You are on page 1of 160

Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

BAB 5
RENCANA STRUKTUR RUANG DAN
POLA RUANG PROVINSI DKI JAKARTA

5.1. SISTEM PUSAT KEGIATAN


5.1.1. Latar belakang pentingnya sistem Pusat Kegiatan
Pusat kegiatan merupakan kawasan dimana berbagai kegiatan
masyarakat, seperti perdagangan, jasa pelayanan dan/atau pemerintah
serta sarana sosial budaya berkumpul. Kota yang berkembang semakin
besar dapat mempunyai beberapa pusat kegiatan dengan satu pusat
utama. Pusat-pusat tersebut merupakan simpul penggerak dinamika
kehidupan kota. Berbagai pengalaman menunjukkan bahwa
pengelompokan kebutuhan masyarakat dalam pusat-pusat kegiatan
pelayanan memiliki nilai efisiensi yang lebih tinggi dalam hal pemanfaatan
lahan maupun penyediaan infrastruktur. Intensitas kegiatan dalam
kawasan, keluasan jangkauang pelayanan, tingkat kebutuhan masyarakat
terhadap kawasan, dan peningkatan nilai kehidupan.
Pada abad ke 17 pusat kota Jakarta terletak di sekitar Taman Fatahillah
dengan perdagangan di Glodok. Pada perkembangannya dikarenakan
alasan kesehatan lingkungan pusat pemerintahan bergeser ke
Weltevrenden (di Lapangan Banteng dan Gambir) disertai
pengembangan senen dan Tanah abang sebagai daerah perdagangan.
Perkembangan itu terus meluas ke selatan dan tumbuhlah permukiman
baru dengan fasilitas perdagangan di Meester Cornelis atau Jatinegara.
Untuk waktu yang lama Glodok, pasar senen, pasar Tanah abang dan
Pasar Jatinegara menjadi pusat perdagangan utama.
Mulai akhir tahun 1960’an berkembang pola peremajaan pasar dimana
pasar lama dibongkar dan dibangun baru menjadi pusat pertokoan.
Langkah tersebut merupakan rintisan pertama menata kembali kawasan
lama yang sudah lapuk dan membangun kembali dalam tatanan baru
dengan berbagai kelengkapan yang diperlukan seperti tempat parkir,
ruang terbuka dan lainnya. Peremajaan tersebut merupakan kerjasama
antara swasta dan pemda, serta bertumpu pada lokasi pasar yang dimiliki
pemda. Disekitar pusat pertokoan ini berkembang berbagai kegiatan
perdagangan dan jasa lainnya. Beberapa contoh peremajaan pasar pada
waktu itu adalah pasar senen, Blok M, Blok A, Mayestik, Glodok, Cikini.
Mulai tahun 1980an berkembang pusat-pusat perbelanjaan baru dengan
pola dan penampilan yang jauh berbeda. Pusat perbelanjaan baru ini
dibangun sepenuhnya oleh swasta diatas tanah yang mereka bebaskan
dari pemiliknya. Lokasi peremajaan lebih banyak ditentukan oleh
penemuan lahan yang potensial serta dimana mereka dapat mencapai
kesepakatan harga dan syarat jual beli. Perkembangan baru ini
sepenuhnya dikelola oleh swasta yang mempunyai pemikiran dan pola
kerja yang berbeda dengan pengelolaan pusat lama yang berpangkal
pada pasar tradisional dari generasi sebelumnya. Pembangunan ini ada

5-1
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

yang mengarah pada pusat perbelanjaan mewah dengan standar kualitas


tinggi, dan sebagian lagi mengarah pada tingkat menengah dan
mementingkan efisiensi ruang standar pelayanan medium. Banyak juga
pusat perbelanjaan yang menyatu dengan apartment bertingkat tinggi.
Sementara itu kesempatan kerja di sektor formal tidak dapat menampung
semua angkatan kerja yang terus bertambah, banyak diantaranya yang
masuk kesektor informal, yang sebagian memadati ruang publik seperti
trottoir, lapangan, dan ruang terbuka lainnya. Pedagang kaki lima telah
bertambah dengan sangat pesat dan perlu ditangani dengan seksama.
Diperlukan strategi yang jelas dan realistik.
Karenanya pada rencana tata ruang wilayah (RTRW) sistem pusat
kegiatan harus ada penjelasan mengenai definisi pusat kegiatan dan
sistem pusat kegiatan.

5.1.2. Definisi Sistem Pusat Kegiatan


Sistem pusat kegiatan berdasarkan UU No. 26 Tahun 2007 digolongkan
ke dalam sistem wilayah (pasal 1 ayat 18) dan sistem internal perkotaan
(Pasal 1 ayat 19). Sistem wilayah adalah struktur ruang dan pola ruang
yang mempunyai jangkauan pelayanan pada tingkat wilayah, sedang
sistem internal perkotaan adalah struktur ruang dan pola ruang yang
mempunyai jangkauan pelayanan pada tingkat internal perkotaan.
Sistem perkotaan mempunyai jangkauan pelayanan tertentu yang
mempunyai hirarki pusat kegiatan skala nasional, skala wilayah dan skala
lokal. Pusat kegiatan sesuai hirarkinya tersebut didukung dan dilengkapi
dengan jaringan prasarana wilayah yang tingkat pelayanannya
disesuaikan dengan hirarki kegiatan dan kebutuhan pelayanan.
Sedangkan yang dimaksud dengan jaringan prasarana wilayah sesuai
tingkat pelayanan juga sesuai dengan hirarkinya seperti jaringan jalan
primer, jaringan sekunder dan tersier analog dengan sistem jaringan
lainnya.

5.1.3. Definisi Sistem Pusat Kegiatan dalam RTRW 2010


Pada Perda no.6 tahun 1999 tentang RTRW 2010 menggunakan
nomenklatur sistem pusat kegiatan utama dan penunjang. Sistem pusat
kegiatan utama terbagi dua yaitu :
a. sistem pusat kegiatan utama menurut fungsi kawasan sebagai
pembentuk struktur ruang
b. sistem pusat kegiatan utama menurut fungsi khusus.
Sedangkan sistem pusat kegiatan penunjang juga terbagi atas dua yaitu:
a. kegiatan ekonomi
b. kegiatan khusus.
Terdapat dua penamaan khusus pada sistem pusat kegiatan utama dan
penunjang. Karenanya pada RTRW 2030 hirarki sistem penamaannya
terbagi atas tida Primer, sekunder dan tertier.

5-2
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

5.1.4. Definisi Sistem Pusat Kegiatan dalam RTRW 2030


5.1.4.1. Definisi Sistem Pusat Kegiatan Primer
Pada RTRW 2030 sistem pusat kegiatan utama menurut fungsi
kawasan sebagai pembentuk struktur ruang berganti nomenklaturnya
menjadi sistem pusat kegiatan primer. Pengertian dari pusat kegiatan
primer adalah kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani
kegiatan skala internasional, nasional, atau beberapa provinsi.

5.1.4.2. Definisi Sistem Pusat kegiatan Sekunder


Sistem pusat kegiatan utama menurut fungsi khusus pada RTRW 2030
berganti nomenklatur menjadi sistem pusat sekunder. Pengertian dari
pusat kegiatan sekunder adalah kawasan perkotaan yang berfungsi
untuk melayani kegiatan skala provinsi atau beberapa kabupaten/kota.

5.1.4.3. Definisi Sistem pusat kegiatan Tersier


Sistem pusat kegiatan penunjang pada RTRW 2010 terbagi atas pusat
kegiatan ekonomi dan pusat kegiatan khusus. Pada RTRW 2030
nomenklatur penamaannya berubah menjadi pusat kegiatan
tersier.Pengertian pusat kegiatan tersier adalah kawasan perkotaan
yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala kabupaten/kota atau
beberapa kecamatan.

5.1.5. Peran pusat-pusat kegiatan (Sentra) dalam Sistem Pusat Kegiatan


Pengembangan pusat-pusat kegiatan sangat menentukan kerangka
pertumbuhan kota karena:
o perkembangannya sangat mempengaruhi kehidupan dan struktur
ruang kota
o kegiatan ekonominya sangat mempengaruhi perkembangan
ekonomi kota
o konsentrasi berbagai kegiatan perdagangan dan jasa pelayanan
memberi peluang kesempatan kerja yang sangat besar.
o kekuatannya sangat besar, yang jika tidak dikendalikan dengan baik
kegiatan akan merambah daerah permukiman dan jalur hijau
o pusat kegiatan merupakan pengguna terbesar dari listrik, air, gas,
telepon dll, karena itu harus direncanakan dengan cermat agar
kebutuhan prasarana dan sarana kota dapat disiapkan dengan baik
Sebagai sebuah kota “tumpuan harapan”, DKI Jakarta dituntut untuk
dapat mengakomodasi kebutuhan masyarakat dan kegiatan perkotaan
yang semakin kompleks. Daya tarik kapital dan kelengkapan fasilitas
perkotaan mendorong pertumbuhan penduduk dan penambahan
angkatan kerja. Jumlah penduduk yang besar pada dasarnya adalah
potensi utama yang dapat menggerakkan pertumbuhan ekonomi suatu
kota. Namun, ia juga membawa konsekuensi peningkatan kebutuhan

5-3
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

akan fasilitas hunian, tempat kerja, dan fasilitas-fasilitas perkotaan


lainnya.
Sebagai ibukota negara, Jakarta tidak hanya melayani penduduknya
tetapi juga menyediakan pelayanan kepada berbagai daerah. Jika ingin
berkembang sebagai kota jasa, Jakarta harus juga mampu melayani
kebutuhan regional Asia dan dunia. Berbagai pengalaman menunjukkan
bahwa pengelompokan kebutuhan masyarakat dalam sentra-sentra
pelayanan memiliki nilai efisiensi yang lebih tinggi dalam hal pemanfaatan
lahan maupun penyediaan infrastruktur. Intensitas kegiatan dalam
kawasan, keluasan jangkauan pelayanan, tingkat kebutuhan masyarakat
terhadap kawasan, peningkatan nilai lahan, minat investasi dan
pembangunan fisik yang terjadi menjadi indikator keberhasilan suatu
sentra.

5.1.6. Sistem Pusat Kegiatan Berdasarkan RTRW 2010


Sistem pusat kegiatan berdasarkan RTRW 2010 DKI Jakarta Pasal 17
adalah sebagai berikut:
(1) Sistem pusat kegiatan ditetapkan untuk menunjang Jakarta sebagai
kota jasa dan memeratakan pusat kegiatan pemerintahan, kegiatan
sosial, ekonomi, budaya, serta kegiatan pelayanan.
(2) Sistem pusat kegiatan dibedakan berdasarkan kegiatan kawasan
sebagai pembentuk struktur ruang dan kawasan fungsi khusus
sebagai pusat pemerintahan, pusat perwakilan negara asing, pusat
kegiatan sosial, ekonomi, dan budaya.
(3) Sistem pusat kegiatan terdiri dari Pusat Kegiatan Utama dan Pusat
Kegiatan Penunjang.
(4) Sistem Pusat Kegiatan Utama menurut fungsi kawasan sebagai
pembentuk struktur ruang, ditetapkan sebagai berikut :
a. Sentra Primer Baru Timur sebagai pusat pemerintahan Kota
Administrasi, perkantoran, perdagangan dan jasa;
b. Sentra Primer Baru Barat sebagai pusat pemerintahan Kota
Administrasi, perkantoran, perdagangan dan jasa;
c. Pusat Niaga Terpadu Pantura sebagai pusat niaga baru di
bidang perdagangan, jasa dan lembaga keuangan;
d. Sentra Primer Glodok sebagai pusat perdagangan elektronik;
e. Sentra Primer Tanah Abang sebagai pusat perdagangan
tekstil;
f. Pusat Niaga Terpadu Kuningan, Sudirman, dan Casablanca
sebagai pusat perkantoran dan jasa keuangan;
g. Pusat Niaga Terpadu Mangga Dua sebagai pusat
perdagangan pakaian jadi;
h. Pusat Niaga Terpadu Bandar Baru Kemayoran sebagai pusat
eksibisi dan informasi bisnis.
(5) Sistem Pusat Kegiatan Utama menurut fungsi khusus ditetapkan
sebagai berikut :

5-4
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

a. Pusat Pemerintahan Nasional dan Propinsi di kawasan Medan


Merdeka;
b. Pusat Perwakilan Negara Asing di kawasan Kuningan dan
Jalan MH. Thamrin;
c. Pusat Rekreasi : Taman Mini Indonesia Indah, Taman Impian
Jaya Ancol, Kepulauan Seribu, Taman Margasatwa Ragunan,
dan Bumi Perkemahan Cibubur;
d. Pusat Olahraga di Senayan;
e. Pusat Kesehatan di Rumah Sakit Dr. Tjipto Mangunkusumo
dan Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto;
f. Pusat Kesenian Taman Ismail Marzuki;
g. Pusat Distribusi Barang di Tanjung Priok, Distribusi Bahan
Bakar Minyak di Plumpang, Pasar Induk Bahan Pangan di
Kramat Jati, Cipinang, dan Rawa Buaya.
(6) Sistem Pusat Kegiatan Penunjang menurut fungsi kawasan sebagai
pembentuk struktur ruang dan menurut fungsi khusus ditetapkan
pada Rencana Pengembangan Sistem Pusat Kegiatan Kota
Administrasi.

Berdasarkan RTRW DKI Jakarta 2010 penjelasan pasal 17 ayat 1, pusat


kegiatan adalah unsur pembentuk struktur ruang kota yang berupa
kawasan yang cukup luas dengan kegiatan yang bersifat multi fungsi
antara lain pusat pemerintahan, pekantoran, perdagangan, jasa, pusat
pelayanan, dan permukiman yang terbatas.

Pada ayat 3 pusat kegiatan utama adalah pusat-pusat kegiatan dengan


skala pelayanan tingkat kota, regional, nasional, dan internasional. Untuk
fasilitas umum/fasilitas sosial minimal pelayanan tingkat Kota
Administrasi. Yang dimaksud sistem pusat kegiatan penunjang adalah
pusat kegiatan dengan skala pelayanan lokal atau maksimal tingkat
bagian wilayah Kota Administrasi. Untuk fasilitas umum dan fasilitas
sosial minimal tingkat kecamatan.

5.1.7. Analisa Sistem Pusat Kegiatan Utama RTRW 2010


5.1.7.1 Sentra Primer Baru Timur
Sentra Primer Baru Timur berlokasi di timur Kota Jakarta, tepatnya di
Kecamatan Cakung, dan mencakup 2 kelurahan yakni Kelurahan Pulo
Gebang dan Kelurahan Penggilingan. Kawasan SPBT merupakan
kawasan yang sangat strategis, terlihat dari keberadaan kawasan ini
dalam konstelasinya dengan wilayah sekitarnya, yang berdekatan dengan
pusat kegiatan lainnya antara lain: Terminal Bis Pulogadung, Kawasan
Industri Pulogadung, Perkampungan Industri Kecil (PIK), Sentra Mebel
Klender, dan berbagai kawasan permukiman.

5-5
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

Gambar 5.1 Konstelasi SPBT dan Wilayah Sekitarnya

Sumber: Dinas Tata Kota DKI Jakarta

Dalam pengembangan Sentra Baru Timur, Biro Tata Ruang & Lingkungan
Hidup Setda Prov. DKI Jakarta Tahun 2009 melakukan rencana
pembangunan sarana dan prasarana pendukung, antara lain:

a. Double-Double Track Manggarai-Cikarang


Double-Double Track Manggarai-Cikarang merupakan upaya
peningkatan kapasitas dan pelayanan, serta pemisahan jalur Kereta
Api (KA) komuter dengan KA antar kota.
Terlebih dengan tingginya laju pertumbuhan atas permintaan layanan
angkutan KA pada lintas utama Jakarta-Cikampek pada beberapa
dekade terakhir ini mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi, yaitu
sebesar 7,2% per tahun, sehingga melampaui kapasitas relnya yang
hanya 216 KA/hari menjadi 238 KA/hari. Peningkatan daya tampung
dan kapasitas KA lintas Manggarai-Cikarang, direncakanan
sepanjang + 35 km, dan terdiri dari 2 section yaitu Manggarai-
Jatinegara sepanjang 3 km akan dibangun secara elevated, dan
Jatinegara-Cikarang sepanjang 32 km secara at grade.

b. Banjir Kanal Timur (BKT)


Banjir Kanal Timur merupakan infrastruktur pengendali banjir dengan
trace sepanjang 23,5 km, lebar 100-200 m, direncakan akan
menampung aliran dari 5 sungai, yakni Kali Cipinang, Kali Sunter, Kali
Buaran, Kali Kramat Jati dan Kali Cakung. BKT akan melintasi 2
wilayah yakni Kota Administrasi Jakarta Timur dan Kota Administrasi
Jakarta Utara, mempunyai catchments area seluas 20,125 ha,
diharapkan mampu mengurangi 13 titik banjir, yang meliputi : Kebon

5-6
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

Nanas, Rawa Bunga, Cipinang Jaya, Cipinang Besar Utara, Cipinang


Indah, Cipinang Muara, Cipinang Melayu, Pulomas Utara, Buluh
Perindu, Malaka Selatan, Pondok Kelapa, Pulogadung, Cakung Barat,
Ujung Menteng, Komplek Kelapa Gading, Komplek Walikota Jakarta
Utara, Yon Angmor Sukapura, dan Babek ABRI Rorotan.
Konsepsi struktur dasar pengembangan kawasan sepanjang BKT
adalah :
- Kelurahan Marunda untuk pengembangan pelabuhan dan
Ruang Terbuka Hijau.
- Kelurahan Rorotan untuk pengembangan perumahan sedang/
sederhana/ rumah susun, dan sentral bisinis.
- Kelurahan Cakung Timur dan Kelurahan Ujung Menteng untuk
perumahan golongan menengah ke atas, serta kawasan
pariwisata dan rekreasi.
- Kelurahan Pulogebang dikembangkan untuk kawasan
perdagangan dan komersil.
- Kelurahan-Kelurahan di Kecamatan Duren Sawit dan
Kecamatan Jatinegara untuk permukiman sederhana hingga
apartemen mewah di beberapa bagian.

c. Koridor Busway
Sesuai dengan Keputusan Gubernur Nomor 103 Tahun 2007 tentang
Pola Transportasi Makro di Propinsi DKI Jakarta, maka akan
dibangun Jalur Busway Koridor Pulo Gebang-Kampung Melayu
sepanjang 10,5 km.
Jalur ini nantinya akan terhubung dengan monorail pada jalur Blue
Line sepanjang 13,5 km yang menghubungkan Terminal Kampung
Melayu menuju Taman Anggrek, melalui Tebet, Dr. Saharjo, Menteng
Dalam, Casablanca, Ambasador, Jl. Sudirman, Menara Batavia,
Karet, Kebon Kacang, Tanah Abang, Cideng, Kyai Caringin, dan
Tomang. Dengan hadirnya Busway Koridor Pulo Gebang-Kampung
Melayu melintasi Kawasan SPBT yang terhubung dengan Monorail
jalur Blue Line, diharapkan pertumbuhan pembangunan di kawasan
ini dapat berjalan dengan lebih cepat.

d. Terminal Pulogebang
Terminal Pulogebang merupakan terminal pengganti Terminal
Pulogadung, diproyeksikan menjadi terminal terbesar dan termodern
di Jakarta. Terminal yang direncanakan terdiri atas 4 lantai ditambah
1 lantai basement ini, nantinya akan melayani busway, angkutan
dalam kota, antar kota, dan antar propinsi, dilengkapi oleh berbagai
fasilitas modern, seperti escalator, business centre, pusat
perbelanjaan, dan pusat pelayanan publik.
Selain itu langkah-langkah yang mungkin dilakukan untuk
mengembangkan Sentra Primer Baru Timur adalah sebagai berikut:

5-7
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

- Pembangunan dan Peningkatan akses dari dan ke Kawasan


Sentra Primer Baru Timur.
- Akses keluar Tol Cakung-Cilincing yang terhubung dengan
Kawasan SPBT
- Pembangunan akses menuju Jl. Jatinegara Kaum
- Pembangunan Jl. Sejajar Tol Sisi Barat
- Peningkatan Jl. Pulogebang dan Jl. Penggilingan
- Penyelesaian pembangunan Terusan Jl. I.G. Ngurah Rai.
- Penyusunan Urban Design Guide Line (UDGL) Kawasan
SPBT, guna menghindari terjadinya penyalahgunaan
pemanfaatan ruang pada masa yang akan datang.
- Penentuan bentuk kelembagaan BP. Sentra Primer Baru
Timur, agar menyesuaikan dengan PP. No.41 Tahun 2007
tentang Organisasi Perangkat Daerah.

5.1.7.2 Sentra Primer Baru Barat


Sentra Primer Baru Barat merupakan pusat kegiatan yang membentuk
sistem pusat pemerintahan Kota Administrasi, perkantoran,
perdagangan dan jasa. Salah satu kegiatan yang berada di Sentra
Primer Baru Barat yaitu kantor Walikota kota Administrasi Jakarta Barat
berada di Sentra Primer Barat Kecamatan Kembangan yang dilayani
oleh prasana jaringan jalan lokal dan Kantor Suku Dinas Teknis Jakarta
Barat berada di Grogol, Kecamatan Grogol Petamburan yang dilayani
oleh jalan arteri primer. Sehingga perlu dievaluasi keberadaan kantor
Suku Dinas tersebut mengingat kesesuian hirarkinya yang dilayani oleh
jaringan jalan arteri primer Jl. S. Parman. Selain sebagai tempat pusat
pemerintahan Kota Administrasi Jakarta Barat juga sebagai pusat
kegiatan ekonomi dan sosial skala regional/lokal dan juga memiliki
kawasan permukiman landed house maupun vertical house. Sampai
dengan saat ini Sentra Primer Barat belum mampu untuk menjadi “ikon”
Jakarta Barat. Kurang berkembang, aktivitas ekonomi belum optimal
dan cenderung tidak mendapatkan benefit dari kedekatan lokasinya
dengan jalan tol. Akibatnya akses yang tidak optimal (tol to tol) tersebut
membuat sirkulasi arus lalu lintas tidak baik dari dan ke Sentra Primer
Barat. Selain itu akses tersebut juga belum tersambung ke pusat-pusat
kegiatan lain sehingga tidak terjadi interkoneksi yang baik. Akses
menuju Sentra Primer Barat dilayani oleh prarasana jaringan jalan arteri
sekunder dan jalan lokal. Kurangnya fasilitas-fasilitas pendukung seperti
jaringan pedestrian yang manusiawi sehingga pejalan kaki tidak
mendapatkan kenyamanan yang semestinya. Demikian juga untuk
ketersedian air bersih masih belum terpenuhi oleh layanan air PAM,
sehingga penggunan air bawah tanah cukup besar.serta belum adanya
sistem jaringan limbah.

5-8
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

5.1.7.3 Sentra Primer Glodok


Sentra Pirmer Glodok dalam RTRW DKI Jakarta 2010 berperan sebagai
pusat perdagangan elektronik. Ketidak mampuan daya dukung dan
daya tampung lingkungan, Kawasan Kota Tua sebagai pusat kegiatan
ekonomi telah mendorong bergesernya kegitan ekonomi ke kawasan
Glodok. Kawasan Glodok merupakan pusat distribusi barang – barang
elektronik dan barang-barang spare part lainnya. Kondisinya saat ini
sudah menurun, karena faktor ketidak nyamanan untuk melakukan
transaksi selain macet, kotor, juga keamanan yang tidak terjamin.

5.1.7.4 Pusat Niaga Terpadu Pantura


Pusat Niaga Terpadu Pantura yang termuat dalam RTRW DKI Jakarta
2010 Pasal 17 berperan sebagai pusat kegiatan utama yang lebih
khusus pada sektor niaga baru di bidang perdagangan, jasa dan
lembaga keuangan.

5.1.7.5 Pusat Niaga Terpadu Mangga Dua


Pada Pusat Niaga Terpadu Mangga Dua berdasarkan RTRW DKI
Jakarta 2010 Pasal 17 terdapat pusat-pusat perdagangan dan
komersial yang merupakan sentra yang melayani jasa perdagangan
bagi kebutuhan lokal, regional, dan nasional. sirkulasi barang betul-
betul menjadi perhatian untuk kawasan ini.
Pusat kegiatan tersebut dapat menimbulkan dampak terhadap
lingkungan sekitarnya, baik permasalahan transportasi berupa
kemacetan lalu lintas akibat sirkulasi barang, maupun dampak-dampak
lain yang dapat mempengaruhi keseimbangan lingkungan sekitarnya.
Oleh sebab itu, dalam hal transportasi, Antisipasi kemacetan lalu lintas,
kebutuhan ruang parkir bagi kendaraan pengunjung dan kebutuhan
ruang bongkar muat bagi kendaraan pengangkut komoditi.

5.1.7.6 Pusat Niaga Terpadu Bandar Kemayoran


Pusat Niaga Terpadu Bandar Kemayoran berdasarkan RTRW DKI
Jakarta 2010 Pasal 17 berfungsi sebagai pusat eksibisi dan informasi
bisnis. Pusat Niaga Terpadu Bandar Kemayoran (Kota Baru Bandar
Kemayoran) merupakan kota mandiri sebagai pusat kegiatan utama
yang melayani kegiatan perniagaan dan pelayanan.

5.1.8. Analisa Sistem Pusat Kegiatan Penunjang RTRW 2010


Rencana pengembangan Sistem Pusat Kegiatan Penunjang menurut
kegiatan sebagai pembentuk struktur ruang dan menurut kegiatan
pelayanan yang berfungsi khusus di Kota Administrasi ditetapkan dengan
besaran kegiatan dan jangkauan pelayanan di bawah pusat kegiatan
utama. Berdasarlam RTRW DKI Jakarta 2010 Pasal 36, Rencana
Pengembangan Sistem Pusat Kegiatan Penunjang di masing-masing
Kota Administrasi adalah :

5-9
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

a. Kota Administrasi Jakarta Pusat :


• Sistem Pusat Kegiatan Penunjang berdasarkan kegiatan sebagai
pembentuk struktur ruang, ditetapkan terutama pada lokasi Pasar
Senen, Pasar Baru, Pasar Cikini, Bendungan Hilir, Roxi, Sabang,
Cempaka Putih dan Pal Merah;
• Sistem Pusat Kegiatan Penunjang berdasarkan kegiatan
pelayanan berfungsi khusus, ditetapkan terutama pada lokasi
Kantor Walikota, Taman Ria Senayan, Lapangan Olah Raga
Menteng, Rawasari dan Roxi, Rumah Sakit St. Carolus dan PGI
Cikini.
b. Kota Administrasi Jakarta Utara :
• Sistem Pusat Kegiatan Penunjang berdasarkan kegiatan sebagai
pembentuk struktur ruang, ditetapkan terutama pada lokasi Pasar
Koja, Pasar Kelapa Gading, Pasar Cakung, Pasar Pluit, Pasar
Mandara Permai dan Pasar Cilincing;
• Sistem Pusat Kegiatan Penunjang berdasarkan kegiatan
pelayanan berfungsi khusus, ditetapkan terutama pada lokasi
Kantor Walikota, Rumah Sakit Koja, Cilincing dan Atma Jaya dan
Pasar Ikan Muara Karang.
c. Kota Administrasi Jakarta Barat :
• Sistem Pusat Kegiatan Penunjang berdasarkan kegiatan sebagai
pembentuk struktur ruang, ditetapkan terutama pada lokasi Pasar
Asem Reges, S. Parman, Pasar Grogol, Pasar Tanjung Duren,
Pasar Cengkareng dan Kali Deres;
• Sistem Pusat Kegiatan Penunjang berdasarkan kegiatan
pelayanan berfungsi khusus, ditetapkan terutama pada lokasi
Kantor Walikota, Pasar Bunga Tanaman Hias Rawa Belong,
Pasar Induk Bahan Pangan Rawa Buaya, Rumah Sakit Harapan
Kita, Sumber Waras dan Husada.
d. Kota Administrasi Jakarta Selatan :
• Sistem Pusat Kegiatan Penunjang berdasarkan kegiatan sebagai
pembentuk struktur ruang, ditetapkan terutama pada lokasi Pasar
Blok M Kebayoran Baru, Pasar Mampang Prapatan, Pasar Tebet,
Pasar Manggarai, Pasar Kebayoran Lama, Pasar Cilandak, Pasar
Minggu dan Mayestik;
• Sistem Pusat Kegiatan Penunjang berdasarkan kegiatan
pelayanan berfungsi khusus, ditetapkan terutama pada lokasi
Kantor Walikota, Rumah Sakit Pertamina, Rumah Sakit MMC,
Rumah Sakit Pondok Indah dan Fatmawati, Rekreasi Situ
Babakan, Situ Mangga Bolong dan Lapangan Olah Raga Lebak
Bulus.
e. Kota Administrasi Jakarta Timur :
• Sistem Pusat Kegiatan Penunjang berdasarkan kegiatan sebagai
pembentuk struktur ruang, ditetapkan terutama pada lokasi Pasar
Jatinegara, Pasar Rawamangun, Pasar Klender, Pasar Pulo
Gadung, Pasar Burung Pramuka dan Pasar Cakung;

5-10
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

• Sistem pusat penunjang berdasarkan kegiatan pelayanan


berfungsi khusus, ditetapkan terutama pada lokasi Kantor
Walikota, Taman Rekreasi Pulo Mas dan Taman Bunga Cibubur,
Pacuan Kuda Pulo Mas, Rumah Sakit Persahabatan, Rumah Sakit
UKI, Rumah Sakit Haji, Rumah Sakit Islam, Lapangan Olah Raga
Rawamangun dan Halim.

5.1.9. Evaluasi Sistem Pusat Kegiatan RTRW 2010


a. Pengembangan sentra-sentra banyak yang akan merupakan
pengembangan pusat kegiatan yang telah lama tumbuh, sebagian
dibangun berdasar ketersediaan lahan strategis yang dapat dibebaskan,
dan sebagian lagi merupakan pengembangan sentra baru di daerah
pinggiran. Pengembangan sentra lama akan terkait dengan kebijakan
peremajaan, dan jika ia di kawasan kota tua akan terkait dengan
kebijakan revitalisasi kawasan bersejarah. Kebijakan peremajaan,
revitalisasi kawasan bersejarah, penerusan pertumbuhan lama, dan
pembangunan sentra di daerah baru perlu diperjelas dan dilengkapi
dengan insentif-disinsentifnya.
b. Dengan kekuatan investasinya yang besar, pemahaman jaringan bisnis
yang luas, serta pola kerja bisnis yang mutakhir, para pengembang
swasta seperti merajai lapangan permainan dan sangat menentukan
dalam pilihan lokasi dan program pembangunan pusat-pusat
perdagangan, serta pola tata rang dalamnya. Saat ini Pemerintah lebih
bersifat ”tut wuri handayani” memfasilitasi berbagai kegiatan tersebut.
c. Kebijakan peremajaan dan penetapan prioritas lokasinya merupakan
langkah penting dalam perkembangan kota. Peremajaan upaya
penyehatan kawasan tua yang lapuk, efisiensi pengggunaan tanah
perkotaan yang semakin langka, peningkatan nilai tanah serta
penyesuaian penggunaan dengan kebutuhan kehidupan perkotaan yang
terus berkembang. Dalam peremajaan diraih keuntungan dari
pertambahan luas lantai dalam penataan baru yang mengarah vertikal.
Di kawasan bersejarah, peremajaan merupakan upaya revitalisasi kota
tua dimana bangunan bersejarah dan nilai-nilai sosial budaya harus
dilestarikan.
d. Pembangunan sentra merupakan investasi swasta dan tentunya sangat
diwarnai oleh pemikiran bisnis, tetapi sebenarnya pemerintah dapat
meletakkan arahan dasar dalam hubungannya dengan struktur
pengembangan kota. Strategi pengembangan kawasan dan panduan
tata bangunan (urban design guidelines) dapat memberikan gambaran
kepada pengembang apa yang diinginkan oleh masyarakat kota. Dengan
gambaran itu pengembang dapat mengeksplorasi berbagai kemungkinan
dalam alur tersebut dan mencari komposisi yang dapat memenuhi
harapan dan perhitungan kelayakan mereka. Tentu saja mereka dapat
menyampaikan saran dan pandangan dalam dialog positif yang berujung
pada kesepakatan simbiotis.
e. Kemungkinan lain yang lebih efektif adalah bahwa setelah Pemda
mengkaji lokasi-lokasi prioritas yang sangat memerlukan peremajaan,
penting bagi perkembangan kota, dan potensial secara ekonomis.
Pemda membebaskan tanah tersebut dengan teratur melalui proses

5-11
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

yang baik. Setelah selesai pembebasan tanah, Pemda mengadakan


lelang/tender sambil memberikan ketentuan tentang tujuan, besaran, dan
karakter pembangunan yang diinginkan. Pengembang diundang untuk
mengajukan proposal yang dapat memenuhi persyaratan dari Pemda
dan dapat memenuhi perhitungan kelayakan pengembang. Pengembang
yang mengusulkan skema terbaik yang menguntungkan kota akan
menjadi pemenang. Dengan demikian didapat pengembangan sinergis,
yang secara finansial menguntungkan pengembang tetapi juga sesuai
dengan kebutuhan kota dan arahan Pemda.
f. Pengembang akan menyukai proses ini karena tanah sudah siap pakai
sehingga mereka tidak menanggung risiko akibat waktu pelaksanaan
pembebasan tanah yang berlarut-larut. Sebaliknya Pemda juga tidak
akan rugi karena ia dapat mematok harga penawaran minimum dan
investasinya segera kembali setelah tender selesai. Jika skema ini layak,
tentunya bank juga akan bergairah membiayainya. Dengan demikian
skema ini tidak perlu tergantung pada kekuatan anggaran Pemda.
g. Dengan besarnya investasi dan perputaran omzetnya serta banyaknya
tenaga kerja yang terserap disana, sentra sangat mempengaruhi
ekonomi kota. Sementara itu pembangunan yang demikian besar
tentunya juga akan mempengaruhi kualitas ruang kota. Pemerintah dapat
turut mempengaruhi besaran, jadwal, dan karakter pembangunannya jika
ia jeli memberikan insentif dan disinsentif yang tepat. Dengan demikian
Pemda bertindak proaktif dan tidak hanya menolak atau menyetujui
permohonan yang diajukan swasta. Biasanya Pemda lebih bersikap
pasif menunggu permohonan swasta dan kemudian berusaha
menanggapi dengan persetujuan atau penolakan.
h. Dengan kekuatan ekonomi yang luar biasa, kadang sentra dapat
merupakan raksasa rakus yang memakan apa saja yang dianggapnya
lezat. Ia dapat merambah kekanan-kekiri melahap permukiman, jalur
hijau, daerah konservasi dll. Karena itu Pemda harus siap dengan
kerangka yang jelas serta menyalurkan potensi dan selera mereka yang
ke arah pembangunan yang sekaligus menguntungkan kota. Pemda
perlu siap dengan rambu-rambu yang efektif dan konsisten dengan
kebijakannya.
i. Pertumbuhan sentra-sentra dengan intensitas tinggi akan sangat
mempengaruhi besaran kebutuhan prasarana jalan, air,listrik, gas, air
limbah, telekomunikasi dll. Prasarana dipasang dengan perhitungan
jangka menengah dan jangka panjang. Ia tidak dapat setiap saat dirubah
dan diganti karena ada perubahan permintaan sehubungan dengan
perubahan intensitas atau perubahan lokasi proritas. Disamping itu perlu
pula diusahakan integrasi antar persil yang berdekatan dengan
hubungan antar bangunan yang saling berkaitan. Panduan Tata
Lingkungan (urban design guidelines) yang cermat dan konsisten bisa
membantu tercapainya integrasi itu dengan baik.
j. Dengan pola persebaran sentra yang baik akan jelas posisi beberapa
sentra primer yang merupakan jangkar dalam skala kota dan provinsi,
serta beberapa sentra sekunder yang bertugas melayani kawasan
pelayanan setingkat Kecamatan (tidak harus dalam batasan administrasi
kecamatan). Lokasi sentra primer perlu ditetapkan dalam RTRW dan
sentra sekunder disebutkan secara indikatif di mana RTRW

5-12
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

menyebutkan ancer-ancer, yang selanjutnya akan di jabarkan secara


detil dalam rencana tata ruang tingkat Kota Administrasi. Sentra tersier
yang mempunyai jangkauan pelayanan dalam skala kelurahan (tidak
harus dalam batasan administrasi kelurahan) disebutkan secara indikatif
dalam recana tata ruang tingkat Kota Administrasi, dan pada waktunya
dapat ditetapkan secara rinci dalam rencana tata ruang tingkat
Kecamatan.
k. Sentra-sentra yang merupakan pusat-pusat kegiatan dihubungkan satu
sama lain oleh jaringan jalan dan angkutan umum yang merupakan
koridor-koridor penghubung. Koridor tersebut merupakan jalan utama
yang haus menjamin mobilitas yang lancar antara sentra-sentra. Karena
fungsi utamanya adalah sebagai koridor penghubung maka perlu dijaga
agar intensitas di koridor itu tidak setinggi/sepadat sentra-sentra yang
dilayaninya. Jika koridor tersebut dibebani dengan intensitas kegiatan
yang terlalu tinggi dikiri-kanannya, ia sendiri akan terancam kemacetan
sehinga tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai koridor. Prinsip ini
tidak bermaksud melarang sama sekali kegiatan komersial sepanjang
koridor. Perkembangan tersebut tetap diperkenankan, hanya
intensitasnya tidak boleh terlalu tinggi.
l. Sehubungan dengan itu keberadaan kawasan ekonomi prospektif
sepanjang koridor tertentu perlu dikaji ulang. Jika sepanjang koridor
tersebut dikembangkan kegiatan dengan intensitas tinggi, maka akan
terjadi ”ribbon development” yang bertentangan dengan konsep dasar
pembentukan sentra-sentra. Seyogyanya peruntukan sepanjang koridor
lebih diarahkan pada KPD atau KKT biasa tanpa fasilitas pemadatan dan
peninggian.
m. Sejalan dengan hal itu perlu juga dikaji dengan cermat penetapan
kawasan yang sangat luas diantara jalan A Yani (timur) dan jalan S.
Parman (barat) , serta diantara jalan Martadinata (utara) dan jalan Gatot
Subroto (selatan) sebagai kawasan ekonomi prosepektif dengan
intensitas tinggi. Jika itu dilaksanakan akan terjadi suatu konglomerasi
kawasan pusat perdagangan yang sangat luas dan utuh yang dapat
mencekik dirinya sendiri dan bertentangan dengan prinsip persebaran
sentra-sentra untuk mengurangi pemusatan mutlak. Saat ini tidak seluruh
bagian kawasan tersebut sudah berkegiatan komersial dan tidak semua
sudah berintensitas tinggi. Perlu dipertimbangkan agar bagian
permukiman disitu tidak teralu cepat didorong ke kegiatan ekonomi
dengan KLB tinggi. Dapat saja untuk permukiman tinggi, tetapi tidak
semua menjadi kawasan kegiatan ekonomi dengan KLB tinggi. Pusat-
pusat kegiatan ekonomi dengan KLB tinggi perlu lebih cermat ditetapkan
pada lokasi yang tepat, terutama pada lokasi sentra primer dan
sekunder.
n. Sejalan dengan dorongan dan prioritas untuk pengembangan angkutan
berbasis rel, diusulkan agar pada jalur-jalur rel angkutan umum pada
radius 500 meter sekitar stasiun diberikan insentif peningkatan KLB dan
ketinggian bangunan. Dengan terbangunnya kawasan intensitas tinggi
disekitar stasiun, maka pelayanan angkutan umum akan jauh lebih
efisien. Penegasan pemadatan sekitar stasiun ini juga akan mengurangi
kecenderungan ribbon development. Di beberapa negara telah diberikan
insentif finansial dan keringanan pajak untuk mendorong pemadatan
sekitar stasiun.

5-13
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

o. Pada umumnya, kota metropolitan terbentuk dari pusat-pusat kegiatan


besar tradisional yang saling bersinergi. Dalam perkembangannya,
pusat-pusat kegiatan (sentra) ini mendapat tekanan dan dorongan
pertumbuhan yang bervariasi. Sentra dan sarana kegiatan lain juga
bermunculan. Dengan demikian dapat dikatakan sentra-sentra lama yang
hingga kini masih bertahan dan tetap menjadi daya tarik adalah kawasan
pusat kegiatan yang telah teruji dan patut diperhatikan. Sentra lama
yang masih potensial hendaknya sedapat mungkin menjadi fokus
pengembangan, di samping perencanaan sentra-sentra baru untuk
memenuhi pertumbuhan kebutuhan.
p. Perencanaan tentang pengembangan pusat kegiatan perlu dikaji lebih
mendalam. Perecanaan tidak hanya melihat aspek teknis aksesibilitas,
jumlah penduduk dan jangkauan pelayanan, tetapi juga memperhatikan
potensi historis dan prospektif, jaringan bisnis yang sudah terbangun,
serta kehidupan lokal yang spesifik.
q. Konsep kawasan khusus/sentra perlu didefinisikan dengan perspektif
yang lebih luas, tidak hanya mengarah kepada kegiatan konsumtif yang
bersifat lokal, tetapi lebih mengakomodasikan jenis pelayanan yang lebih
lengkap dengan skala manfaat yang lebih besar.
r. Sentra-sentra perlu dikembangkan dengan pola tata ruang dan desain
yang terpadu, sehingga dapat mengakomodasikan kebutuhan hunian
maupun tempat kerja di DKI Jakarta yang masih sangat kurang daya
tampungnya.
s. Dengan beban yang begitu besar, maka sebagaimana kecenderungan
yang terjadi pada kota-kota besar dunia lainnya, kegiatan pembangunan
DKI Jakarta tidak mungkin lagi hanya difokuskan pada kawasan pusat
kota. Dengan kata lain persebaran sentra-sentra untuk melayani
berbagai bagian kota secara proporsional perlu diperhatikan. Penetapan
sentra-sentra perlu dikaji secara cermat dan diintegrasikan dengan
rencana pembanguan kewilayahan, rencana pembangunan sektoral,
serta dukungan jaringan prasarana yang lebih kompak.
t. Dampak lebih luas yang diharapkan dari pengembangan sentra yang
ditunjang oleh komitmen yang kuat dan mekanisme (tools) yang jelas
adalah peningkatan kualitas fisik dan ekologis lingkungan, efektivitas
kegiatan komunitas dan efisiensi infrastruktur kota, serta peningkatan
pertumbuhan ekonomi dan pembangunan kawasan sekitarnya.

5.1.10. Saran Sistem Pusat Kegiatan dalam RTRW 2030


Agar semua itu dapat terlaksana dengan baik, perlu disiapkan rencana
strategi pengembangan sentra dan kordinasi pelaksanaannya:
a. Bappeda mengkoordinasi perencanaan strategis dan pemrograman antar
instansi serta alokasi anggaran prasarana dan sarana.
b. Dinas Tata Kota menyiapkan rencana tataruang, recana
tatabangunan/urban design guidelines, serta rencana panduan
lingkungan lainnya.
c. BPN mengadakan analisis tentang pertanahan dan memberi masukan
tentang berbagai kemungkinan lokasi.

5-14
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

d. Bagian Perekonomian mengadakan analisis pasar, kebutuhan dan


kecenderungannya.
e. Dinas Perhubungan mengadakan analisis lalulintas dan angkutan serta
menyiapkan prasarana dan sarana pendukungnya.
f. Dinas Pekerjaan Umum mengadakan analisis tentang prasarana jalan, air
bersih, air limbah dan ducting system yang terkait.
g. Dinas Pertamanan mengadakan analisis tentang lansekap perkotaan dan
penataan ruang terbuka serta menyiapkan pola pengembangan yang
serasi.
h. PLN mengadakan analisis tentang pasokan listrik serta menyiapkan
jaringan distribusinya.
i. PD PAM mengadakan analisis tentang penyediaan air bersih serta
menyiapkan jaringan pendukungnya.
j. PD PAL mengadakan analisis tentang penanganan air limbah dan
menyiapkan jaringan pendukungnya.
k. PT Telkom mengadakan analisis tentang kebutuhan telekomunikasi serta
menyiapkan jaringan pendukungnya, kalau perlu dengan jaringan fiber
optic.
l. Perusahaan Gas Negara mengadakan analisis tentang kebutuhan gas
dan kemungkinan pemenuhannya melalui jaringan mereka.
m. Dinas Kebersihan mengadakan analisis tentang timbunan sampah dan
menyiapkan sarana penanganannya.
n. Dinas Pengawasan dan Pengendalian Bangunan memberikan informasi
tentang berbagai izin yang pernah diterbitkan dan mengawasi agar
pembangunan berjalan sesuai rencana.

