You are on page 1of 18

SEKOLAH BERTARAF INTERNASIONAL

Visi Sekolah Bertaraf Internasional (SBI), yaitu terwujudnya insan Indonesia cerdas,
beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berjati diri
Indonesia, dan kompetitif secara global. Merespon visi tersebut, Indonesia sebagai
Negara yang sedang berkembang harus bekerja keras untuk meningkatkan mutu sumber
daya manusianya yang masih jauh tertinggal apabila dibandingkan dengan negara lain,
khususnya di kawasan Asia.
Upaya yang harus dilakukan dalam rangka memperbaki mutu sumber daya manusia
adalah dengan meningkatan mutu pendidikan. Fokus utama yang harus perhatikan dalam
peningkatan mutu pendidikan adalah peningkatan institusi sekolah sebagai basis utama
pendidikan, baik aspek manajemen, sumber daya manusianya, maupun sarana dan
prasarananya. Salah satu program yang dilaksanakan pemerintah agar perubahan dan
perkembangan tersebut dapat direspon dengan cepat adalah dengan meningkatkan
kualitas/mutu sekolah dengan mengembangkan sekolah bertaraf internasional.
Sekolah Bertaraf Internasional adalah sekolah nasional yang menyiapkan peserta
didiknya berdasarkan standar nasional pendidikan (SNP) Indonesia dan tarafnya
internasional sehingga lulusannya memiliki kemampuan daya saing internasional.
Sekolah Bertaraf Internasional pada hakikatnya mengacu pada Standar Nasional
Pendidikan meliputi 8 (delapan) standar, yaitu kompetensi lulusan, isi, proses, pendidik
dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pembiayaan, pengelolaan, dan penilaian
yang diperkaya, dikembangkan, diperluas, diperdalam melalui adaptasi atau adopsi
terhadap standar pendidikan yang dianggap reputasi mutunya diakui secara internasional
Aspek-aspek yang dikembangkan pada Sekolah Bertaraf Internasional adalah standar
kompetensi lulusan standar Internasional, kurikulum standar internasional, PBM standar
internasional, SDM standar internasional, fasilitas standar internasional, manajemen
standar internasional, pembiayaan standar internasional, penilaian standar internasional.
Standar kompetensi lulusan Sekolah Bertaraf Internasional adalah keberhasilan lulusan
yang melanjutkan ke sekolah internasional dalam negeri maupun di luar negeri dengan
tetap berkepribadian bangsa Indonesia, menguasai dan terampil menggunakan ICT,
mampu debat dengan Bahasa Inggris, terdapat juara internasional dalam bidang:
olahraga, kesenian, kesehatan, budaya, dll, mampu menyelesaikan, tugas–tugas dan
mengumpulkan portofolio dengan baik, mampu meyampaikan/mendemonstrasikan tugas-
tugas dari guru/sekolah, mampu melaksanakan eksprimen dalam pengembangan
pe¬ngetahuan dan keterampilan, mampu menemukan / mem¬buktikan pengalaman
bela¬jarnya dengan berbagai karya, mampu menulis dan mengarang dengan bahasa asing
atau dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar, memperoleh kejuaraan olimpiade
internasional dalam bidang: matematika, fisika, biologi, kimia, stronomi, dan atau lainnya
Iditunjukkan dengan sertifikat internasional), NUAN rata-rata tinggi (> 7,5), memiliki
kemampuan penguasaan teknologi dasar, melakukan kerjasama dengan berbagai pihak,
baik secara individual, kelompok/kolektif (lokal, nasional, regional, dan global) dengan
bukti ada piagam kerjasama atau MoU yang dilakukan oleh lulusan, memiliki dokumen
lulusan tentang karya tulis, persuratan, administrasi sekolah, penelitian, dll dalam bahasa
asing atau dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar, memiliki dokumen dan
pelaksanaan, pengelolaan kegiatan belajar secara baik (ada perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan, pengkoordinasian, dan evaluasi) dari lulusan, menguasai
budaya bangsa lain, memiliki dokumen karya tulis, nilai, dll tentang pemahaman budaya
bangsa lain dari lulusan, memiliki pemahaman terhadap kepedulian dengan lingkungan
sekitar sekolah, baik lingkungan sosial, fisik maupun budaya, memiliki berbagai karya-
karya lain dari lulusan yang bermanfaat bagi dirinya maupun orang lain, bangsa, dll, dan
terdapat usaha-usaha dan atau karya yang mencerminkan jiwa kewirausahaan lulusan.
Sekolah Berstandar Internasional akan dicapai melalui sebuah proses peningkatan
kualitas sekolah yang berkesinambungan. Salah satu tujuan pokoknya adalah lulusan
sekolah yang kompetensinya diakui secara internasional. Proses peningkatan kualitas ini
menyangkut semua komponen sekolah. (LW)

Model kelas Bilingual di sekolah bertaraf Internasional : sebuah


pemikiran konseptual

Oleh: Gusti astika

http://gurupembaharu.com/artikel/model-kelas-bilingual-di-sekolah-bertaraf-
internasional-sebuah-pemikiran-konseptual/

Dalam era globalisasi seperti sekarang bahasa Inggris memegang peranan penting dalam
komunikasi internasional baik dalam bidang pembangunan, teknologi, ekonomi, maupun
pendidikan. Sejalan dengan arus globalisasi, kebutuhan akan kemampuan berbahasa Inggris
semakin terasa. Oleh sebab itu tidak mengherankan bahwa para ahli yang berkecimpung dalam
dunia pendidikan merasa perlu memberikan pelajaran bahasa Inggris secara intensif dan
berkesinambungan kepada para anak didik di sekolah menengah bahkan sejak anak-anak
masih masih duduk di bangku sekolah dasar. Pada tingkat sekolah menengah telah banyak
SMP dan SMA yang dijadikan rintisan sekolah bertaraf internasional dan sudah banyak juga
sekolah yang memperoleh status Sekolah Bertaraf Internasional atau SBI.

Sekolah-sekolah tersebut mempersiapkan para siswanya agar pada masa mendatang mereka
dapat bersaing secara global. Menyadari akan pentingnya kualitas pendidikan dan keinginan
untuk mengejar ketertinggalan dalam bidang pendidikan dibandingkan dengan negara lain,
pemerintah terdorong untuk melakukan terobosan besar dalam bidang pendidikan dengan
merancang Sekolah Bertaraf Internasional.

