Professional Documents
Culture Documents
com
Tulisan Pertama
3. Al-jawâmi‘ jama‘ dari kata al-jâmi‘, yaitu kitab yang bila dilihat dari pokok
kandungannya menghimpun Hadis-hadis Nabi yang berisi tentang berbagai
hal, seperti akidah, hukum, masalah perbudakan, adab sopan santun, tafsir,
sejarah, dan lain-lain, umpamanya, al-Jâmi‘ al-Shahîh oleh al-Bukhâriy dan
al-Jâmi‘ al-Shahîh oleh Muslim.
4. Al-majâmi‘ jama‘ dari kata al-majma‘, yaitu kitab Hadis yang menghimpun
Hadis-hadis Nabi saw. yang telah termaktub dalam kitab-kitab al-
mushannafât, dengan bentuk penyusunan berdasarkan bab-bab masalah
tertentu sebagaimana yang ada dalam kitab al-mushannafât itu. Kitab jenis
ini antara lain Jam‘u al-Fawâ’id min Jâmi‘ al-Ushûl wa Majma‘ al-Zawâ’id
karya Muhammad ibn Muhammad ibn Sulayman al-Magribiy dan al-Jam‘u
Bayn al-Ushûl al-Sittah (Jâmi‘ al-Ushûl min Ahâdîts al-Rasûl) karya Ibn al-
Atsîr.
9. Al-ajzâ’ jama‘ dari kata al-juz’u yang berarti bahagian, yaitu kitab yang
menghimpun Hadis-hadis Nabi berdasarkan nama sahabat tertentu yang
meriwayatkan Hadis, atau berdasarkan nama tabi‘iy, atau berdasarkan topik-
topik tertentu. Umpamanya kitab Juz’u Mâ Rawâhu Abû Hanîfah ‘An al-
Shahâbah karya Abû Ma‘syar ‘Abd al-Karîm ibn ‘Abd al-Shamad al-Thabariy,
Juz’u Raf‘u al-Yadayn fî al-Shalâh karya al-Bukhâriy, Juz’u al-Qirâ’at Khalfa
al-Imâm juga karya al-Bukhâriy.[7]
Hadis sebagai sumber ajaran Islam, yang telah melalui proses yang
cukup panjang dengan metode periwayatan yang berbeda-beda hingga
tertulis dalam kitab-kitab Hadis, sudah cukup menjadi acuan pentingnya
pemeriksaan sanad dan matan-nya. Para ulama muhadditsîn telah menyusun
berbagai kaedah yang berkenaan dengan pemeriksaan terhadap sanad dan
matan Hadis, untuk mengetahui mana Hadis yang maqbûl (yang dapat
diterima) dan mana Hadis yang mardûd (yang tidak dapat diterima).
“Ketahuilah kiranya, sesungguhnya tiada sah satu Hadis pun pada menentukan jenis
tujuh petala langit dan tiada pula menentukan beberapa tebalnya. Dan kebanyakan
rampaian-rampaian itu, yang dibaca oleh tukang-tukang cerita di dalam cerita mi‘râj
itu adalah bohong yang nyata. Walhasil, tiadalah wajib mengi‘tiqadkan sesuatu
melainkan dengan dalil akal yang putus, yang tiada didatangi oleh syubhat, atau
dengan dalil sam‘iy (yang didengar) nyata daripada Nabi saw. sendiri”.[9]
Buku yang lain adalah Muqaddimah Ilmu Hadits dan Ushûl Fiqh, yang
ditulis secara ringkas untuk mereka yang belum biasa dengan urusan-urusan
Hadis, Ushûl Fiqh dan istilah-istilah yang terpakai dalam kitab Tarjamah
Bulûgul Marâm.[15] Selanjutnya, buku Kumpulan Risalah A. Hassan, Soal
Jawab, Tarjamah Bulugul Maram, dan Pengajaran Shalat yang di dalamnya
banyak berisi tentang cara A. Hassan memahami Hadis yang terkait dengan
tehnik interpretasi dan pendekatan yang digunakannya.
Sejauh pelacakan penulis, belum ada satu pun karya tulis yang
secara spesifik mengupas cara A. Hassan memeriksa dan memahami Hadis.
Namun, sebelum melanjutkan tulisan ini, penulis akan menyebutkan
beberapa karya tulis terkait dengan A. Hassan, riwayat hidup, pemikiran
serta pengaruhnya, baik di Malaysia, Singapura, dan Indonesia, antara lain;
(1) Riwayat Hidup A. Hassan karya Tamar Jaya, (2) Hassan Bandung:
Pemikir Islam Radikal karya Prof. Dr. Syafiq A. Mughni, MA., (3) A. Hassan:
Wajah dan Wijhah Seorang Mujtahid karya H. Endang Saifuddin Ansari, MA.,
(4) Persatuan Islam: Islamic Reform In Twentieth Century Indonesia karya
Dr. Howard M. Federspiel dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia oleh Drs. Yudian W. Asmin, MA., dan Drs. H. Afandi Mochtar, MA.
dengan judul Persatuan Islam: Pembaharuan Islam Indonesia Abad XX, (5)
Gerakan Islah di Perlis: Sejarah dan Pemikiran karya Abdul Rahman Haji
Abdullah, (6) A. Hassan: Tokoh Perdebatan Agama karya KH. A. Lathief
Mukhtar, MA., (7) A. Hassan, Persis, dan Pemikiran Fikihnya karya KH. A.
Lathief Mukhtar, MA., (8) A. Hassan Dalam Arus Pemikiran Islam di
Indonesia karya Prof. Dr. Syafiq A. Mughni, MA., (9) Yang Da’i Yang
Politikus: Hayat dan Perjuangan Lima Tokoh Persis karya Dr. Dadan Wildan.
Oleh karena peran A. Hassan yang cukup penting dalam studi Hadis
di Indonesia, maka penulis merasa perlu untuk membagi hasil penelusuran
terhadap cara A. Hassan memeriksa dan memahami Hadis kepada para
pembaca sebagai bahan pemikiran, di samping harapan agar diberi
masukan-masukan serta informasi-informasi terkait dengan pembahasan ini.
Endnote:
[2] A. Hassan, Ringkasan Islam, (Bangil: Al-Muslimun, 1972 M.), h. 30; A. Hassan,
Al-Nubuwwah, (Cet. VI; Surabaya: PT Bina Ilmu, 1987 M.), h. 26, 36, 39-40
[3] A. Hassan, Ringkasan Islam, op. cit., h. 12; Lihat pula, Muhammad Hasbi
Ash-Shiddieqy, Sejarah Perkembangan Hadis, (Cet. II; Jakarta: Bulan
Bintang, 1988 M.), h. 7-8; Abdul Hakim bin Amir Abdat, Al-Masâ’il: Masalah-
masalah Agama, Jilid I, (Cet. V; Jakarta: Darus Sunnah Press, 1426 H.-2005
M.), h. 81
[4] Hadis mawdhû‘ artinya palsu, lancung, atau yang dibikin oleh orang-
orang, lalu mereka katakan sabda Nabi saw. Dalam sanadnya ada rawi yang
pendusta. Bila hanya tertuduh berdusta maka dinamakan matrûk, A. Hassan,
“Muqaddimah Ilmu Hadis dan Ushûl Fiqh”, dalam Tarjamah Bulûg al-Marâm,
(Cet. XXV; Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2001 M.), h. 9; Ada beberapa
latar belakang yang menyebabkan terjadinya pemalsuan Hadis, antara lain;
[1] adanya niat sekelompok firqah zindîq untuk merusak Islam, [2]
pembelaan terhadap aliran tertentu, misalnya, aliran politik, aliran kalam,
aliran mazhab fiqh, aliran geografis, [3] terdorong oleh motif-motif duniawi,
misalnya, mendekati penguasa, mencari pendukung (massa) termasuk
dalam hal ini untuk gagah-gagahan dan tukang-tukang cerita, [4] al-targîb
wa al-tarhîb yaitu usaha untuk membuat orang mencintai kebajikan dan
takut melakukan kemaksiatan, dalam hal ini biasanya terkait dengan orang-
orang Shûfiy. Lebih jelasnya lihat, Shalâh al-Dîn Ahmad al-Adlabiy, Manhaj
Naqd al-Matn ‘Inda ‘Ulamâ’ al-Hadîts al-Nabawiy, diterjemahkan oleh M.
Qadirun Nur dan Ahmad Musyafiq dengan judul Metodologi Kritik Matan
Hadis, (Cet. I; Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004 M.), h. 33-39; Abdul
Hakim bin Amir Abdat, op. cit., h. 41-55
[6] Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, (Cet. I; Jakarta: PT Mutiara Sumber Widya,
2001 M.), h. 128-129
[7] Lebih lanjut lihat, A. Hassan, Ringkasan Islam, op. cit., h. 18;
Muhammad Syuhudi Ismail, “Pembahasan Kitab-kitab Hadis”, Diktat
Perkuliahan, (Ujung Pandang: IAIN Alauddin, 1989 M.), h. 13-27; Ali Mustafa
Yaqub, Kritik Hadis, (Cet. I; Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995 M.), h. 75-80;
Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis, Jilid II,
(Cet. VI; Jakarta: Bulan Bintang, 1994 M.), h. 316-325; Nûr al-Dîn ‘Itr,
Manhaj al-Naqd fî ‘Ulûm al-Hadîts, diterjemahkan oleh Endang Soetari AD
dan Mujiyo dengan judul ‘Ulûm al-Hadîts, Jilid I, (Cet. II; Bandung: PT
Remaja Rosda Karya, 1995 M.), 181-193
[9] Hamka, Ayahku: Riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan
Kaum Agama di Sumatera, (Cet. IV; Jakarta: Umminda, 1982 M.), h. 96-98
[13] Syafiq A. Mughni, Nilai-nilai Islam: Perumusan Ajaran dan Upaya Aktualisasi,
(Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001 M.), h. 139
(2)
http://fospi.wordpress.com/2008/05/04/kontribusi-a-hassan-terhadap-
/kajian-hadis-di-indonesia
Oleh: Al-Hāfizh Ibnul Qayyim [1]
A. Riwayat Hidup dan Keluarga A. Hassan
Sekitar 500-600 tahun yang lalu ada sekelompok penduduk Kairo yang
berpengaruh, namun karena merasa kurang senang dengan rezim rajanya, akhirnya,
mereka hijrah meninggalkan Mesir menuju India dengan kapal layar yang terbuat
dari kayu. Setibanya di India, mereka digelar “Maricar” yang berarti kapal layar.
