You are on page 1of 27

Fertigasi pada Budidaya Tanaman

Sayuran dalam Greenhouse

Bahan Ajar Dasar-dasar Hortikultura


AGH 342

Anas D. Susila, Ph.D


Bagian Produksi Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultutra,Fakultas Pertanian
Institut Pertanian Bogor. Kampus IPB Darmaga, Bogor, Telp : 62-251-8629353,
Fax:62-251-8628060,e-mail:anas@ipb.ac.id

©Januari 2009
Fertigasi Tanaman Sayuran dalam Greenhouse

Fertigasi pada Budidaya Tanaman Sayuran


dalam Greenhouse
Anas D. Susila, Ph.D
Bagian Produksi Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultutra,Fakultas Pertanian
Institut Pertanian Bogor. Kampus IPB Darmaga, Bogor, Telp : 62-251-8629353,
Fax: 62-251-8628060, e-mail:anas@ipb.ac.id

Pada budidaya tanaman dengan sistem hidroponik pemberian air dan pupuk
memungkinkan dilaksanakan secara bersamaan. Oleh karena itu, manajemen pemupukan
(fertilization) dapat dilaksanakan secara terintegrasi dengan manajemen irigasi (irrigation)
yang selanjutnya disebut fertigasi (fertilization and irrigation) . Dalam sistem hidroponik,
pengelolaan air dan hara difokuskan terhadap cara pemberian yang optimal sesuai dengan
kebutuhan tanaman, umur tanaman dan kondisi lingkungan sehingga tercapai hasil yang
maximum.

Hidroponik
Hidroponik, budidaya tanaman tanpa tanah, telah berkembang sejak pertama kali
dilakukan penelitian-penelitian yang berhubungan dengan penemuan unsur-unsur hara
esensial yang diperlukan bagi pertumbuhan tanaman. Penelitian tentang unsur-unsur
penyusun tanaman ini telah dimulai pada tahun 1600-an. Akan tetapi budidaya tanaman
tanpa tanah ini telah dipraktekkan lebih awal dari tahun tersebut, terbukti dengan adanya
taman gantung (Hanging Gardens) di Babylon, taman terapung (Floating Gardens) dari
suku Aztecs, Mexico dan Cina (Resh, 1998)
Istilah hidroponik yang berasal dari bahasa Latin yang berarti hydro (air) dan ponos
(kerja). Istilah hidroponik pertama kali dikemukakan oleh W.F. Gericke dari University of
California pada awal tahun 1930-an, yang melakukan percobaan hara tanaman dalam skala
komersial yang selanjutnya disebut nutrikultur atau hydroponics. Selanjutnya hidroponik
didefinisikan secara ilmiah sebagai suatu cara budidaya tanaman tanpa menggunakan
tanah, akan tetapi menggunakan media inert seperti gravel, pasir, peat, vermikulit, pumice
atau sawdust, yang diberikan larutan hara yang mengandung semua elemen esensial yang
diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan normal tanaman (Resh, 1998).

Dasar-dasar Hortikultura 2009 – Anas D. Susila 2


Fertigasi Tanaman Sayuran dalam Greenhouse

Budidaya tanaman secara hidroponik memiliki beberapa keuntungan dibandingkan


dengan budidaya secara konvensional, yaitu pertumbuhan tanaman dapat di kontrol,
tanaman dapat berproduksi dengan kualitas dan kuantitas yang tinggi, tanaman jarang
terserang hama penyakit karena terlindungi, pemberian air irirgasi dan larutan hara lebih
efisien dan efektif, dapat diusahakan terus menerus tanpa tergantung oleh musim, dan dapat
diterapkan pada lahan yang sempit. (Harris, 1988).
Hidroponik, menurut Savage (1985), berdasarkan sistem irigasisnya
dikelompokkan menjadi (1) Sistem terbuka dimana larutan hara tidak digunakan kembali,
misalnya pada hidroponik dengan penggunaan drip irrigation atau trickle irrigation, (2)
Sistem tertutup dimana larutan hara dimanfaatkan kembali dengan cara resirkulasi.
Sedangkan berdasarkan penggunaan media atau substrat dapat dikelompokkan menjadi (1)
Substrate System, dimana digunakan media untuk membantu pertumbuhan tanaman
seperti: Sand culture, gravel culture, Rockwool, dan Bag culture, dan (2) BareRoot System,
dimana tanpa digunakan media untuk pertumbuhan akar sehingga akar terekspos di dalam
larutan hara seperti: Deep Flowing System, Aeroponics, Nutrient Film Tehnique (NFT), dan
Ein-Gedi System (EGS).

Irigasi Tetes
Irigasi tetes (Drip irrrigation) adalah sistem irigasi pemberian air irigasi dengan
cara diteteskan langsung di zona perakaran. Irigasi tetes sering digunakan dalam
hidroponik dengan sistem substrat. Akhir-akhir ini, di Indonesia telah banyak diusahakan
teknologi hidroponik sistem terbuka dengan menggunakan substrat untuk produksi sayuran
secara komersial. Sistem ini sangat tergantung terhadap ketersediaan energi listrik untuk
menjalankan pompa karena adanya sirkulasi dan distribusi hara tanaman. Beberapa
produksi sayuran secara hidroponik dengan sistem irigasi tetes telah diusahakan di PT
Saung Mirwan (Purwadi, 1994; Supardiono, 1992; Winarti, 1991), di Taman Buah
Mekarsari (Hananto, 1995), serta di PT Dieng Jaya (Anggraeni, 1992).
Fertigasi yang merupakan cara pemberian air irigasi bersamaan dengan
pemupukan melalui emiter yang diletakkan dekat dengan perakaran tanaman. Drip atau
trickle irigasi adalah tipe mikro-irigasi dimana air dan hara diberikan melalui pipa plastik
dengan drip-emiter yang diletakkan di dekat barisan tanaman (Hochmuth dan Smajstrla,
1997).

Dasar-dasar Hortikultura 2009 – Anas D. Susila 3


Fertigasi Tanaman Sayuran dalam Greenhouse

Irigasi tetes mempunyai beberapa keuntungan, diantaranya merupakan hal yang


sangat penting dalam budidaya tanaman bila dikaitkan dengan isu lingkungan.
Keuntungan utama irigasi tetes adalah kemampuannya menghemat penggunaan air dan
pupuk dibandingkan dengan overhead sprinkler dan sub irigasi. Data penelitian
menunjukkan bahwa penghematan air dengan irigasi tetes sebesar 80% dibanding
subirigasi, dan 50% dibanding irigasi overhead sprinkler (Locascio et al., 1981; Elmstorm
et al., 1981; Locascio et al., 1985).
Irigasi tetes juga dapat menekan serangan penyakit pada daun dibandingkan
dengan overhead sprinkler irigasi. Air tidak diaplikasikan lewat daun sehingga dapat
mempertahankan daun dalam kondisi kering yang mengakibatakan dapat menekan
kerentanan tanaman terhadap serangan penyakit. Hal ini juga dapat mengakibatkan
menekan penggunaan fungisida. Kualitas buah tomat dapat ditingkatkan ketika N dan K
diaplikasikan lewat irigasi tetes dibanding dengan aplikasi secara preplant (di tebar saat
tanam) (Dangler dan Locascio, 1990b).
Irigasi tetes dapat meningkatkan presisi saat dan cara aplikasi pupuk pada produksi
sayuran. Pupuk dapat diformulasikan sesuai dengan kebutuhan tanaman dan diaplikasikan
pada saat tanaman memerlukan. Kemampuan irigasi tetes untuk meningkatkan efisiensi
aplikasi pupuk dapat menekan kebutuhan pupuk untuk produksi sayuran. Efisiensi ini
dapat dicapai dengan pemberian pupuk dalam jumlah kecil merata sepanjang musim
dibanding dengan pemberian sekaligus pada saat tanam (Locascio dan Smajstrla, 1989;
Locascio et al., 1989; Dangler dan Locascio, 1990a). Aplikasi yang terkontrol tidak hanya
dapat menghemat pupuk akan tetapi dapat pula menekan potensi polusi air tanah oleh
pencucian pupuk pada saat hujan besar atau irigasi yang berlebihan.
Irigasi tetes lebih baik daripada sub irigasi dalam sistem produksi tanaman yang
memanfaatkan air yang berkualitas rendah dengan salinitas yang tinggi untuk irigasi. Hal
ini disebabkan karena dengan irigasi tetes dapat melarutkan garam-garam menjauh dari
dripper, daripada menumpuk garam-garam dekat dengan perakaran tanaman (Hochmuth
dan Smajstrla, 1997).
Walaupun irigasi tetes memiliki banyak keuntungan yang sangat penting dalam
produksi sayuran secara modern, namun banyak tantangan yang dihadapi dalam
pelaksanaan teknologi ini. Irigasi tetes harus didisain dan di install secara tepat supaya
dapat dioperasikan dengan efisiensi yang tinggi. Irigasi tetes memerlukan biaya investasi

Dasar-dasar Hortikultura 2009 – Anas D. Susila 4


Fertigasi Tanaman Sayuran dalam Greenhouse

awal yang mahal karena harus di install oleh tenaga ahli yang berpengalaman dan
memerlukan ketersediaan energi listrik untuk mengoperasikan. Untuk mengoperasikan
teknologi ini juga diperlukan tenaga kerja yang terlatih sehingga dapat dicapai efisiensi
yang diharapkan (Hochmuth dan Smajstrla, 1997).