SBI adalah sekolah yang sudah memenuhi seluruh Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang
meliputi standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga
kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan
standar penilaian. SNP ini diperkaya dengan beberapa unsur pendidikan yang mengacu pada
standar pendidikan salah satu negara anggota Organization for Economic Cooperation and
Development (OCD) dan / atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam
bidang pendidikan sehingga memiliki daya saing di forum internasional (Sofa, 2009). Lebih lanjut
Sofa menjelaskan bahwa ciri esensial dari SBI ditinjau dari komponen pendidikan ialah: (a)
lulusan SBI dapat melanjutkan pendidikan pada satuan pendidikan yang bertaraf internasional,
baik di dalam maupun di luar negeri, (b) lulusan SBI dapat bekerja pada lembaga-lembaga
internasional dan/atau negara-negara lain, dan (c) lulusan SBI meraih medali tingkat
internasional pada berbagai kompetisi sains, matematika, teknologi, seni, dan olah raga.

Landasan hukum SBI ialah: (a) UU No. 20 tahun 2003, pasal 50, ayat 3, yang menyataan bahwa
pemerintah dan/atau pemda menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan
pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf
internasional, (b) PP No 19 tahun 2005, pasal 61, ayat 1 yang menyatakan bahwa pemerintah
bersama-sama pemda menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada
jenjang pendidikan dasar dan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada jenjang
pendidikan menengah untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan bertaraf internasional, (c)
Renstra Depdiknas 2005-2009 Bab V, halaman 58, tentang SBI yang menyatakan bahwa untuk
meningkatkan daya saing bangsa perlu dikembangkan SBI pada tingkat Kab/Kota melalui
kerjasama yang konsisten antara pemerintah dengan Pemda Kab/Kota, untuk mengembangkan
SD,SMP, SMA dan SMK yang bertaraf internasional (http://sbi.sman5bekasi.blogspot.com).

Kelas bilingual

Untuk mencapai tujuan SBI beberapa mata pelajaran seperti Matematika, Fisika, Kimia, Biologi,
dan Ekonomi harus diselenggarakan dalam bahasa Inggris dalam sistem pembelajaran kelas
bilingual. Menurut Dharma (2007) penyelenggaraan kelas bilingual melalui beberapa tahap;
pada tahun pertama memakai bahasa pengantar bahasa Inggris sebanyak 25 persen dan 75
persen bahasa Indonesia. Pada tahun kedua bahasa pengantarnya masing-masing 50 persen
untuk Inggris dan 50 persen bahasa Indonesia. Pada tahun ketiga bahasa pengantar
menggunakan 75 persen bahasa Inggris dan 25 persen bahasa Indonesia. Model kelas bilingual
yang berjenjang ini, menurut Lee (2008: 85) disebut sebagai biligual transitional education karena
siswa tidak langsung diajar dengan menggunakan bahasa Inggris secara penuh tetapi bertahap,
porsi bahasa Inggris makin lama makin besar dan porsi bahasa siswa makin lama makin kecil.
Model ini mengasumsikan pengetahuan dan ketrampilan guru dalam mengajar dengan bahasa
Inggris sudah mencapai tingkat lanjut sehingga dapat menentukan proporsi bahasa Inggris dan
bahasa Indonesia dalam mengajar.

Untuk dapat melaksanakan konsep kelas bilingual ini ada beberapa syarat yang harus dipenuhi,
antara lain: (a) Substansi pelajaran harus cocok dengan tingkat perkembangan kognitif dan
kemampuan bahasa Inggris siswa, (b) sekolah harus dapat menciptakan lingkungan belajar yang
kondusif untuk mendorong pemakaian bahasa yang bermakna baik tulis maupun lisan, (c)
pembelajaran harus menekankan latihan pemecahan masalah dan siswa didorong untuk
bekerjasama melalui tema-tema yang menarik dan menantang.
Sekolah-sekolah yang sudah atau sedang menyiapkan program kelas bilingual menghadapi
masalah yang cukup serius, antara lain belum tersedianya buku ajar dalam bahasa Inggris yang
cocok dengan kebutuhan sekolah, belum tersedianya silabus dalam bahasa Inggris, belum
siapnya guru mengajar dengan pengantar bahasa Inggris, dan belum adanya model
pembelajaran bilingual yang efektif. Di SBI, peranan guru bilingual untuk mempersiapkan siswa
agar kelak dapat bersaing secara global dalam dunia kerja sangat besar. Competitive advantage
para lulusan sekolah bertaraf internasional antara lain sangat bergantung kepada proses
pembelajaran selama pendidikan. Keuntungan kompetitif ini akan dapat dimiliki oleh para siswa
jika guru mata pelajaran mempunyai pengetahuan dan ketrampilan bahasa Inggris yang
memadai baik untuk memahami bahan pelajaran, mengajarkannya, dan melakukan evaluasi.
Seorang guru bilingual harus memiliki tingkat ketrampilan dua bahasa yang cukup untuk bisa
mengajar kelas bilingual. Chin dan Wigglesworth, (2007:5) mengemukakan tingkat ketrampilan
bilingual sebagai berikut,

At the heart of the description of bilingualism is the issue of degree of bilingualism. Simply put,
degree of bilingualism refers to the levels of linguistic proficiency a bilingual must achieve in both
languages to be considered a bilingual.

Seorang guru kelas bilingual harus orang yang bilingual, fasih dalam dua bahasa. Masalahnya
apakah guru-guru mata pelajaran mampu menjadi seorang bilingual yang siap mengajar dengan
dua bahasa, bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Berapa lama waktu yang dibutuhkan oleh
seorang guru agar siap mengajar. Di samping itu tingkat ketrampilan bilingual seperti apa yang
dibutuhkan atau yang harus dicapai oleh seorang guru supaya mampu mengajar kelas bilingual.
Chin dan Wigglesworth (2007) membedakan dua macam ketrampilan bilingual. Pertama,
balanced bilingual, yaitu orang yang dapat menguasai dua bahasa secara sempurna dalam
konteks yang berbeda-beda. Dalam konteks sistem pendidikan Indonesia, kemampuan seperti ini
sangat sulit untuk dikuasai. Yang kedua ialah dominant bilingual, yaitu orang yang dominan
dalam salah satu bahasa. Dalam praktek, ketrampilan seperti ini tidak dapat diterapkan untuk
membicarakan semua hal. Guru bahasa Inggris, misalnya, mungkin tidak mampu menerangkan
masalah biologi dengan benar dalam bahasa Inggris karena bahasa yang lebih dikuasainya atau
yang lebih dominan ialah bahasa Indonesia. Demikian juga halnya dengan orang asing yang
menguasai bahasa Indonesia mungkin tidak mampu menerangkan masalah budaya mereka
dalam bahasa Indonesia; mereka akan menggunakan bahasa Inggris karena bahasa ini yang
lebih dominan.

