Professional Documents
Culture Documents
Pengertian media sangatlah luas, demikian juga fungsi dan penerapannya. Jika kita kaitkan
dan diterpakan dengan pendidikan yang batasannya telah disebutkan diatas, maka media dapat
diartikan sebagai berikut.
Briggs (1970) berpendapat bahwa media adalah segala alat fisik yang
dapat menyajikan pesan serta merangsang siswa untuk belajar. Contohnya, buku,
film, kaset, dan film bingkai .
Dengan memperhatikan pendapat Gagne dan Briggs tersebut, kita dapat menyimpulkan
bahwa media merupakan alat dan bahan fisik yang terdapat di lingkungan siswa untuk menyajikan
pesan kegiatan pembelajaran (proses kegiatan belajar-mengajar) sehingga dapat merangsang siswa
untuk belajar. Akan tetapi, dalam peristilahan dan lingkungan istilah “media” terdapat beberapa istilah
lain yang mengiringinya atau berhubungan yang dapat disimpulkan sebagai unsur-unsur dari media.
Seperti yang dijelaskan dalam buku Media Pendidikan (2007) sebagai berikut.
Orang
Istilah yang telah diketahui semua orang. Dalam pendidikan, mencakup guru, orang
tua, tenaga ahli, dan sebagainya.
Bahan (materials)
Istilah ini biasa disebut denagan istilah perangkat lunak atau software yang
terkandung pesan-pesan yang perlu disajikan baik dengan alat penyaji atau pun tidak. Seperti
buku, modul, film bingkai, audio, dan sebagainya.
Alat (device)
Istilah ini biasa disebut dengan perangkat keras atau hardware yang digunkan untuk
menyajikan pesan. Contohnya, proyektor film, film bingkai, video tape, pesawat radio, TV,
dan sejenisnya.
Teknik (technic)
Istilah ini ditunjukan pada prosedur rutin atau acauan yang disiapkan untuk
menggunakan alat, bahan, orang, dan lingkungan dalm rangka menyajikan pesan tersebut.
Contohnya, teknik demonstrasi, kuliah, ceramah, tanya-jawab, dan sejenisnya.
Lingkungan (setting)
Istilah ini menunjukan pada tempat yang memungkinkan terjadinya proses belajar-
mengajar antara siswa dan guru. Contohnya, gedung sekolah, kelas, perpustakaan,
laboratorium, dan sejenisnya .
Jadi, dapat dikatakan bahwa unsur-unsur media pendidikan meliputi orang (unsur orang) yang
menggunakan dan menggerakan media dari suatu sumber (unsur bahan) yang akan disampaikan
kepada penerima dengan menggunakan sebuah alat perantara (unsur alat) yang akan menyampaikan
pesan tersebut disertai suatu teknik atau strategi-strategi tertentu (unsur strategi) di suatu tempat
tertentu yang selanjutnya disebut dengan unsur lingkungan.
Oleh karena, seperti yang disebutkan sebelumnya, media merupakan sarana interaksi anatar
seorang pendidik dengan peserta didik, maka seorang guru atau pendidik hendaknya mengetahui seluk-
beluk dan manfaat media agar dapat berlangsungnya komunikasi dan interaksi dalam proses kegiatan
pembelajaran dengan efektif dan efesien.
Menurut Hamalik (dalam Azhar Arsyad, 1996:2) menyatakan bahwa guru harus memiliki
pengetahuan dan pemahaman tentang media yang meliputi.
wawasan pengetahuan dan konsep-konsep pembelajaran dalam segala macam hal dapat kita
peroleh dari media massa. Seiring dengan banyaknya media yang bermunculan mulai dari radio,
majalah, televisi, tabloid, tivi kabel,buku, spanduk, billboard, poster dll.
Semuanya memberikan sebuah masukkan pengetahuan baru baik itu negative maupun positif.
Namun tujuannya tetap sama yaitu sebagai media pembelajaran dan pendidikan yang cukup mudah
untuk diakses.
Unsur-unsur penting dari media adalah :
1. Orang
2. Bahan/material
3. Alat
4. Teknik
5. Lingkungan
Fungsi berbagai media diluar sekolah bagi para pelajar tentunya sebagai bahan tambahan pengetahuan
yang tidak mereka dapat di sekolah. Oleh sebab itu guru harus memiliki pengetahuan dan pemahaman
mengenai media yang cukup, meliputi hal-hal di bawah ini:
1. Media merupakan alat komunikasi untuk mendapatkan proses belajar yang lebih
efektif
2. Fungsi media untuk lebih mencapai tujuan dengan tepat
3. Seluk beluk proses pendidikan
4. Hubungan antara metode pembelajaran dan pendidikan
5. Nilai dan manfaat yang didapat dari pengajaran
6. Pemilihan dan penggunaan media yang sesuai
7. Inovasi dalam media pendidikan
Yang harus dilakukan agar media bisa bekerja sesuai dengan fungsinya dan mengarah pada tujuan tepat
yang telah ditetapkan, yaitu :
1. Proses pemilihan dan penyaringan media yang baik bagi para murid sekolah. Jangan
sampai mereka menyerap semua pesan dari media yang ada karena tidak semua pesan itu positif bagi
mereka
2. Proses pendekatan dan konsultasi agar murid mau bertanya dan tidak malu untuk
meminta penjelasan pada gurunya
3. Kerjasama yang baik antara murid dan guru untuk melakukan seleksi media
terpercaya
4. Pembahasan yang tepat terhadap isi pesan dalam media tertentu supaya semua murid
tidak salah mengerti apa sebenarnya inti dan makna dibalik pesan tersebut.
5. Pengarahan pada orangtua di rumah mengenai pesan yang tertera di media supaya
anak yang membacanya akan mengerti bahwa pesan itu sesuai untuknya atau tidak.
Semoga dengan adanya kerjasama dan sinkronisasi antara semua unsur media, akan terjalin sebuah
kesepahaman dan pembelajaran yang mengarah pada tujuan baik.
