You are on page 1of 20

Makalah Hukum Pajak

BAB I

PENDAHULUAN

Berbicara mengenai pengenaan pajak, pada umumnya tidak terlepas dari subyek
pajak yaitu mereka (orang atau badan) yang memenuhi syarat subyektif, yaitu syarat yang
melekat pada orang atau badan sesuai dengan apa yang ditentukan oleh undang-undang.
Sedangkan obyek pajak artinya mereka mempunyai potensi untuk dikenai pajak, tetapi
belum tentu dikenai pajak. Sementara itu, wajib pajak adalah mereka (orang atau badan)
yang selain memenuhi syarat subyektif, juga harus memenuhi syarat obyektif. Jadi wajib
pajak itu tidak hanya potensial untuk dikenakan pajak, melainkan lebih dari itu memang
sudah dikenakan kewajiban untuk membayar utang pajak.

Pengenaan pajak ini mencari jawaban atas permasalahan siapa saja yang dapat
dikenai pajak, yaitu wajib pajak yang memiliki penghasilan atau memiliki bumi atau
bangunan yang memenuhi syarat untuk dikenakan pajak dan sebagainya. Sedangkan asas
pengenaan pajak itu sendiri tergantung pada negara tempat tinggal, negara asal, dan asas
kebangsaan yang dianut negara yang bersangkutan. Bab mengenai pengenaan pajak itu
meliputi : stelsel pajak, sistem pemungutan pajak, tarif pajak, dan perlawanan terhadap
pajak.

Dalam makalah ini, kami akan membahas lebih lanjut mengenai pengenaan pajak.
Misalnya mengenai kaitan stelsel pajak dengan sistem pemungutan pajak, serta timbul
dan berakhirnya utang pajak.

BAB II

1
Makalah Hukum Pajak

PEMBAHASAN

II.1 YURIDIKSI PEMUNGUTAN PAJAK

Negara yang melakukan pemungutan pajak terkait pada yuridiksi dari negara
yang bersangkutan. Yuridiksi adalah ruang lingkup penggunaan wewenang
untuk memungut pajak pada warganya maupun warga negara asing yang
bertempat tinggal atau berkedudukan di negara tersebut sehingga tidak
menimbulkan pembebanan berat bagi yang kena pajak. Secara tegas maupun
secara tersirat dalam hukum pajak diatur mengenai pengelompokan yuridiksi
pemungutan pajak. Pengelompokan yuridiksi pemungutan pajak tersebut bertujuan
untuk menghindari pengenaan pajak yang bersifat ganda, baik nasional maupun
internasional.

1. berdasarkan Asas Sumber

Menurut yuridiksi pemungutan pajak berdasarkan asas sumber bahwa


pemungutan pajak tidak dapat dilepaskan dengan sumber atau tempat objek pajak itu
berada. Jika objek pajak itu berada di negara indonesia, indonesia berwenang
memungut pajak kepada orang pribadi atau badan yang memiliki objek pajak
tersebut. Misalnya, terhadap objek Pajak Bumi dan Bangunan yang berada di
Indonesia, negara indonesia memiliki kewenangan untuk mengenakan dan memungut
Pajak Bumi dan Bangunan bagi wajib pajak yang memiliki, menguasai, atau
memperoleh manfaat atas objek pajak yang dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan.

Hal yang sama terjadi pula pada Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
kerana Perolehan atas Tanah dan Bangunan terjadi di Indonesia sehingga Indonesia
berhak memungut Bea Perolehan atas Tanah dan Bangunan. Jenis pajak ini bertujuan
untuk mengatur perolehan hak atas tanah dan bangunan yang dilakukan oleh orang
pribadi atau badan, baik sebagai warga negara indonesia atau berkedudukan di
indonesia. Dengan demikian, penerapan asas sumber dalam memungutan pajak
sangat memegang peran penting dalam pengembangan hukum pajak di masa

2
Makalah Hukum Pajak

mendatang.

Disini juga berarti bahwa Negara berhak untuk memungut pajak dari seluruh
penghasilan seseorang atau badan yang mendapatkan penghasilannya dari seluruh
wilayah Negara tersebut tanpa melihat dimana si wajib pajak itu tinggal.Sehingga
muncul dengan Subyek Pajak Luar Negeri yang diatur dalam UU No.17 thn 2000
tentang pajak penghasilan:

1) subjek pajak orang pribadi, yaitu: orang pribadi yang bertempat tinggal atau
berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam 12 bulan yang menerima dan
memperoleh penghasilan dari Indonesia meski bukan menjalankan usaha atau
pekerjaan

