Professional Documents
Culture Documents
©Januari 2009
Fertigasi Tanaman Sayuran dalam Greenhouse
Pada budidaya tanaman dengan sistem hidroponik pemberian air dan pupuk
memungkinkan dilaksanakan secara bersamaan. Oleh karena itu, manajemen pemupukan
(fertilization) dapat dilaksanakan secara terintegrasi dengan manajemen irigasi (irrigation)
yang selanjutnya disebut fertigasi (fertilization and irrigation) . Dalam sistem hidroponik,
pengelolaan air dan hara difokuskan terhadap cara pemberian yang optimal sesuai dengan
kebutuhan tanaman, umur tanaman dan kondisi lingkungan sehingga tercapai hasil yang
maximum.
Hidroponik
Hidroponik, budidaya tanaman tanpa tanah, telah berkembang sejak pertama kali
dilakukan penelitian-penelitian yang berhubungan dengan penemuan unsur-unsur hara
esensial yang diperlukan bagi pertumbuhan tanaman. Penelitian tentang unsur-unsur
penyusun tanaman ini telah dimulai pada tahun 1600-an. Akan tetapi budidaya tanaman
tanpa tanah ini telah dipraktekkan lebih awal dari tahun tersebut, terbukti dengan adanya
taman gantung (Hanging Gardens) di Babylon, taman terapung (Floating Gardens) dari
suku Aztecs, Mexico dan Cina (Resh, 1998)
Istilah hidroponik yang berasal dari bahasa Latin yang berarti hydro (air) dan ponos
(kerja). Istilah hidroponik pertama kali dikemukakan oleh W.F. Gericke dari University of
California pada awal tahun 1930-an, yang melakukan percobaan hara tanaman dalam skala
komersial yang selanjutnya disebut nutrikultur atau hydroponics. Selanjutnya hidroponik
didefinisikan secara ilmiah sebagai suatu cara budidaya tanaman tanpa menggunakan
tanah, akan tetapi menggunakan media inert seperti gravel, pasir, peat, vermikulit, pumice
atau sawdust, yang diberikan larutan hara yang mengandung semua elemen esensial yang
diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan normal tanaman (Resh, 1998).
Irigasi Tetes
Irigasi tetes (Drip irrrigation) adalah sistem irigasi pemberian air irigasi dengan
cara diteteskan langsung di zona perakaran. Irigasi tetes sering digunakan dalam
hidroponik dengan sistem substrat. Akhir-akhir ini, di Indonesia telah banyak diusahakan
teknologi hidroponik sistem terbuka dengan menggunakan substrat untuk produksi sayuran
secara komersial. Sistem ini sangat tergantung terhadap ketersediaan energi listrik untuk
menjalankan pompa karena adanya sirkulasi dan distribusi hara tanaman. Beberapa
produksi sayuran secara hidroponik dengan sistem irigasi tetes telah diusahakan di PT
Saung Mirwan (Purwadi, 1994; Supardiono, 1992; Winarti, 1991), di Taman Buah
Mekarsari (Hananto, 1995), serta di PT Dieng Jaya (Anggraeni, 1992).
Fertigasi yang merupakan cara pemberian air irigasi bersamaan dengan
pemupukan melalui emiter yang diletakkan dekat dengan perakaran tanaman. Drip atau
trickle irigasi adalah tipe mikro-irigasi dimana air dan hara diberikan melalui pipa plastik
dengan drip-emiter yang diletakkan di dekat barisan tanaman (Hochmuth dan Smajstrla,
1997).
awal yang mahal karena harus di install oleh tenaga ahli yang berpengalaman dan
memerlukan ketersediaan energi listrik untuk mengoperasikan. Untuk mengoperasikan
teknologi ini juga diperlukan tenaga kerja yang terlatih sehingga dapat dicapai efisiensi
yang diharapkan (Hochmuth dan Smajstrla, 1997).
Kultur Air
Diantara budidaya tanaman tanpa tanah, kultur air adalah budidya tanaman yang
menurut definisi merupakan sistem hidroponik yang sebenarnya. Kultur air juga sering
disebut true hydroponics, nutri culture, atau bare root system. Di dalam kultur air, akar
tanaman terendam dalam media cair yang merupakan larutan hara tanaman, sementara
bagian atas tanaman ditunjang adanya lapisan medium inert tipis yang memungkinkan
tanaman dapat tumbuh tegak (Resh, 1998).
