You are on page 1of 5

BIROKRASI DALAM PELAYANAN PUBLIK DI INDONESIA

M. Nur Alamsyah, S.IP.,M.Si1

Manusia modern, menghabiskan hidupnya dalam organisasi. Organisasi menjadi

pemimpin yang tanpa disadari menjadi lingkungan yang selama ini kita huni. Sangat

tidak mengherankan jika manusia kemudian disebut dalam (Presthus,1962) sebagai

Organizational Society. Dalam konteks kenegaraan, kehidupan pengorganisasian

masyarakat dalam wilayah negara, pengorganisasiannya disebut birokrasi pemerintahan.

Dalam era demokratisasi, dilema dalam hubungan antara penjabaran nilai-nilai

demokrasi dan realitas manajemen organisasi birokrasi di masyarakat menjadi hal yang

pelik, rumit serta problematik. Realitas sosial masyarakat yang dilahirkan serba tidak

teratur dan transisi, yang terdiri dari berbagai kelompok-kelompok majemuk, tampil

dengan topeng liberal demokrasi yang menuntut lahirnya sebuah citra perfect dari

birokrasi yang berwujud demokratis dalam perspektifnya (kebutuhannya, baca).

Mentalitas state apparatus Indonesia, yang belum menampakkan kongkretisasi

perwujudan nilai-nilai demokrasi sistem pemerintahan yang menjunjung nilai-nilai

kesejajaran yang digerakkan visi dan misi, belum menunjukkan tanda-tanda perwujudan

aksinya. Kesulitan menerjemahkan kerangka baru (aturan) dalam aktivitasnya, karena

rule driven penggeraknya belum berubah secara total. Kenyataan ini melahirkan keragu-

raguan dalam pengimplementasiannya. Fenomena ini yang dialami aparat pemerintah

dalam menjalankan tugasnya saat ini, disamping sangat rendahnya motivasi, kemauan

kerja serta inisiatip aparat birokrasi, karena berbagai keterbatasan yang dimilikinya.

Mencermati berbagai fenomena yang belakangan ini muncul di kota Palu tentang

problematika pelayanan publik (KTP,KK dll) yang mengalami gugatan dari komunitas

masyarakat yang sempat hangat dimedia daerah, merupakan fenomena umum yang terjadi
di Indonesia. Kondisi tersebut, seperti yang ditunjukkan oleh hasil survey dari PSKK

UGM 2001, bahwa umumnya pelayanan pulik di Indonesia adalah masih buruk.

Tetapi dengan melihat angka distribusi prosentase kegiatan ekonomi di daerah ini

(Palu) yang didominasi kegiatan Jasa. Semestinya menjadi pertanda bahwa masyarakat

telah terbiasa memahami esensi sebuah pelayanan, baik dari kegiatan jasa atau jenis lain

seperti perdagangan. Sehingga sangat naïf bagi pemerintah untuk tidak melihat potensi

ini, yang mestinya dijadikan kekuatan bagi pemerintah yang mesti dikembangkan,

mengingat bahwa keterkaitan antara berbagai Stoke Holder dalam menciptakan

pembangunan yang sinergis didaerah ini, menuntut keterlibatan berbagai komponen yaitu

Birokrasi, Civil Society Dan Privat Sector.

Survey Pelayanan Publik Tahun 2001 pada 3 (tiga) tempat sebagai sample wilayah

Indonesia yaitu Sul-Sel, Sumbar dan Yogyakarta oleh PSKK UGM (Pusat Studi

Kependudukan Dan Kebijakan), terlihat 59% responden penggunan jasa pelayanan publik

menyatakan kinerja pelayanan publik adalah buruk. Kesimpulan dari penelitian tersebut

mengatakan bahwa hal itu terjadi karena pelayanan publik masih dilaksanakan dan

digerakkan oleh peraturan (rule driven) serta anggaran, dan bukan oleh misi.

Konsep baru saat ini, merupakan bentuk modernizing birokrasi yang mestinya

telah dikembangkan di Indonesia mengingat telah besarnya anggaran pelatihan, seminar,

kursus, diklat untuk upaya peningkatan kinerja pelayanan publik yang berorientasi

kepada kepuasan masyarakat diseluruh Indonesia, dari pusat hingga pelosok desa. Tetapi

mengapa belum berubah, yang mengalami perubahan adalah wajah teknis administratip

yang kian rumit, sementara perilaku birokrasi sebagai driven utama tidak perubahan.

Paternalisme birokrasi, kondisi dimana bawahan selalu takut melampaui

wewenang pimpinan atau atasannya. Sehingga tidak berbeda dengan perilaku birokrasi
orde baru, dimana bawahan tergantung kepada pimpinan. Kondisi itu, tidak melahirkan

diskresi dalam birokrasi yaitu kebebasan menerjemahkan situasi yang dihadapi tiap aparat

sesuatu profesi dan tugasnya dalam mengambil keputusan sendiri dan tidak bersandar

pada juklak dan juknis yang kaku. Adanya ketergantungan, menyebabkan tidak jalannya

mekanisme sistem pelayanan publik sebagai salah satu tugas aparat pemerintah sehingga

menciptakan inefisiensi birokrasi dalam merespons kebutuhan pengguna jasa.

