You are on page 1of 10

Arsitektur Tradisional Bali

Tradisi dapat diartikan sebagai kebiasaan yang turun temurun dalam suatu
masyarakat yang merupakan kesadaran kolektif dengan sifatnya yang luas, meliputi
segala aspek dalam kehidupan. Arsitektur tradisional Bali dapat diartikan sebagai
tata ruang dari wadah kehidupan masyarakat Bali yang telah berkembang secara
turun-temurun dengan segala aturan-aturan yang diwarisi dari jaman dahulu, sampai
pada perkembangan satu wujud dengan ciri-ciri fisik yang terungkap pada rontal Asta
Kosala-Kosali, Asta Patali dan lainnya, sampai pada penyesuaian-penyesuaian oleh
para undagi yang masih selaras dengan petunjuk-petunjuk dimaksud.

Arsitektur tradisional Bali yang kita kenal, mempunyai konsep-konsep dasar yang
mempengaruhi tata nilai ruangnya. Konsep dasar tersebut adalah:

• Konsep hirarki ruang, Tri Loka atau Tri Angga


• Konsep orientasi kosmologi, Nawa Sanga atau Sanga Mandala
• Konsep keseimbangan kosmologi, Manik Ring Cucupu
• Konsep proporsi dan skala manusia
• Konsep court, Open air
• Konsep kejujuran bahan bangunan

Tri Angga adalah konsep dasar yang erat hubungannya dengan perencanaan
arsitektur, yang merupakan asal-usul Tri Hita Kirana. Konsep Tri Angga membagi
segala sesuatu menjadi tiga komponen atau zone:

• Nista (bawah, kotor, kaki),


• Madya (tengah, netral, badan) dan
• Utama (atas, murni, kepala)
Ada tiga buah sumbu yang digunakan sebagai pedoman penataan bangunan di Bali,
sumbu-sumbu itu antara lain:

• Sumbu kosmos Bhur, Bhuwah dan Swah (hidrosfir, litosfir dan atmosfir)
• Sumbu ritual kangin-kauh (terbit dan terbenamnya matahari)
• Sumbu natural Kaja-Kelod (gunung dan laut)

Dari sumbu-sumbu tersebut, masyarakat Bali mengenal konsep orientasi


kosmologikal, Nawa Sanga atau Sanga Mandala. Transformasi fisik dari konsep ini
pada perancangan arsitektur, merupakan acuan pada penataan ruang hunian tipikal di
Bali

Bangunan Hunian

Hunian pada masyarakat Bali, ditata menurut konsep Tri Hita Karana. Orientasi yang
digunakan menggunakan pedoman-pedoman seperti tersebut diatas. Sudut utara-
timur adalah tempat yang suci, digunakan sebagai tempat pemujaan, Pamerajan
(sebagai pura keluarga). Sebaliknya sudut barat-selatan merupakan sudut yang
terendah dalam tata-nilai rumah, merupakan arah masuk ke hunian.

Pada pintu masuk (angkul-angkul) terdapat tembok yang dinamakan aling-aling, yang
tidak saja berfungsi sebagai penghalang pandangan ke arah dalam (untuk memberikan
privasi), tetapi juga digunakan sebagai penolak pengaruh-pengaruh jahat/jelek. Pada
bagian ini terdapat bangunan Jineng (lumbung padi) dan paon (dapur). Berturut-turut
terdapat bangunan-bangunan bale tiang sangah, bale sikepat/semanggen dan Umah
meten. Tiga bangunan (bale tiang sanga, bale sikepat, bale sekenam) merupakan
bangunan terbuka.

Ditengah-tengah hunian terdapat natah (court garden) yang merupakan pusat dari
hunian. Umah Meten untuk ruang tidur kepala keluarga, atau anak gadis. Umah

2
meten merupakan bangunan mempunyai empat buah dinding, sesuai dengan
fungsinya yang memerlukan keamanan tinggi dibandingkan ruang-ruang lain (tempat
barang-barang penting & berharga).

Hunian tipikal pada masyarakat Bali ini, biasanya mempunyai pembatas yang berupa
pagar yang mengelilingi bangunan/ruang-ruang tersebut diatas.

Kajian Ruang Luar dan Ruang Dalam

Mengamati hunian tradisional Bali, sangat berbeda dengan hunian pada umumnya.
Hunian tunggal tradisional Bali terdiri dari beberapa masa yang mengelilingi sebuah
ruang terbuka. Gugusan masa tersebut dilingkup oleh sebuah tembok/dinding
keliling. Dinding pagar inilah yang membatasi alam yang tak terhingga menjadi suatu
ruang yang oleh Yoshinobu Ashihara disebut sebagai ruang luar. Jadi halaman di
dalam hunian masyarakat Bali adalah sebuah ruang luar. Konsep pagar keliling
dengan masa-masa di dalamnya memperlihatkan adanya kemiripan antara konsep
Bali dengan dengan konsep ruang luar di Jepang. Konsep pagar keliling yang tidak
terlalu tinggi ini juga sering digunakan dalam usaha untuk "meminjam" unsur alam ke
dalam bangunan.