Dalam sejarah perkembangan hidroponik, penelitian-penelitian pertama tentang
hidroponik tercatat menggunakan sistem kultur air tanpa adanya substrat atau media tanam
(Woodward, 1699). Teknik-teknik dasar kultur air modern telah dikembangkan oleh Sach
dan Knopp pada tahun1860 (Hewitt dan Smith, 1975) dari beberapa hasil penemuan
sebelumnya oleh Senebier tahun 1791 yang menyatakan bahwa akar tanaman akan mati
bila terendam dalam air. Pada tahun 1804, De Sausser juga menyatakan bahwa disamping
mengandung udara air juga mengandung CO2, campuran gas mengandung 20% O2 (Hewit,
1966; Hewitt dan Smith, 1975).
Aerasi adalah suatu hal yang esensial untuk aktivitas perakaran walaupun hal ini
sangat beragam antar spesies tanaman. Pengambilan unsur mineral akan terjadi ketidak
seimbangan bila kondisi oksigen di perakaran menurun, sebaliknya akan terangsang bila
konsentrasi oksigen di zone perakaran meningkat. Akumulasi karbondioksida (CO2) di
dalam larutan hara akan menghambat absorbsi sebagian besar unsur hara tanaman dan hara,
sedangkan kekurangan oksigen (O2) walaupun tidak akan menekan absorbsi air (dalam
periode tertentu) akan tetapi tetap menekan pengambilan unsur hara dari larutan hara
(Soffer, 1985).
Selama lebih dari 300 tahun kultur air merupakan suatu sistem yang paling sesuai
untuk penelitian-penelitian hara dan metabolisme tanaman hingga saat ini. Beberapa hal
yang menyebabkan hal di atas adalah sistem kultur air memiliki larutan hara yang
homogen, adanya keseragaman seluruh sistem dalam mempengaruhi sistem perakaran,
serta kemungkinan pengaturan kandungan unsur hara yang tepat. Kultur air
dikelompokkan ke dalam: (1) Aeroponik, (2) Nutrient Film Tehnique (NFT), dan (3) Deep
Flow Technique (DFT) yang semuanya memiliki tanaman dengan akar yang terbuka (bare
root plant) (Vestergaard, 1984).
Keberhasilan sistem kultur air dipengaruhi oleh beberapa faktor yang langsung
berhubungan dengan perakaran tanaman diantaranya adalah (1) aerasi di zone perakaran (2)
kondisi perakaran, dan (3) sistem penopang tanaman yang memungkinkan tanaman
tumbuh tegak. Manipulasi aerasi di zone perakaran pada sistem kultur air menurut Resh
(1998) dapat dilakukan dengan pemberian udara ke dalam larutan hara tanaman
menggunakan pompa atau kompresor. Disamping itu peningkatan aerasi di zone perakaran
dapat pula dilakukan dengan sirkulasi larutan hara antara bak tanam dengan reservoar hara.
Untuk memenuhi kebutuhan oksigen bagi perakaran menurut Hochmuth (1991) di dalam
kultur air (NFT) paling sedikit 1/3 – 1/2 sistem perakaran seharusnya tidak terendam
larutan hara. Hal ini merupakan kunci perakitan teknologi hidroponik sistem terapung
dimana tidak lagi diperlukan adanya energi listrik untuk menjalankan pompa ataupun
kompresor guna meresirkulasi ataupun meningkatkan aerasi larutan hara.
Pengusahaan kultur air secara komersial untuk produksi tanaman sayuran telah
dilakukan di beberapa negara antara lain Canada (Ingratta et al., 1985), Jepang (Takakura,
1985), Israel (Soffer, 1985), United Kingdom (Hurd, 1985), dan USA (Carpenter, 1985).
Pengusahaan kultur air secara komersial di Jepang mencapai kurang lebih 2000
greenhouse atau sekitar 300 hektar. Unit kultur air sistem Jepang terdiri dari beberapa seri
bak yang terbuat dari plastik yang berukuran lebar 0.8 m dan panjang 3 m dengan
kedalaman 6-8 cm. Tanaman diselipkan dalam lubang pada styrofoam. Larutan hara
dipompakan ke dalam bak selam 10 menit setiap jam, yang bertujuan untuk memelihara
aerasi. Bak selalu penuh dengan larutan hara dimana akar tanaman terendam didalamnya.