Kata targhib berasal dari kata kerja ragghaba yang berarti; menyenangi, menyukai
dan mencintai, kemudian kata itu diubah menjadi kata benda targhib yang mengandung
makna “:suatu harapan untuk memperoleh kesenangan, kecintaan dan kebahagiaan. Semua itu
dimunculkan dalam bentuk janji-janji berupa keindahan dan kebahagiaan yang dapat
merangsang/mendorong seseorang sehingga timbul harapan dan semangat untuk
memperolehnya. Secara psikologi, cara itu akan menimbulkan daya tarik yang kuat untuk
menggapainya. Sedangkan istilah tarhib berasal dari kata rahhaba yang berarti; menakut
nakuti atau mengancam. Lalu kata itu diubah menjadi kata benda tarhib yang berarti; ancaman
hukuman.
Untuk kedua istilah itu, Al-Nahlawi mendefinisikan bahwa yang dimaksud dengan
targhib adalah janji yang disertai dengan bujukan yang membuat senang terhadap suatu yang
maslahat, terhadap kenikmatan atau kesenangan akhirat yang baik dan pasti serta suka
kepada kebersihan dari segala kotoran, yang kemudian diteruskan dengan melakukan amal
saleh dan menjauhi kenikmatan selintas yang mengandung bahaya dan perbuatan buruk.
Sementara tarhib ialah suatu ancaman atau siksaan sebagai akibat melakukan dosa atau
kesalahan yang dilarang Allah SWT., atau akibat lengah dalam menjalankan kewajiban yang
diperintahkan Allah SWT.
Nabi Muhammad SAW. dalam rangka menyampaikan pendidikan kepada
masyarakat terkadang dengan ungkapan yang bersifat pemberian rangsangan (targhib) atau
dengan ungkapan-ungkapan yang bersifat ancaman (tarhib), kedua sifat ungkapan ini
dilakukan oleh Rasulullah SAW. semata-mata sebagai sebuah strategi, agar pesan-pesan
pendidikan dapat sampai kepada obyek pendidikan.
Beberapa bentuk dari targhib dan tarhib yang dilakukan oleh Rasulullah SAW.
antara lain adalah :
a. Bentuk-bentuk Targhib (rangsangan)
1) Rangsangan untuk mau menolong antar sesama
Hadis riwayat Muslim dari Abu Qatadah ;
“ Barang siapa yang ingin diselamatkan Allah dari kesulitan kesulitan
hari kiamat, maka hendaklah dia meringankan beban orang yang susah, atau
mengapus utangnya”.
.
CIRI KHUSUS PENDIDIKAN ISLAM
Seluruh tujuan lembaga pendidikan Islam yang paling menonjol adalah pewarisan nilai-nilai ajaran
agama Islam. Hal ini sangat beralasan mengingat aspek-aspek kurikulum yang ada menyajikan
seluruhnya memasukan mata pelajaran agama Islam secara komprehensif dan terpadu (walaupun di
sekolah-sekolah umum dipelajari juga mata pelajaran agama Islam tetapi tidak komprehensif dan
mendalam) sementara di lembaga-lembaga pendidikan Islam kurikulum pendidikan agama Islam
menjadi kosentrasi dan titik tekan. .
Untuk mengetahui karakteristik pendidikan pesantren salaf atau tradisional, maka dapat di lacak dari
berbagai segi diantaranya adalah sebagaiberikut :
Sebagai lembaga pendidikan Islam, pesantren pada pada dasarnya hanya mengajarkan agama,
sedangkan sumber kajian atau mata pelajaranya ialah kitab-kitab dalam bahasa Arab. Pelajaran agama
yang dikaji di pesantren ialah Al-Qur’an dengan tajwidnya dan tafsinya, aqa’id dan ilmu kalam, fiqh
dan ushul fiqh, hadis dengan mushthalah hadis, bahasa Arab dengan ilmu alatnya seperti nahwu,
sharaf, bayan, ma’ani, badi’ dan ’arudh, tarikh, mantiq, dan tasawuf. kitab yang dikaji di pesantern
umumnya kitap-kitap yang ditulis dalam abad pertengahan, yaitu antara abad ke-12 sampai abad ke-15
atau azim disebut dengan “kitap kuning”[4].
Adapun metode yang lazim dipergukan dalam pendidikan pesantern ialah wetonan, sorogan, dan
hafalan. Metode wetonan adalah metode kuliah di mana para santri mengikuti pelajaran dengan duduk
di sekeliling kiai yang menerang pelajaran. Santri menyimak kitap masing-masing dan mencatat jika
perlu. Iistilah weton berasal dari kata waktu (jawa) yang berarti waktu karena pengajian tersebut
diberikan pada waktu-waktu tertentu, yaitu sebelum dan sesudah melakukan shalat fardu (lima waktu).
Di Jawa Barat, metode ini dusebut dengan bandongan; sedangkan disumatra disebut dengan halaqah,
yaitu belajar secara kelompok (group) yang di ikuti oleh santri. Biiasanya kiai mengunakan bahasa
daerah setempat dan langsung menerjemahkan kalimat demi kalimat dari kitab yang di pelajarinya.
Metode serogan ialah suatau metode dimana santri menghadap guru atau kiai seoarang demi seorang
dengan membawa kitap yang dipelajari. Kiai membacakan dan menerjemahkan kalimat demi kalimat;
kemudian menerangkan maksudnya santri mmenyimak bacaan kiai dan mengulanginya sampai
memahaminya, kemudian kiai mengesahkan (jawa:ngesahi), jika santri sudah benar-benar mengerti,
dengan memberiikan catatan pada kitabnya untuk mensahkan bahwa ilmu itu telah diberikan kiai
kepadanya. Istilah sorogan berasal dari kata sorog ( jawa ) yang berarti menyodorkan kitab kedepan
kiai atau asistenya. Pengajian dengan metode ini merupakan pelimpahan nilai- nilai sebagai proses
delivery of culture di pesantren dengan istilah tutorship atau mentorship. Menurut Dhofier[5], metode
sorogan ini merupakn bagian yang paling sulit dari keseluruhan metode pendidikan Islam tradisional;
sebab system ini menuntut kesabaran, kerajianan, ketaatan, dan disiplin pribadi santri. Kendatipun
demikian,” metode seperti ini diakui paling intensif, karena dilakukan seorang demi seorang dan ada
kesempatan untuk tanya jawab langsung”.[6]
Metode hafalan ialah suatu metode dimana santri menghafal teks atau kalimat tertentu dari kitab yang
di pelajarinya. Biasanya cara menghafal ini dijarkan dalam bentuk syair atau nazham. Dengan cara ini
memudahkan santri untuk menghafal, baik ketika sedang belajar muapun disaat berada di luar jam
belajar. Kebiasaan menghafal, merupakan tradisi yang sudah berlangsung sejak awal berdirinya.