Mereka bermukim di Kail Patnam[2] dengan berdagang. Melihat rupa dan bentuknya
kemungkinan mereka berasal dari Parsi. Di antara nenek moyangnya, selain
pedagang, juga terdapat ulama pujangga. Di sinilah asal keturunan nenek moyang
A. Hassan.[3]
A. Hassan lahir pada tahun 1887 M. di Singapura. Ayahnya bernama Ahmad
Sinna Vappu Maricar yang digelari “Pandit“[4] berasal dari India dan ibunya bernama
Muznah berasal dari Palekat, Madras. Ahmad menikahi Muznah di Surabaya ketika ia
berdagang di kota tersebut, kemudian menetap di Singapura. Ahmad adalah seorang
pengarang dalam bahasa Tamil dan pemimpin surat kabar “Nurul Islam” di
Singapura. Ia suka berdebat dalam masalah bahasa dan agama serta mengadakan
tanya jawab dalam surat kabarnya.[5]
A. Hassan menikah pada tahun 1911 M. dengan Maryam peranakan Melayu-
Tamil di Singapura. Dari pernikahannya ini ia dikaruniai tujuh orang putra-putri; (1)
Abdul Qadir,[6] (2) Jamilah, (3) Abdul Hakim, (4) Zulaikha, (5) Ahmad, (6)
Muhammad Sa‘id, (7) Manshur.[7]
B. Pendidikan
A. Hassan belajar al-Qur’an pada umur sekitar tujuh tahun, kemudian
masuk di Sekolah Melayu. Ayahnya sangat menekankan agar Hassan mendalami
bahasa Arab, Inggris, Melayu dan Tamil di samping pelajaran-pelajaran lain.[8]
Guru-gurunya antara lain adalah H. Ahmad di Bukittiung dan Muhammad
Thaib di Minto Road. Walaupun kedua gurunya ini bukanlah seorang alim besar
namun untuk ukuran daerahnya keduanya cukup disegani dan dihormati. Kepada
Muhammad Thaib, Hassan belajar nahwu dan sharaf, namun kira-kira empat bulan
kemudian, ia merasa tidak memiliki kemajuan, karena hanya menghafal saja tanpa
dimengerti, semangat belajarnya pun menurun. Dalam keadaan seperti itu,
untunglah gurunya naik haji. Akhirnya, A. Hassan beralih belajar bahasa Arab
kepada Said Abdullah al-Musawi sekitar kurang lebih tiga tahun. Selain itu, A.
Hassan belajar kepada Syeikh Hassan al-Malabary dan Syeikh Ibrahim al-Hind.
Semuanya ditempuh hingga kira-kira tahun 1910 M., ketika ia berumur 23 tahun.
Walaupun pada masa ini A. Hassan belum memiliki pengetahuan yang luas tentang
tafsīr, fiqh, farā‘id, manthiq, dan ilmu-ilmu lainnya, namun dengan ilmu alat yang ia
miliki itulah yang kemudian mengantarkannya memperdalam pengetahuan dan
pemahaman terhadap agama secara otodidak.[9]
Sekitar tahun 1912 M.-1913 M., Hassan bekerja sebagai dewan redaksi
“Utusan Melayu” yang diterbitkan oleh Singapore Press, dalam surat kabar ini,
Hassan banyak menulis tentang masalah agama seputar nasehat-nasehat, anjuran
berbuat baik dan mencegah kejahatan yang kebanyakannya dalam bentuk syair. Ia
pernah menulis, mengecam qadhi yang memeriksa perkara dalam ruang sidang
dengan mengumpulkan tempat duduk antara pria dan wanita (ikhtilāth). Bahkan
pernah dalam salah satu pidatonya mengecam kemunduran ummat Islam, sehingga
karena sebab itu ia tidak diperkenankan menyampaikan pidato lagi.
Pada tahun 1921 M., A. Hassan berangkat ke Surabaya (Jawa Timur) untuk
berdagang dan mengurus toko milik Abdul Lathif pamannya, namun sebelum A.
Hassan berangkat, pamannya berpesan agar sesampainya nanti di Surabaya ia tidak
bergaul dengan seseorang yang bernama Faqih Hasyim[10] karena dianggap sesat
dan berfaham Wahhabi.[11]
Berawal dari pertemuannya dengan Abdul Wahhab Hasbullah[12] yang
kemudian mengajukan pertanyaan kepadanya mengenai hukum membaca
ushalliy[13] sebelum takbirat al-ihrām. Sesuai dengan pengetahuannya ketika itu, A.
Hassan menjawab bahwa hukumnya “sunnah”. Ketika ditanyakan lagi mengenai
alasan hukumnya, ia menjawab bahwa soal alasannya dengan mudah dapat
diperoleh dari kitab manapun juga. Namun dari pertemuan ini, ia heran, mengapa
soal semudah itu yang dipertanyakan kepadanya. Setelah menceritakan perbedaan-
perbedaan antara Kaum Tua dan Kaum Muda, Abdul Wahhab Hasbullah meminta
agar A. Hassan memberikan alasan sunnatnya membaca ushalliy dari al-Qur‘an dan
Hadis, karena menurut Kaum Muda, agama hanyalah apa yang dikatakan Allah dan
Rasul-Nya. A. Hassan kemudian berjanji akan memeriksa dan menyelidiki masalah
itu. Tetapi sesuatu yang berkembang menjadi keyakinan dihatinya bahwa agama
hanyalah apa yang dikatakan oleh Allah dan Rasul-Nya. Keesokan harinya A. Hassan
mulai memeriksa kitab Shahīh al-Bukhāriy dan Shahīh Muslim, dan mencari ayat-
ayat al-Qur‘an mengenai alasan sunnatnya ushalliy namun ia tidak menemukannya,
pendiriannya membenarkan Kaum Muda akhirnya bertambah tebal.[14]
Maksud awalnya hendak berdagang kemudian berubah, bahkan kemudian A.
Hassan bergaul rapat dengan Faqih Hasyim salah seorang pentolan Kaum Muda di
Surabaya itu. Pada tahun 1924 M., A. Hassan berangkat ke Bandung untuk
mempelajari pertenunan, di sinilah ia berkenalan dengan tokoh pendiri organisasi
PERSIS (Persatuan Islam), yang kemudian A. Hassan diangkat menjadi guru
Persatuan Islam.[15]
C. Geneologi Pemikiran
Seorang tokoh pemikir, seperti halnya A. Hassan, pasti memiliki latar
belakang yang mempengaruhi corak berfikirnya, baik itu keluarga, pendidikan,
pergaulan serta setting sosial yang melingkupi sehingga membentuk karakter
berfikirnya.
Pada abad kedelapan belas, penolakan terhadap taklid dan perhatian
terhadap studi Hadis sedang berkembang, yang dipelopori oleh Syah Waliyyullah al-
Dahlawiy di India dan Muhammad al-Syawkāniy di Yaman. Maka, pada abad
kesembilan belas muncullah gerakan Ahl-i-Hadis di India, yang dalam masalah-
masalah hukum, Ahl-i-Hadis mengkombinasikan penolakan terhadap taklid dalam
tradisi pemikiran al-Dahlawiy dan al-Syawkāniy dengan tekstualitas pemahaman
yang merupakan gagasan pemikiran Zhahiriy. Seperti orang Zhahiriy, Ahl-i-Hadis
cenderung tekstual dalam memahami al-Qur‘an dan Hadis, di samping itu mereka
sepenuhnya menolak kewenangan ijmā, kecuali ijmā’ sahabat. Dari sisi
karakternya, antara gerakan Ahl-i-Hadis di India dan gerakan Wahhabiy di Arab
adalah sama, hanya saja dalam pertumbuhannya berjalan masing-masing.[16]
Keluarga A. Hassan adalah keluarga yang berasal dari India. Ayahnya,
Ahmad, dikenal sebagai sarjana Tamil yang memiliki karakter keras tidak
membenarkan ushalliy, tahlilan, talqin, dan lain sebagainya, sebagaimana faham
Ahl-i-Hadis dan Wahhabiy pada umumnya. Demikian pula beberapa orang India di
Singapura, seperti Thalib Rajab Ali, Abdul Rahman, Jailani, yang juga dikenal sebagai
orang-orang yang berfaham Wahhabiy.[17]
A. Hassan adalah seorang sosok yang otodidak, karena pendidikan formal
yang dilaluinya hanya di Sekolah Melayu. Walaupun demikian, ia menguasai bahasa
Arab, Inggris, Tamil, dan Melayu yang dapat digunakan olehnya dalam
pengembaraan intelektualnya. Pada masa itu, ia telah membaca majalah Al-Manār
yang diterbitkan oleh Muhammad Rasyid Ridha di Mesir, majalah Al-Imām yang
diterbitkan oleh ulama-ulama Kaum Muda di Minangkabau. Selain itu, A. Hassan
telah mengkaji kitab Al-Kafa‘ah karya Ahmad al-Syurkati, Bidāyat al-Mujtahid karya
Ibnu Rusyd, Zād al-Ma‘ād karya Ibnu Qayyim al-Jawziyyah, Nayl al-Awthār karya
Muhammad Ali al-Syawkāniy, dan Subul al-Salām karya al-Shan‘āniy. Semua
bacaan-bacaan itu, cukup mempengaruhi corak berfikirnya.[18]
Pergaulan A. Hassan pun cukup luas, di antara sahabat-sahabatnya adalah
Faqih Hasyim, Ahmad Syurkatiy,[19] H.O.S. Cokroaminoto, H. Agus Salim, Mas
Mansur,[20] H. Munawar Chalil, Soekarno, Muhammad Maksum, Mahmud Aziz, dan
lain-lain.
