjidor 'ngamen' dari
kampung ke kampung, terutama untuk memeriahkan perayaan Lebaran, pergantian tahun,
dan Imlek (tahun baru Cina).

Pada saat Imlek, hari-hari ngamen tanjidor jauh lebih lama. Pasalnya, Imlek dirayakan
sampai Capgomeh atau hari ke-15 Imlek. Pengamen tanjidor berasal dari daerah
pinggiran Betawi, yaitu Karawang, Bekasi, Cibinong, dan Tangerang. Saat ngamen
mereka terpaksa menginap di Jakarta, meninggalkan keluarganya di kampung.

Peralatan yang mereka bawa pun cukup berat, seperti terompet Prancis, klarinet dan
tambur Turki, serta terompet besar. Yang menyedihkan, mereka ngamen dengan berjalan
kaki tanpa alas sepatu atau sandal.

Berasal dari budak


Ernst Heiinz, ahli musik Belanda, berpendapat bahwa tanjidor asalnya dari para budak
yang ditugaskan main musik oleh tuannya. Hal ini dipertegas oleh sejarahwan Belanda
yang banyak menulis tentang Batavia bahwa orkes tanjidor kemudian muncul pada masa
kompeni.

Sampai 1808, kota Batavia dikelilingi benteng tinggi. Tidak banyak tanah lapang. Para
pejabat tinggi kompeni membangun villa di luar kota, seperti di Cilitan Besar, Pondok
Gede, Tanjung Timur, Ciseeng, dan Cimanggis. Di vila-villa yang megah dan mewah itu,
mereka mempekerjakan ratusan budak. Di antara mereka ada yang khusus memainkan
alat-alat musik untuk menghibur para tuan saat jamuan makan malam dan kegiatan pesta
lainnya. Ketika perbudakan dihapuskan 1860, mereka membentuk perkumpulan musik
yang dinamakan tanjidor.

Pengaruh Belanda
Dalam perkembangannya kemudian, orkes rakyat ini dipengaruhi musik Belanda. Lagu-
lagu yang dibawakan, antara lain Batalion, Kramton, Bananas, Delsi, Was Tak-tak,
Welmes, dan Cakranegara.

Judul lagu itu berbau Belanda meski dengan ucapan Betawi. Tapi, Tanjidor juga
membawakan lagu-lagu Betawi asli, seperti Jali-Jali, Surilang, Kicir-kicir, Cente Manis,
Stambul, dan Parsi. Pada 1954, Walikota Sudiro melarang musik tanjidor ngamen.
Pelarangan ini tentu saja membuat para senimannya menjadi kecewa.

Kini, musik tanjidor dikabarkan merana di tengah situasi Betawi modern (Jakarta).
Keberadaannya tak lagi populer untuk ukuran Ibukota RI ini yang sudah kosmopolitan.
Padatnya penduduk dan jalanan macet, juga menyulitkan rombongan seniman tanjidor
untuk ngamen, meski sudah tak ada lagi larangan.

~Tanjidor, yang biasa menggunakan klarinet, trombon, piston, trompet dan sebagainya.
Alat-alat musik tiup yang sudah berumur lebih dari satu abad masih banyak digunakan
oleh grup-grup Tanjidor. Mungkin bekas alat-alat musik militer pada masa jayanya
penguasa kolonial tempo doeloe.Dengan alat-alat setua itu, Tanjidor biasa digunakan
untuk mengiringi perhelatan atau arak-arakan pengantin.
Musik tanjidor diduga berasal dari bangsa Portugis yang datang ke Betawi pada abad ke 14 sampai 16. Menurut
sejarawan, dalam bahasa Portugis ada kata tanger. Kata tanger artinya memainkan alat musik. Memainkan alat
musik ini dilakukan pada pawai militer atau upacara keagamaan. Kata tanger itu kemudian diucapkan menjadi
tanjidor.

Ahli musik dari Belanda bernama Ernst Heinz berpendapat tanjidor asalnya dari para budak yang ditugaskan
main musik untuk tuannya.

Sejarawan Belanda bernama Dr. F. De Haan juga berpendapat orkes tanjidor berasal dari orkes budak pada masa
kompeni. Pada abad ke 18 kota Batavia dikelilingi benteng tinggi. Tidak banyak tanah lapang. Para pejabat tinggi
kompeni membangun villa di luar kota Batavia. Villa-villa itu terletak di Cililitan Besar, Pondok Gede, Tanjung
Timur, Ciseeng, dan Cimanggis.

Di villa-villa inilah terdapat budak. Budak-budak itu mempunyai keahlian. Di antaranya ada yang mampu
memainkan alat musik. Alat musik yang mereka mainkan antara lain : klarinet, piston, trombon, tenor, bas
trompet, bas drum, tambur, simbal, dan lain-lain. Para budak pemain musik bertugas menghibur tuannya saat
pesta dan jamuan makan.Perbudakan dihapuskan tahun 1860. Pemain musik yang semula budak menjadi orang
yang merdeka. Karena keahlian bekas budak itu bermain musik, mereka membentuk perkumpulan musik.
Lahirlah perkumpulan musik yang dinamakan tanjidor.

Musik tanjidor sangat jelas dipengaruhi musik Belanda. Lagu-lagu yang dibawakan antara lain : Batalion,
Kramton, Bananas, Delsi, Was Tak-tak, Welmes, Cakranegara. Judul lagu itu berbau Belanda meski dengan
ucapan Betawi. Lagu-lagu tanjidor bertambah dengan membawakan lagu-lagu Betawi. Dapat dimainkan lagu-
lagu gambang kromong, seperti : Jali-Jali, SurilangSiring Kuning, Kicir-Kicir, Cente Manis, stambul, dan persi.

Tanjidor berkembang di daerah pinggiran Jakarta, Depok, Cibinong, Citeureup, Cileungsi, Jonggol, Parung, Bogor,
Bekasi dan Tangerang. Di daerah-daerah itu dahulu banyak terdapat perkebunan dan villa milik orang Belanda.

Pada tahun 1950-an orkes tanjidor melakukan pertunjukan ngamen. Khususnya pada tahun baru masehi dan
tahun baru Cina (imlek). Dengan telanjang kaki atau bersandal jepit mereka ngamen dari rumah ke rumah.
Lokasi yang dipilih biasanya kawasan elite, seperti : Menteng, Salemba, Kebayoran Baru. Daerah yang
penduduknya orang Belanda. Atau daerah lain yang penduduknya memeriahkan tahun baru. Pada tahun baru
Cina biasanya tanjidor ngamen lebih lama. Karena tahun baru Cina dirayakan sampai perayaan Capgomeh, yaitu
pesta hari ke-15 imlek.

Pada tahun 1954 Pemda Jakarta melarang tanjidor ngamen ke dalam kota. Alasan pelarangan tidak diketahui.
Pelarangan ngamen membuat seniman tanjidor kecewa. Sebab pendapatan mereka jadi berkurang. Mereka
hanya menunggu panggilan untuk memeriahkan hajatan atau pesta rakyat.

Sampai saat ini grup-grup tanjidor masih bersifat amatir. Mereka main kalau ada panggilan. Grup tanjidor yang
kini menonjol adalah Putra Mayangsari pimpinan Marta Nyaat di Cijantung Jakarta Timur dan Pusaka pimpinan
Said di Jagakarsa Jakarta Selatan.

You might also like