You are on page 1of 16

1

Membangun Masa Depan Dunia


Suatu Perspektif Teologi Feminisme
Suatu Kajian Berdasarkan:

Sumber:Radford Reuther, Sexism and God-Talk: Toward a Feminist Theologi, Boston:


Beacon Press, 1983.1

Abstraksi

Reuther memakai bahan-bahan teologi dogmatik serta penghayatan iman yang


terdokumentasi di dalam simbol-simbol, hukum-hukum dan etika komunitas Kristen
untuk menguji persoalan mengapa male’s experience telah menjadi suatu sistem yang
tidak menghormati keadilan gender. Istilah Godess yang telah tergeser dari agama
monoteisme sebagai sumber sistem patriarkhis, baik oleh penulis-penulis kitab suci pada
saman kejayaan Kerajaan Israel dan dilanjutkan dalam tradisi penulisan perjanjian
Baru serta gereja mula-mula kemudian mempengaruhi seluruh sistem penyebaran
keilmuan sekuat sistem penyebaran agama Kristen.
Sumber-sumber baik teologi klasik dan filsafat yang cenderung menekankan
perspektif ‘Godess’, kurang mendapat tempat sambutan dan mempengaruhi struktur
keyakinan beragama sehingga tergeser juga dalam pergaulan struktur kekuasaan
perspektif yang dominant. Reuther mengembalikan perspektif ‘Godess’ pada seluruh
wilayah kehidupan: teologi, sistem masyarakat, struktur sosial serta dunia ilmu
pengetahuan dan bagian-bagian ekspresi kehidupan manusia yang sudah terlanjur
masuk dalam perangkap sistem yang tidak adil. Mengembalikan konsep teologi dalam
perspektif feminist merupakan akar untuk menjadikan sistem yang ‘dipulihkan’
melampaui sistem patriarkhi. Sistem yang diharapkan ini, bukan sebagai suatu bayangan
eskatologis yang sekedar di dominasi oleh perspektif feminis saja, tetapi menjadikan
suatu dunia yang harmonis, adil gender dan damai. Keadilan gender merupakan
barometer untuk menghargai lingkungan alam sebagai bagian dari sahabat yang harus
dipelihara dan bukan sebagai bagian dari objek yang dipakai secara sewenang-wenang.
Dari sana perubahan yang diharapkan oleh feminism bukan perubahan individu tetapi
perubahan kolektif, sebagai suatu tanda dari kehadiran Allah dalam komunitas dunia.

1. Pendahuluan.

Ada 3 pokok utama yang dijelaskan oleh Reuther dalam buku ini yakni: metodologi
feminism, sumber-sumber teologi feminist dan norma-norma feminist. Ketiga pokok ini

1
Buku-buku sumber lain dari penulis yang lain juga akan dipakai untuk menguatkan atau memberikan
perbedaan-perbedaan diskusi dari tema-tema tertentu yang dikembangan oleh Reuther. Cara penulisan
laporan buku ini, memakai catatan perut untuk menunjukan halaman dari tubuh buku sumber utama dan
catatan kaki jikalau merujuk pada sumber buku dan penulis yang lain.
2

merupakan suatu alur penguraian yang dipakai oleh Reuther untuk menjelaskan
persoalan:
1. Dari manakah akar kesadaran barat yang telah membuka jalan ketidakadilan sex.
2. Mencari jalan untuk meletakan kemanusiaan penuh, dimana perempuan dihargai
sebagai person yang memiliki the full humanity of women.
Pokok-pokok persoalan ini dibahas oleh Reuther dengan menunjuk alasan tuntutan dari
feminism untuk menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan steriotipe gender pada
wilayah God-language. (p.61) Hilangnya Godess dalam wilayah agama monoteisme
merupakan akar dominasi sex .2
2. Metodologi
Metodologi yang dipakai adalah Lingkaran Hermeneutik (p.12). Lingkaran
Hermenutik pertama sekali dikembangkan oleh Han-George Gadamer3 kemudian dalam
perkembangan selanjutnya oleh ilmu-ilmu sosial. Reuther sebagai seorang feminisme
juga memakai metode ini untuk menguji ‘pengalaman’ (pengalaman dengan yang Ilahi,
pengalaman dengan seseorang, pengalaman komunitas dan dunia) yang telah dibangun
atau pun yang telah mendapat sentuhan perubahan. Kriteria yang dipakai untuk menguji
pengalaman yang disebutkan di atas adalah pengalaman unik perempuan, women’s
experiences, yang secara keseluruhan tidak diperhitungkan dalam membangun refleksi
teologi masa lalu (p.13). Pengalaman perempuan sebagai dasar untuk membangun teologi
feminist.
Pengalaman yang dimaksudkan adalah pengalaman yang telah membuka pemikiran
masa lalu yang tidak memberikan tempat yang setara terhadap perempuan dalam tradisi-
tradisi pemikiran teologi termasuk dengan konsep tentang manusia (anthropos).
Perempuan hanyalah bagian dari manusia (laki-laki) dan tidak dilihat sebagai subjek,
manusia yang utuh. Menggunakan pengalaman perempuan dalam teologi feminist