Pada tahun 1940 M., A. Hassan pindah ke Bangil, Jawa Timur, dan
mendirikan Pesantren Persatuan Islam Bangil, ia tetap mengajar dan menulis di
majalah Himāyat al-Islām (ِلم
َس
ْلِ حَماَيُة ا
ِ ) yang diterbitkannya hingga wafat pada
10 Nopember 1958 M. dan dimakamkan di Pekuburan Segok, Bangil.
Dari madrasah A. Hassan, muncul Abdul Qadir Hassan sebagai pewaris
keilmuannya, dilanjutkan oleh kedua cucunya, Ghazie Abdul Qadir Hassan,[21] Hud
Abdullah Musa, Luthfie ‘Abdullah Isma’īl,[22] selain itu murid-murid Abdul Qadir
yang mewarisi keilmuannya antara lain; Aliga Ramli,[23] Ahmad Husnan,[24]
Muhammad Haqqiy,[25] dan masih banyak yang lain.
D. Karya-karya Ilmiyah
A. Hassan adalah salah seorang tokoh pemikir yang produktif menuliskan
ide-idenya baik di majalah-majalah maupun dalam bentuk buku. Karya-karya
tulisnya, antara lain:
1. Dalam bidang Al-Qur‘an dan Tafsir: Tafsir Al-Furqān, Tafsir Al-Hidāyah, Tafsir
Surah Yāsīn, dan Kitab Tajwīd.
2. Dalam bidang Hadis, Fiqh, dan Ushūl Fiqh: Soal Jawab: Tentang Berbagai Masalah
Agama, Risalah Kudung, Pengajaran Shalat, Risalah Al-Fātihah, Risalah Haji, Risalah
Zakāt, Risalah Ribā, Risalah Ijmā‘, Risalah Qiyās, Risalah Madzhab, Risalah Taqlīd,
Al-Jawāhir, Al-Burhān, Risalah Jum‘at, Hafalan, Tarjamah Bulūg al-Marām,
Muqaddimah Ilmu Hadis dan Ushūl Fiqh, Ringkasan Islam, dan Al-Fara‘idh.
3. Dalam bidang Akhlaq: Hai Cucuku, Hai Putraku, Hai Putriku, Kesopanan Tinggi
Secara Islam.
4. Dalam bidang Kristologi: Ketuhanan Yesus, Dosa-dosa Yesus, Bibel Lawan Bibel,
Benarkah Isa Disalib?, Isa dan Agamanya.
5. Dalam bidang Aqidah, Pemikiran Islam, dan Umum: Islam dan Kebangsaan,
Pemerintahan Cara Islam, Adakah Tuhan?, Membudakkan Pengertian Islam, What is
Islam?, ABC Politik, Merebut Kekuasaan, Risalah Ahmadiyah, Topeng Dajjāl, Al-
Tauhid, Al-Iman, Hikmat dan Kilat, An-Nubuwwah, Al-‘Aqā’id, al-Munāzharah, Surat-
surat Islam dari Endeh, Is Muhammad a True Prophet?
6. Dalam bidang Sejarah: Al-Mukhtār, Sejarah Isrā‘ Mi’rāj,
7. Dalam bidang Bahasa dan Kata Hikmat: Kamus Rampaian, Kamus Persamaan,
Syair, First Step Before Learning English, Al-Hikam, Special Dictionary, Al-Nahwu,
Kitab Tashrīf, Kamus Al-Bayān, dan lain-lain. [26]
Dari karya-karya ilmiyah yang telah diwariskan A. Hassan tersebut, dapat
dilihat betapa luas ilmu yang ia geluti, yang secara umum Endang Saifuddin Ansari
dalam makalah seminar tentang pemikiran A. Hassan di Singapura Tahun 1979 M.
mengelompokkan secara garis besarnya sebagai berikut:
1. Mengenai Muhammad Rasulullah saw.;
2. Mengenai Sumber Norma dan Nilai Islam: al-Qur’an dan al-Sunnah;
3. Mengenai Aqidah;
4. Mengenai Syari‘ah: ‘ibadah dan mu’amalah;
5. Mengenai Akhlak;
6. Mengenai Studi Islam (Dirāsat Islamiyyah): Ilmu Tauhid dan Ilmu Kalam, Ilmu
Fiqh dan Ushūl Fiqh, Ilmu Akhlak, Ilmu Tasawwuf, dan lain sebagainya.
7. Mengenai pelbagai soal hidup lainnya, seperti: politik, ekonomi, sosial, kesenian,
ilmu pengetahuan, filsafat, bahasa, perbandingan agama, dan lain sebagainya.[27]
(bersambung)
Endnote:
[1] Alamat e-mail: kayyink_uinmakassar@yahoo.com
[2] Kail artinya Kairo dan Patnam artinya Kota atau Bandar; salah satu pusat kota di
India
[3] A. Latief Muchtar, Gerakan Kembali ke Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
1998 M.), h. 228.
[4] Dalam masyarakat India, mereka yang ilmu agamanya mendalam digelar
sebagai Pandit, sebagaimana halnya di kalangan masyarakat Bugis digelar sebagai
Pandrita atau ‘Ulama.
[5] Syafiq A. Mughni, Hassan Bandung: Pemikir Islam Radikal, (Cet. II; Surabaya:
PT. Bina Ilmu, 1994 M), h. 11
[6] Abdul Qadir Hassan (w. 25 Agustus 1984 M.), yang merupakan pelanjut A.
Hassan, aktif menulis dalam bidang Tafsīr, Hadīs, Ilmu Hadīs, dan Ushūl Fiqh, di
antara karya tulisnya adalah Kata Berjawab, Ilmu Mushthalah Hadits, Qāmūs Al-
Qur‘an, Ushūl Fiqh, Tafsīr Ahkām, Cara Berdiri I‘tidal, dan masih banyak lagi yang
lain. Putra Abdul Qadir Hassan, antara lain adalah Prof. Dr. Ir. Zuhal Abdul Qadir
yang pernah menjabat sebagai Menteri Riset & Teknologi masa Presiden Habibie;
putranya yang kedua adalah Ghāzie Abdul Qadir rahimahullah.
[7] Ibid. h. 12
[8] Lihat tulisan Tamar Jaya, “Riwayat Hidup A. Hassan”, dalam A. Hassan,
Tarjamah Bulughul Maram, (Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2001 M), h. 709;
Howard M. Federspiel, Persatuan Islam: Islamic Reform in Twentieth Century
Indonesia, diterjemahkan oleh Yudian W. Asmin dan Afandi Mochtar dengan judul
Persatuan Islam: Pembaharuan Islam Indonesia Abad XX, (Cet. I; Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 1996 M.), h. 17
[9] Syafiq A. Mughni, op. cit., h. 13
[10] Faqih Hasyim adalah salah seorang murid Dr. H. Abdul Karim Amrullah.
[11] Ibid., h. 14-15.
[12] Salah seorang tokoh pendiri NU, wafat Tahun 1971 M.
[13] Ushalliy adalah niat untuk setiapkali shalat yang dilafazhkan sebelum takbirat
al-ihrām.
[14] Ibid. h. 16
[15] Howard M. Federspiel, op. cit., h. 24
[16] Untuk mengetahui lebih jauh gerakan kebangkitan kembali studi Hadis di India
pada abad XVIII dan XIX, lihat, Daniel W. Brown, Rethinking Tradition in Modern
Islamic Thought, diterjemahkan oleh Jaziar Radianti dan Entin Sriani Muslim dengan
judul Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, (Cet. I; Bandung: Mizan, 2000
M.), h. 37-61
[17] Syafiq A. Mughni, op. cit., h. 20; Howard M. Federspiel, op. cit., h. 17
[18] Syafiq A. Mughni, loc. cit.
[19] Ahmad Syurkati (1874-1943), adalah pendiri organisasi Al-Irsyad. Untuk
mengkaji lebih jauh tentang sepak terjangnya dapat dilihat dalam, Bisri Affandi,
Syaikh Ahmad Syurkati: Pembaharu & Pemurni Islam di Indonesia, (Cet. I; Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 1999 M). A. Hassan mengakui bahwa Ahmad Syurkati adalah
salah seorang gurunya.
[20] KH. Mas Mansur (1896-1946) adalah penulis buku Hadits Nabawiyah yang berisi
tentang tanya jawab ucapan Nabi dan pencetus Majlis Tarjih Muhammadiyah. Ia juga
merupakan salah seorang murid Syeikh al-Muhaddits Mahfuzh al-Tirmisi. Lihat, M.
Yunan Yusuf, et. al., Ensiklopedi Muhammadiyah, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2005 M), h. 223.
[21] Cucu A. Hassan, Lahir Tahun 1947 dan wafat pada 2002, S1 di Universitas
Islam Madinah dan S2-S3 Takhassus Hadits di Darul Hadits al-Hasaniyah University
Rabat, Maroko, tulisan-tulisannya mengenai kajian Hadis masih tersebar di Majalah
Al-Muslimun. Salah seorang putranya bernama Hifzhie sedang menimba ilmu di Al-
Azhar University, Mesir.
[22] Cucu A. Hassan, lahir pada Tahun 1949, Alumnus International Islamic Call
Institute Tripoli, Libya. Ia cukup produktif dalam menuliskan hasil kajiannya
terhadap Hadis, di antaranya adalah Fiqh al-‘Ibādāt wa al-Mu’āmalāt, yang terdiri
dari kurang lebih dua jilid besar. Sebagian yang lain masih tersebar di Majalah Al-
Muslimun, dan ada pula yang masih berbentuk naskah. Sekarang ia masih
memimpin Pesantren Persis Bangil, di antara aktifitasnya yang lain adalah mengisi
kajian Hadis di Singapura, Malaysia, dan menghadiri pertemuan-pertemuan
international.
[23] Lahir di Sumenep (Jawa Timur) pada Tahun 1942, Alumnus Universitas Al-
Imām Muhammad ibn Saūd Riyādh. Di antara buku yang disusun olehnya, yang
telah diterbitkan adalah Sifat dan Kaifiyat Qiyamul Lail, selain itu tulisannya tersebar
di majalah Al-Muslimun, khususnya dalam kajian Tafsir dan Ilmu Tafsir.