Pipa aerasi dapat dipasang pada bak tanam untuk meningkatkan aerasi. Pipa aerasi ini
mempunyai lubang berdiameter 2 mm pada setiap 4 cm panjang pipa (Resh 1998).
Modifikasi kultur air sistem Jepang telah dilakukan oleh Dr. Merle Jensen dari
Environmental Research Laboratory (ERL), Universitas Arizona, Tucson, USA dengan
pengembangan prototipe Raceway, Raft atau Floating System untuk produksi selada antara
tahun 1981-1982 . Dalam percobaan ini dapat dihasilkan 4.5 juta head selada per hektar per
tahun (Jensen dan Collins, 1985). Sistem kultur air ini terdiri dari bak tanam yang relatif
lebih dalam 15-20 cm, dengan lebar 60 cm dan panjang 30 m. Volume larutan hara kurang
lebih 3.5 m kubik atau setara dengan 3 600 liter. Hara didalam bak relatif statik dengan
pergerakan hanya 2-3 liter per menit. Dalam penelitian ini juga telah diuji efektivitas
penggunaan alat sterilisasi larutan hara dengan UV-sterilizer terhadap fungi patogenik
maupun non patogenik yang berasosiasi dengan tanaman di dalam greenhouse.
Produksi komersial sayuran daun untuk salad dalam sistem terapung (floating raft
system) telah digunakan di Florida sejak awal tahun 1980-an. (Resh, 1998). Sepuluh
sampai 12 kali panen tanaman selada terutama bibb lettuce dihasilkan dalam greenhouse
yang berpendingin. Dengan jarak tanaman yang rapat sistem ini dapat menghasilkan 1 juta
per acre per tahun tanaman selada yang dapat dipasarkan. Masalah utama dari sistem
komersial ini adalah tingginya modal awal untuk membangun sistem ini, dan biaya teknisi
yang diperlukan untuk mengoperasikan sistem ini. Hal ini menyebabkan sistem terapung
ini sulit diaplikasikan diberbagai tingkat petani. Teknologi hidroponik pasif, low-tech, dan
non recirculating system telah dipelajari di Asian Vegetable Research Center (AVRDC) di
Taiwan dan di Universitas Hawaii (Kratky et al., 1988; Kratky, 1993, 1996). Penelitian
hidroponik terapung untuk produksi tanaman sayuran didalam greenhouse di Florida
menunjukkan hasil yang positif (Fedunak dan Tyson, 1997; Tyson et.al, 1998). Lima dari
tujuh varietas komersial selada berhasil dibudidayakan menggunakan passive floating
hydroponics di luar greenhouse, serta memenuhi persyaratan kualitas untuk dipasarkan
(Tyson et al., 1999).
Teknologi Hidroponik Sistem Terapung (THST) merupakan sistem hidroponik
tanpa substrat yang dikembangkan dari sistem kultur air. Teknologi ini dapat dioperasikan
tanpa tergantung adanya energi listrik karena tidak memerlukan pompa untuk re-sirkulasi
larutan hara. Hal ini menyebabkan THSTmenjadi lebih sederhana, mudah dioperasikan,
dan murah, sehingga berpotensi untuk dikembangkan pada tingkat petani kecil. Studi
pengembangan THST dilakukan untuk mengetahui jenis tanaman, disain panel, jenis dan
volume media, umur bibit, sumber dan konsentrasi larutan hara, pupuk daun dan naungan,
serta pemanfaatan kembali larutan hara yang optimal. Hasil studi menunjukkan bahwa jenis
tanaman yang dapat dibudidayakan dengan THST adalah Caisim (Tosakan), Pakchoy
(White tropical type), Kailan (BBT 35) Kangkung (Bangkok LP1), Selada
(Panorama,Grand Rapids, Red Lettuce, Minetto), dan Seledri (Amigo). Komposisi larutan
hara yang digunakan adalah (ppm) Ca++177, Mg++ 24, K+ 210, NH4+ 25, NO3- 233 , SO4=
113, dan PO4= 60 serta Fe 2.14, B 1.2, Zn 0.26, Cu 0.048, Mn 0.18, dan Mo 0.046.
Electrical conductivity (EC) larutan hara optimum berkisar antara 515 - 550 µScm-1.
