You are on page 1of 10

Pendekatan Silang Budaya sebagai Pencitraan Budaya Indonesia Melalui

Pengajaran BIPA

Arif Budi Wurianto


Lembaga Kebudayaan Universitas Muhammadiyah Malang

1. Pengantar

Memasuki era globalisasi dan teknologi informasi, bahasa Indonesia tidak


saja dilihat sebagai aset kebudayaan melainkan merupakan sarana perhubungan dan
aset di bidang ekonomi, politik, dan strategi hubungan global, misalnya semakin
dipelajarinya bahasa Indonesia di Jepang, Australia, Amerika, dll. Dengan demikian
bahasa Indonesia telah menjadi bahasa kedua di negara-negara berbahasa asing yang
dipelajari dan diajarkan, khususnya untuk kepentingan politik, ekonomi dan
pengembangan hubungan global. Untuk itulah yang perlu dipertanyakan kembali,
apakah orang asing yang belajar bahasa Indonesia, hanya belajar bahasa sebagai ilmu
bahasa (linguistik) dan untuk kepentingan berkomunikasi dengan penduduk penutur
bahasa Indonesia. Kenyataan secara asumtif masih demikian, bahasa Indonesia
diajarkan dalam bentuk aturan-aturan linguistik tanpa melihat bahwa keberagaman
suku bangsa di Indonesia menyebabkan nilai rasa dan aspek rohaniah masyarakat
mempengaruhi bentuk dan makna bahasa Indonesia yang diucapkan. Untuk itu perlu
sekali penutur bahasa asing yang belajar bahasa Indonesia harus mempelajari juga
aspek psikologis masyarakat Indonesia. Pemahaman aspek kebudayaan dan psikologi
masyarakat dan kaitannya dengan berbahasa Indonesia perlu dikenalkan dan
diajarkan kepada penutur asing yang sedang belajar bahasa Indonesia.

Secara historis telah diketahui bahwa bahasa Indonesia dijadikan sebagai


bahasa nasional sejak Sumpah Pemuda 1928 yang menyatakan “ Kami Bangsa
Indonesia mengaku Berbahasa yang Satu Bahasa Indonesia”. Padahal bahasa
Indonesia yang dinyatakan sebagai bahasa persatuan merupakan salah satu bahasa
daerah di Nusantara yaitu bahasa Melayu, sedangkan di luar daerah berbahasa
Melayu, masih banyak bahasa daerah lain yang kalau dilihat dari sejarah kebudayaan,
sastra dan penuturnya lebih besar, seperti bahasa Jawa, dll. Oleh karena itulah secara
psikologis, terdorong oleh sifat nasionalisme yang tinggi serta “beberapa kearifan
lokal” menjadikan suku-suku lain menerima bahasa Melayu sebagai bahasa nasional
dengan nama Bahasa Indonesia. Dalam perkembangannya Bahasa Indonesia
dijadikan bahasa resmi, bahasa negara dan bahasa nasional dan dikukuhkan dalam
UUD 1945 pasal 36.
Dalam pertumbuhannya, bahasa Indonesia digunakan sebagai alat
komunikasi antarpenduduk, antarsuku bangsa, yang sudah tentu memiliki latar
belakang sosio-kultural yang beragam. Akibatnya bahasa Indonesia yang dituturkan
oleh penutur dari Jawa berbeda dengan penutur dari Sunda, Madura, Batak, Bali,
Melayu, Irian, Makassar, dll. Persamaan akar bangsa memungkinkan “toleransi
pemahaman dan pemaknaan”. Selain itu karena faktor politik, seperti yang terjadi
pada masa Orde Baru, yang lebih “berbau” Jawa, karena Pak Harto orang Jawa,
berpengaruh terhadap kosa kata sampai pada penamaan gedung-gedung pemerintah
dan istilah politik. Suku lain meskipun sulit untuk melafalkan, masih mudah
(berusaha) untuk memahami. Persoalan yang timbul bagaimana kalau bahasa
Indonesia ini dituturkan oleh penutur asing? Meskipun secara tatabahasa mungkin

1
dapat dipelajari tetapi bagaimana dengan makna yang tersirat yang berhubungan
dengan psikologis masyarakat Indonesia yang multikultural dan majemuk? Terlebih
bagaimana implikasi pembelajaran BIPA (Bahasa Indonesia Penutur Asing), apakah
cukup mengenalkan aspek linguistiknya saja? Tentunya tidak. Perlu pemahaman
psikologi masyarakat majemuk Indonesia melalui pendekatan silang budaya.
Pendekatan silang budaya sebagai pencitraan budaya Indonesia.