Hafalan tidak saja terbatas pada ayat- ayat Al- Qur’an dan hadits ataupun nazham tetapi juga isi atau
teks kitab tertentu. Karena itu pula, oleh sebagian kiai diajarkan kitab kepada santrinya tidak sekaligus
tetapi secara berangsur – angsur ( gradual ), kalimat demi kalimat sehingga santrinya mengerti benar
apa yang diajarkannya. Dalam kaitan ini, oleh Deliar Noer disebutkan bahwa pengajian seperti itu
merupakan pola lama dimana kiai tidak ingin santrinya lebih pandai padanya.
Dari pernyataan diatas tampak bahwa metode hafalan mengandung sisi kelemahan, antara lain santri
cenderung mengikuti apa saja yang dikatakan oleh kiainya, tanpa ada penalaran dan analisis yang
cermat. Tradisi ini tentu saja dapat di berlakukan untuk seluruh pesantren dan kiai. Kasus diatas
merupakan pengecualian. Namuan, pesantren tradisional sampai sekarang masih menggunakan ketiga
metode tersebut dalam system pengajaranya. Dengan begitu pesantren masih mempertahankan
keunikanya.
b. Jenjang pendidikan
Jenjang pendidikan pesantren tidak dibatasi seperti dalam lembaga- lembaga pendidikan yang memakai
system klasikal. Umumnya, kenaikan tingkat seorang santri ditandai dengan tamat dan bergantinya
kitab yang dipelajarinya. Apabila seorang santri telah menguasai satu kitab atau beberapa kitab dan
telah lulus imtihan ( ujian ) yang diuji oleh kiainya, maka ia berpindah ke kitab lain. Jadi, jenjang
pendidikan tidak ditandai dengan naiknya kelas seperti dalam pendidikan formal, tetapi pada
penguasaan kitab- kitab yang telah di tetapkan dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi[7].
Diantara para santri ada yang mendalami secara khusus salah satu fan (cabang ilmu), misalnya ilmu
hadis atau tafsir. Dijawa, misalnya, seorang santri untuk memperoleh spesialisasi, selain mendatangi
seorang kiai besar juga harus memilih pesantren memiliki keunikan; dan dengan begitu menjadi
karakteristiknya. Misalnya, untuk mendapat ijazah fath al- wahab dan mahalli, seorang santri harus
pergi kepesantren kiai Ma’sum Lasem; untuk Tafsir Baidhawi mengaji pada kiai Baidhawi juga di
Lasem; untuk hadits Bukhori dan muslim harus mengaji pada kiai HasyimAsy’ari; untuk mendapat
ijazah al- Asybah wa al- Nadzair dan jauhar Maknun harus mengaji ke pesantren Termas Pacitan[8].
Sebagai gambaran lebih lanjut, berikut ini disebutkan beberapa pesantren terkemuka di jawa yang
sudah terkenal dengan spesialisasinya atau Fan- Fan tertentu yang menjadi focus kajianya dan kiai
yang mengajarkanya, sebagai berikut.
a) Pesantren Tebuireng ( Kiai Hasyim Asy’ari ), Tambak Beras ( Kiai Wahab Hasbullah ),
Den anyar ( Kiai Bisri Syamsuri ), Termas ( Kiai Dimyathi dan Hamid Dimyathi ), Bangil, terkenal
dengan fiqh dan ilmu hadits
b) Pesantren Lasem ( Kiai ma’sum ) Nglirap ( Banyumas ) dan pesantren di Kediri, Jawa
Timur: Lirboyo Kiai Mahrus ), Bendo, Jampes, terkenal dengan ilmu alat, nahwu, sharaf, bayan, badi’,
dan lain- lain.
c) Pesantren Krapyak ( Kiai Munawwir dan Ali Ma’sum ), Cinta pada Tasikmalaya ( Kiai
Dimyathi ), Wonokromo ( Kiai Abdul Aziz dan Hasbullah ), terkenal dengan qiro’at al- qur’an.
d) Pesantren Rejoso ( Kiai Musa’in Romli ), Tegal Rejo ( Kiai khudhri), al- Falak
Pegentongan ( Kiai Falak ), Watu Congol ( Kiai Dahlan ), terkenal dengan bidang tasawuf.
e) Pesantren Kiai Haji Bidhawi Lasem, Jamsaren ( Kiai Abu Amar ), terkenal dengan
spesialisasi tafsir al- qur’an[9].
f) Pesantren Inabah ( Kiai Abah Anom ), terkenal dengan pengobatan korban narkotika;
pesantren modern Gontor ( Kiai Ahmad Sahal, Zainuddin fananie, dan Imam Zarkasyi ), terkenal
dengan bahasa Arabdan Inggris; pesantren pabelan di Magelang yang menekankan pada keterampilan
santri; pesantren Darul Falah Bogor yang berkecimpung di bidang pertanian[10].
Adanya bidang – bidang khusus yang merupakan fokus masing- masing pesantren dapat menarik minat
para santri untuk memilih bidang- bidang yang diminati. Hal ini menunjukan keanekaragaman bidang
kajian di pesantren – pesantren di mana antara satu dengan yang lainnya tidak ada kesamaan. Secara
umum dapat dipahami bahwa setiap pesantren memberikan porsi yang lebih besar pada bidang- bidang
tertentu sebagai kekhasan pendidikan yang dimilikinya; dan sekaligus ia dikenal karena kekhususanya
itu.
c. Fungsi pesantren
Pesantren tidak hanya berfungsi sebagai lembaga pendidikan, tetapi juga berfungsi sebagai lembaga
social dan penyiaran agama[11]. Sementara Azyumardi Azra menyatakan bahwa ada tiga fungsi
pesantren tradisional. Pertama, transmisi dan transfer ilmu- ilmu Islam. Kedua, pemeliharaan tradisi
Islam, dan ketiga, reproduksi ulama[12].
Sehubungan dengan tiga fungsi tersebut, pesantren memiliki tingkat integritas yang tinggi dengan
masyarakat sekitarnya, dan menjadi rujukan moral bagi kehidupan masyarakat umum. Masyarakat
umum memandang pesantren sebagai komunitas khusus yang ideal terutama dalam kehidupan moral
keagamaan. Karakteristik pesamtren dilihat dari segi fungsinya, dan sangat berperan di tengah- tengah
masyarakat, menjadikanya semakin eksis dan dapat diterima ( acceptable )oleh semua kalangan.