Namun demikian beberapa tanaman masih dapat tumbuh baik sampai EC 1550 µScm-1.
Jenis media tanam yang dapat digunakan adalah rockwool dan busa sintetik dengan volume
media 20 cm3. Pemanfaatan kembali larutan hara sampai 3 musim tanam masih dapat
mendukung pertumbuhan dan hasil Selada (Panorama, Minetto) dan Kangkung, akan
tetapi kurang baik untuk sayuran daun lain. Aplikasi pupuk daun dan naungan 55% yang
diharapkan dapat memperbaiki kualitas dan kuantitas hasil ternyata tidak dapat
meningkatkan pertumbuhan dan hasil Kailan, Selada, maupun Seledri. (Susila, 2003)
Kualitas Air
Kualitas air merupakan faktor utama yang perlu dipertimbangakan dalam budidaya
tanaman secara hidroponik. Tanaman terdiri atas 80 – 90% air (Salisbury and Ross 1978)
sehingga ketersediaan air yang berkualitas sangat penting untuk mendukung keberhasilan
proses budidayanya (Portree 1996, Styer and Koranski 1997). Kualitas air dapat di tentukan
dari apa yang terkandung di dalam sumbernya (sumur atau sungai), juga tingkat
kemasamannya. Air adalah pelarut yang dapat mengandung jumlah tertentu garam-garam
terlarut. Salah satu garam terlarut tersebut adalah pupuk. Untuk menyediakan sumber hara
yang cukup bagi tanaman pupuk perlu dilarutkan di dalam air.
Kualitas air dapat ditentukan dengan dengan keberadaan partikel fisik (pasir,
limestone, bahan organik), jumlah bahan terlarut (hara dan bahan kimia non hara), dan pH
air. Beberpa hal yang berhubungan dengan kualitas air yang perlu di chek di laboratorium
adalah electrical conduktivity (EC), pH, konsentrasi sulfate (SO4), sodium (Na), besi (Fe),
dan bikarbonat (HCO3). Kesadahan air berhubungan juga dengan kandungan Ca dan Mg
yang juga perlu diperhitungkan juga dalam penghitungan pupuk (Hochmuth, 1991).
Air dengan nilai EC lebih besar dari 1.5 dS.m-1 (1.5 mmhos per cm), termasuk
kategori kurang baik untuk budidaya tanaman dalam greenhouse. Bila kandungan N, P, K
dalam air masing-masing lebih besar daripada 5 ppm, terindikasi bahwa air tersebut
terkontaminasi akan tetapi hal ini tidak menjadi masalah bila untuk pertumbuhan tanaman.
Kandungan Ca, Mg, dan bikarbonat yang tinggi pada air irrigasi dapat menyebabkan
pengendapan berupa magnesium dan calsiun carbonat. Demikian juga bila kandungan Fe
lebih besar dari 0.5 ppm. Konsentrasi S yang tinggi sebenarnya tidak membahayakan
tanaman, akan tetapi kandungan S yang tinggi ini dapat menyebabkan tingginya populasi
bakteri sulfur yang akhirnya dapat menyumbat emiter. Konsentrasi bikarbonat yang
Tabel 1. Konsentrasi maksimum ion garam terlarut dalam air untuk budidaya tanaman di
dalam Greenhouse (ppm).
dan Si tidak tergolong essensial namun mempengaruhi pertumbuhan tanaman atau juga
unsur esensial bagi tanaman tertentu (Wilson and Loomis 1967, Salisbury and Ross 1978,
Styer and Koranski 1997).
. Unsur hara essensial dapat dikelompokkan menjadi hara makro dan hara mikro.
Hara makro diperlukan dalam jumlah yang lebih banyak untuk pertumbuhan tanaman dari
pada hara mikro (Salisbury and Ross 1978). Hara esensial untuk pertumbuhan tanbaman
disjikan pada Tbel 2. Pengelompokan lain berdasarkan mobilitas unsur hara di dalam
tanaman . Hara mobil adalah hara yang ditranslokasikan dari daun tua ke daun muda
contohnya nitrogen (Salisbury and Ross 1978). Calsium adalah contoh unsur hara yang
tidak mobil, dimana bila sudah ditranlokasikan di suatu bagian tanaman Ca tidak bisa di re-
translokasikan di dalam phloem ke tempat lain. (Salisbury and Ross 1978).