2
Nawal El Sadawi juga menyebutkan akar dominasi sex yang bersumber dari agama monoteisme.
“Mereka tidak menyadari bahwa perempuan telah ada sebelum agama-agama monoteisme diturunkan
kepada manusia serta jauh sebelum Adam dan Hawa di turunkan”. Lihat Nawal, Perempuan dalam Budaya
Patriarki, (terj.) (Jogyakarta: Pustaka Plajar, 2001) hal. 183
3
Lingkaran Hermeneutik terdiri dari empat tahap: pertama penggambaran tentang pengalaman,
menganalisis pengalaman dengan memakai ilmu-ilmu sosial, refleksi teologi dan berakhir pada tindakan,
sebagai titik pertemuan dalam kehidupan nyata. Salah satu maksud dari teori ini adalah untuk melakukan
suatu perubahan dalam masyarakat dengan menekan bukan sekedar ide tetapi tindakan dari suatu gagasan.
Konsep ini bersumber dari metode hermenutik yang dikembangkan oleh Hans-George Gadamer,
Kebenaran dan Metode: Pengantar Filsafat Hermenutika, (terj.) (Yogyakarta:Pustaka Peajar:2004).
3

merupakan kekuatan bagi teori kritis untuk menguji teologi tradisional dan tradisi-tradisi
gereja. Jadi ada tiga kriteria pengalaman:
1. Pengalaman perempuan berdasarkan pengalaman dalam tradisi laki-laki
2. Pengalaman laki-laki yang telah membentuk tradisi gereja dan komunitas yang
mengadopsinya
3. Pengalaman universal, yakni pengalaman penuh laki-laki dan perempuan setara
dalam pengertian human. Manusia bukan hanya diisi dan diukur oleh imaginasi
laki-laki saja tetapi keduanya, baik laki-laki dan perempuan, sama-sama menjadi
subjek dalam menentukan kualitas manusia.
Metodologi yang dipakai oleh Reuther telah menempatkan kekuatannya pada
pendekatan kritis teologi feminis yang terletak pada pengalaman perempuan sebagai
suatu kriteria yang didasarkan atas asumsi bahwa teologi klasik termasuk tradisi-tradisi
yang telah diterima sebagai pengalaman universal hanya diukur dari pengalaman salah
satu jenis sex saja, yakni male experience. Reuther menunjukan bagaimana pengalaman
pewahyuan yang disebarkan oleh penerima wahyu telah membentuk suatu komunitas
yang mempercayainya dan mengatur seluruh relasi-relasi kehidupan secara vertikal pun
horizontal menurut ketetapan dalam kitab suci. Dari uraiannya ini, Reuther kemudian
menunjukan bagaimana male experiences yang telah membentuk komunitas penerima
wahyu itu.
Ketetapan aturan dan tradisi kehidupan suatu komunitas tidak selamanya statis
tetapi juga mengalami suatu perubahan, yang disebut oleh Reuther dengan ‘Crises of
Tradision’. Masa krisis dalam tradisi agama ditandai dengan diterimanya suatu
interpretasi penebusan yang bertetangan dengan pengertian yang telah memberikan suatu
makna tertentu dalam komunitas yang mempercayainya. Reuther menunjukan masa krisis
tradisi teologi gereja pada masa reformasi abad ke 16 sekaligus hendak mengatakan
bahwa gereja juga seharusnya bersiap-siap untuk menerima suatu masa krisis yang
sedang berlangsung dengan munculnya berbagai aliran teologi modern antara lain:
teologi liberal, teologi feminis sejak pertengahan abad 20.
Theologi feminis menekankan prinsip the full humanity of women, sesuatu yang
diabaikan oleh tradisi dan teologi tradisional. Keunikan prinsip feminist, bahwa
perempuan sendirilah yang menuntut prinsip kemanusiaan penuh bagi diri mereka sendiri
4

“Women name themselves as subjects of authentic and full humanity” (p. 19). Akibat
pengabaian dari prinsip ini dan “the naming of males as norms of authentic humanity”
telah menyebabkan perempuan sebagai korban yang dituduhkan sebagai sumber dosa dan
termaginalkan didalam kemanusiaan dan yang layak diampuni. Perempuan dianggap
sebagai penyebab manusia (laki-laki) berdosa dan perempuan sebagai mahluk setengah
manusia (Aristoteles). Menurut Reuther bahwa pemahaman ini bertentangan dengan
imago dei/Christ dalan dalam konteks ini gambar Allah telah menjadi instrument dosa
daripada instrument kemuliaan dan keilahian.
Theologi feminisme membawa suatu jalan keluar dari keterjeratan teologi sexisme.
Perempuan yang berada dalam bahaya kemanusiaan teologi tradisional menawarkan
suatu definisi kemanusiaan yang inklusif: baik gender, kelompok sosial dan rasis yang
inklusif. Penolakan perempuan terhadap androsentrism (yang melihat laki-laki sebagai
norma kemanusiaan) berarti juga penolakan perempuan terhadap semua betuk-bentuk
chauvinisme: di mana orang-orang Barat berkulit putih, kekeristenan dan hak-hak klas-
klas sosial tertentu sebagai standar norma kemanusiaan. Ini berarti bahwa feminisme
seharusnya mengakui semua kepelbagaian kultur dan bentuk-bentuk norma setiap elemen
manusia menurut batas-batas penghayatan kultur dan geografis. Ini berarti juga bahwa
feminism mengabaikan universalisme suatu norma yang turun dari kelas-kelas sosial,
jenis sex yang dominant sebab feminism mengakui partikularisme, yang menghormati
kepelbagaian bukan hanya dari segi fisik dan batas-batas geografis tetapi juga kultur dan
penghayatan agama serta religinya masing-masing4. Ini semua bentuk dari konsekuensi
martabat gender yang setara sebagaimana yang diperjuangkan oleh feminisme.