2. Keadaan Sosial Budaya Indonesia

Secara spesifik keadaan sosial budaya Indonesia sangat kompleks,


mengingat penduduk Indonesia kurang lebih sudah di atas 200 juta dalam 30
kesatuan suku bangsa. Oleh karena itu pada bagian ini akan dibicarakan keadaan
sosial budaya Indonesia dalam garis besar. Kesatuan politis Negara Kesatuan
Republik Indonesia terdiri atas 6000 buah pulau yang terhuni dari jumlah
keseluruhan sekitar 13.667 buah pulau. Dapat dibayangkan bahwa bahasa Indonesia
yang dijadikan sebagai bahasa nasional belum tentu sudah tersosialisasikan pada
6000 pulau tersebut, mengingat sebagian besar bermukim di pedesaan. Hanya 10-
15% penduduk Indonesia yang bermukim di daerah urban. Indonesia sudah tentu
bukan hanya Jawa dan Bali saja, karena kenyataan Jawa mencakup 8% penduduk
urban. Sementara itu bahasa Indonesia masih dapat dikatakan sebagai “bahasa bagi
kaum terdidik/sekolah” pada daerah-daerah yang tidak berbahasa ibu bahasa
Indonesia. Bagaimana dengan yang lain? Sementara ada orang asing pada tahun 1998
sangat kebingungan mengartikan kata lengser keprabon yang dalam Kamus Bahasa
Indonesia belum tercantum, sedangkan untuk mengartikan lengser keprabon tidak
sekedar pengertian definitif dalam semantik bahasa Indonesia. Lengser keprabon
(yang sekarang sudah dianggap bahasa Indonesia, seperti dengan kata lain seperti
“legawa”) harus dipahami dalam perspektif sejarah kebudayaan dan sistem politik
Jawa. Oleh karena itu dengan mempelajari aspek psikologis budaya Jawa, penutur
asing dapat memahami makna sebenarnya kata “Lengser Keprabon”. Contoh lain,
seperti kata “ Gemah Ripah Loh Jinawi” yang sering digunakan dalam kosa kata
bahasa Indonesia yang menggambarkan kesuburan Indonesia, antara penutur Jawa
dan Sunda memiliki konsep yang berbeda. Dalam konsep Jawa “Gemah Ripah Loh
Jinawi, Subur kang Sarwa Tinandur, Murah kang Sarwa Tinuku, Tata Tentrem
Kerta Raharja”, sementara saudara-saudara dari Sunda mengekspresikan dalam “
Tata Tentrem Kerta Raharja, Gemah Ripah Loh Jinawi , Rea Ketan Rea Keton
Buncir Leuit Loba Duit” yang artinya saudara dari suku Sunda yang lebih
memahami. Sementara itu di Sumatera Barat dengan adat Minangkabau yang
didalamnya terdapat suatu sistem yang sempurna dan bulat, dalam berbahasa sangat
memperhatikan raso, pareso, malu dan sopan, sehingga bahasa Indonesia yang
dituturkannya pun sangat terkait dengan psikologi budaya Minangkabau.
Demikianlah, Indonesia sebagai sebuah “nation state” yang menurut
Benedict Anderson merupakan sebuah imajinasi. Kenyataan di dalam “nation state”
terdapat komunitas dalam kemajemukan (heterogeneity), perbedaan (diversity).
Dengan demikian bahasa Indonesia merupakan suatu pengertian tanda budaya yang
didalamnya penuh dengan perbedaan (hibriditas). Hampir sebagian besar penduduk
Indonesia tinggal di daerah “rural” sehingga budaya heterogen pedesaan sangat
mewarnai pola tutur bahasa Indonesia. Kenyataan menunjukkan tidak semua
masyarakat Indonesia hidup di daerah industri dan berperan sebagai masyarakat
industrial, masyarakat informatif, dan bagian dari masyarakat global. Di sebaran

