You are on page 1of 45

http://subhan-nurdin.blogspot.

com

Kontribusi A. Hassan Terhadap Kajian Hadis di


Indonesia (Studi Atas Cara Memeriksa dan
Memahami Hadis)
http://fospi.wordpress.com/2008/04/18/kontribusi-a-hassan-terhadap-kajian-hadith-di-
indonesia/

Tulisan Pertama

Oleh: Al-Hâfizh Ibnul Qayyim [1]

Allah swt. mengutus Muhammad saw. menjadi pesuruh-Nya untuk


mengajak manusia ke jalan yang lurus, yaitu dengan meninggalkan
penyembahan terhadap berhala dan penyembahan terhadap segala sesuatu
selain Allah swt., serta melakukan tiap-tiap perkara, baik perkara keduniaan
maupun tata cara peribadatan semata-mata menurut wahyu Allah swt. dan
penerangan, ajaran dan tuntunan Nabi Muhammad saw. Maka, al-Qur’an dan
penerangan, petunjuk, tuntunan, serta apa-apa yang diucapkan oleh Nabi
Muhammad saw. itulah yang dinamakan Hadis atau Sunnah yang merupakan
pokok ajaran Islam.[2]

Para sahabat dengan kekuatan hafalan mereka mengingat segala


sesuatu yang diucapkan, diperbuat, dan di-taqrîr-kan oleh Nabi, serta segala
sifat dan perangainya. Sebagian di antara para sahabat ada yang mencatat
Hadis, namun jumlah mereka sedikit sekali antara lain, ‘Abdullah ibn ‘Amr ibn
al-‘Âsh, ‘Abdullah ibn ‘Abbâs, ‘Aliy ibn Abîy Thâlib, Samurah ibn Jundab dan
‘Abdullah ibn Abîy Awfâ. Hal ini disebabkan karena Nabi Muhammad saw.
pernah melarang penulisan selain dari al-Qur’an, karena adanya
kekhawatiran al-Qur’an tercampur dengan lainnya, yang dapat berakibat
terjadinya kesamaran bagi mereka yang tidak mampu membedakan. Oleh
karena demikian, sahabat yang merasa tidak khawatir catatannya tersamar
(tercampur) dengan catatan al-Qur’an, tetap mencatat untuk pribadi tanpa
menyiarkan tulisan itu ke muka umum; melainkan setelah al-Qur’an
sempurna terkumpul dan terpisah sendiri, yang tidak lagi dikhawatirkan
terjadinya percampuran atau kesamaran dengan yang lain.[3]

Islam telah menjalar jauh dan ummat yang memeluknya bertambah


banyak, yang menurut hitungan dan kebiasaan, mestilah di antara mereka
ada orang-orang yang jahat-jahat dan munafik-munafik yang hendak
mengacau agama dan mungkin pula ada beberapa orang yang bodoh atau
keras kepala, hendak membela Islam dengan alasan-alasan yang tidak ada
dalam Islam (al-Qur’an dan al-Sunnah), sedang sebagian dari mereka yang
ditaklukkan oleh kaum muslimin menaruh dendam, lalu masuk Islam dengan
niat hendak merusaknya, dan tidak kurang pula para ahli bid‘ah yang perlu
kepada beberapa dalil untuk menguatkan bid‘ahnya dan banyak pula muncul
ulama mencari rizki dengan memberikan, tegasnya, membuat keterangan
yang diingini oleh raja-raja dan amir-amir, mereka ini mengadakan Hadis
mawdhû (palsu)[4] untuk keperluan masing-masing dan mereka siarkan
dalam golongan kaum muslimin. Sebagian dari ulama yang saleh, tetapi
tidak cerdik, termakan juga Hadis-hadis buatan itu dan menyiarkannya pula
lebih jauh.[5]

Pada masa Khalifah ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Azîz, diresmikanlah


penghimpunan Hadis, hal ini terjadi pada tahun 75 H. Di antara ulama Hadis
yang menerima instruksi dari Umar tersebut adalah Abu Bakar Muhammad
ibn ‘Amr ibn Hazm (w. 117 H.) yang pada masa itu menjabat sebagai
gubernur Madinah. Tugas tersebut dilaksanakan pula oleh Ibn Syihâb al-
Zuhriy (w. 124 H.).[6] Para ulama yang menghimpun Hadis, memiliki
metode dan cara-cara yang berbeda. Dalam perkembangan selanjutnya,
kitab-kitab Hadis dikenal dalam beberapa jenis, antara lain, sebagai berikut:

1. Al-masânid jama‘ dari al-musnad, yaitu kitab Hadis yang disusun


berdasarkan urutan nama sahabat periwayat Hadis yang bersangkutan; ada
yang berdasarkan urutan nama sahabat yang mula-mula masuk Islam; ada
yang berdasarkan urutan huruf abjad; ada yang berdasarkan urutan nama
qabilahnya; adapula urutan nama sahabat yang kemudian terbagi-bagi lagi
kepada bab-bab fiqh, umpamanya, al-Musnad al-Kabîr susunan Baqiy ibn
Makhlad al-Qurthubiy, dan lain-lain.
2. Al-ma‘âjim jama‘ dari al-mu‘jam yaitu kitab Hadis yang tersusun
berdasarkan nama-nama sahabat, atau al-syuyûkh (guru-guru Hadis) atau
nama-nama negeri atau lainnya secara berurutan, dan biasanya tersusun
berdasarkan huruf hijâ’iyyah (hurûf al-mu‘jam), antara lain al-Mu‘jam al-
Kabîr, al-Mu‘jam al-Awsath dan al-Mu‘jam al-Shagîr susunan al-Thabrâniy.

3. Al-jawâmi‘ jama‘ dari kata al-jâmi‘, yaitu kitab yang bila dilihat dari pokok
kandungannya menghimpun Hadis-hadis Nabi yang berisi tentang berbagai
hal, seperti akidah, hukum, masalah perbudakan, adab sopan santun, tafsir,
sejarah, dan lain-lain, umpamanya, al-Jâmi‘ al-Shahîh oleh al-Bukhâriy dan
al-Jâmi‘ al-Shahîh oleh Muslim.

4. Al-majâmi‘ jama‘ dari kata al-majma‘, yaitu kitab Hadis yang menghimpun
Hadis-hadis Nabi saw. yang telah termaktub dalam kitab-kitab al-
mushannafât, dengan bentuk penyusunan berdasarkan bab-bab masalah
tertentu sebagaimana yang ada dalam kitab al-mushannafât itu. Kitab jenis
ini antara lain Jam‘u al-Fawâ’id min Jâmi‘ al-Ushûl wa Majma‘ al-Zawâ’id
karya Muhammad ibn Muhammad ibn Sulayman al-Magribiy dan al-Jam‘u
Bayn al-Ushûl al-Sittah (Jâmi‘ al-Ushûl min Ahâdîts al-Rasûl) karya Ibn al-
Atsîr.

5. Al-sunan, yaitu kitab yang menghimpun Hadis-Hadis Nabi saw.


berdasarkan bab-bab fiqh dan kualitas Hadisnya ada yang sahih, hasan, dan
da‘if. Antara lain kitab Sunan Abî Dawûd, Sunan al-Nasâ’iy, Sunan al-
Turmuziy, Sunan Ibn Mâjah, dan lainnya.

6. Al-mushannafât, yaitu kitab Hadis yang disusun berdasarkan bab-bab fiqh


dan di dalamnya terhimpun Hadis-hadis Nabi, pernyataan-pernyataan
sahabat dan fatwa-fatwa tabi‘in. Umpamanya kitab al-Mushannaf karya Ibn
Abi Syaybah dan al-Mushannaf karya Baqiy ibn Makhlad al-Qurtubiy.

7. Al-muwaththa’ât, pengertiannya sama dengan al-mushannafât. hanya saja


motivasi penyusunan kitab al-muwaththa’ât didorong oleh keinginan untuk
memudahkan pembacanya. Antara lain seperti kitab al-Muwaththa’ karya
Malik ibn Anas dan al-Muwaththa’ karya Ibn Abi Zi’b al-Madaniy.

8. Al-mustadrakât jama‘ dari kata al-mustadrak, yaitu kitab yang memuat


Hadis-hadis Nabi saw. berdasarkan syarat-syarat periwayatan yang telah
dipakai oleh ulama Hadis tertentu ketika menghimpun Hadis-hadis Nabi saw.
dalam kitabnya. Umpamanya kitab al-Mustadrak ‘Ala al-Shahîhayn karya al-
Hâkim al-Naysâbûriy.

9. Al-ajzâ’ jama‘ dari kata al-juz’u yang berarti bahagian, yaitu kitab yang
menghimpun Hadis-hadis Nabi berdasarkan nama sahabat tertentu yang
meriwayatkan Hadis, atau berdasarkan nama tabi‘iy, atau berdasarkan topik-
topik tertentu. Umpamanya kitab Juz’u Mâ Rawâhu Abû Hanîfah ‘An al-
Shahâbah karya Abû Ma‘syar ‘Abd al-Karîm ibn ‘Abd al-Shamad al-Thabariy,
Juz’u Raf‘u al-Yadayn fî al-Shalâh karya al-Bukhâriy, Juz’u al-Qirâ’at Khalfa
al-Imâm juga karya al-Bukhâriy.[7]

Hadis sebagai sumber ajaran Islam, yang telah melalui proses yang
cukup panjang dengan metode periwayatan yang berbeda-beda hingga
tertulis dalam kitab-kitab Hadis, sudah cukup menjadi acuan pentingnya
pemeriksaan sanad dan matan-nya. Para ulama muhadditsîn telah menyusun
berbagai kaedah yang berkenaan dengan pemeriksaan terhadap sanad dan
matan Hadis, untuk mengetahui mana Hadis yang maqbûl (yang dapat
diterima) dan mana Hadis yang mardûd (yang tidak dapat diterima).

Sementara itu, para ulama di Nusantara khususnya di Indonesia,


mulanya hanya membaca dan mengajarkan kitab-kitab Hadis seperti Bulûg
al-Marâm karya Ibn Hajar al-‘Asqalâniy, Matn al-Arba‘în karya al-Nawâwiy,
dan Matn al-Bayqûniyah karya al-Suyûthiy serta kitab-kitab fiqh klasik
khususnya dalam mazhab al-Syafi‘iy, tanpa mengadakan pengkajian dan
pemeriksaan terhadap kesahihan sanad dan matan-nya. Mereka
beranggapan bahwa hasil ijtihad para ulama terdahulu sudah final, hingga
ulama-ulama sekarang tidak perlu mengkaji dan memeriksa sahih tidaknya
suatu Hadis.[8]

Anggapan tersebut terus bergulir hingga salah seorang sahabat dan


murid Muhammad Rasyid Ridha yaitu Muhammad Thaher ibn Muhammad
Jalâl al-Dîn al-Azhariy kembali ke Indonesia, yang kemudian menerbitkan
majalah “al-Imâm”, yang menjadi titik awal dari sebuah pemikiran yang
berpengaruh pada pengkajian terhadap Hadis di Nusantara. Dapat dilihat
ketika Muhammad Thaher menjawab sebuah pertanyaan berkaitan dengan
Hadis mi‘râj yang menyebutkan bahwa langit keempat terdiri dari tembaga,
langit ketiga terdiri dari besi, langit kedua dari batu, serta langit pertama
terdiri dari emas. Ia mengemukakan:

“Ketahuilah kiranya, sesungguhnya tiada sah satu Hadis pun pada menentukan jenis
tujuh petala langit dan tiada pula menentukan beberapa tebalnya. Dan kebanyakan
rampaian-rampaian itu, yang dibaca oleh tukang-tukang cerita di dalam cerita mi‘râj
itu adalah bohong yang nyata. Walhasil, tiadalah wajib mengi‘tiqadkan sesuatu
melainkan dengan dalil akal yang putus, yang tiada didatangi oleh syubhat, atau
dengan dalil sam‘iy (yang didengar) nyata daripada Nabi saw. sendiri”.[9]

Pernyataan “tiada sah satu Hadis pun”, memberi kesan adanya


pengkajian dan pemeriksaan terhadap kesahihan Hadis-hadis tentang
masalah itu, yang boleh jadi merupakan sebuah “kesepakatan” Muhammad
Thaher atas penelitian ulama sebelumnya, dan atau merupakan hasil dari
sebuah pemeriksaan yang dilakukannya sendiri dengan menerapkan kaedah-
kaedah kesahihan Hadis.

Majalah “al-Imâm” terbit pertama kali pada tahun 1906 M. hingga


awal tahun 1909 M., lalu kemudian dilanjutkan oleh murid Muhammad Taher
yaitu Abdul Karim Amrullah dengan menerbitkan majalah “al-Munîr” di
Padang pada tahun 1911 M. hingga 1915 M.. Dalam majalah ini, menurut
Hamka, terdapat pula banyak kajian kritis terhadap Hadis yang dilakukan
oleh Ayahnya.[10]

Dari Pulau Jawa, muncul pula pengkajian terhadap Hadis yang


dipelopori oleh Ahmad al-Syurkatiy, dengan bukunya yang terkenal, al-
Kafa’ah yang terkait dengan Hadis-hadis persamaan derajat antara sayyid
dan non-sayyid yang antara satu sama lain boleh menikah.[11]

Pada tahun 1929 M. muncul pula majalah “Pembela Islam” di


Bandung yang dipimpin oleh A. Hassan,[12] yang sempat membangkitkan
suasana pemeriksaan dan pengkajian terhadap Hadis di Nusantara pada
masanya, bahkan pengaruhnya hingga saat ini masih dapat dirasakan.

Syafiq A. Mughni menyatakan bahwa dalam fase pergolakan antara


pro dan kontra-mazhab itu, A. Hassan tampil memainkan peran yang sebaik-
baiknya. Kebebasan untuk memahami ajaran agama tanpa terikat oleh suatu
mazhab seperti yang ditekankan oleh A. Hassan diharapkan mengurangi satu
di antara sekian banyak kendala bagi kemajuan ummat akibat belenggu
taklid-mazhab yang telah menjadi tradisi sejak berabad-abad yang lampau.
Ajakan A. Hassan untuk merujukkan pandangan langsung terhadap al-Qur’an
dan al-Sunnah mengantarkan usaha untuk meminati ilmu-ilmu alat yang
terkait dengan kedua sumber ajaran Islam tersebut, khususnya Ilmu Hadis
dan Ushûl Fiqh, yang pada masa itu masih bersifat “elitis”, dengan kata lain,
A. Hassan telah memberikan dorongan bagi kebebasan dan pendalaman
studi Islam.[13]

A. Hassan sesungguhnya tidak meninggalkan karya tulis yang secara


khusus membahas ilmu Hadits serta cabang-cabangnya, hanya saja dalam
beberapa karya tulisnya terdapat beberapa pembahasan yang berkaitan
dengan ilmu Hadis, umpamanya, buku Ringkasan Islam, yang ditulis oleh A.
Hassan pada tahun 1939 M. yang kemudian diterbitkan pertama kali pada
tahun 1972 M., di dalamnya, pada fashal kedua secara khusus menerangkan
pengertian Hadis serta pembagiannya, sejarah perkembangan Hadis,
bagaimana mengetahui sah tidaknya sesuatu Hadis, cara pengumpulan Hadis
serta delapan kitab dan nama penyusunnya.[14]

Buku yang lain adalah Muqaddimah Ilmu Hadits dan Ushûl Fiqh, yang
ditulis secara ringkas untuk mereka yang belum biasa dengan urusan-urusan
Hadis, Ushûl Fiqh dan istilah-istilah yang terpakai dalam kitab Tarjamah
Bulûgul Marâm.[15] Selanjutnya, buku Kumpulan Risalah A. Hassan, Soal
Jawab, Tarjamah Bulugul Maram, dan Pengajaran Shalat yang di dalamnya
banyak berisi tentang cara A. Hassan memahami Hadis yang terkait dengan
tehnik interpretasi dan pendekatan yang digunakannya.

Sejauh pelacakan penulis, belum ada satu pun karya tulis yang
secara spesifik mengupas cara A. Hassan memeriksa dan memahami Hadis.
Namun, sebelum melanjutkan tulisan ini, penulis akan menyebutkan
beberapa karya tulis terkait dengan A. Hassan, riwayat hidup, pemikiran
serta pengaruhnya, baik di Malaysia, Singapura, dan Indonesia, antara lain;
(1) Riwayat Hidup A. Hassan karya Tamar Jaya, (2) Hassan Bandung:
Pemikir Islam Radikal karya Prof. Dr. Syafiq A. Mughni, MA., (3) A. Hassan:
Wajah dan Wijhah Seorang Mujtahid karya H. Endang Saifuddin Ansari, MA.,
(4) Persatuan Islam: Islamic Reform In Twentieth Century Indonesia karya
Dr. Howard M. Federspiel dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia oleh Drs. Yudian W. Asmin, MA., dan Drs. H. Afandi Mochtar, MA.
dengan judul Persatuan Islam: Pembaharuan Islam Indonesia Abad XX, (5)
Gerakan Islah di Perlis: Sejarah dan Pemikiran karya Abdul Rahman Haji
Abdullah, (6) A. Hassan: Tokoh Perdebatan Agama karya KH. A. Lathief
Mukhtar, MA., (7) A. Hassan, Persis, dan Pemikiran Fikihnya karya KH. A.
Lathief Mukhtar, MA., (8) A. Hassan Dalam Arus Pemikiran Islam di
Indonesia karya Prof. Dr. Syafiq A. Mughni, MA., (9) Yang Da’i Yang
Politikus: Hayat dan Perjuangan Lima Tokoh Persis karya Dr. Dadan Wildan.