Kultur Air
Diantara budidaya tanaman tanpa tanah, kultur air adalah budidya tanaman yang
menurut definisi merupakan sistem hidroponik yang sebenarnya. Kultur air juga sering
disebut true hydroponics, nutri culture, atau bare root system. Di dalam kultur air, akar
tanaman terendam dalam media cair yang merupakan larutan hara tanaman, sementara
bagian atas tanaman ditunjang adanya lapisan medium inert tipis yang memungkinkan
tanaman dapat tumbuh tegak (Resh, 1998).
Dalam sejarah perkembangan hidroponik, penelitian-penelitian pertama tentang
hidroponik tercatat menggunakan sistem kultur air tanpa adanya substrat atau media tanam
(Woodward, 1699). Teknik-teknik dasar kultur air modern telah dikembangkan oleh Sach
dan Knopp pada tahun1860 (Hewitt dan Smith, 1975) dari beberapa hasil penemuan
sebelumnya oleh Senebier tahun 1791 yang menyatakan bahwa akar tanaman akan mati
bila terendam dalam air. Pada tahun 1804, De Sausser juga menyatakan bahwa disamping
mengandung udara air juga mengandung CO2, campuran gas mengandung 20% O2 (Hewit,
1966; Hewitt dan Smith, 1975).
Aerasi adalah suatu hal yang esensial untuk aktivitas perakaran walaupun hal ini
sangat beragam antar spesies tanaman. Pengambilan unsur mineral akan terjadi ketidak
seimbangan bila kondisi oksigen di perakaran menurun, sebaliknya akan terangsang bila
konsentrasi oksigen di zone perakaran meningkat. Akumulasi karbondioksida (CO2) di
dalam larutan hara akan menghambat absorbsi sebagian besar unsur hara tanaman dan hara,
sedangkan kekurangan oksigen (O2) walaupun tidak akan menekan absorbsi air (dalam
periode tertentu) akan tetapi tetap menekan pengambilan unsur hara dari larutan hara
(Soffer, 1985).
Selama lebih dari 300 tahun kultur air merupakan suatu sistem yang paling sesuai
untuk penelitian-penelitian hara dan metabolisme tanaman hingga saat ini. Beberapa hal
yang menyebabkan hal di atas adalah sistem kultur air memiliki larutan hara yang
homogen, adanya keseragaman seluruh sistem dalam mempengaruhi sistem perakaran,
serta kemungkinan pengaturan kandungan unsur hara yang tepat. Kultur air

Dasar-dasar Hortikultura 2009 – Anas D. Susila 5


Fertigasi Tanaman Sayuran dalam Greenhouse

dikelompokkan ke dalam: (1) Aeroponik, (2) Nutrient Film Tehnique (NFT), dan (3) Deep
Flow Technique (DFT) yang semuanya memiliki tanaman dengan akar yang terbuka (bare
root plant) (Vestergaard, 1984).
Keberhasilan sistem kultur air dipengaruhi oleh beberapa faktor yang langsung
berhubungan dengan perakaran tanaman diantaranya adalah (1) aerasi di zone perakaran (2)
kondisi perakaran, dan (3) sistem penopang tanaman yang memungkinkan tanaman
tumbuh tegak. Manipulasi aerasi di zone perakaran pada sistem kultur air menurut Resh
(1998) dapat dilakukan dengan pemberian udara ke dalam larutan hara tanaman
menggunakan pompa atau kompresor. Disamping itu peningkatan aerasi di zone perakaran
dapat pula dilakukan dengan sirkulasi larutan hara antara bak tanam dengan reservoar hara.
Untuk memenuhi kebutuhan oksigen bagi perakaran menurut Hochmuth (1991) di dalam
kultur air (NFT) paling sedikit 1/3 – 1/2 sistem perakaran seharusnya tidak terendam
larutan hara. Hal ini merupakan kunci perakitan teknologi hidroponik sistem terapung
dimana tidak lagi diperlukan adanya energi listrik untuk menjalankan pompa ataupun
kompresor guna meresirkulasi ataupun meningkatkan aerasi larutan hara.
Pengusahaan kultur air secara komersial untuk produksi tanaman sayuran telah
dilakukan di beberapa negara antara lain Canada (Ingratta et al., 1985), Jepang (Takakura,
1985), Israel (Soffer, 1985), United Kingdom (Hurd, 1985), dan USA (Carpenter, 1985).
Pengusahaan kultur air secara komersial di Jepang mencapai kurang lebih 2000
greenhouse atau sekitar 300 hektar. Unit kultur air sistem Jepang terdiri dari beberapa seri
bak yang terbuat dari plastik yang berukuran lebar 0.8 m dan panjang 3 m dengan
kedalaman 6-8 cm. Tanaman diselipkan dalam lubang pada styrofoam. Larutan hara
dipompakan ke dalam bak selam 10 menit setiap jam, yang bertujuan untuk memelihara
aerasi. Bak selalu penuh dengan larutan hara dimana akar tanaman terendam didalamnya.
Pipa aerasi dapat dipasang pada bak tanam untuk meningkatkan aerasi. Pipa aerasi ini
mempunyai lubang berdiameter 2 mm pada setiap 4 cm panjang pipa (Resh 1998).
Modifikasi kultur air sistem Jepang telah dilakukan oleh Dr. Merle Jensen dari
Environmental Research Laboratory (ERL), Universitas Arizona, Tucson, USA dengan
pengembangan prototipe Raceway, Raft atau Floating System untuk produksi selada antara
tahun 1981-1982 . Dalam percobaan ini dapat dihasilkan 4.5 juta head selada per hektar per
tahun (Jensen dan Collins, 1985). Sistem kultur air ini terdiri dari bak tanam yang relatif
lebih dalam 15-20 cm, dengan lebar 60 cm dan panjang 30 m. Volume larutan hara kurang

Dasar-dasar Hortikultura 2009 – Anas D. Susila 6


Fertigasi Tanaman Sayuran dalam Greenhouse

lebih 3.5 m kubik atau setara dengan 3 600 liter. Hara didalam bak relatif statik dengan
pergerakan hanya 2-3 liter per menit. Dalam penelitian ini juga telah diuji efektivitas
penggunaan alat sterilisasi larutan hara dengan UV-sterilizer terhadap fungi patogenik
maupun non patogenik yang berasosiasi dengan tanaman di dalam greenhouse.
Produksi komersial sayuran daun untuk salad dalam sistem terapung (floating raft
system) telah digunakan di Florida sejak awal tahun 1980-an. (Resh, 1998). Sepuluh
sampai 12 kali panen tanaman selada terutama bibb lettuce dihasilkan dalam greenhouse
yang berpendingin. Dengan jarak tanaman yang rapat sistem ini dapat menghasilkan 1 juta
per acre per tahun tanaman selada yang dapat dipasarkan. Masalah utama dari sistem
komersial ini adalah tingginya modal awal untuk membangun sistem ini, dan biaya teknisi
yang diperlukan untuk mengoperasikan sistem ini. Hal ini menyebabkan sistem terapung
ini sulit diaplikasikan diberbagai tingkat petani. Teknologi hidroponik pasif, low-tech, dan
non recirculating system telah dipelajari di Asian Vegetable Research Center (AVRDC) di
Taiwan dan di Universitas Hawaii (Kratky et al., 1988; Kratky, 1993, 1996). Penelitian
hidroponik terapung untuk produksi tanaman sayuran didalam greenhouse di Florida
menunjukkan hasil yang positif (Fedunak dan Tyson, 1997; Tyson et.al, 1998). Lima dari
tujuh varietas komersial selada berhasil dibudidayakan menggunakan passive floating
hydroponics di luar greenhouse, serta memenuhi persyaratan kualitas untuk dipasarkan
(Tyson et al., 1999).
Teknologi Hidroponik Sistem Terapung (THST) merupakan sistem hidroponik
tanpa substrat yang dikembangkan dari sistem kultur air. Teknologi ini dapat dioperasikan
tanpa tergantung adanya energi listrik karena tidak memerlukan pompa untuk re-sirkulasi
larutan hara. Hal ini menyebabkan THSTmenjadi lebih sederhana, mudah dioperasikan,
dan murah, sehingga berpotensi untuk dikembangkan pada tingkat petani kecil. Studi
pengembangan THST dilakukan untuk mengetahui jenis tanaman, disain panel, jenis dan
volume media, umur bibit, sumber dan konsentrasi larutan hara, pupuk daun dan naungan,
serta pemanfaatan kembali larutan hara yang optimal. Hasil studi menunjukkan bahwa jenis
tanaman yang dapat dibudidayakan dengan THST adalah Caisim (Tosakan), Pakchoy
(White tropical type), Kailan (BBT 35) Kangkung (Bangkok LP1), Selada
(Panorama,Grand Rapids, Red Lettuce, Minetto), dan Seledri (Amigo). Komposisi larutan
hara yang digunakan adalah (ppm) Ca++177, Mg++ 24, K+ 210, NH4+ 25, NO3- 233 , SO4=
113, dan PO4= 60 serta Fe 2.14, B 1.2, Zn 0.26, Cu 0.048, Mn 0.18, dan Mo 0.046.

