Professional Documents
Culture Documents
Pengajaran BIPA
1. Pengantar
1
dapat dipelajari tetapi bagaimana dengan makna yang tersirat yang berhubungan
dengan psikologis masyarakat Indonesia yang multikultural dan majemuk? Terlebih
bagaimana implikasi pembelajaran BIPA (Bahasa Indonesia Penutur Asing), apakah
cukup mengenalkan aspek linguistiknya saja? Tentunya tidak. Perlu pemahaman
psikologi masyarakat majemuk Indonesia melalui pendekatan silang budaya.
Pendekatan silang budaya sebagai pencitraan budaya Indonesia.
2
pulau-pulau Indonesia masih ditemui kebudayaan “hunting and gathering” yang
terdapat secara terbatas di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan beberapa pulau kecil
lain yang kira-kira berjumlah 1-2 juta dengan pola hidup langsung dari alam.
Demikian juga kehidupan berkebudayaan nomadis pun masih dijumpai. Hampir
semua pula di Indonesia masih banyak kebudayaan masyarakat bercorak agraris, baik
dengan bercocok tanam yang berpindah-pindah, pertanian tadah hujan, pertanian
irigasi sawah, perkebunan dan pertanian mekanis. Oleh karena unsur budaya agraris
masih mendominasi masyarakat Indonesia, maka masih dijumpai masyarakat dengan
akar primordialisme yang kuat serta kebiasaan feodal. Hal ini turut mengkondisikan
warna kebudayaan Indonesia serta masyarakat dalam bertutur dalam bahasa
Indonesia. Terlebih-lebih kondisi sekarang, saat politik memberi kesempatan
desentralisasi dan hak otonom, maka semangat primordialisme dapat muncul dalam
berbagai aspek salah satunya dalam penggunaan bahasa Indonesia.
Oleh sebab itulah dalam memahami Sosial Budaya dan psikologi
masyarakat Indonesia yang nantinya berimplikasi pada tindak tutur berbahasa
Indonesia, paling tidak dalam pendekatan silang budaya memperhatikan tiga hal
yaitu (a) masyarakat dalam perspektif agama, (b) perspektif spiritual, dan (c)
perspektif budaya. Dari perspektif agama, masyarakat Indonesia dalam berperilaku
menyelaraskan diri dengan tatanan yang diyakini berasal dari Tuhan, perspektif
spiritual merujuk pada pengembangan potensi-potensi internal diri manusia dalam
aktualisasi yang selaras dengan hukum non materi, dan perspektif budaya yang
merujuk pada tradisi penghayatan dan pengembangan nilai-nilai kemanusiaan untuk
membangun sebuah kehidupan yang comfort baik secara individu maupun kolektif.
Dalam konteks perubahan social sekarang masyarakat Indonesia dalam sekat
pluralisme terakomodasi secara otomatis dalam civics responsibility, social
economics responsibilities, dan personal responsibility.
Masalah silang budaya tidak hanya berupaya melihat bahasa dari konteks
budaya, tetapi sebagai bentuk ekspresi nurani masyarakat Indonesia yaitu hakikat
pola hidup dalam keragaman. Bahasa Indonesia memiliki “roh, jiwa dan semangat”
pluralistik yang harus dipakai melalui ekspresi bentuk dan isi bahasa. Kemajemukan
masyarakat Indonesia merupakan suatu kenyataan yang dalam tataran satu bahasa
nasional disinergikan dengan kepentingan sosial, ekonomi, budaya dan keagamaan.