Oleh karena peran A. Hassan yang cukup penting dalam studi Hadis
di Indonesia, maka penulis merasa perlu untuk membagi hasil penelusuran
terhadap cara A. Hassan memeriksa dan memahami Hadis kepada para
pembaca sebagai bahan pemikiran, di samping harapan agar diberi
masukan-masukan serta informasi-informasi terkait dengan pembahasan ini.

Mudah-mudahan Allah swt. memberikan kemudahan kepada penulis


(dengan segala keterbatasan yang penulis miliki) untuk meneruskan kajian
ini, dan agar para pembaca semuanya mengambil manfaat daripadanya.
(bersambung)

Endnote:

[1] Alamat e-mail: kayyink_uinmakassar@yahoo.com

[2] A. Hassan, Ringkasan Islam, (Bangil: Al-Muslimun, 1972 M.), h. 30; A. Hassan,
Al-Nubuwwah, (Cet. VI; Surabaya: PT Bina Ilmu, 1987 M.), h. 26, 36, 39-40

[3] A. Hassan, Ringkasan Islam, op. cit., h. 12; Lihat pula, Muhammad Hasbi
Ash-Shiddieqy, Sejarah Perkembangan Hadis, (Cet. II; Jakarta: Bulan
Bintang, 1988 M.), h. 7-8; Abdul Hakim bin Amir Abdat, Al-Masâ’il: Masalah-
masalah Agama, Jilid I, (Cet. V; Jakarta: Darus Sunnah Press, 1426 H.-2005
M.), h. 81

[4] Hadis mawdhû‘ artinya palsu, lancung, atau yang dibikin oleh orang-
orang, lalu mereka katakan sabda Nabi saw. Dalam sanadnya ada rawi yang
pendusta. Bila hanya tertuduh berdusta maka dinamakan matrûk, A. Hassan,
“Muqaddimah Ilmu Hadis dan Ushûl Fiqh”, dalam Tarjamah Bulûg al-Marâm,
(Cet. XXV; Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2001 M.), h. 9; Ada beberapa
latar belakang yang menyebabkan terjadinya pemalsuan Hadis, antara lain;
[1] adanya niat sekelompok firqah zindîq untuk merusak Islam, [2]
pembelaan terhadap aliran tertentu, misalnya, aliran politik, aliran kalam,
aliran mazhab fiqh, aliran geografis, [3] terdorong oleh motif-motif duniawi,
misalnya, mendekati penguasa, mencari pendukung (massa) termasuk
dalam hal ini untuk gagah-gagahan dan tukang-tukang cerita, [4] al-targîb
wa al-tarhîb yaitu usaha untuk membuat orang mencintai kebajikan dan
takut melakukan kemaksiatan, dalam hal ini biasanya terkait dengan orang-
orang Shûfiy. Lebih jelasnya lihat, Shalâh al-Dîn Ahmad al-Adlabiy, Manhaj
Naqd al-Matn ‘Inda ‘Ulamâ’ al-Hadîts al-Nabawiy, diterjemahkan oleh M.
Qadirun Nur dan Ahmad Musyafiq dengan judul Metodologi Kritik Matan
Hadis, (Cet. I; Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004 M.), h. 33-39; Abdul
Hakim bin Amir Abdat, op. cit., h. 41-55

[5] A. Hassan, Ringkasan Islam, op. cit., h. 14

[6] Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, (Cet. I; Jakarta: PT Mutiara Sumber Widya,
2001 M.), h. 128-129

[7] Lebih lanjut lihat, A. Hassan, Ringkasan Islam, op. cit., h. 18;
Muhammad Syuhudi Ismail, “Pembahasan Kitab-kitab Hadis”, Diktat
Perkuliahan, (Ujung Pandang: IAIN Alauddin, 1989 M.), h. 13-27; Ali Mustafa
Yaqub, Kritik Hadis, (Cet. I; Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995 M.), h. 75-80;
Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis, Jilid II,
(Cet. VI; Jakarta: Bulan Bintang, 1994 M.), h. 316-325; Nûr al-Dîn ‘Itr,
Manhaj al-Naqd fî ‘Ulûm al-Hadîts, diterjemahkan oleh Endang Soetari AD
dan Mujiyo dengan judul ‘Ulûm al-Hadîts, Jilid I, (Cet. II; Bandung: PT
Remaja Rosda Karya, 1995 M.), 181-193

[8] Ramli Abdul Wahid, “Perkembangan Kajian Hadis di Indonesia: Studi


Tokoh dan Ormas Islam”, Conference Paper, (Makassar: Postgraduate
Program State Islamic Universities, 2005 M.), h. 1

[9] Hamka, Ayahku: Riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan
Kaum Agama di Sumatera, (Cet. IV; Jakarta: Umminda, 1982 M.), h. 96-98

[10] Ibid., h.102-105

[11] Bisri Affandi, Syaikh Ahmad Syurkati (1874-1943): Pembaharu dan


Pemurni Islam di Indonesia, (Cet. I; Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1999 M.),
h.

[12] Howard M. Federspiel, Persatuan Islam: Islamic Reform in Twentieth


Century Indonesia, diterjemahkan oleh Yudian W. Asmin dan Afandi Mochtar
dengan judul Persatuan Islam: Pembaharuan Islam Indonesia Abad XX, (Cet.
I; Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996 M.), h. 25

[13] Syafiq A. Mughni, Nilai-nilai Islam: Perumusan Ajaran dan Upaya Aktualisasi,
(Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001 M.), h. 139

[14] A. Hassan, Ringkasan Islam, op. cit., h. 17

[15] A. Hassan, Tarjamah Bulûgul Marâm, (Cet. XXVI: Bandung: CV Penerbit


Diponegoro, 2002 M.), h. 1

KONTRIBUSI A. HASSAN TERHADAP KAJIAN


HADIS DI INDONESIA
(Studi Atas Cara Memeriksa dan Memahami Hadis)