Mengingat kondisi sumber daya guru SBI saat ini, sangat sulit rasanya untuk mencapai tingkat
kemampuan bilingual tertentu agar dapat mengajar kelas bilingual seperti yang diharapkan.
Banyak hasil penelitian pemerolehan bahasa menunjukkan bahwa secara umum penguasaan
bahasa asing (Inggris) akan bisa maksimal jika dimulai sejak kecil, terutama dalam penguasaan
ucapan. Orang dewasa, termasuk guru-guru di SBI yang harus belajar bahasa Inggris lagi melalui
kursus atau pelatihan, akan sangat terpengaruh oleh sikap, motivasi, bakat, umur, dll, dan faktor-
faktor tersebut akan secara signifikan dapat mempengaruhi hasil belajar.
Pelatihan untuk guru bilingual

Bahan pelajaran dalam kelas bilingual (seharusnya) memakai bahasa Inggris. Sangat aneh jika
bahan pelajaran memakai bahasa Indonesia. Oleh sebab itu tidak relistis jika penyampaian
substansi pelajaran disampaikan (sebagian besar) dalam bahasa Indonesia. Ini merupakan
tantangan bagi pengembangan SBI di Indonesia yang memerlukan kerja keras dan komitmen
yang tinggi secara berkelanjutan. Menurut Education Advisor dari British Council, Itje Chodidjah,
berdasarkan hasil penelitian, murid perlu waktu tujuh tahun untuk fasih berbahasa Inggris dalam
mempelajari mata pelajaran tertentu (Dharma, 2007). Hal ini perlu didukung oleh tersedianya
bahan ajar yang baik dan ketrampilan pedagogik guru yang memadai.

Tuntutan untuk memakai bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam beberapa mata
pelajaran tersebut di atas telah mendorong sekolah untuk merancang berbagai program
pelatihan bahasa Inggris untuk guru-guru. Mereka dikirim ke lembaga-lembaga pendidikan formal
untuk mengikuti kursus bahasa Inggris selama beberapa bulan dengan harapan bahwa setelah
menyelesaikan kursus mereka akan siap mengajar dengan bahasa Inggris. Ada juga sekolah
yang mengundang pakar pendidikan bahasa Inggris untuk memberi pelatihan kepada guru-guru
di sekolah secara reguler, di tengah-tengah kesibukan mereka mengajar. Yang menjadi
pertanyaan ialah apakah para guru yang sudah mendapat pelatihan bahasa Inggris sudah siap
dengan tugas yang diamanatkan oleh undang undang tersebut di atas. Jika mereka belum siap,
pengetahuan atau ketrampilan apa yang harus dimiliki oleh para guru agar mereka benar-benar
siap mengajar dengan bahasa Inggris.

Salah satu SMA di Jawa Tengah memaparkan strateginya untuk pengembangan menuju sekolah
unggul, antara lain sejak tahun 2006 para guru diberi training untuk meningkatkan kemampuan
berbahasa Inggris melalui diklat bahasa Inggris Dasar. Sekolah tersebut berkerja sama dengan
English Language Center, Universitas Sebelas Maret. Pada tahun 2007, ditindak lanjuti dengan
kursus English Funcional. Selain itu dilakukan pula diklat bahasa Inggris berkerja sama dengan
lembaga kursus bahasa San Diego Wonogiri. Sedangkan untuk tahun 2008, telah dilaksanakan
tes TOEIC untuk mengetahui sampai sejauh mana kualitas/ kemampuan guru dalam
berkomunikasi dengan bahasa Inggris (http://sman2wonogiri.blog.plasa.com).

Program pelatihan serupa juga dilaksanakan oleh sekolah-sekolah lain yang sedang
dipersiapkan menuju SBI. Namun perlu dipahami bahwa hasil tes standar seperti TOEIC atau
TOEFL bukan menjadi jaminan bahwa seorang guru akan bisa mengelola kelas bilingual dengan
benar seperti argumen yang dikemukakan oleh Dharma (2007) dalam kutipan di bawah ini,

Konsep ini berangkat dari asumsi yang salah tentang penguasaan bhs Inggris sebagai bahasa
pengantar dan hubungannya dengan nilai TOEFL. Penggagas mengasumsikan bahwa untuk
dapat mengajar hard science dalam pengantar bahasa Inggris maka guru harus memiliki
TOEFL> 500. Padahal tidak ada hubungan antara nilai TOEFL dengan kemampuan mengajar
hard science dalam bhs Inggris. Skor TOEFL yang tinggi belum menjamin kefasihan dan
kemampuan orang dalam menyampaikan gagasan dalam bahasa Inggris. Banyak orang yang
memiliki nilai TOEFL<500 yang lebih fasih berbahasa Inggris dibandingkan orang yang memiliki
nilai TOEFL > 500 . Singkatnya, menjadikan nilai TOEFL sebagai patokan keberhasilan
pengajaran hard science bertaraf internasional adalah asumsi yang keliru. TOEFL lebih
cenderung mengukur kompetensi seseorang, padahal yang dibutuhkan guru sekolah bilingual
adalah performancenya, dan performance ini banyak dipengaruhi faktor-faktor non-linguistic.
TOEFL bukanlah ukuran kompetensi pedagogik.

Dengan asumsi bahwa tes TOEFL atau TOEIC yang diambil ialah tes dalam bentuk yang lama,
bukan computer atau internet-based test, argumen di atas menunjukkan bahwa ketrampilan
membaca dan ketrampilan berbicara adalah dua ketrampilan yang berbeda. Ketrampilan
membaca bukan jaminan dapat fasih berbicara apalagi dalam bahasa Inggris. Dalam literatur
pembelajaran bahasa Inggris sebagai bahasa asing banyak dibahas perbedaan antara
ketrampilan membaca dan ketrampilan berbicara yang mempunyai implikasi pedagogis yang
berbeda secara mendasar.