Dasar-dasar Hortikultura 2009 – Anas D. Susila 7


Fertigasi Tanaman Sayuran dalam Greenhouse

Electrical conductivity (EC) larutan hara optimum berkisar antara 515 - 550 µScm-1.
Namun demikian beberapa tanaman masih dapat tumbuh baik sampai EC 1550 µScm-1.
Jenis media tanam yang dapat digunakan adalah rockwool dan busa sintetik dengan volume
media 20 cm3. Pemanfaatan kembali larutan hara sampai 3 musim tanam masih dapat
mendukung pertumbuhan dan hasil Selada (Panorama, Minetto) dan Kangkung, akan
tetapi kurang baik untuk sayuran daun lain. Aplikasi pupuk daun dan naungan 55% yang
diharapkan dapat memperbaiki kualitas dan kuantitas hasil ternyata tidak dapat
meningkatkan pertumbuhan dan hasil Kailan, Selada, maupun Seledri. (Susila, 2003)

Kualitas Air
Kualitas air merupakan faktor utama yang perlu dipertimbangakan dalam budidaya
tanaman secara hidroponik. Tanaman terdiri atas 80 – 90% air (Salisbury and Ross 1978)
sehingga ketersediaan air yang berkualitas sangat penting untuk mendukung keberhasilan
proses budidayanya (Portree 1996, Styer and Koranski 1997). Kualitas air dapat di tentukan
dari apa yang terkandung di dalam sumbernya (sumur atau sungai), juga tingkat
kemasamannya. Air adalah pelarut yang dapat mengandung jumlah tertentu garam-garam
terlarut. Salah satu garam terlarut tersebut adalah pupuk. Untuk menyediakan sumber hara
yang cukup bagi tanaman pupuk perlu dilarutkan di dalam air.
Kualitas air dapat ditentukan dengan dengan keberadaan partikel fisik (pasir,
limestone, bahan organik), jumlah bahan terlarut (hara dan bahan kimia non hara), dan pH
air. Beberpa hal yang berhubungan dengan kualitas air yang perlu di chek di laboratorium
adalah electrical conduktivity (EC), pH, konsentrasi sulfate (SO4), sodium (Na), besi (Fe),
dan bikarbonat (HCO3). Kesadahan air berhubungan juga dengan kandungan Ca dan Mg
yang juga perlu diperhitungkan juga dalam penghitungan pupuk (Hochmuth, 1991).
Air dengan nilai EC lebih besar dari 1.5 dS.m-1 (1.5 mmhos per cm), termasuk
kategori kurang baik untuk budidaya tanaman dalam greenhouse. Bila kandungan N, P, K
dalam air masing-masing lebih besar daripada 5 ppm, terindikasi bahwa air tersebut
terkontaminasi akan tetapi hal ini tidak menjadi masalah bila untuk pertumbuhan tanaman.
Kandungan Ca, Mg, dan bikarbonat yang tinggi pada air irrigasi dapat menyebabkan
pengendapan berupa magnesium dan calsiun carbonat. Demikian juga bila kandungan Fe
lebih besar dari 0.5 ppm. Konsentrasi S yang tinggi sebenarnya tidak membahayakan
tanaman, akan tetapi kandungan S yang tinggi ini dapat menyebabkan tingginya populasi
bakteri sulfur yang akhirnya dapat menyumbat emiter. Konsentrasi bikarbonat yang

Dasar-dasar Hortikultura 2009 – Anas D. Susila 8


Fertigasi Tanaman Sayuran dalam Greenhouse

melebihi 60 ppm dikategorikan tinggi dan dapat meningkatkan pH larutan (Hochmuth,


1991)
Sebelum menggunakan air dari berbagai sumber untuk budidaya tanaman
pertanian sebaiknya dilakukan analisis dahulu. Analisis kualitas air biasanya terkait dengan
berbagai garam terlarut yang terkandung di dalamnya. Maksimum konsentrasi yang
diperkenankan dalam part per millions (ppm) garam-garam terlarut untuk budidaya
tanaman di dalam greenhouse disajikan pada Tabel 1. Parts per million (ppm) adalah satu
satuan pengukuran jumlah ion terlarut, atau garam terlarut, dan biasanya digunakan untuk
mengukur konsentrasi garam-garam pupuk di dalam larutan hara. Tingkat konsentrasi ion
terlarut dapat juga dinyatakan dalam milligrams/Liter larutan. Terdapat hubungan antara
milligrams/Liter (mg/L) dan ppm, dimana 1 mg/L = 1 ppm.
Uji kualitas air juga meliputi pH atau tingkat kemasaman air. Sekalipun suatu
sumber air telah ditetapkan sebagai sebagai sumber air yang baik untuk produksi tanaman
di dalam greenhouse , namun harus tetap dimonitor secara rutin untuk memastikan bahwa
terjadinya fluktuasi kualitas air tidak mempengaruhi produksi tanaman.

Electrical Conductivity (EC)


Hasil analisis air juga dilakukan terhadap Electrical Conductivity atau E.C air.
Kemampuan air sebagai penghantar listrik dipengaruhi oleh jumlah ion atau garam yang
terlarut di dalam air. Semakin banyak garam yang terlarut semakin tinggi daya hantar
listrik yang terjadi. EC merupakan pengukuran tidak langsung terhadap konsentrasi garam
yang dapat digunakan untuk menentukan secara umum kesesuaian air untuk budidaya
tanaman dan untuk memonitor konsentrasi larutan hara. Pengukuran EC dapat digunakan
untuk mempertahankan target konsentrasi hara di zone perakaran yang merupakan alat
untuk menentukan pemberian larutan hara kepada tanaman.
Satuan pengukuran EC adalah millimhos per centimeter (mmhos/cm),
millisiemens per centimeter (mS/cm) atau micro-siemens per centimeter. Air yang
sesuai untuk budidaya tanaman di dalam greenhouse sebaiknya mempunyai E.C. yang
tidak melebihi1.0 mmhos/cm. (EC=1).

Dasar-dasar Hortikultura 2009 – Anas D. Susila 9


Fertigasi Tanaman Sayuran dalam Greenhouse

Tabel 1. Konsentrasi maksimum ion garam terlarut dalam air untuk budidaya tanaman di
dalam Greenhouse (ppm).