Dengan demikian melalui pendekatan silang budaya, Bahasa Indonesia dapat
diajarkan dari tataran formal ke tataran substansial. Pemahaman atas kenyataan
pluralistik budaya Indonesia inilah sangat dimungkinkan adanya usaha membangun
pola hubungan manusia dan kelompok yang diawali dengan sistem budaya
khusnudzan ( sebagai dataran budaya tinggi). Yang dimaksud adalah pemahaman
budaya sebagai rujukan dari cara bersikap dan bertindak (code of conduct). Dalam
sebuah gambar dapat dilihat sebagai berikut :
Manusia Indonesia
Kearifan Lokal Agama dan Spiritual
Perilaku Code of
3
Conduct
Bahasa Indonesia
4
Kosa kata Citra Diri Belajar
Sistem nilai Bahasa
to have
Sistem Sosial
Jati diri Masyarakat
Artefak
5
mungkin bagi penutur dari Jawa) lebih banyak digunakan, karena dalam konsep
kebudayaan Jawa berkenaan dengan konsep “ adi luhung” tercermin suatu nilai
bahwa pemakaian suatu ungkapan yang lembut atau samar harus digunakan untuk
mengganti ungkapan yang terang atau kasar. Sudah lazim di Indonesia untuk
menyebut orang kedua tunggal dengan “Bapak, Ibu, Pak, Bu, Saudara, Anda”
dibandingkan dengan “kau atau kamu” sebagai pertimbangan nilai rasa. Bahkan
sebutan “Bung” cukup populer saat Presiden Soekarno menggelorakan semangat
nasional ketika awal-awal kemerdekaan Indonesia. Sekarang ada kecenderungan di
kalangan anak muda lebih suka menggunakan bahasa Indonesia dialek Jakarta seperti
penyebutan kata “ gue (saya) dan lu/elu “. Kata ini disebarkan melalui media TV
dalam film-film, iklan dan sinetron bersamaan dengan disebarkannya gaya hidup dan
fesyen. Di Malang Jawa Timur yang sehari-hari berbahasa Jawa (Jawa dialek
Malangan) dan masyarakat yang terbuka/egaliter ada kebiasaan/tradisi membalik
kata yang kemudian menjadi ciri khas, seperti “ wedok” (‘perempuan’) dibalik
menjadi “kodew”. Kebiasaan ini oleh kalangan muda dikembangkan ke dalam bahasa
Indonesia, misalnya kata “tidak” menjadi “ kadit”, dan lain-lain. Dalam koran lokal
pun tradisi ini banyak digunakan. Penutur di luar Malang (pendatang) pada awalnya
agak kaku menggunakan, tetapi lama-kelamaan menjadi biasa dan merasa sebagai
orang Malang yang terbuka dan egaliter. Pendekatan silang budaya sebagai
pencitraan budaya Indonesia yang turut mengkondisikan cara belajar bahasa
Indonesia sebagai bahasa asing merupakan upaya belajar sistem tingkah laku yang
tergantung kepada sistem makna dan sistem nilai kebudayaan “nation state”
Indonesia.
Konsep pendekatan silang budaya sebagai pencitraan budaya Indonesia
melalui pengajaran BIPA menunjukkan suatu wacana baru dalam pengajaran Bahasa
Indonesia untuk penutur asing dengan menekankan pada pertumbuhan, perubahan,
perkembangan dan kesinambungan yang menunjukkan bahwa Bahasa Indonesia
sebagai bahasa yang dinamis dan bersinergi dengan kebutuhan masyarakat
Informatif. Bahasa Indonesia merupakan salah satu bahasa di Asia yang berpotensi
untuk pertukaran kebutuhan informasi dunia, karena ciri pluralistik masyarakat
penuturnya. Secara praktis pendekatan silang budaya dalam pengajaran Bahasa
Indonesia bagi penutur asing menekankan pada penggalian metode pengajaran
bahasa berdasar pola empatik. Pola ini digunakan untuk pemahaman masyarakat
majemuk baik secara genetis maupun kultural.
Konsep pendekatan silang budaya sebagai pencitraan budaya Indonesia
melalui pengajaran BIPA merupakan sebuah konsep (yang menurut Ki Hadjar
Dwantara disebut ‘tri-kon’) yaitu konsentrisitas, kontinuitas, dan konvergensi.
Konsentrisitas menekankan pada suatu inti atau sentrum yaitu dari mana bahasa
Indonesia sebagai perkembangan budaya mulai digerakkan; perkembangan ini
selanjutnya akan memperkuat inti tersebut. Kontinyuitas menunjuk perkembangan
dari waktu ke waktu, yaitu bahasa Indonesia menjadi bahasa modern, kontemporer,
yang kian dipelajari orang asing, dan konvergensi yang menunjuk gerak kebudayaan
dalam ruang, saat bahasa Indonesia bersama-sama dengan bahasa bangsa lain menuju
suatu bahasa yang bernilai informatif dan global.