2
pulau-pulau Indonesia masih ditemui kebudayaan “hunting and gathering” yang
terdapat secara terbatas di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan beberapa pulau kecil
lain yang kira-kira berjumlah 1-2 juta dengan pola hidup langsung dari alam.
Demikian juga kehidupan berkebudayaan nomadis pun masih dijumpai. Hampir
semua pula di Indonesia masih banyak kebudayaan masyarakat bercorak agraris, baik
dengan bercocok tanam yang berpindah-pindah, pertanian tadah hujan, pertanian
irigasi sawah, perkebunan dan pertanian mekanis. Oleh karena unsur budaya agraris
masih mendominasi masyarakat Indonesia, maka masih dijumpai masyarakat dengan
akar primordialisme yang kuat serta kebiasaan feodal. Hal ini turut mengkondisikan
warna kebudayaan Indonesia serta masyarakat dalam bertutur dalam bahasa
Indonesia. Terlebih-lebih kondisi sekarang, saat politik memberi kesempatan
desentralisasi dan hak otonom, maka semangat primordialisme dapat muncul dalam
berbagai aspek salah satunya dalam penggunaan bahasa Indonesia.
Oleh sebab itulah dalam memahami Sosial Budaya dan psikologi
masyarakat Indonesia yang nantinya berimplikasi pada tindak tutur berbahasa
Indonesia, paling tidak dalam pendekatan silang budaya memperhatikan tiga hal
yaitu (a) masyarakat dalam perspektif agama, (b) perspektif spiritual, dan (c)
perspektif budaya. Dari perspektif agama, masyarakat Indonesia dalam berperilaku
menyelaraskan diri dengan tatanan yang diyakini berasal dari Tuhan, perspektif
spiritual merujuk pada pengembangan potensi-potensi internal diri manusia dalam
aktualisasi yang selaras dengan hukum non materi, dan perspektif budaya yang
merujuk pada tradisi penghayatan dan pengembangan nilai-nilai kemanusiaan untuk
membangun sebuah kehidupan yang comfort baik secara individu maupun kolektif.
Dalam konteks perubahan social sekarang masyarakat Indonesia dalam sekat
pluralisme terakomodasi secara otomatis dalam civics responsibility, social
economics responsibilities, dan personal responsibility.

3. Pendekatan Silang Budaya sebagai Pencitraan Budaya Indonesia

Masalah silang budaya tidak hanya berupaya melihat bahasa dari konteks
budaya, tetapi sebagai bentuk ekspresi nurani masyarakat Indonesia yaitu hakikat
pola hidup dalam keragaman. Bahasa Indonesia memiliki “roh, jiwa dan semangat”
pluralistik yang harus dipakai melalui ekspresi bentuk dan isi bahasa. Kemajemukan
masyarakat Indonesia merupakan suatu kenyataan yang dalam tataran satu bahasa
nasional disinergikan dengan kepentingan sosial, ekonomi, budaya dan keagamaan.
Dengan demikian melalui pendekatan silang budaya, Bahasa Indonesia dapat
diajarkan dari tataran formal ke tataran substansial. Pemahaman atas kenyataan
pluralistik budaya Indonesia inilah sangat dimungkinkan adanya usaha membangun
pola hubungan manusia dan kelompok yang diawali dengan sistem budaya
khusnudzan ( sebagai dataran budaya tinggi). Yang dimaksud adalah pemahaman
budaya sebagai rujukan dari cara bersikap dan bertindak (code of conduct). Dalam
sebuah gambar dapat dilihat sebagai berikut :

Manusia Indonesia
Kearifan Lokal Agama dan Spiritual
Perilaku Code of

3
Conduct

Bahasa Ibu (Daerah)