2) subjek pajak badan, yaitu badan yang tidak didirikan atau berkedudukan di
Indonesia yang (a) menjalankan usaha melalui Badan Usaha Tetap (BUT) di
Indonesia; dan (b) menerima/ memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak
melalui BUT di Indonesia

2. berdasarkan Asas Kewarganegaraan

Literatur yang berkaitan dengan hukum pajak menggunakan istilah yang


berbeda-beda, tergantung dari konteks yang lebih baik dalam penggunaannya.
Yuridiksi pemungutan pajak berdasarkan asas kewarganegaraan dapat pula
menggunakan istilah yuridiksi pemungutan pajak berdasarkan asas kebangsaan. Akan
tetapi, dalam pembahasan ini digunakan istilah asas kewarganegaraan untuk
menunjukkan betapa pentingnya asas kewarganegaraan daripada asas kebangsaan
dalam pemungutan pajak.

Berdasarkan asas kewarganegaraan, yuridiksi pemungutan pajak dikenakan


pajak bukan objek pajak, melalinkan status atau kedudukan warga negara dari setiap
orang pribadi yang berasal dari negara yang mengenakan pajak. Walaupun orang
pribadi yang bersangkutan tidak bertempat tinggal atau berkedudukan pada negara
yang hendak melakukan pemungutan pajak, terhadap orang pribadi itu yang
merupakan warga negaranya, dilakukan pemungutan pajak terhadap yang

3
Makalah Hukum Pajak

bersangkutan. Misalnya, untuk indonesia yang menganut asas kewarganegaraan,


pemungutan pajak yang dilakukan bukan hanya warga negara yang bertempat tinggal
atau berkedudukan di indonesia, tetapi termasuk pula yang bertempat tinggal atau
berkedudukan di luar indonesia.

Asas kewarganegaraan ini diterapkan dalam UU PPh, yaitu pemungutan Pajak


Penghasilan dilakukan kepada warga negara indonesia, baik yang bertempat tinggal
atau berkedudukan di indonesia maupun yang bertempat tinggal atau berkedudukan di
luar indonesia. Ini berarti, hukum pajak mengikuti warga negaranya dimanapun
berada untuk dapat dikenakan Pajak Penghasilan.

3. berdasarkan asas tempat tinggal

ini sering disebut juga asas domisili yang merupakan asas pemberlakuan pajak
bagi pihak yang ditempat dia berdomisili. Dalam asas ini Negara berhak memungut
pajak dari seseorang atau badan yang berdomisili diwilayahnya, baik penghasilan dari
dalam maupun luar negeri. Sehingga memunculkan Subjek Pajak Dalam Negeri
seperti diatur UU no.17 thn 2000 tentang penghasilan meliputi:

(1) subjek pajak orang pribadi, yaitu:

a. orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia lebih dari 183
hari dalam 12 bulan

b. orang pribadi yang dalam tahun pajak berada di Indonesa dan punya niat untuk
bertempat tinggal di Indonesia

(2). subjek pajak badan, yaitu badan yang didirikan atau bertempat di Indonesia

(3). subjek pajak warisan, yaitu warisan yang belum terbagi

II.2 SISTEM PEMUNGUTAN PAJAK


A. Keterkaitan Stelsel Pajak dengan Sistem Pemungutan Pajak
Stelsel pajak pada umumnya berhubungan dengan sistem pemungutan pajak.

4
Makalah Hukum Pajak

Dalam konteks ini, sistem pemungutan pajak lebih menekankan masalah waktu di
mana pada umumnya ada tiga sistem, yaitu :

1. Sistem pemungutan pajak di depan,

2. Sistem pemungutan pajak di tengah,

3. Sistem pemungutan pajak di belakang.

Dianutnya suatu stelsel pajak tertentu dalam suatu negara membawa adanya
sistem pemungutan tertentu juga di dalamnya. Ada tiga macam stelsel pajak, yaitu :

1. Stelsel Nyata (Riil)

Dalam stelsel nyata atau riil ini pengenaan pajak didasarkan pada keadaan dari obyek
pajak yang sesungguhnya. Apabila pajak itu dikenakan terhadap penghasilan
misalnya, maka pengenaan pajak didasarkan pada penghasilan yang sungguh-
sungguh diterima atau diperoleh oleh wajib pajak. Sehingga terhadap suatu jenis
pajak yang menggunakan stelsel riil, maka sistem pemungutan pajaknya adalah
sistem pemungutan pajak di belakang (naheffing). Pemungutan pajak dilakukan
setelah masa atau tahun pajak berakhir.

* Kelebihan :

Baik bagi wajib pajak maupun fiscus atau pemerintah tidak merasa dirugikan
apabila terjadi perubahan terhadap keadaan obyek pajak selama masa pajak itu
berlangsung, karena semua perubahan itu tetap dipertimbangkan dalam penentuan
jumlah pajak.