Masa-masa seperti Uma meten, bale tiang sanga, bale sikepat, bale sekenam,
lumbung dan paon adalah masa bangunan yang karena beratap, mempunyai ruang
dalam. Masa-masa tersebut mempunyai 3 unsur kuat pembentuk ruang yaitu elemen
lantai, dinding dan atap (pada bale tiang sanga, bale sikepat maupun bale sekenam
dinding hanya 2 sisi saja, sedang yang memiliki empat dinding penuh hanyalah uma
meten).

Keberadaan tatanan uma meten, bale tiang sanga, bale sikepat dan bale sekenam
membentuk suatu ruang pengikat yang kuat sekali yang disebut natah. Ruang
pengikat ini dengan sendirinya merupakan ruang luar. Sebagai ruang luar pengikat

3
yang sangat kuat, daerah ini sesuai dengan sifat yang diembannya, sebagai pusat
orientasi dan pusat sirkulasi.

Pada saat tertentu natah digunakan sebagai ruang tamu sementara, pada saat diadakan
upacara adat, dan fungsi natah sebagai ruang luar berubah, karena pada saat itu
daerah ini ditutup atap sementara/darurat. Sifat Natah berubah dari 'ruang luar'
menjadi 'ruang dalam' karena hadirnya elemen ketiga (atap) ini. Elemen pembentuk
ruang lainnya adalah lantai tentu, dan dinding yang dibentuk oleh ke-empat masa
yang mengelilinginya. Secara harafiah elemen dinding yang ada adalah elemen
dinding dari bale tiang sanga, bale sikepat dan bale sekenam yang terjauh jaraknya
dari pusat natah. Apabila keadaan ini terjadi, maka adalah sangat menarik, karena
keempat masa yang mengelilinginya ditambah dengan natah (yang menjadi ruang
tamu) akan menjadi sebuah hunian besar dan lengkap seperti hunian yang dijumpai
sekarang. Keempatnya ditambah natah akan menjadi suatu 'ruang dalam' yang 'satu',
dengan paon dan lumbung adalah fungsi service dan pamerajan tetap sebagai daerah
yang ditinggikan. Daerah pamerajan juga merupakan suatu ruang luar yang kuat,
karena hadirnya elemen dinding yang membatasinya.

Kajian Ruang Positif dan Ruang Negatif

Sebagai satu-satunya jalan masuk menuju ke hunian, angkul-angkul berfungsi sebagai


gerbang penerima. Kemudian orang akan dihadapkan pada dinding yang menghalangi
pandangan dan dibelokan ke arah sembilan-puluh derajat. Keberadaan dinding ini
(aling-aling), dilihat dari posisinya merupakan sebuah penghalang visual, dimana ke-
privaci-an terjaga. Hadirnya aling-aling ini, menutup bukaan yang disebabkan oleh
adanya pintu masuk. Sehingga dilihat dari dalam hunian, tidak ada perembesan dan
penembusan ruang. Keberadaan aling-aling ini memperkuat sifat ruang positip yang
ditimbulkan oleh adanya dinding keliling yang disebut oleh orang Bali sebagai
penyengker. Ruang di dalam penyengker, adalah ruang dimana penghuni beraktifitas.

4
Adanya aktifitas dan kegiatan manusia dalam suatu ruang disebut sebagai ruang
positip. Penyengker adalah batas antara ruang positip dan ruang negatip.

Dilihat dari kedudukannya dalam nawa-sanga, "natah" berlokasi di daerah madya-


ning-madya, suatu daerah yang sangat "manusia". Apalagi kalau dilihat dari
fungsinya sebagai pusat orientasi dan pusat sirkulasi, maka natah adalah ruang
positip. Pada natah inilah semua aktifitas manusia memusat, seperti apa yang
dianalisa Ashihara sebagai suatu centripetal order.

Pada daerah pamerajan, daerah ini dikelilingi oleh penyengker (keliling), sehingga
daerah ini telah diberi "frame" untuk menjadi sebuah ruang dengan batas-batas lantai
dan dinding serta menjadi 'ruang-luar' dengan ketidak-hadiran elemen atap di
sana.Nilai sebagai ruang positip, adalah adanya kegiatan penghuni melakukan
aktifitasnya disana.

Pamerajan atau sanggah, adalah bangunan paling awal dibangun, sedang daerah
public dan bangunan service (paon, lumbung dan aling-aling) dibangun paling akhir.