3. Membangun Teologi Feminism

4
Kesadaran akan penghormatan terhadap kepelbagian, sebagai akibat dari penghancuran pengakuan
universalitas normative juga telah menjadi kesadaran para penginjil-penginjil abad 20 setelah berjumpa
dengan keberagaman kultur dan agama-agama di Asia dan Amerika Latin. Paul Knitter, telah
mengungkapkan pergulatan dan perubahan arah teologi serta memihak kepada teologi agama-agama yang
plural sebagai akibat akan kesadaran perjumpaan konteks dan teologi pembebasan di Amerika Latin tahun
1960an. Sayang sekali, pengakuan pluralitas teologi menurut konteks geografi dan kulturnya masing-
masing yang merubah arah teologi Knitter, tidak menyentuh pengakuannya terhadap teologi feminist. Paul
F. Knitter, Menggugat Arogansi Kekeristenan, (terj.) (Jakarta: Kanisius, 2005)
5

Uraian teologi sistematis yang menggunakan antara lain sumber-sumber sosiologi


pengetahuan5 termasuk simbol-simbol, hukum, doktrin-doktrin teologi telah membuka
jalan bagi Reuther untuk mencari jalan bagi upaya peletakan imaginasi feminisme
tentang teologi. Pengalaman perempuan dalam dunia pengajaran dan penghayatan teologi
gereja masa kini, sebagai warisan teologi masa lalu telah membawa Reuther untuk
mencari keduanya, baik akar teologi patriarkhi yang bersumber dari imaginasi laki-laki
tentang ilahi dan sekaligus cara baru menghayati yang ilahi berdasarkan imaginasi
perempuan.
Reuther, membangun teologi feminis, pertama-tama dengan mencari akar
pengalaman perempuan yang termarginalkan dari tradisi gereja dan teologi tradisional
yang dibangun berdasarkan kanon kitab suci. Bagaimana melihat dalam suatu perspektif
baru, bahwa Allah adalah kesatuan antara God and Goddes. “God becomes whole,
uniting male and female side, in the time when the all things become one and God is “all
in all” (p. 58). Untuk sampai pada konsep kesatuan perempuan dan laki-laki dalam Allah,
Reuther melakukan suatu pencarian pemaknaan dari tradisi-tradisi dan tulisan-tulisan
filsuf Philo, yang memaknai konsep “Logos” (Word) sebagai Sophia (Wisdom). Peran-
peran yang menunjuk pemikiran yang rekonsiliatif antara manusia dengan Allah, sebagai
pencipta bumi. Shekinah (kehadiran) Allah didalam bentuk penyatuan antara kehendak
Allah dengan umat Israel adalah suatu bentuk imaginasi famele’s presence. Pengalaman
selama pembuangan - exodus Israel di sejajarkan dengan pengabaian bahasa laki-laki
terhadap seluruh eksistensi perempuan dalam merumuskan teologi tradisional- adalah
bentuk keterasingan manusia dari Allah dan sekaligus jalan bagi penemuan ‘the presence
of God’. Mengembalikan Godess menyatu dalam diri Allah berarti menerima konsep-
konsep alternarif yang ditawarkan oleh feminisme yang akan memperkaya karya-karya
sosial dengan mengupayakan masa depan dunia yang setara, adil dan damai.
Eskatologis feminis bukanlah suatu dunia sesudah mati, (suatu warisan dan konsep
patriarkhi) tetapi suatu realitas kehidupan dunia nyata sebagai bentuk dari kehadiran
Allah dalam ‘langit dan bumi baru’ dan sebagai suatu wujud jawaban dari Allah atas doa
“Datanglah KerjaanMu, jadilah kedendakMu di bumi seperti di dalam surga”.

5
Tentang sosiologi pengetahuan dijelaskan dengan sangat filosofis dan real oleh Peter L. Berger, Brigitte
Berger & Hansfried Kellner, Pikiran Kembara: Modernisasi dan Kesadaran Manusia, (Terj.), (Jakarta:
Kanisius, 1992).
6

“Thy Kingdom come, Thy will be done on earth. All shall sit under their own vines
and fig trees and none shall be afraid. The lion will lay down with the lamb and the
little childwill lead them.” (p.266).

Kehadiran Allah yang diharapkan oleh feminis adalah: keharmonisan, kedamaian dan
keadilan sex, yang akan mengungkap suatu relasi dengan cara yang baru di antara
manusia laki-laki dan perempuan serta relasi dengan alam.
Gagasan eskatologis feminism bukan sekedar gagasan yang diambil dari konsep
liberalisme tentang kesadaran kelas sosial tanpa memasukan perempuan sebagai bagian
dari komunitas budak. Juga bukan berdasarkan suatu warisan ekstologi Kristen yang
diambil begitu saja dari pemahaman kitab-kitab dan tradisi Ibrani yang digemakan dalam
kitab suci. Namun bahan-bahan yang telah tersedia itu dipakai oleh feminisme sebagai
instrument untuk melihat secara kritis semua kenyataan dan gagasan yang membentuk
kenyataan manusia dan mendapatkan ulang konsep teologi yang dapat menyatakan
perubahan dunia dimana manusia laki-laki dan perempuan dihargai secara utuh dan
setara sebagaimana penghargaan terhadap alam cipataan ilahi. Alat-alat analisis ini
dipakai sebagai sumber untuk mengembangkan dan membangun konsep teologi
feminism dari tema-tema teologi yang diwariskan oleh male experience,yang melahirkan
struktur masyarakat patriarkhis, yang melanggengkan pengabaian eksistensi subjek
perempuan dan alam serta membiarkan ketidakadilan sex . Semua itu dilalui oleh Reuther
sebagai jalan untuk membangun dan mencapai masa depan dimana Kerajaan Allah
datang dalam wujud “langit dan dunia yang baru”.
Selanjutnya, tulisan ini akan mencoba memberikan lukisan tentang bagaimana
pembuktian-pembuktian yang dilakukan oleh Reuther untuk menemukan secara kritis
kelemahan-kelemahan teologi tradisional dan modern serta menegaskan perspektif
teologi feminism. Kita akan melampaui jenjang-jenjang dalam tulisan berikut ini.