* Kelemahan :

Terlambatnya uang pajak masuk ke dalam kas negara. Hal tersebut terjadi karena
uang pajak baru dapat diterima oleh negara setelah masa atau tahun pajak itu
berakhir.

2. Stelsel Anggapan (Fictieve Stelsel)

5
Makalah Hukum Pajak

Stelsel anggapan pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan hukum (fictie)
tertentu. Fictie hukum yang dipakai ini misalnya menganggap bahwa penghasilan
yang diterima oleh setiap wajib pajak adalah sama besarnya untuk setiap tahun pajak.
Fictie lain yang digunakan, misalnya bagi wajib pajak yang menerima gaji bulanan,
penghasilan dalam satu tahun pajak adalah sama dengan penghasilan pada bulan
pertama dikalikan dua belas. Dengan demikian, setelah bulan pertama berakhir dan
diketahui semua penghasilan bulan itu, maka sudah dapat digunakan untuk
menentukan besarnya penghasilan setahun yang digunakan sebagai dasar untuk
menentukan besarnya pajak bagi wajib pajak yang bersangkutan. Stelsel ini
menerapkan sistem pemungutan pajak di depan (voor heffing). Terhadap perubahan
yang terjadi selama masa atau tahun itu tidak mempengaruhi besarnya utang pajak
pada masa atau tahun itu.

* Kelebihan :

Uang hasil pajak segera dapat masuk ke dalam kas negara.

* Kelemahan :

Merugikan wajip pajak apabila ternyata selama masa atau tahun pajak berjalan
terjadi penurunan penghasilan dari wajib pajak. Sebaliknya juga akan merugikan
negara apabila ternyata selama masa atau tahun pajak berlangsung terjadi kenaikan
penghasilan dari wajib pajak.

3. Stelsel Campuran

Stelsel ini merupakan perpaduan dari stelsel yang telah diuraikan di atas, dan
sekaligus merupakan upaya untuk menghilangkan kelemahan-kelemahan dari kedua
stelsel sebelumnya. Dalam stelsel campuran ini, utang pajak dikenakan dengan
mendasarkan stelsel fictie pada awal masa atau tahun pajak yang itu merupakan
ketetapan sementara, di mana setelah masa atau tahun pajak berakhir akan dikoreksi
berdasarkan keadaan dari penghasilan yang sesungguhnya diterima oleh wajib pajak.
Dengan demikian, ada dua ketetapan pajak yaitu di awal masa atau tahun pajak
dikeluarkan ketetapan sementara dan kemudian setelah masa atau tahun pajak

6
Makalah Hukum Pajak

berakhir dikeluarkan ketetapan yang final. Penggunaan stelsel ini membawa


konsekuensi digunakannya sistem pemungutan di depan dan di belakang sekaligus.
Stelsel ini digunakan dalam pajak penghasilan.

* Kelebihan :

Pada awal masa atau tahun pajak uang hasil pajak sudah dapat masuk ke dalam kas
negara sehingga dapat segera digunakan. Bagi fiscus dan wajib pajak tidak ada yang
dirugikan apabila terjadi perubahan terhadap besarnya penghasilan, karena pada
akhir masa atau tahun pajak ketetapan pajak yang didasarkan pada stelsel fictie
tersebut masih dapat dikoreksi.

* Kelemahan :

Adanya ketetapan yang dilakukan dua kali selama masa atau tahun pajak yang
bersangkutan. Hal ini akan mengakibatkan adanya pekerjaan, biaya dan tenaga yang
digunakan untuk menghitung dan menetapkan utang pajak itu menjadi dua kali
lipat. Hal ini tentu tidak efisien.

Untuk mengatasi berbagai kelemahan stelsel-stelsel tersebut, harus dicari


terobosan baru untuk memperkecil atau meniadakan kelemahan tersebut. Dahulu
pernah diterapkan sistem MPS (menghitung pajak sendiri) dan MPO (menghitung
pajak orang lain) yang peran utamanya tidak dilakukan oleh fiscus sendiri melainkan
oleh wajib pajak. Sisitem ini kemudian mengarah kepada penerapan sistem self
assessment.

B. Sistem Pemungutan Pajak

Sistem pemungutan pajak tidak hanya sebatas pada masalah waktu saja,
melainkan juga mengenai kewenangan dan tanggung jawab untuk menghitung dan
menetapkan besarnya utang pajak. Beberapa sistem pemungutan pajak, yaitu :

1. Official Assessment System

7
Makalah Hukum Pajak

Suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiscus)
untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak. Ciri-ciri dari
sistem ini adalah :

a. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada fiscus,

b. Wajib pajak bersifat pasif,

c. Utang pajak timbul setelah dikeluarkannya Surat Ketetapan Pajak (berisi


ketetapan mengenai jumlah utang pajak yang harus dibayar wajib pajak) oleh
fiscus.

