Professional Documents
Culture Documents
BAB I
PENDAHULUAN
Berbicara mengenai pengenaan pajak, pada umumnya tidak terlepas dari subyek
pajak yaitu mereka (orang atau badan) yang memenuhi syarat subyektif, yaitu syarat yang
melekat pada orang atau badan sesuai dengan apa yang ditentukan oleh undang-undang.
Sedangkan obyek pajak artinya mereka mempunyai potensi untuk dikenai pajak, tetapi
belum tentu dikenai pajak. Sementara itu, wajib pajak adalah mereka (orang atau badan)
yang selain memenuhi syarat subyektif, juga harus memenuhi syarat obyektif. Jadi wajib
pajak itu tidak hanya potensial untuk dikenakan pajak, melainkan lebih dari itu memang
sudah dikenakan kewajiban untuk membayar utang pajak.
Pengenaan pajak ini mencari jawaban atas permasalahan siapa saja yang dapat
dikenai pajak, yaitu wajib pajak yang memiliki penghasilan atau memiliki bumi atau
bangunan yang memenuhi syarat untuk dikenakan pajak dan sebagainya. Sedangkan asas
pengenaan pajak itu sendiri tergantung pada negara tempat tinggal, negara asal, dan asas
kebangsaan yang dianut negara yang bersangkutan. Bab mengenai pengenaan pajak itu
meliputi : stelsel pajak, sistem pemungutan pajak, tarif pajak, dan perlawanan terhadap
pajak.
Dalam makalah ini, kami akan membahas lebih lanjut mengenai pengenaan pajak.
Misalnya mengenai kaitan stelsel pajak dengan sistem pemungutan pajak, serta timbul
dan berakhirnya utang pajak.
BAB II
1
Makalah Hukum Pajak
PEMBAHASAN
Negara yang melakukan pemungutan pajak terkait pada yuridiksi dari negara
yang bersangkutan. Yuridiksi adalah ruang lingkup penggunaan wewenang
untuk memungut pajak pada warganya maupun warga negara asing yang
bertempat tinggal atau berkedudukan di negara tersebut sehingga tidak
menimbulkan pembebanan berat bagi yang kena pajak. Secara tegas maupun
secara tersirat dalam hukum pajak diatur mengenai pengelompokan yuridiksi
pemungutan pajak. Pengelompokan yuridiksi pemungutan pajak tersebut bertujuan
untuk menghindari pengenaan pajak yang bersifat ganda, baik nasional maupun
internasional.
Hal yang sama terjadi pula pada Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
kerana Perolehan atas Tanah dan Bangunan terjadi di Indonesia sehingga Indonesia
berhak memungut Bea Perolehan atas Tanah dan Bangunan. Jenis pajak ini bertujuan
untuk mengatur perolehan hak atas tanah dan bangunan yang dilakukan oleh orang
pribadi atau badan, baik sebagai warga negara indonesia atau berkedudukan di
indonesia. Dengan demikian, penerapan asas sumber dalam memungutan pajak
sangat memegang peran penting dalam pengembangan hukum pajak di masa
2
Makalah Hukum Pajak
mendatang.