Bahasa Indonesia

Pendekatan silang budaya merupakan suatu cara pemahaman budaya


sebagai keseluruhan hasil respons kelompok manusia terhadap lingkungan dalam
rangka memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan pencapaian tujuan setelah melalui
rentangan proses interaksi sosial. Pokok-pokok yang terpenting adalah kebutuhan
dan tujuan mempelajari budaya, lingkungan target budaya, dan interaksi sosial yang
diinginkan. Dasar pemahaman yang digunakan adalah masing-masing sub entitas
budaya itu mewarisi “ pikiran, perasaan, makna , tanda budaya dan simbol-simbol”
yang muncul dalam tuturan berbahasa Indonesia. Kata “Assalamu’alaikum
Warrohmatullahiwabarokatuh” memang berasal dari bahasa Arab, karena kata ini
dibawa serta oleh ajaran agama Islam. Tetapi kata ini telah identik dengan pola
perilaku bangsa Indonesia dan bahasa Indonesia. Untuk memahami dan
menggunakan kata ini tidak sekedar dihafal dan dilihat artinya dalam kamus yang
sementara diartikan semacam “salam” kepada orang. Padahal menurut pemahaman
masyarakat Indonesia, khususnya kaum Muslim, kata ini memiliki makna yang lebih
dalam yaitu semacam doa serta penggunaan nama Tuhan, sehingga sebelum
diucapkan perlu pemahaman tentang tanda budaya kehidupan Muslim. Demikian
juga misalnya sering kita dengar kata “Mendhem Jero Mikul Dhuwur” yang sering
digunakan di era orde baru untuk konsep “tenggang rasa terhadap perasaan orang
lain, terutama orang /generasi tua”, sudah berbeda artinya ketika kata ini digunakan
dalam kalangan sistem tanda budaya Jawa. Oleh sebab itulah untuk memahami
sistem tanda budaya dalam pendekatan silang budaya, khususnya dalam
pembelajaran bahasa Indonesia sangat diperlukan sikap yang terbuka (open-minded)
serta tidak ada penghalang komunikasi (communication barriers) , baik dalam tindak
tutur maupun dalam sikap bahasa. Kadang-kadang kecurigaan (suudzan) menjadikan
“keengganan” berbahasa, karena hal inilah yang sering terjadi dalam suatu proses
asimilasi. Kecurigaan (suudzan) merupakan persoalan psikologis sebagai akibat sifat
stereotipe. Orang mungkin menyangka bahwa suku Jawa sangat identik dengan
feodalisme mengingat sistem bahasanya yang berjenjang-jenjang, berputar-putar dan
penuh makna konotatif. Padahal ini sebagai salah satu gambaran kurang dipahaminya
sosiokultural Jawa, yang sesungguhnya memiliki tiga bentuk masyarakat secara
sosiokultural yaitu Keraton, Pesantren dan Pedesaan, atau Pesisir, dan Pedalaman,
sehingga memerlukan asimilasi untuk menghindari stereotipe. Asimilasi sebagai
salah satu bentuk proses-proses sosial yang erat hubungannya dengan pertemuan dua
kebudayaan atau lebih. Pendekatan silang budaya dalam belajar bahasa Indonesia
memerlukan asimilasi sosio-struktural atau sharing their experience.

Pendekatan silang budaya sebagai pencitraan budaya Indonesia merupakan


upaya membangun citra diri yang didasarkan pada yang dimilikinya dibandingkan
dengan berdasar kesejatidirian. Dengan demikian upaya membangun citra diri ini
sudah lebih diandalkan pada pemilikan ( to have). Apabila sikap demikian ini
menjadi suatu mentalitas dalam kalangan trend setters dalam masyarakat Indonesia
dapat digambarkan dampak selanjutnya secara sosial. Pencitraan budaya Indonesia