[24] Ahmad Husnan, putra Imam Kurmen, lahir di Desa Wangen, Polanharjo, Klaten,
Jawa Tengah pada Tahun 1940, pendidikan dilaluinya pada PGAP IV Negeri Solo;
PGAA Muhammadiyah Padangsidempuan Tapanuli, Sumatera Utara; dan Mu‘allimin
Muhammadiyah Payakumbuh, Sumatera Barat. Setelah itu, ia melanjutkan studinya
ke Pesantren Persis Bangil di bawah pimpinan Abdul Qadir Hassan, lulus dari
Pesantren ia melanjutkan studinya ke Fakultas Syari‘ah Universitas Islam Madinah.
Selesai di Madinah ia terus melanjutkan studinya ke Cairo, Mesir. Sekarang aktif
mengajar dan menulis di Pesantren Al-Mukmin Ngruki, Jawa Tengah. Di antara karya
tulisnya adalah Gerakan Ingkar Sunnah dan Jawabannya, Kritik Hadis Cendekiawan
Dijawab Santri, Keputusan Al-Qur‘an Digugat, Kajian Hadis Metode Takhrīj,
Meluruskan Pemikiran Pakar Muslim, Ilmiah Intelektual dalam Sorotan, dan lain-lain.
[25] Murid Abdul Qadir Hassan, mengajar kajian Hadis di Jakarta (Tanah Abang).
Putranya, Ivy Azizi sedang menimba ilmu pada Kulliyat Da‘wah al-Ālamiyah, Tripoli,
Libya dan Azmi Haqqiy pada Jurusan Tafsir Hadits, Fakultas Usuluddin, International
Islamic University, Islamabad, Pakistan.
[26] Lebih lanjut lihat catatan Howard M. Federspiel, Syafiq A. Mughni, dan Dadan
Wildan mengenai buku-buku karya A. Hassan.
[27] Endang Saifuddin Ansari, A. Hassan: Wajah dan Wijhah Seorang Mujtahid,
dalam Abdul Rahman Haji Abdullah, Gerakan Islah di Perlis: Sejarah dan Pemikiran,
(Cet. I; Kuala Lumpur: Penerbitan Pena, 1989 M), h. 131
B. Pembagian Hadis
Hadis āhād yang maqbul terbagi dua; (1) Hadis shahīh, yakni
Hadis yang sanad-nya bersambung dari awal sampai akhir serta
diriwayatkan oleh orang-orang yang kepercayaan (tsiqah) (2) Hadis
hasan, yakni Hadis yang di antara rawi-rawinya ada yang kurang ke-
dhābith-annya, tidak banyak, hanya sedikit-sedikit saja.[8]
2. Mengetahui awal kalimat matan Hadis; cara ini termasuk cara yang
paling mudah dilakukan, namun dengan catatan, seorang pencari
Hadis harus mengetahui secara jelas lafazh matan Hadis yang ingin
di-takhrīj. Adapun kitab yang biasa digunakan melalui metode ini
adalah Mawsū‘at al-Athrāf al-Hadīts al-Nabawiy al-Syarīf, karya Abū
Hajar Muhammad al-Sa‘īd ibn Basyūniy Zaglūl[18] dan kitab Al-
Jāmi‘ al-Shagīr fī Ahādīts al-Basyīr al-Nadzīr, karya Al-Suyūthiy.[19]
Terjemahnya:
)م.شّرِه
َ خْيِرِه َو
َ ن ِباْلَقَدِر
َ خِر َوُتْؤِم
ِ سِلِه َوالَيْوِم ال
ُ ل َوَملِئَكِتِه َوُكُتِبِه َوُر
ِ ن ِبا
َ ن ُتْؤِم
ْ ن َأ
ُ لْيَما
ِا
(( عن عمر )صحش3
Hadis no. 3093:
َ ن َوُتشْؤِم
ن ِ جّنشِة َوالّنشاِر َواْلِمْيشَزا
َ ن ِباْل
َ سشِلِه َوُتشْؤِم
ُ ل َوَملِئَكِتشِه َوُكُتِبشِه َوُرِ ن ِبشا
َ ن ُتْؤِم
ْ ن َأُ لْيَما
ِا
( )هب( عن عمر )صحش.شّرِه َ خْيِرِه َوَ ن ِباْلَقَدِر
َ ت َوُتْؤِم
ِ ث َبْعَد اْلَمْوِ ِبالَْبْع
Pada akhir matan Hadis no. 3092 terdapat symbol (( عن عمر3 م
))صحششش maksudnya, Hadis ini diriwayatkan oleh Muslim,[30] Abū
Dāwud,[31] al-Nasā’iy,[32] dan al-Turmudziy,[33] dari ‘Umar ibn al-
Khaththāb, dengan kualitas shahīh. Demikian pula pada akhir matan
Hadis no. 3093 terdapat symbol ( )هب( عن عمر )صحشmaksudnya, Hadis
ini diriwayatkan oleh al-Bayhaqiy dalam kitabnya, Syu‘ab al-Īmān,[34]
dari ‘Umar ibn al-Khaththāb, dengan kualitas shahīh pula. Demikian
menurut al-Suyūthiy.[35]
b. Gambaran Sanad
1. Ahmad (haddatsanā)
1. Al-Bukhāriy (haddatsanā)
2. Musaddad (haddatsanā)
1. Muslim (haddatsanā)
2. Abū Bakr ibn Abī Syaybah dan Zuhayr ibn Harb (haddatsanā)
1. Al-Nasā’iy (akhbaranā)
1. Muslim (haddatsanā)
1. Al-Nasā’iy (akhbaranā)
1. Al-Turmudziy (haddatsanā)
Para ulama Hadis membagi sanad kepada tiga bagian, yaitu (1)
awal sanad, (2) akhir sanad, dan (3) wasath sanad, yakni pertengahan
sanad. Umpamanya, al-Bukhāriy dan atau orang yang sampaikan
Hadis kepadanya, seperti Musaddad, disebut awal sanad. Sedangkan
Abū Hurayrah radhiya Allāh ‘anhu dan atau orang yang menerima
Hadis darinya, seperti Abū Zur‘ah ibn ‘Amr, disebut akhir sanad.
Adapun selain mereka, seperti Isma‘īl ibn Ibrāhīm dan Abū Hayyān al-
Taymiy, disebut pertengahan sanad. Perhatikan gambaran sanad
Hadis riwayat al-Bukhāriy di atas, demikian pula seterusnya dengan
sanad-sanad Muslim, Abū Dāwud, dan lainnya.[38]
Endnote
[1] Alamat e-mail: kayyink_uinmakassar@yahoo.com
[2] A. Hassan, Ringkasan Islam, (Bangil: Al-Muslimun, 1972 M.), h. 11
[3] Ibid.; lihat pula, A. Hassan, “Muqaddimah Ilmu Hadis dan Ushūl Fiqh”,
dalam Tarjamah Bulūg al-Marām, (Cet. XXV; Bandung: CV Penerbit
Diponegoro, 2001 M.), h. 15, selanjutnya disebut “Muqaddimah Ilmu
Hadis” saja.
[4] Ibid., h. 2
[5] Ibid., h. 10; lihat pula, A. Hassan, Ringkasan Islam, loc. cit.
[6] A. Hassan, “Muqaddimah Ilmu Hadis”, loc. cit.
[7] Ibid.; A. Hassan, Ringkasan Islam, op. cit., h. 12
[8] A. Hassan, et. al., Soal Jawab, Jilid II, (Cet. XII; Bandung: Penerbit CV
Diponegoro, 2000 M.), h. 696; lihat pula, A. Hassan, “Muqaddimah Ilmu
Hadis”, op. cit., h. 10, 12
[9] Ibid., h. 11
[10] A. Hassan, Ringkasan Islam, loc. cit.
[11] Ahmad ibn Fāris, Mu‘jam al-Maqāyis fī al- Lugah, (Cet. I; Beirūt: Dār
al-Fikr, 1415 H.-1994 M.), h. 313
[12] Majd al-Dīn Muhammad ibn Ya‘qūb al-Fayruzzabādiy, Al-Qāmūs al-
Muhīth, (Cet. I; Beirūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1425 H.-2004 M.), h.
211
[13] Lambang-lambang periwayatan yang dimaksud adalah siyag al-isnād,
yakni lafazh-lafazh yang ada dalam sanad yang digunakan oleh rawi-rawi
ketika menyampaikan Hadis atau riwayat, umpamanya haddatsanā,
haddatsaniy, akhbaranā, akhbaraniy, ‘an, dan sebagainya.
[14] Mahmūd al-Thahhān, Ushūl al-Takhrīj wa Dirāsat al-Asānīd, (t.d.), h.
10-11
[15] Ibid., h. 12
[16] Lebih lanjut lihat, ‘Abd al-Mahdi ibn ‘Abd al-Qadir, Thuruq Takhrīj Hadīts
Rasūlillah Shalla Allāh ‘Alayh wa Sallam, diterjemahkan oleh Sayyid Agil
Husin Munawwar dan Ahmad Rifqi Muchtar dengan judul Metode Takhrīj
Hadis, (Cet. I; Semarang: Dina Utama, 1994 M.), h. 15; Mahmūd al-
Thahhān, Ushūl al-Takhrīj wa Dirāsat al-Asānīd, op. cit., h. 37-38;
Tasmin Tangngareng, “Metode Takhrīj Dalam Penelitian Sanad Hadis”,
Diktat Perkuliahan, (Makassar: UIN Alauddin, t.th.), h. 6-20; Baso
Midong, Kualitas Hadis Dalam Kitab Tafsir An-Nur Karya T.M. Hasbi Ash-
Shiddieqy, (Cet. I; Makassar: YAPMA, 2007 M.), h. 11-12
[17] Cet. I; Bombay: Dār al-Qayyimah, 1982 M.
[18] Cet. I; Beirūt: Dār al-Fikr, 1989 M.
[19] Cet. II; Beirūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1425 H.-2004 M.