Disini juga berarti bahwa Negara berhak untuk memungut pajak dari seluruh
penghasilan seseorang atau badan yang mendapatkan penghasilannya dari seluruh
wilayah Negara tersebut tanpa melihat dimana si wajib pajak itu tinggal.Sehingga
muncul dengan Subyek Pajak Luar Negeri yang diatur dalam UU No.17 thn 2000
tentang pajak penghasilan:
1) subjek pajak orang pribadi, yaitu: orang pribadi yang bertempat tinggal atau
berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam 12 bulan yang menerima dan
memperoleh penghasilan dari Indonesia meski bukan menjalankan usaha atau
pekerjaan
2) subjek pajak badan, yaitu badan yang tidak didirikan atau berkedudukan di
Indonesia yang (a) menjalankan usaha melalui Badan Usaha Tetap (BUT) di
Indonesia; dan (b) menerima/ memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak
melalui BUT di Indonesia
3
Makalah Hukum Pajak
ini sering disebut juga asas domisili yang merupakan asas pemberlakuan pajak
bagi pihak yang ditempat dia berdomisili. Dalam asas ini Negara berhak memungut
pajak dari seseorang atau badan yang berdomisili diwilayahnya, baik penghasilan dari
dalam maupun luar negeri. Sehingga memunculkan Subjek Pajak Dalam Negeri
seperti diatur UU no.17 thn 2000 tentang penghasilan meliputi:
a. orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia lebih dari 183
hari dalam 12 bulan
b. orang pribadi yang dalam tahun pajak berada di Indonesa dan punya niat untuk
bertempat tinggal di Indonesia
(2). subjek pajak badan, yaitu badan yang didirikan atau bertempat di Indonesia
4
Makalah Hukum Pajak
Dalam konteks ini, sistem pemungutan pajak lebih menekankan masalah waktu di
mana pada umumnya ada tiga sistem, yaitu :
Dianutnya suatu stelsel pajak tertentu dalam suatu negara membawa adanya
sistem pemungutan tertentu juga di dalamnya. Ada tiga macam stelsel pajak, yaitu :
Dalam stelsel nyata atau riil ini pengenaan pajak didasarkan pada keadaan dari obyek
pajak yang sesungguhnya. Apabila pajak itu dikenakan terhadap penghasilan
misalnya, maka pengenaan pajak didasarkan pada penghasilan yang sungguh-
sungguh diterima atau diperoleh oleh wajib pajak. Sehingga terhadap suatu jenis
pajak yang menggunakan stelsel riil, maka sistem pemungutan pajaknya adalah
sistem pemungutan pajak di belakang (naheffing). Pemungutan pajak dilakukan
setelah masa atau tahun pajak berakhir.
* Kelebihan :
Baik bagi wajib pajak maupun fiscus atau pemerintah tidak merasa dirugikan
apabila terjadi perubahan terhadap keadaan obyek pajak selama masa pajak itu
berlangsung, karena semua perubahan itu tetap dipertimbangkan dalam penentuan
jumlah pajak.
* Kelemahan :
Terlambatnya uang pajak masuk ke dalam kas negara. Hal tersebut terjadi karena
uang pajak baru dapat diterima oleh negara setelah masa atau tahun pajak itu
berakhir.
5
Makalah Hukum Pajak
Stelsel anggapan pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan hukum (fictie)
tertentu. Fictie hukum yang dipakai ini misalnya menganggap bahwa penghasilan
yang diterima oleh setiap wajib pajak adalah sama besarnya untuk setiap tahun pajak.
Fictie lain yang digunakan, misalnya bagi wajib pajak yang menerima gaji bulanan,
penghasilan dalam satu tahun pajak adalah sama dengan penghasilan pada bulan
pertama dikalikan dua belas. Dengan demikian, setelah bulan pertama berakhir dan
diketahui semua penghasilan bulan itu, maka sudah dapat digunakan untuk
menentukan besarnya penghasilan setahun yang digunakan sebagai dasar untuk
menentukan besarnya pajak bagi wajib pajak yang bersangkutan. Stelsel ini
menerapkan sistem pemungutan pajak di depan (voor heffing). Terhadap perubahan
yang terjadi selama masa atau tahun itu tidak mempengaruhi besarnya utang pajak
pada masa atau tahun itu.
* Kelebihan :
* Kelemahan :
Merugikan wajip pajak apabila ternyata selama masa atau tahun pajak berjalan
terjadi penurunan penghasilan dari wajib pajak. Sebaliknya juga akan merugikan
negara apabila ternyata selama masa atau tahun pajak berlangsung terjadi kenaikan
penghasilan dari wajib pajak.
3. Stelsel Campuran
Stelsel ini merupakan perpaduan dari stelsel yang telah diuraikan di atas, dan
sekaligus merupakan upaya untuk menghilangkan kelemahan-kelemahan dari kedua
stelsel sebelumnya. Dalam stelsel campuran ini, utang pajak dikenakan dengan
mendasarkan stelsel fictie pada awal masa atau tahun pajak yang itu merupakan
ketetapan sementara, di mana setelah masa atau tahun pajak berakhir akan dikoreksi
berdasarkan keadaan dari penghasilan yang sesungguhnya diterima oleh wajib pajak.
Dengan demikian, ada dua ketetapan pajak yaitu di awal masa atau tahun pajak
dikeluarkan ketetapan sementara dan kemudian setelah masa atau tahun pajak
6
Makalah Hukum Pajak
* Kelebihan :
Pada awal masa atau tahun pajak uang hasil pajak sudah dapat masuk ke dalam kas
negara sehingga dapat segera digunakan. Bagi fiscus dan wajib pajak tidak ada yang
dirugikan apabila terjadi perubahan terhadap besarnya penghasilan, karena pada
akhir masa atau tahun pajak ketetapan pajak yang didasarkan pada stelsel fictie
tersebut masih dapat dikoreksi.