Elemen Kosentrasi Maksimum


(ppm)
Nitrogen (NO3 - N) 5
Phosphor (H2PO4 - P) 5
Potassium (K+) 5
Calsium (Ca++) 120
Magnesium (Mg++) 25
Chlorida (Cl-) 100
Sulphat (SO4--) 200
Bicarbonat (HCO3-) 60
Sodium (Na++) 30
Iron (Fe+++) 5
Boron (B) 0.5
Zinc (Zn++) 0.5
Manganese (Mn++) 1.0
Copper (Cu++) 0.2
Molybdenum (Mo) 0.02
Fluoride (F-) 1
pH 75
E.C. 1

Kemasaman (pH) Air


Kemasaman dan kebasaan dari air dinyatakan dalam pH (Styer and Koranski
1997), dan diukur dalam skala 0 sampai 14. Angka yang semakin rendah menunjukkan
kondisi larutan yang semakin masam, sebaliknya semakin tinggi pH semakin alkalin
(Boikess and Edelson 1981). Skala pH adalah logaritmik, artinya peningkatan 1 angka,
misalnya 4 ke 5 menunjukkan 10 kali meningkat alkalinitasnya, demikian juga sebaliknya.
Pada lokasi tertentu pH air cukup alkalin dengan pH 7.0 sampai 7.5. Alkalinitas air
ini meningkat dengan meningkatnya konsentrasi Bicarbonat (HCO3-). Pengukuran pH
mencerminkan reaksi kimia air dan larutan hara. Kondisi pH larutan hara sangat
menentukan tingkat kelarutan unsur hara, dan ketersediaan hara bagi tanaman (Portree
1996, Styer dan Kornaski 1997).
Kondisi pH optimum larutan hara, yang mencerminkan ketersediaan hara bagi
tanaman berkisar dari 5.5 - 6.0 (Portree 1996). Pengaturan pH larutan dapat dilakukan
dengan menggunakan larutan asam : asam phosphat, asam nitrat. Ketika bahan-bahan

Dasar-dasar Hortikultura 2009 – Anas D. Susila 10


Fertigasi Tanaman Sayuran dalam Greenhouse

tersebut digunakan kandungan N, P yang terikut harus diperhitungkan dalam pemberian


hara.
Jumlah asam yang diperlukan untuk mengatur pH biasanya tergantung konsentrasi
bicarbonate (HCO3-) di dalam air. Jumlah ini diketahui dari analisis air yang dinyatakan
dalam ppm. Target pH larutan hara biasanya 5.8 atau setara dengan 60 ppm konsentrasi
bicarbonate. Bila kandungan air yang digunakan untuk melarutkan hara mempunyai pH 8.1
dan bicarbonat 207 ppm, maka 200 ppm - 60 ppm = 140 ppm bicarbonat yang perlu
dinetralkan untuk mengurangi pH dari 8.1 menjadi 5.8.
Untuk menetralkan 61 ppm atau 1 miliequivalen bicarbonate memerlukan kurang
lebih 70 ml asam phosphat 85%, atau 84 ml asam nitrat 67% per 1000 liter air. Sehingga
untuk menetralkan 140 bicarbonat diperlukan , sebagai berikut:

Menggunakan Asam phosphat 85%


140/61 =2.3 milliequivalen bicarbonate yang harus dinetralkan 2.3 milliequivalen x 70 ml
asam phosphat 85% untuk setiap miliequivalen quivalent = 2.3 x 70 ml = 161 ml asam
phosphat 85% untuk setiap 1000 liter air.

Menggunakan Asam Nitrat 67%


2.3 milliequivalen bicarbonate yang harus dinetralkan. 2.3 milliequivalen x 76 ml per
milliequivalen = 2.3 x 76 ml = 175 ml Asam Nitrat 67% untuk setiap 100 liter air
Penghitungan tersebut harus dilakukan untuk setiap sumber air sesuai dengan hasil analisis
kandungan bicarbonat. Asam mempunyai sifat yang korosif sehingga harus ditangani
secara hati-hati.

Unsur Hara Tanaman


Pertumbuhan dan hasil tanaman yang optimum dapat dicapai dengan pemberian
larutan hara sesuai dengan kebutuhan tanaman. Meskipun unsur hara tanaman sangat
kompleks, namun demikian kebutuhan dasar terhadap hara dalam budidaya tanaman
secara hidroponik telah diketahui. Terdapat 13 unsur hara essensial untuk pertumbuhan
tanaman. Air (H2O) dan karbon dioksida (CO2) juga essensial untuk tanaman. Hidrogen,
Carbon dan Oksigen juga diperlukan untuk pertumbuhan tanaman mengakibatkan total
hara essensial sebanyak 16 elemen (Salisbury and Ross 1978).
Kriteria hara esensial adalah apabila tanaman tidak dapat melengkapi siklus
hidupnya tanpa adanya hara tersebut (Salisbury and Ross 1978). Beberapa unsur Na, Cl,

Dasar-dasar Hortikultura 2009 – Anas D. Susila 11


Fertigasi Tanaman Sayuran dalam Greenhouse

dan Si tidak tergolong essensial namun mempengaruhi pertumbuhan tanaman atau juga
unsur esensial bagi tanaman tertentu (Wilson and Loomis 1967, Salisbury and Ross 1978,
Styer and Koranski 1997).
. Unsur hara essensial dapat dikelompokkan menjadi hara makro dan hara mikro.
Hara makro diperlukan dalam jumlah yang lebih banyak untuk pertumbuhan tanaman dari
pada hara mikro (Salisbury and Ross 1978). Hara esensial untuk pertumbuhan tanbaman
disjikan pada Tbel 2. Pengelompokan lain berdasarkan mobilitas unsur hara di dalam
tanaman . Hara mobil adalah hara yang ditranslokasikan dari daun tua ke daun muda
contohnya nitrogen (Salisbury and Ross 1978). Calsium adalah contoh unsur hara yang
tidak mobil, dimana bila sudah ditranlokasikan di suatu bagian tanaman Ca tidak bisa di re-
translokasikan di dalam phloem ke tempat lain. (Salisbury and Ross 1978).

Table 2. Hara Esensial untuk Pertumbuhan Tanaman


Element Simbol Tipe Mobilitas Gejala Defisiensi
Nitrogen N makro mobil Tanaman hijau muda, daun
tua menguning
Phosphorus P makro Mobil Tanaman hijau tua berubah
keunguan
Potassium K makro Mobil Tepi daun tua hijau
kekuningan
Magnesium Mg makro Mobil Interveinal chlorosis,
Chlorosis mulai dari daun
tua berubah ke nekrosis,
Calcium Ca makro Imobil Die back daun muda (tip
burn) Blossom end rot of
fruit (tomat and paprika).
Sulfur S makro Immobil Warna daun hijau muda.
Iron Fe mikro Immobil Interveinal chlorosis,
dengan “netted pattern”.
Manganese Mn mikro immobil Interveinal chlorosis, dengan
“netted pattern”.
Boron B mikro Immobil Pucuk terminal menjadi
hijau muda, dan mati.
Copper Cu mikro Immobil Daun muda rontok, dan
kelihatan layu.
Zinc Zn mikro Immobil interveinal chlorosis daun
tua
Molybdenum Mo mikro Immobil Daun bagian bawah pucat

Dasar-dasar Hortikultura 2009 – Anas D. Susila 12


Fertigasi Tanaman Sayuran dalam Greenhouse

Air merupakan komponen penting dalam penyerapan ion oleh tanaman, dan hara
hanya terjadi bila dalam larutan. Dalam kondisi padat ion-ion hara berada dalam bentuk
garam (Boikess and Edelson 1981). Bila tidak ada air ion hara yang bermuatan berlawanan
akan bergabung membentuk garam yang padat yang stabil. Contohnya, anion nitrate
(NO3-) pada umumnya bergabung dengan calsium kation (Ca+2) atau potassium (K+)
membentuk garam calsium nitrat Ca(NO3)2 dan potassium nitrat (KNO3). Ketika garam-
garam ditambahkan ke dalam air ia akan larut dan berdisosiasi menjadi kation dan anion.
Dalam keadaan terlarut inilah hara akan tersedia bagi tanaman. Beberapa hal penting yang
perlu diingat adalah bahwa garam-garam mempunyai tingkat kelarutan yang berbeda..
Calcium sulfate (CaSO4) relatif tidak mudah larut sehingga kurang baik untuk pupuk, sebab
hanya sedikit sekali kation Calsium (Ca++) yang tersedia bagi tanaman. Bentuk unsur hara
mineral yang tersedia bagi tanaman disajian pada Tabel 3.

Tabel 3. Bentuk Unsur Hara Mineral yang Tersedia bagi Tanaman

Unsur Simbol Bentuk tersedia Simbol


Macronutrients
Nitrogen N Nitrate ion NO3-
Ammonium ion NH4+
Phosphor P Monovalent phosphate ion H2PO4-
Divalent phosphate ion HPO4-2
Potassium K Potassium K+
Calcium Ca Calcium ion Ca+2
Magnesium Mg Magnesium ion Mg+2
Sulfur S Divalent sulfate ion SO4-2
Chlorine Cl Chloride ion Cl-

Micronutrients
Iron/Besi Fe Ferrous ion Fe-2
Ferric ion Fe-3
Manganese Mn Manganous ion Mn+2
Boron B Boric acid H3BO4
Copper Cu Cupric ion chelate Cu+2
Cuprous ion chelate Cu+
Zinc Zn Zinc ion Zn+2
Molybdenum Mo Molybdate ion MoO4-

Beberapa unsur mikro disamping dalam bentuk garam, biasanya juga dalam
bentuk Chelat; Besi, Zinc, Mangan and Copper. Chelate adalah bahan yang mudah larut
yang terbentuk ketika atom tertentu bereaksi dengan molekul organik tertentu. Garam-

Dasar-dasar Hortikultura 2009 – Anas D. Susila 13


Fertigasi Tanaman Sayuran dalam Greenhouse

garam sulfat dari Fe, Zn, Mn, dan Cu biasanya kelarutannya rendah, dan dalam bentuk
chelate unsur tersebut akan mudah tersedia bagi tanaman (Boikess and Edelson 1981).