Air merupakan komponen penting dalam penyerapan ion oleh tanaman, dan hara
hanya terjadi bila dalam larutan. Dalam kondisi padat ion-ion hara berada dalam bentuk
garam (Boikess and Edelson 1981). Bila tidak ada air ion hara yang bermuatan berlawanan
akan bergabung membentuk garam yang padat yang stabil. Contohnya, anion nitrate
(NO3-) pada umumnya bergabung dengan calsium kation (Ca+2) atau potassium (K+)
membentuk garam calsium nitrat Ca(NO3)2 dan potassium nitrat (KNO3). Ketika garam-
garam ditambahkan ke dalam air ia akan larut dan berdisosiasi menjadi kation dan anion.
Dalam keadaan terlarut inilah hara akan tersedia bagi tanaman. Beberapa hal penting yang
perlu diingat adalah bahwa garam-garam mempunyai tingkat kelarutan yang berbeda..
Calcium sulfate (CaSO4) relatif tidak mudah larut sehingga kurang baik untuk pupuk, sebab
hanya sedikit sekali kation Calsium (Ca++) yang tersedia bagi tanaman. Bentuk unsur hara
mineral yang tersedia bagi tanaman disajian pada Tabel 3.
Micronutrients
Iron/Besi Fe Ferrous ion Fe-2
Ferric ion Fe-3
Manganese Mn Manganous ion Mn+2
Boron B Boric acid H3BO4
Copper Cu Cupric ion chelate Cu+2
Cuprous ion chelate Cu+
Zinc Zn Zinc ion Zn+2
Molybdenum Mo Molybdate ion MoO4-
Beberapa unsur mikro disamping dalam bentuk garam, biasanya juga dalam
bentuk Chelat; Besi, Zinc, Mangan and Copper. Chelate adalah bahan yang mudah larut
yang terbentuk ketika atom tertentu bereaksi dengan molekul organik tertentu. Garam-
garam sulfat dari Fe, Zn, Mn, dan Cu biasanya kelarutannya rendah, dan dalam bentuk
chelate unsur tersebut akan mudah tersedia bagi tanaman (Boikess and Edelson 1981).
Program Pemupukan
Larutan hara untuk pemupukan tanaman hidroponik di formulasikan sesuai dengan
kebutuhan tanaman menggunakan kombinasi garam-garam pupuk. Jumlah yang diberikan
disesuaikan dengan kebutuhan optimal tanaman. Program pemupukan tanaman melaui
hidroponik walaupun kelihatannya sama untuk berbagai jenis tanaman sayuran, akan tetapi
terdapat perbedaan kebutuhan setiap tanaman terhadap hara. Pupuk yang dapat digunakan
dalam sistem hidroponik harus mempunyai tingkat kelarutan yang tinggi .
Larutan Hara
Dua ringkasan tulisan terbaik tentang perkembangan budidaya tanaman secara
hidroponik telah ditulis oleh Cooper (1979) untuk sistem komersial dan ditulis oleh Jones
(1982) untuk tujuan akademik. Dalam tulisan ini dikemukakan bahwa telah banyak
diformulasikan berbagai macam hara untuk hidroponik, akan tetapi pada dasarnya
penggunaan hara standar untuk tujuan komersial saat ini tidak berubah banyak dari
komposisi hara tanaman yang didiskripsikan para ahli pada tahun 1800-an.
Sebagian besar tanaman hijau memerlukan total 16 elemen kimia untuk
mempertahankan hidupnya. Dari total elemen ini hanya 13 yang dapat diberikan sebagai
pupuk lewat perakaran tanaman, sedangkan 3 yang lain (Okisgen, Karbon dan Hidrogen)
dapat diambil dari udara dan air (Mengel dan Kirkby, 1987). Dalam budidaya tanaman
terkendali yang menggunakan tanah sebagai media, hanya sebagian kecil dari 13 unsur hara
yang perlu menjadi perhatian. Sebab unsur yang diperlukan dalam jumlah kecil (hara
mikro) dapat disuplai oleh tanah. Sehingga sebagian besar budidaya tanaman dalam
greenhouse yang secara tradisional menggunakan tanah sebagai media hanya diberikan
unsur makro N,P,K saja untuk pemupukannya.