5.1.11. Usulan Kawasan Sistem Pusat Kegiatan RTRW 2030 DKI Jakarta
Pusat-pusat kegiatan DKI Jakarta terus berkembang baik pusat kegiatan
primer, sekunder, hingga tersier. Pusat-pusat kegiatan tersebut
merupakan perkembangan dari pusat-pusat kegiatan utama menurut
fungsi kawasan sebagai pembentuk struktur ruang dan sistem pusat
kegiatan utama menurut ungsi khusus yang ditetapkan RTRW DKI
Jakarta Tahun 2010.
Analisa Sistem Pusat Kegiatan utama menurut fungsi sebagai
pembentuk struktur ruang ditetapkan ada sembilan (9) kawasan ; sentra
primer baru timur, sentra primer baru barat, Pusat niaga terpadu Pantura,
Sentra primer Glodok, Sentra primer Tanah Abang, Pusat Niaga Terpadu
kuningan, sudirman dan casablanca, pusat niaga terpadu mangga dua,
dan pusat niaga terpadu bandar baru kemayoran.
Delapan (8) dari kawasan tersebut diatas masih merupakan kawasan
pusat kegiatan primer. Sedangkan kawasan sentra primer glodok menjadi
pusat kegiatan sekunder. Kawasan Glodok sampai dengan tahun 2009
sudah mengalami perkembangan yang cukup pesat karenanya hanya
sedikit pengembangan kawasan yang akan dilakukan pada rencana tata
ruang wilayah berikutnya.

5-15
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

Selain delapan (8) kawasan yang dipertahankan untuk menjadi kawasan


pusat kegiatan primer terdapat tiga (3) kawasan baru yang muncul yaitu ;
kawasan Monas, Dukuh Atas, Kawasan Manggarai, dan kawasan
ekonomi khusus Marunda.
Kawasan Medan Merdeka dalam Pasal 17 tentang Sistem Pusat Kegiatan
RTRW 2010 sudah termuat dalam arahan sistem pusat kegiatan utama
menurut fungsi khusus sebagai pusat pemerintahan nasional dan
propinsi. Pada RTRW 2030 Kawasan Monas (tidak lagi Medan Merdeka)
menjadi pusat kegiatan primer pada kawasan monas ini akan difasilitasi
dengan perencanakan pembangunan jalan arteri yang melintasi. Pada
kawasan monas ini adalah sentra dari kegiatan pemerintahan nasional
dimana DKI Jakarta sebagai Ibukota negara Republik Indonesia.
Dari sistem transportasi yang berkembang di DKI Jakarta Kawasan
Dukuh Atas akan menjadi kawasan transit intermoda. Dukuh atas
memegang peranan penting dalam menghubungkan lokasi satu dan yang
lain di DKI Jakarta, alasan tersebut menjadi dasar potensial bagi Dukuh
Atas di RTRW 2030 menjadi pusat kegiatan primer.
Kawasan Manggarai mempunyai kecenderungan untuk bekembang pesat
di wilayah DKI Jakarta. Ada beberapa fungsi kegiatan yang berada
dikawasan tersebut diantaranya; a). stasiun yang akan dikembangkan
menjadi stasiun penting di wilayah DKI Jakarta sama peranannya dengan
dukuh atas. Bahkan stasiun manggarai adalah pusat penghubung dengan
jalur transportasi angkutan JABODEBEK. b). Pintu Air manggarai, dari
sistem perairan pintu air manggarai mempunyai peran penting dalam
pengindikasi banjir. c). Fungsi perdagangan, selain terdapat gedung
pertokoan pasaraya manggarai, pada daerah sekitar Pasar Rumput di
Jalan Sultan Agung, bisa ditemukan para pedagang loak/barang bekas.
Banyak yang menjual peralatan saniter bekas. Beberapa alasan tersebut
menjadi dasar potensial bagi Manggarai di RTRW 2030 menjadi pusat
kegiatan primer.
Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Marunda dari Rencana Pengembangan
Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Marunda Provinsi DKI Jakarta Tahun
2009 menyebutkan KEK marunda sangat bermanfaat bagi DKI Jakarta
dan nasional.
Sistem pusat kegiatan primer dapat terlaksana secara maksimal atau
berjalan dengan baik apabila tersambung dengan jalur Arteri. Jaringan
jalan arteri tidak dapat terputus, sehingga terdapat usulan jalan arteri
dalam strktur ruang. Penamaan jalan arteri primer atau sekunder, tidak
mewakilkan penamaan dari sistem pusat kegiatan, karena arteri
merupakan spesifikasi sedangkan primer atau sekunder adalah
sistemnya.
Pada sistem Pusat Kegiatan utama menurut fungsi khusus ditetapkan
pada RTRW 2010 ada Tujuh (7) kawasan ; pusat pemerintahan Nasional
dan propinsi di kawasan Medan Merdeka, pusat perwakilan negara asing
di kawasan kuningan dan jl. MH.Thamrin, pusat rekreasi : Taman Mini
Indonesia Indah, Taman Impian Jaya Ancol, kepulauan seribu, Taman
Margasatwa Ragunan, dan bumi perkemahan cibubur, Pusat olah raga
senayan, pusat kesehatan di Rs. Dr. Tjipto Mangunkusumo dan Rumah
Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto; Pusat Kesenian Taman Ismail
Marzuki; Pusat Distribusi Barang di Tanjung Priok, Distribusi Bahan Bakar

5-16
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

Minyak di Plumpang, Pasar Induk Bahan Pangan di Kramat Jati,


Cipinang, dan Rawa Buaya.

Gambar 5.2 Pusat Kegiatan yang Cenderung Berkembang sebagai


Pusat Kegiatan Nasional

Sumber: Kondisi Eksisting Tahun 2008

Gambar 5.2 menunjukkan pusat-pusat kegiatan yang cenderung


berkembang sebagai pusat kegiatan utama yaitu pusat kegiatan primer
dan pusat kegiatan sekunder. Pusat-pusat kegiatan tersebut merupakan
penambahan dari pusat-pusat kegiatan yang ditetapkan dalam RTRW
DKI Jakarta 2010. Penambahan tersebut diakibatkan perkembangan DKI
Jakarta yang sangat pesat sehingga pada kondisi eksisting tumbuh pusat-
pusat kegiatan baru. Pusat-pusat kegiatan tersebut adalah sebagai
berikut:
5.1.11.1 Pusat Kegiatan Primer
ƒ Pusat Niaga Terpadu Mangga Dua
Pusat kegiatan ini telah ditetapkan sebagai pusat kegiatan utama dalam
RTRW DKI Jakarta 2010. Pusat Niaga Terpadu Mangga Dua hingga saat
ini masih tetap berfungsi sebagai pusat perdagangan pakaian jadi.
Fungsi Pusat kegiatan ini sebagai pusat kegiatan primer sangat penting
untuk melayani kebutuhan perdagangan baik skala nasional maupun
provinsi.

5-17
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

ƒ Pusat Niaga Terpadu Bandar Kemayoran


Pusat kegiatan Terpadu Bandar Kemayoran juga terdapat dalam RTRW
DKI Jakarta 2010 yaitu sebagai pusat eksibisi dan informasi bisnis.
Pembangunan Kota Baru Bandar Kemayoran masih dalam tahap
penyelesaian. Prediksi perkembangan pusat kegiatan ini masih sangat
panjang tetapi potensi kawasan tersebut untuk berkembang menjadi
pusat eksibisi dan informasi bisnis
Lahan bekas Bandara Kemayoran – bandar udara internasional pertama
di Indonesia – berdasarkan Peraturan Pemerintah RI Badan pengelola
Komplek Kemayoran sesuai Keputusan Presiden RI No. 53 Tahun 1985;
dan kemudian diubah dengan Keppres No.73 Tahun 1999, diamanahkan,
aset untuk mencapai hasil guna yang sebesar-besarnya untuk mencapai
hasil guna yang sebesar-besarnya bagi kepentingan masyarakat, negara,
dan lingkungan. Rencana Tata Ruang Khusus DKI Tahun 2005
menyatakan lahan seluas ± 454 ha tersebut dibangun menjadi Pusat
Informasi Perdagangan dan Jasa Pelayanan berskala internasional
(Indonesia Internasional Trade Center) dengan sistem teknologi informasi
dan komunikasi terkini. Direksi Pelaksana Pengendalian Pembangunan
Komplek Kemayoran (DP3KK), yang ditugasi membangun dan
mengembangkan Kota Baru Bandar Kemayoran menjadi Kota Mandiri
yang bercirikan Kota Taman yang ramah lingkungan yang akan
menampung 156.000 penduduk dan 120.000 pekerja. Potensi yang
dimiliki Kota Bandar Baru Kemayoran adalah letak yang strategis di
tengah-tengah metropolitan Jakarta dengan aksesbilitas tinggi menuju ke
Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta, Tanjung Priok, jalan tol,
Inner Ring Road dan Outer Ring Road.
Kota Bandar Baru Kemayoran berperan sebagai pusat informasi
perdagangan dan jasa pelayanan berskala internasional, sebagai sarana
pengembangan perdagangan internasional, sebagai sarana
pengembangan perdagangan dengan fungsi-fungsi sebagai berikut:
a. Pusat Informasi Dagang
Pusat informasi dagang meliputi data pasar dalam dan luar negeri,
informasi produk dalam dan luar negeri, tata niaga di Indonesia, data
produsen dalam dan luar negeri.
b. Pusat Pameran Dagang/Komoditi
Pusat pameran dagang/komoditi merupakan sarana bagi pengusaha
untuk memasarkan dan mempromosikan hasil produknya. Jenis
pameran dagang ini disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing
pengusaha (show windows, show room, display dan sebagainya)
yang pelaksanaannya bisa dilakukan secara tetap atau secara
sementara. Jakarta Internasional Trade Fair merupakan salah satu
kegiatan dari pusat pameran dagang ini.
c. Sarana Pelayanan Perdagangan Luar Negeri
Meliputi kegiatan-kegiatan yang mendukung perdagangan
internasional di bidang perbankan, asuransi, perhubungan, bea cukai,
periklanan, perhotelan arbitrasi, telekomunikasi, perkantoran
pemerintah seperti BPEN, imigrasi, pajak, bea cukai, noneter, Kanwil
Perdagangan, dan lain-lain. Dengan adanya kelengkapan tersebut

5-18
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

secara terpusat, maka Kota Baru Bandar Kemayoran diharapkan


dapat memberikan pelayanan secara One Stop Service dalam arti
suatu sistem pelayanan secara terpadu dan terkoordinasi bagi
kepentingan usaha bisnis dalam dan luar negeri.

Sarana dan prasarana telah dibangun di Kota Baru Bandar Kemayoran,


antara lain, fasilitas/utilitas pasokan daya listrik, air bersih/minum, telepon,
dan gas yang handal serta mencukupi, antara lain listrik dengan daya
lebih dari 2 x 126 MVA, air bersih dengan debit lebih dari 500 liter per
detik, jaringan fiber optik, dan sistem komunikasi sebanyak lebih dari
40.000 satuan sambungan telepon, serta pelestarian rawa payau,
perlindungan sarwa, dan penambahan ruang terbuka hijau. Taman-taman
lingkungan yang direncanakan di dalam kawasan pemukiman,
perkantoran/ perdagangan. Taman ini juga dapat berfungsi sebagai
tempat olah raga dan bermain. Selain itu, dengan penerapan KDB yang
rendah akan memungkinkan terbentuknya ruang terbuka yang lebih luas
dan hal ini dapat menciptakan kantong-kantong hijau di dalam kawasan
Kemayoran.
Ada beberapa masalah yang timbul pada kawasan bandar Bru
kemayoran ini antara lain; Realisasi pembangunan wilayah Kota Baru
Bandar Kemayoran yang dimulai sejak tahun 1991, hingga sekarang
belum dapat mencapai sasaran sebagaimana yang direncanakan semula.
Hal tersebut umumnya disebabkan kondisi perekonomian negara saat ini
dan adanya kendala /hambatan pembebasan tanah.
Pada masa awal pembangunan Komplek Kemayoran yang berada dalam
kondisi ekonomi tanah air sedang mencapai puncaknya sehingga
pengembang di bidang properti begitu mudah membeli tanah dan
mengembangkannya, dengan adanya badai krisis, para investor dan
pengembang berguguran satu per satu dan menghentikan
pembangunannya.
Wilayah pembangunan Kota Baru Bandar Kemayoran berdasarkan RTRK
KBBK, sesuai dengan batas-batas alam yang tefas dibulatkan menjadi
luas 454 ha, dimana memerlukan tindak pengadaan (pembebasan) lahan
sekitar 35 ha (di luar Hak Penggunaan Lahan (HPL)) dengan penghuni
sekitar 1700-an KK. Sedang di dalam HPL sendiri juga diperlukan
pengadaan tanah (pembebasan) bagi tanah-tanah yang sudah berstatus
HGB (Hak Guna Bangunan) di samping pembebasan/ pengosongan bagi
tanah negara yang diduduki pihak lain di Kelurahan Kebon Kosong,
Gunung Sahari Selatan, dan Pademangan Timur. Dasar hukum untuk
penuntasan penyeselesaian pembebasan dan pengadaan lahan tersebut
yaitu Permendagri No. 15 Tahun 1975, dan Keppres Nomor 55 Tahun
1993. Meski demikian dalam prosesnya di lapangan menghadapi kendala
atau hambatan yang sangat berat karena situasi dan kondisi yang tidak
komprehensif dengan adanya LSM-LSM dan delegasi warga yang pola
pemikirannya penyelesaian masalah tanah tersebut berbeda-beda.
DP3KK menempuh cara pembebasan/ pengadaan lahan melalui cara:
ganti rugi berdasarkan transaksi Gubernur DKI, program pemilikan rumah
susun bersubsidi dari BPKK, relokasi dalam arti bagi pemilik aset yang
memiliki status hal milik, HGB, girik, dapat direlokasikan baik di dalam
maupun di luar KBBK, sebagai contoh Kantor Airud, Komplek Wing 300

5-19
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

TNI AU, Kantor Polres Kemayoran. Penggantian tanah dan KBBK


disesuaikan dengan RBWK, dan konsolidasi tanah. Bagi pemilik aset
yang berstatus secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama dapat
membangun (baik sendiri ataupun oleh investor) di lokasi semula dengan
persyaratan harus dibangun berdasarkan ketentuan persyaratan RTRT
KBBK
Kesesuaian Kota Baru Bandar Kemayoran dengan RRTRW Kecamatan
Kemayoran Tahun 2005. Rencana Rinci Tata Ruang Wilayah Kecamatan
Kemayoran Tahun 2005 pada bagian rencana peruntukkan lahan
menunjukkan kawasan Kota Baru Bandar Kemayoran di Jalan Dakota
Raya dan Jalan H. Benyamin Sueb diarahkan untuk wisma dengan
fasilitasnya, sedang menurut Peta Peruntukkan Lahan berdasarkan RTK
Kota Baru Bandar Kemayoran yang kemudian dijadikan sebagai
pedoman dan pengendalian, pelaksanaan pembangunan sebagian
wilayah sesuai RTRK DKI Tahun 1985-2001 menyatakan pada area ini
diarahakan untuk perumahan yang dilengkapi dengan fasilitas umum.
Selanjutnya dalam RRTRW Kecamatan Kemayoran Tahun 2005 juga
menunjukkan rencana kawasan di bagian Barat Jalan H. Benyamin Sueb
diarahkan untuk karya bangunan umum dengan fasilitasnya (karya
kantor/jasa dan karya perdagangan), sedang menurut RTK Kota Baru
Bandar Kemayoran yang kemudian dijadikan sebagai sebagai pedoman
dan pengendalian, pelaksanaan pembangunan sebagian wilayah sesuai
RTRK DKI Tahun 1985-2001 menyatakan area ini diarahkan untuk
perdagangan dan jasa.
Berdasarkan perbandingan RRTRW Kecamatan Kemayoran Tahun 2005
dan RTK Kota Baru Bandar Kemayoran yang kemudian dijadikan sebagai
pedoman dan pengendalian, pelaksanaan pembangunan sebagian
wilayah sesuai RTRK DKI Tahun 1985-2001 di atas telah menunjukkan
kesesuaian rencana peruntukkan lahan dimana lahan untuk Kota Baru
Bandar kemayoran sebagian besar diarahkan untuk wisma dengan
fasilitasnya berupa perumahan yang dilengkapi dengan fasilitas umum
dan karya bangunan umum dan fasilaitsnya berupa perdagangan dan
jasa yang dilengkapi dengan fasilitas umum.
ƒ Kawasan Monas
Kawasan Monas dalam Pasal 17 tentang Sistem Pusat Kegiatan RTRW
2010 sudah termuat dalam arahan sistem pusat kegiatan utama menurut
fungsi khusus yang berada di kawasan Medan Merdeka sebagai pusat
pemerintahan nasional.
ƒ Sentra Primer Tanah Abang
Pasal 17 tentang Sistem Pusat Kegiatan RTRW 2010 juga telah
menetapkan Sentra Primer Tanah Abang sebagai sistem pusat kegiatan
utama yang berfungsi untuk membentuk struktur ruang. Sentra Primer
Tanah Abang berperan sebagai pusat perdagangan tekstil.
ƒ Dukuh Atas
Dukuh Atas adalah kawasan yang terletak di sudut barat daya Kecamatan
Menteng. Lokasinya sangat strategis, berada di dekat pusat bisnis
Jakarta, di selatan Bunderan HI. Di kawasan ini terdapat halte kereta api
Jabotabek (Setasiun Sudirman, dulu dinamakan Dukuh Atas). Dukuh Atas
juga menjadi tempat transit bagi berbagai jalur bus kota di Jakarta.

5-20
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

Kebijakan transportasi makro DKI Jakarta, dan kebijakan pemerintah Kota


Administrasi Jakarta Pusat yang telah mengarahkan Dukuh Atas sebagai
sebuah kawasan transit intermoda. Di bidang transportasi Dukuh atas
memegang peranan penting dalam menghubungkan lokasi satu dan yang
lain di DKI Jakarta, alasan tersebut menjadi dasar potensial bagi Dukuh
Atas sebagai salah satu lokasi Transit oriented Development (TOD).
Transit Oriented Development adalah Kebijakan dan strategi penanganan
masalah kemacetan lalulintas di perkotaan dalam bentuk makro dengan
mengedepankan keterpaduan dalam berbagai jenjang dan aspek
sekaligus. TOD dilakukan dengan dengan mengarahkan pengembangan
kawasan pada simpul-simpul jalur angkutan umum masal yang memiliki
aksesibilitas tinggi, terutama untuk mengurangi penggunaan kendaraan
pribadi. Dukuh atas berada pada lokasi yang sangat strategis yang dapat
berkembang sebagai pusat kegiatan sebagai simpul transportasi DKI
Jakarta.
ƒ Kawasan Segitiga Emas Setiabudi
Pusat Niaga Terpadu Kuningan, Sudirman, dan Casablanca juga terdapat
dalam Pasal 17 tentang Sistem Pusat Kegiatan RTRW 2010. Lokasi ini
berperan sebagai sistem pusat kegiatan utama yang berfungsi untuk
membentuk struktur ruang. Pusat Niaga Terpadu Kuningan, Sudirman,
dan Casablanca berperan sebagai pusat perkantoran dan jasa keuangan.

ƒ Manggarai
Kawasan Manggarai terletak di Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan.
Kelurahan ini terkenal karena di sini terletak pintu air Kali Ciliwung dan
sebuah stasiun kereta api penting. Selain itu di daerah ini bisa ditemukan
Pasaraya Manggarai (cabang dari Pasaraya Grande di Blok M,
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan) milik Abdoel Latief, sebuah toko
pasaraya yang besar. Di daerah sekitar Pasar Rumput di Jalan Sultan
Agung, bisa ditemukan para pedagang loak/barang bekas. Banyak yang
menjual peralatan saniter bekas. Sama halnya seperti Dukuh Atas,
Manggarai juga berperan sebagai kawasan transit intermoda. Oleh
karena lokasinya yang sangat strategis, maka Kawasan Manggarai
sangat potensial potensial bagi manggarai sebagai salah satu lokasi
Transit oriented Development (TOD). Transit Oriented Development
adalah Kebijakan dan strategi penanganan masalah kemacetan lalulintas
di perkotaan dalam bentuk makro dengan mengedepankan keterpaduan
dalam berbagai jenjang dan aspek sekaligus. TOD dilakukan dengan
dengan mengarahkan pengembangan kawasan pada simpul-simpul jalur
angkutan umum masal yang memiliki aksesibilitas tinggi, terutama untuk
mengurangi penggunaan kendaraan pribadi. Kawasan Manggarai selain
memiliki Pasaraya Manggarai dan Pasar Rumput. juga didukung oleh
lokasinya sebagai yang potensial sebagai TOD. Alasan tersebut menjadi
dasar Kawasan Manggarai sangat berpotensi sebagai salah satu pusat
kegiatan primer.

5-21
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

ƒ Sentra Primer Barat


Sentra Primer Baru Barat dalam Pasal 17 Sistem Pusat Kegiatan RTRW
2010. pusat kegiatan ini berperan sebagai pusat pemerintahan Kota
Administrasi, perkantoran, perdagangan, jasa.

ƒ Sentra Primer Timur


Sentra Primer Baru Timur juga termasuk dalam Pasal 17 tentang Sistem
Pusat Kegiatan RTRW 2010 yaitu sebagai pusat pemerintahan Kota
Administrasi, perkantoran, perdagangan, dan jasa.

ƒ Kawasan Ekonomi Khusus Marunda


Kawasan KEK Marunda sangat potensial menjadi pusat kegiatan.
Berdasarkan Paparan Rencana Pengembangan Kawasan Ekonomi
Khusus (KEK) Marunda Provinsi DKI Jakarta Tahun 2009 menyebutkan
manfaat KEK Marunda baik di tingkat DKI Jakarta dan nasional.
a. Bagi Nasional
− Menghemat devisa negara sekaligus meningkatkan ekspor produk
industri Hi-Tech dan Value added tinggi.
− Keberadaan Pelabuhan Marunda akan meningkatkan kapasitas
pelabuhan dan melancarkan arus ekspor-impor.
− Membantu menurunkan biaya ekonomi tinggi (dari proses
pengangkutan) sehingga meningkatkan daya saing industri
nasional.
− Dengan berbagai fasilitas KEK (fiskal, dan sebagainya)
memungkinkan dijadikan sebagai lokasi untuk pengembangan
industri Hi-Tech, Value added tinggi, High capital, Knowledge-
intensive yang telah mulai dikuasai oleh tenaga-tenaga terdidik
Indonesia.
− KEK Marunda berperan sebagai kawasan pengembangan
teknologi dan pusat penelitian dengan didukung oleh sarana yang
memadai.
b. Bagi DKI Jakarta
− Sebagai lokasi investasi bagi industri Hi-Tech, Value added tinggi,
High capital, Knowledge-intensive, dan bangunan intensitas tinggi
sebagai pemicu baru pertumbuhan ekonomi Jakarta.
− Meningkatnya aktivitas ekonomi baru ikutan (vendor, hotel,
restoran, hiburan, pariwisata, transportasi, perbankan, asuransi,
pusat-pusat pelatihan, dan sebagainya).
− Peluang untuk menertibkan lokasi-lokasi pergudangan dan
penumpukan barang (kontainer dan cargo-umum) yang tidak
sesuai RTRW dan tersebar di Jakarta Utara dan Jakarta Timur
melalui pengembangan pelabuhan dan logistik center di Marunda.
− Akan membantu meningkatkan kelancaran lalu lintas.

5-22
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

− Membuka lapangan kerja bagi tenaga-tenaga terdidik.


− Mendorong peningkatan SDM melalui penguasaan teknologi dan
pengetahuan.
Berdasarkan potensi-potensi di atas, dapat disimpulkan KEK Marunda
sangat potensial berkembang sebagai pusat kegiatan primer DKI Jakarta.

ƒ Kawasan Pantura
Berdasarkan KEPPRES 52 TAHUN 1995, Pasal 10 ayat 1 : Perencanaan,
pelaksanaan dan pengelolaan Reklamasi Pantura dilakukan sebagai
bagian yang tidak terpisahkan dari penataan Kawasan Pantura, dan
Pasal 11 ayat 1 : Penyelenggaraan Reklamasi Pantura wajib
memperhatikan kepentingan lingkungan, kepentingan pelabuhan,
kepentingan kawasan berhutan bakau, kepentingan nelayan dan fungsi-
fungsi lain yang ada di kawasan Pantura.
Berdasarkan PERDA 8 Tahun 1995, Pasal 9, menyatakan :
(1) Pengembangan Kawasan Pantura Jakarta adalah pengembangan
areal reklamasi dan kawasan daratan pantai secara TERPADU
yang bersama-sama ditetapkan sebagai satu kawasan
perencanaan.
(2) Pengembangan Kawasan Pantura Jakarta harus menjamin
terpeliharanya ekosistem dan kelestarian kawasan hutan lindung,
hutan bakau, cagar alam dan biota laut.
(3) Pengembangan Kawasan Pantura Jakarta harus menjamin
pemanfaatan pantai untuk kepentingan umum.
(4) Pengembangan Kawasan Pantura Jakarta harus menjamin
kepentingan perikehidupan nelayan.
(5) Pengembangan Kawasan Pantura Jakarta harus menjamin
kelestarian bangunan dan lingkungan bersejarah.
(6) Pengembangan Kawasan Pantura Jakarta harus menjamin
kepentingan dan terselenggaranya kegiatan pertahanan keamanan
negara.
(7) Pengembangan Kawasan Pantura Jakarta harus menjamin
terselenggaranya pengembangan tata air dan tata pengairan secara
terpadu.
(8) Pengembangan Kawasan Pantura Jakarta harus menjamin
terselenggaranya / berfungsinya proyek-proyek vital di Kawasan
Pantura Jakarta sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
(9) Pengembangan Kawasan Pantura Jakarta harus menjamin :
(10) Peningkatan fungsi pelabuhan Tanjung Priok;
(11) Pengembangan areal pelabuhan Sunda Kelapa dan sekitarnya
untuk Pusat Wisata, Pusat Perdagangan/Jasa serta pelayaran
rakyat secara terbatas.

5-23
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

(12) Pengembangan Kawasan Pantura Jakarta dilaksanakan serasi


dengan penataan dan pengelolaan Kepulauan Seribu.
(13) Pengembangan Kawasan Pantura Jakarta dikaitkan dengan
pemanfaatan ruang rekreasi dan wisata dengan memperhatikan
konservasi nilai budaya bangsa serta kebutuhan wisata nasional
dan internasional.
(14) Pengembangan Kawasan Pantura Jakarta didukung oleh
pengembangan prasarana dan sarana perkotaan secara terpadu.
Peraturan-peraturan di atas sangat mendukung Kawasan Pantura
berkembang sebagai pusat kegiatan primer DKI Jakarta

5.1.11.2 Pusat Kegiatan Sekunder


ƒ Glodok
Berdasarkan Pasal 17 tentang Sistem Pusat Kegiatan, Glodok termasuk
dalam sistem pusat kegiatan utama yang berfungsi membentuk struktur
ruang. Dalam peraturan tersebut disebutkan Glodok tergolong dalam
Sentra Primer Glodok sebagai pusat pedagangan elektronik.

ƒ Harmoni
Kawasan Harmoni terletak di Jakarta Pusat. Salah satu peran kawasan ini
adalah sebagai kawasan transit intermoda. Oleh karena lokasinya yang
sangat strategis, maka Kawasan Harmoni sangat potensial sebagai salah
satu lokasi Transit oriented Development (TOD). Transit Oriented
Development adalah Kebijakan dan strategi penanganan masalah
kemacetan lalulintas di perkotaan dalam bentuk makro dengan
mengedepankan keterpaduan dalam berbagai jenjang dan aspek
sekaligus. TOD dilakukan dengan dengan mengarahkan pengembangan
kawasan pada simpul-simpul jalur angkutan umum masal yang memiliki
aksesibilitas tinggi, terutama untuk mengurangi penggunaan kendaraan
pribadi. Kawasan Harmoni sangat potensial sebagai TOD. Alasan
tersebut menjadi dasar Kawasan harmoni sebagai salah satu pusat
kegiatan sekunder.

ƒ Senen
Kawasan Senen termasuk dalam salah satu Panduan Rancang Kota
Kawasan Pembangunan Terpadu Senen Jakarta Pusat. Hal ini berarti
jenis dan tingkat ketentuan yang harus dipenuhi, prosedur yang harus
dipenuhi, serta posisi dari pihak-pihak yang terkait dalam pembangunan
Kawasan Senen harus berdasarkan ketentuan-ketentuan panduan
rancang kota ini. Kawasan Senen sebagai kawasan ramai dengan
aksesbilitas tinggi karena lokasinya yang sangat strategis menjadi dasar
kawasan ini menjadi salah satu lokasi TOD, baik terminal bus, stasiun
kereta api, dan halte busway. Selain berfungsi sebagai TOD, kawasan
Senen juga berfungsi campuran yaitu perdagangan, perkantoran, hotel,
hunian, pusat seni dan budaya, stasiun, terminal, dan parkir. Penggunaan
lahan campuran pada Kawasan Senen tersebut dilengkapi dengan

5-24
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

fasilitas sosial dan umum. Selain itu di Kawasan Senen tersebut juga
terdapat bangunan bersejarah sebagai bangunan cagar budaya
Alasan-alasan diatas merupakan dasar bahwa Kawasan Senen sangat
potensial berkembang sebagai pusat kegiatan sekunder DKI Jakarta.

ƒ Kelapa Gading
Kelapa Gading merupakan wilayah kecamatan di Indonesia yang terletak
di Kota Jakarta Utara. Kecamatan ini merupakan daerah yang
dikembangkan oleh perusahaan properti Summarecon Agung sejak tahun
1976. Tahun 1970-an, Kecamatan Kelapa Gading masih dikenal sebagai
daerah rawa dan persawahan, kini Kelapa Gading telah berubah menjadi
kawasan yang tertata baik dan berkembang pesat. Bahkan, Pemerintah
Jakarta Utara hendak menjadikan Kelapa Gading seperti Singapura
karena lengkapnya kebutuhan di sana, baik dari makanan, tempat tinggal,
pakaian, otomotif, film, pendidikan, dan lain-lain.
Kelapa Gading merupakan salah satu daerah pusat bisnis di Jakarta
Utara selain Mangga Dua dan Pluit. Banyak perusahaan perbankan baik
lokal maupun asing membuka cabang di Kelapa Gading. Bisnis properti di
daerah ini cukup baik dan menarik puluhan agen properti yang bertaraf
lokal sampai internasional.
Kegiatan komersial di daerah ini didukung dengan adanya pasar
tradisional, mini market, pasar swalayan (supermarket), dan hypermarket.
Jumlah bangunan ruko yang berada di kawasan ini mencapai sekitar
3500. Tersedia juga bangunan rukan dan mal yang besar dan nyaman.
Bahkan, untuk kegiatan ekonomi, banyak juga daerah permukiman yang
beralih fungsi menjadi tempat usaha. Pusat perbelanjaan (mal) yang
terdapat di Kelapa Gading contohnya adalah Kelapa Gading Trade
Center, Mall Kelapa Gading, Kelapa Gading Sports Mall, Mall Artha
Gading dan Mall of Indonesia (MOI).
Ruko dan rukan di Kelapa Gading tersebar di sepanjang jalan utama di
Kelapa Gading yaitu Bulevar Kelapa Gading, Bulevar Barat Kelapa
Gading, Bulevar Timur Kelapa Gading, Bulevar Utara Kelapa Gading,
Jalan Raya Hybrida, Bulevar Artha Gading, Gading Kirana Bulevar Bukit
Gading Raya, Gading Bukit Indah, Artha Gading Niaga, dan Plaza Pasifik.
Terdapat juga Bursa Mobil 1, 2, 3, Bursa Mobil AXC dan Mall khusus
Otomotif di Graha Auto Center.
Berdasarkan potensi-potensi di atas Kawasan Kelapa Gading telah
berkembang sebagai pusat kegiatan sekunder di Jakarta Utara.

ƒ Blok M
Berdasarkan Lampiran Keputusan Gubernur Nomor 1474 Tahun 2006,
ditetapkan Panduan Rancang Kota untuk Kawasan Pembangunan
Terpadu Blok M. Panduan ini digunakan sebagai pedoman bagi para
pelaku pembangunan, baik masyarakat, kalangan profesional, serta
institusi pemerintah yang terkait langsung dalam merancang dan
memproses perijinan dalam kaitannya dengan pengendalian dan
pelasanaan pembangunan fisik lapangan, agar hasil akhir perancangan

5-25
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

bagian kota dapat terwujud dengan baik. Pembangunan di kawasan


sebagaimana dimaksud merupakan upaya mengembalikan peran dan
fungsi Blok M sebagai pusat kegiatan Kota Administrasi Jakarta Selatan
terpadu dengan terminal angkutan umum masal (Busway beserta
Feedernya dan MRT), dengan pengembangan dan desain pada kawasan
ini berorientasi pada sistem transportasi atau TOD (Transit Oriented
Development), serta peningkatan kualitas, baik sarana pejalan kaki,
pedagang dan ruang terbuka publik serta parkir. Transit Oriented
Development adalah Kebijakan dan strategi penanganan masalah
kemacetan lalulintas di perkotaan dalam bentuk makro dengan
mengedepankan keterpaduan dalam berbagai jenjang dan aspek
sekaligus. TOD dilakukan dengan dengan mengarahkan pengembangan
kawasan pada simpul-simpul jalur angkutan umum masal yang memiliki
aksesibilitas tinggi, terutama untuk mengurangi penggunaan kendaraan
pribadi.

ƒ Kawasan Grogol
Kawasan Grogol merupakan salah satu kawasan di DKI Jakarta yang
memiliki beberapa pusat kegiatan perdagangan dan jasa skala nasional
hingga kota. Pusat kegiatan dengan skala pelayanan nasional karena
memiliki nilai strategis di DKI Jakarta. Lokasinya berada di persimpangan
Grogol dengan kegiatan pelayanan kesehatan (RS.Jiwa Grogol dan
RS.Royal Taruma), sarana pendidikan (Univ.Trisakti dan Univ.
Tarumanegara), perdagangan (Mal Ciputra) dan sarana transportasi
(Terminal Bus Grogol).
Pusat ruang kota di Kawasan Grogol yang melayani kegiatan dengan
skala pelayanan kegiatan dengan tingkat provinsi, memiliki nilai kawasan
yang strategis bagi kegiatan perkotaan dalam skala provinsi. Lokasinya
berada di Jl. Kyai Tapa dengan kegiatan pelayanan kesehatan (RS.
Sumber Waras) dan pelayanan perdagangan dan jasa (Roxy Square).
Merupakan pusat ruang kota yang melayani kegiatan dengan skala
pelayanan kegiatan dengan tingkat kota, memiliki nilai kawasan yang
strategis bagi kegiatan perkotaan dalam skala kota. Lokasinya berada di
Jl. Tanjung Duren Utara dengan kegiatan pelayanan pendidikan (YP.BPK
Penabur), perdagangan (Banian Boulevard Hotel) dan pelayanan
terhadap bencana kebakaran (Dinas Pemadam Kebakaran Jakarta
Barat).
Dengan banyaknya kegiatan-kegiatan penting yang berpotensi
membentuk struktur ruang di Jakarta Barat maka dapat disimpulkan
Kawasan Grogol tersebut akan berkembang menjadi pusat-pusat
kegiatan dengan skala pelayanan nasional, provinsi, hingga kota.

ƒ Pusat Kegiatan Pulau Pramuka


Pulau Pramuka merupakan pusat Kabupaten Kepulauan Seribu. Pulau
Pramuka merupakan salah satu pulau yang berada pada gugusan
Kepulauan Seribu. Pulau ini merupakan pusat administrasi dan
pemerintahan Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu. Pulau Pramuka
termasuk ke dalam Kelurahan Pulau Panggang. Pulau Pramuka memiliki
luas 62.2 Ha, dengan jumlah penduduk 4393 jiwa ini bukan saja dipadati

5-26
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

oleh para warga Pulau Panggang, tetapi sejak tahun 2003 di tetapkan
sebagai Pusat Pemerintahan Kabupaten Administasi Kepulauan Seribu,
sekaligus sebagai pulau wisata berpenduduk yang ramai di kunjungi oleh
turis lokal dan mancanegara. Di pulau ini terdapat sarana pelestarian
penyu sisik yang saat ini jumlahnya sudah sedikit sehingga dilindungi.
Masyarakat yang mendiami Pulau Pramuka sebagian besar berasal dari
Bugis, Tangerang dan Jakarta. Tata tempat tinggal dan sanitasi Pulau
Pramuka cukup baik, sedangkan dalam bidang pendidikan sudah
terdapat sekolah dari SD hingga SMA. Sarana pra sarana cukup
memadai mulai dari masjid, rumah sakit, sekolah, dermaga, TPI (Tempat
Pelelangan Ikan), villa dan penginapan bagi pengunjung wisata.

5.1.12. Rencana Sistem Prasarana


5.1.12.1 Prasarana Transportasi
Transportasi merupakan urat nadi kehidupan berbangsa dan bernegara,
yang mempunyai fungsi sebagai penggerak, pendorong dan penunjang
pembangunan serta sistem yang terdiri dari sarana dan prasarana, yang
didukung oleh tata laksana dan sumber daya manusia membentuk jaringan
prasarana dan jaringan pelayanan. Pemerintah Pusat, Pemerintah Propinsi
maupun Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban untuk menyusun
rencana dan merumuskan kebijakan serta mengendalikan dan mengawasi
perwujudan transportasi.
Sebagai ibukota negara Republik Indonesia, DKI Jakarta berperan sebagai
pusat berbagai kegiatan dengan skala nasional maupun internasional dan
seiring dengan berjalannya waktu, perkembangan DKI Jakarta semakin
pesat baik secara fungsional maupun fisik. Dampak dari dinamika kota
yang sangat pesat adalah meningkatnya jumlah penduduk dan kegiatan
perkotaan yang akan membangkitkan pergerakan dari satu tempat ke
tempat lain yang besar pula.
Pemerintah Propinsi DKI Jakarta pada tahun 2003 telah menyiapkan suatu
Rencana Induk Sistem Transportasi di DKI atau yang lebih dikenal dengan
nama Pola Transportasi Makro(PTM) DKI Jakarta dan kemudian pada
tahun 2007 dilakukan review dan revisi terhadap PTM-DKI tersebut.
Konsep dari Pola Transportasi ini bersifat jaringan transportasi multi moda
dan dominan pada sistem angkutan umum bis dengan prioritas. Sebagai
dasar dari pengembangan jaringan transportasi multi moda ini tentunya
adalah rencana pengembangan tata ruang di DKI sehingga jaringan yang
dibentuk merupakan integrasi dari koridor-koridor yang melayani wilayah
DKI Jakarta yang bertumpu pada pusat-pusat pengembangan di wilayah
DKI. Dalam konteks integrasi antara sistem guna lahan dengan sistem
transportasi, maka perpotongan antara koridor transportasi ini selain
mempertimbangkan pola perjalanan pengguna juga semaksimal mungkin
diselaraskan dengan lokasi pusat-pusat pengembangan. Secara implisit,
dari konsep sistem ini tercermin suatu proses mekanisme perencanaan dan
implementasi yang bersifat lintas sektoral sehingga memerlukan kebijakan
yang bersifat lintas sektoral pula.
Pada perioda tahun 2000–2003, Pemerintah Pusat melalui Bappenas
dengan bantuan dana dari JICA juga telah menyiapkan rencana induk
sistem transportasi untuk wilayah Jabodetabek (SITRAMP). Konsep yang

5-27
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

diajukan dalam kajian ini secara substansi tidak jauh berbeda dengan yang
ada dalam PTM-DKI, dimana perbedaan hanya terletak pada lingkup
wilayah kajian dan rincian terhadap prioritas program-program aksi, dan
program-program didalam PTM DKI lebih fokus dan rinci kepada kebutuhan
wilayah DKI.
Seiring dengan dinamika pembangunan, perubahan dari peraturan
perundangan yang terkait dan perkembangan-perkembangan terakhir,
konsep Pola Transportasi ini baik yang diusulkan dalam PTM DKI maupun
SITRAMP perlu ditindak lanjuti, disesuaikan dan disempurnakan dalam
konteks implikasinya kepada pengembangan guna lahan serta aktifitas
pelaku perjalanan itu sendiri
Pada bagian berikut akan dibahas permasalahan transportasi di DKI yang
diteruskan dengan bahasan mengenai potensi permasalahan dan basis
kebijakan dimasa datang. Selanjutnya akan dibahas mengenai konsep arah
kebijakan transportasi di DKI dan ditutup dengan kesimpulan dan
rekomendasi.

A. Permasalahan Transportasi DKI Jakarta


Mengacu kepada hasil kajian terhadap studi-studi terdahulu, data primer
dan sekunder serta dari hasil analisis kinerja kondisi eksisting,
permasalahan transportasi di DKI Jakarta dirangkumkan pada bagian
berikut:
A.1. Sistem Angkutan Umum Bus
1- Operasional
Dua hal pokok dalam aspek operasional yang mencerminkan kondisi
pelayanan adalah jumlah armada dan trayek. Adapun kendala dan
permasalahan yang terjadi pada aspek operasional antara lain :
Kesulitan investasi; Jenis moda yang didominasi oleh bus kecil; In-
efisiensi trayek; Trayek-trayek saling tumpang tindih.
Gambar 5.3 Komposisi Moda Angkutan Bus DKI Jakarta

100%

80%
Prosentase Bus

60% Bus Besar


Bus Sedang
40% Bus Kecil

20%

0%
7

1
-0

-0

-1

-1

-1

-1

-1

-2
06

08

10

12

14

16

18

20

Jam

5-28
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

Gambar 5.4 Struktur jaringan trayek angkutan bus DKI Jakarta

Χ
Χ
Muara
MuaraΧAngke
Angke
Χ
Χ
Χ Priok
Tanjung
Tanjung Priok

ΧΧ
Kota
Kota
Χ

Χ
Χ
Kalideres
Kalideres
Χ

RawaΧ
RawaΧ Χ
Χ
Grogol
Grogol
Χ
ΧBuaya
Buaya
Χ
Χ
Senen
Senen
Χ
Pulo Χ
Pulo Χ
Gadung
Gadung
ΧΧ Χ
Tanah
TanahΧAbang
Abang

RawaΧ
Rawa Χ
Χ
Mangun
Mangun
Χ
Χ
Pulogebang
Pulogebang
Χ
Χ
Χ
Manggarai
Manggarai
Χ

Χ
Χ
Kampung
Kampung Χ
Χ
Klender
Klender
Χ
Melayu
Χ Melayu
Χ
Χ
Ciledug
Ciledug
Χ

Χ
Χ
Blok
Blok
Χ MM

PasarΧ
PasarΧMinggu
ΧMinggu
Χ
Χ
Χ
Χ
Χ
Lebak
Lebak
ΧBulus
Bulus ΧΧ
Pinang
Χ Ranti
Pinang Ranti

Kp. Χ
Χ
Kp. Rambutan
Rambutan
Χ

LEGENDA
Bis Kecil/Angkot
Region
Bis Besar Reguler
Bis Besar Patas
Bis Besar PatasAC

Gambar 5.5 Kondisi Demand-Supply Angkutan Umum Bus DKI Jakarta

12,000,000

10,000,000

8,000,000

Demand
6,000,000
Supply

4,000,000

2,000,000

0
1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2002 2007 2010

5-29
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

2- Kelembagaan dan Pengaturan


Berbagai permasalahan operasional dan teknis pada sektor angkutan
umum bus berawal dari lemahnya aspek kelembagaan dan
pengaturan baik dari produknya maupun dari proses penerapannya
seperti antara lain: Pemahaman belum bersifat operasional; Orientasi
pada pendapatan asli daerah; Lemahnya koordinasi antar instansi
terkait; Petunjuk teknis yang belum bersifat operasional dan aplikatif;
Peran swasta belum efektif; Mekanisme penentuan trayek dan jenis
moda belum optimal.
3- Perencanaan
Seringkali proses perencanaan tidak dilakukan secara optimal dan
seringkali produk dari perencanaan ini tidak diikuti secara konsisten
dalam proses implementasinya. Beberapa permasalahan yang lazim
muncul dalam aspek ini antara lain; Kurangnya keterpaduan
perencanaan; Kurangnya sinkronisasi dan harmonisasi antara
pembangunan (implementasi) dan perencanaan; Kurangnya
keterpaduan dalam perencanaan dan pembangunan antar sektor
4- Standar Pelayanan
Pada dasarnya standar dan mutu pelayanan telah diatur dalam
perangkat peraturan, namun ketentuan standar ini seringkali
diabaikan dalam penyelenggaraan sistem angkutan umum. Adapun
kendala dan permasalahan yang terjadi di antaranya : Belum
tersusunnya standar dasar secara rinci baik untuk angkutan maupun
pelayanannya; Kurang optimalnya sistem pengujian kendaraan.
5- Sistem Kepemilikan
Sistem kepemilikan didominasi oleh kepemilikan pribadi dan koperasi,
dimana terdapat lebih dari satu individu yang mengelola ijin trayek
angkutan. Namun secara faktual sistem koperasi ini tidak berfungsi
sebagaimana mestinya sehingga nuansa kepemilikan pribadi tetap
lebih menonjol dalam sistem ini.
6- Pendanaan/Susidi
Pada dasarnya, saat ini pun pemerintah juga menerapkan sistem
pendanaan seperti ini, hanya saja selama ini sistem subsisdi yang
diterapkan dimana dana subsidi selalu diambil dari sektor lain,
sehingga proporsi pendanaan tiap tahun tidak dapat mengimbangi
jumlah permintaan perjalanan dengan angkutan umum dan ditambah
lagi dengan kurang tepatnya bentuk dan sasaran dari subsidi yang
diberikan.
7- Kinerja Angkutan Umum
Dari data lapangan dan hasil analisis beban pada jaringan angkutan
umum masih belum dapat terakomodasi secara optimal karena rasio
angkut penumpang pada jam sibuk terutama untuk jenis Bus Sedang
dan Besar hampir disemua trayek melebihi angka 120%.