Program Pemupukan
Larutan hara untuk pemupukan tanaman hidroponik di formulasikan sesuai dengan
kebutuhan tanaman menggunakan kombinasi garam-garam pupuk. Jumlah yang diberikan
disesuaikan dengan kebutuhan optimal tanaman. Program pemupukan tanaman melaui
hidroponik walaupun kelihatannya sama untuk berbagai jenis tanaman sayuran, akan tetapi
terdapat perbedaan kebutuhan setiap tanaman terhadap hara. Pupuk yang dapat digunakan
dalam sistem hidroponik harus mempunyai tingkat kelarutan yang tinggi .

Larutan Hara
Dua ringkasan tulisan terbaik tentang perkembangan budidaya tanaman secara
hidroponik telah ditulis oleh Cooper (1979) untuk sistem komersial dan ditulis oleh Jones
(1982) untuk tujuan akademik. Dalam tulisan ini dikemukakan bahwa telah banyak
diformulasikan berbagai macam hara untuk hidroponik, akan tetapi pada dasarnya
penggunaan hara standar untuk tujuan komersial saat ini tidak berubah banyak dari
komposisi hara tanaman yang didiskripsikan para ahli pada tahun 1800-an.
Sebagian besar tanaman hijau memerlukan total 16 elemen kimia untuk
mempertahankan hidupnya. Dari total elemen ini hanya 13 yang dapat diberikan sebagai
pupuk lewat perakaran tanaman, sedangkan 3 yang lain (Okisgen, Karbon dan Hidrogen)
dapat diambil dari udara dan air (Mengel dan Kirkby, 1987). Dalam budidaya tanaman
terkendali yang menggunakan tanah sebagai media, hanya sebagian kecil dari 13 unsur hara
yang perlu menjadi perhatian. Sebab unsur yang diperlukan dalam jumlah kecil (hara
mikro) dapat disuplai oleh tanah. Sehingga sebagian besar budidaya tanaman dalam
greenhouse yang secara tradisional menggunakan tanah sebagai media hanya diberikan
unsur makro N,P,K saja untuk pemupukannya.
Budidaya tanaman secara hidroponik memungkinkan petani mengontrol
pertumbuhan tanaman, akan tetapi juga memerlukan kemampuan manajemen yang tepat
untuk mencapai keberhasilan. Petani hidroponik tidak hanya harus memberikan 6 hara
makro ( N, P, K, Ca, Mg, S) saja, akan tetapi harus juga memberikan 7 hara mikro (Fe, Mn,
Cu, Zn, Mo, B) untuk mendukung pertumbuhan tanaman (Gerber, 1985).

Dasar-dasar Hortikultura 2009 – Anas D. Susila 14


Fertigasi Tanaman Sayuran dalam Greenhouse

Konsentrasi Hara
Menurut Hewitt (1966) terdapat kurang lebigh160 hara berdasar bentuk garam dan
kandungan individual elemennya. Sedangkan menurut Resh (1998) terdapat hanya sekitar
30 komposisi hara tanaman. Namun demikian masih saja hal ini membingung bagi calon
pengguna untuk memilih hara tanaman yang cocok untuk budidaya tanaman tertentu.
Beberapa larutan hara untuk budidaya tanaman tanpa tanah yang populer sampai saat ini
adalah seperti terlihat pada Tabel 4.

Table 4. Konsentrasi Hara (ppm) Beberapa Larutan Standar untuk Budidaya Tanaman
Tanpa Tanah
Nutrient Hoagland Cooper Modified Wilcox 1 Wilcox 2
and Arnon Steiner
N 210 200 171 132 162
P 31 60 48 58 58
K 234 300 304 200 284
Ca 200 170 180 136 136
Mg 48 50 48 47 47
Fe 5 12 3 4 4
Mn 0.5 2 1 0.5 0.5
B 0.5 1.5 0.3 1.5 1.5
Zn 0.05 0.1 0.4 0.3 0.3
Cu 0.02 0.1 0.2 0.1 0.1
Mo 0.01 0.2 0.1 0.1 0.1
Sumber: Gerber (1985)

Larutan hara Hoagland dan Arnon pertama kali dikembangkan untuk tanaman
tomat akan tetapi digunakan juga sebagai larutan standar untuk berbagai penelitian pada
kultur air. Larutan Cooper adalah larutan hara ideal untuk budidaya tanaman secara NFT.
Larutan Wilcox-1 adalah dirancang untuk persemaian tanaman selada dan tomat. Pada saat
tanaman tomat berkembang dari fase vegetatif menuju fase generatif pada larutan Wilcox-2
unsur N dan P ditingkatkan. Akan tetapi peningkatan unsur K lebih tinggi dibanding unsur
K untuk mendukung pertumbuhan buah (Gerber, 1985).

Dasar-dasar Hortikultura 2009 – Anas D. Susila 15


Fertigasi Tanaman Sayuran dalam Greenhouse

Pengelolaan Larutan Hara


Penghitungan jumlah pupuk yang dilakukan secara tepat dan akurat, sehingga
didapatkan konsentrasi akhir individual unsur yang dikehendaki, merupakan hal yang
sangat kritis dalam keberhasilan program pemupukan. Dalam hampir semua sistem
produkasi tanaman secara hidroponik, paling sedikit diperlukan 2 tangki larutan stok untuk
pencampuran hara. Hal ini dilakukan karena terdapat beberapa jenis sumber pupuk yang
mengalami reaksi pengendapan bila dicampur dalam keadaan konsentrasi tinggi. Pada
umumnya endapan calsium phosphat terbentuk bila calsium nitrat dicampur dengan
beberapa sumber phosphat. Juga endapan calsium sulfat akan terbentuk bila terjadi
pencampuran calsium nitrate dengan magnesium sulfat. Pengelompokan stok hara dapat
dibuat sebagai berikut: Stok A yang berisi potasium nitrat, calsium nitrat, Fe EDTA, dan
Stok B yang berisi sumber phospor, magnesium sulfate, hara-mikro, potasium chlorida,
juga potassium nitrat (Hochmuth, 1991).
Status larutan hara harus selalu dimonitor dan dikontrol secara kontinyu. Pada saat
ini penggunaan kontrol elemen secara individual belum banyak diterapkan pada sistem
hidroponik untuk tujuan komersial. Biasanya larutan hara dikontol dengan mengukur total
konsentrasi garamnya, dan dibaca dalam satuan electrical conductivity (EC). Sebagaian
besar tanaman dapat tumbuh baik dalam larutan hara yang mempunyai level EC antara 1.8
– 3.5, dan hal inipun tergantung dari jenis tanaman, radiasi matahari, suhu, dan kualitas air.
Didalam sistem resirkulasi biasanya sering terjadi kesalahan pembacaan karena terjadinya
perubahan kandungan unsur secara individual selama proses pertumbuhan tanaman
(Gerber, 1985)
Di dalam budidaya tanaman tanpa tanah, kondisi pH di zone perakaran tanaman
biasanya meningkat dengan berjalannya waktu. Penambahan larutan asam biasanya
diperlukan untuk mempertahankan pH larutan antara 5.5-6.5. Pada umumnya asam nitrat
atau phosphat dapat digunakan untuk penurunan pH. Bila diperlukan untuk penigkatan pH
larutan yang bisa digunakan adalah potasium hidroksida. Bila sumber air ber pH tinggi
karena adanya bikarbonant, pH seharusnya diturunkan sebelum pupuk dilarutkan untuk
menjaga terjadinya pengendapan (Cooper, 1979).
Kebutuhan konsentrasi berbagai macam hara biasanya dinyatakan dalam parts per
million (ppm). Rekomendasi konsentrasi hara untuk budidaya paprika di dalam
Greenhouse secara hidroponik disajikan dalam Tabel 5. Target konsentrasi semua unsur

Dasar-dasar Hortikultura 2009 – Anas D. Susila 16


Fertigasi Tanaman Sayuran dalam Greenhouse

hara disajikan kecuali Sulfur dan Chloride. Hal ini dilakukan karena S sudah terbawa
dalam K-sulfat, atau Mg-Sulfat. Chloride biasanaya ditemukan dalam jumlah yang cukup
dalam pupuk sebagai bahan bawaan. Apabila kebutuhan hara sudah diketahui maka
formulasi kebutuhan pupuk dapat ditentukan.
Beberapa informasi dasar diperlukan dalam memformulasikan pupuk adalah:
1. Volume larutan stok dan volume akhir yang diperlukan.
2. Jenis pupuk yang diperlukan serta kandungan hara di dalam pupuk tersebut.