Sesuai dengan fungsinya yang komprehensif dan pendekatanya yang holistic, pesantren memiliki
prinsip- prinsip utama dalam menjalankan pendidikanya. Setidak- tidaknya ada dua belas prinsip yang
di pegang teguh pesantren: (1) theocenric, (2)sukasela dalam pengabdian;(3) kearifan; (4)
kesederhanaan;(5) kolektivitas;(6) mengatur kegiatan bersama; (7) kebebasan terpimpin kemandirian;
(9) pesantren adalah tempat mencari ilmu dan mengabdi;(10)mengamalkan ajaran agama;(11) belajar
di pesantren bukan untuk mencari ijazah;(12) restu kiai, artinya semua perbuatan yang dilakukan oleh
setiap warga pesantren sangat bergantung pada kerelaan dan do’a dari kiai[14].
Prinsip- prinsip pendidikan tersebut, agaknya, merupakan nilai- nilai kebenaran universal; dan pada
dasarnya sama dengan nilia- nilai luhur kehidupan masyarkat pada umumnya. Dengan nilai- nilai itu
pula di pesantren senantiasa tercipta ketentraman, kenyamanan, dan keharmonisan.
Kehidupan pesantren diwarnai dengan asketisme, yang di kombinasikan dengan kesediaan melakukan
segenap perintah kiai guna memperoleh berkah pada jiwa seorang santri, keberkahan ini tentu saja,
memberikan bekas pada jiwa seorang santri, dan bekas inilah yang pada giliranya nanti akan
membentuk sikap hidupnya. Asketisme yang digunakan pesantren merupakan proyeksi pilihan ideal
bagi pola kehidupan umum yang di landa krisis, yang akhirnya menumbuhkan pesantren sebagai unit
budaya yang berdiri terpisah dari kehidupan social ( social life ) dan pada waktu yang sama menjadi
bagian dari kehidupan masyarakat. Peranan ganda inilah yang sebenarnya dapat dikatakan menjadi cirri
utama pesantren sebagai salah satu subkultur. Dalam menjalankan peranan ganda ini, pesantren terlibat
dalam proses penciptaan nilai atau tata nilai yang memiliki dua unsure utama: peniruan dan
pengekangan.unsur pertama, yaitu peniruan, adalah adalah usaha yang dilakukan terus menerus secara
sadar untuk memindahkan pola kehidupan para sahabat Nabi Muhammad s.a.w. dan pada ulama salaf
kedalam praktik kehidupan di pesantren. Pola kehidupan ini tercermin dalam ketaatan beribadat secara
maksimal, penerimaan material yang relatif serba kurang, dan kesadaran kelompok yang tinggi[15].
Unsur kedua ialah pengekangan ( ostracization ), yaitu penerapan kedisiplin social yang ketat di
pesantren. Kesetian tunggal pada pesantren adalah dasar pokok disiplin ini, sedangkan pengucilan yang
dijatuhkan atas pembangkanganya merupakan konsekuensi mekanisme pengekangan yang digunakan.
Pengusiran seorang santri adalah hukuman yang luar biasa beratnya, karena ia mengandung implikasi
penolakan total oleh semua pihak, disamping kehilangan dukungan moral dari kiainya. Kriteria yang
biasa di pakai untuk mengukur krsetiaan seorang santri kepada pesantren adalah kesungguhanya dalam
melaksanaka pola kehidupan yang tertera dalam leteratur fiqh dan tasawuf . penyimpangan kriteria ini
di anggap sebagai “ahli maksiat” bagi santri yang di kucilkan; juga bagi santri yang enggan menaati
norma- norma yang telah mengakar dalam pesantren.[16]
Keterangan di atas semakin memperjelas karakteristik pesantren dilihat dari fungsinya. Dalam
kehidupan social ia menjadi rujuan moral ( reference of morality)bagi masyarakat sekitarnya. Kiai
sebagai figur yang dihormati tidak saja karena kedalaman dan keluasan ilmunya tetapi juga karena
kepribadian dan akhlaknya. Di samping itu, prinsip keikhlasan dan kesetiaan santri kepada kiai dan
lembaganya serta kehidupan asketis ( sufistik ) di lingkungan pesantren semakin mempertegas
identitasnya di tengah kehidupan masyarakat banyak dimana ia merupakan sebuah subkultur. Semua
ini mencirikan pesantren sebagai wahana pembinaan moral yang andal, selain penggemblengan
intelektual dan kultur islami.
Dalam bidang sarana, pesantren tradisional ditandai oleh cirri khas kesederhanaa. Sejak dulu
lingkungan atau kompleks pesantren sangat sederhana. Tentu saja kesederhanaan secara fisik kini
sudah berubah total. Banyak pesantren tradisional yang memiliki gedung yang megah. Namun,
kesederhanaan dapat dilihat dari sikap dan perilaku kiai dan santri serta sikap mereka dalam pergaulan
sehari- hari. Sarana belajar, misalnya, masih tetap dipertahankan seperti sediakala dengan duduk di atas
lantai dan di tempat terbuka dimana kiai yang tidak begitu mewah, tentu saja ada pengecualian. Kiai
sekarang berbeda dengan kia dudlu; kalau dudlu para kiai sering berjalan kaki atau bersepeda; tetapi
kiai sekarang sudah terbiasa mengendarai mobil, bahkan mempunyai mobil dan sopir pribadi. Begitu
pula tempat kediaman santri yang masih sangat sederhana, terbuat dari kayu dengan fasilitas
sekadarnya. Jika dibandingkan dengan system sekolah atau madrasah, dilihat dari segi sarana dan
prasana pesantren tradisional jauh lebih sederhana.
Mengenai tujuan pesantren, sampai kini belum ada suatu rumusan yang definitive. Antara satu
pesantren dengan pesantren yang lain terdapat perbedaan dalam tujuan, meskipun semangatnya sama,
yakni untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat serta meningkatkan ibadah kepada Allah s.w.t.
adanya keragaman ini menandakan keunikan masing-masing pesantren dan sekaligus menjadi
karakteristik kamandirian dan independensinya.