Dalam sistem ini pihak fiscus masih cukup dominan untuk menghitung dan
menetapkan utang pajak. Sistem ini umumnya diterapkan terhadap jenis pajak yang
melibatkan masyarakat luas di mana masyarakat selaku subyek pajak atau wajib pajak
dipandang belum mampu disertahi tanggung jawab untuk menghitung dan
menetapkan pajak. Contoh pajak yang masih menggunakan sistem ini adalah Pajak
Bumi dan Bangunan.

2. Self Assessment System

Suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada wajib pajak untuk
menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang. Ciri-ciri dari sistem ini adalah :

a. Wewewnang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada wajib pajak
sendiri,

b. Wajib pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri
pajak yang terutang,

c. Fiscus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.

Sistem ini umumnya diterapkan pada jenis pajak di mana wajib pajaknya dipandang
cukup mampu untuk diserahi tanggung jawab untuk menghitung dan menetapkan
utang pajaknya sendiri. Dalam hal ini, subyek pajak atau wajib pajak relatif terbatas,
contohnya Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan Pajak

8
Makalah Hukum Pajak

Penjualan atas Barang mewah (PPn. BM). Dengan diterapkannya sistem pemungutan
yang seperti ini, diharapkan akan mengatasi kelemahan dari stelsel campuran.

3. With Holding System

Sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan
fiscus dan bukan wajib pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak
yang terutang oleh wajib pajak. Ciri- ciri dari sistem ini adalah :

Wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada pihak ketiga selain
fiscus dan wajib pajak,

Tanggung jawab ada pada pihak ketiga (hal ini dapat dilihat dalam PPh dimana
pemberi kerja, bendaharawan pemerintah, dana pensiun, dan sebagainya yang
kepadanya diserahi tanggung jawab untuk memotong pajak terhadap penghasilan
yang mereka bayarkan).

II.3 DASAR HUKUM dan TEORI PEMUNGUTAN PAJAK

A. Dasar Hukum Pemungutan Pajak

Pemungutan pajak yang hendak dilakukan agar tidak menimbulkan polemik


hukum di kalangan wajib pajak dengan pejabat pajak, terlebih dahulu diketahui dan
dipahami mengenai dasar hukum mengapa Negara berkehendak memungut pajak
kepada kepada warganya. Pemungutan pajak oleh negara tanpa memiliki dasar
hukum yang sah, berarti negara melalui pejabat pajak melakukan perampasan dan
bahkan merupakan perampokan bagi kekayaan warganya sebagai wajib pajak.
Sebenarnya pemungutan pajak tidak boleh dilakukan oleh negara sebelum ada hukum
yang mengaturnya karena negara indonesia adalah negara hukum.

Awalnya, pengaturan pajak diatur dalam pasal 23 ayat 2 UUD 1945 yang
menyatakan bahwa segala pajak untuk keperluan negara harus berdasarkan undang-
undang. Ketentuan ini mengandung konsekuensi secara mendalam terhadap negara
tatkala memerlukan pajak untuk membiayai tujuannya sebagaimana tercantum dalam
alinea keempat pembukaan UUD 1945. pajak yang diperlukan itu harus berdasarkan

9
Makalah Hukum Pajak

undang-undang, berarti pemungutan pajak yang tidak di dasarkan pada undang-


undang tidak boleh dilakukan. Sebenarnya pasal 23 ayat 2 UUD 1945 tersirat
legalitas tidak membenarkan pemungutan pajak kalu belum ada undang-undang yang
mengaturnya.

Setelah UUD 1945 diamandemen, pasal 23 ayat 2 UUD 1945 diganti dengan
pasal 23A UUD 1945 yang menegaskan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat
memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang. Ketentuan ini secara
tegas memisahkan antara pajak dengan pungutan lain yang bersifat memaksa.
Termasuk dalam pengertian pungutan lain yang bersifat memaksa adalah retribusi,
iuran, dan lain sebagainya. Disamping itu asas legalitas tetap ada bahkan dipertegas
keberadaannya sehingga negara dalam melakukan pemungutan pajak tidak
bertentangan dengan dasar hukum.