Table 5. Traget konsentrasi larutan hara untuk budidaya paprika di dalam Greenhouse.

Hara Resh (ppm) Agrotisari PT Joro Target (ppm)


(ppm) (ppm)
Nitrogen 142 99.1 218 (NO3), 200
10.1 (NH4)
Phosphorus 24 58 97.9 55
Potassium 152 214 346 318
Calcium 114 64.4 174.2 200
Magnesium 22 38.8 59.6 55
Sulfur 34 52 139 -
Iron 1 1.6 0.78 3.00
Manganese 0.3 0.44 0.3 0.50
Copper 0.04 0.4 0.05 0.12
Molybdenum 0.03 0.3 0.065 0.12
Zinc 0.3 0.54 3.5 0.20
Boron 0.3 0.24 0.28 0.90

Target Pemupukan dan Keseimbangan Fase Tumbuh Tanaman


Pemberian hara meningkat jumlahnya sesuai dengan tingkat pertumbuhan
tanaman. Hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan EC larutan hara mulai dari EC 2.5
pada stadia vegetatif menjadi EC 3.0 mmhos pada fase generatif.
Peningkatan EC meningkatkan konsentrasi total garam terlarut, akan tetapi tidak
merubah rasio unsur hara yang terkandung di dalamnya. Peningkatan konsentrasi hara di
zone perakaran akan memnyebabkan tanaman mengalami stress karena kesulitan
menyerap air dari media. Respon tanaman dalam mengatasi stress tersebut adalah dengan
merubah kecenderungan pertumbuhan ke fase generatif (bunga dan buah). Salah satu
tantangan dalam memproduski tanaman adalah bagaimana menghasilkan tanaman dengan
pertumbuhan vegetatif yang bagus dan dilanjutkan dengan pembentukan buah yang

Dasar-dasar Hortikultura 2009 – Anas D. Susila 17


Fertigasi Tanaman Sayuran dalam Greenhouse

optimum sepanjang musim tanam. Beberapa pengaruran keseimbangan fase


vegetative/generative dapat dilakukan dengan pengaturan rasio hara khususnya Nitrogen –
Potasium. Target nilai absolute dan relative rasion antara N, P, K dan Ca dalam
budidaya sayuran disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Target nilai absolute dan relative rasion antara N, P, K dan Ca dalam
budidaya sayuran (E.C. of 2.5 mmhos)

Tanaman Target Hara(ppm) Rasio Hara


N K Ca N K Ca
Mentimun 200 300 173 1.00 1.51 0.86
Paprika 214 318 200 1.00 1.48 0.93

N:K rasio yang disajikan pada Tabel 6 adalah 1:1.5. Peningkatan level K akan
meningkatkan rasio menjadi 1:1.7 dan mengarahkan tanaman untuk mengalami
pertumbuhan generatif. Hal ini disebabkan karena N mendorong pertumbuhan vegetative,
sedangkan K mendorong pertumbuhan generative dan pematangan buah. Calsium juag
penting untuk mendorong pertumbuhan jaringan, buah dan pematangan buah. Calsium
biasanya mempunyai perbandingan yang seimbang dengan nitrogen. Rario N:Ca = 1:1,
cocok untuk paprika dan tomat, sementara itu rasio N:Ca= 1:0.85 cocok untuk tanaman
mentimun.

Formulasi pupuk untuk Hidroponik


Penghitungan pupuk untuk budidaya tanaman secara hidroponik biasanya
cukup rumit, karena menyangkut berbagai macam unsur yang berasal dari
berbagai macam sumber pupuk. Beberapa garam pupuk tersebut ada yang
berbentuk tungal maupun majemuk. Program computer “IFF SYSTEM” telah
dikembangkan untuk memperudah penghitungan hara untuk budidaya sayuran
secara hidroponik berdasar kebutuhan hara tanaman dan kandungan analisis
air (Susila, 2001). Beberapa sumber pupuk yang dapat dipergunakan dalam
formulasi pupuk hidroponi disajikan dalam Tabel 7.

Dasar-dasar Hortikultura 2009 – Anas D. Susila 18


Fertigasi Tanaman Sayuran dalam Greenhouse

Tabel 7. beberapa jenis pupuk untuk formulasi hara tanaman pada program budidaya
tanaman sayuran secara hidroponik

Hara Pupuk Hara


Hara Makro
Nitrogen Calcium nitrate 15.5% nitrogen (NO3-N)
15.5-0-0 19% calcium
Potassium nitrate 13% nitrogen (NO3-N)
13-0-44 37% potassium
Ammonium nitrate 17% nitrogen (NO3-N)
34-0-0 17% nitrogen (NH4-N)
Phosphorus Monopotassium phosphate 23% phosphorus
0-53-44 29% potassium
Potassium Potassium nitrate 37%potassium
13-0-44 13% nitrogen (NO3-N)
Potassium sulfate 41.5% potassium
0-0-50 17% sulfur
Monopotassium phosphate 23% phosphorus
0-53-44 29% potassium
Potassium chloride 49% potassium
0-0-60 26% chlorine
Calcium Calcium nitrate 19% calcium
15.5-0-0 15.5% (NO3-N)
Calcium chloride 27% calcium
CaCl2-2H2O 48% chlorine
Magnesium Magnesium sulfate 10% magnesium
MgSO4-7H2O 13% sulfur
Magnesium nitrate 10% magnesium
Mg(NO3)2-6H2 11% nitrogen (NO3-N)
Sulfur Magnesium sulfate 10% magnesium
MgSO4-7H2O 13% sulfur
Potassium sulfate 41.5% potassium
0-0-50 17% sulfur
Chlorine Calcium chloride 27% calcium
CaCl2-2H2O 48% chlorine
Potassium chloride 49% potassium
0-0-60 26% chlorine
Hara Mikro
Iron Iron chelate 13% iron
Manganese Manganese chelate 13% manganese
Copper Copper chelate 14% copper
Molybdenum Sodium molybdate 39% molybdenum
Boron Borax 15% boron

Dasar-dasar Hortikultura 2009 – Anas D. Susila 19


Fertigasi Tanaman Sayuran dalam Greenhouse

Pedoman Pencampuran Pupuk Hidroponik


Volume larutan hara yang dibutuhkan setiap hari sangatlah besar, sangatlah tidak
praktis apabila mencampur larutan hara setiap hari. Oleh karena itu pencampuran larutan hara
biasasanya dilakukan dengan membuat konsentrasi tinggi (100 sampai 200 kali) sebagai
larutan stok. Hal ini juga dilakukan untuk memudahkan penyimpanan dalam volume stok
yang tidak terlalu besar. Selanjutnya pada saat aplikasi dilakukan kembali pengencerean
larutan stok tersebut.
Setelah jumlah dan jenis berbagai pupuk telah diketahui selanjutnya dilakukan
pencampuran hara. Sebagian besar produksi sayuran dalam greenhouse secara komersial
menggunakan 2 tangki larutan stok, meskipun beberapa menggunakan tangki ketiga untuk
larutan asam.
Beberapa Tips pencampuran larutan hara:
1. Pililah sumber pupuk yang mempunyai kualitas yang baik dan kelarutan yang
tinggi.
2. Ketika bekerja dengan larutan berkonsentrasi tinggi janganlah mencampur
pupuk yang mengandun Calsium (contoh calsium nitrat) dengan pupuk lain
yang mendandung phosphat (contoh. monopotassium phosphate) atau sulfat
(contoh. potassium sulfat, magnesium sulfat). Ketika pupuk yang mengandung
calsium, phosphate, sulfat dicampur dalam konsentrasi tinggi akan terjadi
pengendapan dalam calsium phosphat and calsium sulfat. Endapan ini akan
menggumpal di dasar tangki dan dapat menyumbat emitter pada jaringan irigasi
tetes.
3. Gunakanlah air panas untuk mencapur pupuk di masing-masing Tangki. Akan
tetapi masukkanlah hara mikro pada saat air sudah menjadi hangat, dan tidak
panas.
4. Aduklah terus pada saat pupuk ditambahkan ke tangki larutan hara.
Bila menggunakan pupuk tambahan pastikan bahwa calsium tidak tercampur
dengan phosphate atau sulfate. Pada umumnya sumber pupuk nitrat dapat ditambahkan ke
Tangki A, sedangkan yang lain di Tangki B. Besi (Fe) selalu tambahkan ke Tanggki A
untuk menghidari reaksi dengan phosphate yang dapat mengakibatkan pengendapan yang
mengakibatkan tanaman dapat kekurangan besi (Wieler and Sailus 1996), apabila
menggunakan asam untuk koreksi pH dapat ditambahkan di Tangki A atau B, atau dapat