Jika argumen Dharma (2007) di atas benar, pola pelatihan guru bilingual yang selama ini
dilakukan perlu dievaluasi. Koordinator SBI Jawa Tengah, dalam sebuah diskusi informal
dengan penulis, menyatakan bahwa PBM kelas-kelas bilingual belum bisa berjalan sesuai
dengan yang diharapkan walaupun para guru sudah menyelesaikan pelatihan bahasa Inggris.
Mereka belum siap dan merasa belum memiliki ketrampilan yang memadai untuk melaksanakan
pembelajaran bilingual walaupun mereka sudah mengikuti kursus dan pelatihan bahasa Inggris
selama beberapa bulan. Keprihatinan ini perlu dicermati karena sebuah survei yang dilakukan
oleh Astika, Wahyana, dan Andreyana (2008) tentang evaluasi diri menyangkut kemampuan dan
ketrampilan bahasa Inggris dalam hubungannya dengan pembelajaran kelas bilingual
menunjukkan hasil yang tidak menggembirakan. Hasil survei menunjukkan bahwa semua guru
yang menjadi sampel menyatakan mereka mempunyai pengetahuan yang sangat baik tentang
substansi mata pelajaran. Hal ini bisa dimengerti karena mereka mempunyai keahlian dalam
mata pelajaran yang selama ini diampu. Dalam hal penguasaan bahasa Inggris, hasil survei
menunjukkan kelemahan guru yang sangat mendasar, yaitu: (a) sebanyak 33,3 % responden
menyatakan tidak memiliki bakat berbahasa Inggris, (b) sebanyak 66,7 % responden tidak dapat
mengevaluasi efektifitas materi pelajaran dalam bahasa Inggris namun mereka dapat memahami
konsepnya, (c) sebanyak 77,8 % responden tidak dapat menerangkan konsep materi dalam
bahasa Inggris, dan (d) semua responden (100 %) tidak mampu menjelaskan tata bahasa yang
ada dalam materi pelajaran. Walupun kemampuan bahasa Inggris guru sangat kurang, mereka
(100 %) mempunyai keinginan untuk selalu mengembangkan pengetahuan bahasa Inggris
melalui pelatihan atau kursus. Hal lain yang menggembirakan ialah adanya fasilitas pendukung
PBM berupa laboratorium komputer yang terhubung dengan internet yang cukup memadai dan
100 % responden berpendapat bahwa dukungan sekolah untuk melaksanakan program bilingual
sudah bagus.

Kelas bilingual adalah kelas ESP


Seperti yang sudah dijelaskan di atas, bahan ajar di kelas bilingual harus disajikan dalam bahasa
Inggris. Oleh sebab itu kelas bilingual merupakan salah satu bentuk pengajaran content-based
instruction (Dudley-Evans & St John, 1998) karena bahan ajar dibuat berdasarkan silabus mata
pelajaran. Dalam konteks SBI, mengajar dengan medium bahasa Inggris merupakan salah satu
bentuk program ESP (Hutchinson & Waters, 2006). Bentuk lain dari content-based instruction
ialah program imersi di mana proses belajar mengajar sepenuhnya memakai bahasa Inggris.
Keunggulan kelas bilingual ialah materi pelajaran ditulis dalam bahasa Inggris dan relevan
dengan kurikulum atau kebutuhan akademik siswa. Dengan demikian pengajaran menjadi sangat
bermakna dan dapat menjadi faktor pendorong motivasi belajar.

Guru bilingual di SBI adalah guru ESP dan mempunyai tiga macam peran dalam menjalankan
tugasnya: (a) sebagai praktisi, (b) sebagai perancang materi, dan (c) sebagai evaluator. Sebagai
praktisi, guru mempunyai tugas untuk mendesain dan mengatur proses belajar mengajar,
memberi penjelasan masalah-masalah kebahasaan (bahasa Inggris), dan secara terus menerus
mengembangkan kemampuan bahasa Inggris siswa. Dalam perannya sebagai perancang materi,
guru mempunyai tugas untuk merencanakan PBM, memilih materi yang cocok dengan silabus,
memodifikasi materi supaya sesuai dengan tingkat kemampuan siswa, atau membuat materi
yang baru sama sekali jika materi yang siap pakai tidak ada. Sebagai evaluator, guru mempunyai
tugas untuk mengevaluasi efektivitas materi pelajaran dan melakukan evaluasi terhadap
pemerolehan belajar siswa. Ketiga peran tersebut di atas dapat dijalankan dengan baik jika
bahasa Inggris merupakan bahasa pertama atau bahasa kedua, dan guru ESP tidak mengalami
kesulitan dalam menggunakan bahasa Inggris karena mereka adalah penutur asli bahasa Inggris.
Dalam konteks pendidikan di Indonesia, bahasa Inggris adalah bahasa asing yang harus
dipelajari dan diajarkan dengan model pendekatan yang berbeda dengan model pendekatan
pembelajaran di negara-negara yang berbahasa Inggris di mana para guru ESP tidak mempunyai
masalah dengan bahasa pengantar. Masalah yang dihadapi oleh guru bilingual SBI ialah
pengetahuan dan ketrampilan menggunakan bahasa Inggris.

Dalam menjalankan proses belajar mengajar, guru bilingual SBI harus mempunyai dua macam
pengetahuan kebahasaan, yaitu pengetahuan tentang istilah tehnis (technical vocabulary) dalam
mata pelajaran tertentu dan pengetahuan tentang tata bahasa Inggris. Menerangkan konsep
yang terkandung dalam istilah-istilah tehnis mungkin bukan merupakan masalah yang terlalu
berat karena guru sudah mempunyai latar belakang ilmu yang diajarkan. Ini merupakan kekuatan
bagi guru bilingual. Yang perlu harus dikembangkan ialah pengetahuan tentang tata bahasa dan
ketrampilan menggunakan bahasa Inggris baik untuk keperluan umum (non-pedagogis) maupun
untuk mengajarkan materi pelajaran (ketrampilan pedagogis). Bagaimanapun juga, mengajarkan
suatu topik mata pelajaran dengan pengantar bahasa Inggris tidak bisa lepas dari pengajaran
tata bahasa walaupun cara mangajarkannya tidak persis sama seperti mengajarkan tata bahasa
dalam pelajaran bahasa Inggris sebagai mata pelajaran wajib (English for General Purposes)
pada umumnya.

Dalam mengajar, guru bilingual akan selalu mengadakan interaksi verbal dengan siswa baik satu
arah maupun dua arah. Dalam hubungan ini, ada berbagai fungsi bahasa yang perlu dikuasai
dalam mengajarkan materi (content knowledge), misalnya saja: menjelaskan konsep, melaporkan
kejadian tertentu, memberikan definisi, memberi instruksi, menjelaskan proses, menjelaskan
klasifikasi, memberi contoh, menerangkan tabel, gambar, ilustrasi, atau grafik, membandingkan
dua masalah, membuat kesimpulan, dll.(Gillet, 2007). Fungsi-fungsi bahasa seperti ini
memerlukan transactional skills, yaitu ketrampilan untuk menyampaikan infromasi yang bersifat
satu arah, dan interactional skills, yaitu ketrampilan untuk melakukan interaksi bahasa dua arah,
misalnya dalam diskusi walaupun dalam bentuk sederhana, atau dalam menjawab pertanyaan
atau memberikan feedback (Yule, 1997). Dalam proses pembelajaran bahasa, dikenal dua
macam feedback, yaitu feedback terhadap kesalahan tata bahasa (Doughty & Williams, 1998)
dan feedback terhadap masalah makna komunikasi seperti yang terungkap dalam penelitian oleh
Astika (2007). Kedua macam feedback tersebut bisa juga dilakukan dalam bentuk tulis jika
assessment terhadap hasil pembelajaran siswa dilakukan dalam bentuk tertulis, atau dalam
bentuk dialog (Weisberg, 2006), di mana guru, selama proses belajar berlangsung, berdialog
dengan siswa agar siswa dapat menyelesaikan tugas. Sudah barang tentu guru harus memiliki
ketrampilan bahasa Inggris tingkat lanjut.