Proses ini menunjukan suatu pembentukan berulang suatu ruang-positip; dimana


ruang positip pertama kali dibuat (Pamerajan atau sanggah), ruang diluarnya adalah
ruang-negatip. Kemudian ruang-negatip tersebut diberi 'frame' untuk menjadi sebuah
ruang-positip baru. Pada ruang positip baru inilah hadir masa-masa uma meten, bale
tiang sanga, pengijeng, bale sikepat, bale sekenam, lumbung, paon dan lain-lain.
Kegiatan serta aktifitas manusia terjadi pada ruang positip baru ini.

5
Konsistensi dan Konsekuensi

Tidak seperti di beberapa belahan bumi yang lain dimana sebuah bangunan (rumah,
tempat ibadah) berada dalam satu atap, di Bali yang disebut sebuah bangunan hunian
adalah sebuah halaman yang dikelilingi dinding pembatas pagar dari batu bata
dimana didalamnya berisi unit-unit atau bagian-bagian bangunan terpisah yang
masing-masing mempunyai fungsi sendiri-sendiri. Sebuah hunian di Bali, sama
dengan dibeberapa bagian dunia yang lain mempunyai fungsi-fungsi seperti tempat
tidur, tempat bekerja, tempat memasak, tempat menyimpan barang (berharga dan
makanan), tempat berkomunikasi, tempat berdoa dan lain-lain. Ruang-ruang, sebagai
wadah suatu kegiatan contoh untuk aktivitas tidur, di Bali merupakan sebuah
bangunan yang berdiri sendiri.Sedang dilain pihak secara umum sebuah ruang tidur
merupakan bagian sebuah bangunan.Ruang tidur adalah bagian dari ruang-dalam atau
interior. Uma meten, Bale sikepat, Bale sekenam, Paon merupakan massa bangunan
yang berdiri sendiri. Menurut Yoshinobu Ashihara ruang-dalam adalah ruang
dibawah atap, sehingga Uma meten dan lain-lain adalah juga ruang-dalam atau
interior.Ruang diluar bangunan tersebut (natah) adalah ruang luar, karena
kehadirannya yang tanpa atap. Apabila bagian-bagian bangunan Hunian Bali dikaji
dengan kaidah-kaidah 'Ruang luar-Ruang dalam', terutama juga apabila bagian-bagian
hunian Bali dilihat sebagai massa per massa yang berdiri sendiri, maka adalah
konsekuensi apabila pusat orientasi sebuah hunian adalah ruang luar (natah) yang
juga pusat sirkulasi.Pada kenyataannya ruang ini adalah bagian utama (yang bersifat
'manusia') dari hunian Bali.

Apabila dikaji dari rumusan suatu hunian, maka natah adalah bagian dari aktifitas
utama sebuah hunian yang sudah selayaknya merupakan bagian dari aktivitas ruang-
dalam atau interior. Kemudian apabila dikaitkan dengan keberadaan bale sikepat, bale
sekenam dan bale tiang sanga yang hanya memiliki dinding dikedua sisinya saja,
serta posisi masing-masing dinding yang 'membuka' ke arah natah jelaslah terjadi

6
sebuah ruang yang menyatu. Sebuah ruang besar yang menyatukan uma meten disatu
sisi dan bale tiang sanga, bale sikepat, bale sekenam serta natah yang layaknya
sebuah hunian. Hunian yang sama dengan yang ada pada masa kini, dimana bale-bale
adalah ruang tidur, natah adalah ruang tempat berkumpul yang bisa disebut sebagai
ruang keluarga. Apabila dikaitkan lebih jauh, jika kegiatan paon (dapur) bisa
disamakan dengan kegiatan memasak dan ruang makan, maka hunian Bali, teryata
identik dengan hunian-hunian berbentuk flat pada hunian orang Barat.

Kajian terhadap hunian Bali ini, apabila hunian tersebut dipandang sebagai satu
kesatuan utuh rumah tinggal, konsekuensinya adalah ruang didalam penyengker
(dinding batas) adalah ruang-dalam. Bangunan dalam hunian Bali tidak dilihat
sebagai massa tetapi harus dilihat sebagai ruang didalam ruang. Apalagi bila dilihat
kehadiran dinding-dinding pada bale tiang sanga, bale sikepat maupun sekenam yang
'membuka' kearah yang me-enclose ruang, maka keadaan ini memperkuat kehadiran
nuansa ruang-dalam atau interior pada hunian tradisional Bali. Dengan kondisi
demikian maka penyengker adalah batas antara ruang-dalam dan ruang-luar (jalan
desa). Hal ini ternyata memiliki kesamaan dengan pola yang ada di Jepang, yang oleh
Ashihara (1970) dinyatakan:

..................Japanese wooden houses do not directly face the street but surrounded by
fences. Since the garden is invisible from the street, it is ruled by the order inside the
house...............
..................in the case of Japanese houses, garden are ruled by interior order, and
fences serve as boundaries to separate interior from exterior space.