(2)
http://fospi.wordpress.com/2008/05/04/kontribusi-a-hassan-terhadap-
/kajian-hadis-di-indonesia
Oleh: Al-Hāfizh Ibnul Qayyim [1]
A. Riwayat Hidup dan Keluarga A. Hassan
Sekitar 500-600 tahun yang lalu ada sekelompok penduduk Kairo yang
berpengaruh, namun karena merasa kurang senang dengan rezim rajanya, akhirnya,
mereka hijrah meninggalkan Mesir menuju India dengan kapal layar yang terbuat
dari kayu. Setibanya di India, mereka digelar “Maricar” yang berarti kapal layar.
Mereka bermukim di Kail Patnam[2] dengan berdagang. Melihat rupa dan bentuknya
kemungkinan mereka berasal dari Parsi. Di antara nenek moyangnya, selain
pedagang, juga terdapat ulama pujangga. Di sinilah asal keturunan nenek moyang
A. Hassan.[3]
A. Hassan lahir pada tahun 1887 M. di Singapura. Ayahnya bernama Ahmad
Sinna Vappu Maricar yang digelari “Pandit“[4] berasal dari India dan ibunya bernama
Muznah berasal dari Palekat, Madras. Ahmad menikahi Muznah di Surabaya ketika ia
berdagang di kota tersebut, kemudian menetap di Singapura. Ahmad adalah seorang
pengarang dalam bahasa Tamil dan pemimpin surat kabar “Nurul Islam” di
Singapura. Ia suka berdebat dalam masalah bahasa dan agama serta mengadakan
tanya jawab dalam surat kabarnya.[5]
A. Hassan menikah pada tahun 1911 M. dengan Maryam peranakan Melayu-
Tamil di Singapura. Dari pernikahannya ini ia dikaruniai tujuh orang putra-putri; (1)
Abdul Qadir,[6] (2) Jamilah, (3) Abdul Hakim, (4) Zulaikha, (5) Ahmad, (6)
Muhammad Sa‘id, (7) Manshur.[7]
B. Pendidikan
A. Hassan belajar al-Qur’an pada umur sekitar tujuh tahun, kemudian
masuk di Sekolah Melayu. Ayahnya sangat menekankan agar Hassan mendalami
bahasa Arab, Inggris, Melayu dan Tamil di samping pelajaran-pelajaran lain.[8]
Guru-gurunya antara lain adalah H. Ahmad di Bukittiung dan Muhammad
Thaib di Minto Road. Walaupun kedua gurunya ini bukanlah seorang alim besar
namun untuk ukuran daerahnya keduanya cukup disegani dan dihormati. Kepada
Muhammad Thaib, Hassan belajar nahwu dan sharaf, namun kira-kira empat bulan
kemudian, ia merasa tidak memiliki kemajuan, karena hanya menghafal saja tanpa
dimengerti, semangat belajarnya pun menurun. Dalam keadaan seperti itu,
untunglah gurunya naik haji. Akhirnya, A. Hassan beralih belajar bahasa Arab
kepada Said Abdullah al-Musawi sekitar kurang lebih tiga tahun. Selain itu, A.
Hassan belajar kepada Syeikh Hassan al-Malabary dan Syeikh Ibrahim al-Hind.
Semuanya ditempuh hingga kira-kira tahun 1910 M., ketika ia berumur 23 tahun.
Walaupun pada masa ini A. Hassan belum memiliki pengetahuan yang luas tentang
tafsīr, fiqh, farā‘id, manthiq, dan ilmu-ilmu lainnya, namun dengan ilmu alat yang ia
miliki itulah yang kemudian mengantarkannya memperdalam pengetahuan dan
pemahaman terhadap agama secara otodidak.[9]
Sekitar tahun 1912 M.-1913 M., Hassan bekerja sebagai dewan redaksi
“Utusan Melayu” yang diterbitkan oleh Singapore Press, dalam surat kabar ini,
Hassan banyak menulis tentang masalah agama seputar nasehat-nasehat, anjuran
berbuat baik dan mencegah kejahatan yang kebanyakannya dalam bentuk syair. Ia
pernah menulis, mengecam qadhi yang memeriksa perkara dalam ruang sidang
dengan mengumpulkan tempat duduk antara pria dan wanita (ikhtilāth). Bahkan
pernah dalam salah satu pidatonya mengecam kemunduran ummat Islam, sehingga
karena sebab itu ia tidak diperkenankan menyampaikan pidato lagi.
Pada tahun 1921 M., A. Hassan berangkat ke Surabaya (Jawa Timur) untuk
berdagang dan mengurus toko milik Abdul Lathif pamannya, namun sebelum A.
Hassan berangkat, pamannya berpesan agar sesampainya nanti di Surabaya ia tidak
bergaul dengan seseorang yang bernama Faqih Hasyim[10] karena dianggap sesat
dan berfaham Wahhabi.[11]
Berawal dari pertemuannya dengan Abdul Wahhab Hasbullah[12] yang
kemudian mengajukan pertanyaan kepadanya mengenai hukum membaca
ushalliy[13] sebelum takbirat al-ihrām. Sesuai dengan pengetahuannya ketika itu, A.
Hassan menjawab bahwa hukumnya “sunnah”. Ketika ditanyakan lagi mengenai
alasan hukumnya, ia menjawab bahwa soal alasannya dengan mudah dapat
diperoleh dari kitab manapun juga. Namun dari pertemuan ini, ia heran, mengapa
soal semudah itu yang dipertanyakan kepadanya. Setelah menceritakan perbedaan-
perbedaan antara Kaum Tua dan Kaum Muda, Abdul Wahhab Hasbullah meminta
agar A. Hassan memberikan alasan sunnatnya membaca ushalliy dari al-Qur‘an dan
Hadis, karena menurut Kaum Muda, agama hanyalah apa yang dikatakan Allah dan
Rasul-Nya. A. Hassan kemudian berjanji akan memeriksa dan menyelidiki masalah
itu. Tetapi sesuatu yang berkembang menjadi keyakinan dihatinya bahwa agama
hanyalah apa yang dikatakan oleh Allah dan Rasul-Nya. Keesokan harinya A. Hassan
mulai memeriksa kitab Shahīh al-Bukhāriy dan Shahīh Muslim, dan mencari ayat-
ayat al-Qur‘an mengenai alasan sunnatnya ushalliy namun ia tidak menemukannya,
pendiriannya membenarkan Kaum Muda akhirnya bertambah tebal.[14]
Maksud awalnya hendak berdagang kemudian berubah, bahkan kemudian A.
Hassan bergaul rapat dengan Faqih Hasyim salah seorang pentolan Kaum Muda di
Surabaya itu. Pada tahun 1924 M., A. Hassan berangkat ke Bandung untuk
mempelajari pertenunan, di sinilah ia berkenalan dengan tokoh pendiri organisasi
PERSIS (Persatuan Islam), yang kemudian A. Hassan diangkat menjadi guru
Persatuan Islam.[15]
C. Geneologi Pemikiran
Seorang tokoh pemikir, seperti halnya A. Hassan, pasti memiliki latar
belakang yang mempengaruhi corak berfikirnya, baik itu keluarga, pendidikan,
pergaulan serta setting sosial yang melingkupi sehingga membentuk karakter
berfikirnya.
Pada abad kedelapan belas, penolakan terhadap taklid dan perhatian
terhadap studi Hadis sedang berkembang, yang dipelopori oleh Syah Waliyyullah al-
Dahlawiy di India dan Muhammad al-Syawkāniy di Yaman. Maka, pada abad
kesembilan belas muncullah gerakan Ahl-i-Hadis di India, yang dalam masalah-
masalah hukum, Ahl-i-Hadis mengkombinasikan penolakan terhadap taklid dalam
tradisi pemikiran al-Dahlawiy dan al-Syawkāniy dengan tekstualitas pemahaman
yang merupakan gagasan pemikiran Zhahiriy. Seperti orang Zhahiriy, Ahl-i-Hadis
cenderung tekstual dalam memahami al-Qur‘an dan Hadis, di samping itu mereka
sepenuhnya menolak kewenangan ijmā‘, kecuali ijmā’ sahabat. Dari sisi
karakternya, antara gerakan Ahl-i-Hadis di India dan gerakan Wahhabiy di Arab
adalah sama, hanya saja dalam pertumbuhannya berjalan masing-masing.[16]
Keluarga A. Hassan adalah keluarga yang berasal dari India. Ayahnya,
Ahmad, dikenal sebagai sarjana Tamil yang memiliki karakter keras tidak
membenarkan ushalliy, tahlilan, talqin, dan lain sebagainya, sebagaimana faham
Ahl-i-Hadis dan Wahhabiy pada umumnya. Demikian pula beberapa orang India di
Singapura, seperti Thalib Rajab Ali, Abdul Rahman, Jailani, yang juga dikenal sebagai
orang-orang yang berfaham Wahhabiy.[17]
A. Hassan adalah seorang sosok yang otodidak, karena pendidikan formal
yang dilaluinya hanya di Sekolah Melayu. Walaupun demikian, ia menguasai bahasa
Arab, Inggris, Tamil, dan Melayu yang dapat digunakan olehnya dalam
pengembaraan intelektualnya. Pada masa itu, ia telah membaca majalah Al-Manār
yang diterbitkan oleh Muhammad Rasyid Ridha di Mesir, majalah Al-Imām yang
diterbitkan oleh ulama-ulama Kaum Muda di Minangkabau. Selain itu, A. Hassan
telah mengkaji kitab Al-Kafa‘ah karya Ahmad al-Syurkati, Bidāyat al-Mujtahid karya
Ibnu Rusyd, Zād al-Ma‘ād karya Ibnu Qayyim al-Jawziyyah, Nayl al-Awthār karya
Muhammad Ali al-Syawkāniy, dan Subul al-Salām karya al-Shan‘āniy. Semua
bacaan-bacaan itu, cukup mempengaruhi corak berfikirnya.[18]
Pergaulan A. Hassan pun cukup luas, di antara sahabat-sahabatnya adalah
Faqih Hasyim, Ahmad Syurkatiy,[19] H.O.S. Cokroaminoto, H. Agus Salim, Mas
Mansur,[20] H. Munawar Chalil, Soekarno, Muhammad Maksum, Mahmud Aziz, dan
lain-lain.
Pada tahun 1940 M., A. Hassan pindah ke Bangil, Jawa Timur, dan
mendirikan Pesantren Persatuan Islam Bangil, ia tetap mengajar dan menulis di
majalah Himāyat al-Islām (ِ‫لم‬
َ‫س‬
ْ‫ل‬ِ ‫حَماَيُة ا‬
ِ ) yang diterbitkannya hingga wafat pada
10 Nopember 1958 M. dan dimakamkan di Pekuburan Segok, Bangil.
Dari madrasah A. Hassan, muncul Abdul Qadir Hassan sebagai pewaris
keilmuannya, dilanjutkan oleh kedua cucunya, Ghazie Abdul Qadir Hassan,[21] Hud
Abdullah Musa, Luthfie ‘Abdullah Isma’īl,[22] selain itu murid-murid Abdul Qadir
yang mewarisi keilmuannya antara lain; Aliga Ramli,[23] Ahmad Husnan,[24]
Muhammad Haqqiy,[25] dan masih banyak yang lain.
D. Karya-karya Ilmiyah
A. Hassan adalah salah seorang tokoh pemikir yang produktif menuliskan
ide-idenya baik di majalah-majalah maupun dalam bentuk buku. Karya-karya
tulisnya, antara lain:
1. Dalam bidang Al-Qur‘an dan Tafsir: Tafsir Al-Furqān, Tafsir Al-Hidāyah, Tafsir
Surah Yāsīn, dan Kitab Tajwīd.
2. Dalam bidang Hadis, Fiqh, dan Ushūl Fiqh: Soal Jawab: Tentang Berbagai Masalah
Agama, Risalah Kudung, Pengajaran Shalat, Risalah Al-Fātihah, Risalah Haji, Risalah
Zakāt, Risalah Ribā, Risalah Ijmā‘, Risalah Qiyās, Risalah Madzhab, Risalah Taqlīd,
Al-Jawāhir, Al-Burhān, Risalah Jum‘at, Hafalan, Tarjamah Bulūg al-Marām,
Muqaddimah Ilmu Hadis dan Ushūl Fiqh, Ringkasan Islam, dan Al-Fara‘idh.
3. Dalam bidang Akhlaq: Hai Cucuku, Hai Putraku, Hai Putriku, Kesopanan Tinggi
Secara Islam.
4. Dalam bidang Kristologi: Ketuhanan Yesus, Dosa-dosa Yesus, Bibel Lawan Bibel,
Benarkah Isa Disalib?, Isa dan Agamanya.
5. Dalam bidang Aqidah, Pemikiran Islam, dan Umum: Islam dan Kebangsaan,
Pemerintahan Cara Islam, Adakah Tuhan?, Membudakkan Pengertian Islam, What is
Islam?, ABC Politik, Merebut Kekuasaan, Risalah Ahmadiyah, Topeng Dajjāl, Al-
Tauhid, Al-Iman, Hikmat dan Kilat, An-Nubuwwah, Al-‘Aqā’id, al-Munāzharah, Surat-
surat Islam dari Endeh, Is Muhammad a True Prophet?
6. Dalam bidang Sejarah: Al-Mukhtār, Sejarah Isrā‘ Mi’rāj,
7. Dalam bidang Bahasa dan Kata Hikmat: Kamus Rampaian, Kamus Persamaan,
Syair, First Step Before Learning English, Al-Hikam, Special Dictionary, Al-Nahwu,
Kitab Tashrīf, Kamus Al-Bayān, dan lain-lain. [26]
Dari karya-karya ilmiyah yang telah diwariskan A. Hassan tersebut, dapat
dilihat betapa luas ilmu yang ia geluti, yang secara umum Endang Saifuddin Ansari
dalam makalah seminar tentang pemikiran A. Hassan di Singapura Tahun 1979 M.
mengelompokkan secara garis besarnya sebagai berikut:
1. Mengenai Muhammad Rasulullah saw.;
2. Mengenai Sumber Norma dan Nilai Islam: al-Qur’an dan al-Sunnah;
3. Mengenai Aqidah;
4. Mengenai Syari‘ah: ‘ibadah dan mu’amalah;
5. Mengenai Akhlak;
6. Mengenai Studi Islam (Dirāsat Islamiyyah): Ilmu Tauhid dan Ilmu Kalam, Ilmu
Fiqh dan Ushūl Fiqh, Ilmu Akhlak, Ilmu Tasawwuf, dan lain sebagainya.
7. Mengenai pelbagai soal hidup lainnya, seperti: politik, ekonomi, sosial, kesenian,
ilmu pengetahuan, filsafat, bahasa, perbandingan agama, dan lain sebagainya.[27]
(bersambung)
Endnote:
[1] Alamat e-mail: kayyink_uinmakassar@yahoo.com
[2] Kail artinya Kairo dan Patnam artinya Kota atau Bandar; salah satu pusat kota di
India
[3] A. Latief Muchtar, Gerakan Kembali ke Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
1998 M.), h. 228.
[4] Dalam masyarakat India, mereka yang ilmu agamanya mendalam digelar
sebagai Pandit, sebagaimana halnya di kalangan masyarakat Bugis digelar sebagai
Pandrita atau ‘Ulama.
[5] Syafiq A. Mughni, Hassan Bandung: Pemikir Islam Radikal, (Cet. II; Surabaya:
PT. Bina Ilmu, 1994 M), h. 11
[6] Abdul Qadir Hassan (w. 25 Agustus 1984 M.), yang merupakan pelanjut A.
Hassan, aktif menulis dalam bidang Tafsīr, Hadīs, Ilmu Hadīs, dan Ushūl Fiqh, di
antara karya tulisnya adalah Kata Berjawab, Ilmu Mushthalah Hadits, Qāmūs Al-
Qur‘an, Ushūl Fiqh, Tafsīr Ahkām, Cara Berdiri I‘tidal, dan masih banyak lagi yang
lain. Putra Abdul Qadir Hassan, antara lain adalah Prof. Dr. Ir. Zuhal Abdul Qadir
yang pernah menjabat sebagai Menteri Riset & Teknologi masa Presiden Habibie;
putranya yang kedua adalah Ghāzie Abdul Qadir rahimahullah.
[7] Ibid. h. 12
[8] Lihat tulisan Tamar Jaya, “Riwayat Hidup A. Hassan”, dalam A. Hassan,
Tarjamah Bulughul Maram, (Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2001 M), h. 709;
Howard M. Federspiel, Persatuan Islam: Islamic Reform in Twentieth Century
Indonesia, diterjemahkan oleh Yudian W. Asmin dan Afandi Mochtar dengan judul
Persatuan Islam: Pembaharuan Islam Indonesia Abad XX, (Cet. I; Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 1996 M.), h. 17
[9] Syafiq A. Mughni, op. cit., h. 13
[10] Faqih Hasyim adalah salah seorang murid Dr. H. Abdul Karim Amrullah.
[11] Ibid., h. 14-15.
[12] Salah seorang tokoh pendiri NU, wafat Tahun 1971 M.
[13] Ushalliy adalah niat untuk setiapkali shalat yang dilafazhkan sebelum takbirat
al-ihrām.
[14] Ibid. h. 16
[15] Howard M. Federspiel, op. cit., h. 24
[16] Untuk mengetahui lebih jauh gerakan kebangkitan kembali studi Hadis di India
pada abad XVIII dan XIX, lihat, Daniel W. Brown, Rethinking Tradition in Modern
Islamic Thought, diterjemahkan oleh Jaziar Radianti dan Entin Sriani Muslim dengan
judul Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, (Cet. I; Bandung: Mizan, 2000
M.), h. 37-61
[17] Syafiq A. Mughni, op. cit., h. 20; Howard M. Federspiel, op. cit., h. 17
[18] Syafiq A. Mughni, loc. cit.
[19] Ahmad Syurkati (1874-1943), adalah pendiri organisasi Al-Irsyad. Untuk
mengkaji lebih jauh tentang sepak terjangnya dapat dilihat dalam, Bisri Affandi,
Syaikh Ahmad Syurkati: Pembaharu & Pemurni Islam di Indonesia, (Cet. I; Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 1999 M). A. Hassan mengakui bahwa Ahmad Syurkati adalah
salah seorang gurunya.
[20] KH. Mas Mansur (1896-1946) adalah penulis buku Hadits Nabawiyah yang berisi
tentang tanya jawab ucapan Nabi dan pencetus Majlis Tarjih Muhammadiyah. Ia juga
merupakan salah seorang murid Syeikh al-Muhaddits Mahfuzh al-Tirmisi. Lihat, M.
Yunan Yusuf, et. al., Ensiklopedi Muhammadiyah, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2005 M), h. 223.
[21] Cucu A. Hassan, Lahir Tahun 1947 dan wafat pada 2002, S1 di Universitas
Islam Madinah dan S2-S3 Takhassus Hadits di Darul Hadits al-Hasaniyah University
Rabat, Maroko, tulisan-tulisannya mengenai kajian Hadis masih tersebar di Majalah
Al-Muslimun. Salah seorang putranya bernama Hifzhie sedang menimba ilmu di Al-
Azhar University, Mesir.
[22] Cucu A. Hassan, lahir pada Tahun 1949, Alumnus International Islamic Call
Institute Tripoli, Libya. Ia cukup produktif dalam menuliskan hasil kajiannya
terhadap Hadis, di antaranya adalah Fiqh al-‘Ibādāt wa al-Mu’āmalāt, yang terdiri
dari kurang lebih dua jilid besar. Sebagian yang lain masih tersebar di Majalah Al-
Muslimun, dan ada pula yang masih berbentuk naskah. Sekarang ia masih
memimpin Pesantren Persis Bangil, di antara aktifitasnya yang lain adalah mengisi
kajian Hadis di Singapura, Malaysia, dan menghadiri pertemuan-pertemuan
international.
[23] Lahir di Sumenep (Jawa Timur) pada Tahun 1942, Alumnus Universitas Al-
Imām Muhammad ibn Sa‘ūd Riyādh. Di antara buku yang disusun olehnya, yang
telah diterbitkan adalah Sifat dan Kaifiyat Qiyamul Lail, selain itu tulisannya tersebar
di majalah Al-Muslimun, khususnya dalam kajian Tafsir dan Ilmu Tafsir.
[24] Ahmad Husnan, putra Imam Kurmen, lahir di Desa Wangen, Polanharjo, Klaten,
Jawa Tengah pada Tahun 1940, pendidikan dilaluinya pada PGAP IV Negeri Solo;
PGAA Muhammadiyah Padangsidempuan Tapanuli, Sumatera Utara; dan Mu‘allimin
Muhammadiyah Payakumbuh, Sumatera Barat. Setelah itu, ia melanjutkan studinya
ke Pesantren Persis Bangil di bawah pimpinan Abdul Qadir Hassan, lulus dari
Pesantren ia melanjutkan studinya ke Fakultas Syari‘ah Universitas Islam Madinah.
Selesai di Madinah ia terus melanjutkan studinya ke Cairo, Mesir. Sekarang aktif
mengajar dan menulis di Pesantren Al-Mukmin Ngruki, Jawa Tengah. Di antara karya
tulisnya adalah Gerakan Ingkar Sunnah dan Jawabannya, Kritik Hadis Cendekiawan
Dijawab Santri, Keputusan Al-Qur‘an Digugat, Kajian Hadis Metode Takhrīj,
Meluruskan Pemikiran Pakar Muslim, Ilmiah Intelektual dalam Sorotan, dan lain-lain.
[25] Murid Abdul Qadir Hassan, mengajar kajian Hadis di Jakarta (Tanah Abang).
Putranya, Ivy Azizi sedang menimba ilmu pada Kulliyat Da‘wah al-Ālamiyah, Tripoli,
Libya dan Azmi Haqqiy pada Jurusan Tafsir Hadits, Fakultas Usuluddin, International
Islamic University, Islamabad, Pakistan.
[26] Lebih lanjut lihat catatan Howard M. Federspiel, Syafiq A. Mughni, dan Dadan
Wildan mengenai buku-buku karya A. Hassan.
[27] Endang Saifuddin Ansari, A. Hassan: Wajah dan Wijhah Seorang Mujtahid,
dalam Abdul Rahman Haji Abdullah, Gerakan Islah di Perlis: Sejarah dan Pemikiran,
(Cet. I; Kuala Lumpur: Penerbitan Pena, 1989 M), h. 131

A. Pengertian Hadis, Sunnah, dan Atsar

Hadis secara bahasa berarti perkataan, pembicaraan,


percakapan, sesuatu yang baru, dan khabaran. Menurut istilah,
maksudnya ialah perkataan, perbuatan, dan hal-hal rasul, juga taqrīr-
nya yaitu perbuatan atau percakapan sahabat yang diketahui oleh
Rasulullah Muhammad shalla Allāh ‘alayhi wa sallam, tetapi
dibiarkannya.[2]

Sunnah menurut bahasa berarti perjalanan, peraturan, tabi‘at,


dan syari‘at. Menurut istilah, Sunnah sama dengan Hadis.[3] Sedang
atsar itu, adalah perkataan sahabat.[4] Demikian A. Hassan
mengemukakan penjelasan mengenai tiga term (istilah) tersebut.

B. Pembagian Hadis

Hadis atau sunnah yang terdapat dalam kitab-kitab Hadis yang


terkenal, ditinjau dari sisi jumlah periwayatnya terbagi kepada dua
macam; (1) mutawātir, (2) āhād.

Hadis mutawātir adalah Hadis-Hadis yang diriwayatkan dari


Nabi Muhammad shalla Allāh ‘alayhi wa sallam oleh beberapa banyak
manusia kepada beberapa banyak manusia dan seterusnya demikian
hingga tercatat, dengan beberapa sanad pula.[5]
Hadis āhād terbagi kepada tiga macam lagi; (1) Hadis masyhūr
atau mustafidh yaitu Hadis-Hadis yang diriwayatkan dari Nabi
Muhammad shalla Allāh ‘alayhi wa sallam oleh tiga orang atau lebih
kepada tiga orang atau lebih, dan seterusnya begitu hingga tercatat
dengan sanad yang sekurang-kurangnya tiga. (2) Hadis ‘azīz yakni
Hadis-Hadis yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad shalla Allāh
‘alayhi wa sallam oleh dua orang kepada dua orang, dan seterusnya
demikian hingga tercatat dengan dua sanad. (3) Hadis garīb yakni
Hadis-Hadis yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad shalla Allāh
‘alayhi wa sallam oleh seorang kepada seorang, dan seterusnya
demikian hingga tercatat dengan satu sanad.[6]

Hadis mutawātir sudah pasti maqbul yang termasuk Hadis


ashah yakni yang terlebih sah, kecuali bila kandungan matan-nya
bertentangan dengan al-Qur’an.[7] Hadis āhād ada yang maqbul
(diterima) dan ada pula yang mardūd (ditolak).

Hadis āhād yang maqbul terbagi dua; (1) Hadis shahīh, yakni
Hadis yang sanad-nya bersambung dari awal sampai akhir serta
diriwayatkan oleh orang-orang yang kepercayaan (tsiqah) (2) Hadis
hasan, yakni Hadis yang di antara rawi-rawinya ada yang kurang ke-
dhābith-annya, tidak banyak, hanya sedikit-sedikit saja.[8]

Hadis āhād yang mardūd memiliki banyak jenis, masing-masing


jenis memiliki nama-nama tersendiri, namun secara keseluruhan
disebut dengan istilah Hadis dha‘īf yakni Hadis yang tidak memenuhi
sifat-sifat dan syarat-syarat Hadis shahīh atau tidak pula Hadis hasan.
[9]

Hadis dha‘īf ada yang lemah saja (maksudnya, ringan), dan


terkadang ada juga yang sangat lemah. Adapun Hadis yang lemahnya
ringan kalau memiliki banyak jalan dan masing-masing kelemahannya
tidak berat, selama tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan Hadis
yang maqbūl, maka dapat dianggap sebagai Hadis hasan.[10]

C. Cara Memeriksa Sanad Hadis


1. Mengumpulkan Sanad dan Matan

a. Cara Mencari Hadis

Dalam kitab-kitab ilmu-ilmu Hadis, untuk menelusuri suatu


Hadis kepada sumber kitab asalnya disebut dengan istilah takhrīj. Kata
takhrīj merupakan ism al-mashdar, dari kata kharraja yukharriju
takhrījan, bila ditelusuri ke akarnya, kata ini terdiri dari huruf khā’, rā’
dan jīm yang asal artinya menembus sesuatu (‫ء‬ ِ‫ي‬ْ ‫شش‬
ّ ‫ن ال‬
ِ ‫عش‬
َ ‫ )الّنَفشُذ‬dan
perbedaan antara dua warna (11].(‫ن‬
ِ ‫الّلْوَنْي‬ ُ‫لف‬
َ ‫خِت‬
ْ ‫ ]ِإ‬Selain itu, arti yang
populer adalah mengeluarkan (‫ط‬ ُ ‫سششِتْنَبا‬
ْ‫ل‬ِ ‫)ا‬, meneliti atau melatih (
ُ ‫)الّتْدِرْي‬, dan menerangkan (12].(‫جْيُه‬
‫ب‬ ِ ‫]الّتْو‬