Dalam pemungutan pajak terdapat asas bahwa yang berwenang melakukan


pemungutan pajak adalah negara yang tidak boleh dilimpahkan kepada pihak swasta.
Hanya pemerintah termasuk aparatnya selaku wakil negara yang berwenagng
melakukan pemungutan pajak, sedangkan pihak swasta tidak diperkenankan atau
dilarang melakukan pemungutan pajak karena masalah pajak melibatkan rakyat
sebagai wajib pajak pada umumnya untuk menyerahkan sebagian kekayaannya
kepada negara sehingga tidak ada ketentuan hukum yang berlaku, yang
memperbolehkan pihak swasta melakukan pemungutan pajak. Maka, hal itu wajib
pajak ditetapkan terlebih dahulu dalam undang-undang pajak dengan berbagai
persyaratan untuk itu.

B. Dasar Teori Pemungutan Pajak

Pertanyaan mendasar yang sering kali timbul saat dilakukan pemungutan


pajak adalah mengapa atau apa dasarnya sehingga dapat dilakukan pemungutan
pajak?. Pertanyaan demikian, sangat menarik karena mengingat tidak ada seorang pun
yang rela membayar pajak untuk negara, serta tidak adanya timbal balik yang
langsung dapat dirasakan.

Menyadari hal yang demikian, pemahaman yang mendalam akan teori- teori

10
Makalah Hukum Pajak

pemungutan pajak berikut ini diharapkan membawa suatu kesadaran akan pentingnya
pemungutan pajak, yang bukan lagi menjadi beban semata tetapi menjadi suatu
kewajiban yang menyenangkan dalam hidup bermasyarakat dan bernegara. Teori-
teori pemungutan pajak yang dimaksud adalah :

1. teori asuransi

teori ini diartikan dengan suatu kepentingan masyarakat (seseorang) yang


harus dilindungi oleh negara. Masyrakat seakan mempertanggungkan keselamatan
dan keamanan jiwanya kepada negara. Dengan adanya kepentingan dari masyarakat
itu sendiri, maka masyarakat harus membayar “premi” kepada negara.

Teori asuransi ini hanya memberi landasan saja, karena pada dasarnya teori ini
tidak tepat untuk melandasi adanya pemungutan pajak. Jika premi diartikan sama
dengan pajak, kurang tepat, karena premi dalam teori ini seharusnya sama dengan
retribusi yang kontra-prestasinya dapat dirasakan secara langsung oleh pemberi
premi. Sementara pengertian pajak tidak demikian. Premi yang diberikan kepada
negara tidak sama dengan premi yang diberikan kepada perusahaan dalam arti premi
yang sesungguhnya. Apabila masyarakat mengalami suatu kerugian, negara tidak
dapat memberikan pengganti sebagaimana layaknya perusahaan asuransi dan jumlah
premi yang diberikan tidak bisa dihitung dalam jumlah seimbang yang akan diberikan
oleh negara.

2. teori kepentingan

teori kepentingan diartikan sebagai negara yang melindungi kepentingan harta


benda dan jiwa warga negara dengan memperhatikan pembahagian beban pajak yang
harus dipungut dari selluruh penduduknya. Segala biaya atau pengeluaran yang akan
di keluarkan oleh negara dibebankan kepada seluruh warga negara berdasarkan
kepentingan dari warga negara yang ada. Warga negara yang memiliki harta yang
banyak, membayar pajak lebih besar kepada negara untuk melindungi kepentingan
dari warga negara yang bersngkutan. Demikian sebaliknya bagi warga negara yang
memiliki harta benda sedikit membayar pajak lebih sedikit kepada negara untuk
melindungi kepentingan warga negara tersebut.

11
Makalah Hukum Pajak

Apabila demikian halnya, maka landasan teori ini pun seakan sama dengan
pengertian retribusi dan bukan pajak, karena barkaitan dengan adanya kontra-prestasi
yang lansung dapat dirasakan oleh warga yang mempunyai kepentinngan.

Teori kepentingan sebagai landasan teori untuk pemungutan pajak kurang


tepat, sebab seharusnya kepentingan warga yang memiliki harta yang sedikit secara
sosial kepentingannya lebih banyak dan seharusnya membayar pajak juga seharusnya
lebih banyak, namun hal yang demikian ini tentunya tidak mungkin sehingga sebagai
landasan pemunggutan pajak kurang tepat.