Masalah linguistik dalam kelas bilingual

Manfaat pengajaran bahasa Inggris yang berdasarkan pada content telah banyak dibahas di
dalam literatur yang menunjukkan keunggulan pendekatan ini dalam hubungannya dengan
pemerolehan bahasa dan substansi mata pelajaran. Dalam pendekatan ini peran tata bahasa
tidak dapat diabaikan. Menurut Chin dan Wigglesworth (2007), pemahaman suatu konsep dan
pemerolehan bahasa dalam pembelajaran dapat terjadi jika siswa memperoleh bimbingan yang
jelas tentang masalah kebahasaan dan konsep-konsep esensial dalam ilmu tertentu. Dengan
kata lain, pemahaman konsep tidak dapat dipisahkan dari pemahaman tentang masalah
kebahasaan. Oleh sebab itu ketrampilan menerangkan konsep dan tata bahasa merupakan
syarat mutlak bagi guru bilingual. Pentingnya peran bahasa dalam memahami suatu ilmu
dijelaskan oleh Chin dan Wiggleswroth (2007) yang mengutip pernyataan Halliday sebagai
berikut,

… language is the essential condition of knowing, the process by which experience becomes
knowledge that would lead to the realization that ‘knowledge’ itself is constructed in varying
patterns of discourse’. A key way for enhancing mental abilities is through enhancing learners’
text-based language patterns.

Jadi pemahaman yang tepat tentang suatu pokok bahasan dapat terjadi bila bahasa dan konsep
tidak diterangkan secara terpisah tetapi merupakan suatu kesatuan yang utuh dan diajarkan
bersamaan melalui langkah-langkah pedagogis yang disusun secara cermat. Pemahaman teks
sangat bergantung kepada konsep linguistik. Siswa yang tidak dapat memahami suatu konsep
dapat disebabkan oleh bahasa guru yang tidak mencerminkan penguasaan masalah
kebahasaan. Sebuah teks bahasa Inggris selalu memakai penanda linguistik yang menunjukkan
hubungan antara konsep yang satu dengan yang lain. Pemahaman teks yang tidak lengkap bisa
terjadi karena tidak dipahaminya fungsi dari penanda linguistik dalam suatu kalimat atau antar
kalimat. Sebuah paragraf bukan merupakan kumpulan kalimat yang terpisah-pisah, ada banyak
penanda linguistik yang menunjukkan hubungan ide antar kalimat yang membuat teks menjadi
kohesif. Di kelas bilingual, ketrampilan untuk memahami fungsi penanda linguistik perlu diajarkan
untuk memahami informasi tertentu, misalnya memahami contoh, klasifikasi, hubungan sebab
akibat, deskripsi, kesimpulan, argumen, dan sebagainya.

Task sebagai dasar pengajaran di kelas bilingual

Salah satu pendekatan mengajar bahasa yang sedang berkembang ialah pendekatan yang
didasarkan pada task. Pendekatan ini dapat dicoba di kelas bilingual. Menurut Nunan (2004),
task ialah,

a piece of classroom work which involves learners in comprehending, manipulating, producing or


interacting in the target language while their attention is focused on mobilizing their grammatical
knowledge in order to express meaning and in which their intention is to convey meaning rather
than to manipulate form.

Pemahaman terhadap task seperti inilah yang sebaiknya diterapkan dalam mengajarkan mata
pelajaran kelas bilingual di SBI. Dalam konteks SBI, di mana bahasa Inggris dipakai sebagai
bahasa pengantar, menyelesaikan sebuah tugas (task completion) dalam proses belajar di kelas
memerlukan keterampilan menggunakan tata bahasa Inggris (language forms) dan pemahaman
terhadap substansi materi pelajaran (meaning or content knowledge). Jadi bahasa Inggris
berfungsi sebagai alat untuk menyelesaikan tugas-tugas pembelajaran. Pemahaman ini dapat
diterjemahkan ke dalam langkah-langkah pedagogis menggunakan sebuah pedagogical
framework (Willis, 1996, 2005) yang terdiri dari pre-task, task cycle, dan feedback. Pada tahap
pre-task, guru menerangkan konsep-konsep penting dari materi pelajaran (technical dan semi-
technical vocabulary), hubungan antar-konsep, dan masalah-masalah kebahasaan yang esensial
untuk memahami materi atau teks. Pada langkah task cycle, guru memberi dan menerangkan
tugas (task) yang akan dikerjakan siswa, menjadi fasilitator bagi siswa dalam proses
mengerjakan tugas, dan pada tahap feedback, guru memberi masukan terhadap hasil pekerjaan
siswa. Masukan bisa ditujukan untuk perbaikan substansi tugas atau bisa juga untuk kesalahan
bahasa Inggris. Untuk melaksanakan pembelajaran dengan pendekatan seperti ini guru perlu
menguasai keterampilan memakai fungsi-fungsi bahasa dan keterampilan memberikan feedback
baik pada waktu pelajaran berlangsung maupun feedback untuk tugas-tugas yang harus
diselesaikan oleh siswa.

Pengajaran berdasarkan pada task mempunyai landasan teoritis yang sangat kuat. Teori yang
dijadikan dasar pendekatan ini ialah interactionist theory (Pica, Kanagy, & Falodun, 1993). Teori
ini mengatakan bahwa cara yang paling efektif untuk belajar ialah melalui interaksi. Di kelas ada
banyak kesempatan untuk mendengarkan dan memahami konsep-konsep baru, bertukar
pendapat, bertukar pikiran antar siswa maupun dengan guru. Tujuan belajar bukan hanya untuk
memahami konsep, tetapi juga untuk melatih kemampuan memakai bahasa (Inggris) sebagai
sarana untuk bertukar pikiran atau pendapat dalam usaha untuk mencapai tujuan dari tugas yang
diberikan (task goal). Dalam hubungan ini, Long (1983, 1996) mengemukakan bahwa
pembelajaran dapat terjadi jika siswa memperoleh input yang dapat dimengerti (comprehensible
input) sebagai hasil dari interaksi yang bermakna.