4
Kosa kata Citra Diri Belajar
Sistem nilai Bahasa
to have
Sistem Sosial
Jati diri Masyarakat
Artefak

Penutur Bahasa Indonesia bukanlah orang Indonesia dalam arti


sesungguhnya. Para penutur bahasa Indonesia adalah suku-suku bangsa di Indonesia
yang dipersatukan oleh semangat “nation state”, sebuah gambaran imajinatif, yang
senyatanya adalah orang Jawa berbicara bahasa Indonesia, orang Sunda berbicara
bahasa Indonesia, orang Minangkabau berbicara bahasa Indonesia. Akar semua ini
adalah digunakannya bahasa Melayu sebagai lingua franca dan semangat
nasionalisme menghadapi kolonial.
Bahasa Indonesia dalam tata kebudayaan Indonesia adalah sumber pertama
sebuah pandangan yang memungkinkan seseorang menangkap gejala ontologis.
Masyarakat penutur menangkap kesadaran berbahasa nasional dilakukan dengan
sadar dalam sebuah keberaturan dan kebermaknaan (kosmologis). Dengan konsep
kosmologis bahasa Indonesia dalam percaturan kebudayaan Indonesia ini, maka
dalam mempelajari bahasa Indonesia dengan pendekatan silang budaya akan
menjadikan kebudayaan sebagai sistem realitas ( system of reality) dan sistem makna
(system of meaning). Dua acuan sistem inilah yang dapat dirujuk dalam pemahaman
pendekatan silang budaya sebagai pencitraan budaya Indonesia melalui pengajaran
BIPA. Bahasa Indonesia dewasa ini telah merupakan agen perubah sosial suatu
masyarakat yang etnisitas, karena bahasa Indonesia menjadikan perubahan cara kerja
( misalnya dari pertanian ke industri), menimbulkan perubahan cara hidup (dari buta
huruf ke melek huruf, termasuk dari buta bahasa Indonesia menjadi melek bahasa
Indonesia), dan selanjutnya menimbulkan perubahan dalam cara pikir (dari apolitis
menjadi politis). Kosa kata, pemilihan kata dan penggunaan kata-kata bahasa
Indonesia sekarang selain melihat etnisitas penuturnya juga perubahan-perubahan
social yang terjadi di masyarakat.
Pengalaman saya ketika mengajar bahasa dan kebudayaan Indonesia untuk
orang asing, secara tidak sadar selama berbicara bersikap (cara berdiri, menunjuk,
dan berperilaku) menunjukkan bahwa saya orang Indonesia yang berasal dari suku
Jawa. Selain itu si orang asing bertanya kepada saya bahwa mengapa saya selalu
mengucapkan kata “maaf” atau “maaf ... barangkali” untuk memulai percakapan
padahal saya tidak membuat kesalahan. Inilah sebuah rasa bahasa yang dapat
dipahami melalui pendekatan silang budaya. Demikian juga di kalangan saya
bekerja, dengan mudahnya seorang penutur, berganti-ganti bahasa saat berhadapan
dengan orang yang berlainan, misalnya sesama pengajar atau dengan mahasiswa
berbahasa Indonesia, tiba-tiba masuk seorang staf administrasi, secara otomatis
langsung berbahasa Jawa (ingat: bahasa Jawa minimal terdiri dari tiga stratifikasi
bahasa: bahasa ngoko, krama, dan krama inggil) dengan staf tersebut. Tak dapat
dipungkiri munculnya alih kode dan campur kode dalam proses bertutur dalam
bahasa Indonesia..
Dengan meminjam istilah yang pernah ditulis oleh Dr. Ignas Kleden, bahwa
bahasa Indonesia memiliki “kedekatan saudara” dengan “Eufemisme Bahasa,
Konsensus Sosial dan Kreativitas Kata”. Rasa kata dalam bahasa Indonesia ( maaf:

5
mungkin bagi penutur dari Jawa) lebih banyak digunakan, karena dalam konsep
kebudayaan Jawa berkenaan dengan konsep “ adi luhung” tercermin suatu nilai
bahwa pemakaian suatu ungkapan yang lembut atau samar harus digunakan untuk
mengganti ungkapan yang terang atau kasar. Sudah lazim di Indonesia untuk
menyebut orang kedua tunggal dengan “Bapak, Ibu, Pak, Bu, Saudara, Anda”
dibandingkan dengan “kau atau kamu” sebagai pertimbangan nilai rasa. Bahkan
sebutan “Bung” cukup populer saat Presiden Soekarno menggelorakan semangat
nasional ketika awal-awal kemerdekaan Indonesia. Sekarang ada kecenderungan di
kalangan anak muda lebih suka menggunakan bahasa Indonesia dialek Jakarta seperti
penyebutan kata “ gue (saya) dan lu/elu “. Kata ini disebarkan melalui media TV
dalam film-film, iklan dan sinetron bersamaan dengan disebarkannya gaya hidup dan
fesyen. Di Malang Jawa Timur yang sehari-hari berbahasa Jawa (Jawa dialek
Malangan) dan masyarakat yang terbuka/egaliter ada kebiasaan/tradisi membalik
kata yang kemudian menjadi ciri khas, seperti “ wedok” (‘perempuan’) dibalik
menjadi “kodew”. Kebiasaan ini oleh kalangan muda dikembangkan ke dalam bahasa
Indonesia, misalnya kata “tidak” menjadi “ kadit”, dan lain-lain. Dalam koran lokal
pun tradisi ini banyak digunakan. Penutur di luar Malang (pendatang) pada awalnya
agak kaku menggunakan, tetapi lama-kelamaan menjadi biasa dan merasa sebagai
orang Malang yang terbuka dan egaliter. Pendekatan silang budaya sebagai
pencitraan budaya Indonesia yang turut mengkondisikan cara belajar bahasa
Indonesia sebagai bahasa asing merupakan upaya belajar sistem tingkah laku yang
tergantung kepada sistem makna dan sistem nilai kebudayaan “nation state”
Indonesia.
Konsep pendekatan silang budaya sebagai pencitraan budaya Indonesia
melalui pengajaran BIPA menunjukkan suatu wacana baru dalam pengajaran Bahasa
Indonesia untuk penutur asing dengan menekankan pada pertumbuhan, perubahan,
perkembangan dan kesinambungan yang menunjukkan bahwa Bahasa Indonesia
sebagai bahasa yang dinamis dan bersinergi dengan kebutuhan masyarakat
Informatif. Bahasa Indonesia merupakan salah satu bahasa di Asia yang berpotensi
untuk pertukaran kebutuhan informasi dunia, karena ciri pluralistik masyarakat
penuturnya. Secara praktis pendekatan silang budaya dalam pengajaran Bahasa
Indonesia bagi penutur asing menekankan pada penggalian metode pengajaran
bahasa berdasar pola empatik. Pola ini digunakan untuk pemahaman masyarakat
majemuk baik secara genetis maupun kultural.
Konsep pendekatan silang budaya sebagai pencitraan budaya Indonesia
melalui pengajaran BIPA merupakan sebuah konsep (yang menurut Ki Hadjar
Dwantara disebut ‘tri-kon’) yaitu konsentrisitas, kontinuitas, dan konvergensi.
Konsentrisitas menekankan pada suatu inti atau sentrum yaitu dari mana bahasa
Indonesia sebagai perkembangan budaya mulai digerakkan; perkembangan ini
selanjutnya akan memperkuat inti tersebut. Kontinyuitas menunjuk perkembangan
dari waktu ke waktu, yaitu bahasa Indonesia menjadi bahasa modern, kontemporer,
yang kian dipelajari orang asing, dan konvergensi yang menunjuk gerak kebudayaan
dalam ruang, saat bahasa Indonesia bersama-sama dengan bahasa bangsa lain menuju
suatu bahasa yang bernilai informatif dan global.