5-30
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

Gambar 5.6 Faktor muat angkutan bus DKI Jakarta

130%

120%

110%

100%
Load Factor

90%

80%

70%

60%

50%

40%
7

2
-0

-0

-0

-1

-1

-1

-1

-1

-1

-1

-1

-1

-1

-2

-2

-2
06

07

08

09

10

11

12

13

14

15

16

17

18

19

20

21
Jam

Dengan dioperasikannya jalur khusus bus pada 8 koridor di DKI Jakarta,


belum mampu merubah kondisi diatas secara signifikan karena rasio
angkut penumpang pada segmen-segmen tertentu di koridor busway
melebihi 100%, yang berarti headway atau kapasitas angkut harus
ditingkatkan atau menyediakan jalur lain sebagai alternatif untuk
mendistribusikan beban.
Beberapa kendala teknis dan non teknis yang dihadapi dalam
pengoperasian tujuh koridor busway adalah:Belum maksimalnya jumlah
bus yang beroperasi; Perawatan fasilitas pendukung seperti halte dan JPO
yang kurang memadai; Sulitnya untuk mencapai koridor busway.

A.2. Sistem Angkutan Kereta Api


Secara umum, permasalahan yang dihadapi angkutan kereta api
Jabodetabek tidak jauh berbeda dengan angkutan umum bus, yang dapat
dirangkum sebagai berikut: Penggunaan yang belum optimal; Jumlah
trayek dan frekuensi belum optimal dan efisien; Kualitas layanan,
keamanan dan keselamatan relatif rendah; Fasilitas pendukung angkutan
rel kurang baik; Kapasitas jauh lebih rendah dari potensi permintaan;
Tingkat kenyamanan dan keselamatan yang masih rendah; Kondisi fisik
kereta yang kian menurun.
Berdasarkan dari hasil survey tingkat faktor muat pada jam sibuk untuk
semua jalur pelayanan melebihi angka 200% dan dari hasil pengamatan
lapangan saat ini kondisi tersebut masih belum banyak berubah terutama
pada pelayanan ekonomi, sedangkan untuk pelayanan non-ekonomi faktor
tingkat muatnya relatif lebih baik bila mengacu kepada definisi “crush
capacity”.

5-31
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

A.3. Sistem Angkutan Pribadi


1- Jaringan Jalan
Sistem jaringan jalan yang ada belum sepenuhnya saling terkait dan
berkesinambungan, dimana masih banyak terdapat beberapa lokasi
missing link pada sistem jaringan jalan utama dan pendukung.
Hasil survey lapangan dan simulasi menunjukkan bahwa koridor jalan
lingkar dalam memiliki kinerja dibawah standar ideal yang disyaratkan.

Gambar 5.7 Kinerja jaringan jalan tahun 2007

Beberapa hal lain yang cukup berpengaruh pada sistem jalan adalah
kurang disiplinnya masyarakat dalam memanfaatkan fasilitas jalan. Fungsi
trotoar dan jembatan penyeberangan sebagai fasilitas bagi pejalan kaki
banyak disalah gunakan oleh oknum masyarakat untuk berniaga.
Kurang memadainya fasilitas bagi pedestrian juga memberikan kontribusi
yang signifikan terhadap konflik pergerakkan lalu lintas kendaraan dan
orang pada beberapa lokasi khususnya dipusat kota.

2- Kinerja Operasional (V/C Ratio, Kecepatan dan Kepadatan)


Kinerja jaringan/ruas berdasarkan v/c ratio, kecepatan perjalanan serta
kepadatan rata-rata masih menunjukkan kondisi yang jauh dari memadai
dan perlu penanganan yang serius, meskipun terdapat beberapa ruas jalan
yang saat ini masih menunjukkan kinerja yang baik. Selama jam-jam sibuk
kecepatan lalu lintas di jalan berkisar antara 10-20 km/jam dan menurun
hingga kurang dari 10 km/jam dan besarnya tundaan selama 10-15 menit

5-32
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

pada persimpangan kritis. Indikasi koridor-koridor bermasalah terletak pada


ruas jalan utama, terutama di koridor-koridor yang terletak pada kawasan
pusat bisnis.
Secara umum hampir seluruh koridor utama di DKI Jakarta sudah sangat
bermasalah yang diindikasikan melalui nilai VCR>0.85 dan kecepatan
perjalanan <15 km/jam.

Gambar 5.8 Koridor-koridor utama yang bermasalah

3- Akses Bandara Sukarno-Hatta


Salah satu permasalahan besar yang dialami oleh Bandara Sukarno-Hatta
yang berfungsi sebagai Sentra Primer adalah terbatasnya akses yang
representatif menuju dan dari Bandara ini. Sampai saat ini akses dari dan
ke DKI Jakarta yang representatif yang tersedia hanyalah jalan bebas
hambatan (tol) Sedyatmo dan tidak tersedia akses alternatif lainnya seperti
angkutan umum berbasiskan rel. Fungsinya sebagai akses Bandara
menjadi kurang optimal, karena jenis perjalanan yang menggunakan akses
ini menjadi seimbang diantara pergerakan menuju dan dari Bandara
dengan pergerakkan yang menuju dan dari kawasan-kawasan yang ada.
Sehingga kapasitas akses ini tidak mampu lagi mengakomodasikan
pergerakkan yang ada terutama pada jam-jam sibuk dan pada lokasi-lokasi
akses keluar masuk dari akses ke kawasan-kawasan yang ada. Disamping
itu, karena kawasan disamping akses ini merupakan kawasan rawa yang

5-33
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

kondisi tanahnya yang relatif buruk, permukaan jalan akses cenderung


terus menurun sehingga potensi terhadap terjadinya banjir karena muka
jalan yang lebih rendah dari muka air disekelilingnya menjadi ancaman
serius terhadap kelancaran lalu lintas.

4- Akses Pelabuhan Tanjung Priok


Analog dengan permasalahan Bandara, Pelabuhan laut yang
direpresentasikan oleh pelabuhan Tanjung Priok sebagai Sentra Primer,
permasalahan yang utama dalam konteks kesisteman, adalah
permasalahan akses menuju dan dari kawasan Pelabuhan ini. Karena
pelabuhan ini berfungsi sebagai pelabuhan angkutan barang yang melayani
pergerakan domestik dan internasional, maka persentasi angkutan barang
yang umumnya berdimensi besar cukup dominan, namun dilain sisi kondisi
akses yang tersedia sangat tidak memadai, sehingga menghambat proses
aliran barang yang pada akhirnya menimbulkan biaya ekonomi tinggi.

5- Sistem Tata Ruang


Dari kecenderungan perkembangan tata ruang DKI khususnya (dan
Jabodetabek umumnya), lokasi kawasan “work force” nampaknya tidak
banyak berubah dimana kecenderungan penambahan intensitas tetap
berada pada kawasan pusat DKI. Maka yang terjadi untuk masa 20 tahun
kedepan adalah pola pergerakkan/perjalanan tidak akan berubah
(commuting trip) dan yang berubah hanya pada tingkat pertumbuhan saja,
sehingga tentunya akan berdampak kepada kapasitas tampung dari
infrastruktur transportasi.
Berdasarkan kajian terhadap studi-studi sebelumnya dan dari analisis
terhadap pola perkembangan aktifitas guna lahan di DKI serta
pengembangan infrastruktur transportasi di DKI, terjadi situasi
ketidakselarasan arah pengembangan yang dipicu oleh kebijakan
pengembangan ruang yang inkonsisten dengan rencana tata ruang yang
telah ditetapkan. Situasi ini tercerminkan pada pola pergerakkan
masyarakat yang menjadi tidak terarah yang bermuara kepada inefisiensi
pemanfaatan prasarana transportasi yang ada. Situasi ini diperberat
dengan kondisi laju pertumbuhan guna lahan yang merupakan refleksi dari
pertumbuhan ekonomi jauh melampaui laju pertumbuhan prasarana
transportasi. Kecenderungan yang terjadi saat ini peran serta sektor swasta
dalam pengembangan guna lahan sangat dominan dimana tumbuh pusat-
pusat kegiatan yang baru dan seringkali pertumbuhan ini tidak
mempertimbangkan kemampuan daya dukung jaringan transportasi yang
ada.

5-34
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

Gambar 5.9 Situasi lokasi work force di DKI Jakarta

Melihat kecenderungan pembangunan yang berlangsung nampaknya


intensitas pembangunan tersebar diberbagai lokasi dan tidak terkonsentrasi
pada kawasan-kawasan tertentu, sehingga terbentuk fenomena “urban
sprawl”. Situasi ini membentuk pola perjalanan yang tidak beraturan dan
cenderung membangkitkan pola perjalanan pendek, sehingga kurang
menguntungkan dari aspek penyediaan pelayanan angkutan massal. Hal ini
dimungkinkan terjadi karena paradigma berpikir yang ada adalah bahwa
penyediaan infrastruktur transportasi merupakan kewajiban pemerintah dan
dilain sisi pemerintah memang cenderung mendorong sektor swasta ini
untuk berperan secara maksimal tanpa menyadari kemampuannya untuk
menyiapkan dan menyediakan prasarana transportasi yang memadai baik
dari segi waktu dan biaya. Kondisi ini juga diperburuk dengan timbulnya
inkonsistensi kebijakan implementasi dengan kebijakan perencanaan,
sehingga situasi ini tercerminkan pada permasalahan transportasi
khususnya kemacetan lalu lintas. Bilamana paradigma berpikir dan
tindakan seperti ini tidak dirubah, maka permasalahan transportasi/lalu
lintas tetap akan menghantui DKI Jakarta terlepas apapun upaya yang
dilakukan pada sektor transportasi.

B. Potensi Permasalahan & Basis Penerapan Kebijakan di Masa


Datang
Sejauh permasalahan yang dialami saat ini tidak diselesaikan secara
tuntas maka permasalahan ini akan terus terbawa ke masa datang dengan
tingkat dan intensitas yang lebih besar lagi. Hal ini dapat di ilustrasikan
melalui hasil analisis besarnya permintaan dimana sejalan dengan

5-35
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

pertumbuhan ekonomi, penduduk dan lainnya, maka besarnya permintaan


baik untuk angkutan umum maupun angkutan pribadi akan bertambah
hampir dua kali lipat untuk perioda dua puluh tahun kedepan. Tentunya
situasi ini akan membutuhkan penambahan kapasitas yang relatif cukup
signifikan terutama untuk sistem angkutan umum. Sedangkan untuk sistem
jaringan jalan secara tradisional juga menyiratkan kebutuhan penambahan
jaringan jalan yang cukup ekstensif, namun dengan mempertimbangkan
kendala keterbatasan ruang dan dana maka pendekatan secara tradsional
ini perlu dipertimbangkan secara seksama mengingat akan potensi dampak
yang ditimbulkan. Mengacu kepada kemampuan Pemerintah untuk
menambah jaringan jalan yang sangat terbatas, dimana tingkat
pembangunan jalan jauh dibawah tingkat pertumbuhan kendaraan, maka
strategi pengembangan jaringan jalan sulit untuk dapat meningkatkan
kinerja pelayanan transportasi secara makro.
Dengan situasi ini, maka dibutuhkan suatu strategi dan kebijakan yang
tepat dan sesuai untuk dapat mengakomodasi besarnya permintaan
dengan tetap mempertahankan kinerja yang optimum.
Mengacu kepada hasil analisis demand forecasting untuk pengguna
angkutan umum dimasa datang (2030), diperoleh besaran demand
potensial 18 juta penumpang perhari ( atau 1.8 juta trip/jam puncak) yang
harus diangkut untuk pergerakkan diwilayah DKI Jakarta yang juga
mempertimbangkan beban dari wilayah Bodetabek. Melihat besaran
potensi demand ini, maka penyediaan sistem angkutan umum massal
menjadi tidak terhindarkan untuk wilayah DKI (dan bodetabek). Mengacu
kepada kota-kota besar di negara lain, secara teknologi, sistem yang lazim
digunakan adalah angkutan umum berbasiskan rel.

5-36
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

Gambar 5.10 Rencana Jaringan Angkutan Umum (skenario ideal)

Cluster
Cluster
Cluster
Cluster
Cluster
Mangga
Mangga
Mangga Dua
Mangga
Mangga
Mangga Dua
Dua
Dua
Dua

Cluster
Cluster
Cluster
Cluster
Cluster
Kelapa
Kelapa Gading
Kelapa
Kelapa
Kelapa
Kelapa Gading
Gading
Gading

Cluster
Cluster
Cluster
Cluster
Cluster
Bundaran
Bundaran
Bundaran HI
Bundaran
Bundaran
Bundaran HI
HI
HI
HI

Cluster
Cluster
Cluster
Cluster
Cluster Cluster
Cluster
Cluster
Cluster
Cluster
Senayan
Senayan
Senayan
Senayan Kuningan
Kuningan
Kuningan Semanggi
Kuningan
Kuningan
Kuningan Semanggi
Semanggi
Semanggi
Semanggi
Cluster
Cluster
Cluster
Cluster
Cluster
Cluster
CBD
CBD
CBD Sudirman
Sudirman
Sudirman

Cluster
Cluster
Cluster
Cluster
Cluster
Cluster
Blok
Blok M
Blok
Blok
Blok M
MM
M

Berbasiskan konsep jaringan angkutan umum massal (radial service) yang


telah dicanangkan oleh Pemprop DKI sampai dengan tahun 2020 yang
terdiri 18 koridor BRT, 2 Koridor MRT, dan didukung oleh jaringan PT KAI
Jabodetabek maka kapasitas maksimum yang dapat disediakan adalah
sebesar 530,000 trip/jam puncak (5.3 juta trip/hari). Sehingga masih tersisa
sebesar 1.472 juta trip/jam (14,72 juta trip/hari) yang perlu diakomodasikan
oleh sistem bis reguler (ekivalen dengan 4,900 bis besar/jam).
Walaupun hasil uji simulasi terhadap rasio daya angkut melebihi 120-150%
terjadi pada segmen-segmen tertentu pada jam sibuk, namun hal ini masih
dapat diterima karena pada kondisi tersebut penumpang masih terangkut
dan akses keluar-masuk masih dapat dimungkinkan. Sama halnya dengan
fenomena yang terjadi pada KA Jabodetabek, rasio kepadatan penumpang
angkutan massal dalam rentang nilai ini masih dapat diterima terutama
pada saat jam puncak.
Mengacu kepada kondisi pelayanan dan permasalahan yang ada maka
tantangan permasalahan bagi layanan angkutan umum di masa
mendatang:

5-37
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

• Potensi demand yang semakin tinggi yang harus diantisipasi


dengan penguatan dan perbaikan dari sisi suplai baik berupa
peningkatan jumlah layanan, jenis dan kualitas layanan
• Pengembangan kawasan pemukiman yang sangat pesat pada
kawasan tertentu seperti di Serpong, Bekasi dan Tangerang harus
diakomodasi dengan peningkatan layanan
• Defisiensi secara fisik dan kualitas dari penyediaan (supply)
eksisting harus diakomodasi dengan pemeliharaan dan peremajaan
armada dan fasilitas pendukung
• Dengan adanya pengembangan sistem dan jaringan angkutan
umum lainnya, pengembangan fasilitas pendukung yang
memungkinkan kemudahan berpindah ke moda lain harus juga
menjadi bagian dari pengembangan system angkutan berbasis rel
• Dengan terbukanya peluang pihak swasta untuk turut berperan
dalam penyediaan layanan angkutan umum berbasis rel, maka
konsekuensi legal dan kewenangan organisasi yang menaunginya
merupakan tantangan yang harus dihadapi.
• Pengembangan teknologi moda yang ramah lingkungan menjadi isu
penting di tahun-tahun mendatang.

Berbeda dengan sistem angkutan umum, kapasitas sistem jalan raya


diukur dari kinerja jaringan baik dalam bentuk kecepatan atau waktu
tempuh rata-rata jaringan maupun dalam bentuk rasio volume terhadap
kapasitas. Parameter-parameter tersebut lazim digunakan sebagai
indikator kinerja dan sekaligus daya tampung jaringan terhadap potensi
demand yang ada.
Secara tradisional, upaya untuk meningkatkan kinerja dilakukan dengan
menambah kapasitas jaringan, namun untuk situasi perkotaan dimana
kendala fisik berupa ruang merupakan kendala utama, maka penambahan
kapasitas berupa pengembangan jaringan yang ekstensif agak sulit
dilakukan karena disatu sisi bila dibangun pada permukaan tanah akan
berdampak pada biaya pembebasan lahan yang mahal dan di sisi lainnya
bila dibangun secara layang dapat mengurangi estetika dari kota serta
mengurangi kualitas hidup masyarakat kota. Dari hasil analisis demand
forecast, fenomena pertumbuhan yang terjadi pada perjalanan dengan
angkutan umum terjadi pula untuk perjalanan dengan kendaraan pribadi.
Dari fenomena ini dan dari hasil analisis kinerja jaringan saat ini
terindikasikan kebutuhan penambahan kapasitas/jaringan secara ekstensif
bila kinerja jaringan yang diharapkan mencapai kondisi ideal. Untuk wilayah
DKI Jakarta, sistem atau pola jaringan arteri eksisting maupun rencana
(RTRW 2010) sangat tidak ideal dan juga secara fisik dan operasional
spesifikasi Arteri yang sesuai dengan konsep/teori tidak dapat dipenuhi
oleh hampir semua ruas-ruas yang didefinisikan sebagai ruas arteri di DKI
Jakarta. Hal ini terindikasikan dari hasil analisis terhadap pola perjalanan
dan kinerja jaringan saat ini. Sehingga hal utama yang harus dilakukan
adalah memperbaiki dan menyempurnakan konsep pola jaringan arteri dan
kemudian ditindaklanjuti dengan melakukan pengembangan/penambahan
jaringan.

5-38
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

Gambar 5.11 Pola Jaringan Jalan DKI

Hasil analisis terhadap kinerja jaringan berdasarkan rencana-rencana


jaringan yang sudah ada dan rekomendasi berbagai studi, menunjukkan
adanya peningkatan kinerja, namun bila dibandingkan dengan standar
kinerja yang ideal (secara teori/konsep) masih kurang signifikan. Hal ini
mengindikasikan bahwa, dalam konteks mencapai standar kinerja yang
ideal, upaya pengembangan jaringan berdasarkan rencana dan
rekomendasi yang ada masih kurang optimal dan ekstensif.

5-39
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

Gambar 5.12 Indikator Kinerja dengan Jaringan Rencana Tahun 2010

50
45
40
35
kec. (km/jam)

30
25
20
15
10
5
0
2010 2015 2020 2025
(Tahun)

Tol Arteri Jaringan Tol w/ P Arteri w/ P Jaringan w/P

Gambar 5.13 Indikator Kinerja dengan Jaringan Rencana Tahun 2025

60

50

40
kec. (km/jam)

30

20

10

0
2010 2015 2020 2025
(Tahun)

Tol Arteri Jaringan Tol w/P Arteri w/P Jaringan w/P

Dilain sisi, untuk mengembangkan kapasitas jaringan secara lebih ekstensif


untuk kondisi DKI Jakarta akan sulit sulit terlaksana dalam kaitannya
dengan keterbatasan lahan dan dampak lingkungan serta kemampuan
pendanaan dari pemerintah. Hal lain yang juga perlu dipertimbangkan
adalah adanya potensi latent/hidden demand yang berpotensi untuk
menghambat pencapaian kinerja pelayanan yang ideal.
Untuk mengantisipasi situasi ini diperlukan dari suatu kebijakan pendukung
yang dapat mengurangi penggunaan kendaraan pribadi baik roda empat
maupun roda dua. Karena bila mengacu kepada data dan realita yang ada,

5-40
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

yang merupakan kemampuan pemerintah, penambahan kapasitas jalan di


DKI selama ini relatif sangat kecil dan lambat dibandingkan dengan
penambahan jumlah kendaraan.
Ada berbagai kebijakan yang dapat dilakukan seperti kebijakan pada aspek
industri otomotif, dan aspek tata ruang namun dari sektor transportasi
sendiri yang dapat dilakukan adalah dengan menerapkan kebijakan dis-
insentif penggunaan kendaraan pribadi baik yang bersifat fisik maupun
yang bersifat moneter.
Bila kebijakan dis-insentif ini diterapkan seiring dengan kebijakan
pengembangan kapasitas jaringan transportasi, hasil analisis terhadap
kinerja jaringan jalan menunjukkan perbaikan yang relatif signifikan. Bila
kinerja jaringan jalan ingin ditingkatkan lagi hingga mencapai standar
kinerja ideal, maka perlu penerapan kebijakan pendukung yang lebih
ketat/keras, sehingga jumlah perjalanan dengan kendaraan pribadi akan
berkurang secara signifikan.

Gambar 5.14 Persentasi Pengurangan Kendaraan Pribadi

tahun

2025

2020

2015

2010

0% 5% 10% 15% 20% 25%


Pengurangan penggunaan kend. pribadi (%)
Jaringan 2025 Jaringan 2010

Penerapan kebijakan dis-insentif berupa skema pricing dapat


mengilustrasikan besarnya nilai pendapatan langsung bila skema ini
diterapkan di DKI Jakarta. Besarnya manfaat (pendapatan) ini belum
termasuk pendapatan yang bersifat tidak langsung seperti berkurangnya
kemacetan dan polusi serta meningkatnya perekonomian. Dari ilustrasi ini
tersirat suatu potensi yang menjanjikan terhadap upaya peningkatan
pelayanan sistem transportasi dimana penyelesaian permasalahan dapat
dilakukan secara lebih efektif, karena dengan kebijakan seperti ini salah
satu isu utama tentang kemacetan dapat diselesaikan dan dilain sisi upaya
perbaikan pelayanan sistem transportasi, khususnya sistem angkutan

5-41
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

umum dapat dilakukan karena tersedia dana alternatif yang cukup tanpa
harus membebani anggaran pemerintah.
Mengacu kepada pengalaman di beberapa kota negara lain, kebijakan
seperti ini biasanya berpotensi untuk memberikan dampak yang bersifat
lintas sektoral seperti pengaruh terhadap kegiatan perekonomian kota, pola
tata ruang kota dan aspek sosial masyarakat, sehingga sebagai salah satu
upaya untuk mereduksi dampak yang bersifat lintas sektoral tadi, kontribusi
pelayanan dan kapasitas sistem angkutan umum akan memainkan
peranan penting.

C. Arah Kebijakan Pengembangan Sistem Transportasi DKI Jakarta


C.1. Kebijakan Pengembangan Tata Ruang
Pengembangan tata guna lahan sesuai dengan Jabodetabekpunjur 2020,
DKI Jakarta diperkirakan akan tetap sebagai inti utama perkembangan
kota bagi wilayah Jabodetabek (sitramp phase II, 2003) , namun secara
perlahan kota-kota pendukung di wilayah Bodetabek akan muncul yang
disebut sebagai sub center.
Perubahan pola tata guna lahan akibat berkembangnya sub center tetap
membuat DKI Jakarta seperti perannya saat ini sebagai gerbang
perdagangan dan bisinis internasional, sosial komunikasi dan tetap
menyediakan berbagai jasa sebagai pusat aktivitas nasional.
Pengembangan urban center di Bodetabek sebaiknya diarahkan sebagai
kebijakan jangka panjang, dimana aspek legal/institusional telah
dipersiapkan dengan seksama untuk menurunkan arus komuter dari
Bodetabek ke Jakarta. Sehingga konsekuensi dari kebijakan seperti ini
adalah melakukan penguatan terhadap aksesibilitas antara urban center
di Bodetabek dengan meningkatkan interaksi antar center serta didukung
juga dengan penguatan aksesibilitas ke/dari Jakarta untuk mendukung
aktivitas sosial dan ekonomi di urban center di Bodetabek.
Selain pengembangan sub-center, ada beberapa kebijakan penataan
ruang lainnya yang dapat dilakukan untuk membantu meningkatkan
pelayanan sistem transportasi di DKI Jakarta antara lain:
• Penataan pengembangan ruang yang selaras dengan pola jaringan
transportasi, khususnya jaringan angkutan umum massal.
• Penerapan kebijakan insentif dan dis-insentif pada tingkat DKI
• Pemindahan beberapa aktifitas pemerintahan Pemda DKI ke kawasan
Timur dan Barat
• Pemindahan Aktifitas Pemerintahan Pusat
• Revisi kebijakan rencana tata ruang DKI

5-42
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

Gambar 5.15 Arah Pengembangan Sub-Center Wiayah Jabodetabek

C.2. Arah Kebijakan Sistem Transportasi DKI Jakarta


Konsep pengembangan arah kebijakan transportasi DKI dapat dijabarkan
sebagai berikut; pengembangan kebijakan didasarkan pada 2 (dua) hal
yaitu Pengembangan Sistem Angkutan Umum dan Pengembangan
Jaringan Jalan. Pada dua kebijakan dasar tersebut dilakukan
pertimbangan terhadap aspek legal institusionalnya yang terkait dengan
kelayakan implementasi untuk suatu kurun waktu perencanaan agar lebih
realistis. Arah kebijakan pengembangan sistem transportasi di DKI dapat
dikelompokan berdasarkan:
• Pengembangan dari aspek penyediaan.
• Pengembangan dari aspek permintaan.

5-43
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

Gambar 5.16 Arah Pengembangan Kebijakan Transportasi DKI

Skenario Tata Guna Lahan

Pengembanga Pengembang
Legal & an Sistem
n Jaringan Kelembaga
Jalan Angkutan

Pembangunan Jalan Tol Pembangunan KA/MRT


Lembaga Pengelola
Missing Link Reposisi TUPOKSI Dishub & Pembangunan Busway
PT. KA
Fly Over/Under Pass Feeder Service
Mekanisme Pengelolaan
Peningkatan Kapasitas TOD
Mekanisme Seleksi Operator
Pelebaran Lajur Terminal
Sistem Keuangan
Peningkatan Simpang Parkir
Peraturan Pendukung
Peningkatan Akses

Demand Manajemen Law Enforcement

JANGKA PANJANG (2030)


Mendorong Penggunaan Angkutan Umum dan
Membatasi Penggunaan Kendaraan Pribadi

Secara umum usulan program strategis yang digunakan sebagai basis


penyusunan kebijakan mengacu pada tujuan utama yaitu efisiensi untuk
mendukung pertumbuhan ekonomi dan kesetaraan dalam mobilitas
masyarakat dengan cara:
1. mempromosikan penggunaan angkutan umum dan
2. pengurangan tingkat kemacetan lalu-lintas.

5-44
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

Gambar 5.17 Pertumbuhan Penggunaan Angkutan Umum

Kebijakan Insentif dan disinsentif

Pertumbuhan Normal
Pertumbuhan Pengguna

θ
Angkutan Umum

2030

Gambar 5.18 Pertumbuhan Penggunaan Kendaraan Pribadi

Kendaraan Pribadi Skenario


Do Nothing

Kebijakan Insentif dan


disinsentif (Skenario Do
Pertumbuhan Kendaraan
Pribadi

2030

C.3. Arah Kebijakan Pengembangan Sistem Dan Jaringan Angkutan


Umum
1- Sistem dan Jaringan Angkutan Umum Bus
Konsep pengembangan sistem angkutan bus terdiri dari :
• Pembenahan dan penguatan sistem dan infrastruktur fisik yang
bersifat menguatkan yang sudah ada (tidak menambah jaringan
baru).
• Pengembangan sistem dan jaringan baru yang secara langsung
meningkatkan kapasitas angkut.
• Integrasi dengan sistem dan jaringan angkutan kereta api
Jabodetabek.

5-45
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

a- Reformasi total sistem dan fisik angkutan umum eksisting


Sistem dan sarana dan prasarana fisik yang harus ditata adalah
sebagai berikut; Pembenahan mekanisme ijin trayek kepada
operator, Pembenahan Sistem operator, Pembenahan jalur trayek
angkutan bus besar, sedang dan kecil, Penataan titik berhenti bus,
Pembenahan fasilitas pendukung (seperti halte dan JPO),
Penggunaan bahan bakar ramah lingkungan, Relokasi terminal
antar kota.

b- Reformasi (Penghapusan) Fungsi Terminal dalam Kota

Gambar 5.19 Reformasi (Penghapusan) Fungsi Terminal dalam Kota

5-46
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

c- Pengembangan sistem dan jaringan pengumpan (feeder


system) yang merupakan sistem penunjang sistem BRT dan
sistem Rel.

Gambar 5.20 Konsep Jalur Pengumpan Angkutan Massal

d- Pengembangan fasilitas lainnya yang memberikan


kemudahan dalam menggunakan angkutan umum bus biasa
dan sistem BRT
Sistem fasilitas pendukung yang harus dikembangkan antara lain;
Sistem park and ride atau sistem kiss and ride, Penataan dan
Pengembangan fasilitas pejalan kaki dan jalur sepeda,
Pengembangan fasilitas transfer pada stasiun/halte antar moda.

5-47
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

Gambar 5.21 Indikasi Lokasi Potensi Penyediaan Fasilitas Park and Ride

e- Pengembangan Sistem BRT (Busway) lintas wilayah


administrasi
Gambar 5.22 Rencana Pengembangan Ekstensi Koridor Busway

Legenda :
Kor. Busway 1-7
Rencana Kor. Busway 8 - 15
Ekstensi Koridor Busway

5-48
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

2- Sistem dan Jaringan Angkutan Kereta Api


Untuk mangakomodasi potensi pergerakan di tahun 2030 mendatang,
konsep pengembangan sistem angkutan kereta api ini terbagi menjadi
dua bagian, yaitu:
• Pembenahan dan penguatan sistem dan infrastruktur fisik yang
bersifat menguatkan yang sudah ada (tidak menambah jaringan
baru).
• Pengembangan sistem dan jaringan baru yang secara langsung
meningkatkan kapasitas angkut.
a- Konsep Pengembangan Sistem Pelayanan & Kapasitas
Angkutan Kereta Api
Pengembangan sistem dan kapasitas pelayanan yang bersifat
menguatkan dan menata sistem dan jaringan eksisting secara
rinci terdiri dari :
• Penguatan jaringan yang sudah ada berupa peningkatan
frekuensi dan jumlah rangkaian kereta (train) dengan tetap
memenuhi persyaratan keselamatan operasional.
• Peningkatan operasional trayek jalur melingkar (circle/loop
line) pada jaringan kereta Jabodetabek untuk mengakomodasi
potensi penumpang yang berpindah jalur.
• Perbaikan dan peningkatan secara fisik dan kualitas
pelayanan dari fasilitas pendukung seperti: Stasiun; Sistem
Signal; Persilangan,; Sistem tiket dan transaksi tiket
• Peningkatan dan pengembangan fasilitas yang memberikan
kemudahan menuju dan dari lokasi stasiun kereta api yang
terdiri dari: Penguatan dan Pengembangan fasilitas transfer
antar moda; Pengembangan dan pengadaan sistem feeder
bus-KA; Penyediaan fasilitas pejalan kaki ;Penyediaan fasilitas
park and ride untuk mobil, sepeda motor dan sepeda

5-49
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

Gambar 5.23 Rencana Trayek Jalur Melingkar

Sumber : “Blueprint Perkeretaapian Nasional”, Direktorat Jenderal


Perkeretaapian

Gambar 5.24 Indikasi Kawasan Multi Moda yang Bersinggungan dengan


Stasiun KA Jabodetabek

Legenda :
Kawasan
Multimoda
yang

5-50
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

Gambar 5.25 Indikasi Lokasi Setasiun untuk sistem Park and Ride

Legenda :
Stasiun dengan
potensi
penyediaan Park &

b- Konsep Pengembangan Jaringan (Rel) Angkutan Kereta Api


Pengembangan jaringan baru yang layak dipertimbangkan untuk
mengakomodasi potensi demand dan perkembangan guna lahan
sebagai dampak perubahan tata ruang hingga tahun 2030, yaitu:
• Pengembangan jalur (track) baik secara layang maupun
permukaan pada jaringan rel Jabodetabek. Peningkatan
pasokkan jaringan ini diharapkan mampu mengakomodasi
potensi demand pada tahun 2030 seperti; Jalur (track) ke dan
dari Bandara Soekarno-Hatta; Jalur Ganda (Doble-double
track) Manggarai-Bekasi; Jalur angkutan barang
• Pembangunan Light Rail (atau elevated Busway/Guided
Busway)
• Pengembangan koridor MRT untuk jalur Lebak Bulus-Kp.
Bandan secara skala penuh.
• Pengembangan koridor berbasis rel yang menghubungkan
kawasan Timur dan barat Jakarta.
• Pengembangan koridor berbasis rel pada koridor Sentra
Primer Timur-Kp. Melayu-Casablanca-Tomang-Sentra Primer
Barat.
• Peningkatan koridor BRT menjadi koridor berbasis rel atau
Elevated Busway

5-51
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

Gambar 5.26 Rencana Jaringan Angkutan Umum (2030)

3- Kebijakan Pendukung Promosi Penggunaan Angkutan Umum


(1). Penyediaan Fasilitas Transfer
(2). Penataan Dan Pengembangan Lahan Berbasis Pada Promosi
Angkutan Umum (Transit Oriented Development)
(3). Penggunaan Sistem Informasi Teknologi Pendukung Sistem
Angkutan Umum

5-52
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

Gambar 5.27 Rencana Pengembangan TOD di DKI Jakarta

D. Manajemen Permintaan (Demand Management)


Kompleksitas permasalahan transportasi di DKI Jakarta sudah tak dapat
lagi diatasi hanya dengan penambahan kapasitas, sehingga tidak
terelakkan lagi penyelesaian permasalahan dari sisi permintaan harus
diupayakan semaksimal mungkin tanpa menghilangkan upaya
penyelesaian masalah melalui aspek penyediaan. Salah satu strategi
penyelesaian yang mungkin dan harus dilakukan adalah dengan
menerapkan konsep pengaturan permintaan (Demand Management).
Skema pricing system merupakan skema yang paling potensial untuk
diterapkan di Jakarta, skema ini selain mampu mencapai target utama
untuk mengurangi kemacetan atau mempertahankan kinerja ruas jalan juga
untuk mendapatkan dana diluar anggaran rutin guna membiayai perbaikan
dan peningkatan pelayanan sistem transportasi.
Secara ideal kebijakan pembatasan lalu lintas melalui skema pricing akan
lebih efektif bila didukung dengan skema lainnya seperti pengaturan
perparkiran, pembagian jam kerja yang berbeda, promosi kendaraan
berpenumpang banyak (Car/Vanpooling) dan strategi lainnya.

5-53
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

Gambar 5.28 Rencana Kawasan TDM

E. Jaringan Jalan
1- Peningkatan/Pembangunan Jaringan Arteri dan Kolektor
Ketidakjelasan klasifikasi fungsional jalan di DKI Jakarta menyebabkan
terjadinya mixed traffic antara lalu-lintas jarak dekat dan jarak jauh,
sehingga perlu dikembangkan pola jaringan jalan yang lebih pasti (sesuai
dengan peraturan perundangan) dan mengatur perjalanan hingga tidak
terjadi mixed traffic. Mengacu kepada kajian-kajian terdahulu didapati pola
jaringan jalan khususnya Arteri dalam kondisi tidak ideal sehingga prinsip
kesinambungan jaringan tidak terpenuhi, sehingga skenario
pengembangan pola jaringan, untuk jaringan arteri khususnya, secara
umum terdiri dari sistem jaringan jalan lingkar yaitu lingkar dalam (inner ring
road) dan lingkar luar (outer ring road), jaringan radial yang melayani
kawasan diluar jalan lingkar dalam menuju kawasan di dalamnya dan
jaringan jalan berpola grid di wilayah pusat kota.

5-54
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

Gambar 5.29 Pola Jaringan Arteri DKI tahun 2030

Konsep pola Arteri yang ditunjukan dalam Gambar 2.9 harus sesuai
dengan prinsip fungsi pelayanannya yaitu pola jaringan jalan dengan akses
yang dibatasi. Sehingga konsekuensi logis dari prinsip ini bila
diimplemetasikan dipermukaan tanah minimum harus memiliki 8 lajur
dengan komposisi untuk masing-masing arah terdiri dari 2 lajur berfungsi
sebagai jalur akses (jalur lambat) dan 2 lajur berfungsi sebagai jalur arteri
(jalur cepat). Sebagai alternatifnya adalah dengan mengimplementasikan,
khususnya untuk jalur arteri (cepat)nya, secara tidak sebidang (layang atau
bawah tanah) seperti yang ditunjukan dalam Gambar 29.

5-55
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

Gambar 5.30 Pola Jaringan Arteri DKI (alternatif layang) tahun 2030

2- Peningkatan Kapasitas Jalan


Mengingat infrastruktur jaringan jalan masih merupakan tulang punggung
penggerak aktifitas sosial ekonomi di DKI, pada dasarnya untuk
menyelesaikan permasalahan defesiensi kapasitas infrastruktur
transportasi, penyediaan atau penambahan jaringan jalan baru tidak
terhindarkan, namun tentunya intensitas penambahan akan menyesuaikan
terhadap dampak dari kebijakan promosi penggunaan angkutan umum dan
pembatasan lalu lintas.
Hal yang paling mendasar untuk mendapatkan daerah perkotaan dengan
kualitas yang baik dari aspek jaringan jalan adalah mengembangkan sistem
pola jaringan yang baik dan memadai, dimana komposisi klasifikasi fungsi
jalan proposional. Program penambahan/perbaikan fasilitas jalan antara
lain;
(1). Perampungan Jalan Lingkar Luar Jakarta (JORR)
JORR mempunyai peranan yang penting pada jaringan jalan di
Jabodetabek yang berfungsi untuk mendistribusikan perjalanan dan
pengalihan lalu-lintas dari CBD, bahkan JORR diharapkan dapat memenuhi
angkutan barang/kontainer dari pelabuhan internasional Tanjung Priok
untuk mengurangi beban di ruas tol Bekasi Cawang dan untuk
membangkitkan lalu-lintas jalan tol serpong. Ruas JORR yang saat ini

5-56
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

belum dan harus terkoneksi adalah sebagai berikut ; Pondok Pinang – Puri
Kembangan; Puri Kembangan – Sedyatmo; Rorotan – Tanjung Priok.
Gambar 5.31 Perampungan Ruas-ruas Tol JORR yang belum beroperasi

(2). Pengembangan Jaringan Jalan Arteri Bebas Hambatan DKI


Jakarta
Untuk membantu meningkatkan kapasitas, rasio arteri terhadap sistem
jaringan, dan aksesibilitas perlu dibangun jalan arteri yang bersifat bebas
hambatan pada koridor-koridor yang terindikasi menampung beban lalu
lintas besar dan cenderung bersifat mixed traffic serta yang
menghubungkan pusat-pusat kegiatan primer maupun sekunder

5-57
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

Gambar 5.32 Rencana Jaringan Jalan Bebas Hambatan DKI

(3). Pembangunan Fly Over dan Underpass


Didalam wilayah pusat kota DKI, pengembangan jaringan secara ekstensif
terkendala oleh lahan dan dana serta beberapa kebijakan tata ruang
lainnya, sehingga skenario yang relatif lebih mudah dilakukan salah
satunya adalah menghilangkan titik-titik konflik pada persimpangan melalui
pembangunan simpang tidak sebidang berupa jembatan layang dan
terowongan, terutama pada lokasi-lokasi yang dapat mendukung jalur-jalur
angkutan massal baik berbasiskan jalan maupun rel.

3- Kebijakan Pendukung Jaringan jalan


(1). Peningkatan kapasitas jalan
Tindakan yang perlu diambil untuk meningkatkan kapasitas jalan di DKI
Jakarta adalah sebagai berikut : Mengoptimalkan kapasitas jalan
(Melarang parkir badan jalan, Melarang penggunaan badan jalan untuk
pedagang kaki lima); Pengenalan sistem arus lalu-lintas yang berlawanan
(reversible flow); Peningkatan sistem sinyal fase lalu-lintas dari satu fase
– satu arah menjadi satu fase – dua arah ; Sistem sinyal koordinasi
disimpang utama jalan arteri; Merubah sistem bundaran menjadi simpang
dengan lampu lalu-lintas; Penggunaan jaringan jalan eksisting secara
efisien; Pelebaran jalan untuk memperbaiki lebar badan jalan yang tidak
konsisten (bottle neck); Melarang angkutan umum mengambil

5-58
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

penumpang secara sembarangan di tengah jalan; Pemisahan kendaraan


berat dari lalu lintas umum

Gambar 5.33 Rencana Flyover & Underpass DKI Jakarta

Rencana Flyover & Underpass DKI Jakarta


Legend :
Flyover
Underpass

(2). Peningkatan Kontrol Lalu Lintas


Peningkatan pengendalian/kontrol lalu lintas merupakan cara yang
efektif untuk menangani masalah lalu lintas dengan mengoptimalkan
penggunaan fasilitas jalan yang ada. Kapasitas jalan di daerah
perkotaan dipersimpangan harus ditingkatkan melalui peningkatan
desain geometrik dan peningkatan sistem kontrol lalu lintas, misalnya
sistem koordinasi lampu lalu lintas, atau area traffic control system
(ATCS). Upaya lain dalam kategori ini dapat berupa pembatasan putaran
jalan (u-turn), larangan belok kanan, dan pengenalan sistem informasi
transportasi.