1. Kritik Femimisme terhadap Imaginasi Laki-laki tentang Allah.


7

(Dalam bagian ini, Reuther menggunakan semua bahan-bahan yang sudah


tersedia: baik teologi tradisional, Kitab Suci, kebudayaan bangsa-bangsa kuno
dalam Alkitab, pemahaman para Filsuf, analisis Antropologis serta sumber-
sumber teori sosial modern. Semua bahan-bahan yang sudah tersedia, menjadi
bahan penelitian untuk membangun kembali suatu model imaginasi yang full
humanity bukan hanya bagi perempuan tetapi juga dalam membangun imaginasi
terhadap ‘the divine’.)

a. Imaginasi laki-laki telah membentuk monoteism dan stuktur masyarakat patriarkhis.


Reuther menunjukan bahwa monoteisme yang telah menjadi norma universal,
berakar dari dalam Kekeristenan-Yahudi, kemudian dituangkan dalam kanon Kitab Suci
merupakan male imagination. Keadaaan itu dapat dibenarkan dengan melihat proses
pengakanonan (p. 14-15) serta konteks masyarakat nomaden (bersumber dari panggilan
Abraham), yang kurang memberikan tempat kepada pengalaman perempuan, telah
melahirkan imaginasi tentang Allah sebagai “the Sky-Father” (p. 53). Arah sorotan
analisis Reuther lebih tertuju pada pengaruh agama nomaden sebagai bukti dari
penguraian yang berdasarkan male imagination, sebagaimana yang digambarkan dalam
kitab Perjanjian Lama pun bergema dalam Perjanjian Baru. Agama nomaden telah
melahirkan konsep agama yang ekslusif dan agresif, serta konsep monoteisme yang telah
melahirkan struktur hirarkis masyarakat patriarkhis yang menempatkan peran laki-laki
lebih utama dan terpenting dari pada perempuan. Perempuan dimasukan sebagai bagian
dari kelas budak. Dari sanalah kemudian Reuther menunjukan bahwa agama monoteisme
telah menempatkan kehancuran pasangan God/Goddess sebagaimana yang diakui oleh
suku bangsa Kanaan. Baalisme telah dianggap sebagai penyembah berhala.6 Jelas sekali
hirarki patriarkhis yang berakar dalam Alkitab Kristen-Yahudi telah mempengaruhi
dokumentasi pemikiran Rasul Paulus sebagaimana yang dituangkan dalam 1 Kor
11:13,17: God- Male- Female. Male monotheism juga telah menjadi sumber pemilahan
realita ke dalam dualisme, yang superior terdiri dari spirit, mind sebab ‘logos’ lebih

6
Pengaruh monoteisme juga telah menjadi model bagi sejarah pengkristenan di seluruh dunia. Penaklukan
yang dilakukan oleh penginjil-penginjil agama kristen dari negara-negara Barat, juga telah melakukan
peminggiran bahkan penghancuran terhadap kultur sebagai bagian dari religi lokal di bagian-bagian dunia
yang ditaklukannya. Apa yang telah dilakukan oleh seluruh konsekuensi dari monoteisme telah terprogram
sedemikian kuatnya bagi struktur kehidupan dunia sekarang ini.
8

dahulu ada daripada ‘cosmos’. Dari sana subordinasi sex kemudian dapat dimengerti
dengan menempatkan posisi martabat perempuan kurang begitu penting dibandingkan
dengan martabat laki-laki.
“Thus the hierarchy of God-Male-Female does not merely make women
secondary in relation to God, it also give her a negative identity in relation to the
divine. Whereas the male is seen essentially as the image of the male transcendent
ego or God, women is seen as the image of the lower, material nature.” ( p. 54)

Pengertian ini disejajarkan juga dengan pengertian yang biasanya dipahami di


kalangan gereja-gereja di Indonesia, sebagaimana yang diuraikan oleh Gerrit E.G.
Singgih bahwa, ‘Adam’ (laki-laki) lebih utama dan terpenting daripada ‘Eva’ sebab
Adam lebih dahulu diciptakan. Darisana gereja-gereja lokal di Indonesia banyak yang
menganggap remeh bahkan menolak kepemimpinan perempuan dalam gereja.7
b. Pencarian Imaginasi feminism dari dalam Konsep Monoteisme.
Reuther memperlihatkan bagaimana upaya untuk menggeser penghayatan agama local
(Baalism) suku bangsa Kanaan, pada akhirnya tidak sepenuhnya berhasil. Yahweh
dihayati sebagai sumber kesuburan tanah dan dilihat dalam relasinya dengan ‘my
Husband” disamping “my Baal” (Hos. 2:2-3, 7-8, 14-15). Dengan kata lain the Goddess
tidak tereliminasi dari pemikiran komunitas bangsa Israel bahkan keduanya dipahami
sebagai yang memiliki relasi yang baru.
Demikian juga dengan yang terjadi dikalangan kekeristenan. Meskipun
mengadopsi konsep “logos” yang dibangun berdasarkan imaginasi laki-laki. Reuther
menghubungkan figure the Holy Spirit yang diambil dari tradisi Hebraic dari Sophia dan
Hokmah (spirit) yang digambarkan sebagai female. Pembuktian Kitab Suci sebagaimana
yang dihubungkan dengan kitap-kitap apokrif (Gospel of the Hebrews, Acts of Thomas,
Gospel of Phillips) serta tulisan-tulisan Orthodoks, seperti Clement dari Alexandria dan
the Syrac father Aphraates menggunakan imaginasi perempuan untuk menjelaskan
Sophia. Dalam tradisi kekeristenan mula-mula tradisi peminggiran imaginasi perempuan