Tujuan pendidikan pesantren adalah menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim, yaitu
kepribadian yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan, berakhlak mulia, bermanfaat bagi masyarakat
dengan jalan menjadi kawula atau pengabdi masyarakat, sebagai rosul, yaitu menjadi pelayan
masyarakat sebagaimana kepribadian Nabi Muhammad ( mengikuti sunnah Nabi ), mapu berdiri
sendiri, bebas dan teguh dalam kepribadian, menyebarkan agama atau menegakkan Islam dan kejayaan
umat Islam di tengah- tengah masyarakat ( ‘izzul Islamiwal muslimin ), dan mencintai ilmu dalam
rangka mengembangkan kepribadian Indonesia[17].
Rumusan di atas menggambarkan bahwa pembinaan akhlak dan kepribadian serta semangat
pengabdian menjadi target utama yang ingin dicapai pesantren. Karena itu, pimpinan pesantren
memandang bahwa kunci sukses dalam hidup bersama adalah moral agama, yang dalam hal ini adalah
perilaku keagamaan. Semua aktivitas sehari- hari di fokuskan pada pencarian nilai- nilai ilahiah. Hanya
hidup seperti itu yang dapat mencapai kesempurnaan.
Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional tidak dapat diragukan lagi berperan
sebagai pusat transmisi dan desimasi ilmu-ilmu keislaman, terutama yang bersifat kajian-kajian klasik.
Inilah kemudian khasanah Islam digali melalui kajia kitab-kitab klasik sekaligus yang membedakanya
dengan lembaga pendidikan lainya. Makanya pengajaran kitab kuning telah menjadi karakteristik ciri
khas dari proses pembelajaran di pondok pesantren.
Di dunia pesantren, kitab kuning juga sering disebut dengan kitab klasik (al-kutub al-qadimah) atau
kitab kuno, karena memang ia merupakan produksi masa lampau yaitu sebelum abad ke-17-an M, atau
khususnya masa lahirnya empat mazhab terbesar dalam Islam. Kitab kuning juga disebut dengan “kitab
gundul” karena bentuk-bentuk hurufnya kadang tanpa disertakan sandangan (syakl)[18]
Nurcholish Madjid berpendapat bahwa untuk mendalami kitab-kitab klasik biasanya dipergunakan
sistem weton dan sorogan, atau dikenal dengan sorogan dan bondongan[19]. Weton adalah pengajian
yang inisiatifnya berasal dari kyai sendiri baik dalam menentukan tempat, waktu, maupun kitabnya.
Sedangkan sorogan, adalah pengajian yang merupakan permintaan dari seorang atau beberapa orang
santri kepada kyainya untuk diajarkan kitab tertentu[20].
Selanjutnya Nurcholis Madjid menyatakan bahwa di dalam kitab-kitab klasik mencakup beberapa
cabang ilmu-ilmu antara lain; fiqih, tauhid, tasauf dan nahwu-sharf. Nurcholish Madjid juga merinci
kitab-kitab yang menjadi kosentrasi keilmuan pesantren. Dalam ilmu fiqih misalnya digunakan kitab:
safinat-u’l-Shalah, safinatu-u’l-Najah, fath-u ‘l-qarib, taqrib, fath-u ‘lmu’in, minhaj-u ‘l-qawim,
mutma’inah, al-‘iqna, dan fath-u ‘lwahhab, yang termasuk cabang tauhid, aqidat-u ‘al’awamm, badiu
‘l-amal, dan sanusiyah. Kemudian dalam cabang ilmu tasauf; al-nasha-u ‘l-diniyah, irsyad-u ‘l-ibad,
tanbih-u ‘l-ghafilin, minhaju-u ‘l-abidin, al-da’watu-u ‘l-tammah, al-hikam, risalat-u ‘lmuawanah wa
‘l-muzahaharah, dan bidayat-u ‘l-bidayah. Selanjutnya dalam nahwu-sahrf; al-maqsud (nazham),
awamil (nazham), imrithi (nazham), ajurumiyah, kaylani, mirhat-u ‘-I’rab, alfiyah, dan ibnu ‘aqil[21].
Kitab-kitab klasik ini hanya sebagian yang disebutkan karena kekayaan khazanah kitab-kitab klasik ini
sesungguhnya banyak sekali.
f. Ideologi
Pada umumnya ideology yang dianut adalah theosentris cendrung kepada persolan-persolan ketuhanan
atau keahiratan, hal ini didukung oleh kurikulum yang hampir keseluruhan kitab-kitab klasik yang sarat
akan nuansa filosofis.
Dalam lingkungan fisik itu, diciptakan semacam cara kehidupan yang memiliki sifat dan cirri
tersendiri dimulai dengan jadwal kegiatan yang memang menyimpang dari pengertian
masyarakat pada umumnya. Kegiatan di pesantren berkisar pada pembagian waktu
berdasarkan waktu shalat wajib yang lima. Dengan sendirinya pengertian waktu pagi, siang,
dan sore di pesantren menjadi berbeda dengan pengertian di luar. Dalam hal inilah, misalnya,
sering di jumpai santri yang menanak nasi di tengah malam, mencuci pakaian menjelang
terbenam mata hari. Dimensi waktu yang unik ini ercipta karena kegiatan pokok pesantren di
pusatkan pada pemberian pengajian kitab- kitab teks ( al- kutub al- muqarrah ) pada setiap
selesai shalat wajib. Demikian pula ukuran lamanya waktu yang di pergunakan sehari- hari;
pelajaran waktu di tengah hari dan malam lebih panjang dari pada waktu petang dan
subuh[23].