Dasar-dasar Hortikultura 2009 – Anas D. Susila 20


Fertigasi Tanaman Sayuran dalam Greenhouse

ditambahkan di tangki C. Apabila menggunakan potassium bicarbonate diperlukan untuk


menaikkan pH buatlah di Tangki C. Isi masing larutan stock disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8. Isi Masing-masing Tangki Stok Larutan Hara A dan B

Tangki A Tangki B
Calcium nitrate Potassium nitrate (Setengah jumlah
total)
Potassium nitrate (Sengah jumlah total) Magnesium sulfate
Iron chelate Monopotassium phosphate
Potassium sulfate
Manganese chelate
Zinc chelate
Copper chelate
Sodium molybdate
Boric acid

Aplikasi Pupuk dan Air (Fertigasi)

Air dan pupuk diberikan secara bersamaan sebgai larutan hara. Jumlah air dan hara
akan selalu berubah sesuai dengan umur dan pertumbuhan tanaman. Kebutuhan
tananaman terhadap hara dan terus meningkat sejak persemaian sampai tanaman
menghasilkan . Secara umum pengaruh frekuensi penyiraman berpengaruh terhadap hasil
tanaman paprika yang dibudidayakan secara hidroponik disajikan pada Tabel 9 dan Tabel
10. Penyiraman sebanyak 250 ml 4 atau 5 kali sehari sesui dengan jadwal memberikan
hasil terbaik bagi tanaman paprika.

Tabel 9. Jadwal Fertigasi pada Budidaya Paprika secara Hidroponik

Fekuensi Penyiraman Waktu Penyiraman


(250 ml)
3x 7.30 11.00 14.30
4x 7.30 9.30 13.30 16.30
5x 7.30 9.30 11.00 13.30 16.30
6x 7.30 9.30 11.00 13.30 14.30 16.30

Dasar-dasar Hortikultura 2009 – Anas D. Susila 21


Fertigasi Tanaman Sayuran dalam Greenhouse

Tabel 10. Pengaruh Frekuensi Penyiraman terhadap hasil buah Paprika

Peubah Varietas Frekuensi Penyiraman (250 ml larutan hara)


3X 4X 5X 6X
Bobot per Spartacus 105 108 111 103
Buah (g) GoldFrame 108 110 113 105
Bobot Spartacus 634 785 625 559
buah/tanaman GoldFrame 603 661 742 616
(g)
Jumlah Spartacus 6 7.3 5.6 5.4
buah/tanaman GoldFrame 5.6 6.1 6.6 5.9
Ketebaln Spartacus 55.6 5.6 5.5 5.2
daging buah GoldFrame 5.0 5.1 5.2 5.2
(mm)

Secara umum lebih baik meningkatkan frekuensi penyiraman daripada


meningkatkan jumlah air yang diberikan pada tanaman yang mendekati masa panen.
Frekuensi pemberian air juga dapat untuk mengatur keseimbngan fase vegetative/generatif
tanaman. Pada jumlah volume yang tetap semakin banyak frekuansi penyiraman tanaman
akan cenderung mengalami pertumbuhan vegetative, sebaliknya semakin jarang frekuensi
cenderung mendorong pertumbuhan generative.

Gambar 1. Skema Umum Monitoring Larutan Hara

Jadwal fertigasi untuk budidaya tanaman sayuran di dalam greeenhouse secara


hidroponik serta kirsan pH masuk dan pH keluar disajikan pada Tabel 11. Pengukuran EC
larutan hara dapat dipakai sebagai ukuran tingkat pemberian hara bagi tanaman. EC larutan
hara yang memiliki target nitrogen 200 ppm kira-kira sebesar 2.5 mmhos. Tentu saja
jumlah hara yang lain secara proporsional mengikuti jumlah nitrogen. Monitoring EC dan
pH dapat dilakukan pada EC masuk (sebelum melewat media tanam) dan EC keluar

Dasar-dasar Hortikultura 2009 – Anas D. Susila 22


Fertigasi Tanaman Sayuran dalam Greenhouse

(setelah melewati media tanam). Hal ini dapat memantau kecukupan hara selama
pertumbuhan tanaman. Tingkat pH optimum adalah 5.8, aktivitas perakaran biasanya
dapat menurunkan pH sekitar perakaran untuk mengatasi hal tersebut perlu digunakan
pupuk yang tidak bersifat masam. Tidak direkomendasikan menggunakan pupuk masam
pada pH larutan 5.5. Penggunaan ammonium nitrat at 2 to 5 ppm of ammonium nitrogen
(NH4 - N) akan menurunkan pH perakaran akera pengaruh asam dari pupuk tersebut

Tabel 11. Jadwal Fertigasi unuk Budidaya Tanaman Sayuran secara Hidroponik

Umur Waktu pemberian (WIB) Vol. EC (mS/cm)


tanaman Suhu<30,RH Suhu >30, (ml/ta Masuk Keluar
>50% RH <50% n)
Fase Veg. I 07.00 07.00 100 1.6-1.7 1.3-1.8
(1-6 MST) 09.00 09.00 100 1.6-1.7 1.3-1.8
11.00 10.30 100 1.6-1.7 1.3-1.8
13.00 12.00 100 1.6-1.7 1.3-1.8
15.00 13.30 100 1.6-1.7 1.3-1.8
15.00 100 1.6-1.7 1.3-1.8
Fase Veg II 07.00 07.00 150 1.8-1.9 2.0-2.1
(6-8 MST), 09.00 09.00 150 1.8-1.9 2.0-2.1
Berbunga 11.00 10.30 150 1.8-1.9 2.0-2.1
dan mulai 13.00 12.00 150 1.8-1.9 2.0-2.1
berbuah 15.00 13.30 150 1.8-1.9 2.0-2.1
15.00 150 1.8-1.9 2.0-2.1
Fase Gen. 07.00 07.00 250 2.0-2.1 2.1-2.2
(>8 MST) 09.00 09.00 250 2.0-2.1 2.1-2.2
Pematangan 11.00 10.30 250 2.0-2.1 2.1-2.2
buah 13.00 12.00 250 2.0-2.1 2.1-2.2
15.00 13.30 250 2.0-2.1 2.1-2.2
15.00 250 2.0-2.1 2.1-2.2

Penyiraman pada malam hari dapat meningkatkan perkembangan buah, akan tetapi
biasanya berasosiasi dengan resiko pecah buah bila aplikasi terlalu banyak. Sehingga
penyiraman pada malam hari perlu dikalibrasikan dengan kondisi agroklimat setempat.

Dasar-dasar Hortikultura 2009 – Anas D. Susila 23


Fertigasi Tanaman Sayuran dalam Greenhouse

Manajemen fertigasi merupakan cara yang fleksible dalam pemberian pupuk untuk
memenuhi kebutuhan tanaman. Dengan pengalamanya, petani dapat dengan mudah
menyesuaikan jumlah dan jenis pupuk untuk memenuhi kebutuhan tanaman berdasarkan
tingkat perkembangannya. Pemberian hara yang tepat sesuai dengan kebutuhan
tanaman adalah salah satu “keyword” dalam budidaya tanaman secara hidroponik,
sehingga kesuksesan dalam manjemen larutan hara merupakan juga kesuksesan dalam
berbisnis tanaman secara hidroponik.