5-59
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

F. Kesimpulan & Rekomendasi


1- Kesimpulan
Mengacu kepada hasil pembahasan dari bagian-bagian sebelumnya, dapat
ditarik suatu benang merah bahwa permasalahan transportasi di wilayah
DKI diakibatkan oleh faktor-faktor :
• Defisiensi kapasitas infrastruktur transportasi yang meliputi seluruh
jaringan dan sarana transportasi.
• Perkembangan dan perubahan tata ruang yang tidak terkendali
• Rendahnya pelayanan angkutan umum
• Penggunaan ruang prasarana jalan yang tidak semestinya
• Kebijakan yang kontradiktif dari instansi-instasi terkait baik ditingkat
Pemerintah DKI, Bodetabek maupun Pusat
• Perangkat legal dan institusional yang kurang/belum antisipatif terhadap
pesatnya dinamika pembangunan
Hasil review terhadap berbagai studi menunjukkan adanya konsistensi dan
kesinambungan permasalahan dan usulan penanganan permasalahan
transportasi di DKI Jakarta. Namun terindikasikan bahwa hampir tidak ada
tindak lanjut yang signifikan dan nyata untuk mengimplementasikan usulan-
usulan tersebut, sehingga tantangan yang harus dijawab untuk
menyelesaikan permasalahan sistem transportasi di DKI Jakarta adalah
bagaimana cara atau mekanisme untuk mengimplementasikan berbagai
usulan-usulan tersebut.
Pengembangan skenario kebijakan sistem transportasi didasarkan pada
hasil analisis permasalahan, permintaan (demand), rekomendasi studi-
studi sebelumnya, rencana (commited) pemerintah dan uji kinerja dari
skenario.
Dari analisis terhadap besarnya permintaan dan kemampuan serta
keterbatasan yang dimiliki oleh Pemerintah menunjukkan bahwa
penyelesaian hanya dari sisi supply saja, sebagaimana yang selama ini
telah dilakukan, tidak mampu menyelesaikan persoalan, sehingga
penanganan permasalahan eksisting dan kedepan harus dilakukan dari
berbagai sisi yang bersifat multisektoral, seperti aspek penyediaan,
permintaan, institusional, legal, tata ruang dan industri secara bersamaan
dan terintegrasi. Situasi ini mengarah kepada konsep dasar dan strategi
pengembangan sistem transportasi yang memprioritaskan kepada promosi
penggunaan angkutan umum dengan dukungan kebijakan pembatasan lalu
lintas yang ditindaklanjuti dengan kebijakan untuk mempertahankan
tingkat pelayanan/kinerja jaringan transportasi khususnya jaringan jalan.
Hasil uji terhadap berbagai skenario pengembangan jaringan
mengindikasikan bahwa untuk sistem angkutan umum, secara ideal, untuk
mengakomodasikan permintaan dimasa datang (tahun 2030) dengan
komposisi moda yang ideal dibutuhkan jaringan angkutan umum massal
berbasiskan rel dengan konstruksi tidak sebidang yang ekspansif
(minimum 8 koridor tambahan diluar jaringan KA Jabodetabek). Begitu pula
halnya dengan pengembangan jaringan jalan perlu penambahan kapasitas
yang ekstensif dalam konteks penyempurnaan pola jaringan. Bila
mempertimbangkan kendala teknis, fisik, legal, institusional, dan finansial,

5-60
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

realisasi pengembangan sistem yang ideal ini relatif sulit terlaksana,


sehingga diperlukan suatu konsep yang lebih realistis yang masih tetap
mampu mengakomodasikan konsep pengembangan yang ideal. Pada
posisi ini pendekatan dari sisi demand sudah mutlak untuk dilakukan baik
berupa kebijakan pengurangan tingkat kemacetan dengan membatasi
jumlah kendaraan (pribadi) yang beroperasi maupun kebijakan tata ruang
yang dapat merealokasikan berbagai aktifitas dan pusat aktifitas dari
wilayah DKI Jakarta, ke wilayah Bodetabek, sehingga dapat merubah pola
pergerakkan yang selama ini menekan wilayah DKI Jakarta.
Dari analisis terhadap uji kinerja jaringan transportasi DKI sampai dengan
tahun 2030 nampak bahwa tingkat pelayanan yang ideal sulit untuk dicapai
bila kebijakan pengembangan sistem dan jaringan transportasi tidak
dibarengi dengan kebijakan pengaturan demand. Sehingga untuk perioda
selanjutnya (setelah tahun 2030) kebijakan ini harus ditempatkan sebagai
lokomotif atau primadona dalam pengertian untuk mempertahankan tingkat
pelayanan dari sistem transportasi yang telah diimplementasikan selama
kurun waktu 20 tahun sejak saat ini.
Lebih lanjut sebagai konsekuensi dari kebijakan sistem transportasi yang
mempertimbangkan aspek penyediaan dan permintaan secara berimbang,
diperlukan reformasi atau perubahan terhadap konsep peraturan
perundangan dan kelembagaan yang berlaku saat ini yang dapat
mengarah kepada reformasi tata kepemerintahan di wilayah Jabodetabek
khususnya.

2- Rekomendasi
Hasil pembahasan-pembahasan sebelumnya yang kemudian dirangkum
dalam proses uji kebijakan pengembangan sistem transportasi di wilayah
DKI, dapat dijadikan acuan sebagai basis strategi implementasi dari
masing-masing kebijakan yang diusulkan. Pada dasarnya, bila kendala-
kendala yang ada diabaikan, semua usulan kebijakan pengembangan
dapat dan harus diimplementasikan agar perbaikan sistem dan pelayanan
transportasi di DKI dapat dirasakan secara signifikan. Namun dengan
berbagai kendala yang ada diperlukan suatu strategi yang tepat yang
memperhitungkan rentang waktu untuk mengimplementasikannya.
Arahan strategi implementasi pengembangan sistem transportasi di DKI
Jakarta dirangkum dalam Lampiran

5.1.12.2 Prasarana Konservasi Sumber Daya Air


Wilayah Provinsi DKI Jakarta dengan luas daratan yang hanya 662,33 km2
pada tahun 2007 dihuni oleh penduduknya yang berjumlah 9.038.013 jiwa
diluar penduduk di Kabupaten Kepulauan Seribu yang berjumlah 19.980 jiwa.
Dengan demikian kepadatan penduduknya rata-rata adalah sekitar 14.500
jiwa/km2, diluar kepadatan penduduk di Kabupaten Kepulauan Seribu yang
berkisar 2.200 jiwa/km2. Ditinjau dari daya dukung lahan, maka jumlah
penduduk yang ada di Provinsi DKI Jakarta tidak sebanding dengan luas yang
ada. Dengan pendekatan metode jejak ekologi (ecological footprint) yang
menggunakan kriteria konsumsi lahan khas Indonesia sebesar 0,741
Ha/orang atau 0,00741 km2/orang, maka daya dukung lahan di provinsi ini

5-61
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

telah terlampaui. Apalagi jika ditambahkan fungsi wilayah ini sebagai pusat
pemerintahan/ibukota negara, pusat perekonomian, pusat wisata, pusat
perdagangan dan sebagainya yang pada setiap harinya khususnya pada
siang hari akan bertambah sekitar 2,5 juta orang dari wilayah sekitarnya
(Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi-Cianjur) yang beraktivitas di wilayah ini.
Tingkat kepadatan penduduk yang sangat tinggi selain berdampak pada daya
dukung lahan juga akan berdampak pada daya dukung sumberdaya air.
Dengan jumlah penduduk yang besar, maka tentunya akan diikuti dengan
tingkat kebutuhan air yang besar juga. Namun hal ini kurang didukung oleh
ketersediaan air yang cukup baik berdasarkan waktu dan ruang. Jumlah
sumber air, baik airtanah dan air permukaan yang dapat dimanfaatkan secara
aman terbatas, karena adanya kendala-kendala sebagai :
‐ Kualitas air permukaan buruk yang disebabkan adanya pencemaran.
Berdasarkan laporan BPLHD DKI Jakarta tahun 2007 kondisi air sungai
dari hulu sampai hilir kualitasnya jelek, baik secara fisik, kimia maupun
biologis. Bahkan berdasarkan indeks pencemar sungai, sungai-sungai
yang ada termasuk kategori cemar sedang sampai berat. Pencemaran air
sungai diperkirakan berasal dari industri, limbah rumah tangga dan
kebiasaan masyrakat menjadikan sungai sebagai tempat pembuangan
sampah.
‐ Kualitas dan kuantitas air situ yang semakin menurun akibat pengelolaan
situ yang belum semestinya. Situ yang ada kebanyakan menjadi tempat
pembuangan berbagai limbah baik domestik maupun industri. Luasan situ
semakin berkuarang karena adanya okupasi lahan oleh masyarakat
maupun pengembang, yang mengakibatkan kapasitas situ juga berkurang.
‐ Adanya ancaman intrusi air laut terhadap airtanah, khususnya di wilayah
Jakarta Utara dan Kepulauan Seribu.
‐ Adanya ancaman penurunan muka airtanah dan penurunan tanah (land
subsidence) yang terjadi di beberapa tempat akibat tingginya dan tidak
terkendalinya pemanfaatan airtanah dalam (akuifer tertekan) dalam
pemenuhan air bersih gedung-gedung perkantoran, hotel/apartemen, mall,
dan sebagainya.
‐ Ketergantungan terhadap wilayah lain seperti suplai air dari Provinsi Jawa
Barat (Waduk Jatiluhur dan Ciburial, Bogor), dan Provinsi Banten (Sungai
Cisadane, Tangerang).
‐ Adanya air rob yang berasal dari dari Teluk Jakarta/Laut Jawa yang sering
terjadi di wilayah Jakarta Utara.
‐ Daerah imbuhan airtanah (DIAT) yang berfungsi untuk menyuplai atau
menambah airtanah secara alamiah pada cekungan airtanah sebagian
besar terletak di luar wilayah Jakarta. Sedangkan untuk daerah resapan
airtanah dangkal di Jakarta semakin berkurang dengan semakin
meningkatnya lahan terbangun yang mengakibatkan kapasitas air yang
meresap ke dalam tanah menurun karena sebagian besar air hujan yang
ada mengalir menjadi limpasan permukaan yang masuk ke dalam sungai.

5-62
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

Sementara dari segi infrastruktur pelayanan air bersih, berdasarkan data tahun
2008, cakupan tingkat layanan air bersih perpipaan di provinsi ini baru
mencapai 44% dengan tingkat kebocoran rata-rata mencapai angka 40 – 50
%. Berdasarkan sebaran pelayanan perpipaan air bersih maka sebagian
besar masyarakat dan perkantoran di wilayah Pantura Jakarta masih minim.
Untuk yang sudah terlayani air bersih, pada sebagian daerah dan waktu
tertentu masih mengalami permasalahan terkait dengan kualitas,
kuantitas/tekanan maupun kontinuitas pasokan air. Selebihnya masyarakat
dalam memenuhi kebutuhan akan air memanfaatkan airtanah pada sistem.
Permasalahan yang berkaitan dengan penyediaan air untuk kebutuhan
manusia, baik untuk air minum, kebutuhan domestik, industri, komersial dan
sebagainya merupakan masalah yang sangat penting. Hal ini disebabkan
adanya permintaan yang terus meningkat seiring dengan pertambahan jumlah
penduduk dan segala aktivitasnya, namun disisi lain penyediaan air tetap
bahkan justru terus mengalami penurunan yang diakibatkan adanya berbagai
kerusakan sumber-sumber air dampak dari degradasi lingkungan hidup.
Kekurangan atau defisit air akan terjadi jika hal ini terjadi terus tanpa adanya
upaya-upaya untuk menyelamatkan sumber-sumber air tersebut dari
kerusakan lebih lanjut.
Daya dukung sumberdaya air adalah daya dukung sumberdaya air adalah
kemampuan sumber daya air untuk mendukung perikehidupan manusia dan
makhluk hidup lainnya. Untuk wilayah perkotaan seperti Provinsi DKI Jakarta
ini daya dukung sumberdaya air dapat ditinjau dari 3 komponen, yaitu :

G. Neraca Air
Salah satu pendekatan untuk mengetahui daya dukung sumberdaya air
adalah dengan melakukan analisis neraca air terkait dengan keseimbangan
antara ketersediaan air dan kebutuhan air. Analisis neraca air atau
keseimbangan air adalah suatu analisa yang menggambarkan pemanfaatan
sumberdaya air suatu daerah tinjauan yang didasarkan pada perbandingan
antara kebutuhan dan ketersediaan air. Faktor-faktor yang digunakan dalam
perhitungan dan analisis neraca air adalah ketersediaan air, baik airtanah, air
permukaan maupun air hujan; dan kebutuhan air dari dari daerah layanan
yang dikaji, yang meliputi kebutuhan air untuk domestik, perkotaan, industri,
pertanian dan sebagainya. Keseimbangan antara jumlah kebutuhan dan
ketersediaan air ini dicerminkan dengan Indeks Penggunaan Air (IPA).
Persamaan yang dapat digunakan untuk IPA adalah sebagai berikut :
jumlahketersediaanair
IPA =
jumlahkebutuhanair

dimana :
IPA = Indeks Penggunaan Air

Selanjutnya hasil perhitungan dibandingkan dengan kriteria yang telah


ditetapkan oleh KNLH terkait dengan daya dukung sumberdaya air. Tabel
berikut adalah penetapan status daya dukung sumberdaya air suatu wilayah
yang didasarkan pada IPA.

5-63
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

Tabel 5.1 Kriteria Status Daya Dukung Sumberdaya Air

Perbandingan
Status daya dukung Sumberdaya Air
supply/demand

>2,0 aman (sustained)

1,0 – 2,0 aman bersyarat (conditionally sustained)

< 1,0 terlampaui (overshoot)

Sumber : KLH, 2008


Dengan menggunakan persamaan dan kriteria di atas maka status daya dukung
sumberdaya air untuk Wilayah DKI Jakarta dapat diketahui.

H. Kualitas Air
• Kualitas Airtanah
Pemantauan kualitas air tanah di CAT Jakarta dan sekitarnya juga telah
dilakukan oleh Dirjen GSDM-DESDM dan Badan Geologi - DESDM. Hasilnya
menunjukkan adanya degradasi kualitas air tanah yang semakin meluas dari
tahun ke tahun terutama di daerah pantai, yang sebarannya dapat dilihat pada
gambar 3.20 berikut.

Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Provinsi DKI Jakarta


dalam pemantauan kualitas air tanah dangkal pada tahun 2007 yang meliputi
75 Kelurahan di Wilayah Provinsi DKI Jakarta dengan masing – masing
kelurahan 1 titik pantau, terdiri dari 11 titik di Jakarta Pusat, 17 titik di Jakarta
Selatan, 15 titik di Jakarta Barat, 17 titik di Jakarta Timur dan 15 titik di Jakarta
Utara. Hasil pemantauan menunjukkan bahwa pencemaran air tanah terutama
disebabkan oleh limbah domestik dan buruknya sanitasi lingkungan.

Status mutu air tanah DKI Jakarta tahun 2007 adalah 12 % tercemar berat, 20
% tercemar sedang, 45 % tercemar ringan dan 25 % kategori baik.
Sedangkan untuk pencemaran coliform mencapai 55 % air tanah DKI Jakarta
hampir merata di seluruh wilayah. Sedangkan kecenderungan kualitas air
tanah di DKI Jakarta dari tahun 2004 sampai 2007 adalah membaik dilihat dari
status mutu kategori baik yang semakin meningkat dan kategori tercemar
berat yang semakin menurun. Hal ini dapat dilihat dari tabel dan gambar
berikut ini.

5-64
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

Tabel 5.2
Tren Kualitas Air Tanah di DKI Jakarta Tahun 2004 – 2007
Status Mutu Indeks Pencemar (%)
2004 2005 2006 2007
Baik 18% 16% 7% 25%
Cemar
33% 33% 55% 43%
Ringan
Cemar
28% 35% 13% 20%
Sedang
Cemar Berat 21% 16% 25% 12%
Sumber : BPLHD Provinsi DKI Jakarta, 2007

Gambar 5.34
Status Mutu Airtanah di Wilayah Provinsi DKI Jakarta Tahun 2007

Kualitas Air Tanah DKI Jakarta

60 55

50 43
baik
Kualitas (%)

40 33 33 35
28 cemar ringan
30 25 25
21 20 cemar sedang
18 16 16
20 13 cemar berat
12
10 7

0
2004 2005 2006 2007
Tahun

Sumber : BPLHD Provinsi DKI Jakarta, 2007

5-65
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

Gambar 5.35
Sebaran Airtanah Payau / Asin di Wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya

• Air Sungai
Pencemaran air di DKI Jakarta disebabkan oleh limbah industri dan limbah
domestik yang dibuang tanpa memenuhi baku mutu yang berlaku, baik yang
berasal dari DKI Jakarta sendiri maupun dari daerah hulu Jakarta. Sedangkan
pencemaran Teluk Jakarta selain disebabkan oleh kegiatan di laut juga sangat
dipengaruhi oleh kegiatan di hulunya, yaitu daratan (pencemaran sungai).
Faktor – faktor yang mempengaruhi pengendalian pencemaran air
diantaranya adalah rendahnya peran masyarakat dan swasta, lemahnya
pengawasan dan penegakan hukum dan terbatasnya sarana prasarana baik
yang dimiliki pemerintah maupun swasta. Penghasil limbah cair yang sulit
diawasi dan dikendalikan terutama adalah perumahan dan industri kecil.

Pemantauan kualitas air sungai DKI Jakarta dilakukan di 13 sungai (66 titik
pantau) meliputi 3 peruntukan, yaitu peruntukan air baku air minum (golongan
B), peruntukan perikanan dan peternakan (golongan C), dan peruntukan
pertanian dan usaha perkotaan (golongan D). Pada umumnya kondisi air
sungai di DKI Jakarta dari hulu sampai hilir telah memburuk kualitasnya, baik
kualitas fisik, kimia maupun biologi. Hasil pemantauan tahun 2007
menunjukkan 94 % sungai tercemar berat dan 6 % tercemar sedang.
Kecenderungan dari tahun 2004 sampai 2007 menunjukkan kualitas yang
semakin buruk. Hal ini disebabkan oleh limbah cair dari industri dan domestik

5-66
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

serta sampah padat yang dibuang ke sungai. Secara lebih rinci tren ini dapat
dilihat dari tabel dan gambar berikut ini.
Tabel 5.3 Tren Kualitas Air Sungai di DKI Jakarta Tahun 2004 - 2007
Status Mutu Indeks Pencemar (%)
2004 2005 2006 2007
Baik 0 0 3 0
Cemar Ringan 3 4 9 0
Cemar Sedang 16 16 10 6
Cemar Berat 81 79 78 94
Sumber : BPLHD Provinsi DKI Jakarta, 2007

Gambar 5.36
Status Mutu Air Sungai di Wilayah Provinsi DKI Jakarta tahun 2007

Kualitas Air Sungai DKI Jakarta

100 94
90 81 79 78
80
70 baik
Kualitas (%)

60 cemar ringan
50
40 cemar sedang
30 cemar berat
16 16
20 9 10 6
10 0 3 0 4 3 0 0
0
2004 2005 2006 2007
Tahun

Sumber : BPLHD Provinsi DKI Jakarta, 2007


• Air Situ/Waduk
Jumlah situ di wilayah Provinsi DKI Jakarta sebanyak 40 buah, terdiri dari 7
situ di Jakarta Selatan, 3 situ di Jakarta Pusat, 12 situ di Jakarta Utara, 2 situ
di Jakarta Barat, dan 16 situ di Jakarta Timur. Sebanyak 28 buah merupakan
situ alami, sisanya merupakan situ buatan, yaitu Situ Taman Ria Remaja,
Waduk Kebon Melati, Waduk PIK I, Waduk PIK II, Waduk Muara Angke,
Waduk Sunter I, Waduk Sunter III, Waduk Setiabudi, Situ Elok, Waduk PDAM,
Situ TMII Archipelago Indonesia dan Situ TMII. Hingga tahun 2007 telah
terdapat 5 buah situ yang telah berubah menjadi daratan, yaitu Situ Rawa
Kendal, Rawa Rorotan, Rawa Penggilingan, Situ Rawa Segaran dan Situ
Dirgantara. Kondisi situ di DKI Jakarta secara umum tidak terawat dengan
baik, seperti banyak sampah yang menumpuk sepanjang pinggiran situ,
masuknya limbah cair dari rumah tangga, pertanian dan industri dan
kurangnya fungsi ekologis situ.

5-67
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

Status mutu air situ/waduk di DKI Jakarta pada tahun 2007 adalah 83 %
tercemar berat dan 17 % tercemar sedang. Sedangkan kecenderungan
kualitas air situ/waduk di DKI Jakarta dari tahun 2004 sampai tahun 2007
menunjukkan penurunan kualitas yang cukup signifikan. Secara lebih rinci tren
ini dapat dilihat dari tabel dan gambar berikut ini.

Tabel 5.4 Trend Kualitas Air Situ/Waduk DKI Jakarta Tahun 2004 - 2007
Status Mutu Indeks Pencemar (%)
2004 2005 2006 2007
Baik 0 7 0 0
Cemar Ringan 22 33 38 0
Cemar Sedang 20 27 38 17
Cemar Berat 58 33 25 83
Sumber : BPLHD Provinsi DKI Jakarta, 2007

Gambar 5.37
Status Mutu Air Situ dan Waduk di Wilayah Provinsi DKI Jakarta tahun 2007

Kualitas Air Waduk/Situ DKI Jakarta

90 83
80
70
58 baik
Kualitas (%)

60
50 cemar ringan
38 38
40 33 33 cemar sedang
27 25
30 22 20 cemar berat
17
20
7
10 0 0 0 0
0
2004 2005 2006 2007
Tahun

Sumber : BPLHD Provinsi DKI Jakarta, 2007

• Air Perairan dan Muara Teluk Jakarta


Kualitas perairan dan muara Teluk Jakarta tahun 2007 adalah 9% tercemar
ringan, 30% tercemar sedang dan 62 % tercemar berat. Kecenderungan
kualitas perairan dan muara Teluk Jakarta dari tahun 2004 sampai 2007
adalah semakin memburuk, ditandai dengan semakin meningkatnya

5-68
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

persentase kategori tercemar berat. Hal ini dapat dilihat dari tabel dan gambar
berikut ini.
Tabel 5.5
Tren Derajat Pencemaran Teluk Jakarta Tahun 2004 – 2007
(Indeks Keragaman)
Derajat Pencemaran Tahun
2004 2005 2006 2007
Tercemar Sangat
0% 0% 0% 0%
Ringan
Tercemar Ringan 44% 0% 18% 9%
Tercemar Sedang 56% 57% 40% 30%
Tercemar Berat 0% 43% 42% 62%

Gambar 5.38
Status Mutu Air Situ dan Waduk di Wilayah Provinsi DKI Jakarta tahun 2007

Kualitas Perairan Teluk Jakarta

70 62
56 57
60
50 44 43 baik
40 42
Kualitas (%)

40 cemar ringan
30
30 cemar sedang
18
20 cemar berat
9
10
0 0 0 0 0 0
0
2004 2005 2006 2007
Tahun

Sumber : BPLHD Provinsi DKI Jakarta, 2007

I. Indeks Konservasi
Alih fungsi lahan dari penggunaan lahan hutan, pertanian, permukiman,
dan perkotaan berturut-turut akan menurunkan imbuhan air tanah yang
dapat dinyatakan dengan Indeks Konservasi (IK). IK mempunyai kisaran
nilai 0 ≤ IK ≤ 1. Secara umum lahan hutan mempunyai IK berkisar 0,8 - 0,9;
pertanian berkisar 0,4 - 0,5; permukiman berkisar 0,3 - 0,4; dan urban
metropolitan berkisar 0 - 0,1 (Sabar, A., 1999). Nilai 0,8 berarti
menunjukkan 80% dari curah hujan yang jatuh ke permukaan tanah akan
meresap ke dalam tanah. IK ini digunakan sebagai instrumen baru untuk
pengendalian dan pemanfaatan ruang suatu wilayah yang terkait dengan
keseimbangan air.

5-69
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

Indeks Konservasi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu : (1) Indeks


Konservasi Alami (IKA), yakni suatu koefisien yang menunjukkan
kemampuan alamiah suatu wilayah untuk menyerap air hujan yang jatuh ke
permukaan tanah dan menjadi imbuhan air tanah yang dihitung
berdasarkan variabel curah hujan, batuan, kemiringan lereng, dan tanah,
dan (2) Indeks Konservasi Aktual (IKC), yakni suatu koefisien yang
menunjukkan kemampuan yang ada/aktual pada suatu wilayah untuk
menyerap air hujan yang jatuh ke permukaan tanah dan menjadi imbuhan
air tanah yang dihitung berdasarkan variabel curah hujan, batuan,
kemiringan lereng, tanah dan penggunaan lahan.
Untuk memperkuat peran tersebut maka pemerintah mengeluarkan
peraturan yang dituangkan dalam Peraturan Presiden RI No. 54 Tahun
2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok,
Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur dalam pasal 49 tentang Arahan
Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan menyebutkan bahwa :
(1) Rencana tata ruang wilayah provinsi/kabupaten/kota yang berada di
Kawasan Jabodetabekpunjur harus disesuaikan dengan Rencana
Tata Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur.
(2) Rencana tata ruang wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dijabarkan lebih lanjut dalam rencana rinci yang ditetapkan dengan
Peraturan Daerah untuk mengimplementasikan Rencana Tata Ruang
Kawasan Jabodetabekpunjur yang dilengkapi dengan peraturan
zonasi.
(3) Penyusunan rencana rinci dan peraturan zonasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) didasarkan pada indeks konservasi alami dan
indeks konservasi aktual.
(4) Indeks konservasi alami dan indeks konservasi aktual digunakan
untuk menentukan alokasi pemanfaatan ruang yang meliputi
permukiman, ruang terbuka hijau, perkantoran, dan kegiatan
pertanian; amplop ruang yang meliputi koefisien dasar ruang hijau,
KDB, KLB, dan garis sempadan bangunan; dan rekayasa teknologi
yang diperlukan.

Dengan demikian penyusunan Indeks Konservasi ini adalah penting.


Berdasarkan batasan yang ada di perpres tersebut maka penjelasan
Indeks konservasi alami adalah parameter yang menunjukkan kondisi
hidrologis ideal untuk konservasi yang dihitung berdasarkan variabel curah
hujan, jenis batuan, kemiringan, ketinggian, dan guna lahan. Sedangkan
Indeks konservasi aktual adalah parameter yang menunjukkankondisi
hidrologis yang ada untuk konservasi yang dihitung berdasarkan variabel
curah hujan, jenis batuan, kemiringan,ketinggian, dan guna lahan.
Dalam rangka untuk untuk meningkatkan penyediaan dan pelayanan air
bersih kepada masyarakat di Wilayah Provinsi DKI Jakarta pada tahun 1997-
1998 menjalin perjanjian kerjasama dengan PT PAM Lyonnaise Jaya
(PALYJA) untuk wilayah barat DKI Jakarta dan PT Aetra Air Jakarta (AETRA )
untuk wilayah timur DKI Jakarta. Batas wilayah kedua operator tersebut
adalah Sungai Ciliwung dan perjanjian kerjasama tersebut dalam jangka
waktu 25 tahun.

5-70
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

Dalam upaya pemenuhan air bersih untuk wilayah Jakarta yang berasal dari
air permukaan, maka kedua operator tersebut mengelola dan
mengembangkan beberapa Instalasi Pengolahan Air (IPA) untuk mengolah air
bersih yang berasal dari :
• Saluran terbuka dari Waduk Jatiluhur yang dikelola oleh Perum Jasa Tirta
II (PJT II), yang dialirkan ke Jakarta melalui saluran terbuka Kanal Tarum
Barat (Kali Malang),
• Sungai Ciliwung (Banjir Kanal Barat),
• Sungai Krukut,
• Sungai Pasanggrahan.

Selain itu untuk menambah layanan kapasitas air bersih maka dilakukan
pembelian air bersih dari Kabupaten Tangerang dan Kabupaten Bogor.
Gambar berikut menunjukkan sumber air dan fasilitas IPA yang dikelola oleh
kedua operator tersebut. Dan Tabel berikut menunjukkan kapasitas produksi
dan pembelian air curah untuk kedua operator. Kapasitas produksi air yang
dikelola PT Palyja yang berasal dari IPA sebesar 6.200 liter/detik dan
pembelian air curah dari Kabupaten Tangerang sebesar 2.875 liter/detik,
sedangkan PT Aetra mengelola IPA dengan kapasitas produksi sebesar 9.000
liter/detik dan pembelian air curah dari Kabupaten Bogor sebesar 185. Total
Kapasitas Produksi Tersedia yang dikelola oleh kedua operator tersebut
adalah : 18.260 l/det atau 575.847.360 m3/tahun. Berdasarkan data dari PAM
Jaya pada tahun 2007 total kapasitas produksi sebesar 509.341.688 m3.

5.1.12.3 Prasarana Pendayagunaan Sumber Daya Air


Ketersediaan air yang merupakan salah satu bagian dari fenomena alam,
sehingga sering sulit untuk diatur dan diprediksi dengan akurat. Hal ini
karena mengandung variabilitas ruang (spatial variability) dan variabilitas
waktu (temporal variability) yang sangat tinggi. Oleh karena itu, analisis
secara kuantitatif dan kualitatif harus dilakukan secermat mungkin agar
hasilnya merupakan informasi yang akurat untuk perencanaan dan
perancangan sumberdaya air.
Sumber daya air bila diklasifikasikan berdasarkan ketersediaannya maka
jenis sumber airnya adalah air hujan langsung, air tanah (akuifer air tanah
tertekan, semi tertekan, dan tidak tertekan (bebas)), dan air permukaan
(mata air, air sungai, air danau, air situ alamiah, dan air beku/salju).
Permasalahan mengenai ketersediaan air akan muncul pada suatu tempat
apabila persediaannya terbatas atau mutu airnya tidak memenuhi
persyaratan. Air yang akan dimanfaatkan sangat tergantung akan ruang
dan waktu. Air yang menjadi sumber kehidupan berasal dari airtanah, air
permukaan dan air hujan. Air yang dapat dimanfaatkan secara aman oleh
makhluk hidup jumlahnya sangat terbatas, tidak hanya memenuhi
persyaratan kuantitas, namun juga kualitasnya.
• Airtanah
Pembahasan terkait dengan ketersediaan, pemanfaatan dan
pengembangan sumber airtanah tidak terlepas dari cekungan airtanah
(CAT). CAT adalah suatu wilayah yang dibatasi oleh batas hidrogeologis,

5-71
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

tempat semua kejadian hidrogeologis seperti proses pengimbuhan,


pengaliran, dan pelepasan airtanah berlangsung. CAT Jakarta merupakan
salah satu CAT yang berada di Kawasan Jabodetabek (berdasarkan
Kepmen ESDM No. 716K/10/MEN/2003 tentang Batas Horisontal
Cekungan Airtanah di Pulau jawa dan Madura). CAT Jakarta merupakan
CAT lintas batas antara Provinsi Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Barat
dengan luasannya sekitar 1.439 km2. Sebarannya meliputi seluruh wilayah
DKI Jakarta, sebagian Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang, Kota
Depok, Kabupaten Bogor, dan Kabupaten Bekasi.
Dalam CAT terbagi menjadi dua bagian, yaitu : daerah imbuhan air tanah
DIAT yang mempunyai pengertian sebagai daerah yang mampu
menambah air tanah secara alamiah pada cekungan air tanah, dan daerah
lepasan air tanah (DLAT) yang mempunyai pengertian daerah keluaran air
tanah yang berlangsung secara alamiah pada cekungan air tanah.
Terdapat perbedaan antara DIAT dan DLAT pada sistem akuifer tidak
tertekan dan sistem akuifer tertekan. Perbedaan karakteristik dan ciri
tersebut adalah sebagai berikut :
‐ DIAT
• DIAT pada sistem akuifer tidak tertekan mencakup daerah
sebaran akuifer tidak tertekan
• DIT pada sistem akuifer tertekan dicirikan oleh muka air tanah
bebas (muka freaktik) yang lebih tinggi dari muka air tanah
tertekan (muka piezometrik)ipada kondisi alamiah
‐ DLAT
• DLAT pada sistem akuifer tidak tertekan berimpit dengan daerah
imbuhan air tanahnya
• DLAT pada sistem akuifer tertekan dicirikan oleh muka freaktik
yang lebih rendah dari muka piezometrik pada kondisi alamiah.

CAT atau Cekungan Air Tanah Jakarta memiliki DIAT seluas 371 Km2 dan
DLAT seluas 1.068 Km2. DIAT terletak di bagian tengah-selatan (batas
DLAT pada ketinggian antara 15-100 maml) dan dibagian selatan (batas
dengan DLAT pada ketinggian antara 5 -125 maml).
CAT Jakarta memiliki luas sekitar 1.439 Km2 dengan batas disebelah
selatan terletak di sekitar Depok, disebelah barat dan timur masing-masing
Kali Cisadane dan K. Bekasi, sementara batas disebelah utaranya adalah
Laut Jawa. Sistem akuifernya bersifat multi layers yang dibentuk oleh
endapan kuarter dengan ketebalan mencapai 250 m. Ketebalan akuifer
tunggal antara 1 - 5 m, terutama berupa lanau sampai pasir halus.
Kelulusan horizontal antara 0,1 - 40 mmari, sementara kelulusan
vertikalnya berdasarkan hasil simulasi aliran air tanah CAT Jakarta sekitar
250 m2/hari.
Air tanah pada endapan kuarter mengalir pada sistem akuifer ruang antar
bulir. Di daerah pantai umumnya didominasi oleh air tanah payau/asin yang
berada di atas air tanah tawar kecuali di daerah yang disusun oleh
endapan sungai lama dan pematang pantai. Akuifer produkif umumnya

5-72
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

dijumpai sekitar kedalaman 40 mbmt dan mencapai kedalaman maksimum


150 mbmt.
Menurut Badan Geologi-Dep. ESDM jumlah ketersediaan air tanah CAT
Jakarta pada sistem akuifer tidak tertekan berasal dari imbuhan vertikal
(dibagian utara) dan aliran horizontal di bagian selatan menuju daerah
pengambilan air tanah utama. Hasil perhitungan ketersediaan air tanah
tidak tertekan di CAT Jakarta menunjukan bahwa ketersediaannya di
daerah pantai rata-rata 7,5 m3/detik dan di bagian selatan sebesar 17,8
m3/detik. Dengan demikian total ketersediaan air tanah pada sistem akuifer
tidak tertekan di CAT Jakarta sebesar 25,3 m3/detik atau sekitar 800 juta
m3/tahun. Sedangkan pada sistem akuifer tertekan dengan
memperhitungan pada kondisi alamiah yakni sebelum periode 1900 (Qabs
= 0), terhitung aliran air tanah yang masuk ke dalam sistem akuifer CAT
Jakarta (Qin) sebesar 37 juta m3/tahun, seimbang dengan aliran keluar
(Qout). Dengan mempertimbangkan Qin dari selatan yakni sekitar 15 juta
m3/tahun, diperoleh total ketersediaan air tanah pada sistem akuifer
tertekan di CAT Jakarta mencapai 52 juta m3/tahun.

5-73
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

Gambar 5.39 CAT Jakarta dan sekitarnya

5-74
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

Gambar 5.40
Peta DIAT dan DLAT kawasan Jabodetabekpunjur dan Sekitarnya

5-75
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

Gambar 5.41 Skema Penampang Geologi/Hidrogeologi Jakarta-Bogor

5-76
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

Gambar 5.42 Potensi Airtanah CAT Jakarta

Sebelumnya diketahui bahwa CAT Jakarta dengan luasannya 1.439 Km2 ini
jika ditinjau dari wilayah administrasi meliputi seluruh wilayah Provinsi DKI
Jakarta, sebagian wilayah Kabupaten Tangerang (Provinsi Banten),
sebagian Kabupaten Bekasi, Kabupaten Bogor dan Kota Depok (Provinsi
Jawa Barat). Dengan demikian sebagai pendekatan untuk menentukan
potensi airtanah yang ada di wilayah Provinsi DKI Jakarta perlu dilakukan
perhitungan potensi airtanah secara proposional berdasarkan luas wilayah
yang ada. Berdasarkan data BPS DKI Jakarta tahun 2007, luasan wilayah
daratan Provinsi DKI Jakarta di luar Kabupaten Kepulauan Seribu adalah
653,63 km2. Dengan demikan wilayah CAT khusus wilayah Provinsi DKI

5-77
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

Jakarta adalah 45,4% dari luasan CAT Jakarta seluruhnya. Dengan


demikian ketersediaan airtanah tidak tertekan wilayah Provinsi DKI Jakarta
dapat dihitung sebagai berikut :
• Potensi ketersediaan airtanah tidak tertekan di wilayah Prov. DKI
Jakarta = Rasio luasan X (potensi airtanah tidak tertekan CAT Jakarta
– aliran airtanah tidak tertekan yang masuk ke aliran tertekan)
• Potensi ketersediaan airtanah tidak tertekan di wilayah Prov. DKI
Jakarta = 45,4% X (800 juta m3/tahun - 37 juta m3/tahun
• Potensi ketersediaan airtanah tidak tertekan di wilayah Prov. DKI
Jakarta = 346,40 juta m3/tahun
Sedangkan ketersediaan airtanah tertekan wilayah Provinsi DKI Jakarta
dapat dihitung sebagai berikut :
• Potensi ketersediaan airtanah tertekan di wilayah Prov. DKI Jakarta =
Rasio luasan X (potensi airtanah tertekan CAT Jakarta + aliran
airtanah masuk ke sistem akuifer tertekan CAT Jakarta)
• Potensi ketersediaan airtanah di wilayah Prov. DKI Jakarta = 45,4% X
(37 juta m3/tahun - 15 juta m3/tahun
• Potensi ketersediaan airtanah tertekan di wilayah Prov. DKI Jakarta =
23,61 juta m3/tahun.
Adapun potensi air tanah CAT Jakarta dikelompokkan menjadi 6 wilayah
potensi air tanah (Gambar 3.16).

• Air Permukaan
Wilayah DKI Jakarta dilalui oleh banyak sungai dan saluran air yang
terhubung ke sunga-sungai tersebut. Terdapat sebanyak 13 sungai utama
yang hulunya sebagian besar berasal dari kawasan diluar Jakarta, yaitu,
Angke, Pesanggrahan, Gorgol, Krukut, Ciliwung, Cipinang, Sunter Buaran,
Jati Kramat dan Cakung, serta saluran Mookervart (Saluran sudetan dari
Kali Cisadane ke Kali Angke sebelum adanya Cengkareng Drain) yang
kemudian bermuara di Teluk Jakarta. Sisanya adalah sungai dan saluran
kecil yang memiliki fungsi mengumpulkan curah hujan. Namun
berdasarkan SK Gubernur Kepala Daerah DKI Jakarta No. 582 Tahun
1995 tentang Peruntukan dan Baku Mutu Air Sungai/Badan Air serta Baku
Mutu Limbah Cair, hanya sebagian kecil segmen sungai-sungai tersebut
dapat digunakan sebagai air baku air minum atau golongan B. Sebagian
besar sunga-ungai yang ada diperuntukkan sebagai Golongan C (air yang
dapat digunakan untuk keperluan perikanan dan peternakan) dan D (air
yang dapat digunakan untuk keperluan pertanian, dan dapat dimanfatkan
untuk usaha perkotaan, industri pembangkit listrik tenaga air). Sedangkan
air sungai yang langsung sebagai air minum atau Golongan A tidak
terdapat di wilayah ini.
Sungai-sungai yang termasuk kedalam Golongan B sebagian besar hanya
berupa segmen-segmen sungai yang tidak terlalu panjang, kecuali Sungai
Tarum Barat dan Sungai Ciliwung. Sungai-sungai tersebut antara lain :
• Sungai Krukut (segmen hulu sungai di Jakarta s/d Banjir Kanal),

5-78
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

• Kali Mampang (segmen hulu sungai di Jakarta s/d Sungai Krukut),


• Sungai Kalibaru (segmen hulu sungai di Jakarta s/d Banjir Kanal).
Sungai-sungai diatas oleh masyarakat tidak dapat digunakan secara
langsung karena kualitas air yang semakin lama semakin jelek dan tidak
memenuhi persyaratan walaupun telah ditetapkan peruntukkannya untuk
bahan air baku air minum. Untuk pemanfaatan air sungai tersebut
pemerintah DKI Jakarta melalui PAM Jaya telah membangun beberapa unit
pengolahan air (Water Treatment Plant/WTP) dan infrastruktur
pendistribusian.
Kebutuhan air berdasarkan sektor kegiatan di kawasan perkotaan dapat
dibagi ke dalam 2 (dua) kelompok besar, yaitu : 1) kebutuhan domestik
antara lain air minum, mandi, cuci dan sebagainya; dan 2) kebutuhan non
domestik antara lain industri, niaga, perkantoran, sarana dan hidran umum,
hotel, rumah sakit dan sebagainya. Sejalan dengan pertambahan
penduduk dan perkembangan perekonomian/industri, maka kebutuhan air
di kawasan perkotaan meningkat pula. Wilayah DKI Jakarta merupakan
wilayah yang sangat pesat perkembangannya sehingga diperkirakan
kebutuhan air akan selalu berkembang cepat pula.
Kebutuhan air domestik untuk tiap daerah tidaklah selalu sama. Standar
kebutuhan air untuk domestik untuk wilayah DKI Jakarta dibedakan
menjadi 2 (dua), yaitu wilayah DKI Jakarta non Kepulauan Seribu
menggunakan stadar kebutuhan air bersih sebesar 150 l/orang/hari karena
lebih mengarahperkotaan; dan wilayah Kepulauan Seribu menggunakan
standar sebesar 120 l/orang/hari karena belum mengarah ke aktivitas
perkotaan. Dengan demikian kebutuhan air untuk kebutuhan domestik
diperoleh dengan mengalikan jumlah penduduk yang ada dengan standar
kebutuhan air bersihnya. Tabel berikut menunjukkan besaran kebutuhan air
domestik di Wilayah DKI Jakarta.

Tabel 5.6 Kebutuhan Air Domestik di Provinsi DKI Jakarta tahun 2007

Jumlah Kebutuhan
Jumlah Total Volume***)
No Penduduk per standar**)
(jiwa)
Wilayah*) (l/org/hr) hari (l) tahun (m3)
DKI Jakarta non
1 Kepulauan
Seribu 9,038,013 150 1,355,701,950 494,831,212
Kepulauan
2 Seribu 19,980 120 2,397,600 875,124
Total 9,057,993 1,358,099,550 495,706,336
Sumber : *) Jakarta Dalam Angka 2008 (BPS Prov. DKI Jakarta, 2008)
**)
Ditjen Cipta Karya, Dep. PU
***)
Hasil perhitungan

Berdasarkan perhitungan maka dapat diketahui bahwa kebutuhan air


domestik di DKI Jakarta adalah sebesar 495.706.336 m3 per tahunnya.

5-79
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

Kebutuhan ini sangat besar jika dibandingkan dengan luas wilayah yang ada.
Jika dikurangi dengan kebutuhan air di Kabupaten Kepulauan Seribu, maka
jumlah kebutuhan airnya menjadi sekitar 494.831.212 dan secara umum
sekitar 60% kebutuhan air tersebut dipenuhi melalui sumur airatanah tidak
tertekan atau dangkal (1-40 mbmt). Sedangkan di wilayah Kepulauan Seribu
tidak semua pulau memiliki akuifer airtanah yang berkualitas tawar, untuk itu
PAH merupakan alternatif untuk menampung air hujan.
Untuk jumlah kebutuhan air non domestik didekati dengan pemanfaatan air
dari PAM dan sumur bor yang terdaftar. Dari data pelanggan PAM dan sumur
bor yang terdaftar maka dapat diketahui jumlah industri, hotel, rumah sakit,
tempat peribadatan, perusahaan, instansi pemerintah, dan sarana umum serta
lainnya, yang selanjutnya dapat diketahui besarnya konsumsi air yang telah
digunakan selama ini.
Tabel 5.7
Jumlah Pelanggan PAM dan Volume Air yang disalurkan Tahun 2007
No Kategori pelanggan Jumlah Volume (m3)
A. Domestik
Jumlah Rumah Tangga yg
1 memakai PAM 659,694 156,220,000
Jumlah Domestik 659,694 156,220,000
B. Non Domestik
1 Hotel/obyek wisata 272 8,930,000
2 Badan Sosial dan Rumah sakit 1,286 7,370,000
3 Tempat Peribadatan 4,298 2,950,000
4 Sarana Umum 2,399 6,790,000
5 Perusahaan, toko dan industry 84,873 52,800,000
6 Instansi Pemerintah 2,596 13,530,000
7 Lain-lain 137 1,210,000
8 Pelanggan hydran 2,361 6,107,334
Jumlah Non Domestik 98,222 99,687,334
Total 757,916 255,907,334
Sumber : PAM Jaya dalam Jakarta Dalam Angka 2008, BPS Prov. DKI
Jakarta

Berdasarkan jumlah volume air yang disalurkan oleh PAM Jaya, maka
diketahui bahwa jumlah kebutuhan air terbesar non domestik adalah
perusahaan, toko dan industri, yakni sekitar 53% dari total kebutuhan air non
domestik. Kemudian disusul oleh konsumsi air oleh Instansi Pemerintah yaitu
hampir 14% dari total kebutuhan air non domestik.
Selain memanfaatkan sambungan air bersih dari PAM, maka kebutuhan air
non domestik juga dipenuhi melalui pengeboran sumur pada airtanah
tertekan. Berdasarkan data dari Dinas Pertambangan Prov. DKI Jakarta dalam

5-80
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

Jakarta Dalam Angka 2008 diketahui sampai pada Desember 2007 tercatat
jumlah sumur bor dan sumur pantek sebanyak 3.788 buah dengan volume air
yang dimanfaatkan sejumlah 22.205.353 m3. Secara rinci data tersebut dapat
dilihat pada tabel berikut.

Tabel 5.8
Jumlah Sumur Bor dan Sumur Pantek dan Pemakaian Air Tahun 2007
Kategori
No Pelanggan Jumlah Volume (m3)
1 Sumur Bor 19,561,704
3,788
2 Sumur Pantek 2,643,649
Total 3,788 22,205,353
Sumber : Dinas Pertambangan Prov. DKI Jakarta dalam Jakarta Dalam
Angka 2008, BPS Prov. DKI Jakarta

Selanjutnya berdasarkan data di atas maka dapat disusun kebutuhan dan


pemanfaatan air secara lebih rinci. Untuk kebutuhan air domestik dibagi
berdasarkan jumlah Rumah Tangga yang sudah terlayani oleh PAM dan
belum terlayani oleh PAM. Jumlah yang belum terlayani dihitung berdasarkan
total kebutuhan air domestik dikurangi dengan jumlah kebutuhan air domestik
(RT) yang sudah terlayani oleh PAM, sehingga kebutuhan airnya adalah
338.611.212 m3 dan saat ini dipenuhi kebutuhan airnya dipenuhi dari sumur
airtanah tidak tertekan atau sumur dangkal. Tabel berikut menunjukkan
besarnya kebutuhan air di wilayah Provinsi DKI Jakarta di luar Kabupaten
Kepulauan Seribu.