7
Warisan pengaruh penaklukan kebudayaan lokal oleh kekeristenan yang kemudian mempengaruhi
struktur dari kehidupan komunitas gereja yang menjadi bagian dari sistem kehidupan yang memepngaruhi
aturan-aturan dan dogma gereja yang sexis. Misalnya, di beberapa gereja lokal, seperti Gereja Toraja
sampai tahun 1996, barulah dapat menerima penahbisan perempuan. Ny. Damaris Anggui adalah pendeta
wanita pertama yang di urapi oleh gereja Toraja..
9

dilakukan oleh oleh Kekeristenan Greco-Roman. Meski demikian perkembangan


theology Kristen kemudian mengembangkan imaginasi perempuan secara khusus oleh
penulis-penulis mistis (p.60) terutama dengan melanjutkan penulis-penulis text Gnostis
yang melihat Allah, sebagai Father-Mother dan Anak. (Trinitas).
Apa yang hendak dilakukan oleh feminisme adalah suatu pencarian pemecahan
persoalan atas dasar asumsi-asumsi bahwa simbol-simbol kekuasaan ilahi tetap
membekas dan karena itu feminisme mencari suatu bahasa yang melampaui dari sekedar
‘feminine side’ of God (p.61). Pencarian itu dilakukan dengan menunjukan kelemahan-
kelemahan tema-tema teologi dan konsep-konsep feminisme sosial yang yang masih
terjebak dalam penanggungan dan pembenaran pihak pemikiran, harapan dan kenyataan
yang dilihat dari perspektif sepihak saja. Ekslusivisme sebagai bagian dari warisan kultur
berpikir patriarki ditentang secara konsisten dalam uraian-uraian pemikiran Reuther.
Konsep-konsep teologi feminisme
c. Imaginasi Feminsime tentang Allah
1. Istilah Mother- Father God, membuka imaginasi ibu dan ayah dalam
pengertian real dan bukan sekedar suatu bentuk abstrak (Parent). Istilah ini
menggambarkan Allah sebagai pencipta eksisten manusia. Namun istila ini memliki sisi
negative, yakni yang mendorong model relasi anak terhadap orang tua, kepada Allah.
Model relasi yang tidak memberikan kesempatan pertumbuhan terhadap kedewasaan,
yang ditandai dengan kemandirian dan tanggungjawab terhadap kehidupan sendiri. Islitah
ini hanya menunjukan kontrol terhadap peran-peran sex dalam keluarga yang patriarchal
serta spiritualitas yang kekanak-kanakan (p. 69-70). Lebih jauh, Mary Gray menekankan
bahwa model pemahaman memasangkan Allah sebagai Ibu dan Bapa, merupakan suatu
tradisi yang dikembangkan dari sisi interpretasi androgin yang memandang perempuan
sebatas pelengkap dari laki-laki8. Jadi konsep kesatuan yang ‘neutral’ di dalam diri Allah
tidak juga merupakan konsep yang ditawarkan oleh feminism. Konsekuensi relasi bapa-
ibu dalam imaginasi laki-laki merupakan alasan utama penolakan terhadap gagasan ini.
2. Allah sebagai pembebas, yang didasarkan pada God of Exodus, kemudian telah
mengabaikan pasangan ilahi God/Godess sebagai sumber dan dasar keberadaan manusia.
Menurut Reuther, inilah sumber kekeliruan yang mengidentifikasikan basis penciptaan

8
Mary Grey, Introducing Feminist Images of God, (England: Sheffield Academic Press, 2002) p. 31.
10

dengan fondasi sistem sosial patriarkis, sebagai sumber kejahatan dan dosa (70).
Pembebasan yang mempertentangankan alam dan spirit, laki-laki dan perempuan serta
yang menghilangkan otonomi alam, sebagai fundasi keberaadaan manusia serta yang
membelenggu perempuan di luar kebebasan.
Feminisme mengambil istilah God of Exodus dengan mengisinya dalam keadaan
baru, yakni keadaan adanya manusia laki-laki dan perempuan yang tidak dipertentangkan
satu dengan yang lain seperti mempertentangkan alam dan spirit, transendensi. Hal ini
menyaratkan pengangkatan kembali sisi Godess dari keilahian yang telah dibuang dalam
bangunan teologi tradisional. Konsep Godess, sebagai dasar keberadaan manusia, yang
menjadi pusat untuk mengembalikan keharmonisan antara diri dan tubuh, diri dengan
orang lain, diri dan dunia, sebagai wujud eksistensi manusia (p.71) Menyematkan konsep
Godess pada konsep pengharapan terhadap Allah sebagai pembebas merupakan suatu
cara untuk menghapuskan pertentangan antara alam dan yang transenden, laki-laki dan
perempuan. Konsep ini akan mengembalikan rumah yang harmonis bagi keberadaan
perempuan sebagai subjek yang otonom terhadap dirinya sendiri. Konsep ini akan
memberikan relasi yang setara di antara dua jenis sex sertaantara manusia dan alam.
3. Theologi penciptaan: suatu kritik. Sumber devaluasi perempuan didasarkan
pada asumsi kebudayaan bahwa manusia menguasai alam, yang juga bergema dalam
Kitab Kejadian. Masusia yang dipahami dalam konsep kultural ini adalah laki-laki yang
menguasai alam. Dalam kebudayaan di dunia, alam selalu diidentikan dengan
perempuan. Misalnya di Jawa dikenal dengan istilah “ibu pertiwi”. Konsep ini kemudian
membentuk formasi psikologis dalam mengatur relasi serta peran dan fungsi sex. Reuther
memperlihatkan contoh praktis dalam upacara puberitas bagi laki-laki, sebagai yang
mempersiapkan sekaligus mengokohkan sosialisasi peran mereka dalam masyarakat.
Struktur dominasi sex, yang bersumber daripada kultur kekuasaan manusia (laki-laki)
terhadap alam, berdampak pada kehidupan praktis. (p72-74) Penentuan peran-peran
domestik sekaligus menjalankan peran produksi ekonomi serta peran reproduksi. Dengan
demikian, Reuther hendak mengatakan bahwa teologi penciptaan telah melanggengkan
potensi subodrdinasi dan ketidaksetaraan sex dalam komunitas manusia.
Revolusi ilmiah pada abad ke 17, di mana alam di kuasai oleh manusia sebagai
objek keilmuan yang didasarkan pengembangan intelektualitas laki-laki. Teknologi
11