Mengapa masyarakat tidak melakukan sebuah Komplain atau counter attack atas

fenomena yang merugikan ini. Inefisiensi birokrasi merupakan penyakit birokrasi yang

sulit diselesaikan. Penyebab sulitnya melaksanakan fungsi pelayanan dan pengembangan

daerah karena beberapa hal; 1. Pertumbuhan penduduk, 2. Inflasi, 3. Meningkatnya

harapan akan kualitas pelayanan, 4. Sumber pendapatan daerah yang tidak memadai

rentangnya dengan kebutuhan, 5. Secara ril nilai pendapatan semakin turun, 6. Kuatnya

kontrol pusat terhadap upaya mencari sumber-sumber pendapatan lain, 7. Ketidak

seimbangan antara fungsi pemerintah daerah dan sumber dana.

Dari 7 (tujuh) hal diatas pada prinsipnya hanya satu, yaitu keterbatasan dana

daerah dalam memenuhi ekspektasi masyarakat dalam pelayanan publik. Sebenarnya

terdapat alternative yang dapat dipilih untuk mewujudkan upaya menutupi keterbatasan

diatas dengan: 1. Menghapuskan pengeluaran yang tidak urgen, 2. Mencari alternative

biaya efektive dalam pelayanan jasa, 3. Memprivatisasi unit kegiatan tertentu, 4. Menjual

aktiva yang berlebihan, 5. Mengefektifkan retribusi dan pendapatan dari pajak dar

kebocoran, 6. Menaikkan tarif pajak, 7. Menggalang partisipasi masyarakat, 8.

Mengidentifikasi jenis pajak baru, 9. Bagi hasil pajak, 10. Pinjaman dari pihak ketiga bagi

usaha-usaha daerah yang produktive secara professional.


Selain inefisiensi diatas, banyak kegiatan pemerintah bukan didorong untuk

menciptakan program produktif untuk mendukung sistem pemerintahan mandiri dalam

keuangan, dimana dalam konsep reinventing government yang dijadikan sebagai pola

umum acuan kehidupan otonomi daerah dalam menciptakan pelayanan publik yang baik

(good governance) tidak diimplementasikan. Akibatnya tercipta inefisiensi anggaran,

penyebabnya karena daerah dibebani biaya non-produktif dari program ideologis masa

lalu ataupun baru sebagai refleksi penciptaan identitas diri daerah.

Kebijakan investasi, lebih sebagai simbolisasi ‘penanda’ daerah dalam lokus

status atau gengsi. Bahkan birokrasi menciptakan unit usaha yang menjadi kompetitor

masyarakat yang memiliki modal terbatas. Untuk mengeksiskan pengakuan suatu daerah

seperti wilayah pesisir, yang dikembangkan secara “instan” adalah, aspek terkait laut

seperti perikanan dll tanpa perhitungan aspek keberlanjutan baik secara ekonomi, sosial,

SDM, manajemen dll. Kebijakan ini masih dipertahankan dan diciptakan, karena pola

latah birokrasi di Indonesia.

Kegiatan pelayanan publik mestinya sesuai dengan Local Good Governance Index

(LGGI) yang digunakan saat ini dalam pengukuran kinerja sistem pemerintahan daerah

sebagai wujud efektifitas dan efisiensi, terutama untuk anggaran daerah yang akuntabel.

Masyarakat mendapat respons Advokasi nilai atas pelayanan yang diterimanya dari

kelompok-kelompok intelektual yang dipengaruhi lingkungan pendidikan, NGO, civil

society yang menjadi agent demokrasi liberal dalam masyarakat. Dilema yang

ditimbulkan adalah keinginan mengimplementasikan paradigma pelayanan secara total

atas masyarakat sesuai tuntutan demokratisasi. Sementara birokrasi diperhadapkan

kepada keterbatasan supra dan infra struktur seperti yang digambarkan diatas. Keadaan

ini melahirkan budaya transisi dari birokrasi Indonesia.


Birokrasi kekinian (Warsito Utomo,1996) mestinya bertumpu pada ACE

(Alignment, Creativity And Empowerment) sehingga komponen dalam struktur dan sistem

birokrasi serta masyarakatpun harus berubah, tidak lagi mengedepankan kepada

egosentrisme lokalistik yang didasarkan pada arogansi baik dari tataran sosial maupun

material. Yaitu masih kentalnya masyarakat Indonesia utamanya kalangan tertentu, yang

terbiasa dengan kemudahan sehingga melupakan aspek komunitarian yang menjadi

tangung jawab penengelolaan organisasi pelayanan publik.

Penting diketahui bahwa prinsip pengelolaan manajemen pelayanan demokratis

oleh Giddens dalam Third Way dikatakan “tidak ada hak tanpa kewajiban”. Untuk itu

dibutuhkan sebuah tataran teoritik yang diharapkan dapat menghasilkan kesadaran 5 F

yaitu fast, focus, flexible, friendly and fund. Pada kondisi learning organization seperti

inilah birokrasi merupakan sebuah institusi yang memberdayakan masyarakat.

1
Staf Pengajar Pada Program Studi Ilmu Pemerintahan FISIP UNTAD

You might also like