Tabel 5.9
Kebutuhan Air di Wilayah Provinsi DKI Jakarta (diluar Kab. Kep. Seribu)
Tahun 2007
Jenis Kebutuhan atau Volume
No penguna air (m3) Keterangan
pengguna airtanah tidak
1 Kebutuhan domestik non PAM 338,611,212 tertekan
2 Kebutuhan domestik dgn PAM 156,220,000
Kebutuhan non domestik non
3 PAM 22,205,353 pengguna sumur bor/pantek
Kebutuhan non domestik dgn
4 PAM 99,687,334
Total 616,723,899
Sumber : Hasil Perhitungan, 2009

Berdasarkan perhitungan dalam tabel di atas, maka diketahui bahwa total


kebutuhan air untuk domestik dan non domestik adalah sebesar 616,723,899

5-81
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

m3 per tahun. Komposisi antara kebutuhan air domestik dan non domestik
adalah sekitar 80 : 20 atau dengan kata lain kebutuhan air non domestik
merupakan 25% dari kebutuhan air domestik.

Sedangkan kebutuhan air untuk wilayah Kabupaten Kepulauan Seribu lebih


sederhana, yakni kebutuhan air domestik ditambah kebutuhan non domestik,
yang besarnya 20% dari kebutuhan air domestik. Secara rinci kebutuhan air
untuk wilayah Kabupaten Kepulauan Seribu dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 5.10
Kebutuhan Air di Wilayah Kab. Kep. Seribu Provinsi DKI Jakarta tahun 2007
Jenis Kebutuhan atau Volume
No penguna air (m3) Keterangan
1 Kebutuhan air Domestik 875,124
20% dari kebutuhan
2 Kebutuhan Non domestic 175,025 domestic
Total 1,050,149
Sumber : Hasil Perhitungan, 2009

Pendayagunaan sumberdaya air adalah upaya penatagunaan, penyediaan,


penggunaan, pengembangan dan pengusahaan sumber daya air secara
optimal, agar berhasil guna dan berdaya guna. Upaya ini ditujukan untuk
memanfaatkan sumber daya air secara berkelanjutan dengan mengutamakan
kebutuhan pokok kehidupan masyarakat secara adil. Pendayagunaan
sumberdaya air dilakukan dengan mengutamakan fungsi sosial untuk
mewujudkan keadilan dengan memperhatikan prinsip pemanfaat membayar
jasa pelayanan pengelolaan sumber daya air dan melibatkan peran serta
masyarakat.
Salah satu pendayagunaan sumber air adalah pemanfaatan sumber air
sebagai air baku untuk air minum/bersih. Pelayanan air bersih untuk wilayah
DKI Jakarta diselenggarakan oleh PAM Jaya yang dibentuk pada tahun 1977
berdasarkan Perda. Sistem Penyediaan Air Bersih Jakarta diperoleh dari
beberapa sumber air baku, yaitu air baku dari bendungan Jatiluhur, terletak
sekitar 60 km sebelah timur Jakarta, mata air Ciburial spring 60 km selatan
Jakarta, Sungai Ciliwung, Sungai Cilandak, dan air curah dari IPA Cisadane
milik PDAM Kabupaten Tangerang 30 km sebelah tenggara Jakarta. Air dari
Jatiluhur disalurkan ke IPA Buaran melalui saluran terbuka (Kanal Tarum
Barat). PAM Jaya membeli pasokan air baku dari Otorita Jatiluhur, air curah
dari IPA Cisadane milik Pemda Kabupaten Tangerang, dan air dari mata air
Ciburial milik Pemda Kabupaten Bogor.
Untuk pengelolaan air bersih untuk warga Ibu Kota, sejak tahun 1997
Perusahaan Daerah Air Minum Jakarta Raya (PAM Jaya) bermitra dengan
dua perusahaan swasta melalui Perjanjian Kerja Sama (PKS) dalam jangka
waktu 25 tahun. Operasional pengelolaan dan pelayanan air bersih efektif
dilaksanakan pada bulan Pebruari 1998, dengan PT Lyonnaise Jaya (Palyja)
dan PT Thames PAM Jaya (TPJ) sekarang PT Aetra Air Jakarta (Aetra).

5-82
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

Wilayah kerja sama, terdiri dari wilayah Barat (yang diselenggarakan oleh PT
Palyja) dan wilayah Timur (yang diselenggarakan oleh PT Aetra), selanjutnya
dibagi lagi ke beberapa wilayah usaha. Wilayah Barat terbagi atas wilayah
usaha Zona 1, 4 dan 5; sedangkan, Wilayah Timur termasuk wilayah usaha
Zona 2, 3 dan 6 (lihat Gambar 3.28) . Batas dari kedua wilayah tersebut
dipisahkan oleh Sungai Ciliwung. Kedua pengelola swasta ini mempunyai hak
khusus untuk memproduksi dan mendistribusikan air di wilayah kerjasama,
mencakup batas administrasi Jakarta, kecuali untuk Proyek Kota Tepi Pantai
yang direncanakan Pemda Provinsi DKI Jakarta dan Kepulauan Seribu.
Gambar 5.43
Wilayah Pelayanan Air Bersih Yang Dikelola Oleh PT. PAM Lyonnaise Jaya

Sumber ; Departemen Pengembangan Jaringan PALYJA, 2005

5-83
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

Gambar 5.44
Wilayah Pelayanan Air Bersih Yang Dikelola Oleh PT. Thames PAM Jaya

Sumber ; TPJ, GIS And Management, 2006


Berdasarkan data dari PAM Jaya, total kapasitas produksi air bersih yang
dikelola oleh kedua mitra kerjasama tersebut pada tahun 2007 adalah 18.260
l/det, dengan jumlah pelanggan sebanyak 755.555 dengan tingkat kebocoran
berkisar 40 – 50%.
Sumber air baku yang kedua operator tersebut berasal dari air permukaan dan
airtanah tertekan/dalam. Untuk sumber air baku dari air permukaan berasal
dari :
• Saluran terbuka dari Waduk Jatiluhur yang dikelola oleh Perum Jasa Tirta II
(PJT II), yang dialirkan ke Jakarta melalui saluran terbuka Kanal Tarum Barat
(Kali Malang),
• Sungai Ciliwung (Banjir Kanal Barat),
• Sungai Krukut/Cilandak,

5-84
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

• Sungai Pasanggrahan
• Pembelian air curah/bersih dari Kabupaten Tangerang (Sungai Cisadane)
dan Kabupaten Bogor (Mata Air Ciburial).
Sedangkan sumber air baku dari airtanah tertekan/dalam dilakukan
pengeboran di daerah Rawa Bambu.
Sumber air baku dan fasilitas IPA yang dikelola oleh kedua operator tersebut
dapat dilihat pada gambar berikut. Sedangkan tabel berikut menunjukkan
kapasitas produksi dan pembelian air curah untuk kedua operator.

Gambar 5.45
Sumber Air Baku untuk PAM DKI Jakarta dan Fasilitas IPA

Sumber : Working paper kegiatan penyusunan bahan masukan wilayah kota administrasi
jakarta barat untuk RTRW Provinsi DKI Jakarta

5-85
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

Tabel 5.11
Kapasitas Produksi Air Bersih Perusahaan Air Minum (PAM) di DKI Jakarta
Operator
PT. PALYJA PT. AETRA
No IPA Sumber Air Kapasitas Kapasitas No IPA Sumber Kapasitas Kapasitas
produksi Produksi Air produksi Produksi
tersedia*) tahun 2007**) tersedia*) tahun
2007**)
(liter/det) (m3) (m3/det)
(m3)
1. Pejompongan I Saluran 2.000 57.004.060 1. Buaran I dan Saluran 2.500 dan 143.312.580
Tarum II Tarum 2.500
Barat, Barat
BKB
2. Pejompongan I Saluran 3.600 96.881.970 2. Pulogadung Saluran 4.000 117.895.810
Tarum Tarum
Barat, Barat
BKB
3. Cilandak S. Krukut 400 9.849.416 Pembelian air curah
4. Taman Kota Sungai 200 273.422 3. Ciburial MA 185 78.202
Pasanggrah Ciburial
an
5. DW Rawa N/A 13.596
Bambu
Pembelian air curah
6. Cisadane S. Cisadane 1.200 55.892.063
(DCR-4)
7. Cisadane S. Cisadane 1.600 25.726.597
(DCR-5)
8. Cikokol/Cengk S. Cisadane 75 2.413.972
areng
Jumlah 9.075 248,055,096 Jumlah 9.185 261,286,592
3
Total Kapasitas Produksi Tersedia : 18.260 l/det atau 575.847.360 m
Total Kapasitas Produksi tahun 2007 : 509.341.688 m3

Sumber : *) www.palyja.co.id dan www.aetra.co.id


**) PAM Jaya dalam Jakarta dalam angka 2008 (BPS Provinsi DKI
Jakarta, 2008)

Kompetisi penggunaan air bersih semakin meningkat di daerah perkotaan.


Pada dasarnya negara menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air
bagi kebutuhan pokok minimal sehari hari guna memenuhi kehidupan yang
sehat, bersih dan produktif (UU No 7 tahun 2004, pasal 10) yang juga sejalan
dengan Tujuan Millenium Development Goals (MDG’s) ke-7 Memastikan
Kelestarian Lingkungan Hidup, khususnya Target ke-10 yaitu untuk
Menurunkan proporsi penduduk tanpa akses terhadap sumber air minum yang
aman dan berkelanjutan serta fasilitas sanitasi dasar sebesar separuhnya
pada 2015. Menanggapi hal tersebut setidaknya pada tahun 2015 cakupan
pelayanan air minum perpipaan di DKI Jakarta harus sudah mencapai 80 %

5-86
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

dan diharapkan pada akhir konsesi atau perjanjian kerjasama bisa mencapai
100% cakupan layanannya.

Saat ini Rasio Cakupan Pelayanan suplai air untuk PT Palyja diperkirakan
masih sekitar 60%, sedangkan untuk PT Aetra diperkirakan sekitar 65,9%.
Jadi masih cukup jauh dengan target yang ada. Dari daerah yang telah
terlayani belum seluruhnya mendapatkan suplai air yang diharapkan, seperti
kurangnya pasokan, masalah tekanan, masalah kualitas maupun
kontinuitasnya. Gambar berikut menunjukkan kondisi layanan air bersih dari
kedua operator tersebut.
Berikut isu-isu terkait dengan infrastruktur sumberdaya air terkait dengan air
bersih/minum :
• Selain digunakan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, air juga
digunakan untuk kegiatan industri, dan kegiatan perekonomian lainnya. Di
tambah dengan tekanan populasi dan perkembangan ekonomi membuat
pengelolaan air bersih di perkotaan menjadi masalah yang sangat pelik.
Masalah itu menjadi semakin pelik bila melihat kenyataan bahwa
pengelolaan air tidak dapat dipisahkan ke dalam wilayah administratif
pemerintahan daerah pada umumnya. Hal ini berarti air harus dikelola
secara terintegrasi
Gambar 5.46
Cakupan Layanan Air Bersih Perpipaan di DKI Jakarta Tahun 2007

Sumber: BR-PAM DKI Jakarta, 2007

5-87
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

• Perlunya peningkatkan cakupan pelayanan air minum perpipaan di DKI


Jakarta hingga 100 % karena merupakan salah satu alternatif yang sesuai
untuk pembatasan secara bertahap pemanfaatan pemompaan air tanah
dalam secara berlebihan yang akan mengakibatkan terjadinya intrusi air laut
dan penurunan muka tanah (land subsidence) yang akan dapat lebih
memperparah pengendalian banjir di DKI Jakarta. Selain itu kualitas airtanah
dangkal di Jakarta cenderung terus menurun, terkontaminasi limbah rumah
tangga yang tidak dikelola dengan baik. Data dari BPLHD (2007) dan Teknik
Lingkungan UI (2007) menunjukkan, hampir 70 persen dari sampel air tanah
dangkal yang dianalisis di laboratorium berada dalam kondisi tercemar.
• Dengan standar kebutuhan air per orang sebesar 150 liter per hari, maka
dengan jumlah penduduk Jakarta sekitar 9 juta, maka produksi air PAM yang
ada belum berimbang dengan kebutuhan air, dengan kata lain masih ada
kekurangan. Untuk itu perlu adanya penambahan atau peningkatan
kapasitas produksi dari IPA yang ada serta pembelian air curah dari
Kabupaten Tangerang.
• Tingkat kebocoran air pada operator air minum masih tinggi yaitu berkisar
antara 40 – 50%. Diharapkan tingkat kebocoran air dapat diturunkan hingga
25 – 35%.
• Air baku dari Bendungan Jatiluhur dan sungai-sungai mengalir melalui
sungai dan pintu-pintu air menuju Instalasi Pengolahan Air (IPA) di Jakarta
dan selanjutnya didistribusikan melalui pusat-pusat distribusi. Sebelum
sampai di IPA, air baku tersebut juga digunakan terlebih dahulu untuk irigasi
persawahan. Di sepanjang aliran sungai itu, masyarakat dan indsutri
seringkali membuang berbagai jenis sampah yang kemungkinan
mengandung limbah bahan berbahaya dan beracun di sungai, sehingga air
baku tercemar. Setelah sampai di Instalasi Pengolahan Air (IPA) Aetra di
Jakarta, air baku yang masuk harus diolah dengan berbagai teknologi
sampai dinyatakan layak sebagai air bersih. Semakin air baku mengalami
tingkat pencemaran yang tinggi maka biaya produksi air juga akan
meningkat.

• Situ dan waduk


Situ adalah suatu wadah genangan air di permukaan tanah yang terbentuk
secara alami maupun buatan yang airnya berasal dari tanah atau air
permukaan sebagai siklus hidrologis yang potensial danmerupakan salah satu
bentuk kawasan lindung (Inmendagri No.14 tahun 1998). Fungsi situ antara
lain adalah sebagai daerah tangkapan air, pengendali banjir, irigasi, tempat
memelihara ikan dan juga sebagai tempat rekreasi.
Wilayah DKI Jakarta memiliki 40 buah situ yang bersifat alami maupun
buatan. Sebaran situ tersebut adalah di Jakarta Selatan terdapat 7 situ
dengan luasan 66,5 Ha, Jakarta Pusat terdapat 3 buah situ dengan luasan
7,4 Ha, Jakarta Utara terdapat 12 buah situ dengan luasan 179,5 Ha, dan
Jakarta Barat 2 situ dengan luasan 5 Ha, serta dan Jakarta Timur terdapat 16
buah situ dengan luasan 66,875 Ha. Dari jumlah tersebut terdapat 12 buah
situ merupakan situ buatan, yaitu Situ Taman Ria Remaja, Waduk Kebon
Melati, Waduk PIK I, Waduk PIK II, Waduk Muara Angke, Waduk Sunter I,
Waduk Sunter III, Waduk Setiabudi, Situ Elok, Waduk PDAM, Situ TMII
Archipelago Indonesia dan Situ TMII. Namun sangat disayangkan bahwa

5-88
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

sejumlah situ telah beralih menjadi daratan. Sebanyak 4-5 buah situ telah
hilang karena telah berubah menjadi daratan.
Secara umum kondisi situ di DKI Jakarta kurang mendapat perhatian dari
pihak yang bertanggungjawab dan juga peran serta masyarakat kurang,
sehingga situ-situ yang ada tidak terawat dengan baik, seperti banyak
sampah yang menumpuk sepanjang pinggiran situ, masuknya limbah cair dari
rumah tangga, pertanian dan industri dan kurangnya fungsi ekologis situ.
Padahal jika ditinjau dari fungsinya, situ sangat bermanfaat untuk menjaga
keseimbangan hidrologis setempat. Tabel berikut menunjukkan jumlah situ
dan waduk yang ada di DKI Jakarta
Berdasarkan data situ dan waduk di atas maka potensi untuk dijadikan
sebagai alternatif sumber air bersih dari air permukaan cukup besar. Namun
karena seluruh situ yang ada di wilayah DKI Jakarta berdasarkan SK
Gubernur Kepala Daerah DKI Jakarta No. 582 Tahun 1995 tentang
Peruntukan dan Baku Mutu Air Sungai/Badan Air serta Baku Mutu Limbah
Cair, telah ditetapkan peruntukkannya sebagai Golongan C atau untuk
pertanian, maka potensi yang ada tidak dapat dimanfaatkan sebagai salah
satu sumber air bersih. Padahal jika dihitung kapasitas atau daya tampung situ
dan waduk yang ada cukup besar, yaitu diperkirakan sebesar 69.810.000 m3
jika diasumsikan kedalaman rata-rata situ dan waduknya adalah 10 m.

5.1.12.4 Prasarana Pengendalian Daya Rusak Air


A. Banjir dan Curah Hujan
Ketidaknyamanan yang ditimbulkan oleh banjir membuat warga menjadi
resah. Keresahan ini tak hanya dirasakan golongan masyarakat bawah
saja, beberapa kawasan elit pun sudah merasakan sulitnya melakukan
aktivitas banjir tiba.
Tak hanya terjadi saat satu wilayah mengalami hujan lebat saja. Pada saat
cuaca mendung dan sedikit hujan sekalipun, ada daerah yang tiba-tiba
mengalami banjir. Ini bisa terjadi karena hujan yang terjadi di daerah hulu
menyebabkan luapan air bergerak ke arah yang lebih rendah. Banjir
seperti ini lebih dikenal dengan sebutan “banjir kiriman”
Letak Kota Jakarta yang berada di dataran rendah ini menjadi penyebab
utama mengapa warga ibukota ini tidak bisa menjauh dari masalah air.
Apalagi sejarah mencatat bahwa genangan dalam jumlah besar tak
hanya terjadi dalam beberapa dekade ini saja. Ratusan tahun lalu banjir
juga sudah dialami warga Jakarta.

B. Genangan dan Curah Hujan


Di negara yang memiliki dua musim seperti Indonesia, curah hujan sangat
mempengaruhi jumlah air yang bisa langsung terserap oleh tanah. Jika
klasifikasi hujan tersebut ringan dan sedang biasanya bisa langsung
terserap ke dalam tanah. Sekalipun sampai melimpas, air tersebut masih
mampu ditampung saluran yang ada, untuk dialirkan ke laut.
Masalah timbul jika hujan merata turun dengan klasifikasi lebat dan sangat
lebat. Tak hanya kemampuan tanah saja yang tak lagi bisa menyerap,
saluranpun tak mampu menahan limpasan air. Bahkan saluran

5-89
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

berkapasitas besar, makro dan sub makro sering tak mampu menanggung
beban air yang terlalu banyak. Akibatnya air akan menggenangi rumah-
rumah penduduk yang berada di dataran yang lebih rendah.

Tabel 5.12
Klasifikasi curah hujan harian
Klasifikasi Curah hujan per hari (24 jam)
Sangat ringan < 5 mm
Ringan 5 mm – 20 mm
Sedang 21 – 50 mm
Lebat 51 – 100 mm
Sangat lebat > 100 mm

Kecenderungan hujan dengan klasifikasi lebat dan sangat lebat ini terjadi
pada bulan Januari dan Pebruari. Dikedua bulan ini curah hujan bisa
mencapai 400 milimeter.. Beberapa banjir besar terjadi pada kedua bulan
tersebut, seperti yang terjadi tahun 1996, 2002 dan tahun 2007 lalu.
Banjir di Jakarta memang bukan semata-mata akibat curah hujan di
daerah tersebut. Air yang berasal dari hulu (Selatan) juga sangat
berperan dalam mengenangi Jakarta. Curah hujan bulanan di daerah hulu
(Selatan) lebih tinggi dibandingkan di daerah hilir (Utara). Dalam diagram
di bawah ini bisa dilihat bahwa rata-rata curah hujan di Selatan selalu lebih
tinggi setiap bulannya dibandingkan di Utara.

Gambar 5.47 Curah Hujan Bulanan di Utara di Selatan Jakarta

Sumber : Jakarta Flood Management Project

5-90
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

C. Tinggi Muka Air Laut


Jika curah hujan tinggi, air tidak langsung bisa dibuang ke laut. Genangan
sulit bisa dicegah di daerah daratan rendah, terutama di wilayah yang
berbatasan dengan pantai. Biasanya hal ini diperparah jika tinggi muka air
laut meningkat pada saat yang bersamaan. Karena menyebabkan air
semakin sulit untuk mengalir ke laut.
Sebagai catatan untuk banjir-banjir besar di Jakarta dalam beberapa tahun
belakangan ini, banjir tidak dipengaruhi oleh naiknya muka air laut. Pada
saat banjir besar pada tahun 1996, 2002 dan 2007 air pasang ternyata
tidak terlalu tinggi. Memang khusus untuk tahun 2002 air pasang sedikit
lebih tinggi, satu atau dua hari sebelum terjadi banjir. Akan tetapi
pengaruhnya tidak signifikan terhadap terjadinya banjir pada saat itu

D. Sejarah Banjir di Kawasan Jakarta


Sejarah banjir di Jakarta sudah ada sejak jaman Belanda, hanya
beberapa tahun setelah pemerintahan kolonial mendarat di Batavia. Banjir
besar pertama kali mereka rasakan tahun 1621, diikuti tahun 1654 dan
1876.
Sering dilanda banjir, membuat Pemerintah Kolonial Belanda merasa perlu
untuk mulai mengelola air secara serius. Tahun 1918 Pemerintah Belanda
mulai membangun bendungan. Saat itu yang dibangun adalah
Bendungan Hilir, Jago dan Udik. Selanjutnya karena semakin kompleksnya
masalah air yang melimpas, memaksa pemerintah kolonial membangun
Banjir Kanal Barat (BKB), tujuannya agar air yang terkumpul di kanal
tersebut bisa langsung dibuang ke laut. BKB ini dibangun tahun 1922,
mulai dari Pintu Air Manggarai sampai Muara Angke.
Meski BKB sudah dibangun, bukan berarti persoalan banjir di Jakarta bisa
langsung diselesaikan. Januari 1932 banjir besar kembali melumpuhkan
Kota Jakarta. Ratusan rumah di kawasan Jalan Sabang dan Thamrin
digenangi air. Saat pemerintahan beralih ke Republik Indonesia tercatat
beberapa kali terjadi banjir besar.

• Beberapa Banjir Besar Sebelum Tahun 1996


Bulan Pebruari 1976, hujan deras turun dalam waktu yang cukup lama.
Selama tiga hari berturut-turut hujan turun nyaris tanpa henti. Ini
mengakibatkan sebagaian Jabodetabek terendam. Jakarta Pusat menjadi
lokasi terparah dalam banjir tersebut dengan lebih 200.000 jiwa diungsikan.
Setahun kemudian, 19 Januari 1977, akibat hujan lebat yang terus
menerus, membuat Jakarta kembali banjir. Meski tidak separah tahun
sebelumnya, setidaknya 100.000 jiwa diungsikan dalam musibah saat itu.
Di era tahun delapan puluhan, persoalan banjir terus berlanjut. Januari
1984, sebanyak 291 Rukun Tetangga (RT) di aliran Sungai Grogol dan
Sekretaris terendam. Dampaknya terasa di Jakarta Timur, Barat dan Pusat
dengan jumlah total korban tercatat 8.596 kepala keluarga. 13 Pebruari
1989, Sungai Ciliwung dan Sungai Pesanggrahan meluap akibat tidak
mampu menampung banjir kiriman dari hulu, 4.400 kepala keluarga harus
mengungsi. Setelah itu hampir setiap tahun terjadi banjir.

5-91
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

• Kejadian Banjir Setelah 1996


Dua tahun kemudian banjir kembali menggenangi Jakarta, kali ini lebih
banyak lagi lahan permukiman yang terendam. Lebih dari 3.000 hektar
daerah permukiman sepanjang alur K.Ciliwung, BKB dan kali Anak
Ciliwung tergenang. Ini disebabkan hujan yang terus menerus selama dua
hari di hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung.

Hal ini mengakibatkan Kali Ciliwung penuh air, mengalir ke hilir dan
meluap melewati tebing-tebing sungai. Sepertiga dari daerah genangan
diperkirakan berada di Jakarta Utara dan Jakarta Timur. Saat itu debit
puncak Pintu Air Manggarai tercatat sebesar 500 - 550 m3/det .

Banjir Kanal Barat (BKB) yang hanya dibuat sesuai banjir rencana, 290
m3/det untuk periode ulang 100 tahun, tak mampu menahan air yang
melimpas. Debit banjir yang sangat besar ini sekaligus menjadi indikasi
adanya perubahan yang terjadi pada rejim hidrologi Kali Ciliwung, karena
perubahan pada pemanfaatan lahan di DAS Ciliwung. Kala itu debit banjir
mencapai 500 m3/det.

Banjir yang terjadi bulan Januari itu, ternyata bukan yang terparah di tahun
itu. Sebulan kemudian, 10 Pebruari 1996, curah hujan sebesar 250 mm
selama 5 jam kembali membuat Jakarta banjir. Kali ini daerah yang
tergenang lebih banyak lagi, sekitar 5.000 hektar daerah permukiman di
DKI digenangi air setinggi 1-2 meter. Hujan satu hari itu sama dengan
hujan ekstrim dengan periode ulang 100 tahun.

Pelajaran yang dapat dipetik dari kedua kejadian banjir tersebut adalah
bahwa kondisi kurang baik di gabungan DAS Sunter-Cipinang sebagai
penyebab utama banjir di wilayah bagian timur Jakarta. Upaya
pencegahan banjir di bagian timur Jakarta harus diarahkan pada
penyelesaian masalah yang ditimbulkan oleh buruknya sistem sungai
Sunter-Cipinang. Ini menunjukkan bahwa pembangunan Banjir Kanal Timur
(BKT) merupakan komponen utama dalam penyelesaian masalah banjir di
wilayah timur Jakarta.

Tahun berikutnya, 13 Januari 1997, hujan deras selama 2 hari


menyebabkan 4 kelurahan di Jakarta Timur tergenang. Lagi-lagi
diakibatkan oleh meluapnya Sungai Cipinang. Sedangkan Januari 1999,
banjir kembali menggenangi Jakarta, Tangerang, dan Bekasi, ribuan rumah
terendam, 6 korban tewas, 30.000 jiwa mengungsi.

• Kejadian Banjir 2002


Banjir tahun 2002 terjadi pada bulan basah Januari-Pebruari sebagaimana
yang terjadi pada banjir 1996. Perbedaan yang mendasar dari kedua banjir

5-92
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

ini adalah bahwa pada banjir 2002 puncak banjir disebabkan oleh banjir
dari Bogor ditambah dengan hujan yang turun cukup lebat di Jakarta, ini
berlangsung dalam beberapa hari.
Di awal bulan Januari hujan turun selama sepuluh hari di segitiga Bekasi,
Tanjung Priok dan Halim PK. Hujan ini membawa kotoran dan material
yang menjadi sedimen di dasar sungai. Meski dengan intensitas yang lebih
rendah, hujan masih terus turun pada pertengahan Januari itu.
Intensitasnya kembali meningkat tanggal 30 Januari 2002, mencapai 250
mm. Akibatnya daerah-daerah yang berbatasan dengan sungai langsung
dibanjiri air yang melimpas. Dalam kejadian banjir ini debit di Pintu air
Manggarai mencapai 400 m3/det, lebih rendah dibandingkan debit pada
saat banjir 1996.
Curah hujan ekstrim terjadi pada tanggal 2 Pebruari dimana kala itu
ketinggian Kali Ciliwung mencapai puncaknya. Sampai tanggal 4 Pebruari
banjir menggenangi permukiman seluas 10.000 hektar. Secara umum
dampak banjir tahun 2002 ini dua kali lipat dari banjir 1996. Kedalaman
genangan pada beberapa tempat bahkan mencapai 4 meter. NEDECO,
menyimpulkan bahwa puncak banjir Kali Ciliwung disebabkan oleh hujan
lebat di bagian tengah DAS (sepanjang alur Depok-Manggarai) dan
menyebabkan banjir dengan periode ulang 20 tahun.
Banjir besar di Jakarta tahun 2002 juga menunjukan bahwa curah hujan
tahunan pada masa itu cukup tinggi. Jika dilihat rata-ratanya mencapai
2.288,9 milmeter. Ini jauh lebih tinggi dari rata-rata curah hujan tahun 1997
yang hanya 924,5 milimeter. Juga dibandingkan dengan curah hujan rata-
rata tahun 2001.

Gambar 5.48 Tinggi Muka Air Sungai Ciliwung di Depok Saat Banjir 2002

350
water level (cm+ref)

300

250

200

150

100
30-01-2002 00:00 01-02-2002 00:00 03-02-2002 00:00 05-02-2002 00:00
date

Sumber : Jakarta Flood Management Project

5-93
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

Gambar 5.49 Tinggi Muka Air Sungai Ciliwung di Manggarai Saat Banjir
2002

1100
water level (cm+ref)

1000

900

800

700

600
30-01-2002 00:00 01-02-2002 00:00 03-02-2002 00:00 05-02-2002 00:00
date

Sumber : Jakarta Flood Management Project

• Kejadian Banjir 2007


Genangan dalam jumlah besar kembali terjadi pada tahun 2007, sekitar
60% wilayah Jakarta mengalami banjir. Sebanyak 150.000 jiwa mengungsi,
1379 gardu induk terganggu, 420.000 pelanggan listrik tertanggu.
Banjir ini terjadi karena melimpasnya air di daerah hilir Sungai Ciliwung dan
beberapa sungai lainnya. Luapan air pertama kali terjadi tanggal 2 Pebruari
2007 disebabkan hujan yang sangat lebat di Jakarta. Saat itu ketinggian air
di Sungai Ciliwung mencapai sekitar 9,5 meter. Banjir hari itu bukan
berasal dari daerah hulu, sebab ketinggian air di Katu Lampa dan Depok
tidak mengkhawatirkan.
Dua hari kemudian tanggal 4 Pebruari hujan lebat terjadi daerah hulu,
saat itu ketinggian air di Katu Lampa sudah menunjukan tanda-tanda akan
meluap. Meski hujan di Jakarta tidak sebesar dua hari sebelumnya, akan
tetapi banyaknya air dari daerah hulu tidak mampu ditampung di daerah
hilir Ciliwung, saat itu tinggi air mencapai lebih dari 10,5 meter. Banjir
pada tanggal 4 Pebruari tersebut lebih banyak disebakan oleh curah
hujan yang tinggi di daerah hulu Katu Lampa dan Depok.

5-94
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

Gambar 5.50 Tinggi air di hilir Sungai Ciliwung di Pintu Air Manggarai
Selama Periode Banjir 2007

Sumber : Jakarta Flood Management Project

Gambar 5.51
Tinggi air Sungai Ciliwung di Katu Lampa Selama Periode Banjir 2007

Sumber : Jakarta Flood Management Project

5-95
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

Gambar 5.52
Tinggi air Sungai Ciliwung di Depok Selama Periode Banjir 2007

Sumber : Jakarta Flood Management Project

Gambar 5.53
Curah hujan di sembilan stasiun di daerah Jakarta musim banjir 2007
rainfall (mm/day)

400
Priuk BMG
Pbno Cileduk
350 HLM Depok
Cengkareng Kedoya
Tambun
300

250

200

150

100

50

0
01-feb 02-feb 03-feb 04-feb 05-feb 06-feb 07-feb 08-feb 09-feb
date

Sumber : Jakarta Flood Management Project

5-96
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

Gambar 5.54
Curah hujan di tiga stasiun di sekitar Bogor musim banjir 2007
rainfall (mm/day)
400
Citeko Darmaga Gunung Mas
350

300

250

200

150

100

50

0
01-feb 02-feb 03-feb 04-feb 05-feb 06-feb 07-feb 08-feb 09-feb
date

Sumber : Jakarta Flood Management Project

E. Catatan dari Pengalaman Banjir Jakarta


Dari beberapa kejadian banjir besar yang terjadi tahun 1996, 2002 dan
2007, ada beberapa catatan yang bisa kita ambil berkaitan dengan
masalah hidrologi maupun karakter cuaca.
‐ Bulan Januari dan Pebruari adalah bulan dengan curah hujan tinggi
yang berpotensi menyebabkan terjadinya banjir.
‐ Banjir di Jakarta sering disebabkan karena hujan dengan kapasitas
besar terus menerus turun. Hujan yang hanya turun sekali biasanya
tak sampai membuat Kali Ciliwung melimpas.
‐ Hujan besar sebelumnya bisa memabah masalah pada hujan besar
berikutnya. Ini terlihat dalam kasus banjir tahun 2002. Curah hujan
awal Januari membawa banyak material dan menyebabkan terjadinya
sedimentasi di dasar sungai. Akibatnya ketika hujan yang sama
kembali muncul tanggal 31 Januari, banjir sulit dielakan.
‐ Tinggi muka air laut tidak mempengaruhi banjir yang terjadi tahun
1996 , 2002 dan 2007.
Banjir tahun 2002 dan 2007 disebabkan oleh curah hujan ekstrim yang
turun lebih dari dua hari. Hal ini menyebabkan tinggi muka air Sungai
Ciliwung di daerah Manggarai mencapai puncaknya. Untuk tahun 2007
sekaligus terjadi kombinasi penyebab banjir akibat hujan di daerah hulu
dan dan daerah hilir.

5-97
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

F. Perkiraan Banjir Hingga Tahun 2030


Diharapkan pada tahun 2010 pembangunan Banjir Kanal Timur sudah bisa
diselesaikan dan pengerukan sungai bisa diintensifkan, sehingga sungai
dan saluran untuk membuang air ke laut bisa lebih maksimal dalam
bekerja. Risiko banjir yang disebabkan oleh curah hujan di bagian hulu
akan terkurangi, namun potensi banjir masih tetap ada terutama yang
diakibatkan curah hujan yang jatuh diatas Jakarta dan masuknya air
pasang dari laut.
Mengingat semakin berkembangnya permukiman dan berkurangnya rasio
badan air dapat meningkatkan potensi banjir di DKI Jakarta. Hal ini
ditambah lagi dengan adanya pemanasan global dimana intensitas curah
hujan pada musim penghujan menjadi meningkat, naiknya permukaan laut,
serta amblesnya tanah di Jakarta.
Jakarta Flood Study Team pada tahun 2007, memperkirakan bahwa
adanya kombinasi antara siklus pasang tertinggi air laut yang berulang
setiap 18,6 tahun, amblesan tanah, dan dampak pemanasan global akan
mengakibatkan potensi pasang berikut badainya yang selanjutnya akan
menyebabkan muka air akan berada 1 meter di atas tanggul eksisting
tahun 2025 nanti. Hal ini tentu perlu diantisipasi sejak awal.

G. Sistem Tata Air


Wilayah DKI Jakarta dilalui oleh banyak sungai dan saluran air yang
terhubung ke sungai-sungai tersebut. Ke-11 sungai tersebut berasal dari
kawasan Bogor dan Tangerang, yaitu saluran Mookervart (saluran sudetan
dari kali Cisedane ke kali Angke sebelum adanya Cengkareng Drain),
Angke, Pesanggrahan, Grogol, Krukut, Ciliwung, Cipinang, Sunter, Buaran,
Jati Kramat dan Cakung. Sisa sungai dan saluran kecil lainnya fungsinya
untuk mengumpulkan curah hujan.
Pada tahun 1920 Banjir Kanal Barat (BKB)/Western Banjir Canal (WBC)
sepanjang 16,5 km telah dibangun untuk mengalihkan aliran banjir 100
tahunan dari 5 sungai (Krukut, Cideng, kali Baru Barat, kali Bata dan
Ciliwung). Pada tahun 1983 Cengkareng Flood Way (CFW) atau Banjir
Kanal Cengkareng (BKC) sepanjang 7 km telah selesai dan berfungsi
untuk mengalihkan banjir 100 tahunan dari saluran Mookervart, sungai
Angke, Pesanggrahan dan kali Grogol.
Di saat yang sama Cakung Drain sepanjang 10 km telah selesai dibangun
untuk mengalihkan banjir 100 tahunan dari kali Cakung Lama di bagian
Timur Jakarta. Sudah direncanakan dan dalam tahapan pembangunan
Eastern Banjir Canal (EBC)/Banjir Kanal Timur (BKT) sepanjang 23,6 km,
dibangun untuk mengalihkan banjir 100 tahunan dari sungai–sungai di
bagian timur (kali Cipinang, Sunter, Buaran, Jati Kramat dan Cakung)
menuju Teluk Jakarta.
• Konsep sistim tata air saat ini
Skema sistem sungai/saluran makro disajikan dalam Gambar 5.55
sedangkan konsep dasar pengendalian banjir Jakarta yang dikenal selama
ini terdapat pada gambar 5.56. Konsep sebagaimana yang terdapat dalam
Error! Reference source not found. perlu diperbaharui karena
implementasi dari sistem polder seyogianya tidak hanya dilakukan pada

5-98
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

wilayah tengah Utara (lihat gambar), namun harus meliputi wilayah yang
ketinggian permukaan tanahnya sudah berada di bawah permukaan air laut
atau air sungai.

Gambar 5.55
Skema Sistem Sungai/Saluran Makro

Gambar 5.56
Konsep Dasar Pengendalian Banjir Jakarta

• Konsep sistim tata air mendatang


Konsep sistim tata air mendatang dirumuskan sebagai berikut ;
Prinsip pertama bahwa air yang datang dari Selatan lebih dahulu dapat
ditahan oleh vegetasi di dataran tinggi di Selatan (Puncak). Kemudian

5-99
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

sedapat mungkin disimpan pada waduk dan situ yang terdapat di Bogor,
Depok dan Jakarta Selatan. Jika air memang masih ada yang harus
dialirkan, maka air akan mengalir melalui BKB, BKT Cengkareng Drain dan
rencana kanal baru di bagianBarat Jakarta (Cengkareng Drain-2).
Karena landsubsidence (penurunan muka tanah) dan sea level rise
(kenaikan muka air laut) semakin luas, maka wilayah Jakarta yang berada
dibawah permukaan laut juga akan semakin luas. Konsekuensinya
implementasi sistim polder akan meluas, terutama ke sebelah Barat. Selain
BKB dan BKT, juga ada Cengkareng Drain yang membawa air dari hulu
(upstream). Sayangnya kapasitas Cengkareng Drain masih belum
memadai. Oleh karena itu, direncanakan untuk membuat kanal baru
(Cengkareng Drain 2) yang akan mengalirkan air dari Kali Pesanggrahan
menuju ke laut dengan muara di sekitar Kali Dadap dekat Bandara
Sukarno-Hatta.
Bagaimana mengelola banjir yang terjadi di Jakarta Utara, dimana wilayah
tersebut hanya memiliki rasio badan air yang sedemikian rendah itu?
Dengan rasio badan air yang rendah sulit untuk ’membebaskan’ Jakarta
Utara dari banjir dan genangan. Oleh karenanya, pengembangan sistem
Pantura akan diintegrasikan sebagai bagian dalam penanggulangan banjir,
antisipasi akan penurunan muka tanah dan antisipasi kenaikan muka air
laut.
• Tata Air dan Reklamasi
Di dalam sistem ini,sesuai dengan Perpres 54, pulau pulau reklamasi
dibuat dalam jarak minimal 200-300 m dari pesisir. Kawasan perairan yang
ada di antara daratan dan pulau reklamasi dapat dimanfaatkan sebagai
retensi tambahan, untuk ’mengkompensasi’ kekurangan rasio badan air di
Jakarta Utara. Kawasan perairan yang ada di antara daratan dan pulau
reklamasi bisa dimanfaatkan sebagai retensi tambahan.
Di pulau- pulau reklamasi sendiri harus dialokasikan sejumlah persentase
minimal badan air, untuk menanggulangi genangan yang ada di pulau itu
sendiri. Untuk setiap pulau idealnya memiliki rasio badan air untuk retensi
sekitar 7-8 %. Sedangkan wilayah perairan yang terletak diantara pulau
reklamasi dimanfaatkan untuk membantu penanggulangan banjir/genangan
di Jakarta Utara.
Daerah reklamasi dapat dibagi menjadi 3 (tiga) wilayah: yaitu BKB ke
Barat, daerah tengah, dan daerah Timur Tanjung Priok. Di Tanjung Priok
menghadapi kesukaran membuat tanggul di kedalaman – 8 m karena
adanyatransportasi kapal-kapal. Karena itu sistem tanggul dimulai dari
bagian Barat sampai tengah pulau reklamasi, pada kedalaman -8 m.
Setelah itu, kemudian turun ke Selatan menuju ke existing coast line pada
kawasan timur (Pelabuhan Tanjung Priok). Alternatif lain, bisa saja tanggul
dipasang juga mengelilingi Tg Priok dengan menggunakan ’lock’, yang
mengatur transportasi kapal pada ketinggian air yang berbeda. Namun
dalam 20 tahun kedepan kemungkinan lebih baik dibuat ’terbuka’ seperti
sekarang.
Dalam sistem tanggul harus diperhatikan keamanannya. Jangan sampai,
keruntuhan/kegagalan fungsi tanggul di suatu tempat berakibat banjir di
wilayah yang luas. Sistem tanggul dan gate harus diletakkan sedemikian
rupa sehingga akibat dari kegagalan struktur suatu tanggul dapat dilokalisir.

5-100
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

Studi lebih lanjut diperlukan untuk mendapatkan sistim yang handal dan
optimal.

Gambar 5.57
Sistem Tata Air Jakarta 2010 – 2030

Gambar 5.58
Sistem Upstream To Downstream

Hujan
2000 m + MSL

Evapotranspirasi
t0
Evapotranspirasi

Waduk/situ
UPSTREAM
Sistim
(Puncak-Bogor) t1 Banjir kanal polder
Evaporasi
Resapan air
MIDDLESTREAM
9.
9.
9.9.
9.
(Bogor-Depok-Jaksel) t2
DOWNSTREAM
(Jaksel-Jakut)
t3
Pesisir t4
Gravitasi Polder

Penampang memanjang sistim tata air dari up stream ke down stream


menunjukkan lebih jelas mengenai prinsi konsep tata air. Air akan ditahan
di dataran tinggi (Puncak), disimpan di situ/waduk kawasan Bogor,Depok
dan Jakarta Selatan. Dari Banjir Kanal ke Utara merupakan sistem polder.

5-101
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

• Tahapan Implemantasi
Perlu adanya tahapan-tahapan tertentu dengan beberapa hal yang perlu
mendapat perhatian. Seperti bagaimana dengan Cengkareng Drain dan
BKB yang kapasitas sungainya cukup besar. Pada tahap pemikiran kini,
dua (2) sungai tersebut sementara ini masih harus dibuka dengan opsi
dapat ditutup dikemudian hari (menggunakan gate?) jika pertimbangan dan
evaluasi mengarah ke ’penutupan’.
Urutan implementasi yang mungkin bisa dilakukan dalam pengembangan
Pantura:
− Reklamasi dilakukan oleh developer dengan arahan yang jelas,
terutama pada disain tanggul laut di sebelah utara pada masing-
masing pulau
− Pembuatan tanggul laut diantara pulau reklamasi pada kedalaman -8
m
− Penempatan gate ditentukan berdasarkan studi yang lebih rinci.
Secara praktis, sebagian kawasan dengan demikian sudah tertutup
− Cengkareng Drain dan BKB masih tetap dibuka sambil menunggu
perlakuan yang tepat kepada kedua sungai tersebut.
− Waduk Pluit bisa dihubungkan dan tetap menjadi menjadi bagian dari
retensi atau sebagai tempat pengolahan air limbah. Hal tersebut
harus dipelajari lebih detail lagi karena luas nya cukup luas untuk
menambah retensi (ada sekitar 80 ha)

Gambar 5.59
Integrasi Pantura Dan Tanggul Laut

BKT
BKB Q=390 m3/s
Cengkareng drain Q=500 m3/s
Q = 510 m3/s (JICA 1997)
(JICA 1997)

5-102
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

• Sistem sub makro


Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian terdahulu bahwa ancaman
genangan bersumber dari : pasang air laut, hujan yang jatuh diatas wilayah
DKI dan tingginya muka air sebagai akibat dari aliran hujan di wilayah
Jabodetabek yang melalui Jakarta. Pengendalian banjir di wilayah Jakarta
yang diakibatkan oleh penyebab pertama dan kedua ini dilakukan dengan
pengindentifikasian sub-makro sistim yang ada di wilayah Jakarta.
Batas-batas wilayah sub-catchtment (sub daerah tangkapan air) dari
masing masing sub makro sistim serta arah aliran yang ada dan yang
diinginkan harus diidentifikasikan. Bebarapa studi terdahulu telah
mengidentifikasikan beberapa permasalahan dan situasi disejumlah sub
makro sistem. Namun belum semua wilayah di DKI terpetakan secara jelas
sub-makro sistimnya.
Berdasarkan hasil studi terdahulu dan pengalaman penulis sebagai
praktisi, pembagian sub-makro sistim wilayah DKI Jakarta dapat dibagi
dalam sub makro sistim sebagaimana yang ditunjukkan dalam Gambar
5.60.