[20] A.J. Wensink memberi judul Concordance et Indices la Tradition
Musulmane, diterjemahkan oleh Muhammad Fu’ād ‘Abd al-Bāqiy dengan
judul Al-Mu‘jam al-Mufahras li Alfāzh al-Hadīts al-Nabawiy, Cet. Leiden:
E.J. Brill, 1965 M.
[21] A.J. Wensink memberi judul A Handbook of Early Muhammadan
Tradition, diterjemahkan oleh Muhammad Fu’ād ‘Abd al-Bāqiy dengan
judul Miftāh Kunūz al-Sunnah, Cet. Lahore: Sohail Academy, 1391 H.-
1974 M.
[22] Salam Russyad, adalah Dosen Hadis dan Ilmu-ilmu Hadis pada Ma‘had
‘Āliy (Pesantren Tinggi) Persis Bangil, Jawa Timur. Saat ini, ia diamanahi
sebagai Ketua Persis (Persatuan Islam) Wilayah Indonesia Timur.
Berkunjung ke rumah penulis di Jln. Syeikh Yusuf III No. 54 Ko’bang,
Gowa, Sulawesi Selatan, pada 30-31 Januari 2008 M.
[23] A. Hassan, Mengenal Muhammad, (Cet. VI; Surabaya: PT Bina Ilmu,
1987 M.), h. 10
[24] ‘Abd al-Mahdi ibn ‘Abd al-Qadir menyebutkan hingga 20 manfaat dari
kegiatan takhrīj al-hadīts. Lihat, ‘Abd al-Mahdi ibn ‘Abd al-Qadir, op. cit.,
h. 4-6
[25] A. Hassan, Ringkasan Islam, op. cit., h. 15
[26] Ahmad ibn Hanbal, Musnad al-Imām Ahmad ibn Hanbal, Jilid II, (t.t.:
Dār al-Fikr, t.th.), h. 426
[27] Muhammad ibn Ismā‘īl al-Bukhāriy, Shahīh al-Bukhāriy, Juz I, (Cet. I;
Beirūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1412 H.-1992 M.), h. 22, Kitāb al-
Īmān, Bāb Su’āl Jibrīl al-Nabiy Shalla Allāh ‘Alayhi wa Sallam ‘An al-Īmān
wa al-Islām wa al-Ihsān wa ‘Ilm al-Sā‘ah, Hadis No. 50; Juz V, h. 318,
Kitāb Tafsīr al-Qur’ān, Bāb Qawluhu Inna Allāh ‘Indahu ‘Ilm al-Sā‘ah,
Hadis No. 4777
[28] Muslim ibn Hajjāj al-Qusyayriy al-Naysābūriy, Shahīh Muslim, Juz I,
(Cet. I; Beirūt: Dār al-Fikr, 1412 H.-1992 M.), h. 28, Kitāb al-Īmān, Bāb
Bayān al-Īmān wa al-Islām wa al-Ihsān wa Wujūb al-Īmān bi Itsbāt
Qadar Allāh Subhānahu wa Ta‘ālā, Hadis No. 5
[29] Muhammad ibn Yazīd al-Qazwīniy, Sunan ibn Mājah, Juz I, (Beirūt: Dār
al-Fikr, 1415 H.-1995 M.), h. 37, Kitāb al-Muqaddimah, Bāb fī al-Īmān,
Hadis No. 64
[30] Muslim ibn al-Hajjāj al-Qusyayriy al-Naysābūriy, op. cit., h. 27, Kitāb al-
Īmān, Bāb Bayān al-Īmān wa al-Islām wa al-Ihsān wa Wujūb al-Īmān bi
Itsbāt Qadar Allāh Subhānahu wa Ta‘ālā, Hadis No. 1
[31] Sulaymān ibn al-Asy‘ats al-Sijistāniy, Sunan Abī Dāwud, (Cet. I; Beirūt:
Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1422 H.-2001 M.), h. 739, Kitāb al-Sunnah,
Bāb fī al-Qadar, Hadis No. 4695
[32] Ahmad ibn Syu‘ayb ibn ‘Aliy ibn Bahr al-Nasā’iy, Sunan al-Nasā’iy bi
Syarh al-Hāfizh Jalāl al-Dīn al-Suyūthiy wa Hāsyiyah al-Sindiy, Juz VIII,
(Al-Qāhirah: Dār al-Hadīts, 1407 H.-1987 M.), h. 97-98, Kitāb al-Īmān
wa Syarā’i‘hi, Bāb Na‘t al-Islām.
[33] Muhammad ibn Īsā ibn Sawrah al-Turmudziy, Sunan al-Turmudziy, Juz
IV, (Beirūt: Dār al-Fikr, 1414 H.-1994 M.), h. 275-276, Kitāb al-Īmān,
Bāb Mā Jā’a fī Washfi Jibrā’īl li al-Nabiy Shala Allāh ‘Alayh wa Sallam al-
Īmān wa al-Islām.
[34] Abū Bakr Ahmad ibn Husayn ibn ‘Aliy al-Bayhaqiy, Syu‘ab al-Īmān,
(t.d.)
[35] Jalāl al-Dīn ibn Abī Bakr al-Suyūthiy, Al-Jāmi‘ al-Shagīr fī Ahādīts al-
Basyīr al-Nadzīr, (Cet. II; Beirūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1425 H.-
2004 M.), h. 185; lihat pula, Muhammad ‘Abd al-Ra’ūf al-Munāwiy,
Faydh al-Qadīr Syarh Al-Jāmi‘ al-Shagīr fī Ahādīts al-Basyīr al-Nadzīr,
Jilid III, (Cet. II; Beirūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1427 H.-2006 M.), h.
240
[36] Al-I‘tibār secara bahasa merupakan mashdar dari kata i‘tabara yang
berarti memperhatikan suatu perkara untuk mengetahui perkara lain
yang sejenis. Menurut istilah, menelusuri jalur-jalur Hadis yang
diriwayatkan secara menyendiri oleh seorang rawi, untuk mengetahui
apakah terdapat rawi lain yang bersekutu dalam riwayatnya atau tidak.
Lihat, Mahmūd al-Thahhān, Taysīr Mushthalah al-Hadīts, (Surabaya:
Syirkat Bunkūl Indah, t.th.), h. 141
[37] A. Hassan, “Muqaddimah Ilmu Hadis”, op. cit. h. 2-3; A. Hassan,
Ringkasan Islam, op. cit. h. 15
[38] A. Hassan, “Muqaddimah Ilmu Hadis”, op. cit. h. 3
[39] Ibid., h. 9
[40] Abdul Qadir Hassan, Ilmu Mushthalah Hadis, (Cet. VIII; Bandung: CV
Penerbit Diponegoro, 2002 M.), h. 305
[41] Ibid., h. 302
Terjemahnya:
Adapun Hadis sahih itu adalah Hadis yang disandarkan (kepada Nabi saw.), yang
sanad-nya bersambung, yang diriwayatkan oleh seorang yang ‘ādil lagi dhābith dari
seorang yang ‘ādil lagi dhābith (pula) sampai perhentian sanad-nya, tidak syādz
(janggal) dan tidak pula mu‘allal (cacat).[2]
Definisi yang dikemukakan oleh A. Hassan ini, memberi kesan bahwa ia telah
menyederhanakan kaedah kesahihan Hadis menjadi dua saja, yaitu; (1) sanad-nya
bersambung, (2) diriwayatkan oleh orang-orang yang kepercayaan (tsiqah).
Penyederhanaan ini, sudah jāmi‘un māni‘un (menghimpun seluruh kaedah dan tidak
mengurangi sedikitpun ketercakupannya itu) terhadap bagian-bagian dari definisi yang
telah dikemukakan oleh muhadditsīn sebelumnya.
Dalam hal ini, A. Hassan tidak menyebutkan syudzūdz dan ‘illat sebagai sifat-sifat orang
yang kepercayaan (tsiqah), karena ada dua kemungkinan alasan; (1) tidak mungkin suatu
Hadis yang sanad-nya dinyatakan bersambung (muttashil), dan diriwayatkan oleh orang
yang tsiqah (‘ādil dan dhābith) ternyata riwayatnya mengandung syudzūdz dan ‘illat,
sebab keduanya hanya terkait pada sanad yang tidak bersambung dan periwayat yang
tidak dhābith. (2) penyebutan keduanya (syudzūdz dan ‘illat) dalam definisi Ibnu Shalāh
itu semata-mata li al-ta’kīd (penekanan) terhadap pentingnya pemenuhan kedua unsur
tersebut di samping sebagai sikap kehati-hatian semata.
Dapat dirinci bahwa untuk sanad yang bersambung memiliki beberapa unsur, sebagai
berikut: (1) muttashil, yaitu Hadis yang sanad-nya sampai kepada Nabi saw. dengan tidak
putus, dinamakan mawshūl atau muttashil al-sanad yakni yang disambung sanad-nya,
yang tidak putus sanad-nya. Perkataan ini, juga terpakai untuk sanad atau riwayat atau
atsar al-shahābah atau tābi‘īn.[5] (2) marfū‘, yaitu satu Hadis yang diriwayatkan dari
Nabi saw. oleh seorang rawi kepada ulama mudawwin, seperti al-Bukhāriy, Muslim, Abū
Dāwud, dan lainnya, yakni Hadis yang riwayatnya diangkat sampai kepada Nabi saw.