Implikasi dari teori ini ialah bahwa agar terjadi pembelajaran di kelas, perlu diciptakan
kesempatan bagi siswa untuk mangadakan interaksi sebab interaksi merupakan pra-syarat
penting untuk terjadinya pembelajaran. Hal ini dapat terjadi jika kegiatan belajar dirancang
berdasarkan pada task atau pemberian tugas. Bahan pelajaran yang dianggap dapat mendorong
terjadinya interaksi antar siswa ialah bahan pelajaran yang, antara lain: (a) mengharuskan siswa
untuk saling bertukar informasi, (b) berisi informasi yang harus disampaikan dengan cara dua
arah, (c) mempunyai tujuan yang jelas, (d) mengandung masalah yang harus dipecahkan
bersama.

Teori lain yang mendasari model pembelajaran berdasarkan task ialah sociocultural theory yang
mengatakan bahwa dalam komunikasi, orang akan melakukan aktivitas secara bersama-sama
sesuai dengan tujuan yang sudah ditentukan sebelumnya. Hasil penelitian dalam bidang ini (Ellis,
2000) menunjukkan bahwa komunikasi bergantung pada interaksi antara penutur dan petutur,
bukan karakteristik dari task itu sendiri. Task yang sama dapat menghasilkan interaksi yang
berbeda jika dilakukan oleh orang yang berbeda dalam waktu yang berbeda atau bahkan dalam
waktu yang sama. Pembelajaran dapat terjadi jika siswa terlibat dalam interaksi sosial di mana
mereka dapat saling membantu satu sama lain, misalnya dengan teknik belajar kolaboratif (Wee
& Jacobs, 2006). Ini menunjukkan bahwa untuk terjadinya pembelajaran, guru perlu merancang
kegiatan belajar yang melibatkan siswa dalam interaksi sosial di mana mereka dapat saling
membantu mengerjakan tugas yang diberikan guru. Uraian di atas menunjukkan bahwa guru
bilingual harus memiliki keterampilan tambahan di samping penguasaan konsep materi mata
pelajaran, yaitu keterampilan berbahasa Inggris dan keterampilan menggunakan bahasa tersebut
dalam proses belajar mengajar termasuk keterampilan pengiring dalam pengelolaan PBM.

Model kelas bilingual yang bisa dikembangkan

SBI merupakan perkembangan baru dalam sistem pendidikan nasional Indonesia.


Perkembangan ini memerlukan pembaruan daya dukung berupa sarana dan prasarana
pendidikan, sistem manajemen sekolah, dan guru yang berkualitas yang dapat menguasai
teknologi informasi. Sistem pembelajaran yang konvensional yang bergantung pada papan tulis
dan kapur dan dibatasi oleh ruang kelas yang statis tidak dapat lagi sepenuhnya mendukung
sistem pembelajaran yang dituntut oleh SBI. Oleh sebab itu perlu dirancang model pembelajaran
yang dapat mengakomodasi cita-cita SBI dan perkembangan teknologi agar pembelajaran dapat
efektif dan kompetitif. Model tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
Model ini menunjukkan bahwa dalam kelas bilingual perlu ada dua orang guru, misalnya guru
bahasa Inggris yang bertanggung jawab mengajarkan masalah-masalah kebahasaan (Inggris)
dan guru Matematika yang bertanggung jawab mengajarkan substansi pelajaran – matematika.
Bahan ajar dalam model seperti ini sudah tentu harus dalam bahasa Inggris. Dalam pelaksanaan
pembelajaran, konsep-konsep matematika dapat diajarkan terlebih dahulu oleh guru Matematika
dalam bahasa Indonesia dan beberapa kata dalam bahasa Inggris yang dikuasainya dengan
baik. Sesudah itu guru bahasa Inggris mengajarkan masalah-masalah kebahasaan dalam
bahasa Inggris yang diperlukan untuk memahami bahan ajar matematika dalam bahasa Inggris.
Karena siswa sudah diajar konsep-konsep matematika, mereka sudah mempunyai pengetahuan
tentang pokok bahasan dan pengetahuan ini dapat membantu pemahaman mereka untuk
mengetahui bahan tersebut dalam bahasa Inggris. Dengan model seperti ini, kelemahan guru
Matematika yaitu kurangnya kemampuan bahasa Inggris, dapat dibantu oleh guru bahasa
Inggris dan guru bahasa Inggris tidak perlu lagi mengajarkan konsep-konsep matematika. Dalam
kondisi yang ada sekarang di mana guru mata pelajaran belum sepenuhnya dapat mengajar
kelas bilingual secara mandiri, pendampingan guru bahasa Inggris dengan model ini sangat
diperlukan. Model ini dapat membantu siswa menguasai substansi mata pelajaran dan bahasa
Inggris secara bersamaan. Keberhasilan dari model ini sudah tentu akan bergantung kepada
banyak faktor. Namun demikian, perlu diperhatikan bahwa kerjasama kedua orang guru harus
mulai dari pembahasan tentang KTSP, desain silabus, seleksi dan atau adaptasi materi, dan
proses belajar mengajar di kelas. Setiap tahap dari pengembangan model ini harus disertai
dengan evaluasi dengan mempertimbangkan konteks belajar (learning needs) dan tujuan belajar
(target needs) seperti yang dapat dilihat dalam bagan di bawah ini.
Model seperti ini juga
disebut co-teaching (Liu, 2008) yang dikembangkan di sekolah dasar di Cina dalam kelas-kelas
bilingual. Guru yang terlibat dalam co-teaching ialah guru penutur asli berbahasa Inggris dan
guru lokal. Dalam pelaksanaan pembelajaran di kelas, mereka bekerjasama mulai dari
perencanaan pelajaran sampai dengan pelaksanaan evaluasi. Model ini telah menunjukkan hasil
yang menggembirakan. Di Indonesia, untuk memperoleh guru penutur asli berbahasa Inggris
sangat sulit. Namun demikian, kendala ini bisa diatasi dengan melibatkan guru bahasa Inggris
yang ada di sekolah dengan mempertimbangkan masalah-masalah administratif dan manajerial
sekolah.