Gambar 5.60
Konsep Pembagian Sub Makro (Sistim Polder) Di Wilayah Jakarta

Pembagian sub makro sistem dilakukan dengan mengacu dan melakukan


penyesuaian terhadap pendekatan konsep pengendalian banjir Jakarta

5-103
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

yang dianut selama ini (Gambar 5.60). Di mana secara konsisten


mengikuti alur pikir yang telah dikembangkan dalam Masterplan 1973.
Dalam alur pikir ini, air yang berasal dari hulu akan dialirkan ke laut melalui
BKB dan BKT. Sedangkan wilayah bawah di utara kedua banjir kanal ini
menjadikan sistem polder sebagai sistim pengendlian banjirnya. Namun,
dengan memperhatikan landsubsidence dimana semakin banyak wilayah
Jakarta yang berada dibawah permukaan air laut dan sungai, maka wilayah
implementasi sistim polder seyogianya menjadi lebih besar.
• Rasio Badan Air
Dengan memperhatikan bahwa permukaan tanah di sebagian wilayah
Jakarta telah berada di bawah permukaan air laut, maka mitigasi non
struktural (adaptasi) terhadap risiko banjir dan genangan seyogianya
diarahkan pada pemberiaan ruang tambahan untuk air dan penyesuaian
kehidupan yang lebih akrab dengan air.

Tabel 5.13
Rasio Badan Air
Saluran
Kala Waduk Sungai
drainase Total
ulang d =2 m d=6m
d = 1.5 m
T=2 2.0 % 2.0 % 0.8 % 4.8 %
thn
T=5 3.5 % 2.3 % 0.9 % 6.7 %
thn
T = 10 4.5 % 2.4 % 1.2 % 8.1 %
thn
T = 25 5.5 % 2.9 % 1.5 % 9.9 %
thn
T = 50 6.5 % 2.9 % 1.8% 11.2 %
thn
T= 7.5 % 3.0 % 2.1 % 12.6 %
100
thn
ulang 25 thaun untuk waduk dan 100 tahun untuk sungai, maka rasio
dbdan air untuk sungai dan waduk lebih dari 7.6 %.

H. Strategi
Seperti sudah dijelaskan pada bagian terdahulu, pemerintah tak bisa lagi
bergerak sendirian dalam menghadapi banjir. Upaya –upaya yang
dilakukan oleh pemerintah daerah selama ini selalu kalah cepat dengan
permasalahan yang muncul. Karena itu perlu langkah-langkah khusus,
yang lebih banyak melibatkan masyarakat dalam menghadapi persoalan
banjir.

5-104
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

• Perubahan Pradigma Pengendalian Banjir


Pengalaman selama ini di Indonesia, atau di negara lain yang mempunyai
kemiripan permasalahan banjir, menunjukkan bahwa pemerintah memiliki
keterbatasan kemampuan menghadapi persoalan banjir dan pengelolaan
air. Keterbatasan ini terutama dalam wujud keterbatasan dana dan sumber
daya manusia yang dimiliki. Disisi lain persoalan/tantangan semakin berat.
Lokasi Jakarta yang berada pada dataran rendah secara kontinyu
mengalami penurunan muka tanah (land subsidence) dan kenaikan
permukaan air laut yang disebabkan oleh pemanasan global, adalah
merupakan 2 (dua) ancaman/tantangan besar yang harus dihadapi pada
saat ini, dan dimasa depan. Disamping itu, persoalan urbanisasi dan
meningkatnya jumlah penduduk, yang memakan banyak lahan yang sudah
semakin sempit ini, menambah daftar tantangan yang ada. Akibatnya ruang
untuk penyerapan air semakin terbatas. Banyak diantara mereka
mengambil lahan ditempat yang sebenarnya menjadi daerah yang harus
bebas dari pemukiman, seperti bantaran sungai dan waduk.
Dengan tantangan yang sedemikian dan kenyataan yang ada, upaya
penanggulangan banjir secara struktural, yang mengandalkan peran
pemerintah saja tak lagi efektif dilakukan. Karena persoalan yang muncul
dipastikan akan lebih cepat dibandingkan tindakan penyelesaian yang
mungkin bisa dilakukan.
Karena itu harus ada perubahan paradigma, dimana pemerintah tak lagi
menjadi satu-satunya pemain dalam penanggulangan banjir. Komponen
masyarakat dan bisnis yang memiliki aset dan penghidupan di kawasan
yang potensial terjadi banjir harus lebih berperan dalam mengelola air.
Merekalah yang secara langsung menderita kerugian jika terjadi banjir dan
secara langsung pula mendapatkan kenikmatan jika banjir bisa
tertanggulangi. Seluruh pemangku kepentingan dan beneficiaries –
mereka yang mendapatkan kenikmatan dari tertanggulanginya banjir-,
harus menjadi subjek dalam penanggulangan banjir dan pengelolaan air.
Keharusan untuk lebih melibatkan berbagai kalangan di luar pemerintah
juga senafas dengan demokratisasi dan otonomi daerah. Dimana proses
pengambilan keputusan selalu didasarkan pada suara-suara dan
tuntutatan dari masyarakat.
Dalam hal ini pendekatan dari atas ke bawah (top down) yang selama ini
dilakukan dalam pengelolaan banjir harus dikurangi. Konsekuensi dari lebih
mengedepankan peran masyarakat adalah lebih mendengarkan lagi apa
kemauan dan keinginan mereka. Pendekatan yang digunakan adalah dari
bawah ke atas (bottom up), sehingga kebijakan yang diambil merupakan
solusi bersama.
Dengan kemampuan yang terbatas pemerintah berfungsi sebagai fasilitator
dengan memberi gagasan-gagasan dan garis besar tentang apa yang
perlu dilakukan dan bagaimana rencana itu bisa dijalankan. Sedangkan
masyarakat berpartisipasi di tingkat mikro dan sub makro. Prinsipnya
warga mengelola genangan yang mungkin terjadi di kawasan mereka.
• Partisipasi Sebagai Kunci Sukses
Secara sadar atau tidak, penduduk Jakarta telah memilih untuk tinggal di
dataran rendah yang rawan banjir. Dalam kondisi yang demikian, ancaman

5-105
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

banjir akan terus ada dan masyarakat bersama pemerintah harus terus
berupaya dan berpikir dalam perjuangan tanpa henti dengan air (in a never
ending struggle with the water).
Investasi dibidang pengelolaan banjir membutuhkan dana yang besar.
Pengoperasian dan pemeliharaan yang tak memadai berkaitan erat dengan
masalah terbatasnya anggaran dan sumber daya manusia. Pembangunan
infrastruktur banjir yang tidak disertai dengan operasional dan
pemeliharaan yang jelas akan mengakibatkan infrastruktur berumur pendek
dan tidak berfungsi efektif. Akibatnya akan mengancam keberlanjutan
penggulangan banjir.
Masyarakat harus aktif mengelola daerahnya agar banjir lebih bisa
dihindari. Pengalaman yang ada menunjukkan bahwa persoalan
pengelolaan air tak semata-mata disebabkan oleh ketidakmampuan
teknis. Lebih sering disebabkan oleh tak memadainya kebijakan dan
lemahnya institusi yang bertugas untuk operasional dan pemeliharaan.
Jika melihat penyebaran penduduk di daerah Jabotabek, kegiatan
masyarakat justru lebih cenderung terkonsentrasi di kawasan yang
potensial mengalami banjir. Disatu sisi hal ini memberikan dampak yang
kurang menguntungkan dimana kejadian banjir mengakibatkan kerugian
dan penderitaan lebih banyak orang. Namun pada sisi lain, dengan
tersedia potensi dimana upaya penanggulangan banjir dapat ditanggulangi
dan dibiayai oleh lebih banyak orang.

I. Upaya Non Teknis Penanggulangan Banjir


Secara umum terdapat dua upaya pokok dalam pengendalian banjir di satu
kawasan, yaitu upaya teknis dan upaya non-teknis. Upaya teknis adalah
upaya yang berkaitan dengan pembangunan prasarana teknis dalam
menanggulangi banjir serta akibat yang ditimbulkannya.
Sedangkan non teknis lebih kepada pencegahan banjir yang ditekankan
pada mengatasi penyebab banjir. Antara lain dengan mengurangi laju
banjir dengan perbaikan kondisi lahan di bagian hulu sungai, pembebasan
bantaran sungai, penyadaran masyarakat dan sebagainya. Termasuk
dalam upaya penyadaran masyarakat adalah untuk ikut memelihara kondisi
sungai dan saluran dengan tidak membuang sampah dan limbah ke badan
air.
Usaha-usaha yang bersifat non teknis ini lebih menekankan pada usulan
kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah DKI dan partisipasi aktif dari
masyarakat dalam menanggulangi banjir di daerah ini. Bentuk kerjasama
tersebut diharapkan terjalin pada bidang-bidang pengelolaan sampah dan
limbah padat, penyelesaian masalah pemukiman yang menjorok ke badan
saluran/sungai dan pengembangan penampungan air setempat (on site
detention storage).
• Penanganan dalam konteks tata ruang
Penanganan banjir merupakan suatu pekerjaan yang kompleks yang tidak
bisa dilakukan secara terpenggal-penggal atau bagian per bagian.
Pekerjaan ini menuntut pendekatan yang integral, karena menyangkut
berbagai aspek. Untuk aspek fisik meliputi karakteristik sungai, tata guna
lahan, serta tingkah laku sosial ekonomi masyarakat di wilayah itu.

5-106
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

Semuanya ini saling mempengaruhi dan berdampak langsung terhadap


tata air.
Untuk itu pendekatan pemecahan masalah banjir , haruslah merupakan
bagian dari pengelolaan wilayah aliran sungai (river basin management).
Ini dilakukan karena aliran sungai itu merupakan suatu sistem jaringan
tersendiri, padahal manfaat sungai sebagai sumber air adalah multi guna
sehingga potensi untuk terjadinya conflict of interest sangat besar.
Dari aspek tata ruang, aliran sungai merupakan bagian atau unsur dari
ruang yang perlu mendapatkan tempat dan perlakuan yang semestinya
oleh masyarakat. Sebagaimana halnya dengan jaringan infrastuktur lainnya
seperti jalan raya, jaringan drainase, sanitasi, dan jaringan utilitas lainnya.
Perlakuan yang salah terhadap sistem tata air bisa mengakibatkan
bencana. Seperti banjir, krisis air bersih atau bahkan juga kekeringan.
Di wilayah perkotaan, sistem tata air permukan ini terbagi dua, sistem
sungai dan sistem drainase. Sistem sungai sebagai sumber air baku
sedangkan sistem drainase merupakan salah satu usaha manusia untuk
mengatasi masalah genangan air, khususnya yang disebabkan oleh air
hujan. Kedua sistem ini perlu direncanakan dengan baik. Agar tidak
menimbulkan masalah banjir disatu sisi, disisi lain agar air sebagai sumber
air baku dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin.
Dari pengaturan tata ruang, khususnya dalam konteks tata ruang wilayah
sungai -yang juga mencakup kawasan perkotaan-, pengendalian banjir
dan pemanfaatan air secara garis besarnya dapat diusahakan sebagai
berikut:
- Di Bagian Hulu : Fungsinya sebagai penahan (retention) air hujan
supaya tidak langsung runoff mengalir ke sungai, tapi masuk sebagian ke
dalam tanah, untuk menjadi bagian air tanah. Pemanfaatan ruang: hutan,
perkebunan, tanaman keras/pelindung.
- Di Bagian Tengah: Fungsinya sebagai penyimpan air (storage), air
hujan atau air sungai ditahan sementara untuk menyimpan air pada saat
musim hujan, dan dimanfaatkan pada saat musim kemarau, dan juga
sebagai pengisi air tanah. Pemanfaatan ruang: waduk, situ, empang,
balong, kolam, embung, badan sungai, bantaran sungai.
- Di Bagian Hilir : Fungsinya sebagai genangan dan memerlukan
pembuang air (drainage) genangan air hujan yang ada di kawasan urban
dialirkan melalui saluran drainase ke badan sungai dan terus ke laut.
Pemanfaatan ruang: saluran drainase, badan sungai, bantaran sungai,
tempat penyimpan air (waduk)
Untuk skala DKI Jakarta yang secara geografis terletak di kawasan hilir,
pemanfaatan ruang dalam rangka pengendalian banjir bisa dalam
beberapa bentuk. Seperti badan sungai, bantaran sungai, kolam
penampung banjir, polder, dan lain-lain. Desain dari bentuk-bentuk fisik
tersebut tentu harus memperhitungkan aspek-aspek hidrologis.
Meski demikian perlu diingat disini bahwa penanganan banjir di kawasan
hilir saja tak akan optimal. Perlu ada dukungan penanganan yang
memadai di kawasan tengah dan kawasan hulu, sehingga air yang
mengalir ke arah hilir tidak terlalu banyak lagi. Bagaimanapun juga jika air

5-107
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

yang masuk ke Jakarta sudah dalam jumlah banyak, pasti akan


mempersulit daerah ini dalam mengantisipasinya.
• Pembatasan penggunaan airtanah
Seperti yang dijelaskan pada bagian terdahulu, tanah lunak yang
dikombinasikan dengan penyedotan air tanah yang terus menerus akan
mengakibatkan land subsidence (amblesan). Penurunan muka tanah tidak
bisa dibiarkan terus menerus, harus ada upaya pencegahan. Jika ini tidak
dilakukan maka akan mengakibatkan muka tanah di DKI Jakarta semakin
jauh beda tingginya dengan muka air laut.
Usaha untuk mengurangi risiko penurunan permukaan ini adalah dengan
mengurangi penggunaan air tanah. Jika air tanah terlampau banyak
disedot maka rongga yang disebabkan oleh berkurangnya air tersebut,
akan membuat tanah diatasnya mengalami penurunan.
Untuk itu perlu ada aturan mengenai pembatasan penggunaan air tanah.
Antara lain dengan mengenakan pajak/retribusi yang tinggi bagi
masyarakat yang menggunakan air tanah, sementara itu disisi lain bagi
masyarakat yang menggunakan sumber lain, seperti air PAM justru
mendapat insentif.
Untuk industri sekala besar juga harus dilarang menggunakan air tanah.
Karena mereka ini justru menyedot air dengan jumlah yang sangat banyak.
Ini tentu sangat mengganggu kandungan air yang berada di dalam tanah.
• Pengembangan dan pemnafaatan situ/waduk
Fungsi situ dan waduk adalah meredam aliran air hujan (run off) supaya
tidak langsung masuk ke sungai-sungai. Dengan demikian berfungsi untuk
mengurangi besarnya luapan air dan bahaya banjir. Di samping itu, waduk
dan situ pada saat kemarau berfungsi sebagai tempat cadangan air,
dengan adanya waduk tersebut diharapkan dapat meresapkan airnya ke
dalam tanah. Ini tentu saja akan menambah cadangan air tanah yang pada
gilirannya dapat dipakai untuk kepentingan domestik penduduk di daerah
hilir.
Potensi pengembangan waduk diharapkan terjadi di kawasan Jakarta
Selatan dan Jakarta Timur. Namun kendalanya adalah masalah
pembebasan lahan di samping masalah pendanaan. Sedangkan di Jakarta
Utara dan Jakarta Pusat hanya sedikit terjadi perubahan peruntukan untuk
pengembangan situ dan waduk. Rencana pengembangan waduk dan situ-
situ tersebut tersebut bisa dilihat dalam lampiran.
Disamping memanfaatkan situ dan waduk, adu juga bencana yang
mungkin ditimbulkan oleh kehadiran waduk tersebut. Seperti kasus
jebolnya Situ Gintung, di Tangerang, 27 Maret 2009, lalu. Dalam kejadian
tersebut setidaknya seratus orang harus kehilangan nyawa. Berdasarkan
kejadian tersebut ada dua hal penting yang harus menjadi perhatian.
Pertama pemeliharaan situ dan yang kedua adalah membebaskan daerah-
daerah yang rawan disekitar situ dari rumah-rumah penduduk (daftar situ-
situ yang berisiko mengalami kegagalan teknis ada di lampiran) .
• Pengembangan pemanfaatan bantaran sungai
Bantaran sungai gunanya untuk menampung luapan air pada saat air
sungai naik. Dengan adanya luapan air sungai yang naik ke bantaran

5-108
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

sungai, maka tekanan air dan sebagian volume banjir menjadi tereduksi
sehingga daya rusaknya menjadi berkurang.
Dibeberapa lokasi sungai, keberadaan bantaran sungai ini perlu diamankan
dalam arti dilindungi dari kemungkinan terjadinya perumahan/bangunan
liar. Meski pada akhirnya nanti mereka-mereka inilah yang paling sengsara
jika kelak terjadi banjir. Akan tetapi keberadaan bangunan liar ini juga
sangat mengancam warga lain, karena mereka akan menahan dan
mempersempit limpasan air yang seharusnya mengalir di daerah aliran
sungai.
Masalah yang muncul adalah, sekarang ini sudah terlanjur banyak hunian
liar yang terbangun di kawasan tersebut (encroachment), sehingga pada
saat akan dibebaskan timbul masalah untuk penempatan para
ekspenghuni liar tersebut. Pembebasan aliran sungai dan bantaran sungai
dari bangunan liar memang keputusan yang segera harus diambil. Tak
ada toleransi untuk itu.
Permasalahannya adalah sebagian penduduk merasa sudah memiliki ijin
untuk tinggal di tempat itu. Pilihan yang paling baik adalah dengan
merelokasi warga yang tinggal di tempat itu untuk dipindah ke tempat lain.
Pemerintah menyediakan lahan dan bangunan untuk mereka bertempat
tinggal di lokasi yang baru.
Bagi penduduk yang masih enggan berpindah tentu harus ada tindakan
konkrit yang sesuai dengan koridor hukum. Misalnya, mereka yang
terlanjur memiliki ijin, saat perpanjangan ijinnya tiba, maka ijin tersebut
tidak diperpanjang lagi. Mulai saat itu berarti mereka sudah tergolong
penghuni liar. Jika para penduduk liar ini masih tidak mau berpindah
tempat juga maka harus diambil tindakan tegas. Garis sepadan sungai
harus mengacu kepada peraturan menteri Pekerjaan Umum Nomor 63
Tahun 1993.
Gambar 5.61
Sempadan Sungai Menurut Peraturan Menteri Pu No : 63/1993

5-109
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

• Pengaturan Pentaaan Ruang (Redevelopment) Kawasan


Permukiman
Kebanyakan bangunan-bangunan perumahan di DKI Jakarta, terutama
pada perumahan kumuh lebih dominan dalam formasi horisontal atau
hanya terdiri dari satu tingkat saja. Dari segi tata ruang tentu sangat boros
dalam pemakaian lahan. Akibatnya ruangan terbuka yang berguna untuk
aliran udara dan resapan air hujan menjadi terbatas.
Untuk mengatasi ini, salah satu solusi adalah dengan membangun pola
perumahan dengan sistem blok bertingkat. Sebenarnya sudah ada pola
pembangunan rumah susun tapi kelemahannya adalah rumah susun yang
ada terlalu tinggi dan jumlah unit rumah yang kelewat banyak. Dari segi
ruang, memang menghemat penggunaan lahan, akan tetapi masalah atau
dampak sosial yang ditimbulkan dari kelompok keluarga yang menghuni
rumah susun itu cukup besar. Banyak studi yang melaporkan sisi negatif
dari pembangunan rumah susun. Karena itu alternatif lainnya adalah
pembangunan rumah dengan sistem blok.
Dari aspek hidrologis, pola ini juga lebih menguntungkan karena dengan
adanya ruang terbuka yang lebih lebar, maka kemungkinan terjadinya
resapan air menjadi lebih besar pula. Penataan ruang seperti ini bisa
berpengaruh terhadap pengurangan dampak bahaya banjir.
• Pengaturan Limbah Dan Sampah
Masalah limbah dan sampah di DKI Jakarta memperparah masalah banjir
dan kondisi lingkungan. Sampah yang tidak dikelola dengan baik dapat
menyumbat saluran-saluran drainase dan merusak kualitas air sungai.
Pembuangan air limbah langsung ke badan sungai, menambah buruk
kualitas air sungai sehingga mengancam tingkat kesehatan masyarakat
yang tinggal di sekitar saluran-saluran terbuka.
Pada saat ini, hampir di seluruh tempat di DKI Jakarta, masyarakat
membuang limbah cair rumah tangga dan bahkan industrinya langsung ke
sungai. Kegiatan ini ditambah dengan kebiasaan sebagian besar lapisan
masyarakat yang membuang sampahnya langsung ke sungai sehingga
memperparah kualitas air sungai. Untuk mengatasi masalah ini diperlukan
manajemen persampahan yang kompleks, melibatkan seluruh warga
masyarakat dari tingkat provinsi, kotamadya, kecamatan, RT/RW dan
bahkan rumah tangga.
• Permukiman Yang Menjorok Ke Badan Sungai/Saluran
Laju urbanisasi yang tinggi di kota-kota besar khususnya di DKI Jakarta
adalah salah satu penyebab dari adanya pemukiman yang menjorok ke
badan saluran/sungai. Para pendatang yang sebagian besar berpendidikan
rendah dan berpenghasilan kurang, tidak mampu membeli tempat hunian
yang layak di kota. Sehingga mereka memakai lahan-lahan yang
seharusnya tidak untuk ditempati seperti daerah sempadan sungai, jalur
kereta api, kolong jembatan layang dan sebagainya.
Limbah rumah tangga yang dihasilkan oleh pemukiman yang menjorok ke
badan saluran/sungai cenderung untuk dibuang langsung ke badan air.
Akumulasi dari limbah yang dibuang ke badan air tersebut bersama-sama
dengan limbah yang datang dari hulu, akan menghambat aliran dan

5-110
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

mempercepat pengendapan di alur sungai dan di muara sehingga pada


saat banjir air akan meluap ke kanan kiri saluran/sungai.
Diperlukan peraturan yang jelas dan tegas serta penegakan hukum untuk
menertibkan pemukiman yang menjorok ke badan air, tanpa mengabaikan
hak sosial ekonomi masyarakat yang tinggal di pemukiman tersebut.

• Konservasi DAS
Untuk menahan air dan mengurangi koefisien run off (air yang mengalir
dipermukaan), maka perlu dilakukan konservasi di aliran sungai. Jika
terjadi peningkatan jumlah hujan, harus ada usaha untuk mengeleminir
jumlah air yang langsung terbuang ke sungai. Sedapat mungkin air yang
terserap ke dalam tanah bisa dilakukan seoptimal mungkin. Upaya yang
dilakukan adalah dengan melakukan penghijauan dan penanaman di
sekitar sungai.
Usaha untuk menahan air melalu konsevasi ini sebaiknya diupayakan
secara maksimal. Salah satu caranya adalah dibuat berselang seling
antara tanaman dengan tracering upstream (cekungan kecil untuk
menahan air). Dengan cara seperti ini air yang di dalam tracing itu bisa
terserap sebelum masuk ke sungai.

J. Upaya Teknis Pengendalian Banjir


Meski upaya non teknis tak bisa dikesampingkan, yang sering menjadi
perhatian masyarakat luas justru upaya teknis dari pengandalian banjir itu
sendiri. Bagi masyarakat awam, selalu beranggapan bahwa usaha-usaha
teknis yang dilakukan bisa cepat mengurangi dampak banjir. Padahal untuk
mengoptimalkan upaya pengendalian banjir adalah dengan menjalankan
secara bersama-sama upaya teknis dan upaya non teknis sekaligus.
Upaya teknis yang dimaksudkan adalah untuk memperbaiki dan
meningkatkan kemampuan sistem yang ada dalam membuang air
genangan yang disebabkan oleh hujan setempat dan pembuangan air
banjir yang datang dari hulu langsung ke laut.
• Perbaikan Kapasitas Saluran Makro
Secara umum banjir yang terjadi di ibukota disebakan oleh :
− Lokasi DKI Jakarta yang sebagian berupa merupakan dataran rendah
di sepanjang pantai.
− Curah hujan harian rata-rata yang mencapai 115 mm terjadi sekali
dalam 2 tahun
− Di beberapa sungai yang melintas kawasan Jakarta aliran banjir yang
datang dari hulu terjadi dengan cepat.
Karena itu termasuk hal yang utama dalam menangabi masalah banjir
adalah bagaimana air bisa langsung bergerak cepat melalui saluran makro,
yang ada. Sehingga tak tergenang terlebih dahulu di lahan-lahan milik
warga, perkantoran, tempat-tempat umum dan jalan raya. Di Jakarta
masuk dalam saluran makro ini adalah sungai dan kanal-kanal yang
mengalirkan air langsung ke laut.

5-111
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

• Banjir Kanal Barat


Kebijakan membangun saluran pengalih banjir di dataran rendah ini,
sebenarnya sudah dilaksanakan sejak jaman Belanda. Pada tahun 1918
Prof.Ir.H.van Breen membangun saluran pengalih Banjir Kanal Barat
(BKB). Ini dimaksudkan untuk membuang air dari kali Ciliwung ke
sebelah barat melalui kali Angke. Disamping itu, BKB juga akan
menampung air banjir dari Kali Baru Barat, K.Cideng dan K.Krukut.
Saat itu hasilnya cukup efektif , daerah perkotaan dengan luas sekitar
2.500 hektar pada waktu itu, berhasil dibebaskan dari genangan banjir.
Adanya saluran pengalih banjir sepanjang 18,2 kilomter ini benar-benar
sangat terasa manfaatnya. Kini setelah sekitar 90 tahun kemudian, BKB
tentu tak mampu menahan sendirian genangan air dalam jumlah banyak di
Jakarta. Untuk itu diperlukan upaya lain untuk mengalihkan banjir di
kawasan Jakarta.
Jika saat pertama kali dibuat BKB hanya mampu melindungi 2.500 ha kini
bebannya semakin berat, saluran ini dianggap bisa melindungi kawasan
pemukiman hingga seluas 7.500 hektar. BKB menampung air banjir dari
sungai-sungai Ciliwung, Cideng, Krukut, Grogol, Sekretaris, Angke, dan
Pesanggrahan, termasuk anak-anak sungainya. Saluran pengalih banjir
ini sendiri dimulai dari pintu air Manggarai. Karakteristik dari BKB pada
awal perencanaan dapat dilihat pada berikut:

Tabel 5.14
Karakteristik Utama Banjir Kanal Barat
Jar Kemirin Leba Kemirin Q100 Mu
ak gan r gan (m3/ ka
*) dasa dasar det) air
(%)
(k r saluran (P
m) salu P+
ran )
(m)
0
1:1.5 13.5 0.00033 290 +
4.0
4.2
“ 17.0 “ 370
0 +
9.8
4.0
9
“ “ 370
17.0
0 **)
12.
1:2 0.00025 525
2
28.0 **)
0
18.
2
Catatan: *) jarak 0 = Pintu air Manggarai **) dipengaruhi oleh muka air laut

5-112
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

• Prinsip Desain dari Saluran Pengalih Banjir BKB


Desain saluran pengalih banjir BKB didasarkan atas prinsip-prinsip sebagai
berikut:
a) Saluran pengalih banjir direncanakan untuk mampu mengalirkan air
banjir dengan periode ulang 100 tahun (Q100).
b) Pada prinsipnya trase memanjang BKB harus sedekat mungkin
dengan daerah dataran rendah yang tidak dapat dikeringkan secara
gravitasi. Tetapi karena topografi daerah tidak beraturan sehingga hal
ini tidak selalu bisa dipenuhi. Pada beberapa kawasan di selatan BKB
terutama pada pertemuan antara sungai dengan BKB perlu diurug
agar dapat mengalirkan air ke BKB.
c) Trase vertikal dan potongan melintang ditentukan oleh beberapa
pertimbangan, dan yang terpenting adalah kapasitas pengangkutan
sedimen sepanjang alur saluran dan apabila persyaratan ini tidak bisa
dipenuhi maka pengurangan kapasitas angkut sedimen harus
berlokasi pada suatu tempat dimana pengerukan sedimen lebih
mudah, misalnya di sekitar muara.
d) Muka air di muara ditentukan oleh muka air laut. Dari pengamatan
diketahui bahwa puncak banjir di BKB akan berlangsung dalam waktu
sekitar 3 jam
e) Mulai dari km 9,8 dan di sepanjang kali Angke Bawah tinggi jagaan
diatas muka air banjir rencana harus 1,50 meter
Kemiringan tebing saluran dan tanggul sepanjang K.Angke dari muara
sampai pertemuan dengan K.Angke diambil 1:2 (tebing kiri), vertikal (tebing
kanan), dari pertemuan dengan K.Angke sampai jembatan Aipda kedua
tebing tegaklurus (concrete sheet pile) dan dari jembatan Aipda sampai
Pintu Air Karet kemiringan 1:2.
Sedangkan prinsip desain untuk bangunan di sepanjang BKB adalah
sebagai berikut:
− Banjir dengan periode ulang 2 tahun harus dapat lewat tanpa
hambatan di bawah jembatan maupun di pintu-pintu air
− Elevasi bawah jembatan harus 1,50 meter diatas muka air banjir
dengan debit rencana Q100, fondasi jembatan harus paling sedikit 20 m
di bawah dasar saluran dan dasar saluran pada jembatan harus
diperkuat sampai muka air pada banjir Q100;
− Saluran tidak diperlebar di tempat bendung, pintu bendung harus
dioperasikan secara mekanis agar cepat dan jumlah pintu di bendung
harus ganjil agar terdapat pola aliran yang simetris pada saat tidak
semua pintu dibuka.
• Pembangunan Banjir Kanal Timur (BKT)
Tujuan utama dari pembangunan Banjir Kanal Timur (BKT) adalah untuk
melindungi bagian timur kawasan Kota Jakarta dari banjir akibat dari
meluapnya Kali Cipinang, K.Sunter, K.Buaran, K.Jatikramat dan K.Cakung.
Disamping mengendalikan banjir, salah satu tujuan dari pembangunan BKT
adalah untuk keperluan transportasi sungai untuk mengurangi tekanan

5-113
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

transportasi jalan raya di daerah tersebut. BKT pertama kali diusulkan oleh
NEDECO (1973) melalui Study of Master Plan for Drainage and Flood
Control of Jakarta dan beberapa studi lain juga sudah diusulkan untuk
memperkuat usulan ini.
Panjang BKT pada kajian ini menjadi 23,4 km, sebelumnya rencana
panjang saluran oleh NEDECO, 1973 adalah 23,6 km. Penangkap pasir
gunanya untuk tempat pengendapan dari sedimen, ditempatkan pada
lokasi km 8,032 sampai km 9,144 dengan kapasitas 300.000 m3. Lokasi ini
terlokalisir sehingga sedimen tidak menyebar di sepanjang kanal. Tempat
penangkapan sedimen ini dimensinya 300 m x 1000 m, dimana nantinya
bisa berfungsi sebagai tempat rekreasi.
BKT dilengkapi dengan tiga buah bendungan, masing-masing di kilometer
2,090, km 9,91 dan km 17,940.Dalam kondisi normal, Bendung I, II dan III
berfungsi sebagai pengatur muka air. Ini dilakukan untuk melancarkan
penggunaan saluran sebagai sarana transportasi sungai, serta untuk
mencegah penurunan muka air tanah/intrusi air laut dan sedimentasi
saluran.
Tiga bendung yang dibangun akan dilengkapi dengan pintu tetap beroda
(fixed wheel gate) yang diangkat dengan tenaga listrik dengan 2 kabel
penarik (stem sindle hoist). Dalam kondisi darurat akan digerakkan dengan
motor diesel berkapasitas 50 KVA dan rantai blok (block chain) untuk
menarik pintu saringan sampah secara manual. Tujuh inlet dan 4 outlet
akan dibangun di sepanjang BKT. Dua puluh tiga jembatan jalan raya dan
1 buah jembatan kereta api direncanakan dibangun untuk memfasilitasi
pengembangan wilayah di kawasan timur dan utara Jakarta.

Gambar 5.62
Banjir Kanal Timur

5-114
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

• Sodetan BKT-BKB
BKB yang mulai dikerjakan tahun 1920, kini usianya telah hampir
mencapai 90 tahun. Dalam kurun waktu sepanjang itu kondisi DKI Jakarta
sudah jauh berubah. Penduduk yang jauh lebih padat menyebakan
kapasitas BKB tak mampu lagi menampung limpasan dikala musim hujan
tiba. Terutama pada saat bulan-bulan basah Januari dan Februari. Untuk
kedepannya perlu bantuan dari BKT untuk mengurangi beban dari BKB.
Karena itu diperlukan adanya sodetan antara BKB dan BKT. Sodetan itu
paling cocok adalah dibuat antara Kali Ciliwung -merupakan titik awal BKB-
, yang dihubungkan ke BKT. Dengan bantuan sodetan ini maka beban dari
BKB akan banyak berkurang.

Gambar 5.63
Rencana Sodetan Kali Ciliwung – BKT

• Pengerukan dan Pelebaran Sungai


Salah satu penyebab banjir di Jakarta adalah semakin tidak memadainya
kemampuan sungai untuk mengalirkan/membuang langsung air ke laut.
Tidak saja karena jumlah sungai yang dianggap kurang dibandingkan
banyaknya air yang melimpas dikala musim penghujan tiba, akan tetapi
berkurangnya kapasitas sungai juga menambah parah dampak dari
limpasan air itu tersebut. Hal ini disebabkan karena semakin banyaknya
sedimen yang mengendap didasar sungai dan semakin sempitnya mulut
sungai. Akibat buruknya pengelolaan saluran air selama bertahun-tahun
mengakibatkan pengendapan lumpur dan berkumpulnya sampah padat
yang cukup banyak di dasar sungai.
Penumpukan lumpur pada sistem tersebut dan terutama terjadi pada aliran
keluar dari sungai besar ke laut.Ini menyebabkan kapasitas sistem

5-115
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

pengaliran air, baik pada tingkat makro maupun mikro, bisa berkurang
hingga kadang-kadang mencapai 70%.
Karena itu sistem pengaliran air harus dikembalikan fungsinya dengan
baik, harus sesuai dengan kapasitas aliran yang sebelumnya sudah
dirancang. Untuk itu perlu dilakukan pengerukan yang dimulai dari
pengerukan bagian hilir sungai yang menuju ke laut, diikutin dengan
pengerukan saluran saluran utama.

Karena itu perlu dilakukan pembersihan/pelebaran dan pengerukan


sungai dari tumpukan limbah ditepi sungai dan sedimen dari dasar
saluran. Ini harus dilkukan secara berkala. September, 2008, Pemda DKI
Jakarta bekerjasama dengan Pemerintah Belanda telah melakukan
proyek percontohan pelaksanaan pengerukan dengan menggunakan
floating bulldozer, dibeberapa tempat di DKI. Seperti Saluran Kali Mati
dan Kali Pademangan di Kelurahan Pademangan Barat, Kecamatan
Pademangan-Jakarta Utara dan saluran-saluran lainnya.
Alat ini terbukti bekerja cukup efektif, terutama untuk saluran di lokasi-
lokasi yang padat penduduk dimana sedimen tidak bisa diambil dengan
alat secara langsung dari pinggir saluran. Dengan sistem ini pengerukan
dapat dilakukan tanpa merusak tanaman atau pohon yang ada disepanjang
saluran, karena proses bongkar muat sedimen dilakukan disuatu lokasi
kosong atau diatas jembatan yang telah dipilih dan disurvei sebelumnya.
Pengerukan dibawah jembatanpun dapat dilakukan , asal jembatan
tersebut masih mempunyai ruang bebas sekitar 50cm diatas air, sehingga
FB dan operatornya dapat bergerak dibawahnya.
Sistem pengerukan ini merupakan yang pertama kali dilakukan di
Indonesia, walaupun di negeri asalnya Belanda telah mulai dilakukan
sekitar 20 tahun yang lalu. Sesuai dengan namanya “Floating Bulldozer
(FB)” yang berarti buldoser terapung, alat ini digunakan untuk mendorong
material sedimen dari dasar saluran kearah lokasi di saluran yang
terjangkau oleh excavator.
Pemda juga telah mendapat bantuan dari Bank Dunia untuk melakukan
pengerukan beberapa sungai, dan waduk yang dilakukan dari tahun 2009
hingga tahuan 2012. Pelaksanaan pengerukan ini diharapkan mampu
mengurangi jumlah limpasan air yang meluber ke luar salauran di saat
hujan besar turun di kawasan Jakarta.

5-116
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

Gambar 5.64
Pengerukan Sungai, Waduk dengan Bantuan Bank Dunia 2009 - 2012

• Perbaikan Pintu Air


Pintu air adalah bagian yang penting dalam mengontrol tinggi air di
saluran, karena fungsinya menahan atau mengeluarkan air yang ada di
saluran. Jika musim hujan dan air dari hulu melimpah maka keberadaan
pintu ini sangat krusial, apakah harus dibuka atau tetap ditutup, tergantung
kebutuhan dan bahaya yang ditimbulkan, jika air terus dibiarkan memenuhi
saluran.
Ironisnya, sering sekali pintu-pintu tak berfungsi dikala benar-benar
diperlukan. Akibatnya aliran air menjadi tidak bisa dikontrol, hal ini tentu
saja memperbesar kemungkinan terjadinya bencana. Karena itu perlu
adanya tindakan perawatan yang sifatnya rutin terhadap pintu-pintu air
yang ada. Perawatan ini harus dilakukan seminggu sekali.
Pertama-tama harus dipastikan bahwa bagian-bagaian pintu tetap dalam
kondisi lengkap, tidak ada yang hilang atau rusak. Pintu hidrolik perlu
dilihat apakah bisa berjalan atau tidak, agar lancar maka perlu diminyakin
secara rutin. Disamping itu bagian bidang pintu yang mungkin mengalami
karat, harus dilakukan pengecatan agar tidak mengalami korosi.

Pintu Air Manggarai


Untuk mengurangi besarnya aliran banjir dari kali Ciliwung ke kawasan
perdagangan dan perkantoran di kota Jakarta, aliran banjir tersebut dibagi
ke BKB, saluran Jl.Surabaya dan ke K. Ciliwung Lama. Bangunan pembagi
aliran tersebut adalah Pintu Air Manggarai.

5-117
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

Bangunan ini memiliki 3 pintu pengontrol aliran, dimana 2 pintu utama


mengalihkan aliran banjir ke BKB dan 1 pintu air kecil (di sebelah kanan
pintu utama) mengalirkan air banjir ke saluran Jl. Surabaya. Di kompleks
pintu air Manggarai terdapat 1 pintu lagi yang mengalirkan air ke kali
Ciliwung Lama (Ciliwung Hilir).
Pada elevasi PP+0,75 m (kondisi normal), pintu air ke kali Ciliwung Lama
dibuka 25 cm untuk memelihara aliran di kali Ciliwung Lama. Dua buah
pintu utama dibuka untuk menggelontor limbah padat dan sampah. Pada
saat debit air kecil, operator pintu hanya membuka 1 pintu utama dengan
bukaan terbatas dan pada saat puncak musim kemarau operator hanya
membuka 1 pintu utama setinggi 30 cm saja.
Pembukaan pintu air ke kali Ciliwung Lama sampai ketinggian 1 meter
menjadi tanggung jawab penjaga pintu. Pembukaan pintu lebih dari 1 meter
akan menyebabkan banjir di beberapa daerah di hilir. Pada kasus ini
keputusan membuka pintu berada ditangan Kepala Dinas PU DKI Jakarta.
Untuk membuka pintu lebih dari 1,50 meter pintu hanya boleh dilakukan
atas perintah dari Gubernur DKI Jakarta.

Pintu Air Istiqlal


Pintu air di kompleks mesjid Istiqlal berada di Kali Ciliwung Lama, di
sebelah hilir Pintu Air Manggarai. Di bangunan ini terdapat 3 pintu air
dimana 2 pintu air dengan lebar masing-masing 3,30 meter mengapit 1
pintu air utama dengan lebar 6 meter.
Pengoperasian pintu air dimulai pada saat muka air mencapai + 3.5 meter
sampai + 4.0 meter.
Pada saat muka air lebih tinggi dari +4.0 meter maka seluruh pintu air
harus dibuka. Di dalam kompleks masjid ini, K. Ciliwung Lama bercabang
ke barat mengalir di sepanjang Jl Juanda, Jl.Gajah Mada, Jl.Tangki dan
Jl.Pasar Ikan sedangkan yang ke timur mengalir sepanjang Jl.Pos,
Jl.Gunung Sahari dan terus mengalir ke laut melalui pintu air Marina.
Kedua aliran sungai Ciliwung ini mengalir melalui kawasan perkantoran.
• Penambahan Dan Perbaikan Sistem Sub-Makro
Masuk dalam cakupan Sub Makro ini adalah waduk atau situ yang ada di
kawasan ini. Jumlah waduk yang ada di Jakarta memang sudah sangat
kurang. Beberapa waduk juga sudah tak berfungsi lagi ada yang rusak dan
bahkan ada yang dijadikan rumah penduduk. Disamping itu kapasitas
waduk yang sudah ada juga terus menerus berkurang, karena banyaknya
sedimen dan semakin kecilnya area tangkapan waduk.
Karena itu perlu ada perbaiakan kapasitas waduk yang sudah ada, baik
dengan cara pengerukan maupun pelebaran waduk yang sudah ada.
Disamping itu hunian-hunian yang memperkecil kapasitas waduk harus
dibebaskan. Waduk-waduk yang sudah tidak aktif lagi harus kembali
dibenahi agar bisa dipergunakan lagi. DKI Jakarta, tak hanya bisa
mengandalkan waduk yang telah ada, penambhana jumlah waduk juga
harus dilakukan. Sehinga rasio badan air bisa lebih ditingkatkan.
Bagian dari waduk tersebut, yang sekarang mendesak dilakukan di DKI
Jakarta adalah pembangunan Sistem Polder dibeberapa kawasan. Sistem

5-118
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

ini efektih untuk membuat satu daerah terhindar dari banjir. Khusus
mengenai sistem polder ini akan dibahas secara rinci pada bagian lain.
• Perbaikan Sistem Mikro
Saluran pembuangan/drainase (sistem mikro) lingkungan juga termasuk
yang cukup rumit permasalahan di ibukota. Tidak lancar saluran ini
membawa air ke saluran sub makro menjadi penyebab utama, banjir di
satu kawasan. Berkenaan dengan sistem mikro ini ada beberapa
penyebab yang membuat limpasan air berpotensi tertahan di satu wilayah
tersebut.
Pertama, dalam satu daerah ada yang tidak mempunyai saluran darinase
sama sekali. Akibatnya ketika hujan lebat air hanya mengalir di lorong-
lorong di sela-sela rumah penduduk. Biasanya ini terdapat di daerah padat
penduduk dengan banyak bangunan liar, sehingga pembangunannya
terkesan asal-asalan saja.
Kedua adalah banyaknya sistem drainase lingkungan yang tidak berfungsi
sama sekali. Saluran mikronya ada tapi dalam keadaan sudah “mati” air
tak bisa lagi bergerak kemana-mana. Hal ini biasanya terjadi disamping
karena memang lemahnya kemauan warga dalam memelihara saluran
tersebut, juga karena tidak adanya ijin prinsip mendirikan banguan bagi
para warga baru atau setidaknya komunikasi antara warga yang akan
membangun dengan warga yang telah lebih dahulu ada, sehingga
bangunan baru justru menghambat aliran drainase yang telah ada.
Akibatnya saluran tersebut tak lagi ada gunanya.
Sedangkan yang ketiga, yang paling banyak dialami warga Jakarta adalah
semakin kecilnya kapasitas drainase lingkungan. Sehingga kemampuan
mengalirkan air drainase tersebut sangat kecil, akibatnya jika hujan lebat
turun kemampuannya mengalirkan sangat tak memadai. Ini akibat semakin
sempitnya salauran dan semakin tebalnya sedimen yang ada dibawahnya.
Karena itu, perlu ada perawatan rutin untuk menjaga kapasitas saluran
drainase tersebut agar tetap optimum.
• Pengembangan Dan Pembuatan Sumuran/Resapan Air
Pengembangan resapan air, bukan hanya dalam bentuk waduk dan situ,
tapi bisa juga dalam bentuk sumur-sumur resapan yang berbentuk lubang-
lubang sumuran kecil namun dibangun massal dalam skala kota. Misalnya
di lingkungan perumahan, pertokoan, jaringan drainase jalan, taman,
tempat/lapangan olah raga, dan lain-lain. Dengan adanya lubang-lubang
sumuran ini diharapkan sebagian runoff dapat meresap ke dalam tanah
dan menjadi cadangan tambahan air tanah (hujan dengan intensitas
rendah).
Ukuran sumuran ini tidak usah terlalu lebar, cukup misalnya 1 x 2 meter
dengan kedalaman 2 atau 3 meter, sampai mencapai lapisan pasir, dengan
diberi perkuatan dinding beton atau lainnya. Sumuran tersebut diberi
berpori dan dasarnya tetap berupa tanah dan diberi saringan, sehingga air
hujan dapat meresap ke dalam tanah dan menjadi air tanah.
Kawasan-kawasan yang bisa dikembangkan sumur resapan untuk masa
depan, antara lain adalah:
− Perumahan (pada halaman rumah)

5-119
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

− Halaman pertokoan, mall, supermarket


− Tempat parkir terbuka
− Tempat rekreasi terbuka
− Halaman sekolahan: SD, SMP, SMA, Universitas
− Sepanjang jaringan/saluran drainase tepi jalan (dalam interval jarak
tertentu, dan
− diberikan penyaringan . Namun tidak berlaku bagi kawasan yang
lapisan aquifernya
− dangkal, kurang dari 5 m)
− Lapangan: taman, lapangan sepak bola, golf, stadion, Monas (dalam
jalur lintasan
− tertentu)
− Pemerintahan: halaman kantor kelurahan, kecamatan, kotamadya.
Bila di seluruh wilayah DKI Jakarta bisa diterapkan kebijakan ini, maka
volume air hujan yang bisa ditahan dan meresap ke dalam tanah akan
bertambah dan akan menambah cadangan air tanah. Akan tetapi, harus
pula diingat bahwa semakin ke utara pembuatan sumur perasapan
semakin tidak disarankan. Karena muka air tanah sudah semakin tinggi.
Jadi buat daerah yang muka air tanahnya kurang dari lima meter, diminta
untuk tidak membuat sumur perasapan.
• Pembangunan Bangunan Penahan Lumpur (Kantong Lumpur)
Sebagaimana laporan sedimentasi PUSAT 3-10, diketahui tingkat
pelumpuran sungai-sungai di wilayah DKI Jakarta cukup tinggi. Proses
pelumpuran ini menyebabkan sungai menjadi semakin dangkal, dan
menyebabkan permukaan air sungai menjadi cepat meninggi dan air
melimpas. Akibatnya ketika air meninggi, akan melimpas dan
menyebabkan banjir. Untuk mencegah dan mengurangi besarnya lumpur
yang mengendap di dasar sungai, perlu dibuat bangunan penahan lumpur
pada lokasi-lokasi tertentu.
Untuk wilayah DKI Jakarta ini perlu ada studi mengenai kemungkinan
dibangunnya tempat-tempat kantong lumpur ini, sekaligus dirancang pula
tempat pembuangan lumpur pada saat kantong-kantong lumpur tersebut
menjadi penuh dalam konteks tata ruang DKI Jakarta. Pembuangan lumpur
bisa menjadi isu sosial apabila tidak dirancang dari awal, karena lokasi
pembuangan lumpur ini akan bertambah terus secara kumulatif, dan
tentunya memerlukan ruang khusus untuk itu.