3. teori gaya pikul

Dasar teori ini adalah keadilan yaitu setiap orang yang dikenakan pajak harus
sama beratnya. Pajak yang harus dibayar adalah menurut gaya pikul seseorang yang
ukuranya adalah besarnya penghasilan dan besarnya pengeluaran yang dilakukan. Mr.
A. J. Caren Stuart menyamakan asas gaya pikul dengan sebuah jembatan dengan
menjelaskan bahwa yang pertama harus dipikul adalah bobot jembatan itu sendiri
baru kemudian dibebani dengan beban yang lain. Artinya bahwa yang harus
diperlukan dalam kehidupan seseorang tidak dimasukkan dalam pengertian gaya
pikul. Kekuatan untuk membayar pajak baru dilakukan setelah kebutuhan primer
seseorang telah terpenuhi. Kebutuhan primer ini merupakan asas minimun bagi
kehidupan seseorang. Jika telah terpenuhi barulah pembayaran pajak dilakukan.
Dalam konteks Undang-undang PPh asas minimum kehidupan sebagaimana
dimaksud si atas bisa disebut dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak ( PTKP ).
Apabila seseorang punya penghasilan di bawah batas PTKP berarti orang tersebut
tidak perlu membayar pajak, atau gaya pikulnya untuk membayar pajak adalah nihil.
Sebaliknya jika penghsailannya di atas PTKP barulah terkena gaya pikul untuk
membayar pajak sesuai dengan ketentuan berdasarkan asas keadilan yang ditentukan
dalam undang-undang PPh.

Hal ini sesuai dengan pendapat dari Sinninghe Damste bahwa gaya pikul
ditentukan berdasarkan beberapa komponen yaitu penghasilan, kekayaan, dan
susunan keluarga wajib pajak. Sama dengan pengertian di atas Prof. De Langen

12
Makalah Hukum Pajak

menjelaskan gaya pikul dalam pengertian bahwa kekuatan seseorang untuk


membayar uang kepada negara adalah setelah dikurangi dengan minimum kehidupan.
Teori gaya pikul ini ternyata diakui dan diikuti oleh para sarjana karena lebih
menekankan pada unsur kemampuan seseorang dan rasa keadilan.

4. teori gaya beli

Teori ini menekankan bahwa pembayaran pajak yang dilakukan kepada


negara dimaksudnkan untuk memelihara masyarakat dalam negara yang
bersangkutan. Gaya beli suatu rumah tangga dalam masyarakat adalah sama dengan
gaya beli suatu rumah tangga negara. Pembayaran pajak yang dilakukan kepada
negara lebih ditekankan pada fungsi mengatur (regulerent) dari pajak agar masyarakat
tetap eksis. Menurut Prof. Adriani, teori gaya beli ini akan berlaku sepanjang masa
baik terhadap masyarakat yang menganut sistem sosialisme (sosialistis) maupun
masyarakat yang menganut sistem liberalisme. Teori ini dapat juga disebut teori
universal dan dapat berlaku diseluruh negara. Dengan kata lain kemaslahatan suatu
masyarakat akan terjamin dengan pembayaran pajak berdasarkan teori gaya beli ini.

5. teori bakti

Teori ini menekankan pada paham organische staatsleer yang mengajarkan


bahwa karena sifat negara sebagai suatu organisasi (perkumpulan) dari individu-
individu maka timbul hak mutlak negara untuk memungut pajak.

Melihat sejarah terbentuknya suatu negara, maka teori bakti ini bisa dikatakan
sebagai adanya perjanjian dalam masyarakat (tiap-tiap individu) untuk membentuk
negara dan menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada negara untuk memimpin
masyarakat. Karena adanya kepercayaan yang diberikan masyarakat kepada negara,
maka pembayaran pajak yang dilakukan kepada negara merupakan bakti dari
masyarakat kepada negara, karena negaralah yang bertugas menyelenggarakan
kepentingan masyarakatnya. Teori bakti ini disebut juga teori kewajiban pajak
mutlak.

II.4 ADANYA UTANG PAJAK

13
Makalah Hukum Pajak

Terhadap setiap utang yang timbul, sudah pasti dimaksudkan supaya pada waktu
yang telah ditentukan berakhirlah perikatannya. Saat timbul dan berakhirnya hutang
pajak ini merupakan saat yang penting dalam hukum pajak. Di antara kedua saat
tersebut terdapat suatu keadaan yang perlu juga ditinjau, yaitu waktu sedang adanya
utang pajak. Sebabnya adalah karena dalam kebanyakan hal, waktu ini meliputi
jangka yang panjang, yang sengaja diadakan karena pada umumnya dapat diduga,
bahwa pada saat timbulnya utang, si wajib pajak belum mempunyai cukup
kemampuan untuk melunasi seluruhnya sekaligus. Keadaan semacam ini memang
umumnya terdapat pada pajak-pajak langsung seperti, dalam PPd dengan
ketetapannya.