4. Pendekatan Silang Budaya dalam Pengajaran Bahasa Indonesia


bagi Penutur Asing

6
Konsep pendekatan silang budaya sebagai pencitraan budaya Indonesia
melalui pengajaran BIPA menunjukkan suatu wacana baru dalam pengajaran Bahasa
Indonesia untuk penutur asing dengan menekankan pada pertumbuhan, perubahan,
perkembangan dan kesinambungan yang menunjukkan bahwa Bahasa Indonesia
sebagai bahasa yang dinamis dan bersinergi dengan kebutuhan masyarakat
Informatif. Bahasa Indonesia merupakan salah satu bahasa di Asia yang berpotensi
untuk pertukaran kebutuhan informasi dunia, karena ciri pluralistik masyarakat
penuturnya. Bahasa Indonesia dan pendekatan silang budaya merupakan upaya
“kembali ke etnisitas”. Terlepas dari penafsiran hegemoni sukuisme, dalam belajar
bahasa Indonesia (khususnya bagi orang asing) merupakan realitas sosial bahwa
pluralisme masyarakat Indonesia berbicara bahasa Indonesia dengan pola pikir, pola
hidup dan berdasar nilai etnisitas, sehingga bersifat “Indonesianisasi tata krama
komunikasi etnisitas” . Keragaman suku di Indonesia dapat dilihat sebagai
perbedaan yang masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Perbedaan
itulah yang dipelajari secara silang budaya untuk dilihat nilai-nilai psikologis
masyarakatnya. Silang budaya antar-berbagai tradisi di nusantara baik dengan anasir
kesatuan Indonesia sebagai “nation state”, maupun dengan asing sebagai rasional
globalisasi tentunya akan membawa ke arah suatu perubahan yang dinamis. Budaya
lokal akan melakukan filterisasi sebelum menjadi sebuah acuan. Pendekatan silang
budaya akan melakukan kompromi secara sistematik terhadap konteks kearifan
budaya lokal di Indonesia. Oleh sebab itu sangat bijaksana sebelum mengajarkan
bahasa secara aspek linguistik (pembelajaran berbahasa Indonesia), perlu diajarkan
(dikenalkan) pengetahuan budaya-budaya etnik yang meliputi sistem nilai, sistem
sosial, dan produk budaya serta implikasinya terhadap tindak berbahasa. Selain itu
pengenalan “sikap berbahasa” secara “PDL “ atau “pandang dengar dan lihat” dari
guru, tutor/instruktur sangat membantu proses belajar bahasa ini.. Ideologi yang
dikembangkan adalah multikulturalisme atau keanekaragaman budaya, sehingga
perlu seorang pengajar bahasa Indonesia yang berasal dari (yang merupakan wakil
dari) etnis yang ada. Pigura besarnya adalah Linguistik Indonesia sedangkan gambar
yang ditampilkan adalah tanda-tanda budaya multikultural. Dalam konsep budaya
Jawa hal ini disebut dengan ngertos caranipun ngertos atau pengertian bagaimana
caranya mengerti (model pendidikan heuristik).
Secara praktis pendekatan silang budaya dalam pengajaran Bahasa
Indonesia bagi penutur asing menekankan pada penggalian metode pengajaran
bahasa berdasar pola empatik. Pola ini digunakan untuk pemahaman masyarakat
majemuk baik secara genetis maupun kultural. Cara yang dilakukan adalah
menggabungkan kecerdasan yang berkaitan dengan kemampuan menangkap kata-
kata dan kemampuan menyusun kalimat, kemampuan memahami orang lain,
kemampuan memahami emosi sendiri, serta kemampuan melukiskan suatu konsep
bahasa dalam perspektif (think in picture), sehingga mampu mempersepsi
lingkungan, mengekspresikan konsep dalam gambar, coretan serta lukisan. Hal ini
sangat diperlukan dalam mengantarkan pemahaman konsep budaya-budaya etnisitas
di Indonesia sebelum ke aspek bahasanya. Dialog, puisi, novel, kliping koran,
percakapan dalam drama (misalnya drama tradisional), kajian semiotik atas video
klip iklan di TV merupakan sarana (media) yang menarik untuk pembelajaran silang
budaya bahasa Indonesia bagi penutur asing. Beberapa aspek dalam pembelajaran
bahasa Indonesia dengan pendekatan silang budaya sebagai pencitraan budaya
Indonesia :

Budaya Indonesia Aspek Struktural Aspek Tuturan Strategi Komunikasi

7
Pola Bersikap Kategorisasi : 1) Tuturan/Ujaran
1.Bertutur terus te-
Pola Bertindak Kosa kata referen- Performatif rang tanpa basa-
dan kelakuan. sial-non emotif; Tuturan/Ujaran basi.
3.Pola sarana ben- kosakata referensi- Konstantif 2. bertutur dengan
da-benda/tekno- al emotif dan emo- kesantunan posi-
logi. tif non referensial. tif
Intonasi 3. bertutur dengan
Gaya Bahasa kesantunan nega-
Tindak tutur tif
4.bertutur dengan
samar-samar
5.di dalam hati/ ti-
dak bertutur

Selanjutnya pencitraan itu akan tergambarkan dalam cara berbahasa, bertemu orang
lain, menempatkan diri sendiri, menempatkan lawan bicara, dan pemberian atau
pengisian “roh” nilai rasa bahasa dalam tindak komunikasi berbahasa Indonesia yang
semuanya berpangkal pada konsep :

Sistem nilai budaya

Norma-norma

Sikap

Pola-pola cara berpikir

Pola-pola tindakan

Lebih lanjut melalui pendekatan silang budaya dalam pembelajaran bahasa


Indonesia, maka ada rasa “kearifan” dalam berbahasa Indonesia yang dilandasi oleh
masalah mengenai :
a. hakikat dan sifat hidup manusia Indonesia
b. hakikat karya manusia Indonesia
c. hakikat kedudukan manusia Indonesia dalam ruang dan waktu
d. hakikat hubungan manusia dengan alam Indonesia
e. hakikat hubungan dengan sesama manusia Indonesia.