5-120
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

Gambar 5.65
Kantong Lumpur

KANTONG LUMPUR

Aliran sungai

Bangunan Penahan Lumpur

Pembuangan lumpur ini (sediment disposal) yang perlu dirancang dari


awal. Ada beberapa alternatif untuk itu:
1. Ditimbun di tempat-tempat genangan air yang bukan merupakan
tempat parkir air
2. Dibuang ke tempat untuk reklamasi pantai
3. Dipakai untuk meninggikan pondasi bangunan-bangunan prasarana
seperti jalan raya, bangunan, dan lain-lain
• Pengembangan Tampungan Setempat (OSD: On-Site Stormwater
Detention)
Ketika suatu wilayah dikembangkan maka proporsi permukaan yang kedap
air seperti atap dan perkerasan beton akan bertambah. Disisi lain
permukaan yang dapat menyerap air dan memungkinkan adanya infiltrasi
seperti lapangan rumput dan kebun menjadi berkurang. Perubahan ini
menambah kuantitas maupun laju aliran air hujan yang mengalir.
Pada hampir semua keadaan penambahan aliran air permukaan akan
melebihi kapasitas tampung saluran drainase sehingga terjadi genangan
dan banjir yang mengganggu. Kolam penampung setempat (On-site
Stormwater Detention/(OSD)) pada wilayah yang luas dapat membatasi
laju aliran permukaan seperti sebelum pembangunan.
Studi pengendalian banjir WJEMP DKI 3-9 (2004) telah mengeluarkan
Laporan berjudul ”Kriteria Perencanaan OSD” yang berisi pertimbangan
dan kriteria desain untuk pembangunan OSD di lingkungan perkotaan,
khususnya DKI Jakarta. Laporan ini berisi kajian ulang atas informasi, latar
belakang, aspek sipil, hidrologi, desain hidrolik dan pemeliharaan OSD.
Pada tingkat strategi pengendalian banjir dimasa yang akan datang,
pembuatan fasilitas OSD ini harus menjadi prasyarat dalam pembangunan
baru maupun pembangunan kembali suatu kawasan. Pengembang suatu

5-121
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

daerah harus menyerahkan rencana konsep drainase air hujan


(Stormwater Drainage Concept Plan atau SDCP). Rencana tersebut harus
menunjukkan dengan jelas kelayakan sistem drainase yang diusulkan dan
hubungannya dengan sistem sub-makro dan makro yang ada, sehingga
tidak akan terjadi hambatan. Trase aliran air, baik aliran bawah tanah
maupun aliran permukaan, ukuran dan lokasi dari OSD harus masuk dalam
rencana tersebut.
OSD harus serasi dengan lingkungan dimana luas tampungan dan debit
harus sesuai dengan jenis tampungan yang dibangun. OSD tidak
ditempatkan pada jalur aliran sungai tetapi berada diluar aliran sungai
(offstream). Sistem tampungan penahan air ini dimaksudkan untuk
mengendalikan aliran dari suatu kawasan pengembangan dan perlu
dipelihara secara teratur.
Pembangunan OSD harus mendapat dukungan penuh dan partisipasi dari
masyarakat karena:
1. OSD terletak ditengah-tengah permukiman masyarakat sehingga
masyarakat perlu dilibatkan dalam kegiatan OP
2. OSD hanya diperlukan dalam kondisi musim hujan, sehingga pada saat
musim kemarau OSD dapat digunakan untuk kepentingan lain oleh
masyarakat disekitarnya
3. OSD harus dikelola secara terpadu dengan pengelolaan banjir dan
sistem drainase yang ada didaerah tersebut.

K. Sistem Polder Berbasis Partsisipasi Masyarakat


Ada tiga masalah utama dalam pengelolaan air, yakni air yang terlalu
banyak, air yang terlalu sedikit dan air bermutu buruk. Dimusim hujan
jumlah air melimpah hingga terjadi banjir, disisi lain disaat musim kemarau
persedian air minim mengakibatkan terjadinya kekeringan. Sedangka air
yang buruk kualitasnya menyebabkan terjadinya polusi. Dalam pengelolaan
air semua permasalahan ini sebisa mungkin dicarikan penyelesaiannya.
Dengan sistem polder hal tersebut bisa ditangani secara lebih terintegrasi.
Sistem polder bukanlah penghadang banjir yang semata-mata hanya
menjaga satu kawasan terbebas dari banjir. Sistem ini mengelola
lingkungannya agar bersahabat dengan air. Dimusim hujan tidak
tergenang, sementara itu di musim kemarau air yang tersimpan di waduk
bisa mencegah penurunan drastis muka air tanah di kawasan tersebut.
Sementara itu kualitas air yang masuk ke dalam waduk dapat lebih mudah
dikontrol sedemikian risiko terjadinya pencemaran bisa dikurangi. Secara
sosial, waduk bisa dimanfaatkan sebagai tempat rekreasi.
Polder adalah suatu daerah tertutup yang tinggi muka airnya diatur secara
‘artificial’. Sistem polder ini berasal dari Negeri Belanda dan telah memiliki
riwayat panjang. Keberhasilannnya juga sudah teruji, saat ini sekitar 65%
dari Negeri Belanda akan banjir jika tidak ada polder/peninggian-
tanah/pemolderan. Jika sekarang kita melihat sistim polder ini, maka kita
melihat suatu sistem yang tertata dan teratur. Tak ada yang menyangka
bahwa hal ini bisa terjadi akibat pengembangan sistem lahan dan air
yang berangsur-angsur sejak seribu tahun yang lalu.

5-122
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

• Polder Dan Elemennya


Batas daerah polder tak mesti berbentuk tanggul, namun bisa berupa jalan
raya, jalan kereta api dan lain sebagainya. Jalur itu tidak dilalui air dan
berfungsi sebagai batas hidrologi. Tidak ada air yang masuk ke dalam
polder dari luar polder. Hanya air yang berasal dari hujan dan rembesan
(seepage) yang masuk ke dalamnya. Polder mempunyai struktur keluar
(outlet structure), bisa berbentuk pompa atau pintu air, hal ini dimaksudkan
untuk mengatur debit keluarnya air.
Air tanah dan air permukaan di dalam polder tidak dipengaruhi oleh tinggi
air di luar polder. Tinggi air tanah dan air permukaan di dalam polder
dikontrol sedemikian rupa sehingga tujuan dari polder dapat optimal.
Polder sistem bisa menjadi solusi terhadap problem banjir/genangan di
daerah rendah dimana air tidak bisa dialirkan secara gravitasi ke sungai
atau ke laut. Dalam hal seperti ini, sistem polder berfungsi sebagai sistem
flood control untuk daerah perkotaan.
Untuk dapat menjalankan fungsinya secara efektif, polder dilengkapi
dengan sejumlah elemen:
− Tanggul/dinding penahan limpasan air
− Sungai/Kanal
− Waduk
− Saluran internal
− Pompa dengan atau tanpa pintu air
Tingkat keamanan polder disesuaikan dengan tingkat resiko dan nilai
ekonomis dari daerah yang ingin dilindungi.

Gambar 5.66
Polder Elemen

5-123
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

Gambar 5.67
Tipikal Sistim Polder

• Hakekat Keselamatan
Secara sederhananya, orang yang ingin membuat pertahanan banjir
berdasarkan muka air tertinggi yang diketahui. Berdasarkan angka
tersebutlah didesain pertahanan banjir sesuai dengan muka air tertinggi
tersebut. Akan tetapi untuk sistem polder tingkat keselamatannya
tegantung pada nilai ekonomis kawasan layanan sistem polder. Apakah
berada di kawasan perumahan, manusia, lingkungan, industri, aset umum,
dll. Tingkat keselamatannya berdasarkan frekuensi kelebihan
banjir/penggenangan dengan periode ulang yang diketahui.
Di Negeri Belanda, desain polder ini diharuskan mampu menahan kondisi
hidrolik ekstrem, yang kemungkinan terjadinya “hanya” 10.000 tahun sekali.
Karena itu standar yang diterapkan cukup tinggi. Artinya, polder yang
dibuat harus tahan terhadap kondisi terparah tersebut yang kemungkinan
kejadiannya lebih dari 300 generasi yang akan datang. Standar yang tinggi
ini merupakan hasil analisis biaya-manfaat (cost benefit) yang menyeluruh.
Seluruh biaya dikaitkan dengan biaya pembangunan dan biaya
pemeliharaan sistem pertahanan banjir, sedangkan manfaatnya dijabarkan
dari nilai ekonomis yang berupa mata pencaharian dan harta-benda.
Seperti manusia, perumahan, industri, aset umum, dan sebagainya.
Dengan demikian, standar keamanan ini merupakan tingkat optimum
ekonomis dan finansial.
Sebagai contoh jika Jakarta Raya (Jabodetabek) sudah mempunyai
sistem pertahan banjir yang baik maka kerugian yang diakibatkan oleh
banjir bisa dikurangi. Akibat banjir pada Pebruari 2002 saja, yang
menggenangi 15 % kawasan kota besar ini, perkiraan kerugian mencapai
US$ 1,1 miliar, ini mencakup kerugian langsung maupun tidak langsung.
Pertimbangan analisis biaya-manfaat untuk dijadikan standar dalam
pertahanan banjir, harus bisa menjadi pertimbangan. Harus diingat bahwa
suatu pertahanan banjir dibuat untuk menyediakan keselamatan
menyeluruh. Meski demikian pembuatan sistem pengendalian banjir terkait
dengan berbagai aspek, seperti ekonomi, lingkungan dan sosial.
Secara teknis sendiri memang untuk tingkat keselamatan polder
didasarkan pada prioritas yang dikaitkan dengan kejadian muka air yang
tertinggi. Dalam suatu polder muka air terbuka dapat dikendalikan sengaja
sesuai dengan keinginan. Dimana tinggi muka air di dalam polder tidak
sama dengan muka air regional yang ada, seperti muka air laut atau muka
air sungai.

5-124
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

Apabila muka air sebelah luar secara permanen berada di atas level polder
sebelah dalam, genangan hanya dapat dihindarkan dengan memompakan
air yang berlebih keluar dari polder bersangkutan.
Selama bertahun-tahun, beberapa negara menggunakan pendekatan dan
tingkat keselamatan yang serupa dengan yang dipraktekkan di Negeri
Belanda. Bagian-bagian lain dari polder yang mewakili nilai ekonomis yang
lebih rendah seperti pertanian dan kehutanan didesain dengan tingkat
keamanan yang lebih rendah. Yaitu dengan menggunakan tingkat kejadian
banjir/penggenangan yang lebih rendah, dengan frekuensi antara 1/4000
sampai 1/1250 per tahun. Ini artinya periode ulang masing-masing kejadian
sekitar 4.000 sampai 1250 tahun sekali. Dalam segi ekonomis dan risiko
memang dampak yang ditimbulkan untuk kawasan pertanian ini tidak
seserius wilayah yang berpenghuni padat.

• Tingkat keselamatan yang diusulkan untuk polder perkotaan di


Jakarta
Standar yang berlaku dibanyak negara tak harus diikuti oleh negara lain. Di
Jakarta, polder perkotaan yang berukuran sedang dan kecil terutama
dimanfaatkan untuk perumahan, gedung-gedung dan infrastruktur.
Perlindungannya terhadap banjir dan genangan haruslah didesain
berdasarkan standar yang telah disesuaikan secara lokal.
Kondisi batasnya sama sekali berbeda dengan Negeri Belanda. Tinggi
puncak tanggul dan dimensi elemen-elemen strukturalnya dijabarkan dari
standar-standar lokal ini. Akan tetapi, saat ini belum tersedia standar
(standar keselamatan) untuk desain polder di Jakarta Raya. Oleh sebab
itu, tingkat keselamatan berikut telah diusulkan kepada pemerintah provinsi
DKI Jakarta untuk seluruh desain polder perkotaannya (WJEMP DKI 3-9).

Tabel 5.15
Tinggi Keselamatan untuk Polder Perkotaan
Elemen Tinggi Jagaan
Kala Ulang
Polder (Freeboard)
(Tahun)
[m]
Tanggul 25-100 0
Waduk 10-25 0.5
Stasiun 10-25 n.a.
Pompa Air
Culverts 5-10 n.a.
Drainase 5 0.3-0.5

• Pengelolaan Polder
Untuk menjaga satu kawasan dari genangan air ada dua prinsip yang
terpenting, yaitu melindungi masuknya air dalam wilayah itu dan
mengelola air yang ada di wilayah tersebut. Karena itu dalam

5-125
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

pengelolaan polder ada dua sistem yang paling penting yaitu Perlindungan
Banjir dan Drainasi/sistem pemompaan di dalam kawasan polder itu
sendiri.
Perlindungan Banjir atau Tanggul
Desain tanggul disesuaikan dengan kondisi muka air laut di wilayah
tersebut. Paling penting adalah keberadaan tanggul tersebut mampu
melindungi dari bahaya kebanjiran. Dalam menentukan tanggul harus
dilakukan secara bertanggungjawab dengan berbagai pertimbangan. Alur,
sejarah dan tuntutan ekologi harus benar-benar dipenuhi.

Penentuan tinggi adalah proses yang paling penting dalam desain tanggul.
Tinggi tanggul tergantung dari kondisi air pasang, kenaikan muka air laut
yang disebabkan oleh angin (wind setup), perubahan permukan air laut
akibat perbedaaan tekanan udara (storm surge), penurunan muka tanah
(land subsidence), kenaikan muka air laut (sea level rise) akibat perubahan
iklim, kemungkinan terjadinya tsunami dan lain-lain.
Meskipun beban angin yang paling sering menerpa tanggul , akan tetapi
bahaya yang disebabkan oleh air adalah yang paling banyak
menyebabkan kerugian ekonomi. Ini yang perlu diperhatikan, termasuk
dampak akibat perubahan iklim yang menyebabkan meningkatnya
permukaan air laut. Disamping itu, turunnya permukaan tanah yang terus
berlangsung. Karena itu tinggi tanggul harus diperhitungkan secara
sistematis dengan memperhatikan semua parameter tersebut.
Sistem Drainase
Sistem drainase suatu polder terdiri atas sistem drainase permukaan dan
drainase bawah-tanah. Sistem ini dilengkapi dengan dua waduk, yaitu
waduk penahan air dan waduk pemompaan. Khusus untuk waduk
pemompaan dilengkapi pula dengan stasiun pompa.
Drainase permukaan adalah saluran yang menampung pelimpasan air
hujan yang terjadi di permukaan tanah. Disamping drainase permukaan,
ada juga drainase bawah tanah. Fungsinya adalah untuk menyalurkan air
yang berasal dari curah hujan dan rembesan ke dalam tanah yang masuk
ke wilayah polder akan ditangkap oleh saluran bawah tanah.
Sistem drainase bawah tanah ini terdiri atas saluran ulir berpori, yang
biasanya dibalut dengan serat sintetik atau sabut kelapa sebagai filter agar
tanah tak masuk ke dalam saluran. Air yang berasal dari drainase
permukaan dan bahawah tanah dialirkan ke dalam waduk.
Besar waduk penahan air ini dari segi desainnya berkorelasi dengan
kapasitas pompa. Untuk waduk penahan air ukuran kecil maka kapasitas
kemampuan stasiun pompanya harus lebih besar karena air yang didalam
waduk lebih cepat penuh dan harus segera dipompakan ke luar.
Sedangkan jika kapasitas waduk besar maka kemampuan stasiun pompa
bisa lebih kecil karena air bisa ditahan dulu di dalam waduk.Dalam gambar
berikut diperlihatkan hubungan antara kepasitas pompa dan ukuran waduk
penahan air .

5-126
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

Gambar 5.68
Hubungan antar Waduk Penahan Air dengan Kapasitas Pompa

• Pengelolaan Polder Berkelanjutan


Dalam menghadapi banjir ada dua pilihan bagi warga perkotaan yang
berada di kawasan rendah: tetap menetap atau berpindah ke tempat yang
lebih tinggi. Jika menetap maka harus bisa hidup bersahabat dengan air
selama bertempat tinggal di kawasa rendah itu. Untuk itu mereka harus
mengelola air tersebut secara kontinyu. Agar dapat bertahan dalam
perjuangan untuk hidup bersama air seperti ini maka dibutuhkan
pengelolaan polder yang berkelanjutan.
Masyarakat sendiri harus mengambil peran. Berjuang menghadapi banjir
tak bisa sepenuhnya diserahkan kepada pemerintah. Karena pemerintah
mempunyai kemampuan yang terbatas pada organisasi dan anggaran.
Karena itu pilihannya adalah memberi peran yang lebih besar kepada
masyarakat. Jika paradigmanya bahwa masyarakat harus lebih banyak
berperan seperti itu, maka konsekuensi berikut akan menyertai:
− Dalam perencanaan, desain, dan implementasi pendekatan yang
dilakukan sifatnya
− dari bawah ke atas.
− Meningkatkan peran serta masyarakat dalam proses konsultasi
publik.
− Pemerintah sebatas menetapkan petunjuk dan bertindak sebagai
fasilitator saja
− (diusahakan peran pemerintah tak terlalu banyak).
− Pendanaan ditanggung oleh seluruh pemangku kepentingan.
− Organisasi pengelolaan polder yang independen dan kuat.

5-127
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

Dengan pengelolaan polder semacam ini masyarakat bisa langsung terlibat


dan sekaligus merasakan keterlibatannya dalam pengendalian banjir di
kawasannya.
Salah satu masalah penanganan banjir di Jakarta adalah, orang-orang
yang menjadi korban banjir tidak memiliki akses atau pengaruh terhadap
perencanaan, penerapan, pemeliharaan dan operasional.
• Swadana Menjamin Keberlanjutan
Pengalaman menunjukkan bahwa masalah persiapan teknis bukan menjadi
persoalan utama dalam pengendalian banjir, tetapi masalah utamanya
sering terletak pada institusi pengelolaannya. Tak memadainya
institusional, dengan kurangnya pendanaan sebagai salah satu simtonnya,
menyebabkan operasi dan pemeliharaan infrastruktur penggulangan banjir
tidak berjalan dengan baik. Tindakan mitigasi banjir yang dibuat selalu
ketinggalan dengan peningkatan masalah banjir.
Perjuangan menangani air secara terus menerus membutuhkan sumber
finansial yang berkelanjutan. Oleh sebab itu, peran publik dibutuhkan untuk
terlibat dalam ikut menangani masalah pengelolaan air pada tingkatan
lokal. Pengelolaan yang diinginkan tentu harus berkelanjutan, karena itu
pendekatan dan penyelesaiannya bersifat swadana. Diharapkan peran
pemerintah dapat dikurangi pada pengelolaan di tingkat sistim tata air
mikro dan sub-makro.
Jika rakyat setempat dimintai pendapat dan dilibatkan, keinginan untuk
bekerja sama dan membayar juga akan meningkat. Hal ini membuka
jendela kesempatan baru untuk menyelesaikan masalah-masalah
pengelolaan air dengan cara mulus dan mengutamakan mufakat.
• Organisasi
Organisasi pengelolaan air bukanlah organisasi yang rumit dengan strukur
organisasi yang panjang. Organisasi ini haruslah strategis dan efektif
dalam menjalankan fungsinya. Tipikal organisasi pengelolaan air polder
(Polder board) dapat dibedakan dalam dua tingkatan:
- Perwakilan para pemangku kepentingan (tingkatan strategis)
- Pelaksana harian
Dalam mengawali organisasi polder, perlu diingatkan agar setiap orang
harus mengenal betul prinsip prinsip sistim polder. Organisasi pengelolaan
air yang ada dalam komunitas masyarkat bisa menjadi cikal bakal
pembentukan organisasi pengelola polder. Mereka yang mendapatkan
manfaat dari sistem polder ikut mengelola dan membiayai operasi dan
pemeliharaan infrastruktur penaggulangan banjir ini. Penerima manfaat
harus memberikan kontribusi dan berhak untuk ikut menentukan. Prinsip ini
dikenal dengan prinsip benefit-pay-say.
Organisasi ini cukup banyak menaungi anggota, dalam hal ini mereka yang
bertempat tinggal di kawasan tersebut. Sebagai ilustrasi jika wilayah yang
mendapat manfaat di Jakarta sekitar 500 hektar, dan rata-rata kepadatan
penduduk 15000 per 100 ha, diperkirakan jumlah warga yang mendiami
sekitar 75000 orang atau 20000 rumah tangga.

5-128
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

Gambar 5.69
Hubungan antar Waduk Penahan Air dengan Kapasitas Pompa

Perwakilan pemangku kpeentingan

Perwakilan Kelurahan/ Perwakilan Pemerintah Perwakilan Komunitas Anggota kehormatan


Kecamatan Daerah Bisnis

Pelaksana harian

Bidang administrasi dan Bidang waduk & Bidang tanggul &


keuangan pompa saluran

5.1.12.5 Prasarana Sanitasi


A. Pendahuluan
Sejak tahun 1970 an Kota Jakarta mengalami pertumbuhan penduduk
yang sedemikian cepat. Semenatara itu sanitasi lingkungan semakin
tertinggal dibelakang. Pengembangan sarana sanitasi tertinggal dibelakang
kota-kota lainnya. Sebagai contoh sewarage sistem yang ada di Jakarta
baru memberikan layanan kepada sekitar 2.8% penduduk pada tahun
1996. Angka ini mengantarkan Jakarta pada posisi ke 5 dibawah Solo
(13%), Bandung (20%), Cirebon (32%) dan Tangerang (4%). Juga apabila
dibandingkan dengan kota-kota besar lainnya di Asia, angka 2,8% ini
terbilang rendah.
• Sungai, Airtanah, Situ dan Teluk Tercemar Limbah
Setiap tahunnya, secara umum pencemaran terhadap air sungai di DKI
Jakarta semakin meningkat. Kecenderungan dari tahun 2004 sampai 2007
menunjukkan kualitas yang semakin buruk. Hal ini disebabkan oleh limbah
cair dari industri dan domestik serta sampah padat yang dibuang ke
sungai. Pecemaran yang terjadi baik kualitas fisik, kimia maupun biologi.

Tabel 5.16
Kualitas Air Sungai di DKI Jakarta Tahun 2004 - 2007
Indeks Pencemar (%)
Status Mutu
2004 2005 2006 2007
Baik 0 0 3 0
Cemar Ringan 3 4 9 0
Cemar Sedang 16 16 10 6

5-129
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

Indeks Pencemar (%)


Status Mutu
2004 2005 2006 2007
Cemar Berat 81 79 78 94
Sumber : BPLHD Provinsi DKI Jakarta, 2007
Degradasi kualitas air tanah juga dialami dalam beberapa tahun
belakangan ini. Ini terutama terjadi di daerah-daerah yang semakin dekat
dengan batas pantai. Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah
(BPLHD) Provinsi DKI Jakarta dalam pemantauan kualitas air tanah
dangkal pada tahun 2007 yang meliputi 75 Kelurahan di Wilayah Provinsi
DKI Jakarta dengan masing – masing kelurahan 1 titik pantau, terdiri dari
11 titik di Jakarta Pusat, 17 titik di Jakarta Selatan, 15 titik di Jakarta Barat,
17 titik di Jakarta Timur dan 15 titik di Jakarta Utara. Hasil pemantauan
menunjukkan bahwa pencemaran air tanah terutama disebabkan oleh
limbah domestik dan buruknya sanitasi lingkungan.
Status mutu air tanah DKI Jakarta tahun 2007 adalah 12 % tercemar berat,
20 % tercemar sedang, 45 % tercemar ringan dan 25 % kategori baik.
Sedangkan untuk pencemaran coliform mencapai 55 % air tanah DKI
Jakarta hampir merata di seluruh wilayah.

Tabel 5.17
Kualitas Airtanah di DKI Jakarta Tahun 2004 - 2007
Indeks Pencemar (%)
Status Mutu
2004 2005 2006 2007
Baik 18% 16% 7% 25%
Cemar
33% 33% 55% 43%
Ringan
Cemar
28% 35% 13% 20%
Sedang
Cemar Berat 21% 16% 25% 12%
Sumber : BPLHD Provinsi DKI Jakarta, 2007
Kondisi situ/waduk di DKI Jakarta secara umum tidak terawat dengan baik,
seperti banyak sampah yang menumpuk sepanjang pinggiran situ,
masuknya limbah cair dari rumah tangga, pertanian dan industri dan
kurangnya fungsi ekologis situ.
Status mutu air situ/waduk di DKI Jakarta pada tahun 2007 adalah 83 %
tercemar berat dan 17 % tercemar sedang. Sedangkan kecenderungan
kualitas air situ/waduk di DKI Jakarta dari tahun 2004 sampai tahun 2007
menunjukkan penurunan kualitas yang cukup signifikan. Secara lebih rinci
tren ini dapat dilihat dari tabel dan gambar berikut ini.

5-130
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

Tabel 5.18
Kualitas Air Situ/Waduk DKI Jakarta Tahun 2004 - 2007
Indeks Pencemar (%)
Status Mutu
2004 2005 2006 2007
Baik 0 7 0 0
Cemar Ringan 22 33 38 0

Cemar Sedang 20 27 38 17

Cemar Berat 58 33 25 83

Sumber : BPLHD Provinsi DKI Jakarta, 2007


Kualitas perairan dan muara Teluk Jakarta tahun 2007 adalah 9% tercemar
ringan, 30% tercemar sedang dan 62 % tercemar berat. Kecenderungan
kualitas perairan dan muara Teluk Jakarta dari tahun 2004 sampai 2007
adalah semakin memburuk, ditandai dengan semakin meningkatnya
persentase kategori tercemar berat. Hal ini dapat dilihat dari tabel dan
gambar berikut ini.

Tabel 5.19
Pencemaran Teluk Jakarta Tahun 2004 – 2007
Tahun
Derajat Pencemaran
2004 2005 2006 2007
Tercemar Sangat
0% 0% 0% 0%
Ringan
Tercemar Ringan 44% 0% 18% 9%

Tercemar Sedang 56% 57% 40% 30%

Tercemar Berat 0% 43% 42% 62%

Sumber : BPLHD Provinsi DKI Jakarta, 2007


• Minim Sarana Sanitasi
Pencemaran air di DKI Jakarta disebabkan oleh limbah industri dan limbah
domestik yang dibuang tanpa memenuhi baku mutu yang berlaku, baik
yang berasal dari DKI Jakarta sendiri maupun dari daerah hulu Jakarta.
Sedangkan pencemaran Teluk Jakarta selain disebabkan oleh kegiatan di
laut juga sangat dipengaruhi oleh kegiatan di hulunya, yaitu daratan
(pencemaran sungai).
Pertambahan penduduk Jakarta semakin cepat mulai sekitar tahun 1963.
Seperti kota-kota besar lainnya pertambahan penduduk yang melesat
sedemikian cepat, menyebabkan pemerintah sulit mengantisipasi
kebutuhan segala macam infrastruktur dan prasarana publik. Hal yang
sama juga terjadi pada prasarana dan sarana sanitasi lingkungan. Bahkan
pengembangan sarana sanitasi di Jakarta tertinggal dibelakang kota-kota
lainnya.

5-131
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

Akibat dari terbatasnya warga yang terlayani oleh sistem pengelolaan air
limbah terpusat ini, masyarakat terpaksa mencari “jalannya sendiri” untuk
mengelola sanitasinya. Sayangnya, pengetahuan masyarakat tehadap
pengelolaan sanitasi sangat minim. Ini berdampak kepada beragamnya
cara warga membuang limbahnya. Ada yang membuat tangki septik tang
dibawah tanah dengan bangunan seadanya, ada yang membuang limbah
begitu saja ke sungai, bahkan ada juga menimbun limbahnya begitu saja
di tanah. Tentu ini menyebabkan tercemarnya lingkungan di sekityar
daerah tersebut.
Dampak yang paling cepat terlihat akibat sembarangan mengelola sanitasi
ini adalah banyaknya air yang tercemar Bakteri Eschericia coli (E-coli).
Bakteri ini muncul dari sisa-sisa tinja yang terserap di tanah dapat
mencemari sumber-sumber air minum. Sehingga, pada akhirnya dapat
menimbulkan penyakit diare, muntaber, dan penyakit-penyakit pencernaan
lainnya. Kini sekitar 75 persen air tanah di DKI Jakarta telah tercemar E-
coli dan tidak dapat digunakan sebagai air minum.
Agar dapat memenuhi baku mutu, industri harus menerapkan prinsip
pengendalin limbah secara cermat dan terpadu baik di dalam proses
produksi (in-pipe pollution prevention) dan setelah proses produksi (end-
pipe pollution prevention). Pengendalian dalam proses produksi bertujuan
untuk meminimalkan volume limbah yang ditimbulkan, juga konsentrasi dan
toksisitas kontaminannya. Sedangkan pengendalian setelah proses
produksi dimaksudkan untuk menurunkan kadar bahan pencemar sehingga
pada akhirnya air tersebut memenuhi baku mutu yang sudah ditetapkan.
Di Jakarta kontrol terhadap limbah dari industri juga tidak berjalan dengan
baik. Ini terbukti dengan masih banyaknya industri yang langsung
membuang limbah cairnya langsung kle sungai. Gabungan limbah
pabrik/industri dengan limbah domestik ini, semakin ke hilir semakin terlihat
efeknya. Dampaknya, adalah air sungai yang berada di Jakarta Utara, tak
hanya tidak bisa menjadi sumber air baku saja, bahkan untuk menyiram
tanaman juga sudah tak bisa lagi.
• Kependudukan dan Urbanisasi
Bertempat tinggal dan mencari nafkah di Jakarta memang masih menjadi
daya tarik orang untuk datang ke Jakarta. Karena itu pertumbuhan
penduduk di DKI Jakarta tergolong cukup cepat. Tahun 1948 , DKI Jakarta
dengan luas 650 km2 (65.000 ha) dihuni oleh 1,2 juta orang, tahun 1973
jumlah penduduknya melesat hingga 5 juta orang.

5-132
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

Gambar 5.70
Kecenderungan Pertumbuhan Penduduk Jakarta

Memasuki tahun 2000 penduduk Jakarta terus bertambah secara


signifikan, hingga tahun 2009 ini penduduk Jakarta berkisar 9,5 juta orang.
Ini menunjukan bahwa semakin hari Jakarta semakin disesaki oleh
penduduk.Terutama kaum urban yang tertarik tinggal di ibukota ini.
Dengan jumlah penduduk sebanyak itu maka untuk setiap satu kilometer
perseginya Jakarta rata-rata dijejalai 14.615 penduduk.
Dengan kepadatan penduduk seperti itu, Jakarta akan semakin disesaki
oleh limbah, baik limbah domestik maupun industri. Tantangan untuk
mengelola sanitasi menjadi lebih baik juga semakin pelik. Untuk
“memaksa” warga tidak membuang sampah dan limbahnya ke aliran
sungai juga bukan merupakan perkara gampang.

B. Permasalahan Air Limbah di DKI Jakarta


Ada beberapa parameter kualitas yang digunakan, yaitu parameter organik,
karakteristik fisik, dan kontaminan spesifik. Parameter organik merupakan
ukuran jumlah zat organik yang terdapat dalam limbah. Parameter ini terdiri
dari total organic carbon (TOC), chemical oxygen
demand (COD), biochemical oxygen demand (BOD), minyak dan lemak
(O&G), dan total petrolum hydrocarbons (TPH). Karakteristik fisik dalam air
limbah dapat dilihat dari parameter total suspended solids (TSS), pH,
temperatur, warna, bau, dan potensial reduksi. Sedangkan kontaminan
spesifik dalam air limbah dapat berupa senyawa organik atau anorganik.

Tabel 5.20
Baku Mutu Limbah Cair Domestik
INDIVIDUAL/RUMAH
PARAMETER SATUAN KOMUNAL
TANGGA
pH - 6–9 6–9
KmnO4 Mg/L 85 85
TSS Mg/L 50 5-

5-133
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

INDIVIDUAL/RUMAH
PARAMETER SATUAN KOMUNAL
TANGGA
Minyak & Lemak Mg/L 10 10
Senyawa Biru Metilen Mg/L 2 2
COD Mg/L 100 80
BOD Mg/L 75 50
Sumber : Peraturan Gubernur Nomor 122 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Air
Limbah Domestik di Provinsi DKI Jakarta
Pengelolaan limbah cair harus dilaksanakan secara komprehensif dalam satu
kawasan. Sehingga wilayah yang berada dalam kawasan tersebut benar-benar
terbebas dari pencemaran limbah cair. Untuk itu dalam pelaksanaannya perlu
mempertimbangkan beberapa aspek. Tak hanya aspek keuangan dan teknik
saja, akan tetapi lingkungan, fisik kota, legal, budaya dan sebagainya, juga
harus dipertimbangkan.
• Aspek Fisik Kota
Permasalahan air limbah dilihat dari aspek fisik kota DKI Jakarta yaitu:
− Bentuk topografi DKI Jakarta yang relatif datar megakibatkan perlunya
pemompaan
− Air tanah tinggi, terutama di daerah Jakarta bagian Utara, menjadikan
penerapan bidang resapan sistem on-site menjadi tidak layak
− Utilitas bawah tanah relatif padat dan kemacetan lalu lintas yang tinggi
akan menyulitkan dalam pemasangan pipa air limbah.
• Aspek Lingkungan
Permasalahan air limbah dilihat dari aspek lingkungan DKI Jakarta yaitu:
− Kualitas air tanah di DKI Jakarta lebih dari 55% tercemar bakteri coli
maupun fecal coli.
− Berdasarkan status mutu atau indeks pencemaran lebih dari 75%
tercemar ringan sampai berat
− Kualitas air permukaan lebih dari 80% tercemar sedang sampai berat
− Kualitas air laut; konsentrasi BOD melebihi 20 rng/l, konsentrasi
amonia melebihi ambang batas
− Sampah kota dibuang di sungai menambah buruk tingkat pencemaran
di sungai
− Perumahan kumuh, tidak rnempunyai sarana pengolahan air Llmbah
yang baik
• Aspek Teknik
Permasalahan air limbah dilihat dari aspek teknik DKI Jakarta yaitu:
− Sistem on-site belum mampu mengolah black dan Grey water
sekaligus

5-134
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

− Sarana sistem on-site yang ada tidak layak 7% dan sebanyak 18% air
limbah dibuang langsung tanpa melalui sarana pengolahan .
− Lebih dari 40% jarak septick tank dan sumur kurang dari 10 m
− Pemasangan pipa perlu metoda jacking yang relatif sulit dan mahal
− IPAL yang ada saat ini (waduk Setiabudi) rnasih bercampur dengan
fungsi waduk sebagai pengendali banjir
• Aspek Operasional dan Pelayanan
Permasalahan air limbah dilihat dari aspek operasional dan pelayanan di
DKI Jakarta yaitu:
− Sebagian besar fasilitas pengolahan air limbah setempat masih belum
memenuhi standar teknis yang ditetapkan
− Penyedotan tinja masih berbasis on-call
− Tingkat pelayanan sewerage masih kecit 1% dan cakupannya terbatas
hanya di Setiabudi dan Tebet
− Kegiatan public campaign masih sangat terbatas
− Akses masyarakat terhadap prasarana sanitasi dasar di perkotaan
mencapai 90,5% dan di perdesaan mencapai 67% (Susenas Tahun
2007)
− Tingkat pelayanan pengelolaan air limbah permukiman di perkotyaan
melalui sistem setempat (on site) yang aman baru mencapai 71,06%
dan melalui sistem terpusat (off site) baru mencapai 2,33% di 11 kota
(Susenas Tahun 2007)
− Tingkat pelayanan air limbah permukiman di perdesaan melalui
pengelolaan setempat (on site) berupa jamban pribadi dan fasilitas
umum yang aman baru mencapai 32,47%
• Aspek Peraturan Perundang-undangan
Permasalahan air limbah dilihat dari aspek peraturan perndunga-undangan
di DKI Jakarta yaitu:
− Pemberlakuan SK Gubernur Nomo 45 Tahun 1992 dan Peraturan
Gubernur Nomor 12212005 belum efektif
− Belum memadainya perangkta peraturan perundangan yang
diperlukan dalam sistem pengelolaan air limbah permukiman
− Masih lemahnya penegakan hukum terhadap pelanggaran peraturan-
peraturan yang terkait dengan pencemaran air limbah
− Belum lengkapnya Norma Standar Pedoman dan Manual (NSPM) dan
Standar Pelayanan Minimal (SPM) pelayanan air limbah
• Aspek Pendanaan
Permasalahan air limbah dilihat dari aspek pendanaan di DKI Jakarta yaitu:
− Rendahnya tarif pelayanan air limbah yang mengakibatkan tidak
terpenuhinya biaya operasi dan pemeliharaan serta pengembangan
sistem pengelolaan air limbah

5-135
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

− Terbatasnya sumber pendanaan pemerintah, sehingga tidak dapat


memenuhi kebutuhan tingginya biaya investasi awal pembangunan
sistem pengelolaan air limbah terpusat
− Kurang tertariknya sektor swasta untuk melakukan investasi di bidang
air limbah
− Rendahnya alokasi pendanaan dari pemerintah untuk pengelolaan dan
pengembangan air limbah permukiman
− Belum optimalnya penggalian potensi pendanaan dari masyarakat dan
dunia usaha/swasta/koperasi
− Rendahnya skala prioritas penanganan pengelolaan air limbah
permukiman baik di tingkat pemerintah pusat maupun daerah.
• Aspek Kelembagaan
Permasalahan air limbah dilihat dari aspek kelembagaan di DKI Jakarta
yaitu:
− Lemahnya fungsi lembaga di daerah yang melakukan pengelolaan air
limbah permukiman
− Belum terpisahnya fungsi regulator dan operator dalam pengelolaan air
limbah permukiman
− Kapasistas sumber daya manusia yang melaksanakan pengelolaan air
limbah permukiman masih rendah
− Perlu ditingkatkannya koordinasi antar instansi terkait dalam
penetapan kebijakan di bidang air limbah permukiman
• Sosial Budaya Masyarakat
Permasalahan air limbah dilihat dari sosial budaya masyarakat DKI Jakarta
yaitu:
− Rendahnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pengelolaan air
limbah permukiman
− Terbatasnya penyelenggaraan pengembangan sistem pengelolaan air
limbah permukiman yang berbasis masyarakat
− Potensi yang ada dalam masyakarat dan dunia usaha terkait sistem
pengelolaan air limbah permukiman belum sepenuhnya diberdayakan
oleh pemerintah

C. Tantangan dan Peluang Dalam Penyelenggaraan Sistem


Pengelolaan Air Limbah Permukiman
• Tantangan Internal
Tantangan internal dalam penyelenggaraan sistem pengelolaan air limbah
permukiman di DKI Jakarta yaitu:
− Masih adanya masyarakat yang buang air besar di sembarang tempat,
yang secara nasional sebesar 22,85% (di perkotaan 9,5% dan di
perdesaan 33%)

5-136
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

− Kecenderungan meningkatnya angka penyakit terkait air (waterbone


diseases) akibat masih rendahnya cakupan pelayanan baik di
perkotaan maupun di perdesaan
− Perlunya konservasir sumber air baku untuk menjamin terjaganya
kualitas dan kuantitas air baku akibat menurunnya kualitas air tanah
dan air permukaan sebagai sumber air baku untuk air minum
− Peningkatan kelembagaan yang memungkinkan dilaksanakannya
pengelolaan air limbah permukiman secara lebih profesional dengan
dukungan sumber daya manusia ahli yang memadai
− Penggalian sumber dana untuk investasi dan biaya operasi dan
pemeliharaan terutama dari pihak swasta yang harus sinergis dengan
penerapan pemulihan biaya (cost recovery) scara bertahap merupakan
tantangan yang harus segera diketahui solusinya secara “win-win
solution”
− Pembagian porsi antara dana APBN dan APBD yang akan
dialokasikan dalam pengembangan penyelenggaraan pengelolaan air
limbah belum terlihat secara tegas
• Tantangan Eksternal
Tantangan eksternal dalam penyelenggaraan sistem pengelolaan air
limbah permukiman di DKI Jakarta yaitu:
− Pencapaian target Millenium Development Goals (MDGs), yaitu
terlayaninya 50% masyakarat yang belum mendapatkan akses air
limbah sampai dengan tahun 2005
− Tuntutan pembangunan yang berkelanjutan dengan pilar
pembangunan ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup
− Tuntuntan penerapan Good Governance melalui demokratisasi yang
menuntut perlibatan masyarakat dalam proses pembangunan
− Tuntutan Rencana Aksi Nasional dalam Mengahadapi Perubahan Iklim
(RAN MAPI)
− Kondisi keamanan dan hukum nasional yang belum mendukung iklim
investasi yang kompetitif
• Peluang
Peluang dalam penyelenggaraan sistem pengelolaan air limbah
permukiman di DKI Jakarta yaitu:
− Adanya kewajiban bagi setiap orang untuk mencegah dan
menanggulangi pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup
sebagaimana tertuang dalam UU RI Nomo 23 tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkingan Hidup
− Pentingnya pengelolaan air limbah untuk mencukung konservasi
sumber daya air, seperti yang tertuang dalam UU RI Nomor 7 tahun
2004 tentang Sumber Daya Air
− Tanggung jawab penyelenggaraan air limbah permukiman
sebagaimana ketetapan dalam UU Nomor 32 tahun 2004 dan PP
Nomor 38 tahun 2007 menjadi kewenangan pemerintah daerah

5-137
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

− Tuntutan keterpaduan penanganan air limbah dna pengembangan


sistem penyediaan air minum sebagaiamana tertuang dalam PP
Nomor 16 tahun 2005
− Adanya potensi peningkatan kesadaran masyarakat baik di perkotaan
maupun perdesaan dalam penyelenggaraan air limbah permukiman

D. Studi Terdahulu
Rencana pengembangan pengelolaan air limbah DKI Jakarta secara garis
besar sudah tercakup dalam beberapa dokumen perencanaan antara lain :
• Master Plan Air Limbah Jakarta tahun 1991
Dalam Master Plan Air Limbah DKI Jakarta tahun 1991, DKI dibagi menjadi
3 wilayah pengembangan sanitasi yang didasarkan pada tingkat kepadatan
penduduk dan beberapa pertimbangan lainnya seperti tinggi muka air
tanah, permeabiliitas tanah, kondisi sosek, dll. Pembagian wilayah sanitasi
tersebut dibagi dalam pengelompokkan berikut :
Sistem Pengolahan Setempat Sederhana pada daerah pengembangan
(Daerah A) dengan kepadatan penduduk kurang dari 100 jiwa/ha, luas
wiiayah 21.159 ha (32%). Teknologi pengolahan air limbah yang diterapkan
adalah septic tank.
Sistem Pengolahan Setempat Tingkat Tinggi pada daerah pengembangan
(Daerah B) dengan tingkat kepadatan penduduk 100 - 300 jiwa/ha, luas
wilayah 27.386 ha (42%). Teknologi pengolahan air limbah yang diterapkan
adalah septik tank yang dimodifikasi ataupun sistem sewerage dengan
seleksi tingkat kemampuan ekonomi masyarakat.
Sistem sewerage pada daerah pengembangan (Daerah C) dengan tingkat
kepadatan penduduk lebih dari 300 jiwa/ha, luas wilayah 16.604 ha (26%).
Teknologi pengolahan yang diterapkan adalah aerated lagoon atau
activated sludge. Rencana wilayah pengembangan sanitasi ditunjukkan
pada Gambar 5.71.