Corak kehidupan pesantren juga dapat dilihat dari struktur pengajaran yang di berikan. Dari
sistematika pengajaran, dijumpai jenjang pelajaran yang berulang – ulang dari tingkat ke
tingkat, seakan- akan tanpa akhir. Persolan yang diajarkan seringkali pembahasan serupa yang
di ulang- ulang selama jangka waktu bertahun- tahun, walaupun buku teks yang dipakai
berbeda. Biasanya dimulai dengan kitab kecil ( mabsuthat ); kemudian berpindah ke kitab
sedang ( mutawassithat ); sampai kitab yang besar ( al- kutub al- ulya ). Masing- masing kitab
di pelajari bertahun- tahun; bahkan pengajaran di pesantren tidak mengenal kata selesai atau
tamat. Demikian juga tentang kenaikan tingkat, seorang santri lebih cenderung memilih
mengulang kembali kitab yang sebenarnya sudah di pelajarinya bertahun- tahun. Persoalan
kenaikan tingkat bukan suatu yang harus di jalani, melainkan yang di pentingkan adalah
kedalam dan keluasan ilmu dengan menguasai kitab- kitab yang di tetapkan[24].
b. Masjid
Pembelajaran di pesantren yang dilakukan kyai biasanya dilakukan di masjid. Masjid adalah
pusat kegiatan ibadah dan belajar mengajar. Masjid merupakan sentral sebuah pesantren
karena disinilah pada tahap awal bertumpu seluruh kegiatan di lingkungan pesantren. Tetapi
seiring dengan perkembangan jumlah santri belajar berlangsung di bangku, tempat khusus dan
ruangan-ruangan khusus untuk halaqah-halaqah. Bahkan perkembangan terahir menunjukan
adanya ruang kelas-kelas sebagaimana terdapat pada madarasah.
Masjid dalam sejarah Islam, bukanlah sarana kegiatan peribadatan semata, lebih jauh dari itu
masjid menjadi pusat bagi segenap aktivitas Nabi Muhammad dalam berinteraksi dengan
umat. Masjid, menurut Nurcholish Madjid dapat juga dikatakan sebagai sarana terpenting
masyarakat Islam, dalam pandangan Nurcholish Madjid, pembangunan masjid adalah modal
utama Nabi ketika berjuang menciptakan masyarakat beradab[25].
c. Materi Pelajaran
Materi pelajaran yang disajikan kolaborasi kurikulum pendidikan agama ( termsuk kitab-kitab
lasik) dan mata pelajaran umum.
e. Ideologi
Pada umumnya menganut theosentris humanistic yang mengacu pada pada pandangan-
pandangan ketuhanan dankemanusiaan.
Inilah beberapa karakteristik dan ciri khusus pendidikan Islam tradisional pesantren, tulisan
ini tentu amat sangat sederhana mengingat kajian yang penulis lakukan belumlah sempurna
oleh karena itu tulisan ini perlu banyak kritik dan masukan sehingga menjadi satu karya tulis
ilmiah yang dapat bermanfaat bagi pengembangan lembaga pendidikan Islam.
Dari pembahasan diatas dapat diketahui karakteristik kehidupan pesantren yang sebenarnya,
sebagai sesuatu yang berbeda dengan system pendidikan pada umumnya. Berikut ini
dipaparkan beberap ciri khusus yang sangat menonjol dalam kehidupan pesantren, sehingga
membedakannya dengan system pendidikan yang lain. Setidak- tidaknya ada delapan cirri
pendidikan pesantren, sebagai berikut:
1. Adanya hubungan yang akrab antara santri dengan kiainya. kiai sangat memperhatikan para
santrinya. Hal ini dimungkinkan karena sama- sama tinggal dalam satu kompleks dan sering
bertemu baik disaat belajar maupun dalam pergaulan sehari- hari.
2. Kepatuhan santri kepada kiai. Para santri menganggap bahwa menetang kiai, selain tidak
sopan juga dilarang agama; bahkan tidak memperoleh berkah karena durhaka kepada guru.
3. Hidup hemat dan sederhana benar- benar di wujudkan dalam lingkungan pesantren. Hidup
mewah hampir tidak di dapat disana. Behkan tidak sedikit santri yang hidupnya terlalu
sederhana atau erlalu hemat sehingga kurang memperhatikan kesehatannya.
4. Kemandirian amat terasa di pesantren. Para santri mencuci pakaian sendiri, membersihkan
kamar tidurnya sendiri, dan memasakpun sendiri.
5. Jiwa tolong menolong dan suasana persoudaraan ( ukhwah ) sangat mewarnai pergaulan di
pesantren. Ini disebabkan, selain kehidupan yang merata di kalangan santri, juga karena
mereka harus mengerjakan pekerjaan – pekerjaan yang sama, seperti shalat berjamaah,
membersihkan masjid dan ruang belajar bersama.
6. Disiplin sangat di anjurkan di pesantren. Pagi- pagi antara pukul 04.30 atau 05.00, kiai
membangunkan para santri untuk diajak shalat subuh berjamaah. Meskipun tidak semua
pesantren yang memberikan kebebasan kepada santrinya untuk menetukan sendiri apa yang
seharusnya dilakukan. Namun, pembinaan disiplin sejak masa belajar di pesantren akan
meberikan pengaruh besar terhadap para santri; terutama pembentukan kepribadian dan moral
keagamaan.
7. Berani menderita untuk mencapai suatu tujuan merupakan salah satu segi pendidikan yang
di peroleh para santri di pesantren. Ini merupakan pengaruh kebiasaan puasa sunat, zikir,
o’tikaf, shalat tahajud di malam hari, dan latihan- latihan spiritual lainya.
8. Pemberian ijazah, yaitu pencantuman nama dalam salah satu daftar rantai transmisi
pengetahuan yang di berikan kepada santri- santri yang berprestasi. Ini menandakan perkenan
atau restu kiai kepada murid atau santrinya untuk mengajarkan sebuah teks kitab setelah
dikuasai penuh. Pemberian ijazah ini biasanya diucapkan secara lisan; walaupun kadang kala
di tulis, maka catatannya hanya ada pada kiai
Perlu di catat bahwa ciri- ciri di atas merupakan gambaran sosok pesantren dalam bentuk yang
masih murni, yaitu pesantren tradisional. Sementara dinamika dan kemajuan zaman telah
mendorong terjadinya perubahan terus menrus pada sebagian besar pesantren. Adalah kurang
relevan kalau ciri- ciri tersebut dilekatkan pada pesantren- pesantren yang telah mengalami
pembaharuan dan pengadopsian system pendidikan modern.
Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia relative lebih muda di banding
pesantren, ia lahir pada abad 20 dengan munculnya madrasah manba’ul ulum kerajaan
surakarta tahun 1905 dan sekolah adabiyah yang didirikan oleh Syekh Abdullah Ahmad di
Sumatera Barat tahun 1909[27].