keilmuan yang dikembangkan merupakan bagian dari upaya untuk mengeksploitasi alam.
Kesadaran manusia akibat evolusi liberalisme telah melahirkan kesadaran untuk
mengontrol semua bidang kehidupan manusia termasuk kontrol terhadap alam. Posisi
kerja perempuan dalam teknologi ekonomi industri telah menekan perempuan dan budak
pada yang tereksploitasi sebagaimana eksploitasi yang semakin tak terkontrol terhadap
alam. Perang idiologis antara kapitalisme dan romantisme apa awal abad 19 tidak dapat
membebaskan dari kungkungan paradigma penaklukan atas alam ciptaan ini. Ilmu
Pengetahuan dengan seluruh kemajuan dan kerusakan yang diakibatkannya telah
mengasingkan manusia dari spirit kesatuannya dengan alam.
4. Teologi ekologi feminisme. Reuther memikirkan kekuatan intelegensia yang
telah mengalami pencerahan terhadap bukan melihat alam sebagai sumber kehidupan,
dimana alam yang menyediakan kehidupan manusia dan diatas keinginan untuk
menghabiskan semua energi bumi tanpa bertanggungjawab. Hal yang paling mendasar
bagi Reuther, yakni transformasi kesadaran manusia terhadap alam sebagai dasar
kehidupan yang harus dipelihara bagi kelangsungan kehidupan pada generasi manusia
selanjutnya (human historical development). Manusia dalam pengertian tradisi kultural
harus dibaharui. Perubahan manusia dari tradisi hamusia kultur kepada perubahan
pemikiran yang mengakui “ nature’s logic of ecological harmony” (p.91-92). Diperlukan
suatu sintesis dimana manusia yang adalah percampuran antara yang alami dan nonalami,
alami dan yang transenden, menyatu di dalam diri manusia yang baru. Dari konsep inilah
penjelasan tentang perubahan dominasi manusia terhadap alam tidak mungkin dapat
dilakukan tanpa sekaligus harus melakukan pemulihan konsep manusia secara utuh.
Feminisme kemudian tidak sekedar membaharui teologi penciptaan tetapi menukarnya
dengan konsep teologi ekologi.
5. Teologi tentang Manusia. Kritik utama terhadap konsep kekeristenanan tentang
manusia yang dilihat secara dualisme, mempertentangkan antara esensi dan kenyataan
manusia yang s sesungguhnya. Secara historis, imago dei telah dibawah masuk kedalam
jurang kesalanan dan dosa oleh male’s imagination. Secara authentik imago dei berarti
kesatuan manusia dengan Allah, bahwa keadaan manusia merupakan suatu kenyataan
yang mengekspresikan kehadiran Allah. Feminisme berupaya mengembalikan konsep
manusia yang telah jatuh ke dalam dosa. Kristus sebagai imago dei, mengembalikan
12

keadaan manusia yang telah jatuh itu.9 Laki-laki dan perempuan adalah sama-sama
gambar dan rupa Allah, sebagaimana kristus adalah “imago dei’.(p.99) Kesetaraan laki-
laki dan perempuan kemudian mengisi kehidupan gereja, dimana partisipasi perempuan
dalam gereja berarti perempuan diundang untuk hidup didalam, mengadopsi model-
model kehidupan yang mengampuni dan masuk ke dalam komunitas untuk
mempersiapakan kehidupan di dalam bentuk Kerajaan Sorga. Spiritualitas perempuan
yang mengampuni akan menjadi sumber kekuatan dan spirit untuk mempersiapkan jalan
bagi kenyataan kehidupan sorgawi yang terjelma dalam dunia: “datanglah kerajaanMu,
jadilah kehendakMu di bumi seperti di dalam sorga.”
6. Khristologi. Berangkat dari pembuktian konsep kristologi dari sisi pandang
laki-laki , Reuther memasukan sisi pandang perempuan terhadap Kristus, yang ‘bukan
laki-laki atau perempuan”. Penyempurnaan konsep ini berhubungan dengan pemahaman
terhadap pengampunan. Titik masuk menjelaskan kristologi, bukan berdasarkan sejumlah
doktrin tetapi berdaarkan berita dan praktek Yesus dari Kitab Injil. Yesus dipandang
sebagai yang membaharui visi kenabian yang berbicara atas kepentingan orang-orang
tersingkir dan termarginalkan dalam masyarakat (p.135) Yesus memandang dirinya
bukan sebagai Raja tetapi sebagai hamba, yang memanggil suatu relasi baru antara
manusia dengan Allah. Relasi baru inilah yang membawa manusia dalam persaudaraan
yang dinyatakan dalam realitas sosial, simana manusia baru saling melayani dan
memberdayakan. Yang paling penting bagi Reuther bahwa pembaharuan visi kenabian
Yahwist dan nabi-nabi Yahudi, berarti memberitahukan pemulihan manusia, dimana laki-
laki dan perempuan mengalami kemanusiaan yang penuh. Pemulihan bukan hanya
dilakukan kepada salah satu daripada perempuan atau laki-laki saja tetapi dianugrahkan
kepada keduanya, laki-laki dan perempuan.
7. Eklesiologi sebagai komunitas yang diampuni. Feminsme mengembangkan
ekslesiologi yang didasarkan pada interpretasi yang mengabaikan pandangan theology
sexism yang dibangun di atas kitab Hosea. Kecenderungan mengaitkan Gereja sebagai
“Mother of Christians” yang bersumber dari tradisi Israel sebagai ‘God’s wife’. Relasi
kecintaan Allah terhadap gereja secara mistik yang disimbolkan dari nyanyian Kidung