Para muhadditsīn (‘Ulama Hadis) dahulu mengenal kegiatan


takhrīj untuk hal-hal sebagai berikut; (1) menjelaskan Hadis kepada
orang lain dengan menyebutkan nama para perawi dan lambang-
lambang periwayatan[13] yang mereka gunakan dalam sanad Hadis
itu. Takhrīj seperti ini telah dilakukan oleh para Pendaftar Hadis
(mukharrij), seperti al-Bukhāriy dan Muslim dalam kitab Shahīh-nya
masing-masing, demikian pula para Pendaftar Hadis lainnya. (2)
mengeluarkan dan meriwayatkan Hadis dari beberapa kitab, seperti al-
Bayhaqiy yang banyak mengutip Hadis dari kitab al-Sunan karya
Ahmad ibn ‘Ubayd al-Bashriy al-Saffar, lalu mengemukan sanad-nya
sendiri. (3) menunjukkan kitab-kitab sumber Hadis, dan
menisbatkannya dengan cara menyebutkan para perawinya, yaitu para
pengarang sumber Hadis tersebut, seperti apa yang dilakukan oleh
‘Abd al-Ra’ūf al-Munāwiy dalam kitabnya, Faydh al-Qadīr Syarh Al-
Jāmi‘ al-Shagīr fī Ahādīts al-Basyīr al-Nadzīr.[14]

Kegiatan takhrīj yang ketiga inilah yang cukup populer dan


kemudian dikembangkan oleh para muhadditsīn akhir-akhir ini,
sehingga al-Thahhān merumuskan bahwa kegiatan takhrīj al-hadīts
adalah menunjukkan tempat Hadis pada sumber-sumber aslinya,
dimana Hadis tersebut telah diriwayatkan lengkap dengan sanad-nya,
kemudian menjelaskan derajatnya jika diperlukan.[15]
Dalam mencari Hadis kepada sumber aslinya, ada beberapa
metode yang dapat digunakan,[16] sebagai berikut:

1. Mengetahui sahabat yang meriwayatkan Hadis; cara ini termasuk


cara yang mudah karena cukup mengetahui siapa nama sahabat
yang meriwayatkan Hadits yang sedang dicari sumbernya. Kitab
yang biasa digunakan adalah Tuhfat al-Asyrāf bi Ma‘rifat al-Athrāf,
karya Al-Hāfizh Jamal al-Dīn Abi al-Hajjāj Al-Mizziy.[17]

2. Mengetahui awal kalimat matan Hadis; cara ini termasuk cara yang
paling mudah dilakukan, namun dengan catatan, seorang pencari
Hadis harus mengetahui secara jelas lafazh matan Hadis yang ingin
di-takhrīj. Adapun kitab yang biasa digunakan melalui metode ini
adalah Mawsū‘at al-Athrāf al-Hadīts al-Nabawiy al-Syarīf, karya Abū
Hajar Muhammad al-Sa‘īd ibn Basyūniy Zaglūl[18] dan kitab Al-
Jāmi‘ al-Shagīr fī Ahādīts al-Basyīr al-Nadzīr, karya Al-Suyūthiy.[19]

3. Mengetahui kata-kata dalam matan Hadis; cara ini dengan melihat


kata-kata yang ada dalam matan Hadis tersebut, baik ism yang ada
dalam matan Hadis tersebut ataupun fi’il-nya. Kitab yang biasa
digunakan adalah Al-Mu‘jam al-Mufahras li Alfāzh al-Hadīts al-
Nabawiy, karya A.J. Wensink.[20]

4. Mengetahui tema-tema kandungan Hadis; yakni dengan cara


memahami tema materi yang terkandung dalam suatu Hadis yang
hendak di-takhrīj. Adapun kitab yang biasa digunakan untuk metode
ini adalah Miftāh Kunūz al-Sunnah, karya A.J. Wensink juga.[21]

5. Melihat klasifikasi Hadis; cara ini tergantung kedudukan Hadis yang


akan di-takhrīj, umpamanya, mencari Hadis dha‘īf atau mawdhū‘,
maka dicari di kitab-kitab yang menghimpun Hadis-Hadis dha‘īf atau
mawdhū‘, demikian seterusnya.

Dalam hal metode takhrīj al-hadīts ini, selama berbulan-bulan


penulis mengkaji dan meneliti kitab-kitab karya A. Hassan, namun
penulis tidak menemukan penjelasan tentang metode takhrīj yang
digunakannya. Setelah salah seorang guru penulis, Salam Russyad,
berkunjung ke rumah di Gowa pada Januari lalu,[22] penulis
mengambil kesempatan untuk bertanya tentang masalah ini, dan
menurutnya, “A. Hassan nampaknya memang belum menggunakan
metode takhrīj al-hadīts sebagaimana lima metode tersebut.
Persoalannya, buku-buku semacam itu sangat langka pada masanya.
Namun, lanjutnya, kitab Nayl al-Awthār karya al-Syawkāniy dan Subul
al-Salām karya al-Shan‘āniy, serta kitab-kitab lainnya, seperti syuruh
al-hadīts yang dimiliki A. Hassan sudah cukup membantunya
menelusuri sanad dan matan Hadis kepada kitab aslinya, dan ini
termasuk salah satu cara takhrīj pada masa itu”.

Ketika penulis mengkaji buku Mengenal Muhammad (Al-


Nubuwwah) karya A. Hassan, pada kata pengantarnya ia
mengemukakan:

“Isi kitab ini saya ambil dari: … … Al-Jāmi‘ al-Shagīr”.[23]

Pernyataan ini menunjukkan bahwa A. Hassan telah memiliki


salah satu kitab yang biasa dipakai dalam kegiatan takhrīj al-hadīts
metode ke-2 sebagaimana penjelasan di atas.

Dari kegiatan takhrīj al-hadīts maka hal yang sangat


bermanfaat antara lain; (1) terkumpulnya berbagai sanad dengan
berbagai lambang periwayatan dari suatu Hadis, dan (2) terkumpulnya
berbagai redaksi dari sebuah matan Hadis yang sedang diperiksa.[24]
Dapat penulis simpulkan bahwa dengan menggunakan metode takhrīj
al-hadīts maka seorang pemeriksa Hadis dapat mengetahui asal-usul
dan seluruh sanad dan matan Hadis yang diperiksa, serta ada atau
tidaknya syāhid atau mutābi‘.

A. Hassan mengemukakan contoh di bawah ini, yaitu Hadis


kedatangan Jibrīl bertanya tentang iman, islam, dan ihsan kepada Nabi
Muhammad shalla Allāh ‘alayhi wa sallam di hadapan para sahabat
yang diriwayatkan oleh Al-Bukhāriy melalui jalan sahabat Abū
Hurayrah radhiya Allāh ‘anhu. Al-Bukhāriy berkata:

ْ‫عشن‬ َ ‫عشَة‬َ ‫ي ُزْر‬ ْ ‫ن َأِبش‬


ْ ‫عش‬
َ ‫ن الّتْيِمي‬ َ ‫حّيا‬َ ‫خَبَرَنا َأُبْو‬
ْ ‫ن ِإْبَراِهْيَم َأ‬
ُ ‫عْيل ْب‬
ِ ‫سَما‬ْ ‫حّدَثَنا ِإ‬
َ ‫ل‬ َ ‫سّدُد َقا‬
َ ‫حّدَثَنا ُم‬
َ
‫ل َمشا‬
َ ‫ل فََقشا‬
ُ ‫جْبِرْيش‬
ِ ‫س َفَأَتشاُه‬
ِ ‫سّلَم َبشاِرًزا َيْوًمشا ِللّنشا‬
َ ‫عَلْيِه َو‬
َ ‫ل‬ ُ ‫صّلى ا‬ َ ‫ي‬ ّ ‫ن الّنِب‬ َ ‫ل َكا‬َ ‫َأِبيْ ُهَرْيَرَة َقا‬
ِ ‫ن ِبششاْلَبْع‬
‫ث‬ َ ‫سشِلِه َوُتشْؤِم‬
ُ ‫ل َوَملِئَكِتشِه َوُكُتِبشِه َوِبِلَقششاِئِه َوُر‬
ِ ‫ن ِبششا‬
َ ‫ن ُتشْؤِم‬
ْ ‫ن َأ‬
ُ ‫لْيَما‬
ِ ‫ ))ا‬:‫ل‬
َ ‫ن؟ َقا‬
ُ ‫لْيَما‬
ِ‫ا‬
((……

Terjemahnya:

Musaddad ceritakan kepada kami, ia berkata: Isma‘īl ibn Ibrāhīm


ceritakan kepada kami, ia berkata: Abū Hayyān al-Taymiy
khabarkan kepada kami, dari Abū Zur‘ah, dari Abū Hurayrah, ia
berkata: Nabi shalla Allāh ‘alayhi wa sallam pada suatu hari
pernah keluar menemui para sahabat, lalu datanglah Jibrīl
bertanya, apa iman itu? Nabi shalla Allāh ‘alayhi wa sallam
menjawab: “Iman itu ialah engkau percaya kepada Allah,
Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, pertemuan dengan-Nya, rasul-
rasul-Nya, dan bahwa engkau percaya kepada pembangkitan
(sesudah mati) … …”.[25]

Hadis ini diriwayatkan oleh Ahmad,[26] al-Bukhāriy,[27]


Muslim,[28] dan Ibnu Mājah.[29] Untuk menelusurinya lebih lanjut,
seseorang yang sedang melakukan kegiatan takhrīj, dapat
menggunakan kitab Al-Jāmi‘ al-Shagīr fī Ahādīts al-Basyīr al-Nadzīr karya
al-Suyūthiy, sebagaimana kitab yang ada pada A. Hassan. Hasil yang
didapatkan adalah sebagai berikut:

Hadis no. 3092:

‫ )م‬.‫شّرِه‬
َ ‫خْيِرِه َو‬
َ ‫ن ِباْلَقَدِر‬
َ ‫خِر َوُتْؤِم‬
ِ ‫سِلِه َوالَيْوِم ال‬
ُ ‫ل َوَملِئَكِتِه َوُكُتِبِه َوُر‬
ِ ‫ن ِبا‬
َ ‫ن ُتْؤِم‬
ْ ‫ن َأ‬
ُ ‫لْيَما‬
ِ‫ا‬
(‫( عن عمر )صحش‬3
Hadis no. 3093:

َ ‫ن َوُتشْؤِم‬
‫ن‬ ِ ‫جّنشِة َوالّنشاِر َواْلِمْيشَزا‬
َ ‫ن ِباْل‬
َ ‫سشِلِه َوُتشْؤِم‬
ُ ‫ل َوَملِئَكِتشِه َوُكُتِبشِه َوُر‬ِ ‫ن ِبشا‬
َ ‫ن ُتْؤِم‬
ْ ‫ن َأ‬ُ ‫لْيَما‬
ِ‫ا‬
(‫ )هب( عن عمر )صحش‬.‫شّرِه‬ َ ‫خْيِرِه َو‬َ ‫ن ِباْلَقَدِر‬
َ ‫ت َوُتْؤِم‬
ِ ‫ث َبْعَد اْلَمْو‬ِ ‫ِبالَْبْع‬

Pada akhir matan Hadis no. 3092 terdapat symbol (‫( عن عمر‬3 ‫م‬
‫))صحششش‬ maksudnya, Hadis ini diriwayatkan oleh Muslim,[30] Abū
Dāwud,[31] al-Nasā’iy,[32] dan al-Turmudziy,[33] dari ‘Umar ibn al-
Khaththāb, dengan kualitas shahīh. Demikian pula pada akhir matan
Hadis no. 3093 terdapat symbol (‫ )هب( عن عمر )صحش‬maksudnya, Hadis
ini diriwayatkan oleh al-Bayhaqiy dalam kitabnya, Syu‘ab al-Īmān,[34]
dari ‘Umar ibn al-Khaththāb, dengan kualitas shahīh pula. Demikian
menurut al-Suyūthiy.[35]

Setelah Hadis-Hadis tersebut diketahui sumber kitabnya, maka


seseorang yang sedang memeriksa Hadis ini harus terus menelusuri
dan mengumpulkan seluruh sanad dan matan-nya masing-masing dari
kitab-kitab para Pendaftar Hadis tersebut untuk kemudian dibuatkan
gambaran sanad-nya.

b. Gambaran Sanad

Setelah mengadakan kegiatan takhrīj al-hadīts maka langkah


selanjutnya adalah pemeriksaan terhadap sanad yaitu dengan
melakukan kegiatan al-i‘tibār[36] terlebih dahulu atau dalam istilah A.
Hassan dinamai “gambaran sanad”.[37] Hal ini dilakukan agar supaya
orang yang memeriksa Hadis dapat mengetahui ada atau tidak adanya
pendukung berupa periwayat yang berstatus syāhid atau mutābi‘.

Contoh gambaran sanad Hadis kedatangan Jibrīl bertanya


tentang iman, islam, dan ihsan tersebut di atas, melalui jalan sahabat
Abū Hurayrah radhiya Allāh ‘anhu

Gambaran sanad Hadis riwayat Ahmad, sebagai berikut:

1. Ahmad (haddatsanā)

2. Isma‘īl ibn Ibrāhīm (haddatsanā)

3. Abū Hayyān al-Taymiy (‘an)

4. Abū Zur‘ah, (‘an)

5. Abū Hurayrah radhiya Allāh ‘anhu, (qāla)

6. Al-Nabiy shalla Allāh ‘alayhi wa sallam

Gambaran sanad Hadis riwayat al-Bukhāriy, sebagai berikut:

1. Al-Bukhāriy (haddatsanā)
2. Musaddad (haddatsanā)

3. Isma‘īl ibn Ibrāhīm (akhbaranā)

4. Abū Hayyān al-Taymiy (‘an)

5. Abū Zur‘ah, (‘an)

6. Abū Hurayrah radhiya Allāh ‘anhu, (qāla)

7. Al-Nabiy shalla Allāh ‘alayhi wa sallam

Gambaran sanad Hadis riwayat Muslim, sebagai berikut:

1. Muslim (haddatsanā)

2. Abū Bakr ibn Abī Syaybah dan Zuhayr ibn Harb (haddatsanā)

3. Isma‘īl ibn Ibrāhīm (‘an)

4. Abū Hayyān al-Taymiy (‘an)

5. Abū Zur‘ah, (‘an)

6. Abū Hurayrah radhiya Allāh ‘anhu, (qāla)

7. Al-Nabiy shalla Allāh ‘alayhi wa sallam

Gambaran sanad Hadis riwayat al-Nasā’iy, sebagai berikut:

1. Al-Nasā’iy (akhbaranā)

2. Muhammad ibn Qudāmah ibn A‘yun al-Qurasyiy (‘an)

3. Jarīr ibn Abd al-Hamīd al-Tsaqafiy (‘an)

4. Abū Farwah ‘Urwah ibn al-Hārits al-Hamdāniy (‘an)

5. Abū Zur‘ah ibn ‘Amr, (‘an)


6. Abū Hurayrah dan Abū Dzarr al-Gifāriy radhiya Allāh ‘anhuma,
(qālā)

7. Al-Nabiy shalla Allāh ‘alayhi wa sallam

Gambaran sanad Hadis riwayat Ibnu Mājah, sebagai berikut:

1. Ibnu Mājah (haddatsanā)

2. Abū Bakr ibn Abī Syaybah (haddatsanā)

3. Isma‘īl ibn Ibrāhīm (‘an)

4. Abū Hayyān al-Taymiy (‘an)

5. Abū Zur‘ah, (‘an)

6. Abū Hurayrah radhiya Allāh ‘anhu, (qāla)

7. Al-Nabiy shalla Allāh ‘alayhi wa sallam

Contoh gambaran sanad Hadis kedatangan Jibrīl bertanya


tentang iman, islam, dan ihsan kepada Nabi saw. di hadapan para
sahabat tersebut di atas, melalui jalan sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab
radhiya Allāh ‘anhu.