Madrasah memiliki metode pengjaran seperti hafalan, latihan dan praktek. Ini kielanjutan dari
masa Rasulullah SAW. Terutama ketika beliau memberikan pelajaran Al-Qur’an, pada masa
perkembangan berikutnya, pendidikan Islam yang dilakukan di Madrasah menggunakan
metode talqin, dimana guru mendikte dan murid mencatat lalu menghafal. Setelah, hfalan guru
lalu menjelaskan maksudnya.metode ini oleh maksidi disebut sebagai metode tradisional;
murid mencatat, menuliskan materi pelajaran, membaca, mengahafal dan setelah itu berusaha
memahami arti danmksud pelajaran yang diberikan[28]. Pada perkembangan selanjutnya
pendidikan madrasah dikembangkan menjadi beberapa jenjang pendidikan, yaitu Madrasah
Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah dan madrasah Aliyah.
Madrasah Model adalah madrasah yang secara khusus diformulasikan untuk meningkatkan
kualitas bidang sains dan matematika[29]. Menurut Husni Rahim dengan merujuk pada hasil
laporan yang berjudul “bekerja bersama madrasah membangun model pendidikan di
Indonesia” menyebutkan sekurang-kurangnya ada bentuk keberhasilan program masrasah
model tersebut, yaitu[30]: (1). Terjadinya peningkatan kualitas guru melalui berbagai program
pendidikan (seperti S2 dan S3) dan program pelatihan, (2). Meningkatkan mutu lulusan
pendidikan madrasah yang tampak dengan kecilnya kesenjangan prestasi siswa madrasah
dengan sekolah umum., (3). Meningkatnya animo para orang tua untuk menyekolahkan
anaknya ke madrasah seiring dengan meningkatnya daya tampung madrasah, (4). Mulai
terbentuknya networking antara madrasah dengan berbagai perguruan tinggi, khususnya
dengan STAIN, IAIN, dan UIN dan perguruan tinggi agama lainya.
Sekolah Islam terpadu digagas karena melihat kejengahan sekolah-sekolah nasional yang
mendidik anak sekuleristik dengan memisahkan kehidupan keagamaan dan kehidupan sosial
bermasyarakat. Kemudian ada beberapa sekolah Islam yang juga bagin dari sekuleristik yang
sangat focus terus di ibadah-ibadah mahdloh sehingga mengabaikan sehi ilmu pengetahuan.
Ini berdampak pada umat Islam yang semakin terpuruk dalam bidang ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Guna menjaga mutu dankualitas sekolah Islam terpadu, sejumlah praktisi danpemerhati
pendidikan Islam, membentuk sebuah wadah yaitu Jaringan Sekolah Islam Terpadu (JSIT),
dengan misi utamanya; Islami, efektif dan bermutu[32].
Konsep trepadu menurut JSIT. Pertama, keterpaduan antara orang tua dan guru dalam
membimbing anaknya. Kedua, keterpaduan dalamkurikulum Ketiga, keterpaduan dalam
konsep pendidikan. Ada sinergi antara stakeholder yang terkait dengan pendidikan
tersebut[33]. Terpadu sebenarnya memiliki arti yang sangat luas mulai dari kurikulumnya,
pembelajaranya, lingkungan sekolah yang memadukan dengan masyarakat, orang tuadan
sebagainya. Banyak sekali orang yang melihat sekolah Islam terpadu begitu diminati sehingga
beberapa orang berminat untuk mendirikan sekolah Islam terpadu tersebut. Data terahir
disampaikn oleh Jaringan Sekolah Islam Terpadu (JSIT) bahwa anggotanya mulai dari TK
sampai SMU jumlahnya sekitar 200 Sekolah dari seluruh Indonesia[34].
6. Sekolah Muhammadiyah
Salah satu titik berat Muhammadiyah adalah bidang pendidikan, yang system pengajaranya
berpolakan system sekolah negeri. System pendidikan dan pengajaran tersebut bukan
dimaksudkan untuk menciptakan sendiri sautu sistim pendidikan Islam, melainkan untuk
mengorganisasi sistempendidikan swasta yang sejajar dengan system nasional[35].
Meunasah merupakan satu bangunan yang terdapat di setiap gampong (kampong, desa).
Bangunan ini seperti rumah tapi tidak mempunyai jendela dan bagian-bagian lain. Bangunan
ini digunakan sebagai tempat belajar dan diskusi dan membicarakan masalah-masalah
kemasyarakatan. Disamping itu, ia juga menjadi tempat bermalam para anak-anak muda serta
orang laki-laki yang tidak mempunyai istri. Setelah Islam mapan di Aceh, Meunasah juga
menjadi tempat sholat bagi masyarakat dalam satu ‘gampong’[36].
Dalam perkembangan selanjutnya meunasah bukan saja sebagai tempat ibadah saja ,
melainkan juga tempat pendidikan , tempat pertemuan, bahkan juga tempat transaksi jual beli
barang takbergerak, kumudian juga sebagai tempat mengnap para musafir, tempat membaca
hikayat dan tempat mendamaikan jika ad warga kampong yang bertikai[37]. Bahkan menurut
Gazalba meunasah juga digunakan sebagai tempat berzikir, berdoa’a dan tempat praktik
tarekat yang kemudian disebut suluk. .
Meunasah sebagai institusi pendidikan merupakan lembaga pendidikan terendah dan meunsah
dipimpin oleh Tengku Meunasah, sedangkan untuk anak murid perempuan diajar oleh
teungku perempuan yang disebut teungku inong.
Sebagai lembaga pendidikan lanjutan, murid yang diterima di rangkang ini umumnya mereka yang
sudah belajar di meunasah, sedangkan lama belajar tidak ditentukan oleh batasan tahun, tetapi
ditentukan oleh kemampuan murid dalam menyelesaikan pelajaranya
Istilah dayah berasal dari bahasa Arab Zawiyah yang berarti pojok, sudut, bagan dari suatu
tempat/bangunan. Berbeda dengan meunasah dayah didatangi khusus oleh orang dewasa yang sudah
mempunyai pengetahuan dasar tentang keislaman, para penguasa, bahkan juga oleh para ulama. Dayah
sebagai pendidikan formal tidak terdapat di setiap gampong sebagaimana meunasah, dayah ini terdapat
pada setiap mukim. Mukim adalh gabungan dari beberapa gampong.
Selain meunasah, dayah dan rangkang ada juga bale atau sekolah di Aceh pada tingkat menengah atas.