Kalau ada perkataan Ahli Hadis bahwa Hadis itu di-rafa‘-kan oleh seorang sahābiy,
seperti Ibnu ‘Umar, umpamanya, maka maksudnya bahwa Ibnu ‘Umar katakan Hadis itu
dari Nabi saw. bukan fatwanya sendiri.[6] (3) mahfūzh, yaitu dalam satu pemeriksaan,
umpamanya, bila ada dua Hadis yang diriwayatkan dari Nabi saw. yang berlawanan,
sedang yang satu lebih kuat sanad-nya daripada yang lain, maka yang kuat sanad-nya itu
dinamakan mahfūzh dan yang kurang kuat dinamakan syādz.[7] (4) bukan mu‘all,
maksudnya bukan Hadis yang cacat. Hadis yang cacat (mu‘all) itu adalah satu Hadis yang
zahirnya sahih, tetapi sesudah diperiksa, terdapat ada cacatnya. Cacatnya itulah yang
dinamakan ‘illat (artinya penyakit).[8]
Untuk periwayat yang kepercayaan (tsiqah) juga memiliki beberapa unsur, sebagai
berikut: (1) al-‘adālah, yaitu beragama Islam, mukallaf (cukup umur), melaksanakan
ketentuan agama, dan memelihara murū’ah (akhlaq kesopanan), (2) al-dhabth, yaitu hafal
dengan baik Hadis yang diriwayatkannya, mampu dengan baik menyampaikan Hadis
yang dihafalnya kepada orang lain, dan secara otomatis terhindar dari syudzūdz, terhindar
dari ‘illat.
Untuk menentukan sejauh mana kualitas kepribadian seorang periwayat, maka kreteria
ke-‘ādil-an yang diajukan A. Hassan adalah (1) tidak terdengar atau terlihat ia
mengerjakan dosa besar teristimewa dusta dan khianat, (2) tidak selalu mengerjakan
dosa-dosa kecil, (3) tidak melanggar kesopanan kaumnya yang tidak dilarang oleh
agama.[9]
Ulama lain, mengajukan kriteria ke-‘ādil-an, sebagai berikut; (1) beragama Islam, (2)
balig, (3) berakal, (4) taqwa, (5) memelihara murū’ah, (6) teguh dalam agama, (7) tidak
berbuat dosa besar, (8) menjauhi dosa-dosa kecil, (9) tidak berbuat bid‘ah, (10) tidak
berbuat maksiat, (11) tidak berbuat fasiq, (12) menjauhi hal-hal yang dibolehkan, yang
dapat merusak murū’ah, (13) baik akhlaqnya, (14) dapat dipercaya beritanya, (15)
biasanya benar.[10]
Untuk menentukan sejauh mana kapasitas intelektual seorang periwayat, maka kriteria
ke-dhābith-an yang diajukan A. Hassan adalah (1) mengerti apa yang diriwayatkannya,
(2) tau apa-apa yang bisa mengubah makna Hadis, yaitu kalau dia meriwayatkan dengan
makna, (3) kuat hafalannya, (4) ingat akan kitabnya, yaitu kalau dia meriwayatkan Hadis
dengan tulisan.[12]
ke-dhābith-an seseorang dapat diketahui berdasarkan (1) kesaksian para ulama, (2)
kesesuaian riwayatnya dengan riwayat yang disampaikan oleh periwayat yang ke-
dhābith-annya telah masyhur, (3) kekeliruan seorang periwayat yang dhābith dapat
ditolelir selama hal itu tidak sering terjadi, namun bila kekeliruan itu sering terjadi maka
predikat ke-dhābith-an yang disandang tidak berlaku lagi.[13]
Predikat ke-dhābith-an tidak mungkin disandang oleh periwayat yang (1) lebih banyak
salahnya daripada benarnya dalam meriwayatkan Hadis, (2) lebih menonjol sifat lupanya
dari pada sifat ingatnya, (3) diduga kuat wahm atau keliru dalam meriwayatkan Hadis,
(4) riwayatnya menyalahi periwayat yang lebih tsiqah, (5) buruk ingatannya.[14]
Orang yang meriwayatkan Hadis dari zaman Nabi Muhammad saw. hingga abad pen-
tadwin-an (pengumpulan) Hadis dalam kitab-kitab, baik itu periwayat dari kalangan
sahabat, tābi‘īn, dan seterusnya, orang-orang yang terkenal besarnya atau terkenal
sebagai orang yang berdusta, orang-orang yang saleh atau fasik, penurut sunnah dengan
betul atau ahli bid‘ah sekalipun jahatnya itu tidak diketahui, laki-laki atau perempuan,
anak-anak atau orang dewasa, semua mereka itu, telah didaftarkan oleh ulama akan
nama-nama mereka beserta tarikh riwayat hidup (biografi) masing-masing sedapat-
dapatnya.[16]
Kitab-kitab yang menerangkan tarikh rawi-rawi itu ada banyak dan bermacam-macam
metode penulisannya, ada yang bercampur antara perawi sahih dan dha‘īf, seperti
Tahdzīb al-Tahdzīb karya Ibnu Hajar al-‘Asqalāniy dan Mīzān al-I‘tidāl karya al-
Dzahabiy; ada yang menerangkan rawi-rawi yang baik dan yang boleh dipercaya saja,
seperti kitab Al-Tsiqāt karya Abu al-Hasan Ahmad ibn ‘Abdillāh ibn Shālih al-‘Ijliy dan
Al-Tsiqāt karya Ibnu Hibbān al-Busthiy; ada yang pisahkan (khususkan) rawi-rawi yang
lemah, pendusta, fasik, dan sebagainya, seperti kitab Al-Dhu‘afā’ al-Kabīr karya al-
Bukhāriy dan Al-Kāmil fī Dhu‘afā’ al-Rijāl karya Abu Ahmad Abdullah ibn ‘Adiy al-
Jurjāniy; ada yang sendirikan rawi-rawi dari kalangan sahabat saja, seperti kitab Al-
Isti‘āb fī Ma‘rifat al-Ashhāb karya Ibnu ‘Abd al-Barr dan Usud al-Gābat fī Ma‘rifat
Asmā’ al-Shahābah karya Ibnu al-Atsīr al-Jazriy; demikianlah seterusnya.[17]
Data informasi yang harus diperiksa dari perawi Hadis menurutnya, sebagai berikut; (1)
nama lengkap perawi, termasuk laqab dan atau kunyah-nya, (2) kelahirnya, (3) tahun
matinya, (4) negerinya, (5) guru-gurunya, (6) murid-muridnya, (7) dimana ia belajar
yakni sejarah perlawatannya mencari Hadis, (8) siapa-siapa yang ia jumpai dari kalangan
ahli Hadis, (9) penilaian ulama terhadapnya.[19]
Salah satu contoh yang dapat penulis kemukakan dari hasil pemeriksaan A. Hassan
terhadap biografi perawi Hadis, yaitu Hadis tentang keadaan jasad para Nabi di alam
kubur riwayat Ahmad, Abū Dāwud, Al-Nasā’iy, Ibnu Mājah, Ibnu Hibbān, al-Hākim, al-
Bayhaqiy, al-Dārimiy, Sa‘īd ibn Manshūr, al-Thabrāniy, dan Ibn Abī Syaybah. Menurut
al-Hākim dan al-Nawāwiy, Hadis tersebut sahih. Al-Mundziriy juga menganggap Hadis
tersebut baik. Namun A. Hassan melemahkan Hadis tersebut.[20]
Dari pernyataan ini, dapat penulis simpulkan bahwa kegiatan pemeriksaan terhadap
pribadi periwayat yang dilakukan A. Hassan, lebih tertuju pada, selain “para sahabat Nabi
yang jadi rawi yang masyhur-masyhur” dan “Pendaftar Hadis”. Alasannya, karena
mereka telah lulus uji pemeriksaan yang diadakan oleh ulama terdahulu.
(BERSAMBUNG)
Endnote:
[1] Alamat e-mail: kayyink_uinmakassar@yahoo.com
[2] Abū ‘Amr ‘Utsmān ibn ‘Abd al-Rahmān ibn Shalāh al-Syahrazūriy, Muqaddamah Ibn
Shalāh, (Bombay: Qayyimah Press, 1938 M.), h. 7-8.; lihat pula, Jalāl al-Dīn ibn ‘Abd al-
Rahmān al-Suyūthiy, Tadrīb al-Rāwiy fī Syarh Taqrīb al-Nawāwiy, (Cet. I; Beirūt: Dār
Ihyā’ al-Turāts al-‘Arabiy, 1421 H.-2001 M.), h. 58.
[3] A. Hassan, et al., Soal Jawab, Jilid II, (Cet. XII; Bandung: Penerbit CV Diponegoro,
2000 M.), h. 696.
[4] Ibid.
[5] A. Hassan, “Muqaddimah Ilmu Hadis dan Ushūl Fiqh”, dalam Tarjamah Bulūg al-
Marām, (Cet. XXV; Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2001 M.), h. 5-6.; Selanjutnya
disebut “Muqaddimah Ilmu Hadis” saja.
[6] Ibid., h. 5.
[7] Ibid., h. 9.
[8] Ibid., h. 8.
[9] A. Hassan, et al., Soal Jawab, loc. cit.
[10] Lebih lanjut lihat misalnya, Muhammad Shiddīq Hasan Khān, Hushūl al-Ma‘mūl
min ‘Ilm al-Ushūl, (Cairo: Dār al-Fadhīlah, t.th.), h. 139-140.; Muhammad Mahfūzh ibn
‘Abd Allah al-Tirmisiy, Manhaj Dzawiy al-Nazhar, (Surabaya: Ahmad ibn Sa’ad ibn
Nabhān, 1394 H.-1974 M.), h. 9.
[11] Muhammad Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan
Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, (Cet. II; Jakarta: Bulan Bintang, 1415 H.-
1995 M.), h. 134.
[12] A. Hassan menambahkan bahwa ada lain-lain syarat yang tidak begitu penting,
bahkan telah termasuk di salah satu syarat tersebut. Lihat, A. Hassan, et al., Soal Jawab,
op. cit., Jilid I, h. 345.
[13] Muhammad Syuhudi Ismail, op. cit., h. 136.
[14] ‘Abd al-‘Azīz ibn Muhammad ibn Ibrāhīm al-‘Abd al-Lathīf, Dhawābith al-Jarh wa
al-Ta‘dīl, (Cet. I; Madinah: al-Jāmi‘ah al-Islāmiyyah bi al-Madīnat al-Munawwarah,
1412 H.) h. 14.
[15] A. Hassan, et al., Soal Jawab, op. cit., h. 434-435.
[16] A. Hassan, Ringkasan Islam, (Bangil: Al-Muslimun, 1972 M), h. 16.
[17] Ibid.