Budidaya tanaman secara hidroponik memungkinkan petani mengontrol
pertumbuhan tanaman, akan tetapi juga memerlukan kemampuan manajemen yang tepat
untuk mencapai keberhasilan. Petani hidroponik tidak hanya harus memberikan 6 hara
makro ( N, P, K, Ca, Mg, S) saja, akan tetapi harus juga memberikan 7 hara mikro (Fe, Mn,
Cu, Zn, Mo, B) untuk mendukung pertumbuhan tanaman (Gerber, 1985).
Konsentrasi Hara
Menurut Hewitt (1966) terdapat kurang lebigh160 hara berdasar bentuk garam dan
kandungan individual elemennya. Sedangkan menurut Resh (1998) terdapat hanya sekitar
30 komposisi hara tanaman. Namun demikian masih saja hal ini membingung bagi calon
pengguna untuk memilih hara tanaman yang cocok untuk budidaya tanaman tertentu.
Beberapa larutan hara untuk budidaya tanaman tanpa tanah yang populer sampai saat ini
adalah seperti terlihat pada Tabel 4.
Table 4. Konsentrasi Hara (ppm) Beberapa Larutan Standar untuk Budidaya Tanaman
Tanpa Tanah
Nutrient Hoagland Cooper Modified Wilcox 1 Wilcox 2
and Arnon Steiner
N 210 200 171 132 162
P 31 60 48 58 58
K 234 300 304 200 284
Ca 200 170 180 136 136
Mg 48 50 48 47 47
Fe 5 12 3 4 4
Mn 0.5 2 1 0.5 0.5
B 0.5 1.5 0.3 1.5 1.5
Zn 0.05 0.1 0.4 0.3 0.3
Cu 0.02 0.1 0.2 0.1 0.1
Mo 0.01 0.2 0.1 0.1 0.1
Sumber: Gerber (1985)
Larutan hara Hoagland dan Arnon pertama kali dikembangkan untuk tanaman
tomat akan tetapi digunakan juga sebagai larutan standar untuk berbagai penelitian pada
kultur air. Larutan Cooper adalah larutan hara ideal untuk budidaya tanaman secara NFT.
Larutan Wilcox-1 adalah dirancang untuk persemaian tanaman selada dan tomat. Pada saat
tanaman tomat berkembang dari fase vegetatif menuju fase generatif pada larutan Wilcox-2
unsur N dan P ditingkatkan. Akan tetapi peningkatan unsur K lebih tinggi dibanding unsur
K untuk mendukung pertumbuhan buah (Gerber, 1985).
hara disajikan kecuali Sulfur dan Chloride. Hal ini dilakukan karena S sudah terbawa
dalam K-sulfat, atau Mg-Sulfat. Chloride biasanaya ditemukan dalam jumlah yang cukup
dalam pupuk sebagai bahan bawaan. Apabila kebutuhan hara sudah diketahui maka
formulasi kebutuhan pupuk dapat ditentukan.
Beberapa informasi dasar diperlukan dalam memformulasikan pupuk adalah:
1. Volume larutan stok dan volume akhir yang diperlukan.
2. Jenis pupuk yang diperlukan serta kandungan hara di dalam pupuk tersebut.
Table 5. Traget konsentrasi larutan hara untuk budidaya paprika di dalam Greenhouse.
Tabel 6. Target nilai absolute dan relative rasion antara N, P, K dan Ca dalam
budidaya sayuran (E.C. of 2.5 mmhos)
N:K rasio yang disajikan pada Tabel 6 adalah 1:1.5. Peningkatan level K akan
meningkatkan rasio menjadi 1:1.7 dan mengarahkan tanaman untuk mengalami
pertumbuhan generatif. Hal ini disebabkan karena N mendorong pertumbuhan vegetative,
sedangkan K mendorong pertumbuhan generative dan pematangan buah. Calsium juag
penting untuk mendorong pertumbuhan jaringan, buah dan pematangan buah. Calsium
biasanya mempunyai perbandingan yang seimbang dengan nitrogen. Rario N:Ca = 1:1,
cocok untuk paprika dan tomat, sementara itu rasio N:Ca= 1:0.85 cocok untuk tanaman
mentimun.