DAFTAR PUSTAKA
Aziz, S.A. 2003. Pengaruh umur bibit dan konsentrasi hara terhadap
pertumbuhan dan produksi selada (Lactuca sativa L.) dalam teknologi
hidroponik sistem terapung (THST) tanaman selada. Skripsi. Departemen
BDP, Faperta IPB
Damayanti, M. 1999. Budi Daya melon varietas ’Sky Rocket’ secara hidroponik
di Taman Buah Mekarsari. Laporan Ketrampilan Profesi. Jurusan Budi
Daya Pertanian Faperta IPB. Bogor. 42 hal.
Dangler, J.M. and S.J. Locascio. 1990a. Yield of tricklr-irrigated tomatoes as
affected by time of N and K application. J. Amer. Soc. Hort. Sci. 115:585-
589.
Dangler, J.M. and S.J. Locascio. 1990b. External and internal blotchy ripening
and fruit elemental content of trickle-irrigated tomatoes as affected by N
and K application time. J. Amer. Soc. Hort. Sci. 115:547-549.
[DEPTAN] Departemen Pertanian. 2006. Produksi, Luas Areal dan Produktivitas
Sayuran di Indonesia. http://www.deptan.go.id [3 Februari 2007].
Drew, M. C.& L. H. Stolzy. 1991. Growth Under Oxygen Stress. p. 331-342. In
: Y. Waisel. A. Eshel and U. Kafkafi (Eds.) Plant Roots The Hidden Half.
Marcel Dekker. Inc. New York
Ecih. 1998. Tanaman melon (Cucumis melo L.) di PT Hortitek Tropikasari Kec.
Semplak Kab. Bogor. Laporan Ketrampilan Profesi. Jurusan Budi Daya
Pertanian Faperta IPB. Bogor. 66 hal.
Elmstorm, G.W., S.J. Locascio, and J.M. Myers. 1981. Watermelon response to
drip and sprikler irrigation. Proc. Fla. State Hort. Soc. 94:161-163.
Febriana, M. 1997. Budi Daya tanaman tomat secara hidroponik di PT Saung
Mirwan. Laporan Ketrampilan Profesi. Jurusan Budi Daya
PertanianFaperta IPB. Bogor. 64 hal
Hikmah, Z.M. 2005. Pengaruh naungan dan pupuk daun terhadap pertumbuhan
dan produksi kailan (Brassica oleracea L.var alboglabra) dalam teknologi
hidroponik sistem terapung (THST). Skripsi. Departemen BDP, Faperta
IPB.

Dasar-dasar Hortikultura 2009 – Anas D. Susila 24


Fertigasi Tanaman Sayuran dalam Greenhouse

Hochmuth, G.J. and A.G. Smajstrla. 1997. Fertilizer application and


management for micro (drip)-irrigated vegetable in Florida. Fla.Coop.
Ext. Circ, 1181.
Ismail. 1992. Rumah plastik untuk Budi Daya Selada di Kem Farms. Laporan
Ketrampilan Profesi. Jurusan Budi Daya Pertanian Faperta IPB. Bogor.
89hal.
Kusumainderawati, E.P. 1998. Peranan pemupukan dan penggunaan mulsa
terhadap produktivitas cabai di luar musim. Prosiding seminar nasional
dan pertemuan tahunan Komisariat Daerah Himpunan Ilmu Tanah
Indonesia Tahun 1998 (buku 2). di Malang. Himpunan Ilmu Tanah
Indonesia (HITI), hal. 167-172.
Locascio, S.J, and A.G. Smajstrla. 1989. Drip irrigated tomato as affected by
water quantity and N and K application timing. Proc. Fla. State. Hort.
Soc. 102:307-309.
Locascio, S.J., and J.M. Myers. 1974. Tomato response to plug-mix, mulch and
irrigation methods. Proc. Fla. State. Hort. Soc. 87:126-130
Locascio, S.J., J.M. Myers, and S.R. Kostewicz. 1981. Quantity and rate of water
application for drip irrigated tomatoes. Proc. Fla. State Hort. Soc. 91:163-
166.
Locascio, S.J., G.J. Hochmuth, S.M. Olson, R.C Hochmuth, A.A. Csizinszky, and
K.D. Shuler. 1997a. Potassium source and rate for polyethylene-mulched
tomatoes. HortSci. 21(7):1204-1207.
Locascio, S.J., G.J. Hochmuth, F.M. Rhoads, S.M. Olson, A.G. Smajstrla, and
E.A. Hanlon. 1997b. Nitrogen and potassium application scheduling
effects on drip-irrigated tomato yield and leaf tissue analysis. HortSci.
32:230-235.
Locascio, S.J., S.M. Olson, F.M. Rhoads, C.D. Stanley, and A.A. Csizinszky.
1985. Water and fertilizer timing for trickle-irrigated tomatoes. Proc. Fla,
State Hort. Soc. 102:307-309.
Locascio, S.J., S.M. Olson, F.M. Rhoads. 1989. Water quantity and time of N
and K application for trickle-irrigated tomatoes. J. Amer. Soc. Hort. Sci.
114:265-268.
Morard, P. & J. Silvestre. 1996. Plant injury due to oxygen deficiency in the
root environment of soilless culture: a review. Plant and Soil 184:243-
254.
Morgan, L. 2000. Are your plants suffocating? The importance of oxygen in
hydroponics. The Growing Edge 12(6):50-54.
Muchtadi, T.R. 2006. Peningkatan Daya Saing Buah Melalui Riset dan
Pengembangan Teknologi. Prosiding Lokakarya Nasional Manajemen
Riset Buah-buahan. Kerjasama Ristek, Puslitbanghort dan PKBT, IPB.
Bogor.

Dasar-dasar Hortikultura 2009 – Anas D. Susila 25


Fertigasi Tanaman Sayuran dalam Greenhouse

Napitupulu, L . 2003. Pengaruh aplikasi pupuk daun dan sumber larutan hara
terhadap pertumbuhan dan produksi selada (Lactuca sativa L.) dalam
teknologi hidroponik sistem terapung (THST) tanaman selada. Skripsi.
Departemen BDP, Faperta IPB
Nurfinayati. 2004. Pemanfaatan berulang larutan hara pada budidaya selada
(Lactuca sativa) dalam teknologi hidroponik sistem terapung (THST).
Skripsi. Departemen BDP, Faperta IPB
Pamujiningtyas, B.K. 2005. Pengaruh naungan dan pupuk daun terhadap
pertumbuhan dan produksi selada (Lactuca sativa L. var. Minetto) dalam
teknologi hidroponik sistem terapung (THST). Skripsi. Departemen BDP,
Faperta IPB.
Phaisal, R. 2005. Pengaruh naungan dan pupuk daun terhadap pertumbuhan dan
produksi seledri (Apium graveolens) dalam teknologi hidroponik sistem
terapung (THST). Skripsi. Departemen BDP, Faperta IPB.
Pitss, D.J., and G.A. Clark. 1991. Comparison of drip irrigation to sub irrigation
for tomato production in southwest Florida. Applied Eng. Agr. 7(2):177-
184
Putri, U.T. 2004. Pemanfaatan berulang larutan hara pada budidaya beberapa
sayuran daun dalam teknologi hidroponik sistem terapung (THST).
Skripsi Departemen BDP, Faperta IPB
Resh, H. M. 1998. Hydroponic Food Production. Woodbridge Press Publ. Co.
Santa Barbara. 527p.
Savage, A.D. 1985. Overview:Background, current situation, and future
prospect, p.6 – 11. In: A.J. Savage (ed.). Hydroponics worldwide: State of
the art in soiless crop production. Intl. Ctr. Special. Studies Inc.
Honolulu, Hawaii.
Sesmininggar, A. 2006. Optimasi Konsentrasi Larutan Hara pada Budidaya
Pakchoi (Brassica rapa L. cv. group Pak Choi) dengan Teknologi
Hidroponik Sistem Terapung. Skripsi. Departemen BDP, Faperta IPB.
Susila, A.D. and S.J. Locascio. 2001. Sulfur Fertilization for Polyethylene-
mulched Cabbage. Proc.Fla.State Hort. Soc. 114:318-322
Susila, A.D. 2003. Pengembangan teknologi hidroponik sistem terapung (THST)
untuk menghasilkan sayuran daun berkualitas. Laporan Hibah Penelitian.
Project DUE-like Batch III. Program Studi Hortikultura, Faperta, IPB.
Susila, A.D. dan Y. Koerniawati. 2005. Pengaruh volume dan jenis media tanam
pada pertumbuhan dan hasil tanaman selada (Lactuca sativa L.) dalam
teknologi hidroponik sistem terapung (THST). Buletin Agronomi. XXXII
(3):16-21
Vos, J.G.M. , N. Sunarmi, S.U. Tinny, and R. Sutarya. 1991. Mulch trial with
hor pepper in Subang (West Java) and Kramat (Central Java). ATA
Project Report

Dasar-dasar Hortikultura 2009 – Anas D. Susila 26


Fertigasi Tanaman Sayuran dalam Greenhouse

Wulan, E.R. 2006. Optimasi Konsentrasi Larutan Hara pada Budidaya Selada
(Lactuca Sativa L. Var. Grand Rapid) dengan Teknologi Hidroponik
Sistem Terapung. Skripsi. Departemen BDP, Faperta IPB.

Dasar-dasar Hortikultura 2009 – Anas D. Susila 27

You might also like