[18] A. Hassan, “Muqaddimah Ilmu Hadis”, op. cit., h. 5, 25-26.
[19] Ibid., h. 2, 12.
[20] A. Hassan, et al., Soal Jawab, op. cit., h. 520.
[21] A. Hassan, Ringkasan Islam, op. cit. h. 17.
http://fospi.wordpress.com/2008/05/04/kontribusi-a-hassan-terhadap-kajian-
hadis-di-indonesia/
http://kayyink.wordpress.com/2008/04/13/Halo-Dunia/#comments
Tahun 1930-an, Tuan Hassan melakukan perdebatan dengan tokoh Ahmadiyah Indonesia ketika itu,
Abubakar Ayyub. Sejak awal memang Persis menetang Ahmadiyah, sebab ajarannya menyeleweng dari
ajaran Islam. Penyelewengannya yang terutama adalah pengakuannya terhadap Murza Gulam Ahmad
sebagai nabi setelah Nabi Muhammad Saw, dan mengaku adanya kitab suci setelah Al-Quran, yaitu
Tadzkirah yang diturunkan kepada Murza Gulam Ahmad. Inilah penyelewengan yang sangat fatal. Bila
mengaku ada nabi lagi setelah Nabi Muhammad Saw dan ada kitab suci setelah Al-Quran, kelompok itu
jelas keluar dari Islam, tidak termasuk golongan muslim.
Dalam buku “Riwayat Hidup A. Hassan”, H. Tamar Djaja menceritakan debat A. Hassan dengan
tokoh Ahmadiyah itu. Dalam perdebatan itu, A. Hassan mengemukakan sebuah “hadis” yang dikutif dari
kitab Murza, yang berbunyi: “Di hari Rasulullah Saw meninggal, bumi berteriak, katanya: “Ya Allah, apakah
badanku ini akan Engkau kosongkan daripada diinjak oleh kaki-kaki nabi sampai hari kiamat?” Maka Allah
berfirman kepada bumi itu: “Aku akan jadikan di atas badanmu manusia yang hatinya seperti nabi-nabi.”
Abubakar Ayyub lalu menanyakan tentang riwayat hadis ini, dan A. Hassan menjawabnya tidak tahu,
sambil berkata: “Apakah tuan suka hadis ini? Bila tuan suka silahkan pakai, bila tidak silahkan tolak.”
Abubakar Ayyub menolak “hadis” yang disampaikan oleh A. Hasan itu, karena tidak jelas siapa
periwinya, dari mana diambilnya, dan di kitab apa tertulisnya. Pengikut Ahmadiyah yang hadir ketika itu
bersorak, merasa bangga dengan tokohnya yang akan menang berdebat dengan waktu singkat, sebab A.
Hassan tidak bisa menerangkan riwayat hadis yang dibacakannya. Mereka bersorak, dan Ayyub pun
merasa dirinya menang. Namun kemudian A. Hassan mengatakan bahwa hadis itu terdapat di kitab Mirza,
Tuhfah Baghdad, halaman 11. saat itupun pengkit Ahmadiyah diam seribu bahasa.
Giliran A. Hassan yang menyuruh Abubakar Ayyub agar bertanya kepada nabinya (Mirza) tentang
riwayat hadis itu dan dari mana diambilnya, serta tanyakan pula, bagaimana bumi bisa bicara kepada
manusia, sebab hadis itu bukan hadis nabi, mengingat bumi berteriak setelah Rasulullah wafat. Jadi, tegas
A. Hassan, tentu ada orang lain yang mendengar omongan bumi, dan jawaban Allah itu pun orang lain yang
mendengar. Siapa dia? Tanyakan kepada “nabi” Mirza.
Abubakar Ayub ketika itu sebetulnya sudah kalah total, tetapi ia masih berkelit dengan mengatakan
bahwa hadis itu, bisa jadi terdapat dalam kitab “Kanzul Ummi,” masih kitabnya Ahmadiyah, namun ia
bahkan melemahkan dirinya dengan mengaku tidak membawa kitab tersebut, jadi tidak bisa dilihat.
Selanjutnya A. Hassan menegaskan bahwa dengan adanya “hadis” itu sudah cukup menunjukkan
kepalsuan Mirza. Lagi pula, kata A. Hassan, hadis yang dibawakan oleh Mirza itu dengan jelas
menyebutkan bahwa nabi (setelah Nabi Muhammad) tidak ada lagi. Yang ada hanya orang-orang yang
hatinya seperti nabi.
“Kalau perkataan yang begini terang, tuan mau putar-putar lagi, saya minta diadakan juri. Saya
heran, apa sebab Ahmadiyah takut diadakan juri. Juri tidak akan makan orang!” tegas A. Hassan.
Dari perdebatan ini jelas bahwa sebenarnya Abubakar Ayyub tidak memilki hujjah (dalil) yang kuat
untuk membela Mirza Gulam Ahmad sebagai seorang nabi. Meski demikian ia tidak tunduk dan menjadi
pengikuti Islam yang baik. Ia tetap menjadi pengikut Ahmadiyah. Memang Abubakar Ayyub dikenal sebagai
orang yang pandai memutarbalikkan fakta demi untuk mempertahankan keyakinannya kepada Ahmadiyah.
Hal itu terlihat ketika A. Hassan tak menyebut rawi hadis dan kitab yang memuatnya, keluarlah
ejekan dan cemoohan. Namun kektika A. Hassan menyebutkan bahwa hadis itu tertera di kitab Tuhfah
Baghdad terbitan Punjab Press Sialkot, Muharram 1311 H, Abubakar Ayyub dan pengikut Mirza lainnya
pucat pasi, tetapi mereka tidak berubah keyakinan, tetap menjadi pengikuti Mirza.
Ahmadiyah didirikan oleh Mirza Gulam Ahmad tahun 1989 di Qodyani, India. Mirza lahir di Qodyani,
13 Pebruari 1835 dan meninggal 26 Mei 1908 di Lahore. Di kalangan Jemaat Ahmadiyah, Mirza Gulam
Ahmad diyakini sebagai Imam Mahdi, Al-Masih Al-Mau’ud, nabi dan rasul.
Sepeninggal Mirza (1908), kepemimpinan Ahmadiyah dilanjutkan oleh Hadzrat Hafid H. Hakim
Nuruddin selaku khalifah I hingga tahun 1914. selanjutnya secara berturut-turut dipilih khalifah II, Mirza
Bashiruddin Mahmud Ahmad (1914-1965), khalifah III, Hadzrat Hafid Nasir Ahmad (1965-1982), dan
khlaifah IV, Hadzrat Mirza Taher Ahmad (1982- hingga sekarang). Ahmadiyyah meyakini, jabatan khalifah
harus ada hingga hari kiamat, dan kedudukan kekhalifahan Ahmadiyah berpusat di London, Inggris.
Ahmadiyah masuk ke Indonesia tahun 1922, dibawa oleh seorang mubaligh Ahmadiyah yang
bernama Khawajah Kamaluddin. Dia berhasil menarik beberapa orang dari Perguruan Sumatra Thawalib, di
antaranya Ahmad Nuruddin. Selanjutnya, Ahmad Nuruddin dan teman-teman mendapat kesempatan
melanjutkan studi di Lahore dan Qadian, dan atas permohonan Ahmad Nuruddin dan kawan-kawan,
seorang mubaligh Ahmadiyah, Maulana Rahmat Ali diutus ke Indonesia tahun 1925.
Dari sejak awal kemunculannya, Ahmadiyah ditentang oleh kaum muslimin Indonesia yang mayoritas
beraliran Sunni, sebab ajarannya dinilai menyimpang dari ajaran Islam. Penyelewengannya yang esensial
adalah, penganut Ahmaddiyah mengaku ada nabi dan rasul setelah Nabi Muhammad Saw, yaitu Mirza
Gulam Ahmad; memiliki kitab suci sendiri, yaitu “Tazkirah” yang kesuciannya diakui sama dengan Al-Quran;
serta mengaku ada tanah suci selan Makkah dan Medinah, yaitu Qadyani, dan Rabwah.
Penyelewengan lainnya adalah wahyu tetap turun sampai hari kiamat; surga mereka di Qadian
(India) dan Rabwah (Pakistan) yang dikenal dengan nama Bahesti Maqbarah (pekuburan ahli surga),
karenanya “kavling surga” di dua tempat itu dijual kepada masyarakat dengan harga yang sangat mahal;
wanita Ahmadiyah diharamkan menikah dengan laki-laki di luar Ahmadiyah, tetapi laki-laki Ahmadiyah boleh
menikah dengan wanita bukan Ahmadiyah; tidak boleh bermakmum kepada yang bukan Ahmadiyah; dan
mempunyai sistem penanggalan sendiri, dengan nama bulan: 1. Suluh, 2. Tabligh, 3. Aman, 4. Syahadah,
5. Hijrah, 6. Ikhsan, 7. Wafa, 8. Zuhur, 9. Tabuk, 10. Ikha, 11. Nubuwah, 12. Fatah. Nama tahunnya adalah
Hijri Syamsyi (HS).
Dalam kitab Tadzkirah, Mirza Gulam Ahmad menerangkan bahwa ia menerima wahyu dari Tuhan,
salah satunya adalah bahwa Tuhan telah memberi barkah kepadanya. Namun wahyu yang diterimanya itu
dicampur dengan potongan ayat-ayat Al-Quran, seperti yang tercantum dalam Tadzkirah: 43; Haqiqatul
Wahyi: 70, dan Al-Istifta: 79: “Wahai Ahmad, Allah telah memberi barkah kepadamu. Dan bukan kamu yang
melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar (Tuhan) Yang Maha Pemurah, yang telah
mengajarkan Al-Quran.”
Kalimat pertama: “Wahai Ahmad, Allah telah memberi barkah kepadamu,” adalah wahyu dari Allah
kepada Mirza Gulam Ahmad, sedangkan kalimat kedua, “Dan bukan kamu yang melempar ketika kamu
melempar dan seterusnya …” adalah terjemahaan firman Allah yang tertera dalam Al-Quran surat Al-Anfal
ayat 17. Namun bagian awal dan akhir ayat tersebut tidak ditulis dengan lengkap. Ratusan ayat Al-Quran
lainnya dibajak oleh Mirza Gulam Ahmad yang diakuinya sebagai wahyu yang diturunkan Allah kepadanya
setelah dicampuri dengan ucapan dia kemudian dihimpun dalam “kitab suci” Tadzkirah.