Gambaran sanad Hadis riwayat Muslim, sebagai berikut:

1. Muslim (haddatsanā)

2. Zuhayr ibn Harb (haddatsanā)

3. Wakī‘ ibn al-Jarrāh (‘an)

4. Kahmas ibn al-Hasan (‘an)

5. ‘Abd Allāh ibn Buraydah (‘an)

6. Yahya ibn Ya‘mar (simā‘)


7. ‘Abd Allāh ibn ‘Umar ra. (haddatsanīy)

8. ‘Umar ibn al-Khaththāb radhiya Allāh ‘anhu, (qāla)

9. al-Nabiy shalla Allāh ‘alayhi wa sallam

Gambaran sanad Hadis riwayat Abū Dāwud, sebagai berikut:

1. Abū Dāwud (haddatsanā)

2. ‘Ubayd Allāh ibn Mu‘ādz (haddatsanā)

3. Mu‘ādz ibn Mu‘ādz ibn Nashr al-‘Anbariy (haddatsanā)

4. Kahmas ibn al-Hasan (‘an)

5. ‘Abd Allāh ibn Buraydah (‘an)

6. Yahya ibn Ya‘mar (simā‘)

7. ‘Abd Allāh ibn ‘Umar ra. (haddatsanīy)

8. ‘Umar ibn al-Khaththāb radhiya Allāh ‘anhu, (qāla)

9. al-Nabiy shalla Allāh ‘alayhi wa sallam

Gambaran sanad Hadis riwayat al-Nasā’iy, sebagai berikut:

1. Al-Nasā’iy (akhbaranā)

2. Ishāq ibn Ibrāhīm al-Hanzhaliy al-Marūziy (haddatsanā)

3. Al-Nadhr ibn Syumayl al-Nahwiy (anba’anā)

4. Kahmas ibn al-Hasan (haddatsanā)

5. ‘Abd Allāh ibn Buraydah (‘an)

6. Yahya ibn Ya‘mar (simā‘)


7. ‘Abd Allāh ibn ‘Umar radhiya Allāh ‘anhu, (haddatsanīy)

8. ‘Umar ibn al-Khaththāb radhiya Allāh ‘anhu, (qāla)

9. al-Nabiy shalla Allāh ‘alayhi wa sallam

Gambaran sanad Hadis riwayat al-Turmudziy, sebagai berikut:

1. Al-Turmudziy (haddatsanā)

2. Abū ‘Ammār al-Husayn ibn Hurayts al-Khuzā’iy (akhbaranā)

3. Wakī‘ ibn al-Jarrah (‘an)

4. Kahmas ibn al-Hasan (‘an)

5. ‘Abd Allāh ibn Buraydah (‘an)

6. Yahya ibn Ya‘mar (simā‘)

7. ‘Abd Allāh ibn ‘Umar radhiya Allāh ‘anhu, (haddatsanīy)

8. ‘Umar ibn al-Khaththāb radhiya Allāh ‘anhu, (qāla)

9. al-Nabiy shalla Allāh ‘alayhi wa sallam

Para ulama Hadis membagi sanad kepada tiga bagian, yaitu (1)
awal sanad, (2) akhir sanad, dan (3) wasath sanad, yakni pertengahan
sanad. Umpamanya, al-Bukhāriy dan atau orang yang sampaikan
Hadis kepadanya, seperti Musaddad, disebut awal sanad. Sedangkan
Abū Hurayrah radhiya Allāh ‘anhu dan atau orang yang menerima
Hadis darinya, seperti Abū Zur‘ah ibn ‘Amr, disebut akhir sanad.
Adapun selain mereka, seperti Isma‘īl ibn Ibrāhīm dan Abū Hayyān al-
Taymiy, disebut pertengahan sanad. Perhatikan gambaran sanad
Hadis riwayat al-Bukhāriy di atas, demikian pula seterusnya dengan
sanad-sanad Muslim, Abū Dāwud, dan lainnya.[38]

Adapun kata “haddatsanā” dan lain-lainnya itu merupakan


lambang-lambang periwayatan. Dari lambang-lambang periwayatan
inilah seseorang yang sedang memeriksa persambungan sanad Hadis
dapat mengetahui cara para perawi menerima dan meriwayatkan
Hadis. Umpamanya, kata haddatsanā yang artinya “ia telah
menceritakan kepada kami”, menunjukkan bahwa perawi yang
menggunakan lambang ini, “mendengar langsung” Hadis tersebut dari
gurunya. Insya Allah, pada pembahasan thuruq al-tahammul wa al-
adā’ mendatang, penulis akan menguraikannya lebih lanjut.

c. Syāhid dan Mutābi‘

A. Hassan menjelaskan pengertian syāhid yang artinya


penyaksi, umpamanya, jika ada satu Hadis Nabi Muhammad shalla
Allāh ‘alayhi wa sallam yang diriwayatkan oleh al-Bukhāriy, dari jalan
Ibnu ‘Abbās radhiya Allāh ‘anhu, kemudian Hadis yang sama
maknanya itu diriwayatkan pula melalui jalan sahabat lain, maka jalan
sahabat lain inilah dinamakan syāhid. Adapun Mutābi‘ artinya yang
mengikuti atau yang mengiringi, umpamanya, bila Hadis tadi,
diriwayatkan dari Ibn Abbās juga, maka yang ini dinamakan mutābi‘.
[39]

Jadi, syāhid itu adalah satu Hadis yang matan-nya mencocoki


matan Hadis lain, dan biasanya sahabat yang meriwayatkannya pun
berlainan.[40]

Contoh matan Hadis kedatangan Jibrīl bertanya tentang iman,


islam, dan ihsan tersebut di atas, melalui jalan sahabat Abū Hurayrah
radhiya Allāh ‘anhu. Setelah diperiksa melalui gambaran sanad,
ternyata terdapat sahabat Abū Dzarr al-Gifāriy dan ‘Umar ibn al-
Khaththāb radhiya Allāh ‘anhuma yang menjadi syāhid-nya, demikian
seterusnya, walaupun lafazh matan-nya ada perbedaan, namun
maknanya mencocoki, inilah yang disebut syāhid ma‘nan. Bila
lafazhnya sama disebut syāhid lafzhan.

Adapun mutābi‘ itu adalah satu Hadis yang sanad-nya


menguatkan sanad lain dari Hadis itu juga.[41]
Contoh sanad Hadis kedatangan Jibrīl bertanya tentang iman,
islam, dan ihsan tersebut di atas, melalui jalan sahabat Abū Hurayrah
radhiya Allāh ‘anhu yang diriwayatkan oleh al-Bukhāriy, ia berkata:
(haddatsanā) Musaddad (haddatsanā) Isma‘īl ibn Ibrāhīm, dst. dan
pada sanad Hadis yang diriwayatkan oleh Muslim, ia berkata:
(haddatsanā) Abū Bakr ibn Abī Syaybah dan Zuhayr ibn Harb
(haddatsanā) Isma‘īl ibn Ibrāhīm, dst. ternyata antara guru al-
Bukhāriy, yakni Musaddad dan dua guru Muslim, yakni Abū Bakr ibn
Abī Syaybah dan Zuhayr ibn Harb sama-sama menerima Hadis di atas
dari Isma‘īl ibn Ibrāhīm. Guru-guru Muslim itulah yang disebut
mutābi‘. (BERSAMBUNG)

Endnote
[1] Alamat e-mail: kayyink_uinmakassar@yahoo.com
[2] A. Hassan, Ringkasan Islam, (Bangil: Al-Muslimun, 1972 M.), h. 11
[3] Ibid.; lihat pula, A. Hassan, “Muqaddimah Ilmu Hadis dan Ushūl Fiqh”,
dalam Tarjamah Bulūg al-Marām, (Cet. XXV; Bandung: CV Penerbit
Diponegoro, 2001 M.), h. 15, selanjutnya disebut “Muqaddimah Ilmu
Hadis” saja.
[4] Ibid., h. 2
[5] Ibid., h. 10; lihat pula, A. Hassan, Ringkasan Islam, loc. cit.
[6] A. Hassan, “Muqaddimah Ilmu Hadis”, loc. cit.
[7] Ibid.; A. Hassan, Ringkasan Islam, op. cit., h. 12
[8] A. Hassan, et. al., Soal Jawab, Jilid II, (Cet. XII; Bandung: Penerbit CV
Diponegoro, 2000 M.), h. 696; lihat pula, A. Hassan, “Muqaddimah Ilmu
Hadis”, op. cit., h. 10, 12
[9] Ibid., h. 11
[10] A. Hassan, Ringkasan Islam, loc. cit.
[11] Ahmad ibn Fāris, Mu‘jam al-Maqāyis fī al- Lugah, (Cet. I; Beirūt: Dār
al-Fikr, 1415 H.-1994 M.), h. 313
[12] Majd al-Dīn Muhammad ibn Ya‘qūb al-Fayruzzabādiy, Al-Qāmūs al-
Muhīth, (Cet. I; Beirūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1425 H.-2004 M.), h.
211
[13] Lambang-lambang periwayatan yang dimaksud adalah siyag al-isnād,
yakni lafazh-lafazh yang ada dalam sanad yang digunakan oleh rawi-rawi
ketika menyampaikan Hadis atau riwayat, umpamanya haddatsanā,
haddatsaniy, akhbaranā, akhbaraniy, ‘an, dan sebagainya.
[14] Mahmūd al-Thahhān, Ushūl al-Takhrīj wa Dirāsat al-Asānīd, (t.d.), h.
10-11
[15] Ibid., h. 12
[16] Lebih lanjut lihat, ‘Abd al-Mahdi ibn ‘Abd al-Qadir, Thuruq Takhrīj Hadīts
Rasūlillah Shalla Allāh ‘Alayh wa Sallam, diterjemahkan oleh Sayyid Agil
Husin Munawwar dan Ahmad Rifqi Muchtar dengan judul Metode Takhrīj
Hadis, (Cet. I; Semarang: Dina Utama, 1994 M.), h. 15; Mahmūd al-
Thahhān, Ushūl al-Takhrīj wa Dirāsat al-Asānīd, op. cit., h. 37-38;
Tasmin Tangngareng, “Metode Takhrīj Dalam Penelitian Sanad Hadis”,
Diktat Perkuliahan, (Makassar: UIN Alauddin, t.th.), h. 6-20; Baso
Midong, Kualitas Hadis Dalam Kitab Tafsir An-Nur Karya T.M. Hasbi Ash-
Shiddieqy, (Cet. I; Makassar: YAPMA, 2007 M.), h. 11-12
[17] Cet. I; Bombay: Dār al-Qayyimah, 1982 M.
[18] Cet. I; Beirūt: Dār al-Fikr, 1989 M.
[19] Cet. II; Beirūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1425 H.-2004 M.
[20] A.J. Wensink memberi judul Concordance et Indices la Tradition
Musulmane, diterjemahkan oleh Muhammad Fu’ād ‘Abd al-Bāqiy dengan
judul Al-Mu‘jam al-Mufahras li Alfāzh al-Hadīts al-Nabawiy, Cet. Leiden:
E.J. Brill, 1965 M.
[21] A.J. Wensink memberi judul A Handbook of Early Muhammadan
Tradition, diterjemahkan oleh Muhammad Fu’ād ‘Abd al-Bāqiy dengan
judul Miftāh Kunūz al-Sunnah, Cet. Lahore: Sohail Academy, 1391 H.-
1974 M.
[22] Salam Russyad, adalah Dosen Hadis dan Ilmu-ilmu Hadis pada Ma‘had
‘Āliy (Pesantren Tinggi) Persis Bangil, Jawa Timur. Saat ini, ia diamanahi
sebagai Ketua Persis (Persatuan Islam) Wilayah Indonesia Timur.
Berkunjung ke rumah penulis di Jln. Syeikh Yusuf III No. 54 Ko’bang,
Gowa, Sulawesi Selatan, pada 30-31 Januari 2008 M.
[23] A. Hassan, Mengenal Muhammad, (Cet. VI; Surabaya: PT Bina Ilmu,
1987 M.), h. 10
[24] ‘Abd al-Mahdi ibn ‘Abd al-Qadir menyebutkan hingga 20 manfaat dari
kegiatan takhrīj al-hadīts. Lihat, ‘Abd al-Mahdi ibn ‘Abd al-Qadir, op. cit.,
h. 4-6
[25] A. Hassan, Ringkasan Islam, op. cit., h. 15
[26] Ahmad ibn Hanbal, Musnad al-Imām Ahmad ibn Hanbal, Jilid II, (t.t.:
Dār al-Fikr, t.th.), h. 426
[27] Muhammad ibn Ismā‘īl al-Bukhāriy, Shahīh al-Bukhāriy, Juz I, (Cet. I;
Beirūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1412 H.-1992 M.), h. 22, Kitāb al-
Īmān, Bāb Su’āl Jibrīl al-Nabiy Shalla Allāh ‘Alayhi wa Sallam ‘An al-Īmān
wa al-Islām wa al-Ihsān wa ‘Ilm al-Sā‘ah, Hadis No. 50; Juz V, h. 318,
Kitāb Tafsīr al-Qur’ān, Bāb Qawluhu Inna Allāh ‘Indahu ‘Ilm al-Sā‘ah,
Hadis No. 4777
[28] Muslim ibn Hajjāj al-Qusyayriy al-Naysābūriy, Shahīh Muslim, Juz I,
(Cet. I; Beirūt: Dār al-Fikr, 1412 H.-1992 M.), h. 28, Kitāb al-Īmān, Bāb
Bayān al-Īmān wa al-Islām wa al-Ihsān wa Wujūb al-Īmān bi Itsbāt
Qadar Allāh Subhānahu wa Ta‘ālā, Hadis No. 5
[29] Muhammad ibn Yazīd al-Qazwīniy, Sunan ibn Mājah, Juz I, (Beirūt: Dār
al-Fikr, 1415 H.-1995 M.), h. 37, Kitāb al-Muqaddimah, Bāb fī al-Īmān,
Hadis No. 64
[30] Muslim ibn al-Hajjāj al-Qusyayriy al-Naysābūriy, op. cit., h. 27, Kitāb al-
Īmān, Bāb Bayān al-Īmān wa al-Islām wa al-Ihsān wa Wujūb al-Īmān bi
Itsbāt Qadar Allāh Subhānahu wa Ta‘ālā, Hadis No. 1
[31] Sulaymān ibn al-Asy‘ats al-Sijistāniy, Sunan Abī Dāwud, (Cet. I; Beirūt:
Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1422 H.-2001 M.), h. 739, Kitāb al-Sunnah,
Bāb fī al-Qadar, Hadis No. 4695
[32] Ahmad ibn Syu‘ayb ibn ‘Aliy ibn Bahr al-Nasā’iy, Sunan al-Nasā’iy bi
Syarh al-Hāfizh Jalāl al-Dīn al-Suyūthiy wa Hāsyiyah al-Sindiy, Juz VIII,
(Al-Qāhirah: Dār al-Hadīts, 1407 H.-1987 M.), h. 97-98, Kitāb al-Īmān
wa Syarā’i‘hi, Bāb Na‘t al-Islām.
[33] Muhammad ibn Īsā ibn Sawrah al-Turmudziy, Sunan al-Turmudziy, Juz
IV, (Beirūt: Dār al-Fikr, 1414 H.-1994 M.), h. 275-276, Kitāb al-Īmān,
Bāb Mā Jā’a fī Washfi Jibrā’īl li al-Nabiy Shala Allāh ‘Alayh wa Sallam al-
Īmān wa al-Islām.
[34] Abū Bakr Ahmad ibn Husayn ibn ‘Aliy al-Bayhaqiy, Syu‘ab al-Īmān,
(t.d.)
[35] Jalāl al-Dīn ibn Abī Bakr al-Suyūthiy, Al-Jāmi‘ al-Shagīr fī Ahādīts al-
Basyīr al-Nadzīr, (Cet. II; Beirūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1425 H.-
2004 M.), h. 185; lihat pula, Muhammad ‘Abd al-Ra’ūf al-Munāwiy,
Faydh al-Qadīr Syarh Al-Jāmi‘ al-Shagīr fī Ahādīts al-Basyīr al-Nadzīr,
Jilid III, (Cet. II; Beirūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1427 H.-2006 M.), h.
240
[36] Al-I‘tibār secara bahasa merupakan mashdar dari kata i‘tabara yang
berarti memperhatikan suatu perkara untuk mengetahui perkara lain
yang sejenis. Menurut istilah, menelusuri jalur-jalur Hadis yang
diriwayatkan secara menyendiri oleh seorang rawi, untuk mengetahui
apakah terdapat rawi lain yang bersekutu dalam riwayatnya atau tidak.
Lihat, Mahmūd al-Thahhān, Taysīr Mushthalah al-Hadīts, (Surabaya:
Syirkat Bunkūl Indah, t.th.), h. 141
[37] A. Hassan, “Muqaddimah Ilmu Hadis”, op. cit. h. 2-3; A. Hassan,
Ringkasan Islam, op. cit. h. 15
[38] A. Hassan, “Muqaddimah Ilmu Hadis”, op. cit. h. 3
[39] Ibid., h. 9
[40] Abdul Qadir Hassan, Ilmu Mushthalah Hadis, (Cet. VIII; Bandung: CV
Penerbit Diponegoro, 2002 M.), h. 305
[41] Ibid., h. 302

KONTRIBUSI A. HASSAN TERHADAP KAJIAN HADIS DI INDONESIA: STUDI


ATAS CARA MEMERIKSA DAN MEMAHAMI HADIS
(Bagian Keempat)

Oleh: Al-Hāfizh Ibnul Qayyim [1]


(Mahasiswa Konsentrasi Tafsir Hadis PPs UIN Alauddin Makassar)

2. Kaedah Kesahihan Sanad


Mayoritas muhadditsīn (Ulama Hadis) sepakat dengan definisi Hadis sahih yang
dirumuskan oleh Abū ‘Amr ‘Utsmān ibn ‘Abd al-Rahmān ibn Shalāh al-Syahrazūriy,
sebagi berikut:

َ ‫ط ِإَلى ُمْنَتَهاُه َو‬


‫ل‬ ِ ‫ضاِب‬
ّ ‫ل ال‬
ِ ‫ن اْلَعْد‬
ِ‫ع‬َ ‫ط‬
ِ ‫ضاِب‬
ّ ‫ل ال‬
ِ ‫ل اْلَعْد‬
ِ ‫سَناُدُه ِبَنْق‬
ْ ‫ل ِإ‬
ُ‫ص‬ِ ‫ي َيّت‬
ْ ‫سَنُد اّلِذ‬
ْ ‫ث اْلُم‬
ُ ‫حِدْي‬
َ ‫ح َفُهَو اْل‬
ُ ‫حْي‬ِ‫ص‬ ّ ‫ث ال‬ُ ‫حِدْي‬
َ ‫َأّما اْل‬
ً ‫ل ُمَعّل‬
‫ل‬ َ ‫شاّذا َو‬
َ ‫ن‬ َ ْ‫َيُكو‬

Terjemahnya:
Adapun Hadis sahih itu adalah Hadis yang disandarkan (kepada Nabi saw.), yang
sanad-nya bersambung, yang diriwayatkan oleh seorang yang ‘ādil lagi dhābith dari
seorang yang ‘ādil lagi dhābith (pula) sampai perhentian sanad-nya, tidak syādz
(janggal) dan tidak pula mu‘allal (cacat).[2]

A. Hassan mengemukakan definisi Hadis sahih menurut pandangannya, sebagai berikut:


“Hadis yang sah datangnya dari Nabi saw. yaitu Hadis yang didengar dari Nabi oleh
seorang rawi A; dan A menyampaikan pada B; dan B menyampaikan pada C; dan C
menyampaikan pada D; dan seterusnya begitu sampai tertulis di kitab-kitab Hadis para
imam-imam yang masyhur. Tiap-tiap rawi dari A, B dan seterusnya itu, harus bersifat
kepercayaan.”[3]

Definisi yang dikemukakan oleh A. Hassan ini, memberi kesan bahwa ia telah
menyederhanakan kaedah kesahihan Hadis menjadi dua saja, yaitu; (1) sanad-nya
bersambung, (2) diriwayatkan oleh orang-orang yang kepercayaan (tsiqah).