Tabel 7. beberapa jenis pupuk untuk formulasi hara tanaman pada program budidaya
tanaman sayuran secara hidroponik
Tangki A Tangki B
Calcium nitrate Potassium nitrate (Setengah jumlah
total)
Potassium nitrate (Sengah jumlah total) Magnesium sulfate
Iron chelate Monopotassium phosphate
Potassium sulfate
Manganese chelate
Zinc chelate
Copper chelate
Sodium molybdate
Boric acid
Air dan pupuk diberikan secara bersamaan sebgai larutan hara. Jumlah air dan hara
akan selalu berubah sesuai dengan umur dan pertumbuhan tanaman. Kebutuhan
tananaman terhadap hara dan terus meningkat sejak persemaian sampai tanaman
menghasilkan . Secara umum pengaruh frekuensi penyiraman berpengaruh terhadap hasil
tanaman paprika yang dibudidayakan secara hidroponik disajikan pada Tabel 9 dan Tabel
10. Penyiraman sebanyak 250 ml 4 atau 5 kali sehari sesui dengan jadwal memberikan
hasil terbaik bagi tanaman paprika.
(setelah melewati media tanam). Hal ini dapat memantau kecukupan hara selama
pertumbuhan tanaman. Tingkat pH optimum adalah 5.8, aktivitas perakaran biasanya
dapat menurunkan pH sekitar perakaran untuk mengatasi hal tersebut perlu digunakan
pupuk yang tidak bersifat masam. Tidak direkomendasikan menggunakan pupuk masam
pada pH larutan 5.5. Penggunaan ammonium nitrat at 2 to 5 ppm of ammonium nitrogen
(NH4 - N) akan menurunkan pH perakaran akera pengaruh asam dari pupuk tersebut
Tabel 11. Jadwal Fertigasi unuk Budidaya Tanaman Sayuran secara Hidroponik
Penyiraman pada malam hari dapat meningkatkan perkembangan buah, akan tetapi
biasanya berasosiasi dengan resiko pecah buah bila aplikasi terlalu banyak. Sehingga
penyiraman pada malam hari perlu dikalibrasikan dengan kondisi agroklimat setempat.
Manajemen fertigasi merupakan cara yang fleksible dalam pemberian pupuk untuk
memenuhi kebutuhan tanaman. Dengan pengalamanya, petani dapat dengan mudah
menyesuaikan jumlah dan jenis pupuk untuk memenuhi kebutuhan tanaman berdasarkan
tingkat perkembangannya. Pemberian hara yang tepat sesuai dengan kebutuhan
tanaman adalah salah satu “keyword” dalam budidaya tanaman secara hidroponik,
sehingga kesuksesan dalam manjemen larutan hara merupakan juga kesuksesan dalam
berbisnis tanaman secara hidroponik.
DAFTAR PUSTAKA
Aziz, S.A. 2003. Pengaruh umur bibit dan konsentrasi hara terhadap
pertumbuhan dan produksi selada (Lactuca sativa L.) dalam teknologi
hidroponik sistem terapung (THST) tanaman selada. Skripsi. Departemen
BDP, Faperta IPB
Damayanti, M. 1999. Budi Daya melon varietas ’Sky Rocket’ secara hidroponik
di Taman Buah Mekarsari. Laporan Ketrampilan Profesi. Jurusan Budi
Daya Pertanian Faperta IPB. Bogor. 42 hal.
Dangler, J.M. and S.J. Locascio. 1990a. Yield of tricklr-irrigated tomatoes as
affected by time of N and K application. J. Amer. Soc. Hort. Sci. 115:585-
589.
Dangler, J.M. and S.J. Locascio. 1990b. External and internal blotchy ripening
and fruit elemental content of trickle-irrigated tomatoes as affected by N
and K application time. J. Amer. Soc. Hort. Sci. 115:547-549.
[DEPTAN] Departemen Pertanian. 2006. Produksi, Luas Areal dan Produktivitas
Sayuran di Indonesia. http://www.deptan.go.id [3 Februari 2007].
Drew, M. C.& L. H. Stolzy. 1991. Growth Under Oxygen Stress. p. 331-342. In
: Y. Waisel. A. Eshel and U. Kafkafi (Eds.) Plant Roots The Hidden Half.
Marcel Dekker. Inc. New York
Ecih. 1998. Tanaman melon (Cucumis melo L.) di PT Hortitek Tropikasari Kec.