Oleh karena itulah maka Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa tahun 1980 bahwa
Ahmadiyah adalah jamaah di luar Islam, sesat dan menyesatkan. Fatwa ini ditindaklanjuti dengan hasil
Rapat Kerja Nasional MUI, 4-7 Maret 1984 yang merekomendasikan agar pihak yang berwenang meninjau
kembali Surat Keputusan Departemen Kehakiman RI No. 13, tanggal 13 Maret 1953, tambahan Berita
Negara No. 26, tanggal 31 Maret 53 tentang status badan hukum Ahmadiyah.
Jauh sebelumnya, Konferensi organisasi-organisasi Islam sedunia yang diadakan di Makkah Al-
Mukarramah, Rabiul Awwal 1394/1973 antara lain merekomendasikan bahwa Ahmadiyah adalah suatu
sekte yang sangat menghancurkan, menjadikan Islam sebagai semboyan untuk menutupi maksud jahatnya.
Golongan Ahmadiyah adalah kafir dan keluar dari Islam, sebab Ahmadayah memikiki kepercayaan bahwa
pemimpinnya mengaku nabi, teks Al-Quran diubah-ubah, dan jihad itu tidak ada.
Oleh karena itu organisasi Islam sedunia meminta agar pemerintah-pemerintah Islam melarang
setiap kegiatan pengikut Mirza Gulam Ahmad, dan menganggap mereka sebagai golongan minoritas non-
muslim, serta melarang mereka untuk jabatan yang sensitif di dalam negara.
Upaya penolakan terhadap Jemaat Ahmadiyah diwujudkan dalam berbagai bentuk aksi, seperti
mengirim surat pernyataan keberatan dan keresahan akan kehadiran Ahmadiyah kepada Pemerintah
Daerah dan Pusat serta mempublikasikannya dalam berbagai media massa. Bahkan dengan berdemo,
seperti di Parung, Bogor, masyarakat muslim menentang perkembangan Ahmadiyah dengan mnyegel
tempat kegiatan mereka. Persis mempunyai cara sendiri dalam menolak Ahmadiyah, yaitu dengan cara
berdebat.
Prof. Dr. M.M al-A'zami, Spesialis penakluk tesis May 27, '06 4:51 AM
Orientalis for everyone
Categor Oth
y: er
Spesialis penakluk tesis kaum orientalis. Predikat itu tepat disematkan pada
sosok Prof. Dr. Muhammad Mustafa al-A'zami, 73 tahun, guru besar ilmu
hadis Universitas King Saud, Riyadh, Arab Saudi. Popularitas A'zami mungkin
tidak setenar Dr. Yusuf Qardlawi dan ulama fatwa (mufti) lainnya. Namun
kontribusi ilmiahnya sungguh spektakuler.
Pikiran pengkaji Islam asal Hongaria itu jadi pijakan banyak orientalis lain,
termasuk Snouck Hurgronje (1857-1936), penasihat kolonial Belanda. Tahun
1960, tesis Goldziher diperkuat Joseph Schacht, profesor asal Jerman, dengan
teori "proyeksi ke belakang". Hadis, kata Schacht, dibentuk para hakim abad
kedua Hijriah untuk mencari dasar legitimasi produk hukum mereka. Lalu
disusunlah rantai periwayatnya ke belakang hingga masa Nabi.
Ali Mustafa membandingkan jasa A'zami dengan Imam Syafi'i (w. 204 H).
Syafi'i pernah dijuluki "pembela sunah" oleh penduduk Mekkah karena
berhasil mematahkan argumen pengingkar sunah --sebutan lain hadis. "Pada
masa kini," kata Ali Mustafa, "Prof. A'zami pantas dijuluki 'pembela eksistensi
hadis' karena berhasil meruntuhkan argumentasi orientalis yang menolak
hadis berasal dari Nabi."
Setelah lama mapan dalam studi hadis, belakangan A'zami merambah bidang
studi lain: Al-Quran. Namun inti kajiannya sama: menyangkal studi orientalis
yang menyangsikan otentisitas Al-Quran sebagai kitab suci. Ia menulis buku
The History of The Qur'anic Text (2003), yang juga berisi perbandingan
dengan sejarah Perjanjian Lama dan Baru. "Ini karya pertama saya tentang
Al-Quran," kata peraih Hadiah Internasional Raja Faisal untuk Studi Islam
tahun 1980 itu.
Sabtu pekan lalu, A'zami meluncurkan versi Indonesia buku itu dalam
Pameran Buku Islam di Istora, Senayan Jakarta. Gus Dur, yang mengaku
pengagum A'zami, bertindak sebagai panelis bersama pakar Quran dan hadis
lainnya. Prof. Kamal Hasan, dalam pengantar buku itu, menilai karya A'zami
ini relevan untuk meng-counter maraknya buku Hassan Hanafi, Nasr Hamid
Abu Zayd, dan Mohammad Arkoun di Indonesia.
Apa yang mendorong Anda menggeser objek studi dari hadis ke Al-
Quran?
Al-Quran dan hadis keduanya pegangan penting seorang muslim. Keduanya
sama-sama berasal dari Allah SWT. Selain itu, kini orang-orang Barat, para
orientalis, banyak mengkaji Al-Quran sekehendak mereka. Mereka begitu
ketakutan pada Al-Quran. Bagi mereka, Al-Quran seperti bom. Karena itu,
mereka ingin ada proses peraguan (tasykik) atas kebenaran Al-Quran.
Studi orientalis generasi lama memang antipati pada Islam. Namun ada
penilaian, arah kajian mereka akhir-akhir ini makin membaik: makin
apresiatif dan empati pada Islam.
Apanya yang membaik? Bila Anda hendak menyimpulkan, jangan dari fakta
parsial. Anda harus menyimpulkan dari keseluruhan fakta. Masih ada
orientalis yang menulis sejarah Nabi dan mengatakan bahwa musuh terbesar
manusia di dunia adalah Muhammad, Al-Quran, dan pedangnya Muhammad.
Bila Anda baca tulisan orang Yahudi tentang Isa dan Maryam, Anda akan
temukan ungkapan mereka sangat kotor dan menjijikkan. Ada yang
menuding Isa telah berzina tiga kali. Kalau penulisnya muslim, tidak mungkin
bilang begitu. Haram! Karena kita memuliakan para nabi terdahulu.
Persoalannya, berapa banyak orang Islam yang mau mengkaji lebih jauh
tentang keyakinan Yahudi dan Nasrani? Sedangkan mereka sangat intens
melakukan kajian tentang Islam.
Benarkah buku Anda sebagai counter atas corak kajian Al-Quran ala
pemikir semacam Hassan Hanafi, Abu Zayd, dan Arkoun yang
populer di Indonesia?
Ini bukan counter langsung. Tapi ada hal penting yang harus digarisbawahi di
sini bahwa otoritas menafsirkan Al-Quran ada di tangan Rasulullah. Kita
percaya, Al-Quran berasal dari Allah dan diturunkan pada Muhammad. Allah
berfirman, "Dan kami turunkan Al-Quran pada kamu agar kamu jelaskan
pada manusia." Sama saja, bila ada problem konstitusi di Indonesia,
misalnya, maka yang berwenang membuat interpretasi adalah para hakim
Indonesia. Meski meraih gelar doktor di Universitas Cambridge, saya tidak
punya otoritas menyelesaikan problem konstitusi di Indonesia.
Jadi, kalau ada orang berpikir liberal, lalu menafsirkan perintah salat dalam
Al-Quran semaunya, tidak mengindahkan tuntunan Rasul sebagai penafsir
yang mendapat mandat dari Allah, maka saya katakan, "Siapa Anda? Siapa
yang memberi Anda otoritas membuat tafsir sendiri?" Orang-orang seperti
Hassan Hanafi dan Abu Zayd itu adalah "anak-cucu" Barat. Tak perlu meng-
counter langsung mereka. Kecuali kalau terpaksa. Saya sebenarnya tidak
peduli pada pemikiran-pemikiran mereka. Saya ingin membentuk pandangan
saya sendiri.
Hasan Hanafi dan Nasr Abu Zeid misalnya, tidak belajar di sekolah-
sekolah Barat. Tapi pemikiran mereka seperti mewakili pemikiran
Barat. Mungkinkah?
Tentu. Karena buku-buku kajian mereka berasal dari Barat. Tapi Nasr Abu
Zeid pernah belajar secara khusus di Jepang.
Apakah ini merupakan salah satu cara dari para orientalis untuk
merusak umat Islam?
Itu nggak ada artinya. Tapi sekarang beberapa kali dan akan berkali-kali,
mereka menginginkan bahwa ketika Al-Quran dibuat tidak ada titik dan
tasydid. Nah, sekarang mereka menginginkan agar Al-Quran diperbarui dari
sisi titik dan tasydid-nya. Lalu, membacanya seperti yang kita kehendaki,
memberi tanda-baca baru, dan menjadikannya baru. Al-Quran lalu menjadi
Al-Quran sesuai kebutuhan (kondisional).
Jangan bermain dengan Api! Tidak ada …konteks di sini. Tidak hanya berlaku
sekarang tapi selamanya.
Ini wacana yang elit. Apa hal penting dari buku Anda bagi orang-
orang awam?
Saya tak bisa mengemukakan sesuatu untuk semua orang. Jadi saya sudah
kepikiran untuk menulis buku baru, yang bisa dibaca dan dipahami oleh
semua ummat Islam.
Anda pernah belajar dan lulus dari sebuah universitas di Barat. Tapi
sikap anda tampak konservatif, dalam arti tidak liberal orang-orang
seperti Hassan Hanafi atau Nasr Abu Zeid. Mengapa?
No! Saya kira ini pertanyaan dan persoalan tentang iman. Ha…ha..ha…