Menurut Liu (2008), co-teaching atau team teaching sekarang semakin populer karena beberapa
penelitian menunjukkan bahwa sistem ini menghasilkan kualitas pembelajaran yang bagus dan
dapat mengembangkan ketrampilan guru yang terlibat dalam proses PBM. Sistem mengajar ini
telah diterapkan di banyak negera tidak hanya di negara negara barat tetapi juga di Asia.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan team teaching (Liu, 2008). Dalam
team teaching, guru-guru yang terlibat mempunyai tanggung jawab dan status yang sama.
Secara bersama-sama mereka mendesain perencanaan mengajar, mengadakan evaluasi dan
bertanggung jawab kepada semua siswa di kelas. Guru bahasa Inggris dalam team teaching
tidak lagi dianggap sebagai asisten guru mata pelajaran, tetapi dianggap sebagai sumber
pengetahuan, fasilitator, dan guru yang mempunyai status yang sama. Dengan kata lain, kedua
guru secara efektif saling melengkapi satu sama lain sesuai dengan tanggung jawabnya masing-
masing dalam proses belajar mengajar.

Model team teaching ini bisa berhasil hanya jika kedua guru memiliki ketrampilan dan hubungan
kerja yang kuat, profesional, mempunyai rasa saling percaya, bersedia menyediakan waktu yang
cukup untuk mewujudkan tujuan pengajaran. Guru yang terlibat dalam team teaching harus
mempunyai pengalaman mengajar yang cukup. Mereka perlu memahami peran masing-masing
di kelas, jika tidak, hal ini dapat mempengaruhi kenerja team dan dapat dianggap sebagai
kompetisi antara guru dalam team, yang akhirnya dapat melemahkan semangat kerja. Team
teaching harus dipahami sebagai usaha untuk meningkatkan kompetensi mengajar dan
melengkapi kelemahan masing-masing sebagai guru kelas bilingual.
Strategi pelaksanaan team teaching harus juga dipersiapkan dengan seksama, antara lain,

1. Persiapan

Dalam tahap ini, guru mata pelajaran dan guru bahasa Inggris membicarakan bagaimana cara
mengajar siswa secara efektif. Diskusi difokuskan pertama-tama pada tingkat kemampuan siswa
secara keseluruhan dalam kelas yang akan diajar, kekuatan dan kelemahan mereka, aspek apa
yang perlu diperhatikan, masalah disiplin, dll. Guru dalam team harus menetapkan tujuan
mengajar, menentukan topik bahasan untuk satu semester. Persiapan ini bisa memerlukan
beberapa pertemuan agar setiap guru memahami apa yang menjadi target pembelajaran dan
memahami ciri-ciri pengajaran dalam team, dan mengembangakan rasa percaya diri.

Model pengajaran ini juga memerlukan pertemuan dan diskusi secara teratur selama semester
berjalan untuk merencanakan persiapan pengajaran. Oleh sebab itu sangat penting membuat
jadwal yang teratur untuk mengadakan pertemuan dan merencanakan unit-unit pelajaran, antara
lain menyangkut:

1. apa yang akan diajarkan,

2. materi atau sumber belajar yang akan dipakai,

3. peran dan tanggung jawab masing-masing guru,

4. bagaimana mengevaluasi belajar siswa, dan

5. bagaimana cara membantu siswa yang lemah dan perlu bantuan.

Masalah-masalah ini memerlukan diskusi mendalam agar peran dan tanggung jawab masing-
masing guru menjadi jelas. Setiap guru harus mempunyai hak untuk mengutarakan pendapat dan
memberikan kontribusi positif dalam membuat rencana pelajaran. Pada dasarnya, setiap guru
dalam team perlu menyadari pentingnya toleransi, adanya perbedaan, dan mencari jalan untuk
membuat perencanaan yang bermanfaat bagi siswa.

2. Pelaksanaan

Dalam implementasinya, model team teaching memerlukan dukungan manajerial dan


administratif. Guru akan memerlukan waktu lebih banyak, program akan mempunyai dampak
terhadap fasilitas mengajar, jadwal mengajar, dan dukungan finansial dalam pengadaan alat dan
sumber belajar. Keberhasilan team teaching akan sangat bergantung kepada manajemen
sekolah yang harus mengambil langkah-langkah berikut (Liu, 2008):

1. menciptakan kondisi kerja yang kondusif bagi guru dalam team untuk merencanakan
pelajaran,

2. membagi beban mengajar secara proporsional untuk guru dalam team,


3. bersama-sama dengan semua guru menciptakan kegiatan yang dapat membangun ralasi
yang harmonis dan produktif,

4. membangun kesadaran yang kuat akan pentingnya kerjasama dalam menangani isu
pendidikan dalam model team teaching agar terbentuk kondisi yang dapat mendukung
keberhasilan program.

Tanpa dukungan yang terus-menerus dari manajemen sekolah, semangat model team teaching
bisa berubah menjadi frustasi dan implementasinya akan menghasilkan pembelajaran yang tidak
efektif. Menurut Elena (2006), efektivitas seseorang dapat berkembang melalui dorongan dan
dukungan orang lain. Setiap orang dapat diyakinkan bahwa dia memiliki ketrampilan dan
kemampuan untuk menyelesaikan tugas tertentu dan mencapai keberhasilan. Dukungan dan
dorongan secara verbal dapat meningkatkan usaha seseorang untuk mencapai tujuan, bukannya
menyerah ketika dia mengalami hambatan.

Menurut Lee (2008), dari hasil penelitiannya tentang team teaching, rahasia keberhasilan terletak
pada adanya sikap terbuka dari guru dan cara menghindari konflik dalam team. Mereka
melaksanakan perannya secara fleksibel, kadang-kadang sebagai ‘asisten’ kadang kadang
sebagai guru utama (pemimpin) dengan tetap berpedoman kepada tujuan dan arah
pembelajaran. Mereka percaya bahwa setiap guru harus bersedia untuk saling mendengarkan
dan menerima saran satu sama lain, mempelajari masalah yang muncul, dan mencari win-win
solution. Dalam proses merencanakan kelas bilingual perlu disadari bahwa pertemuan yang
teratur antara guru bahasa Inggris dan guru mata pelajaran mutlak harus dilaksanakan. Oleh
sebab guru-guru dalam team harus membangun komitmen yang berkelanjutan dan
menyediakan waktu untuk merencanakan kelas bilingual.