9
Feminist lainnya seperti Letty M. Russel, juga menekankan ‘The Truly Human” sebagaimana gambaran
Allah di dalam Kristus. Letty M. Russel, Human Liberation In Feminist Perspective – A Theology,
(Philadelphia: The Westminster Press, 1974).
13

Agung berdasarkan pemikiran pernikahan dalam keluarga patriarkhi (p. 141). Gema
relasi hirakhis yang dikumandangkan oleh Rasul Paulus (Epesus 5) juga membangun
relasi paternalistis dimana suami menjadi symbol Kristus. Baba-bapa gereja kemudian
mempertajam konsep relasi Kristus dan Gereja yang sexis dengan menekankan silibate,
sebagai symbol virginitas ‘pengantin perempuan’. Transformasi otoritas gereja yang
patriarkis dengan tidak memberikan tempat yang leluasa bagi keterlibatan perempuan
merupakan ketidakmampuan gereja keluar dari struktur yang menindas dan yang tidak
membebaskan manusia yang terperangkap di dalam sistem yang menindas. Konsep
Mariologi yang diambil oleh gereja, sesungguhnya hanya merefleksikan “ideology of the
patriarchal feminine.”
Interpretasi feminis terhadap nyanyian Maria (Injil Lukas 1:46-55) jelas-jelas
merupakan suatu nyanyian kegembiraan perempuan yang mengalami pembebasan dari
sistem kehidupan yang memarginalkan dan yang menindas sebagaimana yang terjadi
dalam pengalaman-pengalaman kehidupan sosial, ekonomi dan politik serta kebudayaan.
Pengampunan komunitas yang menjelaskan suatu relasi yang baru didalam kehidupan
manusia. Kristus memualiakan semua manusia secara sama. Suatu bentuk pembaharuan
dan pembebasan dari sistem kehidupan yang menindas dalam kungkungan patriarkhi.
Partisipasi perempuan terbuka dalam tubuh gereja. Pembaharuan ini sekaligus
menjelaskan suatu bentuk pelayanan gereja yang membaharui dirinya dan dunia
disekitarnya, terbebas dari suatu dunia yang mengeksploitasi sex dan alam
lingkungannya. Gereja sebagai masyarakat mesianis yang bukan melawan sesame ciptaan
tetapi melawan struktur yang dominant (p. 195). Inilah pengertian bahwa pembaharuan
oleh Roh Kudus yang dicurahkan baik kepada laki-laki dan perempuan.
8. Visi Masyarakat Feminism. Feminisme tidak membatasi penjelasan dengan ide-
ide yang utopis tetapi memaknai perkembangan kehidupan ekonomi sosial sebagai bagian
dari visi pembaharuan ‘langit dan bumi yang baru’. Penggeseran perempuan dari wilayah
pemilikan ekonomi merupakan bagian yang termasuk dari gagasan equalitas sex. Dalam
perspektif manusia baru di dalam pembaharuan yang dilakukan oleh Kristus, Kerajaan
Surga direalisasikan pun dalam bidang kehidupan ekonomi.10 Komunitas eskatologis,
10
Kesamaan hak-hak politik, di mana perempuan dilihat sebagai warga negara yang mendapatkan hak-hak
yang setara sama dengan warga negara lainnya juga menjadi bagian dari perjuangan perempuan dalam
wilayah politik. Demikian yang dilakukan antara lain oleh Nickie, “Feminism, Social Movement and
Polical Order” dalam Charles Malcolm J. Todd and Garry Taylor (ed), Democracy and Participation:
14

yang menekankan masyarakat yang egaliter, adil dan damai, menyentuh perubahan
kehidupan sosial ekonomi.
Beragam aliran feminism modern yang menekankan gagasan-gagasan masa depan
bagi dunia berdasarkan penekanan-penekanan tertentu. Reuther menyebutkan Feminisme
Liberal yang menekankan Hak-hak Asasi Manusia dan Feminsime Radikal yang
menekankan otonomi dan hak-hak khusus perempuan terhadap tubuh mereka sendiri.11
Namun bagi Reuther yang paling penting yakni bagaimana membuat ekonomi sosial
liberalisme itu sebagai bagian intrinsik dari pengertian pembaharun spiritualitas. (p. 214)
Tak mungkin akan dapat melakukan perubahan jikalau tidak dimulai dari pembaharuan
spiritualitas kehidupan. Demikian Reuther menekankan: “Such Christians would claim
redemption is a purely spiritual matter and has nothing to do with socioeconomic
change”. (p.215). Perubahan tak mungkin dapat dilakukan hanya berdasarkan perubahan
individu kecuali dilakukan secara bersama-sama sebagai satu kolektivitas. Dengan
demikian perubahan sosial adalah hal yang paling diutamakan sehingga pembaharuan
sistem structural yang hirarkhis dan dualism itu akan menjadi target bagi pembaharuan
dalam masyarakat.
9. Nilai-nilai yang diperjuangkan oleh feminism.
Visi kesetaraan perempuan yang berdasarkan imaginasi Allah telah
diinterpretasikan oleh Reuter berdasarkan kekeristenan di dalam Perjanjian Baru.
Persoalan yang dikembangkan oleh Reuther, yakni bagaimana spiritualitas penyelamatan
bukan hanya persoalan individu tetapi mempunyai dampak pada kehidupan komunitas
yang memihak pada kehidupan yang menciptakan keadilan bagi semua mahluk (p.215).
Dari sini Reuther membedakan perjuangan feminism bagi masa depan dunia, bukan
sebatas yang dikembangkan oleh teologi liberalisme yang mengharapkan masyarakat
yang demokratis dalam konsep sosialisme (p. 215), yang justru tidak disentuh oleh
kenyataan akan anugerah keselamatan dalam wilayah ekonomi sosial. Demikian juga