* Kelemahan :
Adanya ketetapan yang dilakukan dua kali selama masa atau tahun pajak yang
bersangkutan. Hal ini akan mengakibatkan adanya pekerjaan, biaya dan tenaga yang
digunakan untuk menghitung dan menetapkan utang pajak itu menjadi dua kali
lipat. Hal ini tentu tidak efisien.
Sistem pemungutan pajak tidak hanya sebatas pada masalah waktu saja,
melainkan juga mengenai kewenangan dan tanggung jawab untuk menghitung dan
menetapkan besarnya utang pajak. Beberapa sistem pemungutan pajak, yaitu :
7
Makalah Hukum Pajak
Suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiscus)
untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak. Ciri-ciri dari
sistem ini adalah :
Dalam sistem ini pihak fiscus masih cukup dominan untuk menghitung dan
menetapkan utang pajak. Sistem ini umumnya diterapkan terhadap jenis pajak yang
melibatkan masyarakat luas di mana masyarakat selaku subyek pajak atau wajib pajak
dipandang belum mampu disertahi tanggung jawab untuk menghitung dan
menetapkan pajak. Contoh pajak yang masih menggunakan sistem ini adalah Pajak
Bumi dan Bangunan.
Suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada wajib pajak untuk
menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang. Ciri-ciri dari sistem ini adalah :
a. Wewewnang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada wajib pajak
sendiri,
b. Wajib pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri
pajak yang terutang,
Sistem ini umumnya diterapkan pada jenis pajak di mana wajib pajaknya dipandang
cukup mampu untuk diserahi tanggung jawab untuk menghitung dan menetapkan
utang pajaknya sendiri. Dalam hal ini, subyek pajak atau wajib pajak relatif terbatas,
contohnya Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan Pajak
8
Makalah Hukum Pajak
Penjualan atas Barang mewah (PPn. BM). Dengan diterapkannya sistem pemungutan
yang seperti ini, diharapkan akan mengatasi kelemahan dari stelsel campuran.
Sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan
fiscus dan bukan wajib pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak
yang terutang oleh wajib pajak. Ciri- ciri dari sistem ini adalah :
Wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada pihak ketiga selain
fiscus dan wajib pajak,
Tanggung jawab ada pada pihak ketiga (hal ini dapat dilihat dalam PPh dimana
pemberi kerja, bendaharawan pemerintah, dana pensiun, dan sebagainya yang
kepadanya diserahi tanggung jawab untuk memotong pajak terhadap penghasilan
yang mereka bayarkan).
Awalnya, pengaturan pajak diatur dalam pasal 23 ayat 2 UUD 1945 yang
menyatakan bahwa segala pajak untuk keperluan negara harus berdasarkan undang-
undang. Ketentuan ini mengandung konsekuensi secara mendalam terhadap negara
tatkala memerlukan pajak untuk membiayai tujuannya sebagaimana tercantum dalam
alinea keempat pembukaan UUD 1945. pajak yang diperlukan itu harus berdasarkan
9
Makalah Hukum Pajak
Setelah UUD 1945 diamandemen, pasal 23 ayat 2 UUD 1945 diganti dengan
pasal 23A UUD 1945 yang menegaskan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat
memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang. Ketentuan ini secara
tegas memisahkan antara pajak dengan pungutan lain yang bersifat memaksa.
Termasuk dalam pengertian pungutan lain yang bersifat memaksa adalah retribusi,
iuran, dan lain sebagainya. Disamping itu asas legalitas tetap ada bahkan dipertegas
keberadaannya sehingga negara dalam melakukan pemungutan pajak tidak
bertentangan dengan dasar hukum.