A. Timbulnya Utang Pajak

Saat timbulnya utang pajak mempunyai peranan yang penting karena berkaitan
dengan:

 Pembayaran pajak

Misalnya dalam pembayaran utang pajak pendapatan dalam undang-undangnya


diperkenankan untuk dilakukan dengan angsuran. Rasionya terletak dalam kenyataan
bahwa, ketetapannya dikeluarkan untuk keadaan yang (menurut anggapan undang-
undang) akan terjadi dalam tahun pajak yang bersangkutan, dengan maksud, supaya
utang pajaknya dapat dilunasi dari pendapatan selama tahun pajak itu pula. Maka
sudah sewajarnyalah bahwa undang-undang harus pula memperkenankan
kemungkinan itu, yaitu dengan jalan membayarnya mengangsur. Bahwasanya
memang terdapat peraturan-peraturan yang menentukan, bahwa dalam hal-hal
tertentu utang pajak itu harus dilunasi sekaligus, hal-hal demikian dapat dimengerti
karena pembuat undang-undang harus menjaga, jangan sampai Negara dapat
dirugikan.

Sedangkan mengenai pajak perseroan dapat ditegaskan, bahwa pembayaran secara


angsuran seperti dimaksudkan diatas tidaklah diatur dalam undang-undangnya karena
pembuat undang-undang percaya bahwa dari badan-badan yang dikenakan pajak
perseroan ini dapat diharapkan mereka yang dapat cadangan yang diperuntukkan bagi

14
Makalah Hukum Pajak

pelunasan utang pajaknya dengan sekaligus ( menurut pasal 36 ayat 2 Ord. PPs,
dalam hal-hal tertentu dapat diberikan penundaan pembayaran dengan dikenakan
bunga sebesar 5 % setiap bulan )

 Memasukkan surat keberatan

Pentingnya penentuan waktu pencicilan pembayaran terletak dalam keharusan


diturutinya, yang berarti pula, bahwa keharusan itu tidak berubah sekalipun oleh
wajib pajak dimasukkan permohonan menunda ataupun surat keberatan. Selain dari
menjamin kepentingan Fiskus, peraturan ini diadakan untuk menghindarkan atau
setidak-tidaknya untuk mengurangi jumlah permohonan menunda atau surat
keberatan yang dimasukkan oleh wajib pajak, sekedar supaya mendapat penundaan
pembayaran yang menguntungkannya saja. Keharusan memenuhi (angsuran-angsuran
dari) pembayaran ini barulah dapat berubah jika Fiskus telah memperbolehkannya
dengan nyata. Dalam hubungan ini sudah tentu ia tidak dapat bertindak sesuka hati,
melainkan harus mempertimbangkannya dengan tepat. Dalam prakteknya terkadang
fiskus memberi penundaan berdasarkan ketidak mampuan sementara untuk
membayar atau berdasarkan kemungkinan, bahwa ketetapan yang telah dikeluarkan
itu tidak akan dapat dipertahankan seluruhnya.

Pemberian penundaan oleh fiskus bukan saja mengikat wajib pajak, melainkan juga
mengikat diri fiskus sendiri. Ia tidak akan berhasil ( dengan kekuatan apapun yang
ada padanya) untuk memaksakan dilakukannya pembayaran yang terletak di luar
lingkungan ataupun pembayaran tersebut, baik yang harus ditaati maupun diluar
perjanjian yang telah dibuatnya dengan wajib pajak berdasarkan kebijaksanaannya.
Fiskus hanya daoat menarik kembali persetujuannya tentannng penundaan
pembayaran itu jika syarat ini dengan nyata telah dicantumkan dalam naskah
perjanjiannya, dan hal inilah yang terjadi dalam prakteknya.

 Menentukan saat dimulai dan berakhirnya jangka waktu daluwarsa

 Menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan


Pajak Kurang Bayar Tambahan dan lain-lain

15
Makalah Hukum Pajak

 Menentukan besarnya denda maupun sanksi administrasi lainnya

B. Ajaran yang Mengatur Timbulnya Utang Pajak

Ada 2 ajaran yang mengatur timbulnya utang pajak ( saat pengakuan adanya
utang pajak ) yaitu ajaran materiil dan ajaran formil.

1. Ajaran materil

Ajaran materil menyatakan bahwa utang pajak timbul karena diberlakunya


undang-undang pekerjaan. Dalamajaran ini seseorang akan secara aktif menentukan
apakah dirinya dikenan pajak atau tidak sesuai dengan peraturan perpajakan yang
berlaku. Ajaran ini konsisten dengan penerapan self assessment system.

2. Ajaran formil

Ajaran formil menyatakan bahwa utang pajak timbul karena di keluarkannya surat
ketetapan pajak oleh fiskus (pemerintah). Untuk menentukan apakah seseorang di
kenakan pajah ataukah tidak, beberapah pajak yang harus dibayar, dan kapan jangka
waktu pembayarannya dapat diketahui dalam ketetapan pajak tersebut. Ajaran ini
konsisten dengan penerpan official assessment sytem.