Popular Protest and New Social Movement, (London: The Merlin Press, 2004) pp 248-267. Seyla Benhabib
and Drucilla Cornell (ed.), Feminism as Critique On the Politics of Gender, Minneapolis: University of
Menneapolis Press, 1987.
11
Rosemarie Putnam Tong, membagi aliran-aliran pemikiran feminisme yang terdiri dari: Feminisme
Liberal, Feminisme Radikal, Feminisme Marxist dan Sosialis, Feminisme Psikoanalis dan Gender,
Feminisme Existensialis, Feminisme Psmodern, Feminisme Kultural dan Global serta Ekofeminisme.
Rosemarie Putnam Tong, Feminisme Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Arus Utama
Pemikiran Feminis, (terj.) (Bandung: Jalasutra: 2005)
15

dengan perjuangan yang diarahkan oleh Feminisme Radikal, hanya sebatas pada
kepentingan separatis (p. 232), yakni perempuan dan bukan kepentingan baik laki-laki
maupun perem[puans ebagai suatu komunitas manusia.
Dari sana nilai-nilai yang dikembangkan oleh feminisme:
1. nilai partisipasi demokratis, yang dikembangkan dari nilai
kesetaraan bahwa semua individu adalah warga yang setara serta
dilihat sebagai dasar yang sama untuk masuk dan menikmati
pendidikan dan kesempatan berkarya dalam masyarakat. Inilah nilai
dasar yang akan membaharui management jaringan relasi ekonomi
dan politik.
2. Kesempatan mengembangkan pendidikan dan pekerjaan yang
mengintegrasikan persoalan-persoalan pekerjaan dalam rumah
tangga serta mengambil keputusan dalam masyarakat luas terhadap
laki-laki dan perempuan.
3. Mengembangkan masyarakat ekologis yang melihat intergrasi alam
raya sebagai patner kehidupan seluruh mahluk.
10. Cara membangun masyarakat baru itu. Ada dua hal yang dikembangkan oleh
Reuther (p. 233):
1. Komunitas alternative: suatu komunitas kecil yang sudah memmiliki
kesadaran dan nilai-nilai yang terintegrasi di dalam sistem kehidupan
mereka bersama. Bahwa semua nilai-nilai dari beragam visi aliran-
aliran yang eklusif disatukan dalam bentuk cairan yang dapat menyerap
dan menjadi sistem yang menghidupkan kesatuan yang harmoni dari
komunitas alternative itu
2. Metode yang digunakan sangat beragam. Misalnya chil-care unit yang
mengembangkan institusi pendidikan, sistem energi alternative bagi
suatu pembangunan, dan beragam bidang garapan yang dikembangkan
untuk mencairkan nilai-nilai dapat diaplikasikan bagi suatu sistem
masyarakat baru, yang bukan sistem amsyarakat seksis tetapi sistem
masyarakat manusia utuh.
16

Partisipasi manusia untuk melakukan karya Allah bagi pembaharuan dalam dunia
merupakan tugas bersama, laki-laki dan perempuan, sebagai manusia baru bagi
pemulihan keutuhan kehidupan manuia dengan manusia serta manusia dengan alam
lingkungannya.

Literatur
Hans-George Gadamer, Kebenaran dan Metode: Pengantar Filsafat
Hermenutika, (terj.) Yogyakarta:Pustaka Pelajar:2004
Letty M. Russel, Human Liberation In Feminist Perspective – A Theology,
Philadelphia: The Westminster Press, 1974
Mary Grey, Introducing Feminist Images of God, England: Sheffield Academic
Press, 2002..
Nawal El Shadawi, Perempuan dalam Budaya Patriarki, (terj.) Jogyakarta:
Pustaka Plajar, 2001.
Nickie, “Feminism, Social Movement and Polical Order” dalam Charles Malcolm
J. Todd and Garry Taylor (ed), Democracy and Participation: Popular Protest and New
Social Movement, London: The Merlin Press, 2004, pp 248-267
Paul F. Knitter, Menggugat Arogansi Kekeristenan, (terj.) Jakarta: Kanisius, 2005
Peter L. Berger, Brigitte Berger & Hansfried Kellner, Pikiran Kembara:
Modernisasi dan Kesadaran Manusia, (terj.), Jakarta: Kanisius, 1992.
Rosemarie Putnam Tong, Feminisme Thought: Pengantar Paling Komprehensif
kepada Arus Utama Pemikiran Feminisme, (terj.)(Bandung: Jalasutra: 2005.
Seyla Benhabib and Drucilla Cornell (ed.), Feminism as Critique On the Politics of
Gender, Minneapolis: University of Menneapolis Press, 1987.

You might also like