6
Konsep pendekatan silang budaya sebagai pencitraan budaya Indonesia
melalui pengajaran BIPA menunjukkan suatu wacana baru dalam pengajaran Bahasa
Indonesia untuk penutur asing dengan menekankan pada pertumbuhan, perubahan,
perkembangan dan kesinambungan yang menunjukkan bahwa Bahasa Indonesia
sebagai bahasa yang dinamis dan bersinergi dengan kebutuhan masyarakat
Informatif. Bahasa Indonesia merupakan salah satu bahasa di Asia yang berpotensi
untuk pertukaran kebutuhan informasi dunia, karena ciri pluralistik masyarakat
penuturnya. Bahasa Indonesia dan pendekatan silang budaya merupakan upaya
“kembali ke etnisitas”. Terlepas dari penafsiran hegemoni sukuisme, dalam belajar
bahasa Indonesia (khususnya bagi orang asing) merupakan realitas sosial bahwa
pluralisme masyarakat Indonesia berbicara bahasa Indonesia dengan pola pikir, pola
hidup dan berdasar nilai etnisitas, sehingga bersifat “Indonesianisasi tata krama
komunikasi etnisitas” . Keragaman suku di Indonesia dapat dilihat sebagai
perbedaan yang masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Perbedaan
itulah yang dipelajari secara silang budaya untuk dilihat nilai-nilai psikologis
masyarakatnya. Silang budaya antar-berbagai tradisi di nusantara baik dengan anasir
kesatuan Indonesia sebagai “nation state”, maupun dengan asing sebagai rasional
globalisasi tentunya akan membawa ke arah suatu perubahan yang dinamis. Budaya
lokal akan melakukan filterisasi sebelum menjadi sebuah acuan. Pendekatan silang
budaya akan melakukan kompromi secara sistematik terhadap konteks kearifan
budaya lokal di Indonesia. Oleh sebab itu sangat bijaksana sebelum mengajarkan
bahasa secara aspek linguistik (pembelajaran berbahasa Indonesia), perlu diajarkan
(dikenalkan) pengetahuan budaya-budaya etnik yang meliputi sistem nilai, sistem
sosial, dan produk budaya serta implikasinya terhadap tindak berbahasa. Selain itu
pengenalan “sikap berbahasa” secara “PDL “ atau “pandang dengar dan lihat” dari
guru, tutor/instruktur sangat membantu proses belajar bahasa ini.. Ideologi yang
dikembangkan adalah multikulturalisme atau keanekaragaman budaya, sehingga
perlu seorang pengajar bahasa Indonesia yang berasal dari (yang merupakan wakil
dari) etnis yang ada. Pigura besarnya adalah Linguistik Indonesia sedangkan gambar
yang ditampilkan adalah tanda-tanda budaya multikultural. Dalam konsep budaya
Jawa hal ini disebut dengan ngertos caranipun ngertos atau pengertian bagaimana
caranya mengerti (model pendidikan heuristik).
Secara praktis pendekatan silang budaya dalam pengajaran Bahasa
Indonesia bagi penutur asing menekankan pada penggalian metode pengajaran
bahasa berdasar pola empatik. Pola ini digunakan untuk pemahaman masyarakat
majemuk baik secara genetis maupun kultural. Cara yang dilakukan adalah
menggabungkan kecerdasan yang berkaitan dengan kemampuan menangkap kata-
kata dan kemampuan menyusun kalimat, kemampuan memahami orang lain,
kemampuan memahami emosi sendiri, serta kemampuan melukiskan suatu konsep
bahasa dalam perspektif (think in picture), sehingga mampu mempersepsi
lingkungan, mengekspresikan konsep dalam gambar, coretan serta lukisan. Hal ini
sangat diperlukan dalam mengantarkan pemahaman konsep budaya-budaya etnisitas
di Indonesia sebelum ke aspek bahasanya. Dialog, puisi, novel, kliping koran,
percakapan dalam drama (misalnya drama tradisional), kajian semiotik atas video
klip iklan di TV merupakan sarana (media) yang menarik untuk pembelajaran silang
budaya bahasa Indonesia bagi penutur asing. Beberapa aspek dalam pembelajaran
bahasa Indonesia dengan pendekatan silang budaya sebagai pencitraan budaya
Indonesia :
7
Pola Bersikap Kategorisasi : 1) Tuturan/Ujaran
1.Bertutur terus te-
Pola Bertindak Kosa kata referen- Performatif rang tanpa basa-
dan kelakuan. sial-non emotif; Tuturan/Ujaran basi.