Penyederhanaan ini, sudah jāmi‘un māni‘un (menghimpun seluruh kaedah dan tidak
mengurangi sedikitpun ketercakupannya itu) terhadap bagian-bagian dari definisi yang
telah dikemukakan oleh muhadditsīn sebelumnya.

A. Hassan melanjutkan penjelasannya tentang sifat-sifat orang yang ia sebut kepercayaan


(tsiqah) itu, sebagai berikut:
“Orang yang bersifat kepercayaan itu paling sedikit harus punya empat sifat, (1) bulūg
(cukup umur), yakni hendaklah ia sudah cukup umur waktu menyampaikan Hadis yang ia
dengar itu, walaupun waktu ia mendengarnya itu, ia masih kecil. (2) Islam, yakni
cukuplah ia Islam waktu menyampaikan Hadis itu. (3) ‘adālah artinya keadilan, yakni
hendaklah ia bersifat ‘ādil di waktu menyampaikan Hadis itu. Yang dikatakan ‘ādil itu,
yaitu orang yang; tidak terdengar atau terlihat ia mengerjakan dosa besar teristimewa
dusta dan khianat, tidak selalu mengerjakan dosa-dosa kecil, tidak melanggar kesopanan
kaumnya yang tidak dilarang oleh agama. (4) dhābith, artinya tetap, tegak, beres dan lain-
lain yang searti dengan itu. Maksudnya di sini ialah kuat ingatannya, tidak biasa lupa atau
keliru pada meriwayatkan sesuatu Hadis.”[4]

Dalam hal ini, A. Hassan tidak menyebutkan syudzūdz dan ‘illat sebagai sifat-sifat orang
yang kepercayaan (tsiqah), karena ada dua kemungkinan alasan; (1) tidak mungkin suatu
Hadis yang sanad-nya dinyatakan bersambung (muttashil), dan diriwayatkan oleh orang
yang tsiqah (‘ādil dan dhābith) ternyata riwayatnya mengandung syudzūdz dan ‘illat,
sebab keduanya hanya terkait pada sanad yang tidak bersambung dan periwayat yang
tidak dhābith. (2) penyebutan keduanya (syudzūdz dan ‘illat) dalam definisi Ibnu Shalāh
itu semata-mata li al-ta’kīd (penekanan) terhadap pentingnya pemenuhan kedua unsur
tersebut di samping sebagai sikap kehati-hatian semata.

Dapat dirinci bahwa untuk sanad yang bersambung memiliki beberapa unsur, sebagai
berikut: (1) muttashil, yaitu Hadis yang sanad-nya sampai kepada Nabi saw. dengan tidak
putus, dinamakan mawshūl atau muttashil al-sanad yakni yang disambung sanad-nya,
yang tidak putus sanad-nya. Perkataan ini, juga terpakai untuk sanad atau riwayat atau
atsar al-shahābah atau tābi‘īn.[5] (2) marfū‘, yaitu satu Hadis yang diriwayatkan dari
Nabi saw. oleh seorang rawi kepada ulama mudawwin, seperti al-Bukhāriy, Muslim, Abū
Dāwud, dan lainnya, yakni Hadis yang riwayatnya diangkat sampai kepada Nabi saw.
Kalau ada perkataan Ahli Hadis bahwa Hadis itu di-rafa‘-kan oleh seorang sahābiy,
seperti Ibnu ‘Umar, umpamanya, maka maksudnya bahwa Ibnu ‘Umar katakan Hadis itu
dari Nabi saw. bukan fatwanya sendiri.[6] (3) mahfūzh, yaitu dalam satu pemeriksaan,
umpamanya, bila ada dua Hadis yang diriwayatkan dari Nabi saw. yang berlawanan,
sedang yang satu lebih kuat sanad-nya daripada yang lain, maka yang kuat sanad-nya itu
dinamakan mahfūzh dan yang kurang kuat dinamakan syādz.[7] (4) bukan mu‘all,
maksudnya bukan Hadis yang cacat. Hadis yang cacat (mu‘all) itu adalah satu Hadis yang
zahirnya sahih, tetapi sesudah diperiksa, terdapat ada cacatnya. Cacatnya itulah yang
dinamakan ‘illat (artinya penyakit).[8]

Untuk periwayat yang kepercayaan (tsiqah) juga memiliki beberapa unsur, sebagai
berikut: (1) al-‘adālah, yaitu beragama Islam, mukallaf (cukup umur), melaksanakan
ketentuan agama, dan memelihara murū’ah (akhlaq kesopanan), (2) al-dhabth, yaitu hafal
dengan baik Hadis yang diriwayatkannya, mampu dengan baik menyampaikan Hadis
yang dihafalnya kepada orang lain, dan secara otomatis terhindar dari syudzūdz, terhindar
dari ‘illat.

Umumnya para muhadditsīn mengemukakan bahwa untuk mengetahui tingkat ke-tsiqah-


an seorang periwayat, maka yang mesti diperiksa adalah ke-‘ādil-an yang berhubungan
dengan kualitas kepribadiannya, dan ke-dhābith-an yang berhubungan dengan kapasitas
intelektualnya.

Untuk menentukan sejauh mana kualitas kepribadian seorang periwayat, maka kreteria
ke-‘ādil-an yang diajukan A. Hassan adalah (1) tidak terdengar atau terlihat ia
mengerjakan dosa besar teristimewa dusta dan khianat, (2) tidak selalu mengerjakan
dosa-dosa kecil, (3) tidak melanggar kesopanan kaumnya yang tidak dilarang oleh
agama.[9]

Ulama lain, mengajukan kriteria ke-‘ādil-an, sebagai berikut; (1) beragama Islam, (2)
balig, (3) berakal, (4) taqwa, (5) memelihara murū’ah, (6) teguh dalam agama, (7) tidak
berbuat dosa besar, (8) menjauhi dosa-dosa kecil, (9) tidak berbuat bid‘ah, (10) tidak
berbuat maksiat, (11) tidak berbuat fasiq, (12) menjauhi hal-hal yang dibolehkan, yang
dapat merusak murū’ah, (13) baik akhlaqnya, (14) dapat dipercaya beritanya, (15)
biasanya benar.[10]

Dari kriteria-kriteria ke-‘ādil-an tersebut di atas, sesungguhnya dapat disaring, menjadi


empat kriteria saja, sebagai berikut; (1) beragama Islam, (2) mukallaf, (3) melaksanakan
ketentuan agama, dan (4) memelihara murū’ah. Dengan demikian, perawi yang
memenuhi empat kriteria ini dapat disebut ‘ādil.

Ke-‘ādil-an seorang rawi dapat diketahui berdasarkan (1) kemasyhuran keutamaannya di


kalangan ulama Hadis, (2) penilaian para kritikus Hadis, (3) penerapan kaedah-kaedah al-
jarh wa al-ta‘dīl, bila terjadi ketidaksepakatan penilaian terhadap kualitas kepribadian
seorang periwayat.[11]

Untuk menentukan sejauh mana kapasitas intelektual seorang periwayat, maka kriteria
ke-dhābith-an yang diajukan A. Hassan adalah (1) mengerti apa yang diriwayatkannya,
(2) tau apa-apa yang bisa mengubah makna Hadis, yaitu kalau dia meriwayatkan dengan
makna, (3) kuat hafalannya, (4) ingat akan kitabnya, yaitu kalau dia meriwayatkan Hadis
dengan tulisan.[12]

Dapat penulis simpulkan bahwa ke-dhābith-an yang dimaksud A. Hassan adalah


periwayat yang mampu menghafal dengan sempurna Hadis yang diterimanya, dan
mampu menyampaikan dengan baik Hadis yang dihafalnya. Bila periwayat itu juga
mampu memahami dengan baik Hadis yang dihafalnya maka kapasitas intelektualnya
berada ditingkat tamm al-dhabth (ke-dhābith-an yang sempurna).

ke-dhābith-an seseorang dapat diketahui berdasarkan (1) kesaksian para ulama, (2)
kesesuaian riwayatnya dengan riwayat yang disampaikan oleh periwayat yang ke-
dhābith-annya telah masyhur, (3) kekeliruan seorang periwayat yang dhābith dapat
ditolelir selama hal itu tidak sering terjadi, namun bila kekeliruan itu sering terjadi maka
predikat ke-dhābith-an yang disandang tidak berlaku lagi.[13]

Predikat ke-dhābith-an tidak mungkin disandang oleh periwayat yang (1) lebih banyak
salahnya daripada benarnya dalam meriwayatkan Hadis, (2) lebih menonjol sifat lupanya
dari pada sifat ingatnya, (3) diduga kuat wahm atau keliru dalam meriwayatkan Hadis,
(4) riwayatnya menyalahi periwayat yang lebih tsiqah, (5) buruk ingatannya.[14]

3. Cara Memeriksa Setiap Rawi dan Metode Periwayatannya


a. Biografi Periwayat
A. Hassan mengemukakan bahwa untuk mengetahui sahih tidaknya masing-masing
Hadis, lebih dahulu perlu diketahui semua rawi-rawinya, lalu memeriksanya di kitab-
kitab rijāl al-hadīts, terutama kitab Mīzān al-I‘tidāl karya al-Dzahabiy, kalau rawi-rawi
tersebut semua termasuk orang-orang yang kepercayaan (tsiqah) atau tidak terdapat
orang-orang yang tercela, maka Hadis itu boleh dimasukkan dalam bilangan Hadis hasan
atau Hadis sahih, menurut kedudukannya masing-masing.[15]

Orang yang meriwayatkan Hadis dari zaman Nabi Muhammad saw. hingga abad pen-
tadwin-an (pengumpulan) Hadis dalam kitab-kitab, baik itu periwayat dari kalangan
sahabat, tābi‘īn, dan seterusnya, orang-orang yang terkenal besarnya atau terkenal
sebagai orang yang berdusta, orang-orang yang saleh atau fasik, penurut sunnah dengan
betul atau ahli bid‘ah sekalipun jahatnya itu tidak diketahui, laki-laki atau perempuan,
anak-anak atau orang dewasa, semua mereka itu, telah didaftarkan oleh ulama akan
nama-nama mereka beserta tarikh riwayat hidup (biografi) masing-masing sedapat-
dapatnya.[16]

Kitab-kitab yang menerangkan tarikh rawi-rawi itu ada banyak dan bermacam-macam
metode penulisannya, ada yang bercampur antara perawi sahih dan dha‘īf, seperti
Tahdzīb al-Tahdzīb karya Ibnu Hajar al-‘Asqalāniy dan Mīzān al-I‘tidāl karya al-
Dzahabiy; ada yang menerangkan rawi-rawi yang baik dan yang boleh dipercaya saja,
seperti kitab Al-Tsiqāt karya Abu al-Hasan Ahmad ibn ‘Abdillāh ibn Shālih al-‘Ijliy dan
Al-Tsiqāt karya Ibnu Hibbān al-Busthiy; ada yang pisahkan (khususkan) rawi-rawi yang
lemah, pendusta, fasik, dan sebagainya, seperti kitab Al-Dhu‘afā’ al-Kabīr karya al-
Bukhāriy dan Al-Kāmil fī Dhu‘afā’ al-Rijāl karya Abu Ahmad Abdullah ibn ‘Adiy al-
Jurjāniy; ada yang sendirikan rawi-rawi dari kalangan sahabat saja, seperti kitab Al-
Isti‘āb fī Ma‘rifat al-Ashhāb karya Ibnu ‘Abd al-Barr dan Usud al-Gābat fī Ma‘rifat
Asmā’ al-Shahābah karya Ibnu al-Atsīr al-Jazriy; demikianlah seterusnya.[17]

A. Hassan menyebutkan pula beberapa kitab-kitab yang menerangkan biografi para


perawi Hadis yang ada padanya, antara lain; (1) Tahdzīb al-Tahdzīb karya Ibnu Hajar
al-‘Asqalāniy, terdiri dari 12 Juz, mengandung 12.460 nama rawi. (2) Lisān al-Mīzān
karya Ibnu Hajar al-‘Asqalāniy, terdiri dari 6 Juz, mengandung 15.343 nama rawi. (3)
Mīzān al-I‘tidāl karya al-Dzahabiy, terdiri dari 3 Juz ukuran besar, mengandung 10.907
nama rawi. (4) Al-Ishābah karya Ibnu Hajar al-‘Asqalāniy, terdiri dari 8 Juz besar, kitab
ini khusus menerangkan riwayat hidup sahabat-sahabat Nabi saw. dsb., mengandung
11.279 nama sahabat. (5) Usud al-Gābat fī Ma‘rifat Asmā’ al-Shahābah karya Ibnu al-
Atsīr al-Jazriy, terdiri dari 4 Jilid, mengandung 7.500 nama sahabat Nabi. (6) Al-Tārīkh
al-Kabīr karya al-Bukhāriy, sebanyak 6 Jilid, mengandung 9.048 rawi Hadis. (7) Al-
Fihris karya Ibn Nadīm, terdiri dari 10 Juz tipis. (8) Al-Badr al-Thāli‘ karya al-
Syawkāniy, ada 2 Juz, mengandung 441 nama rawi, dan ada Mulhaq-nya 1 Juz. (9) Al-
Jarh wa al-Ta‘dīl karya Ibn Abīy Hātim, ada 9 Jilid sedang, mengandung 18.040 nama
rawi-rawi. (10) Al-Durar al-Kāminah karya Ibnu Hajar al-‘Asqalāniy, terdiri dari 4 Juz,
yang mengandung 5320 nama-nama. (11) Nuzhat al-Khawāthir karya Abd al-Hayy al-
Hasaniy, ada 3 Jilid, mengandung 807 nama-nama ulama India yang ada sangkut pautnya
dengan sanad-sanad Hadis. (12) Ta‘jīl al-Manfa‘ah karya Ibnu Hajar al-‘Asqalāniy,
terdiri dari 1 Juz, yang mengandung 1733 nama rawi yang tidak terdapat pada kitabnya
Tahdzīb al-Tahdzīb. [13] Thabaqāt al-Mudallisīn karya Ibnu Hajar al-‘Asqalāniy, terdiri
dari 1 Juz. [14] ‘Ilal al-Hadīts karya Ibn Abīy Hātim, terdiri dari 2 Juz, mengenai
penyakit-penyakit Hadis.[18]

Literatur-literatur biografi para periwayat Hadis tersebut masih tersimpan rapi di


perpustakaan peninggalan A. Hassan di Bangil. Ini, menunjukkan bahwa A. Hassan
cukup menguasai literatur rijāl al-hadīts.

Data informasi yang harus diperiksa dari perawi Hadis menurutnya, sebagai berikut; (1)
nama lengkap perawi, termasuk laqab dan atau kunyah-nya, (2) kelahirnya, (3) tahun
matinya, (4) negerinya, (5) guru-gurunya, (6) murid-muridnya, (7) dimana ia belajar
yakni sejarah perlawatannya mencari Hadis, (8) siapa-siapa yang ia jumpai dari kalangan
ahli Hadis, (9) penilaian ulama terhadapnya.[19]

Salah satu contoh yang dapat penulis kemukakan dari hasil pemeriksaan A. Hassan
terhadap biografi perawi Hadis, yaitu Hadis tentang keadaan jasad para Nabi di alam
kubur riwayat Ahmad, Abū Dāwud, Al-Nasā’iy, Ibnu Mājah, Ibnu Hibbān, al-Hākim, al-
Bayhaqiy, al-Dārimiy, Sa‘īd ibn Manshūr, al-Thabrāniy, dan Ibn Abī Syaybah. Menurut
al-Hākim dan al-Nawāwiy, Hadis tersebut sahih. Al-Mundziriy juga menganggap Hadis
tersebut baik. Namun A. Hassan melemahkan Hadis tersebut.[20]

Ketidaksahihan Hadis tersebut menurut A. Hassan, disebabkan karena adanya seorang


perawi dalam sanad Hadis tersebut yang bernama ‘Abdurrahmān ibn Yazīd ibn Jābir.
Adapula sebagian ahli Hadis yang menyebutkan bahwa Hadis tersebut tidaklah melalui
jalur ‘Abdurrahmān ibn Yazīd ibn Jābir, tetapi melalui ‘Abdurrahmān ibn Yazīd ibn
Tamīm.

b. Perawi Pertama dan Terakhir.