Semplak Kab. Bogor. Laporan Ketrampilan Profesi. Jurusan Budi Daya
Pertanian Faperta IPB. Bogor. 66 hal.
Elmstorm, G.W., S.J. Locascio, and J.M. Myers. 1981. Watermelon response to
drip and sprikler irrigation. Proc. Fla. State Hort. Soc. 94:161-163.
Febriana, M. 1997. Budi Daya tanaman tomat secara hidroponik di PT Saung
Mirwan. Laporan Ketrampilan Profesi. Jurusan Budi Daya
PertanianFaperta IPB. Bogor. 64 hal
Hikmah, Z.M. 2005. Pengaruh naungan dan pupuk daun terhadap pertumbuhan
dan produksi kailan (Brassica oleracea L.var alboglabra) dalam teknologi
hidroponik sistem terapung (THST). Skripsi. Departemen BDP, Faperta
IPB.
Napitupulu, L . 2003. Pengaruh aplikasi pupuk daun dan sumber larutan hara
terhadap pertumbuhan dan produksi selada (Lactuca sativa L.) dalam
teknologi hidroponik sistem terapung (THST) tanaman selada. Skripsi.
Departemen BDP, Faperta IPB
Nurfinayati. 2004. Pemanfaatan berulang larutan hara pada budidaya selada
(Lactuca sativa) dalam teknologi hidroponik sistem terapung (THST).
Skripsi. Departemen BDP, Faperta IPB
Pamujiningtyas, B.K. 2005. Pengaruh naungan dan pupuk daun terhadap
pertumbuhan dan produksi selada (Lactuca sativa L. var. Minetto) dalam
teknologi hidroponik sistem terapung (THST). Skripsi. Departemen BDP,
Faperta IPB.
Phaisal, R. 2005. Pengaruh naungan dan pupuk daun terhadap pertumbuhan dan
produksi seledri (Apium graveolens) dalam teknologi hidroponik sistem
terapung (THST). Skripsi. Departemen BDP, Faperta IPB.
Pitss, D.J., and G.A. Clark. 1991. Comparison of drip irrigation to sub irrigation
for tomato production in southwest Florida. Applied Eng. Agr. 7(2):177-
184
Putri, U.T. 2004. Pemanfaatan berulang larutan hara pada budidaya beberapa
sayuran daun dalam teknologi hidroponik sistem terapung (THST).
Skripsi Departemen BDP, Faperta IPB
Resh, H. M. 1998. Hydroponic Food Production. Woodbridge Press Publ. Co.
Santa Barbara. 527p.
Savage, A.D. 1985. Overview:Background, current situation, and future
prospect, p.6 – 11. In: A.J. Savage (ed.). Hydroponics worldwide: State of
the art in soiless crop production. Intl. Ctr. Special. Studies Inc.
Honolulu, Hawaii.
Sesmininggar, A. 2006. Optimasi Konsentrasi Larutan Hara pada Budidaya
Pakchoi (Brassica rapa L. cv. group Pak Choi) dengan Teknologi
Hidroponik Sistem Terapung. Skripsi. Departemen BDP, Faperta IPB.
Susila, A.D. and S.J. Locascio. 2001. Sulfur Fertilization for Polyethylene-
mulched Cabbage. Proc.Fla.State Hort. Soc. 114:318-322
Susila, A.D. 2003. Pengembangan teknologi hidroponik sistem terapung (THST)
untuk menghasilkan sayuran daun berkualitas. Laporan Hibah Penelitian.
Project DUE-like Batch III. Program Studi Hortikultura, Faperta, IPB.
Susila, A.D. dan Y. Koerniawati. 2005. Pengaruh volume dan jenis media tanam
pada pertumbuhan dan hasil tanaman selada (Lactuca sativa L.) dalam
teknologi hidroponik sistem terapung (THST). Buletin Agronomi. XXXII
(3):16-21
Vos, J.G.M. , N. Sunarmi, S.U. Tinny, and R. Sutarya. 1991. Mulch trial with
hor pepper in Subang (West Java) and Kramat (Central Java). ATA
Project Report
Wulan, E.R. 2006. Optimasi Konsentrasi Larutan Hara pada Budidaya Selada
(Lactuca Sativa L. Var. Grand Rapid) dengan Teknologi Hidroponik
Sistem Terapung. Skripsi. Departemen BDP, Faperta IPB.