5-138
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

Gambar 5.71
Rencana Pengembangan Sanitasi Menurut JICA Studi

Untuk daerah pengembangan sanitasi dengan sistem sewerage di daerah


C,sistem pengelolaan air limbah dibagi merijadi 6 (enam) zone, yaitu :
Zona Pusat
Total luas wilayah yang dilayani adalah 6.017 ha dimana 336 ha atau 6%
berlokasi di bagian selatan dari zona yang tercakup proyek JSSP. Total
Iuas wilayah cakupan dari sistem kanvensionat dan sistem interceptor
berturut-turut adalah 3.422 ha (57%) dan 2.595 ha (42%;). Air buangan
yang terkumpul akan disalurkan melalui pipa pembawa yang panjangnya
10,2 km menuju tempat pengolahan. Kapasitas air buangan sebesar
529,000 rn3/hari akan dibangun memerlukan luas 80 ha di koIam Pluit
eksisting. Kolam ini akan berfungsi sebagai pengendali banjir dan
pengolahan air buangan, Catatan: Pada review tahun 2009 lokasi IPAL
dipindahkan ke Pluit Selatan.
Zona Barat Laut
Pada zona ini, sistem interseptor akan mencakup 1.332 ha atau 72% dari
total keseluruhan luas wilayah layanan yaitu 1.862 ha. Sementara sistem
konvensional akan mencakup sekitar 530 ha (28%). Air buangan yang
terkumpul akan disalurkan melalui pipa utama (force main) sepanjang 9,7
km menuju tempat pengolahan. Aerated lagoon modifikasi dengan
kapasitas 124,000 m3/hari akan dibangun pada daerah seluas 17,7 ha
dekat anak sungai Angke dan Pesanggrahan di kel. Rembangan,
Zona Barat Daya
Total luas wilayah adalah 2,170 ha dimana 938 ha (43%) akan tercakup
daIam sistem konvensional dan 1.232 ha (57%) menggunakan sistem
interseptor. Air buangan yang terkumpul akan dialirkan melalui pipa utama
sepanjang 3,7 km dan pipa pembawa 2,7 km menuju tempat pengolahan.

5-139
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

Modifikasi aerated Lagoon dengan kapasitas 117.000 m3/hari yang akan


dibangun didaerah hijau dengan luas 16 ha di kel. Joglo.
Zona Timur laut
Total luas wilayah layanan adalah 3.496 ha, dimana 1.610 ha (46%)
dilayani sistem konvensional dan 1.886 ha (54%) menggunakan
interseptor. Air buangan yang terkumpul akan dibawa melalui pipa
pembawa dengan panjang 7,4 km menuju ke tempat pengolahan. Kolam
activated sludge akan dibangun dengan kapasitas 261.000 m3/hari diatas
lahan seluas 14 ha mencakup bagian timur dari kolam Sunter eksisting dan
dilokasi hijau kel. Sunter Jaya,
Zona tenggara
Luas total wilayah adalah 1.243 ha yang sebagian besar menggunakan
sistem nterseptor. Luas daerah cakupan sistem penghubung dan sistem
konvensional asing-masing 936 ha C75%) dan 307 ha (25%). Air buangan
yang terkumpul akan iangkut melalui pipa utama sepanjang 0,5 km menuju
tempat pengolahan.
Sistem aerated lagoon modifikasi dengan kapasitas 101.000 m3/hari akan
dibangun idaerah hijau seluas 13 ha di kel. Cipinang Besar Selatan,
Zona Tanjung Priok
Luas total wilayah layanan adalah 1.502 ha. Luas daerah cakupan sistem
onvensional dan sistem interceptor masing-masing 700 ha (47%) dan 802
ha (53%). Air buangan yang terkumpul akan dibawa melalui pipa utama
sepanjang 1,0 km menuju tempat pengolahan. Sistem aerated lagoon
dengan kapasitas 120.000 m3/hari akan dibangun didaerah hijau seluas 36
ha di kolam Sunter Timur II di kel. Semper Timur. Rencana pengembangan
sistem sewerage daerah C seperti terlihat pada Gambar 5.72.

5-140
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

Gambar 5.72
Rencana Pengembangan Di Daerah C

• Jakarta Wastewater Disposal Project tahun 2001


Pada studi ini, dilakukan beberapa perubahan terhadap master plan 1991
khususnya mengenai rencana pengembangan sewerage di zone central,
Review tersebut antara lain :
− Rencana lokasi IPAL di waduk PLuit dipindah ke Muara Baru yaitu
berupa lahan reklamasi laut
− Rencana pengolahan Air Limbah dibagi menjadi 6 sub sistem yaitu :
a. Subsistem Thamrin dilayani IPAL Waduk Setiabudi;
b. Sub sistem Setiabuti Tebet dilayani IPAL Waduk Setiabudi;
c. Sub sistem Gajahmada dilayani IPAL Muara Baru;
d. Sub sistem Pantai Mutiara dilayani IPAL Muara Baru;
e. Sub sistem Kali Ancol dilayani IPAL Kali Ancol;
f. Sub sistem Kali Grogol dilayani IPAL Grogol;

5-141
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

g. Sub sistem Waduk Grogol dilayani IPAL Grogol; dan


h. Sub sistem Siantar dilayani IPAL Muara baru.
Direncanakan ada 8 (delapan) pumping station, yaitu : (1) PS1 Krukut, (2)
PS2 Pasar Rumput, (3) PS3 Abdul Muis, (4) PS4 Pluit, (5) PS5 Kali Grogol,
(6) P56 Kali Grogol, (7) pS7' Kali Ancol, dan (8) PS8 Siantar.
IPAL Muara Baru, berlokasi di Teluk Muara baru yaitu di sebelah utara
pompa banjir Pluit, di sebelah timur perumnahan pantai Mutiara atau di
sebelah barat pasar ikan yaitu pada lahan reklamasi laut seluas 40 Ha.
Jenis pengolahan pada tahap 1 berupa aerated lagoon dan pada tahap
jangka panjang dengan activated sludge.

• Review Master Plan & DED tahun 2009


Lingkup studi mencakup zone central sebelah utara (tidak termasuk
Setiabudi-Tebet). Review mencakup beberapa hal antara Lain :
− IPAL Muara Baru dipindahkan lokasinya ke Pluit Selatan untuk tahap I
dan Pluit Utara untuk jangka panjang.
− IPAL Pluit Selatan melayani sub sistem Gajah Mada, Thamrin, Pantai
Muutiara, Siantar & Kali Ancol dgn kap 86.400m3/hr
− IPAL Kali Ancol tidak dibuat & dialihkan ke main sistern IPAL Muara
Baru
− IPAL Grogol tetap melayani sub sistem Kali Grogol & Waduk Grogol
− Pengadaaan air Iimbah dengan sistem activated sludge (+ membrane
untuk daur ulang)
− Sistem pengumpulan air limbah dibagi dua bagian, sistem timur dan
sistem barat dengan batas jl.Tamrin, Gajahmada. Masing-masing
sistem dilayani main trunk dia. 1,8 m yang ditempatkan 2 jalur di
sepanjang jl.Tamrin, Gajahmada/Mayam Wuruk hingga ke !PAL di Pluit
Selatan,
Rencana pengembangan Sistem Pengelolaan Air Limbah Zone Central
terlihat pada Gambar 5.73.

5-142
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

Gambar 5.73
Rencana Pengembangan Di Zona Central

Selain itu, PD PAL mempunyai perencanaan sendiri untuk pembangunan


sistem sewerage di Setiabudi Tebet yang saat ini sebagian kecil sudah
diimplementasikan.

E. Kebijakan dan Strategi Sistem Pengelolaan Air Limbah


• Kebijakan Sistem Pengelolaan Air Limbah
Kebijakan pengelolaan air limbah permukiman dirumuskan dengan
menjawab permasalahan dalam pengembangan pengelolaan air limbah
permukiman. Secara umu kebijakan dibagi menjadi 5 (lima) kelompok yaitu:
− Peningkatan akses prasarana dan sarana air limbah baik on site
maupun off site di perkotaan dan perdesaan untuk perbaikan
kesehatan masyarakat
− Peningkatan peran masyarakat dan dunia usaha/swasta dalam
penyelenggaraan pengembangan sistem pengelolaan air limbah
permukiman

5-143
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

− Pengembangan perangkat peraturan perundang-undangan


penyelenggaraan pengelolaan air limbah permukiman
− Penguaan kelembagaan serta peningkatan kapasitas personil
pengelolaa air limbah permukiman
− Peningkatan pembiayaan pembangunan prasarana dan sarana air
limbah permukiman
• Strategi Sistem Pengelolaan Air Limbah
Berdasarkan pada permasalahan air limbah yang dihadapai DKI Jakarta,
adapun strategi yang diterapkan berdasarkan pada RTRW DKI JAkarta
2030 yaitu:
− Pemisahan sistem saluran drainase dan perpipaan tertutup secara
bertahap disertai dengan pengelolaan air limbah
− Sistem pengelolaan air limbah dikelompokkan 2 (dua) yaitu:
a. Limbah Industri; dan
b. Limbah Domestik
− Pengelolaan limbah industri dilakukan secara sistem komunal atau
sistem individual sebelum dibuang ke dalam lingkungan
− Prasarana pengelolaan limbah domestik di DKI Jakarta dibagi kedala 3
(tiga), yaitu :
a. Sistem Komunal
b. Sistem Semi Komunal/Modular; dan
c. Sistem Individual
− Pengembangan sistem limbah diprioritaskan pada Zona Central
− Pembagian daerah pelayanan pengelolaan air limbah dilakukan
dnegan memperhatikan daerah layanan sistem polder

5.1.12.6 Prasarana Persampahan


Sistem jaringan persampahan yaitu sistem jaringan dan distribusi
pelayanan pembuangan/pengolahan sampah rumah tangga, lingkungan
komersial, perkantoran dan bangunan umum lainnya, yang terintegrasi
dengan sistem jaringan pembuangan sampah makro dari wilayah regional
yang lebih luas.
Pengembangan pengelolaan persampahan diarahkan untuk meminimalkan
volume sampah dari sumbernya melalui peningkatan peran serta
masyarakat dalam pengolahan sampah dan pengembangan prasarana
sarana pengolahan sampah dengan teknologi tinggi yang ramah
lingkungan. Pengembangan Sistem prasararana persampahan meliputi:
a. Peningkatan peran serta masyarakat dalam pengolahan sampah
Melalui penggalakan program 4R (reuse, reduce, recycling, recovery)
pada setiap Rukun Warga dan menyediakan sarana pendukungnnya.
b. Peningkatan sistem pelayanan persampahan

5-144
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

Pengembangan pelayanan persampahan di Jakarta dilaksanakan


kedalam sistem multi simpul (multi nodal) terbagi dalam beberapa
daerah pelayanan dimana setiap daerah pelayanan dilengkapi dengan
TPS (Tempat Pembuangan Sementara), SPA (Statsiun Peralihan
Sementara) dan ITF (Intermediate Treatment Facility) dengan teknologi
tinggi, ramah lingkungan dan hemat lahan.
c. Pengembangan TSPT di luar Jakarta
Pengembangaan kerja sama untuk penyediaan TPST (Tempat
Pembuangan Sampah Terpadu) dengan daerah lain dimungkinkan
dengan prinsip saling menguntungkan dan memperhatikan aspek
lingkungan dan sosial setempat.

d. Pengembangan prasarana sampah B3


Pengembangan prasarana sampah bahan berbahaya dan beracun (B3)
serta pengelolaannya dilakukan dengan teknologi yang tepat.
e. Pengembangan sampah drainase/sungai
Pengembangan sarana dan prasarana pengelolaan sampah
drainase/sungai dilakukan guna pencegahan banjir, meningkatkan
kualitas air sungai dan estetika.
Dalam rencana tata ruang DKI Jakarta arahan pengembangan prasarana
persampahan di wilayah DKI Jakarta , dilaksanakan berdasarkan arahan
sebagai berikut:
a. Pengembangan penggunaan teknologi pengolahan sampah di
antaranya penggunaan incinerator yang ditempatkan pada kawasan-
kawasan yang memungkinkan;
b. Pengadaan lokasi penampungan sampah sementara pada setiap
kelurahan; dan
c. Peningkatan peran serta masyarakat dalam pengelolaan sampah,
dengan penerapan konsep 3r (reused, reduced, dan recycling).
d. Penanganan sampah/limbah di perairan laut. (tambahan pada wilayah
Kota Adminitratif Jakarta Utara)

5.1.12.7 Prasarana Energi


Pengembangan prasarana energi diarahkan untuk terjaminnya keandalan
dan kesinambungan penyediaan pasokan energi bagi kebutuhan rumah
tangga, jasa, perdagangan, industri dan transportasi dengan
memperhatikan faktor konservasi, dan diversifikasi energi. Sistem
prasarana energi meliputi, (1) Sistem ketenagalistrikan, (2) Sistem
prasarana bahan bakar gas, dan (3) Sistem prasarana bahan bakar
minyak.

A. Sistem Ketenagalistrikan
Pengembangan sistem ketenagalistrikan dilaksanakan melalui:

5-145
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

a. Pembangunan baru dan perbaikan prasarana ketenagalistrikan yang


sudah tidak berfungsi dengan baik secara bertahap dan berdasarkan
skala prioritas sesuai dengan rencana struktur ruang yang ada
b. Pengembangan sumber daya energi ketenagalistrikan yang ramah
lingkungan dan pemanfaatan sumber energi terbaharukan
c. Pengembangan kabel bawah laut untuk mengoptimalkan pelayanan
ketenagalistrikan di Kepulauan seribu
d. Peningkatan keandalan dan kesinambungan pasokan listrik untuk
mengantisipasi beban puncak, banjir, dan gangguan pada sistem yang
ada
e. Peningkatan upaya penghematan energi oleh semua pengguna

B. Sistem Prasarana Bahan Bakar Gas


Pengembangan sistem prasarana bahan bakar gas dilaksanakan melalui:
a. Pengembangan jaringan pipa gas bawah tanah guna meningkatkan
pelayanan di kawasan industri, permukiman dan kawasan perkantoran,
perdagangan dan jasa sesuai dengan rencana struktur ruang yang ada
b. Pembangunan stasiun-stasiun pompa bahan bakar gas (SPBG) baru
terutama untuk melayani angkutan umum
c. Mendorong konversi energi dari BBM kepada BBG terutama untuk
sektor transportasi

C. Sistem Prasarana Bahan Bakar Minyak


Pengembangan sistem prasarana bahan bakar minyak dilaksanakan
melalui:
a. Pengembangan energi alternative untuk mendorong diversifikasi bahan
bakar minyak
b. Penyiapan prasarana hilir untuk menjamin pasokan BBM
c. Penataan ruang kawasan sekitar depo bahan bakar
Dalam rencana tata ruang DKI Jakarta rencana pengembangan prasarana
energi dibagi kedalam batasan administrasi DKI Jakarta, adapun arahan
yang dilaksanakan yaitu:
a. Pengembangan jaringan transmisi dan distribusi tenaga listrik untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat;
b. Pemerataan pelayanan penerangan jalan umum pada seluruh
lingkungan permukiman.
c. Peningkatan kualitas penerangan jalan umum pada jalan protokol, jalan
penghubung, taman dan pusat-pusat aktivitas masyarakat serta jalan
lingkungan di pemukiman ;
d. Pengembangan pelayanan dan penambahan jaringan distribusi gas
terutama di kawasan industri,perdagangan dan jasa, serta rumah susun;
dan

5-146
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

e. Pengembangan pelayanan energi dan gas untuk transportasi melalui


pemerataan pengadaan stasiun pengadaan bahan gas (SPBBG).

5.1.12.8 Prasarana Telekomunikasi


Pengembangan sistem prasarana telekomunikasi dan Informatika
diarahkan guna meningkatnya komunikasi publik yang efektif, ketersediaan
dan keterjangkauan informasi secara merata, dan pengembangan ekonomi
informasi untuk menunjang Kota Jakarta sebagai kota jasa. Sistem
prasarana telekomunikasi dan informatika meliputi:
a. Lapisan inti (core/backbone layer)
b. Lapisan distribusi (distribution layer)
c. Lapisan akses (access layer)

Pengembangan lapisan backbone dilakukan dengan penempatan jaringan


serat optik pada prasarana yang sudah ada seperti jaringan angkutan
massal atau prasarana jalan dan jalan tol atau utilitas atau kombinasinya.
Pengembangan lapisan distribusi dan akses dilakukan melalui pengaturan
sebaran menara telekomunikasi secara proporsional, efisien dan efektif
melalui pemanfaatan menara secara bersama
Rencana pengembangan prasarana telekomunikasi di DKI Jakarta dalam
RTRW DKI Jakarta dijelaskan berdasarkan batasan administratif DKI
Jakarta yaitu:

A. Jakarta Utara
Pengembangan prasarana Telekomunikasi di wilayah Kota Administrasi
Jakarta Pusat, terdiri atas :
a. pengembangan sistem pelayanan telekomunikasi melalui penerapan
teknologi telekomunikasi yang memadai;
b. penambahan dan pembangunan sentral-sentral telepon baru; dan
c. perluasan serta peningkatan pelayanan warung telekomunikasi dan
internet di kawasan perumahan dan permukiman padat penduduk.
d. pemanfaatan jaringan internet untuk bebas mengakses informasi pada
kawasan-kawasan strategis (halte busway, terminal dan taman) dengan
intensitas/kegiatan tinggi.
e. pemasangan CCTV pada kawasan-kawasan strategis dan pusat
keramaian.

Pengembangan prasarana Telekomunikasi di wilayah Kota Administrasi


Jakarta Utara, dilaksanakan berdasarkan arahan sebagai berikut:
a. pengembangan sistem pelayanan telekomunikasi melalui penerapan
teknologi telekomunikasi yangmemadai;
b. penambahan dan pembangunan sentral-sentral telepon baru; dan

5-147
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

c. perluasan pengadaan telepon umum dan peningkatan pelayanan


warung telekomunikasi di kawasan perumahan dan permukiman padat
penduduk.

B. Jakarta Barat
Pengembangan prasarana Telekomunikasi di wilayah Kota Administrasi
Jakarta Utara, dilaksanakan berdasarkan arahan sebagai berikut:
a. pengembangan sistem pelayanan telekomunikasi melalui penerapan
teknologi telekomunikasi yangmemadai;
b. penambahan dan pembangunan sentral-sentral telepon baru; dan
c. perluasan pengadaan telepon umum dan peningkatan pelayanan
warung telekomunikasi di kawasan perumahan dan permukiman padat
penduduk.

C. Jakarta Selatan
Sistem prasarana transportasi Kota Administrasi Jakarta Selatan, meliputi :
a. Pembangunan fasilitas, sarana dan prasarana sistem angkutan umum
massal;
b. Pembangunan jaringan jalan arteri yang mendukkung sistem
transportasi antar wilayah yang menuju ke arah barat;
c. Peningkatan dan penerapan manajemen lalulintas serta penyediaan
fasilitas pejalan kaki terutama di Kawasan Segitiga Kuningan,
Kebayoran Baru dan mampang prapatan;
d. Peningkatan jaringan jalan yang mendukung lalu lintas antar wilayah di
perbatasan Kabupaten Bogor, Depok dan Tangerang;
e. Penataan moda umum yang disesuaikan dengan hirarki jalan, berikut
fasilitas penunjangnya;
f. Pembangunan jaringan jalan yang berfungsi sebagai jalan tembus dan
jalan sejajar dengan :
• Jl. Jend. Sudirman dan Jl. HR Rasuna Said
• Jl. TB Simatupang dan Komplek RSPP
• Jl. Pasar Minggu dan Jl. Condet Raya
• Jl. Cempaka 5 dan Jl. Veteran Raya
g. Membangun gedung-gedung dan atau taman parkir sebagai fasilitas
park and ride sebagai penunjangketerpaduan angkutan umum di
kawasan Lebak Bulus;
h. Membangun terminal/stasiun yang terpadu untuk menunjang
pergerakan antar moda tiap-tiap angkutan umum pada kawasan Blok M
dan Lebak Bulus;
i. Mengembangkan jaringan rel kereta menengah/ringan jalur pada
kawasan Kuningan Senayan dan Kp. Melayu –Taman Anggrek;

5-148
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

j. Mengembangkan jaringan transportasi air;


k. Rencana pengembangan prasarana transportasi di Kota administrasi
Jakarta Selatan, jaringan jalan bebas hambatan, arteri dan kolektor,
jaringan rel berat dan menengah/ringan, lokasi stasiun kereta, stasiun/
terminal antar moda, jalur utama (trunk line) angkutan umum jalan raya
(bus priority), dan jaringan transportasi air;
l. Perbaikan lingkungan fasilitas perdagangan dengan penataan sarana
dan prasarana pejalan kaki dan parkir di Kawasan Majestik;
m. Perbaikan lingkungan fasilitas perdagangan dengan penyediaan
prasarana angkutan umum terpadu angkutan kereta api di Kebayoran
Lama;
n. Perbaikan lingkungan fasilitas perdagangan dengan penataan sarana
dan prasarana pejalan kaki dan parkir di Mampang Prapatan;
o. Pembangunan kembali pasar lama terpadu dengan sistem transportasi
di Pasar Minggu; dan
p. Perbaikan lingkungan fasilitas perdagangan dengan penataan sarana
dan prasarana pejalan kaki dan parkir di Cilandak.
Pengembangan prasarana dan sarana Telekomunikasi dan informatika di
wilayah kota administrasi Jakarta Selatan, dilaksanakan berdasarkan
arahan sebagai berikut:
a. Pengembangan sistem pelayanan telekomunikasi melalui penerapan
teknologi telekomunikasi yang memadai;
b. Penambahan dan pembangunan sentral-sentral telepon baru; dan
c. Perluasan pengadaan telepon umum dan peningkatan pelayanan
warung telekomunikasi di kawasan perumahan dan permukiman padat
penduduk.

D. Jakarta Timur
Pengembangan prasarana dan sarana Telekomunikasi dan informatika di
wilayah kota administrasi Jakarta Timur, dilaksanakan berdasarkan arahan
sebagai berikut:
a. Pengembangan sistem pelayanan telekomunikasi melalui penerapan
teknologi telekomunikasi yang memadai;
b. Penambahan dan pembangunan sentral-sentral telepon baru; dan
c. Perluasan pengadaan telepon umum dan peningkatan pelayanan
warung telekomunikasi di kawasan perumahan dan permukiman padat
penduduk.

5-149
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

Contents 
BAB 5 RENCANA STRUKTUR RUANG DAN POLA RUANG PROVINSI DKI
JAKARTA ........................................................................................................... 5-1

5.1. SISTEM PUSAT KEGIATAN ............................................................ 5-1

5.1.1. Latar belakang pentingnya sistem Pusat Kegiatan .......... 5-1

5.1.2. Definisi Sistem Pusat Kegiatan ............................................. 5-2

5.1.3. Definisi Sistem Pusat Kegiatan dalam RTRW 2010 .......... 5-2

5.1.4. Definisi Sistem Pusat Kegiatan dalam RTRW 2030 .......... 5-3

5.1.4.1. Definisi Sistem Pusat Kegiatan Primer ........................ 5-3

5.1.4.2. Definisi Sistem Pusat kegiatan Sekunder ................... 5-3

5.1.4.3. Definisi Sistem pusat kegiatan Tersier ....................... 5-3

5.1.5. Peran pusat-pusat kegiatan (Sentra) dalam Sistem Pusat


Kegiatan .................................................................................................... 5-3

5.1.6. Sistem Pusat Kegiatan Berdasarkan RTRW 2010 ............. 5-4

(1) Sistem pusat kegiatan ditetapkan untuk menunjang Jakarta


sebagai kota jasa dan memeratakan pusat kegiatan pemerintahan,
kegiatan sosial, ekonomi, budaya, serta kegiatan pelayanan. ............. 5-4

(2) Sistem pusat kegiatan dibedakan berdasarkan kegiatan kawasan


sebagai pembentuk struktur ruang dan kawasan fungsi khusus sebagai
pusat pemerintahan, pusat perwakilan negara asing, pusat kegiatan
sosial, ekonomi, dan budaya. ...................................................................... 5-4

(3) Sistem pusat kegiatan terdiri dari Pusat Kegiatan Utama dan
Pusat Kegiatan Penunjang. ........................................................................... 5-4

(4) Sistem Pusat Kegiatan Utama menurut fungsi kawasan sebagai


pembentuk struktur ruang, ditetapkan sebagai berikut : ...................... 5-4

a. Sentra Primer Baru Timur sebagai pusat pemerintahan Kota


Administrasi, perkantoran, perdagangan dan jasa; ............................ 5-4

5-150
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

b. Sentra Primer Baru Barat sebagai pusat pemerintahan Kota


Administrasi, perkantoran, perdagangan dan jasa; ............................ 5-4

c. Pusat Niaga Terpadu Pantura sebagai pusat niaga baru di bidang


perdagangan, jasa dan lembaga keuangan; ......................................... 5-4

d. Sentra Primer Glodok sebagai pusat perdagangan elektronik; . 5-4

e. Sentra Primer Tanah Abang sebagai pusat perdagangan tekstil;


5-4

f. Pusat Niaga Terpadu Kuningan, Sudirman, dan Casablanca


sebagai pusat perkantoran dan jasa keuangan; .................................. 5-4

g. Pusat Niaga Terpadu Mangga Dua sebagai pusat perdagangan


pakaian jadi; ................................................................................................ 5-4

h. Pusat Niaga Terpadu Bandar Baru Kemayoran sebagai pusat


eksibisi dan informasi bisnis..................................................................... 5-4

(5) Sistem Pusat Kegiatan Utama menurut fungsi khusus ditetapkan


sebagai berikut : ............................................................................................. 5-4

(6) Sistem Pusat Kegiatan Penunjang menurut fungsi kawasan


sebagai pembentuk struktur ruang dan menurut fungsi khusus
ditetapkan pada Rencana Pengembangan Sistem Pusat Kegiatan Kota
Administrasi. .................................................................................................... 5-5

5.1.7. Analisa Sistem Pusat Kegiatan Utama RTRW 2010.......... 5-5

5.1.7.1 Sentra Primer Baru Timur ................................................. 5-5

5.1.7.2 Sentra Primer Baru Barat .................................................. 5-8

5.1.7.3 Sentra Primer Glodok ......................................................... 5-9

5.1.7.4 Pusat Niaga Terpadu Pantura ........................................... 5-9

5.1.7.5 Pusat Niaga Terpadu Mangga Dua ................................... 5-9

5.1.7.6 Pusat Niaga Terpadu Bandar Kemayoran....................... 5-9

5.1.8. Analisa Sistem Pusat Kegiatan Penunjang RTRW 2010 .. 5-9

5-151
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

• Sistem Pusat Kegiatan Penunjang berdasarkan kegiatan


sebagai pembentuk struktur ruang, ditetapkan terutama pada
lokasi Pasar Senen, Pasar Baru, Pasar Cikini, Bendungan Hilir,
Roxi, Sabang, Cempaka Putih dan Pal Merah; ............................... 5-10

• Sistem Pusat Kegiatan Penunjang berdasarkan kegiatan


pelayanan berfungsi khusus, ditetapkan terutama pada lokasi
Kantor Walikota, Taman Ria Senayan, Lapangan Olah Raga
Menteng, Rawasari dan Roxi, Rumah Sakit St. Carolus dan PGI
Cikini. ...................................................................................................... 5-10

• Sistem Pusat Kegiatan Penunjang berdasarkan kegiatan


sebagai pembentuk struktur ruang, ditetapkan terutama pada
lokasi Pasar Koja, Pasar Kelapa Gading, Pasar Cakung, Pasar Pluit,
Pasar Mandara Permai dan Pasar Cilincing; .................................... 5-10

• Sistem Pusat Kegiatan Penunjang berdasarkan kegiatan


pelayanan berfungsi khusus, ditetapkan terutama pada lokasi
Kantor Walikota, Rumah Sakit Koja, Cilincing dan Atma Jaya dan
Pasar Ikan Muara Karang.................................................................... 5-10

• Sistem Pusat Kegiatan Penunjang berdasarkan kegiatan


sebagai pembentuk struktur ruang, ditetapkan terutama pada
lokasi Pasar Asem Reges, S. Parman, Pasar Grogol, Pasar Tanjung
Duren, Pasar Cengkareng dan Kali Deres; ...................................... 5-10

• Sistem Pusat Kegiatan Penunjang berdasarkan kegiatan


pelayanan berfungsi khusus, ditetapkan terutama pada lokasi
Kantor Walikota, Pasar Bunga Tanaman Hias Rawa Belong, Pasar
Induk Bahan Pangan Rawa Buaya, Rumah Sakit Harapan Kita,
Sumber Waras dan Husada. ............................................................... 5-10

• Sistem Pusat Kegiatan Penunjang berdasarkan kegiatan


sebagai pembentuk struktur ruang, ditetapkan terutama pada
lokasi Pasar Blok M Kebayoran Baru, Pasar Mampang Prapatan,
Pasar Tebet, Pasar Manggarai, Pasar Kebayoran Lama, Pasar
Cilandak, Pasar Minggu dan Mayestik; ............................................. 5-10

5-152
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

• Sistem Pusat Kegiatan Penunjang berdasarkan kegiatan


pelayanan berfungsi khusus, ditetapkan terutama pada lokasi
Kantor Walikota, Rumah Sakit Pertamina, Rumah Sakit MMC,
Rumah Sakit Pondok Indah dan Fatmawati, Rekreasi Situ
Babakan, Situ Mangga Bolong dan Lapangan Olah Raga Lebak
Bulus. ...................................................................................................... 5-10

• Sistem Pusat Kegiatan Penunjang berdasarkan kegiatan


sebagai pembentuk struktur ruang, ditetapkan terutama pada
lokasi Pasar Jatinegara, Pasar Rawamangun, Pasar Klender, Pasar
Pulo Gadung, Pasar Burung Pramuka dan Pasar Cakung; ........... 5-10

• Sistem pusat penunjang berdasarkan kegiatan pelayanan


berfungsi khusus, ditetapkan terutama pada lokasi Kantor
Walikota, Taman Rekreasi Pulo Mas dan Taman Bunga Cibubur,
Pacuan Kuda Pulo Mas, Rumah Sakit Persahabatan, Rumah Sakit
UKI, Rumah Sakit Haji, Rumah Sakit Islam, Lapangan Olah Raga
Rawamangun dan Halim. .................................................................... 5-11

5.1.9. Evaluasi Sistem Pusat Kegiatan RTRW 2010 ................... 5-11

5.1.10. Saran Sistem Pusat Kegiatan dalam RTRW 2030 ........... 5-14

5.1.11. Usulan Kawasan Sistem Pusat Kegiatan RTRW 2030 DKI


Jakarta 5-15

5.1.11.1 Pusat Kegiatan Primer .................................................. 5-17

5.1.11.2 Pusat Kegiatan Sekunder............................................. 5-24

5.1.12. Rencana Sistem Prasarana .................................................. 5-27

5.1.12.1 Prasarana Transportasi ................................................ 5-27

A. Permasalahan Transportasi DKI Jakarta .......................... 5-28

B. Potensi Permasalahan & Basis Penerapan Kebijakan di


Masa Datang .................................................................................. 5-35

5-153
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

C. Arah Kebijakan Pengembangan Sistem Transportasi DKI


Jakarta............................................................................................. 5-42

D. Manajemen Permintaan (Demand Management) ........... 5-53

E. Jaringan Jalan ........................................................................ 5-54

F. Kesimpulan & Rekomendasi ................................................ 5-60

5.1.12.2 Prasarana Konservasi Sumber Daya Air ................... 5-61

G. Neraca Air ............................................................................... 5-63

H. Kualitas Air.............................................................................. 5-64

I. Indeks Konservasi ................................................................. 5-69

5.1.12.3 Prasarana Pendayagunaan Sumber Daya Air .......... 5-71

5.1.12.4 Prasarana Pengendalian Daya Rusak Air .................. 5-89

A. Banjir dan Curah Hujan ....................................................... 5-89

B. Genangan dan Curah Hujan ................................................ 5-89

C. Tinggi Muka Air Laut ............................................................. 5-91

D. Sejarah Banjir di Kawasan Jakarta .................................... 5-91

E. Catatan dari Pengalaman Banjir Jakarta .......................... 5-97

F. Perkiraan Banjir Hingga Tahun 2030 ................................ 5-98

G. Sistem Tata Air.................................................................... 5-98

Gambar 5.59 Integrasi Pantura Dan Tanggul Laut ................. 5-102

5-154
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

BKT
BKB Q=390 m3/s
Cengkareng drain Q=500 m3/s
Q = 510 m3/s (JICA 1997)
(JICA 1997)

............................................................................................................ 5-102

............................................................................................................ 5-103

Tabel 5.13 Rasio Badan Air ........................................................ 5-104

5-155
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

H. Strategi.................................................................................. 5-104

I. Upaya Non Teknis Penanggulangan Banjir .................... 5-106

J. Upaya Teknis Pengendalian Banjir................................... 5-111

Tabel 5.14 Karakteristik Utama Banjir Kanal Barat .............. 5-112

K. Sistem Polder Berbasis Partsisipasi Masyarakat ........... 5-122

Tabel 5.15 Tinggi Keselamatan untuk Polder Perkotaan ...... 5-125

Perlindungan Banjir atau Tanggul ................................................... 5-126

Sistem Drainase .................................................................................. 5-126

5.1.12.5 Prasarana Sanitasi ...................................................... 5-129

A. Pendahuluan ......................................................................... 5-129

Tabel 5.16 Kualitas Air Sungai di DKI Jakarta Tahun 2004 -


2007................................................................................................... 5-129

Tabel 5.17 Kualitas Airtanah di DKI Jakarta Tahun 2004 - 2007


............................................................................................................ 5-130

B. Permasalahan Air Limbah di DKI Jakarta ....................... 5-133

C. Tantangan dan Peluang Dalam Penyelenggaraan Sistem


Pengelolaan Air Limbah Permukiman ..................................... 5-136

D. Studi Terdahulu ................................................................... 5-138

E. Kebijakan dan Strategi Sistem Pengelolaan Air Limbah ... 5-


143

5.1.12.6 Prasarana Persampahan ............................................ 5-144

5.1.12.7 Prasarana Energi ......................................................... 5-145

A. Sistem Ketenagalistrikan ................................................... 5-145

5-156
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

B. Sistem Prasarana Bahan Bakar Gas ................................ 5-146

C. Sistem Prasarana Bahan Bakar Minyak .......................... 5-146

5.1.12.8 Prasarana Telekomunikasi ......................................... 5-147

A. Jakarta Utara........................................................................ 5-147

B. Jakarta Barat ........................................................................ 5-148

C. Jakarta Selatan .................................................................... 5-148

D. Jakarta Timur ....................................................................... 5-149

DAFTAR GAMBAR
Gambar 5.1 Konstelasi SPBT dan Wilayah Sekitarnya............................ 5-6
Gambar 5.2 Pusat Kegiatan yang Cenderung Berkembang sebagai
Pusat Kegiatan Nasional ...................................................................... 5-17
Gambar 5.3 Komposisi Moda Angkutan Bus DKI Jakarta ........ 5-28
Gambar 5.4 Struktur jaringan trayek angkutan bus DKI Jakarta ...... 5-29
Gambar 5.5 Kondisi demand-supply angkutan umum bus DKI Jakarta 5-
29
Gambar 5.6 Faktor muat angkutan bus DKI Jakarta ............................ 5-31
Gambar 5.7 Kinerja jaringan jalan tahun 2007...................................... 5-32
Gambar 5.8 Koridor-koridor utama yang bermasalah .......................... 5-33
Gambar 5.9 Situasi lokasi work force di DKI Jakarta ............................ 5-35
Gambar 5.10 Rencana Jaringan Angkutan Umum (skenario ideal) ... 5-37
Gambar 5.11 Pola Jaringan Jalan DKI ...................................................... 5-39
Gambar 5.12 Indikator Kinerja dengan Jaringan Rencana Tahun
2010 ....................................................................................................... 5-40
Gambar 5.13 Indikator Kinerja dengan Jaringan Rencana Tahun 2025 5-
40
Gambar 5.14 Persentasi Pengurangan Kendaraan Pribadi................... 5-41
Gambar 5.15 Arah Pengembangan Sub-Center Wiayah Jabodetabek... 5-
43
Gambar 5.16 Arah Pengembangan Kebijakan Transportasi DKI ........ 5-44
Gambar 5.17 Pertumbuhan Penggunaan Angkutan Umum ................. 5-45

5-157
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

Gambar 5.18 Pertumbuhan Penggunaan Kendaraan Pribadi .............. 5-45


Gambar 5.19 Reformasi (Penghapusan) Fungsi Terminal dalam Kota .. 5-
46
Gambar 5.20 Konsep Jalur Pengumpan Angkutan Massal ................... 5-47
Gambar 5.21 Indikasi Lokasi Potensi Penyediaan Fasilitas Park and
Ride .......................................................................................................... 5-48
Gambar 5.22 Rencana Pengembangan Ekstensi Koridor Busway ...... 5-48
Gambar 5.23 Rencana Trayek Jalur Melingkar ....................................... 5-50
Gambar 5.24 Indikasi Kawasan Multi Moda yang Bersinggungan
dengan Stasiun KA Jabodetabek ....................................................... 5-50
Gambar 5.25 Indikasi Lokasi Setasiun untuk sistem Park and Ride .. 5-51
Gambar 5.26 Rencana Jaringan Angkutan Umum (2030) ................... 5-52
Gambar 5.27 Rencana Pengembangan TOD di DKI Jakarta ................ 5-53
Gambar 5.28 Rencana Kawasan TDM ...................................................... 5-54
Gambar 5.29 Pola Jaringan Arteri DKI tahun 2030 ............................... 5-55
Gambar 5.30 Pola Jaringan Arteri DKI (alternatif layang) tahun 2030 . 5-
56
Gambar 5.31 Perampungan Ruas-ruas Tol JORR yang belum
beroperasi............................................................................................... 5-57
Gambar 5.32 Rencana Jaringan Jalan Bebas Hambatan DKI .............. 5-58
Gambar 5.33 Rencana Flyover & Underpass DKI Jakarta .................... 5-59
Gambar 5.34 Status Mutu Airtanah di Wilayah Provinsi DKI Jakarta
Tahun 2007............................................................................................. 5-65
Gambar 5.35 Sebaran Airtanah Payau / Asin di Wilayah DKI Jakarta dan
sekitarnya ............................................................................................... 5-66
Gambar 5.36 Status Mutu Air Sungai di Wilayah Provinsi DKI Jakarta
tahun 2007 ............................................................................................. 5-67
Gambar 5.37 Status Mutu Air Situ dan Waduk di Wilayah Provinsi DKI
Jakarta tahun 2007................................................................................ 5-68
Gambar 5.38 Status Mutu Air Situ dan Waduk di Wilayah Provinsi DKI
Jakarta tahun 2007................................................................................ 5-69
Gambar 5.39 CAT Jakarta dan sekitarnya ............................................... 5-74
Gambar 5.40 Peta DIAT dan DLAT kawasan Jabodetabekpunjur dan
Sekitarnya .............................................................................................. 5-75
Gambar 5.41 Skema Penampang Geologi/Hidrogeologi Jakarta-Bogor 5-
76
Gambar 5.42 Potensi Airtanah CAT Jakarta ............................................ 5-77
Gambar 5.43 Wilayah Pelayanan Air Bersih Yang Dikelola Oleh PT.
PAM Lyonnaise Jaya ............................................................................. 5-83

5-158
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

Gambar 5.44 Wilayah Pelayanan Air Bersih Yang Dikelola Oleh PT.
Thames PAM Jaya ................................................................................. 5-84
Gambar 5.45 Sumber Air Baku untuk PAM DKI Jakarta dan Fasilitas IPA
.................................................................................................................. 5-85
Gambar 5.46 Cakupan Layanan Air Bersih Perpipaan di DKI Jakarta
Tahun 2007............................................................................................. 5-87
Gambar 5.47 Curah Hujan Bulanan di Utara di Selatan Jakarta ........ 5-90
Gambar 5.48 Tinggi Muka Air Sungai Ciliwung di Depok Saat Banjir
2002 ........................................................................................................ 5-93
Gambar 5.49 Tinggi Muka Air Sungai Ciliwung di Manggarai Saat Banjir
2002 ........................................................................................................ 5-94
Gambar 5.50 Tinggi air di hilir Sungai Ciliwung di Pintu Air Manggarai
Selama Periode Banjir 2007 ............................................................... 5-95
Gambar 5.51 Tinggi air Sungai Ciliwung di Katu Lampa Selama
Periode Banjir 2007 .............................................................................. 5-95
Gambar 5.52 Tinggi air Sungai Ciliwung di Depok Selama Periode
Banjir 2007............................................................................................. 5-96
Gambar 5.53 Curah hujan di sembilan stasiun di daerah Jakarta
musim banjir 2007 ............................................................................... 5-96
Gambar 5.54 Curah hujan di tiga stasiun di sekitar Bogor musim
banjir 2007 ............................................................................................. 5-97
Gambar 5.55 Limbah padat yang tersaring di Kali Sudetan Grogol -
Sekretaris .................................................... Error! Bookmark not defined.
Gambar 5.56 Limbah padat yang tersaring di outlet saluran drainase
Utan Kayu .................................................... Error! Bookmark not defined.

5-159
Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2010-2030

DAFTAR TABEL

Tabel 5.1 Kriteria Status Daya Dukung Sumberdaya Air....................... 5-64


Tabel 5.2 Tren Kualitas Air Tanah di DKI Jakarta Tahun 2004 – 2007 5-65
Tabel 5.3 Tren Kualitas Air Sungai di DKI Jakarta Tahun 2004 - 20075-67
Tabel 5.4 Trend Kualitas Air Situ/Waduk DKI Jakarta Tahun 2004 - 2007
.................................................................................................................. 5-68
Tabel 5.5 Tren Derajat Pencemaran Teluk Jakarta Tahun 2004 – 2007
(Indeks Keragaman) ............................................................................. 5-69
Tabel 5.6 Kebutuhan Air Domestik di Provinsi DKI Jakarta tahun 2007 . 5-
79
Tabel 5.7 Jumlah Pelanggan PAM dan Volume Air yang disalurkan Tahun
2007 ......................................................................................................... 5-80
Tabel 5.8 Jumlah Sumur Bor dan Sumur Pantek dan Pemakaian Air
Tahun 2007............................................................................................. 5-81
Tabel 5.9 Kebutuhan Air di Wilayah Provinsi DKI Jakarta (diluar Kab.
Kep. Seribu) Tahun 2007 .................................................................... 5-81
Tabel 5.10 Kebutuhan Air di Wilayah Kab. Kep. Seribu Provinsi DKI
Jakarta tahun 2007................................................................................ 5-82
Tabel 5.11 Kapasitas Produksi Air Bersih Perusahaan Air Minum (PAM)
di DKI Jakarta ......................................................................................... 5-86
Tabel 5.12 Klasifikasi curah hujan harian ............................................. 5-90

5-160

You might also like