Pemeriksaan terhadap perawi Hadis memang sangat diperlukan, sebab dengan memeriksa
keadaan mereka, orang yang mengadakan pemeriksaan akan lebih yakin akan kesahihan
sebuah riwayat. Dalam memeriksa perawi Hadis, A. Hassan hanya memeriksa guru
mukharrij hingga tabi’in, karena menurutnya, para sahabat itu sudah masyhur ke-ādil-an
mereka, demikian pula para mukharrij. Ia mengemukakan:

“Sebenarnya, ulama-ulama Pendaftar Hadis, seperti Malik, Ahmad, Bukhāriy, Muslim,


dan lain-lainnya, tidak perlu diperiksa lagi, karena mereka sudah diuji kealiman,
kesalehan, dan keamanatannya dalam urusan agama, terutama dalam urusan Hadis oleh
ulama-ulama yang sangat teliti di masing-masing masa dan terus menerus. Begitu juga,
para sahabat Nabi yang jadi rawi yang masyhur-masyhur, sudah diselidiki dan diuji oleh
ulama dan terdapat kebenaran, kesalehan, keikhlasan, dan keamanatan yang sempurna
pada mereka. Jadi yang perlu diperiksa itu ialah lain dari dua golongan tersebut”.[21]

Dari pernyataan ini, dapat penulis simpulkan bahwa kegiatan pemeriksaan terhadap
pribadi periwayat yang dilakukan A. Hassan, lebih tertuju pada, selain “para sahabat Nabi
yang jadi rawi yang masyhur-masyhur” dan “Pendaftar Hadis”. Alasannya, karena
mereka telah lulus uji pemeriksaan yang diadakan oleh ulama terdahulu.
(BERSAMBUNG)

Endnote:
[1] Alamat e-mail: kayyink_uinmakassar@yahoo.com
[2] Abū ‘Amr ‘Utsmān ibn ‘Abd al-Rahmān ibn Shalāh al-Syahrazūriy, Muqaddamah Ibn
Shalāh, (Bombay: Qayyimah Press, 1938 M.), h. 7-8.; lihat pula, Jalāl al-Dīn ibn ‘Abd al-
Rahmān al-Suyūthiy, Tadrīb al-Rāwiy fī Syarh Taqrīb al-Nawāwiy, (Cet. I; Beirūt: Dār
Ihyā’ al-Turāts al-‘Arabiy, 1421 H.-2001 M.), h. 58.
[3] A. Hassan, et al., Soal Jawab, Jilid II, (Cet. XII; Bandung: Penerbit CV Diponegoro,
2000 M.), h. 696.
[4] Ibid.
[5] A. Hassan, “Muqaddimah Ilmu Hadis dan Ushūl Fiqh”, dalam Tarjamah Bulūg al-
Marām, (Cet. XXV; Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2001 M.), h. 5-6.; Selanjutnya
disebut “Muqaddimah Ilmu Hadis” saja.
[6] Ibid., h. 5.
[7] Ibid., h. 9.
[8] Ibid., h. 8.
[9] A. Hassan, et al., Soal Jawab, loc. cit.
[10] Lebih lanjut lihat misalnya, Muhammad Shiddīq Hasan Khān, Hushūl al-Ma‘mūl
min ‘Ilm al-Ushūl, (Cairo: Dār al-Fadhīlah, t.th.), h. 139-140.; Muhammad Mahfūzh ibn
‘Abd Allah al-Tirmisiy, Manhaj Dzawiy al-Nazhar, (Surabaya: Ahmad ibn Sa’ad ibn
Nabhān, 1394 H.-1974 M.), h. 9.
[11] Muhammad Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan
Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, (Cet. II; Jakarta: Bulan Bintang, 1415 H.-
1995 M.), h. 134.
[12] A. Hassan menambahkan bahwa ada lain-lain syarat yang tidak begitu penting,
bahkan telah termasuk di salah satu syarat tersebut. Lihat, A. Hassan, et al., Soal Jawab,
op. cit., Jilid I, h. 345.
[13] Muhammad Syuhudi Ismail, op. cit., h. 136.
[14] ‘Abd al-‘Azīz ibn Muhammad ibn Ibrāhīm al-‘Abd al-Lathīf, Dhawābith al-Jarh wa
al-Ta‘dīl, (Cet. I; Madinah: al-Jāmi‘ah al-Islāmiyyah bi al-Madīnat al-Munawwarah,
1412 H.) h. 14.
[15] A. Hassan, et al., Soal Jawab, op. cit., h. 434-435.
[16] A. Hassan, Ringkasan Islam, (Bangil: Al-Muslimun, 1972 M), h. 16.
[17] Ibid.
[18] A. Hassan, “Muqaddimah Ilmu Hadis”, op. cit., h. 5, 25-26.
[19] Ibid., h. 2, 12.
[20] A. Hassan, et al., Soal Jawab, op. cit., h. 520.
[21] A. Hassan, Ringkasan Islam, op. cit. h. 17.

http://fospi.wordpress.com/2008/05/04/kontribusi-a-hassan-terhadap-kajian-
hadis-di-indonesia/
http://kayyink.wordpress.com/2008/04/13/Halo-Dunia/#comments

Persis Dan Ahmadiyah


Dikirim oleh admin on Tuesday, 11 March 200870 Komentar

H. Yusuf Badri, M.Ag.

Tahun 1930-an, Tuan Hassan melakukan perdebatan dengan tokoh Ahmadiyah Indonesia ketika itu,
Abubakar Ayyub. Sejak awal memang Persis menetang Ahmadiyah, sebab ajarannya menyeleweng dari
ajaran Islam. Penyelewengannya yang terutama adalah pengakuannya terhadap Murza Gulam Ahmad
sebagai nabi setelah Nabi Muhammad Saw, dan mengaku adanya kitab suci setelah Al-Quran, yaitu
Tadzkirah yang diturunkan kepada Murza Gulam Ahmad. Inilah penyelewengan yang sangat fatal. Bila
mengaku ada nabi lagi setelah Nabi Muhammad Saw dan ada kitab suci setelah Al-Quran, kelompok itu
jelas keluar dari Islam, tidak termasuk golongan muslim.

Dalam buku “Riwayat Hidup A. Hassan”, H. Tamar Djaja menceritakan debat A. Hassan dengan
tokoh Ahmadiyah itu. Dalam perdebatan itu, A. Hassan mengemukakan sebuah “hadis” yang dikutif dari
kitab Murza, yang berbunyi: “Di hari Rasulullah Saw meninggal, bumi berteriak, katanya: “Ya Allah, apakah
badanku ini akan Engkau kosongkan daripada diinjak oleh kaki-kaki nabi sampai hari kiamat?” Maka Allah
berfirman kepada bumi itu: “Aku akan jadikan di atas badanmu manusia yang hatinya seperti nabi-nabi.”

Abubakar Ayyub lalu menanyakan tentang riwayat hadis ini, dan A. Hassan menjawabnya tidak tahu,
sambil berkata: “Apakah tuan suka hadis ini? Bila tuan suka silahkan pakai, bila tidak silahkan tolak.”

Abubakar Ayyub menolak “hadis” yang disampaikan oleh A. Hasan itu, karena tidak jelas siapa
periwinya, dari mana diambilnya, dan di kitab apa tertulisnya. Pengikut Ahmadiyah yang hadir ketika itu
bersorak, merasa bangga dengan tokohnya yang akan menang berdebat dengan waktu singkat, sebab A.
Hassan tidak bisa menerangkan riwayat hadis yang dibacakannya. Mereka bersorak, dan Ayyub pun
merasa dirinya menang. Namun kemudian A. Hassan mengatakan bahwa hadis itu terdapat di kitab Mirza,
Tuhfah Baghdad, halaman 11. saat itupun pengkit Ahmadiyah diam seribu bahasa.
Giliran A. Hassan yang menyuruh Abubakar Ayyub agar bertanya kepada nabinya (Mirza) tentang
riwayat hadis itu dan dari mana diambilnya, serta tanyakan pula, bagaimana bumi bisa bicara kepada
manusia, sebab hadis itu bukan hadis nabi, mengingat bumi berteriak setelah Rasulullah wafat. Jadi, tegas
A. Hassan, tentu ada orang lain yang mendengar omongan bumi, dan jawaban Allah itu pun orang lain yang
mendengar. Siapa dia? Tanyakan kepada “nabi” Mirza.

Abubakar Ayub ketika itu sebetulnya sudah kalah total, tetapi ia masih berkelit dengan mengatakan
bahwa hadis itu, bisa jadi terdapat dalam kitab “Kanzul Ummi,” masih kitabnya Ahmadiyah, namun ia
bahkan melemahkan dirinya dengan mengaku tidak membawa kitab tersebut, jadi tidak bisa dilihat.

Selanjutnya A. Hassan menegaskan bahwa dengan adanya “hadis” itu sudah cukup menunjukkan
kepalsuan Mirza. Lagi pula, kata A. Hassan, hadis yang dibawakan oleh Mirza itu dengan jelas
menyebutkan bahwa nabi (setelah Nabi Muhammad) tidak ada lagi. Yang ada hanya orang-orang yang
hatinya seperti nabi.

“Kalau perkataan yang begini terang, tuan mau putar-putar lagi, saya minta diadakan juri. Saya
heran, apa sebab Ahmadiyah takut diadakan juri. Juri tidak akan makan orang!” tegas A. Hassan.

Dari perdebatan ini jelas bahwa sebenarnya Abubakar Ayyub tidak memilki hujjah (dalil) yang kuat
untuk membela Mirza Gulam Ahmad sebagai seorang nabi. Meski demikian ia tidak tunduk dan menjadi
pengikuti Islam yang baik. Ia tetap menjadi pengikut Ahmadiyah. Memang Abubakar Ayyub dikenal sebagai
orang yang pandai memutarbalikkan fakta demi untuk mempertahankan keyakinannya kepada Ahmadiyah.

Hal itu terlihat ketika A. Hassan tak menyebut rawi hadis dan kitab yang memuatnya, keluarlah
ejekan dan cemoohan. Namun kektika A. Hassan menyebutkan bahwa hadis itu tertera di kitab Tuhfah
Baghdad terbitan Punjab Press Sialkot, Muharram 1311 H, Abubakar Ayyub dan pengikut Mirza lainnya
pucat pasi, tetapi mereka tidak berubah keyakinan, tetap menjadi pengikuti Mirza.

Sedikit tentang Ahmadiyah

Ahmadiyah didirikan oleh Mirza Gulam Ahmad tahun 1989 di Qodyani, India. Mirza lahir di Qodyani,
13 Pebruari 1835 dan meninggal 26 Mei 1908 di Lahore. Di kalangan Jemaat Ahmadiyah, Mirza Gulam
Ahmad diyakini sebagai Imam Mahdi, Al-Masih Al-Mau’ud, nabi dan rasul.

Sepeninggal Mirza (1908), kepemimpinan Ahmadiyah dilanjutkan oleh Hadzrat Hafid H. Hakim
Nuruddin selaku khalifah I hingga tahun 1914. selanjutnya secara berturut-turut dipilih khalifah II, Mirza
Bashiruddin Mahmud Ahmad (1914-1965), khalifah III, Hadzrat Hafid Nasir Ahmad (1965-1982), dan
khlaifah IV, Hadzrat Mirza Taher Ahmad (1982- hingga sekarang). Ahmadiyyah meyakini, jabatan khalifah
harus ada hingga hari kiamat, dan kedudukan kekhalifahan Ahmadiyah berpusat di London, Inggris.

Ahmadiyah masuk ke Indonesia tahun 1922, dibawa oleh seorang mubaligh Ahmadiyah yang
bernama Khawajah Kamaluddin. Dia berhasil menarik beberapa orang dari Perguruan Sumatra Thawalib, di
antaranya Ahmad Nuruddin. Selanjutnya, Ahmad Nuruddin dan teman-teman mendapat kesempatan
melanjutkan studi di Lahore dan Qadian, dan atas permohonan Ahmad Nuruddin dan kawan-kawan,
seorang mubaligh Ahmadiyah, Maulana Rahmat Ali diutus ke Indonesia tahun 1925.

Awalnya, jemaat Ahmadiyah di Indonesia bernama Anjungan Ahmadiyah Qadian Departemen


Indonesia, kemudian diganti menjadi Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). Dalam perkembangannya,
Ahmadiyah terbagi dua aliran, yaitu JAI yang berdiri tahun 1925, dan Gerakan Ahmadiyah Lahore Indonesia
(GAI) yang berdiri tahun 1929. JAI terdaftar sebagai Badan Hukum di Dfepartemen Kehakiman RI, 13 Maret
1953 dan dimuat dalam Tambahan Berita Negara RI, 31 Maret 1953.

Dari sejak awal kemunculannya, Ahmadiyah ditentang oleh kaum muslimin Indonesia yang mayoritas
beraliran Sunni, sebab ajarannya dinilai menyimpang dari ajaran Islam. Penyelewengannya yang esensial
adalah, penganut Ahmaddiyah mengaku ada nabi dan rasul setelah Nabi Muhammad Saw, yaitu Mirza
Gulam Ahmad; memiliki kitab suci sendiri, yaitu “Tazkirah” yang kesuciannya diakui sama dengan Al-Quran;
serta mengaku ada tanah suci selan Makkah dan Medinah, yaitu Qadyani, dan Rabwah.

Penyelewengan lainnya adalah wahyu tetap turun sampai hari kiamat; surga mereka di Qadian
(India) dan Rabwah (Pakistan) yang dikenal dengan nama Bahesti Maqbarah (pekuburan ahli surga),
karenanya “kavling surga” di dua tempat itu dijual kepada masyarakat dengan harga yang sangat mahal;
wanita Ahmadiyah diharamkan menikah dengan laki-laki di luar Ahmadiyah, tetapi laki-laki Ahmadiyah boleh
menikah dengan wanita bukan Ahmadiyah; tidak boleh bermakmum kepada yang bukan Ahmadiyah; dan
mempunyai sistem penanggalan sendiri, dengan nama bulan: 1. Suluh, 2. Tabligh, 3. Aman, 4. Syahadah,
5. Hijrah, 6. Ikhsan, 7. Wafa, 8. Zuhur, 9. Tabuk, 10. Ikha, 11. Nubuwah, 12. Fatah. Nama tahunnya adalah
Hijri Syamsyi (HS).

Dalam kitab Tadzkirah, Mirza Gulam Ahmad menerangkan bahwa ia menerima wahyu dari Tuhan,
salah satunya adalah bahwa Tuhan telah memberi barkah kepadanya. Namun wahyu yang diterimanya itu
dicampur dengan potongan ayat-ayat Al-Quran, seperti yang tercantum dalam Tadzkirah: 43; Haqiqatul
Wahyi: 70, dan Al-Istifta: 79: “Wahai Ahmad, Allah telah memberi barkah kepadamu. Dan bukan kamu yang
melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar (Tuhan) Yang Maha Pemurah, yang telah
mengajarkan Al-Quran.”

Kalimat pertama: “Wahai Ahmad, Allah telah memberi barkah kepadamu,” adalah wahyu dari Allah
kepada Mirza Gulam Ahmad, sedangkan kalimat kedua, “Dan bukan kamu yang melempar ketika kamu
melempar dan seterusnya …” adalah terjemahaan firman Allah yang tertera dalam Al-Quran surat Al-Anfal
ayat 17. Namun bagian awal dan akhir ayat tersebut tidak ditulis dengan lengkap. Ratusan ayat Al-Quran
lainnya dibajak oleh Mirza Gulam Ahmad yang diakuinya sebagai wahyu yang diturunkan Allah kepadanya
setelah dicampuri dengan ucapan dia kemudian dihimpun dalam “kitab suci” Tadzkirah.

Oleh karena itulah maka Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa tahun 1980 bahwa
Ahmadiyah adalah jamaah di luar Islam, sesat dan menyesatkan. Fatwa ini ditindaklanjuti dengan hasil
Rapat Kerja Nasional MUI, 4-7 Maret 1984 yang merekomendasikan agar pihak yang berwenang meninjau
kembali Surat Keputusan Departemen Kehakiman RI No. 13, tanggal 13 Maret 1953, tambahan Berita
Negara No. 26, tanggal 31 Maret 53 tentang status badan hukum Ahmadiyah.
Jauh sebelumnya, Konferensi organisasi-organisasi Islam sedunia yang diadakan di Makkah Al-
Mukarramah, Rabiul Awwal 1394/1973 antara lain merekomendasikan bahwa Ahmadiyah adalah suatu
sekte yang sangat menghancurkan, menjadikan Islam sebagai semboyan untuk menutupi maksud jahatnya.
Golongan Ahmadiyah adalah kafir dan keluar dari Islam, sebab Ahmadayah memikiki kepercayaan bahwa
pemimpinnya mengaku nabi, teks Al-Quran diubah-ubah, dan jihad itu tidak ada.