3.Pola sarana ben- kosakata referensi- Konstantif 2. bertutur dengan
da-benda/tekno- al emotif dan emo- kesantunan posi-
logi. tif non referensial. tif
Intonasi 3. bertutur dengan
Gaya Bahasa kesantunan nega-
Tindak tutur tif
4.bertutur dengan
samar-samar
5.di dalam hati/ ti-
dak bertutur
Selanjutnya pencitraan itu akan tergambarkan dalam cara berbahasa, bertemu orang
lain, menempatkan diri sendiri, menempatkan lawan bicara, dan pemberian atau
pengisian “roh” nilai rasa bahasa dalam tindak komunikasi berbahasa Indonesia yang
semuanya berpangkal pada konsep :
Norma-norma
Sikap
Pola-pola tindakan
5. Penutup
8
bangsa sebagai acuan utama bagi jati diri manusia Indonesia. Pendekatan silang
budaya sebagai pencitraan budaya Indonesia merupakan upaya membangun citra
diri yang didasarkan pada yang dimilikinya dibandingkan dengan berdasar
kesejatidirian. Dengan demikian upaya membangun citra diri ini sudah lebih
diandalkan pada pemilikan ( to have).
Kenyataan yang menunjukkan bahwa orang Indonesia yang berbahasa
Indonesia pada hakikatnya adalah orang dari suku-suku bangsa yang memiliki
karakter jiwa kebudayaan lokalnya yang berbicara dengan bahasa nasional dan
bahasa persatuannya. Untuk itu orang asing yang berkomunikasi dengan orang
Indonesia dengan bahasa Indonesia yang telah dipelajarinya, paling tidak ia telah
mempelajari linguistik bahasa Indonesia dalam konteks ruang dan waktu
kebudayaan, kepribadian, dan pola-pola tindakan “manusia” Indonesia. Itulah
sebabnya melalui pendekatan silang budaya dengan pendidikan heuristik dan pola-
pola empatik sangat dimungkinkan linguistik bahasa Indonesia mendapat “roh” yang
sangat “Indonesianis”.
Daftar Pustaka
Austin, J.L. 1962. How to Do Things with Words. Cambridge : Harvard University
Press
Anderson, Benedict. 2001. Imagined Communities (Komunitas-komunitas
Terbayang). (terj. Omi Intan Naomi) Yogyakarta: Inist.
Brown, Peneloe and S.C. Levinson. 1987. Politeness: Some Universals in Language
Usage. Cambridge: Cambridge University Press.
Budiman, Maneke 1999. ‘Jati Diri Budaya dalam Proses Nation Building di
Indonesia: Mengubah Kendala Menjadi Aset’, Jurnal Wacana FSUI.No.1
April 1999. Vol 1. hal. 3
Hamengkubuwono X. 2001. ‘Implementasi Budaya Jawa dalam Menjaga Keutuhan
dan Persatuan Bangsa, Mungkinkah?’ Makalah seminar Nasional. Surakarta:
Univet.
Jatman, Darmanto. Psikologi Jawa. Yogyakarta: Bentang
Kleden, Ignas.1987. Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan. Jakarta: LP3 Es.
Roeder, O.G. 1987. Indonesia. A Personal Introduction. Jakarta : Gramedia.
Sayogya. 1995. Sosiologi Pedesaan, Kumpulan Bacaan. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Soeparmo, dkk. 1986. Pola Berpikir Ilmuwan dalam Konteks Sosial Budaya
Indonesia. Surabaya: Unair Press.
Tampublon, Daulat. 2000. ‘Peran Bahasa dalam Pembangunan Bangsa’. Jurnal MLI.
hal.69.
Tasmara, Toto. 1999. Kecerdasan Ruhaniah. Jakarta : Gema Insani.
Tim Lembaga Riset Kebudayaan. 1986. Kapita Selekta Manifestasi Budaya
Indonesia. Bandung: Alumni
Widdowson, H.G, 1995. Stilistika dan Pengajaran Sastra (terj. Sudijah). Surabaya:
Unair Press.
Yanti, Yusrita. 1999. ‘Tindak tutur Maaf di dalam Bahasa Indonesia di Kalangan
Penutur Minangkabau’. Jurnal MLI. hal. 93
9
10