Pada kajian ini terlihat adanya kesamaan sifat halaman sebagai ruang-dalam atau
interior pada hunian arsitektur tradisional Bali maupun arsitektur tradisional Jepang.
Meskipun pada hunian Bali kesan ruang-dalam lebih terasa dan jelas dibandingkan
dengan hunian Jepang.

7
Kajian ini semakin menarik apabila dikaitkan dengan teori Yoshinubo Ashihara
diatas; bahwa ruang-luar adalah ruang yang terjadi dengan membatasi alam yang tak
terhingga (dengan batas/pagar dll) dan juga ruang-luar adalah ruang dimana elemen
ketiga dari ruang (yaitu atap) tidak ada. Dilain pihak ruang-dalam adalah lawan dari
ruang-luar (dimana terdapat elemen ruang yang lengkap yaitu alas, dinding dan atap).
Maka pada kasus hunian, teori Yoshinobu Ashihara ternyata saling bertentangan.
Baik pertentangan antara ruang-luar terhadap ruang-dalam dikaitkan dengan
terjadinya maupun keterkaitan dengan elemen alas, dinding dan atap.

Pada hunian Jepang, dikatakan oleh Yoshinobu Ashihara dinding pagar adalah batas
antara ruang-dalam dan ruang-luar. Pada hunian Bali, penyengker berfungsi sama
dengan hal tersebut. Penyengker bisa menghadap alam bebas, tetangga maupun jalan
desa. Pada kasus penyengker menghadap jalan desa, kemudian jalan desa menghadap
penyengker bangunan yang lain, maka jalan desa adalah ruang luar yang positip. Pada
jalan desa terjadi aktivitas dimana masyarakat menggunakan baik untuk kegiatan
sehari-hari maupun sarana kegiatan prosesi ritual dan seni. Aktifitas yang memusat ke
dalam (centripetal order) ini disebut Yoshinobu Ashihara, ruang positip.

8
Arsitektur Bali
Tentang arsitektur Bali menurut tattwa agama Hindu.
Pengertian bangunan secara umum
Ialah segala hasil perwujudan manusia dalam bentuk bangunan, yang mengandung
keutuhan/ kesatuan dengan agama (ritual) dan kehidupan budaya masyarakat. Yang
tercakup dalam bangunan yaitu :
1. Kemampuan merancang, dan membangun.
2. Mewujudkan seni bangunannya menurut bermacam- macam prinsip seperti :
bentuk, konstruksi. bahan, fungsi dan keindahan

Bangunan Bali yaitu


Setiap bangunan yang berdasarkan tattwa (falsafah) agama Hindu

Filosofis bangunan Bali


Ialah adanya hubungan yang erat dan hidup antara bhuwana alit dengan bhuwana
agung yang perwujudannya dilandasi oleh ketentuan agama Hindu.

Pengelompokan bangunan Bali meliputi


1. Bangunan suci/ keagamaan.
2. Bangunan Kepara/ adat.

Beberapa ketentuan- ketentuan bangunan Bali:


1. Tempat/ denah berdasarkan Lontar Asta Bhumi.
2. Bangunan/ konstruksinya berdasarkan lontar Asta Dewa dan lontar Asta Kosala/
Kosali.
3. Bahan- bahan/ ramuan berdasarkan lontar Asta Dewa dan lontar Asta Kosala/
Kosali, seperti : kayu, ijuk, alang- alang, batu alam, bata dan sebagainya

9
Bangunan Bali mengandung ciri- ciri :
1. Pengider- ideran (Catur Loka Phala/ Asta Dala).
2. Tri Mandala/ Tri Loka
3. Adanya upacara sangaskara/ penyucian.
4. Mengandung simbul- simbul sesuai dengan ajaran agama Hindu, (misalnya:
Sanghyang Acintya, Naga, Padma dan sebagainya).

Jenis- jenis bangunan Bali


1. Bangunan suci/ keagamaan ialah segala pelinggih- pelinggih yang disucikan,
termasuk patung- patung/ arca- arca serta perlengkapannya.
2. Bangunan Kepara/ adat adalah bangunan- bangunan perumahan, adat, dan
bangunan Bali lainnya.

Tata laksana dan penyucian bangunan Bali antara lain :


1. Ngeruwak Karang.
2. Nyukat Karang.
3. Nasarin.
4. Memakuh.
5. Ngurip- urip.

Sesuai dengan lontar Asta Dewa, Asta Kosala/ Kosali, Dewa Tattwa dan lontar-
lontar lainnya.
Ketertiban fungsi dan penggunaannya
1. Semua wujud bangunan Bali hendaknya mengikuti ketentuan- ketentuan tersebut
di atas.
2. Fungsi dan penggunaannya ditetapkan pada proporsi yang sewajarnya

10

You might also like