Oleh karena itu organisasi Islam sedunia meminta agar pemerintah-pemerintah Islam melarang
setiap kegiatan pengikut Mirza Gulam Ahmad, dan menganggap mereka sebagai golongan minoritas non-
muslim, serta melarang mereka untuk jabatan yang sensitif di dalam negara.

Penolakan Kaum Muslimin

Masyarakat muslim Indonesia umumnya menolak kehadiran dan perkembangan Ahmadiyah di


daerahnya. Kasus penolakan ini bisa dilihat, misalnya, di Sumatra Timur tahun 1935, Medan (1964), Cianjur
(1968), Kuningan (1969), Nusa Tenggara Barat (1976), Kalimantan Tengah, Sulawesi Selatan, Kalimantan
Barat, Surabaya/Jawa Timur, Parung/Bogor (1981), Riau (1990), Palembang, Sumatra Barat, Jakarta,
termasuk Timor Timur ketika masih bergabung dengan NKRI. Sikap penolakan itu terus berlanjut dengan
intensitas yang berbeda, tergantung pada tingkat ekslusivitas dan agrivitas kegiatan Ahmadiyah setempat.

Upaya penolakan terhadap Jemaat Ahmadiyah diwujudkan dalam berbagai bentuk aksi, seperti
mengirim surat pernyataan keberatan dan keresahan akan kehadiran Ahmadiyah kepada Pemerintah
Daerah dan Pusat serta mempublikasikannya dalam berbagai media massa. Bahkan dengan berdemo,
seperti di Parung, Bogor, masyarakat muslim menentang perkembangan Ahmadiyah dengan mnyegel
tempat kegiatan mereka. Persis mempunyai cara sendiri dalam menolak Ahmadiyah, yaitu dengan cara
berdebat.

Prof. Dr. M.M al-A'zami, Spesialis penakluk tesis May 27, '06 4:51 AM
Orientalis for everyone
Categor Oth
y: er
Spesialis penakluk tesis kaum orientalis. Predikat itu tepat disematkan pada
sosok Prof. Dr. Muhammad Mustafa al-A'zami, 73 tahun, guru besar ilmu
hadis Universitas King Saud, Riyadh, Arab Saudi. Popularitas A'zami mungkin
tidak setenar Dr. Yusuf Qardlawi dan ulama fatwa (mufti) lainnya. Namun
kontribusi ilmiahnya sungguh spektakuler.

Sumbangan penting A'zami terutama dalam ilmu hadis. Disertasinya di


Universitas Cambridge, Inggris, ''Studies in Early Hadith Literature'' (1966),
secara akademik mampu meruntuhkan pengaruh kuat dua orientalis Yahudi,
Ignaz Goldziher (1850-1921) dan Joseph Schacht (1902-1969), tentang hadis.
Riset Goldziher (1890) berkesimpulan bahwa kebenaran hadis sebagai
ucapan Nabi Muhammad SAW tidak terbukti secara ilmiah. Hadis hanyalah
bikinan umat Islam abad kedua Hijriah.

Pikiran pengkaji Islam asal Hongaria itu jadi pijakan banyak orientalis lain,
termasuk Snouck Hurgronje (1857-1936), penasihat kolonial Belanda. Tahun
1960, tesis Goldziher diperkuat Joseph Schacht, profesor asal Jerman, dengan
teori "proyeksi ke belakang". Hadis, kata Schacht, dibentuk para hakim abad
kedua Hijriah untuk mencari dasar legitimasi produk hukum mereka. Lalu
disusunlah rantai periwayatnya ke belakang hingga masa Nabi.

Namun belum ada sanggahan telak atas pikiran Goldziher-Schacht dengan


standar ilmiah, selain disertasi A'zami. "Cukup mengherankan," tulis
Abdurrahman Wahid saat pertama mempromosikan A'zami di Indonesia
tahun 1972, "hanya dalam sebuah disertasi ia berhasil memberi sumbangan
demikian fundamental bagi penyelidikan hadis." Gus Dur menyampaikan itu
dalam Dies Natalis Universitas Hasyim Asy'ari, Jombang, tak lama setelah
pulang kuliah dari Baghdad.
Temuan naskah kuno hadis abad pertama Hijriah dan analisis disertasi itu
secara argumentatif menunjukkan bahwa hadis betul-betul otentik dari Nabi.
A'zami secara khusus juga menulis kritik tuntas atas karya monumental
Joseph Schacht, judulnya On Schacht's Origins of Muhammadan
Jurisprudence. Versi Indonesia, buku ini dan disertasi A'zami sudah beredar
luas di Tanah Air. Murid A'zami di Indonesia, Prof. Ali Mustafa Yaqub,
berperan banyak memopulerkan pikiran ulama kelahiran India itu.

Ali Mustafa membandingkan jasa A'zami dengan Imam Syafi'i (w. 204 H).
Syafi'i pernah dijuluki "pembela sunah" oleh penduduk Mekkah karena
berhasil mematahkan argumen pengingkar sunah --sebutan lain hadis. "Pada
masa kini," kata Ali Mustafa, "Prof. A'zami pantas dijuluki 'pembela eksistensi
hadis' karena berhasil meruntuhkan argumentasi orientalis yang menolak
hadis berasal dari Nabi."

Setelah lama mapan dalam studi hadis, belakangan A'zami merambah bidang
studi lain: Al-Quran. Namun inti kajiannya sama: menyangkal studi orientalis
yang menyangsikan otentisitas Al-Quran sebagai kitab suci. Ia menulis buku
The History of The Qur'anic Text (2003), yang juga berisi perbandingan
dengan sejarah Perjanjian Lama dan Baru. "Ini karya pertama saya tentang
Al-Quran," kata peraih Hadiah Internasional Raja Faisal untuk Studi Islam
tahun 1980 itu.

Sabtu pekan lalu, A'zami meluncurkan versi Indonesia buku itu dalam
Pameran Buku Islam di Istora, Senayan Jakarta. Gus Dur, yang mengaku
pengagum A'zami, bertindak sebagai panelis bersama pakar Quran dan hadis
lainnya. Prof. Kamal Hasan, dalam pengantar buku itu, menilai karya A'zami
ini relevan untuk meng-counter maraknya buku Hassan Hanafi, Nasr Hamid
Abu Zayd, dan Mohammad Arkoun di Indonesia.

Kamal menyebut mereka sebagai "pengikut jejak orientalis". Tetapi Hanafi


dan Abu Zayd juga dipromosikan Gus Dur di Indonesia, seperti halnya A'zami.
Dua kutub kajian ini tampaknya perlu dibaca bersama. Wartawan Gatra
Asrori S. Karni, Luqman Hakim Arifin, dan Nordin Hidayat, Ahad lalu, bertemu
A'zami di Hotel Sahid Jakarta. Berikut petikan percakapan mereka:

Apa yang mendorong Anda menggeser objek studi dari hadis ke Al-
Quran?
Al-Quran dan hadis keduanya pegangan penting seorang muslim. Keduanya
sama-sama berasal dari Allah SWT. Selain itu, kini orang-orang Barat, para
orientalis, banyak mengkaji Al-Quran sekehendak mereka. Mereka begitu
ketakutan pada Al-Quran. Bagi mereka, Al-Quran seperti bom. Karena itu,
mereka ingin ada proses peraguan (tasykik) atas kebenaran Al-Quran.
Studi orientalis generasi lama memang antipati pada Islam. Namun ada
penilaian, arah kajian mereka akhir-akhir ini makin membaik: makin
apresiatif dan empati pada Islam.

Apanya yang membaik? Bila Anda hendak menyimpulkan, jangan dari fakta
parsial. Anda harus menyimpulkan dari keseluruhan fakta. Masih ada
orientalis yang menulis sejarah Nabi dan mengatakan bahwa musuh terbesar
manusia di dunia adalah Muhammad, Al-Quran, dan pedangnya Muhammad.

Dan problem mendasar kajian orientalis, mereka memulai kajiannya dengan


tidak mempercayai Nabi Muhammad. Kita mengatakan, Muhammad adalah
Nabi dan Rasul Allah. Menurut mereka, itu bohong besar. Jadi, mereka
mengawali pembahasan dengan dasar pikiran bahwa Muhammad adalah
pembohong, bukan rasul sebenarnya.

Mungkinkah mengkaji Islam semata-mata untuk tujuan studi, tanpa


tujuan dan bekal keimanan, sebagaimana kaum orientalis?
Tidak mungkin. Agama apa saja, pada kenyataannya, sulit sekali
mengkajinya tanpa keimanan. Kita lebih mudah mengkaji dan memahami
Yahudi dan Kristen, karena kita percaya dan menghormati Musa, Harun,
Maryam, dan Isa. Sementara orang Yahudi dan Nasrani tidak bisa memahami
Islam, karena mereka mendustakan dan tak beriman pada Muhammad.

Bila Anda baca tulisan orang Yahudi tentang Isa dan Maryam, Anda akan
temukan ungkapan mereka sangat kotor dan menjijikkan. Ada yang
menuding Isa telah berzina tiga kali. Kalau penulisnya muslim, tidak mungkin
bilang begitu. Haram! Karena kita memuliakan para nabi terdahulu.
Persoalannya, berapa banyak orang Islam yang mau mengkaji lebih jauh
tentang keyakinan Yahudi dan Nasrani? Sedangkan mereka sangat intens
melakukan kajian tentang Islam.

Benarkah buku Anda sebagai counter atas corak kajian Al-Quran ala
pemikir semacam Hassan Hanafi, Abu Zayd, dan Arkoun yang
populer di Indonesia?
Ini bukan counter langsung. Tapi ada hal penting yang harus digarisbawahi di
sini bahwa otoritas menafsirkan Al-Quran ada di tangan Rasulullah. Kita
percaya, Al-Quran berasal dari Allah dan diturunkan pada Muhammad. Allah
berfirman, "Dan kami turunkan Al-Quran pada kamu agar kamu jelaskan
pada manusia." Sama saja, bila ada problem konstitusi di Indonesia,
misalnya, maka yang berwenang membuat interpretasi adalah para hakim
Indonesia. Meski meraih gelar doktor di Universitas Cambridge, saya tidak
punya otoritas menyelesaikan problem konstitusi di Indonesia.
Jadi, kalau ada orang berpikir liberal, lalu menafsirkan perintah salat dalam
Al-Quran semaunya, tidak mengindahkan tuntunan Rasul sebagai penafsir
yang mendapat mandat dari Allah, maka saya katakan, "Siapa Anda? Siapa
yang memberi Anda otoritas membuat tafsir sendiri?" Orang-orang seperti
Hassan Hanafi dan Abu Zayd itu adalah "anak-cucu" Barat. Tak perlu meng-
counter langsung mereka. Kecuali kalau terpaksa. Saya sebenarnya tidak
peduli pada pemikiran-pemikiran mereka. Saya ingin membentuk pandangan
saya sendiri.

Dalam pandangan Anda, apa yang membuat beberapa pemikir


muslim menyerap pengaruh Barat? Tidakkah karena kekuatan
argumentasi Barat?
Persoalan pokok sebenarnya adalah soal iman. Dari berbagai informasi,
sangat nyata kebanyakan dari mereka adalah fasik (banyak berbuat dosa)
dan sedikit sekali yang religius (mutadayyin). Mereka tidak puasa dan tidak
salat. Ketika bulan Ramadan, subuh mereka bangun, makan pagi, tapi ketika
magrib, ikut berbuka bersama lainnya, malamnya juga ikut sahur, ha, ha,
ha....

Hasan Hanafi dan Nasr Abu Zeid misalnya, tidak belajar di sekolah-
sekolah Barat. Tapi pemikiran mereka seperti mewakili pemikiran
Barat. Mungkinkah?
Tentu. Karena buku-buku kajian mereka berasal dari Barat. Tapi Nasr Abu
Zeid pernah belajar secara khusus di Jepang.

Kami pernah mengulas buku Prof. Christhop Luxenberg (nama


samaran) yang berkesimpulan, bahasa asli Al-Quran adalah Aramaik,
jadi yang beredar sekarang Quran palsu. Komentar Anda?
Ah, dia pemikir bodoh. Beberapa penulis mengomentari bahwa
pengetahuannya tentang bahasa Syiriya-Aramaik sangat dangkal. Kata dia,
Al-Quran berasal dari bahasa Aramaik, kemudian setelah 100 tahun beralih
ke bahasa Arab. Sehingga disebut Quran kondisional. Itu sama sekali bukan
kajian ilmiah.

Apakah pemikiran Christhop Luxenberg ilmiah atau tidak?


Tidak. Sama sekali jauh dari pemikiran ilmiah…

Apakah ini merupakan salah satu cara dari para orientalis untuk
merusak umat Islam?
Itu nggak ada artinya. Tapi sekarang beberapa kali dan akan berkali-kali,
mereka menginginkan bahwa ketika Al-Quran dibuat tidak ada titik dan
tasydid. Nah, sekarang mereka menginginkan agar Al-Quran diperbarui dari
sisi titik dan tasydid-nya. Lalu, membacanya seperti yang kita kehendaki,
memberi tanda-baca baru, dan menjadikannya baru. Al-Quran lalu menjadi
Al-Quran sesuai kebutuhan (kondisional).

Apakah mereka juga memiliki kaidah dasar untuk membuat Al-Quran


kondisional tersebut?
Kaidahnya ya sekehendak hati mereka. Karena mereka memberi tanda baca
sesuai kebutuhan mereka.

Ada pendapat yang mengatakan bahwa Al-Quran merupakan produk


budaya. Apa komentar Anda?
Itu pendapat Nasr Abu Zeid. Tapi apa yang sebenarnya disebut produk
budaya? Ini tak ubahnya ketika orang menyebut “terorisme”. Semua
berbicara terrorism. Tapi tidak pernah ada satu pun definisi yang muttafaq
alaihi tentang terorisme. Terorisme justru kerap dikaitkan dengan Islam. Kita
perlu memahami apa pengertiannya dulu.

Dalam hal ini, apakah pengertian produk budaya sama dengan


asbabun nuzul (memahami Quran secara kontekstual)?
Tidak (sama). Memahami Quran secara kontekstual bisa dilakukan, jika
“sesuatu” mempunyai kaitan dengan asbabun nuzul, tapi tak bisa diterapkan
di semua tempat. Kecuali di beberapa tempat khusus yang merupakan sebab
turunnya (ayat). Jadi, Anda tak bisa datang dan langsung mengatakan
aqiimus shalat. Padahal di sana tidak ada asbabun nuzul, karena di sana
adalah amr (perintah). Seharusnya, sebelum itu ada sebab. Allah adalah
pencipta seluruh makhluk. Tentunya Dia tahu mana yang berbahaya dan
bermanfaat bagi makhluk-Nya.

Jangan bermain dengan Api! Tidak ada …konteks di sini. Tidak hanya berlaku
sekarang tapi selamanya.

Ini wacana yang elit. Apa hal penting dari buku Anda bagi orang-
orang awam?
Saya tak bisa mengemukakan sesuatu untuk semua orang. Jadi saya sudah
kepikiran untuk menulis buku baru, yang bisa dibaca dan dipahami oleh
semua ummat Islam.

Anda pernah belajar dan lulus dari sebuah universitas di Barat. Tapi
sikap anda tampak konservatif, dalam arti tidak liberal orang-orang
seperti Hassan Hanafi atau Nasr Abu Zeid. Mengapa?
No! Saya kira ini pertanyaan dan persoalan tentang iman. Ha…ha..ha…

Menurut anda, apa yang salah dengan Barat?


Apa yang salah dengan Barat adalah sikap (attitude)-nya.

Apa tantangan terbesar bagi umat Islam saat ini?


Kitalah sesungguhnya tantangan terbesarnya. Karena kita tidak
mempraktekkannya.

Man ghassa falaisa minna. “Barangsiapa yang menipu tidak termasuk


golongan kami”. Kalau anda mengambil hadis dan mengujinya di dalam
kehidupan (Adzami memberi contoh, bagaimana ia menemukan seorang
penjual susu yang menempelkan hadis ini di atas tokonya, tapi ternyata ia
menambah air dalam susu yang dijualnya). Meskipun Anda percaya Al-Quran
dan Hadis, tapi dalam praktek kehidupan kita kita jauh dari sunnah. Ini salah
satu kesulitan kita. Kalau kita menjadi good practicse-nya moslem. Saya tidak
bicara tentang Islamisasi ilmu di sini. Tapi saya ingin menegaskan bahwa
pengetahuan di Islam masih sangat jauh dari praktek. Islam itu sebenarnya
pratek, bukan teori.

[Agama, Gatra Nomor 22 Beredar 11 April 2005]

You might also like