II.5 BERAKHIRNYA UTANG PAJAK

Utang pajak akan berakhir atau terhapus jika terjadi hal-hal berikut:

1. Pembayaran / pelunasan

Pembayaran pajak dapat dilakukan dengan pemotong / pemungutan oleh pihak


lain, pengkreditan pajak luar negri, maupun pembayaran sendiri oleh wajib pajak ke
kantor penerima pajak (bank-bank persepsi dan kantor pos). Pembayaran dilakukan
dengan uang baik uang Negara itu sendiri maupun mata uang Negara yang memungut
pajak ini. Contohnya: jika pemungutan pajak itu dilakukan di Negara Indonesia
pemabayaran dilakukan dengan Rupiah Indonesia karena jumlah utang pajaknya
ditentukan dalam uang kita pula, akan tetapi jika ada utang pajak yang dibayar
dengan uang asing, hal ini harus ditafsirkan bahwa fiskus telah berkenan mengizinkan

16
Makalah Hukum Pajak

demikian. Perlu ditekankan bahwa pembayaran untuk melunasi utang pajak ini harus
dilakukan di kas Negara.

2. Kompensasi

Kompensasi dapat di artikan sebagai kompensasi kerugian maupun kompensasi


karena kelebihan pembayaran pajak.

a. Contoh penerapan kompensasi karena kerugian yang


dapat menyebabkan terhapusnya atau berakhirnya utang
pajak:

Pada awal kepemimpinan tahun 2006 wajib pajak A menderita kerugian sebesar
Rp 10.000.000,00. Pada tahun 2007 memperoleh laba sebesar Rp 5.000.000,00.
Seharusnya pada tahun 2007 , Wajib pajak A terutang pajak penghasilan sebesar
persentase tertentu dari laba tahun 2007. Akan tetapi utang pajak tahun 3007
terhapus karena jumlah kerugian pada tahun 2006 dapat di konfensasikan atau
dapat dikurangkan dari laba tahun 2007.

Kerugian suatu usaha dapat di konfinsasikan pada tahun –tahun setelah dengan
jangka waktu palinh lama adalah 5 (lima) tahun setelah tahun terjadinya kerugian
tersebut.

b. Contoh penerapan konfensasi karena kelebihan


pembayarab pajak yang dapat menyebabkan
terhapusnya atau berakhirnya utang pajak:

 Wajib pajak B pada tahun 2007


membayar pajak sebesar Rp
8.000.000,00.Setelah dilakukan
penghitungan kembali pada tahun
2007 di temukan bahwa pajak
sebenarnya terutang oleh wajib pajak
B adalah Rp 5.000.000,00. Kelebihan
pembayaran sebesar Rp 3.000.000,00

17
Makalah Hukum Pajak

di tahun 2007 tersebut dapat


dikonfensasikan atau dikurangkan dari
total pajak pada tahun 2008.

 Wajib pajak C kelebihan membayar


PPh tahun 2007 sebesar Rp
1.000.000,00; sedangkan untuk jenis
PPN terhadap kekurangan pajak
sebesar Rp 1.500.000,00. Kelebihan
pembayaran PPh tahun 2007 sebesar
Rp 1.000.000,00 tersebut dapat di
konfensasikan pada kekurang PPN
ditahun yang sama sehingga utang
PPN yang sebesar Rp 1.000.000,00
pada tahun 2007 menjadi terhapus.
Sisa utang PPN menjadi Rp
500.000,00.

3. Daluwarsa

Daluwarsa berarti telah lewat batas waktu tertentu. Jika dalam waktu tertentu,
suatu utang pajak tidak ditagih oleh pemungutannya maka utang pajak tersebut
dianggap telah lunas/dihapus/berakhir dan tidak dapat di tagih lagi. Dalam UU No.17
Tahun 2000 ,utang pajak akan daluwarsa setelah melewati waktu 10(sepuluh) tahun
terhitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak, Bagian tahun
pajak, atau tahun pajak yang bersangkutan .

4. Pembebasan / penghapusan

Kewajiban pajak oleh wajib pajak tertentu dinyatakan hapus oleh fiskus karena
setelah dilakukan penyidikan ternyata wajib pajak tidak mampu lagi memenuhi
kewajibannya. Hal ini biasanya terjadi karena wajib pajak mengalami kebangkrutan
maupun mengalami kesulitan likuiditas.

18
Makalah Hukum Pajak

BAB III

KESIMPULAN

 Kesimpulan

 Saran

19
Makalah Hukum Pajak

Brotodihardjo, R.Santoso.2008. Pengantar Ilmu Hukum Pajak. Bandung: Refika Aditama

Resmi, Siti. 2008. Perpajakan: Teori dan Kasus. Jakarta: Salemba Empat

20

You might also like