Menyadari hal yang demikian, pemahaman yang mendalam akan teori- teori
10
Makalah Hukum Pajak
pemungutan pajak berikut ini diharapkan membawa suatu kesadaran akan pentingnya
pemungutan pajak, yang bukan lagi menjadi beban semata tetapi menjadi suatu
kewajiban yang menyenangkan dalam hidup bermasyarakat dan bernegara. Teori-
teori pemungutan pajak yang dimaksud adalah :
1. teori asuransi
Teori asuransi ini hanya memberi landasan saja, karena pada dasarnya teori ini
tidak tepat untuk melandasi adanya pemungutan pajak. Jika premi diartikan sama
dengan pajak, kurang tepat, karena premi dalam teori ini seharusnya sama dengan
retribusi yang kontra-prestasinya dapat dirasakan secara langsung oleh pemberi
premi. Sementara pengertian pajak tidak demikian. Premi yang diberikan kepada
negara tidak sama dengan premi yang diberikan kepada perusahaan dalam arti premi
yang sesungguhnya. Apabila masyarakat mengalami suatu kerugian, negara tidak
dapat memberikan pengganti sebagaimana layaknya perusahaan asuransi dan jumlah
premi yang diberikan tidak bisa dihitung dalam jumlah seimbang yang akan diberikan
oleh negara.
2. teori kepentingan
11
Makalah Hukum Pajak
Apabila demikian halnya, maka landasan teori ini pun seakan sama dengan
pengertian retribusi dan bukan pajak, karena barkaitan dengan adanya kontra-prestasi
yang lansung dapat dirasakan oleh warga yang mempunyai kepentinngan.
Dasar teori ini adalah keadilan yaitu setiap orang yang dikenakan pajak harus
sama beratnya. Pajak yang harus dibayar adalah menurut gaya pikul seseorang yang
ukuranya adalah besarnya penghasilan dan besarnya pengeluaran yang dilakukan. Mr.
A. J. Caren Stuart menyamakan asas gaya pikul dengan sebuah jembatan dengan
menjelaskan bahwa yang pertama harus dipikul adalah bobot jembatan itu sendiri
baru kemudian dibebani dengan beban yang lain. Artinya bahwa yang harus
diperlukan dalam kehidupan seseorang tidak dimasukkan dalam pengertian gaya
pikul. Kekuatan untuk membayar pajak baru dilakukan setelah kebutuhan primer
seseorang telah terpenuhi. Kebutuhan primer ini merupakan asas minimun bagi
kehidupan seseorang. Jika telah terpenuhi barulah pembayaran pajak dilakukan.
Dalam konteks Undang-undang PPh asas minimum kehidupan sebagaimana
dimaksud si atas bisa disebut dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak ( PTKP ).
Apabila seseorang punya penghasilan di bawah batas PTKP berarti orang tersebut
tidak perlu membayar pajak, atau gaya pikulnya untuk membayar pajak adalah nihil.
Sebaliknya jika penghsailannya di atas PTKP barulah terkena gaya pikul untuk
membayar pajak sesuai dengan ketentuan berdasarkan asas keadilan yang ditentukan
dalam undang-undang PPh.
Hal ini sesuai dengan pendapat dari Sinninghe Damste bahwa gaya pikul
ditentukan berdasarkan beberapa komponen yaitu penghasilan, kekayaan, dan
susunan keluarga wajib pajak. Sama dengan pengertian di atas Prof. De Langen
12
Makalah Hukum Pajak
5. teori bakti
Melihat sejarah terbentuknya suatu negara, maka teori bakti ini bisa dikatakan
sebagai adanya perjanjian dalam masyarakat (tiap-tiap individu) untuk membentuk
negara dan menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada negara untuk memimpin
masyarakat. Karena adanya kepercayaan yang diberikan masyarakat kepada negara,
maka pembayaran pajak yang dilakukan kepada negara merupakan bakti dari
masyarakat kepada negara, karena negaralah yang bertugas menyelenggarakan
kepentingan masyarakatnya. Teori bakti ini disebut juga teori kewajiban pajak
mutlak.
13
Makalah Hukum Pajak
Terhadap setiap utang yang timbul, sudah pasti dimaksudkan supaya pada waktu
yang telah ditentukan berakhirlah perikatannya. Saat timbul dan berakhirnya hutang
pajak ini merupakan saat yang penting dalam hukum pajak. Di antara kedua saat
tersebut terdapat suatu keadaan yang perlu juga ditinjau, yaitu waktu sedang adanya
utang pajak. Sebabnya adalah karena dalam kebanyakan hal, waktu ini meliputi
jangka yang panjang, yang sengaja diadakan karena pada umumnya dapat diduga,
bahwa pada saat timbulnya utang, si wajib pajak belum mempunyai cukup
kemampuan untuk melunasi seluruhnya sekaligus. Keadaan semacam ini memang
umumnya terdapat pada pajak-pajak langsung seperti, dalam PPd dengan
ketetapannya.