Dengan demikian jika runutkan sebagai berikut pendidikan tingkat meunasah (tingkat dasar), tingkat
rangkang (menengah pertama), tingkat balee (menengah atas), dan dayah manyang (tingkat tinggi).
Masing- masing tingkatan secara berturut- turut diajarkan oleh Teungku Meunasah, Teungku di
Rangkang, Teungku di Balee, dan Teungku Chik.
Sebagimana telah diketahui bahwa di minangkabau lembaga pendidikan pertama adalah surau. Surau
ini memiliki karakteristik yang berbeda dengan lembaga pendidikan pada umumnya yang ada di
Indonesia. Kendatipun mendekati pesantren yang ada di jawa. Menurut Azra, kalaupun ada persamaan
tidak lain karena terdapatnya beberapa karakeristik yang sama atau mirip dengan pesantren[38]. Untuk
memberikan ciri- ciri khusus surau dapat di ketahui beberapa bentuk berikut ini:
f. Istilah guru.
Disurau mingkabau tidak dikenal istilah kyai. Akan tetapi, kiai itu disebut syekh (yang telah dipakai
dakam penyebutan awal). Syek ini mempunyai kedudukan yang tinggi dan pengaruh yang kuat.
Lingkungan sosiokultural dan keagamaan masyarakat telah menempatkan seorang syekh sebagai tugas
utama pda surau dan mempengaruhi eksistensi surau itu sedikit.
Hal ini ditujukan untuk mengikuti pelajara disuarau. Orang siak tidak dikenai pengutan atau biaya
apapun seperti uang sekolah, asrama atau uang makan. Karena itu banyak orang siak jarang sekali
memberikan uang kepada syekh kalaupun ada diberikan kepada keluarga dengan ikhlas[39].
Sedangkan dalam bidang kurikulum, pada masa permulaan masuknya Islam sampai setidak-tidaknya
pada tahun 1900-an yang meliputi pelajaran agama saja, sedangkan pelajaran umum belum diajarkan .
Masa perubahan, system pendidikan surau tahun 1908-1990 maka berubah pula kurikulum pendidikan
surau terutama pada pengajian kitab yang mengalami penambahan mencapai dua belas kitab
Tentang penyebutan nama kurikulum tingkat dasar (ibtidai) didasarkan atas dimulainya
pendidikan terhadap anak-anak yang sedang tumbuh, lalu berproses kea rah tingkat usia murahaqah
(usia anak mampu berfikir).
Kaum muslimin di Negara-negara Afrika utara membatasi materi pendidikan anak pada menghafal Al-
Quran dan tidak bercampur dengan mata pelajaran yang lainnya sehingga mereka lebih kuat dalam
proses pembacaan dan hafalannya.
Sedangkan penduduk Andalusia dalam mengajarkan Al-Quran dimasukan pada mata pelajaran yang
lainnya sehingga mereka lebih menonjol dalam kemampuan menulis dan kemampuan penemuannya.
Dalam hal ini, Ibnu Khladun lebih menyetujui gaya pendidikan yang dilaksankan oleh penduduk
Andalusia
Kurikulum tingkat atas ini berisi pengetahuan yang bermacam-macam jenisnya untuk
dikembangkan secara khusus. Dalam hal ini, Ibnu Khaldun membagi jenis ilmu pengetahuan menjadi
dua macan yang dijadikan bahan pelajaran
Ilmu pengetahuan yang mengandung nilai intrinsic (nilai aslinya)
Ilmu ini berupa ilmu syariah yang terdiri dari ilmu fiqih, tafsir, hadits, ilmu kalam, ilmu alam, ilmu
ketuhanan, dan filsafat
Ilmu pengetahuan yang tidak bersifat intrinsic (ekstrinsik, yang nilainya tergantung dari luar)
Ilmu-ilmu ini berfungsi untuk mendalami ilmu-ilmu intrinsic seperti bahsa arab, ilmu hitung, dan ilmu
mantik.
Pandangan Ikhwan As-Safa tentang kurikulum untuk tingkat atas adalah mengaitkan kurikulum
dengan ilmu-ilmu kefilsafatan di sekolah-sekolah islam. Mereka mengajak kea rah penciptaan teori-
teori dasar dalam pendidikan, seperti keharusan mengajar anak dimulai pada pengamatan melalui panca
indra sebelum dipikirkan secara rasional.
Kurikulum yang mengandung ilmu dan adab (sastra atau kebudayaan) diberlakuakan semenjak
pemikiran islam dunia Arab berkembang pada masa daulah Abbaiyah, sebgai akibat kontak antara
bangasa Arab dengan sumber-sumber kebudayaan asing dan Persia, yunani dan hindu sehingga dii
Baghdad dan Kairo dibangun Dar Al-hikmah, sebgai tempat kegiatan studi ilmu pengetahuan.
Corak Khusus Kurikulum Pendidikan Islam. Kita dapat mengambil kesimpulan bahwa kurikulum
tingkat atas pendidikan islam memilki keunggulan yakni
Deprtemen Agama RI, Madrasah Sejarah Madrasah; Pertumbuhan, Dinamika Dan Perkembangan Di
Indonesia, Jakarta, Dirjen Kelembagaan Agama Islam, 2004.
Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren : Study Tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta, LP3ES.
1982
Hurgronje, Snouck, Aceh, Rakyat dan Adat Istiadatnya, Jakarta, INIS, 1991
Kafrawi, Pembaharuan Sistem Pendidikan Pondok Pesantren Sebagai Usaha Peningkatan Prestasi
Kerja dan Pembinaan Kesatuan Bangsa, Jakarta, Cemara Indah, 1978
Madjid ,Nurcholish, Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta, Paramadina, 1997
……………………, Kaki Langit Peradaban Islam, cet. ke-1, Jakarta; Paramadina, 1997
M.T Arifin, Muhammadiyah Potret Yang Berubah, Surakarta, Institut Gelanggang Pemikiran Filsafat
Sosial Budaya dan Kependidikan, 1996
Nata, Abudin, (editor), Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam
Di Indonesia, Jakarta, Grasindo, 2001
Rahim, Husni, dalam Departemen Agama “Anatomi Madrasah di Indonesia” makalah diseminarkan
pada acara Rountable Discussion Masa Depan Madrasah yang diselenggarakan oleh INCIS pada
tanggal 27 Juli 2004