5. Penutup

Dapat disimpulkan bahwa sebagai sebuah pemangku “ nation state”,


Indonesia adalah sebuah gambaran masyarakat majemuk yang terdiri dari suku-suku
bangsa yang berada di bawah sebuah kekuasaan sebuah sistem nasional, termasuk di
dalamnya bahasa nasional yaitu Bahasa Indonesia. Ciri kemajemukan masyarakat
Indonesia adalah pentingnya kesukuan yang terwujud dalam sistem komunitas suku

8
bangsa sebagai acuan utama bagi jati diri manusia Indonesia. Pendekatan silang
budaya sebagai pencitraan budaya Indonesia merupakan upaya membangun citra
diri yang didasarkan pada yang dimilikinya dibandingkan dengan berdasar
kesejatidirian. Dengan demikian upaya membangun citra diri ini sudah lebih
diandalkan pada pemilikan ( to have).
Kenyataan yang menunjukkan bahwa orang Indonesia yang berbahasa
Indonesia pada hakikatnya adalah orang dari suku-suku bangsa yang memiliki
karakter jiwa kebudayaan lokalnya yang berbicara dengan bahasa nasional dan
bahasa persatuannya. Untuk itu orang asing yang berkomunikasi dengan orang
Indonesia dengan bahasa Indonesia yang telah dipelajarinya, paling tidak ia telah
mempelajari linguistik bahasa Indonesia dalam konteks ruang dan waktu
kebudayaan, kepribadian, dan pola-pola tindakan “manusia” Indonesia. Itulah
sebabnya melalui pendekatan silang budaya dengan pendidikan heuristik dan pola-
pola empatik sangat dimungkinkan linguistik bahasa Indonesia mendapat “roh” yang
sangat “Indonesianis”.

Daftar Pustaka

Austin, J.L. 1962. How to Do Things with Words. Cambridge : Harvard University
Press
Anderson, Benedict. 2001. Imagined Communities (Komunitas-komunitas
Terbayang). (terj. Omi Intan Naomi) Yogyakarta: Inist.
Brown, Peneloe and S.C. Levinson. 1987. Politeness: Some Universals in Language
Usage. Cambridge: Cambridge University Press.
Budiman, Maneke 1999. ‘Jati Diri Budaya dalam Proses Nation Building di
Indonesia: Mengubah Kendala Menjadi Aset’, Jurnal Wacana FSUI.No.1
April 1999. Vol 1. hal. 3
Hamengkubuwono X. 2001. ‘Implementasi Budaya Jawa dalam Menjaga Keutuhan
dan Persatuan Bangsa, Mungkinkah?’ Makalah seminar Nasional. Surakarta:
Univet.
Jatman, Darmanto. Psikologi Jawa. Yogyakarta: Bentang
Kleden, Ignas.1987. Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan. Jakarta: LP3 Es.
Roeder, O.G. 1987. Indonesia. A Personal Introduction. Jakarta : Gramedia.
Sayogya. 1995. Sosiologi Pedesaan, Kumpulan Bacaan. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Soeparmo, dkk. 1986. Pola Berpikir Ilmuwan dalam Konteks Sosial Budaya
Indonesia. Surabaya: Unair Press.
Tampublon, Daulat. 2000. ‘Peran Bahasa dalam Pembangunan Bangsa’. Jurnal MLI.
hal.69.
Tasmara, Toto. 1999. Kecerdasan Ruhaniah. Jakarta : Gema Insani.
Tim Lembaga Riset Kebudayaan. 1986. Kapita Selekta Manifestasi Budaya
Indonesia. Bandung: Alumni
Widdowson, H.G, 1995. Stilistika dan Pengajaran Sastra (terj. Sudijah). Surabaya:
Unair Press.
Yanti, Yusrita. 1999. ‘Tindak tutur Maaf di dalam Bahasa Indonesia di Kalangan
Penutur Minangkabau’. Jurnal MLI. hal. 93

9
10

You might also like