Saat timbulnya utang pajak mempunyai peranan yang penting karena berkaitan
dengan:
Pembayaran pajak
14
Makalah Hukum Pajak
pelunasan utang pajaknya dengan sekaligus ( menurut pasal 36 ayat 2 Ord. PPs,
dalam hal-hal tertentu dapat diberikan penundaan pembayaran dengan dikenakan
bunga sebesar 5 % setiap bulan )
Pemberian penundaan oleh fiskus bukan saja mengikat wajib pajak, melainkan juga
mengikat diri fiskus sendiri. Ia tidak akan berhasil ( dengan kekuatan apapun yang
ada padanya) untuk memaksakan dilakukannya pembayaran yang terletak di luar
lingkungan ataupun pembayaran tersebut, baik yang harus ditaati maupun diluar
perjanjian yang telah dibuatnya dengan wajib pajak berdasarkan kebijaksanaannya.
Fiskus hanya daoat menarik kembali persetujuannya tentannng penundaan
pembayaran itu jika syarat ini dengan nyata telah dicantumkan dalam naskah
perjanjiannya, dan hal inilah yang terjadi dalam prakteknya.
15
Makalah Hukum Pajak
Ada 2 ajaran yang mengatur timbulnya utang pajak ( saat pengakuan adanya
utang pajak ) yaitu ajaran materiil dan ajaran formil.
1. Ajaran materil
2. Ajaran formil
Ajaran formil menyatakan bahwa utang pajak timbul karena di keluarkannya surat
ketetapan pajak oleh fiskus (pemerintah). Untuk menentukan apakah seseorang di
kenakan pajah ataukah tidak, beberapah pajak yang harus dibayar, dan kapan jangka
waktu pembayarannya dapat diketahui dalam ketetapan pajak tersebut. Ajaran ini
konsisten dengan penerpan official assessment sytem.
Utang pajak akan berakhir atau terhapus jika terjadi hal-hal berikut:
1. Pembayaran / pelunasan
16
Makalah Hukum Pajak
demikian. Perlu ditekankan bahwa pembayaran untuk melunasi utang pajak ini harus
dilakukan di kas Negara.
2. Kompensasi
Pada awal kepemimpinan tahun 2006 wajib pajak A menderita kerugian sebesar
Rp 10.000.000,00. Pada tahun 2007 memperoleh laba sebesar Rp 5.000.000,00.
Seharusnya pada tahun 2007 , Wajib pajak A terutang pajak penghasilan sebesar
persentase tertentu dari laba tahun 2007. Akan tetapi utang pajak tahun 3007
terhapus karena jumlah kerugian pada tahun 2006 dapat di konfensasikan atau
dapat dikurangkan dari laba tahun 2007.
Kerugian suatu usaha dapat di konfinsasikan pada tahun –tahun setelah dengan
jangka waktu palinh lama adalah 5 (lima) tahun setelah tahun terjadinya kerugian
tersebut.
17
Makalah Hukum Pajak
3. Daluwarsa
Daluwarsa berarti telah lewat batas waktu tertentu. Jika dalam waktu tertentu,
suatu utang pajak tidak ditagih oleh pemungutannya maka utang pajak tersebut
dianggap telah lunas/dihapus/berakhir dan tidak dapat di tagih lagi. Dalam UU No.17
Tahun 2000 ,utang pajak akan daluwarsa setelah melewati waktu 10(sepuluh) tahun
terhitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak, Bagian tahun
pajak, atau tahun pajak yang bersangkutan .
4. Pembebasan / penghapusan
Kewajiban pajak oleh wajib pajak tertentu dinyatakan hapus oleh fiskus karena
setelah dilakukan penyidikan ternyata wajib pajak tidak mampu lagi memenuhi
kewajibannya. Hal ini biasanya terjadi karena wajib pajak mengalami kebangkrutan
maupun mengalami kesulitan likuiditas.
18
Makalah Hukum Pajak
BAB III
KESIMPULAN
Kesimpulan
Saran
19
Makalah Hukum Pajak
Resmi, Siti. 2008. Perpajakan: Teori dan Kasus. Jakarta: Salemba Empat
20