Penutup

Artikel ini memaparkan sebuah model yang bisa dipakai sebagai bahan pertimbangan untuk
mengembangkan sistem pembelajaran kelas bilingual di SBI. Model ini mempunyai beberapa
implikasi yang perlu diperhatikan. Pertama, pengembangan profesional guru kelas bilingual dan
guru bahasa Inggris. Guru mata pelajaran jelas memerlukan pelatihan untuk mengembangkan
ketrampilan bahasa Inggris. Yang perlu diperhatikan ialah pelatihan jenis apa yang dapat
membekali mereka agar bisa mandiri mengajar kelas bilingual. Guru bahasa Inggris mungkin
perlu training tambahan untuk memahami seluk beluk pembelajaran ESP di sekolah menengah.
Kedua, dukungan administratif dan manajerial dari pihak sekolah mutlak diperlukan. Model ini
memberi tambahan beban mengajar kepada guru bahasa Inggris yang pada umumnya sudah
mendapat beban mengajar yang maksimal. Demikian juga dengan guru mata pelajaran, mereka
memiliki beban tambahan untuk mempelajari bahan ajar yang memakai bahasa Inggris. Untuk
memastikan apakah model ini dapat diterapkan, perlu kiranya didesain sebuah pilot study
sebelum model ini diterapkan di semua kelas bilingual.

Daftar Pustaka
Astika, G. (2007). Readings in Language Teaching and Research. Salatiga: Widya Sari Press.

Astika, G, Wahyana, A, & Andreyana, R. (2008). Kemampuan bahasa Inggris guru SMA Negeri 1
dan SMK Negeri 2 Salatiga dalam mendukung program SBI. Laporan penelitian, Universitas
Kristen Satya Wacana, Salatiga.

Chin, NgBee, and Wigglesworth, G. (2007). Bilingualism: an Advanced resource book. Abigdon:
Routledge.

Dharma, S. (2007). Sekolah Bertaraf Internasional : Quo Vadiz? Http://www.ask.com. Accessed:


19 June 2009

Doughty, C. & Williams, J. (1998). Pedagogical choices in focus on form. In C. Doughty and J.
Williams (Eds.), Focus on Form in Classroom Second Language Acquisition (pp.197-261). New
York: Cambridge University Press.

Dudley-Evans, T., & St John, M. J. (1998). Developments in ESP: A multi-disciplinary approach.


New York: Cambridge University Press.

Elena, S. L. (2006). Recruiting Paraeducators Into Bilingual Teaching Roles: The Importance of
Support, Supervision, and Self-Efficacy. Bilingual Research Journal.

Ellis, R. (2000). Task-based research and language pedagogy. Language Teaching Research,
4(3), 193-220.

Gillett, A. (2007). Using English for Academic Purposes. Http://www. UEfAP, Speaking in
Academic Contexts, html. Accessed: May 9, 2008.

Hutchinson, T. & Waters, A. (2006). English for Specific Purposes. Cambridge: Cambridge
University Press.

Lee, C. (2008). Interdisciplinary collaboration in English language teaching: Some observations


from subject teachers’ reflections. Reflections on English Language Teaching, vol 7, (2), 129-
138.)

Liu, L. (2008). Co-teaching between native and non-native English teachers: An exploration of co-
teaching models and strategies in the Chinese primary school context. Reflections on English
language teaching, vol 7 (2), 103-117.

Long, M. H. (1983). Inside the ‘black box’: methodological issues in classroom research on
language learning. In H. W. Seliger & M. H. Long (Eds.), Classroom Oriented Research in
Second Language Acquisition (pp. 3-38). Cambridge: Newbury House.
Long, M. H. (1996). The role of the linguistic environment in second language acquisition. In W.
Ritchie & T. Bhatia (Eds.), Handbook of Research on Second Language Acquisition. New York:
Academic.

Menuju sekolah bertaraf internasioanal. Http://sbisman5bekasi.blogspot.com/ Accessed: 20 June


2009

Nunan, D. (2004). Task Based Language Teaching. Cambridge: Cambridge University Press.

Pica, T., Kanagy, R., & Falodun, J. (1993). Choosing and Using Communication Tasks for
Second Language Instruction. In G. Crookes & S. M. Gass (Eds.), Tasks and Language
Learning: Integrating Theory and Practice (pp. 9-34). Philadelphia: Multilingual Matters.

Sofa (2009). Konsep Sekolah Bertaraf Internasional. Http://massofa.wordpress.com. Accessed:


20 June 2009

Wee, S. & Jacobs, G.M. (2006). Implementing cooperative learning with secondary school
students. In S.G. McCafferty & G. M. Jacobs (Eds). Cooperative Learning and Second Language
Teaching (pp. 113-133). Cambridge: Cambridge University Press.

Weisberg, R. (2006). Scaffolded feedback: Tutorial conversations with advanced L2 writers. In K.


Hyland & F. Hyland (Eds.). Feedback in Second Language Writing (pp. 246-265). Cambridge:
Cambridge University Press.

Willis, J. (1996). A Framework for Task-Based Learning. Harlow: Addison Wesley, Longman.

Willis, J. (2005). Aims and explorations into tasks and task-based teaching. In C. Edwards & J.
Willis (Eds.), Teachers Exploring Tasks in English Language Teaching (pp. 1-12). New York:
Palgrave McMillan.

Yule, G. (1997). Referential Communication Tasks. Mahwah: Lawrence Erlbaum Associates.

Keterangan:

Gusti Astika adalah guru besar pada Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.

Artikel terkait :

Pengajaran Bilingual : Bagaimana Seharusnya ?

Pengajaran Bilingual : Strategi Peningkatan Mutu


Categories: Artikel
Tags: Model Kelas Bilingual
28 November 2009 at 18:30 - Comments

Perubahan yang terjadi di Indonesia berdampak yang menimbulkan krisis multidimensi. Di


tengah upaya penanggulangan krisis, isu pemerataan mutu pendidikan tetap berkembang,
baik yang digagas pemerintah maupun yang digagas masyarakat. Kunci kesuksesan sekolah
unggul terletak pada aspek manajemen dan kurikulum-pembelajarannya. Salah satu
rekomendasi sekolah menjadi unggul di masa depan ialah sekolah harus memiliki sembilan
standar yaitu: visi misi jelas, kepala sekolah profesional, guru profesional, lingkungan belajar
kondusif, pendidikan berbasis ramah siswa, manajemen kuat, kurikulum luas tetapi
seimbang diiringi strategi pembelajaran yang efektif, penilaian dan pelaporan prestasi siswa
yang bermakna, dan pelibatan masyarakat secara positifpartisipatif.
http://vivapendidikan.blogspot.com/2009/04/tantangan-dan-strategi-dalam-
menggagas.html

Pentahapan Pengembangan Rintisan SMA Bertaraf


Internasional
• Download:
• Adobe Acrobat (.pdf)
• Plain Text (.txt)
• Print
• Fullscreen
View Mode 1 / 14
Zoom

You might also like